Kendala Dan Prospek Pengembangan Jagung

6
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9 183 KENDALA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN Faesal dan Syuryawati Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Lahan sawah tadah hujan di pantai barat (Pangkep, Barru) dan wilayah tengah atau peralihan (Sidrap) Sulawesi Selatan mempunyai potensi cukup luas untuk pengembangan jagung. Selama ini hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero. Lahan sawah tadah hujan di wilayah pantai barat Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki air tanah dangkal, sedangkan pada wilayah peralihan (Sidrap) meskipun air tanahnya agak dalam tetapi masih dapat dinaikkan ke permukaan menggunakan pompa air sehingga peluang menanam jagung setelah padi di dua wilayah ini masih sangat memungkinkan dengan memanfaatkan air tanah yang dipompa ke permukaan. Kendala utama yang dihadapi petani jagung di lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air terbatas, teknologi budidaya jagung belum diterapkan secara baik dan benar, modal yang terbatas, dan tidak ada jaminan pasar. Pelaksanaan penerapan pengelolaan tanaman terpadu yang dilakukan diarahkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi petani dalan pengembangan jagung. Penelitian di Pangkep, Barru, dan Sidrap memberikan hasil yang cukup baik pada jagung varietas Lamuru. Hasil yang dicapai pada MK 2006 di daerah Pangkep adalah: 6,42 t/ha dengan R/C ratio 3,28; Barru 4,50 t/ha dengan R/C ratio 1,87; dan di Sidrap 4,09 t/ha dengan R/C ratio 2,26. Kata kunci: Kendala, Peluang, Produksi, Sawah Tadah Hujan, Jagung PENDAHULUAN Jagung merupakan tanaman pangan penting kedua setelah padi mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Jagung merupakan pangan penyumbang terbesar kedua terhadap produk domestik bruto (PDRB) setelah padi (Zubachtirodin et al. 2007). Tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan. Mink et al. (1987) menjelaskan sekitar 79% jagung ditanam pada lahan kering, 11% terdapat pada lahan sawah irigasi dan 10% di lahan sawah tadah hujan. Estimasi Kasryno (2002) melaporkan bahwa pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat masing-masing 10-15% dan 20-30%. Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha yang tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Luas sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan 256.513 ha (BPS 2008) atau 40% dari luas total sawah (648.559 ha). Sawah tadah hujan sebenarnya dapat dijadikan lumbung padi ke-2 setelah sawah irigasi akan tetapi produktivitas hasil yang dicapai pada lahan tersebut masih rendah sekitar 3-3,5 t/ha, dan pada umumnya hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero. Sawah tadah hujan ke depan menjadi alternatif pengembangan tanaman pangan karena permintaan pangan meningkat akibat jumlah penduduk terus bertambah. Berkaitan hal ini, perluasan areal tanam, peningkatan IP (indeks panen), dan penggunaan varietas jagung unggul perlu lebih digalakkan untuk mempercepat swasembada dan menyeimbangkan jumlah permintaan dan penawaran (Sarasutha 2002).

description

Kendala Dan Prospek Pengembangan Jagung

Transcript of Kendala Dan Prospek Pengembangan Jagung

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    183

    KENDALA DAN PROSPEK PENGEMBANGAN JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN

    Faesal dan Syuryawati

    Balai Penelitian Tanaman Serealia

    Abstrak. Lahan sawah tadah hujan di pantai barat (Pangkep, Barru) dan wilayah tengah atau peralihan (Sidrap) Sulawesi Selatan mempunyai potensi cukup luas untuk pengembangan jagung. Selama ini hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero. Lahan sawah tadah hujan di wilayah pantai barat Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki air tanah dangkal, sedangkan pada wilayah peralihan (Sidrap) meskipun air tanahnya agak dalam tetapi masih dapat dinaikkan ke permukaan menggunakan pompa air sehingga peluang menanam jagung setelah padi di dua wilayah ini masih sangat memungkinkan dengan memanfaatkan air tanah yang dipompa ke permukaan. Kendala utama yang dihadapi petani jagung di lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air terbatas, teknologi budidaya jagung belum diterapkan secara baik dan benar, modal yang terbatas, dan tidak ada jaminan pasar. Pelaksanaan penerapan pengelolaan tanaman terpadu yang dilakukan diarahkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi petani dalan pengembangan jagung. Penelitian di Pangkep, Barru, dan Sidrap memberikan hasil yang cukup baik pada jagung varietas Lamuru. Hasil yang dicapai pada MK 2006 di daerah Pangkep adalah: 6,42 t/ha dengan R/C ratio 3,28; Barru 4,50 t/ha dengan R/C ratio 1,87; dan di Sidrap 4,09 t/ha dengan R/C ratio 2,26.

