kelautan unclos.docx
-
Upload
tatyana-putri-ariningrum -
Category
Documents
-
view
20 -
download
2
Transcript of kelautan unclos.docx
Republik Indonesia adalah Negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas
wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of
the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17
Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa
lautan.
Dari 17.506 pulau tersebut terdapat Pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung
Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar
yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan
negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di
tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang
harus mendapatkan perhatian serius.
Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
undang. Di sini jelas disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu
pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum
laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985.
Dampak dari ratifikasi Unclos ini adalah keharusan Indonesia untuk menetapkan Batas
Laut Teritorial (Batas Laut Wilayah), Batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas
Landas Kontinen.
Indonesia Adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3
wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang
menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga.
BATAS WILAYAH NKRI
Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia,
Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara
tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste,
India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan
masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta
pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya
kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya
dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan
ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi
sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung
dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis
pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-
pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau titik dasar untuk
menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang
terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai
PULAU-PULAU TERLUAR
Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk
dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis
sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-
pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia,
khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/
belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Ada beberapa kondisi yang
membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau terluar, diantaranya :
1. Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan
manusia.
2. Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat
pemaksaan militer atau sebagai sebuah ketaatan pada keputusan hukum seperti yang
terjadi pada kasus berpindahnya status kepemilikan Sipadan dan Ligitan dari Indonesia
ke Malaysia
3. Hilang secara sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari masyarakat
di pulau tersebut. Misalnya pulau yang secara turun temurun didiami oleh masyarakat
dari negara lain.
SEBARAN PULAU-PULAU TERLUAR
Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh DISHIDROS TNI AL, terdapat 92
pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, diantaranya :
1. Pulau Simeulucut, Salaut Besar, Rawa, Rusa, Benggala dan Rondo berbatasan
dengan India
2. Pulau Sentut,, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong
Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua,
Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun Kecil berbatasan dengan Malaysia
3. Pulau Nipa, Pelampong, Batu berhenti, dan Nongsa berbatasan dengan Singapura
4. Pulau Sebetul, Sekatung, dan Senua berbatasan dengan Vietnam
5. Pulau Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio,
Marore, Batu Bawa Ikang, Miangas, Marampit, Intata, kakarutan dan Jiew berbatasan
dengan Filipina
6. Pulau Dana, Dana (pulau ini tidak sama dengan Pulau Dana yang disebut pertama
kali, terdapat kesamaan nama), Mangudu, Shopialoisa, Barung, Sekel, Panehen, Nusa
Kambangan, Kolepon, Ararkula, Karaweira, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai
Selatan, Karang, Enu, Batugoyan, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela dan
Meatimiarang berbatasan dengan Australia
7. Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, dan Batek berbatasan dengan Timor Leste
8. Pulau Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondo danLiki berbatasan dengan Palau
9. Pulau Laag berbatasan dengan Papua Nugini
10. Pulau Manuk, Deli, Batukecil, Enggano, Mega, Sibarubaru, Sinyaunau, Simuk dan
wunga berbatasan dengan samudra Hindia
Diantara 92 pulau terluar ini, ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius
dintaranya:
1. Pulau Rondo
Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini
terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat wilayah
Indonesia yang berbatasan dengan perairan India.
2. Pulau Berhala
Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung
dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat
penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang
sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional.
3. Pulau Nipa
Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan
Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi
terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/ tenggelamnya pulau ini atau
hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas
wilayah Indonesia semakin sempit.
Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan
pasir laut di sekitarnya. Pasir pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura.
Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura
disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan.
Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya tediri dari Suar Nipa, beberapa
pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas
laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR
190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan
Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan menggeser batas wilayah
NKRI. Pemerintah melalui DISHIDROS TNI baru-baru ini telah mennam 1000 pohon
bakau, melakukan reklamasi dan telah melakukan pemetaan ulang di pulau ini, termasuk
pemindahan Suar Nipa (yang dulunya tergenang air) ke tempat yang lebih tinggi.
4. Pulau Sekatung
Pulau ini merupakan pulau terluar Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan
berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030
yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan
Vietnam.
5. Pulau Marore
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.
6. Pulau Miangas
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056.
7. Pulau Fani
Pulau ini terletak Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat,
berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar
TD 066.
8. Pulau Fanildo
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat,
berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar
TD 072.
9. Pulau Bras
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat,
berbatasan langsung dengan Negara Kepualuan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar
TD 072A.
10. Pulau Batek
Pulau ini terletak di Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi
Timor Leste. Dari Data yang penulis pegang, di pulau ini belum ada Titik Dasar
11. Pulau Marampit
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan
Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057.
