Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
-
Upload
mutia-fatin -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
1/56
kata hatiinstitute
Kebijakan Sustanability Livelihoodberbasis Komunitas
( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfamdi Banda Aceh dan Aceh Besar )
Sebuah analisis kebijakan; Katahati Institue
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
2/56
Kata Hati Insti tute
Kata Hati Institute berdiri pada tanggal 22 Juni 2001 dengan fokus aktivitas padapersoalan gender, hak asasi manusia dan perwujudan Tata Pemerintah yangbersih (clean governance). Kata Hati bersifat nirlaba, non partisan serta memilikikomitmen untuk ikut serta sebagai kelompok masyarakat yang ingin mewujudkantatanan kehidupan masyarakat madani. Secara khusus Kata Hati bekerja dalamisu-isu Demokratisasi dan Tata Pemerintahan
kata hati
institute
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
3/56
Analisis Kebijakan
Kebijakan SustanabilityLivelihood berbasis
Komunitas( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh
Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
4/56
Copyright © September 2005, Katahati Institute
Kebijakan Sustanability Livelihood berbasis Komunitas
( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )
Untuk edisi cetak hubungi :Emalita ZainKatahati InstitueJl. Leguna II, Lr. Abdurrahman No. 8Desa CeurihKecamatan Ulee KarengBanda AcehIndonesia 23117
Telefax. 0651-7410466
Email [email protected], [email protected] Website: http://www.katahati.or.id
Publikasi ini adalah produk Katahati InstituteProgram Clearing House Advokasi Kebijakan (Politik Bantuan dan ProsesRehabilitasi serta Rekonstruksi paska Gempa – Tsunami) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
5/56
Kebijakan Susitainability Livelihood berbasis Komunitas
( Studi Kasus Livelihood Oleh Oxfam Di Banda Aceh Dan Aceh Besar )
Ringkasan
Bab I Pendahuluan A. Abstraksi Umum Situasi.B. Permasalahan.C. Kerangka Acuan Analisis
Bab II Kebijakan Livelihood oleh Oxfam. A. Komitmen Oxfam terhadap Aceh Pasca Tsunami.B. Visi dan Misi Oxfam tentang Program Bantuan Kemanusiaan .C. Teknik Pelaksanaan Program Livelihood Oxfam untuk
Merehabilitasi AcehD. Jaringan Kemitraan Livelihood Oxfam.E. Lokasi/Populasi Program di Kawasan Banda Aceh dan Aceh
BesarF. Output ProgramG. Hambatan Program
Bab III Analisis Kasuistik A. Pekerjaan Masyarakat Pasca Tsunami.B. Komentar tentang program livelihood yang dijalankan Oxfam
Bab IV Konklusi dan Rekomendasi
Lampiran
DDaaf f ttaarr IIssii
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
6/56
Kebijakan Sustanability Livelihood berbasis Komunitas
( Studi Kasus kebijakan intervensi Livelihood Oleh Oxfam di Banda Aceh dan Aceh Besar )
LIVELIHOOD merupakan salah satu program penanganan bencana alam
yang penting artinya bagi masyarakat korban di Aceh. Bencana gempa
dan tsunami telah mengakibatkan masyarakat kehilangan akses ke
sumber mata pencaharian guna menutupi kebutuhan hidupnya. Pasca
masa tanggap darurat berbagai pihak, teutama donor yang mempunyai
kemampuan dan program pemulihan mata pencaharian masyarakat mulai
merancang strategi, dengan harapan ideal bantuan dalam ragam bentuk
bagi pemulihan perekonomian masyarakat korban di Aceh tersebut dapat
menjamin kemandirian ekonomi di komunitas terkecil masyarakat
korban/keluarga.
Untuk melihat sejauh mana pemulihan kondisi tersebut telah dilakukan,
Katahati Institute melakukan rangkaian proses analisis faktual kondisipemulihan perekonomian masyarakat melalui program livelihood yang
dilaksanakan berbagai lembaga donor di Aceh, khususnya terhadap
beberapa program livelihood yang dilakukan di komunitas masyarakat
korban di Banda Aceh dan Aceh Besar..
Untuk keperluan analisis1 ini, Katahati Institute mencoba mengumpulkan
berbagai data dan informasi, baik dari masyarakat langsung atau kepada
pihak yang bertanggungjawab di lembaga-lembaga donor maupun
pengelola bantuan dimaksud (primari data), serta melakukan penggalian
sebanyak mungkin data tertulis yang dimiliki oleh lembaga donor dan
1 Analisis dimaksud adalah kualitatif, yang selalu berangkat dari berbagai fenomena kasuistik
dengan panduan data-data sekunder yang bersumber dari berbagai dokumen dan data-data tertulislainnya. Analisis ini pada dasarnya dianggap relevan sebagai alat untuk melakukan suatu penilaianmenyeluruh terhadap suatu issue yang berkembang, khususnya terhadap berbagai issue tentangkebijakan penyaluran bantuan di Aceh.
R R iinn kkaassaann
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
7/56
masyarakat sendiri, ataupun dari pihak dan media lain yang dianggap
dapat mendukung kebenaran dan keterukuran analisis ini (secondari
data).
Sebagai fokus pada analisis kebijakan livelihood ini, Katahati institute
mengambil sample tentang kebijakan pihak Oxfam dalam melaksanakan
Sustainable Livelihood Programme (SLP), sehingga dengan berbagai
kerangka kerja umum yang ada,2 dan dipadukan dengan panduan
kerangka kerja yang dipakai oleh Oxfam sendiri, akan melahirkan analisis
tentang berbagai kebijakan pelaksanaan livelihood yang sekarang sedang
berjalan.
Pengumpulan data-data lapangan (field data) difokuskan di kawasan
Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai daerah terdekat dan terparah
menjadi korban tsunami. Di kedua daerah ini juga sedang giat-giatnya
dilaksanakan program livelihood disamping berbagai daerah lain di Aceh,
sehingga diyakini pemilihan di kedua kawasan tersebut cukup
representatif untuk ditampilkan sebagai lokasi dan populasi penelitian.
Teknik utama yang dipergunakan dalam rangka pengumpulan data
tersebut, adalah dengan melakukan wawancara terpandu denganberbagai informan dan responden yang mengalami langsung/terlibat
dalam pelaksanaan livelihood. Selain itu juga diadakan kegiatan diskusi
dengan kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD) dengan
beberapa pihak terkait dalam pengembangan perekonomian masyarakat
untuk mengambil beberapa ide pokok dalam merancang pembangunan
perekonomian masyarakat pasca tsunami.
2 Panduan umum yang dimaksud adalah beberapa kerangka fikir dan kerangka kerja yang pernah
disusun oleh pihak NGO lain, sebagai bahan bandingan untuk memberikan gambaran tentangprogram livelihood itu sendiri. Dan dipihak lain, ingin mengukur sejauh mana keteraturan dari padapola intervensi Oxfam sebagai NGO Internasional dalam menguatkan perekonomian masyarakatmelalui program livelihood yang diijalankan oleh seluruh officer -nya. Panduan umum tersebutdigunakan juga untuk mengukur sejauhmna masyarakat mengakui bahwa perekonomian merekatelah sangat terbantu dengan adanya program yang datang dari Oxfam sendiri. Kata Hati Institute juga mengguanakan panduan livelihood yang diketengahkan oleh ILO dan UNDP sebagai bahanbandingan dan sekaligus memberikan gambaran lengkap tentang apa yang dimaksud denganSustainabilities Livelihood Programme.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
8/56
Data yang terkumpul tersebut dianalisis sesuai dengan berbagai literatur
yang telah ada tentang livelihood, baik yang didapatkan dari pihak Oxfam
sendiri ataupun Badan Dunia, NGO international yang ada di Banda Aceh,
seperti UNDP dan ILO yang juga berkonsentrasi terhadap program
livelihood. Data-data dan informasi yang diperoleh dipadukan dengan
berbagai data sekunder yang didapatkan melalui media massa elektronik
dan cetak, dengan harapan bahwa melalui berbagai sumber tersebut
cukup memadai untuk melihat permasalahan livelihood di Aceh secara
jelas, sehingga didapatkan variable seharusnya (das sein) dan
perandingannya dengan kondisi yang ada di lapangan yang sedang terjadi
(das solen).
Setelah dilakukan pengkajian data-data dan hasil-hasil wawancara
dengan berbagai pihak yang terlibat dalam program livelihood yang
diselenggarakan oleh Oxfam, maka disimpulkan bahwa, pelaksanaan
program livelihood saat ini masih berada di tatanan awal, dimana pihak
donor baru mencoba untuk mendanai kegiatan-kegiatan darurat yang
sangat dibutuhkan untuk menghidupkan mata pencaharian penduduk
yang terkena bencana, agar mereka dapat bertahan hidup dengan
mencoba bangkit melalui kegiatan usaha yang dapat dijalankan
sementara waktu,3 tanpa terus berharap dengan datangnya bantuan.
Analisis ini menggunakan panduan progam livelihood yang
berkesinambungan, maka disimpulkan bahwa target kesinambungan
dalam mata pencaharian belum nampak indikator capaian idealnya.
Terjadi berbagai kelemahan dan kekurangan, seperti ditemukannya
penyalahgunaan bantuan dari ketentuan awal untuk menggerakkan salah
satu sektor usaha. Sebagai contoh adanya ketidakseimbangan distribusi
jumlah bantuan dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.
Ditemukan juga telah terjadi praktek yang salah dalam penyusunan kriteria
3 Dari beberapa kasus penyaluran bantuan modal usaha ekonomi dari Oxfam dan juga berbagai
lembaga donor lainnya, seringkali kuantitasnya hanya cukup untuk menggerakkan operasionalbidang usaha masyarakat korban saja.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
9/56
masyarakat yang berhak menerima bantuan oleh Lembaga Keuangan
Swadaya Masyarakat (LKSM) sebagai mitra lokal Oxfam, sehingga
memicu kericuhan dan kekecewaan masyarakat. Demikian juga dengan
lemahnya kapasitas sumber daya manusia yang dimiliki Oxfam dan
mitranya untuk mengawasi serta mengarahkan penggunaan bantuan
livelihood secara tepat sasaran dan bertanggunggugat.
Dengan demikian, diharapkan kepada pihak Oxfam agar terus
memperbaiki kinerjanya di berbagai sisi, baik dalam tahapan
perencanaan, pelaksanaan, kinerja pelaksana, mitra pelaksana maupun
pengawasan atau evaluasi dari pada program livelihood yang
dilaksanakan. Hal ini juga bermanfaat sebagai kontribusi yang baik bagi
seluruh lembaga donor yang sedang menangani pemulihan kondisi
perekonomian masyarakat Aceh melalui program livelihood.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
10/56
A. Abstraksi Umum Situasi
BENCANA alam gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu
berdampak terhadap kerentaan mata rantai ekonomi masyarakat
korban, salah satunya hilangnya kesempatan untuk bekerja pada
pusat-pusat pekerjaan semula sebelum tsunami. Hal ini dapat dilihat
dari 250.000 jiwa pengangguran yang telah ada di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam sebelum tsunami, saat setelah tsunami meningkat
secara drastis menjadi 600.000 orang, yaitu dalam bentuk kehilangan
pencaharian tetap pasca tsunami. Laporan harian ILO misalnya,
yang dpublikasikan oleh OCHA, berdasarkan hasil survei sementara
di awal maret 2005 yang lalu, tidak kurang dari 1,9 juta masyarakat
Aceh terkena dampak kehilangan pekerjaan, sementara tingkat
pengangguran diramalkan akan melejit dari 6,8% menjadi 30% atau
lebih, hingga diperkirakan 39% masyarakat Aceh akan jatuh miskin.
