KATEKESE KONTEKSTUAL KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN … · SJ, Rm. Rukiyanto, SJ, Andreas Sigit...
Transcript of KATEKESE KONTEKSTUAL KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN … · SJ, Rm. Rukiyanto, SJ, Andreas Sigit...
[i]
KATEKESE KONTEKSTUAL
KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN WANITA
SEBAGAI UPAYA UNTUK MENANGGAPI KETIDAKADILAN GENDER
DI STASI ST. ANTONIO MARIA CLARET
TOMOK SAMOSIR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Kristina E. Panjaitan
(121124063)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya dedikasikan bagi seluruh perempuan, terkhusus perempuan/boru
Batak Toba, Program Studi PAK (Romo dan para dosen), kedua orang tuaku
(Oloan Panjaitan dan Lenti Tambunan), kakek dan nenekku, Abangku (Sarihot
Panjaitan), kakak-kakakku (Risto Theresia Panjaitan, Santa Maria Panjaitan, dan
Kristia Panjaitan), adik-adikku (Irshan Panjaitan, Dohardo Panjaitan, Ronauli
Panjaitan, dan Tulus Panjaitan), para ponakan tersayang dan seluruh keluarga
yang selalu mendukungku,
Para donaturku yang dermawan (Rm. Sumarno, SJ, Rm. Van Opzeland, dan Rm.
Rukiyanto, SJ), parabataiku tersayang (Andreas Sigit Kurniawan dan Henricus
Ermawan), sahabat-sahabat angkatan 2012, serta semua orang yang mendukung
dalam penyusunan skripsi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Berdamai Dengan Seluruh Diri Menjadi Dasar Perdamaian Dengan Sesama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “KATEKESE KONTEKSTUAL KESETARAAN
MARTABAT PRIA DAN WANITA SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENANGGAPI KETIDAKADILAN GENDER DI STASI ST. ANTONIO
MARIA CLARET TOMOK SAMOSIR”.Judul ini dipilih berdasarkan
keprihatinan penulis terhadap ketidakadilan gender yang masih terjadi di Stasi St.
Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Pada kenyataannya perempuan Batak
masih hidup dalam tekanan budaya patriakhi. Keputusan para leluhur yang
menetapkan anak laki-laki sebagai pewaris garis keturunan, mengakibatkan
berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan Batak. Gereja mempunyai
tanggungjawab untuk mendidik iman umat terutama tentang kesetaraan martabat
pria dan wanita di hadapan Allah. Namun sampai saat ini umat masih lebih
cenderung menghidupi aturan adat Batak dari pada nilai-nilai iman tentang
kesetaraan martabat pria dan wanita. Bertolak dari keadaan ini penulis tergerak
untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pastor paroki untuk melaksanakan
katekese kontekstual kesetaraan martabat pria dan wanita sebagai upaya
menanggapi ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam kehidupan umat.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah menjawab pertanyaan sejauh
mana ketidakadilan gender masih terjadi di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir dan apakah katekese kontekstual kesetaraan martabat pria dan wanita
relevan untuk menanggapi permasalahan tersebut. Untuk menjawab persoalan
tersebut penulis menggunakan studi pustaka dan penelitian. Studi pustaka
dilaksanakan dengan mempelajari berbagai sumber yakni Kitab Suci, Dokumen
Gereja, serta pandangan dari beberapa ahli yang berkaitan dengan katekese
kontekstual dan kesetaraan martabat pria dan wanita. Sedangkan penelitian yang
digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data guna
keperluan penelitian penulis melakukan wawancara terhadap 10 responden.
Hasil akhir menunjukkan bahwa ketidakadilan gender masih terjadi di
Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Ditetapkannya laki-laki sebagai
pewaris garis keturunan membuat setiap keluarga harus memiliki anak laki-laki
agar keturunannya tidak dianggap mati. Hal ini membuat anak laki-laki lebih
diprioritaskan dalam berbagai hal dan para ibu mendapat tekanan untuk
melahirkan anak laki-laki, anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan
keluarganya, peranan perempuan dibatasi dalam acara adat dan mengemban tugas
rumah tangga yang lebih besar daripada laki-laki. Untuk menindaklanjuti hasil
penelitian ini, penulis mengusulkan program pelaksanaan katekese kontekstual
dalam bentuk pendalaman iman sebagai upaya untuk menanggapi ketidakadilan
gender yang masih terjadi di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Lewat program ini diharapkan pemahaman dan penghayatan umat tentang
kesetaraan martabat pria dan wanita semakin berkembang serta memiliki
semangat untuk menjadi pelopor memperjuangkan keadilan gender dalam
semangat Yesus Kristus melalui kesaksian hidup sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACK
The title of thesis is “ A CONTEXTUAL CATECHESIS OF DGNITY
EQUALITY OF MAN AND WOMEN AS AN EFFORTS TO ADDRESS TO
GENDER INEQUALITY IN THE COMMUNITY OF ST. ANTONIO MARY
CLARET TOMOK SAMOSIR ".This title was cosend based on the authors'
concerns about gender inequalities that still occur at Stasi St. Antonio Mary Claret
Tomok Samosir. In fact, Batak women are still living under the pressure of
patriarchal culture. The decision of the ancestors who assigns the boy as the heir
to brings about, various forms of injustice for Batak women. The Church has the
responsibility to educate the faith of the people, especially about the equality of
the dignity between man and women before God. however now the people are still
more likely to abide the Batak customary than by the values of faith about the
equality of dignity between man and women. Due to this situation the author was
moved to contribute thoughts to the parish priest to carry out the contextual
catechism equality between man and women dignity as an effort to address
gender inequality that still occurs in the life of the people.
The key issue of the thesis is the extent of gender inequality still occurs in
St. Antony Mary Claret Tomok Samosir and need of the contextual catechetical
efforts that need to be done to overcome the problem. To address these problems,
the autor empleys literature study and research. The literature study is done by
studying various sources such as the Bible, Church Documents, and experts
opinions relating to catechesim contextual and equality dignity between man and
women. The type of empirical used by the autor is the qualitative research. To
obtain the data for, autor did interview with 10 respondents.
The final results show that the gender inequality still occurs in
community St. Antony Mary Claret Tomok Samosir. Gender inequality, among
others; The declaration of the boy as the heir leads to the belief that each family
must have the son, so that the lineage is not considered to be extinct, the women
are charged with the more responsibility, the greater priority is put to the boys in
many respects, the mothers are under pressure to be able to give birth to the boys
for the continuation of family offspring, and the women is not accounted for in the
in their division, and her role is limited to the customary events . To follow up the
results of this study, the author propose a program of the contextual catechesim in
the form of deepening of faith as an address gender inequalities that still occur in
comunity St. Antony Mary Claret Tomok Samosir. Through this program it is
expected to understand and appreciate the people about the equality between man
and women dignity growing and have the spirit to be the pioneer of fighting for
gender equality in the spirit of Jesus Christ through the testimony in the daily life.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KATEKESE
KONTEKSTUAL KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN WANITA
SEBAGAI UPAYA UNTUK MENANGGAPI KETIDAKADILAN GENDER
DI STASI ST. ANTONIO MARIA CLARET TOMOK SAMOSIR.
Skripsi ini disusun berdasarkan keprihatinan penulis terhadap
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di Stasi St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir sebagai akibat dari budaya patriakhi. Keputusan adat Batak yang
menetapkan anak laki-laki sebagai pewaris garis keturunan mengakibatkan
berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan Batak. Oleh sebab itu, penyusunan
skripsi ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan pemikiran bagi Gereja lewat
paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir untuk mengupayakan katekese
kontekstual sebagai upaya untuk menanggapi ketidakadilan gender yang terjadi.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis dengan hati
penuh syukur mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed sebagai dosen pembimbing
utama yang selalu memberikan perhatian, meluangkan waktu dan dengan
penuh kesabaran membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd. selaku dosen penguji II sekaligus dosen
pembimbing akademik yang telah bersedia membimbing dan memberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
perhatian selama menempuh perkuliahan, membaca, menguji, memberikan
kritik dan saran bagi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.
3. Dr. B. A Rukiyanto, SJ selaku Kaprodi Program Studi Pendidikan Agama
Katolik sekaligus selaku dosen penguji III yang telah bersedia membaca,
menguji, memberikan kritik dan masukan, serta dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Agama Katolik
yang telah mendidik, dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
studi di Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma
dengan baik.
5. Pastor paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir yang memberikan izin
bagi saya untuk melaksanakan penelitian dan umat yang telah bersedia
menjadi responden penelitian saya, memberikan berbagai informasi yang saya
perlukan dengan meluangkan waktu yang cukup lama untuk menceritakan
pengalaman hidup menggumuli budaya patriakhi Batak dan iman Katolik
tentang kesetaraan martabat pria dan wanita.
6. Risto Theresia yang bersedia membantu saya dalam melaksanakan penelitian
ini untuk mencari umat yang memenuhi syarat dalam penelitian ini.
7. Orang tua, abang, kakak, adik, ponakan, Rm. Sumarno SJ, Rm. Van Opzeland
SJ, Rm. Rukiyanto, SJ, Andreas Sigit Kurniawan, Henricus Ermawan,
Yayasan PTPM Yogyakarta, dan para suster SFD yang ikut memberikan
dukungan, perhatian, dan doa selama saya menempuh perkuliahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
8. Teman-teman mahasiswa terkhusus angkatan 2012 yang selalu memberi
warna, semangat, motivasi, dorongan dan bantuan bagi penulis selama
mengikuti proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
9. Seluruh warga kampus Program Studi Pendidikan Agama Katolik yang telah
menemani, memberi semangat serta dukungan doa hingga dari awal
perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang dengan tulus
ikhlas memberi masukan dan dorongan hingga penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap segala saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan dan pemanfaatan skripsi ini. Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 29 Agustus 2017
Penulis,
Kristina E. Panjaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... viii
ABSTRACT....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 8
D. Manfaat Penulisan .......................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 9
BAB II. KATEKESE KONTEKSTUAL DAN KESETARAAN
MARTBAT PRIA DAN WANITA ...............................................
11
A. Katekese Kontekstual ..................................................................... 13
1. Hakikat dan Tujuan Katekese .…………................................ 13
a. Hakikat Katekese ................................................................. 14
b. Tujuan Katekese ………….................................................. 15
2. Sejarah Singkat Perkembangan Katekese Menuju Katekese
Kontekstual .............................................................................
17
a. Tahap kerygmatik (Nijmegen 1959 dan Eichstatt 196 ....... 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
b. Tahap Antropologis (Bangkok 1962, Kaigondo 1964 dan
Manila 1967.........................................................................
18
c. Tahap Politis (Medelin 1968) ............................................ 20
3. Katekese Kontekstual ............................................................. 21
a. Pengertian Katekese Kontekstual dan Latar
Belakangnya .....................................................................
21
b. Hakikat danTujuan Katekese Kontekstual ......................... 23
c. Katekese Kontekstual di Indonesia .................................... 25
d. Katekese Kontekstual dalam Katekese Umat dan Analisis
Sosial ..................................................................................
26
e. Corak Teologi Katekese Kontekstual ................................ 26
4. Katekese Kontekstual Membangun Komunitas Basis Yang
Berdaya Transformatif ...........................................................
32
a. Komunitas Gereja Perdana Yang Berdaya
Transformatif …………………………………………….
33
b. Peranan Komunitas Dalam Katekese ................................ 34
c. Komunitas Basis Gereja Yang Berdaya Transformatif ..... 35
5. Langkah-Langkah Pokok Pelaksanaan Katekese
Kontekstual …………………………………………………
36
B. Kesetaraan Gender ......................................................................... 38
1. Pengertian Kesetaraan Gender ................................................ 38
2. Ideologi Gender ...................................................................... 40
a. Teori Nature ....................................................................... 40
b. Teori Nurture ...................................................................... 41
3. Latar Belakang Terjadinya Ketidakadilan Gender ................. 42
4. Teologi Gender ..................................................................... 44
a. Latar Belakang Munculnya Teologi Gender .................... 45
b. Tujuan dan Harapan Teologi Feminis .............................. 46
c. Metode Teologi Feminis ................................................... 49
1) Menganalisis Situasi ................................................... 49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2) Menganalisis Tradisi Gereja ....................................... 52
3) Menganalisis Kitab Suci Untuk Menemukan Makna
Bagi Pembebasan Kaum Perempuan ...........................
54
C. Katekese Kontekstual Memperjuangkan Kesetaraan Gender
Dalam Konteks Budaya Batak ......................................................
58
1. Perjuangan Kesetaraan Martabat Pria dan Wanita ................ 58
a. PerjuanganYesus Mewujudkan Kesetaraan Gender ......... 58
b. Usaha Gereja Mewujudkan Kesetaraan Gender ............... 59
2. Katekese Kontekstual Kesetaraan Gender Dalam Konteks
Budaya Batak ........................................................................
61
BAB III. KETIDAKADILAN GENDER DI STASI ST. ANTONIO
MARIA CLARET TOMOK SAMOSIR .....................................
63
A. Gambaran Umum Kehidupan Umat Di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir ..................................................................
64
B. Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir .........................................................................................
68
1. Penyebab Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok ..........................................................................
68
2. Akibat Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok ........................................................................
69
3. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan
Iman Tentang Kesetaran Martabat Pria dan Wanita .............
72
C. Penelitian Tentang Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio
Maria Claret Tomok Samosir .......................................................
74
1. Rencana Penelitian .............................................................. 74
a. Latar belakang Penelitian ................................................ 74
b. Tujuan penelitian ............................................................. 75
c. Definisi konseptual .......................................................... 76
d. Jenis penelitian ................................................................ 76
e. Desain penelitian ............................................................. 76
f. Responden ....................................................................... 77
g. Instrumen pengumpulan data .......................................... 78
h. Tempat dan waktu penelitian .......................................... 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
i. Variabel penelitian .......................................................... 79
j. Kisi-kisi penelitian .......................................................... 80
2. Laporan Hasil Penelitian ..................................................... 81
a. Identitas Responden ........................................................ 82
b. Bentuk Ketidakadilan Gender Yang Dialami Perempuan
Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok .......................
83
1) Pembagian Tanggungjawab Yang Tidak Adil Bagi
Perempuan ................................................................
83
2) Anak Laki-laki Lebih Diprioritaskan daripada Anak
Perempuan .................................................................
86
3) Perempuan Tidak Dilbatkan dalam Pengambilan
Keputusan Adat .........................................................
89
c. Laki-laki Sebagai Penentu Garis Keturunan Menjadi
Penyebab Ketidakadilan Gender .....................................
91
d. Dampak Ketidakadilan Gender Bagi Perempuan Di Stasi
St. Antonio Maria Claret Tomok .....................................
94
1) Dampak Psikologis: Perempuan Mengalami
Ketakutan Apabila Tidak Mampu Melahirkan
Pewaris Keturunan Bagi Suaminya ...........................
94
2) Kehidupan Perkawinan Kurang Harmonis Tanpa
Anak Laki-laki ...........................................................
96
3) Dampak Ekonomi: Perempuan Didiskriminasi
Dalam Pembagian Warisan Keluarga ........................
99
e. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan
Iman Tentang Kesetaraan Martabat Pria dan Wanita …...
103
3. Pembahasan Hasil Penelitian................................................. 105
a. Bentuk Ketidakadilan Gender Yang Dialami Perempuan
Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok .......................
106
1) Tanggungjawab Perempuan Dalam Keluarga Lebih
Besar Daripada Laki-laki ...........................................
107
2) Anak Laki-laki Lebih Diprioritaskan Daripada Anak
Perempuan .................................................................
110
3) Perempuan Tidak Dilibatkan Dalam Pengambilan
Keputusan Adat .........................................................
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
b. Laki-laki Sebagai Penentu Garis Keturunan Menjadi
Penyebab Ketidakadilan Gender .....................................
114
c. Dampak Ketidakadilan Gender Bagi Perempuan Di Stasi
St. Antonio Maria Claret Tomok .....................................
115
d. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan
Iman Tentang Kesetaraan Martabat Pria dan Wanita ......
120
4. Kesimpulan Penelitian ......................................................... 122
BAB IV. UPAYA MENANGGAPI KETIDAKADILAN GENDER
DENGAN MELAKSANAKAN KATEKESE KONTEKSTUAL
KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN WANITA ...............
125
A. Pemikiran Dasar Program ............................................................. 125
B. Usulan Program Katekese Kontekstual Dalam Bentuk
Pendalaman Iman Tentang Kesetaraan Gender ............................
129
1. Tema Umum ........................................................................ 129
2. Sub Tema ............................................................................. 129
3. Tujuan .................................................................................. 131
4. PenjelasanTema ................................................................... 131
5. Peserta .................................................................................. 131
6. Tempat dan Waktu .............................................................. 131
7. Gambaran Pelaksanaan Program ......................................... 132
8. Matriks ................................................................................. 133
C. Persiapan Pelaksanaan Katekese Kontekstual .............................. 136
1. Identitas Pendalaman Iman Paroki ...................................... 136
2. Pemikiran Dasar .................................................................. 136
3. PengembanganLangkah-Langkah ....................................... 138
a. Pembukaan ...................................................................... 138
b. Langkah I ......................................................................... 139
c. Langkah II ....................................................................... 140
d. Langkah III ...................................................................... 141
e. Langkah IV ...................................................................... 143
f. Langkah V ....................................................................... 145
g. Penutup ............................................................................ 146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
BAB V. PENUTUP .................................................................................... 147
A. Kesimpulan ................................................................................... 147
B. Saran .............................................................................................. 148
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 151
LAMPIRAN ................................................................................................... (1)
Lampiran 1: Surat Ijin Penelitian ................................................ (1)
Lampiran 2: Panduan Wawancara .............................................. (2)
Lampiran 3: Identitas Responden Penelitian .............................. (3)
Lampiran 4: Transkip Wawancara ............................................... (4)
Lampiran 5: Bahan Contoh Satuan Pendalaman Iman ............... (15)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikut Alkitab
Deuterokanonika © LAI 1976. (Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang
diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia. Terjemahan diterima dan
diakui oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia). Jakarta: LAI, 2009.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
KGK : Katekismus Gereja Katolik, uraian tentang ajaran iman dan
moral Gereja Katolik, 22 Juni 1992.
KHK : Kitab Hukum Kanonik, susunan atau kodifikasi peraturan
kanonik dalam Gereja Katolik, 25 Januari 1983.
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes
Paulus II kepada para uskup, imam-imam dan umat beriman
seluruh Gereja Katolik tentang peranan keluarga Kristen dalam
dunia modern, 22 November 1981.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes
Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat tentang
katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
C. Singkatan Lain
Art : Artikel
OFM.Cap : Ordo Fatrum Minores Capucino
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
PAK : Pendidikan Agama Katolik
KBG : Komunitas Basis Gereja
PALPSKT : Pertemuan Antar Lembaga Pendidikan Sarjana Kateketik dan
Teologi
Komkat : Komisi Kateketik
PRODI : Program Studi
R : Responden
USD : Universitas Sanata Dharma
Stat : Statistik
APP : Aksi Puasa Pembangunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
[1]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Misi Katolik di Tanah Batak adalah mengupayakan penginjilan
penyebaran benih-benih iman Katolik. Misi ini mulai berlangsung sejak
misionaris pertama Pastor Sybrandus Van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung
Tanah Batak yakni Balige pada tanggal 5 Desember 1934. Perkembangan misi
ditandai dengan beberapa Stasi yang didirikan hingga terbentuknya Keuskupan
Agung Medan. Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir didirikan pada
tahun 2006 sebagai hasil pemekaran dari Stasi Pangurururan
(http://archdioceseofmedan.or.id).
Jauh sebelum kedatangan para missionaris OFM.Cap ke Tanah Tomok
Samosir, masyarakat sudah memiliki tatanan kehidupan yang dimulai oleh para
leluhur mereka. Gultom (2010: 50) dalam bukunya "Agama Malim di Tanah
Batak" mengungkapkan bahwa salah satu tatanan budaya yang sudah melekat
dalam budaya Batak adalah sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal yakni
garis keturunan atau marga yang ditentukan oleh laki-laki. Marga adalah salah
satu identitas orang Batak yang sekaligus merupakan sendi utama dalam sistem
kekerabatannya, sedangkan perempuan disebut sebagai pencipta hubungan
kebesanan akibat sebuah perkawinan. Hal ini tentu mempengaruhi kedudukan
anak perempuan yang dianggap tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam
melanjutkan eksistensi budaya Batak. Maka jika sebuah keluarga tidak memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
anak laki-laki, marganya atau keturunannya dianggap mati dan tidak akan
dituliskan dalam generasi berikutnya.
Keputusan para leluhur yang menciptakan sistem kekerabatan yang
demikian masih terus berlangsung sampai saat ini, meskipun banyak pihak yang
menilai bahwa sistem tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan.
Murniati (2004: 89) mengungkapkan bahwa dalam tradisi Batak seorang istri yang
tidak melahirkan anak laki-laki, membuat suaminya diperbolehkan menikah lagi
untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal yang sama diungkapkan oleh Gultom
(2010: 52) yang mengatakan bahwa budaya Batak menganut perkawinan yang
monogam, kalaupun ada yang beristri dua (mardua-dua) kemungkinan besar
karena alasan tidak mendapatkan anak laki-laki dari istri pertama. Hal ini dengan
jelas memberikan gambaran bagi kita betapa istimewanya anak laki-laki dalam
budaya Batak hingga tidak mempedulikan nasib perempuan terutama kaum ibu
yang tidak melahirkan anak laki-laki. Hal ini sekaligus menodai hakikat luhur dari
sebuah perkawinan suci.
Keistimewaan anak laki-laki dalam budaya Batak juga terlihat dalam
kehidupan sehari-hari. Banyak laki-laki yang berkumpul di kedai tuak sambil
bermain catur atau kartu. Mereka menjadi kepala keluarga yang bertanggung
jawab mencari nafkah dan biasanya sangat anti dengan pekerjaan rumah. Urusan
rumah menjadi tanggungjawab penuh dari perempuan. Namun dalam pesta adat,
laki-laki mendapatkan tempat dan penghormatan yang istimewa dibandingkan
perempuan (Murniati, 2004: 89). Dalam setiap upacara adat, para laki-laki yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
berhak berkumpul, berdiskusi untuk membuat keputusan apapun. Sementara itu
para perempuan biasanya hanya sebagai pendengar dan pelaksana.
Selain itu, dalam pembagian warisan keluarga perempuan tidak berhak
menerima apa-apa dari orangtuanya. Alasannya karena perempuan akan menjadi
milik pihak laki-laki. Maka jika sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki,
warisan keluarga akan diserahkan kepada saudara laki-laki dari pihak suami
(Siahaan, 1964: 130). Secara psikologis, perempuan seringkali merasa kurang
dihargai terutama kaum ibu yang tidak melahirkan anak laki-laki. Mereka
biasanya mendapat tekanan karena dianggap kurang terberkati dan biasanya akan
diadakan upacara mohon berkat kepada pihak keluarga perempuan untuk
mendapatkan anak laki-laki (Siahaan, 1964: 49).
Sebenarnya praktek ketidakadilan gender ini merupakan penyimpangan
dari nilai-nilai budaya Batak. Pada hakikatnya budaya Batak sangat menghomati
perempuan (boru). Hal ini tersirat dalam falsafah orang Batak yaitu Dalihan Na
Tolu (tungku 3 sudut) yang berbunyi: Somba marhula-hula (hormat pada keluarga
pihak istri), elek marboru (sayang pada pihak suami), dan manat mardongan tubu
(hati-hati dengan saudara kandung). Dalihan Na Tolu ini mengungkapkan
hubungan yang dinamis antara ketiga pihak yang merupakan bagian dari keluarga
besar setiap keluarga. Semua pihak akan merasakan setiap posisi yang ada, ada
saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya juga menjadi Boru dan Dongan Tubu
(Gultom, 2010: 59). Dalam prinsip Dalihan Na Tolu ini Hula-hula (keluarga dari
pihak istri) justru mendapat tempat yang terhormat dalam adat sementara pihak
Boru (keluarga dari pihak suami) mendapat tempat sebagai pihak yang harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
disayangi. Jadi permasalahan pokok ketidakadilan gender terletak pada budaya
patriakhi yang dihidupi secara harafiah tanpa mengindahkan prinsip hidup orang
Batak yang diwariskan oleh para leluhur. Hal inilah yang perlu dimurnikan oleh
Gereja lewat karya katekese yang mengintegrasikan nilai-nilai Injil dalam nilai-
nilai luhur budaya Batak.
Ketidakadilan gender yang bersumber dari penyimpangan nilai-nilai
budaya ini masih berlangsung sampai saat ini. Hal yang sama juga terjadi pada
umat Katolik yang tinggal di Stasi St Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Penulis menilai bahwa Gereja di Tomok kurang memberi perhatian pada
permasalahan ini sehingga belum mampu membawa perubahan mendasar bagi
umat tentang kesetaraan martabat pria dan wanita sesuai ajaran Gereja. Dalam
Kitab Suci sangat jelas disampaikan bahwa pria dan wanita memiliki martabat
yang sederajat. Pria dan wanita memiliki kedudukan yang sepadan dan saling
melengkapi (Kej 2:7,18-25). Hal ini menunjukkan bahwa pria dan wanita
memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Pria dan wanita diciptakan
untuk saling melengkapi, bekerja sama dan saling menghormati satu sama lain
dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai mitra Allah dalam melestarikan
ciptaan Allah di dunia. Pria dan wanita mendapat berkat yang sama dari Allah
untuk melanjutkan keturunan. Maka sangat jelas bahwa garis keturunan tidak
hanya ditentukan oleh pihak laki-laki. Keturunan hanya bisa terjadi karena
kerjasama antara pria dan wanita yang saling melengkapi.
