Keamanan Pangan Jajanan Makanan
-
Upload
syifa-fauziyah -
Category
Documents
-
view
90 -
download
0
Transcript of Keamanan Pangan Jajanan Makanan
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keamanan Pangan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Sedangkan mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria
keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan
makanan dan minuman.
Pada prinsipnya mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung
jawab antara pemerintah, industri makanan (produsen) dan konsumen. Mutu
dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap kesehatan
manusia, tetapi juga mempengaruhi terhadap produktivitas ekonomi dan
perkembangan sosial, baik individu masyarakat maupun negara. Upaya-upaya
sosialisasi tentang keamanan pangan perlu dilakukan kepada masyarakat luas
mengingat persaingan yang semakin ketat baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
Pemerintah telah berupaya untuk melindungi masyarakat dari pangan
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan yaitu dengan
Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan Undang-Undang No.23
tentang Kesehatan. Beberapa permasalahan yang ditemui dalam rangka
pengembangan mutu pangan antara lain : 1) Kelembagaan yang belum
mantap, 2) Peraturan dan perundang-undangan belum lengkap dan efektif, 3)
Sumberdaya manusia yang masih lemah, 4) Sarana prasarana masih terbatas,
5) Terbatasnya informasi tentang mutu dan keamanan pangan (Anonimous,
2003).
a. Makanan Jajanan
-
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau disebut
street food menurut FAO didefinisikan sebagai makanan dan minuman
yang dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan
di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau
dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
Konsumsi makanan jajanan di masyarakat diperkirakan terus
meningkat, mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk
mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah
dan mudah di dapat, cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera
kebanyakan masyarakat.
Gambaran umum makanan jajanan tradisional Jawa yang menjadi
tradisi masyarakat Jawa bercirikan : a) Sebagai pelestari budaya dan
berbasis pada produk tradisional Jawa (traditional knowledge dan indikasi
geografis jawa), b). produk yang dihasilkan memiliki daya guna
pemenuhan kebutuhan dengan nilai ekonomi yang tinggi, c) Produk yang
dihasilkan berdaya saing tinggi dengan merk khusus yang berasal dari
daerah setempat, d) Produk yang dihasilkan dikenal luas oleh masyarakat,
khususnya orang Jawa, e) Sebagian besar melakukan proses produksi
dengan teknologi sederhana, f) Membawa dampak ekonomi tinggi di
daerahnya atau wilayahnya (pemanfaatan bahan baku lokal, penyerapan
tenaga kerja dan adanya bentuk kegotong-royongan kegiatan sosial
(Diperindag, 2003).
Beras, santan dan rempah-rempah mencirikan berbagai jenis
makanan tradisional. Beras merupakan bahan pokok yang penting, di
samping jagung\, sagu, dan singkong atau ubi jalar. Santan dan rempah-
rempah merupakan komponen masak yang utama dalam memberikan
kesedapan rasa makanan (Winarno, 1997).
Makanan jajanan juga dikenal dengan street food adalah jenis
makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar,
tempat pemukiman, serta lokasi sejenis. Makanan jajanan banyak sekali
jenisnya dan sangat bervariasi, dalam bentuk, keperluan dan harga. Pada
-
umumnya makanan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu :
pertama makanan utama atau main dish seperti : nasi rames, nasi rawon,
nasi pecel dan lain-lain; yang kedua adalah penganan atau snack
contohnya : kue-kue, onde-onde, pisang goreng, dan lain sebagainya; yang
ketiga adalah golongan minuman, es teler, es buah, teh, kopi, dawet dan
sebagainya; dan yang keempat adalah buah-buahan segar seperti mangga,
durian, dan lain-lain (Winarno, 1997).
Anak-anak sekolah umumnya setiap hari menghabiskan
waktunya di sekolah. Februhartanti dan Iswarawanti (2004),
menyampaikan bahwa hasil penelitian di Jakarta ditemukan bahwa uang
jajan anak sekolah rata-rata berkisar Rp.2.000,- -Rp.4.000,- perhari. Lebih
jauh lagi, hanya sekitar 5% anak-anak tersebut membawa bekal dari
rumah, karenanya mereka lebih terpapar pada makanan jajanan kaki lima
dan mempunyai kemampuan membeli makanan tersebut.