Masyarakat korban yang kehilangan mata pencaharian tersebut,
pada umumnya adalah mereka yang bermatapencaharian
wiraswasta, seperti petani, pedagang atau nelayan, dan bermukim di
area pantai (coastal area). Tsunami berefek pada kehancuran yang
parah areal/lahan pencaharian masyarakat, dalam bentuk tambak
dan ladang, dan sarana usaha lainnya. Akumulasi dari rusaknya
infrastruktur basis sumber pendapatan ekonomi masyarakat korban
menyisakan kekhawatiran akan masa depan mereka. Kekhawatiran
tersebut diasumsikan lebih mendasar dari belum adanya komitmen
dan indikator kemampuan semua pihak untuk mendorong
keberlanjutan dan kemandirian mata pencaharian masyarakat
korban. Ditambah lagi tingkat kebutuhan masyarakat korban sangat
dinamis setiap waktu, mulai dari pemenuhan kebutuhan sandang,
pangan, serta kebutuhan sekunder. Sampai bulan Semptember
BBaabb II PPeennddaahhuulluuaann
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
11/56
2005, Katahati Institute meresume adanya berbagai langkah yang
telah dilakukan dalam pemulihan perekonomian tersebut, baik oleh
pemerintah maupun oleh berbagai lembaga donor yang turun tangan
membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat korban.
Salah satu program tumpuan dari berbagai lembaga donor yang
memiliki komitmen agar segera terpulilhkannya perekonomian
masyarakat korban adalah sasaran terhadap permodalan usaha
keuangan mikro (micro finance).
Bantuan pengadaan berbagai sarana dan prasarana untuk
menggerakkan kembali roda perekonomian masyarakat oleh donor,adalah program pokok yang harus tersedia. Namun demikian,
penyandang dana juga memiliki hak untuk menentukan aturan main
tersendiri demi menjamin keberlangsungan dan kemanfaatan jangka
panjang suatu bantuan (sustainabilities). Selain melibatkan
masyarakat sebagai objek pemberdayaan, program tersebut juga
harus melibatkan kelompok utama (center community) lainnya untuk
menjamin efektivitas dan pengawasan pelaksanaan program.
Pemulihan mata pencaharian masyarakat korban adalah
tanggungjawab semua kelompok yang mampu secara finansial dan
sumberdaya lainnya. Pihak utama dan pertama tentu menjadi
kewajiban pemerintah. Pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh, melalui Departemen Kelautan dan Perikanan,
misalnya, akan menyalurkan bantuan pemberdayaan ekonomi
bantuan alat tangkap ikan (pancing dan jaring) di 21 Kab Kota
sebesar + 45 Milyar, dan bantuan pengolahan ikan skala kecil Rp.
7.000.000.000. Departemen Pertanian juga dipercaya untuk
menyalurkan dana sebesar Rp. 300.000.000,- untuk merehabilitasi
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
12/56
lahan, pemulihan hak, bantuan modal usaha tani, penguatan
organisasi pertanian masyarakat, dan pendampingan.4
Mengingat banyaknya lembaga donor yang bergerak pada pemulihan
mata pencaharian korban di samping peran Pemerintah Pusat dan
Daerah, maka menjadi penting proses pelaksanaan berbagai
program rehabilitasi perekonomian masyarakat Aceh, haruslah
dilaksanakan dengan adanya satu panduan yang baik, koordinatif
dan kooperatif antar sesama lembaga. Koordinasi yang efektif dan
pendampingan ke basis penerima manfaat/masyarakat korban
menjadi penting untuk dilakukan agar tidak terjadinya tumpang tindih
program, yang berakibat pada in-efisiensi, terhambatnya bantuan
kepada penerima manfaat. Maka sesegera mungkin adanya
pengaturan strategi (strategy) dan hubungan kerja (partnership),
batas kewenangan (kompetentie stage), pengarahan (instruction),
dan pengontrolan (controlling)
4 www.rencanaindukacehnias.org
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
13/56
B. Permasalahan
LIVELIHOOD adalah program bantuan kemanusiaan yang memiliki
sasaran jangka panjang, dimana yang menjadi target adalah
masyarakat yang memiliki potensi dan kegiatan usaha untuk
dikembangkan secara terpadu, apakah dengan memberikan modal
untuk menggerakkan rantai usaha, baik berupa uang, peralatan
usaha, ataupun bimbingan pengembangan usaha (basic of
entrepreneurship), atau membangun ketahanan individu untuk
mapan dalam menghadapi berbagai perkembangan usaha dan
profesi yang mereka miliki (building capacity).
Pada tahap awal pasca bencana gempa tsunami di Aceh, bentuk
bantuan livelihood lebih ditekankan pada pemberian upah kerja
harian (cash for work), atau pekerjaan dengan imbalan kebutuhan
makanan (cash for food) yang langsung dapat dinikmati oleh
masyarakat di saat itu juga, seperti dalam kegiatan pembersihan
kampung, bertukang dan lainnya. Akan tetapi program tersebut
hanya dapat diandalkan dalam kondisi darurat, atau hingga yang
dibersihkan itupun selesai, sehingga mata pencaharian seperti initidak dapat diupayakan menjadi suatu mata pencaharian
tetap/profesi bagi masyarakat, apalagi kalau dicermati
pelaksanaannya cenderung digilirkan di antara masyarakat, agar
terjadi pemerataan.
Keluhan ini dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, apalagi
mereka yang tidak berkesempatan untuk terlibat dalam program
tersebut untuk bekerja. Keterbatasan donor dalam mengupayakan
pemenuhan kebutuhan hidup misalnya juga dirasakan oleh 80
(delapan puluh) keluarga korban tsunami yang tinggal di tenda
pegungsian Desa Krueng Cut, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar.
Di Desa Krueng Cut, korban mengaku sangat membutuhkan
lapangan pekerjaan yang dapat menunjang kehidupan mereka.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
14/56
Selama ini, warga mengaku memang diikutsertakan dalam kegiatan
gotong-royong yang disponsori LSM lokal maupun asing yang
bekerja di Aceh. Namun penghasilan dari pekerjaan tersebut,
menurut mereka, tidak cukup untuk menutupi pengeluaran mereka
sehari-hari. Kini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warga Desa
Krueng Cut, yang merupakan daerah yang parah terkena efek
tsunami, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, mereka
hanya mengandalkan hasil mencari tiram yang dalam satu harinya
hanya mampu mengumpulkan sebesar Rp. 15.000.
Pada umumnya selain sehari-hari mencari tiram, mereka juga
berharap diikutsertakan dalam program lain, seperti penanaman
bakau yang ada di tepi pantai, sebagaimana dilaksanakan di desa-
desa lain.5
Realitas dan harapan korban setidaknya memberi indikator bantuan
pemberdayaan mata pencaharian yang selama ini telah disalurkan
oleh berbagai NGO belum mampu memberi pekerjaan dengan
penghasilan berikutnya hingga mencakupi seluruh komunitas
masyarakat korban. Masih dibutuhkan program yang lebih meratadan berpotensi untuk meningkatkan perekonomian mereka. Tentunya
dengan berbagai teknik dan strategi diharapkan terjadinya
pemerataan penyaluran bantuan dan penyediaan lapangan kerja,
tidak diskriminatif dalam penentuan kriteria.
Di Aceh Besar misalnya, Internasional NGO menyalurkan modal
bergulir untuk jenis usaha pembangunan pabrik batu bata oleh
Yayasan Sosial Kreasi di Desa Klieng Cot Aron, yang nantinya
diharapkan akan terus bertambah berdasarkan hasil produksi pabrik
awal untuk mempekerjakan masyarakat korban lainnya.6
5 www.acehkita.com. 05-08-2005
6 Sesuai dengan hasil assessment yang dilaksanakan oleh IOM terhdap 2.111 orang responden
pada tanggal 6 Mei 2005 di Aceh tentang pemberian bantuan program livelihood, dimana merekaberkesimpulan bahwa saat itu saja baru 4 % masyarakat yang telah mendapat bantuan mata
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
15/56
Analisa ini mencoba merumuskan suatu hipotesis ringan melalui
suatu permasalahan yang kodrati, dimana dengan banyaknya
masyarakat yang tidak memiliki mata pencarian pasca tsunami,
perekonomian masyarakat semakin merosot, tidak adanya pekerjaan
tetap, kondisi kejiwaan yang masih terganggu (trauma) dikhawatirkan
akan turut memperparah berbagai kondisi lainnya, seperti agama,
pendidikan, dan moralitas mereka, dikhawatirkan menciptakakn
masa depan yang suram bagi generasi Aceh mendatang. Untuk itu
postulat yang dapat disusun adalah dengan program pemberdayaan
perekonomian masyarakat, yang berupa pelaksanaan program
pencaharian hidup yang berkelanjutan (sustainable livelihood), akan
mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
pencaharian, sedangkan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari korban masihmengharapkan bantuan makanan dari pihak asing. Untuk itu harapan besar mereka adalah padabantuan modal usaha atau juga pelatihan untuk memulai mata pencaharian baru.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
16/56
C. Kerangka Acuan Analisis
KERANGKA acuan analisis yang dibutuhkan, adalah pemahaman
integritas dari pada program livelihood (mata pencaharian) yang
dilaksanakan oleh berbagai lembaga untuk menggerakkan kembali
perekonomian masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Besar
dan Banda Aceh yang telah hancur pasca tsunami.
Berbagai lembaga memiliki stressing tersendiri dalam melaksanakan
program livelihood ini, sebahagian bergerak dalam bidang
pembekalan keahlian (support for skill) dalam bentuk pemberian
pelatihan kerja dan pengasahan kemampuan (keahlian dan bahasa),baik kepada usia muda, tua, laki-laki, perempuan, maupun orang
cacat. ILO misalnya, memulai dengan paket Women’s
Entrepreneurship Training di Desa Lambada Lhok, Aceh Besar, yang
diiringi dengan program pemberian modal usaha dan pendampingan
bagi keberhasilan usaha tersebut.7
Program pemulihan perekomian rakyat ini diharapkan sebagai suatu
program yang memiliki nilai tahan, dimana mata penghidupan yang
diberikan bukan hanya sekedar suatu pekerjaan atau nafkah
berjangka pendek, yang berkemungkinan akan habis pada saat itu
juga, akan tetapi mencakup segala kebutuhan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan masa yang panjang, seperti dalam
memperkuat sumber-sumber penghidupan (livelihood assets)
sebagaimana yang dikembangkan oleh Amartya Sen dalam
memahami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh
7 ILO Jakarta, Edisi Khusus tentang Aceh dan Nias, Mendukung Pemulihan Mata Pencaharian, Juli
2005, hlm., 11. Hal ini juga diakui oleh salah seorang peserta FGD Humantarian Aid Agency,tanggal 20 Juli 2005, Zulhaimi Agam, bahwa keterpurukan perekonomian masyarakat disebabkanrendahnya keahlian yang dimiliki masyarakat dalam mengembangkan profesi yang mereka tekuni,sehingga dengan sendirinya lapangan pekerjaan semakin sempit terasa, padahal sangat luas,karena semuanya tergantung dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi perkembangan ini,sehingga untuk saat inipun masyarakat Aceh harus mendapat bantuan pengembangan skill yangpenuh, apalagi di tengah keporak-porandaan masyarakat setelah bencana tsunami terjadi.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
17/56
melalui kerangka kerja penghidupan yang berkelanjutan (sustainable
livelihood).
