KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TERORISME file · Web viewManusia dalam menjalani kehidupan di dunia...
-
Upload
nguyenthuan -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TERORISME file · Web viewManusia dalam menjalani kehidupan di dunia...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalani kehidupan di dunia bersama keluarga,
tetangga dan masyarakat sekitar mendambakan kecukupan baik kebutuhan
primer, sekunder maupun tersier. Di samping itu setiap manusia membutuhkan
kedamaian dan kemakmuran, namun seringkali yang diperoleh sebaliknya
yaitu peperangan/kekerasan, kekurangan dan kemiskinan. Hal ini merupakan
masalah fundamental yang dihadapi oleh tiap-tiap negara, khususnya negara
miskin dan sedang berkembang yang tinggal di sebagian belahan bumi selatan.
Terjadi ketidak-seimbangan antara negara maju dan kaya yang tinggal
di belahan bumi bagian utara dengan negara miskin dan sedang
berkembangnya atau yang tinggal di belahan bumi bagian selatan
menimbulkan titik kecemburuan. Negara-negara yang tinggal di wilayah
belahan bumi bagian selatan yang mayoritas adalah negara miskin,
terbelakang dan sedang berkembang sering menghadapi tekanan yang
bertubi-tubi dari negara-negara maju dan kaya. Adanya arus globalisasi dan
pasar bebas adalah contoh tidak imbangnya sebuah persaingan.
Ketidakseimbangan inilah yang melahirkan kekecewaan, yang akhirnya
mencapai puncak tingkatan yang paling ekstrim dan radikal1.
Ekstrimisme atau radikalisme yang dilakukan oleh kelompok kelas
menengah ke bawah, didorong oleh faktor ketidakadilan dan kekecewaan 1 Ali Masyhar, 2003, Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Tesis,
hal. 2
1
akibat tata sosio ekonomi dan politis yang sifatnya diskualifikatif, dislokatif
dan deprivatif. Diskualifikatif di identifikasikan dengan sulitnya mendapatkan
akses ke dunia kerja akibat ketidakmampuan bersaing karena rendahnya
ketrampilan dan pendidikan. Proses dislokasi sosio ekonomis dapat dijumpai
dalam bentuk penyingkiran kaum miskin dari sumber-sumber daya ekonomi,
sosial dan kultural.
Sedangkan proses deprivasi sosio politis dapat berupa proses pemis-
kinan masyarakat kelas bawah akibat dominasi kekuatan-kekuatan bisnis yang
lebih besar melalui lembaga-lembaga ekonomi yang sifatnya mono- polistik,
adanya konglomerasi dan masuknya kapital asing berkolusi dengan elit
penguasa lokal atas penguasaan sumber-sumber ekonomi dan politis.
Semua itu berujung pada radikalisasi individual maupun kelompok atas
nama “ideologi perubahan atau keyakinan teokratis” dengan “tafsir sempit,
miopik dan sepihak”’ yang secara radikal dan brutal justru disalah gunakan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan radikal dan ekstrim2.
Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhir-akhir ini dinamakan
teror/terorisme.Gejolak terorisme semakin berlanjut akibat tatanan dunia yang
unipolar pasca perang dingin. Dunia hanya berpusat pada satu sumbu dominasi
Amerika Serikat (AS). Kebijakan ekonomi global yang diintroduksi oleh
lembaga-lembaga multilateral seperti organisasi WTO, IMF, Bank Dunia dan
institusi-institusi lain dengan sponsor negara-negara maju (AS) justru semakin
memperburuk kondisi negara berkembang menjadi semakin miskin dan
terbelakang.22 Herdi Sahrasad, Teror Bom, Ketidakadilan dan Kekerasan, Republika, 5
Oktober 2002, h. 5.
2
Langkanya praktek-praktek ekonomi yang adil dan lebih dominannya
praktek ekonomi yang eksploitatif (kapitalisme) dalam sebuah negara dan
dalam struktur ekonomi kawasan dan global, memiliki hubungan positif
dengan semakin rentannya sebuah negara, kawasan dan dunia dari munculnya
gerakan dan aksi-ksi terorisme3. Contoh kasus yang baik yaitu kawasan
Amerika Latin dan Asia yang diwarnai kesenjangan sosial yang tinggi sebagai
warisan ekonomi kolonial dan dampak perkembangan ekonomi kapitalisme
yang kuat.
Sementara itu, perasaan termarginalkan secara lebih hebat lagi akibat
sistem ekonomi dunia yang semakin tidak jelas, telah menyediakan tempat
yang subur bagi munculnya kelompok-kelompok radikal dan ekstrim di
kawasan Asia. Sasaran antara mereka adalah untuk mengacaukan keamanan
internasional.
