KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA …eprints.unram.ac.id/3572/1/SKRIPSI.pdf ·...
Transcript of KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA …eprints.unram.ac.id/3572/1/SKRIPSI.pdf ·...
-
i
KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA
INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan dalam Penyelesaian Program Sarjana (S-1)
PendidikanBahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Oleh
RATNATUL FAIZAH
E1C 010 027
UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA, DAN
DAERAH
2014
-
ii
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram NTB. 83125
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul
KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI
STRUKTURAL
Telah disetujui pada tanggal November 2014
Pembimbing I,
Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum NIP.197512312002121001
Pembimbing II,
RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002
Mengetahui,
Ketua Jurusan PBSID
Dra. Siti Rohana Hariana I, M.Pd. NIP. 196603311993032002
-
iii
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MATARAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram NTB. 83125
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsiberjudul :KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL
AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI
STRUKTURAL
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram Pada tanggal, November 2014
Ketua : Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum
NIP.197512312002121001 (……………………) Anggota : RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002 (……………………) Anggota : Dra. SyamsinasJafar, M.Hum NIP. 195912311986093001 (……………………) Mengetahui, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram Dr. H. Wildan, M.Pd Nip. 19571231 198303 1 037
-
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO : “be my self” and “never give up”. Sesungguhnya Allah SWT lebih
mengerti dari siapapun dengan memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang
kita inginkan
PERSEMBAHAN :
Skripsi ini merupakan bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang telah
banyak memotivasi selama ini. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati
skripsi ini kuperseembahkan untuk :
1. Ibu dan Bapakku tercinta (Ripdah dan Ripa’ah) terimakasih yang tak
terhingga telah menjadi motivasi terbesar dalam hidupku, dan atas segala
pengorbanan serta kasih sayang kalian yang tiada henti,
2. Kakakku Fahrurozy dan adikku Triyatmi terimakasih telah memberikan
dukungan dan bantuan kalian dalam menyelesaikan skripsi ini,
3. Keluraga besarku terima kasih masih menungguku sampai sekarang.
Paman dan bibiku sekeluarga, sepupu-sepupuku dan kelurga-keluargaku
yang lain yang tidak bisa aku sebut satu persatu (Aku bangga bisa lahir
dan besar di tengah-tengah kalian),
4. Sahabat ‘RISU’ ( Ratna, Irni, Santi, Us) yang selalu menemaniku dengan
tingkah aneh kalian,
5. Orang-orang yang pernah menjadi orang sepesial di sampingku yang
memberikan pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama,
-
v
6. Seseorang yang telah menjadi sahabat terbaik yang selalu setia di
sampingku, yang selalu sabar menghadapi ego-egoku, selalu perhatian dan
mau mengalah demi aku,
7. Rekan-rekan UKMF Olahraga FKIP UNRAM yang telah memberikanku
pengetahuan berorganisasi serta makna kebersamaan dalam perbedaan
yang membuat kita selalu bahagia,
8. Teman-teman Bastrindo 2010, PPL SMAN 1 Narmada, dan KKN Toya
Aikmel yang telah mengajariku perbedaan dalam persatuan,
9. Almamaterku FKIP Unram yang membanggakan.
-
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT yang
telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kendala-kendala Morfofonemik Level
Afiksasi: Sebuah Kajian Morfologi Struktural”. Skripsi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan perolehan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada
program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Mataram.
Disadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan
hambatan dan kendala. Berkat bantuan, dukungan serta doa dari berbagai pihak,
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada :
1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D. selaku Rektor Universitas Mataram;
2. Bapak Dr. H. Wildan, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Mataram;
3. Ibu Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni FKIP Unram;
4. Bapak Drs.I Nyoman Sudika, M.Hum. selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik yang selalu membantu dalam pencampaian
ketuntasan akademik selama proses perkuliahan;
-
vii
5. Bapak Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I (terima
kasih atas arahan dan telah menjadi orang yang selalu menginspirasi serta
memotivasi saya untuk belajar lebih giat);
6. Ibu Ratna Yulida Ashriany, M.Hum.selaku Dosen pembimbing II (terima
kasih atas kesabarannya dan pengertiannya dalam mengajarkan ilmu dan
memberikan bimbingannya);
7. Bapak dan ibu Dosen Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah yang
telah mengajar, mendidik, dan membimbing kami selama bangku perkuliahan
di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram;
8. Staf dan pegawai FKIP yang telah membantu mahasiswa dalam pengurusan
administrasi dan lainnya;
Disadari bahwa segala keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini,
sehingga di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi
maupun penulisan. Oleh karena itu, masukan berupa saran dan kritik yang
konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan serta sebagai
acuan pada penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, khususnya sebagai
pengembangan ilmu kebahasaan.
Mataram, November 2014
Penulis
-
viii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
BI : Bahasa Indonesia
BD : Bentuk Dasar
MB : Morfem Bebas
KPK : Kaidah Pembentukan Kata
N : Nomina
Adj : Adjektiva
V : Verba
Num : Numeralia
’…’ : Tanda petik dua menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya merupakan
makna dari suatu bentuk.
* : Astris digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk lingual yang tidak
gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.
( ) : Kurung Biasa digunakan untuk menyatakan bahwa formatik yang berada
didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang berbeda di
dalamnya.
{} : Kurung Kurawal untuk menyatakan bahwa beberapa satuan lingual yang
ada di dalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan perlu dipilih salah
satu apabila digunakan bersama satuan-satuan lain yang ada di depan atau
dibelakangnya. Biasanya digunakan dalam bidang morfologi untuk
menandai satuan yang didalamnya adalah morfem.
[ ] : Menunjukkan satuan di dalamnya adalah satuan fonetis dan biasanya
digunakan dalm bidang fonologi untuk melambangkan bunyi tertentu
yang tidak berstatus fonem.
// : Digunakan untuk menunjukkan satuan di dalamnya adalah fonem.
→ : Digunakan untuk menyatakan hasil dari proses kebahasaan.
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………… iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vi
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………... viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ix
ABSTRAK ……………………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1. 2 Rumusan Masalah ................................................................. 4 1. 3 Tujuan Penelitian ................................................................... 4
1. 4 Manfaat Penelitian ................................................................. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PenelitianRelevan .................................................................. 6
2.2 LandasanTeori ....................................................................... 8
2.2.1 Fonologi ……………………………………………. 8
2.2.2 Morfologi…………………....................................... 12
2.2.3 Afiksasi ……………………………………………. 15
2.2.4 Morfofonemik ………………………………………19
2.2.5 Idiosinkresi Linguistik……………………………… 24
2.2.6 Pengertian Kendala ………………………………… 24
2.2.7 Morfologi Struktural ……………………………….. 25
-
x
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Deskripsi Penelitian ................................................................. 27
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 28
3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 29
3.4 Metode Penganalisisan Data .................................................... 33
3.5 Metode Penyajian Data ............................................................ 34
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia ..................... 36
4.2 Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi ...................... 52
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ................................................................................. 87
5.2 Saran ....................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
xi
KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKASI BAHASA INDONESIA SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL
ABSTRAK
Fenomena kebahasaan yang memunculkan varian baru dalam pembentukan
kata pada bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena terdapat pada bahasa yang kita gunakan. Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah teori morfologi struktural. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, cakap, introspeksi, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan metode padan intralingual. Penyajian data dari hasil penganalisisan data dalam penelitian ini menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang atau tanda-tanda. Berdasarkan analisis data, temuan yang diperoleh berupa : 1) perubahan fonem pada proses prefiksasi terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Penambahan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-} dan {pəŋ-} berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {məŋə-} dan{pəŋə-}. Penghilangan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, seperti morfem afiks {bər-}, {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}. Infiksasi bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm}. Sufiksasi bahasa Indonesia memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-an}. Konfiks pada bahasa Indonesia berupa {məŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. 2) Kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia berupa perubahan dan penambahan fonem. Perubahan dan penambahan terjadi pada morfem afiks {ŋ-} ’məŋ-’ dengan alomorf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, { ŋe-} dalam prefiksasi dan morfem afiks {ŋ- + -in} ‘ məŋ-kan’ dalam konfiksasi. Selain mengalami proses morfofonemik terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, yaitu morfem afiks {məŋ-}, {kə-} ’ter-’ pada afiksasi, sufiksasi terdapat morfem afiks {i-}, {-in} ‘-kan’, {-an} ‘ber-‘ dan {-isir} ‘-isasi’. konfiksasi terdapat morfem afiks berupa {kə- + -an}.
Kata kunci : Kendala morfofonemik, Afiksasi, Idiosinkresi
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia disebut makhluk yang sangat kompleks karena memiliki akal
pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akal pikiran tersebut digunakan
dalam kehidupan sehari-sehari baik untuk diri sendiri maupun hubungan sosial
dengan manusia yang lainnya. Dalam melakukan hubungan sosial tentunya
manusia membutuhkan alat komunikasi berupa bahasa. Bahasa manusia sangat
berbeda antara satu dengan yang lain, namun disisi lain semua bahasa-bahasa
tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Kenyataannya di Indonesia terdapat
berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman baik dari adat istiadat
maupun bahasanya, yang biasa disebut sebagai bahasa daerah yang merupakan
ciri khas dari setiap daerah tersebut. Selain memiliki bahasa daerah dengan
beragam bahasa maupun dialek-dialek disetiap daerah, Indonesia juga memiliki
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa
pemersatu dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat
dari daerah lain. Setiap warga negara harus menguasai atau harus mengerti dan
bisa menggunakan bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan lawan
bicara dari daerah lain, karena tidak semua bahasa atau dialek memiliki tingkat
kekerabatan yang sama.
