KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM … · 2017-03-18 · ekosistem mangrove silvofishery...
Transcript of KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM … · 2017-03-18 · ekosistem mangrove silvofishery...
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM MANGROVE SILVOFISHERY DAN
MANGROVE ALAMI KAWASAN EKOWISATA PANTAI BOE KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR
SKRIPSI
Oleh: ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ABSTRAK ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Dibawah bimbingan INAYAH YASIR selaku Pembimbing Utama dan MARZUKI UKKAS selaku Pembimbing Anggota. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos dan mangrove pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami serta membandingkan kelimpahan makrozoobenthos dikedua ekosistem yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 berlokasi di dalam tambak Desa Mappakalompo dan di daerah estuaria Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Dengan jumlah stasiun pengamatan sebanyak dua lokasi yaitu pada mangrove silvofishery dan mangrove alami. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survey dan metode sampling, kemudian dianalisis di laboratorium.
Hasil yang didapat adalah keanekaragaman makrozoobenthos di kedua ekosistem terdapat 16 jenis, pada mangrove silvofishery terdiri atas 5 jenis yang terbagi atas 3 jenis dari class Gastorpoda,1 jenis dari class Bivalvia dan 1 jenis dari class Maxillopoda sedangkan pada mangrove alami terdapat 6 jenis dari class Gastropoda, 7 Jenis dari class Bivalvia, 1 jenis dari class Maxillopoda serta 1 jenis dari class Crustacea. Terdapat dominansi makrozoobenthos dari jenis Cerithidea cingulata.
Kesimpulan yang didapat yaitu keanekaragaman makrozoobenthos, pada kawasan ekosistem mangrove alami menunjukkan bahwa memiliki jumlah jenis yang tertinggi 15 jenis yang terdapat pada mangrove alami, sedangkan pada mangrove silvofishery terdapat lima jenis. Kelimpahan makrozoobenthos, ekosistem mangrove silvofishery merupakan kawasan yang memiliki makrozoobenthos yang sangat melimpah tetapi jenis species yang sedikit dengan total jumlah individu 1219. Sedangkan, pada ekosistem mangrove alami merupakan kawasan yang makrozoobenthosnya sedikit tetapi jenis speciesnya cukup beragam dengan total jumlah individu 730. Untuk kelimpahan mangrove, pada mangrove alami lebih beragam sedangkan mangrove silvofishery hanya terdapar dua jenis mangrove karena mangrove di silvofishery merupakan mangrove yang ditanam oleh petani tambak.
Kata Kunci: Makrozoobenthos, Estuaria, Ekosistem Mangrove, Silvofishery
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM MANGROVE SILVOFISHERY DAN MANGROVE ALAMI KAWASAN
EKOWISATA PANTAI BOE KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR
Oleh: ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Ekosistem Mangrove Silvofishery Dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar
Nama Mahasiswa : Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung
Nomor Pokok : L 111 08 303
Program Studi : Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Dr. Inayah Yasir, M.Sc NIP. 19661006 199202 2 001
Pembimbing Anggota,
Ir. Marzuki Ukkas, DEA NIP. 19560801 198503 1 001
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP NIP. 196112011987032002
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan,
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si NIP. 196311201993031002
Tanggal Lulus: 29 Mei 2013
iii
RIWAYAT HIDUP
Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung, lahir di
Medan pada tanggal 14 April 1991. Penulis merupakan
anak bungsu (siapudan) dari empat bersaudara. Buah
cinta dari pasangan Drs. Ir. Mangadar Marpaung, M.Ap
dan Syahriana Harahap, S.Pd. Pada tahun 1996
pertama kali mengeyam pendidikan di Taman Kanak-
Kanak Adzidin, Deli Serdang. Kemudian melanjutkan
sekolah dasar di SD Negeri 066665, Medan, lulus pada
tahun 2002, pada tahun 2005, lulus dari SMP Negeri 6 Medan, tahun 2008 lulus
dari SMA Negeri 5 Medan dan tahun yang sama penulis yang sejak kecil suka
akan air ini diterima sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin Makasar pada
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, melalui jalur UMB.
Selama menjalani dunia kemahasiswaan, penulis pernah aktif disenat
ilmu kelautan (KEMA) sebagai pengurus senat periode 2010-2011 dan UKM
Koperasi Mahasisiwa (Kopma) pada tahun 2010.
Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir diantaranya, pada tahun
2012 penulis melaksanakan kegiatan kuliah Kerja Nyata Profesi (KKNP) di Desa
Manyili Kecamatan Takalalla Kabupaten Wajo. Sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan penulis
menulis skripsi dengan judul “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem
Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar”.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah, Penuh haru dan sujud simpuh dalam
pengakuan kebesaran-Nya terukir pada rasa cinta kepada Allah Subhanahu
Wa Taala yang melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya sehingga penulis dapat
melewati tahap demi tahap penyusunan skripsi yang berjudul
“Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery
dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong
Kabupaten Takalar’’. Sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Tak lupa shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah
yang telah mencucurkan keringat jihad sebanyak-banyaknya dalam
menda’wahkan kebenaran dan mengamalkan kebajikan. Setiap kata demi
kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis serta bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Kupersembahkan karya terbaikku pada kedua orang tuaku tercinta,
Ayahanda Drs. Ir. Mangadar Marpaung M.Ap dan Ibunda Syahriana
Harahap S.Pd yang telah memberikan kehangatan sebuah keluarga yang
utuh baik itu secara materi, semangat maupun do’a restunya.
2. Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc selaku pembimbing dan penasehat akademik
serta Bpk. Ir. Marzuki Ukkas, DEA atas waktu, pikiran, bantuan dan
perannya yang begitu penting untuk penyelesaian skripsi ini.
v
3. Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA, Prof. Dr. Amran Saru, ST, M.Si, Dr. Wasir
Samad, S.Si, M.Si dan Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc selaku dosen
penguji, memberikan tanggapan, dan saran utuk penyempurnaan skiripsi ini.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, M.Si selaku Dekan FIKP (Terima kasih
atas pinjaman bukunya).
5. Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu
kelautan yang terus memberikan semangat dan dorongan bagi penulis
selama masa studi hingga tahap penyelesaian skripsi.
6. Abangku Tomi Maxs Experanza Marpaung, S.Sos dan kakak - kakakku
dr. Faradina Utami Marpaung dan Marissa Reizky Marpaung, SE yang
telah memberikan semangat dan motivasi selama saya berada di kota rantau
(Makassar).
7. Seluruh teman-teman Tim Galesong buat kekompakannya.
8. Sahabat seperjuanganku, Hardianthy terimakasih untuk waktu,
kebersamaan dan kesempurnaan arti sahabat.
9. Teman-temanku, Darmiati “Speaker aktif”, Nur Ipa “Ehm”, Andi Rizka
“Curhat Dong ma”, Atrasina Adlien, Ahmad Faisal Ruslan, Aryo
Ramadhan dan Musriadi buat bantuan dan canda tawanya.
10. Buat sodara-sodariku MEZEIGHT (2008), yang tidak bisa disebutkan satu
persatu kalian keluarga besarku di kota Daeng ini.
11. Bang Nawir dan keluarga yang memperkenalkan seluk beluk kota Angin
Mamiri ini serta bersedia memberikan tempat tinggal pada saat pertama kali
menginjakkan kaki di kota Makassar.
12. Teman-teman KKNP Kak Rangga, Kak Fatha, Ipul, Neny Leweng, Rukia,
Ali Khan (Acos) dan Zul.
vi
13. Seluruh staf dosen dan pegawai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
UNHAS, yang telah dalam proses belajar mengajar dan menyelesaikan
skripsi.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik membangun untuk skripsi ini. Akhir kata semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis.
