keaslian atikah penelitian
description
Transcript of keaslian atikah penelitian
-
i
HUBUNGAN PERILAKU MAKAN DAN ASUPAN GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK AUTIS DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH, SLB SAMARA BUNDA, SLB
DHARMA RENA RING PUTRA II, DAN SLB NEGERI III YOGYAKARTA
SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Gizi
Universitas Gadjah Mada
Disusun oleh : Atikah
07/256511/KU/12492
PROGRAM STUDI GIZI KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2011
-
ii
-
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi dengan judul Hubungan Perilaku Makan dan Asupan Gizi dengan Status Gizi Anak Autis
di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring
Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta ini, tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah tertulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Yogyakarta, Juli 2011
Atikah
-
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul Hubungan Perilaku Makan dan Asupan Gizi dengan Status Gizi Anak Autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara
Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, Dan SLB Negeri III Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D selaku Dekan FK UGM
Yogyakarta.
2. dr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.Med.Ed., Ph.D selaku wakil Dekan Bidang
Akademik FK UGM Yogyakarta.
3. dr. Emy Huriyati, M.Kes selaku Ketua Program Studi S1 Gizi Kesehatan
FK UGM.
4. Dr.dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.AK selaku pembimbing utama yang telah
berkenan meluangkan waktu memberikan pikiran, arahan, dorongan dan
bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
5. Retno Pangastuti, DCN., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang
telah berkenan meluangkan waktu memberikan pikiran, arahan,
dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
6. Susetyowati, DCN, M.Kes selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan skripsi ini.
-
v
7. Dawam Jamil, S.K.M.,M.Kes. selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan di
Program Studi Gizi Kesehatan FK UGM.
8. Seluruh Kepala Sekolah (SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta) yang telah memberikan izin penelitian dan pengambilan data.
9. Seluruh guru di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB
Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta yang telah
membantu penulis dalam pengambilan data.
10. Seluruh orangtua dan adek-adek di SLB Autisma Dian Amanah, SLB
Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, Dan SLB Negeri III
Yogyakarta yang telah bersedia menjadi subjek penelitian. 11. Orangtua tercinta, Bapak Sugiharjo dan Ibu Eti Marsiam yang selalu
mendoakan dan mendukungku dalam pembuatan skripsi ini.
12. Adikku tersayang Muhammad Umar yang selalu memberi semangat dan
menghiburku.
13. Aditiyo Nugroho yang selalu mendengarkan segala keluh kesahku dan
menemani keliling Jogja mencari tempat penelitian. Terimakasih mz karna kamu happy endingku.
14. Sri Martanti dan Fitria Rahmayanti, terimakasih sudah berjuang bersama-sama dalam penelitian ini.
15. Bu Maulina Handayani, terimakasih sudah diajak turut serta dalam penelitian ibu sehingga saya bisa menjalankan skripsi ini.
-
vi
16. Sahabat terbaikku di Gizi Kesehatan : Tiwi, Sinta, Resti, Novi, Antin,
Deby, terimakasih sudah membuat 4 tahun di Gizi Kesehatan ini penuh
dengan kenangan tak terlupakan.
17. Kelompok PKL Siwon Asoy : Maya, Lita, Yuni, Lala, Sinyul, Tanti, PKL
bersama kalian sangat bermakna dan bikin hidup lebih hidup.
18. Sahabatku Sistha Widita yang telah membantu membuat abstrak
penelitian : terimakasih ya jeng. 19. Keluarga besar Gizi Kesehatan angkatan 2007, terimakasih semangat
dan kebersamaan bersama kalian selama 4 tahun ini.
20. Semua pihak yang telah memberi dukungan baik material maupun
spiritual dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis tidak dapat
menyebutkan satu persatu.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
demi kesempurnaan skripsi ini. Saya berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Penulis
-
vii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .. i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI.. vii DAFTAR TABEL.. x DAFTAR GAMBAR. xi DAFTAR LAMPIRAN xii DAFTAR SINGKATAN xiii INTISARI.. xiv ABSTRACT. xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.. 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan Penelitian. 4 D. Manfaat Penelitian 5 E. Keaslian Penelitian.. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Autisme
1. Pengertian............... 8 2. Etiologi.. 9 3. Epidemologi. 10 4. Diagnosis Autis. 11
B. Perilaku Makan.... 13 C. Asupan Gizi. 15 D. Status Gizi 17 E. BAMBI (the Brief Autism Mealtime Behavior Inventory) Score..
19 F. Food Recall 24 Jam
21
-
viii
G. Kerangka Teori 24 H. Kerangka Konseptual 25 I. Hipotesis.. 25
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian 26 B. Lokasi dan Waktu 26 C. Populasi dan Subjek.. 26 D. Kriteria Inklusi.. 28 E. Kriteria Eksklusi 28 F. Variabel Penelitian. 28 G. Alat. 29 H. Definisi Operasional Variabel.. 29 I. Jenis dan Cara Pengambilan Data 30 J. Jalannya Penelitian. 31 K. Pengolahan dan Analisis Data 33 L. Etika Penelitian 34 M. Keterbatasan Penelitian. 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL
1. Gambaran Lokasi Penelitian.. 35 2. Gambaran Umum Subjek Penelitian 39 3. Gambaran Umum Orangtua. 42 4. Analisis Statistik. 44
B. Pembahasan 1. Gambaran Umum Subjek Penelitian.. 48 2. Gambaran Umum Orangtua. 55 3. Hubungan Perilaku Makan dengan Status Gizi Anak Autis.. 57 4. Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Anak Autis 58 5. Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Anak Autis.. 59 6. Hubungan Perilaku Makan dengan Asupan Energi Anak Autis.. 61 7. Hubungan Perilaku Makan dengan Asupan Protein Anak Autis.. 62
-
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.. 64 B. Saran 64
DAFTAR PUSTAKA 65 LAMPIRAN
-
x
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1. Kriteria DSM-IV untuk Autisme. 11 Tabel 2. Distribusi frekuensi tentang karakteristik subjek
menurut umur, tinggi badan, dan berat badan.. 39
Tabel 3. Perilaku makan anak autis 40 Tabel 4. Asupan energi anak autis. 41 Tabel 5. Pengelompokkan asupan energi anak autis.. 41 Tabel 6. Asupan protein anak autis. 42 Tabel 7. Pengelompokkan asupan protein anak autis. 42 Tabel 8. Status gizi anak autis 43 Tabel 9. Pengelompokkan status gizi anak autis. 43 Tabel 10. Karakteristik Responden. 44 Tabel 11. Hubungan perilaku makan dengan status gizi anak
autis 45
Tabel 12. Hubungan asupan energi dengan status gizi anak autis
46
Tabel 13. Hubungan asupan protein dengan status gizi anak autis
47
Tabel 14. Hubungan perilaku makan dengan asupan energi anak autis.
48
Tabel 15. Hubungan perilaku makan dengan asupan protein anak autis.
48
Tabel 16. Hasil analisis multivariat antara asupan energi, asupan protein dengan status gizi anak autis.
49
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Kerangka Teori ................................................................... 23 Gambar 2. Kerangka Konseptual ......................................................... 24
-
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penjelasan penelitian Lampiran 2. Pernyataan kesediaan menjadi responden Lampiran 3. Kuesioner penelitian identitas responden Lampiran 4. Kuesioner BAMBI Score Lampiran 5. Kuesioner Food Recall Lampiran 6. Form pengukuran status gizi dan perilaku makan Lampiran 7. Surat ijin BAPEDA Lampiran 8. Ethical Clearance Lampiran 9. Hasil analisis SPSS
-
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AKG Angka Kecukupan Gizi BAMBI the Brief Autism Mealtime Behavior Inventory BB Berat Badan BB/U Berat Badan Menurut Umur BPFAS Behavioral Pediatric Feeding Assessment Scale FP2 the Food Processor IMT/U Indeks Massa Tubuh Menurut Umur SLB Sekolah Luar Biasa SPA Sanggar Pendidikan Anak TB Tinggi Badan TB/U Tinggi Badan Menurut Umur URT Ukuran Rumah Tangga
-
xiv
HUBUNGAN PERILAKU MAKAN DAN ASUPAN GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK AUTIS DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH, SLB SAMARA BUNDA, SLB
DHARMA RENA RING PUTRA II, DAN SLB NEGERI III YOGYAKARTA
Atikah1, Elisabeth S. Herini2, Retno Pangastuti3
INTISARI
Latar Belakang : Autis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif pada anak yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Anak autis seringkali mengalami masalah makan yaitu perilaku menolak makan, memilih-milih makanan, kesulitan menerima makanan yang baru, tantrum, dan gerakan mengunyah yang sangat pelan. Masalah makan yang tidak ditangani secara memadai dapat mempengaruhi status gizi mereka. Selain itu, status gizi anak autis juga dipengaruhi oleh asupan gizi.
Tujuan : Mengetahui hubungan perilaku makan dan asupan gizi dengan status gizi anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan Cross sectional. Subjek penelitian ini adalah murid autis yang bersekolah di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta serta orang tua mereka. Perilaku makan diukur menggunakan kuesioner the Brief Autisme Mealtime Behavior Inventory (BAMBI) Score. Pengumpulan data untuk asupan gizi menggunakan Food Recall dan dianalisis menggunakan FP2 (the Food Processor). Sedangkan data tentang status gizi dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan anak. Metode analisis data yang digunakan adalah uji Fishers Exact Test.
Hasil : Hasil Uji Fishers Exact Test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku makan dengan status gizi anak autis, asupan energi, dan asupan protein (p>0,05). Selain itu, terdapat hubungan antara asupan energi dengan status gizi anak autis (p
-
xv
THE RELATIONSHIP BETWEEN EATING BEHAVIOUR AND NUTRIENT INTAKE WITH NUTRITIONAL STATUS OF AUTISM CHILDREN IN SLB DIAN
AMANAH, SLB SAMARA BUNDA, SLB DHARMA RENA RING PUTRA II, AND SLB STATE III YOGYAKARTA
Atikah1), Elisabeth S. Herini2), Retno Pangastuti3)
ABSTRACT
Background : Autism is a term used to describe the type of pervasive developmental disorder in children that cause disruption or delays in the fields of cognitive, language, behaviour, communication, and social interaction. Children with autism often have trouble eating behaviour that is refusing to eat, picky eating, difficulty accepting the new food, tantrum, and chewing movement very slowly. Eating problems which not handled adequately may affect into their nutritional status. In addition, the nutritional status of autism children are also influenced by nutritional intake.
