Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan
-
Upload
lifia-odelia-santika -
Category
Documents
-
view
395 -
download
0
Transcript of Kejahatan Korporasi Sebagai Kajian Kriminologi Masa Depan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau
dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat
manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke
permukaan. Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan,
kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di
bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia.
Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”.
Dikatakan elite, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat
dibayangkan, bagaimana preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat
keamanan, dapat melakukan kejahatan komputer atau money laundering misalnya, yang
nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu.
Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan
pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda.
Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak
hal aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan
dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam
proses peradilan.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka persoalan yang akan
dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah, terdapatnya perubahan (pergeseran)
wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh perkembangan
pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi adalah suatu
kesatuan yang disamakan dengan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa kejahatan korporasi?
2. Apa kejahatan korporasi sebagai kajian kriminologi masa depan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi korporasi
Istilah korporasi adalah merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum
lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam
bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau yang dalam bahasa Inggris disebut
legal entities atau corporation.
Istilah badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari
perkembangan modernisasi. Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan
masyarakat yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan secara
perorangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk
menjalankan kegiatan usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau
dengan orang lain), yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun modal
yang lebih banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan tergabungnya
keterampilan akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan hanya seorang diri.
Mungkin pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka dapat membagi
risiko terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses kegiatan kerjasama
tersebut.
Menurut Chidir Ali seperti dikutip oleh Erman Rajagukguk] mengatakan, bahwa
manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau
kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu
organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan dan
mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku
untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam
tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka
mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya
menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota bersama-sama
merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri
terpisah dari hak-hak para anggotanya. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri
terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota secara individual. Subjek hukum yang
baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak jarang kerja sama tersebut terjadi bukan
hanya sekedar dengan beberapa orang saja, melainkan dapat pula terjadi diantara
beberapa ratus atau bahkan ribuan orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang dapat
dilihat perkembangannya di negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya Perseroan-
perseroan Terbatas (PT) yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak
masyarakat lewat kebijakan go public-nya. Dan dalam perkembangannya yang terkini,
bahkan telah pula dilakukan dalam bentuk saling menggabungkan diri untuk selanjutnya
melakukan kerjasama dalah satu kesatuan yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan
dengan merger. Hal ini terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih Perseroan
Terbatas (PT) misalnya, atau badan hukum lain.
Apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan
hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini
diberi status sebagai subjek hukum. Sehingga subjek hukum secara singkat dapat
diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum yaitu
manusia (natuurlijkperson) dan sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh
hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang terakhir ini disebut badan
hukum.Manusia sebagai subjek hukum (dalam arti sebagai pendukung hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum) sudah mulai ada sejak manusia itu masih dalam
kandungan sampai ia meninggal. Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
menyebutkan, “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap
sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun
jika anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”. Dalam
hubungan ini, misalnya, seorang ibu yang hamil, kemudian suaminya meninggal dunia,
hal ini dapat menimbulkan pemecahan warisan. Anak itu walaupun masih berada
kandungan ia dianggap mendapat warisan. Oleh karenanya dapat dikatakan kemampuan
seseorang untuk menjadi subjek hukum, mampu menjadi pendukung hak dan kewajiban
adalah mulai dari seseorang itu masih berada dalam kandungan dan berakhir dengan
kematiannya.
Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu
badan, namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan
segala risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di
dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun latar
belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip
pendapat Rudhi Prasetya. menyebutkan: “bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain
sekedar untuk mempermudah menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus
bertanggung jawab diantara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam
badan tersebut, andaikata terjadi akibat hukum, yaitu yang secara yuridis
dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu adalah sebagai subjek hukum yang harus
bertangung jawab
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai
teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua bagian besar,
yaitu:
Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,
dianggap mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum
itu disamakan dengan orang atau manusia. kedua adalah, mereka yang menganggap
badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu
sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan,
maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang
badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.
Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap
pemisahan pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada
dibelakang badan hukum tersebut.
