Kelas a Pengajaran Matematika
description
Transcript of Kelas a Pengajaran Matematika
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
1/640
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012
Kumpulan MakalahMata Kuliah Pengajaran Matematika
S2 Pendidikan MatematikaKelas A
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
2/640
i
Kata Pengantar
Setelah melalui proses panjang yang diawali dengan mencari jurnal,
mengumpulkan referensi pendukung, konsultasi dan presentasi oleh masing-masing
pemakalah. Akhirnya, penyusunan kumpulan makalah mata kuliah Pengajaran
Matematika rampung juga diiringi rasa senang yang tidak bisa didefinisikan.
Terima kasih disampaikan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Pengajaran
Matematika, Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, atas bantuannya dalam memberikan
alamat jurnal matematika internasional, bimbingan selama menyelesaikan makalah
dan saran selama presentasi. Dan kepada teman-teman yang sudah merevisi makalah.
Semoga kumpulan makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca untuk
menambah pengetahuan tentang beberapa topik menarik dalam penelitian dan
pembelajaran matematika. Tentunya, apa yang ada di depan pembaca sekarang jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun untuk perbaikansangat diharapkan.
Penyusun
^127785013^
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
3/640
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar
Kumpulan Makalah
#1
Profil Kemampuan Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah
Matematika Ditinjau dari Level Berpikir Van Hiele .
(Andi M ulawakkan F irdaus)#2
Profil Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar
dengan Penggunaan Manipulatif Konkret dan Lingkungan Ditinjau dari
Perbedaan Gaya Belajar Kolb ...
(Agnita Siska Pr amasdyahsari )
#3
Implementasi Strategi Pembelajaran APOS dan Modifikasi-APOS (M-
APOS) Pada Materi Pokok Dimensi Tiga ...
(Agus Riyanti Puspito Rin i)#4
Aplikasi Metode Moore Modifikasi dalam Pemahaman dan Membuktikan
Masalah Matematika
(Diana Tri Cholidah)
#5
Profil Berpikir Kritis dalam Memecahkan Masalah Matematika Siswa
SMP dengan Model ABC Ditinjau dari Gaya Belajar .
(Elbatuah Nugraha)
#6
Pemanfaatan Benda-benda Manipulatif untuk Pemahaman Konsep
Geometri dan Daya Tilik Ruangan ..
(Hi laria Melania Mbagho)
i
ii-iv
1-38
39-121
122-158
159-203
204-231
232-269
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
4/640
iii
#7
Profil Komunikasi Matematika Siswa Bilingual dalam Pemecahan
Masalah Ditinjau dari Kemampuan Bahasa Matematika (Kami rsyah Wahyu)
#8
Profil Pemahaman Siswa Terhadap Simbol Huruf dalam Menyelesaikan
Masalah dalam Bentuk Aljabar Ditinjau dari Kemampuan Matematika
(Khoeru l Umam)
#9
Peranan Kompetensi Profesional Seorang Guru dalam Mendukung Proses
Belajar Mengajar Matematika di Sekolah Terpencil ...
(Mohammad Dali k)#10
Pengaruh Penggunaan Benda Manipulatif Pada Pembelajaran Matematika
Ditinjau Dari Gaya Belajar Siswa Sekolah Dasar ...
(Moh. Shadiq)
#11
Aplikasi Strategi Preview, Question, Read, Reflect, Recite dan Review
(PQ4R) dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika dan
Self-Regulated Learning..
(Nailul Authary)#12
Pembelajaran Used of Models untuk Materi Pokok Luas dan Keliling
pada Bangun Datar di SD Kelas III .
(Rasyid Araf iq)
#13
Peta Kompetensi Guru Matematika yang Tidak Berlatar Belakang
Pendidikan Matematika ..
(Setia Widia Rahayu)
#14
Profil Kemampuan Membuktikan Masalah Geometri Siswa SMP Ditinjau
dari Teo Operasional Logis Piaget ..
(Suesthi Rahayuningsih)
270-325
326-386
387-408
409-443
444-476
477-515
516-532
533-578
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
5/640
iv
#15
Model Pembelajaran ARIAS melalui Pendekatan Kontekstual untuk
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP .(Wi jana Soetadianta)
#16
Profil Efek dari Solusi Alternatif pada Pemecahan Masalah Siswa SMP
Ditinjau dari Kemampuan Matematika ...
(Wil da Syam Tonra)
579-606
607-635
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
6/640
Profil Kemampuan Metakognisi Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah
Matematika Ditinjau dari Level Berpikir Van Hiele
Andi Mulawakkan Firdaus
(127785005)
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
7/640
2
BAB I
PENDAHULUAN
Matematika merupakan pengetahuan yang abstrak. Untuk memahaminya
diperlukan konsep yang terstruktur dan sistematis. Skema pembelajaran
matematika saling terkait antara satu dengan lainnya, hal ini sesuai dengan
pendapat Swadener dan Soedjadi [1], bahwa guru tidak boleh mengabaikan fakta
bahwa konsep-konsep matematika terkait satu sama lain seperti rantai cincin.
Salah satu komponen kurikulum pendidikan nasional yang diajarkan pada
jenjang pendidikan sekolah adalah matematika. Matematika adalah suatu ilmu
yang mengajarkan pola logis, dan konsep matematika memiliki keterkaitan erat
antara satu konsep dengan konsep lainnya. Pola pikir logis matematika akan
membekali siswa kemampuan untuk menganalisa dan membuat kesimpulan
terhadap apa yang dipikirkan, baik ketika siswa berpikir untuk menyelesaikan
masalah yang terkait konsep-konsep matematika atau masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari.
Kesuksesan seseorang dalam memecahkan masalah antara lain sangat
bergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana
dia melakukannya. Oneil dan Brown [2] mengemukakan pengertian metakognisi
sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam
rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan
pengertian diatas, Mohamad Nur [3] mengemukakan bahwa metakognisi
berhubungan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan
kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat.
Berkaitan dengan proses metakognisi siswa Mohamad Nur [3]
mengemukakan secara operasional tentang kemampuan metakognitif yang dapat
diajarkan kepada siswa, seperti kemampuan-kemampuan untuk menilai
pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan
untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar atau
memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
8/640
3
sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk
memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapatditerima oleh akal dan mana yang tidak.
Kemampuan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika
kemungkinan dipengaruhi oleh level berpikir geometri siswa. Menurut van Hiele
berpikir secara geometris itu terdiri atas lima level. Kelima level tersebut adalah
level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal), level 3
(deduksi), level 4 (penguatan/rigor). Namun peneliti hanya memilih level berpikir
0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal) karena berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa level berpikir geometris siswa
SMP berdasarkan level berpikir geometris van Hiele hanya berada di antara level
0 (visualisasi) dan level 2 (deduksi informal).
Hal ini sesuai dengan penelitian Sukayasa [4] bahwa pada umumnya siswa
SMP memiliki kemampuan berpikir level 0 (visualisasi) sampai level 2 (deduksi
informal). Dengan demikian pembelajaran matematika siswa SMP hanya pada
level 0 (visualisasi) sampai level 2 (deduksi informal).
Pada akhir penelitian ini, diharapkan peneliti mendapatkan profil
metakognisi SMP dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari level
berpikir van Hiele. Profil metakognisi tersebut didasarkan pada level berpikir
geometris van Hiele yang digunakan sebagai panduan utama dalam memecahkan
masalah matematika.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah
matematika yang berada pada level visualisasi?
2. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah
matematika yang berada pada level analisis?
3. Bagaimana profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan masalah
matematika yang berada pada level deduksi informal?
Berdasarkan pertanyaan di atas, maka makalah ini bertujuan untuk:
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
9/640
4
1. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan
masalah matematika yang berada pada level visualisasi.2. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan
masalah matematika yang berada pada level analisis.
3. Mendeskripsikan profil metakognisi siswa SMP dalam memecahkan
masalah matematika yang berada pada level deduksi informal.
Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, maka perlu dijelaskan beberapa
istilah dalam makalah ini, antara lain:
a. Profil adalah deskripsi/gambaran yang diungkap baik dengan kata-kata
maupun gambar.
b. Profil Metakognisi siswa dalam penelitian ini adalah gambaran yang
sesuai dengan keadaan sesungguhnya tentang metakognisi siswa dalam
memecahkan masalah matematika.
c. Metakognisi merupakan pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya
sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta
kemampuan dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam
belajar dan berpikir.
d. Memecahkan masalah adalah suatu kegiatan dalam menyelesaikan
masalah yang mengikuti tahap-tahap pemecahan masalah Polya, yakni:
memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana
tersebut, dan memeriksa kembali hasil penyelesaian.
e. Masalah matematika adalah soal matematika yang belum dapat
diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui siswa
sebelumnya.
f. Kemampuan matematika adalah kemampuan intelektual yang dimiliki
siswa dalam menyelesaikan soal atau masalah matematika.
g. Level berpikir geometri van Hiele yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
10/640
5
Terdapat beberapa manfaat yang diharapkan dari makalah ini, yaitu:
1. Sebagai bahan masukan bagi guru tentang profil metakognisi siswa SMPdalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari level berpikir van
Hiele.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian pada
kajian yang sama.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
11/640
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Metakognisi
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya
memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling
umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir (ONeil & Brown) [2].