Keamanan internasional yang dikomandoi negara Amerika Serikat
menjadi sasaran dari gerakan dan aksi-aksi terorisme internasional disebabkan
oleh karena tata dunia yang ada, dinilai berada dalam pengaruh kekuasaan
yang dominan dari satu negara yaitu Amerika Serikat (AS), yang muncul
sebagai negara adidaya tunggal (the sole superpower) dalam periode pasca
perang dingin. Pemahaman yang ada pada kelompok radikal tersebut adalah,
jika sebuah kekuatan atau kelompok ingin menggugat dan menggantinya
dengan alternatif yang ideal sesuai dengan pandangan kekuatan atau kelompok
yang melakukan penolakan atau resistensi tersebut maka aksi-aksi terorisme
berskala internasional harus dilakukan. 33 Poltak Partogi Nainggolan (ed), Terorisme dan tata Dunia Baru, Pusat
Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, 2002, h.15
3
Padahal, alternatif yang dilakukan selama ini dengan jalan-jalan
kompromis seperti negosiasi dan diplomasi ataupun kerja sama, tidak
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Lebih jauh lagi, oleh
kekeuatan atau kelompok yang melakukan resistensi, mekanisme atau jalur-
jalur reguler yang ditempuh selama ini, dinilai telah memberikan hasil yang
sangat tidak memuaskan, karena terlalu banyak toleransi dan kompromistik,
yang justru sangat merugikan mereka4.
Teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun peristiwa 11 September
2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Peristiwa yang
sampai disiarkan langsung oleh stasiun Metro TV, merelay siaran langsung
dari CNN itu sangat mencengangkan. Gambar yang muncul di televisi begitu
dramatis, Gedung WTC (World Trade Centre) yang begitu perkasa, runtuh
perlahan, hancur lebur menjadi debu. Kepanikan dan ketakutan mewarnai
Amerika Serikat. Presiden George W. Bush segera mengumumkan kepada
dunia, bahwa Amerika diserang teroris biadab.
Teroris tersebut adalah Osama bin Laden dan jaringannnya, Al
Qaeda.Teroris itu adalah Islam, Arab5. Sejak itu, kata “terorisme” menjadi kata
yang paling populer dan tidak ada habis-habisnya disebut masyarakat dalam
obrolan sehari-hari.Osama bin Laden, dengan Al Qaeda-nya dikejar-kejar,
karena dianggap sebagai biang peledakan. Tidak hanya Osama tetapi
Afghanistan yang saat itu diperintah rezim Thaliban-pun harus dibombardir
4 4 Ibid., h.75 5 Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers,
2001, h..ix
4
Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden,
Thalibanpun hancur.
Rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut pautnya dengan
peledakan WTC mulai terhentak atas pernyataan Menteri Senior Singapura
yang dikutip The Straits Times yang lancang menyatakan bahwa Singapura
tidak akan pernah aman bertetangga dengan Indonesia yang menjadi sarang
teroris. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kedubes Amerika Serikat di
Indonesia, bahwa di Indonesia ada jaringan teroris. Nampaknya hal tersebut
terkait dengan pernyataan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang menyatakan
bahwa Poso sebagai tempat latihan orang-orang yang terkait dengan jaringan
Al Qaeda dan Afghanistan. Kata “Terorisme” pun semakin akrab di telinga
masyarakat Indonesia, dan seolah menjadi bahan perbincangan yang “paling
mengasyikkan”.
Kejadian pemboman Paddy’s Pub dan Sari Club di Legian, Kuta Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002 persis satu tahun setelah Tragedi WTC–semakin
mengejutkan bangsa Indonesia, hal itu disebabkan jumlah korban yang begitu
besar dan bersifat massal, bahkan mereka (korban) adalah orang-orang yang
tidak tahu menahu dan tidak ambil peduli terhadap kebijakan politik negara
yang menjadi sasaran utama para teroris. Para korban hanya diposisikan
sebagai sasaran antara dari tujuan utama yang hendak dicapai para teroris.
Korban yang bersifat massal dan acak inilah yang mengancam
keamanan dan perdamaian umat manusia (human security). Keamanan seolah
menjadi barang mahal yang sangat sulit diperoleh. Akhir-akhir ini ancaman
terhadap human security semakin meningkat. Senjata-senjata yang
5
dipergunakan para teroris adalah senjata pemusnah dan perusak massal
(weapon of massive destruction), bahkan teroris senantiasa melakukan gerakan
terorisme internasional dengan modus operandi baru, seperti penggunaan bom
surat, dirty bomb, gas sianida dan apa yang diidentifikasi sebagai bom beracun
yang mengandung zat radioaktif.
Korban yang bersifat massal ditambah dengan modus operandi yang
melampaui dari kejahatan-kejahatan konvensional ini, kemudian orang
mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai “extra ordinary crime”. Dan
terorisme dianggap sebagai “ hostes humanis generis” musuh umat manusia6,
sehingga diperlukan tindakan / langkah yang bersifat luar biasa juga (extra
ordinary measures).
Aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 juga telah
mengejutkan pemerintah tidak hanya masyarakat Indonesia, lebih-lebih kala
itu Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur pem-
berantasan tindak pidana terorisme. Namun sejak peristiwa tersebut, pada
tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah serta merta mengundangkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu ini sekarang telah
ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003, dan untuk selanjutnya disebut Undang-undang Terorisme). Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 ini
dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pember- lakukan 66 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam
Kerangka Hak Azasi Manusia, Makalah disampaikan pada kuliah Umum S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
7. Ibid.
6
Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 20027.
Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, membutuhkan
extra ordinary measures. Sehingga kelahiran Undang-undang terorisme ini
tidak lepas dari munculnya pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi karena
adanya perbedaan titik tolak dalam memandang Terorisme dengan dike-
luarkannya Undang-undang Terorisme. Di satu sisi kelompok kontra
didasarkan pandangan pada perlindungan Hak Asasi Manusia pelaku (offender
oriented), sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro dida- sarkan pada
pendekatan perlindungan Hak Asasi Manusia korban (victim oriented).
Alasan yang disampaikan oleh kelompok kontra dengan
dikeluarkannya Undang-undang Terorisme antara lain :
1. Undang-undang Terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena
dapat berlaku surut (retro aktif), sedangkan pemberlakuan surutnya sampai
kapan tidak dirumuskan secara tegas8
2. Undang-undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan,
sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu, bukan
kehendak dan kebutuhan murni masyarakat.
3. Undang-undang Terorisme merupakan “reinkarnasi” dari Undang-undang
Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Kekhawatiran ini didasarkan pada adanya kewenangan yang luar biasa
7
8 Pasal 46 UU No.15 Tahun 2003 “ Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hokum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
7
kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai bukti permulaan yang
cukup). Meskipun ada lembaga “hearing” untuk dapat atau tidaknya
diproses lebih lanjut yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun
hal ini masih meragukan, karena laporan intelijen adalah sedemikian rumit
mungkin saja tidak mampu dipahami seorang Ketua Pengadilan Negeri.
4. Aksi terorisme sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan menggunakan
hukum pidana umum (KUHP), misalnya masalah pembunuhan,
pembakaran, peledakan bom dan sebagainya.
Bagi kelompok yang pro terhadap dikeluarkannya Undang-undang
Terorisme, berdasar pada argumentasi bahwa peraturan perundang-undangan
yang telah ada (terutama KUHP) tidak dapat diterapkan kepada actor
intelectualis dari pelaku teroro ini, dalam arti bahwa dipidana lebih berat dari
actor physicus nya. Hal ini karena justru actor intelectualis dalam aksi
terorisme mempunyai peran sangat penting dibanding dengan actor physicusr
nya. Di samping itu, penanganan terorisme harus segera mungkin, dan hal ini
tidak bisa terlaksana apabila diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena
itu perlu pengaturan khusus, termasuk hukum acaranya.
Kelompok pro memang didasarkan pada perlindungan korban
(memandang dari sisi korabn terorisme), di mana teror merupakan ancaman
bagi hak-hak individu seperti hak untuk hidup (right to life), bebas dari rasa
takut (freedom from fear), maupun hak-hak kolektif seperti rasa takut yang
bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan demokrasi, integritas teritorial,
keamanan nasional, stabilitas pemerintahan yang sah, pembangunan sosial
8
ekonomi, ketentraman masyarakat madani yang pluralistic, harmoni dalam
perdamaian inetrnasional dan sebagainya 9 .
Teror biasanya dilakukan secara acak (random) dan tidak terseleksi
(indiscriminate) sehingga sering mengorbankan orang-orang yang tidak
bersalah termasuk wanita dan anak-anak dan sering dilakukan secara
terorganisisr dan bersifat transnasional (transnational organized crime).
Alasan-alasan tersebut semakin mendasari kebutuhan akan adanya pengaturan
terorisme secara tersendiri dan khusus.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat tanggal 29
November 2005 telah mengajukan RUU Tentang Pengesahan Konvensi
Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris dan merujuk pada
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR prioritas 2006 tentang Konvensi
Pemberantasan Pendanaan Teroris. Yang menarik perhatian adalah pidana mati
yang telah dijatuhkan pengadilan kepada beberapa pelaku tindak pidana
terorisme yang terjadi di Indonesia
Panduan ini untuk melindungi terpidana dari penerapan pidana mati
karena retroaktif (to protect persons from retrospective applications) dan
kemungkinan diterapkan tindak pidana yang lebih ringan. Pedoman ini juga
mengatur jaminan-jaminan untuk naik banding dan mendapatkan grasi serta
jika ada perubahan dalam pemidanaan, menjamin tidak ada eksekusi hukuman
mati dilakukan sampai semua prosedur telah dilakukan secara sempurna.
Apabila pidana mati dijatuhkan, harus dilaksanakan dengan kebijakan
penderitaan paling minimum. Meringankan, tentang asas Non-Retroactive 9 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam
Kerangka Hak Azasi Manusia, op.cit., h. 1-2.