JALASVEVA JAYA MAHE
Makassar Juni 2013
Penulis
Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR…………….. ........................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN…………….. .................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 2
C. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
A. Defenisi dan Sifat Makrozoobenthos ........................................................... 4
B. Pengelompokan Ukuran Benthos ............................................................... 4
C. Parameter Lingkungan Makrozoobenthos .................................................. 5
1. Substrat (sedimen) ................................................................................. 5
2. Suhu ....................................................................................................... 6
3. pH……………. ........................................................................................ 6
4. Oksigen Terlarut (DO) ............................................................................ 7
5. Salinitas .................................................................................................. 8
6.Bahan Organik Total (BOT) .................................................................... 9
D. Defenisi, Ciri dan Fungsi Ekosistem Mangrove .......................................... 9
E. Penyebaran Mangrove ............................................................................. 10
F. Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove .................................................. 11
viii
G. Defenisi dan Fungsi Mangrove Silvofishery .............................................. 12
H. Hubungan Antara Mangrove dan Makrozoobenthos ................................. 13
III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 15
A. Waktu dan Tempat.................................................................................... 15
B. Alat dan Bahan ......................................................................................... 15
C. Prosedur Penelitian .................................................................................. 16
1. Tahap Persiapan .................................................................................. 16
2. Tahap Pengambilan Data ..................................................................... 18
a. Sampling Mangrove ......................................................................... 18
b. Sampling Makrozoobenthos ............................................................. 18
c. Pengukuran Parameter Lingkungan ................................................. 18
3. Tahap Analisis Laboratorium ................................................................ 19
a. Kandungan Bahan Organik Sedimen ............................................... 19
b. Ukuran Butir Sedimen ...................................................................... 20
c. Oksigen Terlarut (DO) ...................................................................... 20
4. Analisis Data ......................................................................................... 21
a. Makrozoobenthos ............................................................................. 21
1. Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos ............................................ 21
2. Kelimpahan Relatif....................................................................... 22
3. Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos ................................ 22
4. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos ...................................... 23
5. Indeks Dominansi (C) .................................................................. 23
ix
b. Analisis Data Mangrove ................................................................... 23
1. Kerapatan Jenis (Di) .................................................................... 23
2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) ...................................................... 24
3. Frekuensi Jenis (Fi) ..................................................................... 24
4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi)........................................................ 24
5. Penutupan Jenis (Ci) ................................................................... 25
6. Penutupan Relatif Jenis (RDi) ...................................................... 25
c. Hubungan Antara Struktur Komunitas dan Karakteristik Habitat ....... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 26
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ............................................................... 26
B. Kondisi Lingkungan ................................................................................... 27
1. Suhu ..................................................................................................... 28
2. Salinitas ................................................................................................ 28
3. pH Air ................................................................................................... 29
4. pH Tanah .............................................................................................. 29
5. Substrat Sedimen ................................................................................. 30
6. Kandungan BOT Sedimen .................................................................... 31
7. Oksigen Terlarut (DO) .......................................................................... 31
C. Kondisi Ekosistem Mangrove .................................................................... 32
1. Kerapatan Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............... 32
2. Frekuensi Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............... 33
D. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos ....................... 34
x
1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos .................................................. 34
a. Komposisi Jenis Makrozoobenthos .................................................. 34
b. Kelimpahan Rata-rata Makrozoobenthos ......................................... 36
c. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .............................................. 37
2. Indeks Ekologi Makrozoobenthos ......................................................... 38
a. Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos .................................... 39
b. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos .......................................... 40
c. Indeks Dominansi Makrozoobenthos ................................................ 40
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 42
A. Simpulan .................................................................................................. 42
B. Saran ........................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan .................................... 7
2. Ukuran Partikel Sedimen Menurut Standar Wenworth .................................. 20
3. Data Hasil Pengukuran Parameter lingkungan ............................................ 28
4. Persentase Hasil Ukuran Butir Sedimen ....................................................... 30
5. Jenis Mangrove yang Ditemukan di setiap Stasiun Penelitian ...................... 32
6. Komposisi Jenis Makrozoobenthos Berdasarkan jumlah Individu ................. 35
7. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .......................................................... 38
8. Nilai Indeks Ekologi Makrozoobenthos ......................................................... 39
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tata Letak Tambak Silvofishery Komplang .................................................. 12
2. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 15
3. Peta Penentuan Lokasi Stasiun .................................................................... 17
4. Kerapatan Jenis Mangrove silvofishery dan Mangrove alami ....................... 33
5. Frekuensi Jenis Ekosistem Mangrove Silvofishery dan alami ....................... 33
6. Komposisi Jenis Makrozoobenthos .............................................................. 34
7. Komposisi Jenis Makrozoobenthos Berdasarkan Jumlah Jenis .................... 35
8. Kelimpahan Rata-rata Individu Makrozoobenthos ........................................ 36
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Alami .................................. 47 2. Hasil Perhitungan Kerapatan jenis, Kerapatan Relatif Jenis, Frekuensi
Jenis, Frekuensi Relatif Jenis, Penutupan Jenis, Penutupan Relatif Jenis dan Indeks Nilai Penting ............................................................................. 52
3. Klasifikasi Jenis Makrozoobenthos yang ditemukan pada Mangrove Silvofishery dan Alami ................................................................................ 53
4. Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan diekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............................................... 54
5. Komposisi Jenis Masing-masing Stasiun.................................................... 55
6. Frekuensi Jenis Makrozoobenthos ............................................................. 56
7. Hasil Perhitungan Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .......................... 57
8. Hasil Perhitungan Indeks Ekologi Makrozoobenthos .................................. 58
9. Hasil Uji Statistik One-way ANOVA Kelimpahan Makrozoobenthos ........... 59
10. Hasil Pemilahan partikel Sedimen di setiap stasiun Pengamatan ............... 60
11. Gambar Makrozoobenthos Yang Ditemukan .............................................. 67
12. Gambar Jenis Mangrove Yang Ditemukan ................................................. 69
13. Foto-foto Kegiatan Penelitian ..................................................................... 70
14
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, dimana
kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya alam diharapkan dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sehingga selayaknya bila
sumberdaya alam tersebut dikelola dengan baik untuk menghindari terjadinya krisis
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagai sumber kehidupan. Namun, jarang
sekali yang memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasan pesisir pantai,
yang sekilas hanya merupakan semak belukar yang tidak terawat dan tidak
berfungsi. Kawasan pantai yang ditumbuhi jenis tumbuhan tersebut dikenal sebagai
hutan mangrove (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove
seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang
kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai
mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove
dikelilingi oleh air garam atau air payau (Arief, 2003).
Silvofishery (mangrove dalam tambak) merupakan pola pendekatan teknis
yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/ udang
dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian
hutan mangrove. Kawasan estuaria khususnya pada ekosistem mangrove sangat
kompleks dengan kehidupan biota-biota yang hidup pada bagian dasar sedimen, di
antaranya makrozoobenthos sebagai grup hewan bentik yang mempunyai sifat khas
15
yang dikenal sebagai komunitas dasar dengan kondisi lingkungan hidup yang lebih
spesifik (Hutabarat dan Evans, 1985). Contohnya pada substrat berpasir, lingkungan
ini lebih didominasi oleh hewan seperti molluska, bivalvia dan lain-lain.
Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup melata, menempel,
memendam dan meliang baik di dasar perairan maupun di permukaan dasar
perairan. Makrozoobenthos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup
pada substrat keras sampai lumpur (Arief, 2003).
Keberadaan hutan mangrove di daerah estuaria Kawasan Ekowisata Pantai
Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar dan fungsi ekologis
yang penting untuk tambak dan ekosistem alaminya. Kawasan ekosistem mangrove
harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaan untuk kehidupan makrozoobenthos
dalam kawasan ekosistem mangrove, mengingat kegiatan eksploitasi hutan
mangrove semakin tidak terkontrol yang merupakan habitat makrozobenthos, maka
Faktor lain yang menarik untuk diteliti adalah keberadaan jenis makrozoobenthos
pada dua tempat yang berbeda antara wilayah mangrove silvofishery (dalam
tambak) dan mangrove yang tumbuh alami di daerah pinggir sungai kawasan
ekowisata pantai (estuaria) Desa Mappakalompo.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian yang dilakukan pada tambak mangrove dan mangrove di
muara sungai adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos dan mangrove pada ekosistem
mangrove silvofishery dan mangrove alami.
2. Membandingkan kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove
silvofishery dan mangrove alami.
16
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
kehidupan fauna bentik pada dua ekosistem mangrove yang berbeda yaitu kawasan
mangrove yang tumbuh alami di daerah muara Sungai Saro’ dan mangrove
silvofishery (mangrove dalam tambak).
C. Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi pada identifikasi makrozoobenthos, komposisi jenis
makrozoobenthos, kelimpahan relatif, indeks keanekaragaman (H’), indeks
keseragaman (E), dan indeks dominansi (D) makrozoobenthos. Pada identifikasi
mangrove meliputi kerapatan jenis (Di), kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi jenis
(Fi), frekuensi relatif jenis (RFi), penutupan jenis (Ci), dan penutupan relatif jenis
(RCi).
Parameter lingkungan yang diukur yaitu: suhu, salinitas, substrat sedimen,
pH, Oksigen terlarut (DO) dan Bahan Organik Total (BOT).
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Sifat Makrozoobenthos
Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam
sedimen dasar perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut
fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobenthos (Odum, 1993). Ketika
air surut, organisme akan kembali ke dasar perairan untuk mencari makan.
Beberapa makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia
adalah makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan
Polychaeta (Arief, 2003).
Dalam siklus hidupnya, beberapa makrozoobenthos hanya hidup sebagai
benthos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja
atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai benthos pada
stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai benthos pada stadia larva
(Nybakken, 1992).