    Kata kunci: Kendala, Peluang, Produksi, Sawah Tadah Hujan, Jagung

    PENDAHULUAN

    Jagung merupakan tanaman pangan penting kedua setelah padi mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Jagung merupakan pangan penyumbang terbesar kedua terhadap produk domestik bruto (PDRB) setelah padi (Zubachtirodin et al. 2007).

    Tanaman jagung mempunyai adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan. Mink et al. (1987) menjelaskan sekitar 79% jagung ditanam pada lahan kering, 11% terdapat pada lahan sawah irigasi dan 10% di lahan sawah tadah hujan. Estimasi Kasryno (2002) melaporkan bahwa pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat masing-masing 10-15% dan 20-30%.

    Potensi sawah tadah hujan di Indonesia cukup besar yaitu 2,1 juta ha yang tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (Balitsereal 2002). Luas sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan 256.513 ha (BPS 2008) atau 40% dari luas total sawah (648.559 ha). Sawah tadah hujan sebenarnya dapat dijadikan lumbung padi ke-2 setelah sawah irigasi akan tetapi produktivitas hasil yang dicapai pada lahan tersebut masih rendah sekitar 3-3,5 t/ha, dan pada umumnya hanya ditanami padi satu kali dalam satu tahun kemudian dibiarkan bero.

    Sawah tadah hujan ke depan menjadi alternatif pengembangan tanaman pangan karena permintaan pangan meningkat akibat jumlah penduduk terus bertambah. Berkaitan hal ini, perluasan areal tanam, peningkatan IP (indeks panen), dan penggunaan varietas jagung unggul perlu lebih digalakkan untuk mempercepat swasembada dan menyeimbangkan jumlah permintaan dan penawaran (Sarasutha 2002).

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    184

    Menurut Swain et al. (2005) dijelaskan bahwa kendala umum yang dihadapi dalam berusahatani pada lahan sawah tadah hujan di Asia adalah iklim, lahan tidak subur, dan kurangnya varietas yang dapat beradaptasi dengan ekosistem tersebut. Hal yang sama dihadapi petani dalam pengelolaan usahataninya yaitu (a) penguasaan teknlogi produksi jagung masih minim, (b) keterbatasan air pengairan, (c) keterbatasan modal, (d) pemilikan lahan yang sempit, dan (e) tidak ada jaminan pasar produk yang dihasilkan. Sebenarnya lahan sawah tadah hujan produktivitasnya dapat ditingkatkan dengan menanam jagung atau palawija lain setelah padi dipanen pada musim kemarau. Dengan memanfaatkan air tanah menggunakan pompa atau sumber air lain seperti air sumur gali/bor, air sungai, dan mata air, karena jagung memerlukan air terutama pada fase pertumbuhan awal dan saat berbunga (Heasey dan Edmeades 1999).

    Jagung dapat dikembangkan pada lingkungan fisik, sosial ekonomi yang sangat beragam karena jagung dapat ditanam pada lahan kering, sawah, lebak dan pasang surut dengan berbagai jenis tanah (Zubachtirodin et al. 2007). Untuk memacu pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan, maka pada MT 2006 dilaksanakan sosialisasi penanaman jagung bersari bebas varietas Lamuru. Penelitian terkait dengan pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan dilakukan di Kabupaten Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Barru, dan Sidrap (Sidenreng Rappang) dan memberikan hasil yang cukup baik bagi petani. Penerapan teknologi budidaya jagung melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang diterapkan secara utuh sangat prospektif dikembangkan untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada lahan sawah tadah hujan.

    Hasil-Hasil Penelitian

    Pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan sangat strategis karena umumnya lahan tersebut tidak dimanfaatkan setelah padi MT I dan tidak cukup air untuk menanam padi MT II, sehingga terdapat peluang menanam jagung karena kebutuhan airnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan padi yang diairi sampai tergenang. Selain itu prospek pasar jagung di musim kemarau cukup baik karena jumlah produksi berkurang dan biji jagung yang dihasilkan kualitasnya lebih baik sehingga harganya menjadi lebih tinggi (Badan Litbang Pertanian 2007).

    Efisiensi pemanfaatan air di lahan sawah tadah hujan dapat dilakukan dengan menanam jagung segera setelah panen padi, apabila dipetakan sawah masih tergenang, perlu dibuat saluran drainase unruk mengeluarkan airnya. Apabila menanam jagung setelah padi dipanen pada lahan sawah tadah hujan dipercepat maka dapat dimanfaatkan sisa kelembaban tanah dari tanaman padi dan mengurangi frekuensi mengairi di musim kemarau ( Faesal dan Zubactirodin 2005).