Munculnya ragam bahasa yang menyebabkan penggunaan BI yang kurang
tepat dipengaruhi oleh bahasa asing melalui perkembangan IPTEK yang sangat
pesat dan diterima secara mentah oleh masyarakat akibatnya penggunaan BI baku
-
2
sekarang ini hanya untuk berkomunikasi dalam keadaan sangat formal. Pada
dasarnya semua masyarakat Indonesia dituntut harus dapat menguasai BI agar
mampu berkomunikasi dengan lawan bicara yang memiliki varian bahasa yang
berbeda baik dalam kondisi formal maupun nonformal. Tidak hanya sampai
penggunaan bahasa tersebut, namun sebaiknya penutur juga mampu mengetahui
struktur internal bahasa atau kata yang digunakan dalam berkomunikasi agar
memiliki pengetahuan asal-usul kebahasaaan yang digunakannya. Bagi
kebanyakan orang mempelajari struktur internal kata yang dipergunakan dalam
berkomunikasi dianggap tidak perlu, karena mampu berkomunikasi menggunakan
BI dirasakan sudah cukup. Selain itu penutur tidak tertarik mempelajari bahasa
yang mereka gunakan karena ada anggapan terhadap pandangan historis pada
bahasa menjadi berlebihan ketika ia ingin memahami bagaimana bahasa bekerja.
Hal ini sebenarya tidak benar, yakni: perubahan bahasa merupakan ranah empirik
yang releven bagi ahli-ahli bahasa yang ingin mengembangkan pemikiran yang
memadai atas sistem-sistem bahasa dan penggunaannya (Sukri dan Nuriadi,
2010:249).
Penggunaan BI pada masa kini banyak memunculkan varian baru akibat
dari kreativitas penutur tanpa memperhatikan kaidah kebahasaan yang benar
meskipun dapat mempermudah penutur dalam menyampaikan. Varian baru
tersebut akan meyebabkan terjadinya kendala-kendala yang berupa idiosinkresi
(keanehan). Kendala-kendala yang dimaksudkan yaitu hal yang menghambat kata-
kata yang telah dibentuk akan berterima. Varian baru yang dimaksud seperti pada
kata ngalah yang meupakan prefiksasi dengan pelekatan morfem afiks {ŋ-}
-
3
dengan bentuk dasar (yang selanjutnya disingkat BD) /kalah/ atau dalam kaidah
pembentukan kata berupa ({ŋ-} + [kalah] → [ŋalah] ngalah ’mengalah’). Morfem
afiks {ŋ-} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem
afiks {məŋ-}. Adapun dalam sufiksasi, misalnya kata ambilin yang terbentuk
gabungan morfem afiks {-in} dengan BD /ambil/ jika dalam proses pembentukan
kata berupa ({-in} + [ambil] → [ambilIn] ambilin ’ambilkan’). Morfem afiks {-
in} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {-
kan}dan terdapat beberapa data yang lainnya.
Permasalahan di atas yang memotivasi peneliti mengambil wilayah kajian
pada kata-kata yang terdapat dalam BI. Selain karena BI merupakan bahasa yang
memiliki banyak proses kebahasaan yang perlu diketahui, khusunya dalam
afiksasi karena kalimat lebih banyak ditentukan oleh afiksasi. Afiksasi merupakan
proses pembentukan kata yang paling sering digunakan dalam berkomunkasi
sehingga menyebabkan banyak permasalahan yang harus diusahakan
penyelesaianya. Afiksasi tidak lepas kaitannya dengan morfofonemik karena
disetiap proses afiks terdapat proses morfofonemik yang membentuk kata.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
terdahulu, lebih banyak peneliti yang meneliti bahasa daerah yang mengkaji
tentang afiks dan morfofonemik , namun hal yang biasanya menjadi kajian
peneliti sebelumnya adalah mengenai bentuk dari objek penelitiannya. Selain itu
masalah kebahasaan lainnya dalam BI dianggap telah selesai karena banyak buku
atau banyak para ahli yang menjelaskan mengenai permasalahan dalam BI.
Namun tanpa disadari masalah kebahasaan dalam BI masih banyak yang belum
-
4
dianalisis terutama oleh mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhirnya karena
anggapan yang telah dijelaskan tersebut. Oleh karena itu peneliti mengambil objek
penelitian mengenai kendala-kendala morfofonemik dalam afiksasi dalam BI
dengan menggunakan kajian morfologi struktural. Morfologi struktural ini
digunakan untuk menentukan kendala-kendala morfofonemik level afiksasi pada
data yang akan dianalisis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan pada bagian sebelumnya,
terdapat permasalahan pada bagian ini berupa :
1) Bagaimanakah proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia?
2) Kendala-kendala apa sajakah yang menyebabkan proses morfofonemik
level afiksasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas berikut dipaparkan tujuan
yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :
1) Mendeskripsikan proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia.
2) Mendeskripsikan kendala-kendala yang menyebabkan morfofonemik
level afiksasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan peneliti tentu akan memberikan berbagai
manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat-manfaat yang dimaksud
sebagai berikut :
-
5
1.4.1 Manfaat Teoritis
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan seoptimal
mungkin oleh masayarakat, pada umumnya masyarakat yang tidak mengetahui
tentang kebahasaan, serta dapat pengetahuan baru mengenai kendala-kendala
morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat
dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian kebahasaan bentuk lain.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan
menulis peneliti, dapat dijadikan sebagai referensi/acuan untuk penelitian yang
relevan, serta penelitian ini dapat menarik perhatian para peneliti yang tertarik
pada bidang linguis untuk meneliti permasalahan yang ada pada bahasa Indonesia
maupun bahasa daerah.
-
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Relevan
Dari penelitian sebelumnya telah banyak yang meneliti tantang
morfofonemik bahasa daerah yang bisa dijadikan bahan perbandingan untuk
penelitian yang akan dilakukan peneliti sekarang ini, namun terdapat juga
penlitian tentang bahasa Indonesia yang dilakukan mahasiswa sebagai peneliti
sebelumnya, antara lainnya :
“Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau” penelitian yang dilakukan B. Nurul
Husna tentang Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau terdapat tiga perubahan fonem
salah satunya yaitu, apabila ada prefiks {N-} melekat pada morfem- morfem yang
memiliki fonem awal {t, p, k, s, dan c} sehingga fonem awal morfem tersebut
berubah menjadi alomorf {N-} yaitu {n, m, ŋ, n}.
Pada penelitian tersebut memiliki persamaan dari segi teori dengan
penelitian yang dilakukan peneliti pada saat ini, tetapi dari bahasa yang dikaji
memiliki perbedaan, pada penelitian yang dilakukan Husna mengkaji bahasa
daerah sedangkan peneliti mengkaji bahasa Indonesia.
“Klitika dalam Bahasa Sasak Dialek Meno-Mene di Desa Beleka
Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat”merupakan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Muammar dengan menggunakan metode simak dan cakap dalam
pengumpulan datanya, selanjutnya dalam metode menganalis data Muammar
menggunakan beberapa tehnik dalam menganalisis data, yaitu tehnik urai pilih
unsur langsung, penggantian substansi, perluasan atau ekspansi, tehnik pelesapan
-
7
atau diksi, tehnik penyisipan atau intrupsi, serta pembalikan urutan dan permutasi.
Sedangkan dalam penyajian data Muammar menggunakan metode formal (
metode menggunakan lambang dan tanda) dan informal (menggunakan kata-kata
biasa). Meskipun penelitian tersebut mengkaji klitika, penelitian tersebut relevan
karena menggunakan teori yang sama dengan penelitian peneliti yaitu
menggunakan teori morfofonemik.
Selain itu dua penelitian di atas juga penelitian terhadap bahasa Indonesia
mengenai morfofonemik yaitu, “Proses Morfofonemik Prefiks {Men-} dengan
Bentuk Dasar yang Berfonem Awal (k, t, s, p) dalam Bahasa Indonesia dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia” yang dilakukan oleh
Fitriani mengambil kesimpulan fonem {k, t, s, p} mengalami perubahan dengan
proses peluluhan tetapi ada data yang tidak mengalami peluluhan fonem.
Ketidakluluhan fonem {k, t, s, p} ketika dilekati oleh morfem {meŋ-} disebabkan
oleh :
a. adanya urutan struktur fonem yang tidak dimungkinkan muncul dalam
kaidah fonotaktik bahasa Indonesia ketika bentuk dasar yang berfonem
awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.
b. adanya bentuk perubahan struktur fonologis morfem {meŋ-} dengan
bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.
c. Adanya kesulitan dalam pelafalan kata jadian yang terdiri atas empat
silabe atau lebih.
d. Akan hilangnya keaslian dan keutuhan bentuk dasar dari kata tersebut
ketika bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.
-
8
Penelitian tersebut sangat relevan dengan peneletian yang akan dilakukan
karena sama-sama membahas morfofonemik, sebenarnya penelitian yang
dilakukan oleh Fitriani salah satu kendala morfofonemik namun hanya saja
Fitriani hanya mengkaji prefiks {meŋ-}.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Fonologi
Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos =
‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian
dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi
bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem
yang disebut tata fonem (fonemik). Bahasa terdiri atas beberapa perangkat, mulai
dari perangkat yang terkecil hingga yang lebih besar. Perangkat bahasa yang
terkecil disebut bunyi. Bunyi inilah yang menjadi bahan kajian dari fonologi.
Para ahli berpendapat mengenai pengertian fonologi antara lain; menurut Verhaar
(2008) fonologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan-
satuan dasar bahasa sebagai bunyi. Bidang linguistik yang mempelajari,
menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini disebut
fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu
ilmu (Chaer, 2012:102).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
fonologi merupakan salah satu cabang ilmu linguistik mikro yang
mempelajari dasar bahasa, yaitu bunyi. Secara hierarki fonologi memili dua
objek kajian yaitu fonetik dan fonemik.
-
9
1) Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan bunyi tersebut berfungsi membedakan makna atau tidak (Chaer,
2012). Sedangkan menurut Verhaar Fonetik adalah cabang ilmu lingistik yang
meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Ada dua segi “ fisik” tersebut, yaitu:
segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi
bahasa; dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan. Dasar yang pertama
disebut “fonetik artikulatoris” karena menyangkut alat-alat bicara. Menurut dasar
yang kedua, fonetik disebut “fonetik akustik” karena karena menyangkut bunyi
bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara.