Umumnya makrozoobenthos relatif tidak aktif, dengan ciri khusus seperti:
tubuhnya dilindungi cangkang, memiliki bagian tubuh yang dapat dijulurkan,
berkembangnya bagian tubuh tambahan seperti rambut, bulu-bulu keras serta
tersusun atas otot-otot yang memudahkan pergerakannya di atas maupun di dalam
sedimen.
B. Pengelompokan Ukuran Benthos
Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobenthos menjadi
dua kelompok besar yaitu mikrozoobenthos dan makrozoobenthos. Hutabarat dan
18
Evans (1985), juga mengklasifikasikan zoobenthos ke dalam tiga kelompok
berdasarkan ukurannya, yaitu :
1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang
digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.
2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm. Digolongkan
ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas krustasea yang
sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.
3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan beberapa
filum annelida.
Berdasarkan tempat hidupnya, zoobenthos dibagi atas dua kelompok, yaitu :
(a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan
substrat dan, (b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen
(substrat) dengan cara menggali lubang (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken
1992).
C. Parameter Lingkungan Makrozoobenthos
1. Substrat (sedimen)
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan
nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih
besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir
terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif
dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat dalam
substrat berpasir. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu banyak
tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen, 2004).
19
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobenthos (Lind 1979). Benthos tidak menyenangi dasar perairan berupa
batuan, tetapi jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik yang tinggi, maka
habitat tersebut akan kaya dengan benthos (Nichol, 1981 dalam Sudarja, 1987).
Makrozoobenthos (terutama molluska) terdapat dalam jumlah yang sedikit
pada tipe tanah liat. Hal ini dikarena substrat liat dapat menekan perkembangan dan
kehidupan makrozoobenthos, karena partikel-partikel liat sulit ditembus oleh
makrozoobenthos untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat
juga mempunyai kandungan unsur hara yang sedikit (Arief, 2003).
2. Suhu
Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda.
Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat
berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat
memengaruhi segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
(Nybakken 1992).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang
terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos adalah yang
lebih kurang dari 350 C. (Retnowati, 2003).
3. pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam menolerir pH
perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak
faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan
kation serta jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).
20
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini
menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana
sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia
memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Hawkes,
1978). Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 – 6,5 Keanekaragaman benthos sedikit menurun
Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami perubahan
5,5 – 6,0 Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti
5,0 – 5,5 Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos semakin besar
Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
4,5 – 5,0 Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos semakin besar
Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan salah satu faktor yang ikut
berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos. Jika keasaman tanah
berlebihan, maka akan mengakibatkan tanah sangat peka terhadap proses biologi,
misalnya proses dekomposisi bahan organik oleh makrozoobenthos. Proses
dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam,
sehingga makrozoobenthos akan tetap aktif melakukan aktivitasnya (Arief, 2003).
4. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan
hewan di dalam air. Menurut APHA (1989), oksigen terlarut di dalam air dapat
21
berasal dari hasil fotosintesis organisme laut atau tumbuhan air serta difusi dari
udara. Konsentrasi O2 terlarut di dalam air dapat dipengaruhi oleh koloidal yang
melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan
oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan
suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam
Effendi, 2003).
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan
organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Retnowati (2003), menyatakan
bahwa keberadaan O2 terlarut di dalam substrat dapat berkurang, hal ini disebabkan
oleh banyaknya plankton diperairan tersebut. Tingginya kandungan bahan organik
dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan
akan O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10
mg/LI (Effendi, 2003).
5. Salinitas
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis.
Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme
harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas
tertentu melalui mekanisme osmoregulasi (Koesoebiono, 1979), yaitu kemampuan
mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal.
Selanjutnya Nybakken (1992), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di
daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat
22
sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat
tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup
di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk menoleri perubahan salinitas
hingga 15‰.
Menurut Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi
kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada perairan yang
bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput,
cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.
6. BOT (Bahan Organik Total)
Bahan organik pada sedimen merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan
dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan (Soepardi, 1986).
Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit
dibandingkan jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki
kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis
sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik.
Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik
total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68-17ppm
(Soepardi, 1989 dalam Ukkas, 2009).
D. Definisi, Ciri dan Fungsi Ekosistem Mangrove
Hutan bakau (mangrove) adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh di perairan asin (Nybakken, 1992).
Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2000), adalah :
23
1. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
2. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir.
3. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
5. Air bersalinitas payau (2–22 permil) hingga asin mencapai 38 permil.
6. Ditemukan banyak di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
daerah pantai yang terlindung.
Fungsi dan manfaat hutan mangrove mangrove menurut Bengen (2004), adalah :
1. peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan penangkap sedimen.
2. Penghasil sejumlah besar dentritus dari daun dan dahan pohon mangrove.
3. Daerah asuhan (nursery grounds) daerah mencari makanan (feeding
grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan,
udang dan biota laut lainnya.
4. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan
bahan baku kertas (pulp).
5. Pemasok larva ikan, udang, dan biota lainnya.
6. Sebagai tempat pariwisata.
E. Penyebaran Mangrove
Hutan mangrove tumbuh di bagian hutan tropis dunia, terbentang dari Utara
ke Selatan, dari Florida (Amerika Serikat) di bagian utara turun ke pantai Argentina
24
di Amerika Selatan. Hutan mangrove juga terdapat di sepanjang barat dan timur
pantai Afrika dan terpencar sampai ke anak benua India hingga Ryuky di Jepang.
Lebih jauh ke selatan, hutan mangrove terdapat di New Zaeland dan membentuk
kawasan Indo-Malaya (Arief, 2003).
Di Indonesia, perkembangan hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang
terlindung dan di muara-muara sungai. Hutan mangrove tumbuh hampir di seluruh
provinsi di Indonesia, dengan luas kawasan yang berbeda. Wilayah hutan mangrove
yang paling luas terdapat di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Riau
dan Maluku. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan
sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau-pulau besar
Indonesia (FAO, 1982). Namun hasil survei terakhir pada tahun 1995 menyatakan
bahwa luas hutan mangrove di Indonesia hanya tersisa 2,06 juta hektar (Susilo,
1995).
Whitten dkk (1987), menyatakan bahwa di hutan mangrove pulau Sulawesi
hanya dijumpai 19 jenis pohon utama. Jenis-jenis tersebut adalah Avicennia alba,
Avicennia marina, Avicennia officinalis, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa,
Excoecaria agallocha, Xylocarpus moluccensis, Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza,
Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Sonneratia alba,
Sonneratia caseolaris dan Sonneratia ovata.
F. Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove
Mangrove meliputi pepohonan dan semak dengan 12 genera tumbuhan
berbunga dari 8 family yang berbeda. Genera penting atau dominan adalah
Rhizophora, avicennia, Bruguiera dan Sonneratia. Mangrove mempunyai sejumlah
25
bentuk khusus yang memungkinkannya untuk hidup di perairan lautan yang dangkal
yaitu berakar pendek, meyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya
yang khas tumbuh dari batang atau dahan (Nybakken,1992).
Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh
beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di
pantai terbuka, pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis (pionir)
umumnya adalah api-api (Avicennia) dan pedada (Sonneratia). Api-api cenderung
hidup pada tanah yang berpasir agak keras sedangkan pedada pada tanah yang
berlumpur lembut (Nontji, 2007). Hewan-hewan yang hidup di ekosistem mangrove
berasal dari darat, laut dan air tawar (Romimohtarto, 2001).
Kebiasaan meliang banyak terdapat pada hewan mangrove. Liang-liang itu
digunakan untuk tempat hidup, makan, bernapas, sembunyi dan berbiak. Beberapa
hewan mangrove beradaptasi hidup melekat pada akar mangrove. Tiram mangrove
biasa menempel pada akar Rhizophora, biasanya bersama komunitas kecil yang
terdiri dari keong, kerang, kepiting, udang, teritip, Isopoda, Amphipoda, cacing dan
ikan (Romimohtarto, 2001).
G. Definisi dan Fungsi Mangrove Silvofishery
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian
kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan
26
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.
Mangrove silvofishery ditanam di sepanjang tambak dengan jarak tanam 1 meter
antara satu pohon dengan pohon yang lain. Mangrove yang digunakan pada sistem
silvofishery ini adalah Avicennia dan Rhizophora.
Gambar 1. Tata letak tambak silvofishery komplangan (Saparinto, 2007).
Manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery pada tambak
budidaya (Sualia. dkk, 2010) adalah :
peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan
pendapatan petani ikan.
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat, sehingga pemukiman dan
sumber air tawar dapat dipertahankan.
Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung
program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan
mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari
kecenderungan naiknya muka air laut.