Pemahaman badan hukum demikian itu adalah merupakan pengertian umum. Badan
hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang dalam bentuk Perseroan
Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu; ada pula yang berbentuk koperasi,
dan BUMN dan lain sebagainya. Lebih lanjut Erman Rajagukguk menjelaskan tentang
kapan suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan
dapat disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:
1. Syarat-syarat menurut doktrin
Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika terpenuhi 4 (empat)
unsur, yaitu:
a. Adanya kekayaan perkumpulan yang terpisah dari kekayaan anggota-
anggotanya.
b. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan kepentingan
yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu orang atau beberapa orang
saja.
c. Kepentingan tersebut harus untuk jangka waktu yang panjang.
d. Harus ada kekayaan yang terpisah tidak saja untuk menjaga kepentingan-
kepentingan anggotanya, melainkan juga kepentingan-kepentingan tertentu yang
terpisah dari kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya.
Paham lain menambahkan, disamping 4 (empat) unsur tersebut di atas, yaitu adanya
organisasi yang teratur, badan hukum sebagai subjek hukum merupakan kesatuan
sendiri dengan organ-organnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata
cara bagaimana organ badan hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak,
dipilih, diganti dan sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-
peraturan lainnya.
2. Syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan.
a. Dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi mempunyai status badan
hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan hukum. Undang-
undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah
merupakan dan berstatus sebagai suatu badan hukum.
b. Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan dari peraturan
yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah badan hukum, misalnya suatu
perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum harus mendapat
pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau oleh pejabat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.
3. Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi (keputusan-keputusan
pengadilan)
Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama dalam pengertian peraturan perundang-
undangan tersebut di atas) semakin berkembang dengan pesat, baik dalam jumlahnya
maupun dalam wujud macam bidang usaha yang dikelolanya. Hal ini dapat dilihat pada
perkembangan dan pertumbuhan industri yang bergerak diberbagai bidang seperti
pertanian, kehutanan, makanan, pharmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan,
konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Setiap hari kita dibanjiri
dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk
“investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti diuraikan di atas, dapat dilayani oleh
korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak dalam kandungan hingga ke liang
kubur kita di bawah kekuasaan korporasi. Untuk penyediaan keperluan semua ini,
korporasi menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang
sedemikian ini tentunya ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat
bahwa dengan munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan
pekerjaannya. Belum lagi sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun
devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga
menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran,
pengrusakan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,
eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya
serta penipuan terhadap konsumen.
Kendatipun korporasi disamping bercorak positif, tapi di lain pihak juga memberikan
efek negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, namun
pertumbuhan dan peranan korporasi tetap eksis dan semakin membesar sehingga
menjadikan masyarakat yang konsumtif semakin tergantung pada keberadaan korporasi
tersebut. korporasi tumbuh bagai raksasa yang mengangkangi banyak kehidupan
masyarakat, sehingga mempunyai konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara
ekonomi, politik dan kekuasaan semakin menguat.
B. Kejahatan
Memberi definisi yang seragam memang sulit didapat dalam Ilmu Pengetahuan
Sosial, oleh karena setiap sarjana mempunyai pendapat masing-masing. Demikian pula
halnya dengan masalah pendefinisian tentang apa itu kejahatan.
Penjelasan mengenai perilaku kriminal (kejahatan) menurut I.S. Susanto tidaklah berdiri
sendiri atau berbeda dari penjelasan mengenai perilaku kriminal. Secara umum usaha
untuk memformulasikan teori-teori tentang perilaku kriminal telah dilakukan melalui
ilmu-ilmu lain, seperti biologi, kedokteran, psikiatri, psikologi, psikologi sosial dan
sosiologi. Namun suatu teori hanya dapat dipandang dan dipahami melalui kerangka
acuan intelektual dan kultural yang melatarbelakanginya.
Meskipun demikian perlu dicatat, bahwa dari hasil usaha yang selama ini dilakukan
harus diakui bahwa kita masih saja belum dapat memahami sepenuhnya perilaku
manusia. Tidak ada konsep-konsep teoretis yang dapat menjelaskan kompleksitas dan
secara penuh dari perilaku manusia.
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J.E. Sahetapy
“bahwa kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri,
ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka
semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya”.