Gereja dalam Katekismus Gereja Katolik mengungkapkan secara jelas
bahwa pria dan wanita meskipun memiliki perbedaan dalam bentuk dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
kepribadiannya, memiliki martabat yang sama yakni satu citra dengan Allah
penciptanya.
Pria dan wanita diciptakan, artinya dikehendaki Allah dalam persamaan
yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak
dalam kepriaan dan kewanitaannya. "kepriaan" dan "kewanitaan" adalah
sesuatu yang baik dan dikehendaki oleh Allah: keduanya, pria dan wanita
memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka
langsung oleh Allah penciptanya. Keduanya pria dan wanita, bermartabat
sama menurut citra Allah. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka
mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan pencipta (KWI, 1995: 369).
Dokumen ini menegaskan bahwa tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan
antara pria dan wanita dalam segi bentuk fisik, peranan dan kepribadiannya.
Perbedaan itu memberikan kekhasan pada masing-masing baik pria dan wanita
karena demikian Allah menghendaki. Pria dan wanita memiliki jenis kelamin
yang berbeda dan dengan fungsi yang tidak bisa saling menggantikan namun
saling melengkapi. Pria diciptakan untuk memberikan benih kehidupan dan
perempuan menerima, mengandung dan melahirkannya. Namun satu hal yang
tidak boleh berbeda antara pria dan wanita adalah martabat mereka sebagai citra
Allah. Inilah inti ajaran Gereja tentang kesetaraan martabat pria dan wanita yang
harus diwartakan Gereja kepada umatnya terutama bagi orang Batak yang masih
kokoh pada budaya patriarkhi.
Salah satu tugas Gereja adalah mewartakan kerajaan Allah kepada dunia.
Kerajaan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus selama hidupNya dengan
memberikan kebahagiaan bagi semua orang, menerima semua orang tanpa
membeda-bedakan satu sama lain. Oleh karena itu Gereja harus mampu
mewujudkan Kerajaan Allah itu dalam konteks budaya patriakhi untuk
mewujudkan kesetaraan martabat pria dan wanita di stasi St. Antonio Maria Claret
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Tomok. Penulis mengusulkan katekese kontekstual sebagai usaha Gereja untuk
menanggapi ketidakadilan gender yang masih terjadi di stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok.
Katekese kontekstual merupakan pendidikan iman yang bertolak dari
lingkungan dan kenyataan sosial di mana peserta katekese (umat) dan katekis
menggumuli imannya setiap waktu. Konteks juga diartikan sebagai ruang dan
waktu di mana realitas dan persoalan sosial bergerak, berubah, dan berkembang.
Katekese kontekstual ini juga relevan dengan situasi di Indonesia, hal ini terlihat
dari PKKI VII yang dilaksanakan di Malang tahun 2004 yang memilih tema "
Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani" (Lalu, 2012: 45).
Lewat katekese kontekstual, Gereja di Stasi Tomok diharapkan mampu
membawa perubahan dalam penghayatan kesetaraan martabat pria dan wanita
sesuai dengan kehendak Allah yang terwujud dalam nilai-nilai ajaran iman dan
nilai-nilai luhur budaya Batak. Untuk itu Gereja perlu secara sistematis
melaksanakan pendampingan iman lewat katekese kontekstual tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita. Hal inilah yang membuat penulis memilih judul skripsi
yakni "Katekese Kontekstual Kesetaraan Martabat Pria Dan Wanita Sebagai
Upaya Untuk Menanggapi Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir” untuk dikaji dan didalami.
Penulis juga sangat yakin bahwa katekese tentang kesetaraan martabat pria
dan wanita harus dimulai dari keluarga karena keluarga menjadi dasar pendidikan
iman dan karakter yang utama dan terutama. Dalam keluarga Batak biasanya
anak-anak sudah memahami dan mengalami bahwa ada perbedaan tugas dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
tanggungjawab antara anak laki-laki dan perempuan yang diberikan oleh orangtua
kepada mereka. Mereka juga mengalami bagaiamna perbedaan perlakuan
orangtua kepada mereka. Anak perempuan diajarkan untuk lebih menghormati
anak laki-laki walaupun usianya jauh lebih muda. Olehkarena itu perlu
pendampingan bagi keluarga-keluarga tentang kesetaraan martabat pria dan
wanita. Dengan demikian penghayatan yang benar tentang kesetaraan martabat
pria dan wanita akan bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang memiliki
ikatan cinta yang kuat dan kekuatan itulah yang diharapkan mampu membawa
perubahan bagi masyarakat yang lebih luas.
Skripsi ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi stasi dan
paroki untuk membuat kebijakan dalam bidang katekese tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok sesuai dengan
konteks budaya yang mereka hidupi. Sumbangan yang akan ditawarkan oleh
penulis adalah perencanaan program katekese kontekstual tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita dalam bentuk pendalaman iman yang dilaksanakan
sebanyak 3 kali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu katekese kontekstual dan kesetaraan martabat pria dan wanita?
2. Sejauh mana ketidakadilan gender masih menjadi keprihatinan di Stasi St.
Antonio Maria Claret Tomok Samosir dan bagaimana bentuk ketidakadilan
gender yang masih terjadi di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
3. Apakah katekese kontekstual tentang kesetaraan martabat pria dan wanita
relevan dengan permasalahan ketidakadilan gender di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir dan usaha apa yang harus dilakukan untuk menanggapi
masalah ketidakadilan gender di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir?
C. Tujuan Penulisan
1. Memberikan penjelasan ilmiah tentang katekese kontekstual dan kesetaraan
martabat pria dan wanita.
2. Memberikan gambaran sejauh mana ketidakadilan gender masih menjadi
keprihatinan di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir dan bagaimana
bentuk ketidakadilan gender yang masih terjadi di Stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir.
3. Memberikan penjelasan bagaimana katekese kontekstual tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita relevan dengan permasalahan ketidakadilan gender di
Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir serta sumbangan pemikiran
sebagai solusi atau upaya untuk menanggapi masalah ketidakadilan gender di
Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir serta usulan program sebagai
upaya yang harus dilakukan untuk menanggapi masalah ketidakadilan gender
di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
D. Manfaat Penulisan
1. Membantu stasi untuk mengetahui permasalahan ketidakadilan gender yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari sekaligus memberikan masukan/usulan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
serta cara pelaksanaan katekese kontekstual untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
2. Bagi penulis penelitian ini menjadi kesempatan untuk memberikan sumbangan
nyata dari hasil perkuliahan mendalami katekese dalam konteks budayanya
sebagai orang Batak demi perubahan pandangan dan sikap umat terhadap
kesetaraan martabat pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
3. Membantu Stasi/Gereja untuk mengevaluasi sejauh mana Gereja telah ikut
ambil bagian dalam melakukan tranformasi sosial yakni mengubah pandangan
dan budaya umat yang bertentangan dengan ajaran Gereja tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir
Samosir
E. Sistematika Penulisan
Bab I akan menjabarkan pendahuluan yang berisikan gambaran umum
ketidakadilan gender dalam budaya patriakhi Batak dan perkembangan katekese
di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Penulisan ini terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II berisi pembahasan berkaitan dengan katekese, katekese kontekstual,
kesetaraan gender, latar belakang munculnya ketidakadilan gender, dan katekese
kontekstual kesetaraan martabat pria dan wanita dalam konteks budaya patrakhi
Batak berdasarkan Kitab Suci, dokumen Gereja, dan pandangan para ahli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Sedangkan dalam Bab III ini berisikan gambaran umum kehidupan
beriman umat di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir, rencana
penelitian, laporan dan pembahasan sejauh mana ketidakdilan gender masih
terjadi di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir melalui proses
wawancara yang mendalam (deep interview).
Dalam Bab IV ini penulis akan menyampaikan usulan atau sumbangan
pemikiran dalam bidang pendampingan iman, matriks, dan contoh persiapan
pendampingan iman dengan tema-tema tentang kesetaraan martabat pria dan
wanita. Program ini diusulkan kepada paroki dilanjutkan sebagai upaya
mengusahakan dan mengembangkan katekese kontekstual kesetaraan martabat
pria dan wanita di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Bab V menguraikan kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
BAB II
KATEKESE KONTEKSTUAL DAN KESETARAAN
MARTABAT PRIA DAN WANITA
Di bagian bab I penulis sudah memaparkan bahwa latar belakang penulisan
judul skripsi ini bersumber dari keprihatinan akan ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan Batak sebagai akibat dari budaya patriakhi yang sudah lama dihidupi
umat dan sudah mereka yakini sebagai warisan leluhur. Penulis meyakini bahwa
sudah menjadi tugas Gereja untuk ikut ambil bagian dalam mengusahakan suatu
solusi yang mampu menjawab permasalahan tersebut yakni dengan melaksanakan
katekese kontekstual tentang kesetaraan martabat pria dan wanita. Maka di bab II
ini, penulis memaparkan kajian pustaka yang mengungkapkan berbagai pendapat
para ahli, Dokumen Gereja, dan Kitab Suci untuk menguatkan pendapat penulis
bahwa katekese kontekstual merupakan salah satu cara yang tepat untuk
menjawab permasalahan umat sekaligus memperluas wawasan tentang katekese
kontekstual kesetaraan martabat pria dan wanita dalam konteks budaya Batak.
Penulis membagi bab ini menjadi 3 bagian pokok yang masing-masing
memiliki sub-sub pokok yang diulas secara jelas. Bagian pertama membahas
tentang katekese kontekstual. Bagian ini mengulas mengenai katekese, katekese
kontekstual dan katekese kontekstual yang membangun komunitas basis Gereja
yang berdaya tranformatif. Penulis memaparkan secara jelas mulai dari hakikat
dan tujuan katekese, sejarah perkembangan katekese, latar belakang munculnya
katekese kontekstual, hakikat dan tujuan katekese kontekstual, teologi katekese
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
kontekstual, langkah-langkah pokok katekese kontekstual dan pembentukan KBG
yang berdaya transformatif.
Bagian kedua menguraikan apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender,
ketidakadilan gender, seks, ideologi gender, dan teologi gender. Penjelasan ini
sangat penting untuk memahami permasalahan gender mulai dari dulu sampai
sekarang. Hal ini dikuatkan dengan pemaparan ideologi gender yang sudah
berkembang cukup lama dalam masyarakat dunia. Ideologi gender mengalami
bias makna sehingga mengakibatkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan.
Di bagian ini juga dijelaskan pandangan teologi tentang perempuan. Teologi
gender membantu kita untuk melihat Allah yang juga hadir sebagai perempuan
dalam karya penyelamatanNya. Bagian ini menjadi kritik terhadap bias ideologi
gender dan teologi yang selama ini kurang berpihak pada kaum perempuan.
Sementara bagian ketiga merupakan sintesis dari bagian pertama dan kedua.
Di bagian ini penulis mengkaji bagaimana katekese kontekstual memperjuangkan
kesetaraan martabat pria dan wanita dalam konteks budaya patriakhi Batak.
Perjuangan Yesus dan Gereja untuk mengusahakan terwujudnya keadilan bagi
perempuan, menjadi landasan bagi katekese untuk menjadikan budaya patiakhi
sebagai konteks dalam berkatekese. Dalam budaya patriakhi di tanah Batak,
hampir
semua keputusan adat ditentukan oleh pihak laki-laki dan kurang memperhatikan
keadilan bagi perempuan. Alasan ini menjadi bagian penting agar Gereja setempat
mengusahakan solusi yakni dengan pelaksanaan katekese kontekstual tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
kesetaraan martabat pria dan wanita dengan menggabungkan nilai luhur yang
terkandung dalam Dalihan Na Tolu dan nilai-nilai Kristiani.
A. Katekese Kontekstual
1. Hakikat dan Tujuan Katekese
a. Hakikat Katekese
Katekese berasal dari bahasa Yunani yaitu "Katechein” dari kata "kat"
yang berarti pergi atau meluas, dan kata “echo” yang artinya menggemakan atau
menyuarakan. Jadi katekese berarti menggemakan atau menyuarakan keluar.
Dalam pemahaman yang agak kuno, katekese diartikan sebagai sarana
pembentukan hidup jemaat Kristen, yang selanjutnya dimaknai sebagai usaha
pendidikan hidup beragama dan pemupukan penghayatan iman
(www.imankatolik.or.id). Hal ini menunjukkan bahwa katekese selain
mengajarkan ajaran Gereja, juga membantu umat menghayati imannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Telambanua (1999: 4) menguraikan pengertian katekese berdasarkan Kitab
Suci yang diartikan sebagai usaha membuat bergema, menyebabkan sesuatu
bergaung. Dalam Kitab Suci ditemukan istilah katekese sebagai berikut: Luk 1:4
(diajarkan); Kis 18:25 (pengajaran dalam jalan Tuhan); Kis 21:21 (mengajar); Rm
2:18 (diajar); I Kor 14:19 (mengajar); Gal 6:6 (pengajaran). Dalam konteks ini,
katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman dan pendidikan iman agar
seorang Kristen semakin dewasa dalam iman. Jadi katekese biasanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
diperuntukkan bagi orang sudah dibaptis agar dibimbing menuju kedewasaan
iman.
St Yohanes Paulus II memahami pengertian katekese sebagai pengajaran
atau pembinaan iman yang ditujukan kepada anak-anak, kaum muda, dan orang
dewasa menuju kesatuan kepenuhan hidup dengan Yesus Kristus. Katekese
sebagai pendidikan iman yang diwartakan adalah Yesus Kristus. Sementara Kitab
Suci dan ajaran Gereja menjadi sumber utama dalam berkatekese (CT, art 18).
Pengertian ini menunjukkan bahwa katekese harus mencakup seluruh umat baik
muda maupun tua agar semakin memahami dan menghayati imannya akan Yesus
Kristus.
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) merumuskan
dengan jelas istilah katekese umat sebagai berikut:
Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau bertukar
pengalaman iman antar anggota jemaat atau kelompok. Melalui kesaksian
para peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-
masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna. Dalam katekese
umat tekanan terutama diletakkan pada penghayatan iman, meskipun
pengetahuan tidak dilupakan dan mengandaikan perencanaan (Lalu, 2012:
12).
PKKI memaknai katekese sebagai komunikasi iman. Hal ini bersumber
dari
budaya Indonesia yang akrab dengan tradisi bermusyawarah. Dalam hidup
beriman, umat juga diharapkan mampu saling berbagi pengalaman iman untuk
saling memperkaya dan meneguhkan. Pemahaman ini menunjukkan bahwa
katekese semakin memperhatikan konteks budaya yang kemudian diintegrasikan
dalam Tradisi hidup beriman Kristiani. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
bahwa katekese merupakan pembinaan iman anak-anak, kaum muda dan orang
dewasa untuk saling bertukar pengalaman iman dan direfleksikan dalam terang
Kitab Suci dan Ajaran Gereja sebagai sumber katekese yang di dalamnya terjadi
interaksi yang disebut komunikasi iman.
b. Tujuan Katekese
Tujuan dari katekese adalah mengembangkan kehidupan umat beriman
Kristiani. Yohanes Paulus II merumuskan tujuan katekese sebagai berikut:
Berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh dan
hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan
peri hidup Kristen umat beriman, muda maupun tua. Kenyataan itu berarti:
merangsang pada taraf pengetahuan maupun penghayatan, pertumbuhan
benih iman yang ditaburkan oleh Roh Kudus melalui pewartaan awal dan
dikurniakan sccara efektif melalui baptis (CT, art 20a).
Catechesi Tradendae menjelaskan bahwa tujuan katekese adalah untuk
mendewasakan iman mulai dari tahap awal. Oleh karena itu katekese bertujuan
untuk mengajarkan sekaligus mendewasakan iman umat. Hasil Pertemuan
Kateketik Antar Keuskupan Se-Indonesia II (Lalu, 2012: 13) memahami katekese
sebagai komunikasi iman atau bertukar pengalaman iman yang mempunyai tujuan
sebagai berikut;
Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman kita sehari-
hari.
Menuju pertobatan (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari
kehadiranNya dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Semakin sempurna dalam beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan
hidup Kristiani semakin dikukuhkan sehingga mampu memberikan kesaksian
tentang Kristus dalam hidup bermasyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Tujuan katekese dapat juga dipahami lewat ulasan Telambanua tentang
tugas utama katekese yakni untuk memberitakan Sabda Allah, mewartakan
Kristus, mendidik untuk beriman, dan mengembangkan Gereja.
Katekese memberitakan Sabda Allah dan mewartakan Kristus. Katekese
bertugas untuk menghadirkan Sabda Allah agar manusia secara pribadi
bertemu dengan Yesus Kristus. Oleh karena itu, katekese harus bersifat
kristosentris, jantung hati katekese adalah Yesus Kristus (Telambanua, 1999:
9). Hal ini menunjukkan bahwa katekese harus mampu membantu umat untuk
bertemu secara pribadi dengan Yesus Kristus lewat sabda Allah yang
diwartakan. Perjumpaan inilah yang memberi daya hidup bagi umat untuk
semakin serupa dengan Yesus Kristus dalam menjalani kehidupannya.
Katekese mendidik untuk beriman. Katekese berperan untuk menyemangati,
membantu dan meneguhkan jemaat supaya semakin beriman. Iman yang
hidup senantiasa membutuhkan pengembangan yang berproses. Oleh karena
itu, dalam berkatekese ada komponen yang perlu ditekankan yaitu aspek
kognitif, afektif dan operatif (Telambanua, 1999: 10). Hal ini menunjukkan
bahwa katekese juga membutuhkan kerjasama dengan berbagai ilmu yang
mampu mengembangkan iman umat secara utuh. Iman tidak lagi berhenti
sebatas pengetahuan, tetapi juga penghayatan yang kemudian tenwujud dalam
tindakan nyata.
Katekese mengembangkan Gereja Usaha untuk mengukuhkan persaudaraan
dan mengobarkan semangat Gereja merupakan tugas utama katekese. Sebagai
tindakan gerejawi (bagian utuh pastoral) katekese mempunyai tujuan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
mengembangkan Gereja. Pengembangan Gereja dilakukan melalui liturgs,
pewartaan, pelayanan gereja lainnya. Pengembangan Gereja merupakan
tanggungjawab seluruh umat (Telambanua, 1999: 10). Iman umat yang
semakin berkembang menjadi awal dan pondasi bagi perkembangan Gereja
baik sebagai lembaga maupun persaudaran umat beriman.
2. Sejarah Singkat Perkembangan Katekese Menuju Katekese Kontekstual.
Sesuai perkembangan zaman, umat tidak lagi hanya membutuhkan
pengajaran, tetapi lebih pada cara bagaimana menghayati iman dalam konteks
hidup mereka sehari-hari. Pada zaman sekarang, masalah iman menjadi semakin
kompleks sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan yang berkembang
pesat. Maka katekesepun membutuhkan pembaharuan yang mampu menjawab
kebutuhan umat dalam menghayati imannya. Salah satu pembaharuan katekese
adalah semakin digalakkannya katekese kontekstual. Katekese kontekstual
muncul dari perjalanan panjang katekese yang mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu seseuai dengan perkembangan zaman. Secara spesifik kita dapat
melihat perkembangan katekese sekitar pertengahan abad XX sebagai cikal bakal
munculnya katekese kontekstual.
Heryatno dalam Rukiyanto (2012: 117), mengulas kembali pemikiran
Erdozain yang mengungkapkan bahwa sekitar sepuluh tahun yang lalu yang lalu
antara tahun 1959-1968, para ahli kateketik menyelenggarakan pertemuan yang
disebut dengan 6 pekan studi kateketik internasional yakni; Njmegan 1959,
Eichtatt 19, Bangkok 1962, Katigondo 1964, Manila 1967, dan Medelin 1968.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Oleh Erdozain, hasil pertemuan 6 pekan studi kateketik intemasional ini dibagi
dalam tiga kelompok.
a. Tahap kerygmatik (Nijmegen 1959 dan Eichstatt 1960)
Perkembangan katekese kerygmatik dipelopori oleh Josef Jungman yang
berpendapat bahwa katekese berada di tengah-tengah hidup Gereja. Berdasarkan
pengertian ini, Romo Heryatno dalam “Pewartaan di Zaman Global” mengatakan
bahwa tugas katekese yang utama adalah mewartakan kepada umat kabar gembira
tentang karya keselamatan Allah dalam pewahyuan diri Yesus Kristus (Rukiyanto,
2012: 117). Hal ini menunjukkan kekhasan katekese tahap kerygmatik yang
bersifat Kristosentris dan sekaligus menunjukkan bahwa katekese ini lebih
menekankan isi, meskipun tetap memperhatikan metode penyampaian.
Secara garis besar katekese tahap kerygmatik ini lebih bertujuan sebagai
pewartaan warta gembira Yesus Kristus agar secara personal maupun komunal
umat semakin mengenal, mencintai, dan mengikuti Yesus Kristus. Katekese tahap
ini pada zamannya mendapat tanggapan yang positif dan mempunyai pengaruh
yang besar dalam hidup Gereja. Namun sesuai perkembangan zaman katekese ini
mengalami kemunduran dan orang mulai membicarakan tentang katekese
antropologis.
b. Tahap Antropologis (Bangkok 1962, Kaigondo 1964, dan Manila 1967)
Dalam "Sejarah Katekese" yang diedit oleh Rukiyanto (2012: 119),
Heryatno mengemukakan tanggapan Erdozain yang menilai bahwa katekese tahap
kerygmatik terlalu bersifat teologis bahkan Eropasentris. Kritik ini memberi
wawasan baru bahwa konteks katekese tidak lagi hanya terbatas pada kebiasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
orang-orang Eropa dalam merayakan iman mereka, melainkan juga harus
disesuaikan dengan konteks di negara-negara lain dimana Injil diwartakan.
Menurut Erdozain, kritik terhadap katekese kerygmatik juga datang dari para
missionaris dan tokoh-tokoh umat setempat yang bekerja di negara-negara Benua
Asia dan Afrika. Ia berpendapat bahwa sabda Allah tidak cukup hanya diwartakan
tetapi harus dinterpretasikan sesuai kebudayaan dan nilai-nilai hidup setempat
sampai pada tahap inkarnasi dan menjadi daya penggerak hidup umat setempat.
Pada tahap ini, para ahli kateketik sudah mulai mempertimbangkan situasi
kehidupan peserta katekese yang pada masa itu mengalami banyak pergolakan
sosial.
Lebih lanjut dalam "Katekese Kontekstual" Heryatno mengulas kembali
pemikiran Erdozain yang menegaskan betapa penting bagi katekese untuk
memperhatikan kehidupan peserta tanpa mengurangi sisi kristosentris katekese itu
sendiri (Rukiyanto, 2012: 119).
Katekese mengusahakan supaya di satu pihak setia kepada iman Katolik
artinya setia kepada wahyu Allah (Yesus Kristus) dan di lain pihak setia
kepada manusia……..Agar relevan dengan kehidupan peserta, katekese
dengan sungguh-sungguh memberi tempat kepada kebutuhan,
permasalahan, dan dimensi historis hidup peserta.
Berdasarkan ulasan di atas, katekese tahap antropologis tidak bertujuan
untuk menghilangkan peranan katekese tahap kerygmatik tetapi justru
menegaskan bahwa katekese antropologis merupakan perkembangan dari katekese
kerygmatik. Hal senada dikemukakan oleh Erdozain yang mengatakan bahwa
katekese tahap kerygmatik menegaskan pentingnya back to basic yaitu Kitab Suci,
liturgi, dan teologi. Sedangkan katekese antropologis menekankan pentingnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
memperhatikan kehidupan peserta yang selalu mengalami perkembangan dan
perubahan sesuai zamannya.
c. Tahap Politis (Medelin 1968)
Dalam Rukiyanto (2012: 120), Heryatno mengulas kembali pemikiran
Erdozain yang menyimpulkan bahwa katekese tahap politis muncul sebagai
perkembangan katekese tahap kerygmatik dan antropologis. Kritik terhadap
katekese tahap antropologis muncul seturut perkembangan kehidupan peserta
yang semakin kompleks. Permasalahan umat bukan lagi sebatas kebudayaan
manusia itu sendıri melainkan masalah sosial politik yang menyangkut struktur
dan keadaan masyarakat itu sendiri. Menarik untuk diulas bahwa katekese
kemudian semakin membuka diri terhadap situasi masyarakat yang lebih luas dan
tidak terbatas pada kehidupan internal Gereja. Para ahli katekese mulai berani
mengemukakan pendapatnya yang kemudian akan membawa katekese ke arah
pembaharuan sesuai dengan situasi zaman dan kehidupan umat.
Ketiga tahap katekese yang dihasilkan dari pekan studi kateketik
intenasional ini memberi gambaran bagaimana perjalanan katekese dari zaman ke
zaman. Sebenarnya tidak dapat dipilih salah satu dari ketiga tahap tersebut yang
dapat dikategorikan sebagai tahap katekese yang paling tepat karena ketiganya
relevan sesuai pada zamannya masing-masing. Ketiga tahap ini juga saling
melengkapi dan dapat menjadi acuan katekese yang semakin ideal dengan
menggabungkan unsur-unsur yang ada dalam setiap tahap katekese tersebut.
Ulasan dari ketiga tahap katekese ini menjadi landasan penting untuk melihat
bagaimana pembaharuan katekese yang semakin menyesuaikan diri dengan situasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
umat dalam zamannya. Hal ini sekaligus membantu kita untuk memahami
bagaimana latar belakang munculnya katekese kontekstual.