Telah diketahui bahwa makanan jajanan memberikan sumbangan
asupan energi, protein dan zat gizi yang lain. Bagi anak sekolah makanan
jajanan memberikan sumbangan asupan energi sebanyak 36 %, protein 29
%, dan zat besi 52 %. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa makanan
jajanan mempunyai peran penting dalam pertumbuhan dan prestasi belajar
anak (Februhartanti dan Iswarawanti, 2004).
Namun demikian dari makanan jajanan kerugian datang baik dari
konsumsi maupun produsen, karena beberapa kasus keracunan atau resiko-
resiko kesehatan dalam jangka panjang. Diare merupakan gejala umum
dari penyakit bawaan makanan yang mudah dikenali. Survei kesehatan
rumah tangga tahun 2001 menemukan bahwa diantara 100 - 1000 orang
balita terdapat 75 anak balita yang meninggal tiap tahunnya akibat diare.
b. Keamanan Makanan Tradisional Keamanan pangan tradisional erat kaitannya dengan budaya
praktek hygiene perorangan, keluarga dan masyarakat setempat, bahan
-
mentah yang digunakan, populasi lingkungan serta kemajuan teknologi
dalam pertanian dan pengolahan pangan.
Budaya praktek hygiene perorangan sangat besar peranannya
dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan.
Peralatan-peralatan memasak yang terdiri dari alat-alat tradisional yang
didesign rumit dan banyak lobang-lobangnya sulit dibersihkan, sehingga
merupakan sarang persembunyian mikroorganisme, jadi peralatan
merupakan sumber kontaminasi penting, apalagi bila jarang dicuci dengan
baik. Idealnya pencucian peralatan dapur memang harus dikukus sehingga
mikroba patogen mati.
Dari semua jenis keracunan makanan ternyata lebih dari 90 %
disebabkan oleh kontaminasi mikroba, baik yang berasal dari tanah, air,
udara, peralatan dan badan manusia. Sedangkan sekitar 10 % disebabkan
oleh bahan kimia, baik yang berasal dari alam maupun dalam bentuk
kontaminasi lingkungan (Winarno, 1997).
Menurut Winarno (1997), jenis makanan dingin tanpa kena proses
pemanasan mempunyai resiko tinggi, seperti berbagai jenis minuman es.
Sedangkan jenis minuman wedang-wedangan (wedang ronde, wedang
jahe, dan lain-lain) termasuk kecil resikonya, jenis makanan pecel-pecelan,
tauge goreng relatif rendah resikonya. Bakso dan bakmi rebus dan bakmi
goreng rendah resikonya.
Hasil penelitian Mudjajanto (2005), pada makanan tradisional di
kawasan Pasar Senin Jakarta Pusat menunjukkan jumlah total mikroba
pada makanan jajanan berkisar 1,3 x 10 koloni/gr sampai 1,5 x 10
koloni/gr. Jumlah total mikroba tertinggi terdapat pada kue bugis dan
jumlah total terendah pada bolu kukus.
Hasil temuan uji laboratorium makanan jajanan kaki lima yang
berjualan di sekolah di Jakarta Timur mengungkap bahwa pada otak-otak
dan bakso ditemukan borak, tahu goreng dan mie kuning ditemukan
formalin dan es sirup merah positif mengandung rhodamin B.
(Februhartanti dan Iswarawanti, 2004)
-
Cara Penyajian makanan dalam bentuk utuh atau dipotong-potong
kecil juga berpengaruh terhadap kemungkinan terdapatnya kontaminasi
makanan. Bentuk potongan kecil cenderung memiliki luas permukaan
bidang kontak dengan kontaminan lebih besar dibanding bentuk utuh,
sehingga beresiko keamanannya.
Lamanya waktu antara makanan matang sampai dikonsumsi juga
berpengaruh terhadap kemungkinan adanya mikroba patogen dalam
makanan. Bryan, et. al. (1992), menunjukkan bahwa nasi dengan kentang,
pada kondisi siap saji terdapat sel mikroba sejumlah 6 x 102 CFU/gr dan
akan meningkat menjadi 5,6 x 108 CFU/gr selama 12 jam kemudian.
Menurut Ray (1996) bahwa penyakit karena makanan di AS
terutama disebabkan karena suhu permukaan bahan mentah yang tidak
tepat. Suhu tersebut menyebabkan pertumbuhan bakteri patogen akan
menyebabkan penyakit jika dikonsumsi.