Dengan model sistem silvofishery, aspek ekonomi masyarakat dapat
terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan dan udang dalam tambak, sedangkan aspek
perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakau-
bakau di pematang tambak dan bagian luar dari tambak. Kegiatan penanaman
bakau dan pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat tanpa
bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry
tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut.
H. Hubungan Antara Mangrove dan Makrozoobenthos
27
Benthos relatif hidup menetap, sehingga baik untuk digunakan sebagai
petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke
habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu (Rosenberg, 1993).
Keberadaan hewan benthos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang
berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber
makanan bagi hewan benthos. Faktor abiotik, faktor fisika-kimia air yang meliputi:
suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen terlarut (BOT) dan tipe substrat
dasar (Allard dan Moreau, 1987).
Penggunaan makrozoobenthos sebagai indikator kualitas perairan
dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan,
pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi
organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator
kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
29
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012, sampling benthos
dilaksanakan di dalam tambak Desa Mappakalompo dan di daerah estuaria
Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar (Gambar
2). Identifikasi sampel dan analisa sedimen serta pengukuran DO dilakukan di
Laboratorium Biologi Laut, Geomorfologi dan Manajemen Pantai (GMP) serta
Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System
(GPS) untuk mengetahui titik posisi stasiun pengamatan, plot kuadran untuk batas
daerah pengambilan sampel, rol meter untuk mengukur luasan ekosistem dan jarak
stasiun, ayakan benthos 1 mm untuk memisahkan sedimen dengan benthos, sabak
30
dan pensil untuk mencatat hasil pengamatan, Botol terang untuk menyimpan air
untuk dititrasi, pH meter untuk mengukur pH perairan, salinometer untuk mengukur
salinitas perairan, termometer untuk mengukur suhu perairan, lup (kaca pembesar)
untuk mempermudah mengidentifikasi benthos, coolbox untuk menyimpan sampel,
sekop untuk sampling sampel sedimen dan makrozoobenthos serta Kamera sebagai
alat dokumentasi kegiatan.
Alat-alat yang digunakan di laboratorium meliputi oven untuk mengeringkan
sampel sedimen, sieve net untuk menentukan besar butiran sedimen, desikator
untuk mendinginkan sampel sedimen setelah hasil proses BOT, cawan porselen dan
cawan petri sebagai wadah sampel sedimen, buret asam, gelas ukurur, enlemeyer
untuk mentitrasi air menjadi nilai DO.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kantong sampel untuk menyimpan
sampel makrozoobenthos dan sedimen, kertas Label (spidol permanen) untuk
menandai sampel pada kantong sampel, alkohol 70% untuk mengawetkan sampel
makrozoobenthos, dan buku identifikasi untuk mengidentifikasi sampel seperti: Siput
dan Kerang Indonesia Jilid I dan II serta Conchology, Ind
(http://www.conchology.be).
C. Prosedur Penelitian
1. Tahapan persiapan
Pengambilan data lengkap di lapangan dilakukan pada hari minggu tanggal
13 Januari 2013. Perlokasi titik stasiun ditentukan dengan Global Positioning System
(GPS) mengacu pada Peta RBI skala 1:50.000 lembar 2010-52 (Bakosurtanal,
1991).
31
Gambar 3. Peta titik sampling pada lokasi penelitian
Berdasarkan kondisi lingkungan ditetapkan dua stasiun dan tiap stasiun terdiri atas
tiga sub stasiun.
A. Stasiun I : Tambak (mangrove silvofishery) terdiri atas tiga sub stasiun dengan
lima ulangan. Pada Stasiun I daerah silvofishery dipilih dua petakan (plot)
tambak. Plot satu dan plot dua berada di dalam satu petakan tambak dan plot ke
tiga pada petakan tambak lainnya.
Sub stasiun (plot) I : mewakili vegetasi mangrove bagian pinggir mangrove
silvofishery (dalam tambak) dekat mangrove alami.
Sub stasiun (plot) II : mewakili vegetasi mangrove lajur tambak bagian dalam.
Sub stasiun (plot) III : mewakili vegetasi mangrove petakan tambak lainnya.
B. Stasiun II : Muara Sungai (mangrove alami) terdiri atas tiga sub stasiun dengan
lima ulangan.
Sub stasiun I : mewakili vegetasi mangrove bagian dalam muara (ke arah hulu)
Sungai Saro’.
32
Sub stasiun II : mewakili vegetasi mangrove bagian tengah muara sungai
Saro’.
Sub stasiun III: mewakili vegetasi mangrove yang berbatasan dengan laut.
2. Tahap Pengambilan Data
a. Sampling Mangrove
Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan
yang berada dalam masing-masing plot dan menghitung lingkar batang pohon
mangrove pada ketinggian dada orang dewasa (±1,3 m) dengan menggunakan
meteran.
b. Sampling Makrozoobenthos
Untuk masing-masing sub stasiun (plot) dilakukan lima ulangan kuadran 1m
x 1m dengan kedalaman 20 cm untuk menghitung keragaman dan dominansi
benthos. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan menggunakan
ayakan benthos dengan lubang berdiameter 1 mm. Makrozoobenthos yang tersaring
diambil dan dimasukkan ke dalam kantong sampel atau botol dan diberi fixative atau
pengawet (alkohol 70 %). Sampel kemudian diidentifikasi dengan bantuan lup dan
buku identifikasi makrozoobenthos di Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Identifikasi jenis-jenis makrozoobenthos berdasarkan petunjuk Dharma (1988) dan
Conchology, Ind (http://www.conchology.be).
c. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan sebagai data penunjang adalah suhu
perairan yang langsung diukur di setiap stasiun dengan menggunakan thermometer,
salinitas diukur dengan menggunakan salinometer pengukuran salinitas dilakukan
33
langsung di lapangan, pengukuran DO dititrasi langsung di lapangan dan pH air
(universal indicator pH). Pengukuran parameter lingkungan ini dilakukan bersamaan
dengan pengambilan sampel makrozoobenthos. Sampel sedimen diambil dengan
menggunakan sekop selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk
dilakukan pemilahan partikel sedimen dan pengukuran kandungan BOT sedimen di
labolatorium. Untuk pengukuran pH sedimen menggunakan pH meter dilakukan
langsung di lapangan dengan menancapkan pH meter kedalam kantong sampel
yang berisi sedimen.
3. Tahap Analisis Laboratorium
a. Kandungan Bahan Organik Sedimen
Adapun prosedur kerja dari kandungan bahan organik dari sedimen sebagai
berikut:
1. Menimbang berat cawan petri.
2. Menimbang berat sampel sedimen yeng telah dikeringkan untuk
menghilangkan air sebanyak kurang lebih 5 gram dan mencatatnya (cawan
petri + sampel kurang lebih 5 gram) sebagai berat awal.
3. Membakar dengan tanur pada suhu 600o C selama kurang lebih 3 jam.
4. Setelah mencapai 3 jam keluarkan dari tanur dan dinginkan dengan
menggunakan desikator.
5. Menimbang kembali sampel (cawan petri + sampel terbakar) yang sudah
dipanaskan sebagai berat akhir.
kandungan bahan organik :
Berat BOT = (BCK + BS) – BSP)
34
% Bahan Organik = ( )
Dimana : BCK = Berat Cawan Kosong ( gram)
BS = Berat Sampel ( gram)
BSP = Berat Setelah Pijar ( gram)
b. Ukuran Butir Sedimen
Analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode Wentworth. Metode ini
dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butir sedimen untuk mengetahui
dominansi jenis sedimen pada daerah penelitian.
Tabel 2. Ukuran partikel sedimen menurut standar Wenworth
Keterangan Ukuran (mm)
Kerikil Besar (boulder) >256
Kerikil Kecil(Gravel) 2 – 256
Pasir Sangat Kasar (Very coarse sand) 1 – 2
Pasir Kasar (Coarse sand) 0,5 – 1
Pasir Sedang (Medium sand) 0,25 – 0,5
Pasir Halus (Fine sand) 0,125 – 0,25
Pasir Sangat Halus (very fine sand) 0,0625 – 0,125
Lanau/Debu (silt) 0,002 - 0,0625
Lempung (clay) 0,0005 – 0,002
% Berat sedimen = 𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥× 𝟏𝟎𝟎
35
Material terlarut <0,0005
Sumber : Pengantar Oseanografi Hutabarat S dan M. Evans S (1985)
c. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen Terlarut (DO) merupakan jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut
dalam air. Penentuan oksigen secara titrimetri dilakukan menurut metode standar
Winkler sebagai berikut:
1. Pindahkan air sampel kedalam botol terang sampai meluap (jangan sampai
terdapat gelembung udara dalam botol), tutup kembali.