3. Katekese Kontekstual
a. Pengertian Katekese Kontekstual dan Latar Belakangnya
Pengertian konteks merujuk pada makna ruang yang menyangkut
keseharian hidup manusia. Armada Riyanto (2004: 5) mengatakan bahwa ruang
yang dimaksud bukan sebatas fisik atau geografis melainkan latar pengalaman
hidup sehari-hari. Ruang lingkup kehidupan manusia sangatlah luas dan
menyangkut berbagai bidang kehidupan yang secara sederhana dapat dibagi dalam
bidang sosial, ekonomi, religius, politik, dan budaya. Berkaitan dengan konteks,
Heryatno dalam (Rukiyanto, 2012: 132) mengatakan bahwa konteks merupakan
lingkungan hidup dan kenyataan sosial dimana umat dan katekis tinggal dan
hidup, menggulati serta menghayati imannya setiap hari.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ruang lingkup hidup tersebut
bersifat dinamis dimana kemanusiaan dan sejarahnya berkembang. Konteks yang
dimaksud mencakup realitas, persoalan hidup, harapan, impian, kebutuhan, dan
pandangan hidup atau nilai hidup yang hendak diperjuangkan. Pengalaman hidup
umat mengalami perubahan dan perkembangan sesuai situasi tempat dan
kehidupan masyarakatnya. Segala penderitaan, perjuangan, dan harapan umat
menjadi bagian dari perjuangan Gereja yang dengan berbagai cara mengusahakan
agar Kerajaan Allah terwujud dalam kehidupan umat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Beny Mite (2009: 19) mengatakan bahwa istilah kontekstual mulai
terdengar setelah adanya pergeseran penting dalam berteologi sekitar tahun 1980.
Ketika itu teologi dipahami sebagai refleksi orang Kristiani terhadap Injil sesuai
dengan situasi kehidupan yang mereka alami. Sebelumnya teologi lebih berpusat
pada karya keselamatan dalam diri Yesus Kristus sebagai Putera Allah.
Pergeseran ini memunculkan berbagai istilah seperti kontekstualisasi,
pempribumian, dan inkulturasi. Istilah-istilah ini sebenarnya memiliki makna
yang hampir sama yakni memberi tekanan pada situasi atau keadaan umat
setempat. Dengan kata lain metode katekese yang sebelumnya berkembang di
Eropa, tidak bisa begitu saja diterapkan bagi umat di benua lain melainkan
disesuaikan dengan kehidupan umat setempat baik dalam aspek budaya, ekonomi,
sosial, dan politik.
Gerit Singgih (2000: 18) dalam bukunya “Berteologi Dalam Konteks”
memberi penjelasan tentang inkulturasi dan kontekstualisasi. Ia mengungkapkan
bahwa inkulturasi memiliki tujuan pempribumian liturgi Gereja yang pasti
berhubungan dengan budaya daerah setempat/tradisional. Sementara
kontekstualisasi memiliki makna lebih luas yakni kebudayaan yang dinamis.
Kebudayaan dinamis ini mencakup budaya tradisional dan budaya modern. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa kontekstualisasi bukan pemaksaan dari satu budaya ke
budaya lainnya, melainkan menggarami dan menerangi budaya dengan Injil.
Kontekstualisasi menciptakan transformasi dalam memaknai budaya sebagai
sarana pengudusan dari Allah sehingga budaya diresapi dan dihidupi oleh iman
akan Allah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Kemudian di negara-negara berkembang, teologi kontekstual semakin
sering digunakan sebagai upaya untuk berkatekese dengan cara yang baru.
Sebagaimana yang sudah dipaparkan dalam hasil pembahasan studi kateketik
international sebelumnya, corak katekese yang berciri kontekstual ini merupakan
perkembangan dari katekese yang sebelumnya sangat kental dengan budaya
Eropa. Hal ini merujuk pada permasalahan sosial yang dialami oleh negara-negara
berkembang sangat berbeda dengan yang dialami oleh negara-negara Eropa. Maka
sangatlah tepat untuk membaharui katekese yang sesuai dengan kebutuhan umat
setempat.
b. Hakikat dan Tujuan Katekese Kontekstual
Perkembangan katekese di Indonesia memang semakin mengarah pada
katekese yang memberikan perhatian pada situasi umat dalam masyarakat bahkan
dunia. Namun sampai saat ini katekese kontekstual masih kurang terlaksana dalam
praktek katekese, yang berkembang di Indonesia adalah katekese umat. Beny Mite
(2009: 21) mengungkapkan bahwa katekese kontekstual pernah dipakai oleh
Adisusanto untuk menjelaskan pandangannya tentang katekese sosial dan oleh
Banawiratma untuk menjelaskan teologi dan katekese yang harus fungsional bagi
umat setempat.
Beny Mite (2009: 21) mengulas kembali pemikiran Banawiratma yang
mengungkapkan bahwa teologi dan katekese dapat berfungsi bagi umat setempat
jika berangkat dari konteks masyarakat setempat. Istilah katekese kontekstual
yang digunakan oleh Banawiratma tidak terbatas pada bidang katekese saja tetapi
juga terkait dengan bidang-bidang ilmu lainnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Manfred Habur (2016: 39) dalam makalah lokakarya nasional ilmu kateketik yang
mengemukakan sifat kateketik sebagai ilmu interdisipliner. “Kompleksitas
persoalan katekese sebagai praksis pendidikan iman menjadi perhatian banyak
disiplin ilmu. Katekese praktisnya berkaitan dengan Sabda Allah, Gereja, dan
manusia dalam konteks psikologis-sosial-kultural tertentu”. Pemikiran kedua
penulis ini secara jelas mengungkapkan bahwa katekese kontekstual menjadi cara
baru berkatekese yang lebih relevan dengan situasi umat dalam dunia yang
berkembang. Katekese tidak lagi hanya mendalami Kitab Suci dan ajaran Gereja
tentang iman akan Kristus tetapi sekaligus memberi ruang dan perhatian pada
situasi umat dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami
bahwa katekese kontekstual merupakan katekese yang sungguh masuk dan
meresap ke dalam lingkungan dan kenyataan sosial hidup umat. Dalam katekese
kontekstual, pengalaman hidup umat menjadi materi pokok yang tidak dapat
dipisahkan dari isi katekese yakni Yesus Kristus. Keduanya menjadi sarana bagi
umat untuk berefleksi dan menimba inspirasi. Hal ini sesuai dengan ulasan
Heryatno dalam (Rukiyanto, 2012: 132) yang menjelaskan bahwa katekese
kontekstual membantu umat untuk menghayati dan memperkembangkan imannya
dalam kenyataan sosial yang sungguh mereka gulati, membangun hidup umat
secara internal tetapi juga akan mendorong umat untuk secara aktif mengambil
bagian di dalam pembangunan hidup bersama yang berkaitan dengan penegakan
keadilan, pemecahan masalah penyakit masyarakat, pemeliharaan lingkungan
hidup, dan kepedulian kepada yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
c. Katekese Kontekstual di Indonesia
Leonard Supama (2012: 11) mengatakan bahwa di Indonesia, katekese
kontekstual mulai dibahas pada PKKI VI. Tema yang dibahas pada saat itu adalah
membina iman umat yang terlibat di tengah-tengah masyarakat. Namun
sebelumnya pada PKKI II telah dirumuskan katetese umat sebagai arah katekese
di Indonesia. Gagasan muncul dari hasil sharing pengalaman para peserta PKKI
dari berbagai daerah. Mereka menyadari bahwa perlu menemukan model katekese
yang sesuai dengan situasi hidup umat di daerah mereka masing-masing. Hal ini
sejalan dengan visi Gereja Asia yang mulai menyadari bahwa konteks hidup
mereka berbeda dengan konteks Eropa yang selama ini menjadi tolak ukur Gereja.
Gereja Asia mulai mengusahakan supaya Gereja bertumbuh dalam konteks
masyarakat setempat, menyadarkan pentingnya bentuk katekese oleh umat, dari
umat, dan untuk umat. Perubahan ini searah dengan perubahan pandangan umat
beriman terhadap Gereja, dari hierarki instutisional menjadi Gereja sebagai umat
Allah
Tema PKKI IV yang menekankan bahwa pembinaan iman yang terlibat
dalam masyarakat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi katekese Indonesia.
Katekese yang mampu membina iman umat untuk semakin terlibat dalam
masyarakat luas tentu menjadi harapan yang sesuai dengan visi Kerajaan Allah
yang harus diwartakan ke seluruh penjuru dunia. Ini menjadi kesempatan bagi
Gereja untuk mewartakan Injil seluas-luasnya, menjangkau seluruh pengalaman
manusia dalam pengalaman hidup bermasyarakat. Namun hal ini juga menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
tantangan bagi katekese untuk mampu menyesuaikan diri dengan dinamika
kehidupan bermasyarakat tanpa kehilangan makna atau inti katekese.
Dalam hasil angket dari Pertemuan Antar Lembaga Pendidikan Sarjana
Kateketik dan Teologi (PALPSKAT) dalam buku “Upaya Pengembangan
Katekese Indonesia” Hardiwiryono menyimpulkan bahwa salah satu visi seputar
katekese adalah mengembangkan katekese kontekstual dengan menemukan pola
katekese yang bertitik tolak pada analisis sosial. Beliau juga mengatakan bahwa
katekese kontekstual akan membuka peluang kerjasama katekese dengan berbagai
bidang ilmu lain seperti teologi, sosiologi, liturgi, antropologi, komunikasi dan
psikologi (Komkat 1997: 17). Bidang ilmu yang membantu katekese memahami
dan mendalami situasi sekaligus membantu katekese untuk menemukan metode
yang relevan. Salah satu metode katekese yang relevan dengan katekese
kontekstual adalah analisis sosial. Ansos diharapkan mampu membantu katekese
untuk menemukan dan menganalisa situasi permasalahan sosial yang dialami
umat.
d. Katekese Kontekstual dalam Katekese Umat dan Analisis Sosial
Katekese umat merupakan komunikasi iman antar seluruh peserta katekese
sebagai sesama dalam seiman yang memiliki derajat yang sama, mereka saling
bersaksi tentang iman mereka (Lalu, 2007: 92). Lewat komunikasi iman ini,
peserta katekese semakin terbuka mengungkapkan pengalaman imannya dalam
kehidupan sehari-hari, saling meneguhkan, dan bersama-sama merefleksikan
pengalaman hidup mereka dalam terang Injil. Prinsip katekese umat dari umat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
oleh umat, dan untuk umat mengungkapkan kedudukan mereka yang sederejat,
saling belajar dan saling memperkaya dalam iman.
Sebenarnya dalam katekese umat sudah ada unsur katekese kontekstual.
Dalam katekese umat, pengalaman hidup umat menjadi bahan bahan kateksese
yang diolah, direfleksikan dalam terang Injil. Namun dalam katekese kontekstual
pengalaman umat ini didalami atau dianalisis secara ilmiah kemudian
direfleksikan dalam terang Injil. Maka dalam katekese kontekstual, metode
analisis sosial sangat dibutuhkan dalam mengolah bahan katekese. Hal ini
dijelaskan dalam (Leonard Supama, 2012: 63) tentang panduan katekis voluntir
berkatekese umat.
Analisis sosial merupakan salah satu upaya agar katekese umat bisa
menjawab kebutuhan umat akan suatu perubahan cara pandang,
munculnya sebuah transformasi, dan munculnya pemikiran-pemikiran
untuk memecahkan persoalan. Analisis sosial adalah suatu usaha untuk
mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi ekonomi,
politik,agama, budaya, dan keluarga, sehingga kita tahu sejauh mana dan
bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidakadilan sosial.
Katekese umat dengan analisis sosial membantu para katekis dan umat
untuk menemukan, memahami, mendalami dan merefleksikan pengalaman hidup
sesuai dengan konteks yang ada. Analisis sosial bukan hanya berfokus pada
pengalaman hidup menggereja, tetapi juga pengalaman dalam konteks
masyarakat, negara, bahkan dunia. Inilah yang kemudian secara eksplisit disebut
dengan katekese kontekstual.
e. Corak Teologi Katekese Kontekstual
Dalam pelaksanaan katekese kontekstual, penting untuk diperhatikan agar
konteks pengalaman manusia tidak mendominasi hingga kurang memberi tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
pada Kitab Suci dan Tradisi Gereja sebagai isi katekese. Maka untuk menjaga
keseimbangan antara pengalaman manusia dengan Sabda Allah ini, perlu
dipahami hubungan antara katekese dan teologi. Manfred Habur (2016: 33) dalam
“Identitas Ilmu Kateketik Sekarang ini” mengatakan bahwa katekese sebagai ilmu
kateketik merupakan teologi praktis. “Refleksi atas praksis pendidikan iman
tetaplah diletakkan dalam perspektif teologis. Artinya prinsip epistemologis
pengetahuannya tidak hanya didasarkan pada pengalaman inderawi, akal budi, dan
intuisi rohani, melainkan juga pada wahyu Allah”.
Katekese kontekstual dengan segala caranya membantu umat untuk
mengembangkan imannya menuju kedewasaan iman sesuai konteks kehidupan
yang mereka alami. Namun Manferd Habur menegaskan bahwa kedudukan
katekese sebagai teologi praktis harus tetap menyadari bahwa iman bukan melulu
usaha dari manusia, melainkan anugerah atau inisiatif Allah untuk menyelamatkan
umatNya. Hal ini menjadi pedoman bagi katekese kontekstual agar dalam
pelaksanaannya tetap menjadikan Sabda Allah sebagai sumber kekuatan untuk
memaknai pengalaman manusia tanpa mengabaikan konteks hidup umat.
Keseimbangan antara pengetahuan iman (Kitab Suci dan Tradisi Gereja)
dengan keterampilan meneruskan pengetahuan iman tersebut dalam proses
komunikasi iman, menjadi ciri khas katekese yang membedakannya dari ilmu lain
termasuk teologi (Manfred Habur, 2016: 24). Maka meskipun katekese lahir dari
Rahim teologi dan bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya, katekese tetap
memiliki identitas yang otonom. Katekese tidak hanya berpusat pada teori akan
iman tetapi sekaligus mengusahakan penerapannya dalam kehidupan umat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
nyata. Oleh karena itu dalam katekese kontekstual perlu dijelaskan bagaimana
peran teologi dalam membantu umat memaknai pengalaman hidupnya dalam
terang Injil.
Heryatno mengulas kembali pemikiran Bosch dalam “Katekese
Kontekstual” yang diedit oleh Rukiyanto (2012: 123) dengan memaparkan
beberapa corak teologi kontekstual. Sesuai dengan perubahan pandangan tentang
Gereja dari Gereja yang hierakhi menuju Gereja sebagai umat Allah, secara tidak
langsung mengubah corak teologi dalam berkatekese. Teologi dalam Gereja
Hierarkis memandang Kitab Suci dan tradisi penafsirannya sebagai sumber iman
yang tidak bisa diubah dan berada diatas kebudayaan (Beny Mite 2009: 20). Maka
corak teloginya lebih menekankan sisi doktrin Gereja dengan pengajaran terkesan
kaku dan kurang memberi perhatian pada pengalaman umat.
Corak teologi dalam katekese kontekstual sesuai dengan pandangan
Konsili Vatikan II tentang Gereja sebagai umat Allah yang menekankan makna
Gereja sebagai persaudaraan yang disatukan oleh Allah yang penuh kasih.
Perubahan pandangan ini memberi perubahan juga bagi katekese baik isi, metode,
dan tujuan katekese. Katekese tidak lagi hanya bersifat Kristosentris tetapi
sekaligus bersifat umatsentris. Corak teologi katekese kontekstual ini menekankan
umat sebagai tujuan karya keselamatan Allah, terutama mereka yang menderita.
1) Teologi kontekstual berasal dari bawah yaitu dari umat, khususnya mereka
miskin dan menderita. Pemikiran ini mengingatkan kita akan hakikat
inkarnasi, bagaimana Allah hadir, menjadi manusia dan hidup bersama
manusia dalam seluruh dinamika kehidupan di dunia. Yesus yang selama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
hidupnya mewartakan kerajaan Allah dengan memilih untuk hadir bersama
umat, menyampaikannya ajaranNya dengan perumpaan yang sesuai dengan
situasi umatNya, dan melakukan pembaharuan bersama-sama dengan
umatNya. Maka dalam katekese kontekstual partisipasi aktif dari seluruh umat
sangat diharapkan. Materi, tujuan, dan proses katekese berlangsung dari umat,
oleh umat dan untuk umat. Katekis harus menyadari peranannya sebagai
fasilitator yang membantu umat untuk menemukan, memahami, dan
memperoleh makna kehadiran Allah dalam seluruh dinamika katekese.
2) Memiliki tekanan pada praksis yaitu perjuangan pembebasan yang utuh bagi
orang-orang yang menderita. Berita gembira Kerajaan Allah yang
memaklumkan keselamatan mencakup sebuah pesan pembebasan. Karya
keselamatan yang diwartakan Allah adalah kebebasan umat manusia dari
belenggu dosa. Dosa dalam berbagai bentuknya telah memisahkan manusia
dari Allah dan menciptakan banyak penderitaan. Maka katekese tanpa
perjuangan kebebasan manusia sebagai anak-anak Allah adalah sia-sia.
Katekese kontekstual harus sungguh mampu memahami situasi-situasi yang
menekan kehidupan umat, menemukan solusi dan berusaha
memperjuangkannya semaksimal mungkin.
3) Menekankan pentingnya komitmen untuk memperjuangkan perbaikan nasib
orang-orang yang menderita. Komitmen merupakan bagian dari semangat
kemuridan. Kesetiaan mengikuti dan melaksanakan kehendak Allah
membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah. Dalam katekese
seringkali niat yang telah dirumuskan ataupun yang sudah diusahakan, hilang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
dan tidak terlaksana secara tuntas. Maka sangat perlu ditegaskan bahwa dalam
katekese kontekstual umat juga dibentuk menjadi pribadi yang memiliki
komitmen yang kuat sebagai murid Kristus.
4) Pelaksanaannya di tengah-tengah umat yang mengalami penderitaan dan
bersama-sama dengan mereka. Hal ini dapat kita pahami dengan mengingat
kembali bagaimana Allah melaksanakan karya kesalamatanNya. Karya
keselamatan Allah terlaksana dengan kerjasama yang baik antara Allah dan
manusia. Allah hadir dan tinggal bersama-sama dengan manusia, terutama
mereka yang menderita. Maka katekese kontekstual juga harus terlaksana di
tengah-tengah umat yang membutuhkan pembebasan. Umat bersama katekis
menjadi pelaksana katekese yang aktif.
5) Kenyataan ketertindasan orang miskin dan perjuangan bersama mereka
merupakan sumber dan tempat utama untuk berteologi. Dalam kenyataan ini,
katekese membantu umat untuk mengalami Allah yang hadir dan aktif
berkarya untuk membebaskan umat dari penderitaan. Allah yang dipahami dan
diimani adalah Allah yang peduli terhadap penderitaan umat sekaligus Allah
yang menyertai segala perjuangan mereka. Intinya teologi katekese kontektual
ini memampukan umat untuk memahami dan menghadirkan Allah yang
dirindukan oleh umat sesuai situasi yang mereka alami (Rukiyanto, 2012:
123).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
4. Katekese Kontekstual Membangun Komunitas Basis Yang Berdaya
Transfomatif
Tindakan-tindakan untuk mewujudkan Kerajaan Allah jelas terlihat dari
keberpihakan Yesus pada kaum terindas, sikap penuh pengampunan bagi kaurm
berdosa, kritikNya pada hukum Taurat yang menekan masyarakat, perlawanan
yang dilakukan untuk memperbaiki sistem kekuasaan yang tidak jujur dan tidak
adil, dan memperbaharui pemahaman-pemahaman masyarakat terhadap isu-isu
sosial yang terjadi pada zamannya. Tugas ini kemudian dilanjutkan oleh Gereja
lewat para murid Nya yang membentuk satu kesatuan dalam Gereja untuk
mewartakan Kerajaan Allah dengan menjadi terang, garam dan ragi bagi seluruh
umat manusia Kerajaan Allah yang dimaklumkan Yesus terjadi dalam kerangka
harapan orang-orang Yahudi akan penguasa yang adil, yang memperjuangkan
keselamatan/kesejahteraan bagi semua orang. Kerajaan Allah diharapkan sebagai
pembebasan dari kuasa yang tidak adil, pembebasan kaum tertindas, kesejahteraan
bagi kaum miskin, pengampunan orang berdosa dan merupakan penegakan
keadilan Allah dalam dunia.
Tindakan-tindakan untuk mewujudkan Kerajaan Allah jelas terlihat dari
keberpihakan Yesus pada kaum tertindas, sikap penuh pengampunan bagi kaum
berdosa, kritikNya pada hukum Taurat yang menekan masyarakat, perlawanan
yang dilakukan untuk memperbaiki sistem kekuasaan yang tidak jujur dan tidak
adil, dan memperbaharui pemahaman-pemahaman masyarakat terhadap isu-isu
sosial yang terjadi pada zamannya. Tugas ini kemudian dilanjutkan oleh Gereja
lewat para muridNya yang membentuk satu kesatuan dalam Gereja untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
mewartakan Kerajaan Allah dengan menjadi terang, garam dan ragi bagi seluruh
umat manusia.
Hal senada dijelaskan oleh Heryatno (2015: 11) dalam makalah tentang
peta katekese dengan mengulas kembali pemikiran Jack L. Seymor mengenai
berbagai sudut pandang pendekatan katekese. Beliau mengatakan bahwa tujuan
katekese adalah mengusahakan reformasi dan transformasi sosial di tengah-tengah
hidup jemaat dan masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.
Pewartaan iman melalui katekese harus berdampak pada sikap dan perilaku umat.
Katekese harus bisa mengubah cara berfikir umar berhadapan dengan aneka
persoalan yang dihadapinya, membantu terjadinya transformasi yang lebih luas
dan menemukan jalan keluar melalui katekese, melalui katekese umat
diberdayakan untuk menjadi promotor terwujudnya Kerajaan Allah.
a. Komunitas Gereja Perdana Yang Berdaya Transformatif.
Sejak awal masa pewartaanNya, Yesus selalu melibatkan banyak orang
dalam karyaNya. Ia sungguh memahami bahwa Kerajaan Allah hanya akan
terlaksana dengan membangun kerja sama dengan banyak pihak. Komunitas para
murid menjadi komunitas inti dalam mewartakan Kerajaan Allah. Dalam kisah
para Rasul, diceritakan perjalanan dan perjuangan para murid untuk mewartakan
Kerajaan Allah dengan berpegang pada teladan Sang Guru. Para murid selain
mendidik iman secara personal, mereka juga selalu membentuk komunitas/jemaat
dimanapun mereka berada.
Pada akhimya kita dapat melihat bahwa kekuatan komunitas para murid
menjadi tonggak utama dalam pembentukan Gereja hingga pada saat ini. Berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
bangsa dan kebudayaan yang sebelumnya menolak Kristus, akhirnya percaya dan
menerima Yesus sebagai putra Allah serta ajaran iman yang diwartakanNya.
Transformasi sosial terjadi bukan hanya dalam masyarakat Yahudi, Yunani
ataupun Romawi tetapi meluas sampai ke penjuru dunia. Berbagai budaya dan
tatanan masyarakat yang sebelumnya bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan
Allah mengalami pemurnian dan pembaharuan berkat pewartaan Gereja Kristus.
b. Peranan Komunitas Dalam Katekese
Dalam katekese, komunitas menjadi unsur penting untuk mengembangkan
iman umat. Komunitas menjadi tempat dan sarana bagi umat untuk menghayati,
mengembangkan dan memperkaya imannya. Heryatno (2015: 5 ) mengulas
kembali pemikiran Jack L Seymor dalam makalah "katekese umať" yang
mengungkapkan bahwa komunitas memiliki fungsi ganda yakni mengembangkan
iman personal dan komunal.
Komunitas dapat menjadi titik temu antara kebutuhan hidup yang
bersifat personal (private life) dengan kenyataan hidup yang bersifat
publik (public life). Oleh karena itu terbentuknya kelompok-kelompok
kecil jemaat beriman (bdk. Dengan Komunitas basis Gerejawi atau
KBG) dapat bermanfaat sebagai strategi yang tepat untuk pembangunan
bidup jemaat beriman.
Lewat komunitas beriman umat semakin semakin menyadari kesatuan
sebagai umat Allah, saling berbagi, meneguhkan, dan bekerja sama dalam
mewujudkan Kerajaan Allah. Selain itu lewat berbagai pengalaman dalam
komunias umat beriman setiap pribadi semakin mampu memaknai dan
menghayati imannya. Pengalaman dicintai diterima dan diakui dalam komunitas
memberi peneguhan iman akan cinta kasih Allah yang sungguh hadir dalam
kehidupan sehan-hari. Komunitas beriman yang ideal adalah komunitas Gereja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
perdana, dimana mereka berkumpul, berdoa, merenungkan Kitab Suci dan
melakukan perjamuan bersama sebagai saudara. Namun dalam perjalanan sejarah
Gereja, komunitas yang demikian mulai hilang seiring dengan berkembangnya
Gereja yang lebih bersifat intutisional/hierarkis.
c. Komunitas Basis Gereja Yang Berdaya Transformatif
Sekian lamanya Gereja terkunkung dalam mekanisme yang ketat dan
kaku, muncullah sebuah gerakan kaum awam unuk membentuk sebuah
Komunitas yang menghidupkan kembali semangat persaudaraan, dan keakraban
Gereja perdana. Komunitas inilah yang kemudian disebut dengan kumunitas basis
Gereja (KBG). Keberadaan KBG semakin dikukuhkan oleh Gereja karena arah
dan tujuannya yang sejalan dengan pandangan Konsili Vatikan I yang
memandang Gereja sebagai umat
Allah yang sedang berziarah, yang mengharapkan partisipasi aktif dari setiap
anggotanya untuk mewartakan Kerajaon Allah (Seran, 2007 :62).
