keganasan darah
description
Transcript of keganasan darah
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan
penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini
disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel
induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer dan sering
menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar limfe.1-3
Dalam tahun 2006 diperkirakan ada 35.000 orang di Amerika Serikat yang terdiagnosis
menderita leukemia, 25% di antaranya berumur di atas 50 tahun dan sisanya menyerang anak-
anak dan orang dewasa. Menurut WHO (2002) leukemia terjadi hampir di seluruh dunia.
Registrasi kanker telah mencatat sekitar 250.000 kasus baru per tahun dengan CFR (Case
Fatality Rate) 76%. Dari 100.000 kasus baru kanker, Leukemia Mielositik Akut (LMA) sekitar
2,5%, sementara Leukemia Limfositik Akut (LMA) adalah sekitar 1,3% (WHO, 2002). Insiden
leukimia lebih sering pada laki-laki dibanding wanita. Data The Leukemia and Lymphoma
Society (2009) menyebutkan bahwa setiap 4 menit terdapat 1 orang meninggal karena kanker.
I.1 DEFINISI
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam,
ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk
darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan
oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di
dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah
putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih berasal dari sel stem di sumsum tulang.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami
gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel darah putih yang tampak banyak
merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat
mengganggu fungsi normal dari sel lainnya.
I.2 ETIOLOGI
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti :
1. Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai
hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung :
Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia
Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia
Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian Hiroshima dan Nagasaki.
2. Leukemogenik
Pewarna tekstil (rhodamin) digunakan mewarnai jelly dan minuman agar menarik minat
anak-anak untuk dikonsumsi. Sayuran dan buah-buahan sudah tercemar bahan kimia, akibat
pemupukan dan insektisida, sebelum sampai ketangan konsumen.
Hampir semua makanan saat ini menggunakan MSG, monosodium glutamat, perasa
yang berbahan kimia.
Obat untuk kemoterapi
Bahan bakar bensin
3. Genetic
Orang yang memiliki kelainan genetk tertentu (misalnya sindroma
Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
4. Virus
Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang menyerupai virus
penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis leukemia yang jarang terjadi pada
manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.
1.3 KLASIFIKASI
Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis
Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat,
mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat
meninggal dalam hitungan minggu hingga hari.
Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga
memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun bahkan ada yang
mencapai 5 tahun.
2. Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid dan myeloid
Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah
tepi.
Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia
limfositik.
Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil,
dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.
3. Jumlah leukosit dalam darah
Prevalensi empat tipe utama
Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal,
terdapat sel-sel abnormal
Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal,
terdapat sel-sel abnormal
Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal,
tidak terdapat sel-sel abnormal
Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi menjadi:
1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-
anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau
lebih
2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-
anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari
55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-
anak
4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada
anak-anak, namun sangat sedikit
Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi
pada anak-anak.
3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari
55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-
anak
4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada
anak-anak, namun sangat sedikit
Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, tapi LLA sering pada anak.
BAB II
LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT
II.1 DEFINISI
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid. Bila tidak
diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu
sampai bulan sesudah diagnosis. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32%
dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada
anak(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa
muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan
meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang
yangberusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar
13,7%.Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA,
meskipunpernah dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada
ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.
II.2 ETIOLOGI
Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang diketahui
dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu.
Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi ionik juga diketahui
Dapat menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom
atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi
tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman. Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi
kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down
mempunyai risiko10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe
M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga
diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk
menderita LMA. Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka
panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker
ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah
golongan alkalyting agent dan topoisomerase II inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai
prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia
versi WHO dikelompokkan tersendiri.
II.3 PATOGENESIS
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasisel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi
blast disumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum
tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia
(anemia, leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah
lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan
tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap
infeksi,termasuk infeksi oportunistis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum
tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf
pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
II.4 TANDA-TANDA DAN GEJALA
Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA,
sedang15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis
sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis
pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan
oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya
terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau
berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi
kecualipada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di
tenggorokan,paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus
diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi
leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran
pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada
dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit
yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena
konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai
hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi
tidak in vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang
diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa
benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan
lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi.
Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan
untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang
diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
II.5 DIAGNOSIS
LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang.
LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau
perdarahan. Hepatosplenomegali sering, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau
pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari
sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retro orbital dan
epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung
darah biasanya abnormal. Anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit
mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leokopenia atau
trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom
mielodisplasia. Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi
sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan mempunyai gambaran
displasia yang khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada
waktu diperiksa dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan
diri ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum tulang.
Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada
anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan
pewarnaan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 teknik
pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan
morfologi sel dan pengecatan sitokimia, klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai
M7).Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB saat ini masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA
adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut
akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Klasifikasi menurut FAB
LMA-M0 : Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal
LMA-M1 : leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi
LMA-M2 : Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi
LMA-M3 : leukemia promielositik akut
LMA-M4 : leukemia mielomonositik akut
LMA-M5 : leukemia monositik akut
LMA-M6 : Eritroleukemia
LMA-M7 : Leukemia megakariositik akut
Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira sama dengan jumlah
penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung jawab atas 80% dari LMA masa kanak-
kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang, dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan
penelitian mengenai perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi.
Peristiwa molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.
Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau kemudian) dapat terjadi
pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia promielositik akut (M3) yang terutama
beriksiko. Penemuan yang hampir selalu tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik
antara kromosom 15 dan 17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena yang menyandi
reseptor asam retinoat- . Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita
ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat dengan
kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada M4, di mana eosinofilia
merupakan gambaran yang menonjol.
Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau sebagian dari kromosom 5
atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7 terutama sering pada sindrom mielodisplasia
sekunder dan LMA sekunder.
Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous leukemia (JCML)) tidak
seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi
mempunyai gambaran yang serupa dengan gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia.
Kromosom Philadelphia tidak ada pada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam,
lesu, pembesaran hati dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis
sering mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat mencapai 50%, dan
leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang) merupakan temuan yang
mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari 5 tahun dan mungkin lebih sering pada
anak dengan neurofibromatosis tipe 1, kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.
Klasifikasi WHO Untuk LMA
I. I.LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren
LMA dengan t (8;21) (q22;q22),AML 1 (CBF )/ETO APL dengan t(15;17)
(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RAR
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16) (p13q22) atau t
(16;16) (p13;q11) CBF /MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom
myelodisplasia
III. LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi
akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limpfoid) tipe lain.
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis
II.6 TERAPI
Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk
mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat
serta mempunyai profil sitogenik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan
dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,
gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi preparat golongan
antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan
padapenderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang
sangattinggi (>100 ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk
menghindari leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk
mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim
leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses
untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratid harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik
dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya
didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan
karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek
samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi
sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang
baik.Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan
fasekonsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan
untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit.
Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali
normal sertapulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast
<5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonal
leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila
jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah
signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-
sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,
meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program
pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri
dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau
lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini
sebenarnya dapat menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam
sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi.
Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat
kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan
antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat
penting untukmenunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu
terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA)
II.6.1. Terapi LMA pada Umumnya
Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin
dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan
daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi
komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang
bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu
dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi
terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi
pada kondisi ini adalah high dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada
HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau
sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (Hematopoetic stem cell transplantion/HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis
terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama
profilsitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik
dibanding pasien usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapairemisi
komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit keduatidak
begitu dipengaruhi karakter sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit
pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua
umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10
bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor
untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
II.6.2 Terapi Leukimia Promielositik Akut
Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik
berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan
menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR
mengakbatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini
dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen
PML-RAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka
kesembuhan lebih dari 70%.
LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh
kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati yang
dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan
manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien
yangmengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-
aminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.
Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat
tunggal.Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp
dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA
adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan
maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA
menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari
pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum
mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi
tidakterlalu tinggi lagi. Selain itu, cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid
acid syndrome/RAS)
Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap
hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari
atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
dengan kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.
RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terap ATRA.
RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi
pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam,
distresrespirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan,
efusipleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostic
walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-
10000/uL,ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat
monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera
dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan
infiltrat paru,dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2
kali sehari).Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.
Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan
mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang
berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional
Cina sejak beberapa abat yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada
pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA
adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja; memacu
degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu
diferensiasi sel-sel leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan
dosis 0,15mg/kgBB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit,maksimal pemberian 50
hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respon sebesar 70% - 100%.
II.7 PROGNOSIS
Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40% angka
kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat kemoterapi atau
transplantasi autolog dapat diterapi dengan transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi
penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang
semakin baik