Chambers dan Conway mendefinisikan bahwa penghidupan yang
berkelanjutan tersebut dengan “suatu penghidupan yang meliputi
kemampuan atau kecakapan aset-aset (simpanan, sumberdaya,
claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk
hidup; suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat
mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga
atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan
penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang
memberi sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada
tingkat lokal dan global dalam jangka pendek maupun jangka
panjang”.
Kerangka sustainablities dari pelaksanaan program kerja livelihood,
harus memberi pemahaman bagaimana kaum miskin di negeri ini
menjalani kehidupannya, yaitu dengan terlebih dahulu melakukan
analisis terhadap mata pencaharian hidup masyarakat. Hal ini
disebut dengan langkah adaptif terhadap jangkauan program,sehingga keberhasilan pelaksanaan kerangka kerja ditentukan dan
diawali oleh langkah pendekatan bersama masyarakat dan
pencahariannya menuju mata pencaharian yang produktif, dan
berkelanjutan.
Berbagai aktivitas peningkatan mata pencaharian yang dilaksanakan
pasca tsunami, adalah salah satu dari berbagai target pencapaian
pemulihan perekonomian masyarakat, sehingga untuk langkah yang
lebih jauh, keberlanjutan livelihood haruslah didukung dengan
membangun ketahanan masyarakat dari berbagai kerentanan
(vulnerabilities) dan perubahan (trend), serta perubahan musiman
(seasonabilities).
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
18/56
Membangun kapasitas masyarakat yang tangguh, haruslah disertai
dengan membangun keahlian (skill) mereka dalam menggeluti mata
pencarian mereka sendiri, dengan harapan terbangunnya
masyarakat yang berkapasitas dan berpengetahuan tentang profesi
yang mereka jalankan.
Untuk melihat lebih jelas berbagai unsur yang melingkupi livelihood
tersebut maka terdapat 5 (lima) sumberdaya dasar yang harus selalu
diperhitungkan keberadaannya.
Kelima sumberdaya pokok/dasar inilah yang dijadikan sebagai
pertimbangan dan diperhitungkan keberadaannya dalam
pelaksanaan suatu program livelihood untuk pencapaian target
sebaik mungkin.
Sumberdaya yang harus dimiliki oleh manusia, dapat saja berupa
kesehatan, makanan, pendidikan, pengetahuan dan keahlian,
kemampuan untuk bekerja dan beradaptasi.
Modal Fisik(PhysicalCAPital)
Modal Uang(FinancialCapital)
Modal Alam(Natural Capital)
Modal Sosial(Social Capital)
Modal Manusia(Human Capital)
LIVELIHOOD
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
19/56
Disusul sumberdaya alam, yaitu tanah dan produktivitasnya, sumber
daya air, pepohonan dan produk hasil hutan, kehidupan binatang-
binatang liar, makanan dan serat dari alam liar, keanekaragaman
hayati, dan hasil alam non kayu.
Sumberdaya Sosial, yang dalam hal ini agak luas cakupannya,
seperti; jaringan dan koneksi, Hubungan kepercayaan, Kelompok
formal dan informal, Aturan umum dan sanksi-sanksi, Keterwakilan
kelompok, Mekanisme partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
dan Kepemimpinan yang ada.
Sumberdaya fisik yang dibutuhkan dalam melaksanakanpencaharian adalah;
- Infrastruktur;
a. Jalan dan Transportasi (angkutan)
b. Bangunan dan tempat tinggal yang aman
c. Tersedianya air bersih dan sanitasi yang baik
- Suprarstruktur
a. Peralatan produksi
b. Bibit, pupuk dan pestisida
c. Teknologi tradisional
Sumberdaya keuangan (finansial) yang biasa disebut dengan uang,
dalam livelihood juga memiliki bentuk beragam, yang dapat
diperhatikan dari kepemilikan masyarakat terhadap uang;
- Tabungan ( investasi )
- Hutang ( credit )
- Kiriman keluarga ( transfer )
- Dana pensiun
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
20/56
- Gaji
Selanjutnya disusunlah beberapa strategi yang dapat dilaksanakan
dalam program mata pencaharian hidup ini untuk mendukung
keberlanjutannya. Pertama, dengan mengkombinasikan semua aset
yang biasa dapat diakses, baik yang datang dari manusia itu sendiri,
alam, kondisi sosial, fisik (infrastruktur ) dan keuangan sebagaimana
tentang permodalan, jenis usaha, dan lainnya.
Kedua, penting juga dipertimbangkan berbagai konteks tentang
kerentanan yang setiap saat tanpa diduga dapat mempengaruhi
pencapaian hasil usaha. Kerentanan ini dapat saja datang dariaktivitas alam/bencana alam, seperti banjir, kekeringan, badai,
kamatian dalam keluarga, kekerasan atau adanya pemberontakan
sipil, dan lainnya yang bersifat tiba-tiba (shock). Kemudian
kerentanan ini juga disebabkan oleh suatu perubahan yang dapat
diamati akan tetapi tidak dapat dikembalikan kondisinya (trend),
seperti pertambahan penduduk, perkembangan teknologi,
pertumbuhan ekonomi, atau perkembangan politik yang terkadang
berpengaruh pada nilai tukar uang. Kerentanan ini juga dapatdisebabkan oleh suatu hal yang bersifat musiman (seasonability),
seperti perubahan musim yang dapat diperkirakan, juga seperti
fluktuasi harga di masa-masa tertentu, produksi, iklim dan
sebagainya, yang ketiga-tiganya berkemungkinan dialami secara
bersamaan.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
21/56
Ketiga, adalah dukungan atau tidak adanya dukungan dari
kebijakan, institusi dan proses. Kebijakan ini adalah suatu
kewenangan yang secara subjektif dapat dikeluarkan oleh
Pemerintah, LSM dan badan-badan atau NGO internasional.
Selanjutnya institusi seperti Politik (DPR dan DPRD), Lembaga
Eksekutif, Badan Peradilan, Organisasi Masyarakat Sipil, LSM,
Hukum, Partai Politik, serta badan-badan usaha swasta. Sedangkan
yang termasuk pada dukungan proses adalah adanya aturan main,
proses pembuatan kebijakan, norma sosial dan adat, gender, kasta,
kelas dan bahasa.
Selanjutnya keberhasilan suatu program livelihood juga digantungkan
kepada program yang mampu untuk masuk lebih dalam kepada
sistem mata pencaharian itu sendiri. Memperhatikan dengan cermat
berbagai potensi dan asset yang dimiliki masyarakat bukan hanya
dengan pertimbangan dasar terhadap profesi apa yang pernah
dijalankan masyarakat selama ini, akan tetapi juga harus diimbangi
dengan berbagai hal yang menjadi mata rantai suatu penghidupan.
Salah satunya mungkin saja mengawali livelihood dengan melakukan
SHOCK
TREND
SEASONALITY
ENTITLEMENT
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
22/56
pencerahan tentang teknik berwirausaha yang hendak untuk lebih
meningkatkan produktivitas, atau juga lebih jauh dapat membantu
masyarakat dalam mengakses pasar sebagai perwujudan
profesionalisme intervensi dan kepedulian program terhadap
keberlanjutan livelihood itu sendiri.
Model-model intervensi yang dilaksanakan, dimana suatu lembaga
donor dengan livelihood-nya akan selalu mengambil peran-peran
yang dirasakan penting untuk mendukung kesinambungan usaha,
apakah itu lembaga donor dari pemerintah atau non-pemerintah.
Suatu livelihood di bidang budidaya tambak misalnya, harus
menyajikan tinjauan lebih jauh kepada masyarakat tentang berbagai
kondisi seperti bibit yang unggul, tanah yang baik, air dan teknik
pengairan yang cocok.
Begitu juga dengan berbagai kondisi pasar, persaingan produk, dan
peluang pasar yang baik untuk usaha jenis ini, sehingga dengan
arahan tersebut dapat diprediksikan sejauh mana usaha tersebut
dapat dipacu produktivitasnya.
Keikutsertaan donor dalam mengendalikan program tersebut sangat
dibutuhkan, seperti dengan merencanakan model intervensi pasar
sehingga sistem pemasaran produk livelihood diterima dan tidak
kalah saing di pasaran, dan diharapkan bahwa hasilnya dapat
dijadikan modal yang berlanjut.
Pola intervensi yang dapat dijalankan, dapat juga lebih terbuka
dengan adanya koordinasi dan pengikutsertaan pihak lain untuk
breintervensi dan koordinasi menyukseskan program tersebut,
seperti peran pemerintah dan pengusaha besar untuk menjembatani
kegiatan livelihood. Persaingan harga pasar terkadang selalu
menghambat produktivitas suatu usaha, misalnya di Aceh, kasus
yang terjadi pada supply telur ayam, dimana pasokan yang berasal
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
23/56
dari Medan memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan harga
telur yang dapat diusahakan masyarakat di Banda Aceh.
Kondisi seperti ini juga dapat dipedomani oleh pemerintah dalam
melakukan invervensinya, agar produk-produk pencaharian
masyarakat melalui program livelohood dapat menguasai pasar di
daerah sendiri. Demikian juga dengan para pengusaha menengah
(eksportir) daerah agar sedapat mungkin mau berkerjasama untuk
menampung hasil produksi program livelihood, sehingga masyarakat
tidak terlalu sulit untuk memasarkannya sendiri.
Strategi intervensi yang dilakukan sedemikian rupa, bertujuankepada terciptanya suatu sistem jaminan terhadap keberhasilan
kemajuan suatu usaha dalam program livelihood. Selain jaminan
yang diberikan tersebut, masyarakat sendiri harus diarahkan untuk
menjalankan usaha yang berbasis ketahanan melalui penerapan
konsep entitlement, dimana masyarakat dikehendaki untuk memiliki
ketahanan perekonomian yang diwujudkan dari berbagai sisi
intervensi, yang sedapat mungkin menjamin akan adanya ketahanan
tersebut.