B. Mikroorganisme dalam makanan a. Mikroorganisme Penyebab Keracunan Makanan dan Penyakit Menular
Penyakit yang timbul bila seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama makanan atau minuman tersebut
mungkin mengandung komponen beracun, kedua makan mungkin
mengandung mikroorganisme dalam jumlah yang cukup untuk dapat
menimbulkan gejala penyakit. Berdasarkan hal tersebut penyakit yang
ditimbulkan oleh makanan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar
menurut penyebabnya, yaitu keracunan dan infeksi mikroorganisme. (Supardi
dan Sukamto, 1999).
Keracunan makanan merupakan gejala penyakit yang ditimbulkan
sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu makanan, baik penyakit penyakit
tersebut disebabkan oleh racun maupun oleh mikroba penyebab infeksi
-
yang terdapat di dalam makanan tersebut. Contoh beberapa
mikroorganisme yang dapat menyebabkan keracunan adalah : Clostridium
botulinum, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Staphylococcus, dan
lain-lain. Sedangkan mikroorganisme penyebab infeksi melalui makanan
yang sering terjadi adalah : Salmonella atau Salmonelliasis. Salmonella
adalah jenis bakteri yang termasuk dalam kelompok Enterobacteriaceae.
Jenis Salmonella yang paling sering menyebabkan keracunan adalah
Salmonella typhimurium dan Salmonella enteriditis.
Salmonella ditemukan dalam usus hewan, baik jenis unggas
maupun sapi atau kambing. Pencemaran Salmonella dapat melalui
kotoran ayam. Hewan lain dapat juga terinfeksi Salmonella pada waktu
pemotongan di rumah pemotongan hewan melalui pisau atau alat lain yang
digunakan dan melalui air pencucian yang mengandung Salmonella.
Dengan demikian makanan akibat infeksi Salmonella bersumber pada
bahan makanan, seperti daging ternak, daging ayam atau telur yang
dimasak kurang sempurna atau karena penanganan bahan makanan secara
tidak benar sebelum dimasak (Moehy, 1992).
b. Bentuk-Bentuk Kerusakan Bahan Pangan oleh Mikroorganisme Pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan ataupun
makanan dapat menyebabkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi.
Apabila perubahan tersebut tidak diinginkan atau tidak dapat diterima
konsumen maka bahan pangan tersebut dinyatakan telah rusak. Bentuk
kerusakan bahan pangan ataupun makanan oleh karena mikroorganisme
adalah sebagai berikut:
1. Berjamur, disebabkan oleh kapang aerobik, banyak tumbuh pada
permukaan bahan
2. Pembusukan (rots), bahan menjadi lunak dan berair
3. Berlendir, pertumbuhan bakteri di permukaan yang basah akan dapat
menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan
bahan pangan dengan pembentukan lendir.
-
4. Peruabahan warna, beberapa mikroorganisme menghasilkan koloni-
koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen yang memberi warna
pada bahan yang tercemar
5. Berlendir kental seperti tali
6. Kerusakan fermentative
7. Pembusukan bahan berprotein (Bukle, et.al, 1985)
C. Bahan Tambahan Pangan (BTP) Bahan tambahan pangan (BTP) atau sering disebut aditif makanan
adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan ketika makanan tersebut
diolah untuk meningkatkan mutu. Yang termasuk aditif makanan antara lain
adalah penyedap, pewarna, aroma, penegas rasa, antioksidan, pengawet,
pengemas, anti gumpal, pemucat, dan pengental.
Ditinjau dari sudut kegunaannya aditif makanan dibagi menjadi dua
bagian pertama aditif sengaja yaitu aditif yang secara sengaja ditambahkan
pada makanan untuk tujuan tertentu (seperti : meningkatkan konsistensi, nilai
gizi, cita rasa, memantapkan bentuk dan rupa), kedua aditif tidak sengaja,
adalah aditif yang ada dalam makanan dengan jumlah yang sangat kecil
sebagai akibat proses pengolahan, biasanya disebabkan pengaruh peralatan
pengolahan maupun kemasan yang kurang baik.