Namun untuk dapat memahami lebih mendalam tentang pengertian metakognisi,
maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta
penjelasannya.
ONeil dan Brown [2] mengemukakan pengertian metakognisi sebagai
proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka
membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan pengertian di
atas, Mohamad Nur [3] mengemukakan bahwa metakognisi berhubungan dengan
berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka
menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat. Huitt [5]
mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang sistem
kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial
seseorang dalam belajar untuk belajar.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan beberapa pakar di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sederhana metakognisi adalah
pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya sendiri, atau pengetahuanseseorang tentang kognisinya serta kemampuan dalam mengatur dan mengontrol
aktivitas kognisinya dalam belajar dan berpikir.
B. Komponen (Indikator) Metakognisi
Anderson dan Krathwohl [6] mengemukakan tiga aspek dari pengetahuan
metakognisi, yaitu (a) pengetahuan strategi (strategic knowledge), (b)
pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, termasuk pengetahuan kontekstual dan
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
12/640
7
kondisional, dan (c) pengetahuan-diri (self-knowledge). Flavel dalam Livingston,
[7] membagi pengetahuan kognitif ke dalam tiga kategori, yaitu (a) variabelpengetahuan-diri (individu), (b) variabel tugas, dan (c) variabel strategi.
Sedangkan indikator-indikator metakognisi menurut Hacker[8]tergambar
dari pengertian metakognitif yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul
Metacognition: Definitions and Empirical Foundations
(http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html) bahwa metakognisi adalah proses
berpikir seseorang tentang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam
pengertian ini adalah: apa yang seseorang ketahui (yaitu pengetahuan
metakognitif), apa yang dilakukan seseorang (yaitu keterampilan metakognitif),
dan bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (yaitu pengalaman
metakognitif).
Huitt [5] mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan
seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan
dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai
berikut:
(a)Apa yang saya ketahui tentang materi, topik, atau masalah ini?
(b)Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya?
(c)Tahukah saya dimana dapat memperoleh informasi atau pengetahuan?
(d)Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya?
(e)Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk
mempelajrinya?
(f) Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat?
(g)Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat?
(h)Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat
sesuatu?
Marzano dkk [9] menjelaskan bahwa metakognisi mencakup dua
komponen, yaitu (a) pengetahuan dan kontrol diri, dan (b) pengetahuan dan
kontrol proses. Siswa yang berhasil adalah siswa yang secara sadar dapat
memonitor dan mengontrol belajar mereka. Pusat dari pengetahuan-diri dan
http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
13/640
8
regulasi-diri adalah komitmen, sikap, dan perhatian. Sedangkan elemen dari
pengetahuan dan kontrol proses adalah (a) pengetahuan pentingdalam metakognitif dan (b) kontrol pelakasana dari perilaku
(http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm).
Mohamad Nur [3] mengemukakan secara operasional tentang kemampuan
metakognitif yang dapat diajarkan kepada siswa, seperti kemampuankemampuan
untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka
butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar
atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami
sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk
memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat
diterima oleh akal dan mana yang tidak.
Sedangkan Shoenfeld [10] mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara
untuk menjelaskan tentang metakognitif dalam pembelajaran matematika, yaitu:
(a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri).
Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan
untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut
membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika. Pengetahuan
tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam
menggambar proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi diri
menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang
harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang
menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas
pemecahan masalah.
Noert Central Regional Educational Laboratory (NCREL) [11]
megemukakan tiga elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam
mengahadapi tugas, yaitu (a) mengembangkan rencana tindakan, (b)
mengatur/memonitor rencana, dan (c) mengevaluasi rencana. Lebih jauh NCREL
memberikan petunjuk melaksanakan ketiga komponen metakognisi tersebut
sebagai berikut:
http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
14/640
9
Sebelum: Ketika kamu mengembangkan rencana tindakan, tanyakan
dirimu:Pengetahuan awal apa yang membantu dalam tugas ini?
Petunjuk apa yang dapat digunakan dalam berpikir?
Apa yang pertama akan saya lakukan?
Mengapa saya membaca (bagian) pilihan ini?
Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap?
Selama: Ketika kamu mengatur/memonitor rencana tindakan, tanyakan
dirimu:
Bagaimana saya melakukannya?
Apakah saya berada pada jalur yang benar?
Bagaimana saya meneruskannya?
Informasi apa yang penting diingat?
Akankah saya pindah pada petunjuk lain?
Akankah saya mengatur langkah-langkah bergantung pada
kesulitan?
Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti?
Sesudah: Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu:
Seberapa baik saya melakukannya?
Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau
yang lebih sedikit dari yang saya perkirakan?
Apakah saya dapat mengerjakan dengan cara yang berbeda?
Bagaimana saya dapat mengaplikasikan cara berpikir ini pada
proiblem yang lain?
Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi
kekosongan pada ingatan saya?
Walaupun secara redaksional pengertian dan komponen-komponen
metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada
hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
15/640
10
bahkan cenderung sama. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti akan
menggabungkan beberapa komponen dan membatasi diri pada komponen-komponen tertentu saja. Komponen-komponen metakognisi yang akan dibahas
lebih jauh dan menjadi fokus penelitian ini adalah: (a) pengetahuan seseorang
tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol
strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan
(b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar,
berpikir, dan pemecahan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya.
C. Masalah matematika
Masalah matematika yang dikemukakan oleh Hudoyo [12] adalah masalah
yang berkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah adalah masalah
matematika jika memenuhi tiga syarat yaitu : (a) menantang untuk diselesaikan
dan dapat dipahami siswa, (b) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang
telah dikuasai siswa, (c) melibatkan ide-ide matematika. Berdasarkan pendapat
Hudoyo tersebut suatu pertanyaan akan menjadi masalah bagi siswa apabila
pertanyaan yang dihadapkan dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun
pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya dan
pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah
diketahui siswa yang melibatkan ide-ide matematika. Berdasarkan uraian diatas,
dalam penelitian ini yang dimaksud masalah matematika adalah soal matematika
yang belum dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang sudah diketahui siswa
sebelumnya.
Polya [13] mengategorikan masalah dalam matematika menjadi dua, yaitu:
(1) masalah untuk menemukan, (2) masalah untuk membuktikan. Tujuan dari
masalah untuk menemukan adalah untuk menemukan objek (sasaran) yang pasti
atau masalah yang ditanyakan. Bagian prinsip dari masalah untuk menemukan
adalah: (a) apakah yang ditanyakan?, (b) apakah data yang diketahui?, (c)
bagaimana syaratnya?. Sedangkan masalah untuk membuktikan adalah suatu
masalah yang dirancang untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar
atau salah, sehingga perlu dijawab dengan pertanyaan; apakah pernyataan
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
16/640
11
tersebut benar atau salah? atau menjawab kesimpulan dengan membuktikan
benar atau salah. Bagian utama dari masalah ini adalah jika masalahnyamerupakan masalah matematika adalah hipotesis atau konklusi dari suatu teorema
yang harus dibuktikan kebenarannya.
Dalam penelitian ini dipilih soal yang pemecahan masalahnya memerlukan
strategi untuk dapat memilih rumus yang paling tepat dengan memperhatikan
hubungan antar data dan memanfaatkan pengetahuan awal. Bagian prinsip dari
masalah yang dipilih adalah: (a) apakah yang ditanyakan?, (b) apakah data yang
diketahui?, (c) bagaimana syaratnya? Sehingga dalam pemecahan masalahnya
siswa memerlukan strategi untuk mengarahkan berpikirnya tentang apa yang
diketahui dengan memperhatikan syarat-syaratnya untuk menjawab apa yang
ditanyakan. Dengan pemberian masalah menemukan, diharapkan dapat digunakan
untuk mengungkap metakognisi siswa secara optimal.