2. Tambahkan 2 ml Mangan Sulfat (MnSO4) dan 2 ml NaOH-KI. Penambahan
reagen-reagen ini juga dengan memasukkan pipet kedalam permukaan air dalam
botol. Tutup dengan hati-hati dan aduk dengan membolak-balik botol sampai 8
kali. Biarkan beberapa saat hingga endapan yang ada terbentuk dengan
sempurna.
3. Tambahkan 2 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati (gunakan ruang asam), aduk
dengan cara yang sama hingga semua endapan larut. Lalu, ambil 100 ml air dari
botol terang dengan menggunakan gelas ukur, masukkan dalam Erlenmeyer,
usahakan jangan sampai terjuadi aerosi.
4. Titrasi dengan Na-Thiosulfat 0,025 N hingga terjadi perubahan warna dari kuning
tua menjadi kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum hingga
berbentuk warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-Thiosulfat hingga tidak
berwarna (bening).
Penentuan nilai DO dengan menggunakan persamaan berikut :
Oksigen Terlarut dalam mg/L =
1000 x A x N x 8
Vc x Vb (Vb-6)
36
Dimana :
A = mL larutan baku natrium tiosulfat yang digunakan
Vc = mL larutan yang dititrasi
N = Kenormalan larutan natrium tiosulfat
Vb = Volume botol
4). Analisis Data
A. Makrozoobenthos
1. Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
Kelimpahan makrozoobenthos dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan luas
(ind/m2), dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Wibisono 2005) :
Dimana :
Y = Indeks kelimpahan jenis (Jumlah Individu) (ind/m2)
a = Jumlah makrozoobenthos yang tersaring (ind)
b = Luasan plot x Jumlah Ulangan
10.000 = Nilai Konversi dari cm² ke m²
2. Kelimpahan Relatif
Kelimpahan relatif dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (Odum, 1993)
Dimana :
R = Kelimpahan relatif
a Y = χ 10.000 b
37
ni = Jumlah individu setiap jenis (ekor)
N = Jumlah seluruh individu
3. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (Odum,1993)
Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu jenis
N = Jumlah total individu
4. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evennes-Indeks (Odum,
1993).
Dimana : E = Indeks keseragaman jenis
H’= Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis organisme
5. Indeks dominansi (C)
Indeks domonansi dihitung dengan rumus Dominance of Simpson (Odum, 1993).
Dimana : C = Indeks dominansi
38
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah total individu
B. Analisis data mangrove
1. Kerapatan Jenis (Di)
Kerapatan Jenis i (Di) adalah Jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area, yang
perhitungannya menurut oleh Bengen (2000).
Dimana :
Di = Kerapatan Jenis
ni = Jumlah total tegakan jenis i
A = Luas total areal pengambilan data
2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi)
Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni)
dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Ʃn), dengan rumus (Bengen, 2000).
Dimana : Di = Kerapatan Relatif
ni = Jumlah total tegakan jenis i
∑ = Jumlah total tegakan seluruh jenis
3. Frekuensi jenis (Fi)
𝐷𝑖 =𝑛𝑖
𝐴
𝑅𝐷𝑖 =𝑛𝑖
∑𝑛 𝑥
39
Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati
(bengen, 2000).
Dimana : Fi = Frekuensi jenis i
Pi = Jumlah plot yang ditemukan jenis i
∑ = Jumlah plot yang diamati
4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi)
Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan
jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ƩF) dengan rumus (Bengen, 2000).
Dimana : RFi = Frekuensi relatif jenis i
Fi = Frekuensi jenis i
∑ = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
5. Penutupan Jenis (Ci)
=∑
=
=
Dimana : Ci = Penutupan jenis
DBH = Diameter pohon jenis i
= 3,14
𝐹𝑖 =𝑃𝑖
∑𝑃
𝑅𝐹𝑖 =𝐹𝑖
∑𝐹 𝑥
40
A = Luas total area pengambilan contoh
CBH = Lingkaran pohon setinggi dada (130 cm)
Keliling = 2 r
BA = Basak Area
Penutupan Relatif Jenis (RCi)
=
∑
Dimana : RCi = Penutupan relatif Jenis
Ci = Luas area penutupan jenis i
∑ = Luas total area untuk seluruh jenis i
C. Hubungan antara Struktur Komunitas dan Karakteristik Habitat
Dalam mengkaji hubungan makrozoobenthos di kedua ekosistem dengan
mewakili jenis kelimpahan makrozobenthos di ekosistem mangrove silvofishery dan
mangrove alami dengan menggunakan uji statistik One-way ANOVA.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Ekowisata Pantai Boe merupakan wilayah Desa Mappakalompo
Kecamatan Galesong kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten Takalar
adalah salah satu kabupaten dalam wilayah propinsi Sulawesi Selaptan yang
memiliki luas 566,51 km2 dan berada pada posisi 5,300-5,380 LS dan 119,220-
41
199,390BT. Kabupaten Takalar berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten
Gowa pada sebelah Utara, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa sebelah
Timur, Laut Flores pada sebelah Selatan dan Selat Makassar pada sebelah Barat.
Di Kabupaten Takalar terdapat banyak wilayah pantai yang dimanfaatkan sebagai
objek ekowisata pantai, baik pada lahan di belakang garis pantai maupun pada
perairan pantai depan garis pantai.
Pantai Boe di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten
Takalar merupakan salah satu bagian dari wilayah pesisir Kabupaten Takalar yang
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata pantai.
Lahan di belakang pantai berupa empang dan kebun campuran. Dari hasil
pengukuran diketahui bahwa luas empang yaitu ±2 ha dan luas kebun campuran
yaitu ±1 ha.
Mangrove yang berada di dalam empang terdiri atas dua jenis yaitu
Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa yang ditanam petani tambak,
sedangkan di ekosistem mangrove alami terdapat empat jenis mangrove yaitu
Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata.
Mangrove tersebut ditanam di sekitar pematang dan di tengah-tengah tambak.
Tujuan penanaman mangrove di sekitar pinggir tambak dengan tujuan untuk
memperkuat struktur pematang dari tambak itu sendiri. Sedangkan mangrove yang
ditanam dengan rapi di tengah tambak bertujuan untuk mengembalikan kesuburan
tanah pada tambak dan sebagai daerah tempat ikan berlindung, mencari makan
(feeding ground), mengasuh dan membesarkan (nursery ground) dan sebagai
tempat untuk bertelur (spawning ground).
Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan
bandeng (Chanos chanos). Empang tersebut masih mendapat pengaruh air tawar
42
dari sungai Saro’ yang bermuara di sebelah Selatan pantai Boe. Namun tidak semua
empang dapat dimanfaatkan oleh karena pada musim kemarau sistem drainase
kurang baik karena suplai air laut tidak begitu banyak yang masuk ke lahan tambak
sehingga hanya beberapa lahan tambak saja yang cukup tergenang oleh air dan
dapat dimanfaatkan. Empang lainnya yang berada di depan kebun campuran
ukurannya juga cukup luas. Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat untuk kegiatan perikanan tambak seperti budidaya ikan dan udang.
B. Kondisi Lingkungan
Ekosistem mangrove di silvofishery merupakan mangrove yang terkontrol
karena mangrove di ekosistem silvofishery ditanam dengan sengaja oleh petani
tambak.Sedangkan pada ekosistem mangrove alami, mangrove tumbuh secara
alami tanpa ada campur tangan petani tambak. Mangrove alami terjadi pergantian
(siklus) air.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan keanekaragaman
jenis makrozoobenthos dan pertumbuhan ekosistem mangrove. Dalam suatu
ekosistem tentunya terdapat berbagai parameter lingkungan yang menentukan
karakteristik dari ekosistem tersebut. Hasil pengukuran parameter lingkungan yang
dijadikan sebagai faktor pendukung setiap stasiun penelitian pada mangrove
silvofishery dan mangrove alami adalah antara lain.
Tabel 3. Data hasil pengukuran parameter lingkungan pada setiap stasiun pengamatan
Stasiun Plot Suhu (o C)
Salinitas (‰)
pH air
pH Sedimen
DO (mg/l)
BOT (%)
Mangrove I-1 31 20 7 5,9 5,28 68,89
Silvofishery I-2 30 20 7 5,9 5,12 43,02
I-3 31 18 7 6,1 4,8 56,06
Mangrove II-1 29 26 8 5,6 6,24 47,23
Alami II-2 29 27 8 5.8 5,28 22,04
43
II-3 30 27 7 5,8 6,4 35,62
1. Suhu
Suhu dapat membatasi sebaran hewan-hewan bentik secara geografis.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme dipengaruhi oleh suhu, sehingga
kehidupan organisme dasar perairan secara langsung maupun tidak langsung.