Sedangkan menurut Chaer terdapat satu lagi jenis fonetik selain dua jenis
fonetik yang dikemukakan Verhaar yaitu fonetik auditoris.
a. Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis yang
mempelajari atau meneliti mekanisme alat-alat bicara manusia
bekerja dalam menghasilakn bunyi bahasa serta bagaimana bunyi,
bunyi itu diklasifikasikan.
b. Fonetik Akustik
Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam yang berupa getaran udara.
Udara yang bergetar adalah udara dibuat bergerak dalam
gelombang-gelombang. Artinya, partikel-partikel udara dibuat
bergerak, dan gerakan itu mendesak partikel-partikel yang lain, dan
-
10
partikel yang lain itu mendesak partikel udara yang lain lagi, dan
begitu terus sampai membentuk gelombang yang akan diselidiki
frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrenya.
c. Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu oleh alat pendengaran kita.
Jenis-jenis fonetik yang telah dijelaskan tersebut tidak semuanya
menjadi kajian dari ilmu linguistik. Yang menjadi kajian dari ilmu
linguistik yaitu fonetik artikulatoris karena berkaitan dengan
penghasilan bunyi. Fonetik akustik dikaji oleh ilmu fisika atau ilmu
alam, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang
kedokteran atau neorologi.
2) Fonemik
Berbeda dengan fonetik, fonemik memiliki objek kajian fonem yang
berfungsi membedakan makna kata. Misalnya pada dua kata yang berbeda seperti
kata iba dan ibu. Dari dua kata tersebut hampir sama, masing-masing terdiri dari
tiga buah bunyi.
iba → [i], [b], [a]
ibu→ [i], [b], [u]
Perbedaan dari dua kata tersebut terdapat pada bunyi [a] dan bunyi [u].
Oleh karena itu bunyi [a] dan bunyi [u] merupakan fonem karena kedua bunyi
tersebut membedakan makna dari kata iba dan ibu.
-
11
Ucapan sebuah fonem dapat berbea-beda sebab sangat tergantung pada
lingkungannya, atau fonem-fonem lain yang ada disekitarnya.mDalam bahasa-
bahasa tertentu dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu
menjadi fonem yang lain. Terdapat beberapa jenis perubahan fonem menurut
Chaer , antara lain :
a. Asimilasi dan Disimilasi
b. Netralisasi dan Arkifonem
c. Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
d. Kontraksi
e. Metatesis dan Epentesis
f. Fonem dan Grafem
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis fonem yaitu fonem vokal,
fonem konsonan dan fonem semi konsonan (Nazir, 1987:105) :
1) Fonem Vokal
Pada Bahasa Indonesia ditemukan sebelas bunyi vokal, yaitu [i],
[I], [e], [ɛ], [a], [i], [ə], [u], [U], [o], dan [ɔ]. Diantara sebelas bunyi vokal
ini, hanya lima buah yang terbukti menjadi fonem. Prinsip yang digunakan
dalam menentukan fonem vokal ini ialah prinsip distribusi komplementer,
prinsip variasi bebas dan prinsip pasangan minimal. Bunyi vokal yang
dimaksud adalah : bunyi vokal [i]-[I], bunyi vokal [u]-[U], bunyi vokal [e,
ɛ, ə], bunyi vokal [o-ɔ], dan bunyi vokal [a-i].
-
12
2) Fonem Konsonan
Dalam bahasa Indonesia terdapat 16 fonem konsonan yaitu : /p/,
/b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /m/, / ñ /, /ŋ/, /n/, /s/, /r/, /l/, /k/, /g/, dan /h/.
3) Fonem Semi Konsonan
Bunyi maupun fonem semi konsonan sama-sama memiliki
distribusi yang tidak lengkap. Hal ini disebabkan karena baik bunyi
maupun fonem semi konsonan hanya ditemukan diawal dan tengah kata.
Fonem semi konsonan terdiri dari fonem /w/ dan /y/ saja.
2.2.2 Morfologi
Istilah ‘morfologi’ telah diambil alih oleh biologi yang digunakan untuk
merujuk pada studi terhadap bentuk-bentuk tanaman dan binatang. Penggunaan
pertama yang terekam adalah dalam tulisan dari penyair-penyair dan penulis
Jerman Goethe pada tahun 1796. Lantas pertama kali digunakan untuk tujuan
linguistik pada tahun 1859 oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Jerman
bernama August Schleicher (lihat Sukri, 2010) guna mengacu pada studi terhadap
bentuk kata-kata. Dalam ilmu bahasa dewasa ini, istilah ‘morfologi’ mengacu
pada kajian atau studi tentang struktur internal kata-kata, dan tentang
korespodensi bentuk arti sistematis antar kata (Sukri, 2010:5).
Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian morfologi antara lain
Verhaar (2008) mengemukakan morfologi mengidentifikasikan satuan-satuan
dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Sukri (2008: 3-4) mengungkapkan
morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan
struktur internal kata serta korespondensi antar bentuk makna kata-kata secara
-
13
sistematis. Sedangkan menurut Kridalaksana (dalam Rohmadi,dkk. 2010)
morfologi adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari morfem dan
kombinasi-kombinasinya.
Berdasarkan beberapa pengertian para ahli mengenai morfologi di atas
pada prinsipnya memang sama meskipun cara penyampaiannya berbeda.
Semuanya sependapat bahwa morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang
membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata baik itu morfem
terikat maupun morfem bebas dan segala bentuk dan jenisnya. Jadi, morfologi
menjadi sangat erat hubungannya dengan afiksasi.
Morfologi merupakan studi tentang bentuk bahasa. Bentuk terkecil dalam
morfologi adalah morfem, yaitu bentuk terkecil yang mempunyai makna. Satuan-
satuan beli, buku, pasar, toko, meng-, ber- dsb merupakan contoh dari morfem.
Morfem terdiri dari morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat merupakan
morfem yang harus didampingi oleh morfem lain agar jelas fungsi dan maknanya.
Contohnya morfem ber-, morfem tersebut tidak akan jelas maknanya jika berdiri
sendiri. Jadi morfem ber- harus dilekatkan dengan morfem yang lain (morfem
bebas) agar makna dan fungsinya jelas seperti [[ber- + [jalan]V→[berjalan].
Selain berupa afiks morfem terikat juga dapat berupa klitik. Klitik menurut Sukri
(2008) merupakan satuan terikat yang memilik arti leksikal. Contoh morfem yang
berupa klitika yaitu –ku dalam sepedaku, -nya dalam rumahnya. Sedangkan
morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat tanpa
harus didampingi morfem lain. Seperti jual, beli, rumah dsb.
-
14
Bentukan kata-kata yang terjadi pada morfem bebas dan morfem terikat
dibentuk dari proses morfologis. Proses morfologis adalah proses pembentukan
kata-kata melalui mekanisme penggabungan satuan/bentuk dengan bentuk lain
yang menjadi dasarnya (Sukri, 2008: 53).
Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian dari proses morfologis,
menurut Chaer (2012) proses morfologis terdiri dari:
1. Afiksasi
2. Reduplikasi
3. Komposisi
4. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi
5. Pemendekan.
Menurut Muslich proses morfologis dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar,
2. Pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, dan
3. Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar.
Selain itu pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sukri tentang
pembagian proses morfologis hanya perebedaan istilah saja yaitu :
1.Proses Afiksasi
2.Proses Reduplikasi
3.Proses Pemajemukkan
Berdasarkan ketiga pendapat di atas sebenarnya memiliki maksud yang
sama, namun peneliti menggunakan pendapat yang dikemukan oleh Sukri karena
lebih sederhana dan pemakaiannya sudah umum. Jadi dapat disimpulkan proses
-
15
morfologis dibagi menjadi tiga yaitu afiksasi, reduplikasi dan pemajemukkan.
Reduplikasi atau pengulangan adalah pengulangan satuan gramatik, baik unsur
yang diduplikasi itu sebagian baik disertai variasi fonem/segmen maupun tanpa
disertaivariasi fonem atau segmen. Contoh dari reduplikasi rumah-rumah, rumah-
rumahan. Sedangkan pemajemukkan adalah hasil proses penggabungan morfem
dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat, sehingga terbentuk
sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau baru.
Misalnya meja hijau, rumah sakit.
2.2.3 Afiksasi
Berdasarkan tiga proses morfologis yang berupa afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan peneliti memfokuskan kajian terhadap Afiksasi. Afiks menurut
Verhaar (2008) adalah morfem terikat yang dapat ditambahkan di awal kata
(prefiks) di dalam proses yang disebut prefiksasi, di akhir kata (sufiks) yang
disebut sufiksasi, sebagian di awal kata sebagian di akhir kata (konfiks) di dalam
proses yang disebut konfiksasi, atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu sisipan
(infiks) di dalam proses yang disebut infiksasi.
Afiksasi tidak lain adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada
bentuk/morfem dasar; baik morfem dasar itu berwujud bentuk tunggal maupun
bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata bentukan. Dapat dicontohkan di
sisni ialah pembubuhan morfem afiks {ber-} dengan morfem/bentuk dasar sepeda
sehingga menghasilkan kata bersepeda, {ber-} dengan morfem atau bentuk dasar
tiga sehingga menghasilkan kata bertiga dan seterusnya. Perlu kiranya diketahui
di sini bahwa dalam bahasa Indonesia, tidak semua afiks yang dilekatkan pada
-
16
morfem dasar dapat menghasilkan kata meski dilekatkan dengan bentuk/ morfem
dasar tertentu. Dalam bahasa Indonesia misalnya, morfem afiks {per-}, {-kan},
dan {-i} yang dilekatkan dengan bentuk dasar yang menghasilkan pokok kata:
perbesar, perkecil, perhias, perindah, perkaya, perdua, perempat. Perjelas,
persempit, ambilkan, bacakan, bangunkan, tuliskan, duduki, tanami, pukuli, tiduri,
dan seterusnya (Sukri, 2008:54-55).