D. Pemecahan Masalah Matematika
Berhadapan dengan kehidupan yang penuh dengan masalah maka
pembelajaran matematika disekolah sebaiknya dirancang dengan menempatkan
masalah sebagai topik utama dalam kegiatan pembelajaran yang akan membekali
siswa kemampuan untuk memecahkan masalah. Masalah matematika dalam
penyelesaiannya membutuhkan aktivitas mental yang tinggi sehingga akan
melatih/merangsang siswa untuk berpikir ke tingkat yang lebih tinggi.
Menurut Polya, dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah yang
harus dilakukan yaitu :
a. Memahami masalah
Langkah awal ini dimaksudkan untuk mengetahui informasi yang terdapat
dalam masalah tersebut, misalnya apa yang diketahui, apa yang tidak
diketahui (apa yang ditanyakan), bagaimana situasi dari masalah tersebut.
b. Membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah.
Dalam bagian ini disarankan untuk menemukan hubungan antara variable
(hal-hal yang tidak diketahui) dengan data dalam masalah tersebut,
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
17/640
12
kemudian merencanakan strategi yang sesuai berdasarkan hubungan
tersebut.
c. Melaksanakan rencana penyelesaian masalah
Setelah direncanakan, maka pada bagian ini rencana tersebut dilaksanakan.
Beberapa indikator yang menunjukkan siswa melaksanakan atau
mengaplikasikan rencana yang dibuat adalah: (a) mengecek setiap langkah
yang digunakan, (b) melakukan perhitungan berdasarkan cara yang
ditetapkan, dan (c) mengoreksi atau memperbaiki kesalahan yang dibuat.
d. Melihat kembali penyelesaian yang diperoleh
Jawaban yang diperoleh dari langkah ketiga, selanjutnya diuji
kebenarannya. Beberapa indicator yang menunjukkan bahwa siswa
mengevaluasi kembali hasil pekerjaannya adalah: (a) menyimpulkan hasil
akhir sebagai jawaban terhadap apa yang ditanyakan, (b) mengecek
kebenaran argumen dan hasil yang diperoleh, dan (c) mencocokkan
jawaban yang diperoleh dengan permasalahan yang ada.
E. Berpikir Geometris Menurut van Hiele
Van de Walle [14] mengemukakan bahwa teori van Hiele telah menjadi
faktor yang berpengaruh pada kurikulum geometri Amerika. Hal yang paling
unggul dari model tersebut adalah hirarki lima level cara memahami ide-ide
keruangan. Masing-masing dari ke 5 level tersebut mendeskripsikan proses
berpikir yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Level-level
tersebut mendeskripsikan bagaimana seseorang berpikir dan jenis ide apakah yang
seseorang pikirkan, bukan seberapa banyak pengetahuan yang seseorang
memiliki. Karena seseorang berkembang dari satu level ke level selanjutnya,
obyek berpikir masalah matematika seseorang pun berubah. Van de Walle [14]
menjabarkan kelima level berpikir tersebut sebagai berikut:
1. Level 0: visualisasi
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik,
tahap visual. Obyek berpikir pada level 0 adalah bentuk dan seperti
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
18/640
13
apakah objek itu. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk masalah
matematika hanya sekedar berdasar karakteristik visual danpenampakannya. Siswa pada level ini akan menyusun dan mengklasifikan
bangun berdasarkan tampilan bangun tersebut. Oleh karena itu, pada tahap
ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan
karakteristik bangun yang ditunjukkan. Hasil yang diperoleh dari berpikir
pada level 0 adalah kelas-kelas atau pengelompokan bangun-bangun yang
tampak mirip.
2. Level 1: Analisis
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Objek berpikir pada level 1
adalah pengelompokan bangun. Pada tahap ini sudah tampak adanya
analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-
sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran,
eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa
belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut,
belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan
definisi tidak dapat dipahami oleh siswa. Hasil berpikir pada level 1 adalah
sifat-sifat bangun.
3. Level 2: Deduksi Informal
Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap relasional, tahap
teoritik, dan tahap keterkaitan. Obyek berpikir pada level 2 adalah sifat-
sifat bangun. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-
sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun
geometri. Siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat
dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat
mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian,
siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk
membangun geometri. Hasil berpikir pada level 2 adalah hubungan di
antara sifat-sifat obyek/bangun geometri.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
19/640
14
4. Level 3: Deduksi
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Objek berpikir padalevel 3 adalah hubungan-hubungan diantara sifat-sifat obyek geometri.
Pada tahap ini siswa dapat menyusun bukti, tidak hanya sekedar menerima
bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada
tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu
cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa
menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
Hasil berpikir pada level 3 adalah sistem axiomatik deduktif geometri.
5. Level 4: Penguatan (rigor)
Pada tahap ini disebut juga dengan tahap matematika atau tahap
aksiomatik. Objek berpikir pada level 4 adalah sistem axiomatik deduktif
geometri. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem
matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma
dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan,
aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami. Hasil
berpikir pada level 4 adalah perbandingan dan pertentangan diantara
sistem axiomatik yang berbeda dalam geometri.
Van de Walle [14] pun menjabarkan bahwa karakteristik level berpikir van
Hiele adalah hasil berpikir pada tiap level sama dengan objek berpikir pada level
selanjutnya. Hubungan objek produk di antara level dalam teori van Hiele ini
diilustrasikan dalam gambar 2.1 berikut.
G
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
20/640
15
Gambar 2.1 Hubungan objek produk di antara level dalam
Teori berpikir geometris van Hiele
Dari gambar bagan di atas dapat disimpulkan bahwa level-level berpikir
tersebut berentetan (sequential). Untuk sampai pada suatu level tertentu di atas
level 0 siswa harus melalui level sebelumnya. Untuk melalui suatu level seorang
siswa harus telah mengalami berpikir geometri yang tepat untuk level itu dan telah
menciptakan jenis objek atau hubungan dalam pikirannya sendiri yang
merupakan fokus berpikir pada level selanjutnya.
Pada penelitian ini, peneliti hanya fokus pada siswa yang berada pada level
0 (visualisasi), 1 (analisis), dan level 2 (deduksi informal) berdasarkan level
berpikir geometris van Hiele. Untuk mengetahui siswa berada pada level tersebut
diberikan tes penggolongan level pemahaman geometri van Hiele (selanjutnya
disebut PLVH) yang dikembangkan oleh Usiskin [17] dalam van Hiele Levels and
Achievement in Secondary School Geometry. Karena instrumen asli
menggunakan bahasa Inggris, maka akan dilakukan proses adaptasi sehingga
dapat digunakan dalam penentuan subjek penelitian.
Instrumen ini berbetuk pilihan ganda yang terdiri dari 25 soal dimana
setiap 5 soal (secara terurut) mewakili level pemahaman geometri van Hiele yang
akan diuji. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan soal tersebut hanya 35
menit.
Kriteria penilaian dari instrumen ini adalah jika diperoleh minimal 3
jawaban benar dari 5 jawaban pada setiap level, maka dikategorikan siswa
tersebut masuk pada level tersebut. Dengan catatan siswa tersebut sudah termasuk
kategori pada level sebelumnya.
F. Profil Metakognisi Siswa ditinjau dari level berpikir van Hiele
Pada makalah ini, profil berpikir metakognisi yang akan dideskripsikan
adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masing-
masing berada pada level 0 (visualisasi), 1 (analisis), dan level 2 (deduksi
informal).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
21/640
16
Kemampuan metakognisi tersebut adalah :
1. Bagaimana cara memahami soal geometri.2. Memilih rencana yang efektif untuk memecahkan soal geometri.
3. Bagaimana mengevaluasi rencana tindakan dalam memecahkan soal
geometri.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
22/640
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya
sendiri, atau pengetahuan seseorang tentang kognisinya serta kemampuan
dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognisinya dalam belajar dan
berpikir.
2. Komponen-komponen metakognisi: (a) pengetahuan seseorang tentang
strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol
strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan
masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta
menggunakan strategi belajar, berpikir, dan pemecahan masalah yang
sesuai dengan keadaan dirinya.
3. Masalah matematika yang dikemukakan oleh Hudojo adalah masalah yangberkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah adalah masalah
matematika jika memenuhi tiga syarat yaitu : (a) menantang untuk
diselesaikan dan dapat dipahami siswa, (b) tidak dapat diselesaikan dengan
prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, (c) melibatkan ide-ide
matematika.
4. Menurut Polya, dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah yang
harus dilakukan yaitu :
a. Memahami masalah
b. Membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah.
c. Melaksanakan rencana penyelesaian masalah
d. Melihat kembali penyelesaian yang diperoleh
5. Menurut van Hiele berpikir secara geometris itu terdiri atas lima level.
Kelima level tersebut adalah level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2
(deduksi informal), level 3 (deduksi), level 4 (penguatan/rigor). Namun
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
23/640
18
peneliti hanya memilih level berpikir 0 (visualisasi), level 1 (analisis),
level 2 (deduksi informal) karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnyamenyatakan bahwa level berpikir geoetris siswa SMP berdasarkan level
berpikir geometris van Hiele hanya berada di antara level 0 (visualisasi)
dan level 2 (deduksi informal).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
24/640
19
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi
Keadaan Masa Kini dan Harapan Masa Depan.Jakarta: Dirjen Dikti
Departemen Pendidikan Nasional.