Kisaran suhu yang didapatkan di semua stasiun penelitian (29–310 C)
umumnya masih bisa ditolerir oleh tumbuhan mangrove dan makrozoobenthos di ke
dua stasiun penelitian yaitu mangrove silvofishery dan mangrove alami. Pada
mangrove silvofishery suhu perairannya lebih tinggi karena, mangrove silvofishery
(dalam tambak) statis dan tidak dipengaruhi oleh suplai air dari luar sedangkan suhu
mangrove alami lebih rendah karena adanya pergantian perairan dari aliran sungai
saro’.
Sukarno (1988), menyatakan bahwa suhu 25–36o C adalah nilai kisaran
yang dapat ditolerir oleh makrozoobenthos, khususnya di ekosistem mangrove.
2. Salinitas
Kisaran salinitas yang terukur ini masih sesuai untuk pertumbuhan
mangrove. Secara umum kisaran salinitas yang didapatkan di lokasi penelitian untuk
setiap stasiun penelitian cukup bervariasi dengan kisaran nilai antara 18–27 ‰
(Tabel 3).
Hal ini dipengaruhi oleh posisi sampling yang terletak di muara Sungai
Saro’ Salinitas perairan ini berubah-ubah sesuai dengan pola pasang surut yang
terjadi dan mewakili vegetasi mangrove yang berbatasan dengan pintu air dari
tambak.Kisaran salinitas ini masih dianggap layak untuk kehidupan
makrozoobenthos yang berkisar 15–45 ‰ (Mudjiman, 1981).
3. pH Air
44
Hasil pengukuran pH air di semua stasiun penelitian menunjukkan kisaran
nilai 7–8. Pada mangrove silvofishery pH lebih rendah karena, mangrove silvofishery
termasuk perairan payau, sedangkan pH mangrove alami lebih tinggi karena
mendapat suplai air laut. pH air pada hibah penelitian Ukkas (2009), antara 7,5–8.
Berdasarkan nilai pH ini, maka perairan di Kawasan Ekowisata Pantai Boe yaitu
mangrove silvofishery (mangrove dalam tambak) dan mangrove alami di tepi Sungai
Saro’ dapat dikatakan perairan yang produktif.
Kisaran nilai pH di setiap titik penelitian cukup baik untuk kehidupan
makrozoobenthos, sesuai pernyataan Effendi (2003), bahwa sebagian besar biotik
aquatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7,0–8,5.
4. pH Tanah
pH tanah yang terukur memiliki kisaran antara 5,6–6,1. Kisaran pH tanah
tertinggi terukur pada stasiun I plot III (6,1). Menurut Hardjowigeno (2003), tanah
dengan pH 6,0–7,0 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak
asam tetapi masih dapat ditoleril atau masih cukup baik untuk perkembangan
makrozoobenthos. pH tanah pada setiap stasiun termasuk dalam kategori asam
karena besaran nilai pHnya ± 6,0.
Menurut Arief (2003), pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan
salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos
berbagai jenis makrozoobenthos pada umumnya sangat peka terhadap keasaman
tinggi.
5. Substrat/Sedimen
Hasil pemilahan partikel sedimen menunjukkan bahwa daerah silvofishery
dan daerah mangrove alami didominasi partikel sedimen pasir sedang (Tabel 4).
45
Tabel 4. Persentase hasil pemilahan ukuran butir sedimen pada setiap stasiun penelitian.
Ekositem Stasiun % Komponen Q2 Jenis
2 – 1 0,5 – 0,25 0,125 – 0,063 < 0,063 (mm) Sedimen
Mangrove Plot I 9,021 34,026 55,238 0,945 0,23 Pasir Halus
Silvofishery Plot II 11,792 26,666 58,034 0,727 0,22 Pasir Halus
Plot III 6,614 32,966 59,342 1,042 0,22 Pasir Halus
Mangrove Plot I 15,389 31,629 52,373 0,624 0,21 Pasir Halus
Alami Plot II 20,015 29,612 48,199 0,796 0,25 Pasir Sedang
Plot III 31,301 31,886 33,056 2,071 0,4 Pasir Sedang
Jenis sedimen pada mangrove silvofishery termasuk dalam kategori pasir
halus, hal ini disebabkan oleh tidak adanya pengaruh gelombang, pasang surut dan
arus yang dapat mempengaruhi proses terjadinya sedimentasi, dengan kata lain
ekosistem mangrove silvofishery sebagai siklus air tertutup. Sedangkan pada
mangrove alami termasuk pasir sedang karena terjadi pengaruh langsung dari arus
dan gelombang air laut.
Makrozoobenthos hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur di bawah
mangrove. Fraksi pasir mengakibatkan terjadinya penekanan kepadatan
makrozoobenthos di hutan mangrove. Pasir dibutuhkan dalam kehidupan
makrozoobenthos, yakni untuk memperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika
benthos menyusup ke dalam substrat ataupun tempat beristirahat (Arief, 2003).
Menurut Bengen (2004), bakau (Rhizophora) dapat tumbuh dengan baik
pada tanah yang berlumpur dan dapat mentolerir tanah lumpur berpasir.
6. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) Sedimen
Ekosistem mangrove selain ditinjau oleh adanya endapan lumpur, dan
kehidupan dari tegakan-tegakan mangrove juga ditinjau oleh proses dekomposisi
sisa-sisa bagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang) jadi bahan
organik. Hasil analisis kandungan bahan organik yang berasal dari sedimen di
46
kawasan mangrove silvofishery berkisar antara 43,02–68,89% dan pada ekosistem
mangrove alami 22,04–47,23% (Tabel 3).
Pada mangrove silvofishery BOT sedimen lebih tinggi karena, pada
mangrove silvofishery kerapatan mangrove lebih tinggi dan ekosistem mangrove
silvofishery (mangrove dalam tambak) merupakan siklus air tertutup sedangkan
pada mangrove alami kerapatan mangrovenya lebih rendah tetapi jenisnya lebih
beragam. Sehubung dengan penelitian Nur (2002), produksi serasah hutan
mangrove tergolong rendah hal ini dipengaruhi oleh luas empang, fenomena ini
disebabkan oleh iklim dan kondisi vegetasi mangrove yang ada.
Kandungan bahan organik dipengaruhi oleh jenis sedimen pada masing-
masing stasiun. Kemampuan pasir halus dalam penyerapan unsur hara tergolong
tinggi.Semakin kecil ukuran butiran sedimen semakin besar kemampuan menyimpan
bahan organik (Soepardi, 1986). Menurut Arief (2003), partikel-partikel ini banyak
mengandung bahan organik hasil dekomposisi serasah mangrove.
7. Oksigen Terlarut (DO)
DO yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berada pada kisaran
4,80–5,28 mg/l pada daerah mangrove silvofishery dan pada daerah mangrove
alami nilai DO berkisar antara 5,28–6,40 mg/l. Nilai DO tersebut masih dalam kondisi
normal untuk menunjang kehidupan makrozoobenthos. Dowing (1984) dalam
Sudarja (1987), mengatakan bahwa kadar DO yang dibutuhkan oleh
makrozoobenthos berkisar 1,00–3,00 mg/l. Semakin besar kadar DO dalam suatu
ekosistem, maka semakin baik pula kehidupan makrozoobenthos yang
mendiaminya. Kadar DO untuk tiap stasiun relatif sama karena tidak terdapat
perbedaan yang signifikan di tiap stasiun pengamatan (Tabel 3).
47
C. Kondisi Ekosistem Mangrove
Mangrove siilvofishery yang ditanam di dalam tambak telah membentuk
vegetasi mangrove sebagai satu habitat.Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
mangrove yang tumbuh di Kawasan Ekowisata Pantai Boe terdiri atas dua jenis yaitu
Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa yang merupakan hasil penanaman
oleh petani tambak. Di ekosistem mangrove alami terdapat beberapa jenis
mangrove yaitu Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora
mucronata (Tabel 5).
Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan di setiap stasiun penelitian
No Species
Mangrove Silvofishery
Mangrove Alami
Plot I Plot II
Plot III
Plot I Plot II
Plot III
1 Avicennia sp. √ √ √
2 Bruguiera sp.
√
3 Rhizophora mucronata √ √ √ √
4 Rhizophorastylosa √ √
√
1. Kerapatan jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami
Kerapatan jenis pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan ketersediaan unsur hara yang terbatas
disebabkan oleh kerapatan tegakan pohon mangrove. Kerapatan jenis masing-
masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada gambar 5.
48
Gambar 4. Kerapatan jenis ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami (ind/m²).
Antara pohon satu dengan pohon mangrove lainnyauntuk mangrove
silvofishery tidak memiliki jarak (Gambar 5). Kerapatan jenis mangrove silvofishery
dan mangrove alami sangat jauh berbeda, pada ekosistem mangrove silvofishery
sangat padat karena ditanam dengan sengaja. Rendahnya kerapatan jenis
mangrove pada ekosistem mangrove alami dapat dipengaruhi oleh pasang surut
karena mangrove alami berbatasan dengan laut dan kurangnya pemeliharaan
terhadap pohon mangrove.