Untuk menjamin terciptanya keadaan yang entitle tersebut, ada tiga
basis perekonomian yang perlu dijamin, seperti terhadap berbagai
basis produksi, yang menghendaki adanya jaminan hal-hal berupa
kualitas tanah, air, bibit, iklim, dan tenaga kerja. Selanjutnya juga
harus ada jaminan terhadap basis perdagangan, seperti dalam hal
pemasaran dan harga, dan juga jaminan pada basis tenaga kerja,
yaitu pekerjaan dan upah itu sendiri. Sementara nilai-nilai dalam
relasi sosial perlu juga dijamin agar orang dapat bertahan terhadap
basis transfer.
Setelah adanya panduan dari konsep intervensi dan entitlement
tersebut maka prinsip lainnya sebagai faktor akhir untuk diperhatikan
dalam mewujudkan sustainablities livelihood ini adalah;
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
24/56
- Efisiensi secara ekonomi
- Keadilan dan kewajaran sosial
- Pertimbangan ekologi
- Keuletan dalam berusaha
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
25/56
Komitmen Oxfam terhadap Masyarakat Aceh paska Tsunami
OXFAM salah satu organisasi Internasional yang bergerak di bidang
kemanusiaan, efektif berada ada di Aceh tahun 2000. Pada awal
keberadaannya di Aceh, Oxfam lebih banyak bekerjasama dengan
pemerintah bagian Timur Aceh dalam menjalankan misi kemanusiaan
membantu korban konflik bersenjata. Untuk menjalankan misi
kemanusiaan dalam membantu korban konflik, Oxfam menggalang
kerjasama dengan mitra-mitra lokal dan internasional, seperti
Muhammadiyah, PCC, PMI, JRS, IOM dalam mengumpulkan informasi,
ketika diterapkan operasi militer.
Secara cepat tanggal 26 Desember 2004 Oxfam memulai respon luar
biasa dengan target membantu korban tsunami. Untuk penanggulangan
bencara tsunami tersebut, tidak hanya Oxfam Inggris (GB-Great Britain)
yang hadir di Aceh, akan tetapi turut juga direspon oleh Oxfam
Internasional yang terdiri dari 12 (dua belas) afiliasi Oxfam dari 12 (dua
belas) negara, yang bekerjasama melakukan tanggap darurat di Aceh.
Oxfam GB kemudian diberi mandat untuk memimpin operasi kemanusiaan
ini. Sebelumnya Oxfam GB telah mempunyai kantor di Aceh, selain itu
Oxfam GB sebagai satu-satunya yang telah memiliki perjanjian kerjasama
dengan pemerintah Indonesia, melalui kesepakatan kemitraan bersama
Departemen Sosial.
Oxfam sebagai lembaga yang bergerak memberi bantuan untuk
memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat tidak terlibat dan melibatkan
diri dalam masalah sosial, politik, etnis, atau keagamaan, sehingga Oxfam
benar-benar independen dan bebas dari intervensi kepentingan politik.
Oxfam memiliki reputasi yang baik dibanyak negara untuk pekerjaan
perbaikan dalam keadaan darurat, misalnya; menyediakan tempat
BBaabb IIII K K eebbii aakkaann LLiivveelliihhoooodd oolleehh OOxxf f aamm
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
26/56
penampungan air bersih, sanitasi dan pelayanan kesehatan masyarakat,
untuk orang-orang yang hidupnya telah berubah, yang disebabkan oleh
perang atau bencana alam. Setelah masa darurat berlalu, Oxfam
melakukan program jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu
masyarakat membangun kembali kehidupannya dan mempersiapkan dan
mengurangi dampak krisis pada masa yang akan datang.
Program Oxfam yang diangkat melalui analisis ini mencakup beberapa
kebijakan yang diambil oleh Oxfam dalam membantu memulihkan kondisi
perekonomian masyarakat Aceh pasca gempa dan tsunami. Dengan pola
penghidupan kembali mata pencaharian masyarakat melalui program
livelihood (livelihood programme), dimana dari sebagian bantuan yang
diberikan dalam bentuk modal usaha, peralatan usaha, keahlian dalam
berusaha, dan kemapanan dalam berwirausaha yang terhimpun dalam
suatu program pemberdayaan pencaharian masyarakat yang
berkesinambungan (sustainable livelihood) .
H. Visi dan Misi Oxfam tentang Program Bantuan Kemanusiaan
OXFAM GB dan afiliasinya, telah menempatkan dana yang
terkumpul di dalam port yang mereka namai “dana global”. Untuk
respon pasca bencana di Indonesia dalam mata pencaharian di Aceh
dan Nias dan beberapa negara yang terkena bencana lainnya seperti
Thailand, Srilangka, India dan Maladewa.
Indonesia mendapat kucuran dana yang paling besar dari dana
global Oxfam, dengan rancangan kerja hingga 5 (lima) tahun ke
depan. Adapun jumlah dana yang dapat diakses hampir mencapai ₤ 90 juta, dan akan dikucurkan sesuai dengan program yang disetujui
untuk dilaksanakan, seperti:
- Program kehidupan yang berkelanjutan
- Program gender dan keragaman
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
27/56
- Perdagangan yang berkeadilan
- Program pendidikan
- Program kemanusiaan
- Program advokasi
Untuk saat ini dana yang dialokasikan untuk kemitraan memang
masih kecil, untuk satu tahun dana yang diproyeksikan oleh Oxfam
untuk Aceh sekitar £ 20 juta, di enam konsentrasi kantor yang ada di
Banda Aceh, Sigli, Meulaboh, Calang, Aceh Besar, Lamno, dan Nias.
Aceh Besar adalah kantor yang paling besar dan memiliki staff yaitu
sebanyak 700 pekerja.
Oxfam dengan limit waktu fleksible di Aceh setidaknya sudah
menetukan fase intervensi. Saat ini oxfam baru memproyeksikan
waktu untuk tahap pertama, selama 3 (tahun) kedepan. 3 (tiga) bulan
pertama (Januari s/d Maret 2005) adalah tahun pertama Oxfam
fokusnya pada masa tanggap darurat, yaitu selama 3 bulan.
Pasca tanggap darurat, Oxfam menetapkan masa transisi untuk
rekontruksi dan rehabilitasi pembangunan kembali perumahan dan
shelter secara luas, asumsi selama 2 (dua) tahun. Namun begitu,
pada proses berjalan program tahun 2005, Oxfam telah menjejaki
program penanganan pengembangan ekonomi, yaitu dengan
membangun jaringan kerjasama kemitraan dengan NGO lokal.
Tahun berikutnya yaitu tahun ketiga, Oxfam akan lebih fokus
melakukan intervensi pengembangan livelihood jangka panjang
dengan penekanan adanya proses kemitraan lokal. Dari awal Oxfam
sudah punya kerangka kerjasama dengan mitra-mitra lokal dengan.
Sekalipun oxfam memandang perlu untuk melakukan respon secara
cepat, Oxfam juga berfikir untuk membangun kapasitas mitra-mitra
lokal dalam peningkatan proses kemampuan NGO lokal, terutama
dalam masalah tanggap darurat. Oxfam membangun asumsi bahwa
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
28/56
NGO lokal mempunyai kemampuan dalam memulihkan mata
pencaharian masyarakat korban mengingat keberadaan NGO lokal
sebelum dan pasca tsunami.
Pasca tanggap darurat, Oxfam juga melakukan pemulihan dibidang
infrastruktur dengan membangun kembali dan merehabilitasi
infrastruktur vital, seperti jembatan, fasilitas untuk mandi, sumur dan
WC. Pada intervensi ini, Oxfam mengakui memberi penekananan
kesinambungan, pengembangan jangka panjang, mendorong usaha-
usaha kecil dan industri tradisional di bawah program livelihood-nya
dan menawarkan kesempatan konsultatif untuk rekonstruksi.
Penerima manfaat dari program Oxfam menjelang akhir Juni 2005,
lebih dari 300.000 orang telah dibantu secara langsung melalui
program-program pada enam kantor lapangan di Aceh Besar,
Lamno, Calang, Meulaboh, Lhokseumawe dan Nias.
Saat ini Oxfam telah mendukung kemitraan dengan 49 NGO lokal
dan nasional yang sejalan dengan misi kemanusiaan dan prinsip-
prinsip Oxfam sendiri yang lebih luas dalam memberdayakan
masyarakat setempat. Program-program Oxfam di lapanganmenawarkan suatu pendekatan holistik pada pengembangan dengan
mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan penduduk yang terkena
dampak dengan pola dialog masyarakat, partispatif komunitas di
tingkat korban dengan mekanisme untuk umpan balik seperti CDO
CDO (Community Development Organizer ) dan Program Pendidikan
Kesehatan Publik secara luas.
Untuk itu Oxfam berkomitmen bahwa standar-standar yang dibentuk
oleh proyek SPHERE atau piagam kemanusiaan dan standar
minimum dalam respon bencana bisa dipatuhi dalam setiap
pelaksanaan program, dan ini sejalan dengan tujuan Oxfam untuk
membantu memulihkan kembali aspek perekonomian, kemampuan
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
29/56
sipil dan sosial dari masyarakat Aceh, untuk lebih maju dari yang
sudah ada sebelum tsunami dengan memenuhi standar yang layak.
I. Tehnik Pelaksanaan Program Livelihood Oxfam untuk
merehabilitasi Aceh
B.1 Pokok Pikiran
SECARA umum, Sejak tahun 2000 Oxfam-GB yang ada di
Indonesia tidak saja bergerak di bidang/program Pengelolaan
Bencana (Disaster Management) dan Hak Asasi Manusia
(Human Right), akan tetapi telah dikembangkan kepada dua
program baru, seperti Program Pendidikan pada saat konflik di
Madura, dan program penghidupan yang berkelanjutan
(Sustainable Livelihood) di Buton.
Untuk memandu pelaksanaan program penghidupan tersebut,
Oxfam menetapkan target-target penerima manfaat dari
kegiatan, yaitu:
- Petani miskin
- Nelayan miskin
- Masyarakat adat
- Masyarakat miskin perkotaan
- Kelompok penyandang cacat
- Perempuan dan anak-anak
- Pengungsi dan IDPs (pengungsi internal)
Untuk itu Oxfam mengusulkan bahwa program mata
pencaharian yang berkesinambungan hanya dapat dicapai bila
ketidaksetaraan hidup dapat dikurangi, dan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dapat memenuhi kebutuhan
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
30/56
ekonomi dan sosial sebagian besar penduduk Indonesia tak
terkecuali di Aceh. Untuk itu perlu diupayakan adanya usaha-
usaha yang meluas untuk mengubah kebijakan-kebijakan,
praktik-praktik, ide-ide dan kepercayaan dari lembaga-lembaga,
pemerintah dan masyarakat yang dituju untuk:
- Mengamankan dan menjaga aset-aset masyarakat miskin
dan memperluas pilihan mata pencaharian mereka.
- Mendorong pengembangan pasar dan aturan-aturan yang
sesuai bagi pasar lokal, regional dan internasional.
- Memberdayakan masyarakat miskin untuk melanjutkan
upaya pembangunan mereka sendiri.