[2]. ONeil & Brown. (1997). Differential Effects of Question Formats in MathAssessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: National
Center for Research on Evaluation.
[3]. Mohamad Nur. (2000). Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: Pusat Studi
Matematika dan IPA Sekolah.
[4]. Sukayasa. (2002). Pengembangan Paket Pembelajaran Geometri SLTP pada
PokokBahasan Segitiga Berpandu pada Fase-fase Pembelajaran van
Hiele. Surabaya: Tesis Program Studi Pendidikan Matematika
ProgramPascasarjana Unesa.
[5].Huitt, William G. (1997). Metacognition.
Available:http://tip.psychology.org/meta.html.
[6]. Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy For
Learning,Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy
of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman,
Inc.
[7]. Livingston, Jennifer A. (1997). Metacognition: An Overview. Available:
http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htm.
[8]. Hacker, Douglas J.(1997) Metacognition: Definitions and Emperical
Foundations. The University of Mephis. Available:
http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.html.
[9].Marzano. (1988). Metakognition. Available:
(http://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htm).
[10]. Shoenfeld. (1987). Whats All The Fuss About Metacognition. Available:
http://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.html.
[11]. NCREL. (1995). Metacognition. Available: http://www.ncrel.org/sdrs
/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htm.
http://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://tip.psychology.org/meta.htmlhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://www.ncrel.org/sdrs%20/areas/issues/students/learning/lrlmetn.htmhttp://mathforum.org/~sarah/Discussion.Sessions/Schoenfeld.htmlhttp://www.usask.ca/education/802papers/adkins/sec1.htmhttp://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htmlhttp://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/metacog.htmhttp://tip.psychology.org/meta.html -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
25/640
20
[12]. Hudoyo. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
UniversitasNegeri Malang.
[13]. Polya, G. (1973). How To Solve it. New Jersey : Princeton University Press.
[14]. Van de Walle, J. A. (2001). Geometric Thinking and Geometric Concept. In
Elementary and Middle School Mathematics.Teaching
developmentally 4th ed.Boston: Pearson Education.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
26/640
21
Jurnal
Instructor's Scaffolding in Support of Student's Metacognition through a
Teacher
Education Online Course A Case Study
Roni Reingold
Achva-College of Education, Israel
Rikki Rimor
Open University, Israel
Anat KalayBen-Gurion University, Israel
Abstract
This study describes the relationship between the instructor's feedback and
students' metacognitive processes in an online course on democracy and
multiculturalism, which was taught as part of a teacher education program. 700
postings, written by 68 students, were content analyzed along with 66 postings by
the instructor, using tools designed for that purpose. A strong positive correlation
was found between the instructor's responses and students' metacognitive thinking
demonstrating the importance of instructor's feedback in helping to produce an
environment in which students would experience learning through reflective and
metacognitive processes. Our study highlights the unique potential of online
courses coupled with instructor's scaffolding to promote and study students
metacognitive reflections. Implications for the design of teacher education
programs are also discussed.
Introduction
Educators have long considered metacognition to be an important part of
teaching and improving one's learning (Efklides, 2006; Flavell, 1979; McCrindle
& Christensen, 1995; Nashon, Anderson, & Nielsen, 2005; Nelson, 1996; Paris &
Winograd, 1990). Recently, interest in metacognition has greatly increased among
researchers studying students' reflections in an online learning environment
(Anderson, 2001; Barbour & Collins, 2003; Davis, 2003; Papaleontiou-Louca,
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
27/640
22
2003; Rimor & Kozminsky, 2001-2002). In addition, researchers in this field
examined the role of the teacher's support in the online environment, and the
strengths and weaknesses of this platform (Jonnasen, 2000; Lehman, 2006;
Nehama, Kalay, & Rimor, 2005; Nir-Gal, Nur, Gelbart, & Reingold, 2005;
Rimor, Reingold, & Kalay,
2006; Zemsky & Massy, 2004). The main goal of the current study was to
investigate the relationship between students' metacognitive reflections and
instructor's scaffolding in an online teacher education course. In addition, we
explored the unique potential of the online environment in the context of teacher
education and in facilitating studentsacquisition of critical and reflective thinking
skills.
Theoretical background
Recently, traditional teacher education programs have been the focus
of much criticism both on general grounds due to their programmatic
ineffectiveness (Russell, 2001), and more specifically, in light of the emergence of
alternative constructivist pedagogical and social frameworks formats such as
multiculturalism (Bennett, 2001; Jenks, Lee, & Kanpol, 2001), critical pedagogy
(Keesing-Styles, 2003) and progressive social movements (Diniz- Pereira, 2005).
The main criticism leveled at traditional teacher education programs
is that most programs fail to integrate the theoretical foundations of teaching and
the reality of teaching and it remains up to individual students to struggle with
this difficult task. Unfortunately, because programs are largely unsuccessful in
relating theory to the pragmatics of teaching, new teachers who are frequently
overwhelmed by the demands of everyday teaching tasks tend to overlook
theoretical concepts. Furthermore, the socialization process that
characterizes teacher education programs puts emphasis on the acquisition of
techniques and skills and largely neglects educational and social goals.Consequently, teacher education students and new teachers often fail to
develop a clear representation of the broad significance of teaching, the
complexity of this profession and the enormity of the required knowledge.
The tremendous increase in the popularity of online courses in general,
and the new E-learning pedagogy in particular constitute a major challenge
to traditional conceptualizations of the teachersrole and teacher education (Chou
2003; Cowham, 2005; Dabbagh, 2003; Danchak & Huguet, 2004; Easton, 2003;
Fitzpatrick, 2001; Rumble, 2001; Volery, 2001; Zemsky & Massy, 2004).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
28/640
23
A fundamental goal shared by most alternative constructivist curricula is
the desire to produce professional and broad-minded teachers with an educational
and social awareness (Combleth, 1986; Hartnet & Naish, 1980; Wilson, 1989). To
accomplish this goal, these curricula emphasize the importance of an environment
in which prospective teachers would develop critical thinking and critical self
judgment by experiencing learning through reflective and metacognitive
processes (Davis, 2003; Dawason & Bondy, 2003; McCrindle & Christensen,
1995; Shulman & Shulman, 2004). Metacognition is defined as the knowledge
and awareness of onesown cognitive, emotional, and motivational processes, andthe ability to actively control and supervise them (Brown, 1987; Flavell, 1979).
Empirical support for the value of this educational emphasis is derived from the
finding that metacognition constitutes a fundamental predictor of academic
achievement (Anderson, 2001).
There is a broad theoretical and empirical consensus that the influence of
metacognition on the outcome of learning is strongly linked to the processes of
reflection (Anderson, 2001; Buttler & Winne, 1995; Davis, 2003; Efklides,
2006; Ertmer & Newby,1996; McCrindle & Christensen, 1995; Nashon,
Anderson, & Nielsen, 2005). It is commonly assumed that reflection expresses an
awareness of the learning processes and aids the learner in overseeing; assessing
and improving his/her progress. For example, the constructivist theory of
learning views reflection and discussion as a vital mechanism in the construction
of knowledge. The process of reflection is thought to facilitate the organization of
relevant previous experiences and prior knowledge and the articulation of the
links between action and thought and between knowledge and the control of
the learning processes. Consistent with this hypothesis, several studies
demonstrated that encouraging reflection processes in students significantly
improves learning success (Davis, 2003; McCrindle & Christensen,1995;
Nashon, et al., 2005; Rimor, 2002).
The main goal of the present study is to further extend the investigation ofreflection processes during learning to the area of teacher education and to the
online learning environment. It is clear that prospective teachers, like all teachers,
should benefit from engaging in productive reflection about their teaching
(Davis, 2003; McCrindle & Christensen, 1995; Nashon, et al., 2005; Nir-Gal
et. al. 2005; Rimor, 2002). This contention is supported by preliminary research
examining the nature of reflective thinking processes in prospective teachers
(Dawson, 2005; Schulz & Mandzuk, 2005). In the present study we focus on
the importance of assessing instructor's scaffolding in an online course. The online
format is often conceived as a forum for exchanging thoughts and feelings in the
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
29/640
24
course of studies. Consequently this format may constitute a unique and valuable
tool for documenting and examining the links between teaching, learning and
the processes of reflection. The online format seems particularly suited for
deriving metacognitive measures based on the easily obtainable and
comprehensive protocol of learners explicit written reflections. It appears that the
online environment can serve as a constructivist learning environment
characterized by self-regulated learning (Rimor & Kozminsky, 2001-2002).