2. Frekuensi Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami
Gambar 5. Frekuensi jenis ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.
1,25 1,40
1,27
0,20 0,24 0,22
0
0,5
1
1,5
Plot I plot II Plot III Plot I Plot II Plot III
Kerapatan Jenis (ind/m²)
Mangrove Silvofishery Mangrove Alami
4,17 4,67
4,23
0,67 0,8 0,73
Plot I plot II Plot III Plot I Plot II Plot III
Fre
kue
nsi
Je
nis
(in
d/m
²)
Mangrove Silvofishery Mangrove Alami
49
Frekuensi jenis mangrove dapat menentukan peluang ditemukannya jenis
mangrove dalam plot yang diamati. Frekuensi jenis pada ekosistem mangrove
silvofishery dan mangrove alami memiliki nilai yang hampir sama (Gambar 6). Jenis
mangrove yang paling sering ditemukan dikedua ekosistem adalah jenis mangrove
Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa.
E. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos
1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Struktur komunitas makrozobenthos terdiri dari komposisi jenis, kelimpahan
jenis dan kelimpahan relatif jenis.
a. Komposisi Jenis Makrozoobenthos
Ditemukan 16 jenis makrozoobenthos di dua ekosistem hasil penelitian, tujuh
jenis diantaranya dari class Gastropoda, tujuh jenis dari class Bivalvia, satu jenis dari
class Maxillopoda, dan satu jenis dari class Crustacea dengan total jumlah individu
sebanyak 1949 individu (Gambar 7).
Gambar 6. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.
Gastropoda 43,75%
Bivalvia 43,75%
Maxillopoda 6,25%
Crustacea 6,25%
Komposisi Makrozoobenthos Berdasarkan Jumlah Jenis
50
Gastropoda 40%
Bivalvia 46,67%
Maxillopoda 6,67%
Crustacea 6,67%
Mangrove Alami
Gastropoda 60%
Bivalvia 20%
Maxillopoda 20%
Mangrove Silvofishery
Komposisi jenis yang ditemukan berdasarkan jumlah jenis pada masing-
masing ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami menunjukkan, bahwa
ekosistem yang memiliki jumlah jenis yang tertinggi terdapat pada mangrove alami
dengan 15 jenis terdiri dari enam dari class Gastropoda, tujuh dari class Bivalvia,
satu jenis dari class Maxillopoda dan satu jenis dari class Crustacea. Pada
mangrove silvofishery denganlima jenisterdiri dari tiga jenis class gastropoda, satu
jenis dari class Bivalvia dan satu jenis dari class Maxillopoda.
Ekosistem mangrove silvofishery umumnya didominasi oleh class gastropoda
sedangkan untuk ekosistem mangrove alami didominasi dari class Bivalvia (Gambar
8, Lampiran 6).
Gambar 7. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan jumlah jenis.
Tabel 6. Komposisi jenis makrozoobenthos pada tiap stasiun berdasarkan jumlah individu
No Class
Mangrove Silvofishery Mangrove Alami
Plot I Plot II Plot III Plot I Plot II Plot III
JL % JL % JL % JL % JL % JL %
1 Gastropoda 355 98,89 408 100,00 443 98,01 200 97,56 136 88,89 363 97,58
2 Bivalvia 0 0,00 0 0,00 6 1,33 4 1,95 14 9,15 6 1,61
3 Maxillopoda 4 1,11 0 0,00 3 0,66 1 0,49 2 1,31 3 0,81
4 Crustacea 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 0,65 0 0,00
Total 359 100 408 100 452 100 205 100 153 100 372 100
51
Komposisi jenis makrooobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan
mangrove alami didominasi olehclass gastropoda (Tabel 6). Gastropoda mempunyai
cangkang kedap air yang berfungsi sebagai pembatas, sehingga saat surut
gastropoda menutup rapat cangkang dengan operkulum. Selain itu, class
gastropoda juga memakan mikroorganisme atau bahan organik tanah, serta naik
keatas pohon mangrove untuk mendapatkan makanan seperti jenis Uca sp., Clithon
oualaniensi dan Terebralia sulcata. Menurut Arief (2003), Pada bivalvia Jika diamati,
cangkangnya terbagi dalam dua belahan yang diikat oleh ligamen sebagai pengikat
yang kuat dan elastis. Ligamen ini biasanya selalu terbuka, apabila diganggu maka
akan menutup.
b. Kelimpahan Rata-rata Makrozoobenthos
Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan
mangrove alami kawasan Ekowisata Pantai Boe berkisar antara 107–1020 ind/m2
(Gambar 9). Nilai kelimpahan cukup bervariasi, kelimpahan rata-rata individu yang
diperoleh pada mangrove silvofishery lebih tinggi dibandingkan kelimpahan di
ekosistem mangrove alami.
0
200
400
600
800
1000
1200
I II III
Ke
limp
ahan
(In
d/m
²)
M. Silvofishery M. Alami
52
Gambar 8. Kelimpahan rata-rata individu makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami. Kelimpahan tertinggi terdapat pada ekosistem mangrove silvofishery yaitu
plot II 1020 ind/m² tingginya kelimpahan makrozoobenthos stasiun I plot II
(mangrove silvofishery) didukung oleh tingginya BOT sedimen yang berasal dari
serasah pohon mangrove dalam tambak. Sedangkan kelimpahan rata-rata terendah
terdapat pada ekosistem mangrove alami stasiun II plot II 107 ind/m² rendahnya
kelimpahan makrozoobenthos pada daerah mangrove alami kemungkinan
dikarenakan pencemaran perairan di pinggir sungai saro’ yang disebabkan oleh
aktifitas pekerja kapal. Nelayan menggunakannya sebagai tempat persinggahan
kapal untuk melakukan aktifitas seperti mengecat dan memperbaiki kapal.
Penyebab lainnya, rendahnya jumlah kelimpahan makrozoobenthos pada
mangrove alami dikarenakan fator manusia, yaitu seringnya masyarakatan sekitar
mengambil makrozoobenthos khususnya pada jenis kerang-kerangan untuk
dikonsumsi.
Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai f hitungnya sebesar 9,202 dengan
nilai signifikan sebesar 0,039 (p<0,05), berarti terdapat perbedaan yang signifikan
antar mangrove silvofishery dan mangrove alami dalam hal jumlah jenis
makrozoobenthos. Hal ini disebabkan oleh jumlah jenis mangrove pada ekosistem
mangrove silvofishery sangat rendah, karena ekosistem ini kurang menarik untuk
habitat makrozooebnthos.
c. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos
Kelimpahan relatif setiap species pada ekosistem mangrove silvofishery
dan mangrove alami dengan nilai tertinggi terdapat pada mangrove silvofishery
(dalam tambak) yaitu class gastropoda dengan jenis Cerithidea cingulata 95,0779%
53
dan makrozoobenthos yang kelimpahan relatifnya rendah ditemukan pada mangrove
alami dengan jenis-jenis Littoraria articulate 0,1370%, Semipallium luculentum
0,1370%, dan Uca sp. 0,1370% (Tabel 7).
Tabel 7. Kelimpahan relatif makrozoobenthos
Stasiun Class Nama Species Jumlah
Individu (ni) ni/N %
M. Silvofishery
Gastropoda
Clithon oulaniensis 20 0,016407 1,6407
Cerithidea cingulata 1159 0,950779 95,0779
Terebralia sulcata 27 0,022149 2,2149
Bivalvia Saccostrea cucullata 6 0,004922 0,4922
Maxillopoda Balanus sp. 7 0,005742 0,5742
Total 1219 1
M. Alami
Gastropoda
Clithon oulaniensis 8 0,010959 1,0959
Cerithidea cingulata 632 0,865753 86,5753
Terebralia palustris 2 0,002740 0,2740
Melanoides torulosa 3 0,004110 0,4110
Litoraria articulate 1 0,001370 0,1370
Faunus ater 53 0,072603 7,2603
Bivalvia
Saccostrea cucullata 1 0,001370 0,1370
Placuna ephippium 5 0,006849 0,6849
Semipallium luculentum 1 0,001370 0,1370
Anadara granosa 2 0,002740 0,2740
Corbicula Javanica 2 0,002740 0,2740
Scapharca pilula 9 0,012329 1,2329
54
Vepricardium Sinense 4 0,005479 0,5479
Maxillopoda Balanus sp. 6 0,008219 0,8219
Crustacea Uca sp. 1 0,001370 0,1370
Total 730 1,000000
2. Indeks Ekologi Makrozoobenthos
Persentase analisis data terhadap indeks ekologi makrozoobenthos yang
ditemukan di Kawasan Ekowisata Pantai Boe berdasarkan jumlah individu.
