Kebudayaan Dayak Ngaju
-
Upload
alwaysceria224862 -
Category
Documents
-
view
421 -
download
15
Transcript of Kebudayaan Dayak Ngaju
KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU
Kata Pengantar
Puji dan Syukur Kami Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat Rahmat-
Nyalah kami bisa menyusun makalah mata kuliah Transkultural tentang kebudayaan Dayak
Ngaju
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberi pengetahuan atau wawasan kita
semua. Kita menyadari makalah yang disusun, jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Agar lebih baik
nantinya.
Banjarmasin, 2012
Kelompok
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan .
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.
1. asal –usul
Asal usul leluhur orang Dayak Ngaju dapat diketahui dari dua cara. Pertama dari Tetek Tatum (ratap tangis sejati) tentang penciptaan manusia pertama kali oleh Tuhan mereka yang bernama Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) (Riwut, 2003). Menurut Tetek Tatum leluhur orang Dayak Ngaju merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit yang sempurna, yang ditugaskan untuk menjaga bumi dan isinya agar tidak rusak (http://betang.com/). Para leluhur ini diyakini sebagai manusia keturunan Raja Bunu, anak daripasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun (http://betang.com/).
Kedua, tentang leluhur asal usul Dayak Ngaju dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan sejarah tentang orang Dayak Ngaju (Maunati, 2006). Dalam sejarahnya leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan, tepatnya di Cina Barat Laut berbatasan dengan Vietnam sekarang (http://nyahudayak.blogspot.com/). Mereka bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia (Provinsi Yunan, Cina Selatan) sekitar 3000-1500 sebelum masehi (Widjono, 1998:2).
Suku Dayak Ngaju memahami dunianya (kosmologi) melalui pemaknaan terhadap Pohon Batang
Garing (pohon kehidupan). Pohon ini diyakini diturunkan langsung oleh Tuhan Dayak Ngaju
yang bernama Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam tetek tatum (ratap tangis
sejati) diceritakan bahwa Ranying Hatalla Langit menciptakan dua pohon yang berbuah dan
berdaun emas, berlian dan permata, diberi nama Batang Garing Tinggang (pohon kehidupan) dan
Bungking Sangalang (Riwut, 2003:490).
Dalam gambaran yang ada, Pohon Batang Garing berbentuk tombak dan menunjuk ke atas yang
melambangkan Ranying Mahatala Langit. Bagian bawah pohon terdapat guci berisi air suci dan
dahan berlekuk, yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Sedangkan daun-daunnya
melambangkan ekor Burung Enggang. Masing-masing dahan memiliki tiga buah yang
menghadap ke atas dan ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai
keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja bunu atau buno
(http://ceritadayak.blogspot.com/).
Secara umum orang Dayak Ngaju memahami Batang Garing sebagai simbol tingkatan alam,
yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu alam atas, pantai danum kalunen (bumi), dan alam
bawah (air). Alam atas adalah tempat tinggal Ranying Hatalla Langit, bumi adalah tempat
tinggal manusia, dan alam bawah adalah tempat tinggal jata atau lilih atau Raden Tamanggung
Sali Padadusan Dalam atau Tiung Layang Raja Memegang Jalan Harusan Bulau, Ije Punan Raja
Jagan Pukung Sahewan (Riwut, 2003:508).
2.Pengetahuan tentang Leluhur Dayak Ngaju
Dalam pengetahuan orang Dayak Ngaju, leluhur mereka diyakini merupakan keturunan dari Raja Bunu, anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun. Keduanya diyakini sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Raja Bunu diciptakan untuk menghuni bumi, di mana keturunannya akan mati setelah generasi ke sembilan.