The online learning environment has a unique potential to promote an
in depth dialogue and a framework of openness to new knowledge and ideas
Thomas, 2002; Wolfe,2001). The relative anonymity that characterizes the
virtual nature of online distance education courses allows learners from
diverse backgrounds to feel more confident and secure and to openly express
their views and collaborate with others who might otherwise be reluctant to listen
to their arguments (Chute & Shatzer, 1995; Kyong-Jee & Bonk, 2002).
In addition, it has been shown that when students do not receive any
external feedback regarding their progress from the course instructor they
fail to initiate metacognitive processes and their basic learning achievements
in the course are low (Berent & Bugbee, 1993). Vygotsky (1978) emphasizes
the importance of teachers' support to the development and progress of students.
As mentioned above, more recently, scholars argued that the online environment
could be an optimal platform for teacher's support. Consequently, in the present
study, we were particularly interested in studying the importance of online
feedback provided by the instructor. Specifically, such feedback and guidance can
function as a system of scaffolds that may promote the reflective and
metacognitive learning processes (Efklides,2006).
Reflective and metacognitive learning processes have a unique importance
in the context of multicultural education. The designer and instructor of the
course, which is analyzed in this study, was influenced by two multicultural
education theories: The first was Wurzel's (1988) educational model ofmulticultural development, and the second was Banks' (1996) typology of
knowledge levels. In Wurzel's terms the idea was to allow the students from the
two cultural and national groups to move from ethnocentric perspectives to
multicultural ones. According to Banks' terminology the mission was to shift
the students from basing their ideas, values and beliefs upon popular knowledge
(i.e., ethnocentric perspective) to a transformative one (i.e., more democratic and
multicultural), through reflection upon reading of academic materials and through
dialogue in a community of learners.
In order to promote reflective and metacognitive learning processes, and
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
30/640
25
by that to enable changes in the students' perceptions, the instructor requested the
students to write four reading journals concerning several assigned articles
covering both basic concepts and controversial and provocative views related to
the four topic of the course:
A. Alternative Democratic Models.
B. The Israeli Democracy characteristics and problems.
C. Multiculturalism and Multicultural Education.
D. Can the Israeli society become ideologically multicultural?
The journals were sent via e-mail and were followed by an online dialogue
between the instructor and each of the students individually. In addition,
students were asked to participate as a group in four online forums created
especially for the course. Each of the four forums was devoted to a dilemma
regarding one of the sub-topics of the course. These forums were active
throughout the entire duration of the course.
Methodology
The present study analyzed the complete record of an online course on
multiculturalism and democracy, which was taught as part of a teacher education
program in a southern university in Israel. Sixty eight candidates for the course
were selected from a group of teachers who work in Bedouin and Jewish schools
in Israel. The candidates were experienced teachers who did not have a formal
teaching certificate. The Bedouins and the Jews participated in two parallel but
separate accreditation programs. The specific course on democracy and
multiculturalism constituted the only framework in their studies in which
these two groups of teachers could study together. The course design employed an
asynchronous online forum format. This learning environment facilitated a directdialogue between the two groups concerning sensitive and vulnerable issues such
as democracy and inter-cultural conflicts in the Israeli society.
As discussed above, the main aim of the current research was to study the
relationship between the instructor's feedback and students' metacognitive
processes. To accomplish this aim we set two operative goals. The first goal was
to examine and determine the nature of metacognitive process expressed by the
students in the online forums. Students' responses were content analyzed
employing the Meta Cognitive tool for Students Reflections (MCSR), which was
developed for analyzing metacognitive indices in online forums. The MCSR tool
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
31/640
26
is based on Flavells (1979) model, and analyzes the students' reflections
according to three metacoginitive dimensions: 1) personal, 2) task, and 3)
strategy.
The text of the forum protocol was analyzed along the three-
metacognitive dimensions. Each dimension was initially defined via operational
indices. These indices represent the types of reflections found in the participants
discourse. The protocol of the forums discussion (the text) was divided into
paragraphs, which constituted the units of analysis. Paragraphs were delineated
based on the topic of discourse, with a change in topic marking the boundary
between paragraphs. For each unit of analysis statements were initially classified
as reflective or non-reflective. Reflective statements were linked to individual
participants and further classified by using the MCSR tool. Inter-rater reliability
was satisfactory (Kappa=0.84) (Rimor, 2002; Rimor & Kozminsky, 2001-2002).
The MCSR tool was further refined based on the current study by adding 4
parameters to the metacognitive affective dimension. Thus, in the analyses
reported below, students' statements in the forum were coded in accordance with
22 parameters of the tool. (See table 1).
The second goal of the current study was to analyze messages posted by
the instructor in the forum, which was designed to provide students with support
and feedback throughout the duration of the course. A new tool was developed for
this purpose: Tool for analyzing Instructor's Online Scaffolding (TIOS). This tool
enabled us to analyze the different types of Scaffolds provided by the instructor
during the online course. Using this tool we were able to identify four types of
online scaffolding provided by the instructor: 1) technical, 2) content- centered, 3)
procedural, and 4) metacoginitive.
These two research tools (MCSR and TIOS) were combined to examine
the relationship between scaffolds provided by the instructor and the
manifestation of metacognitive processes, as expressed by students in the online
forums.The development of the MCSR and TIOS was guided by the paradigm of Activity
Research (Nardi, 1996). The categories of these tools were defined and
shaped according to the contents of the discussion, the purpose of the forum,
and the characteristics of the course. We employed the grounded theory approach,
which argues that analytic categories used for conceptualizing the data should
emerge from the participants answers, rather than being imposed by the
researcher. Accordingly, emergent categories together with their properties
became the basis for interpreting the findings (Russo & Ford, 2006).
One thousand forty eight written messages were produced in the
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
32/640
27
four forums. Postings by students were discarded from the analyses if they were
determined not to be related to the metacognitive indices of the Meta Cognitive
tool for Students Reflections (MCSR). This produced a total of 700 forum
postings by the students. In addition, 66 forum postings written by the instructor
were analyzed, using TIOS, which was developed for the present research.
Results
An analysis of the 700 postings by students was performed according to
the three dimensions the Metacognitive tool: Personal, Task, and Strategy. Table 1
summarizes the distribution of the metacognitive dimensions that emerged from
the students' protocols.
no data was found for several categories: A. Personal Indices: Personal Traits
(PT), Cognitive styles (PS), Achievements (PP), B. Task Indices: Characteristics
of data sources (TD), Availability of data sources (TZ), Feasibility of
performance (TF), C. Strategy Indices: Planning (SN), Choosing and
implementing a strategy (SS), Assessment of results (SE), Monitoring and
revisions (SM), Requesting help (SH1), Helping (SH2)
As shown in Table 1 the Personal metacognitive dimension constituted
about half of the students' reflections in the forum (48%). Students expressed
personal insights about themselves as learners on line and emotions concerning
their search for data and/or regarding the process of communication on the net.
Further analysis revealed that the most salient reflections were related to the
content of the task (42%) and emotionally with the online learning environment
and the forum community itself (28 %). It included both positive (17%) and
negative emotional expressions (11%). Below are a few illustrations of actual
postings that were classified as related to the Personal Task or Strategy
dimensions:
A)Personal
1. My first reaction towards your comment was a feeling of anger and
frustration. I felt that you didn't understand the question and that you
expressed anger and frustration, instead of answering the question (PA2,
PA4).
2. I was very satisfied when I read your warm and personal comment (PA1).
3. It is very nice to read such comments. Mutual respect is an important basis
for good relationship in a pluralistic society (PA1, PA3).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
33/640
28
B) Task
1. The article Alternative Democratic Models reveals different Democratic
models. It is very hard to choose which model is the best and to explain my
decision (TC).
2. The discussion about the last two articles could demonstrate very well
the gap between the academic ivory tower and daily life (TR/SE).
C) Strategy
1. Your last comment summarized for me all the articles I read about democracy
(SG).
2. My journals. I sent themon time but maybe not in the right way (SH1).
3. This analysis of students' reflections portrays the forum as a learning
environment, which is oriented towards the task and the person. Table 2
introduces the distribution of various types of scaffolds, which were delivered by
the instructor to the students in the forum.
Table 2 illustrates the four different types of scaffolding used by the
instructor and their frequency in the four forums. Scaffolding average score was
computed for each student based on all the instructor feedbacks addressed to
him/her in person. In addition, metacognitive average score was computed for
each student across all his/her postings in the forum. In addition, an average
Scaffolding score was computed for each student based on all the instructor
feedbacks addressed to each student.