Selain itu pengertian yang diungkapkan oleh Putrayasa (2008:5) yang
menerangkan bahwa afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata
dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar tunggal maupun
kompleks. Misalnya, pembubuhan afiks meN- pada bentuk dasar jual menjadi
menjual, benci menjadi membenci, tari menjadi menari, peluk menjadi memeluk,
masak menjadi memasak, baca menjadi membaca, bolak-balik menjadi
membolak-balik, pertanggungjawabkan menjadi mempertanggungjawabkan.
Pembubuhan afiks ber- pada dasar main menjadi bermain, sekolah menjadi
bersekolah, sepeda motor menjadi bersepeda motor, main peran menjadi bermain
peran. Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa pembubuhan afiks
dapat terjadi pada bentuk linguistik berupa bentuk tunggal seperti jual, benci,
masak, tari, baca, main, dan sekolah serta bentuk kompleks seperti bolak-balik,
pertanggungjawabkan, sepeda motor, dan main peran.
Afiksasi merupakan proses pengimbuhan yang terdiri dari beberapa
proses, antara lain:
-
17
a) Prefiksasi
Prefiks ialah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata
dasar). Prefiks juga disebut awalan atau yang lebih lazim disebut awalan
(Rohmadi,dkk. 2010).
Contoh :
{məŋ} [[məŋ- + [gendoŋ]V→[meŋgendoŋ] ‘menggendong’
{məŋ} [[məŋ- + roko?]N→ [məroko?]V ‘merokok’
Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa morfem {məŋ-}
bergabung dengan morfem dasar gendong [gendoŋ] ‘gendong’ sehingga
berbentuk kata /menggendong/ [meŋgendoŋ] ‘menggendong’. Demikian pula
hanya dengan morfem dasar rokok [roko?] ‘rokok’ setelah bergabung dengan
morfem afiks {məŋ-} menjadi /merokok/ [məroko?] ‘merokok’.Dari kedua
contoh diatas mengalami penghilagan fonem. Namun bagaimana dengan
contoh berikut ini :
{məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUr] ‘mengukur’
{məŋ-} + [aku] → [məŋaku] ‘ mengaku’
{pəŋ-}+ [ukUr] → [pəŋukUr] ‘pengukur’
{pəŋ-} + [aku] → [pəŋaku] ‘pengaku’
Berdasarkan contoh pembentukan kata di atas dengan pelekatan
morfem afiks {məŋ-}, dan {pəŋ-} pada BD yang berawal vokal tidak
mengalami proses morfofonemk, baik berupa perubahan, penambahan,
ataupun penghilangan fonem.
-
18
b) Infiksasi
Infiks ialah imbuhan yang melekat di tengah bentuk dasar. Karena
melekatnya menyisip ditengah kata dasar maka disebut sisipan saja
(Rohmadi,dkk. 2010).
{-ər-} + [ kudUŋ] ‘tutup’ → [kərudUŋ] ‘penutup kepala’
{-əm-} + [kunIŋ] ‘kuning’ → [kəmunIŋ] ‘pohon kemuning’
{-əl-} + [unjU?] ‘tunjuk’ → [təlUnjU?] ‘telunjuk’
Dalam kajian morfofonemik/morfofonologi, pembentukan kata
melalui mekanisme penyisipan infiks berada di tengah morfem dasar.Artinya,
infiks yang disisispkan pada morfem dasar hanya diperoleh menyela segmen
konsonan (K) pertama dari morfem dasar yang disisipinya.
c) Sufiksasi
Sufiks ialah imbuhan yang melekat dibelakang bentuk dasar (kata
dasar). Sufiks disebut juga imbuhan akhir atau lebih lazim disebut akhiran
saja (Rohmadi,dkk. 2010).
{-kan}+ /ambil/ ‘ambil’ [[ambIl]V + -[-kan]V ‘ambilkan’
{-i} + /tidur/ ‘tidur’ [[tidUr + -[-i]V ‘tiduri’
{-an} + /jemur/ ‘jemur’ [[jəmUr + -[-an]]N ‘tempat menjemur’
{-an} + /duduk/ ‘duduk’ [[dudU? + -[-an]]N ‘tempat duduk’
Kata bentukan /ambilkan/ [ambilkan] ’ambilkan’ dengan mudah dapat
dikenali unsur-unsur pembentukannya, yakni morfem dasar /ambil/ ‘ambil’
dan sufiks /-kan/, /tiduri/ [tiduri] terdiri atas morfem dasar /tidUr/ ‘tidur’ dan
sufiks /-i/, dan kata bentukan /jemuran/ [jəmUran] ‘ tempat menjemur
-
19
pakaian’ terdiri atas morfem dasar /jemur/ ‘jemur’ dan sufiks /-an/ begitu pula
halnya dengan /dudukan/ [dudU?an] ‘tempat duduk’ (Sukri.2008).
d) Konfiksasi
Konfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Kedua
macama afiks tersebut melekat secara bersamaan pada suatu bentuk dasar
pada bagian depan dan belakangnya
[pəŋ-/-an/ + mandi/ [[pəŋ + [mandi]V + -[-an]]N ‘tempat mandi’
[kə-/-an/ + tahu/ [[kə + [tahu] + -[-an]]N ‘ketahuan’
Kata bentukan /pemandian/ [pəmandiyan] ‘tempat mandi’ terbentuk
dari morfem dasar /mandi/ ‘mandi’ dan konfiks [pəŋ-/-an]. Dalam bahasa
indonesia, bentukan /pemandi/ tidak berterima serta tidak memiliki makna,
ataupun /mandian/juga tidak berterima. Dengan demikian, morfem afiks [pəŋ-
] dan sufiks /-an/ haruslah dilekatkan secara bersamaan. Demikian pula
halnya dengan bentukan /ketahuan/ [kətahuwan] ‘ketahuan’ terdiri atas
morfem dasar /tahu/ ‘tahu’ dan konfiks [kə-/-an/] (Sukri. 2008) .
2.2.4 Morfofonemik
Morfofonemik digunakan menggambarkan interaksi antara fonologi dan
morfologi. Morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari
tentang struktur internal kata. Sedangkan fonologi adalah cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan
perubahannya. Namun beberapa ahli linguis menggabungkan dua cabang
linguistik tersebut menjadi satu kajian, yaitu morfofonemik atau morfofonologi.
-
20
Morfofonemik adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem
yang lain sesuai fonem awal atau fonem yang mendahuluinya (Alwi,2003). Hal
serupa juga dikemukakan oleh Zainal Arifin (2007:8) Proses morfofonemik
adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem
awal kata yang bersangkutan. Sukri (2008) dalam buku Morfologi Sebuah Kajian
Antara Bentuk dan Makna, morfofonemik mengkaji fenomena-fenomena yang
melibatkan kajian antara morfologi dan fonologi. Hampir sama dengan Sukri,
Chaer (2012) mengemukakan morfofonemik, disebut juga morfonemik,
morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis
dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi.
Morfofonemik adalah subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi.
Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat fonologi
(Kridalaksana, 2007:183). Selain itu Mahsun (2007:90) menyebutkan proses
morfofonemik merupakan peristiwa fonologi yang terjadi karena pertemuan
morfem dengan morfem dalam rangka membentuk kata.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan
morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan morfem-
morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis. Selain memberikan
penjelasan mengenai pengertian dari morfofonemik para ahli juga membagi
proses morfofonemik menurut pendapat mereka masing-masing.
Chaer dalam buku Linguistik Umum (2012) membagi proses
morfofonemik menjadi lima, yaitu :
1) Pemunculan fonem
-
21
2) Pelesapan fonem
3) Peluluhan fonem
4) Perubahan fonem
5) Pergeseran fonem
Mahsun dalam buku Morfologi (2007) proses morfologis terdiri dari :
1) Proses pemunculan fonem
2) Proses perubahan fonem
3) Proses pelepasan fonem
4) Proses perubahan dan pelepasan fonem.
Jos Daniel Parera dalam bukunya yang berjudul Morfologi tahun 1988
membagi proses morfofonemik menjadi beberapa proses yaitu:
1. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan morfofonemik tempat sebuah fonem
yang cenderung lebih banyak menyerupai fonem lingkungannya. Contoh
dalam bahasa Indonesia, misalnya pada kata imperfek terdapat dua morfem
yakni /im/ dan /perfek/. Morfem im- adalah alomorf dari prefiks in- yang
mengalami perubahan bentuk untuk mempermudah pengucapan.
Perubahan /n/, sebuah bunyi sengau dental yang bersuara, menjadi /m/,
sebuah bunyi sengau bilabial yang bersuara, menyebabkan ia lebih
mendekati dan menyerupai /p/, sebuah bunyi hambatan yang juga bilabial.
2. Disimilasi
Kalau dalam disimilasi fonem tersebut seakan-akan menjauhi
persamaan dengan fonem sekitarnya. Contoh dalam bahasa Indonesia,
-
22
misalnya proses ber + ajar – belajar. Bunyi /r/ yang berdekatan
cenderung untuk menjadi tidak sama.
3. Elipsis
Proses morfofonemik elipsis terjadi bila dua bunyi yang sama
dalam proses pembentukan kata salah satu bunyi itu tanggal atau hilang.
Contoh dalam bahasa indonesia, misalnya ber- + kerja > bekerja. Disini
terjadi penghilangan bunyi /r/.
4. Metatesis
Perubahan morfofonemik metatesis adalah perubahan dalam
urutan fonem-fonem. Metatesis secara sinkronis jarang terdapat pada
suatu bahasa. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai /lemari/ yang berasal
dari bahasa Portugis > /almari/.
5. Sandi
Proses morfofonemik sandi merupakan proses peleburan atau
sintesis dua fonem vokal atau lebih menjadi satu fonem vokal. Contoh
dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk Bhineka diturunkan dari
bhina + ika. Disini bunyi vokal /a/ bertemu /i/ dan kemudian lebur
menjadi /e/.