Berdasarkan asalnya bahan tambahan pangan dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu : bahan alami dan bahan sintetis. Bahan sintetis terbuat
dari bahan kimia yang mempunyai sifat kimia dan metabolisme mirip dengan
bahan alamiahnya. Bahan tambahan sintetis mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan bahan alami, diantaranya adalah : lebih pekat, lebih
stabil dan lebih murah. Kelemahannya adalah sering terjadi
ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi
kesehatan, seperti bersifat karsinogenik yang dapat merangsang terjadinya
kanker. (Syarief, 1997)
a. Pemanis
-
Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat
menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak
mempunyai nilai gizi, pemanis buatan dapat berbentuk tablet, granul,
serbuk atau cairan. Beberapa jenis pemanis buatan yang diijinkan
berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI . No.
208/MENKES/PER/IV/1983 Tentang pemanis buatan adalah : Aspartam :
AO I 0-4 mg, Sakarin : AOI 0-2 mg, Siklamat, AO I 0-11 mg, Sorbitol
(Anonimous, 1997).
Mudjajanto (1996) mengatakan bahwa pengamatan secara
kualitatif terhadap makanan jajanan tradisional di Pasar Senen Jakarta
Pusat menunjukkan bahwa pemanis yang digunakan pada sebagian besar
makanan jajanan adalah campuran pemanis sintetis sakarin dengan
siklamat.
Zat pemanis sintetis sakarin dan siklamat merupakan jenis zat yang
sebetulnya khusus ditujukan bagi penderita diabetes atau konsumen
dengan diit rendah kalori. Penggunaan sakarin yang tidak seharusnya
dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti dapat menimbulkan
kanker kandung kemih pada tikus. Siklamat berbahaya karena hasil
metabolismenya, yaitu sikloheksamina bersifat karsinogenik sehingga
ekskresi lewat urin dapat merangsang pertumbuhan tumor pada kandung
kemih tikus.
b. Pewarna
Pewarna adalah bahan yang digunakan untuk memberi warna atau
barang pewarna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
239/MENKES/PER/V/1985, diantaranya adalah sebagai berikut :
Auramine, Chocolate brown FB, Fast Yellow, Metanil Yellow, oil Yellow,
orange RN, Ponceau 3R, Ponceau SX, Ponceau 6R, Rhodamin B, Sudan I,
Violet B.
Penggunaan bahan pewarna pada makanan yang dilarang akan
sangat berbahaya bagi kesehatan. Februhartanti dan Iswarawanti (2004),
-
mengatakan bahwa pada es sirup merah yang dijual pedagang kaki lima di
sekolah di Bogor positif mengandung rhodamin B. Menurut Mudjajanto
(1993), me skipun tidak ditemukan pewarna yang tidak diijinkan pada
makanan jajanan tradisional di kawasan Pasar Senen Jakarta Pusat, namun
penggunaannya perlu dibatasi.
c. Pengawet makanan
Dua pengawet terdiri dari senyawa organic dan anorganik.
Keaktifan bahan pengawet tersebut tidak asam. Biasanya zat pengawet
organic lebih banyak dipakai dari pada pengawet anorganik. Zat kimia
yang sering dipakai sebagai pengawet misalnya : asam asorbat, asam
propionat, asam benzoat, asam asetat dan apoksida. Sedangkan pengawet
anorganik misalnya sufil, nitrat dan nitrit. (Syarief, 1997).
Penggunaan formalin (pengawet mayat) sebagai pengawet
makanan diantaranya untuk tahu dan susu telah ditemukan orang. Dengan
perendaman tahu ke dalam larutan formalin (2% selama 30 menit dapat
memperpanjang masa simpan sampai 4-5 hari).
D. Hygiene Sanitasi a. Pengertian Secara Umum
Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses Pengolahan
pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat di definisikan
sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau
mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai
perpindahan penyakit tersebut. Secara luas, ilmu sanitasi merupakan
penerapan dari prinsip-prinsif yang akan membantu memperbaiki,
mempertahankan, atau mengendalikan kesehatan yang baik pada manusia
(Purnawijayanti, 2001).
Berkaitan dengan proses pengolahan pangan secara khusus
mendefinisikan sanitasi sebagai penciptaan atau pemeliharaan kondisi
yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya
penyakit yang disebabkan oleh makanan.