Objective : Knowing the relationship between eating behaviour and nutrient intake with nutritional status of autism children
Method : This study is an observational analytic with cross-sectional design. The subject of this study were students who study at Autisma Dian Amanah, Samara Bunda, Dharma Rena Ring Putra II, State III special need schools Yogyakarta, and also their parents. Eating behaviour questionaire was measured by the Brief Autism Mealtime Behaviour Inventory (BAMBI) Score. The collection of data for nutrient intake was using Food Recall and analyzed using FP2 (the Food Processor versi 2. While data on the nutritional status performed measurements of weight and height. Fishers Exact Test were used to analyzed the data.
Result : The result of Fishers Exact Test showed that there was no significant relationship between eating behaviour with nutritional status, energy intake, and protein intake of autism children (p > 0,05). Other than there was significant relationship between energy intake and protein intake with nutritional status of autism children (p < 0,05).
Conclusion : Eating behaviour is not related to the nutritional status of autism children, whereas the energy intake and protein intake associated with nutritional status of autism children.In addition, eating behaviour is not related to energy and protein intake of autism children.
Keywords : autism, eating behaviour, food recall, nutritional status, BAMBI Score
1Mahasiswa Gizi Kesehatan FK UGM 2Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito / FK UGM, Yogyakarta 3Instalasi Gizi RSUP Dr. Sardjito / FK UGM, Yogyakarta
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Autisme berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti segala
sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Autisme pertama kali dikemukakan
oleh Leo Kanner, seorang psikiatri Amerika pada tahun 1943 (Yuwono, 2009). Berks (2003) menuliskan autisme dengan istilah adsorbed in the self atau keasyikan pada diri sendiri. Wall (2004) menyebutnya sebagai aloof atau withdrawan yang berarti anak-anak dengan gangguan autisme tidak
tertarik dengan dunia sekitarnya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Tilton (2004) bahwa anak autis diyakini memiliki keasyikan yang berlebihan dalam dunianya sendiri.
Dalam dunia medis dikenal dengan istilah autisme infantil kemudian
diperpendek menjadi autisme, selanjutnya diperpendek lagi oleh awan menjadi autis. Istilah lain dari autis yaitu autistic spectrum disorder (ASD) karena spektrumnya luas atau memiliki gejala yang variatif, antara lain hiperaktif, hipoaktif, tingkah laku anak yang suka menyerang, dan ada yang
suka menyakiti diri sendiri (Widyawati, 2002) . Budd dan Chough (1998) serta Lischeid et al.(2003), menjelaskan
bahwa autis merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Penderita autis akan
menunjukkan gangguan dalam interaksi sosial, gangguan komunikasi dan
-
2
keterlambatan fungsi berbahasa, perilaku yang terbatas dan stereotip,
dengan onset sebelum usia 3 tahun.
Jumlah anak yang terkena autisme semakin meningkat pesat di
berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai
40 persen sejak tahun 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Di Amerika Serikat
disebutkan autisme terjadi pada 15.000 60.000 anak dibawah 15 tahun. Di Inggris pada awal tahun 2002 dilaporkan angka kejadian autisme meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisme (Judarwanto, 2008).
Menurut Pusponegoro (2002), jumlah anak Indonesia adalah sekitar 40 juta sehingga diperkirakan terdapat sekitar 60.000 anak penyandang autis. Penelitian terakhir menunjukkan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan penyandang autis adalah 4:1. Menurut Winarno (2010), hal ini dikarenakan dalam tubuh anak laki-laki kurang kadar hormon estrogen yang
mampu menetralisir timbulnya autisme. Pada umumnya keberadaan hormon
lelaki (testosteran) akan memperparah keadaan, sedangkan pada anak-anak perempuan yang memiliki jumlah estrogen (hormon wanita) cukup banyak justru dapat memperbaiki kondisi.
Anak yang menderita ASD menurut Wiliam (2000), selain mengalami gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi, dan interaksi sosial, beberapa anak mengalami masalah
perilaku makan. Schopler (1995) mengidentifikasi bahwa masalah makan pada anak ASD berhubungan dengan lidah yang terlalu sensitif, rasa takut
untuk mencoba makanan yang baru, tidak menyukai makanan tertentu,
-
3
kebutuhan rangsangan sensorik, tidak menyukai suatu perubahan, dan
kesulitan komunikasi.
Gangguan komunikasi yang terjadi pada anak autis mengakibatkan kesulitan untuk mengutarakan jenis makanan yang mereka inginkan, perasaan lapar atau kenyang, menyukai atau tidak menyukai makanan
tersebut serta perasaan nyaman atau tidak nyaman selama proses makan
(Protnicki, 1995). Sehingga pemilihan yang ketat atau hanya menyukai makanan jenis tertentu menjadi dasar perilaku makan anak autis (Wiliams et al.,2000).
Masalah perilaku makan pada anak akan berkaitan dengan status gizi
anak (Irianto, 2004). Peristiwa gangguan proses makan di mulut yang terjadi pada anak biasanya berlangsung lama. Kelainan ini seringkali diikuti oleh
kesulitan makan. Hal tersebut patut diwaspadai karena massa kanak-kanak
merupakan fase pertumbuhan yang ditandai dengan dinamika dan mobilitas
tinggi baik fisik, psikis maupun sosial. Komplikasi yang bisa ditimbulkan
adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori, protein, vitamin,
mineral, elektrolit, dan anemia (Judarwanto, 2010). Kasus susah makan ini dilaporkan terjadi sebanyak 25-30% pada anak dalam masa pertumbuhan dan 80% diantara mereka dilaporkan mengalami gagal tumbuh (Burklow et al., 1998).
Dalam studi yang lebih besar oleh Shreck et al. (2006), anak autis menunjukkan perilaku lebih memilih-milih makanan dibandingkan anak normal. Anak autis dalam penelitian tersebut lebih menyukai makanan
seperti chicken nugget, hotdog, selai kacang, dan kue. Sehingga kebiasaan
makan tersebut dapat berkontribusi terhadap kejadian obesitas pada anak
-
4
autis. Selain itu juga disebutkan anak autis lebih memilih makanan manis seperti es krim dan cookies. Menurut Ahearn et al (2001) dan Raiten (1998), studi pada anak autis menunjukkan bahwa 50 % dari mereka memilih makanan berdasarkan tekstur, warna, rasa, dan suhu.
Berdasarkan latar belakang diatas, dipandang perlu dilakukan
penelitian di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma
Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta karena penelitian
mengenai status gizi belum pernah dilakukan di sekolah-sekolah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara perilaku makan dengan status gizi
anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB
Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta?
2. Apakah terdapat hubungan antara asupan gizi dengan status gizi anak
autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma
Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta?
3. Apakah terdapat hubungan antara perilaku makan dengan asupan gizi
anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB
Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara perilaku makan dan asupan gizi
dengan status gizi anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara
Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
-
5
2. Tujuan khusus a. Mengetahui hubungan antara perilaku makan dengan status gizi anak
autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma
Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
b. Mengetahui hubungan antara asupan gizi (energi dan protein) dengan status gizi anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara
Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III
Yogyakarta.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku makan dengan asupan gizi
(energi dan protein) anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi sekolah
Memberi masukan dalam rangka pemberian informasi kepada orang tua
terutama berkaitan dengan perilaku makan dan asupan gizi anak autis di
rumah.
2. Bagi orang tua
Memberikan tambahan pengetahuan tentang cara mengatasi perilaku
makan sehingga dapat terpenuhi asupan gizi anak autis.
3. Bagi peneliti
Menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai
perilaku makan dan asupan gizi anak autis.
-
6
4. Bagi Pengelola Program Studi Gizi Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
1. Penelitian Trisnaningsih (2009) dengan judul Perilaku Makan dan Status Gizi Anak Autis di Yogyakarta menyebutkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna antara perilaku makan maladaptif antara anak autis
dengan normal, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi
orang tua terhadap perilaku makan anak dan status gizi anak, dan tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara respon / tindakan orang tua
terhadap perilaku makan anak dan status gizi anak. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah variabel bebasnya. Variabel bebas penelitian ini
hanya meneliti hubungan perilaku makan, sedangkan penelitian yang
akan dilaksanakan variabel bebasnya adalah perilaku makan dan asupan
makan. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain case control
sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan menggunakan desain
cross sectional.
2. Penelitian Ishak (2006) dengan judul Hubungan Diet Anak Autisme dengan Perkembangan Anak Autisme di Panti Terapi Autisme Bina Anak
Bangsa Kota Pontianak menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
diet bahan makanan sumber gluten dengan perkembangan anak autisme
dan tidak terdapat hubungan antara diet bahan makanan sumber zat
aditif, gula murni, jamur dengan perkembangan anak autisme. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat yang
-
7
diteliti. Variabel bebasnya adalah diet anak autisme dan variabel
terikatnya adalah perkembangan anak autisme. Persamaan dengan
penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah sama-sama meneliti tentang
anak autis dan menggunakan desain cross sectional.
-
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Autisme
1. Pengertian
Autisme atau yang sering disingkat dengan autis adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasif pada anak yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan pada
bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial (Masra, 2002). Autisme atau Autistic Spektrum Disorder (ASD) dipahami sebagai gangguan perkembangan neurologis yang berat sehingga gangguan
tersebut mempengaruhi proses belajar anak, berkomunikasi, keberadaan anak dalam lingkungan, dan berhubungan dengan orang lain (The Association for Autistic Children in WA, 1991).
Berdasarkan konsep dan definisi Ritvo et al. (1993) dan The Autisme Society of America menyatakan bahwa autisme merupakan gangguan
perkembangan yang komplek dan muncul selama 3 tahun pertama
kehidupan sebagai akibat gangguan neurologis yang mempengaruhi otak
Definisi yang lebih operasional dinyatakan oleh The Individual With
Disabilities Education Act (1997) yaitu autisme merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal,
non verbal dan interaksi sosial yang umumnya terjadi sebelum usia 3 tahun.