Menurut kepercayaan orang Dayak Ngaju, Raja Bunu mempunyai dua saudara bernama Raja Sangen dan Sangiang. Raja Bunu dan kedua saudaranya dianugrahi juga oleh Ranying Hatalla Langit seekor burung yang bernama Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan besi Sanaman Lenteng (senjata Dohong Papan Benteng). Dalam ceritanya, Raja Bunu dan kedua saudaranya saling berebut untuk mendapatkan burung itu. Tiba-tiba Raja Sangiang menikamkan dohongnya ke burung tersebut. Darah yang bercecer ke luar dari burung tersebut diyakini orang Dayak Ngaju berubah jadi emas, berlian, permata dan kekayaan alam yang melimpah di Kalimantan. Tempat burung itu mati dipenuhi dengan kekayaan yang abadi. Menurut kepercayaan agama Kaharingan tempat itu disebut dengan Lewu Tatau (Surga) Pada awal penciptaan leluhur Dayak Ngaju, di langit terjadi benturan berupa perkelahian antara dua ekor burung Enggang, yaitu Enggang jantan dan Enggang betina yang sedang mencari dan memakan buah dari Pohon Kehidupan atau Batang Garing. Enggang betina mulai bergerak dari bawah pohon, sedangkan Enggang jantan bergerak dari puncak ke bawah. Ketika kedua Enggang bertemu terjadilah perkelahian hebat yang berakhir dengan matinya kedua burung tersebut dan rusaknya Batang Garing. Bagian dari Batang Garing yang berserakan dan bertebaran di mana-
mana kemudian memunculkan berbagai kehidupan, termasuk manusia laki-laki dan manusia perempuan (http://sckpfp.ifrance.com/filsafat.htm).
Leluhur Dayak Ngaju diturunkan melalui Palangka Bulau dalam tiga bentuk, yaitu Tantan Puruk Pamatuan,Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, dan Puruk Kambang Tanah Siang (http://nyahudayak.blogspot.com/).
Pendapat lain menyatakan sebanyak empat bentuk, yaitu Di Tantan Puruk Pamatuan, hulu sungai Kahayan dan Barito, Di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, Di Tatah Takasiang, hulu Rakaui Malahui, Di Pueruk Kambang, dan Tanah Siang (Riwut, 2003: 423)
Kehidupan Leluhur Dayak Ngaju dipenuhi dengan kebiasaan atau tradisi yang hingga saat ini masih dilakukan oleh orang Dayak Ngaju, seperti upacara hasaki atau hapalas, yaitu mengoleskan darah binatang seperti ayam, kerbau, sapi dan babi ke dahi, tangan, dada, dan kaki untuk penyucian diri; manawur behas (menabur beras); memotong kerbau; malahap (pekik rimba); menggunakan daun-daunan sebagai obat tradisional, bertato, pesek (tindik telinga), katinting katune (menghitamkan gigi), mempunyai kesaktian; dan mihup baram (minum brem) dalam setiap upacara adat (Riwut, 2003).
3. Pengaruh Sosial
Pengetahuan orang Dayak Ngaju pada Pohon Batang Garing, berimplikasi terhadap perilaku kehidupan sosial mereka, antara lain:
a. Pengaruh terhadap keyakinan asal usul orang Dayak Ngaju
Orang Dayak Ngaju meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Maharaja Buno yang diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying Hatalla dengan palangka bulau (Riwut, 2003: 497).
b. Pengaruh pada upacara tradisional, antara lain:
Upacara adat menawur behas (menabur beras), yaitu menaburkan beras ke segala penjuru dalam setiap upacara adat. Kenapa harus beras, karena beras berasal dari pantis kambang kabanteran bulan, lelek lumpung matanandau di bukit kagantung langit di langit ketujuh. Melalui beras orang Dayak Ngaju yakin kalau mereka dapat berkomunikasi dengan putir selang tamanang dan raja angking langit yang diteruskan kepada Ranying Hatalla (Riwut, 2003: 201).
Upacara pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu bagian hidup orang Dayak Ngaju yang dianggap sakral, karena berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap leluhur mereka, yaitu Raja Bunu. Bagi Suku Dayak Ngaju, melakukan pernikahan berarti menghormati Raja Bunu. Pada saat ritual pernikahan dilaksanakan, roh Raja Bunu diyakini ikut hadir (http://jenggotcommunity.blogspot.com).
