Keliru dalam Jasa Fotografi

6
Keliru dalam Jasa Fotografi Oleh: Deni Sugandi Mengupas kembali bentuk usaha dalam jasa fotografi, setua dengan usia penciptaan fotografi itu sendiri. Komersialisasi dari para pelaku jasa fotografi merebak saat kamera dikenalkan pendatang Eropa abad ke-19 di Batavia (Indonsia). Secara bertahap dan perlahan kebutuhan dokumentasi meningkat, baik itu kebutuhan pas foto, dokumentasi acara hingga foto kenangan keluarga di studio pada saat itu. Dalam risalah Anneke Groeneveld 1 , awal kolonial fotografi dikuasai oleh turunan Eropa, dan etnis Tionghoa dan sebagian etnis Jepang, dan Arab. Para pelaku jasa fotografi keturunan Tionghoa saat itu memiliki kemampuan teknis pertukangan, mampu membuat kamera kayu dan pengetahuan teknis kimia dasar. Dalam perkembangan berikutnya, dibangunlah kerajaan bisnis fotografi yang diturunkan melalui jaringan dan lingkar keluarga besar yang diturunkan ke generasi selanjutnya, sebagai rahasia usaha. Beberapa studio hadir guna memenuhi kebutuhan dokumentasi, hingga laporan ilmiah yang selalu menyertakan foto menggantikan teknik litografi yang memiliki banyak kelemahan. Berjalanya seiring waktu, kemudian dikenalkan media bahan seloluid pada tahun 1888 oleh KODAK, kemudian disebarluaskan secara masal, dengan tajuk “you press the button, we do the rest” dan dikenal luas sebagai upaya fotografi milik siapa saja. Kemudian media film tradisional kemudian bergeser ke media rekam digital pada awal 2000- an. Namun jasa fotografi begitu-begitu saja. Bentuk sama saja, walaupun media perekaman kini lebih cepat, raingkas, mudah dan menyenangkan. Masif-nya industri kamera memproduksi teknologi terkini, tetapi kurang diimbangi oleh para pelaku jasa. Sehingga kekosongan “pemanfaatan” teknologi lebih dieksplorasi oleh para pehobi fotografi. Para pelaku sepertinya sibuk ke arah lain, diantaranya menentukan harga murah, persaingan yang mengikat pengembangan kreativitas, dan menjadi tumpul karena apriori. Kemudian ditambah oleh para pelaku yang “menyebrang” dari kuadran lain. Para pekerja sektor industri-jasa lain atau yang telah mapan dan memilik pekerjaan, kemudian membukan peluang jasa fotografi sebagai tambahan pemasukan. Hal tersebut semakin mempersempit ruang gerak para pelaku profesi fotografi, bersaing

description

Lika liku usaha fotografi di Indonesia, pelaku jasa dan pengguna jasa profesional fotografi.

Transcript of Keliru dalam Jasa Fotografi

Page 1: Keliru dalam Jasa Fotografi

Keliru dalam Jasa Fotografi

Oleh: Deni Sugandi

Mengupas kembali bentuk usaha dalam jasa fotografi, setua dengan usia penciptaan fotografi itu sendiri. Komersialisasi dari para pelaku jasa fotografi merebak saat kamera dikenalkan pendatang Eropa abad ke-19 di Batavia (Indonsia). Secara bertahap dan perlahan kebutuhan dokumentasi meningkat, baik itu kebutuhan pas foto, dokumentasi acara hingga foto kenangan keluarga di studio pada saat itu.

Dalam risalah Anneke Groeneveld1, awal kolonial fotografi dikuasai oleh turunan Eropa, dan etnis Tionghoa dan sebagian etnis Jepang, dan Arab. Para pelaku jasa fotografi keturunan Tionghoa saat itu memiliki kemampuan teknis pertukangan, mampu membuat kamera kayu dan pengetahuan teknis kimia dasar. Dalam perkembangan berikutnya, dibangunlah kerajaan bisnis fotografi yang diturunkan melalui jaringan dan lingkar keluarga besar yang diturunkan ke generasi selanjutnya, sebagai rahasia usaha. Beberapa studio hadir guna memenuhi kebutuhan dokumentasi, hingga laporan ilmiah yang selalu menyertakan foto menggantikan teknik litografi yang memiliki banyak kelemahan.

Berjalanya seiring waktu, kemudian dikenalkan media bahan seloluid pada tahun 1888 oleh KODAK, kemudian disebarluaskan secara masal, dengan tajuk “you press the button, we do the rest” dan dikenal luas sebagai upaya fotografi milik siapa saja. Kemudian media film tradisional kemudian bergeser ke media rekam digital pada awal 2000-an. Namun jasa fotografi begitu-begitu saja. Bentuk sama saja, walaupun media perekaman kini lebih cepat, raingkas, mudah dan menyenangkan.