Kegiatan KBG dapat dibagi dalam 2 bagian yakni kegiatan yang bersifat
intermal dan eksternal. Kegiatan internal dilakukan dengan berkumpul dan berdoa
bersama secara rutin, merenungkan Kitab Suci, sharing pengalaman iman, dan
kegiatan-kegiatan liturgis. Kegiatan eksternal merupakan kegiatan yang
melibatkan setiap pribadi maupun kelompok untuk terlibat dalam mewartakan
Kerajan Allah di tengah-tengah masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, dan budaya. Lewat KBG ini, umat secara rutin melaksanakan pendalaman
pengalaman kehidupan sehari-hari yang diolah dan direnungkan dalam terang
Injil. Nilai-nilai yang ditemukan dalam pendalaman iman diwujudkan melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
kehidupan sehari-hari sesuai dengan tugas dan peranan mereka baik dalam
keluarga maupun masyarakat luas.
5. Langkah-Langkah Pokok Pelaksanaan Katekese Kontekstual
Sebelum melaksanakan katekese kontekstual, ada beberapa pokok yang
perlu diperhatikan dan dilakukan agar katekese kontekstual sungguh-sungguh
mampu menjawab kebutuhan umat. Dalam penjelasan ini, penulis mengulas
kembali pemikiran Heryatno dalam buku “Pewartaan di Era Global” yang diedit
oleh Rukiyanto (2012: 135). Dalam buku ini, Heryatno banyak mengulas kembali
pemikiran Antone dan Groome tentang katekese kontekstual dan katekese total
serta pemikiran Paus Yohanes Paulus II tentang pembaharuan katekese. Beberapa
langkah-langkah pokok dalam pelaksanaan katekese kontekstual adalah sebagai
berikut:
1) Memahami dan mengunalisis konteks. Konteks yang dimaksud bukan sebatas
letak geografis totupi ruang sosial buday yang dinamis, tempat dimana umat
hidup, berproses menghayati imannya dalam kehidupan sehari-hari.
2) Setelah menganalisis konteks kehidupan umat secara menyeluruh, katekis
beserta umat merumuskan tujuan katekese yang hendak dicapai. Tujuan
katekese harus sesuai dengan konteks kehidupan umat, hal ini menyangkut
permasalahan yang mereka hadapi serta harapan umat dan katekis atas situasi
yang mereka alami.
3) Katekese kontekstual bersifat kristosentris sekaligus umat sentris. Maka
materi katekese mencakup misteri hidup dan cinta kasih Yesus Kristus dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
pengalaman hidup umat secara menyeluruh. Dalam proses katekese, umat
difasilitasi untuk memahami dan mendalami misteri hidup Yesus Kristus
sebagai anak Allah yang menderita, sengsara, wafat dan bangkit mulia demi
memperjuangkan Kerajaan Allah serta menyadari kehadiranNya yang
menyertai seluruh perjalanan hidup umat (CT art 5).
4) Metode yang digunakan dalam katekese kontekstual harus relevan dengan
tujuan yang hendak dicapai. Maka apapun metode yang digunakan
orientasinya adalah tujuan katekese yang mampu menjawab kebutuhan umat.
Sangat disarankan agar metode katekese bervariasi sehingga tidak
menimbulkan kesan membosankan bagi umat.
5) Katekese kontekstual membutuhkan kerja dengan berbagai bidang ilmu. Oleh
karena itu dalam pelaksanaannya, katekese kontekstual membutuhkan
partisipasi seluruh umat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan
memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki umat baik dalam di paroki
maupun di lingkungan serta pihak/orang lain yang berkompeten, selain
mampu memaksimalkan pencapain tujuan, juga mampu membangun
persatuan umat, kemandirian, keterbukaan, dan persaudaraan sejati.
6) Pembaharuan yang dimaksud adalah pembaharuan yang menyeluruh baik visi,
tema, bahasa, maupun metode katekese. Pembaharuan ini selain
menghilangkan kesan membosankan, juga sesuai dengan sifat katekese yang
dinamis sesuai konteks zaman dan pengalaman hidup umat. Namun
pembaharuan yang dimaksud bukan asal-asalan ataupun improvisasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
melainkan dengan perencanaan yang matang, selaras dan mampu menjawab
kebutuhan umat (CT art 17).
B. Kesetaraan Gender
1. Pengertian Kesetaraan Gender
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks karena seringkali orang
menyamakan pengertian seks dengan gender. Saparinah Sadli (2010: 22)
mengatakan bahwa seks (jenis kelamin) menyangkut hitungan kromoson, pola
genetik, dan struktur genetial yang berkaitan dengan tubuh laki-laki dan
perempuan, dimana laki- laki memproduksikan sperma, sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu unnuk menstruasi, hamil dan
menyusui. Seks banyak berkonsentrasi pada aspek biologıs yang meliputi
perbedaan komposisi kimia, hormon, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik
biologis lainnya.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan sangat jelas ditinjau dari segi
fisiknya. Perbedaan fisik ini sekaligus menyebabkan perbedaan perilaku antara
pria dan wanita, namun demikian tidak semua perbedaan fisik antara lakai-laki
dan perempuan lantas mengakibatkan perilaku atau tindakan yang berbeda. Laki-
laki dan perempuan dapat melakukan pekerjaan yang sama dengan menggunakan
salah satu bagian tubuh mereka seperti mencangkul. Dalam karakteristik biologis,
mereka juga dapat melakukan hal yang sama baik laki-laki maupun perempuan
seperti kegiatan menari. Meskipun kegiatan menari identik dengan perempuan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
namun alat reproduksi serta fungsinya tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki
dan perempuan. Inilah yang menjadi kodrat antara laki-laki dan perempuan yang
tidak bisa diubah. Hal ini menunjukkan bahwa ada bagian atau unsur biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan di antara
keduanya.
Sedangkan gender merupakan konsep sosial. "Istilah feminitas dan
maskulinitas dalam gender berkaitan dengan sejumlah karakteristik psikologis dan
perilaku yang kompleks yang telah dipelajari sescorang melalui pengalaman
sosialnya" (Saparinah Sadli, 2010: 23). Jadi perbedaan perilaku antara laki - laki
dengan perempuan selain disebabkan oleh faktor biologis juga faktor proses sosial
dan kultural. Oleh sebab itu gender dapat berubah-ubah dari tempat ke tempat,
waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi dalam masyarakat.
Jenis kelamin tidak dapat diubah antara laki-laki dan perempuan karena
merupakan status yang melekat atau bawaan sedangkan gender merupakan status
yang diperoleh manusia dari proses interaksinya dalam masyarakat. Gender tidak
bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak
dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender
dapat berubah, direkayasa, dan diperbaiki. Inilah perbedaan mendasar antara
gender dan seks yang harus dipahami dalam membangun pandangan dan sikap
yang benar dalam permasalahan ketidakadilan gender yang sampai saat ini masih
terjadi bahkan terus berkembang.
Kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. Keadilan
gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki - laki dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
perempuan sesuai dengan identitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi baik terhadap laki-laki maupun perempuan, setiap orang dihargai dan
diterima sesuai dengan identitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.
2. Ideologi Gender
Dalam memahami ideologi gender, ada 2 teori yang dapat membantu kita
untuk memahaminya secara lebih jelas.
a. Teori Nature
Teori ini beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara pria dan wanita
disebabkan perbedaan biologis saja (Saparinah Sadli, 2010: 41). Teori ini dapat
dipahami maksudnya jika kita melihat kembali bagaimana proses atau dinamika
manusia dalam membangun peradabannya termasuk bagaimana manusia membagi
peranan pria dan wanita dalam mempertahankan hidup mereka. Manusia sejak
zaman purba belajar membuat aturan main pembagian kerja menurut jenis
kelamin atau aspek biologis (Murniati, 2004: 79). Logikanya sederhana, fisik laki-
laki yang kuat dianggap lebih mampu melindungi keluarga dan kelompoknya dari
bahaya. Sementara perempuan ikut membantu dengan mengurus keluarga,
makanan dan obat-obatan. Menarik bahwa meskipun jenis pekerjaan mereka
berbeda tetapi tujuannya satu yakni untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Zaman ini bisa disebut sebagai budaya matriakhi karena perempuan menjadi
pengambil sekaligus pelaksana dalam urusan keluarga dan keturunan karena pada
saat itu laki-laki hidup berpindah-pindah dan berburu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
b. Teori Nurture
Teori ini memiliki pandangan bahwa perbedan psikologis antara pria dan
wanita disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan yang ada. Sebenamya
teori ini merupakan kelanjutan dari teori pertama yang mengalami perubahan
sesuai dengan situasi zaman (Saparinah Sadli, 2010: 41). Perubahan dari zaman
nomaden ke zaman peternakan membuat laki-laki lebih berminat beternak karena
lebih menguntungkan. Kelimpahan harta menuntut adanya ahli waris. Maka sejak
itu laki-laki mencari ahli warisnya dari garis keturunannya. Saat inilah budaya
matriakhi mengalami perubahan menuju budaya patriakhi. Perjalanan budaya
patriakhi semakin diperkuat oleh sistem masyarakat feodal, kapitalis hingga ke
militerisme. Sejak saat itu, laki-laki memiliki kuasa untuk memperoleh harta,
mengambil keputusan, dan menentukan ahli warisnya. Dalam masyarakat
semakin berkembang pandangan bahwa norma manusia dianggap benar apabila
dipandang dari sudut laki-laki. Hal ini semakin berkembang dan meluas dalam
seluruh aspek kehidupan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan agama.
Dalam hidup bermasyarakat, unsur biologis (nature) dan sosiologis
(nuture) saling mempengaruhi. Awalnya kehidupan manusia dibentuk menurut
teori nature, kemudian melalui kebudayaan nurture, kehidupan manusia
dikembangkan, direkayasa, dipaksa, dicegah atau bahkan diberlakukan secara
berlawanan (kontradiksi) dengan dasar alamiah tadi. Manusia lahir-dibuatkan
identitas oleh orangtua mereka. Melalui proses belajar mereka membedakan laki-
laki dan perempuan. Manusia tidak hanya memandang aspek biologisnya lagi,
tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
pekerjaannya. Dari proses belajar inilah muncul teori gender yang kemudian
dijadikan landasan berfikir dan falsafah hidup sehingga menjadi ideologi
(Murniati, 2004: 4). Ideologi ini kemudian semakin diperkokoh oleh ajaran agama
dan budaya yang dianut masyarakat sehingga dianggap benar bahkan diajarkan
secara turun-temurun.
Kedua teori ini sebenarnya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan
dalam membangun pemahaman mengenai gender, meskipun sering
dipertentangkan. Saparinah Sadli (2010: 27) lewat skala Donelson
mengungkapkan bahwa gender merupakan pembagian berdasarkan biologis
termasuk karakteristik yang terkandung di dalamnya yang dianggap khas
perempuan dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan memiliki sifat maskulin dan feminim yang seimbang. Idealnya laki-
laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan
dirinya sesuai dengan identitas sebagai laki-laki dan perempuan. Ideologi gender
inilah yang sulit diterima oleh masyarakat sekarang ini bahkan dianggap keliru.
Sterotip yang sudah dibangun masyarakat membuat aturan main apa dan
bagaimana baiknya sikap, perkataan, perilaku bahkan peranan laki-laki dan
perempuan. Bias ideologi gender inilah yang berkembang sampai saat ini dan
secara turun-temurun dikonstruksikan oleh budaya manusia.
3. Latar Belakang Terjadinya Ketidakadilan Gender
Bias ideologi gender yang berkembang sampai saat ini melahirkan
berbagai ketidakadilan gender. Semakin lama peranan laki-laki dianggap lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
dominan daripada perempuan. Hal ini terlihat lewat banyaknya budaya yang
menjadikan laki-laki sebagai pewaris keturunan atau disebut dengan budaya
patriakhi. Berkembangnya budaya patriakhi membuat peranan kaum perempuan
semakin kurang dihargai dalam melanjutkan keturunan. Jackson Stevi (1998: 35)
yang mengulas pemikiran Mary O’Brien mengatakan bahwa laki-laki mengambil
alih hasil kerja reproduksi perempuan menjadi milik mereka dengan cara
menjadikan anak biologis mereka sebagai pewaris keturunannya. Sebagai laki-laki
mereka lebih memilih anak laki-laki sebagai pewaris keturunan sesuai dengan
budaya patriakhi yang sudah berkembang. Bias ideologi gender berkembang
menjadi keinginan untuk saling menguasai dan dalam hal ini kaum perempuan
menjadi pihak yang lebih lemah dan dikuasai.
Mary O’Brien dalam “teori-teori feminis kontemporer” juga menjelaskan
bahwa budaya patriakhi muncul seiring berkembangnya ilmu pengetahuan tentang
kesuburan. Laki-laki semakin menyadari bahwa mereka mengalami keterasingan
dari benih keturunannya. Maka muncullah keinginan laki-laki untuk mengusai
kerja reproduksi perempuan dengan menjadikan anak biologisnya sebagai pewaris
(Jackson Stevi 1998: 35). Sebagai laki-laki yang tumbuh dalam pandangan
patriakhi, anak laki-laki lebih diprioritaskan sebagai pewaris keluarga. Pandangan
ini terus berkembang dan terstruktur dalam kehidupan bermasyarakat sampai saat
ini.
Dalam pembagian tanggungjawab keluarga perempuan juga seringkali
menjadi kaum yang lemah dan dikuasai oleh laki-laki. Jackson Stevi (1998: 29)
mengulas kembali pemikiran Delphy yang mengatakan bahwa pekerjaan rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
tangga muncul dari relasi sosial yang bersifat patriakhi. Dalam keluarga, laki-laki
secara sistematis mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari pekerjaan
perempuan sebagai ibu rumah tangga. Laki-laki memposisikan diri sebagai kepala
rumah tangga yang harus dilayani oleh perempuan. Laki-laki yang berperan
sebagai pencari nafkah juga dipandang sebagai alasan agar perempuan tergantung
pada penghasilan laki-laki. Perempuan yang ikut bekerja mencari nafkah pada
kenyataannya juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Mary Maynard dalam “teori-teori feminis kontemporer” dengan mengulas
pemikiran MacKinnon mengatakan bahwa laki-laki membentuk dunia dengan
sudut pandang mereka, termasuk dunia sosial. Hal ini kemudian menjadi
kebenaran yang terstruktur dan tertata (Jackson Stevi, 1998: 426). Dengan
demikian posisi laki-laki dalam bidang sosial lebih istimewa daripada perempuan.
Dominasi laki-laki dalam bidang sosial terjadi bukan karena perempuan kalah dari
segi kualitas tetapi egoisme laki-laki yang tidak mau memahami dari sudut
pandang perempuan. Kaum perempuan tetap menjadi kaum yang dikuasai dan
kalah.
3. Teologi Gender
Setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang secara spesifik
mengarah pada cinta kasih kepada Allah, sesama manusia dan seluruh alam
ciptaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga seringkali menjadi
sumber perpecahan, ketidakadilan, dan kebencian. Berbicara mengenai kesetaraan
martabat pria dan wanita, pada dasamya setiap agama memiliki prinsip yang sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
yakni manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki martabat yang samn di
hadapan Allah. Namun dalam hal gender, ajaran dan ujaran agama juga memiliki
potensi dominan terhadap pembiasan ideologi gender yang memberi ruang
terjndinya ketidakadilan gender (Murniati, 2004: 3). Lebih lanjut Mumiati
menjelaskan bahwa ketidakadilan gender bukan bersumber dan prinsip agama,
melainkan karena proses perkembangan agama itu sendiri yang didominasi oleh
budaya patriakhi. Teologi perempuan mengkritisinya dari sudut pembelokan
antara yang Ilahi dan yang berangkat dari kebiasaan manusia.
a. Latar Belakang Munculnya Teologi Gender
Teologi perempuan merupakan terjemahan dari feminist theology yang
berkembang di negara-negara barat dan dipelopori oleh kaum perempuan.
Gerakan ini muncul dari kesadaran akan ketidakadilan yang dialami oleh kaum
perempuan. Mereka menyadari bahwa diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan akan berlangsung turun-temurun tanpa disadari oleh umat manusia
(Murniati 2004: 11). Hal ini terjadi karena ketidakadilan gender sudah menyatu
dalam ajaran agama dan dianggap benar. Untuk memahami bagaimana prosesnya,
kita perlu melihat kembali bagaimana perjalanan ideologi gender yang dibentuk
oleh manusia mengkristal dalam perjalanan iman Kristinni.
Menurut Tradisi, Kitab Suci dan ilmu ketuhanan dikerjakan, ditulis dan
dipelajari oleh laki-laki. Maka tidak aneh jika yang tertulis dan yang dipelajari itu
sebagain besar berasal dari sudut pandang laki-laki (Jhonson, 2003: 120). Proses
perumusan teologi oleh laki-laki inilah yang menjadi sebab munculnya
ketidakadilan, khususnya terhadap perempuan. Kondisi inilah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
membangkitkan semangat para perempuan di Barat untuk membuat analisis
teologi dari sudut pandang perempuan. Kebangkitan para pemikir perempuan ini
pada awalnya mendapatkan banyak tantangan baik dari kalangan masyarakat
maupun kalangan Gereja yang pada saat itu mendominasi konstruksi sosial dan
Gereja (Murniati, 2004: 12). Sekarang teologi perempuan telah mendapat
tanggapan positif dari banyak kalangan yang sedang giat memperjuangkan
kesetaraan martabat pria dan wanita.
b. Tujuan dan Harapan Teologi Feminis
Dalam Gereja ada banyak teologi gender atau yang lebih dikenal dengan
teologi feminis. Namun pada umumnya dibagi dalam dua golongan yakni teologi
feminis revolusioner dan reformis. Aliran revolusioner terdiri dari para
perempuan- perempuan yang memutuskan untuk meninggalkan Gereja yang
didominasi oleh laki- laki. Sementara aliran reformis meskipun memiliki pendapat
yang sama dengan aliran revolusioner, mereka tetap berada dalam kesatuan
Gereja. Mereka memiliki harapan positif bahwa Tradisi Gereja yang kurang
berpihak pada kaum perempuan masih bisa diperbaiki. Kelompok ini memilih
untuk tetap tinggal dalam Gereja dengan semangat untuk memperbaharui
pandangan Gereja terhadap perempuan (Jhonson, 2003: 120). Secara eksplisit,
Jhonson (2003: 122) mengulas tentang pedoman teologi feminis reformis.
Langit dan bumi baru menjadi pedoman di sini; tidak ada kelompok yang
mendominasi dan tidak ada kelompok yang didominasi, disubordinasi,
tetapi bahwa setiap orang dengan haknya sendiri-sendiri ikut berpartisipasi
menurut bakatnya, tanpa stereotip-stereotip tertentu, sungguh-sungguh
saling memberi dan saling menerima. Tidak dibayangkan bahwa setiap
orang harus sama, tetapi bahwa keunikan masing-masing harus sama-sama
dihormati dalam komunitas hidup bersaudara-saudari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Dari kutipan di atas sangat jelas ditunjukkan bahwa perbedaan antara pria
dan wanita memang nyata dan merupakan keunikan yang berasal dari Sang
Pencipta. Namun perbedaan itu bukan menjadi alasan untuk saling mendominasi.
Perbedaan sekaligus keunikan antara pria dan wanita merupakan sebuah kekayaan
yang saling melengkapi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik,
kehidupan masyarakat manusia baru berdasarkan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Perjuangan mereka bukan semata-mata untuk kepentingan kaum mereka atau
diskriminasi sebaliknya, tetapi sebagai usaha untuk memurnikan kembali ajaran
iman Gereja tentang martabat pria dan wanita sesuai kehendak Allah. Dalam
tulisan ini, penulis hanya mendalami teologi feminis reformis untuk menguatkan
pandangan penulis bahwa Gereja searah dengan pandangan Allah yang
mengąjarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama di
hadapan Allah, meskipun Tradisi Gereja didominasi oleh laki- laki.
Dalam Kitab Suci sudah diungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan
merupakan citra Allah (Kej 2:18). Hal ini menunjukkan bahwa Allah memberikan
kemampuan yang sama kepada laki-laki sesuai dengan kekhasan mereka sebagai
laki-laki dan perempuan. Hal yang sama juga tertulis dalam Kitab Suci yang
mengatakan bahwa manusia laki-laki dan perempuan sepadan (Kej 2:20).
Perbedaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan menjadi sarana untuk
menciptakan keturunan baru. Maka pandangan yang mengatakan bahwa hanya
laki-laki yang layak menjadi pewaris garis keturunan, merupakan tindakan yang
tidak sesuai dengan firman Allah. Keinginan mendapatkan anak sebagai pewaris
keturunan seringkali menjadi permasalahan dalam keluarga. Oleh karena itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gereja secara jelas mengatakan bahwa tujuan utama perkawinan bukanlah
keturunan, tetapi kesejahteraan suami istri (KHK 1055).
Gereja juga mengungkapkan bahwa suami harus menunjukkan cinta kasih
kepada istri dan anak sebagaimana Kristus mencintai umatNya. Suami harus
menyadari peranannya yang sangat penting dalam keluarga dan tidak hanya
membebani pekerjaan rumah tangga kepada istri. Keseimbangan peranan tugas
suami dan istri dalam keluarga menjadi sarana untuk saling melengkapi dan
mempersatukan mereka dalam cinta kasih (FC art 25). Ini menjadi harapan dan
tujuan teologi feminis yang mendamaikan hubungan laki-laki dan perempuan
yang rusak oleh keinginan untuk saling mengusai.
Harapan dan tujuan para pejuang keadilan gender sejalan dengan cita-cita
Kartini mewakili perempuan Indonesia. Surat Kartini kepada Nona E.H.
Zeehandelar (Sulastri Sutrisno, 1979: 2) mengungkapkan harapan akan
kebebasan, kemerdekaan, dan keberanian berdiri sendiri dalam konteks dominasi
kaum laki-laki terhadap perempuan semasa ia hidup. Harapan yang sama
diungkapkan oleh Elisabeth Jhonson yang mengharapkan terciptanya bumi baru
dimana setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diakui, diterima dan bebas
berpartisipasi tanpa ada kelompok yang mendominasi dan disubordinasi (Jhonson,
2003: 120).
Gereja juga memiliki visi untuk mendamaikan hubungan laki-laki dan
perempuan yang rusak oleh keinginan untuk saling mengusai. Gereja lewat surat
kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja Katolik tentang kerja sama pria
dan perempuan dalam Gereja dan dunia mengatakan bahwa laki-laki dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
perempuan memiliki martabat yang sama sebagai citra Allah. Mereka harus
bekerja sama dalam membangun Gereja dan dunia. Hubungan yang rusak antara
laki-laki dan perempuan dalam budaya patriakhi harus dipulihkan dengan
membangun relasi cinta kasih bukan pembalasan dan saling mempersalahkan
(Paus Paulus Yohanes II No 70 2004, art 8).
c. Metode Teologi Feminis
Dalam perjuangan mencapai tujuannya, teologi feminis mengadopsi
metode teologi pembebasan yang terdiri dari 3 langkah yaitu, menganalisis situasi
ketidakadilan gender dalam masyarakat, menganalisis tradisi yang ikut ambil
bagian menciptakan ketidakadilan gender, dan mencari solusi yang membebaskan.
Metode ini identik dengan metode katekese kontekstual, terutama pada tahap
analisis situasi dan usaha menemukan solusi untuk menjawab permasalahan yang
ditemukan. Berikut ini akan dipaparkan metode teologi feminis reformis
berdasarkan buku Elisabeth A. Jhonson: Consider Jesus, Waves of Reneval in
Christology yang diterjemahkan oleh Jhonson SJ.
1) Menganalisis Situasi
Hasil analisis para teolog feminis menemukan bahwa seksisme sudah
merasuk dalam kehidupan manusia. Seksisme memandang bahwa pada
hakikatnya perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah sebagai manusia
dibanding dengan laki-laki. Pandangan ini disertai dengan berbagai tindakan yang
berusaha membatasi kebebasan kaum perempuan (Jhonson, 2003: 123).
Pandangan ini menjadikan bentuk fisik/lahiriah sebagai ukuran yang menentukan
martabat seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Laki-laki sebagai pihak yang merasa diri sebagai manusia yang paling
sempurna tidak bisa menerima perbedaan bentuk fisik yang dimiliki oleh
perempuan. Bentuk fisik perempuan yang berbeda, membuat kaum pria
memandang dan memperlakukan perempuan secara berbeda dari dirinya. Jelaslah
bahwa hal ini menyebabkan perlakuan yang tidak adil bagi perempuan karena
dalam berbagai hal mereka dibatasi bahkan ditindas. Jhonson memaparkan
kembali pemikiran Elisabeth Jhonson yang mengatakan bahwa seksisme tersebut
menampilkan diri dengan dua acara dalam kehidupan bermasyarakat (Jhonson,
2003: 12).
a) Seksisme Lewat Struktur Kekuasaan Dalam Masyarakat
Strukur ini disebut dengan patriarki yang berasal dari bahasa Latin yaitu
pater yang artinya ayah atau bapak keluarga (Jhonson, 2003: 123). Dalam budaya
patriakhi, kekuasaan sepenuhnya ada di tangan laki-laki, perempuan sama sekali
tidak diperhitungkan. Kekuasaan laki-laki mencakup semua bidang kehidupan
mulai dari bidang sosial, ekonomi, agama, bahkan dalam keluarga. Perempuan
masih dipandang sebagai makhluk yang kurang sempurna tanpa peranan laki-laki
dalam hidupnya. Dalam hal ini nasib kaum perempuan ditentukan oleh laki-laki.