Upacara pernikahan. Dalam upacara pernikahan Dayak Ngaju, terdapat sebuah ritual berdo’a dengan menengadahkan tangan. Empat jari tangan merupakan simbol dari: Jari jempol, melambangkan manfaat alam semesta sebagai sumber hidup kita. Jari telunjuk tengah, melambangkan perintah melestarikan alam semesta yang ada agar tidak rusak dan punah. Jari manis, melambangkan perintah untuk menyatu supaya bisa serasi dengan alam lingkungan hidup. Jari kelingking, melambangkan untuk menghormati kepentingan lingkungan hidup. (http://jenggotcommunity.blogspot.com).
Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Orang Dayak Ngaju meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga (http://www.nila-riwut.com/).
Ritual pemotongan kerbau pada setiap upacara adat. Terlepas dari adanya hubungan dengan kebudayaan agraris, kerbau bagi orang Dayak Ngaju adalah binatang yang harus selalu dikorbankan dalam setiap upacara adat. Hal ini harus dilakukan karena mereka meyakini bahwa kerbau merupakan binatang yang selalu dikorbankan pada saat perkawinan leluhur mereka (Riwut, 2003).
Kemampuan spiritual. Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa. Salah satu kemampuan spiritual itu adalah apa yang mereka sebut Manajah Antang (burung Elang), yaitu memanggil burung Elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau ingin mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung Elang adalah benar (Riwut, 2003).
Tradisi ber-Tato/Tutang/Cacah, yaitu menato tubuh. Orang Dayak terkenal dengan seni tatonya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan, menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, seperti pergelangan tangan, punggung, pe rut atau leher. Bahkan terdapat orang yang menato seluruh tubuhnya (biasanya seorang pemimpin). Tato selain sebagai simbol status juga merupakan identitas. Mentato didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh leluhur mereka nanti di surga.
Pelaksanaan hukum-hukum adat. Sejak dahulu hingga sekarang orang Dayak terkenal dengan hukum adat mereka, khususnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla dan diwariskan oleh leluhur mereka untuk ditaati. Orang Dayak Ngaju meyakini jika tidak melaksanakan hukum adat, maka leluhur mereka akan marah dengan mengirimkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan kesulitan mencari makan.
Upacara mangayau kayu dan danum (air), yaitu upacara yang bertujuan mengembalikan keseimbangan dan hubungan manusia-alam yang telah rusak. Ini menunjukkan betapa hukum adat Dayak Ngaju menekankan sikap tidak saling mengganggu dan membinasakan antara alam dan manusia (http://budidayak.blogspot.com/).
c. Pengaruh sikap terhadap binatang
Suku Dayak Ngaju menghormati beberapa jenis binatang tertentu, antara lain:
Burung Tingang yang merupakan lambang kemasyuran dan keagungan. Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik dan buruk. Dalam acara ritual “menenung” atau acara “menajah antang” untuk mengetahui “Dahiang-Baya”, burung Antang digunakan sebagai mediator. Burung Bakaka diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak sedikitnya. Burung perintis juga diyakini mempunyai fungsi yang sama dengan Burung Bakaka Burung Kalajajau/Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena dapat membawa malapetaka. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak lama lagi permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir. Tambun (ular besar/ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana, dan kekuatan. Suku Dayak Ngaju mempunyai pantangan pali (tabu) membunuh binatang yang sedang mengandung, ikan yang sedang bertelur, dan ikan yang masih kecil. Mereka juga melarang manusia mempunyai hubungan yang lebih dengan binatang, misalnya menyetubuhi binatang. Jika ini dilanggar seseorang, maka ia disebut manusia terkutuk.