Berbeda dengan Chaer dan Mahsun, dalam buku lain Sukri
dan Muslich dalam buku yang berbeda memiliki pendapat yang sama
mengenai pembagian proses morfologis yang akan dijadikan dasar
oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu :
-
23
1) Proses perubahan fonem
Contoh peruban fonem dalam bahasa Indonesia yaitu ketika
morfem {meŋ-} atau morfem yang lainnya dilekatkan pada bentuk
dasar.
{meŋ-} + /pilih/ → memilih
Dari contoh tersebut terjadi perubahan fonem {ŋ} menjadi
{m}, yang tadinya terbentuk dari morfem {meŋ-}namun setelah
dilekatkan dengan kata dasar, morfemnya berubah menjadi {mem-}.
Begitu pula dengan contoh {peŋ-} + / bantu/ → pembantu, perubahan
fonem juga terjadi pada contoh tersebut sehingga membentuk kata
pembantu.
2) Proses penambahan fonem
Proses morfofonemik berupa penambahan fonem akibat
morfem satu dilekatkan dengan morfem yang lain .
Contohnya dalam bahasa Indonesia yaitu :
{meŋ-} + /cat/ → mengecat
{peŋ-} + / bom/ → pengebom
Berdasarkan contoh di atas terdapat penambahan fonem berupa
fonem [e], setelah dilekatkan dengan bentuk dasar morfem {meŋ-}
mengalami penambahan fonem menjadi {meŋe-}, begitupula dengan
morfem {peŋ-} setelah diekatkan dengan bentuk dasar morfem
tersebut berubah menjadi {peŋe-} karena mengalami penambahan
fonem.
-
24
3) Proses penghilangan fonem
Contoh dalam bahasa Indonesia :
{meŋ-} + / lemah/ → melemah
{peŋ-} + /lari/ → pelari
Berdasarkan contoh di atas terjadi penghilangan fonem pada
morfem {meŋ-}, karena dilekatkan dengan bentuk dasar sehingga terjadi
penghilangan fonem menjadi {me-} pada kata melemah. Sama halnya
dengan morfem {peŋ-}menjadi {pe-} pada kata pelari karena terjadi
penghilangan fonem.
2.2.5 Idiosinkresi Linguistik
Idiosinkresi merupakan sifat, keadaan, atau hal yang menyebabkan sesuatu
menjadi berlainan. Adapun Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang
tata bahasa. Jadi idiosinkresi linguistik adalah penyimpangan kaidah gramatika
pada ragam bahasa seseorang atau sekelompok orang sebagaimana terjadi (KBBI.
2012).
Menurut Darjowidjojo (1988) (dalam Indrini. 2005) Idiosinkresi linguistik
terbagi menjadi 3 bagian yaitu idiosinkresi fonologi, leksikal, dan semantik. Pada
penggunaan istilah idiosinkresi leksikal pada penelitian ini akan digunakan istilah
idiosinkresi morfologi. Idiosinkresi fonologi yaitu penyimpangan kaidah
gramatika pada tataran fonologi. Idiosinkresi morfologi merupakan penyimpangan
kaidah gramatika pada tataran morfologi. Demikian pula dengan semantik yaitu
penyimpangan kaidah gramatika pada tataran makna.
-
25
2.2.6 Definisi Kendala
Kendala merupakan halangan, rintangan, hambatan, atau factor yang
membatasi untuk mencapai sasaran (KBBI.2012) kendala yang dimaksudkan
dalam penelitian ini yaitu, keanehan yang berupa idiosinkresi linguistik yang
membatasi kata yang terbentuk dari pelekatan morfem afiks dengan bentuk dasar
sehingga kata tersebut terhenti pada komponen penyaring setelah mengalami
proses pembentukan kata pada Kaidah Pembentukan Kata (KPK).
2.2.7 Morfologi Struktural
Menurut Halle, (1973) (lihat Sukri. 2008) terdapat empat komponen
tersebut yaitu :
1) List of Morfhemes (Daftar Morfem, selanjutnya disingkat DM)
2) Word Formation Rules (Kaidah Pembentukan Kata, selanjutnya
disingkat KPK)
3) Filter (Saringan)
4) Dictionary (kamus)
Adapun penggunaan empat komponen tersebut sebagai berikut.
Daftar Morfem
(DM) KPK Penyaring Kamus
Morfem Terikat dan Morfem Bebas (MB)
Kaidah Pembentukan
Kata
Idiosinkresi Linguistik
Kebakuan kata
-
26
Daftar morfem terdiri atas morfem terikat dan morfem bebas, morfem
bebas (selanjutnya disingkat MB) ini akan dilekatkan dengan morfem terikat yang
berfungsi sebagai afiks. KPK merupakan komponen yang mencakup semua
kaidah tentang pembentukan kata dari morfem terikat dan morfem bebas yang ada
pada DM. selanjutnya DM dan KPK akan membentuk kata-kata yang potensial
dalam bahasa, khususnya BI yang menjadi objek kajian peneliti. Penyaring
berfungsi sebagai penyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh KPK dengan
memberikan tanda idiosinkresi linguistik berupa idiosinkresi fonologi, morfologi,
dan semantik. Memberikan tanda idiosinkresi linguistik dimaksudkan agar
bentuk-bentuk potensial yang terbentuk dalam KPK dapat dianalisis berdasarkan
kamus. Jika setelah mengalami pembentukan kata pada KPK , apabila kata
bentukan tersebut tidak ada idiosinkresi maka kata tersebut akan disimpan di
dalam kamus, tetapi jika pada kata tersebut mengalami idiosinkresi akan tetap
dimunculkan pada komponen kamus dengan diberikan tanda tanya (?).
-
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Deskripsi Penelitian
Penelitian tidak lain adalah ikhtiar manusia yang dilakukan dalam upaya
pemecahan masalah yang dihadapi. Namun tidak semua kegiatan yang dilakukan
untuk memecahkan masalah disebut penelitian.Hal ini tergantung pada jenis
masalah yang ingn dicari jawabannya serta prosedur yang digunakan dalam
penelitian tersebut (Mahsun, 2012). Penelitian yang dimaksudkan dalam hal ini
yaitu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah menurut Kerlinger (1993, dalam
Mahsun, 2012) adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis
terhadap proposisi-proposisi hipotesis tentang hubungan yang diperkirakan
terdapat antargejala alam.
Berdasarkan pengertian di atas Mahsun (2012) menyimpulkan bahwa
penelitian bahasa adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis
terhadap terhadap objek sasaran yan berupa bunyi tutur (bahasa). Terdapat dua
bidang ilmu linguistik yang menjadi kajian para peneliti bahasa, yaitu linguistik
sinkronis dan linguistik diakronis. Linguistik sinkronis adalah bidang ilmu bahasa
atau linguistik yang mengkaji sistem bahasa pada waktu tertentu, sedangkan
linguistik diakronis adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan
bahasa dari satu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perbandingan bahasa
dengan bahasa yang lain (Mahsun, 2012). Pada penelitian ini, peneliti meneliti
bahasa sinkronis terhadap bahasa Indonesia dalam kurun waktu tertentu yang
bersifat deskriptif.
-
28
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Dalam penelitian linguistik, populasi pada umumnya ialah keseluruhan
individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 2007:36). Misalnya, dalam
penelitian ini, peneliti akan meneliti bahasa Indonesia. Maka yang menjadi
populasinya adalah bahasa Indonesia yang dihasilkan/dipakai oleh penutur-
penutur asli bahasa Indonesia baik yang diungkapkan secara tertulis maupun lisan.
Sementara itu, Mahsun berpendapat bahwa dalam hubungannya dengan
penelitian bahasa, populasi terkait dengan dua hal, yaitu satuan penutur dan satuan
teritorial. Dalam kaitannya dengan satuan penutur, populasi dapat dipahami
sebagai keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang
akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk beluk
bahasa tersebut. Sedangkan bila terkait dengan satuan teritorial, populasi
merupakan keseluruhan wilayah yang menjadi tempat pemukiman keseluruhan
individu anggota masyarakat tutur bahasa yang menjadi sasaran generalisasi
(Mahsun, 2012).
3.2.2 Sampel Penelitian
Sampel dapat diartikan sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah
pakai bahasa yang menjadi objek penelitian sebagai wakil yang memungkinkan
untuk membuat generalisasi terhadap populasi (Mahsun, 2010). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penutur asli bahasa Indonesia yang
mengucapkan bahasa secara lisan dalam percakapan langsung, maupun tidak
langsung (televise dan radio). Selain itu peneliti juga mengambil sampel data dari
-
29
bahasa secara tulisan yaitu kesusastraan (cerpen dan novel modern) dan media
cetak (majalah dan Koran).
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data terdapat faktor penentu wujud metode dan
teknik yang dapat digunakan pada tahapan penyediaan data sebagai berikut:
(a) Pandangan peneliti terhadap dirinya dalam berhadapan
dengan objek ilmiahnya (bahasa);
(b) Jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti; dan
(c) Watak objek dan tujuan penelitian (Sudaryanto,1933:153
dalam Mahsun, 2012)
Faktor yang pertama lebih brsifat subjektif dan implisit, artinya
keberadaannya dalam diri si peneliti cenderung tidak disadari, namun ikut
memengaruhi keseluruhan tingkah laku, cara memandang, aktivitas peneliti dan
sejenisnya. Setidak-tidaknya terdapat dua macam pandangan yang dapat muncul
berhubungan dengan faktor yang pertama,yaitu (1) peneliti dapat memandang
dirinya hanya sebagai pengamat,dalam arti ia tidak perlu terlibat dalam peristiwa
penggunaan bahasa yang diteliti dan (2) peneliti dapat memandang dirinya
disamping sebagai pengamat juga terlibat dalam penggunaan bahasa yang diteliti
karena ia sendiri memang menguasai dan dapat menggunakan bahasa yang diteliti
(Sudaryanto,1933: 153 dalam Mahsun, 2010). Dalam penelitian kali ini peneliti
peneliti memiliki pandangan pada poin 2 yaitu peneliti memandang dirinya juga
terlibat dalam penggunan bahasa yang ditelitinya.