9
Enforcement sebagai mana diatur dalam Article 6 (2) ICCPR, the United
Nations Safeguard Nomor 2 menentukan apabila setelah terjadinya kejahatan,
terjadi peru- bahan yang memperingan suatu pemidanaan, terhadap pelaku
harus diterapkan pidana yang menguntungkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 (2)
mencantumkan hal ini, yaitu apabila terjadi perubahan perundang-undangan
setelah terjadinya kejahatan itu, yang diambil adalah yang paling
menguntungkan. Misalnya rumusan kejahatan terhadap negara dan ketertiban
umum, yaitu berbagai tindak pidana politik, makar, perbuatan kontra revolusi,
sabotase, terorisme, tindak pidana militer dan lain-lain.
Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk
mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran
yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah
merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini
diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu
(kejahatan berat) dengan pidana mati.
Seiring waktu yang terus berjalan, di berbagai negara terjadi
perubahan dan perkembangan baru. Di mana sejarah hukum pidana pada masa
lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati
merupakan obat paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun
kejahatan-kejahatan lain. Dan masa sekarang pidana mati diharapkan mampu
sebagai obat mujarab untuk membasmi kejahatan.
Bangsa Indonesia saat ini sedang melakukan pembaharuan di bidang
hukum pidana, salah satunya pidana mati. Pihak pendukung dan penentang
10
pidana mati mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu
saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia yang baru, hasil pikiran bangsa sendiri, yang telah
lama dicita-citakan.
Masalah pemidanaan sangat berkaitan dengan kehidupan seseorang
di masyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang
paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan
atau kebebasan.
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana kadang kala
dihadapkan dan mempertimbangkan suatu pendapat yang dipaparkan oleh
Hazewinkel-Suringa, yaitu “pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan
individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap
dihormati.
Tapi kadang–kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan
hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut
oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.
Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi
manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pihak lain, pemerintah
negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori tujuan pemidanaan,
antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan
teori gabungan. Teori absolut (pembalasan menyatakan bahwa kejahatan
sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana mati yang
membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya
11
dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan
si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan
sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada
pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan
adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum.
Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus.
Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai
adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai, kepada semua
orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban
masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan
pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau
menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah
direncanakannya.
Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendak
didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada
salah satu unsurnya tanpa meghilangkan unsur yang lain maupun pada semua
unsur yang ada10.
Menurut Muladi, dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus
tercakup dua hal yaitu pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi
masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar
tingkat kesalahan si pelaku; kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa 10 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia,USU
Digital Library, h.2
12
memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk
memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.
Dalam RUU KUHP 2006 dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan
sebagai berikut :
1. sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang
bertujuan purposive system dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk
mencapai tujuan;
2. “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub sistem) dari
keselu- ruhan sistem pemidanaan di samping sub sistem lainnya, yaitu sub
sistem tindak pidana “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)” dan
“pidana”;
3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai
pengendali/kontrol/ pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan
filosofis, rasiona- litas, motivasi dan justifikasi pemidanaan;
4. dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan
merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan
legislatif),
tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi”
(kebijakan administratif/eksekutif)11.
Tujuan pemidanaan (The Aim of Punishment) yang bertolak dari
pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang
bertujuan (purposive system atau teleological system) dan pidana hanya
merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka RUU KUHP 2006 11 Barda Nawawi Arief, 2007, RUU KUHP Baru Sebuah
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, h.36-37
13
merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran
pokok yaitu “perlindungan masyarakat” (general prevention) dan perlindungan
/pembinaan individu (special prevention). Di samping itu tujuan pemidanaan
adalah penyelesaian konflik, konsep keadilan restoratif yang juga
mementingkan kepentingan korban kejahatan (victim of crime) dan
memperlakukan lebih manusiawi pelaku kejahatan12
Menurut RUU KUHP 2006 Jenis Pidana diatur dalam pasal 65 – 68.
Pasal 65 memuat tentang : (1) Pidana pokok terdiri atas pidana penjara; pidana
tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Pidana
mati diatur dalam pasal 66, dalam RUU KUHP 2006 dinyatakan bahwa Pidana
mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan
secara alternatif.
Pasal 67 memuat tentang Pidana tambahan terdiri atas; pencabutan hak
tertentu; perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; pengumuman putusan
hakim; pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan
walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
12 Muladi, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Materiil, Makalah dalam Seminar dan Kongres ASPEHUPIKI tanggal 16 – 18 Maret 2008, Bandung, h. 10-11
14
Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama
dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Sedangkan Pasal 68
berbunyi ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimak
sud dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur undang-undang tersendiri.
Penjelasan RUU KUHP 2006 Pasal 66 adalah :
“Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun”.