Permasalahan tentang apa yang dinamakan kejahatan (dalam pengertian konvensional)
adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri, yaitu bergantung pada persepsi dan
keyakinan, dapatlah dikatakan berbeda dengan paham dan istilah theologia Adam dan
Hawa sudah melakukan apa yang dinamakan kejahatan, karena mereka telah melanggar
perintah Tuhan, yaitu dengan memakan buah yang sebelumnya telah dilarang untuk
didekati dan apalagi sampai memakannya. Terlepas dari persepsi dan keyakinan, bahwa
perbuatan mereka adalah merupakan dosa, jadi (mungkin) bukan kejahatan jika
mengacu pada konteks peraturan perudang-undangan. Namun kejahatan, seperti
kejahatan penganiayaan dan pembunuhan yang dikenal sekarang dalam rumusan
peraturan perundang-undangan pada mula pertama, seperti diuraikan dalam Al Qur’an,
telah dilakukan oleh Qabil dengan melakukan kejahatan pembunuhannya terhadap
adiknya, Habil.
Demikianlah apa yang dapat dinamakan kejahatan dalam bentuk primordial, kini masih
selalu menampakkan diri dalam keadaan segar bugar secara mondial. Kejahatan, apakah
itu dalam bentuk pembunuhan, makar, pencurian, penipuan, pemerasan, penggelapan,
perkosaan, aborsi ataupun dengan penamaan baru seperti korupsi, pembajakan pesawat
udara, dan subversi, setiap orang dapat menyaksikan akibatnya secara riil dan kongkrit;
setiap orang dapat merasakan dan mengalaminya dan bahkan dapat pula melakukannya
sendiri.
Persepsi tentang apa itu yang dinamakan kejahatan, menurut J.E. Sahetapy, tak dapat
tidak pasti akan merupakan bahan debat yang kontroversial. Seperti juga apa yang
dinamakan cantik atau kecantikan, bisa menimbulkan bukan saja suatu perdebatan,
bahkan permasalahan itu dalam praktek dapat juga menimbulkan keretakan rumah
tangga. Bukankah seperti dikatakan: “Beauty is the eye of the beholder”, kecantikan
seseorang ada dimata anda sendiri tidak atau belum tentu dimata orang lain.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan gejala sosial yang disebut kejahatan
dengan pelaku kongkrit dengan akibat-akibatnya pun bersifat riil, jelas dan tertentu.
Akan tetapi konstruksi yuridis akan menjadi lain dan malah sekarang belum
memperoleh perumusan yang pas (?) untuk menjaring pelaku kejahatan yang justru
abstrak dan kompleks sifatnya, tetapi mempunyai dampak dan akibat yang riil, dan
bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kejahatan konvensional, inilah seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan yang
disebut dengan kejahatan korporasi.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka pemahaman tentang (causa)
kejahatan dalam konteks kekinian sudah bukan pada tempatnya lagi untuk
menggunakan logika-logika atau teori-teori kriminologi klasik, oleh karena itu aliran
pemikiran kriminologi ini menurut I.S. Susanto[15] adalah mendasarkan pada
pandangan bahwa inteligensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan
menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun
kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam
arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu
memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendakanya. Ini
merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat,
psikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang sedemikian maka
masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendaki. Kunci
kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan atau akal yang dapat
ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol
nasibnya sendiri baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan
penjahat dilihat semata-mata dari sudut batasan undang-undang. Kejahatan
didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang pidana; dan penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan
dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya
melakukan kejahatan.
Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah
sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu kejahatanpun juga
harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat dibayangkan
bagaimana mungkin konsep kaca mata klasik digunakan untuk memotret terhadap
gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah
semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang
sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti
bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh
subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan
dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah
tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa
sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri
yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan
masyarakat yang serba modern.
Saat ini, kejahatan yang sangat meresahkan dan merugikan serta membahayakan
kehidupan masyarakat adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Memahami
korporasi dengan segala proses kerjanya seluruh komponen-komponen yang ada di
dalamnya, adalah jauh lebih sulit dari pada memahami kejahatan dengan manusia
sebagai pelakunya, baik secara tunggal maupun yang terdiri dari beberapa orang pelaku,
baik pemahaman dalam artian teoretis dan lebih-lebih lagi pemahaman untuk keperluan
praktis.