-
30
Berbeda dengan faktor pertama, faktor kedua yang menentukan wujud
metode dan teknik penyediaan data adalah jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti
lebih bersifat objektif. Dalam faktor ini setidak-tidaknya terdapat tiga jenis bahasa
yang diteliti ditinjau dari aspek kadar distansi tersebut,yaitu (a)bahasa yang kadar
distansinya dengan peneliti cukup dekat,artinya bahasa yang bersangkutan sudah
dikuasai secara aktif oleh si peneliti; (b)bahasa yang kadar distansinya cukup
jauh,artinya bahasa itu belum dikuasai oleh peneliti,tetapi kemungkinan untuk
dikuasainya; dan (c)bahasa yang kadar distansinya sangat jauh,dalam arti bahasa
itu tidak mungkin untuk dikuasai secara aktif oleh si peneliti.
Dari ketiga faktor tersebut peneliti meneliti bahasa yang kadar distansinya
cukup dekat sengan menguasai bahasa secara aktif, sehingga dalam penelitian ini
peneliti menggunakan metode introspeksi disamping menggunakan metode cakap
dalam proses pengumpulan atau penyediaan data.
3.3.1 Metode Simak
Metode simak yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data
dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2011:92). Metode ini memiliki
teknik dasar berupa tehnik sadap. Tehnik sadap pada hakikatnya penyimakan
dilakukan dengan cara menyadap bahasa seseorang baik berupa bahasa lisan
maupun bahasa tertulis. Teknik sadap memiliki beberapa teknik lanjutan berupa
teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan tehnik rekam.
Dari empat teknik lanjutan tersebut peneliti menggunakan dua teknik
lanjutan yaitu teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat. Teknik lanjutan
simak bebas libat cakap digunakan karena peneliti hanya berperan sebagai
-
31
pengamat penggunaan bahasa, seperti mendengarkan percakapan dari media
elektronik (tv dan radio) jika datanya berupa lisan dan membaca sumber data
berupa data tulisan. Selanjutnya untuk mendampingi teknik lanjutan tersebut
digunakan teknik catat untuk mencatat kata yang menjadi data si peneliti.
3.3.2 Metode Cakap
Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara
yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara
peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara peneliti dngan informan
mngandung arti terdapat kontak antar mereka. Metode cakap memiliki teknik
dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai
pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi
stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang
diharapkan oleh peneliti (Mahsun,2012).
Oleh karena itu peneliti menggunakan metode Cakap karena dalam
penelitian kali ini peneliti langsung bertatap semuka dengan pengguna bahasa
sebagai informan untuk menanyakan data yang ingin diperoleh peneliti dengan
pancingan atau stimulasi yang berkaitann dengan data penelitian.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam memancing data yang
diharapkan dari informan oleh seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap
semuka sebagai teknik bawahan.
a. Teknik Lanjutan Bawahan: Lesap
b. Teknik Lanjutan Bawahan: Ganti
c. Teknik Lanjutan Bawahan: Perluas
-
32
d. Teknik Lanjutan Bawahan: Sisip
e. Teknik Lanjutan Bawahan: Balik
Dari kelima tehnik di atas, pada penelitian ini, peneliti mengunakan salah
satu tehnik tersebut, yaitu tehnik lanjut bawahan; ganti. Teknik bawahan ganti
juga dimaksudkan sebagai salah satu teknik penyediaan data yang dilakukan
dengan cara memancingkan kreativitas informan dalam memunculkan data baru
berdasarkan data yang telah ada sebelumnya. Keberadaan data baru dimaksud
baik sebagai hasil penciptaan informan secara tidak sadar maupun karena
pancingan peneliti. Data baru sebagai data sandingan itu benar-benar bentuk
transformasi dari data sebelumnya dengan cara penggantian unsur yang menjadi
objek penelitian itu dalam deretan struktur dengan unsur lain. Hasilnya berupa
menjadi dasar aktivitas pada tahapan selanjutnya (tahapan analis data).
Dalam data yang akan dianalisis peneliti menyediakan data berupa data
yang berterima, kemudian diganti unsurnya. Apakah setelah data tersebut diganti
salah satu unsurnya tetap berterima atau menjadi data yang tidak berterima. Hal
inilah yang menyebabkan peneliti memilih tehnik tersebut. Sedangkan untuk
penyediaan data, peneliti juga memperoleh data dari informan yang mengerti
tentang kebahasaan.
3.2.3 Metode Introspeksi
Metode Introspeksi adalah metode penyediaan data dengan memanfaatkan
intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya untuk
menyediakan data yang diperlukan bagi analisis sesuai dengan tujuan
penelitiannya. Terdapat dua kategori data yang dikemukakan oleh Botha(1981)
-
33
dan Kibric (1977) yaitu data introspektif dan data informan. Data introspektif
adalah data yang berupa putusan linguistik yang berasal dari penutur asli yang
sudah terlatih secara linguistis. Penutur asli yang dimaksud tidak lain adalah
peneiti itu sendiri yang memiliki kompetensi linguistik bahasa sasaran sedangkan
data informan merupakan data yang berupa putusan linguistik dan diperoleh dari
penutur asli tidak terlatih (Mahsun, 2012).
Selain menngunakan metode simak dan cakap peneliti juga
menggunakan metode introspektif dalam penelitian ini karena bahasa yang diteliti
merupakan bahasa peneliti sendiri, yaitu bahasa Indonesia.
3.2.4 Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode yang digunakan untuk menemukan data-
data atau referensi yang relevan dan efekif. Studi pustaka dilakukan di
perpustakaan yang ada di sekitar daerah Mataram, baik yang berupa buku-buku
teori mapun hasil-hasil penelitian terdahulu yang berupa skripsi maupun tesis.
3.4 Metode Penganalisisan Data
Metode analisis data dalam penelitian bahasa secara sinkronis terdapat dua
metode utama yang digunakan dalam menganalisis data,yaitu metode padan
intralingual dan metode padan ekstralingual. Peneliti dalam menganalisis data
tidak menggunakan semua metode tersebut, tetapi hanya menggunakan metode
padan intralingual saja.Karena metode ini sesuai data yang ada serta sesuai
dengan tujuan dari penelitian ini.
-
34
3.4.1 Metode Padan Intra Lingual
Padan merupakan kata yang bersinonim denga kata banding dan sesuatu
yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan
disini diartikan sebagai hal menghubungbandingkan. Sedangkan Intralingual
mengacu pada makna unsur-unsur yang berada dalam bahasa yang dibedakan
dengan unsur yang berada diluar bahasa(extra lingual). Jadi metode Padan Intra
Lingual adalah metode analisi data dengan cara menghubungbandingkan unsur-
unsur yang bersifat lingual,baik terdapat dalam satu bahasa maupun dalam
beberapa bahasa yang berbeda.Dalam metode ini,analisis data hanya
dimungkinkan jika data akan dihubungbandingkan telah tersedia.
3.5 Metode Penyajian Data
Menurut Sudaryanto,1993b (dalam Mahsun,2012) mengemukakan hasil
analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan dengan dua cara,yaitu
perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa termasuk penggunaan
terminologi yang bersifat teknis, dan perumusan menggunakan tanda-tanda atau
lambang-lambang.
Dalam penelitian ini, penyajian data menggunakan kedua cara tersebut
yang tergabung dalam tehnik hasil penjabaran metode penyajian (sudaryanto.
1993 dalam Muhammad.2011). Tehnik tersebut merupakan tehnik penyajian
menggunakan kata-kata serta menggunakan tanda-tanda atau lambing-lambang.
Adapun beberapa tanda atau lambang yang digunakan antara lain:
1. Tanda petik dua (’…’) menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya
merupakan makna dari suatu bentuk.
-
35
2. Tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk
lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.
3. Kurung Biasa (( )) digunakan untuk menyatakan bahwa formatik
yang berada didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang
berbeda didalamnya.
4. Kurung Kurawal ({}) untuk menyatakan bahwa beberapa satuan
lingual yang ada didalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan
perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama satuan-satuan
lain yang ada didepan atau dibelakangnya.Biasanya digunakan
dalam bidang morfologi untuk menandai satuan yang didalamnya
adalah morfem.
5. Tanda kurung siku ([]) menunjukkan satuan didalamnya adalah
satuan fonetis dan biasanya digunakan dalm bidang fonologi untuk
melambangkan bunyi tertentu yang tidak berstatus fonem.
6. Tanda garis miring (//) digunakan untuk menunjukkan satuan
didalamnya adalah fonem.
7. Tanda panah (→) digunakan untuk menyatakan hasil dari proses
kebahasaan.
-
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dimaksudkan dalam bab ini adalah sejumlah temuan
penelitian yang berwujud kendala-kendala morfofonemik dalam level afiksasi.
Hasil penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : 1) Proses
Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia, dan 2) Kendala-Kendala
Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia.
4.1. Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia
Morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan
morfem-morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis berupa
perubahan, penambahan, dan penghilangan fonem. Adapun afiksasi merupakan
proses pengimbuhan yang terdiri atas beberapa proses yang berupa proses prefiks
(pelekatan morfem afiks di depan BD), infiksasi (pelekatan morfem afiks di
tengah BD), sufiksasi (pelekatan morfem afiks di akhir BD), dan konfiks
(pelekatan morfem afiks di awal dan di akhir BD).
4.1.1 Morfofonemik Level Prefiksasi
1. Perubahan Fonem pada Prefiksasi
1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {Məŋ-}
Morfem {məŋ-} memiliki morf-morfberupa {məŋ-}, {mə-}, {mən-},
{məm-}, {məñ-}, dan {məŋə-} yang secara keseluruhan morf-morf tersebut
disebut alomorf. Pada setiap pembentukan kata yang terjadi dari afiksasi akan
terjadi proses morfofonemik. Namun dari ke enam morf tersebut yang
-
37
mengalami perubahan fonem terjadi pada morf {mən-}, {məm-}, {məñ-}.
Berikut akan dipaparkan data mengenai perubahan fonem.