- Mendorong kerangka hukum dan kebijakan dan praktik-
praktik merakyat dan memperbaiki kemampuan kaum miskin
untuk menghadapi kejutan-kejutan (kerentanan-shock).
Pelaksanaan ide-ide tersebut haruslah didukung oleh berbagai
aspek, seperti lingkungan pelaksanaan livelihood yang
diharapkan memungkinkan untuk melaksanakan programpencarian hidup yang terus berkesinambungan, sehingga
livelihood bukan saja sebagai program pengadaan mata
pencaharian untuk masyarakat, akan tetapi sebagai suatu
program yang terus memikirkan bagaimana caranya agar
masyarakat terus memiliki pencaharian untuk hidupnya.
Melalui program livelihood ini, Oxfam juga bertekad untuk dapat
melindungi produsen kecil dan produsen miskin untuk
menghadapi dominasi rezim pasar global.8 Sehingga dengan
menganut prinsip keuangan mikro tersebut Oxfam harus
memberdayakan masyarakat melalui pembentukan unit-unit
pengelola usaha yang dibentuk dari komponen masyarakat itu
8 Oxfam GB Indonesian Office, Sustainable Livelihood Programme.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
31/56
sendiri. Dan dengan ini pula Oxfam memberikan pengawasan
dan pengarahan untuk menguatkan kapasitas lembaga
keuangan mikro di tingkat desa untuk dapat mengelola
keuangan bantuan dengan baik dan produktif dan
bertanggunggugat.
B.2 Jaringan Kemitraan Livelihood oleh Oxfam dan NGO Lokal
JARINGAN kemitraan yang dibangun oleh Oxfam pada
dasarnya dilandasi atas komitmen mereka untuk melaksanakan
program jangka panjang dalam merekonstruksi dan
merehabilitasi Aceh, sesuai dengan prediksi waktu yang
diberikan selama 3 (tiga) tahun, dimana setelah tahun pertama
proses rekonstruksi selesai, kemudian proses pembangunan
perumahan rakyatpun selesai, maka pada tahun ketiga semua
program akan lebih fokus pada pengembangan livelihood
jangka panjang. Maka untuk itu dari sekarang sangat
ditekankan proses kemitraan dari awal, dimana Oxfam sudah
punya kerangka kerjasama dengan mitra-mitra lokal. Hal ini pula
yang mendasari Oxfam untuk berfikir membangun kapasitas
mitra-mitra lokal dalam peningkatan proses kemampuan NGO
lokal di Aceh.9
Oxfam tidak memiliki kemitraan untuk melaksanakan livelihood
dengan NGO international, maupun Pemerintah Daerah. Oxfam
hanya menjalin kemitraan bersama NGO lokal, dengan tujuan
agar Oxfam dapat sekaligus membantu untuk memberdayakan
dan memberikan tambahan kapasitas/kemampuan kepada NGO
lokal dalam hal penanganan masyarakat, sehingga di saat
Oxfam meninggalkan Aceh, maka sekaligus Oxfam telah
9 Wawancara dengan Yanti Lacsana, Oxfam, 20 Agustus 2005.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
32/56
meninggalkan NGO-NGO yang handal dalam membina
masyarakat.10
Jalinan kersajama yang dibangun oleh Oxfam bersama dengan
NGO lokal juga bertujuan agar Oxfam lebih mudah untuk
mengakses kepentingan yang sebenarnya diperlukan oleh
masyarakat korban. Bagaimana kondisi mereka, potensi yang
dimiliki masyarakat, dan bagaimana cara melibatkan mereka
dalam semua proses pemberdayaan ekonomi.11
Strategi jaringan kemitraan yang dimanfaatkan Oxfam,
selanjutnya juga berguna untuk mendukung percepatanpemulihan perekonomian masyarakat.
10 Wawancara dengan Mr. Johan, Oxfam Livelihood Coordinator, Wilayah NAD, 21 September
200511 Wawancara Yanti Lacsana, Oxfam, 20 Agustus 2005
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
33/56
Tabel : Daftar Mitra Kelompok Kerja Livelihoods
No. Nama Mitra Akronim Lokasi Mitra
1.Perkumpulan Centre Aid in Resolving Aceh
CARE Aceh Banda Aceh
2.Yayasan Sinar DesaIndonesia
Yasindo Banda Aceh
3.LSM Bina AneukNanggroe
BANNA Banda Aceh
4.Yayasan Forum StudiKependudukan danLingkungan Hidup
FORSIKAL Banda Aceh
5.
Wahana Amal
Sesama Makhluk Allah
WALSAMA Banda Aceh
6.Himpunan KerukunanMasyarakatSeuneuddon
HIKMAS Bada Aceh
7.YayasanPengembanganKawasan
YPK Meulaboh
8.
Pusat Studi Kelautandan PerikananUniversitas SyiahKuala
PSKP Unsyiah Banda Aceh
9.Yayasan Insan CitaMadani
YICM Banda Aceh
10.Yayasan PeduliSabang
YPS Sabang
11. CARe Aceh CARe Aceh Banda Aceh
12. Suara Hati Rakyat Sahara Banda Aceh
13. Meurah Mutia - Banda Aceh
14. Potjut Meutia - Banda Aceh
Yayasan Insan Cita Madani (YICM) adalah sebagai salah satu
NGO lokal yang menjadi mitra Oxfam dalam pelaksanaan
program livelihood yang bergerak di bidang penyaluran dan
pengawasan bantuan modal usaha/mata pencarian di bidang
usaha nelayan, petani bawang dan cabe, pedagang kecil,
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
34/56
pedagang kue, penjahit dan peternak ayam buras yang
dilaksanakan di Desa Neuheun, Aceh Besar.
Dalam hal ini Oxfam sebagai donor, menetapkan YICM sebagai
pelaksana lapangan sesuai dengan kesepakatan yang disetujui
bersama. Program tersebut telah dilaksanakan selama 3 bulan,
dimana dalam waktu yang singkat ini, kelompok usaha tersebut
telah mengembalikan pinjaman mereka sebanyak 70%, dan
dana tersebut akan digulirkan kembali. Sedangkan dalam
bidang pertanian belum ada, karena mereka masih sedang
mengolah tanah. Begitu juga dengan peternakan ayam buras
yang sedang terkena penyakit.12
PSKP Unsyiah, juga sebagai salah satu mitra Oxfam dalam
melaksanakan program livelihood di bidang pemberdayaan
perekonomian komunitas masyarakat nelayan di Kabupaten
Pidie (Simpang Tiga, Batee, dan Kembang Tanjung) dan di
Kabupaten Aceh Jaya (Panga, Krueng Sabee, Setia Bakti dan
Kecamatan Jaya).
Dalam melaksanakan program livelihood tersebut, PSKP
mengakui bahwa mereka mendapat keringanan dari Oxfam
dengan adanya kesempatan adendum program dan anggaran
yang diberikan oleh Oxfam ketika mereka dan masyarakat
korban nelayan selaku penerima manfaat program menemui
keadaan yang tidak wajar yaitu adanya perubahan kondisi
geografis dan lainnya, sehingga berbagai rencana awal
terhadap bantuan ataupun teknik pelaksanaan livelihood akan
berubah sesuai kebutuhan dan kemanfaatan bagi korban.
PSKP Unsyiah dalam melakukan pendampingan pemberian
bantuan alat tangkapan ikan bagi nelayan juga membekali
masyarakat dengan manajemen usaha, mendorong dan
12 Wawancara dengan Muhibuddin, SP., YICM, 18 Agustus 2005
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
35/56
menginisiasi masyarakat untuk menabung. Pada kondisi lain
PSK Unsyiah juga memfasilitasi keinginan masyarakat dalam
beralih profesi dari nelayan menjadi petani.13
B.3 Kemitraan Program Livelihood dan Tujuan Pola Partisipatif
Komunitas Masyarakat Korban
SELAIN menjalin kemitraan bersama NGO lokal dalam
melakukan kegiatan livelihood, Oxfam juga menjalin kemitraan
bersama komunitas sosial (adat) dimana program livelihood
dilaksanakan.14
Dalam menjalin kemitraan bersama komunitas masyarakat
desa, Oxfam menerima terlebih dahulu permohonan bantuan
usaha. Sebelum menjalin kerjasama dengan masyarakat
tersebut Oxfam akan melakukan beberapa mekanisme umum,
sebagaimana yang digambarkan oleh Mr. Johan sebagai salah
seorang koordinator tentang livelihood Oxfam di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.15
Pertama, setelah menerima proposal dari masyarakat tentang
adanya program usaha yang diajukan untuk mendapat bantuan
pemberdayaan. Sebagai langkah kedua Oxfam melakukan
diskusi internal tentang proposal yang diajukan tersebut.
Setelah ditetapkan urgensi dan berbagai pertimbangan
terhadap permohonan tersebut, maka selanjutnya, langkah
ketiga akan menunjuk seorang Community Development
Organizer (CDO) untuk melaksanakan assessment terhadap
13 Wawancara dengan Muhammadar, PSKP Unsyiah, 25 Agustus 2005
14 Wawancara dengan Wardah Hasyim, Recovery Coordinator Oxfam Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, 24 Agustus 2005
15 Johan juga menegaskan bahwa hingga saat ini Oxfam belum memiliki suatu guideline yang bakuuntuk pelaksanaan jaringan kemitraan program livelihood, akan tetapi hal ini selalu dilaksanakansesuai dengan kebiasaan yang pernah dilaksanakan di komunitas masyarakat korban, denganpola partisipatif.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
36/56
berbagai potensi dan aspek yang dapat ditangani pihak Oxfam
melalui program livelihood.
Tahap ke-keempat, Oxfam meminta pimpinan masyarakat
untuk mempersiapkan suatu pertemuan dengan masyarakat
desa, guna membicarakan berbagai keluhan dan harapan
tentang mata pencaharian masyarakat korban yang akan
ditangani. Sesudah adanya kesepakatan, langkah kelima
Oxfam meminta masyarakat untuk mengajukan wakil mereka
sebagai penganggungjawab dan memimpin mereka dalam
mengelola dana bantuan yang diberikan Oxfam. Perwakilan
sebagai penanggungjawab ditempatkan dalam struktur
organisasi pengelola dana bantuan yang dibentuk Oxfam, atau
disebut dengan Lembaga Keuangan Swadaya Masyarakat
(LKSM), (Lihat lampiran susunan keorganisasian LKSM masyarakat Desa
Alue Naga dan Desa Ruyeung yang menerima bantuan livelihood dari
Oxfam).
Setelah LKSM terbentuk, maka Oxfam menerima nama-nama
masyarakat korban dan sekaligus berjumpa langsung dengan
mereka dalam suatu forum khusus untuk membicarakan teknik
penggunaan bantuan, serta posisi Oxfam dan LKSM sebagai
lembaga masyarakat yang ditugaskan untuk mengelola
pemanfaatan dana bantuan tersebut.
Setiap perubahan kebijakan dari kesepakatan bersama tidak
diputuskan secara sepihak, baik oleh LKSM maupun sepihak
dipihak donor yaitu Oxfam. Sedapat mungkin perubahan yang
terjadi ditingkat LKSM harus diberitahukan kepada pihak Oxfam,
dan akan diputuskan melalui suatu rapat formal antara Oxfam
dan LKSM.