C. Kejahatan Korporasi
Adalah merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang
penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian.
Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana
yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, seperti dikatakan oleh I.S. Susanto[17], telah memberikan sumbangan
yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif.
Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh
korporasi seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan
curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang
membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara
perilaku-perilaku seperti inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan
atau tindak pidana korporasi.
Tugas kriminologi dalam konteks yang demikian itu seperti yang diutarakan
oleh I.S. Susanto adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi
ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena
kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan
batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal
dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak ada
hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai
“batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri perilaku itu
sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan perundang-undangan
pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus
mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut undang-undang
dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan. Sementara Sutherland
dalam studinya terhadap kejahatan White Collar Criminality (WCC) menganggap
kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam
undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan perundang-undangan yang
lain. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami
pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku
terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh
karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap
jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini
mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses
kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-
undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam
bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang
tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum
adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam
konteks kehidupan masyarakat.
Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui
termasuk aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit
dalam memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan
korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan
perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan
dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan
langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan
tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti
mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.
Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan
kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah
tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam
hal kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian
yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan
dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan
diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang
membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.
Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa dipidana ? Atau suatu keraguan
yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu
korporasi dapat melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah
sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih
diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang,
dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah
yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J.E. Sahetapy[20]
dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan
suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu bertentangan atau
tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan
menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu kontradiksi
bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi
melakukan suatu tindak pidana.
Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang
keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan
didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan
oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga
sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu
sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai
subjek hukum alamiah (natuurlijk persoon) dalam beberapa hal juga melakukan
pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui
berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas
kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran
hukum.
Namun sebelum beranjak lebih jauh, jika kita sudah sepakat bahwa korporasi
benar-benar dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan, maka persoalan yang
menarik untuk dikedepankan adalah: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi
itu sesungguhnya ? Atau apakah yang menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat
dilakukan oleh suatu korporasi?
Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro yang mengatakan, bhwa tindak
pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC).
Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan: “suatu
pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam
pelaksanaan kegiatan jabatannya”. Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain
menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of
Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh
seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus
perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person),
namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus
dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat
manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian
ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation of trust). Yang
dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu
perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat, untuk melakukan
kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan bertikad baik. Ini yang
dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan
yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan kolusi), telah menyalahgunakan
kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.
Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard mengatakan
bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia tampil
dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk kejahatan
terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara
seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk
korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun semuanya masih dalam
rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic
yang berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper class
adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka
konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus
dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori
kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.
Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku
kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok
yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan
aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC)
sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang
ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas
dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran
yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang
pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang.
Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan
maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara, yaitu dengan
cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan
membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan
diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu
adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon
korban, bagai musang berbulu domba.
Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak
pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak
pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung
dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya
kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang
dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi
(perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.
Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang
ada, dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational
Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan
seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja
seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang
lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila
seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan
pekerjaannya.
Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi.
memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan
occupational. Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah
korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah
kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-
mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang
disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime.
Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang
lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada
tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada
umumnya.
Munculnya industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai
badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali V.O.C. yang didirikan oleh belanda pada
tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun
dengan modal (saham) yang tetap.
Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan
kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono
Reksodiputro yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai
bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk
membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan
oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis
dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak
pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan atau perbuatan
membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita
atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan
hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung jawaban dan kesalahan
jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan
pembangunan perekonomian kita selama dua dasawarsa yang lalu, yang telah
menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana
dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan
yang telah dicapai itu yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru
disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia,
sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak
mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah
“puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi
yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban
korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta
pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk
secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan
korporasi tersebut.
Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan korporasi, seperti diuraikan di
atas mengutip pendapat I.S.Susanto mengatakan ini tiada lain akibat “kebodohan kita
bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa
sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi atau bahkan
seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar
ketidaktahuan masyarakat ini antara lain dikarenakan oleh ketidakanampakan kejahatan
korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan
pelaksanaannya, oleh karena tidak adanya atau lemahnya penegakkan dan pelaksanaan
hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam
menguatkan dan menegakkan kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.
