Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

32
KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU (Pendekatan Teoritik) Oleh Imam Mawardi Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia. Pengertian Kebenaran Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995). Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo,

description

Filsafat

Transcript of Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Page 1: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU(Pendekatan Teoritik)

Oleh Imam Mawardi

Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

                Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.

                Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.

Pengertian  Kebenaran

                Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).

                Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).

                Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

                Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

Teori-Teori kebenaran

Page 2: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

                Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.

Teori Korespondensi

Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni  kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah(Jujun, 1990:237).

Teori Koherensi

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya  dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar   dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.

Teori Pragmatik

Page 3: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat  yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).

Page 4: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongrit maupun abstrak.[2] Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau stitmen. Apabila subjek mengatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas sifat atau karakteristik, hubungan hal yang demikian itu sarana kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.[3]

Pengertian kebenaran dapat dibedakan antara “kebenaran faktual” dan ” kebenaran nalar”. Kaum positifis logis bahkan mengklaim bahwa tidak ada kebenaran lain selain kedua jenis kebenaran ini. ” kebenaran faktual” adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual didunia nyata, sebagaimana di alam manusia ( biasanya diuicar dengan dapat – tidaknya dia nanti secara indrawi apa yang dinyatakannya_ Misalnya apakah pernyataan “bumi itu bulat” merupakan suatu pernyataan yang memiliki kebenaran. Faktual atau tidak pada prinsipnya harus bisa diuji kebenarannya berdasarkan pengamatan indrawi. Kebenaran faktual adalah kebenaran yang menambah khazanah pengetahuan tentang alam semesta. Sejauh dapat kita alami secara indrawi.

Kebenaran faktual bersifat nisbi dan mentak kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar, jauh sampai sekarang belum ada alternatif yang dapat menggugurkannya.[4] “kebenaran nalar” adalah kebenaran yang bersifat tautologis dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia ini, tetapi dapat merupakan sarana berdaya guna untuk memperoleh pengetahuan yang berarti tentang dunia ini. Dengan kata lain dapat membantu untuk memperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran faktual. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika kebenaran di sini bedasarkan atas suatu penyimpulan terdeteksi sehingga berbeda dengan kebenaran faktual yang bersifat nisbi dan mentak, kebenaran, ‘nalar bersifat mutlak.[5]

Thomas Aquinas, kadang orang juga membedakan antara kebenaran antologis (Veritas ontologica) dan kebenaran logis ( Veritas logika). Kebenaran ontologis adalah kebenaran yang terdapat dalam kenyataan entah spritual atau material, yang meskipun ada kemungkinan untuk diketahui, masih lepas dari gejala pengetahuan, misalnya tentang adanya segala sesuatu sesuai hakikatnya, kebenaran tentang adanya Tuhan, tentang keabadian jiwa, sedang kebenaran logis adalah kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu dalam bentuk adanya kesesuaian antara akal budi dan kenyataan. Menurut Thomas Aquinas, hadir dan terlaksanakanya kebenaran dalam pengetahuan manusia terjadi dalam bentuk pengarahan melalui proses yang tak ada hentinya dan tidak bisa lepas dari indra.[6]

Menurut Plato ” Kebenaran” sebagai suatu ketakter tersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Pengertian kebenaran seperti ini sama dengan pendapat Thomas Aquinas sebagai kebenaran ontoiogis. Aritoteles dapat memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subjek penahu ketika ia menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif itu tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak dengan kenyataannya. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian antara subjek sipenahu dengan objek yang diketahui.

Page 5: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Bagi Aritoteles subjek yang mengetahui lebih penting daripada objek yang diketahui, sebagaimana dalam pandangan Plato, walaupun demikian bagi Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru dimiliki kalau subjek penahu ( idealitas) dan objek yang diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan, akal, budi yang sempurna. Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristotelian adalah kebenaran logis dan linguistik propotional.[7]

Kebenaran pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa : pengetahuan biasa yang disebut juga (Knowledge of The Man in The street atau ordinari Knowledge atau juga Comon Sense Knowledge, pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang bersifat subjektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal.

Tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar sejauh tidak ada penyimpangan.[8] Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau lampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang teiah mendapatkan kesepakatan diantara ahli yang sejenis, kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya pengetahuan yang bersifat ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Kebenaran dalam hal ini selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian.