-
9
2. Etiologi
Banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk memastikan faktor
penyebab dari autisme. Penelitian di bidang neuro-anatomi, neurofisiologi,
neurokimia, dan genetik pada penyandang autis menemukan fakta adanya
gangguan neurobiologis pada penyandang autis. Autisme disebabkan oleh
gangguan atau kelainan pada perkembangan sel-sel otak selama dalam
kandungan. Saat pembentukan sel-sel tersebut, timbul gangguan dari
virus, jamur, oksigenasi (perdarahan), keracunan makanan ataupun inhalasi (keracunan pernafasan), yang menyebabkan pertumbuhan otak tidak sempurna (Haaga & Neale, 1995).
Dawson et al. (1998), mengemukakan bahwa diduga penyebab utama autisme adalah gangguan perkembangan pada bagian otak tertentu
yaitu amigdala, hipokampus, serebelum dan lobus temporalis. Tingkat
kerusakan otak akibat gangguan perkembangan tersebut akan
memberikan efek pada individu sesuai dengan derajat kerusakan otak itu sendiri. Efek yang timbul akan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku
individu dan pembentukan tingkah laku tersebut.
Penelitian lain yang pernah dilakukan juga menemukan bahwa kelainan genetik merupakan penyebab dari autisme, termasuk
tuberosclerosis, phenylketonuria, neurofibromatosis, fragile X syndrome,
dan sindrom Rett. Penelitian yang dilakukan oleh Rodier (2000) dalam Herbert & Graudiano (2002) menemukan bahwa variasi gen HOXA1 pada kromosom 7 pada masa kehamilan juga dapat menyebabkan autisme.
Bettelheim (1967) dalam Haaga & Neale (1995) menganggap gangguan autistik sebagai persepsi negatif bayi terhadap reaksi penolakan
-
10
dari orang tuanya. Sang bayi menemukan bahwa segala yang
dilakukannnya tidak memiliki pengaruh apapun terhadap lingkungan di
sekitarnya, sehingga anak autis membangun suatu benteng terhadap
kekecewaan yang dirasakannya. Ferster (1961) dalam Haaga & Neale (1995) berpendapat bahwa ketiadaan perhatian orang tua, khususnya ibu, terhadap anak akan menghambat pembentukan penguatan pada anak.
Orang tua tidak dapat menjadi reinforcer atau penguat sehingga ia tidak dapat mengontrol perilaku anak yang akhirnya menyebabkan gangguan
autistik. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa orang tua berperan penting
dalam terjadinya gangguan autisme.
3. Epidemiologi
Angka mengenai prevalensi anak autis di Indonesia belum ada data
yang pasti, namun data dari poliklinik psikiatri anak dan remaja di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1989 hanya ditemukan 2 pasien dan
pada tahun 2003 tercatat 103 pasien baru, atau terjadi peningkatan 50 kali. Biasanya autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding
anak perempuan atau sekitar 4 : 1. Dikatakan bahwa anak laki-laki lebih
mudah mengalami gangguan otak. Namun anak perempuan penyandang
autis biasanya mempunyai gejala yang lebih berat dan pada tes intelektual mempunyai hasil yang lebih rendah dibanding pada anak laki-laki.
Dari tahun ke tahun, di Indonesia jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat. Bahkan saat ini 1:1000 anak Indonesia terkena
gangguan autis. Dari pernyataan tersebut jika diestimasikan bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia sekitar 20% saja, berarti jumlah anak Indonesia
-
11
56 juta jiwa dari sekitar 280 juta total penduduk Indonesia. Jika perseribu anak salah satunya adalah autis, maka jumlah anak dengan gangguan autis berjumlah sekitar 56.000 anak. Jumlah ini bisa bertambah jika jumlah anak ternyata lebih besar dari perkiraan diatas. Lima puluh enam ribu anak
dengan gangguan autis adalah jumlah yang besar, jika mengingat minimnya profesional yang focus dalam melakukan penanganan anak
dengan gangguan perkembangan dan mempertimbangkan bahwa
penanganan anak autis adalah one on one / satu anak satu orang terapis
(Anonim, 2010).
4. Diagnosis Autis
Gambaran klinis dan cara mendiagnosis anak dengan autisme
menggunakan DSM-IV (Diagnostic and Statistikal Manual) dari WHO 1994. DSM-IV merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosa
terjadinya autisme. Penggunaan DSM-IV sebagai alat diagnosis menuntut pemahaman, ketrampilan, dan pengalaman dengan anak autis. Paparan
DSM-IV masih sangat umum, sehingga ketrampilan dan pengalaman
dokter maupun psikolog sangat dibutuhkan dalam menggunakan alat
diagnosis tersebut (Yuwono, 2009).
-
12
Tabel 1. Kriteria DSM-IV untuk Autisme
a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari 1), 2), dan 3), dengan minimal 2 gejala dari 1) dan masing-masing 1 gejala dari 2) dan 3). 1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua
gejala dari gejala-gejala dibawah ini: a). Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik yang kurang tertuju. b). Tak bisa bermain dengan teman sebaya. c). Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. d). Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2). Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini:
a). Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).
b). Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi. c). Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. d). Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.
3). Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu gejala dibawah ini:
a). Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.
b). Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya.
c). Ada gerakan-gerakan yang aneh dan khas serta diulang-ulang. d). Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
b. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang 1). Interaksi sosial. 2). Bicara dan berbahasa 3). Cara bermain yang kurang variatif.
c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak. Biasanya, gejala autisme mulai muncul sebelum usia 3 tahun dan ditandai kegagalan
dalam perkembangan bahasa serta kegagalan dalam menjalin hubungan dengan orangtuanya.
-
13
B. Perilaku Makan
Permasalahan makan pada anak biasanya adalah sulit makan atau
tidak mau makan. Apabila hal tersebut tidak segera diatasi, maka dapat
menyebabkan anak kekurangan gizi sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya (Irianto, 2007). Anak autis seringkali mengalami masalah dalam hal pemberian makan.
Bukti menunjukkan bahwa banyak anak autis tidak menyukai makan makanan baru (Williams et al., 2000), atau memiliki preferensi makanan yang kuat (Kerwin et al., 2005). Orangtua anak-anak dengan gangguan spektrum autisme sering melaporkan bahwa masalah makan
mempengaruhi pertumbuhan sang anak (Kerwin, 1999; Whiteley et al., 2000). Masalah makan yang tidak ditangani secara memadai dapat mempengaruhi status gizi mereka (Clark et al., 1993). Masalah makan pada anak autis yaitu perilaku menolak makan, memilih-milih makanan, kesulitan
menerima makanan yang baru, tantrum, dan gerakan mengunyah yang
sangat pelan (Dovey et al., 2007; Lewinsohn et al. 2005). Dalam studi deskriptif pada 20 anak yang berusia 3-14 tahun dengan
ASD, Ahearn et al. (2001) melaporkan bahwa 50% dari sampel menunjukkan selektivitas makanan menurut jenis dan tekstur tertentu. Menurut Schreck dan William (2006) anak autis memiliki tingkat preferensi makanan sempit dan selektivitas makanan.
Faktor fisiologis dapat yang mempengaruhi perilaku makan dan diet
anak, diantaranya adalah 1) ketidaknormalan anatomi saluran cerna, 2) ketidaknormalan persepsi sensori, 3) tidak berfungsinya motorik, 4) tidak berfungsinya saraf yang membantu pergerakan mulut, 5) masalah
-
14
pernafasan, jantung dan saluran cerna (Stevenson, 1995). Gerakan motorik kasar di sekitar mulut tersebut sangat dipengaruhi
oleh susunan saraf pusat. Gangguan susunan saraf pusat tersebut dapat
mulai dari ringan hingga berat. Gangguan ini sering terjadi pada penderita alergi, gangguan neurologis, penderita autisme, Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD), Attention Deficit Disorder (ADD) dan gangguan perilaku lainnya (Bryant, 1995).
Faktor medis juga dapat mempengaruhi masalah perilaku makan pada anak autis. Menurut penelitian Mason et al. (1993), anak-anak dengan gangguan autisme menunujukkan hasil yang signifikan sering mengalami kesulitan pencernaan (misal diare, muntah berulang), alergi makanan, hypotonia, dan sejarah tonsilektomi / adenoidectomy dibandingkan dengan saudara mereka.
Keterlambatan komunikasi pada anak autis dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengutarakan keinginannya pada jenis makanan yang diinginkan atau dibutuhkan. Demikian juga akan timbul ketidakmampuan menyatakan saat lapar, saat kenyang, makanan yang
disukai, makanan yang tidak disukai, dan ketidaknyamanan saat makan.
Kombinasi dari faktor-faktor penyebab masalah perilaku makan anak autis
dan keterlambatan komunikasi dapat membuat seorang anak sulit untuk
mempertahankan gizi yang memadai (Lukens, 2005).
-
15
C. Asupan Gizi
Asupan gizi seseorang diperoleh dari sejumlah makanan yang dikonsumsi. Asupan gizi seseorang dapat dikatakan memadai jika berisi bahan makanan yang esensial, meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin
dan mineral. Secara umum, makanan mempunyai tiga manfaat yaitu sebagai
sumber tenaga (karbohidrat, protein dan lemak), zat pembangun (terutama protein) dan pengatur segala aktivitas jaringan tubuh (vitamin, mineral dan air) (Suharjo, 2006). Asupan gizi yang tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari akan mengakibatkan masalah gizi (Supariasa et al., 2002).
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi tubuh. Fungsi lain
dari karbohidrat bagi tubuh yaitu mencegah timbulnya ketosis, mencegah
pemecahan protein tubuh yang berlebihan, dan untuk membantu metabolisme
lemak dan protein (Rohman, 2007). Menurut Buckle (2007) bentuk karbohidrat yang dapat dicerna dalam bahan pangan yaitu zat pati dan berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, dan laktosa. Sedangkan selulosa, hemiselulosa, dan
pektin tidak dapat dicerna oleh tubuh.
Lemak merupakan sumber energi paling padat yang menghasilkan 9
kkal untuk tiap gramnya. Lemak juga merupakan makanan cadangan dalam tubuh karena kelebihan karbohidrat diubah menjadi lemak dan disimpan dalam jaringan adipose (Almatsier, 2004).