Spearman's correlation between instructor's scaffolding and students'
metacognitive scores demonstrated a highly significant correlation
between them. The instructor's scaffolding score was highly correlated with
the student's metacoginitive score (r=0.497, p
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
34/640
29
C. Procedural support: Finally a comment based on assigned articles. Your
previous postings were interesting and scholarly, but this is the first one which
is related to the theoretical framework of the course.
D. Metacognitive support:
1. You are right, there are several democratic models, and this is the topic
of this course. But, which model do you prefer?
2. You are right Israel is a Jewish state. It is also true that absolute equality is
only a Utopia, but doesn't it disturb you that Israel defines itself as a
democracy although it discriminates against its Arabic citizens so severely?"
Table Correlations between students' metacognitive dimensions and types of
instructor's scaffolding
Instructorsscaffolding Metacognitive Dimension
Personal Task Strategy
Technical instruction 0.223 0.364** 0.129-
Content support 0.424** 0.347** 0.321**Procedural support 0.382** 0.314** 0.054
Metacognitive support 0.204 0.285* 0.077
*p< .01 ** p
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
35/640
30
Discussion
The findings of this study reveal the vital importance of instructor's
feedback and support in an online course. An appropriate instructor response can
turn the course into a learning environment in which students would experience
learning through reflective and metacognitive processes. As mentioned earlier, the
importance of these processes to learning has been considered and suggested in
many prior studies. Our study extends these prior investigations by providing
strong empirical evidence to support the relationship between instructor's
scaffolding and students' reflective and metacognitive processes.
Specifically, the metacognitive scaffolds provided by the instructor
included the presentation of the rationale for the task, fostering the integration
across various course readings and course objectives, supporting reflective
writing, differentiating between conclusion, fact, opinion and hypothesis,
supervising text comprehension, focusing on the process of learning and
encouraging interactions among the participants. These metacognitive-
scaffolds were all found to increase the extent to which students tended to reflect
on their task and consequently contributed to their experience as a community of
learners with a common task.
The current study may have some important implications for the discipline
of teacher education. Online course coupled with instructor's scaffolding has a
unique potential to promote students metacognitive reflections. Based on our
findings we recommend including online courses coupled with instructor's
scaffolding in teacher education programs. We also urge teacher education policy
makers to adopt the online environment for multicultural education courses. We
hope that new teachers who experience reflective learning process during their
teacher education studies will have the skills and the awareness to promote such
learning process in their own classes. Adding such courses to teacher education
programs might produce a constructivist reform in teacher education and newteachers would become agents of social change.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
36/640
References
Anderson, M. D. (2001). Individual characteristics and web-based courses. In C.
R. Wolfe (Ed.).Learning and teaching on the World Wide Web. (pp. 47-
68). San Diego: Academic Press.
Barbour, M., & Collins, M. (2003). Online writing as a form of electronic
communication in a second year biology Course: Media and technology
for human resource development: Journal of Educational Technology,
14(1-2), 33-42.
Banks, J. A. (1996). The canon debate, knowledge construction and multicultural
education.In J. A. Banks (Ed.).Multicultural education, transformative
knowledge& action.(pp. 3-29). New York: Teacher College Press,
Columbia University.
Bennett, C. (Summer 2001). Genres of research in multicultural education.Review
ofEducational Research 71(2), 171-217.
Bernt, F. M., & Bugbee, A. C, jr. (1993). Study practices and attitudes related to
academic success in a distance learning program. Distance Education, 14,
97-113.
Brown, A. L. (1987). Metacognition, executive control, self-regulation, and other
more mysterious mechanisms. In F. E. Weinert & R. H. Kluwe (Eds.),
Metacognition, motivation, and understanding (pp. 65-116). Hillsdale,
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Buttler, D. L., & Winne, P. H. (1995). Feedback and self-regulated learning: A
theoretical synthesis.Review of Educational Research, 65, 245-281.
Chou, C. C., (2003).Model of Learner-Centered Computer-Madiated Interaction
for Collaborative Distance Learning. University of Minnesota. ERIC
Clearinghouse on Information & Technology.
Chute, A. G., & Shatzer, L. S. (1995). Designing for international teletraining,
AdultLearning, 7(1), 20-21.
Cornbleth, C. (1986). Ritual and rationality in teacher education reform.
EducationalResearcher,April, 5-15.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
37/640
32
Cowham, T., & Duggleby, J. (2005). Pedagogy and quality assurance in the
development of online learning for online instructors. Journal of
Asynchronous Learning Networks,
9(4), 15-27.
Dabbagh, N. (2002). Using a Web-Based Course Management Tool to Support
Face-to-Face Instruction. Technology Source. Retrieved September 11,
2005, from
http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/
Danchak, M. M., & Huguet, M. P. (2004). Designing for the changing role of the
instructor in blended learning. Professional Communication, IEEE
Transactions on, 47(3), 200-210. Retrieved September 10, 2005, from
http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...
Davis, E. A. (April 2003). Characterizing and fostering productive reflection in
prospective elementary science teachers. A paper presented at theAmerican Educational Research Association annual meeting. Chicago
Dawson, K. (2005). Teacher inquiry: A vehicle to merge prospective teachers
experience and reflection during curriculum-based, technology-enhanced
field experiences. Retrieved April 23 2007, from
http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdf
Dawson, K., & Bondy, E (December 2003). Reconceptualizing the Instruction of
a Teacher Educator: Reflective Peer Coaching in Teacher Education.Teacher Education, 14,(3),319-331.
Diniz-Pereira, J. E. (2005). Teacher Education for Social Transformation and its
Links to Progressive Social Movements: The case of the Landless Workers
Movement in Brazil. The Journal for Critical Education Policy Studies,
Vol. 3, No. 2. Retrieved April 23 2007, from
http://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6
http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6http://www.jceps.com/index.php?pageID=home&issueID=6http://www.coe.ufl.edu/school/PT3/NECC2005_kdawson.pdfhttp://ieeexplore.ieee.org/iel5/47/29409/013315...http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/http://technologysource.org/article/using_a_webbased_course_management_tool_to_support_facetoface_instruction/ -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
38/640
33
Easton, S. S. (2003). Clarifying the instructor's role in online distance learning.Communication Education, 52(2), 87-105.
Efklides, A, (2006). Metacognition and affect: What can metacognitive
experiences tell us about the learning process? Educational Research
Review, 1, 3-14
Ertmer, P., & Newby, T,(1996). The expert learner: Strategic, self-regulated
and reflective.Instructional Science, 14, 1-24.
Fitzpatrick, R (2001). Is Distance Education Better Than the Traditional
Classroom? Accelerating the Point of Information. Retrieved January 10,
2003, from
http://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.html
Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area
of cognitive developmental inquiry.American Psychologist, 34, 906-911.
Hartnett, A., Naish, M. (1980). Technicians orsocial bandits? Some moral andpolitical issues in education of teachers in P. Woods (Ed.), Teacher
Strategies, Exploration in the Sociology of the School, (pp. 254-273).
London: Croom Helm.
Jonassen, D. H. (2000). Computers in the classroom: Mindtools for critical
thinking.Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Keesing-Styles, L. (Spring 2003), The relationship between critical pedagogy and
assessment in teacher education. Radical Pedagogy, 5(1). Retrieved July10, 2006, from
http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.html
Kyong-Jee, K., & Bonk, C. J (2002), Cross-Cultural Comparisons of Online
Collaboration, Journal of Computer-Mediated Communication, 8(1),
Retrieved December 13, 2007, from
http://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.html
http://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://jcmc.indiana.edu/vol8/issue1/kimandbonk.htmlhttp://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue5_1/03_keesing-styles.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.htmlhttp://www.clearput.com/accelepoint/articles/r_fitzpatrick_060101.html -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
39/640
34
Lehman, R. (2006). The Role of Emotion in Creating Instructor and LearnerPresence in the Distance Education Experience. Journal of Cognitive
Affective Learning, 2(2), 12-26.
McCrindle, A., & Christensen, C. (1995). The impact of learning journals on
metacognitive and cognitive processes and learning performance.
Learning and Instruction, 5, 167-185.
Nardi, B. (1996). Context and Consciousness: activity theory and human-
computer interaction. Cambridge: MIT Press.
Nashon, S. M., Anderson, D., & Nielsen, W. (2005). Students' metacognitive
traits as pointers to their subsequent knowledge construction. Conference
Proceedings CD of the National Association for Research in Science
Teaching (NARST), Dallas, Texas.
Nehama, T., Kalay, A., & Rimor, R (2005). Types and Levels of Teachers
Supports in an Online Environment: Typology of scaffolding. A Paper
Presented at the IACE 20th
Annual Meeting (Hebrew).