Jika laki-laki memberi peluang, ada kemungkinan perempuan mampu
memperoleh kebebasannya dalam mengembangkan diri. Cerita yang sering kita
dengar saat ini adalah bahwa banyak perempuan/ibu yang harus mendapatkan
persetujuan suami untuk dapat berkarya dalam bidang yang dianggap dapat
mempengaruhi kodrat perempuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
b) Seksisme Dalam Pola Pikir Laki-laki
Seksisme menampilkan diri dalam pola-pola berfikir laki-laki dan
menjadikannya sebagai ukuran untuk semua orang. Pola berfikir seperti ini
disebut androsentrisme, berasal dari kata Yunani yakni andros yang artinya laki-
laki dewasa. Pandangan bahwa laki-laki adalah manusia sejati sementara
perempuan dianggap sebagai pelengkap sudah dibangun dan menjadi pola berfikir
(Jhonson 2003: 124). Pandangan ini semakin diperkokoh oleh beberapa tokoh
besar dunia dan para Bapa Gereja yang terkenal. Mengikuti pemikiran Aristoteles
dan Thomas Aquinas yang mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang
salah lahir. Sementara St.Tertualis lebih keji lagi memandang perempuan sebagai
penggoda, Hawa yang mendapat kutukan seks dari Allah dan menjadikannya
sumber dosa yang merusak citra Allah. Pandangan ini dilanjutkan oleh Agustinus
yang mengatakan bahwa perempuan tidak memiliki citra Allah tanpa disatukan
dengan laki-laki
Kedua cara yang menampilkan seksisme ini baik dengan struktur-struktur
patriarkalnya maupun pemikiran androsentiknya sama-sama menciptakan
ketidakadilan bagi perempuan. Perempuan menjadi korban dominasi laki-laki
dalam berbagai aspek kehidupan. Tokoh-tokoh yang berpandangan negatif
terhadap perempuan adalah tokoh-tokoh yang dihormati dan diakui oleh dunia dan
Gereja. Maka sudah bisa dipastikan bahwa dunia cenderung akan terbentuk
dengan pemikiran-pemikiran yang demikian dan upaya untuk mengubahnya
menjadi perjuangan yang panjang dan mendapat banyak tantangan terutama dari
kaum laki-laki. Inilah situasi kongkret yang tejradi saat ini, bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan menjadi permasalahan yang
mendunia, terbentuk dan berkembang secara kokoh dalam setiap generasi baik
dalam pola pikir maupun dalam tatanan masyarakat.
2. Menganalisis Tradisi Gereja
a) Tradisi Yahudi dan Kitab Suci
Perjalanan sejarah keselamatan yang diimani oleh Gereja, tidak bisa
dipisahkan dari sejarah Bangsa Israel yang menganut agama Yahudi. Dalam
agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan
dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu
perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama
kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah
Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa.
Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua dan
dipandang sebagai sumber dosa.
Dalam perkembangan selanjutnya peranan perempuan mulai dibatasi.
Budaya Yahudi tidak banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkiprah. Ada sejumlah tokoh perempuan yang muncul dalam sejarah Israel,
tetapi peran mereka sangat terbatas. Di antara mereka ada Miryam, saudara
perempuan nabi Musa. Miryam juga dipakai Allah sebagai nabiah. la dan Harun
menegur Musa saat Musa kawin lagi dengan perempuan Kush. Meskipun Miryam
dan Harun bersama-sama mengajukan protes namun Miryamlah yang mendapat
hukuman. Terjadi semacam diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
(Bil: 12). Diskriminasi itu juga terjadi dalam perkawinan Yaudi. Dalam budaya
Israel seorang suami bisa mengambil istri lebih dari satu orang (polygamy). Tetapi
seorang istri tidak diperkenankan untuk mengambil suami lebih dari satu orang
(poliyandry). Pada saat seorang perempuan melahirkan anak juga terjadi
diskriminasi. Jika perempuan melahirkan anak laki-laki ia dianggap najis selama
empat puluh hari. Sedangkan jika yang lahir adalah anak perempuan, maka ibu
anak itu dianggap najis selama delapan puluh hari (Imamat: 12).
b). Tradısi Gereja
Gereja yang sejak awal hidup dalam budaya Yahudi mengambil teks- teks
tersebut sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan
perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posısi
subordinat (posisi yang rendah) perempuan seperti inilah yang menjadi dasar
pandangan awal Gereja mengenai perempuan. Dalam Tradisi Kristiani, hampir
semua teologinya dirumuskan berdasarkan cara pandang dan cara berfikir laki-laki
(Jhonson, 2003: 120). Kita percaya bahwa para Bapa Gereja telah mendapat
wahyu untuk menumuskannya sama seperti wahyu yang diterima oleh Para Rasul.
Namun yang menjadi permasalahannya adalah bahwa Para Bapa Gereja dan Para
Rasul hidup dan dibentuk oleh budaya patriakhi. Hal ini sangat memungkinkan
bahwa mereka cenderung merumuskan dan menafsirkan ajaran iman dari sudut
pandang mereka. Salah satu ajaran iman yang perlu dianalisis adalah Kristologi.
Dalam ajaran Gereja, Kristologi merupakan ajaran yang sangat penting
dan menjadi dasar dari setiap ajaran Gereja. Namun ada penilaian yang
mengatakan bahwa justru Kristologi menjadi sumber yang digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
menindas perempuan. Persoalannya terletak pada cara menafsirkan jenis kelamin
Yesus sebagai laki-laki (Jhonson, 2003: 128). Sejarah mencatat bahwa kelaki-
lakian Yesus tidak bisa disangkal, namun hal itu bukan untuk menyatakan bahwa
Allah adalah laki-laki atau upaya terbaik untuk menggambarkan Allah dengan
gambaran laki-laki. Hal ini tentu berbeda bila teologinya ditulis oleh perempuan.
Teologi feminis bukan untuk menuntut agar Allah digambarkan juga sebagai
perempuan, namun usaha agar wahyu Allah ditafsirkan secara benar tanpa
memihak salah satu jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan yang pada
akhirnya menciptakan ketidakadilan gender.
3. Menganalisis Kitab Suci Untuk Menemukan Makna Bagi Pembebasan Kaum
Perempuan
Kitab Suci yang menjadi sumber iman Gereja, menuliskan berbagai kisah
yang menunjukkan bahwa Allah adalah laki-laki. Namun jika diteliti secara detail
dan ditafsirkan secara benar, banyak perikop Kitab Suci dan tradisi Gereja yang
menunjukkan bahwa Allah digambarkan dengan gambaran perempuan. Perikop-
perikop ini dapat diangkat, dianalisis darn direfleksikan kembali untuk
mengungkapkan bahwa Allah berpihak secara adil baik kepada laki-laki maupun
perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama di hadapan
Allah, keduanya menggambarkan citra Allah yang tidak kelihatan.
Kerajaan Allah yang diwartakan atau yang diperjuangkan Yesus adalah
terwujudnya keadilan dan damai sejahtera untuk semua orang (Jhonson, 2003:
133). Yesus tidak memihak kelompok tertentu, visi pemerintahanNya adalah
terbentuknya masyarakat atau komunitas yang di dalamnya setiap orang merasa
diterima dan dihargai. Dalam pelayananNya Yesus memang terlihat sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
frontal menunjukkan kasihNya bagi kaum tersingkir dari struktur-struktur
masyarakat, termasuk para perempuan (bdk Yoh 8: 2-11). Yesus bahkan
mengatakan bahwa perempuan tuna susila akan masuk ke dalam surga
mendahului kaum Farisi. Hal ini diungkapkan Yesus bukan untuk
membalikkan diskriminasi, tetapi untuk mendobrak pola diskriminasi yang
sudah mengakar dalam budaya Yahudi dan menciptakan pola relasi yang baru
yakni sebagai saudara-saudari dalam Kerajaan Allah.
Gambaran Allah sebagai laki-laki merupakan tafsiran yang keliru dari kisah
Kejadian bab 1. Dalam perikop tersebut dikatakan bahwa Allah menciptakan
manusia laki-laki dan manusia perempuan sesuai dengan gambar dan rupa
Allah. Laki-laki memang manusia pertama yang diciptakan, namun Allah
melihat bahwa laki-laki merasa kesepian, walaupun sudah diberikan segala
ciptaan lain sebagai temannya. Maka Allah menciptakan seorang penolong
yang sepadan yakni manusia perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Seringkali
dalam menafsirkan perikop ini, fokusnya adalah kata penolong bukan kata
sepadan. Kata sepadan sudah jelas memberi arti bahwa perempuan bukan
sekedar pelengkap atau penolong laki-laki, tetapi sekaligus setara, sepadan, dan
semartabat dengannya.
Yesus memanggil para perempuan menjadi bagian dari pelayananNya,
menjadi murid Nya yang setia. Para perempuan menemani Yesus mulai dari
Galilea sampai ke Yerusalem (Jhonson, 2003: 135). Mereka bahkan menjadi
saksi yang setia dalam inti iman Kristiani yakni dalarm kisah sengsara, wafat,
dan kebangkitan Yesus. Saat para Rasul takut dan meninggalkan Yesus,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
beberapa perempuan justru setia berdiri di kaki salib, ikut menguburkan Yesus,
bahkan menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus. Petrus mewakili kaum laki-
laki menunjukkan pandangannya kepada kaum perempuan, kesaksian
perempuan diragukan hingga Petrus dan Yohanes harus memeriksa ke makam
Yesus. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesaksian Kitab Suci yang menunjukkan
selama hidupNya di dunia sampai pada kebangkitanNya, Yesus telah
memanggil dan memasukkan para perempuan ke dalam komunitasnya bukan
sebagai bawahan laki-laki tetapi sebagai saudara-saudari seiman di dalam
namaNya.
Peristiwa penyaliban Yesus merupakan kritik dashyat terhadap patriakhi
(Jhonson, 2003: 136). Dengan tergantung di kayu salib, Yesus mencurahkan
daya kuasaNya dalam cinta kasih dengan mengorbankan diriNya demi
keselamatan semua orang. Tindakan ini menunjukkan kritik terhadap dominasi
kekuasaan laki-laki. Teologi feminis memandang salib sebagai penghampaan
patriakhi. Pilihan mati tergantung di kayu salib sebenarnya bukan
mencerminkan sikap laki-laki, namun Yesus justru melakukannya unruk
menunjukkan bahwa kekuasaanNya bukan semata kekuatan fisik, melainkan
kekuatan cinta. Sekali lagi, hal ini bukan untuk membalikkan diskriminasi
tetapi merupakan bagian dari perjuangan Yesus untuk mengubah pola relasi
yang menindas kaum lemah termasuk perempuan.
Dalam pengajaranNya Yesus menggambarkan Kerajaan Allah bukan hanya
dari sudut pandang laki-laki, melainkan juga dari sudut pandang perempuan.
Yesus menggambarkan pemerintahan Allah seperti ragi yang diremas-remas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
oleh perempuan dan mencampurkannya ke dalam adonan hingga mengembang.
Gambaran Allah sebagai perempuan pembuat roti sangat jelas menunjukkan
bahwa perempuan juga menjadi bagian dari pewartaan Kerajaan Allah. Allah
dapat bertindak sebagai laki-laki sekaligus juga sebagai perempuan. Gambaran
Allah yang bersukacita atas pertobatan salah satu umatNya. Selain
digambarkan sebagai Bapa Yang Baik, Allah juga digambarkan sebagai
perempun yang mencari mata uang yang hilang. Perempuan itu lalu memanggil
tetangganya untuk bersukacita bersama karena telah menemukan kembali mata
uangnya yang hilang. Amanat yang sama disampaikan oleh kedua
perumpamaan tersebut, meskipun dengan menggunakan gambaran pekerjaan
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama
menunjukkan cinta kasih Allah yang tidak terbatas yang akan selalu mencari
dan menemukan umatNya yang hilang. Dalam peristiwa kebangkitan,
dikatakan bahwa Roh Allah yang memenuhi Yesus dicurahkan kepada semua
orang yang percaya kepadaNya. Hal ini dibuktikan lewat upacara baptis bukan
sunat sebagai bentuk inisiasi ke dalam jemaatNya. Setelah dibaptis, mereka
bernyanyi, "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu
semua adalah satu di dalam Kristus Yesus" (Gal 3:28). Madah baptisan yang
dinyanyikan oleh jemaat perdana merupakan upaya mewujudkan pola relasi
yang diperjuangkan oleh Yesus baik antar suku, ras, golongan, atau bahkan
jenis kelamin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Jemaat Kristiani perdana menggunakan tokoh Sophia untuk
mempersonifikasikan Allah sebagai perempuan terhadap dunia. Sophia atau
kebijaksanaan merupakan tokoh dalam Kitab Suci yang betindak adil,
menciptakan, menebus, melindungi kaum tertindas mengajarkan misteri-misteri
hidup dan memberikan hidup.
C. Katekese Kontekstual Memperjuangkan Kesetaraan Gender Dalam
Konteks Budaya Batak
1. Perjuangan Kesetaraan Martabat Pria dan Wanita
a. Perjuangan Yesus Mewujudkan Kesetaraan Gender
Pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas
perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai melaksanakan tugas-
Nya, la bersikap menentang diskriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika
pemimpin-pemimpin agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang
kedapatan berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka minta supaya perempuan
ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi, tetapi Yesus tidak peduli terhadap
permintaan mereka. Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu tapi tidak
menangkap laki-laki yang tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka:
"Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam
perempuan ini". Tidak ada yang berani melakukannya. Akhimya Yesus menyuruh
perempuan itu pulang dengan nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8: 2-
11).
Dalam pelayanan-Nya, Yesus banyak menaruh perhatian kepada orang-
orang yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Salah satu di antaranya adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Maria dari Magdala. Yesus menyembuhkan Maria dari ikatan roh jahat.
Kemudian Maria dan beberapa perempuan lain mengiring Yesus dalam
pelayanan-Nya (Luk 24: 10). Lagi-lagi Yesus membela perempuan ketika
sejumlah orang Farisi datang kepada-Nya dan bertanya, Apakah seorang suami
bisa menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Yesus menjawab mereka kata-
Nya: “sejak semula perkawinan hanya teradi antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan (Adam-Hawa).
Perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu di antaranya berbuat zinah”.
Lalu orang-orang itu bertanya lagi: "Kalau begitu mengapa Musa mengijinkan
seorang suami membuat surat cerai (talak)"? Lalu Yesus menjawab: “karena
ketegaran hatimulah Musa melakukan hal itu teapi seharusnya tidak demikian”
(Mat 19.1-12). Karena komitment-Nya memperjuangkan kesetaraan martabat
perempuan dan laki-laki, maka pada saat Yesus mati di salib, banyak perempuan
ada bersama-sama dengan Dia, mengunjungi kubur-Nya, dan menjadi saksi
kebangkitanNya.
b. Usaha Gereja Mewujudkan Kesetaraan Gender
Permasalahan ketidakadilan gender merupakan masalah yang terjadi
hampir di semua negara. Di Indonesia, ketidakadilan gender ditandai dengan
berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Hartaningsih
dalam Kompas (2010: 20) “Supaya Perempuan Tidak (terus) Terbisukan Lagi"
bahwa ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan membuat hampir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
semua laporan tindak kekerasan, kemiskinan, dan seluruh dampaknya berwajah
perempuan.
Inilah gambaran hubungan laki-laki dan perempuan di Indonesia hingga
saat ini. perempuan dipandang dan diperlakukan sebagai makhluk lemah yang
dapat dikuasai oleh kaum laki-laki. Relasi kuasa ini masih terjadi hingga saat ini,
masih banyak perempuan yang terpaksa tunduk pada laki-laki dan tidak sedikit
yang menjadi korban kekerasan. Berbagai usahapun sudah dilakukan untuk
mewujudkan kesetaraan gender bahkan setiap tahun peringatan hari Kartini selalu
dimanfaatkan sebagai sarana untuk membangun kesadaran gender. Usaha yang
dilakukan sulit membuahkan hasil karena hampir seluruh budaya daerah di
Indonesia menganut budaya patriakhi.
Gereja sudah banyak mengusahakan terwujudnya kesetaraan martabat pria
dan wanita. Salah satu usaha Gereja adalah ajaran iman yang menafsirkan kembali
kisah penciptaan pria dan wanita. Dalam kisah tersebut disebutkan bahwa pria dan
wanita merupakan citra Allah yang memiliki kedudukan yang sama meskipun
memiliki perbedaan baik fisik maupun psikologinya. Gereja kemudian
mengusahakan agar ajaran iman ini dipahami dan dihayati oleh umat secara benar.
Namun usaha Gereja ini seringkali tidak berani menembus budaya daerah yang
sejak dahulu sudah menganut budaya patriakhi. Inilah yang menjadi tugas Gereja
untuk selanjutnya yakni menjiwai budaya patriakhi dengan terang Injil demi
terwujudnya Kerajaan Allah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
2. Katekese Kontekstual Tentang Kesetarnan Gender Dalam Konteks
Budaya Batak
Dari semua penjelasan yang diutarakan di atas, sangat jelas kita temukan
bahwa patriakhi dalam budaya Batak selain bertentangan dengan HAM juga
sangat melukai ajaran Iman Katolik tentang kesetaraan martabat pria dan wanita
sebagai citra Allah sekaligus melukai martabat luhur perkawinan Katolik. Dalam
Kitab Suci maupun dalam ajaran iman Katolik dijelaskan bahwa pria dan wanita
memiliki martabat yang sama di hadapan Allah yakni sebagai citra Allah.
Salah satu tugas Gereja adalah mengusahakan agar martabat setiap orang
diterima, diakui dan dihargai. Komkat KWI (2000: 19) mengungkapkan hal ini
sebagai salah satu petunjuk dalam melaksanakan katekese. "Gereja dalam
analisisnya tentang tanah dunia, sungguh-sungguh menyadari segala sesuatu yang
mencederai martabat pribadi manusia...... yang menjadi perhatian Gereja ialah
perkembangan utuh pribadi manusia dan segenap bangsa.” Maka sudah
seharusnya Gereja memberi perhatian pada ketidakadilan gender dalam budaya
Batak karena perempuan Batak juga manusia yang memiliki martabat setara
dengan laki-laki.
Oleh karena itu sudah seharusnya katekese kontekstual menjadikan budaya
patriakhi dalam budaya Batak sebagi konteks, katekese tidak boleh menutup mata
pada konteks budaya patriakhi yang sudah berakar dalam urat nadi kehidupan
umat setempat. Orang Batak meskipun sudah menjadi Katolik banyak yang masih
terjebak dalam penghayatan budaya yang bertentangan dengan ajaran iman. Tugas
Gereja adalah memurnikan iman umat tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
dalam budaya tradisional mereka. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
dalam Direktorium Kateketik Umum.
Persoalan yang timbul sekarang bukannya bagaimana memelihara
kebiasaan-kebiasaan tradisional, melainkan juga bagaimana mewartakan
injil secara baru dan mengena, mengajak mereka bertobat kembali serta
memberikan mereka suatu pembinaan yang lebih mendalam dan
pendidikan lebih dewasa dalam iman, tanpa meremehkan iman murni
masyarakat. Kenyataannya semangat agama umat membuka peluang atau
merupakan titik awal untuk memaklumkan injil untuk memurnikan iman
dan secara tepat memberikan tempat kepada unsur-unsur baik (art 6: 22).
Hal ini menegaskan bahwa katekese selain menghormati kebiasaan atau
keputusan adat Batak, juga harus memiliki sikap yang tegas terhadap pelanggaran
kemanusiaan lewat adat. Inilah yang menjadi tugas katekese yakni mengusahakan
cara baru berkatekese yang mampu memurnikan iman umat tanpa harus
kehilangan jati diri budayanya. Maka katekese kontekstual jelas bukan bertujuan
untuk menghilangkan budaya Batak terutama mengenai kelanjutan keturunan
yang ditentukan oleh marga dari pihak laki-laki.
Katekese tidak perlu mengubah sistem yang ada karena akan merusak
tatanan masyarakat Batak yang sudah terbentuk sejak dulu. Dalam konteks budaya
patriakhi katekese diharapkan mampu memberikan pendidikan iman yang
semakin dewasa untuk memahami dan merefleksikan sistem budaya patriakhi
dalam terang Injil. Yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah cara pandang
yang baru sesuai ajaran iman yang kemudian membentuk sikap hidup yang
mengarah pada penghayatan kesetaraan martabat pria dan wanita dalam
kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
BAB III
KETIDAKADILAN GENDER DI STASI ST. ANTONIO MARIA
CLARET TOMOK SAMOSIR
Dalam bab dua telah diuraikan kajian pustaka mengenai katekese
kontekstual dan kesetaraan gender berdasarkan Kitab Suci, Dokumen Gereja,
pendapat para ahli dan sumber lainnya. Pada bab tiga ini penulis membahas
mengenai ketidakadilan gender dalam keluarga-keluarga di Stasi Tomok paroki
St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Bab tiga ini merupakan jawaban
permasalahan kedua yakni untuk mengetahui sejauh mana ketidakadilan gender
dalam keluarga-keluarga di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir masih menjadi keprihatinan Gereja.
Untuk mendapatkan gambaran ketidakadilan gender dalam keluarga-
keluarga di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir, penulis
menyusun bab ini dalam tiga bagian. Bagian yang pertama mengemukakan
gambaran umum keluarga-keluarga di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir. Bagian kedua mengemukakan tentang ketidakadilan
gender dalam keluarga-keluarga di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir. Sedangkan bagian ketiga membahas penelitian tentang
ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam keluarga-keluarga di Stasi Tomok
paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Bagian ini terdiri dari rencana
penelitian, laporan dan pembahasan hasil penelitian, serta kesimpulan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
A. Gambaran Umum Kehidupan Umat Di Stasi St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir
Wawancara dengan pastor paroki mengungkapkan bahwa Stasi St.
Antonio Maria Claret merupakan stasi induk dari Paroki St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir yang berdiri sejak 29 Oktober 2006. Sebelumnya bergabung
dengan Paroki Parapat, Pangururan, dan Palipi. Paroki ini berada di Jl. Horas
No.33 Tomok Samosir. Jumlah umat di paroki ini adalah 6.377 jiwa (Stat. 2016)
yang terdiri dari 18 stasi. Stasi St. Antonio Maria Claret adalah stasi induk dengan
jumlah umat 152 keluarga. Paroki ini digembalakan oleh 2 Pastor dari ordo
Claretian. Kedua imam ini berasal dari suku Flores.
Secara geografis stasi ini terletak di kawasan wisata budaya Tomok dan
Tuktuk. Hal ini membuat kawasan ini ramai dikunjungi baik oleh turis domestik
maupun internasional. Selain keindahan alam Danau Toba, keunikan budaya
Batak menjadi salah satu daya tarik para wisatawan yang datang berkunjung ke
daerah ini. Oleh karena itu, ada anjuran dari pemerintah dan para ketua adat untuk
tetap melestarikan budaya Batak. Hal ini bisa dilihat dengan berbagai upaya
pelestarian cagar budaya dan pelaksanaan upacara adat dalam berbagai bentuk
perayaan seperti upacara perkawinan, pemberkatan rumah, pengangkatan tulang
belulang leluhur, pembangunan tugu peringatan bagi para leluhur, ziarah ke
makam leluhur, dan masih banyak upacara lainnya.
Berdasarkan sejarah sebelum hadirnya agama Kristen dan Katolik di
Tanah Batak, Suku Batak menganut kepercayaan Parmalim. Kepercayaan ini
merupakan bagian dari budaya Batak. Budaya Batak dengan segala aturan dan
filosofinya menjadi daya penggerak dan pemersatu bagi orang Batak. Hal ini juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
berlaku bagi umat di stasi ini sebagai bagian dari masyarakat. Kehidupan sosial
umat di tempat ini sebenarnya sudah cukup terbuka luas. Pekerjaan mereka yang
pada umumnya sebagai pedagang, membuka interaksi dengan orang luar. Namun
supaya turis tetap tertarik untuk datang, masyarakat setempat harus mampu
melestarikan budaya Batak yang sesungguhnya.
Melestarikan budaya Batak yang sesungguhnya artinya menghidupi tradisi
adat dengan benar. Hal ini akan terwujud dalam upacara adat yang sangat banyak.
Setiap upacara adat akan mengikat semua masyarakat setempat karena hubungan
marga. Hubungan marga ini hanya bisa dilanjutkan oleh keturunan laki-laki. Maka
keberadaan anak laki-laki sebagai pewaris keturunan serta berbagai bentuk
ketidakadilan yang akan diakibatkan, akan tetap berlangsung selama orang Batak
menghidupi tradisinya.
Hal ini juga yang dialami oleh umat stasi St. Antonio Maria Claret.
Sebagai bagian dari masyarakat, mereka juga sangat terikat pada tradisi adat.