Pidana mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam
terulang lagi. Pidana mati sebaiknya hanya dijatuhkan untuk tindak pidana
yang jelas membahayakan masyarakat, diterapkan secara selektif dan bukan
sebagai “legalisasi” atas pembalasan dendam13.
Dalam praktiknya, ancaman pidana mati menimbulkan pro dan
kontra dari masyarakat, khususnya pemerhati dan lembaga hak asasi manusia
yang menentang diberlakukannya hukuman mati terhadap pelaku
terorisme sebagai tindak pidana. Mereka yang menentang penerapan hukuman
mati berpendapat bahwa cara pemidanaan seperti itu melanggar hak asasi
manusia (HAM), mereka beranggapan bahwa hukuman mati bertentangan
dengan konstitusi dan UU No. 39 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia
serta instrumen internasional hak asasi manusia yang sudah diratifikasi
Indonesia.
13 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas Penggunaan Pidana Mati di Indonesia, h. 9
15
Menurut Andi Hamzah, juga menyatakan bahwa sebagaimana pidana
mati, pidana penjara juga menuai kelompok pro dan kontra, terutama berkaitan
dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara merupakan salah satu
bentuk nestapa berupa penghilangan kemerdekaan. Apabila dihubungkan
dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi
anggota masyarakat yang berguna, maka pidana penjara seumur hidup tidak
lagi sesuai dan dapat diterima14.
Apapun alasannya, tindakan teror, merusak dan membunuh / melukai
adalah perbuatan jahat yang patut dicela. Namun demikian, pengaturan /
penanggulangan suatu tindak pidana tidak seharusnya dilaku- kan dengan
sembarangan dan tergesa-gesa. Perlu adanya kajian mendalam tindak pidana
terorisme di Indonesia dalam perspektif Hukum Islam. Apalagi motif yang
melandasi dilakukannya tindak pidana terorisme di Indonesia sangat berbeda
dengan motif tindak pidana konvensional lainnya.
Untuk itulah, kajian tentang putusan pengadilan terhadap pelaku
terorisme di Indonesia dan pandangan Islam terhadap pidana mati tindak
pidana terorisme di Indonesia menarik perhatian penulis.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertumpu dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang
diangkat dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
14 14 Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia: dari retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, h.28.
16
1. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap pelaku Terorisme di
Indonesia?
2. Bagaimana pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana
Terorisme di Indonesia ?
Untuk menfokuskan arah penelitian, diperlukan adanya perincian yang
bersifat membatasi permasalahan tersebut, yaitu :
1. Untuk permasalahan pertama, penelitian difokuskan pada putusan
pengadilan terhadap pelaku Terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, uraian
terhadap pelaku kasus-kasus Terorisme di Indonesia dan undang undang
yang mengatur terorisme, merupakan suatu keniscayaan guna
mempertajam pembahasan.
2. Permasalahan kedua, difokuskan pada pandangan Islam terhadap pidana
mati tindak pidana Terorisme di Indonesia
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui putusan pengadilan terhadap pelaku
tindak pidana terorisme di Indonesia.
2. Untuk memahami pandangan islam terhadap pidana mati
tindak pidana Terorisme di Indonesia.
D. KERANGKA TEORITIS
1. Tindak Pidana dalam Hukum Adat
Penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana, masing-masing daerah dan
atau suku di Indonesia memiliki cara-cara tersendiri misalnya dengan Pidana
mati. Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai
17
macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan
pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan,
dijemur di bawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan
lain-lain.
Di Aceh, seorang istri yang berzina dibunuh. Di Batak, jika pembunuh
tidak membayar denda dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk
pidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Kalau di Minangkabau
menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum
membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan
di Cirebon penculik atau perampok wanita, baik penduduk asli atau bukan yang
menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat
dipidana mati. Di Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dipidana mati
dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap
pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka
ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Di Sulawesi Tengah, seorang wanita yang berhubungan dengan
seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di
Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat
membayar denda ia dipidana mati.
Di Pulau Bone dan Terate, pencuri dipidana mati dengan jalan tidak
diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah
matahari hingga mati. Di Nias, bila dalam tempo tiga hari belum memberikan
uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan.
18
Di Pulau Timor, tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus
dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di
Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu
pembunuhan, delik slah putih (zina antara bapak dan ibu dengan anaknya atau
mertua dengan menantunya dsb) dan berzina dengan istri orang lain15.
2. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Indonesia
Roeslan Saleh dalam Andi Hamzah menyatakan bahwa KUHP
Indonesia membatasi kemungkingan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan yang berat
itu adalah :
a. Pasal 104 yaitu makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden
b. Pasal 111 ayat 2 yaitu membujuk negara asing untuk bermusuhan
atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang
c. Pasal 124 ayat 3 yaitu membantu musuh waktu perang
d. Pasal 140 ayat 3 yaitu makar terhadap raja atau kepala negara-
negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut
e. Pasal 340 yaitu pembunuhan berencana
f. Pasal 365 ayat 4 yaitu pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
g. Pasal 368 ayat 2 yaitu pemerasan dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
15 Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, USU Digital Library.