Pengetahuan jenis ketiga adalah pengetahuan filsafati yaitu pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan modal pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran ini absolut intersubjektif maksudnya nilai kebenaran yang terkandung. Jenis pengetahuan filsafat merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan fisafat seseorang. Pemikiran fisafat itu selalu mendapat pembenahan dart ahli filsafat yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Kebenaran jenis yang ke empat adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Memiliki sifat dogmatis artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu, sehingga dalam pemyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama. Meneliti nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya, dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu akan tetapi kandungan maksud ayat, kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.[9]

Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahaun itu. Bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. Manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu subjek atau objek ?, jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan atau mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan yang dikandungnya itu tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif seperti pengetahuan tentang alam atau Ilmu ilmu alam

UKURAN  KEBENARAN

Page 6: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut dengan benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain.- karena itu kegiatan berpikir adalah usaha untuk mengetahui benar atau kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya, tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alarn fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.[19]

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran ilmiah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.

Telah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu di bedakan a  danya tiga jenis kebenaran yaitu : kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis.[20]

Kebenaran “epistomolgi” adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran “antologis” adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti “semantis” adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata bahasa. Ukuran kebenaran Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris, pengetahuan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu, bila logis itu benar, bila tidak logis salah.[21]

Ukuran kebenaran menurut Plato lebih diletakan dalam objek atau kenyataan yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari kalau kita berbicara tentang kebenaran pengetahuan biasanya kebenaran itu memang berkedudukan dalam pernyataan-pernyataan. Filosofis maupun teologis Kepercayaan-kepercayaan agama tempat kebenaran pertama-tama dalam diri subjek yang mengetahui, sebagaimana di ketahui dari pikiran dan ungkapannya baik dalam bahasa lisan maupun tulisan, dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Namun kebenaran tidak lain adalah nalar atau bahkan penyamaan akal budi dengan kenyataan dan hanya dalam idealitas penyamaan yang sempurna antara keduanya bisa terjadi. Maka kebenaran sesungguhnya juga sekaligus berkedudukan dalam objek atau kenyataan yang dikenal.

Dalam kenyataan hidup manusia sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar walaupun memang menjadi tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi jikalau kenyataan yang sesungguhnya tersingkapkan kenyataan sebagaimana ternyata tidak bisa disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh, setiap penyingkapan tabir selalu tidak pernah sama sekali terbatas dari perjumpaan dengan tabir baru yang masih menutupi kenyataan tersebut. Maka pencarian dan penemuan kebenaran akhirnya berada dan dapat tersingkap dalam relasi antara subjek dan objek, maka penegasan kebenaran tak dapat dilepaskan dari kontek sejarah. Kebenaran dan kesejarahan bukan dimana yang saling mengecualikan atau bertentangan satu sama lain. Kebenaran pengetahuan menjadi nyata dalam proses sejarah

Page 7: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Plato dalam filsafat kalsiknya mulai mencari titik temu antara pengetahuan dan kebenaran yang termuat dalam pengetahuan. Dia mulai dengan sebuah pertanyaan kritis, apakah setiap pengetahuan itu sungguh-sungguh memuat nilai kebenaran. Dan dalam hubungannya dengan etika, dia mengatakan apakah yang benar itu juga termasuk kategori yang baik. Belum tentu yang benar itu baik dan sebaliknya belum tentu yang baik itu benar.

Dalam sejarah pemikiran filsafat, kebenaran itu didekati secara berbeda menurut arus pemikiran jamannya. Pada jaman Yunani kuno, kebenaran dalam filsafat tidak bisa dilepaskan dengan alam semesta. Maka muncul apa yang disebut kosmologi. Kemudian pada abad pertengahan, kebenaran filsafat didominasi oleh pengaruh Kristiani. Misalnya filsafat Thomas Aquinas, Agustinus, dan Petrus ambelardus. Baru pada jaman renaisance kebenaran filsafat itu sudah menyentuh hakekat hidup manusia. Seluruh refleksi filsafat pusatnya pada perkembangan eksistensi manusia itu sendiri. Muncullah psikologi, ilmu-ilmu matematika, fisika Eisntein . Melangkah lebih maju lagi dari renaisance adalah jaman modern atau modernisme. Modernisme bukan sekedar metode tetapi sebuah bentuk kebaruan. Kebaruan filsafat pada jaman ini terletak dalam usahanya untuk membersihkan filsafat dari pengaruh sisi dogmatis filsafat abad pertengahan. Filsafat kemudian menjadi urusan otonom dalam berpikir. Setelah modernisme, munculah patron filsafat baru yaitu era postmodernisme. Kebenaran yang ditawarkan aliran filsafat ini berbeda dengan seni filsafat sebelumnya. Seperti apakah kebenaran yang digeluti filsafat postmodernisme itu? Hal inilah yang akan menjadi kajian utama tulisan ini.