Setelah bantuan diserahkan dan digunakan oleh masyarakat
korban, maka Oxfam akan melakukan peran
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
37/56
kontrol/pengawasan mereka terhadap perkembangan
pelaksanaan program tersebut. Oxfam akan memutuskan
kerjasama dengan mitra yang tidak menjalankan program
sejalan dengan kesepakatan atau melakukan penyimpangan
fatal.
Program pemulihan mata pencaharian livelihood yang dibantu
Oxfam baru sebatas membantu usaha-usaha kecil yang
dilaksanakan masyarakat korban. Misalnya, pemberian bantuan
dana sebesar Rp. 185.000,-/orang bagi masyarakat korban
Desa Alue Naga yang berkeinginan untuk melanjutkan profesi
mereka sebagai pencari tiram. (Lihat lampiran tentang jenis-jenis usaha
yang dibantu Oxfam di Desa Alue Naga, serta para penerimanya).
Keterangan lebih lanjut, dimana Oxfam telah menjalin kemitraan
dengan sejumlah lembaga keuangan swadaya masyarakat di
berbagai desa yang dilaksanakan program livelihood,
(sebagaimana dapat dilihat pada lampiran).
Secara umum juga disimpulkan, bahwa metode pelaksanaan
program livelihood oleh Oxfam lebih mengutamakan aspirasidari bawah (sesuai dengan kebutuhan masyarakat korban yang
akan dibantu). Oxfam sendiri hanya memiliki standar umum
dalam melaksanakan program livelihood, dimana Oxfam untuk
tahap awal ini mengandalkan tenaga assessment lapangan
(CDO) mereka, sehingga dengan langkah seperti ini masyarakat
lebih cepat mendapatkan bantuan modal penggerak usaha.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
38/56
A. Mekanisme Planning dan Organizing Livelihood
PADA tatanan perencanaan, secara teoritis Oxfam belum
menyediakan panduan kerja/progam yang khusus untuk mendukung
pelaksanaan program pemberdayaan perekonomian masyarakat
Aceh pasca tsunami melalui program livelihood. Dan ini dirasakan
sebagai suatu kekurangan utama. Seharusnya untuk menjalankan
suatu program dalam periode tertentu dan jangka panjang, Oxfam
harus memiliki suatu guideline yang baku untuk mengontrol
pelaksanaan livelihood, yang bertujuan nantinya untuk mendukung
secara mekanisme terhadap keberlanjutan suatu program di fase
panjang selanjutnya.16
Berbagai kelemahan lain yang muncul adalah kealpaan17 sumber
daya manusia yang dimiliki Oxfam. Sepatutnya tidak perlu terjadi bila
dibandingkan kuantitas Oxfam dengan 642 staff dan pekerja
lapangan (583 orang staff nasional + 59 orang staff internasional)
yang tersebar di enam lokasi di Aceh, memiliki sumber daya dan
komitmen untuk melaksanakan kegiatannya di tengah-tengah
keterjepitan masyarakat Aceh yang butuh akan bantuan
pemberdayaan perekonomian di saat ini.
16 Hal ini diakui sendiri oleh informan yang ditemui staff Katahati Institute ketika mengadakan
wawancara bersama pihak Oxfam yang berkompeten dalam menangani masalah livelihood yaituWardah Hasyim, Mr. Johan, serta para CDO lapangan; Ratna Dewi, Siti Zubaidah, yang sedianyadengan senang hati memberikan keterangan tentang kerangka kerja tertulis livelihood yang biasamereka laksanakan demi kepentingan analisis. Namun karena keterbatasan waktu dan
ketersediaan bahan, Katahati Institute mengasumsi bahwa Oxfam belum memiliki guideline resmitentang pelaksanaan program livelihood yang berkelanjutan. Oxfam mengandalkan dukungan dariorganizing kerja lapangan dengan metode potensi komunitas masyarakat sebagai mitra kerjamereka yang turut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program dengan berbagaikesepakatan yang dijalin bersama Oxfam, LKSM dan masyarakat calon penerima manfaat itusendiri.17
Kealpaan dimaksud adalah keteledoran dalam perencanaan dan pengawasan pihak pegawailapangan dalam menangani penyaluran bantuan kepada masyarakat mengakibatkan bantuanpenggerak modal usaha yang diberikan terkesan seperti suatu program charity, tanpamempertimbangkan aspek yang lebih panjang yang dapat dihasilkan oleh bantuan tersebut. Hal initergambar jelas pada kasus pemberian bantuan kepada masyarakat Desa Alue Naga.
BBaabb IIIIII AAnnaalliissaa K K aassuuiissttiikk
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
39/56
Sesuai dengan standar teoritis tentang sustainable livelihood yang
telah disajikan sebelumnya, maka dari sejumlah observasi yang
dilakukan oleh team analisis data Katahati Institute, ada beberapa
kasus yang menarik untuk disimak, yang pada intinya juga
merupakan suatu permasalahan yang harus diperhatikan oleh pihak
Oxfam sendiri, dan juga seluruh NGO, baik lokal maupun
internasional dalam menyusun suatu perencanaan program
memulihkan kondisi perekonomian masyarakat Aceh.
Dengan adanya perencanaan dan panduan kerja yang matang, maka
berbagai permasalahan yang dikhawatirkan akan memutus mata
rantai keberlanjutan suatu program livelihood, baik yang diakibatkan
oleh faktor lemahnya sumber daya manusia, dan bencana alam
susulan dapat ditetapkan strategi menyelesaikan masalah dengan
indikator-indikator terukur.
Berdasarkan kasus yang terjadi di Desa Alue Naga, dapat
diidentifikasi bahwa suatu kekeliruan yang dilakukan baik sengaja
ataupun tidak dari organizing Oxfam, mitra kerja, hal itu telah terjadi
dan menimbulkan gap ditengah masyarakat (Lihat analisa kasuspada tahapan implementasi bantuan)
Mr. Johan, mengakui, bahwa untuk tahap ini Oxfam tidak memiliki
panduan khusus dalam melaksanakan livelihood. Oxfam lebih
menghandalkan penggalian aspirasi dan keinginan di komunitas
masyarakat korban. Hal ini menjadi titik penting bagi Oxfam,
mengingat berbagai prinsip pengembangan perekonomian
masyarakat Aceh terkadang berbeda dengan masyarakat di daerah
lain. Untuk itu dalam rangka menggerakkan program micro finance
ini, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk lembaga
keuangan mikro itu sendiri, yaitu dalam bentuk Lembaga Keuangan
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
40/56
Swadaya Masyarakat (LKSM), yang diambil dari masyarakat
komunitas korban.18
Dengan prinsip tersebut Oxfam menjustifikasi sebagai langkah awal
untuk merancang suatu konsep yang dapat dipergunakan sebagai
panduan memasuki tahapan/fase program livelihood yang lebih
barjangka panjang. Akan tetapi sejauh ini Oxfam mendapat banyak
permasalahan dengan masyarakat sehubungan dengan aplikasi
program livelihood. Ditingkatan CDO dan mitra kerjanya juga
terdapat kelemahan implementing dan monitoring.
B. Mekanisme Implementing dan Monitoring Livelihood
CONTOH kasus yang terjadi di desa Alue Naga, Banda Aceh,
dimana Oxfam melalui Community Development Organizer- nya
(CDO) dianggap telah mengabaikan sustainabilities suatu program
livelihood yang diharapkan. Hal ini diakui sendiri oleh masyarakat
saat dilakukan Indepth Interview, walaupun pada intinya masyarakat
desa tersebut sudah sangat terbantu oleh kehadiran bantuan
program livelihood dari Oxfam. Akan tetapi melalui suatu analisis
kebijakan tentang sustainable livelihood, hal ini dinilai suatu
kelemahan yang bersumber dari lemahnya sumberdaya manusia
yang dimiliki oleh Oxfam dalam melakukan kontrol dan pengawasan
program bersama mitra kerjanya di komunitas masyarakat korban.
Masyarakat Desa Alue Naga, dengan berbagai keterjepitannya telah
merekomendasikan Desa mereka sebagai salah satu desa yang
sangat membutuhkan penanganan dalam hal mata pencaharian.
18 Berdasarkan wawancara tersebut, Mr. Johan juga mengungkapkan bahwa ketiadaan konsep ini
juga suatu kekurangan, akan tetapi beliau berencana untuk menggali prinsip-prinsip keuanganyang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh, sehingga dapat dihasilkan nantinya suatupanduan yang baik dan aspiratif untuk mengembangkan perekonomian masyarakat itu sendiri,tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian lainnnya yang terkadang cenderungmelemahkan perekonoomian lemah. Dalam hal ini beliau sangat setuju dengan sistem pinjamanbagi hasil, yang dikembalikan kepada LKSM untuk kembali digulirkan kepada masyarakat lain yangmembutuhkan.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
41/56
Masyarakat Alue Naga berprofesi hampir 80% nelayan, serta 18%
berprofesi sebagai petani tambak, pedagang dan bertukang, dan
hanya 2% yang berprofesi sebagai pegawai19
.
Alue Naga telah disetujui oleh Oxfam untuk dijadikan sebagai salah
satu desa yang diberdayakan melalui program livelihood, yaitu
dengan menggerakkan kembali dunia profesi bidang kelautan,
seperti di bidang sarana penangkapan ikan (boat), penjualan dan
pengolahan ikan.
Bantuan livelihood yang direalisasi pihak Oxfam di desa Alue Naga
adalah dengan menggunakan mekanisme kemitraan, yaitu denganmembentuk Lembaga Keuangan Swadaya Masyarakat (LKSM), yang
dipimpin oleh pimpinan Desa/masyarakat Alue Naga sendiri. LKSM
ini diserahi wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola dana
bantuan dari Oxfam untuk dapat digunakan secara bergulir.
Beberapa ketentuan disyaratkan, seperti :
a. Debitur (IDPs) harus menyetujui bahwa pinjaman yang diberikan
ini atas dasar pinjam-meminjam, yang akan digunakan oleh
debitur untuk keperluan membuka usaha atau mengembangkan
usaha.
b. Pinjaman yang diperoleh berdasarkan perjanjian ini akan
dibayar sampai lunas, paling lambat sampai tanggal 30 setiap
bulannya hingga batas waktu pembayaran yang telah disepakati
bersama.20
Untuk memanfaatkan dana tersebut, pihak Oxfam berdasarkan
kesepakatan bersama dengan LKSM dan masyarakat Desa Alue
19 Rekomendasi Masyarakat Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, yang
ditandatangani oleh 20 orang masyarakat, dan diketahui oleh Kepala Desa (Geuchik) merekasendiri, pada tanggal 23 Agustus 2005.20
Dikutip dari berbagai ketentuan realisasi livelihood yang disepakati antara masyarakat Desa AlueNaga dan Oxfam, selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
42/56
Naga, bantuan dana diprioritaskan untuk memodali 6 (enam) usaha
masyarakat, di bidang;
1. Nelayan (pengadaan boat)
2. Penjual ikan keliling
3. Penjual ikan
4. Pembuat ikan asin
5. Pembuat Boat
6. Pencari Tiram.
Jumlah bantuan dana yang diberikan tidaklah sama antara masing-
masing kelompok/unit usaha, dengan pertimbangan dan kepentingan
besarnya modal yang diperlukan untuk satu unit usaha. Artinya,
sehingga dengan dana itu dapat memberikan manfaat berarti bagi
132 orang anggota masyarakat yang berkeinginan untuk memulai
mata pencahariannya kembali.