Nir-Gal, O., Nur, T., Gelbart, R., & Reingold, R. (2005). The Online Teachers
Role - An Analysis Reflected by Field Data, Research Report, Achva-
College of Education, supported by The MOFET Institute (Hebrew).
Papaleontiou-Louca, E. (2003). The concept and instruction of metacognition.
TeacherDevelopment 7(1), 930
Paris, S.G., & Winograd, P. (1990). How metacognition can promote academic
learning and instruction. In B. Jones & L. Idol. Hillsdale (Eds.),
Dimensions of thinking and cognitive instruction, NJ.: Lawrence Erlbaum
Rimor, R. (2002).From search for data to construction of knowledge. Processes
of organization and construction of knowledge in data-base environment.
Ph.D. Thesis. Ben-Gurion University. Beer- Sheva, Israel. (Hebrew).
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
40/640
35
Rimor, R., & Kozminsky, E. (2001-2002). An analysis of the reflections ofstudents in online courses. Ben-Gurion University of the Negev. Retrieved
June 15, 2006, from
http://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdf
Rimor, R., Reingold, R., & Kalay, A. (2006). The relationship between students
metacognition and instructors scaffolding in online academic courses. A
Paper Presented at the 2nd meeting of EARLI SIG 16: Metacognition.
University of Cambridge.Faculty of Education. Cambridge, UK. 19-21
July 2006. Retrieved September 15, 2006, fromhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdf
Rumble, G. (2001). Re-inventing distance education, 1971-2001.International
Journal ofLifelong Education, 20(1/2), 31-43.
Russel, T., McPherson, S., & Martin, A. K. (2001). Coherence and collaboration
in teacher education reform, Canadian Journal of Education, 26(1), 37-55.
Russo, T. C., & Ford, D. J. (Spring 2006). Teachers reflection on reflectionpractice, Journal of Cognitive Affective Learning, 2(2), 1-12. Retrieved
August 31, 2006, from
https://www.jcal.emory.edu//viewarticle.php?id=54&layout=html
Schulz, R., & Mandzuk, D. (2005). Learning to teach, learning to inquire: A 3-
year study of teacher candidates experiences, Teaching and Teacher
Education, Volume 21(3),315-331 . Manitoba, Canada: Faculty of
Education, University of Manitoba.
Shulman, L., & J. H. Shulman (2004). How and What Teacher Learn: a Shifting
Perspective,Journal of Curriculum Studies, 36(2), 257-271.
Thomas, M. (2002). Learning within incoherent structures: the space of online
discussion forums.Journal of Computer Learning, 18, 351-366
Volery, T. (2001). Online education: An exploratory study into success factors.
Journal ofEducational Computing Research, 24(1), 77-92.
http://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdfhttp://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdfhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttps://www.jcal.emory.edu/viewarticle.php?id=54&layout=htmlhttp://www.educ.cam.ac.uk/download/MetacogAbstr.pdfhttp://burdacenter.bgu.ac.il/publications/finalReports2001-2002/Rimor.pdf -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
41/640
36
Wolfe, P. (2001). Brain matters: Translating research into classroom practice.Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.
Vygotsky, L. S. (1978).Mind in Society: the development of higher psychological
processes.Cole, M. et al. (Eds.), Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Wilson, J. (1989). De-intelectualization and authority in education, Oxford Review
ofEducation, 15, 111-120.
Wurzel, J. S. (1988). Introduction: Multiculturalism and Multicultural Education.
In J. S.Wurzel (Ed.), Toward Multiculturalism, (pp. 1-13), Yarmouth:
Maine.
Zemsky, R., & Massy, W.F. (2004). Thwarted Innovation - What Happened to
e-learning and Why. A Learning Alliance Report. Retrieved August 20,
2004, from
http://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdf
http://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdfhttp://www.csudh.edu/dearhabermas/WeatherStation_Report.pdf -
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
42/640
37
PowerPoint
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
43/640
38
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
44/640
39
Profil Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Kelas 4 Sekolah Dasar
dengan Penggunaan Manipulatif Konkret dan Lingkungan
Ditinjau dari Perbedaan Gaya Belajar Kolb
Agnita Siska Pramasdyahsari
(117785044)
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
45/640
40
BAB IPENDAHULUAN
Pecahan adalah topik penting yang diajarkan di sekolah untuk dipahami
sebagai bekal untuk mempelajari topik matematika lainnya. Banyak peserta didik
mengenal pecahan sebagai notasi yang terdiri dari pembilang dan penyebut. Bagi
mereka sebagai pembelajar, definisi dari konsep pecahan harus terbingkai dengan
hati-hati karena banyak kejadian berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan
nyata. Namun, mereka mengalami kesulitan karena hanya menggunakan
algoritma pecahan tanpa memahami pengertian pecahan itu sendiri. Berdasarkan
Wahyuningsih [1] pecahan dianggap sebagai salah satu materi paling sulit
dipahami bagi peserta didik di Sekolah Dasar. Hal ini dianggap wajar dengan
mempertimbangkan kompleksitas konsep yang terkait di dalamnya seperti
membandingkan pecahan, menjumlahkan pecahan dan mengurangkan pecahan.
Sedangkan konsep pecahan diajarkan melalui metode pembelajaran yang masih
abstrak. Hal ini dikarenakan peserta didik dianggap memiliki kemampuan yang
cukup untuk mengoperasikan relasi matematika dan operasi sederhana pada
pecahan karena mereka telah diajarkan kemampuan tersebut dan menguasai
proses tanpa banyak pemahaman.
Faktanya, pecahan sulit bagi kebanyakan peserta didik sehingga
dibutuhkan alat peraga manipulatif (fraction tilesatau model pengukuran) untuk
menerangkan konsep pecahan secara konkret. Menurut Martin dan Schwartz [2]
adaptasi dan reinterpretasi proses melalui manipulasi aktif dari fraction tiles
meningkatkan pemahaman konseptual peserta didik dibandingkan menggunakan
pie pieces.
Terkait dengan rendahnya pencapaian dalam pecahan, June Choi & Gina
Lee [3] mengelaborasi penyebab kesulitan materi pecahan adalah kekompleksan
konsep pecahan, penggunaan prosedur yang tidak tepat dalam pengajaran,
kesulitan dalam membedakan satuan dan skema penghitungan ketika mengubah
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
46/640
41
bilangan bulat dalam pecahan, serta proses pembelajaran yang lebih cenderungmenekankan pada prosedur daripada konsep. Selain itu, mengingat aturan, konsep
dan kurangnya pengetahuan. Akibatnya, kesulitan tersebut menyebabkan peserta
didik mengerjakan operasi bukan karena memahami konsep matematika.
Berdasarkan kurikulum sekolah dasar, operasi pecahan diajarkan dari kelas
3 semester 2 hingga kelas 6 dimana siswa pada kelas tersebut memiliki
karakteristik operasional konkret. Soejadi [4] mengatakan bahwa kebanyakan
guru matematika melakukan pengajaran yang berpusat pada guru daripada
berpusat pada peserta didik. Akibatnya, guru menggunakan banyak waktu untuk
menjelaskan dan memecahkan permasalahan matematika sedangkan peserta didik
hanya pasif dan menyalin tulisan guru di papan tulis. Selain itu, permasalahan
matematika digunakan dalam penilaian aktivitas yang berpusat pada algoritma dan
proses, padahal peserta didik kurang aplikasi secara praktikal.
Meskipun demikian, menguasai proses adalah penting akan tetapi
menguasai proses tanpa memahami pembelajaran tidak akan berarti. Hal inilah
yang mengakibatkan sebuah penekanan pada pergeseran berfikir dari proses ke
pemahaman. Streefland [5] mengkonfirmasi bahwa permasalahan yang peserta
didik jumpai dalam mempelajari pecahan, khususnya ketika mengoperasikan
pecahan tidak dihubungkan dengan pengalaman konkret. Seharusnya dalam
mengeksplorasi pertanyaan mengenai cara untuk memfasilitasi proses transisi dari
pengalaman konkret melalui pemodelan pecahan menggunakan alat peraga
manipulatif menujuformal reasoningdan memahami beberapa pecahan.