(1) {məŋ-} + [tari] → [mənari] ‘menari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’ {məŋ-} ‘mən-‘
(2) {məŋ-} + [pilIh] → [məmilIh] ‘memilih’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [pilIh] ‘pilih’ {məŋ-} ‘məm-‘
(3) {məŋ-} + [səntUh] → [məñəntUh] ‘menyentuh’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [səntUh] ‘sentuh’ {məŋ-} ‘məñ-‘
Proses morfofonemik berupa perubahan fonem terjadi pada data (1), (2),
(3). Pada data (1), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /tari/ yang
mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /n/
sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtari tetapi menjadi kata
menari. Pada data (2), morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /pilih/ yang
mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /m/
sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengpilih tetapi menjadi kata
memilih. Demikian juga dengan data (3), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan
dengan BD /sentuh/ yang mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-}
berubah menjadi fonem /ñ/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi
*mengsentuh tetapi membentuk kata menyentuh.
Selain tiga data di atas pada masyarakat muncul varian baru karena
kreativitas penutur yang menyebabkan penggunaan morfem afiks {məŋ-} tidak
begitu diperhatikn penggunaannya. Berikut akan dipaparkan data yang
-
38
merupakan varian baru yang digunakan masyarakat dalam pembentukan kata
yang mengalami perubahan fonem.
(4) {ŋ-} + [tanam] → [nanam] *nanam Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tanam] ‘tanam’ {n-} ‘mən’
(5) {ŋ-} + [pakai] → [makai] *makai
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [pakai] ‘pakai’ {m-} ‘məm’
(6) {ŋ-} + [sapu] → [ñapu] *nyapu
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sapu] ‘sapu’ { ñ-} ‘məñ-’
2) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}
Sama halnya dengan morfem afiks {məŋ-}, morfem {pəŋ-} juga
memiliki morf-morf berupa morf {pəŋ-}, {pən-}, {pə-}, {pəm}, {pəñ-}, dan
{pəŋə-}. Berdasarkan alomorf tersebut, morf yang mengalami perubahan
fonem yaitu morfem {pən-},{pəm}, {pəñ-}. Berikut akan dipaparkan data
dengan kaidah pembentukan kata yang mengalami perubahan fonem
(7) {pəŋ-} + [tari] → [pənari] ‘penari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’ {pəŋ-} ‘pən-‘
(8) {pəŋ-} + [bunUh] → [pəmbunUh] ‘pembunuh’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bunUh] ‘bunuh’ {pəŋ-} ‘pəm-‘
(9) {pəŋ-} + [sakIt] → [pəñakit] ‘penyakit’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sakIt] ‘sakit’ {pəŋ-} ‘pəñ-‘
-
39
Perubahan fonem terjadi pada data (7) ketika morfem {pəŋ-} dilekatkan
dengan BD /tari/ menghasilkan kata penari bukan *pengtari karena fonem /ŋ/
dari morfem {pəŋ-} berubah menjadi fonem /n/. sementara itu pada data (8)
perubahan fonem pada morfem {pəŋ-} berupa perubahan fonem /ŋ/ sehingga
kata yang terbentuk dari pelekatan morfem prefiks {pəŋ-} pada BD /bunuh/
adalah pembunuh. Perubahan fonem lainnya ditunjukkan pada data (9) ketika
morfem {pəŋ-} dilekatkan dengan BD /sakit/ yang menghasilkan kata
bentukan penyakit..
3) Perubahan fonem pada morfem Afiks {bər-}
Morfem afiks {bər-} memiliki morf-morf berupa morf {bəl-}, {bə-), dan
{bər-}. Morf-morf tersebut akan muncul ketika morfem {bər-} dilekatkan
dengan BD dalam proses pembentukan kata. Pada proses pembentukan kata
morfem afiks {bər-} akan berubah menjadi {bəl-} ketika dilekatkan dengan
BD. Berikut data morfem afiks {bər-}yang mengalami perubahan fonem.
(10) {bər-} +[ajar]→ [bəlajar] ‘belajar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ajar] ‘ajar’ {bər-} ‘bel-‘ Pada proses pembentukan kata dengan pelekatan morfem prefiks {bər-}
berupa perubahan dan penghilangan fonem. Perubahan fonem ditunjukkan
pada data (10) ketika morfem {bər-} dilekatkan dengan BD /ajar/. Pada proses
tersebut fonem /r/ pada morfem {bər-} berubah bentuk menjadi fonem /l/
sehingga pelakatan morfem {bər-} pada BD /ajar/ menghasilkan kata belajar
bukan kata *berajar.
-
40
2. Penambahan Fonem Pada Prefiksasi
1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}
Pada pembentukan kata dengan pelekatan morfem afiks {məŋ-} dengan
BD akan mengalami penambahan fonem /ŋ/ menjadi fonem /ŋə/ ketika BD
tersebut memiliki satu suku kata.
(11) {məŋ-} + [tes] → [məŋətes] ‘mengetes’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-’ (12) {məŋ-} + [pel] → [məŋəpel] ‘mengepel’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa: [tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-‘
Pada data (11) fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem
/ŋə/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtes tetapi membentuk
kata mengetes.Sama halnya dengan data (11), data (12) juga mengalami
peambahan fonem pada proses pembentukan kata dengan fonem /ŋ/ pada
morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem /ŋə/ sehingga kata yang terbentuk
bukan menjadi *mengpel tetapi membentuk kata mengepel.
2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}
Penambahan fonem pada morfem afiks {pəŋ-}terjadi ketika morfem afiks
{pəŋ-} dilekatkan dengan BD yang memiliki satu suku kata.
(13) {pəŋ-} + [cat] → [pəŋəcat] ‘pengecat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [cat] ‘cat’ {pəŋ-} ‘penge-‘
-
41
(14) {pəŋ-} + [tIk] → [pəŋətIk] ‘pengetik’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tIk] ‘tik’ {pəŋ-} ‘penge-‘
Sementara itu, penambahan fonem terjadi pada data (13) ketika morfem
afiks {pəŋ-} menghasilkan kata pengecat bukan *pengcat setelah dilekatkan
dengan BD /cat/. Pada data (14), morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan dengan BD
/tik/ membentuk kata pengetiki. Kedua data tersebut mengalami penambahan
fonem berupa penambahan fonem /ŋ/ pada morfem prefiks {pəŋ-} menjadi
fonem /ŋe/.
3. Penghilangan Fonem Pada Prefiksasi
1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}
(15) {məŋ-} + [rayu] → [mərayu] ‘merayu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [rayu] ‘rayu’ {məŋ-} ‘me-‘
Adapun proses morfofonemik berupa penghilangan fonem ditunjukkan
pada data (15). Proses morfofonemik pada data (b) dengan morfem {məŋ-}
dilekatkan dengan BD /rayu/. Pada pembentukan kata tersebut fonem {ŋ} dari
morfem afiks {məŋ-} akan mengalami penghilangan fonem sehing morfem afiks
{məŋ-} menjadi morf {mə-} sehingga kata yang dibentuk bukan kata
*mengrayu tetapi kata merayu.
2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}
(16) {pəŋ-} + [lari] → [pəlari] ‘pelari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lari] ‘lari’ {pəŋ-} ‘pe-‘
-
42
Penghilangan fonem pada morfem afiks {pəŋ-} berupa penghilangan
fonem /ŋ/ setelah morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan BD /lari/ sehingga
membentuk kata pelarisesuai dengan data (16). Morfem afiks {pəŋ-} setelah
dilekatkan dengan BD sehingga mengalami penghilangan fonem akan
membentuk kata yang berkategori nomina.
3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {bər-}
(17) {bər-} + [renaŋ] → [bərənaŋ] ‘berenang’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [renaŋ] ‘renang’ {bər-} ‘ber-‘
Penghilangan fonem pada morfem afiks {bər-} berupa penghilangan
fonem /r/ sehingga menjadi morf {bə-}. Penghilangan fonem terjadi pada data
(17) berupa penghilangan fonem /r/ pada morfem {ber-} setelah dilekatkan
dengan BD /renang/ sehingga membentuk kata berenang bukan *berrenang.
Selain mengalami perubahan, penambahan dan penghilangan fonem
morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} tidak mengalami proses
morfofonemik tersebut ketika dilekati dengan BD tertentu, seperti BD yang
berawalan vokal dilekatkan dengan morfem afiks {məŋ-},. Pada morfem afiks
{məŋ-}, morfem afiks tersebut akan menjadi morf {məŋ-}ketika dilekatkan
dengan BD yang berawalan vokal. Berikut akan dipaparkan data mengenai
pelekatan morfem afiks {məŋ-}dengan BD yang berawalan vokal.
(18) {məŋ-} + [antar] → [məŋantar] ‘mengantar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [antar] ‘antar’ {məŋ-} ‘meng-‘
-
43
(19) {məŋ-} + [elak] → [məŋelak] ‘mengelak’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [elak] ‘antar’ {məŋ-} ‘meng-‘ (20) {məŋ-} + [obrɔl] → [məŋɔbrɔl] ‘mengobrol’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [obrɔl] ‘obrol’ {məŋ-} ‘meng-‘ (21) {məŋ-} + [intIp] → [məŋintIp] ‘mengintip’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [intIp] ‘intip’ {məŋ-} ‘meng-‘ (22) {məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUrr] ‘mengukur’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ukUr] ‘ukur’ {məŋ-} ‘meng-‘
Demikian pula dengan morfem afiks {pəŋ-} tidak akan mengalami
perubahan, penambahan, ataupun penghilangan fonem ketika dilekatkan
dengan BD tertentu. Berikut dipaparkan data dengan proses pembentukan
kata.
(23) {pəŋ-} + [gaŋgu] → [pəŋgaŋgu] ‘penggangu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [gaŋgu] ‘ganggu’ {pəŋ-} ‘peng-‘ (24) {pəŋ-} + [garUk ]→ [pəŋgarUk] ‘penggaruk’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [garUk] ‘garuk’ {pəŋ-} ‘peng-‘
Adapun morfem afiks {bər-} tidak mengalami proses morfofonemik
ketika dilekatkan dengan BD tertentu baik yang berawalan vokal maupun
konsonan, seperti data berikut ini.