Bagi Francois Lyotard, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak mampu mengangkat manusia modern. Awalnya postmodernisme ini adalah pergerakan dalam kemajuan kaum kapitalis secara khusus bidang seni. Selain itu, postmodernisme juga dimengerti sebagai bentuk konflik terhadap metanarasi. Metanarasi yang dimaksud adalah sejarah-sejarah besar dunia yang diagung-agungkan terus dan melupakan cerita-cerita kecil (Bdk. Kearifan lokal) suatu masyarakat atau budaya tertentu. Namun, imbuhan post pada kata postmodernisme mengandung makna kelanjutan dari filsafat modernisme. Kelanjutan di sini lebih bermakna kritis daripada sebuah bentuk garis filsafat yang tetap mengikuti pola yang lama.

Postmodernisme telah mengugat kemapanan modernisme yang lebih mengagungkan rasionalitasnya. Rasionalitas dalam modernisme telah melahirkan budaya yang banal dalam terminologi Hannah Arendt, manusia perang terhadap semua atau manusia itu menjadi srigala bagi yang lain (Hobbes), dan muncul kejahatan moral yang kian menjadi-jadi. Singkatnya, Posmodernisme melancarkan kritik kepada modernisme sebagai aliran yang melahirkan dunia yang nirhuman (perendahan martabat manusia) sebaliknya postmodernisme berusaha membalikkan fakta ini dengan mengendepankan seni filsafat yang memerhatikan sisi kemanusiaan. Filsafat itu ada untuk hidup.

Posmodernisme menolak adalanya kebenaran yang tunggal dalam filsafat. Kebenaran itu sifatnya jamak. Bahkan posmodernisme menolak finalitas definisi terhadap realitas. Definisi kita terhadap sebuah kenyataan atau realitas itu sangat subyektif dan karena subyek yang berusaha untuk mendekati relitas itu beranekaragam, maka kebenaran yang dihasilkan juga beraneka ragam. Tidak ada yang namanya kebenaran yang absolut dan mati di dunia itu . Habermas seorang filsuf Jerman justru berbicara lain, kebenaran itu harus menggantung. Menggantung maksudnya adalah upaya seorang pemikir dalam menangkap realitas agar menunda keputusannya terhadap realitas.

Page 8: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Kebenaran adalah keputusan yang terus ditunda-tunda.Bukan realitas yang plural, penentuan kebenaran atas realitas itulah yang plural.jadi, yang namanya klaim kebenaran itu tidak ada dalam filsafat posmodernisme. Penolakkan klaim kebenaran itu terjadi karena masing-masing realitas itu memiliki kandungan kebenaran.

Kebenaran yang digagas dalam filsafat postmodernisme ini membangun kesadaran akan kepercayaan terhadap sejarah-sejarah kecil yang dibangun oleh oleh orang kecil juga. Sejarah atau kebenaran dalam sejarah pemikiran sebelumnya menjadi monopoli orang yang berkuasa dan yang memiliki pengetahuan. Sehingga tidak heran kalau pada saat itu pengetahuan dianggap sebagai kekuasaan untuk bertindak apa saja. Siapa yang berpengetahuan, dialah yang menentukan keabsahan sebuah kebenaran atas suatu realitas. Namun kalau kita berpikir secara kritis, belum tentu kebenaran yang diwartakan sang penguasa itu sungguh benar. Mungkin menjadi benar karena dia memiliki kuasa untuk membenarkannya. Padahal isinya hanyalah kebohongan publik.

Filsafat postmodern menjadi seni berfilsafat yang baru meskipun merupakan kelanjutan dari modernisme. Namun pokok pemikiran aliran ini telah membangun kesadaran akan pentingnya menerima kebenaran yang digagas oleh mereka yang tidak berkuasa. Dan dalam masyarakat plural, aliran ini telah mendidik masyarakat tentang bagaimana menata kebersamaan sejati. Fislafat itu ada untuk membangun peradaban. Dan peradaban itu dibangun oleh semua manusia. Bukan monopoli pihak tertentu. Dengan demikian prinsip monopoli sangat bertentangan dengan semangat postmodernisme. Kebenaran yang diwartakannya sangat plural.dengan demikian klaim kebenaran tunggal merupakan momok yang sangat berat bagi semangat filsafat ini.

Page 9: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu. teori-teori

kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap mencari kebenaran tersebut di

dalam suatu masalah pokok. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta

kepastian dari pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek

yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini

manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik spikologis.

Menurut para ahli filsafat, kebenaran bertingkat-tingkat bahkan tingkatan tersebut

bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain serta tingkatan

kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami

dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran

umum universal.