    Pada musim tanam II (MK 2006), lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Barru, dan Sidrap diterapkan pendekatan PTT jagung. Hasil biji pipilan kering jagung yang diperoleh petani di Kab. Pangkep rata-rata 6,42 t/ha dengan nilai sebesar Rp. 10.914.000,- di Barru 4,50 t/ha dengan nilai Rp. 7.200.000, dan di Sidrap 4,09 t/ha dengan nilai Rp. 6.537.600,- (Tabel 1). Hasil biji yang diperoleh masih lebih rendah dari potensi hasil varietas Lamuru yaitu 7,6 t/ha (Syuryawati et al. 2007). Rendahnya hasil yang diperoleh terutama disebabkan karena penerapan teknologi budidaya jagung di lahan sawah tadah hujan belum optimal.

    Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh petani mencapai Rp. 7.571.000/ha dengan R/C ratio 3,28 di Kab. Pangkep, sedangkan di Kab. Barru dan Sidrap masing--masing memperoleh pendapatan sebesar Rp. 4.691.300/ha dengan R/C ratio 1,87 dan Rp. 3.646.000,-/ha dengan R/C ratio 2,26. Dengan melihat

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    185

    penerimaan yang diperoleh petani di tiga lokasi pengembangan cukup menguntungkan, maka memungkinkan untuk menanam jagung lebih luas di lahan sawah tadah hujan pada musim kemarau.

    Kabupaten Sidrap (Desa Massepe) sudah ada paket bantuan sumur bor dilengkapi dengan pompa dari pemerintah daerah untuk menunjang pengembangan usahatani jagung di lahan sawah tadah hujan. Pinjaman lunak ini dibayar petani setelah panen dalam jangka waktu lima tahun (Diperta Kab. Sidrap 2005).

    Penerimaan petani di Kabupaten Barru dan Sidrap lebih rendah jika dibandingkan dengan petani di Kab. Pangkep, hal ini disebabkan terutama karena teknologi budidaya jagung di lahan sawah belum sepenuhnya diketahui dan diterapkan oleh petani, seperti pemupukan dan penyiangan terlambat, serta mengairi pertanaman jagung tidak teratur. Kondisi ini terjadi karena pada umumnya petani mempunyai pekerjaan sampingan antara lain tukang ojek, pandai besi, dan peternak ayam, sehingga alokasi waktu untuk mengelola pertanaman jagungnya masih terbatas. Zakaria dan Swastika (2005) menjelaskan bahwa secara garis besar terdapat 4 (empat) faktor penyebab kemiskinan bagi petani yaitu (1) tingkat keterampilan sumberdaya manusia masih rendah, (2) keterisolasian wilayah, (3) pengenalan dan penerapan teknologi pertanian masih terbatas, dan (4) ketersediaan pasar input dan output.

    Menurut Sumarno dalam Rusastra et al. (2006) dijelaskan bahwa sebenarnya pendapatan petani dari hasil palawija dapat ditingkatkan melalui lima pendekatan, yaitu : (1) menambah kuantitas hasil panen; (2) menaikkan kualitas produk; (3) perencanaan musim panen yang tepat; (4) pembentukan asosiasi produsen untuk meningkatkan posisi tawar; dan (5) pemilihan jenis palawija yang bernilai ekonomis tinggi dan mudah pemasarannya.

    Tabel 1. Analisis usahatani jagung per ha varietas Lamuru pada lahan sawah tadah hujan pada tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, 2006.

    Uraian Kab. Pangkep Kab. Barru Kab. Sidrap

    Fisik (kg) Nilai (Rp)

    Fisik (kg) Nilai (Rp)

    Fisik (kg) Nilai (Rp)

    Produksi 6.420 10.914.000 4.500 7.200.000 4.086 6.537.600Biaya sarana produksi

    1.962.000 1.479.000 1.665.000

    Biaya tenaga kerja 1.381.000 1.029.700 1.226.300Total biaya 3.343.000 2.508.700 2.891.300Pendapatan 7.571.000 4.693.300 3.646.300R/C Ratio 3,28 1,87 2,26 Harga jagung biji saat panen Rp.1.700/kg (Pangkep), Rp. 1.600/kg (Barru dan Sidrap) Sumber: Balitsereal 2007