Dari proses implementasi kesepakatan bersama sampai realisasi
dana bantuan usaha, beberapa masalah muncul. Misalnya, adanya
kerancuan sistem pengelolaan bantuan, dimana penggunaan dana
bantuan tidak sesuai dengan shedule awal kesepakatan antara pihak
Oxfam sebagai donor dan LKSM sebagai pihak yang dipercayakan
untuk mengelola bantuan.
Hal ini terbukti dari keluhan salah seorang penerima bantuan
Nelayan di Alue Naga, tentang pembelian boat penangkapan ikan.
“Rencananya untuk nelayan diberikan 16 boat, dalam satu boat
itu dimiliki oleh 4 orang, harga boat sekitar Rp. 16 juta lebih, tetapi
kata pihak pengelola bantuan bahwa tidak mungkin boat tersebut
dikelola oleh 4 orang untuk satu unit, maka harga boat itu
diuangkan (dibagi-bagikan) kepada masing-masing orang, yang
rata-rata menerima sejumlah Rp. 4 juta lebih, dan dipersilahkan
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
43/56
untuk menggunakan uang tersebut terhadap usaha yang
dikehendaki.
Menurut saya, bantuan ini sia-sia saja, karena bantuan itu tidak
diberikan boat atau peralatan untuk melaut, sedangkan kerja
masyarakat di sini adalah menangkap ikan, kalau tidak
bagaimana mereka dapat mencari nafkah di laut. Oleh sebab itu
yang diberikan Oxfam itu adalah modal kerja bukan modal usaha
seperti ini, sehingga yang membeli boat dapat merasakan
manfaatnya langsung.
Menurut saya, Oxfam tidak bersalah, yang salah adalah parapihak yang berhak mengambil keputusan yang tidak menjelaskan
kepada masyarakat bahwa bantuan ini untuk apa, dan dalam hal
ini pihak pengelola bantuan dan masyarakat penerima sendiri
juga bersalah, karena diberikan bantuan untuk modal usaha,
malah dicairkan dan dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak
direncanakan sebelumnya.
Jika program sepeti ini ditilik dengan menggunakan kerangka
koordinasi suatu program livelihood, maka dari kasus ini dapat
disimpulkan, bahwa mata rantai yang menghubungkan keberlanjutan
usaha tersebut dapat terhenti, ketika jalur koordinasi antara pihak
donor dengan pihak komunitas pengelola bantuan tidak berjalan
dengan baik.
Oxfam sepatutnya meletakkan kerangka kerja yang ideal, sehingga
dengan berbagai situasi yang ada di lapangan, mitra serta penerima
manfaat telah memiliki panduan langkah-langkah koordinasi yang
efektif. Oxfam sebagai penyandang dana sepatutnya harus
mengetahui sepenuhnya tentang pengalihan penggunaan bentuk
bantuan yang direncanakan berupa pengadaan 16 unit boat di desa
Aue Naga, dengan cara membagi sama kepada 60 mayarakat yang
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
44/56
dibantu di desa tersebut. Hal ini telah mengindentifikasikan bantuan
tersebut tidak efektif dan tidak tepat sasaran.
Penunjukan dan penyerahan wewenang oleh Oxfam kepada seorang
CDO, adalah persoalan job description yang baik. Dimana dengan
adanya officer yang ditugaskan di lapangan untuk mengobservasi
daerah (desa) yang akan dibantu, maka upaya memetakan potensi
sumberdaya seharusnya sudah final.
Fungsi CDO tidak hanya merekomendasikan siapa saja yang berhak
menerima bantuan. CDO juga harus mampu merancang mekanisme
koordinasi berdasarkan masalah dan input dibasis komuitasmasyarakat korban, pengelola bantuan, dan pengambil kebijakan di
organisasi Oxfam sendiri. Koordinasi yang efektif dan sederhana
dapat membantu menyelesaikan potensi negatif dalam proses
penyaluran bantuan.
Persoalan keberlanjutan atau tidaknya suatu usaha yang dimodali
oleh Oxfam tersebut, adalah persoalan penting dan mendasar yang
harus diperhitungkan oleh setiap donor lainnya, walaupun pada
tatanan ini masih dianggap sebagai tatanan awal bagi mereka untuk
melanjutkan program livelihood ke masa yang berjangka panjang.
Namun demikian persoalan keterdesakan masyarakat yang dibantu,
haruslah menjadi topik utama, agar peluang untuk mengalihgunakan
bantuan tersebut tidak terjadi. Tanpa kajian efek positif dan negatif
akan keberlanjutan program pemulihan ekonomi dan mata
pencaharian maka kemungkinan tanggunggugat tidak terjadi.
Beberapa kelemahan pada program livelihood yang dilaksanakanOxfam di desa Alue Naga. Pertama, rendahnya pengawasan Oxfam
terhadap koordinasi kerja yang dijalin antara CDO dengan LKSM
selaku pengelola bantuan, sehingga dapat dilihat dari terjadinya
perubahan jenis bantuan yang diberikan kepada masyarakat,
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
45/56
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
46/56
Bantuan yang diberikan ini, seolah-olah ada permainan antara
CDO dengan Geuchik yang diangkat sebagai pimpinan
penyaluran bantuan. Hal ini terindikasi dari beberapa kebijakan
sepihak mereka yang memperuntukkan bantuan modal usaha
tersebut kepada keluarga dekat, kemudian juga kepada orang-
orang yang kalau tidak salah saya, tidak pernah memiliki
pekerjaan sebelumnya yang berhubungan dengan modal usaha
yang akan dibantu tersebut.
Saya sendiri, dalam hal ini ingin berusaha memulai perdagangan
kembali, tapi tidak dapat dibantu, kata mereka saya sudah
memiliki keahlian dalam perdagangan, jadi tidak perlu dibantu
lagi. Dan banyak masyarakat di sini yang juga diperlakukan
seperti saya. Tapi hal ini saya pikir apakah ini efektif, ketika orang
yang belum punya kemampuan apa-apa malah diprioritaskan
mendapat bantuan, sedangkan saya yang berkeinginan sekali
memulai usaha katanya dalam daftar tunggu”.21
Terlepas dari berbagai kelemahan di atas, jika dibandingkan dengan
keberadaan beberapa NGO yang juga bergerak dalam memberikanbantuan melalui program livelihood di Banda Aceh dan Aceh Besar,
maka keberadaan Oxfam dinilai sangat besar artinya bagi komunitas
masyarakat korban. Oxfam bukan saja bergerak dalam mensuplai air
bersih, Oxfam juga aktif memberikan bantuan modal usaha bagi
masyarakat yang ingin memulai kembali usahanya.
Kejelian Oxfam dalam melihat kebutuhan masyarakat akan modal
usaha yang terfokus pada program livelihood telah membantu sekitar
62.901 orang masyarakat di seluruh daerah, baik dalam bentuk mata
pencaharian maupun program padat karya seperti cash for work22 .
21 Dikutip dari wawancara masyarakat desa Deah Baro yang disiarkan Radio Prima FM, tanggal 19
September 2005, sehubungan dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada penyaluranbantuan modal usaha.22
Oxfam, Pelaporan Kegiatan ( Lokasi Aceh; Indonesia ), Nomor 13, 11 Agustus 2005.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
47/56
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
48/56
membentuk/menggunakan mekanisme kemitraan bersama
lembaga yang bertugas mengurusi persatuan beca tersebut,
sekaligus diberi tanggungjawab untuk mengelola bantuan dari
Oxfam, sehingga bantuan yang diberikan tersebut diserahkan
sepenuhnya untuk dikelola oleh lembaga tersebut.23
Walaupun dana yang telah dikucurkan oleh Oxfam untuk program
livelihood ini mencapai 14 Milyar lebih, akan tetapi Oxfam juga
mengakui adanya kendala-kendala yang mereka hadapi, seperti
adanya beberapa hal yang membuat masyarakat tidak produktif.
Terkadang masyarakat dibuat manja dengan bantuan yang
ditawarkan oleh beberapa lembaga, seperti dalam bidang cash for
work yang kemanfaatannya berjangka pendek. Oxfam
mengkhawatirkan dapat mengikis semangat gotong royong di antara
mereka, karena selalu bekerja dengan imbalan uang dan barang
lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, melalui program sustainable livelihood
ini diharapkan program-program tanggap darurat seperti cash for
work atau cash for food, dengan cepat tergantikan, agar masyarakatdapat merasakan manfaat berjangka panjang.
Harapan lain diungkapkan oleh salah seorang responden, warga
desa yang tinggal di Barak Lamnga :
“Sebelum tsunami saya berprofesi sebagai petani tambak
kepiting, dan sekarag pun ingin berusaha kembali seperti dulu,
karena tambak mulai kami rehab. Dan ada juga LSM indonesia
yang menawarkan program untuk merehabilitasi lahan tambak
kami secara keseluruhan, yang dilanjutkan dengan bantuan
tabur benih, dan setelah itu mereka menawarkan pengembalian
biaya rehab saja sebesar 30%. Akan tetapi hingga saat ini
23 Wawancara dengan Wardah, Recovery Coordinator Oxfam Wilayah Banda Aceh dan AcehBesar, 24 Agustus 2005
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
49/56
belum terlaksana, dan kami menganggap bantuan itumungkin
juga sebagai bisnis bagi mereka.
Untuk modal usaha, kemaren itu saya mendapat bantuan dana
pinjaman dari Dompet Dhuafa sebesar Rp. 1.000.000,-, yang
pengembaliannya selama 1 tahun, akan tetapi itu tidak
mencukupi, karena dalam beberapa hal saya juga harus
membeli peralatan usaha, seperti timbangan, faktur, kalkulator,
keranjang, dan sebagainya untuk menjamin kelancaran usaha
saya, dan ketertarikan konsumen agar usaha saya ini lebih
maju.
Rencana saya akan mengajukan bantuan kepada Oxfam,
karena di desa ini Oxfam juga memberikan bantuan, tapi
mereka mengatakan tidak dapat membantu saya, karena saya
telah mendapat modal usaha dari Dompet Dhuafa, sehingga
untuk mencukupi modal usaha saya ke depan, saya harus
berusaha meyakinkan Oxfam akan kondisi saya, agar saya
dapat hidup mapan dari usaha tambak yang sedang saya rintis
kembali”.