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien
(Sudarmadji, 2007). Protein terbentuk dari asam-asam amino yang dirangkaikan oleh ikatan peptida.
-
16
Berdasarkan fungsinya, menurut Hartono (2006), protein dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Protein lengkap (complete protein) yang berfungsi untuk pertumbuhan,
penggantian jaringan yang rusak dan aus, serta untuk keperluan lain seperti pembentukan enzim, hormone, antibodi serta energi jika diperlukan. Telur dan susu merupakan contoh protein lengkap yang mengandung
seluruh asam amino esensial.
2. Protein setengah lengkap (half complete protein) memiliki semua fungsi di atas kecuali fungsi untuk pertumbuhan karena asam-asam amino yang
dikandungnya tidak cukup bagi pembentukan jaringan tubuh yang baru. Contohnya adalah makanan sumber protein hewani selain telur dan susu
seperti ikan, daging, dan ayam.
3. Protein tidak lengkap (incomplete protein) yang umumnya merupakan jenis-jenis makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan sereal. Jenis protein ini tidak dapat digunakan untuk pertumbuahan dan penggantian jaringan yang aus atau rusak karena jenis-jenis asam amino esensialnya tidak lengkap. Karena itu, makanan yang proteinnya tergolong tidak lengkap harus saling dikombinasikan untuk
memberikan semua asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.
Contohnya beras (kurang mengandung asam amino lisin) dapat digabungkan dengan kedelai (kurang mengandung metionin).
Vitamin adalah senyawa-senyawa yang tidak dapat dibuat oleh tubuh
tetapi diperlukan untuk memelihara aktivitas berbagai proses metabolik.
Vitamin dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kelarutannya yaitu vitamin
-
17
yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan yang larut lemak (vitamin A,D,E,dan K) (Buckle, 2007).
Mineral adalah zat organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil untuk membantu reaksi fungsional tubuh, misalnya untuk memelihara
keteraturan metabolisme. Berdasarkan jumlah yang diperlukan oleh tubuh, mineral dikelompokkan menjadi dua yaitu mineral makro dan mineral mikro.
Mineral makro terdiri atas kalsium (Ca), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), sulfur (S), sodium/natrium (Na), dan chloride (Cl). Sedangkan mineral mikro terdiri atas zat besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), iodium (I), dan fluoride (F) (Irianto, 2007).
D. Status Gizi
Menurut Almatsier (2002), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai hasil konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Supariasa et al. (2002) mendefinisikan status gizi sebagai ekspresi keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu.
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi essensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Status gizi kurang maupun status gizi lebih keduanya
merupakan bentuk gangguan gizi.
Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah
antropometri gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
keseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot
-
18
dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa et al., 2002). Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). 1. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh menurut kronologis usia (Gibson, 2005). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.
2. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal dan status gizi di masa lampau (Gibson, 2005). Pada keadaan normal tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relative kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek dibandingkan
dengan berat badan. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan
akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
3. Indeks Massa Tubuh Menurut Umur (IMT/U) Indeks massa tubuh adalah rasio perbandingan antara berat badan
dan tinggi badan yang berhubungan secara signifikan dengan kegemukan
anak-anak di usia dewasa. Selama ini, pengukuran IMT hanya digunakan
untuk mengukur kegemukan dan obesitas pada orang dewasa, tetapi
National Health & Medical Research Council (NCHMR) telah
-
19
merekomendasikan bahwa IMT dapat digunakan untuk menentukan status
gizi pada anak-anak di atas usia 2 tahun.
Rumus yang digunakan untuk mengukur indeks massa tubuh yaitu :
IMT = berat badan (kg)
[tinggi badan]2(m)2
Indeks antropometri di atas dapat disajikan melalui tiga cara yaitu persentil, standar unit deviasi (z-score) dan persen terhadap median dari standar baku maupun rumus yang ada (Gibson, 2005). Setelah itu diinterpretasikan ke dalam kurva yang direkomendasikan oleh WHO tahun
2005.
Indikator pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
IMT/U. Indikator ini telah direkomendasikan WHO untuk menilai status gizi
anak usia di atas 2 tahun di seluruh dunia. Keunggulan dari indeks ini adalah
dapat mengetahui faktor risiko kesehatan yang akan terjadi saat dewasa.
E. Bambi (the Brief Autism Mealtime Behavior Inventory) Score BAMBI Score merupakan daftar pertanyaan untuk mengevaluasi
masalah perilaku makan anak autis. BAMBI Score mencakup 18 pertanyaan
yang disusun berdasarkan literatur yang menggambarkan dan mengevaluasi
intervensi untuk masalah makan anak autis. Item pertanyaan dirancang
sedemikian rupa sehingga menunjukkan sering atau tidaknya sang anak terlibat dalam perilaku makan tertentu. Pilihan jawaban menggunakan 5 point mulai dari 1 yaitu tidak pernah sampai 5 yang berarti selalu, termasuk netral
-
20
titik tengah. Semakin tinggi skor menunjukkan perilaku makan lebih bermasalah.
BAMBI Score disusun oleh Collen Taylor Lukens dari The Ohio State
University pada tahun 2005. Hasil uji validitas dan reliabilitas dari BAMBI Score dipublikasikan melalui sebuah jurnal pada tahun 2008. Menurut Sugiyono (2007), pengujian reabilitas kuesioner dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal pengujian dapat dilakukan dengan test-retest (stability), equivalent, dan gabungan keduanya. Sedangkan secara internal reliabilitas kuesioner dapat diuji menggunakan internal consistency yaitu menganalisis butir-butir pertanyaan dengan teknik tertentu.
Lukens (2008) dalam penelitiannya membandingkan reliabilitas antara BAMBI Score dengan BPFAS (Behavioral Pediatric Feeding Assessment Scale). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 108 anak yaitu 68 anak autis dan 40 anak normal. BPFAS adalah kuesioner laporan orang
tua yang terdiri dari 35 item pertanyaan untuk menilai perilaku orang tua dan
anak yang berkaitan dengan rendahnya asupan nutrisi. Dua puluh lima item
pertama memfokuskan pada perilaku makan anak sementara 10 item terakhir
pada perasaan dan strategi orang tua dalam menangani masalah makan pada
anaknya. Dari hasil penelitian tersebut, BAMBI Score menunjukkan internal consistency yang lebih baik serta hasil test-retest yang lebih tinggi
dibandingkan BPFAS. Hal ini menunjukkan bahwa BAMBI Score mempunyai reliabilitas yang lebih baik untuk mengevaluasi perilaku makan pada anak
autis.
Pengujian reliabilitas pada BAMBI Score, Lukens (2008) menggunakan teknik Alfa Cronbach. Dengan menggunakan rumus tersebut, dapat diketahui
-
21
nilai reliabilitas instrument (r). Interpretasi r dapat diketahui apabila r < 0,396 yang berarti tingkat reliabilitas rendah; 0,0396 < r < 0,505 berarti tingkat
reliabilitas sedang dan r > 0,505 berarti tingkat reliabilitas tinggi. Hasil uji reliabilitas BAMBI Score menunjukkan nilai r = 0,610 sehingga kuesioner dinyatakan reliabel.
Uji validitas yaitu tes yang dilakukan untuk menganalisis butir kuesioner dengan cara skor-skor yang ada pada butir pertanyaan dikorelasikan dengan
skor total menggunakan rumus product moment correlation. Validitas
eksternal kuesioner diuji dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada kuesioner yang dibuat dengan kuesioner sejenis yang sering dipakai di lapangan. Bila terdapat kesamaan antara kriteria dalam kuesioner yang dibuat dengan kuesioner sejenis yang sering dipakai di lapangan, maka dapat dinyatakan bahwa kuesioner yang
dibuat tersebut mempunyai validitas eksternal yang tinggi (Sugiyono, 2007). Penelitian Lukens (2005) menghitung product moment correlation
frekuensi skor total BPFAS dan BAMBI Score. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara frekuensi skor BAMBI dan BPFAS dalam hal
perasaan dan strategi orangtua p
-
22
mendapatkan data kuantitatif maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan lebih teliti dengan menggunakan alat URT (Ukuran Rumah Tangga) contohnya sendok, gelas, atau piring.
Agar wawancara berlangsung secara sistematis, perlu disiapkan
kuesioner sebelumnya sehingga wawancara terarah menurut urut-urutan
waktu dan pengelompokkan bahan makanan. Urutan waktu makan sehari
dapat disusun berupa makan pagi, siang, malam dan selingan.
Pengelompokkan bahan makanan dapat berupa makanan pokok, sumber
protein nabati, sumber protein hewani, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain
(Supariasa et al., 2002). Metode food recall 1x24 jam ini memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari metode ini yaitu :
1. Mudah dilaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat
yang luas untuk wawancara.
3. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
4. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu
sehingga dapat menghitung intake zat gizi sehari.
Sedangkan kekurangan dari metode food recall 1x24 jam ini adalah : 1. Tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari jika hanya
dilakukan recall 1 hari.
2. Ketepatannya tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena itu,
responden harus mempunyai daya ingat yang baik. Metode ini tidak cocok
-
23
dilakukan pada anak usia di bawah 7 tahun, orang tua berusia di atas 70
tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang pelupa.
3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus
untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak dan bagi responden yang
gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit.
4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam
menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu menurut
kebiasaan masyarakat.
5. Untuk mendapatkan gambaran konsumsi sehari-hari, recall jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pekan, pada saat
melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan, dan lain-lain.
Pengukuran food recall 1x24 jam yang hanya dilakukan sebanyak 1 kali memiliki kekurangan yaitu data yang diperoleh cenderung lebih bersifat
kualitatif. Oleh karena itu, food recall 1x24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali food recall 1x24 jam food recall 1x24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan
memberikan variasi lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur, 1997). Metode food recall menurut Mullenbach et al. (1992) menunjukkan nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan metode food records 3 hari dan
metode penilaian asupan makan yang lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai ibu atau pengasuh anak
untuk menceritakan semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama
24 jam yang lalu. Wawancara food recall 1 x 24 jam dilaksanakan oleh
-
24
peneliti sebanyak 3 kali tanpa berturut-turut dalam waktu 1 minggu untuk
mendapatkan data yang representatif.
G. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
Sumber Pustaka
Luiselli (1989); Cornish (1998); Whitely (2000); William (2000); Ahearn (2001); Field (2003); Shreck (2004); Shreck (2006)
Gangguan interaksi sosial
Kurangnya pengenalan macam-macam bahan makanan
Autis
Gangguan komunikasi
Kesulitan untuk mengutarakan jenis bahan makanan yang diidinginkan
Kurang dekatnya hubungan ibu dan anak
Hanya menyukai makanan dengan tekstur tertentu dan sangat menyukai bahan makanan tertentu
Status gizi
Asupan makan kurang dari kebutuhan energi sehari-hari
Menunjukkan perilaku aneh pada waktu makan, yaitu :
1. Menangis 2. Berteriak 3. Melukai diri sendiri 4. Meninggalkan
meja makan sebelum selesai makan
5. Mengeluarkan makanan di dalam mulut
Gangguan perilaku
-
25
H. Kerangka Konseptual
Gambar 2. Kerangka Konseptual
I. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara perilaku makan dengan status gizi anak autis.
2. Terdapat hubungan antara asupan gizi (energi dan protein) dengan status gizi anak autis.
3. Terdapat hubungan antara perilaku makan dengan asupan gizi (energi dan protein) anak autis.
Anak Autis
Asupan gizi
Status Gizi
Perilaku Makan
-
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
rancangan cross sectional untuk mengkaji hubungan perilaku makan, asupan zat gizi dan pengaruhnya terhadap status gizi.
B. Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian ini yaitu di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara
Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
Penelitian ini akan dilakukan bulan Juli 2010-Januari 2011.
Alasan pemilihan tempat di sekolah tersebut adalah :
1. Lokasi mudah dijangkau. 2. Belum pernah dilaksanakan penelitian mengenai gizi di sekolah-sekolah
tersebut.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi yang menjadi sasaran akhir penerapan hasil penelitian disebut sebagai populasi target. Sedangkan populasi yang dapat
dijangkau oleh peneliti disebut populasi terjangkau. Dari populasi terjangkau inilah akan dipilih sampel, yang terdiri dari subjek yang akan langsung diteliti (Sastroasmoro, 1995).
-
27
Populasi target dalam penelitian yaitu anak autis di SLB Yogyakarta.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah anak autis di SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan
SLB Negeri III Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini yaitu anak autis yang bersekolah di SLB tersebut serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Responden dalam penelitian ini adalah orang tua atau pengasuh terdekat
siswa / siswi tersebut.
Besar subjek penelitian yang akan diambil menurut Notoatmodjo (2005) yaitu
N n =
1 + N (d2)
33 n =
1 + 33 (0,05)2
n = 30,4 n 30 anak
Keterangan :
N = Besar populasi anak autis di 4 SLB.
n = Besar subjek. d = Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan yaitu 95% atau
sebesar 0,05.
-
28
D. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu :
1. Orangtua bersedia mengisi kuesioner penelitian dan mengijinkan anaknya menjadi subjek penelitian.
2. Anak berusia 3-12 tahun.
E. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu :
Anak mengalami gangguan saluran pencernaan yaitu mual/muntah
berulang dan diare terus menerus
F. Variabel Penelitian
1. Hipotesis 1
a. Variabel bebas : perilaku makan
b. Variabel terikat : status gizi anak autis.
2. Hipotesis 2
a. Variabel bebas : asupan gizi (energi dan protein) b. Variabel terikat : status gizi anak autis.
3. Hipotesis 3
a. Variabel bebas : perilaku makan
b. Variabel terikat : asupan gizi (energi dan protein)
-
29
G. Alat
1. Formulir identitas responden
2. Pengukuran BB menggunakan timbangan berat badan elektronik yang
telah dikalibrasi dengan ketelitian 0,1 kg.
3. Pengukuran TB menggunakan mikrotoa dengan ketelitian 0,1 cm dengan
skala 0 - 200 cm.
4. Data asupan zat gizi yang diperoleh dari formulir food recall 1x24 jam, masing-masing responden mendapat 3 formulir karena food recall
dilaksanakan sebanyak 3 kali tanpa berturut-turut dalam waktu 1 minggu.
5. Perilaku makan dengan menggunakan BAMBI (the Brief Autism Mealtime Behavior Inventory) Score.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Status gizi adalah hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan pada
anak. Status gizi dalam penelitian ini diukur menggunakan indikator
persentil IMT/U sesuai standar WHO 2005.
Parameter :
a. Underweight : < persentil 5
b. Normal : persentil 5 an < persentil 85
c. Overweight : persentil 85
Skala : ordinal
2. Asupan zat gizi merupakan jumlah energi dan protein dari makanan yang dikonsumsi sampel dalam satuan kkal dan gram dan diperoleh
menggunakan food recall 1x24 jam sebanyak 3 kali tidak berturut-turut
-
30
dalam waktu 1 minggu dan dianalisis menggunakan FP2 (the Food Processor).
Parameter :
a. Rendah : < 80 % AKG (Angka Kecukupan Gizi) b. Cukup : 80 % dan < 110 % AKG,
c. Lebih : 110 % AKG (Muhilal, 2000). Skala : ordinal
2. Perilaku makan diukur menggunakan BAMBI (the Brief Autisme Mealtime Behavior Inventory) Score. BAMBI Score mencakup 18 pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku makan yang diukur menggunakan 5 skala,
yaitu 1 berarti tidak pernah / sangat jarang, 2 berarti jarang, 3 berarti kadang-kadang, 4 berarti seringkali, dan 5 berarti hampir di setiap makan.
Skor maksimal dapat yang diperoleh oleh responden adalah 90 dan skor
minimal adalah 18.
Parameter :
a. Baik : kurang dari (
-
31
Mealtime Behavior Inventory) Score. Proses pengumpulan data dimulai dengan melakukan pemilihan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Data BB yang diperoleh
menggunakan timbangan berat badan elektronik dan TB anak yang
diperoleh menggunakan mikrotoa.
2. Data sekunder
Data mengenai lokasi penelitian dan jumlah murid di sekolah SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring
Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
J. JALANNYA PENELITIAN
1. Persiapan
Tahap persiapan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2010. Tahap
persiapan yang dilakukan oleh peneliti meliputi :
a. Melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan gambaran
mengenai populasi, sampel dan tempat penelitian agar sesuai dengan
tujuan penelitian. b. Melakukan penyusunan, pengujian, dan pengesahan proposal
penelitian.
c. Melakukan kalibrasi alat penelitian (timbangan berat badan elektronik) di Balai Metrologi Yogyakarta.
d. Pengurusan surat ijin dari Ketua Program Studi S1 Gizi Kesehatan Universitas Gadjah Mada ke Kepala Sekolah SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II, dan
SLB Negeri III Yogyakarta.
-
32
e. Pengurusan perijinan penelitian di BAPEDA Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2. Pelaksanaan
Peneliti mendatangi sekolah-sekolah yang telah memberi ijin penelitian, kemudian melakukan penelitian. Tahap penelitian tersebut
meliputi :
a. Meminta kesediaan subjek penelitian (yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi) untuk menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed consent.
b. Membagikan kuesioner BAMBI Score kepada orang tua / pengasuh
terdekat siswa untuk mengetahui perilaku makan anak.
c. Wawancara langsung kepada orang tua/ pengasuh terdekat siswa
mengenai bahan makanan yang telah dikonsumsi anak menggunakan
food recall 1x24 jam. Wawancara food recall 1x24 jam dilakukan sebanyak 3 kali tanpa berturut-turut dalam 1 minggu.
d. Mengukur status gizi anak dengan melakukan penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan.
3. Penyusunan Laporan
Tahap penyusunan laporan meliputi pembahasan hasil, perumusan
masalah, presentasi hasil, dan melaporkan hasil penelitian pada pihak
yang terkait.
-
33
K. Pengolahan dan Analisis Data
Tahap pengolahan data meliputi :
a. Perhitungan asupan gizi menggunakan FP2 berdasarkan data dari food
recall 1x24 jam yang dilaksanakan 3 kali tanpa berturut-turut dalam waktu 1 minggu, kemudian menghitung rata-rata pemenuhan asupan energi dan
protein.
b. Perhitungan BAMBI Score dengan menghitung nilai rata-rata (mean) dan median serta pengelompokkan subjek (mengalami masalah perilaku makan atau tidak). Perilaku makan baik jika < mean atau median dan buruk jika mean atau median.
c. Memasukkan data TB dan BB, menghitung IMT, dan menentukan status
gizi anak dengan melihat indikator persentil IMT/U sesuai standar WHO
2005.
d. Menyajikan data yang diperoleh dari hasil penelitian secara tekstular dan tabular.
Tahap analisis data meliputi :
a. Melakukan pemasukkan data ke komputer.
b. Melakukan analisis univariat, yaitu analisis tiap-tiap variabel hasil
penelitian, penyajiannya dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase tiap variabel.
c. Melakukan analisis bivariat terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan, yaitu satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Fishers Exact Test pada derajat
-
34
kepercayaan 95 % ( = 0,05) karena terdapat nilai EC (Expected Count) yang bernilai < 5
d. Menyajikan data secara tekstular dan tabulasi..
L. ETIKA PENELITIAN
Penyertaan subjek dalam penelitian setelah dilakukan persetujuan dengan mengisi informed consent tertulis secara suka rela dari orangtua
subjek.
M. KETERBATASAN PENELITIAN
Penulis tidak memasukkan penyakit infeksi sebagai kriteria eksklusi
karena membutuhkan diagnosis dari dokter, Penyakit infeksi dapat
mengakibatkan penurunan berat badan secara mendadak sehingga
dikhawatirkan mempengaruhi hasil pengukuran status gizi anak.