12. Pulau Dana
Pulau ini terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung
dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121
KESIMPULAN
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin
bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan
pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan
perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat
menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah
perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement)
dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang
harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala,
Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras
DAFTAR PUSTAKA
Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari 2004
Tim Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/ III
tahun 2004
Tim Redaksi, 2004. Potret Pulau Nipa. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/ III tahun 2004
——-Penulis——
Lalu Muhamad Jaelani
Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111
E-mail : [email protected]
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar
pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak
atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan
hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan
penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang
mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang
berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara
pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh
Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan
pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya
menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu
yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun sebuah konsep
serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada
saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.
Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE
terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE
diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah
secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk
mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah ZEE
seluas 200 mil akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total area laut.
Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan
menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari
simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.
Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil
tempat di jarak 200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama
perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai tujuannya.
Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE
dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.
Batas luar[sunting | sunting sumber]
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak
boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai teritorial
telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil
adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang
menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat
mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan
memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena kehadiran
wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200
mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan
sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis
nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai
adalah 200 mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk
mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang
paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200
mil dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil
dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara
Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi disarankan
bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul
dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah
disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya
luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil.
Batasan[sunting | sunting sumber]
Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil penuh,
karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan
batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum
laut internasional.
Pulau-pulau[sunting | sunting sumber]
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi
yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya
bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa,
" batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan manusia
atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."
Wilayah yang tidak berdiri sendiri[sunting | sunting sumber]
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan
sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada
wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh
UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa
dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat
wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan
perkembangan mereka.
Antartika[sunting | sunting sumber]
Akhirnya, ini harus dicatat bahwa efek dari artikel IV dari Traktat Antartika 1959
nampaknya menunjukkan ZEE tidak dapat diklaim oleh wilayah yang berada di
dalam area tempat traktat tersebut dibuat, yang dinamakan sebagai area selatan
dari selatan 60 derajat.
United Nations Convention On the Law Of The
Sea (UNCLOS III) atau yang sering dikenal dengan Konvensi
Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 merupakan produk
hukum internasional yang terakhir disepakati oleh Negara-negara
dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
sebagai pengaturan laut berskala internasional, merupakan suatu
bentuk usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah
kelautan. Sebelumnya rejim hukum laut sudah mulai diatur dalam
Konvensi Jenewa 1958, namun belum mencapai suatu
kesempurnaan dalam pengaturan rejim hukum laut dari segala
aspeknya, karena dilihat dalam masa perkembangannya
menunjukkan bahwa perlu adanya suatu konvensi hukum laut yang
baru dan dapat diterima secara umum.
United Nations Convention On The Law Of The
Sea (UNCLOS III) sebagai hasil dari Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 1982 ditandatangani oleh 117
negara peserta PBB tepatnya di Montego Bay-Jamaica pada
tanggal 10 Desember 1982. Dibandingkan dengan Konvensi
Jenewa 1958, Konvensi ini mengatur rejim-rejim hukum laut secara
lengkap dan menyeluruh, dimana satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut
menandatangani konvensi tersebut dan sebagai bentuk perhatian
Indonesia terhadap rejim hukum laut dan untuk memperkuat
kedaulatan atas wilayah laut, maka 3 (tiga) tahun berselang
setelah ditandatanganinya United Nations Convention On The Law
Of The Sea (UNCLOS III) Indonesia pun meratifikasi atau
mengesahkan konvensi tersebut dengan mengundangkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Tindakan
Indonesia ini menimbulkan adanya hak-hak dan kewajiban yang
melekat pada Indonesia sendiri dalam kancah internasional,
khususnya dalam bidang kelautan, dimana Indonesia harus
menghormati, mentaati, dan melaksanakan aturan-aturan sesuai
dengan ketentuan didalam United Nations Convention On The Law
Of The Sea (UNCLOS III).
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di
Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985 yang ditandatangani
langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang tersebut terdiri
atas 2 Pasal, yaitu :
1. Mengesahkan United Nations Convention the Law Of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), yang
salinan naskah aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan pada
Undang-undang ini ( Pasal 1 ).
2. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
( Pasal 2 ).
Sama halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi
Hukum Laut PBB 1982, Indonesia meratifikasi United Nations
Convention On The Law Of The Sea(UNCOLS III) ialah atas suatu
keinginan dan ketekadan yang kuat untuk memperkokoh
perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat
antara semua bangsa sesuai dengan asas keadilan dan persamaan
hak dan akan memajukan peningkatan ekonomi dan sosial segenap
rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-
Bangsa sebagaiamana yang telah ditetapkan. Kemudian daripada
itu secara khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS III adalah
sebagai suatu bentuk upaya untuk memperkuat, memperjelas,
menjaga kekuasaan Indonesia atas kedaulatan wilayah lautnya.