-
44
(25) {bər-} + [ayUn] → [bərayUn] ‘berayun’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ayUn] ‘ayun’ {bər-} ‘ber-‘ (26) {bər-} + [ibu] → [bəribu] ‘beribu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ibu] ‘ibu’ {bər-} ‘ber-‘ (27) {bər-} + [sahabat] → [bərsahabat] ‘bersahabat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sahabat] ‘sahabat’ {bər-} ‘ber-‘ (28) {bər-} + [təman] → [bərtəman] ‘berteman’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [təman] ‘teman’ {bər-} ‘ber-‘
Selain morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} terdapat morfem afiks
dalam prefiksasi BI berupa Morfem Afiks {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}.
Morfem {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-} tidaklah sama dengan tiga morfem
sebelumnya karena tidak memiliki morf-morf sehingga tidak terjadinya proses
morfofonemik. Namun dalam pembentukan kata keempat morfem-morfem ini
memiliki ciri-ciri tersendiri.
Morfem {tər-} dalam pembentukan kata pada BI meskipun tidak
mengalami proses morfofonemik, morfem {tər-} memiliki makna tersendiri
dalam pembentukan kata setelah dilekatkan dengan BD. Adapun makna yang
dimaksudkan ialah morfem {tər-} memiliki makna ketidaksengajaan, makna
perfektif, dan makna yang menyakatakan paling. Morfem {tər-} ketika memilki
makna ketidaksengajaa dapat dilihat pada kata terbawa, terdorong. Makna
perfektif (menggambarkan perbuatan yang selesai) yang berarti telah terjadi,
-
45
kata bentukan yang menyatakan makna perfektif seperti terbagi, tergolong.
Sedangkan morfem {ter-} yang menyatakan makna paling yaitu pada kata
tertinggi, terendah.
(29) {tər-} + [bawa] → [tərbawa] ‘terbawa’ (ketidaksegajaan) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bawa] ‘bawa’ {tər-} ‘ter-‘ (30) {tər-} + [bagi]→ [tərbagi] ‘terbagi’ (telah terjadi) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [bagi] ‘bagi’ {tər-} ‘ter-‘ (31) {tər-} + [tIŋgi] → [tər tIŋgi] ‘tertinggi’ (menyatakan paling) Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tIŋgi] ‘tinggi’ {tər-} ‘ter-‘ 4.1.2 Morfofonemik Level Infiksasi
Dalam penggunaan BI untuk berkomunikasi infiks tidak produktif karena
hanya kata-kata tertentu yang mampu dilekatkan dengan infiks. Selain tidak
produktif infiks juga tidak mengalami perubahan bentuk atau tidak mengalami
proses morfofonemik. Infiks dalam bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-
əm} yang berada di tengah bentuk dasar. Infiks hanya bisa disisipkan setelah
konsonan pertama pada BD, seperti :
(32) {-ər-} + [gigi] → [gərigi] ‘gerigi’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :
[gigi] ‘gigi’ {-ər-} ‘-er-’
(33) {-əl-} + [tUnjU?] → [təlUnjU?] ‘telunjuk’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tUnjU?] ‘telunjuk’
{-əl-} ‘-el-’
-
46
(34) {-əm} + [gurUh] → [gəmurUh] ‘gemuruh’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :
[gurUh] ‘guruh’ {-əm-} ‘-em-’
Bandingkan data di atas dengan data berikut :
(35) {-ər-} + [gigi] → [giərgi] *giergi (36) {-əl-} + [tUnjU?] → [tUəlnjU?] *tuelnjuk
(37) {-əm} + [gurUh] → [guəmrUh] *guemruh
Berdasarkan perbandingan kata di atas yang terbentuk melalui proses
pembentukan kata berupa penyisipan morfem afiks pada BD hanya diperbolehkan
menyela konsonan pertama dari bentuk dasar, seperti BD /gigi/ disisipi oleh
morfem afiks {-ər-} yang menyela konsonan /g/ yang merupakan konsonan
pertama pada BD sehinnga membentuk kata gerigi. Namun jika morfem afiks {-
ər-}, {-əl-}, {-əm} menyela rangkaian konsonan-vokal yang pertama akan
meghasilkan kata bentukan yang tidak berterima, seprti pada data (35), (36), (37).
4.1.3 Morfofonemik Level Sufiksasi
Sufiksasi yaitu pelekatan morfem afiks pada akhir BD. Sufiks dalam
Proses pembentukan kata BI memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-
an}. Dari ketiga morfem tersebut tidak ada yang mengalami perubahan,
penambahan dan penghilangan bentuk atau terjadi morfofonemik ketika
dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata.
(38) {-kan} + [lulUh] → [lulUhkan] ‘luluhkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :
[lulUh] ‘luluh’ {-kan} ‘-kan’
(39) {-i} + [jalan] → [jalani] ‘jalani’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [jalan] ‘jalan’
{-i} ‘-i’
-
47
(40) {-an} + [awal] → [awalan] ‘awalan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :
[awal] ‘awal’ {-an} ‘-an’
4.1.4 Morfofonemik Level Konfiksasi
Konfiks merupakan pembubuhan pada kata dasar yang dilakukan dengan
bersamaan pada awal dan akhir kata dasar. Terdapat beberapa konfiks dalam BI
yang mampu membentuk kategori baru pada kata dasar yang telah dibubuhi oleh
konfiks tersebut. Adapun konfiks-konfiks tersebut adalah {məŋ-kan}, {məŋ-i},
{kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. Pada pembubuhan konfiks ini terjadi
terjadinya proses morfofonemik.
1. Perubahan Fonem pada Konfiksasi
1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}
Pada morfem afiks {məŋ-kan} mengalami perubahan fonem ketika
dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən-
kan}, {məm-kan}, {məñ-kan}.
(41) {məŋ-kan} + [taña] → [mənañakan]‘menanyakan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [taña] ‘tanya’ {məŋ-kan} ‘men-kan’
(42) {məŋ-kan} + [bayaŋ] → [məmbayaŋkan]‘membayangkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [bayaŋ] ‘bayang’ {məŋ-kan} ‘mem-kan’
(43) {məŋ-kan} + [salah] → [məñalahkan]‘menyalahkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa : [salah] ‘salah’ {məŋ-kan} ‘meny-kan’
-
48
2) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}
Pada morfem afiks {məŋ-i} mengalami perubahan fonem ketika
dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən-
i}, {məm-i}, {məñ-i}.
(44) {məŋ-i} + [təman] → [mənəmani]‘menemani’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [təman] ‘teman’ {məŋ-i} ‘men-i’
(45) {məŋ-i} + [paham] → [məmahami]‘memahami’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [paham] ‘paham’ {məŋ-i} ‘mem-i’
(46) {məŋ-i} + [sakIt] → [məñakiti]‘menyakiti’
Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [sakIt] ‘sakit’ {məŋ-i} ‘meny-i’
3) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}
Pada morfem afiks {pəŋ-an} mengalami perubahan fonem ketika
dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {pən-
an}, {pəm-an}, {pəñ-an}.
(47) {pəŋ-an} + [taŋkap] → [mənaŋkapan] ‘penangkapan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [taŋkap] ‘tangkap’ {pəŋ-an} ‘pen-an’
(48) {pəŋ-an} + [bunUh] → [pəmbunuhan] ‘pembunuhan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [bunUh] ‘bunuh’ {pəŋ-an} ‘pem-an’
(49) {pəŋ-an} + [satu] → [pəñatuan]‘penyatuan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa [satu] ‘satu’ {pəŋ-an} ‘peny-an’
-
49
2. Penambahan Fonem pada Konfiksasi
1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}
Penambahan fonem pada morfem afiks {məŋ-kan} terjadi pada proses
pembentukan kata ketika dilekatkan dengan BD akan terjadi penambahan fonem
berupa fonem /e/ sehingga morfem afiks tersebut membentuk morf menjadi
{məŋə-kan}.
(50) {məŋ-kan} + [dəpan] → [məŋədəpankan] ‘mengedepankan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’
2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}
Proses morfofonemik juga terjadi pada morfem afiks {məŋ-i} berupa
penambahan fonem. Penambahan fonem ini terjadi pada proses pembentukan
kata ketika morfem afiks {məŋ-i} dilekatkan dengan BD. Penambahan fonem
tersebut yaitu berupa penambahan fonem /e/ pada morfem afiks {məŋ-i}
sehingga menjadi morf {məŋə-i}.
(51) {məŋ-i} + [tahu] → [məŋətahui]‘mengetahui’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’
3) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}
Proses morfofonemik dapat terjadi pada konfiksasi seperti pada morfem
afiks {pəŋ-an} yang mengalami penambahan fonem dalam proses pembentukan
kata berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {pəŋə-an}.
(52) {pəŋ-an} + [tes] → [məŋətesan] ‘pengetesan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tes] ‘tes’ {pəŋ-an} ‘penge-kan’
-
50
3. Penghilangan Fonem pada Konfiksasi
1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}
Selain mengalami perubahan dan penambahan fonem morfem afiks
{məŋ-kan} juga mengalami penghiilangan fonem pada proses pembentukan
kata. Penghilangan fonem tersebut berupa penghilangan fonem /ŋ/ sehingga
morfem afiks {məŋ-kan} akan menjadi morf {mə-kan}.
(53) {məŋ-kan} +[rəbUt] →[mərəbUtkan]‘merebutkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [rəbUt] ‘rebut’ {məŋ-kan} ‘me-kan’
2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}
Demikian pula morfem afiks {məŋ-i} yang mengalami penghilangan
fonem /ŋ/ setelah dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata.
Penghilangan fonem tersebut menyebabkan morfem afiks {məŋ-i} mempunyai
morf {mə-i}.
(54) {məŋ-i} + [lewat] → [məlewati] ‘melewati’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lewat] ‘lewat’ {məŋ-i} ‘me-i’
3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}
Morfem afiks {pəŋ-an} selain mengalami proses morfofonemik berupa