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk

memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan

melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia

membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku

di alam itu dapat dimengerti.

Dalam penulisan makalah ini, dilatarbelakangi karena pentingnya bagi kita semua

sebagai pelengkap pengetahuan kita tentang filsafat ilmu, juga semoga kita dapat

mengaktualisasikan dalam keseharian, selagi itu masih dalam syariat islam. Semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

 PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebenaran dan Kaitannya

Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun

abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya

adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam

suatu pernyataan atau statement.1

Page 10: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek

yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenran ada pada seberapa jauh subjek

mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari

banyak sumber.2 Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran

kebenaran.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,3 yang ditulis oleh Purwadarminta

menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah :

-          Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang

sesungguhnya. Misalnya kebenran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani

membela kebenran dan keadilan.

-          Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan

sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran yang diajarkan agama.

-          Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan

kebenaran hatimu.

-          Selalu izin, perkenaan, misalnya dengan kebenran yang dipertuan.

-          Jalan kebetulan, misalnya penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.

Terdapat bermacam katagori atau tingkatan dalam arti kebenaran ini, maka

tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan

memilki persepsi dan pengetahuan yang amat berbeda satu dengan yang lainnya.

Pertama-tama, Kebenran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya semua

pengetahuan yang dimilki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dititik dari jenis

pengetahuan yang dibangun. Dengan demikian tingkatan pengetahuan adalah:

1.      Pengetahuan yang memiliki sifat subjektif, artiny amat terikat pada subjek yang

mengenal.

2.      Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau

spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologi yang khas pula.

3.      Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui

metodologi pemikiran filsafati.

Page 11: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

4.      Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.

Kedua, Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara

atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia

membanguannya dengan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir atau ratio,

intuisi, atau keyakianan. Jenis pengetahuan menurut ini terdiri atas:

1.      Pengetahuan indrawi

2.      Pengetahuan akal budi

3.      Pengetahuan intuitif

4.      Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.

Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya

pengetahuan itu, artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, Jika

subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenran yang

sifatnya subjektif. Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif.4

B.     Teori-teori Kebenaran

Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah

dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aritoteles. Sebagaiman dikemukakan

oleh filusuf abad XX Jaspers sebgaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985)

mengemukakan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan

menyempurnkan filsafat Plato dan Aritoteles.5 Teori kebenaran itu selalu pararel dengan

teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori pengetahuan itu terdiri atas:

1.      Teori Kebenaran Korespondensi (berhubungan)

- Tokoh Korespondensi dan Pengertiannya

Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional (White,

1978) , teori yang paling awal atau tua yang berangkat dari teori pengetahuan

Aritoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu

yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek (Ackerman,

1965) , hal ini juga sebagaimana dikemukakan oleh Hornie (1952) dalam bukunya

Studies in Philosophy menyatakan "The Correspondence theory is an old ane". Dan

Page 12: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

hal ini juga sesuai dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa

"kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna

yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sugguh

merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya.6

Teori ini adalah teori yang Sangat menghargai pengamatan dan pengujian

empiris, teori ini lebih menekankan cara kerja pengetahuan aposterion, menegaskan

dualitas antara S dan O. Pengenal dan yang dikenal, dan menekankan bukti bagi

kebenaran suatu pengetahuan.7

- Kriteria Kebenaran Korespondensi

Teori ini juga dapat diartikan, bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian dengan

fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. Sebagai

contoh, jika seorang menyatakan bahwa "Kuala lumpur adalah Ibu Kota Negara

Malaysia", pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut berkoresponden ,

memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang yang menyatakan

bahwa "Ibu Kota Malaysia adalah Kelantan", maka pernyataan itu tidak benar, karena

objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut

.

2.      Teori kebenaran Koherensi

- Tokoh Koherensi dan Pengertiannya

Teori kebenran lain yang dikenal tradisional juga adalah teori kebenaran

Koherensi. Teori Koherensi dibangun oleh para pemikir rationalis seperti Leibniz,

Spinoza, Hegel, dan Bradley.

Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy "...... suatu

proposisi cendrung cendrung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling

berhubungan dengan prosisi-prosisi lain yang benar, ata jika makna yang

dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita ".

Teori kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsitensi.

Pengertian dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran yangØ

medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan

pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan

diakui kebenarannya.