Dengan Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis
besar hal tersebut sangat bermanfaat dan memberikan lebih
banyak dampak positif bagi Indonesia dalam hal penguasaan atas
wilayah laut. Diantaranya yang sangat menguntungkan dari sisi
Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam penjelasan
umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut
menyebutkan bahwasanya konvensi ini ( Konvensi Hukum Laut
PBB 1982) mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa dan
Negara Republik Indonesia karena untuk pertama kalinya asas
Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus
menerus diperjuangkan oleh Indonesia pada akhirnya telah
membuahkan hasil, yaitu berhasil memperoleh pengakuan resmi
masyarakat internasional. Dimana pengakuan resmi asas Negara
Kepulauan tersebut sangatlah penting bagi Indonesia dalam
mewujudkan satu kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya
Indonesia telah berusaha memperjuangkan status Negara
kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, walaupun
beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal tersebut, namun
pada waktu itu belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi
dari masyarakat internasional. Diperjuangkannya Indonesia
sebagai Negara Kepulauan yang berwawasan nusantara untuk
mewujudkan suatu kesatuan wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Sehubungan dengan diakuinya Indonesia sebagai Negara
Kepulauan, maka otomatis perairan Indonesia yang dahulunya
merupakan bahagian dari Laut Lepas kini menjadi wilayah perairan
Indonesia, artinya kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya
semakin luas dibandingkan sebelum ditandatanganinya Konvensi
Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Indonesia memiliki
pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181
km, sehingga secara geografis Indonesia merupakan negara
maritim, yang memiliki luas total wilayah 7,9 Juta Kilometer
Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan
5,8 Juta Kilometer Persegi berupa Lautan. Bersamaan dengan
semakin luasnya wilayah perairan Indonesia tersebut juga
berdampak kepada keutuhan kesatuan wilayah Negara Republik
Indonesia, yaitu sebelumnya ada diantara wilayah Indonesia yang
harus dipisahkan karena adanya laut lepas, tapi setelah Konvensi
Hukum Laut 1982 disepakati dan wilayah perairan Indonesia
semakin bertambah menyebabkan wilayah laut lepas tadi tidak ada
lagi, akan tetapi bersatu menjadi satu kesatuan wilayah perairan
Indonesia.
Status Negara kepulauan yang dimiliki Indonesia juga
memiliki dampak positif lainnya, yaitu memposisikan Indonesia
berada pada posisi yang strategis bagi kegiatan ekonomi, sosial
dan budaya, karena sebagaimana yang diketahui bahwasanya
Indonesia berada di garis khatulistiwa , berada diantara dua benua
( Asia dan Australia), dan dua samudera (Pasifik dan India), serta
Negara yang menjadi tempat perlintasan kapal-kapal asing sebagai
bentuk aktifitas-aktifitas perekonomian.
Dengan meratifikasi UNCLOS III kedalam peraturan
perundang-undangan nasional membuat adanya kejelasan batas
wilayah dari Negara Indonesia, sehingga dapat dijadikan alat
legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara.
Kejelasan batas-batas perairan suatu negara dengan Negara-
negara yang berbatasan langsung juga akan dapat membantu
memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga
kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena dengan meratifikasi
UNCLOS 1982 merupakan sebagai bentuk langkah untuk
mempertahankan kedaulatan Negara, karena mengingat
bahwasanya Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas.
Dilihat dari sudut pengaturan rejim-rejim hukum laut juga
banyak memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai Negara
kepulauan yang berwawasan nusantara, diantaranya
adalah: Pertama, pengaturan mengenai lebar laut territorial yang
sebelum diratifikasikannya UNCLOS III menunjukkan adanya
keanekaragaman dalam masalah lebar Laut territorial, dimana ada
Negara yang mengukur lebar laut teritorialnya dari 3 mil sampai
200 mil jauhnya, namun sekarang menemukan titik kejelasan
bahwasanya lebar Laut Teritorial adalah tidak boleh lebih dari 12
mil laut. Kedua, pengaturan mengenai lebar Zona Tambahan
adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar Laut Teritorial,
Indonesia memiliki yurisdiksi pengawasan di zona tersebut untuk
mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal
dan saniter. Ketiga, Zona Ekonomi Eksklusif yang diatur memiliki
lebar sampai 200 mil laut membuat wilayah laut Negara Indonesia
bertambah luas yaitu dengan diberikannya “Hak Berdaulat” atas
ZEE tersebut. Keempat, dalam hal pengaturan lebar Landas
Kontinen juga menunjukkan dampak yang positif bagi Negara-
negara pantai - khususnya Indonesia, yaitu dimana Landas
Kontinen yang pada mulanya termasuk kedalam rejim Zona
Ekenomo Eksklusif, namun pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982
(UNCLOS III) Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri dan
memberikan kesempatan yang memungkinkan suatu Negara panati
(salah satunya Indonesia) memiliki lebar Landas Kontinen melebihi
lebar Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu dengan tidak melebihi dari
350 mil laut.