Maka dalam konteks hidup beriman, umat lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-
nilai yang terkandung dalam budaya Batak. Ajaran iman Katolik memang sudah
lama diterima dan dihidupi oleh umat. Namun berdasarkan pengamatan kehidupan
sehari-hari, umat masih lebih banyak terlibat aktif dalam urusan adat daripada
keagamaan. Urusan adat sudah meresapi kehidupan umat mulai dari kelompok
terkecil maupun kelompok yang lebih besar. Umat lebih banyak mengurusi
masalah adat daripada mengikuti kegiatan Gereja yang pada umumnya hanya
dilaksanakan pada hari-hari besar saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Kenyataan ini menunjukkan bahwa eksistensi adat jauh lebih meresap
dalam seluruh sendi-sendi kehidupan umat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti
dan wawancara dengan umat, peneliti menemukan bahwa bidang diakonia di stasi
St. Antonio Maria Claret masih terbatas pada pelayanan dalam lingkup Gereja.
Pada umumnya keterlibatan umat masih sebatas pelayanan dalam bidang liturgi,
contohnya menjadi lektor, petugas koor, petugas pendalaman iman, dan berbagai
kegiatan liturgi lainnya. Keterlibatan umat dalam bidang sosial di luar Gereja
masih sangat kurang. Keterlibatan umat dalam bidang sosial masih sebatas
memberikan dukungan lewat APP yang dianjurkan oleh Gereja. Keterlibatan
sosial umat biasanya lebih sering terjadi dalam lingkup adat.
Dalam bidang kerygma, stasi ini lebih sering terlibat dalam pendalaman
iman yang diselenggarakan oleh paroki. Namun pendalaman iman ini hanya pada
masa adven dan pra paskah saja. Pewartaan yang didapatkan umat sangat
tergantung pada kotbah Pastor pada saat perayaan Ekaristi. Mereka mengatakan
bahwa kotbah atau renungan yang diperoleh pada saat perayaan Ekaristi banyak
memberi kekuatan dan peneguhan iman. Begitu juga dalam bidang liturgi yang
lebih sering dirayakan pada hari-hari besar Gereja dan setiap hari minggu. Umat
tidak terlalu akrab dengan bentuk-bentuk devosi, mereka lebih fokus pada
perayaan Ekaristi.
Persekutuan umat di stasi ini terjalin dengan baik, hal ini dipengaruhi oleh
sistem kekerabatan budaya Batak yang mereka hidupi. Mereka saling mengenal
satu sama lain dan relasi di antara mereka cukup dekat. Selain di acara Gereja,
umat sering berjumpa dan bekerja sama dalam acara adat. Hal inilah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
menyebabkan hubungan persaudaraan umat semakin akrab. Kehidupan umat di
stasi ini dipengaruhi oleh dua prinsip hidup yakni ajaran iman Katolik dan aturan
budaya Batak. Keduanya menjadi landasan yang menggerakkan kehidupan umat
baik dalam kehidupan menggereja, masyarakat dan keluarga. Berdasarkan
pengamatan akan keempat bidang ini, dapat dilihat bahwa semangat keidupan
menggereja masih kalah dengan antusiasme umat dalam upacara adat. Dalam
upacara adat, umat bersedia mengeluarkan biaya yang besar dan memberikan
waktu yang cukup banyak. Namun dalam kegiatan hidup menggereja, umat sangat
perhitungan soal materi dan waktu. Hal diungkapkan oleh Pastor paroki di stasi
ini.
Konteks ini jelas akan sangat mempengaruhi penghayatan iman umat di
stasi ini. Di satu sisi umat yang ingin sepenuhnya hidup sebagai orang Katolik
akan terbentur dengan aturan ada yang betentangan dengan nilai-nilai iman
Katolik. Umat juga tidak bisa lepas dari adat karena akan mengalami kesulitan
dalam hubungan sosial yang lebih banyak terjalin melalui upacara adat. Di sisi
lain bagi umat yang yang ingin menghayati budaya Batak, juga mengalami
kesulitan jika tidak terlibat dalam kegiatan keagamaan. Selain soal nilai iman
yang dianggap benar, agama juga menjadi sarana untuk mendapatkan pelayanan
publik. Idealnya, kedua nilai ini baik dari agama maupun budaya seharusnya
menemukan jalan damai yang kita sebut dengan inkulturasi. Namun sampai saat
ini Gereja belum mengusahakan cara yang mampu membantu umat untuk menjadi
Katolik militan tanpa kehilangan jati diri sebagai orang Batak. Inilah yang masih
merupakan perjuangan umat dan Gereja di stasi ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
B. Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir
1. Penyebab Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Gultom (2010: 50) mengungkapkan bahwa salah satu tatanan budaya
yang sudah melekat dalam budaya Batak adalah sistem kekerabatan yang bersifat
patrinealis yakni garis keturunan atau marga yang ditentukan oleh laki-laki. Marga
adalah salah satu identitas orang Batak yang sekaligus merupakan sendi utama
dalam sistem kekerabatannya, sedangkan perempuan disebut sebagai pencipta
hubungan kebesanan akibat sebuah perkawinan.
Sebenarnya bila dikaji lebih dalam, pengertian ini menunjukkan peran
yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan sistem marga
orang Batak. Namun dalam praktek kehidupan adat, hanya laki-laki yang
dipandang sebagai penerus marga dalam setiap keluarga. Hal ini tentu
mempengaruhi kedudukan anak perempuan yang dianggap tidak memiliki
pengaruh yang berarti dalam melanjutkan eksistensi budaya Batak. Maka jika
sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki, marganya atau keturunannya
dianggap mati dan tidak akan dituliskan dalam generasi berikutnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa penyebab ketidakadilan gender yang
terjadi dalam keluarga-keluarga Batak adalah budaya patriakhi yang ditafsirkan
dan dihidupi secara dangkal. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya
sesungguhnya budaya patriakhi yang dianut oleh orang Batak memiliki makna
kesetaraan martabat pria dan wanita. Pria dan wanita memiliki peranan yang sama
pentingnya dalam melanjutkan marga. Hal ini tersirat dalam Dalihan Na Tolu
yang menggambarkan kedudukan yang setara antara pihak suami dan istri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
(Depdikbud 1978: 69). Namun kurangnya pemahaman umat akan makna yang
tersimpan dalam sistem kekerabatan budaya Batak membuat umat cenderung
terfokus pada peranan laki-laki dalam melanjutkan marganya. Hal ini sekaligus
menyebabkan sering terjadinya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Batak.
Tujuan utama perkawinan dalam budaya Batak seperti yang dijelaskan
oleh Depertemen Pendidikan dan Kedudayaan adalah melanjutkan keturunan yang
hanya ditentukan oleh anak laki-laki baik sebagai penentu sistem kekerabatan juga
sebagai pewaris harta (1978: 67). Dalam hal ini hakikat sakramen perkawinan
seakan tidak memiliki daya apa-apa dibandingkan dengan keinginan untuk
memperoleh anak laki-laki dengan cara apapun bahkan poligami. Maka meskipun
sifat perkawinan dalam budaya Batak adalah monogam, perceraian diizinkan
melalui musyawarah adat. Alasan agar sahnya sebuah perceraian dalam budaya
Batak pada umumnya ada 3 alasan yaitu: perempuan mandul, keluarga tidak
mendapatkan anak laki-laki, dan pihak istri berzinah (Depdikbud, 1978: 66).
Semua alasan perceraian tersebut dilihat hanya dari pihak perempuan. Dalam hal
ini perempuan menjadi satu-satunya korban budaya patriakhi Batak Toba.
2. Akibat Ketidakadilan Gender Di Stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Pendeta Paulin Sirait (2010: 11-34) dalam majalah Narhasem menjelaskan
secara detail bagaimana sistem kekerabatan orang Batak yang bertumpu pada laki-
laki sebagai penerus keturunan menyebabkan banyak ketidakadilan bagi
perempuan. Ketidakadilan gender dalam budaya Batak mengakibatkan perempuan
atau istri yang tidak melahirkan anak laki-laki mengalami tekanan psikologis,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kehidupan berkeluarga menjadi terganggu dan pembagian warisan yang tidak
menguntungkan bagi anak perempuan.
Murniati (2004: 89) mengungkapkan bahwa dalam tradisi Batak seorang
istri yang tidak melahirkan anak laki-laki membuat suaminya diperbolehkan
menikah lagi untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal yang sama diungkapkan oleh
Gultom (2010: 52) yang mengatakan bahwa budaya Batak menganut perkawinan
yang monogam, kalaupun ada yang beristri dua (mardua-dua) kemungkinan besar
karena alasan tidak mendapatkan anak laki-laki dari istri pertama.
Selain itu, dalam pembagian warisan keluarga, perempuan tidak berhak
menerima apa-apa dari orangtuanya. Alasannya karena perempuan akan menjadi
milik pihak laki-laki. Maka jika sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki,
warisan keluarga akan diserahkan kepada saudara laki-laki dari pihak suami
(Siahaan, 1964: 130). Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan secara lebih detail
mengurutkan hukum waris adat Batak sebagai berikut: Anak turunan laki-laki dari
pewaris, bapak dari pewaris, saudara laki-laki dari pewaris, nenek laki-laki dari
pewaris, saudara laki-laki bapaknya pewaris, Ripe atau semarga, dan orang
sekampung (1978: 67). Dari hukum waris ini kita bisa melihat bahwa pihak
perempuan tidak mendapat bagian apa-apa dari warisan orangtuanya, jika tidak
memiliki anak laki-laki. Sekarang ini sudah ada orangtua yang mau memberikan
hartanya kepada anak perempuan, namun tetap harus persetujuan anak laki-laki
dan biasanya dianggap sebagai hibah.
Selain diskriminasi secara ekonomis, secara psikologis perempuan
terutama kaum ibu yang tidak melahirkan anak laki-laki seringkali merasa kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
dihargai. Mereka biasanya mendapat tekanan karena dianggap kurang terberkati.
Sebutan “tidak gabe” (tidak terberkati) biasanya diberikan kepada keluarga yang
tidak memperoleh anak laki-laki. Biasanya akan diadakan upacara doa mohon
berkat untuk pihak keluarga perempuan agar mendapatkan anak laki-laki
(Siahaan, 1964: 49). Semakin miris karena seorang ibu yang tidak melahirkan
anak laki-laki dikaitkan pada hubungan dengan Tuhan. Penyebab utama selalu
mengarah pada kekurangan perempuan. Hal ini jelas memberikan tekanan yang
cukup berat bagi seorang ibu yang tidak melahirkan anak laki-laki. Ia akan
menjadi lebih cemas memikirkan masa depannya jika tidak kunjung mendapatkan
anak laki-laki. Sudah menjadi kebiasaan bahwa ia akan dipersalahkan oleh pihak
keluarga suami yang merasa garis keturunannya akan terancam punah.
Sementara dalam hal perkawinan, sistem patriakhi dapat mengakibatkan
pelanggaran akan hakikat dan tujuan luhur dari perkawinan suci Katolik. Dalam
KHK dijelaskan bahwa perkawinan Katolik bersifat monogam dan tidak
terceraikan (1141). Namun demi kepentingan kelanjutan marga, budaya Batak
memberi izin kepada laki-laki untuk menceraikan isterinya dan menikah lagi.
Semua akibat dari budaya patriakhi dalam budaya Batak ini adalah kenyataan
yang dihadapi oleh umat terutama kaum perempuan. Permasalahan ini seolah
menjadi bagian dari budaya yang dihidupi umat meskipun bertentangan dengan
ajaran iman. Umat bahkan belum sepenuhnya menyadari permasalahan ini, atau
bagi yang sudah menyadari tidak memiliki kemampuan untuk memperbaikinya
karena sudah menjadi bagian dari sitem budaya leluhur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
3. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan Iman Tentang
Kesetaraan Martabat Pria Dan Wanita
Dalam konteks budaya patriakhi Batak, kesetaraan gender memiliki
landasan nilai-nilai luhur dari para leluhur dan nilai-nilai Kristiani yang dianut
oleh masyarakat. Ibrahm Gultom (2010: 59) mengatakan bahwa Pada hakikatnya
budaya Batak sangat menghormati perempuan (boru), hal ini terwujud dalam
falsafah orang Batak yaitu Dalihan Natolu (tungku 3 sudut) yang berbunyi:
Somba marhula-hula (hormat pada keluarga pihak istri), elek marboru (sayang
pada pihak suami), dan manat mardongan tubu (hati-hati dengan saudara
kandung). Dalihan Natolu ini mengungkapkan hubungan yang dinamis antara
ketiga pihak yang merupakan bagian dari keluarga besar setiap keluarga. Setiap
pihak akan merasakan setiap posisi yang ada, ada saatnya menjadi Hula-hula, ada
saatnya juga menjadi Boru dan Dongan Tubu. Dalam prinsip Dalihan Natolu ini,
Hula-hula (keluarga dari pihak istri) justru mendapat tempat yang terhormat
dalam adat dan pihak Boru (keluarga dari pihak suami) mendapat tempat sebagai
pihak yang harus diIangi.
Muhammad Hilmi dalam tulisannya di Kompas yang berjudul “Pesan
Persaudaraan Dalihan Na Tolu” mengungkapkan bahwa prinsip Dalihan Na Tolu
menunjukkan tiga kedudukan fungsional sebagai konstruksi sosial yang menjadi
dasar hidup bersama dan mengajarkan kesetaraan bukan hanya antara laki-laki
dan perempuan tetapi antar umat manusia. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
orang Batak yang tidak menghidupi prinsip Dalihan Na Tolu akan kehilangan
kehormatannya (2013: 3). Maka kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan
dalam budaya Batak terkandung dalam prinsip orang Batak itu sendiri. Kesetaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
ini dapat tercapai jika orang Batak menghayati prinsipnya dengan sungguh-
sungguh tanpa tanpa syarat.
Sebagai orang Batak yang sudah Kristiani, sangat jelas bahwa kedua nilai
yang terkandung dalam agama dan budaya menjadi daya hidup yang
menggerakkan seluruh kehidupan umat di Paroki Tomok ini. Maka kesetaraan
gender yang hendak diwujudkan adalah menyatukan antara nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya Batak dan nilai-nilai Kristiani tentang kesetaraan
martabat pria dan wanita.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam teologi gender, kesetaraan gender
yang hendak dicapai adalah bahwa baik pria dan wanita merupakan citra Allah
yang memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Nilai ini dapat diwujudkan
dalam tindakan nyata lewat prinsip Dalihan Natolu yang mewarnai seluruh
kehidupan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Inilah yang menjadi
harapan umat dalam konteks budaya patriakhi yang banyak mengakibatkan
ketidakadilan bagi kaum perempuan. Umat mendambakan kehidupan yang saling
menghargai antara laki-laki dan perempuan. Umat tidak mengharapkan adanya
perubahan dalam sistem kekerabatan orang Batak, tetapi dibutuhkan kekuatan
iman, kedalaman spritualitas akan makna kesetaraan martabat laki-laki dan
perempuan sesuai nilai-nilai luhur budaya dan iman Katolik yang mereka hidupi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
C. Penelitian Tentang Ketidakadilan Gender Di Stasi Tomok paroki St.
Antonio Maria Claret Tomok Samosir
1. Rencana Penelitian
a. Latar Belakang Penelitian
Gultom dalam bukunya “Agama Malim di Tanah Batak” mengungkapkan
bahwa salah satu tatanan budaya yang sudah melekat dalam budaya Batak adalah
sistem kekerabatan yang bersifat patrinealis yakni garis keturunan yang ditentukan
oleh laki-laki. Keputusan para leluhur yang menciptakan sistem kekerabatan yang
demikian masih terus berlangsung sampai saat ini, meskipun banyak pihak yang
menilai bahwa sistem tersebut melahirkan banyak tindakan ketidakadilan bagi
perempuan.
Permasalahan ketidakadilan gender yang terjadi di suku Batak, memang
dimulai dari keputusan adat dan dipraktekkan dalam tatanan masyarakat yang
lebih luas. Namun praktek itu semakin bertumbuh dan berakar dalam keluarga.
Ketidakadilan martabat pria dan wanita terjadi di antara ayah dengan ibu, dan
antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Meskipun beriman Katolik, namun
kecil kemungkinan keluarga-keluarga di paroki ini memahami dan menyadari
bahwa ketidakadilan gender terjadi di tengah-tengah keluarga mereka. Hal ini bisa
diterima karena sistem budaya Batak cenderung memelihara praktek tersebut dan
minimnya tindakan Pastoral dari Gereja untuk membantu umat mengubah
pandangan dan sikap yang mengarah pada ketidakadilan gender.
Maka penelitian terhadap ketidakadilan gender dalam keluarga-keluarga di
stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir merupakan suatu
bentuk keprihatinan penulis terhadap permasalahan ketidakadilan gender yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
terjadi serta usaha untuk membuktikan bahwa ketidakdialan gender tersebut masih
terjadi dan membutuhkan perhatian dari pihak Gereja.
b. Tujuan Penelitian
Kesetaraan gender yang hendak diwujudkan adalah menyatukan antara
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak dan nilai-nilai Kristiani tentang
kesetaraan martabat pria dan wanita. Namun sistem garis keturunan yang hanya
ditentukan oleh anak laki-laki mengakibatkan ketidakadilan gender dalam
keluarga-keluarga stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Dalam hal ini perempuan seringkali menjadi korban ketidakadilan. Ketidakadilan
ini sudah berlangsung sejak lama dan dianggap sebagai bagian dari budaya.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
4. Memperoleh data sejauh mana ketidakadilan gender masih terjadi dalam
kehidupan berkeluarga di stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir.
5. Memperoleh data mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya
ketidakadilan gender di stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir.
6. Memperoleh data mengenai dampak ketidakadilan gender di Stasi Tomok
paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
7. Memperoleh data mengenai harapan umat untuk mewujudkan keadilan
gender di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
c. Definisi Operasional
Ketidakadilan gender di stasi Tomok merupakan situasi dimana terjadi
pandangan dan perlakuan yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan yang
disebabkan oleh budaya patriakhi. Budaya patriakhi Batak adalah sistem garis
keturunan yang hanya ditentukan oleh anak laki-laki. Hal ini membuat perempuan
mengalami banyak tekanan dan penderitaan baik secara sosial, materi, dan
psikologis.
d. Jenis Penelitan
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami subjek
secara menyeluruh, tentang persepsi, perilaku, motivasi, dan tindakannya. Jenis
penelitian ini diolah dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memamfaatkan berbagai
metode alamiah. Metode alamiah yang dimaksud adalah metode yang mampu
mengumpulkan data di lapangan secara objektif sesuai kenyataan yang ada
(Moleong, 2012: 6). Dalam penelitian ini, konteks khusus yang diteliti adalah
ketidakadilan gender yang dialami oleh umat stasi Tomok dalam kehidupan
sehari-hari.
e. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah desain ex post facto.
Penelitian dengan desain ex post facto adalah suatu penelitian yang dilakukan
untuk meneliti suatu peristiwa yang telah terjadi dan kemudian melihat ke
belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan kejadian tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
(Sugiyono, 2013: 50). Desain ini menunjuk kepada perlakuan yang telah terjadi
sebelumnya, sehingga peneliti tidak perlu memberikan perlakuan lagi, peneliti
hanya melihat efeknya. Dalam penelitian ini masalah yang diteliti adalah
ketidakadilan gender dalam budaya Batak di stasi St. Antonio Maria Claret
Tomok, Samosir.
f. Responden
Responden adalah subjek atau orang yang menjadi sumber data penelitian
yang mewakili populasi (sampel). Salah satu syarat sampel adalah harus bersifat
representatif, artinya bisa mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah purposive sampling yakni mengambil sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013: 300). Dalam penelitian ini,
pertimbangan peneliti adalah sejauh mana sumber data memahami kesetaraan
gender dan pengalaman umat. Dari hasil wawancara dengan sekretariat paroki,
peneliti memperoleh data jumlah umat stasi St. Antonio Maria Claret adalah 155
keluarga.
Peneliti hanya memilih beberapa di antara mereka untuk diwawancara.
Pemilihan responden dilakukan dengan cara meminta bantuan Pastor paroki yang
dianggap mengenal umatnya secara baik. Menurut Pastor paroki semua responden
ini dikenal memiliki pandangan yang maju dan aktif dalam hidup menggereja.
Selain itu, semua responden dipilih berdasarkan berbagai pengalaman yang
beragam tentang keturunan atau anak yang mereka miliki. Hal ini penting untuk
menggali dan membandingkan pengalaman antara keluarga yang hanya memiliki
anak laki-laki atau anak perempuan, dan keluarga yang memiliki kedua-duanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Maka responden penelitian ini adalah 3 mewakili perempuan yang hanya
memiliki anak perempuan. 1 mewakili perempuan yang hanya mewakili anak
laki-laki dan 1 mewakili perempuan yang memiliki anak laki-laki dan perempuan.
2 mewakili laki-laki yang hanya memiliki anak perempuan. 1 mewakili laki-laki
yang hanya memiliki anak laki-laki dan 2 mewakili laki-laki yang memiliki anak
laki-laki dan perempuan. Dengan demikian jumlah responden dari penelitian ini
adalah 10 orang. Kesepuluh responden ini sudah dapat mewakili pengalaman
umat akan ketidakadilan yang terjadi dalam keluarga.
g. Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai setting, berbagai
sumber dan berbagai cara. Apabila dilihat dari setting-nya, data dalam penelitian
ini dapat dikumpulkan pada setting alamiah misalnya di tempat tinggal (rumah)
responden. Dalam penelitian ini, instrument pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara tersruktur. Sugiyono (2013: 193) mengemukakan kembali
pemikiran Esterberg tentang wawancara terstruktur. Wawancara ini hanya
digunakan apabila peneliti telah memahami dengan pasti tentang informasi apa
yang hendak diperoleh. Oleh karena itu, peneliti sudah menyiapkan instrumen
penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis lengkap dengan alternatif
jawabannya. Dalam wawancara terstruktur, pengumpulan data dapat
menggunakan beberapa pewawancara yang sudah dilatih sebelumnya.
Maka dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai responden secara
langsung dengan menggunakan media hanphone, hasil wawancara direkam dan
tulis. Peneliti juga melatih orang lain untuk membantu peneliti menemui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
responden dan menyampaikan tujuan dilakukan wawancara. Rekan peneliti ini
sebelumnya sudah dilatih dan diajari tentang tujuan penelitian yang hendak
dicapai. Hal ini akan sangat mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang
diperlukan. Rekan peneliti ini akan diminta memperhatikan situasi atau ekspresi
responden saat diwawancara, hasilnya dipertimbangakan dan disesuaikan dengan
perkataan responden.
h. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret
Tomok, pada bulan Januari - Februari 2017.
i. Variabel Penelitian
4. Bentuk ketidakadilan gender yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga di
Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir Samosir.
5. Faktor penyebab ketidakadilan gender di Stasi Tomok paroki St. Antonio
Maria Claret Tomok Samosir Samosir.
6. Dampak ketidakadilan gender di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir Samosir.
7. Harapan umat untuk menghayati kesetaraan martabat laki-laki dan
perempuan di Stasi Tomok paroki St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir Samosir.
j. Kisi-kisi Penelitian
Tabel 1
Kisi-Kisi Instrument Penelitian
No Variabel Aspek Indikator Jumlah
Soal
Nomor
Soal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
1 Bentuk
ketidakadilan
gender
- Tanggungja
wab dalam
keluarga
- Prioritas
anak
- Perempuan
dalam adat
- Mengungkapkan
bagaimana
pembagian
tanggungjawab
dalam rumah
tangga
- Mengungkapkan
bagaimana
prioritas
keluarga
terhadap anak
laki-laki dan
perempuan
- Mengungkapkan
bagaimana
keterlibatan
perempuan
dalam adat
4 1 - 4
2 Faktor
penyebab
ketidakadilan
gender
- Budaya - Menjelaskan
penyebab
ketidakadilan
gender dalam
budaya Batak
1 5 - 6
3 Dampak
ketidakadilan
gender
- Psikologis
- Kehidupan
perkawinan
- Pembagian
warisan
- Mengungkapkan
dampak
psikologis
ketidakadilan
gender
- Mengungkapkan
dampak
ketidakadilan
gender bagi
kehidupan
perkawinan
- Mengungkapkan
bagiamana
pembagian
warisan dalam
keluarga
3 7 - 9
4 Harapan umat - Pastoral - Mengungkapkan 1 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
untuk
menghayati
iman akan
kesetaraan
martabat pria
dan wanita
harapan akan
terwujudnya
keadilan gender
2. Laporan Penelitian
Pada bagian ini penulis akan memaparkan hasil penelitian mengenai
ketidakadilan gender yang masih menjadi keprihatinan dalam budaya Batak di
stasi St. Maria Claret Tomok Samosir. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode wawancara terstruktur yang melibatkan 10 responden.