Page 13: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

- Kriteria Kebenaran Koherensi

Teori ini juga dapat diartikan, sebagai suatu pernyataan yang dianggap benar

kalau pernyataan tersebut koheran dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan

sebelumnya. Jadi, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut

dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar,

atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan

pengalaman kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai

hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Contohnya,

bila kita beranggapan bahwa semua manusia akan mati adalah pernyataan yang

selama ini memang benar adanya. Jika Ahmad adalah manusia, maka pernyataan

bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab

pernyataan yang kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.8

3.      Teori Kebenaran Pragmatik

-        Tokoh Pragmatik dan Pengertiannya

White (1978) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan

teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenarn pragmatik. Paham

pragmatik sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham

ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan aw al abad XX oleh tiga filusuf

Amerika yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan john Dewey. Menurut paham ini White

lebih lanjut menyatakan bahwa:

"..... an idea --a term used loosly by these philosophers to cover any "opinion,

belif, statement, or what not"--is an instrument with a paticuler function. A true

ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does

not."9

Pragmatik atau Pragmatisme adalah ajaran mengenai pengertian, a

theory of meaning, ajaran mengenai pengertian, secara pragmatik di definisikan

sebagai berikut :

"Jika saya bertindak pada objek A,

Tindakan itu dilaksanakan dengan cara X,

Maka panca indera saya akan mengalami Y."

Page 14: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Jika kita terapkan difenisi diatas, dengan menyebut objek A dalam bentuk istilah atau

nama, katakanlah "pohon". Maka rumus itu akan menjadi :

"Jika saya menjama batang pohon, maka saya akan merasakan sesuatu yang

kasar" atau "keras".

Andaikata peristiwa terjadi pada musim panas:

"Jika saya berdiri diatas pohon, maka saya akan merasakan keteduhan".

Maka pragmatisme merupakan ajaran tentang pengertian, ialah pengertian suatu

istilah yang terjadi okeh karena sikap dan pengalaman.10

Ada 3 patokan yang di setujui aliran pragmatik11 yaitu:

1.      Menolak segala intelektualisme

2.      Aktualisme

3.      Meremehkan logika formal

- Kriteria Kebenaran Pragmatik

Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila

proposisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat

secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu selalu

terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenran yang bersifat mutlak,

yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang

mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam

perkembangannya pengalaman itu senatiasa berubah. Hal itu karena dalam

prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutmya.

Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya

dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan praktis.

4.         Teori Kebenaran Struktural Paradegmatik

-   Tokoh Struktural Paradegmatik dan Pengertiannya

Teori ini banyak dikembangkan oleh beberapa ilmuan antaranya adalah

Thoams Kuhn. Khun menampilkan konsep rekontruksirasional. Khun mensinyalir

kebanyakn ilmuan hanya menampilkan ilmu pada dataran moziak saja, belum

Page 15: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

menjangkau dataran rekontruksi rasional menjadi suatu pradigma.12 Menurut khun

pradigma tersebut ada beberapa hal,13 yaitu:

1.      Meningkatkan kesesuaian antara observasi dengan pradigma

2.      Memperluas skopa pradigma menjadi mencakup fenomena tambanahan

3.      Menetapakn nilai universal konstan

4.      Merumuskan hukum kuantitatif untuk menyempurnakan pradigma.

5.      Menetapkan alternative cara menerapakn pradigma pada telaa baru.

-            Kriteria Kebenaran Struktular Paradigmatik

Menurut teori struktular pradigmatik ini, bahwa Suatu teori dinyatakan

benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada

komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.14

Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa

serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok

ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah

diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut

paradigma oleh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang

dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata

lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.

5. Teori kebenaran Performatik

- Tokoh Performatik dan Pengertiannya

Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para

filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah

ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar berarti

proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Menurut

teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi

pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas,

tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang

diungkapkan dalam pernyataan itu.15

Page 16: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Sederhanya teori kebenaran performatif adalah mereka melawan teori

klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan deskriptif jika suatu pernyatan

benar kalau ia menerapkan realitas.16

-   Kriteria kebenaran Performatik

Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanah kualitas atau sifat

sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatik). Untuk menyatakan suatu itu benar,

maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/ menerima/ membenarkan)

terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian, tindakan performatik

tidak berhubungan dengan diskripsi benar atau salah dari sebuah keadaan

faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan

dalam tindakan.

6. Teori Kebenaran Proposisi

- Tokoh Proposisi dan Pengertiannya

Diantara tokoh dari teori ini adalah AMW. Pranaka (1987) yang

mengelompkkan kebenaran ini kedalam tiga jenis kebenaran, yaitu; 1) kebenaran

epistemologikal 2) kebenaran ontologikal 3) kebenaran yang dalam Lincoln &

Guba (1985) mengungkapkan empat jenis kebenaran yang berbeda, yaitu: 1)

kebenran empiris 2) kebenaran logis 3) kebenaran etis 4) kebenaran metafisis.