19
h. Pasal 444 yaitu pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang
mengakibatkan kematian
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati
bagi pelanggarnya, antara lain:
a. Undang-undang No. 4 tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
b. Pasal 59 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika
c. Pasal 36 ayat 4 Sub b Undang-undang No. 9 tahun 1976 Tentang Narkotika,
j.o UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
d. Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3) Undang-undang No. 26 tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM
e. Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16 Undang-undang No. 15 tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme16.
Tindak Pidana Terorisme merupakan salah satu tindak kriminal.
Sudarto mendefinisikan kriminal dalam tiga arti. Dalam arti sempit adalah
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana; dalam arti luas adalah keseluruhan
fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi; sedang dalam arti paling luas adalah keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat17.
16 Supriyadi Widodo E.,dkk., 2007, Catatan Atas penggunaan Pidana mati di Indonesia, www.docu-track.com.
17 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 113-114.
20
Secara singkat beliau memberikan definisi kebijakan kriminal (politik
kriminil) adalah suatu usaha yang rasionil dari masyarakat dalam menanggulangi
kajahatan18. Senada dengan Sudarto, G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa
criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime19.
Hoefnagels menyatakan bahwa criminal policy as science of policy is
part of larger policy: the law enforcement policy. Jadi kebijakan kriminal
bukanlah sebuah kebijakan yang berdiri sendiri, terlepas dengan kebijakan-
kebijakan lain, tetapi ia harus dilihat pula dalam hubungannya dengan
keseluruhan kebiajkan sosial. Sebagai suatu kebijakan penegakan hukum, upaya
ini termasuk di dalam bidang kebijakan sosial. Oleh karena itu, kebijakan
kriminal adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum dan kebijakan sosial.
Kebijakan-kebijakan tersebut bertumpu pada tujuan yang hendak
dicapai oleh hukum pidana, yaitu adanya kepentingan–kepentingan sosial yang
mengandung nilai-nilai yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial
tersebut menurut Bassiouni, sebagaimana dikutip Barda Nawawi adalah:
1. pemeliharaan tertib masyarakat;
2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-
bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
3. memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
18 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, h. 38. lihat pula Sudarto, Hukum Pidana danPerkembangan Masyarakat: kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung. 1983, h. 26
19 G. Peter Hoefnagels, The Other Side Of Criminology, Kluwer-Deventer Hollan, 1969, h.57.
21
4. memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan
individu20.
Kebijakan kriminal ini dapat diaplikasikan melalui dua jalur penal dan
non penal21. Sementara kebijakan penal (kebijakan hukum pidana)
dioperasionalkan melalui tiga tahap yaitu :
1. Tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum
pidana oleh pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan
hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang;
2. Tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat
penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan; dan
3. Tahap kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat
pelaksana / eksekusi pidana.
Adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor
Undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan
kebudayaan22.
Apabila dilihat dari keseluruhan proses tahap penegakan hukum
pidana, tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting atau
tahap peling strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasi-
onalisasikan sanksi pidana23.
20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 35 – 36.
21 Dalam konteks membahas tentang kriminologi, G.P. Hoefnagels menegaskan criminal policy terdiri dari : (1) influencing views of society on crime and punishment, (2) criminal law application dan (3) prevention without punishment.
22 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajawali, Jakarta, h. 5.
23 Barda Nawawi Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, op.cit., h. 75.
22
Hal ini karena, pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana di dalam penegakan hukum24,
sekaligus merupakan lanndasan dan pondasi bagi dua tahap berikutnya. Suatu
perumusan hukum pidana yang kurang baik, akan berdampak pada kurang
baiknya dua tahap berikutnya.
Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
Pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan: perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar25.
Jadi, dalam kebijakan kriminal dengan jalur penal (penal policy), orang
akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang ling- kup
perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, maupun
sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun tindakan.
Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai justru
menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimun remedium (ultima
ratio principle), dan menjadi boomerang dalam kehidupan sosial berupa
kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) yang justru mengurangi
wibawa hukum26.
24 Penegakan hukum tidak hanya menyangkut pelaksanaan hukum (law enforcement), tetapi juga meliputi langkah preventif dalam arti pembuatan undang-undang, lihat Nyoman Serikat Putrajaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 49.
25 Barda Nawawi Arief, op.cit., h. 29.26 Muladi, Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime, Makalah pada Seminar
Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan dalam Bidang Telematika, diselenggarakan oleh Universitas Semarang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang, 23 Juli 2002. h. 1.
23
Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai kriteria suatu
perbuatan dapat diberi ancaman pidana atau tidak. Hal-hal tersebut adalah 27:
1. Penggunaan hukum pidana harus berusaha mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan
Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum Pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan sekaligus sebagai pengugeran
terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri.