Metode ini dipilih karena melalui metode ini penulis dapat memperoleh data
sesuai dengan harapan peneliti lewat pertanyaan yang telah disiapkan.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 16 Januari sampai tanggal 28
Februari 2017. Dalam melaksanakan wawancara, penulis menyampaikan 10
pertanyaan pokok. Pertanyaan yang disampaikan mengenai ketidakadilan gender
yang masih terjadi di stasi St. Maria Claret Tomok Samosir, penyebabnya, akibat
serta harapan umat dalam mewujudkan kesetaraan gender. Penulis akan
memaparkan hasil wawancara berdasarkan aspek variabel penelitian dan
membahasnya menurut variabel masing-masing aspek. Untuk memudahkan
penulis dalam menyampaikan hasil wawancara, maka penulis memberikan kode
pada setiap responden dengan nama R.
a. Identitas Responden
Table 2
Identitas Responden
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
N = 10 orang
No Nama Jenis
Kelamin
Jumlah dan Jenis
Kelamin Anak
Kode
1 Ibu Siagian Perempuan 4 perempuan R1
2 Ibu Panjaitan Perempuan 2 perempuan R2
3 Ibu Tamba Perempuan 4 perempuan R3
4 Ibu Situmorang Perempuan 5 laki-laki R4
5 Ibu Silalahi Perempuan 4 perempuan
3 laki-laki
R5
6 Bapak Sidabutar Laki-laki 2 perempuan R6
7 Bapak Panjaitan Laki-laki 4 perempuan R7
8 Bapak Sihombing Laki-laki 3 laki-laki R8
9 Bapak Silalahi Laki-laki 2 perempuan
2 laki-laki
R9
10 Bapak Sidabutar Laki-laki 3 anak perempuan
1 anak laki-laki
R10
NB: Peneliti tidak menggunakan nama asli dari responden karena menurut adat
Batak hal itu dianggap tidak sopan. Maka yang dipakai adalah marga dari
setiap responden.
b. Bentuk Ketidakadilan Gender Yang Dialami Perempuan Di St. Antonio
Maria Claret Tomok
Bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di stasi St. Antonio Maria Claret
Tomok berupa tanggungjawab dalam keluarga yang pada umumnya dibebankan
kepada perempuan, anak laki-laki menjadi prioritas utama dalam berbagai hal dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dalam bidang sosial peranan perempuan sangat dibatasi, perempuan belum dapat
terlibat dalam mengambil keputusan adat.
1) Pembagian Tanggungjawab Yang Tidak Adil Bagi Perempuan.
Tanggungjawab dalam rumah tangga sebaiknya menjadi kerjasama antara
suami dan istri. Keduanya memiliki peranan yang saling melengkapi satu sama
lain. Berdasarkan hasil penelitian semua responden mengatakan bahwa pembagian
tanggungjawab dalam rumah tangga sama seperti pada umumnya yakni suami
mencari nafkah dan istri mengurus pekerjaan rumah dan merawat anak-anak. R1
mengatakan bahwa ia sepenuhnya bertanggungjawab dalam urusan rumah tangga
dan tidak ikut membantu suaminya bekerja mencari nafkah. Sementara R2
mengatakan bahwa dia juga ikut membantu suami bekerja mencari nafkah
[Lampiran 4: (4)].
Hal senada diungkapkan oleh R3 yang bekerja sebagai guru sama seperti
suaminya. R4 yang bekerja sebagai petani bekerja sama bersama suaminya untuk
mencari nafkah. Hal serupa diungkapkan oleh R5 yang juga ikut membantu
suaminya mencari nafkah dengan berjualan [Lampiran 4 :(4)]. Sementara R6, R7,
R8 dan R9 mengatakan bahwa tanggungjawab mereka adalah mencari nafkah dan
urusan pekerjaan rumah dan anak-anak menjadi tanggungjawab istri [Lampiran 4:
(4)]. Berbeda dengan R10 yang mengatakan bahwa istrinya juga ikut membantu
dia bekerja mencari nafkah dengan berjualan [Lampiran 4: (5)].
Selain pembagian tanggungjawab dalam rumah tangga, peneliti juga
menanyakan bagaimana pendapat responden jika suami ikut membantu pekerjaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
istri mengurus pekerjaan rumah tangga dan seberapa sering suami ikut membantu
pekerjaan istri. Berdasarkan hasil wawancara, semua responden mengatakan
bahwa sangat wajar dan baik jika suami ikut membantu pekerjaan istri. Perbedaan
tanggapan responden ada pada seberapa sering suami ikut membantu istri lewat
tindakan yang nyata dan alasan yang mereka ungkapkan. R1 mengatakan bahwa
dulu suaminya sangat rajin membantu pekerjaan rumah tangga meskipun tidak
mau terbuka di depan umum karena sering diejek oleh teman-temannya. R1 juga
menambahkan bahwa sangat wajar suami ikut membantu pekerjaan istri di rumah
karena hal itu merupakan tanggungjawab bersama [Lampiran 4: (4)].
Hal senada diungkapkan oleh R2 yang mengatakan bahwa sudah
seharusnya suami ikut membantu istri karena dia juga ikut membantu suami
mencari nafkah. Dia juga mengatakan bahwa suaminya sering ikut membantunya
tetapi harus diminta, padahal dia sendiri tanpa diminta suamipun ia ikut bekerja
menacari nafkah. Sementara R3 mengatakan bahwa suaminya sering menolak jika
diminta untuk ikut membantunya dengan alasan kelelahan bekerja mencari
nafkah. Berbeda dengan R4 yang mengatakan bahwa suaminya masih tetap setia
membantunya mengurus pekerjaan rumah tangga karena sejak awal mereka sudah
sepakat untuk saling membantu [Lampiran 4: (4)].
R5 mengatakan bahwa sangat wajar jika suami mau membantu pekerjaan
rumah tangga istrinya, namun dia mengatakan masih mampu mengerjakan
semuanya sendiri dan lebih memilih mengajari anak-anak agar mampu
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. R6 mengatakan bahwa ia merasa tidak
masalah jika ikut membantu pekerjaan istri di rumah, namun seharusnya istri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah karena tugas utama suami adalah
mencari nafkah. Hal serupa disampaikan oleh R7 yang mengatakan bahwa wajar
jika suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga, namun dia menggarisbawahi
agar hal itu tidak terlalu sering karena dapat menurunkan harga diri si suami di
hadapan teman-temannya [Lampiran 4: (4)]. Sementara R8 mengungkapkan
bahwa dia merasa nyaman ikut membantu pekerjaan istri di rumah, tetapi tetap
ada batasnya karena hal itu sudah menjadi tugas seorang istri. Ia juga mengatakan
bahwa biasanya ia ikut mengerjakan pekerjaan di rumah saat istrinya sedang sakit
[Lampiran 4: (5)].
R9 mengatakan bahwa ia sangat jarang membantu pekerjaan rumah tangga
karena menurut dia istri dan anak-anaknya mampu mengerjakan semuanya. R10
juga mengatakan hal yang sama bahwa meskipun menurutnya sangat wajar jika
seoarang suami membantu pekerjaan istri di rumah tetapi ia sangat jarang
melakukannya karena merasa sudah sangat sibuk bekerja di luar. Ia juga lebih
memilih menghabiskan waktu luangnya di kedai sebagai refresing agar besoknya
semangat lagi untuk mencari nafkah [Lampiran 4: (5)].
2) Anak laki-laki lebih diprioritaskan daripada anak perempuan
Dalam budaya Batak, anak laki-laki biasanya menjadi prioritas utama
keluarga dalam berbagai hal. Alasannya sangat sederhana yakni orang Batak ingin
memberikan segala yang terbaik bagi pewaris keturunannya agar berkembang
dengan baik. Sementara perempuan biasanya menjadi proritas berikutnya karena
akan menjadi bagian penerus dari keluarga pihak suaminya kelak. Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
memberikan pertanyaan dengan meminta responden untuk memilih apakah lebih
baik hanya memiliki anak laki-laki atau perempuan. Demikian halnya dengan
pendidikan anak, responden diminta untuk memilih salah satu yang diprioritaskan
antara anak laki-laki atau perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian semua responden sepakat mengatakan bahwa
anak laki-laki dan perempuan sama berharganya. Namun ketika diminta untuk
memilih salah satu saja, mereka pada umumnya memilih anak laki-laki. R1
mengatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan sama berharganya dan ingin
memiliki keduanya. Namun jika harus memilih salah satu saja, ia lebih memilih
anak laki-laki supaya tidak mendapat tekanan dari keluarga suaminya. Dalam hal
pendidikan ia akan memilih anak yang mau dan mampu untuk sekolah baik itu
anak laki-laki maupun perempuan [Lampiran 4: (5)]. Hal senada diungkapkan
oleh R2 yang mengatakan bahwa ia sulit untuk memilih salah satu antara anak
laki-laki atau perempuan karena yang terbaik adalah memiliki keduanya. Namun
jika harus memilih, ia lebih memilih anak laki-laki demi menghindari tekanan dari
keluarga besarnya. Ia juga mengatakan bahwa labih aman memiliki anak laki-laki
daripada anak perempuan. Dalam hal pendidikan ia akan memilih yang mau serius
sekolah agar biaya pendidikan yang dikeluarkan tidak sia-sia [Lampiran 4: (5)].
R3 mempertegas bahwa seharusnya tidak ada perbedaan antara anak laki-
laki dan perempuan karena semuanya merupakan anugerah dari Tuhan. Ia tidak
mau memilih antara anak laki-laki dan perempuan, kalau boleh dua-duanya.
Dalam hal pendidikan jika harus memilih maka Ia akan memilih anak yang serius
untuk sekolah saja biarpun itu anak perempuan karena menurut dia sekarang ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
justru anak perempuan lebih berbakti kepada orangtuanya daripada anak laki-laki
[Lampiran 4: (5)]. R4 juga mengungkapkan hal yang sama, ia mengatakan bahwa
sebenarnya semua anak harus menjadi yang utama tanpa dibeda-bedakan tetapi
karena adat Batak lebih mengutamakan anak laki-laki, membuat orang sering
lebih memilih anak laki-laki, padahal anak perempuan jauh lebih peduli terhadap
orangtuanya. Kalau harus memilih salah satu anak untuk disekolahkan, maka ia
lebih memilih anak yang memang mau sekolah dan bertanggungjawab karena
kalau anak tidak serius sekolah itu sama saja menghancurkan kerja keras keluarga
[Lampiran 4: (5)].
Sementara R5 mengatakan bahwa mengenai pendidikan anak, semuanya
tergantung pada kemampuan dan kemauan anak itu sendiri. Ia juga mengatakan
bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan yang sama.
Anak yang lebih semangat dan setia mengikuti nasehat orangtuanya dengan
sendirinya akan berhasil [Lampiran 4: (6)]. Berbeda dengan R6 yang mengatakan
bahwa semua anak sama pentingnya, tetapi kalau harus memilih antara anak laki-
laki dan perempuan, ia lebih memilih anak laki-laki karena dapat melanjutkan
keturunan atau marganya. Dalam hal pendidikan, seandainya harus memilih salah
satu untuk disekolahkan ia lebih memilih anak laki-laki karena kelak anak laki-
laki yang akan menggantikan tugasnya [Lampiran 4: (6)].
R7 semakin mempertegas pendapat R6 dengan menjelaskan bahwa dari
segi adat anak laki-laki menjadi yang paling utama karena dapat
memperkembangkan keturunan marganya. Namun dalam ajaran iman, semuanya
sama berharganya. Masalahnya kalau tidak ada anak laki-laki, keturunan atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
marganya akan mati. Dalam hal pendidikan anak, jika hanya satu saja yang bisa
disekolahkan, maka ia lebih memilih anak laki-laki karena kalau anak perempuan
sesukses apapun itu dia akan menjadi bagian dari keluarga atau marga suaminya
[Lampiran 4: (6)]. Hal senada diungkapkan oleh R8 yang mengungkapkan
bagaimna ia dipuji oleh masyarakat setempatnya meskipun hanya memiliki anak
laki-laki dan diibaratkan dapat membentuk satu kampung baru. Ia juga
mengatakan bahwa istilah itu sudah menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih
penting daripada anak perempuan. Kalau hanya memiliki anak perempuan, kelak
akan menjadi milik marga suaminya. Mengenai pendidikan ia mengatakan bahwa
sebenarnya semua harusnya disekolahkan semampunya, tetapi kalau harus
memilih maka ia lebih memilih anak laki-laki karena anak perempuan kelak akan
menjadi milik keluarga suaminya.
R9 mengatakan bahwa sebenarnya anak laki-laki dan perempuan sama
pentingnya, tetapi jika harus memilih ia lebih memilih anak laki-laki supaya
keturunannya tidak mati. Ia juga mengatakan bahwa meskipun tidak memiliki
anak perempuan, kelak anak laki-laki akan membawa menantu yang biasanya
dijadikan seperti anak perempuannya. Jika hanya satu yang bisa disekolahkan, ia
lebih memilih anak laki-laki saja supaya nanti dia bisa membanggakan marganya
[Lampiran 4: (6)]. Hal senada diungkapkan oleh R10 yang mengatakan bahwa
anak laki-laki dan perempuan baginya sama berharganya dan semuanya diberi
kesempatan untuk berhasil, tetapi memang anak laki-laki lebih diutamakan karena
nantinya menjadi pengganti orangtuanya yang mengatur segala urusamn keluarga.
Ia juga mengatakan bahwa hal itulah yang membuat anak laki-laki lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
diutamakan diusahakan lebih pintar, berpendidikan dan berkecukupan.
Selanjutanya ia mengatakan bahwa mengenai pendidikan, semua anak berhak
mendapatkan yang terbaik tetapi jika hanya satu yang bisa disekolahkan, maka ia
lebih memilih anak laki-laki karena kalau anak perempuan akan lebih banyak
membantu keluarga suaminya [Lampiran 4: (6)].
3) Perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan adat
Dalam urusan adat, perempuan Batak masih terbatas pada pelaksana hasil
keputusan adat. Laki-laki mengambil peran sebagai penentu keputusan dalam
musyawarah yang biasanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki. Jika ada
perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat, biasanya mereka hanya sebagai
pendengar dan mempersiapkan makanan.
Berdasarkan hasil penelitian, R1 mengatakan bahwa dalam urusan adat
masih sangat sulit diterima kalau perempuan tampil sebagai pembicara atau ikut
mengambil keputusan rapat. Menurutnya hal itu sudah menjadi tradisi dan ia
pribadi tidak mempermasalahkannya [Lampiran 4: (6)]. Hal yang sama
diungkapkan oleh R2 yang mengatakan bahwa peranan perempuan dalam adat
masih sebatas sebagai pendengar dan pelayan, karena perempuan dianggap kurang
mengusai pengetahuan tentang adat. Namun ia juga mengungkapkan
keinginannnya mendapatkan kesempatan untuk belajar adat seperti laki-laki. R3
mengungkapkan hal serupa dengan mengatakan bahwa sudah sejak dulu laki-laki
yang menjadi ketua, pembicara dan pengambil keputusan dalam rapat adat. Para
perempuan biasanya hanya menerima dan melaksanakan hasil pembicaran
mereka. Pemikiran perempuan dianggap kurang mampu padahal Ia merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
mampu untuk itu. Ia bahkan mengatakan bahwa perempuan Batak jauh lebih
mudah terlibat dalam urusan politik daripada urusan adat [Lampiran 4: (7)].
Sementara R5 mengatakan bahwa urusan adat memang sudah menjadi
tugas para laki-laki, tetapi perempuan juga bisa ikut membantu. Namun biasanya
yang menjadi penentu adalah kaum laki-laki. Ia sendiri merasa kurang mampu
jika harus terlibat dalam urusan adat. Ia bahkan menyerahkan sepenuhnya tugas
itu kepada laki-laki. R6 mengatakan bahwa dalam urusan adat, perempuan
memang tidak memiliki tugas yang penting. Biasanya mereka bertugas
menyiapkan makanan atau minuman. Hal itu sudah dimulai sejak zaman para
leluhur dulu. R7 bahkan mengatakan bahwa ia merasa aneh jika perempuan
menjadi ketua ataupun sebagai pembicara dalam adat padahal masih banyak laki-
laki yang jauh lebih memahami adat Batak [Lampiran 4: (7)].
R8 menegaskan lagi dengan mengatakan bahwa dari zaman leluhur sudah
ditentukan yang mengurus adat itu laki-laki sementara para perempuan
menyiapakan makanan dan minuman. Ia juga mengatakan bahwa sulit untuk
mengubah aturan itu karena itu sama saja melawan nasehat para leluhur. Hal
senada diungkapkan oleh R9 yang mengatakan bahwa memang banyak
perempuan yang memiliki kemampuan untuk memahami adat dan mampu
berbicara dalam acara adat, tetapi selama masih ada laki-laki maka itu akan tetap
menjadi tugas laki-laki. R10 juga mengatakan bahwa perempuan bisa ikut dalam
rapat adat, mereka juga bisa memberikan masukan tetapi yang memutuskan tetap
laki-laki karena pemikiran perempuan masih belum bisa memahami adat dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
baik, mereka takut kalau keterlibatan perempuan justru mengakibatkan kesalahan
[Lampiran 4: (7)].
c. Laki-laki sebagai penentu garis keturunan menjadi penyebab
Ketidakadilan Gender
Penyebab ketidakadilan gender dalam budaya Batak bersumber dari
keputusan adat yang menjadikan laki-laki sebagai pewaris keturunan. Hanya anak
laki-laki yang berhak melanjutkan garis keturunan keluarganya berdasarkan
marga atau fam dari ayah. Sistem ini sudah berlangsung secara turun-temurun dan
diyakini sebagai warisan leluhur yang harus diteruskan.
Berdasarkan hasil penelitian, R1 mengatakan bahwa yang menjadi
penyebab ketidakadilan bagi perempuan Batak adalah karena dari dulu laki-laki
sudah ditentukan menjadi penerus keturanan atau marga orangtuanya. Maka
semua keluarga seharusnya memiliki anak laki-laki. Ia sebagai ibu yang tidak
melahirkan anak laki-laki merasa dianggap kurang terberkati, ada juga yang
menuduhnya kurang berusaha. Ia sendiri ingin sekali memiliki anak laki-laki dan
sudah berusaha semampunya, namun ia menyakini bahwa Tuhan belum
memberikannya kesemapatan untuk memiliki anak laki-laki [Lampiran 4: (7)]. R2
juga mengatakan bahwa aturan adat Batak yang memilih anak laki-laki sebagai
pewaris keturunan. Ia bahkan mengandaikan jika perempuan juga dapat menjadi
pewaris keturunan, pasti perempuan akan sama berharganya dengan anak laki-
laki. Ia menambahkan bahwa sebagai ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki,
masyarakat menilainya sebagai perempuan yang beruntung atau tidak gabe
[Lampiran 4: (8)].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
R3 mengatakan hal yang sama bahwa aturan adatlah yang
menyebabkannya ketidakadilan bagi perempuan di tanah Batak.. Sudah dari
zaman nenek moyang diputuskan bahwa hanya anak laki-laki yang berhak
meneruskan marga keluarganya. Hal inilah yang membuat anak laki-laki dianggap
paling berharga daripada anak perempuan. Ia juga mengungkapkan bagaimana
masyarakat memandang keluarganya sebagai keluarga yang tidak gabe, tetapi ia
tidak peduli soal itu yang penting baginya adalah kesuksesan anak-anaknya
meskipun itu hanya anak perempuan. Hal senada diungkapkan oleh R4 yang
mengatakan bahwa karena anak laki-laki yang menjadi pewaris marga ayahnya,
maka biasanya kalau ada ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki memang
dianggap kurang gabe dan sering dilakukan usaha dengan meminta doa kepada
para leluhur atau orangtua mereka [Lampiran 4: (8)].
R5 juga menegaskan bahwa karena laki-laki menjadi pewaris keturunan
atau marga ayahnya, maka setiap keluarga harus memiliki anak laki-laki supaya
keturunannya tetap berlanjut. Ia juga mengatakan bahwa dalam masyarakat Batak
sudah menjadi tradisi kalau ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki dianggap
kurang sempurna karena tidak mampu memberikan penerus marga suaminya. Hal
senada diungkapkan oleh R6 yang mengatakan bahwa kalau tidak ada anak laki-
laki dalam keluarganya maka keturunannya tidak akan berlanjut. Inilah yang
kemudian membuat setiap keluarga lebih mengutamakan anak laki-laki daripada
anak perempuan [Lampiran 4: (8)].
R7 menjelaskan lebih lanjut bahwa sejak zaman nenek moyang sudah
diputuskan bahwa laki-laki menjadi pewaris keturunan atau marga. Maka supaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
garis keturunanya tidak mati, ia harus memiliki anak laki-laki. Hal inilah ang
membuat anak laki-laki itu dianggap paling penting daripada anak perempuan
sampai sekarang. Ia juga mengatakan bahwa kalau ada ibu yang belum
melahirkan anak laki-laki biasanya disebut tidak gabe karena kalau sudah gabe
berarti sudah memiliki anak laki-laki dan perempuan. R8 mengungkapkan hal
yang sama, ia mengatakan bahwa anak laki-laki itu memang lebih berharga karena
dapat melanjutkan keturunan sementara perempuan akan menjadi bagian dari
kelurga atau marga yang lain. Ia juga mengatakan bahwa perempuan Batak yang
belum melahirkan anak laki-laki biasanya disebut belum gabe, karena belum
memberikan pewaris keturunan bagi keluarganya [Lampiran 4: (8)].
Hal yang sama diungkapkan oleh R9 yang mengatakan bahwa anak laki-
laki adalah pewaris keturunan keluarganya dan menjadi tanda kehormatan bagi
keluarga. Setiap keluarga atau marga pasti tidak mau kalau garis keturunannya
terputus, maka selalu diusahakan agar memiliki anak laki-laki. Ia juga
mengatakan bahwa bagi istri yang belum melahirkan anak laki-laki biasanya akan
dilakukan berbagai upaya atau acara adat untuk memohonkan diberi anak laki-laki
karena kalau belum ada anak laki-laki, keluarga tersebut kurang memiliki
kehormatan secara adat [Lampiran 4: (8)].
Sementara R10 meskipun mengatakan bahwa anak laki-laki dan
perempuan sama berharganya, tetapi ia tetap jujur mengungkapkan kenyataan
yang sebenarnya bahwa anak laki-laki dianggap lebih penting daripada anak
perempuan karena menjadi pewaris garis keturunan dari marga ayahnya. Ia juga
mengatakan bahwa hal itu merupakan tuntutan adat yang harus dijalankan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Perempuan Batak kalau tidak melahirkan anak laki-laki biasanya dianggap belum
gabe karena nanti keluarga atau marga sumainya akan mati [Lampiran 4: (9)].
d. Dampak ketidakadilan gender bagi perempuan di stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir
Ketidakadilan gender yang terjadi dalam budaya patriakhi yang dianut
oleh orang Batak menyebabkan banyak permasalahan ketidakadilan yang dialami
oleh perempuan atau kaum ibu baik secara psikologis, kehidupan perkawinan dan
kehidupan ekonomi.
1) Dampak psikologis: Perempuan takut tidak mampu memberi pewaris
keturunan suaminya
Berdasarkan penelitian, R1 menceritakan bahwa pada saat ia mengandung
anak ketiga dan keempat, ia mengalami ketakutan. Ia takut kalau anak yang
sedang ia kandung masih perempuan, keluarga suaminya akan
mempersalahkannya karena tidak bisa melanjutkan garis keturunan mereka.
Demikian juga dengan R2 yang mengalami ketakutan yang sama. Ia mengalami
ketakutan karena seharusnya tidak melahirkan lagi seturut anjuran dokter, tetapi ia
takut mendapat tekanan dari keluarga, akhirnya ia memilih untuk hamil lagi demi
mendapatkan anak laki-laki. Sementara itu R3 mengungkapkan bahwa ia merasa
ada yang kurang dalam hidupnya. Ia sudah berusaha mensyukuri apa yang
diberikan Tuhan tetapi tanpa anak laki-laki sepertinya ada yang masih kurang
dalam keluarganya [Lampiran 4: (9)].
Hal yang berbeda diungkapkan oleh R4 yang mengatakan bahwa ia tidak
mengalami tekanan karena sudah memiliki anak laki-laki, namun ia tetap ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
kerinduan untuk memiliki anak perempuan. Ketika ditanya apa yang menjadi
ketakutannya seandainya ia belum memiliki anak laki-laki? Ia mengatakan bahwa
yang ia takutkan adalah ketidakpuasaan dari keluarga keluarga besar pihak suami
karena belum mendapatkan pewaris keturunan. Hal senada diungkapkan oleh R5
yang juga tidak mendapatkan tekanan dari keluarga karena sudah memiliki anak
laki-laki dan perempuan. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak pernah mendapat
tekanan perasaan apa-apa seperti yang dialami oleh teman-teman yang tidak
memiliki anak laki-laki [Lampiran 4: (9)].
R6 sebagai laki-lakipun mengalami tekanan yang sama. Ia mengatakan
bahwa ada perasaan tertekan karena belum mendapatkan anak laki-laki. Ia merasa
sedih dan agak malu jika ditanya oleh keluarga besar. Kadang keluarga juga
mengatakan bahwa itu tidak masalah tetapi menurutnya itu hanya sebagai
ungkapan penghiburan saja. Pengalaman R6 sama dengan yang diungkapkan oleh
R7 yang juga merasa kurang sempurna dan ada rasa takut kalau nanti marganya
akan mati karena belum mendapatkan anak laki-laki. Hal senada juga
diungkapkan oleh R8 yang mengatakan bahwa ia merasa ada yang kurang dalam
hidupnya karena belum memiliki anak laki-laki apalagi saat acara adat.
Sementara R9 mengatakan bahwa meskipun sudah memiliki anak laki-laki
tetapi ia tetap memiliki kerinduan untuk memiliki anak perempuan. Namun karena
tidak menjadi masalah yang besar, ia tidak terlalu memikirkannya [Lampiran
4:(9)]. R10 justru mengungkapkan hal yang berbeda, ia tidak pernah mengalami
tekanan karena sudah memiliki anak laki-laki dan perempuan. Ia merasa
keluarganya sudah sempurna. Seandainya belum memiliki anak laki-laki, ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
mengatakan bahwa ketakutannya adalah soal penerus marganya saja [Lampiran 4:
(10)].
2) Kehidupan perkawinan kurang harmonis tanpa anak laki-laki
Semua responden mengatakan bahwa jika tidak memiliki anak laki-laki,
keluarga akan mendapat tekanan dari keluarga besar. Hal ini sering
mempengaruhi kehidupan perkawinan. Berdasarkan penelitian, R1 menceritakan
bahwa pihak keluarga menyuruh suaminya untuk menikah lagi demi mendapatkan
anak laki-laki dan akhirnya ia dan keempat putrinya ditinggalkan oleh suaminya.