Proposisi merupakan kalimat logika yang  mana pernyataan tentang

hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Ada

yang mengartikan proposisi sebagai ekspresi verbal dari putusan yang berisi

pengakuan atau penginkaran sesuatu (predikat) terhadap sesuatu yang lain

(subjek) yang dapat dinilai benar atau salah.

Unsur-unsur Proposisi17:

         Term subjek; hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran

ditujukan. Term subjek dalam sebuah proposisi disebut subjek logis.

Ada perbedaan antara subjek logis dengan subjek dalam sebuah

kalimat. Tentang subjek logis harus ada penegasan/ pengingkaran

sesuatu tentangnya.

         Term predikat; isi pengakuan atau pengingkaran.

Page 17: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

         Kopula; menghubungkan term subjek dan term predikat.

Terdapat beberapa jenis Proposisi,18 yaitu:

         Proposisi Berdasarkan Bentuknya, yaitu 1) proposisi tungal yang

terdiri atas satu subjek dan satu predikat. 2) proposisi majemuk yang

terdiri atas satu subjek dan lebih dari satu predikat.

         Proposisi berdasarkan sifatnya, yaitu proposisi yang hubungan subjek

dan predikatnya tidak memerlukan syarat apapun.

         Proposisi berdasarkan kualitasnya, yaitu 1) Proposisi Positif, atau

Afirmatif, merupakan proposisi yang predikatnya membenarkan

subjek. 2) Proposisi Negatif, merupakan proposisi yang predikatnya

tidak mendukung/ membenarkan subjek.

         Proposisi berdasarkan Kuantitasnya

Proposisi Umum (universal), adalah proposisi dimana predikat

mendukung atau mengingkari semua subjek. Proposisi Khusus

(partikular), adalah proposisi dimana pernyataan khusus mengiyakan

yang sebagian subjek merupakan bagian dari predikat.

-   Kriteria Kebenaran Proposisi

Menurut teori ini, sesuatu bisa dianggap benar apabila sesuai dengan

persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi,

dalam sumber lain ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain

yang disebut dengan kebenaran sintaksis.19

Selanjutnya, berkaitan dengan kebenaran yang disebutkan diatas, perlu

juga dikemukakan bahwa ukuran kebenaran dalam filsafat bersifat logis tidak

empiris atau logis dan logis saja, maka ukuran kebenarannya adalah logis

tidaknya penegtahuan itu. Bila logis maka dia pandang benar, dan bila tidak

logis maka salah. Sementara itu dalam ilmu bersifat logis empiris

Page 18: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Apakah kebenaran itu? Pertanyaan seperti ini telah ada sejak zaman dahulu dan menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan dari berbagai tokoh agama, pemikir (filosof), ilmuwan, pengusaha, dan para orang tua yang selalu mendapat pertanyaan dari anak-anaknya, dan seterusnya. Padahal jawaban yang tidak menimbulkan keraguan atas pertanyaan ini sangat dibutuhkan.

Kata ‘kebenaran’ menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah: Keadaan (hal dsb) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar ada); kelurusan hati, kejujuran dan seterusnya. Dalam “hal keadaan”, sering kita mendengar bahwa “kita harus berani mempertahankan kebenaran” , atau sesuatu yang sungguh-sungguh ada yakni “kebenaran yang diajarkan oleh agama”, namun dapatkah kita menjamin bahwa tidak ada lagi pertanyaan susulan yang tidak menimbulkan keraguan si penanya?

Sementara itu menurut Wikipedia, Apakah Kebenaran Itu?, yang banyak diperdebatkan oleh teologiwan, filsuf, dan ahli logika. Yakni; Salah satu cara sederhana untuk mempelajari suatu subyek adalah menentukan segala sesuatu yang bisa benar atau salah, termasuk pernyataan, proposisi, kepercayaan, kalimat, dan pemikiran.

Diantara pemahaman pengertian Kebenaran, ada pihak yang mengklaim bahwa, ia menjadi lebih mengerti apa makna mengenai suatu pengetahuan dengan melalui beberapa paradigma berpikir dalam mengungkap kebenaran suatu realitas yang memang kerapkali hadir dalam kehidupan kita.

Namun, dipihak lain mengatakan bahwa, yang dimaksud Kebenaran adalah sesuatu yang selalu berkembang sesuai dengan kenyataan realitas, dan harus diketahui apa dasar yang dijadikan pijakan yang digunakan dalam mengungkap apa yang disebut kebenaran. Ilmu pengetahuan itu tergantung pada sesuatu yang lain, jadi kebenaran-nya merupakan kebenaran yang berkaitan dengan sesuatu yang lain itu saja.