-
Sebab keterlibatan manusia dalam proses pengolahan pangan
sangat besar, penerapan sanitasi pada personil yang terlibat didalamnya
perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini pemahaman mengenai
hygiene perorangan yang terlibat dalam pengolahan makanan, sangat
penting. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982) disebutkan bahwa
pengertian hygiene adalah ilmu yang berhubungan dengan masalah
kesehatan, serta berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk
memperbaiki kesehatan, serta berbagai usaha untuk mempertahankan atau
untuk memperbaiki kesehatan. Hygiene juga mencakup upaya perawatan
kesehatan diri, termasuk ketetapan sikap tubuh.
b. Sanitasi Pekerja
Prosedur yang penting bagi pekerja pengolahan makanan adalah sebagai
berikut :
1. Pencucian Tangan
Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan
bakteri dan virus patogen dari tubuh, feces, atau sumber lain
kemakanan. Oleh karena itu pencucian tangan merupakan hal pokok
yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan
makanan. Pencucian tangan, meskipun tampaknya merupakan kegiatan
ringan dan sering disepelekan, terbukti cukup efektif dalam upaya
mencegah kontaminasi pada makanan. Pencucian tangan dengan sabun
dan diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan mikroba yang
terdapat pada tangan. Konmbinasi antara aktivitas sabun sebagai
pembersih, penggosok, dan air mengalir akan menghanyutkan partikel
kotoran yang banyak mengandung mikroba.
Frekuensi pencucian tangan disesuaikan dengan kebutuhan.
Pada prinsipnya pencucian tangan dilakukan setiap saat. Setelah tangan
-
menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber kontaminan atau
cemaran. Berikut ini adalah beberapa pedoman praktis, pencucian
tangan yang harus dilakukan:
a. Sebelum melakukan pekerjaan dan pada waktu menangani
kebersihan tangan harus dijaga.
b. Sesudah waktu istirahat.
c. Sesudah melakukan kegiatan-kegiatan pribadi misalnya merokok,
makan, minum, bersin, batuk, dan setelah menggunakan
toilet/kamar mandi (buang air kecil atau besar).
d. Setelah menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber
kontaminan misalnya telpon, uang, kain atau baju kotor, bahan
makanan mentah ataupun segar, daging, cangkang telur, dan
peralatan kotor.
e. Setelah mengunyah permen karet atau setelah menggunakan tusuk
gigi.
f. Setelah menyentuh kepala, Rambut, hidung, mulut, dan bagian-
bagian tubuh yang terluka.
g. Setelah menangani sampah serta kegiatan pembersihan misalnya
menyapu atau memungut benda yang terjatuh dilantai.
h. Sesudah menggunakan bahan-bahan pembersih misalnya menyapu
atau memungut benda yang terjatuh dilantai.
i. Sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan kerja.
Fasilitas yang di Perlukan untuk pencucian tangan yang
memadai adalah bak cuci tangan yang di lengkapi dengan saluran
pembuangan tertutup, kran air panas, sabun, dan handuk kertas atau
tissue atau mesin pengering . Bak air yang di gunakan untuk pencucian
tangan harus terpisah dari bak pencucian peralatan dan bak untuk
preparasi makanan. Jumlah fasilitas cuci tangan harus disesuaikan
dengan jumlah karyawan. Satu bak pencucian tangan disediakan
maksimal untuk 10 orang karyawan. Tempat cuci tangan harus
-
diletakkan sedekat mungkin dengan tempat kerja (Purnawijayanti,
2001).
2. Kebersihan Dan Kesehatan Diri
Syarat utama Pengolahan makanan adalah memiliki kesehatan
yang baik. Untuk itu di sarankan pekerja melakukan tes kesehatan,
terutama tes darah dan pemotretan rontgen pada dada untuk melihat
kesehatan paru-paru dan saluran pernafasan. Tes kesehatan tersebut
sebaiknya diulang setiap 6 bulan sekali, terutama bagi Pengolahan
makanan di dapur .
Ada beberapa kebiasaan yang perlu dikembangkan oleh para
pengolah makanan, untuk menjamin keamanan makanan yang
diolahnya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Berpakaian dan Berdandan
Pakaian pengolahan dan penyajian makanan harus selalu
bersih,pakaian sebaiknya tidak bermotif dan berwarna terang hal
ini di lakukan agar pengotoran pada pakaian mudah dilihat.Pekerja
harus mandi setiap hari. Perhiasan dan asesoris misalnya cincin,
kalung, anting, dan jam tangan sebaiknya dilepas, sebelum bekerja
di daerah Pengolahan makanan.