-
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di empat SLB di Yogyakarta. Sekolah tersebut
yaitu SLB Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena
Ring Putra II, dan SLB Negeri III Yogyakarta.
a. SLB Autisma Dian Amanah
Sekolah Luar Biasa Autisma Dian Amanah pada awalnya
bernama Sanggar Pendidikan Anak (SPA) Dian Amanah didirikan pada tanggal 1 September 2001. Pada akhir tahun 2003 SPA Dian Amanah
telah mendapat Ijin Operasional dari Dinas Pendidikan Nasional Propinsi DIY No. 44/12/2003 tanggal 2 Desember 2003 dengan nama Sekolah
Luar Biasa Autisma Dian Amanah Yogyakarta. Sekolah didirikan
dengan harapan dan semangat menggebu untuk meraih prestasi yakni
mempersiapkan anak-anak penyandang autisma agar mampu mandiri
dan cerah masa depannya. Sekolah ini memiliki 4 tujuan yaitu memberikan layanan pendidikan dan fasilitas belajar bagi penyandang autisme, menampung dan menyebarluaskan segala informasi mengenai
autisma serta pemanfaatan riset-riset terbaru, mendidik para calon
terapis profesional di bidang autisma bekerja sama dengan semua pihak yang berkompeten dalam bisang autisma, dan menjadi sarana komunikasi antar pemerhati autisma di Yogyakarta khususnya dan di
Indonesia umumnya
-
36
b. SLB Samara Bunda
Pada tahun 1992 sekelompok praktisi pendidikan yang memiliki
kepedulian terhadap sesama; merintis berdirinya suatu lembaga
pendidikan dan pelatihan khusus bagi anak-anak yang mengalami
gangguan perkembangan dengan nama Samara Bunda. Nama
Samara, di ambil dari kata sakinah, mawadah, warahmah, sedangkan
Bunda berarti sebagai sosok seorang ibu. Dengan demikian diharapkan
lembaga ini mampu memberikan bimbingan kepada anak didiknya
seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang mendidik anaknya supaya
menjadi anak yang sholeh dan mampu berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing.
Semakin vitalnya peran lembaga ini dalam membantu anak-anak
berkebutuhan khusus di Yogyakarta, maka pada tanggal 06 September
2006 didirikan suatu yayasan untuk menaungi lembaga ini dan
kemudian dikenal dengan Yayasan Samara Bunda. Menurut
perkembangannya lembaga pendidikan ini berganti nama dan status
menjadi SLB Samara Bunda sesuai dengan SK Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 816 TAHUN
2008. Semenjak diterbitkannya SK inilah, secara resmi SLB Samara Bunda dioperasionalkan sebagai sekolah swasta untuk menangani
anak-anak berkebutuhan khusus
c. SLB Dharma Rena Ring Putra II
Sekolah Luar Biasa Dharma Rena Ring Putra II Yogyakarta
merupakan sekolah yang melayani pendidikan khusus untuk tuna
-
37
grahita ringan (C), tuna grahita sedang (C1), dan autis, mulai dari jenjang TKLB hingga SMALB. Tujuan dari SLB Dharma Rena Ring Putra II yaitu terwujudnya anak berkebutuhan khusus yang mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari dan bekerja sesuai kemampuan di masyarakat dengan cara memberikan pembelajaran, bimbingan, dan latihan. Sekolah ini berlokasi di Jalan Kusumanegara 105 B Yogyakarta.
Sekolah ini didirikan pada 15 Juli 1984.
Sejarah dari SLB ini dimulai dari pendirian yayasan Dharma Rena Ring Putra pada tanggal 5 November 1963 oleh Ibu Soekanwo dengan
beberapa ibu lainnya. Pendirian yayasan ini kemudian diikuti dengan
mendirikan Sekolah Luar Biasa Bagian C bertempat di gedung bekas
Theosofi di Jalan Jendral Sudirman 34 A Yogyakarta. Pada tahun 1980
atas desakan beberapa orangtua murid dari luar Yogyakarta, maka
pengurus mendirikan sekolah unit II. Tahun 1984 SLB Dharma Rena II
diresmikan dibuka.
d. SLB Negeri III Yogyakarta.
Sekolah Luar Biasa Negeri 3 Yogyakarta merupakan sekolah
penyelenggara pendidikan khusus untuk tunanetra (A), tunarungu (B), tunagrahita (C), tunadaksa (D) dan Autis, mulai jenjang TKLB sampai SMALB. Disamping melaksanakan pelayanan pendidikan SLB Negeri 3
Yogyakarta juga melaksanakan pelayanan rehabilitasi dan habilitasi baik medik, psikologis, maupun vokasional. Pelayanan medik dilaksanakan di
klinik rehabilitasi dan tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus dan
UKS. Sedangkan psikologis di biro konsultasi pendidikan dan psikologi.
-
38
Pelayanan pendidikan (kurikuler) dilaksanakan mulai pagi sampai siang, sedangkan ekstrakurikuler dilaksanakan siang sampai sore setelah jam sekolah. Pelayanan non-pendidikan dilaksanakan pada jam kerja umum atau melalui perjanjian.
Sekolah Luar Biasa Negeri 3 Yogyakarta berada di lokasi strategis
yaitu di pinggir Jalan Wates yang merupakan jalan propinsi yang menghubungkan ibukota provinsi DIY dengan kabupaten Kulonprogo.
Luas area sekolah sekitar 3 hektar, dilengkapi dengan bangunan yang
merupakan fasilitas utama maupun pendukung pendidikan dan lahan
terbuka yang digunakan untuk kegiatan olahraga maupun kegiatan lain.
Sekolah ini memiliki sejarah, pada tahun 1971 dirintis oleh alumni Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), pendidikan untuk tunanetra dan tunagrahita di kelas khusus SD Klitren Lor, Tunarungu di
Sutodirjan, Tunadaksa di Condronegaran. Tahun 1976 semua kelas rintisan tersebut dipindahkan ke kompleks SGPLB menjadi Sekolah Luar Biasa (SLB) Latihan SGPLB. Tahun 1996 SGPLB dialihfungsikan dan semua fasilitas SGPLB digunakan untuk pengembangan SLB yang
kemudian diberi nama SLB Negeri Bantul. Seiring dengan era otonomi
daerah, maka pada tahun 2003, wewenang pembinaannya dikembalikan
ke Dinas Pendidikan Propinsi DIY dengan demikian namanya berubah
menjadi SLB Negeri 3 Yogyakarta.
-
39
2. Gambaran Umum Subjek Penelitian a. Gambaran subjek penelitian menurut umur, tinggi badan, berat badan,
dan jenis kelamin Subjek penelitian ini adalah anak autis yang bersekolah di SLB
Autisma Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Negeri Pembina, dan
SLB Negeri III Yogyakarta yang berusia 3-12 tahun dan tidak mengalami
gangguan saluran pencernaan yaitu mual, muntah, dan diare terus-
menerus. Berdasarkan hasil perhitungan subjek minimal didapatkan jumlah 30 anak. Setelah dilakukan pengambilan data di 4 SLB tersebut, diperoleh subjek sebanyak 30 anak sehingga telah memenuhi perhitungan minimal. Umur pertama kali subjek didiagnosis autis sebagian besar pada saat subjek berumur 3 tahun. Berikut ini tabel rerata karakteristik subjek menurut umur, tinggi badan dan berat badan (Tabel 2).
Tabel 2. Rerata karakteristik subjek menurut umur, tinggi badan dan berat badan
Karakteristik Subjek Rerata SD Umur 8,87 2,488 Tinggi badan (cm) 131,39 11,67 Berat badan (kg) 31,08 16,37
Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa rata-rata umur subjek adalah 8,87 2,488 tahun dengan umur termuda yaitu 4 tahun dan yang
tertua yaitu 12 tahun. Rata-rata tinggi badan subjek yaitu 131,39 11,67 cm, sedangkan rata-rata berat badan subjek yaitu 31,08 16,37kg.
-
40
Distribusi jenis kelamin subjek pada penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 26 subjek (86,7 %) dan berjenis kelamin perempuan lebih sedikit yaitu 4 subjek (13,3 %)
b. Perilaku makan anak autis
Hasil penilaian perilaku makan anak autis dapat dilihat pada Tabel
3 berikut :
Tabel 3. Perilaku makan anak autis
Perilaku Makan n % Buruk 16 53,3 Baik 14 46,7 Total 30 100,0
Hasil penilaian perilaku makan anak autis diperoleh dari kuesioner
BAMBI Score yang telah diisi oleh responden. Hasil pengolahan data
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak autis memiliki perilaku makan buruk yaitu 53,3% (Tabel 3).
c. Asupan energi anak autis
Asupan energi anak autis dalam penelitian ini dibandingkan
dengan AKG 2005. Hasil analisis asupan energi anak autis dapat dilihat
pada Tabel 4 berikut :
-
41
Tabel 4. Asupan energi anak autis
Asupan energi n % Kurang 7 23,3 Cukup 15 50,0 Lebih 8 26,7 Total 30 100,0
Dari hasil Food Recall 1x24 jam sebanyak 3 kali tanpa berturut-turut dalam waktu 1 minggu dan dianalisis menggunakan FP2 (the Food Processor) , diperoleh hasil bahwa 50,0 % asupan energi anak autis telah mencukupi kebutuhannya (Tabel 4).
d. Asupan protein anak autis
Hasil analisis asupan protein anak autis yang dibandingkan
dengan AKG 2005 dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Asupan protein anak autis
Asupan Protein n % Kurang 4 13,4 Cukup 13 43,3 Lebih 13 43,3 Total 30 100,0
Asupan protein dikatakan cukup jika 80 % dan < 110 % AKG 2005, kurang jika < 80 % AKG 2005, dan lebih jika 110 % AKG 2005 . Dari Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa 43,3 % asupan protein anak
autis mencukupi kebutuhannya.
-
42
e. Status gizi anak autis
Hasil penilaian status gizi anak autis berdasarkan IMT/U WHO
2005 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Status gizi anak autis
Status Gizi n % Overweight 12 40,0 Normal 14 46,7 Underweight 4 13,3 Total 30 100,0
Penilaian status gizi berdasarkan IMT/U diperoleh dengan cara
menghitung berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Hasil IMT tersebut kemudian dibandingkan dengan growth chart berdasarkan
WHO 2005. Hasil IMT/U dari 30 anak autis yang menjadi subjek dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa sebagian besar memiliki status gizi normal (46,7 %) (Tabel 6).
3. Gambaran Umum Orangtua
Responden dalam penelitian ini adalah orang tua atau pengasuh
terdekat siswa / siswi tersebut. Gambaran umum tersebut meliputi umur
orang tua, pendidikan orang tua dan jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat pada Tabel 7.