Tabel 8. Nilai indeks ekologi makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery.
Stasiun Class Nama Species Jumlah Individu
(ni) H' E C
M. Silvofishery
Gastropoda
Clithon oulaniensis 20
0,25559601 0,15881073 0,90479831
Cerithidea cingulata 1159
Terebralia sulcata 27
Bivalvia Saccostrea cucullata 6
Maxillopoda Balanus sp. 7
Total
5 Jenis 1219
M. Alami
Gastropoda
Clithon oulaniensis 8
0,62820650 0,23197742 0,75526365
Cerithidea cingulata 632
Terebralia palustris 2
Melanoides torulosa 3
Litoraria articulata 1
Faunus ater 53
Bivalvia
Saccostrea cucullata 1
Placuna ephippium 5
Semipallium luculentum
1
Anadara granosa 2
Corbicula Javanica 2
Scapharca pilula 9
55
Vepricardium Sinense 4
Maxillopoda Balanus sp. 6
Crustacea Uca sp. 1
Total 15 Jenis 730
a. Indeks Keanekaragaman Makrozobenthos (H)
Indeks Keanekaragaman makrozoobenthos yang tertinggi terdapat di
ekosistem mangrove alami dengan total nilai 0,62820650. Kedua ekosistem ini tidak
masuk dalam kategori keanekaragaman karena Nilai indeks keanekaragaman ini
dipengaruhi oleh banyaknya jumlah jenis yang diperoleh di beberapa sampling. H' ≥
3,0 Tinggi. Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies/genera
tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairannya masih belum tercemar berat.
Menurut Odum (1993), keanekaragaman jenis bukan hanya sinonim dengan
banyaknya jenis, melainkan sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis
serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis.
b. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos (E)
Nilai indeks keseragaman makrozobenthos, mangrove alami memiliki nilai
yang paling tinggi yaitu 0,23197742. Mangrove alami memiliki indeks keseragaman
yang lebih baik dibandingkan dengan ekosistem mangrove silvofishery karena
jumlah individu dari tiap jenis makrozoobentos yang ditemukan lebih merata.
Secara umum, nilai indeks keseragamana makrozoobenthos pada Kawasan
Ekowisata Pantai Boe termasuk dalam kategori rendah 0,00< E < 0,50 komunitas
Tertekan, karena pada benthos jenis Cerithidea cingulata sangat melimpah. Hal ini
dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan organisme lain yang berada
dalam satu ekosistem. Menurut Odum (1993), keseragaman menunjukkan
komposisi individu dari setiap species dalam suatu komunitas.
56
c. Indeks Dominansi Makrozobenthos (C)
Indeks dominansi makrozoobenthos digunakakn untuk menghitung adanya
species tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobenthos. Untuk nilai
indeks dominasi makrozoobenthos, mangrove silvofishery memiliki nilai indeks
dominansi yaitu 0,90479831. Nilai indeks dominansi termasuk dalam kategori hampir
mendekati adanya dominansi 0,75< C < 1,00.
Cerithidea cingulata mendominansi species terhadap species lain di semua
stasiun penelitian. Hal ini disebabkan oleh, Cerithidea cingulata merupakan salah
satu benthos yang habitatnya di substrat berlumpur seperti substrat dalam tambak.
Adanya dominansi karena kondisi lingkungan yang sangat menguntungkan dalam
mendukung pertumbuhan spesies tertentu. Selain itu dominansi juga dapat terjadi
karena adanya perbedaan daya adaptasi tiap jenis species terhadap lingkungan.
Menurut Odum (1993), Nilai indeks dominani berkisar antara 1-0. Semakin
mendekati satu, maka semakin tinggi tingkat dominansi spesies tertentu, sebaliknya
bila nilai mendekati nol berarti tidak ada jenis yang mendominansi.
57
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Pada mangrove silvofishery terdapat lima jenis makrozoobenthos terdiri dari tiga
jenis class gastropoda, satu jenis dari class Bivalvia dan satu jenis dari class
Maxillopoda yang didominansi oleh class Gastropoda. Mangrove alami
menunjukkan memiliki jumlah jenis yang lebih tinggi yaitu 15 jenis terdiri dari
enam dari class Gastropoda, tujuh dari class Bivalvia, satu jenis dari class
Maxillopoda dan satu jenis dari class Crustacea yang didominansi oleh class
Bivalvia. Untuk keanekaragaman mangrove, pada ekosistem mangrove
silvofishery terdapat dua jenis yaitu mangrove Rhizophora mucronata dan
Rhizophora stylosa sedangkan pada ekosistem mangrove alami terdiri dari
Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata.
2. Kelimpahan makrozoobenthos di ekosistem mangrove silvofishery merupakan
kawasan yang memiliki makrozoobenthos yang sangat melimpah tetapi jenis
species yang sedikit dengan total jumlah individu 1219. Sedangkan, pada
ekosistem mangrove alami merupakan kawasan yang makrozoobenthos sedikit
tetapi jenis speciesnya cukup beragam dengan total jumlah individu 730. Untuk
kelimpahan mangrove, pada mangrove alami lebih beragam sedangkan
mangrove silvofishery hanya terdapar dua jenis mangrove karena mangrove di
silvofishery merupakan mangrove yang ditanam oleh petani tambak.
B. Saran Untuk daerah silvofishery diharapkan penanaman mangrove lebih
beragam, agar benthos lebih tertarik untuk tinggal di ekosistem silvofishery
(mangrove dalam tambak).
58
DAFTAR PUSTAKA
Allard, M. And Moreau,G., 1987, Effect of Experimental Acidification on lotic Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia
APHA, 1989. Standard Metods for the Examination of Water and Waste Water. APHA. AWWA.APCH. Port City Press. Baltimore. Maryland.
Arief, A. M. P., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Bengen, D.G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor. 59 hal.
., 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB, Bogor.
Brower JE, Zar JH. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Iowa: WM. J Brown Company Publ. Dubuque. 94 p. Cox, C. B., 1967. Biogeography. 2nd. Edn. Blackwell Scientifc Publication Oxford.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia jilid I dan jilid II (Indonesia Shell). PT. Sarana, Jakarta. Cummins. 1975. Indikator Makrozoobenthos. PT. TKCM. Tangerang.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
FAO., 1982. Management and Utilization of Mangrove in Asia and the Pasific. dalam : FAO Environmental Paper. No. 4 FAO, Rome
Graha, D.S, 1987. Batuan dan Mineral. NOVA Bandung.
Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hawkes, H. A., 1978 River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By. B. A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
Hutabarat dan Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta.
Koesoebiono., 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Fakultas Perikanan, IPB Bogor.
Lind, L. T., 1979. Hand Book of Common Method in Lymnology. Second Edition. The C. V. Mosby Company St. Louis. Toronto. London.
Mudjiman, A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
59
Nontji, Anugrah., 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nur, H. S. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk
Tambak Tumpangsari Di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia. Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Diterjemahkan oleh T. Samingan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
PESCOD, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp
Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Romimohtarto, K., 2001. Biologi Laut. LIPI. Gramedia. Jakarta.
Romimohtarto. K, dan Juwana. S., 1999. BIOLOGI LAUT Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. P3O-LIPI. Jakarta.
Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.
Sabar, Mesrawaty. 2004. Studi Komunitas dan Pemanfaatan Hutan Mangrove
[Makalah]. Dalam Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut. Jakarta, Indonesia.
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove, cetakan pertama. Dahara Prize Semarang.
Siregar, B. P., 1997. Struktur Sebaran Spasial dan Asosiasi Komunitas Makrozoobenthos pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Teluk Banten, Jawa Barat. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Soedharma, Dedi., 2005. Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove Untuk Menjunjang Kestabilan Ekosistem Bahari di Perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. [Makalah]. Dalam Makassar Maritime Meeting, Seminar Nasional Tanggal 28-29 November 2005. Makassar.
Soepardi. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Modul Pembelajaran. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sualia, I, Eko B.P., dan I N.N. Suryadiputra. 2010. Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
60
Sudarja, Y., 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dari Hulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik, Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Sukarno., 1988. Terumbu Karang Buatan Sebagai Sarana Untuk Meningkatkan Prosuktivitas Perikanan di Perairan Jepara, Perairan Indonesia. LON-LIPI. Jakarta.
Sunarto. 2008. Peranan ekologis dan antropogenis ekosistem mangrove. Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Univ. Padjajaran.
Susilo, E., 1995. Manusia dan Hutan mangrove. dalam : Pelestarian dan
Pengembangan Ekosistem Hutan Bakau Secara Terpadu dan Berkelanjutan.
Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan. Hibah Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Whitten. A. J., Mustafa. M., Henderson. G. S., 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
.