Celemek (afron) yang di gunakan harus bersih dan tidak
boleh di gunakan sebagai lap tangan. Setelah tangan menyentuh
celemek, sebaiknya segera di cuci menurut prosedur yang yang
telah dijelaskan. Celemek harus di tanggalkan bila pekerja
meninggalkan ruangan Pengolahan. Pekerja juga harus memakai
sepatu yang memadai dan selalu dalam keadaan bersih. Sebaiknya
dipilih sepatu yang tidak terbuka pada bagian jari-jari kakinya.
Sepatu boot di sarankan untuk dipilih (Purnawijayanti, 2001).
b. Rambut
Rambut harus selalu dicuci secara periodik. Selama
mengolah atau penyajikan makanan harus dijaga agar Rambut
tidak terjatuh kedalam makanan. Meskipun Rambut yang jatuh
-
bukan penyebab utama kontaminasi bakteri, tetapi adanya rambut
dalam makanan amat tidak disukai oleh konsumen. Oleh karena itu
pekerja yang berambut panjang harus mengikat rambutnya, serta di
sarankan untuk menggunakan topi/tutup kepala atau jala Rambut.
Setiap kali tangan menyentuh, menggaruk, menyisir, atau menyikat
Rambut harus segera dicuci sebelum digunakan lagi untuk
menangani makanan. Untuk pekerja laki-laki yang memiliki kumis
atau jenggot selalu menjaga kebersihan dan kerapiannya. Tetapi
akan lebih baik jika kumis atau jenggot tersebut dicukur bersih
(Purnawijayanti, 2001).
c. Kondisi Sakit
Pekerja yang sedang sakit flu, demam, atau diare sebaiknya
tidak dilibatkan terlebih dahulu dalam proses Pengolahan makanan,
sampai gejala-gejala penyakit tersebut hilang. Pekerja yang
memiliki luka pada tubuhnya harus menutup luka tersebut dengan
menutup pelindun yang Kedap air, misalnya plester, sarung tangan
plastik atau karet, untuk menjamin tidak terpindahnya mikroba
yang terdapat pada luka kedalam makanan.
Selain hal-hal tersebut diatas, berikut ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh pekerja yang terlibat dalam
Pengolahan makanan, sebagai berikut:
1. Tidak merokok, makan atau mengunyah (misalnya permen
karet, tembakau, dan lain-lain) selama melakukan aktivitas
penanganan makanan.
2. Tidak meludah atau membuang ingus kedalam daerah
Pengolahan.
3. Selalu menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau
bersin, sedapat munkin batuk dan bersin tidak di dekat
makanan.
4. Tidak mencicipi atau menyentuh makanan dengan tangan atau
jari.
-
5. Gunakan sendok bersih, spatula, penjepit atau peralatan lain
yang sesuai.
6. Sedapat mungkin tidak sering menyentuh bagian tubuh
misalnya mulut, hidung, telinga, atau menggaruk bagian-bagian
tubuh pada waktu menangani makanan.
7. Seminimal mungkin menyentuh makanan yang siap disajikan
dengan menggunakan tangan. Pada waktu memegang gelas
minuman pun dilarang untuk menyentuh bibir gelas.
8. Jangan sekali-kali duduk diatas meja kerja.
3. Sanitasi Peralatan
Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan
disanitasi/desinfeksikan (dibersihkan agar tidak terkontaminasi
kembali) untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada
tahap persiapan, Pengolahan, penyimpanan sementara, maupun
penyajian. Diketahui bahwa pada peralatan dapur seperti alat
pemotongan, papan pemotongan (telenan), dan alat saji merupakan
sumber kontaminasi potensial bagi makanan.
Pencucian dan sanitasi peralatan dapur dapat di lakukan secara
manual maupun secara mekanis dengan menggunakan mesin.
Pencucian manual juga diterapkan pada pan, baskom adonan,
pengadukan, serta pisau.
Pembersihan menyeluruh dilakukan setiap kali setelah
pemakaian. Peralatan kemudian dicuci dengan larutan deterjen, setelah
semua kotoran dihilangkan, peralatan kemudian dibilas, dikeringkan,
dan disimpan dirak Lemari (Purnawijayanti, 2001).
4. Sanitasi Ruang Pengolahan Makanan
Ruang Pengolahan makanan atau dapur juga berperan penting
dalam menentukan berhasil tidaknya upaya sanitasi makanan secara
keseluruhan. Dapur yang bersih dipelihara dengan baik akan
merupakan tempat yang hygieni sekaligus menyenangkan tempat
-
kerja. Dua hal yang menentukan dalam menciptakan dapur yang
saniter adalah kontruksi dan tata letak.