Pengembangan konsep pecahan memungkinkan peserta didik untuk
memperluas pemahaman mereka tentang bilangan bulat dan memungkinkan
mereka untuk memahami dan bekerja dengan pecahan. Pengajaran di kelas-kelas
bawah harus menekankan arti pecahan dengan merepresentasikan kuantitas
pecahan dalam berbagai konteks, dengan menggunakan berbagai bahan. Melalui
pengalaman ini, peserta didik belajar melihat pecahan sebagai nomor berguna dan
membantu. Penting bagi guru untuk memastikan bahwa peserta didik memiliki
pemahaman yang kuat pada konsep pecahan. Setelah konsep-konsep ini
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
47/640
42
ditanamkan, peserta didik lebih dapat memvisualisasikan dan memahami nilaipecahan. Melalui pemahaman konseptual peserta didik akan memiliki lebih
sedikit masalah di masa depan ketika mereka diperkenalkan pada operasi pecahan
dan algoritma (terutama saat menambahkan dan mengurangkan dengan tidak
seperti penyebut).
Menurut Cramer & Henry [6] komponen penting dari pengembangan
konsep pecahan adalah penggunaan manipulatif atau model. Penggunaan yang
berkepanjangan dari beberapa manipulatif dan model akan menghasilkan transfer
ke representasi visual atau citra mental. Cramer, Pos & Mas Del [7]
mengemukakan bahwa representasi visual akan mengarah pada pemahaman yang
lebih konkret dari konsep pecahan. Pemodelan pecahan menggunakan media
visualisasi memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan pemahaman
tentang pecahan. Hal ini sangat penting bagi peserta didik untuk memiliki
kesempatan menggunakan model area, model himpunan, dan model linear untuk
membantu dalam memecahkan masalah.
Selain itu menurut Chen & Weiland [8] peserta didik akan lebih
memahami suatu konsep jika mereka terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Hal
ini sesuai dengan filosofi pendidikan matematika realistik yang berakar dari
pemikiran Freudenthal (dalam Gravemeijer [9]) bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia. Menurut Hadi [10] peserta didik tidak boleh dipandang sebagai
penerima pasif matematika yang sudah jadi, pendidikan harus mengarahkan
peserta didik kepada penggunaan berbagai konteks dan kesempatan untuk
menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.
Menurut Von Glasersfeld Moses A. Boudourides [11] konstruktivis
menekankan bahwa manusia mengkonstruksikan obyek-obyek dan hubungannya
yang mereka rasakan, untuk memperluas konsepsi mereka sesuai dengan
lingkungan. Menurut Catur [12] disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan
penting dalam produktifitas dari kreatifitas.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
48/640
43
Environmental, as well as motivational and temperamental factors playan important role in creative productivity. Creative people differ
considerably in performance from time to time.
Ada dua macam pengetahuan matematika yang perlu dikuasai anak untuk
memahami konsep matematika, yaitu pengetahuan konseptual dan prosedural.
Dua pengetahuan yang berbeda tersebut sangat dibutuhkan secara bersamaan,
sementara untuk menghubungkan dua pengetahuan penting tersebut diperlukan
alat bantu pembelajaran. Sebagai implikasi, pembelajaran yang disarankan oleh
Payne [13] adalah proses pembelajaran yang didalamnya menggunakan alat
peraga manipulatif.
Menurut Perkins (dalam Zulkardi [14]) dikutip mengenai pembelajaran
konstruktivis melalui alat peraga manipulatif dari alam dan lingkungan sekitar
sebagai berikut :
'Rich' or 'constructivist' learning environment contain more: construction
kits or areas for presenting, observing and manipulating less natural
phenomena (e.g. simulation programs and games); and phenomenaria, or
areas for presenting, observing and manipulating natural phenomena
(e.g. teaching simulation, teaching practice); as well as place more
control of the environment in the hands of the learners themselves.
Menurut Ibrahim, dkk [15] setiap orang bersifat unik, berbeda dengan
orang lain demikian pula dengan siswa. Mereka memiliki variasi pada gaya
belajar, kecepatan belajar, pusat perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan
siswa selama proses belajar mengajar mungkin akan berdampak pada hasil
belajar. Gaya belajar yang dimiliki setiap individu merupakan cara terbaik yang
dapat dilakukan pada saat mereka belajar. Perbedaan gaya belajar dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pembentukan dan pemahaman terhadap
informasi yang diterima.
Berdasarkan situasi tersebut, penguasaan konsep pecahan melalui
penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan berbeda antar siswa sesuai
dengan kecenderungan gaya belajar mereka masing-masing. Dengan mengetahui
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
49/640
44
profil pemahaman konsep pecahan pada siswa yang memiliki gaya belajarberbeda diharapkan guru akan mempunyai gambaran tentang kondisi siswa
sehingga mempermudah dalam memfasilitasi kebutuhan siswa tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, titik incar dalam makalah ini adalah sebagai
berikut: pertama, bagaimana profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4
Sekolah Dasar dengan gaya belajar concrete experience(CE) dengan penggunaan
manipulatif konkret dan lingkungan? Kedua, bagaimana profil pemahaman
konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar abstract
conseptualization(AC) dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan?
Ketiga, bagaimana profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah
Dasar dengan gaya belajar reflective observation (RO) dengan penggunaan
manipulatif konkret dan lingkungan? Keempat, bagaimana profil pemahaman
konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar active
experimentation(AE) dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut (1)
mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar
dengan gaya belajar concrete experience (CE) dengan penggunaan manipulatif
konkret dan lingkungan, (2) mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan
siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya belajar abstract conseptualization(AC)
dengan penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan, (3) mendeskripsikan
profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4 Sekolah Dasar dengan gaya
belajar reflective observation (RO) dengan penggunaan manipulatif konkret dan
lingkungan, (4) mendeskripsikan profil pemahaman konsep pecahan siswa kelas 4
Sekolah Dasar dengan gaya belajar active experimentation (AE) dengan
penggunaan manipulatif konkret dan lingkungan.
Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka didefinisikan beberapa
istilah dalam makalah ini, diataranya adalah sebagai berikut:
1. Profil adalah gambaran tentang sesuatu yang diungkapkan dengan deskripsi
yang menggunakan kalimat atau rangkaian kata-kata.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
50/640
45
2. Pemahaman konsep adalah membangun koneksi antara gagasan ide, fakta,atau prosedur bukanlah hal yang baru dengan mengaitkan konsep tersebut ke
dalam konsep yang dimiliki.
3. Pecahan adalah bilangan yang dinotasikan sebagai dimana adan badalah
bilangan bulat, abukan kelipatan b, and b0.
4. Siswa kelas 4 yang dimaksud yaitu anak-anak usia 9-10 tahun yang memiliki
karakteristik operasional konkret menurut teori Piaget.
5. Manipulatif konkret adalah alat bantu pembelajaran yang digunakan terutama
untuk menjelaskan konsep dan prosedur matematika yang dapat
dimanipulasikan oleh peserta didik (dibalik, dipotong, digeser, dipindahkan,
digambar, dipilah, dikelompokkan atau diklasifikasikan).
6. Lingkungan adalah segala sesuatu baik yang berupa benda hidup maupun
benda mati yang terdapat di sekitar.
7. Gaya belajar adalah suatu kecenderungan cara seseorang sehingga
memudahkan baginya untuk memproses informasi untuk melakukanperubahan dalam dirinya menuju ke arah yang lebih baik. Terdapat empat
jenis gaya belajar menurut David Kolb yang didasarkan pada teori belajar
experiential learning yaitu gaya belajar concrete experience, abstract
conceptualization, reflective observation, active experimentation.
8. Gaya belajar concrete experience adalah gaya belajar yang lebih banyak
memanfaatkan perasaan dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret.
9. Gaya belajar abstract conceptualization adalah gaya belajar yang lebih
banyak memanfaatkan pemikiran dan lebih berfokus pada analisis logis.
10. Gaya belajar reflective observation adalah gaya belajar yang lebih banyak
memanfaatkan pengamatan sebelum menilai dari berbagai perspektif.
11. Gaya belajar active experimentation gaya belajar yang lebih banyak
memanfaatkan tindakan dan memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi
orang lain melalui perbuatannya.
-
5/22/2018 Kelas a Pengajaran Matematika
51/640
46
Adapun harapan dari penulisan makalah ini agar dapat diambil manfaatsecara teoritis untuk dapat berkontribusi terhadap kajian pustaka mengenai
perbedaan profil pemahaman konsep pecahan pada siswa dengan keberagaman
gaya belajar melalui pembelajaran manipulatif konkret. Selain itu, manfaat secara
praktis, bagi penulis adalah endapatkan gambaran mengenai perbedaan profil
pemahaman konsep pecahan pada siswa dengan keberagaman gaya belajar
melalui pembelajaran manipulatif konkret. Bagi siswa, mengetahui
kecenderungan gaya belajar pada diri siswa sejak dini sehingga mengarahkan
potensi belajar yang telah dimiliki. Bagi guru,mendapatkan gambaran mengenai
perbedaan profil pemahaman konsep pecahan pada siswa sehingga