Masif-nya industri kamera memproduksi teknologi terkini, tetapi kurang diimbangi oleh para pelaku jasa. Sehingga kekosongan “pemanfaatan” teknologi lebih dieksplorasi oleh para pehobi fotografi. Para pelaku sepertinya sibuk ke arah lain, diantaranya menentukan harga murah, persaingan yang mengikat pengembangan kreativitas, dan menjadi tumpul karena apriori. Kemudian ditambah oleh para pelaku yang “menyebrang” dari kuadran lain. Para pekerja sektor industri-jasa lain atau yang telah mapan dan memilik pekerjaan, kemudian membukan peluang jasa fotografi sebagai tambahan pemasukan. Hal tersebut semakin mempersempit ruang gerak para pelaku profesi fotografi, bersaing dengan pelaku yang sepenuhnya dibiayai dari pekerjaan lain di luar jasa fotografi.

Dalam bisnis fotografi, antara dulu dan sekarang tidak lagi penting diperkarakan. Namun jauh lebih menarik adalah bagaimana mendudukan pemanfaatan teknologi yang kini semakin ringkas, dan cepat guna melayani jasa fotografi. Apakah sudah tercapai? Bagaimana pasar bisa menerimanya? Dalam hal ini, tulisan yang diturunkan akan membatasi pada jasa pelaku fotografi, bukan di sektor pemilik perusahaan cetak, lab foto, atau produsen fotografi.

Nilai Pelaku Jasa FotografiHingga kini sulitlah mendeteksi berapa nilai pemasukan dalam jasa fotografi. Karena para pelaku kurang perhatian dengan penyetoran pajak negara, sehingga

Page 2: Keliru dalam Jasa Fotografi

data penentuan pemasukan negara hanya bisa dihitung melalui angket. Dalam survey subyektif melaui wawancara, rata-rata nilai jasa fotografi perkawinan adalah antara 20-30 persen jumlah biaya pernikahan secara keseluruhan. Nilai yang diterima di kota besar, antara 15 hingga 30 juta, sedangkan di daerah dalam ruang lingkup wilayah lebih kecil, antara 7-15 juta dalam bentuk paket foto liputan dokumentasi. Biaya mencakup jasa fotografi, transportasi, jasa sewa perlengkapan kamera, biaya penyusutan, produksi dan delevery.

Dalam program Kementrian Parekraf memasukan fotografi sebagai 17 sub sektor industri kreatif yang dianggap mampu bertahan setelah badai krisis moneter 19982. Usahanya adalah memetakan pelaku kreatif (jasa) fotografi, dengan jumlah pelaku 40.436 unit usaha se-Indonesia. Dalam survey tersebut sektor fotografi menempati rata-rata upah tenaga kerja terendah dibandingkan sektor kreatif lainya, menempati kurang lebih Rp. 1.997.187. rata-rata upah minimum provinsi. Sedangkan nilai terbesar adalah di sektor kreatif untuk bidang jasa arsiktektur, menempati nilai Rp. 5.331.833. Jasa fotografi menempati urutan ke-7 dari distribusi tenaga kerja ekraf dari 17 sub sektor lainya. Dengan demikian jumlah pelakuknya besar, namun nilai upahnya sangat rendah.

Bagaimana bisa harus bertahan dalam usaha ini? Sungguh ajaib, dan diluar nalar perhitungan di atas namun tetap saja jasa fotografi diminati. Dalam hal ini, melalui pengamatan dan wawancara, para pelaku jasa fotografi seringkali mendaptkan tambahan pemasukan, melalui cekat ulang, jasa penyimpanan data atau permintaan khusus. Namun sumber penghasilan tersebut tidak bisa terukur, karena sifatnya sementara saja.

Pasar Menentukan Jasa atau Sebaliknya?Trend selalu menjadi garda utama dalam pertempuran dan persaingan pasar. Siapa yang menciptakan trend? Siapa trendsetter-nya? Jasa fotografi perkawinan mengelola keuntungan dari jasa fotografi, biaya produksi dan cetak pembesaran. Namun kini perilaku konsumen sudah beralih dari cetak ke file digital alias tidak lagi membutuhkan album foto yang dikemas super ekslusif, kulit dan box. Hanya file saja, tanpa edit, kurang lebih begitu. Begitu juga dengan jasa dokumentasi atau kreatif studio dan periklanan. Konsumen saat ini bisa mengakses informasi;baik melalui tutorial grafis online, youtube, hingga seminar-workshop online. Artinya konsumen memiliki posisi yang lebih unggul.

Kosumen saat ini tidak perlu memiliki kamera, karena para penyedia sewa perlengkapan dan peralatan fotografi di negeri ini sedang mekar-mekaranya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi faktor penentu bahwa jasa fotografi kini dalam ancaman.

Lantas bila para pelaku sudah ditelanjangi demikian, apa yang bisa dijual oleh para pelaku jasa fotografi kini?.

Dalam sektor jasa fotografi, ada dua hal yaitu perkara teknis fotografi dan artistri (kemampuan kreativitas atau keterampilan seni). Untuk perihal teknis fotografi bisa diukur melallui asesmen sertifikasi. Selain bisa dipelajari, saat ini telah terstandarisasi melaui Standar Kompetensi Kerja Nasional yang disahkan oleh

Page 3: Keliru dalam Jasa Fotografi

Kementrian Tenaga Kerja, melalui mekanisme konvensi para pelaku, industri dan pendidikan. Sedangkan urusan artistri adalah jam terbang, yang didapat melalui intuisi, jam terbang dan visi.