-
43
Tabel 7. Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan menemani anak saat makan Karakteristik n % Umur ayah
a. 20-30 tahun b. 31-40 tahun c. > 40 tahun Total
2 19 9
30
6,7 63,3 30,0
100,0 Pendidikan ayah
a. Tamat SLTP b. Tamat SLTA c. Tamat akademi/PT Total
1 11 18 30
3,3 36,7 60,0 100
Pekerjaan ayah a. Pedagang /jasa/wiraswasta b. Pegawai swasta c. PNS/TNI/Polri d. Lainnya.. Total
6 14 7 3 3
20,0 46,7 23,3 10,0
100,0 Penghasilan ayah
a. < 750.000 b. 750.000 Total
0 30 30
0 100,0 100,0
Umur ibu a. 20-30 tahun b. 31-40 tahun c. 40 tahun Total
2 19 9
30
6,7 63,3 30,0
100,0 Pendidikan ibu
a. Tamat SD b. Tamat SLTP c. Tamat SLTA d. Tamat akademi/PT
Total
1 1
12 16 30
3,3 3,3
40,0 53,3
100,0 Pekerjaan ibu
a. Pedagang /jasa/wiraswasta b. Pegawai swasta c. PNS/TNI/Polri d. Ibu rumah tangga Total
3 6 4
17 30
10,0 20,0 13,3 56,7
100,0 Jumlah anggota keluarga
a. 1-3 orang b. 4-6 orang Total
4 26 30
13,3 86,7
100,0 Menemani anak pada waktu makan
a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Total
2 6
22 30
6,7 20,0 73,3
100,0
-
44
Dari Tabel 7 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar ayah
subjek berusia > 40 tahun. Sedangkan pendidikan ayah sebagian besar tamat akademi / PT yaitu 60 %. Umur ibu subjek sebagian besar 31-40 tahun yaitu 63,3 % dan sebagian besar tamat akademi / PT (53,3 %).
Jenis pekerjaan ayah subjek sebagian besar pedagang / jasa / wiraswata yaitu 46,7 %. Sedangkan pekerjaan ibu subjek didominasi sebagai ibu rumah tangga yaitu 56,7 %. Jika dilihat dari pendapatan
ayah subjek, semua mempunyai penghasilan diatas UMR yaitu Rp 750.000,00 (Tabel 7).
Sebagian besar jumlah anggota keluarga responden adalah 4 6 orang (86,7 %). Ibu subjek sebagian besar selalu menemani anak pada saat makan yaitu 53,3 % (Tabel 7).
4. Analisis Statistik
a. Hubungan perilaku makan dengan status gizi anak autis
Hubungan antara variabel perilaku makan dengan status gizi anak
autis dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hubungan perilaku makan dengan status gizi anak autis Perilaku makan
Status gizi Total p Overweight Normal Underweight
n % n % n % n % Baik 6 20,0 8 26,7 2 6,7 16 53,3 1,000 Buruk 6 20,0 6 20,0 2 6,7 14 46,7 Total 12 40,0 14 46,7 4 13,3 30 100,0
-
45
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 atau p > 0,05. Uji dilakukan dengan menggunakan Fishers Exact test karena dalam tabel
silang terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected count < 5. Nilai minimum expected count yaitu 1,87. Berdasarkan kriteria uji yang telah ditetapkan, interpretasi hasil uji adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku makan dengan status gizi anak autis.
b. Hubungan asupan energi dengan status gizi anak autis
Hubungan antara variabel asupan energi dengan status gizi anak
autis dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hubungan asupan energi dengan status gizi anak autis Asupan energi
Status gizi Total p Overweight Normal Underweight
n % n % n % n % Lebih 6 20,0 2 6,7 0 0 8 26,7 0,033* Cukup 4 13,2 10 33,3 1 3,3 15 50,0 Kurang 2 6,7 2 6,7 3 10,0 7 23,3 Total 12 40,0 14 46,7 4 13,3 30 100
Keterangan : * Signifikan (p
-
46
c. Hubungan asupan protein dengan status gizi anak autis
Hubungan antara variabel asupan protein dengan status gizi anak
autis dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hubungan asupan protein dengan status gizi anak autis Asupan protein
Status gizi Total p Overweight Normal Underweight
n % n % n % n % Lebih 8 26,7 4 13,3 1 3,3 13 43,3 0,003* Cukup 1 3,3 10 33,4 2 6,7 13 43,3 Kurang 3 10,0 0 0 1 3,3 4 13,3 Total 12 40,0 14 46,7 4 13,3 30 100,0
Keterangan : * Signifikan (p
-
47
Tabel 11. Hubungan perilaku makan dengan asupan energi anak autis Perilaku makan
Asupan energi Total p Lebih Cukup Kurang n % n % n % n %
Buruk 5 16,7 7 23,3 4 13,3 16 53,3 0,892 Baik 3 10,0 8 26,7 3 10,0 14 46,7 Total 8 26,7 15 50,0 7 23,3 30 100,0
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,892 atau p > 0,05. Uji dilakukan dengan menggunakan Fishers Exact test karena dalam tabel
silang terdapat 4 sel (66,7%) yang memiliki nilai expected count < 5. Nilai minimum expected count yaitu 3,27. Berdasarkan kriteria uji yang telah ditetapkan, interpretasi hasil uji adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku makan dengan asupan energi anak autis .
e. Hubungan perilaku makan dengan asupan protein anak autis
Hubungan antara variabel perilaku makan dengan asupan protein
anak autis dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hubungan perilaku makan dengan asupan protein anak autis Perilaku makan
Asupan protein Total p Lebih Cukup Kurang n % n % n % n %
Buruk 7 23,2 8 26,7 1 3,3 16 53,3 0,534 Baik 6 20,0 5 16,7 3 10,0 14 46,7 Total 13 43,3 13 43,3 4 13,3 30 100,0
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,534 atau p > 0,05. Uji dilakukan dengan menggunakan Fishers Exact test karena dalam tabel
silang terdapat 2 sel (33,3%) yang memiliki nilai expected count < 5. Nilai minimum expected count yaitu 1,20. Berdasarkan kriteria uji yang telah
-
48
ditetapkan, interpretasi hasil uji adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku makan dengan asupan protein anak autis .
B. Pembahasan
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian a. Gambaran umum subjek menurut umur, tinggi badan, berat badan, dan
jenis kelamin Sebagian besar subjek penelitian ini berumur 8,8 tahun. Jenis
kelamin subjek penelitian ini sebagian besar laki laki yaitu 86,7%, sedangkan perempuan 13,3%. Sebagaimana teori yang ada bahwa
autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan, perbandingannya 4 : 1 (Masra, 2002). Menurut Winarno (2009), ada korelasi yang positif bahwa autisme erat kaitannya dengan anak laki-laki dan jarang terhadap anak perempuan. Hal itu disebabkan karena kadar estrogen mampu menetralisir timbulnya autisme,
sedangkan dalam tubuh anak laki-laki kadar hormon estrogen tersebut
kurang.
b. Perilaku makan
Perilaku makan anak autis dalam penelitian ini diukur
menggunakan BAMBI (the Brief Autisme Mealtime Behavior Inventory) Score. BAMBI Score mencakup 18 pertanyaan yang berkaitan dengan
perilaku makan yang diukur menggunakan 5 skala, yaitu 1 berarti tidak
pernah / sangat jarang, 2 berarti jarang, 3 berarti kadang-kadang, 4 berarti seringkali, dan 5 berarti hampir di setiap makan. Skor maksimal
-
49
yang dapat diperoleh oleh responden adalah 90 dan skor minimal
adalah 18.
Untuk menentukan perilaku makan anak autis, dilakukan
penjumlahan hasil BAMBI Score semua subjek dalam penelitian ini untuk mendapatkan nilai mean dan median. Kemudian, BAMBI Score
dikategorikan berdasarkan ketentuan yaitu kurang dari (
-
50
tekstur (69%), penampilan (58%), rasa (45%), bau (36%), dan temperatur (22%).
Usia anak autis dalam penelitian ini yaitu 3-12 tahun. Menurut
Cashdan (1994, 1998) dan Nicklaus et al. (2005), anak-anak pada rentang usia ini menunjukkan bahwa memiliki perilaku makan yang relatif stabil. Meskipun variasi makanan yang dikonsumsi meningkat
seiring dengan peningkatan usia, akan tetapi perilaku makan cenderung
untuk tetap stabil selama periode ini. Misalnya, anak-anak yang pilih-
pilih makanan cenderung tetap pemilih makanan dan anak-anak yang
mengonsumsi makanan hanya warna atau tekstur tertentu cenderung
bertahan dalam jangka waktu tertentu. (Cashdan 1994; Pliner 1994; Pliner dan Loewen 1997).
Penelitian Warren et al. (2008), anak-anak autis usia 3, 5 dan 7 hingga 11 tahun di Wales, Inggris juga menunjukkan perilaku pilih-pilih makanan. Menurut Martins et al. (2008), anak autis menunjukkan perilaku ritualistik selama waktu makan. Perilaku tersebut yaitu pilihan
makanan terbatas serta susah makan dibanding saudara mereka yang
normal.
Hasil studi prospektif Nicklaus (2005) menunjukkan hasil bahwa perilaku ingin mencoba makanan yang baru secara signifikan terjadi pada anak usia 2-3 tahun dan meningkat pada usia 4 22 tahun.
Sehingga untuk mencegah terjadinya perilaku pilih-pilih makanan yang stabil pada anak, sebaiknya anak diperkenalkan berbagai variasi
makanan sebelum usia 4 tahun.
-
51
c. Asupan energi
Asupan energi anak autis dalam penelitian ini, sebesar 50% anak
telah mencukupi kebutuhannya berdasarkan AKG 2005. Sedangkan
23,3% anak autis asupan energinya kurang dan 26,7% asupan
energinya lebih.
Menurut Almatsier (2004), manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Menurut Kartasapoetra & Marsetyo (2003), energi diperlukan untuk kelangsungan proses di dalam tubuh seperti proses
peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, proses fisiologis lainnya, untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik. Energi dalam tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran
karbohidrat, protein dan lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu
pemasukan makanan yang cukup dengan mengkonsumsi makanan
yang cukup dan seimbang.