d. Pengaruh sikap terhadap lingkungan alam
Manusia Dayak Ngaju berpandangan bahwa manusia sebagai bagian dari dunia, hidupnya harus menyatu dengan alam. Manusia dilarang merusak alam karena itu sama saja dengan merusak diri dan kehidupan itu sendiri. Pengaruh dari pandangan ini terlihat dalam hal-hal di bawah ini, yaitu:
Dalam bertani atau berladang orang Dayak Ngaju telah mengatur penggarapan lahan dalam satu siklus. Misalnya, sebuah keluarga petani memiliki tiga lahan pertanian masing-masing dengan luas satu hektar. Oleh karena ladang tersebut hanya dipanen sekali dalam setahun, maka mereka menggarap ketiga lahan tersebut secara bergiliran. Dalam mengelola hutan. Sejak dahulu kala, di setiap desa, nenek moyang Dayak Ngaju memelihara suatu kawasan terbatas hutan suaka alam yang disebut “Pahewan”. Dalam pengelolaannya, para tokoh adat memberikan peringatan kepada setiap warga masyarakat, agar tidak menganggu hutan, tumbuh-tumbuhan atau binatang apapun yang terdapat di kawasan Pahewan. Dan yang terpenting adalah masyarakat Dayak Ngaju tidak boleh mengelola melebihi batas pahewan, karena akan mengganggu kelompok masyarakat lain. Adanya hak ulayat atas hutan adat. Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat suatu wilayah tertentu. Untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air, serta isinya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Manusia Dayak Ngaju umumnya mengetahui bahwa tidak lama lagi permukaan air sungai akan naik sampai suatu batas tertentu,
jika ada tumbuhan sejenis cedawan kecil pada kayu lapuk atau dari munculnya akar baru pada pohon dan dahan suatu jenis kayu yang tumbuh tepi sungai. Dalam menebang pohon kayu untuk bahan bangunan, manusia Dayak Ngaju mengetahui kapan waktu terbaik untuk menebangnya. Ini bertujuan agar kayu tidak mudah dimakan rayap. Manusia Dayak Ngaju juga dapat meramalkan tahun-tahun tertentu di mana akan terjadi kemarau panjang berdasarkan kedudukan binatang.
e. Pengaruh terhadap motif kain
Motif Batang Garing digunakan sebagai motif busana pengantin, karena dianggap mengandung makna yang sangat dalam dan sakral yaitu lambang manusia dan penciptanya, nilai-nilai moral, hidup yang lurus, rukun, kebikan, kewajiban dan hak pria dan perempuan yang harus dilaksanakan selama hidup di dunia (http://lindataway.wordpress.com/).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di
dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang
ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000
pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta
jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang
berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang
beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha,
Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan .
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara
berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial,
simbol karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat
wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak
Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga
kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah
sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut
Kaharingan.
Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah sebagai
salah satu kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan
Tengah yangpada mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat
Kaharingan. Berbagaimacam prosesi yang terjadi pada acara tersebut,
diantaranya: Ngayau (penggalkepala), ritual Tabuh (tidak tidur selama
dua malam dengan diselingi minum.
Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang
terkait lebih dengan mengambil judul "Kebudayaan Suku Dayak".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada judul yang
ada, kami merumuskan masalah dalam penulisan makalah adalah ini
sebagai berikut :
1. Mengapa masyarakat suku Dayak Ngaju masih melaksanakan Upacara Tiwah ?
2. Bagai mana system kekerabatan ssuku dayak ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Secara umum penelitian ini berusaha mengungkap prosesi tiwah
dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Negara. Sedangkan secara
rincinya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku dayak.
2. Untuk memenuhi nilai IPS .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografi
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari namaLamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan Malaysia.
B. Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku
Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih
masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar
dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang
lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing
sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya
yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan
adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat
yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-
sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan,
1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat,
terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.
C. Pengertian Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau
Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami
Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri
dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur,Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan .
Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir
semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun
Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak
Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-
Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5
kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing
memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau), "Dayak Darat" (13 bahasa) "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina. "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka. "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
D. Sejarah Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok
yang tinggal di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu
sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke
Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai
nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang
Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang
memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang
mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan
yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang
memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan
sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang
disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari
Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada
masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di
seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka
harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian
mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku
yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah
kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk
daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu sekitar tahun 1608 .
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui
dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu
atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus
terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan
ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan
pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji
disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin.
Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era
Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung
karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di
Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan.
Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali
ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan
Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
E. Sistem Religi
Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka.
Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka.
Dalam praktik sehari-hari, orang dayak tidak pernah menyebut agama
sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah
sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada
umumnya.
Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata.
Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang
Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng . Dalam mengungkapkan
kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang
disebutpanyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang
imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia
dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut
agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk
agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan
adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama
Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut .
F. Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan
yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan
persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci
khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan
berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah :
orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang
memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng
bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke
(Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-
ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan
logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan
bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini,
banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan".
Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa
ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi
muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau
melayu.
G. Lembaga Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat
adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul
keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah
dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat
dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup
masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial
yang disebut Binua. Binuamerupakan wilayah yang terdiri dari beberapa
kampong . Masing-masing binua punya otonominya sendiri, sehingga
komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat
di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala
desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun)
dan pangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga
adat Dayak Kanayatn
H. Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem
bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan,
seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan
kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan
ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara
perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
I. Adat Istiadat Suku Dayak
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak yang masih
terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman
dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat
istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari
pedalaman Kalimantan.
1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan
upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah
meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang
semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang
sudah meninggal dunia.
2. Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman
dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula
orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia
( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang
sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-
mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya,
contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak
untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di
temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang,
dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku
Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut
Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa
mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa
panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai
kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu
mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata
tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan
sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu
yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur
akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber
“Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga
akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang
jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi
manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh
akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak
makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan
magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang
tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan
terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat.
Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning),
bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia
(metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam
mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar
ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran
orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran
Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih
banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman
Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada
bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis
mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya,
bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang
ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci,
bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau
Kalangkang” ).
J. Seni Tari Dayak
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi
dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh
suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian Tari Kancet Ledo tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai.
Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. Posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi
tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk Tari Hudoq Tari Belian Bawo mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dankegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon
bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
H. Macam-macam suku dayak
Suku Dayak Abal Suku Dayak Bakumpai Suku Dayak Bentian Suku Dayak Benuaq Suku Dayak Bidayuh Suku Dayak Bukit Suku Dayak Darat:Dayak Mali Suku Dayak Dusun Suku Dayak Dusun Deyah Suku Dayak Dusun Malang Suku Dayak Dusun Witu Suku Dayak Kadazan Suku Dayak Lawangan Suku Dayak Maanyan Suku Dayak Mali Suku Dayak Mayau Suku Dayak Meratus Suku Dayak Mualang Suku Dayak Ngaju Suku Dayak Ot Danum Suku Dayak Samihim Suku Dayak Seberuang Suku Dayak Siang Murung Suku Dayak Tunjung Suku Dayak Kebahan
Suku Dayak Keninjal Suku Dayak Kenyah Suku Dayak Simpangk Suku Dayak Kualant Suku Dayak Ketungau Suku Dayak Sebaruk Suku Dayak Undau Suku Dayak Desa Suku Dayak Iban Suku Dayak Pesaguan Suku Dayak Lebang
I. Senjata Tradisional Suku Dayak
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda
bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya,
sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan
tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit
ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Berikut ini adalah senjata-
senjata tradisional suku dayak :
1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya
bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-
tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan
untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang
terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam.
Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan
anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran
panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran
atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai
tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun
temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda
ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau
dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan
dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai
nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”,
merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan
baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan
dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman
Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam
sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari
kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang,
Basir.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan
yang diangkat yaitu antara lain:
1. Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat
menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur
mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur
mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib
dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka
aka nada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka .
2. Sistem kekerabatan suku dayak yaitu menggunakan system parental
( ayah dan ibu) .
B. Saran
Sebagai warga Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-
kebudayaan yang ada di Negara kita sendiri. Kadang kita lebih mengenal
budaya yang ada di Negara barat melainkan budaya kita sendiri. Salah
satu budaya dari Negara kita adalah budaya suku dayak . Tentu bukan
hanya budaya dayak yang ada di negara Indonesia, melainkan masih
banyak budaya-budaya yang belum kita ketahui . Maka dari itu kita harus
mengenal budaya kita sendiri mulai memberikan wawasan kepada anak-
anak sejak dini agar memahami beragam budaya yang ada di Negeri
cercinta ini.