    Kendala Pengembangan Jagung di Sawah Tadah Hujan

    Kendala utama yang dihadapi petani untuk pengembangan jagung di lahan sawah secara umum adalah kelebihan air pada saat menanam segera setelah padi dipanen dan kekeringan pada fase generatif terutama pada saat pengisian biji. Selain itu masalah lain yang dihadapi petani dalam pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan yaitu:

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    186

    Waktu tanam yang tidak tepat sehingga sering dilanda banjir tahunan pada puncak hujan II (Mei Juni) setiap tahun

    Penanaman jagung lebih awal di lahan sawah tanah masih jenuh air/tergenang Tanaman jagung mulai kekerimgan pada saat memasuki fase generatif Sumber air terbatas untuk mengairi tanaman jagung di musim kemarau, karena curah

    hujan sudah menurun (Gambar 1) Petani belum menguasai teknologi budidaya jagung di lahan sawah karena

    kebiasaan mereka menanam jagung di tegalan pada musim hujan Petani mempunyai kebiasaan hanya menanam padi satu kali pada sawah tadah hujan

    kemudian dibiarkan bero Hewan ternak yang dilepas dapat menjadi hama bagi tanaman jagung di musim

    kemarau karena makanan berupa rumput di sawah sudah mongering Tidak ada jaminan pasar setelah panen dan petani belum menguasai cara

    prosessing, sehingga mereka menjual hasil dalam bentuk tongkol.

    Gambar 1. Kondisi curah hujan pada ketiga lokasi penelitian yang cukup rendah pada musim kemarau, 2006

    Berdasarkan masalah tersebut, mendorong petani memilih tanaman jagung setelah

    padi di lahan sawah dengan pertimbangan antara lain yaitu: 1) kebutuhan air relatif lebih sedikit dibandingkan dengan palawija lainnya, 2) jagung relatif lebih tahan kekeringan dan tingkat produktivitas tinggi (5 7 t/ha), serta 3) hama dan penyakit relatif lebih rendah dibanding palawija lainnya.

    Peluang Pengembangan Jagung di Sawah Tadah Hujan

    Daerah penanaman jagung di Sulawesi Selatan yang sudah mulai berkembang seperti di Kecamatan Kulo Kab. Sidrap dan Kecamatan Sinjai Timur Kab. Sinjai sudah menanam jagung hibrida namun teknologi budidaya terutama pemupukan masih perlu diperbaiki (Balitsereal 2007). Menanam jagung di lahan sawah setelah padi dilakukan dengan persiapan lahan dibuat semurah mungkin yaitu tanpa olah tanah (TOT) atau olah tanah minimum (OTM). Jerami dibabat dan/atau disemprot dengan herbisida Glifosat sebanyak 1,5 2,0 l/ha tergantung banyaknya rumput pada petak sawah. Sambil menunggu kelembaban tanah turun hingga mencapai sekitar kapasitas lapang dan rumput

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    700

    Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

    Mandalle

    Ajakkang

    Mario

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    187

    sudah mati 4 5 hari kemudian ditanam benih jagung varietas unggul yang memiliki daya tumbuh > 90%. Penelitian pendekatan PTT jagung yang telah dilaksanakan pada MK 2006 menunjukkan bahwa hasil biji jagung rata-rata pipilan kering yang diperoleh petani di Kab. Pangkep, Barru, dan Sidrap masing-masing 6,42 t; 4,50 t; dan 4,09 t/ha. Penerimaan petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di Kab. Pangkep sebesar Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh sebanyak Rp. 4.693.300,- dan petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300,- (Tabel 1).

    Dengan demikian, maka pendapatan petani bertambah dan hal ini sangat menguntungkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang lahannya tidak ditanami atau dibiarakan bero pada musim kemarau. Peningkatan pendapatan yang diperoleh petani mempunyai dampak menghilangkan keraguan mereka untuk menanam jagung di sawah setelah padi pada musim kemarau tahun berikutnya. Hal ini memberi indikasi bahwa usahatani jagung pada sawah tadah hujan setelah padi di wilayah ini sangat prospektif dikembangkan pada areal yang lebih luas.

    Kelebihan air pada saat tanam dapat diatasi dengan pembuatan saluran drainase yang dapat berfungsi ganda yaitu mengeluarkan air dari petakan sawah pada musim hujan dan menjadi saluran pembagi air di musim kemarau.