2. Perbuatan yang hendak ditanggulangi adalah perbuatan-
perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan-perbuatan yang
mendatangkan kerugian baik bagi masyarakat maupun bagi diri sendiri
pelakunya.
3. Usaha mencegah suatu perbuatan dengan mempergunakan
sarana hukum pidana, perlu disertai dengan perhitungan akan biaya yang
harus dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost and benefit
principle).
4. Pembuatan peraturan hukum pidana perlu memperhatikan
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum (dalam arti luas).
Perlu dijaga, jangan sampai ada kelampauan beban tugas , yang justru akan
mengakibatkan efek dari suatu peraturan itu menjadi berkurang.
Dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan terorisme dengan
hukum pidana, pembuat undang-undang harus menjaga keseimbangan antara
27 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit., h. 144 - 148
24
empat kepentingan yaitu perlindungan korban, keamanan nasional, “due process
of law”, dan “ international peace and security”28.
Terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the Organization of
the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999)
sebagaimana dikutip Muladi merupakan tindakan kekerasan atau ancaman
tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan
rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang
lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka, atau mengancam kehidupan,
kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi
lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau
menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau
fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan
politis atau kedaulatan negara-negara merdeka29.
Terorisme merupakan kejahatan transnasional / internasional yang
terorganisir (transnasional organized crime). Oleh karena itu dalam
penanggulangannya membutuhkan kerjasama internasional. Menurut Konvensi
Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai transnasional
organized crime, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. dilakukan di lebih dari satu negara;
b. dilakukan di satu negara, tetapi persiapan, perencanaan dan
pengendaliannya mengambil tempat di negara lain;
28 Muladi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Aasasi Manusia,Op.cit., h. 6.
29 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, h. 173.
25
c. dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok
kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara;
atau
d. dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya
mengimbas sampai ke negara lain30.
Terorisme dewasa ini dikategorikan sebagai transnasional organized
crime dan sekaligus hostes humanis generis, oleh karena itu, masyarakat
internasionalpun telah mulai bereaksi dengan menyelenggarakan berbagai
konferensi dengan hasil berbagai konvensi yang berkaitan dengan terorisme.
Konvensi-konvensi tersebut antara lain : States of the South Asian
Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on
Suppression of Terrorism, The Arab Convention on the Suppression of
Terrorism (1998), Treaty on Cooperation among the States Members of the
Commonwealth of independent States in Combating Terorism (1999),
Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating
International Terrorism (1999), dan lain-lain.
Konvensi-konvensi Internasional di atas menegaskan bahwa tindak
pidana terorisme ini tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik. Oleh
karena bahwa perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi, kolonialisme
dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan hak sendiri
sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan
terorisme.
30 Ibid., h. 168 - 169
26
Mengenai kualifikasi tindak pidana terorisme, umumnya konvensi-
konvensi tersebut, di samping menegaskan secara tersendiri mengenai terorisme,
juga menunjuk tindak pidana lain yang terdapat dalam konvensi internasional
sebelumnya, sebagai tindak pidana terorisme. Konvensi internasional yang
ditunjuk antara lain :
a. Konvensi tentang kejahatan dan tindakan lain yang dilakukan
di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 1963);
b. Konvensi tentang pembasmian perampasan pesawat terbang
yang menyalahi hukum (The Hague, 1970);
c. Konvensi tentang pembasmian tindakan menyalahi hukum
terhadap keselamatan penerbangan sipil (Montreal, 1971) beserta
protokolnya (Montreal, 1984);
d. Konvensi tentang pencegahan dan hukuman tindak kejahatan
terhadap orang-orang yang memiliki imunitas internasional termasuk agen
diplomatik (New York, 1973);
e. Konvensi internasional terhadap penyanderaan (New York,
1979);
f. Konvensi hukum laut PBB dan pasal-pasalnya yang
berkaitan dengan pembajakan di laut;
g. Konvensi tentang perlindungan fisik bahan nuklir (Vienna,
1979);
h. Protokol untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum
terhadap keselamatan platform tetap tentang dasar kontinental (Roma, 1988);
27
i. Konvensi untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum
terhadap keselamatan navigasi maritim (Roma, 1987);
j. Konvensi tentang plastic exsplosive untuk tujuan deteksi
(Montreal, 1991);
Dengan mengacu dan melakukan studi komparasi baik pada konvensi-
konvensi internasional maupun aturan antiterorisme di negara lain, akan lebih
memperkaya studi tentang tindak pidana terorisme di Indonesia baik dari sisi ius
constitutum maupun ius constituendumnya.