Dan bisa jadi perbincangan atau perdebatan mengenai Kebenaran itu akan menjadi rumit bila dikaitkan dengan masalah keyakinan, ambil contoh; Kebenaran Spiritul umumnya lebih bersifat idealis ketimbang kebenaran ilmiah yang bersifat realis. Dimana kebenarannya dapat dianggap benar oleh orang lain bila , ada alasan (argumen) yang dapat meyakinkan orang lain (terbawa kepentingan). Namun dalam tulisan ini, kita akan memulai membebaskan diri dulu dari keberpihakan.

500 Tahun Sebelum Masehi

Menengok perjalanan panjang sejarah anak manusia ketika belum dimulainya tarikh masehi dalam sistem kalender seperti yang kita kenal sekarang ini, lahir seorang anak raja sekitar tahun 560 SM (tahun yang biasa dikutip oleh cendikiawan barat), di India Utara, kira-kira seratus mil dari Benares, yang nama lengkapnya adalah Siddarta Gautama dari Sakya, yang kemudian dikenal dengan Sang Budha. Menyampaikan khotbah pertamanya dihadapan murid-muridnya yang ketika itu masih sedikit, sekitar lima orang pertapa; Tentang ‘Empat Kebenaran utama’. Secara keseluruhan empat hal itu merupakan dalil-dalil sistem ajarannya, yaitu sebagai postulat dasar yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang diajarkan secara logis, yakni:

Page 19: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Kebenaran Utama yang pertama, adalah bahwa hidup itu adalah dukkha, yang biasanya diterjemahkan sebagai penderitaan.

Kebenaran Utama yang kedua, yakni penyebab dari tergelincirnya hidup ini adalah tantha, biasanya diterjemahkan sebagai keinginan.

Kebenaran Utama yang ketiga, yakni jika kita dapat dibebaskan dari batas-batas kepentingan dari kehidupan semesta, maka kita akan bebas dari siksaan yang kita alami.

Kebenaran Utama yang keempat, yaitu pengatasan tantha (keinginan), sebagai jalan ke luar dari kurungan kita, melalui Delapan Jalan; 1). Pengetahuan yang benar. 2). Kehendak yang benar. 3). Perkataan yang baik. 4). Prilaku yang baik. 5). Penghidupan yang benar. 7). Pikiran yang benar. 8). Renungan yang benar. (lebih lanjut lihat The Religions of Man, Huston Smith hal. 106-186).

Selanjutnya marilah kita menyeberang ke daratan Cina untuk mengenal, seorang tokoh yang erat kaitannya dengan kebudayaan Cina, ia adalah Konfusius, Kung Fu Tzu (Kung sang Guru), dimana orang- orang Cina dengan penuh hormat menyebutnya sebagai Guru Pertama. Konfusius lahir sekitar tahun 551 SM di kabupaten Lu, yang sekarang berada di Propinsi Shantung. Ayahnya meninggal pada waktu Konfusius baru berusia 3 tahun, pendidikan selanjutnya dijalankan oleh ibunya seorang yang baik, sabar tapi miskin. (Ada berita, bahwa agama Khong Hu Cu menerima perlakuan kasar selama bertahun-tahun sejak komunis berkuasa di Cina, nampaknya kini sedang muncul kembali kepermukaan. pen).

Jika dalam tulisan-tulisannya terdahulu Mao Tze-Tung menghandrik agama Khong Hu Cu sebagai agama semi feodal, namun akhirnya ia menganjurkan bangsanya untuk mempelajari ajaran Konfusius, dan mungkin sekali dewasa ini orang-0rang Cina sedang menelaah rumusan dasar Konfusius:

Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak

Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keselarasan dalam rumah tangga

Jika ada keselarasan dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa

Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia. (Ibid, hal. 188-224)

Sementara itu dipesisir barat Asia Kecil. Yunani, yang ketika itu wilayahnya jauh lebih luas dari yang kita ketahui di peta pada saat ini, meliputi pesisir Asia Kecil (kini wilayah Turki) sampai pulau Sisilia serta Italia Selatan, bahkan sampai daerah Kyrene di daratan Afrika. Permenides yang lahir sekitar tahun 515 SM di kota Elea sebalah selatan Italia, adalah seorang tokoh utama dalam filsafat pra-sokratik dan juga sebagi anggota paling terkemuka dari kelompok pemikir mazhab Eleatik, mengemukakan pemikirannya bahwa ‘Seluruh jalan kebenaran itu bersandar pada satu keyakinan: “Yang ada itu ada (what is, is)”. Itulah kebenaran. Sama sekali mustahil memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian yang mungkin:

1. Atau orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada2. Atau orang dapat mengatakan bahwa yang ada serentak ada dan serentak juga tidak

ada. (lebih lanjut lihat Sejarah Filsafat Yunani, Dr. Kees Bertens hal. 47-49).