    Pada tanah berat dengan tekstur liat biasanya berdrainase lambat maka pada lahan sawah seperti ini penanaman jagung dapat dilakukan lebih cepat dengan cara ditugal bertingkat, tugal yang pertama dibuat lebih dalam untuk penampung air dan tugal yang kedua agak ke samping atas lubang pertama untuk tempat benih sehingga benih yang ditanam terhindar dari genangan air yang dapat menyebabkan benih tidak tumbuh karena busuk. Pada lahan sawah bertekstur ringan yang sering tergenang pada saat akan menanam, sebaiknya dibuat guludan agar benih yang ditanam terhindar dari genangan air pada saat perkecambahan dan selanjutnya benih berkembang seiring menurunnya permukaan air secara perlahan.

    Pemanfaatan air tanah dangkal atau kedalaman muka air (4 m 5 m) yang dipompa naik permukaan kemudian didistribusi ke seluruh petak sawah melalui saluran atau pipa paralon, ketika hujan sudah tidak ada dan sawah sudah mulai mengering upaya ini merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau. Kekurangan air pada musim kemarau dapat pula diatasi dengan membuat sumur gali, memompa air dari kolam atau air sungai. Selain itu, dapat pula dibuat bendungan sederhana (embung) sebagai penampung air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi pertanaman jagung pada musim kemarau.

    Lahan sawah tadah hujan dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menanam lebih dari satu kali dalam setahun. Menanam jagung setelah padi pada lahan sawah tadah hujan dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia menguntungkan bagi petani jagung di Kabupaten Pangkap, Barru, dan Sidrap Sulawesi Selatan.

    KESIMPULAN

    Kendala fisik utama pengembangan jagung di lahan sawah tadah hujan adalah kegenangan air pada akhir musim hujan setelah panen padi dan kekeringan di musim kemarau terutama pada saat pengisian biji.

    Kendala utama ini dapat diatasi melalui pembuatan saluran drainase untuk membuang kebihan air di musim hujan dan dimanfaatkan untuk mengairi pertanaman di musim kemarau dengan memompa air tanah naik ke permukaan, sehingga produktivitas lahan sawah tadah hujan yang hanya mengandalkan air hujan untuk pengairannya dapat ditingkatkan

  • Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9

    188

    Penerimaan yang diperoleh petani per ha cukup menguntungkan, untuk petani di Kab. Pangkep sebesar Rp. 7.571.000,- sedangkan petani di Kab. Barru diperoleh sebanyak Rp. 4.693.300,- dan petani di Kab. Sidrap sebesar Rp. 3.646.300,- dengan R/C ratio masing-masing 3,28, 1,87 dan 2,26.

    DAFTAR PUSTAKA

    Balitsereal. 2002. Inovasi Teknologi Jagung Menjawab Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Serealia.

    Balitsereal. 2007. Highlight. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2006.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 50 p.

    Badan Litbang Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 27 p.

    BPS. 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Indonesia. Diperta Kab. Sidrap. 2005. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten

    Sidrap Tahun 2004. Faesal dan Zubachtirodin. 2005. Teknologi pelarutan pupuk N, P, K pada tanaman jagung di lahan

    sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional. Pemasyarakatan Inovasi Teknologi dalam Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal. Mataram, 30 31 Agustus. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Libang Pertanian.

    Heasey, P.W. and G.O. Edmeades. 1999. Maize production in drought-stressed. In: Would Maize Fact and Trend 1997/1998. Cimmyt, Mexico.

    Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama empat dekade yang lalu dan implikasinya di Indonesia. Disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Bogor.

    Mink, S.D., P.A. Dorrosh and D.H. Pery. 1987. Corn production system. In: Timmer (eds.). The Corn Economy of Indonesia. p. 62-87.

    Rusastra, I. W., T. A. Napitupulu, M. O. A. Manikmas dan F. Kasim. 2006. Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija di Indonesia: Peranannya dalam Peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Prosiding Seminar Nasional. Bogor, 13 Juli 2006.

    Sarasutha, I.G.P. 2002. Kinerja usahatani dan pemasaran jagung di sentra produksi. Jurnal Litbang Pertanian, 21 (2). p. 39-47.

    Swain, D.K., S. Herath, A. Pathirane and B.N. Mittra. 2005. Rainfed lowland and flood prone rice: A critical review on ecology and management technology improving the productivity in Asia. Role of Water Sciences in Transboundary River Basin Management. Thailand.

    Syuryawati, C. Rapar dan Zubachtirodin. 2007. Deskripsi Varietas Unggul Jagung Edisi V. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman serealia. 115 p.

    Zakaria, A.K. dan D.K.S. Swastika. 2005. Keragaan usahatani petani miskin pada lahan kering dan sawah tadah hujan (Studi Kasus di Kab. Temanggung). Badan Litbang Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

    Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi. 2007. Wilayah produksi dan potensi pengembangan jagung. Dalam: Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Sumarno et al. (Editor). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.