Menurut Shreck et al. (2004) asupan makan anak autis umumnya lebih sedikit dan mencakup lebih terbatas berbagai kategori kelompok
makanan (buah, sayuran, susu, protein, dan pati) dibandingkan dengan anak-anak normal. Selain gangguan perilaku makan, orang autis yang
dilaporkan memiliki prevalensi tinggi gangguan pencernaan termasuk
diare kronis, perut kembung, distensi perut, dan sembelit (Wakefield, 2000). Ada kemungkinan bahwa temuan ini terkait dan gejala gastrointestinal dapat dikaitkan dengan abnormal asupan gizi makanan.
Orang tua anak autis sering melaporkan bahwa anak-anak mereka
pilih-pilih makanan dan mengkonsumsi makanan lebih terbatas
-
52
dibandingkan dengan anak normal (Schreck et al., 2004). Beberapa studi telah melaporkan tidak ada perbedaan asupan gizi antara anak-
anak autis dibandingkan dengan anak normal (Ronald et al., 2006 ; Shearer et al. : 1982). Penelitian Johnson et al. (2008), membandingkan asupan makan anak autis dibandingkan dengan anak
normal. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa asupan energi pada anak autis tidak berbeda secara signifikan dibandingkan anak normal.
Konsisten dengan penelitian Ronald et al. (2006), meskipun konsumsi energi dan protein yang ditemukan memadai dalam studi ini,
lebih dari separuh anak-anak dengan gangguan autistik tidak memiliki
cukup asupan vitamin A, B6, dan C, asam folat, kalsium, dan seng.
Nutrisi ini dikenal menjadi penting untuk perkembangan otak dan fungsi, dan telah disarankan bahwa suplemen gizi pada anak autis dapat
memberikan manfaat positif (Adams, 2004, Kidd, 2002, Mousain et al., 2006). Menurut Xia et al. (2004), anak-anak dengan gangguan autis cenderung hanya mengkonsumsi unggas, produk ikan, telur, sayuran
hijau dengan pilihan terbatas, dan buah-buahan dalam jumlah sedikit. Padahal bahan makanan tersebut sumber vitamin dan mineral.
d. Asupan protein
Kecukupan protein menurut AKG 2005 anak usia 4-6 tahun yaitu
39 gram/hari, anak usia 7-9 tahun yaitu 45 gram/hari. Sedangkan untuk
anak usia 10-12 tahun baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
membutuhkan protein sebesar 50 gram/hari. Asupan protein anak autis
dalam penelitian ini, sebesar 43,3% anak telah mencukupi
-
53
kebutuhannya. Sedangkan 13,4% anak autis asupan proteinnya kurang
dan 43,3% asupan proteinnya lebih.
Menurut Suandi (2004), protein mensuplai sekitar 1-14 % asupan energi selama masa anak dan remaja. Protein diperlukan untuk sebagian besar proses metabolik, terutama pertumbuhan,
perkembangan, dan merawat jaringan tubuh. Asam amino merupakan elemen struktur otot, jaringan ikat, tulang, enzim, hormon, dan antibodi.
Dalam penelitian Cornish (1998), hasil Food Recall 3 x 24 jam terhadap 17 anak autis yang menjadi sampel penelitian menunjukkan hasil bahwa sebagian besar asupan protein anak autis telah memenuhi
kecukupan harian berdasarkan RDA. Tetapi, asupan zat besi, vitamin C,
vitamin B1, vitamin B2, dan zink kurang sehingga belum memenuhi
kebutuhan anak autis. Sebagian besar anak autis dalam penelitian
Cornish jarang mengkonsumsi buah dan sayuran sehingga asupan vitamin dan mineral tidak terpenuhi.
e. Status gizi
Interpretasi status gizi anak autis dalam penelitian ini
menggunakan indeks antropometri IMT/U yang kemudian dibandingkan
dengan growth chart berdasarkan WHO 2005. Hasil interpretasi status
gizi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki status gizi normal
(46,7%), sedangkan 40,0% overweight dan 13,3% underweight. Untuk menilai prevalensi gizi buruk pada anak-anak autis
prasekolah, telah dilakukan penelitian di Oman pada bulan Februari
-
54
2011 oleh Al-Farsi et al. Peneliti tersebut melakukan studi cross-
sectional yang dilakukan terhadap 128 anak autis di Oman usia 3-5
tahun. Hasil penelitian Al-Farsi et al. yaitu berdasarkan standar z-skor,
prevalensi secara keseluruhan gizi buruk 9,2 per 100 anak-anak
prasekolah ASD (Autistic Spectrum Disorder). Anak laki-laki, kurus dan stunting secara signifikan lebih tinggi dari pada anak perempuan, dalam
penelitian tersebut tidak ada sampel penelitian yang mengalami
obesitas. Studi ini menunjukkan adanya kecenderungan di anak-anak autis Oman mengalami kurang gizi. Hal tersebut dikarenakan terapi diet
yang dijalankan, ketidaknormalan saluran cerna, pembatasan asupan nutrisi tertentu, dan pengobatan.
Dalam penelitian Curtin et al. (2010) mengenai prevalensi obesitas anak autis di Inggris menunjukkan hasil bahwa prevalensi obesitas pada anak autis di Inggris (30,4 %) lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal (23,6 %). Curtin et al. memperkirakan kejadian obesitas pada anak autis disebabkan anak autis memiliki aktivitas fisik atipikal dan pola
makan yang unik terkait dengan perkembangan obesitas. Misalnya,
anak-anak autis diketahui memiliki gangguan motor yang mungkin
mempengaruhi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam olahraga
atau kegiatan fisik lainnya. Selain itu, anak-anak autis mengalami
gangguan dalam keterampilan sosial yang dapat membatasi kegiatan
bermain bersama teman-teman. Anak-anak dengan autis juga memiliki perilaku selektif makanan. Dalam sebuah penelitian yang lebih besar,
Schreck et al. (2004) melaporkan bahwa anak-anak autis menunjukkan perilaku selektivitas makanan lebih tinggi dibandingkan anak normal.
-
55
Anak autis lebih menyukai chicken nugget, hotdog, selai kacang, dan
kue. Sehingga ada kemungkinan bahwa makan pola dapat berkontribusi
bagi perkembangan obesitas pada populasi anak-anak autis di Inggris.
2. Gambaran Umum Orangtua
Pendidikan ayah responden sebagian besar tamat akademi/PT yaitu
60 %. Demikian juga pendidikan ibu responden yang sebagian besar tamat tamat akademi/PT yaitu 53,3 %. Menurut Mashabi (2009), latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh sangat besar
terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut memiliki anak autis. Menurut Proverawati et al. (2008), pendidikan orangtua yang lebih tinggi lebih memiliki kesadaran akan pentingnya kesehatan dalam memilih
makanan. Orangtua dengan pendidikan tinggi akan lebih berhati-hati dalam
menyeleksi kandungan zat gizi dalam makanan.
Selain pendidikan, ekonomi juga berperan dalam pemantauan status gizi anak, karena peningkatan ekonomi menurut Berg (1989) akan mendorong rumah tangga menyediakan makanan yang semakin beragam
dan berjenis. Jenis pekerjaan ayah responden sebagian besar pedagang/jasa/wiraswasta yaitu 46,7 %. Jika dilihat dari pendapatan ayah responden, semua mempunyai penghasilan diatas UMR. Nilai UMR yang
berlaku di Yogyakarta yaitu Rp745.694 (Nugraha, 2009). Dalam penelitian ini UMR dibulatkan menjadi Rp 750.000,00.
Sebagian besar ibu responden adalah ibu rumah tangga yaitu 56,7
%. Mengasuh anak autis secara umum berdampak terhadap karier ibu
dalam kemampuan bekerja mereka. Sesuai dengan pendapat Gray (2003)
-
56
menyatakan bahwa membesarkan anak autis mempunyai efek yang
signifikan terhadap karier ibu. Seorang wanita karir biasanya pulang ke
rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di luar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang
dimilikinya, baik dalam menghadapi pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi maka sang Ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak.
Padahal menurut Hurlock (2002 cit Muslimah, 2009), kunci keberhasilan penyembuhan gejala autisme adalah orang tua dan terapi tatalaksana perilaku. Terapi tersebut tidak cukup dan tidak akan berhasil jika hanya tergantung pada ahli terapi saja, orang tua pun harus terjun.
Umur ibu subjek penelitian ini sebagian besar mempunyai usia 31-40 tahun (63,3 %). Menurut Susanti (2008), usia 31-40 tahun adalah usia matang sebagai orang tua sehingga telah memiliki pengalaman cukup
dalam berperan sebagai orang tua. Pendapat tersebut diperkuat oleh
Kurniawati (2010) yang menyatakan bahwa pada usia tersebut sebagian orang tua sudah mempunyai pengalaman cukup banyak dalam menangani
anak dan mempunyai kelompok sosial tertentu. Diperkirakan bahwa
kelompok sosial dimana orang tua ikut bergabung di dalamnya akan terjadi proses pertukaran informasi, yang juga dimungkinkan akan turut mempengaruhi pengetahuan dan pandangan orang tua tentang autism
terhadap kondisi yang dialami anak.
Sebagian besar jumlah anggota keluarga responden adalah 4 6 orang (86,7 %). Menurut Ambarini (2006), peran saudara sekandung dari anak autis akan menunjang keberhasilan terapi bagi saudara autisnya,
-
57
apabila mereka berperan secara aktif dan berkesinambungan dalam
memberikan terapi bagi saudara autis mereka. Peran saudara sekandung
dalam membantu anak autis menguasai keterampilan-keterampilan tertentu
tidak hanya pada saat pemberian terapi di rumah, namun lebih besar
apabila dilakukan di dalam kegiatan sehari-hari ketika mereka saling
berinteraksi.
Sebanyak 73,3 % responden menemani anak pada saat makan.
Suasana keluarga, khususnya sikap dan cara mendidik serta pola interaksi
antara orang tua dan anak yang menciptakan suasana emosi yang tidak
baik. Tidak tertutup kemungkinan sikap menolak makan sebagai sikap
protes terhadap perlakuan orang tua, misalnya cara menyuapi yang terlalu
keras, pemaksaan untuk belajar dan sebagainya. Pembawaan ibu yang penuh perhatian saat makan bersama sang anak dapat membawa suasana
tersendiri bagi sang anak. Sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah
makan pada anak (Sunarjo, 2010).
3. Hubungan Perilaku Makan dengan Sta