Page 20: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Kemudian Rafael Steinberg dalam bukunya Man and the Organization, mengutip pendapat Desmond Steward, seorang peneliti sekaligus penulis tentang peradaban masalah Timur Tengah, menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat Mesir kuno yang ketika masa itu kehidupannya sangat tergantung pada irigasi, memerlukan raja yang kuat dan berkuasa penuh yakni: “Mesir kuno telah menemukan suatu kebenaran yang sangat sesuai dengan masyarakat yang sangat bergantung pada pengendalian sungai besar: Suatu kekuasaan pusat yang mampu memelihara terusan-terusan dan membagi airnya, adalah suatu hal yang baik dan benar, bukan hal buruk dan salah”. Raja tidak saja melambangkan kekuatan, tetapi juga harus mewujudkan keadilan dan kekuasaan.

Pendapat-pendapat Para Ahli

Bertrand Russell (1872-1970), seorang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan analisis logis filsafat pada abad dua puluh, peraih hadiah Nobel Sastra (1950), yang dalam usianya yang ke-98 tahun (tiga hari sebelum kematiannya), menyampaikan kecaman terhadap tindakan Israel pada perang Arab-Israel: “Message from Bertrand Russell to the International Conference of Parliamentarians in Cairo”, sesungguhnya adalah gejolak tuntutan yang timbul dari dalam dirinya akan nilai Kebenaran yang hendak disampaikannya, dan tidak jadi soal apakah protesnya itu berhasil atau tidak.

Dalam salah satu karya pentingnya yang meminjam argumen dari wilayah sosiologi, psikologi, fisika, dan matematika, untuk menyangkal pendapat idealisme, mazhab yang dominan pada waktu itu, The Problems of Philosophy. Ia memulai pada bab pertama dalam bukunya itu dengan pertanyaan: “Is there any knowledge in the world which is so certain that no reasonableman could doubt it?” (Apakah ada pengetahuan di dunia ini yang begitu pasti sehingga tidak ada satupun manusia yang rasional yang dapat meragukannya?).

Untuk menjawab pertanyaan ini Russell menguji dan menjelaskan cara bagaimana kita memahami dunia. Ia memperkenalkan istilah ‘data indera’ untuk hal-hal seperti ; warna, bau, kekerasan, kekasaran dan seterusnya. Ia mengundang kesadaran kita dengan sense datum a sensation (sensasi akan data indera). Ia membedakan antara apa yang disebutnya dengan ‘pengetahuan dengan pengenalan’ dan ‘pengetahuan dengan deskripsi’ . Ketika pengetahuan akan hal-hal dimiliki, maka kita dapat memiliki pengenalan langsung hanya dengan data indera, diri kita sendiri, dan kondisi mental kita. Argumennya, bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan obyek-obyek fisik, tetapi menyimpulkan obyek-obyek seperti orang-orang, rumah, pohon, meja, binatang dan seterusnya dari data-indera itu, sebenarnya obyek-obyek hanya menjadi sebab data indera. (Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang menggerakan. pen)

Bagaimana menurut Dr. Amsal Bakhtiar, MA, tentang ukuran Kebenaran?, dalam bukunya Filsafat Ilmu, ia menjelaskan bahwa dengan “berpikir”; Bahwa dengan berpikir menurutnya, adalah merupakan suatu kegiatan kita untuk menemukan pengetahuan yang benar: “Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain”. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Sebab pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Ambil contoh, pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak

Page 21: Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

sama dengan pengetahuan tentang alam fisik, dan alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai Kebenaran. namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap ‘kebenaran’ membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran sematis (dikutip dari; Aholiab Wathloly dalam ‘Tanggung Jawab Pengetahuan’. Yogyakarta; Kanisius, 2001).

Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.

Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.

Kebenaran dalam arti sematis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.

Beberapa tulisan yang kurang lebih isinya hampir sama dengan pendapat ahli diatas, tidak saya salin disini dimaksudkan agar tidak menjadi terlalu panjang dan terkesan bertele-tele. Dan bila ada waktu nanti, setelah seluruh tulisan ini saya salin di webblog ini, akan saya tambahkan dengan menyunting seperlunya saja.