Berdasarkan minimal kasus-kasus di atas, dapat dirangkumkan
bahwasanya dari sebagian bantuan yang diturunkan donor ada yang
tepat sasaran, dan ada juga yang tidak tepat, sehingga dalam ukuran
sustainabilities suatu program livelihood belum dapat diharapkan. Hal
ini berkemungkinan juga disebabkan adanya asumsi masyarakat,
bahwa untuk saat ini bantuan livelihood masih terkesan bersifat
sementara sebagai awal untuk memulai jangka panjang, sehingga
belum dapat menggerakkan usaha yang berkesinambungan.
Adanya kecenderungan penggunaan bantuan berupa modal usaha
diluar ketentuan dan rencana awal penerima manfaat dengan Oxfam,
seperti untuk menutupi berbagai kebutuhan mendesak lainnya,
seperti makanan, perumahan, dan hiburan. Penerima manfaat belum
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
50/56
sepenuhnya didampingi dan dibekali dengan sistem pengelolaan
bantuan usaha yang berkelanjutan dan mampu meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
Pada prinsipnya Oxfam harus mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melakukan interevensi, menjelaskan kembali dengan
meyakinkan penerima manfaat bahwa bantuan livelihood bukanlah
sekedar menghidupkan pencaharian masyarakat kembali yang
hancur dihantam tsunami, akan tetapi merupakan upaya bersama
agar dengan adanya pencaharian yang berkelanjutan (sustainable),
dapat diukur peningkatan hasil dan memiliki ketahanan terhadap
berbagai kerentanan yang datang dari berbagai faktor, baik yang
bersifat shock, trend maupun seasonabilities.
Pada kondisi lain dari observasi yang dilakukan kata hati institute,
kegiatan livelihood cenderung lebih banyak diinisiasi secara cepat
oleh NGO interasional maupun lokal. Dengan ketersediaan dana
sendiri, NGO bertindak sebagai donatur, pelaksana. Sementara
Pemerintah Pusat dan Daerah hanya mengawasi atau sebagai
fasilitator saja. Misalnya tingkat Desa, perangkat Desa ( Geusyikberperan sebagai pendamping pelaksanaan livelihood oleh NGO.24
Pihak Dinas Tenaga Kerja Provinsi NAD menjelaskan fungsi institusi
Pemerintah Daerah, seperti Disnaker lebih ditekankan pada
pengawasan. Ketika NGO yang melaksanakan program livelihood
(cash for work/food), maka fungsi Disnaker adalah mengawasi
standar upah minimum yang mereka berikan kepada masyarakat.
Disnaker akan menilai apakah upah pekerja sesuai dengan Upah
Minimum Regional (UMR) atau tidak, Akan tetapi dalam memerankan
24 Wawancara dengan Kadisnaker Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, tanggal 25
Agustus 2005, sebagai lembaga pemerintahan yang terjun langsung mengurusi tentangketenagakerjaan, dengan menyatakan. bahwa fungsi pendamping dalam hal ini adalahmemberikan arahan, bantuan ketererangan, saran, petunjuk hukum dan teknis lainnya di manaNGO tersebut melaksanakan kegiatan livelihood, serta merespond berbagai kendala yang dihadapioleh NGO di lapangan bersama masyarakat.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
51/56
intervensi langsung pada program livelihood yang lebih mengarah
kepada pemberdayaan ekonomi jangka panjang. Namun begitu,
Disnaker mengakui pihaknya juga telah membantu penyaluran
bantuan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER), dana bergulir, dan
pelatihan kematangan usaha terpadu yang dilaksanakan di Badan
Latihan Kerja (BLK) Provinsi, yang juga didanai oleh NGO
Internasional.
Perspektif keseteraan hak antara laki-laki dan perempuan adalah
masalah lain yang disorot Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan
Setda Prov NAD. Menurutnya perempuan berada pada posisi tidak
setara dalam ketenagakerjaan. Dalam hal ini Biro Pemberdayaan
Perempuan mengakui bahwa ketidaksetaraan itu masih terjadi, dan
belum dapat diatasi secara lebih baik. Upaya yang dilakukan Biro
Pemberdayaan Perempuan untuk proses ini misalnya melakukan
kerjasama dengan berbagai NGO yang peduli terhadap
permasalahan keperempuanan, seperti UNFPA dan Oxfam dengan
memberikan rangkaian pelatihan keterampilan kewirausahaan
perempuan, sekaligus dibekali dengan penguatan kapasitas
kelompok perempuan, seperti penguatan kapasitas ketrampilan,
keilmuan bagi kaum perempuan, yang juga merupakan bagian atau
awal dari suatu program livelihood.25
25 Wawancara dengan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NAD, tanggal 26 Agustus
2005. Biro PP berpendapat untuk mengimplementasikan program pelatihan dan pendidikankepada kaum perempuan tersebut, selain bekerjasama dengan NGO internasional, Pemerintah juga memiliki perpanjangan tangan khusus kepada Pusat Pelatihan Terpadu dan PemberdayaanPerempuan (P2TP2), yang dibina oleh Pemerintah Daerah sendiri.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
52/56
Dari hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan
penanganan program livelihood di Aceh saat ini, dan juga yang sedang
dilaksanakan oleh pihak Oxfam di Aceh Besar dan Banda Aceh.
1. Kondisi masyarakat delapan bulan pasca bencana mulai bangkit dari
keterpurukan, namun pemenuhan hak dan kebutuhan yang standar
belum terpenuhi. Kondisi ini terlihat dari masih banyaknya
masyarakat korban yang belum memiliki pekerjaan tetap. Keadaan
ini juga turut diperparah dengan ketidakjelasan tempat tinggal
(shelter ). Masyarakat korban masih bertahan di tenda (camp)
pengungsian, barak (barrack) ataupun rumah tumpangan saudara
(host family). Disisi lain, walaupun masyarakat korban masih tersebar
di barak dan tenda pengungsiaan, mereka berharap dan
membutuhkan akses informasi, modal usaha, lapangan pekerjaandari semua pihak. Mereka berharap bantuan dalam bentuk dana
bergulir tidak memberatkan mereka dalam mengembalian modal.
2. Bantuan dalam berbegai bentuk oleh berbagai NGO, negara donor,
dan pemerintah sendiri sudah cukup banyak pasca bencana
(emergency). Namun belum ada jaminan dan indikator keberlanjutan
jangka panjang unuk memenuhi kebutuhan keluarga korban.
3. Kerangka keberlanjutan (sustainabilities) yang diharapkan dari
program livelihood tahap sekarang belum terealisasi sebagaimana
yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kondisi keterjepitan masyarakat yang membuat mereka masih hidup
darurat serta sangat banyaknya sektor usaha yang harus digerakkan,
mulai dari yang sifatnya kolektif maupun profesi perorangan.
BBaabb IIVV K K oonnkklluussii ddaann R R eekkoommeennddaassii
K K oonnkklluussii
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
53/56
4. Adanya fakta penyalahgunaan bantuan mata pencaharian produktif
yang diberikan oleh donor kepada Lembaga Keuangan Masyarakat.
Hal ini terjadi karena terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat
penerima bantuan modal usaha, sehingga bantuan dalam bentuk
uang dialihkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak adanya
pendampingan dan pengawasan yang ketat memunculkan banyak
masalah. Salah satu kasus seperti yang terjadi di Desa Alue Naga
dan Desa Deah Baro.
5. Semua lembaga penyandang dana merancang strategi pemasaran
ketika program sedang berjalan. Hal ini untuk memunculkan
kerentaan situasi labil, kerugian dari keberlanjutan usaha ekonomi
yang dibantu.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
54/56
1. Untuk memperkuat langkah penanganan pemulihan mata rantai
perekonomian masyarakat melalui livelihood dalam jangka waktu
tertentu, setiap NGO, terutama Oxfam sesegera mungkin merancang
dan memiliki standar baku pelaksanaan program livelihood yang
sesuai dengan pola dan prinsip kegiatan perekonomian masyarakat
Aceh. Panduan dimaksud untuk merasionalkan perencanaan,
pengorganisasian, implementasi, evaluasi dan pengawasan yang
mengakomodir aspirasi partisipatif komunitas korban/penerima
manfaat. Sehingga realisasi program dilakukan dengan tepat
sasaran dan bertanggunggugat.
2. Program micro finance dan pengelolaan modal usaha bergulir
dengan memberdayakan pola lembaga keuangan mikro di tingkat
komunitas sedapat mungkin tidak memberatkan penerima manfaat.
3. Perencanaan livelihood oleh NGO Lokal, Internasional, Pemerintah
Daerah haruslah memperhatikan potensial yang ada di basiskomunitas desa. Adanya pemetaan potensi, kajian sosio kultural
masyarakat setempat. Kajian ini menjadi penting dan utama untuk
melihat peluang dan tantangan serta mendorong tumbuhnya
perekonomian yang berbasis kearifan masyarakat lokal. kondisi
potensial masyarakat, kearifan lokal. Sumberdaya yang perlu
diperhitungkan di komunitas masyarakat korban adalah :
Sumberdaya Manusia (Human Capital), Sumberdaya
Fisik/Insfrastruktur (Physical Capital), Sumberdaya Sosial (Social
Capital), Sumberdaya Keuangan (Financial Capital), Sumberdaya
Alam (Natural Capital)
4. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyandang modal usaha yang
diperuntukkan untuk membantu masyarakat korban harus
R R eekkoommeennddaassii
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
55/56
mempunyai kemauan dan kemampuan upaya mengkampanyekan,
membangun jaringan hasil produk organik dan non timber forest
produk (hasil non hutan), guna menyelamatkan lingkungan sekaligus
membangun ekonomi yang berkelanjutan.
5. Skema pemberian kredit usaha, penentuan bunga pinjaman, untuk
penerima manfaat harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi
aktif penerima manfaat. Penyandang dana tidak memutuskan
sepihak tentang proses tersebut.
6. Semua lembaga penyandang dana mampu merancang strategi
pemasaran hasil dari produksi penerima manfaat. Adanya strategipemasaran merupakan salah satu indikator dari livelihood.
7. Seharusnya semua penyandang dana dan pelaksana lembaga
mendorong usaha produktif dengan meminimalisir sedapat mungkin
usaha konsumtif.
8. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana harus mendorong
kemandirian komunitas masyarakat korban dengan membangun
usaha bersama dan lahan usaha kolektif.
9. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana harus mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk mengasuransikan modal usaha
yang disalurkan kepada personal, kelompok masyarakat korban.
Sehingga menjamin modal usaha tidak hilang dalam kondisi dan
waktu tertentu.
10. Semua lembaga penyandang dana dan pelaksana mampu
merancang strategi evaluasi, strategi menyelesaikan potensi konflik
antar penerima modal usaha yang berpeluang timbul dalam
kelompok usaha ekonomi bersama. Misalnya; kelompok penerima
manfaat bukan saja sebagai pengelola modal usaha, bisa saja
bertindak sebagai pengawas bagi kelompok lainnya.
-
8/19/2019 Kebijakan Sustanability Berbasis Komunitas
56/56
11. Adanya penyusunan standar akuntabilitas dari realisasi modal usaha
secara bersama, antara penyandang dana dan penerima manfaat.
Indikator Akuntablitas tidak hanya persoalan keuangan akan tetapi
juga kinerja.