Kejelasan batas-batas rejim hukum laut yang diatur di
dalam UNCLOS III di atas tentunya dapat menciptakan
kesejahteraan khususnya bagi warga negara Indonesia melalui
terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya alam seperti
kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, wisata
bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya.
Kemudian selain itu, atas dasar Undang-undang Nomor
17 Tahun 1985 tentang pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982
akan membuka jalan bagi Negara Indonesia yang dalam hal ini
adalah dijalankan oleh Pemerintah, yaitu dimana Pemerintah dapat
membuat dan mensahkan peraturan perundang-undangan lebih
lanjut terkait rejim-rejim hukum laut sebagaiaman yang
diamanatkan di dalam UNCLOS III sebagai suatu upaya untuk
melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki
oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya dan sebagai bentuk
usaha untuk memperkuat eksistensi atau keberadaan Negara
Republik Indonesia di kancah Internasional, sehingga tidak lagi
dipandang sebelah mata oleh Negara-negara lain di dunia/
masyarakat internasional.
Selain kelebihan atau dampak positif yang didapatkan
Indonesia dengan mengesahkan United Nations Convention On The
Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang
Hukum Laut) melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985,
ternyata ada kelemahan yang dirasakan atau dampak negatif yang
masih dapat dirasakan oleh Negara Indonesia, walaupun dampak
negatif itu berbanding lebih sedikit dari pada dampak positif yang
sangat banyak dirasakan.
Diantara kelemahannya itu adalah disamping keberadaan
Indonesia pada posisi yang strategis dalam kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap
Indonesia yang sangat rawan untuk mengalami konflik dengan
negara tetangga, baik yang berbatasan langsung dengan Indonesia
maupun berbatasan secara tidak langsung dengan Indonesia.
Negara-negara tetangga akan mengklaim suatu wilayah laut yang
pada mulanya diklaim oleh Indonesia sebagai wilayah
kekuasaanya, hal ini terjadi karena Negara yang berbatasan
langsung dengan Negara indonesia tersebut juga berusaha
memperluas wilayah lautnya dengan pengukuran garis batas
sebagaimana yang ditentukan di dalam UNCLOS III. Selain itu
konflik dapat saja terjadi ketika Indonesia sudah mengesahkan
UNCLOS III, kemudian mendasarkan pengaturan wilayah laut
berdasarkan UNCLOS tersebut, namun di lain pihak Negara
tetangga dalam mengklaim suatu wilayah laut malah tidak tunduk
atau tidak didasarkan kepada UNCLOS akan tetapi hanya
dilakukan secara sepihak, seperti halnya contoh konflik yang
terjadi antara Indonesia dengan Malaysia terkait kasus perebutan
blok Ambalat.
Selain itu, wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah
wilayah perairan mempunyai banyak celah kelemahan yang dapat
dimanfaatkan oleh negara lain yang pada akhirnya dapat
meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa
Indonesia.
KESIMPULAN
Dengan Indonesia mengundangkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law Of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum
Laut) ternyata tidak menutup kemungkinan masih adanya
kelemahan atau dampak negatif yang dirasakan oleh Negara
Indonesia. Akan tetapi hal tersebut masih dapat disyukuri oleh
bangsa Indonesia karena dengan adanya UNCLOS III tersebut
masih sangat bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak
positif bagi Indonesia dalam hal penguasaan atas wilayah laut.
Pengesahan UNCLOS III mempunyai arti yang sangat penting bagi
Bangsa dan Negara Republik Indonesia karena untuk pertama
kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun
secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia pada akhirnya
berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.
Asas Negara kepulauan yang melekat pada Indonesia tersebut
berpengaruh besar terhadap pengaturan-pengaturan rejim-rejim
hukum laut yang menguntungkan bagi Indonesia sendiri yaitu
kedaulatan atas wilayah laut yang semakin luas.
Sumber http://annekasaldianmardhiah.blogspot.com/2013/04/hukum-laut-
internasional.html