E. Pendidikan dan Pengetahuan Penjual makanan jajanan a. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pembinaan tingkah laku sehingga di
dalam masyarakat pendidikan harus membimbing kearah kesadaran serta
kepercayaan yang memberikan dorongan motivasi yang sesuai dengan
kecakapan yang diperlukan serta kesempatan untuk berlatih. Pendidikan
mempunyai tiga aspek yaitu: pembentuk kepribadian, pengembangan ilmu
pengetahuan dan penerapan ilmu pengetahuan ( Sayogyo,1989).
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan
melalui pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusia
dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
manusia secara efisien dan efektif itulah yang dimaksud pendidikan
(Tirtaraharja, 1990). Latar tempat berlangsungnya pendidikan itu disebut
lingkungan pendidikan, khususnya tiga lingkungan yang utama pendidikan
yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan perbedaan ciri-ciri penyelenggaraan pendidikan
dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Pendidikan Informal, yaitu pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga yang berlangsung secara
alamiah dan wajar.
2. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung di sekolah yang
secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang
ketat, seperti harus berjenjang dan berkesinambungan.
3. Pendidikan non formal yaitu pendidikan di lingkungan masyarakat
yang tidak disyaratkan berjenjang dan berkesinambungan serta dengan
aturan-aturan yang lebih longgar.
Sesuai Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pendidikan
dilaksanakan melalui 2 jalur pendidikan yaitu : jalur pendidikan sekolah
dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah dilaksanakan
secara berjenjang yang terdiri dari :
-
1. Jenjang Pendidikan Dasar.
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan dasar
yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan
sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar. Disamping itu juga
berfungsi mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan
untuk mengikuti pendidikan menengah.
2. Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah lamanya tiga tahun sesudah pendidikan
dasar, diselenggarakan di SLTA atau satuan pendidikan sederajat.
Pendidikan menengah dalam hubungan kebawah berfungsi sebagai
lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dan dalam hubungannya
keatas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
tinggi.
3. Jenjang Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah,
yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi atau kesenian.
Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan akan mempengaruhi
kepada tiga faktor pokok perubahan perilaku yaitu faktor predisposisi,
faktor pendukung dan faktor pemerkuat. Dengan pendidikan yang
tinggi akan menambah pengetahuan dan akan mempengaruhi sikap
dalam perubahan perilaku.
b. Pengetahuan
Pengetahuan berkaitan erat dengan perilaku manusia, yaitu sebagai
bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,
khususnya menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta
tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono,1993)
Selanjutnya pada tahap persuasi sasaran diharapkan sudah
membentuk sikap yang mendukung tahap pembaharuan. Pada tahap
-
keputusan sasaran pada pemilihan menolak atau menerima inovasi tersebut
dan sasaran mulai mencari dukungan atas keputusan yang diambil atau
merubah keputusan terjadi pada tahap konfirmasi. Menurut Wikening
1981, bahwa pengetahuan merupakan fase awal pembuatan keputusan
dimana pada akhirnya seseorang atau individu tersebut nantinya berbuat
atau berperilaku seperti pengetahuan yang diperoleh.
Secara berurutan proses pembuatan keputusan tersebut adalah
sebagai berikut: 1. Fase mengetahui, pertama kali belajar dan mengenal masalah.
2. Fase timbul minat, yaitu kelanjutan fase mengetahui dimana fase ini
seseorang yang telah mengenal masalah tersebut dan timbul minat.
3. Fase menilai, pada fase ini seseorang diharapkan menimbang masalah
untung dan ruginya bila mengerjakan sesuatu.
4. Fase mencoba, menentukan untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu
apakah yang dia kerjakan baik atau tidak.
5. Fase adopsi, pada fase ini seseorang telah mengadakan trial tersebut
yang telah dipilihnya.
Pengetahuan di bagi menjadi dua yaitu pengetahuan yang di dapat
dari pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari keterangan.
Pengetahuan yang di dapat dari pengalaman disebut pengetahuan
pengalaman. Sedangkan pengetahuan yang didapat dengan keterangan
disebut ilmu pengetahuan.
F. Kerangka Konsep
Pengetahuan keamanan pangan
Tingkat pendidikan formal
-
G. Hipotesa Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat
pengetahuan tentang keamanan pangan penjual makanan jajanan.