Sikap artistri tersebut masih jarang dilakoni, karena seringkali industri fotografi di negeri ini mendorong pelaku jasa fotografi terampil dalam bidang teknis saja. Di Top Brand Index 2014, produsen kamera Canon masih menduduki peringkat pertama, pengguna kamera terbesar di Indonesia3. Ciri lain yang bisa dianggap sebagai barometer adalah diskusi di portal fotografi nasional, seperti di forum fotografi.net dan beberapa forum lainya. Pembahasan mengenai teknsi fotorafi sebagai menu utama, dibuktikan dengan adanya forum khsusus yang membahas teknis kamera.

Bagaimana mengedepankan kemampuan seni? yang dianggap sebagai faktor penentu “nilai jual” Tentunya perlu disusun melalui strategi komunikasi, mengedukasi pasar hingga mendisain ulang paket-paket jasa fotografi. Apakah menjadi haram bila mengkawinkan jasa fotografi dengan produk jasa lainya? Tidak juga. Seperti contoh, pemotretetan pre-weding dengan bonus kartu undangan, atau liputan dokumentasi acara gratis tiket terusan Dunia Fantasi. Bisa saja seperti itu, tidak ada ketentuan yang melarangnya, hanya saja dibuat lebih elegan, agar calon konsumen lebih dihargai.

Bersaing di Jalur KeliruBanyak sekali para pelaku yang menyesalkan menjual harga murah, dengan alasan sekedar bertahan hidup. Bersaing dari nilai nominal hingga bonus-bonus paket yang menggiurkan pengguna jasa (konsumen). Beberapa pelaku bersikap apriori atau tutup mata, bahkan ada yang menyatakan “perang harga” adalah strategi dagang. Masing-masing para pelaku jasa fotografi jatuh pada titik nadir, bahwa nilai penjualan jasa berada di titik terendah, akan sulit bangkit. Sebut saja beberapa paket pemotretan yang dibungkus dengan bonus jasa videografi gratis, atau pencetakan undangan gratis foto kawinan, dan seterusnya.

Persaingan tersebut adalah lingkaran setan yang terus dipupuk secara masif, semua orang turut serta tanpa sadar, baik yang bersikap masa bodoh atau yang ikut terlibat di dalamnya. Keterpurukan ini dipicu oleh kamera digital yang seakan-akan “murah” dalam biaya produksi. Sebaiknya para pelaku jasa fotografi, kembali ke jalan yang benar, berjalan dipersaingan kualitas bukan kuantiti.

Beriktunya adalah tentukan segmen pasar mana yang akan dituju. Pada awal membangun usaha jasa fotografi, para pelaku selalu terjebak dengan istilah “palugada” apa lu mau, gua bisa. Dengan demikian konsumen akan mendudukan pada posisi serendah-rendahnya, sedangkan para pelaku sellau ingin ditinggikan. Kalau sudah terpuruk di harga murah, tentunya akan sulit bangkit di nilai yang lebih tinggi, kecuali re-branding. Membuat segmen baru dengan branding yang berbeda.

Mengubah ParadigmaKeluarlah dari kotak!, begitu para praktisi kreatif, isntruktur motivator mendorong perubahan sudut pandang. Namun pemahamannya kurang tepat, karenan para jasa fotografi di negeri ini belumlah menentukan kotak yang mana. Bila ingin keluar kotak, tentunya harus tahu terlebih dahulu kotak apa yang mengungkung dirinya.

Page 4: Keliru dalam Jasa Fotografi

Memang serba terlambat, namun bukan berarti selesai. Optimisme selalu ada, melaui kesempatan yang sebenarnya bisa diciptakan sendiri. Ubahlah segera cara pandangan lama, seperti pandangan bahwa harga murah sama dengan konsumen banyak. Gimik (gimmick) atau usaha memikat tersebut tentunya sudah banyak dipraktekan. Itulah yang disebut lingkaran yang selalu mengikat persaingan ke arah yang kurang baik.

Kedepankanlah “citra baik” dalam sosial media, melalui testimoni konsumen. Komitmen dengan kualitas dan penyerahan proses produksi, dan yang terakhir adalah selalu mendengarkan keinginan konsumen.

Penulis adalah praktisi jasa fotografi.

Page 5: Keliru dalam Jasa Fotografi

Sumber Pustaka:

1 Toekang Potret. 100 jaar Fotografie in Nederlands Indië 1839 - 1939 – 1989, Anneke Groeneveld,1989

2 Badan Ekonomi Kreatif kembali bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 lalu dalam melakukan penyusunan database statistik Ekonomi Kreatif yang memuat informasi seputar data indikator Makro Ekonomi Kreatif 2010- 2016 dan analisis hasil Sensus Ekonomi 2016 (SE2016).

3 Data Top Brand Index 2012-2014, Frontier Consulting Group. Survey berdasarkan mind share, market share, dan commitmen share.