Namun di lain segi juga menggambarkan bahwa penelitian mengenai kejahatan
korporasi termasuk juga di dalamnya penelitian terhadap tindak pidana korupsi, selalu
akan membentur tembok bisu yang menakutkan. Ditambah dengan pers yang hanya
“hari-hari omong kosong”, maka sukarlah sekali untuk mengungkapkan kejahatan
korupsi dan pelaku kejahatan korporasi. Maka oleh sebab itu, benarlah secara
kriminologis, bahwa “anjing-anjing tidak pernah saling menggigit”. Anjing besar hanya
akan menggigit si pembongkar kebusukan. Dan anjing-anjing kecil hanyalah melolong
belaka berhadapan dengan anjing besar. Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak saling
menggigit” dan “hukum pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu ditelaah kembali
dalam mengkaji ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai kejahatan yang termasuk
dalam kelompok WCC.
Korporasi seperti diuraikan di atas, mempunyai ruang lingkup yang bersifat
komplek baik ditilik dari sudut proses bekerjanya maupun dampak atau akibat yang
ditimbulkan yang merugikan masyarkat, sehingga konsekuensinya, penanganan melalui
sarana hukum pidana juga harus mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka
dengan demikian apabila kita masih menggunakan pendekatan yang bersifat tradisional
(fundamental approach) maka fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama
untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam hal ini kesalahan
(guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal
ini akan berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif.
Dalam perkembangan kemudian, menurut Muladiyang mengatakan bahwa
pendekatan yang bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan
utilitarian (utilitarian approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum pidana dan
sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat
dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahyakan
masyarakat tersebut. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan
mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila
pandangan fundamentalis menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral
masyarakat sebagai alasan pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka
pandangan uitilitarian melihat public order sebagai sarana perlindungan.
Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat,
muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum
pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini dijadikan/digunakan sebagai
sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola
kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain
digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrtif dalam
berbagai hal. Inilah yang dinamakan dengan administrative penal law yang termasuk
dalam ruang lingkup public welfare offenses. Dalam hal tindak pidana semacam ini,
pemidanaan dilakukan atas dasar tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks ini
muncul bentuk pertanggug jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict (absolut)
liability yang meninggalkan asas mensrea, sebagai refleksi kecenderungan untuk
menjaga keseimbangan kepentingan sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya
sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi
kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Dikatakan “besar”, oleh karena
kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi,
sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan
menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal
dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional, melainkan harus
disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri, demikian pula dengan
masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga harus bergeser dari asas-
asas yang tradisional kearah yang lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat
luas, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Kejahatan
terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi tersendiri, tapi
sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan bagian dari kejahatan
korporasi, oleh karena seperti dikatakan oleh I.S.Susanto[28] bahwa korporasi adalah
suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam
bidang ekonomi atau bisnis, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi
sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam
konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan
direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian
dan cabang-cabang pada pihak lain. Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan
“warungan” tidak mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat perhatian lagi,
akan tetapi harus terdapat pemikiran yang proporsionalitas penanganan, sehingga tidak
memberi kesan adanya ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu
membahayakan dan merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi,
namun tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti
yang selama ini terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius
dan sungguh-sungguh.Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan
sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi Indonesia di masa mendatang.
Daftar Pustaka
------------------ Kejahatan Korporasi. Semarang Badan Penerbit Universitas
Diponegoro 1995 cetakan I
Rudhi Prasetyo. Perkembangan Korporasi Dalam Proses Moderniasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya
J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hal. 91.
I.S. Susanto, 1993 Op. Cit.
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1.
I.S. Susanto, 1993. Op. Cit.
Masalah ini, baca lebih lanjut, Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991 !
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal. 103.
Marshall B. Clinard, Op. Cit. hal 16.
I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal 15.
Mardjono Reksodiputro, 1994. Op. Cit., hal 105.
I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 1.
J.E. Sahetapy, 1989. Op. Cit.
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional “Kejahatan Korporasi” Semarang 23 – 24 November 1989. Hal. 4.
I.S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal 27.