E. METODE PENELITIAN
1. Spesifikasi Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini
termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu mengkaji tindak pidana
Terorisme di Indonesia dalam persepektif hukum Islam, menggambarkan
secara rinci tindak pidana terorisme yang ada di Indonesia dan tinjauan dari
perspektif hukum Islam.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam
kerangka menyusun teori baru. Jadi deskriptif di sini mempunyai tujuan untuk
melukiskan atau memberikan gambaran tentang sesuatu31. Menurut
Mohammad Nazir penelitian yang menggunakan format deskriptif bertujuan
31 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, h. 10
28
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang diselidiki32.
Menurut Burhan Bungin, penelitian sosial yang menggunakan format
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang
menjadi obyek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu
ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu33.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif yaitu digunakan untuk mengkaji/menganalisis data yang
berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan primer dan bahan-bahan
sekunder34.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini,
maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka35. Sedangkan menurut Ronny Hanitijo
Soemitro metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
menggunakan data primer dan sekunder, sehingga diperoleh data yang
berkaitan dengan masalah penelitian. Data primer merupakan data yang
diperoleh dari hasil wawancara secara langsung yang dilakukan oleh peneliti 32 Mohamamad Nazir, 1983, Metode Penelitian, Darussalam: Ghalia Indonesia, h.63.33 Burhan Bungin, 2002, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan
Kualitatif, Airlangga University, h.48.34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Semarang: Ghalia Indonesia, h. 11-12.35 Lexy J. Moleong, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya,
h.6.
29
terhadap informan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yaitu
berupa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, dan bahan hukum
sekunder yaitu berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, hasil
penelitian dank kegiatan ilmiah serta pendapat para ahli hukumdan
ensiklopedia36. Oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan:
a. Studi Kepustakaan dan Dokumen
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder di bidang
hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan menjadi37
:
1) Bahan Hukum Primer, yang meliputi :
a) Norma dasar pancasila;
b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945;
c) Peraturan Perundang-undangan;
d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;
e) Yurisprudensi; putusan hakim yang memutus pidana terorisme di
Indonesia ;
f) Traktat.
2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi :
a) Rancangan peraturan perundang-undangan;
b) Hasil karya ilmiah para sarjana;
c) Hasil-hasil penelitian
36 Ronny Hanitijo Soemitri, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang, Ghalia Indonesia, h. 11-12.
37 ? Ibid, h.13
30
Dari sekian banyak data sekunder di bidang hukum, yang digunakan
dalam penelitian ini adalah norma dasar Pancasila, Peraturan Perundang-
undangan yang terkait, Traktat, Rancangan Peraturan Perundang-
undangan, Hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian. Di
samping itu juga digunakan dokumen-dokumen dan artikel media massa,
serta data lapangan putusan hakim.
b. Observasi
Observasi dilakukan untuk menemukan kasus yang telah diputus akibat
tindak pidana Terorisme di Indonesia oleh Hakim dilihat dalam perspektif
hukum Islam guna mengetahui dan menggali pidana mati terhadap tindak
pidana terorisme di Indonesia.
4. Penyajian dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu
metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis
dengan logika, dengan induksi, analogi/interpretasi, komparasi dan sejenis itu.
Metode berfikir dipergunakan adalah metode induktif, yaitu dari data/fakta
menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, termasuk juga melakukan
sintesis dan mengembangkan teori (bila diperlukan dan datanya menunjang)38.
Sedangkan analisis data merupakan proses yang tidak pernah selesai.
Proses analisis data sebaiknya dilakukan segera setelah peneliti meninggalkan
lapangan sebagai proses untuk menemukan tema-tema dengan cara
menggabungkan sumber-sumber data yang ada39. Dari penyajian dan analisis
38 Sanapiah Faisal, 1990, PenelitianKualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang, h. 39.39 Burhan Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, h. 66.
31
tersebut kemudian ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang
ada.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan ini tersusun secara sistematis dengan diawali Bab I yang
mengetengahkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kerangka teori dan metode penelitian yang digunakan, dan sistematika
penulisan
Bab II berisi Tinjauan Pustaka, yang diarahkan pada hal-hal yang
relevan dengan judul, yaitu pembahasan mengenai gambaran umum tindak
pidana terorisme yang meliputi pengertian dan ruang lingkup terorisme,
sejarah asal usul terorisme, tipologi terorisme dan motif dilakukannya
terorisme di Indonesia. Di samping itu kajian mengenai putusan-putusan
pengadilan tindak pidana Terorisme di Indonesia, dan pandangan Islam
mengenai Pidana Mati.
Bab III berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan penelitian
yang meliputi: Pertama : putusan pengadilan terhadap kasus-kasus tindak
pidana Terorisme yang ada di Indonesia; termasuk yang dipidana mati. Kedua
: pandangan Islam terhadap pidana mati tindak pidana Terorisme di Indonesia.
Bab IV penutup, berisi kesimpulan dan saran berdasarkan
permasalahan yang dibahas, disimpulkan berdasarkan pada hasil penelitian dan
pembahasan serta saran yang ditarik dari kesimpulan.
32