Ia dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak setuju jika seorang suami menikah
lagi demi mencari anak laki-laki. Alasannya adalah karena dalam agama Katolik
perkawinan itu hanya sekali seumur hidup. Ia mengatakan bahwa kasus yang ia
alami memang sudah tidak banyak lagi terjadi, tetapi tetap masih ada beberapa
yang mengalaminya [Lampiran 4: (10)].
R2 juga mengungkapkan bagaimana aa merasakan tuntutan keluarga besar
agar melahirkan anak laki-laki. Hal itu sering menjadi sumber masalah dalam
keluarganya. Ia sering merasa kesal karena menurutnya ini bukan hanya
kesalahannya. Kalau suami disuruh menikah lagi, ia sangat tidak setuju karena hal
itu seharusnya menjadi tanggungjawab berdua bukan hanya istri saja. Ia juga
mengatakan bahwa kejadian seperti itu sudah jarang terjadi karena tidak banyak
keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Hal senada diungkapkan oleh R3
yang mengatakan bahwa ia merasa ada yang kurang dalam keluarganya. Ia juga
sering dibicarakan dalam keluarga, ia merasa kurang bahagia sebagai istri.
Kadang ia juga merasa gagal memberi keturunan laki-laki pada keluarga besarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Ia juga mengatakan bahwa ia sangat tidak setuju kalau ada suami yang memilih
menikah lagi karean ingin mencari anak laki-laki. Alasannya karena mereka sudah
beragama bukan seperti zaman dulu lagi yang hanya hidup menurut adat saja.
Kasus seperti itu memang sampai saat ini masih terjadi tetapi tidak sebanyak
zaman dulu [Lampiran 4: (10)].
Berbeda dengan R4 yang justru merasa tenang dalam keluarga meskipun
hanya memiliki anak laki-laki. Ia sering dipuji juga karena memiliki anak laki-laki
yang lumayan banyak. Ia hanya sedikit mengalami kewalahan mengurus
pekerjaan rumah karena semua anaknya adalah laki-laki. Ia berpendapat bahwa
kalau ada suami yang menikah lagi baik itu pilihannya sendiri ataupun dipaksa, itu
tetap saja tidak benar karena anak perempuan dan laki-laki sama berharganya.
Kehidupan rumah tangga R5 jauh lebih baik lagi. Ia mengatakan bahwa
kehidupan keluarganya berjalan dengan baik, soal keturunan mereka merasa
sudah sempurna karena memiliki anak laki-laki dan anak perempuan. Ia juga
mengungkapkan pendapatnya jika ada suami yang menikah lagi hanya untuk
mendapatkan anak laki-laki. Menurutnya hal itu sangat tidak adil bagi perempuan,
apalagi di zaman sekarang ini. Ia juga memberikan alasannya berdasarkan nilai
agama Katolik yang melarang melarang pernikahan dua kali. Kasus seperti itu
memang sudah jarang terjadi, kecuali di daerah pedalaman dimana pengetahuan
masyarakat masih kurang luas [Lampiran 4: (10)].
R6 sebagai suami yang belum mendapatkan anak laki-laki mengatakan
bahwa ia tidak pernah berfikir untuk menikah lagi. Ia masih berpegang pada
ajaran agama Katolik yang melarang perkawinan dua kali. Ia mengakui bahwa ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
kerinduan untuk memiliki anak laki-laki, tetapi ia tetap menyerahkan diri pada
kehendak Tuhan. R7 melanjutkan pendapat R6 dengan mengatakan bahwa
pernikahan kedua demi mendapatkan anak laki-laki bukan perkara mudah karena
harus membayar adat lagi dan itu lumayan mahal. Ia mengaku bingung apabila
ditanya apakah hal itu boleh atau tidak karena agama melarang tetapi dalam adat,
orang yang tidak memiliki anak laki-laki juga mengalami kesulitan. Namun sejauh
ini ia mengaku bahwa keluarganya baik-baik saja, meskipun kerinduan untuk
memiliki anak laki-laki itu masih tetap ada [Lampiran 4: (10)].
R8 mengaku sulit memberikan pendapat terhadap suami yang memilih
menikah lagi untuk memiliki anak laki-laki. Ia mengatakan bahwa hal itu memang
dilarang oleh agama, tetapi ia juga merasa kasihan pada keluarga yang tidak
memiliki penerus marganya. Ia merasa jauh lebih lebih baik hanya memiliki anak
laki-laki, meskipun tetap menginginkan anak perempuan supaya keluarganya
semakin sempurna. Sedangkan R9 dengan tegas mengatakan tidak setju kalau ada
suami yang menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki karena hal itu bukan
hanya kekurangan istri tetapi bisa juga suami yang bermasalah. Namun ia juga
mengatakan bahwa hal itu tidak mudah bagi mereka yang tidak memiliki anak
laki-laki karena dalam adat mereka dipandang kurang terhormat
[Lampiran 4: (11)].
R10 lebih lanjut menjelaskan bahwa meskipun sudah beragama, tetapi adat
juga harus dipenuhi. Perempuan yang tidak memiliki saudara laki-lakipun
biasanya kurang terhormat karena kelak anak-anaknya tidak memiliki Tulang
(paman), padahal peran Tulang sangat penting dalam adat Batak. Ia memang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
mengalami tekanan apapun dalam keluarga soal anak laki-laki tetapi melihat dan
mendengar pengalaman teman yang belum mendapatkan anak laki-laki, ia bisa
memahami bagaimana tekanan yang mereka alami [Lampiran 4: (11)].
3) Dampak ekonomi atau materi: Perempuan didiskriminasi dalam pembagian
warisan keluarga
Dalam budaya Batak, pembagian warisan biasanya hanya untuk anak laki-
laki. Kalaupun ada keluarga anak perempuan yang mendapatkan warisan dari
keluarga, itu dianggap sebagai hibah dan biasanya jumlah sangat jauh berbeda
dari warisan yang diperoleh anak laki-laki.
Berdasarkan penelitan R1 mengatakan bahwa dalam pembagian harta
biasanya yang diutamakan adalah anak laki-laki. Ia menceritakan bahwa sampai
saat ini, keluarga suaminya belum memberikan apa-apa sebagai bagian dari
keempat putrinya. Ia juga mengatakan bahwa suaminya sudah menikah lagi demi
mencari anak laki-laki dan jika istri kedua melahirkan anak laki-laki, maka
sebagaian besar harta suaminya akan diberikan kepada anak laki-lakinya
meskipun dari istri kedua. Kemungkinan anaknya akan mendapat bagian yang
sangat kecil jumlahnya. Menurutnya hal ini sangat tidak adil, tetapi itulah adat. Ia
mengatakan bahwa lebih baik bekerja serius agar dapat menyekolahkan anak-
anaknya sampai sukses daripada mengharapkan warisan suaminya [Lampiran 4:
(11)].
Hal senada diungkapkan oleh R2 yang mengatakan bahwa sesuai adat
Batak, dalam pembagian warisan biasanya anak laki-laki mendapat bagaian yang
lebih. Sementara anak perempuan hanya mendapat sebagaian kecil saja.
Menurutnya bisa jadi sebagian warisan mereka akan diberikan kepada saudara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
dari suaminya karena mereka belum memiliki anak laki-laki. Ia menilai bahwa hal
itu memang tidak adil karena anak perempuan juga berhak mendapatkan harta
orangtuanya. Maka untuk mengatasinya mereka akan berusaha menyekolahkan
anak-anak mereka setinggi mungkin supaya memiliki bekal di masa depan.
Namun ia juga mengakui bahwa sampai saat ini mereka masih terus berusaha agar
mendapatkan anak laki-laki [Lampiran 4: (11)].
R3 juga mengatakan hal yang sama bahwa sesuai adat, anak laki-laki akan
mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Menurutnya
hal ini jelas tidak adil apalagi bagi orang seperti dia yang tidak memiliki anak
laki-laki. Ia menceritakan bahwa dulu masih berlaku aturan bahwa kalau sebuah
keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka seluruh hartanya diambil oleh
saudara suami. Tetapi baginya itu tidak berlaku lagi karena ia dan keluargalah
yang bekerja untuk mengumpulkan harta. Ia berniat akan tetap memperjuangkan
agar keempat putrinya yang menjadi pewaris seluruh harta keluarganya
[Lampiran 4: (11)].
R4 menjelaskan bahwa warisan keluarga akan dibagi rata di antara semua
anak-anaknya yang semuanya laki-laki. Tetapi hal itu akan berbeda lagi kalau ia
memiliki anak perempuan. Dalam pembagian harta warisan, biasanya anak
perempuan mendapat jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan bagian
anak laki-laki. Menurutnya hal ini kurang adil bagi perempuan karena justru anak
perempuan yang lebih rajin membantu orangtuanya. Tetapi ia mengatakan bahwa
hal itu sudah ketentuan adat yang sulit untuk diubah [Lampiran 4: (12)].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Penjelasan pembagian warisan ini dipaparkan oleh R5 dengan lebih rinci.
Ia menjelaskan cara pembagiannya sebagai berikut. Semua warisan keluarganya
akan dibagi dibagi 4. Setiap anak laki-laki mendapat satu bagian, sementara satu
bagian lagi dibagi oleh keempat anak perempuan. Aturan ini menurutnya masih
termasuk aturan baru. Dulu perempuan malah tidak mendapatkan apa-apa. Soal
adil atau tidak, ia mengatakan bahwa semua tergantung nasib anak perempuan.
Kalau dia mendapatkan suami yang punya banyak warisan, maka tidak jadi
masalah. Tetapi kalau suaminya juga tidak memiliki warisan, maka hidupnya akan
sulit. Ia mengatakan bahwa hal inilah yang membuat orangtua zaman sekarang
sudah mulai memberikan hartanya bagi anak perempuan meskipun tetap lebih
kecil dari bagian anak laki-laki [Lampiran 4: (12)].
Sementara R6 mengatakan bahwa sesuai adat, pembagian warisan
keluarga hanya untuk anak laki-laki. Anak perempuan tidak berhak atas warisan
orangtuanya kecuali atas izin saudara laki-laki, itupun dianggap sebagai hibah
bukan hak atas warisan. Jika tidak ada anak laki-laki, maka seluruh warisan akan
diambil oleh saudara laki-laki dari ayahnya. Menurutnya hal ini kurang adil bagi
anak perempuan karena seharusnya mereka juga mendapat hak yang sama. Ia
sendiri tidak rela kalau hartanya diambil oleh saudara-saudaranya. Oleh karena itu
mengungkapkan akan mengusahakan agar warisannya diberikan kepada anak-
anaknya. Namun ia tetap mengakui bahwa ia merasa takut kalau saudara-
saudaranya akan mengambil alih hartanya ketika ia sudah meninggal dunia karena
ia tidak memiliki anak laki-laki [Lampiran 4: (12)].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
R7 juga menjelaskan bahwa pembagian harta biasanya hanya diantara
anak laki-laki. Lalu atas kesepakatan antara anak laki-laki, biasanya mereka
memberikan sebagaian kecil bagi saudarinya secara sukarela tanpa ada ketentuan
berapa jumlahnya. Tetapi tidak memiliki anak laki-laki, biasanya hartanya akan
diambil alih saudaranya. Menurutnya hal itu tidak adil karena dia bekerja keras
justru untuk masa depan anak-anaknya. Maka ia bertekad akan memberikan
seluruh hartanya kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal kelak supaya tidak
diambil alih oleh saudara-saudaranya [Lampiran 4: (12)].
Bagi R8 soal pembagian harta warisan, ia tinggal mengikuti aturan adat
yang sudah ada. Semua hartanya akan dibagi rata kepada ketiga anaknya yang
semuanya laki-laki. Kelak ketika sudah dewasa, ketiga anaknya akan berunding
dan membagi semuanya secara adil. Kalau ada anak perempuan, biasanya hanya
diberi sedikit saja karena kelak dia akan mengikuti suaminya. Oleh karena itu
keluarga tidak perlu khawatir akan kehidupan anak perempuan. Ia menilai bahwa
aturan pembagian warisan tersebut sudah adil dan wajar karena kalau anak
perempuan mendapatkan warisan yang sama dengan anak laki-laki, maka itu
hanya akan memperkaya keluarga suaminya bukan keluarganya
[Lampiran 4: (12)].
Sementara R9 mengatakan bahwa pembagian warisan menurut adat Batak,
memang terdengar kurang adil karena anak perempuan kurang diperhitungkan.
Namun hal itu sudah dipikirkan baik-baik oleh para leluhur. Ia mengatakan bahwa
setiap laki-laki orang Batak akan mendapatkan warisan dari keluarganya dan
setiap anak perempuan Batak akan mengikuti suaminya. Maka ia menilai hal itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sudah adil, apalagi dalam adat Batak semua biaya pernikahan ditanggung oleh
laki-laki bahkan harus “membeli” perempuan dengan harga yang biasanya tidak
murah [Lampiran 4: (12)]. R10 juga mengungkapkan hal yang sama. Ia akan
membagi hartanya menjadi dua bagian besar. Satu bagian untuk anak laki-laki dan
satu bagian lagi dibagi oleh ketiga anak perempuannya. Menurut dia hal ini sudah
adil karena anak perempuan akan pergi mengikuti suaminya sementara anak laki-
laki akan mengurus semua keturunannya. Ia juga mengatakan bahwa
tanggungjawab anak laki-laki itu jauh lebih besar daripada anak perempuan
[Lampiran 4: (13)].
e. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan Iman Tentang
Kesetaraan Martabat Pria Dan Wanita
Berdasarkan hasil penelitian semua responden mengungkapkan bahwa
perkembangan zaman dan ajaran iman Gereja sudah mulai memberikan dampak
positif bagi budaya patriakhi Batak. Mereka semua mengharapkan agar Gereja
semakin giat memberikan pengajaran iman tentang kesetaraan martabat pria dan
wanita bagi seluruh umat.
Berdasarkan penelitian, R1 mengaku sulit untuk mengungkapkan
harapannya karena urusan adat sulit untuk diperbaiki apalagi untuk diubah. Ia
lebih menaruh harapannya pada Gereja. Ia mengatakan bahwa Pastor perlu secara
terus-menerus menyampaikan kepada umat bahwa anak laki-laki dan perempuan
itu sama berharganya di mata Tuhan. Hal serupa diungkapkan oleh R2 yang
mengatakan bahwa Pastor harus lebih sering berkotbah untuk mengatakan kepada
umat tentang kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Harapan R3 juga lebih pada peranan
pihak gereja atau Pastor agar semakin sering berkotbah tentang adat Batak. Dalam
Kitab Suci sudah jelas dituliskan bahwa perempuan dan laki-laki sama di hadapan
Allah atau setara. Ia mengatakan bahwa hal inilah yang seharusnya disampaikan
oleh Pastor kepada umatnya dan biasanya kalau Pastor yang mengatakan, umat
mudah percaya [Lampiran 4: (13)].
R4 mengatakan bahwa mengubah adat, adalah pekerjaan yang sangat sulit
dilakukan karena sudah sejak dulu aturan adat kita ini dibuat dan terus
berkembang sampai saat ini. Menurutnya yang perlu diubah adalah pemikiran
masyarakat saja supaya lebih maju karena di zaman sekarang anak perempuan
juga sudah bisa menjadi pemimpin. R5 juga meletakkan harapannya pada
kemajuan zaman. Ia mengatakan bahwa banyaknya wisatawan yang datang
membawa pemikiran yang semakin maju. Hal yang baik dari adat kita tetaplah
dilanjutkan, tetapi kalau hal yang kurang baik biarlah ditiggalkan begitu saja. Ia
yakin, jika daerah mereka semakin maju, maka aturan adat yang dinilai kurang
baik akan dilupakan orang [Lampiran 4: (13)].
R6 berharap semoga imannya tetap teguh meskipun belum mendapatkan
anak laki-laki. Ia juga terkadang takut tergoda untuk berbuat menikah lahi hanya
karena ia ingin mendapatkan anak laki-laki. Harapan R7 sangat sederhana. Ia
memang masih berharap diberikan Tuhan anak laki-laki dalam keluarganya.
Tetapi kalaupun tidak ia berharap semoga keluarganya tetap bahagia. Sementara
R8 mengatakan bahwa bagaimanapun juga anak laki-laki akan tetap menjadi
penerus garis keturunan dalam adat Batak dan itu tidak mungkin bisa diubah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Maka ia hanya berharap agar iman Katolik semakin diperdalam dan dihayati oleh
umat agar tetap menghargai semua anak baik laki-laki maupun perempuan
[Lampiran 4: (13)].
Harapan yang sama diungkapkan oleh R9. Ia berharap semoga iman umat
di stasinya semakin kuat, sehingga apapun tuntutan adat, iman tidak akan goyah.
Ia sangat mengharapkan agar Pastor memberikan pendampingan bagi keluarga
yang tidak memiliki anak laki-laki agar terhindar dari keinginan yang
bertentangan dengan iman seperti menikah dua kali. R10 juga berharap agar
Gereja bersikap tegas menentang aturan adat yang mengizinkan pernikahan kedua
demi mendapatkan anak laki-laki karena itu hanya akan memberikan penderitaan
kepada para perempuan terutama istri yang tidak melahirkan anak laki-laki
[Lampiran 4: (14)] .
3. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini penulis akan membahas dan mendiskripsikan secara
kualitatif ketidakadilan gender di stasi St. Maria Claret Tomok Samosir. Deskripsi
ini dibagi menjadi 5 bagian yakni identitas responden, ketidakadilan gender di
stasi St.Antonio Maria Claret, penyebab dan akibat ketidakadilan gender serta
harapan umat akan kesetaraan gender di stasi St. Antonio Maria Claret Paroki
Tomok Samosir.
Berdasarkan data yang diperoleh, kesepuluh responden ini berasal dari
stasi St. Maria Claret Paroki Tomok Samosir, Sumatera Utara. Semua responden
termasuk suku asli Batak Toba yang sudah lama menjadi Katolik. Jadi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
kehidupan sehari-hari mereka hidup sebagai orang Batak Katolik. Semangat hidup
mereka dijiwai oleh dua sumber yang mereka yakini dan hidupi yakni warisan
budaya dan ajaran iman Katolik. Kesepuluh responden terdiri dari 5
perempuan/ibu dan 5 laki-laki/suami. Dari kelima kaum ibu ini, ada 3 ibu yang
hanya memiliki anak perempuan, 1 ibu memiliki hanya anak laki-laki dan 1 ibu
yang memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sementara ke 5 laki-laki terdiri dari
2 ayah yang hanya memiliki anak perempuan, 1 ayah memiliki hanya anak laki-
laki dan 2 ayah yang memiliki anak laki-laki dan perempuan.
a. Bentuk Ketidakadilan Gender Yang Dialami Perempuan Di St. Antonio
Maria Claret Tomok
Ketidakadilan gender yang terjadi dalam budaya patriakhi Batak, sudah
berlangsung sejak zaman para leluhur. Sistem kekerabatan marga menjadi sebuah
pondasi yang mengikat hubungan persaudaran semua orang Batak. Sistem ini
diyakini sebagai warisan para leluhur yang mempersatukan semua orang Batak di
seluruh dunia. Sistem kekerabatan marga ini hanya bisa dilanjutkan oleh anak
laki-laki (Gultom, 2010: 50). Maka sudah dapat dipastikan bahwa anak laki-laki
menjadi penentu keberlangsungan budaya Batak. Hal ini sekaligus menyebabkan
ketidakadilan bagi perempuan Batak. Peranan wanita dianggap kurang penting
dalam melanjutkan eksistensi budaya Batak.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, mulai muncul
kesadaran akan adanya ketidakadilan gender dalam budaya Batak. Banyak orang
mulai melihat dan menyadari berbagai macam praktek ketidakadilan bagi
perempuan yang sudah dianggap biasa dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
contoh ketidakadilan gender yang terjadi di stasi St. Maria Claret Tomok ini
antara lain:
1) Tanggungjawab Perempuan Dalam Keluarga Lebih Besar Daripada Laki-laki.
Tanggungjawab dalam rumah tangga merupakan kerjasama antara suami
dan istri. Keduanya memiliki peranan yang saling melengkapi satu sama lain.
Berdasarkan hasil penelitian, semua responden mengatakan bahwa pembagian
tanggungjawab dalam rumah tangga sesuai dengan kebiasaan umum dalam sebuah
keluarga yakni suami bekerja mencari nafkah sementara istri mengurus pekerjaan
rumah dan merawat anak-anak. Mereka pada umumnya juga setuju bahwa
keterlibatan suami dalam membantu pekerjaan rumah tangga merupakan hal yang
wajar. Namun ada beberapa hal yang menunjukkan adanya ketidakadilan bagi
perempuan.
Responden perempuan pada umumnya mengungkapkan keterlibatan
mereka membantu suami mencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga (R2,
R3, R4, dan R5). Hanya R1 yang sepenuhnya mengurus rumah tangga dan tidak
ikut mencari nafkah. Sementara responden laki-laki hanya R10 yang
mengungkapkan keterlibatan istrinya dalam mencari nafkah dan kerjasama
mereka dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. R6, R7 [Lampiran 4: (4)], R8,
dan R9 [Lampiran 4: (5)], mengatakan bahwa mereka hanya bertanggungjawab
mencari nafkah.
Semua responden setuju bahwa keterlibatan suami membantu pekerjaan
rumah tangga merupakan hal yang wajar. Namun berdasarkan hasil wawancara,
sebagian besar suami jarang ikut membantu pekerjaan rumah tangga. Suami ikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
membantu jika mereka meminta dengan alasan yang jelas misalnya saat mereka
sakit atau sangat sibuk [Lampiran 4: (4,5)].
Sebagaian besar responden laki-laki mengatakan bahwa pekerjaan rumah
tangga sewajarnya dikerjakan oleh istri karena itu merupakan tanggungjawab
seorang istri. Memang tidak menjadi masalah jika suami ikut membantu pekerjaan
istri, tetapi jika terlalu sering juga tidak baik. Mereka mengatakan bahwa harga
diri suami akan turun jika terlalu sering mengerjakan pekerjaan perempuan dan
mereka tidak mau dicap sebagai suami yang takut istri. Mereka mengatakan
bahwa tugas utama mereka adalah mencari nafkah dan mengurus adat
[Lampiran 4: (4,5)].
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggungjawab dalam rumah tangga
sudah ada pembagian tugas antara suami dan istri. Perempuan atau istri lebih
banyak berperan dalam urusan pekerjaan rumah tangga, sementara suami
bertanggungjawab dalam mencari nafkah. Sebagaian perempuan melakukan tugas
ganda yakni mengurus pekerjaan rumah tangga dan ikut mencari nafkah.
Sementara laki-laki atau suami biasanya fokus pada pekerjaan mencari nafkah dan
sangat jarang ikut membantu pekerjaan rumah tangga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kebiasaan ini masih terjadi dalam kehidupan umat.
Ada perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan tentang
tanggungjawab dalam rumah tangga. Pihak perempuan memiliki pandangan
bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggungjawab bersama antara suami dan
istri, meskipun perempuan merasa mampu untuk melakukan semua itu tetapi
mereka tetap mengharapkan agar suami ikut memberikan perhatian. Sementara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
pihak suami memandang bahwa pekerjaan rumah tangga sewajarnya menjadi
tanggungjawab perempuan, kecuali ada alasan mendasar yang mengharuskan
suami ikut membantu.
Stevi Jackson dan Jackie Jones (1998: 29) mengulas kembali pemikiran
Delphy yang mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga muncul dari relasi sosial
yang bersifat patriakhi. Dalam keluarga, laki-laki secara sistematis
mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari pekerjaan perempuan sebagai
ibu rumah tangga. Laki-laki memposisikan diri sebagai kepala rumah tangga yang
harus dilayani oleh perempuan. Laki-laki yang berperan sebagai pencari nafkah
juga dipandang sebagai alasan agar perempuan tergantung pada penghasilan laki-
laki. Perempuan yang ikut bekerja mencari nafkah pada kenyataannya juga harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Gereja mengungkapkan bahwa suami harus menunjukkan cinta kasih
kepada istri dan anak sebagaimana Kristus mencintai umatNya. Suami harus
menyadari peranannya yang sangat penting dalam keluarga dan tidak hanya
membebani pekerjaan rumah tangga kepada istri. Keseimbangan peranan tugas
suami dan istri dalam keluarga menjadi sarana untuk saling melengkapi dan
mempersatukan mereka dalam cinta kasih (FC 25). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga di stasi St.
Maria Claret Samosir merupakan tindakan ketidakadilan bagi perempuan Batak
dan masih terjadi hingga sekarang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
2) Anak laki-laki lebih diprioritaskan daripada anak perempuan
Dalam budaya Batak, anak laki-laki biasanya mendapatkan prioritas utama
keluarga dalam berbagai hal. Alasannya sangat sederhana, orang Batak ingin
memberikan segala yang terbaik bagi pewaris keturunannya agar berkembang
dengan baik. Sementara perempuan biasanya menjadi prioritas berikutnya karena
akan menjadi bagian penerus dari keluarga pihak suaminya kelak.
Berdasarkan hasil penelitian pada umumnya responden perempuan yakni
R1, R2, R3, R4, dan R5 mengatakan bahwa bagi mereka anak laki-laki dan
perempuan sama dan mereka tidak membeda-bedakannya perlakuan terhadap
anak-anak mereka. Mereka bahkan mengatakan tidak bisa memilih antara anak
laki-laki dan perempuan [Lampiran 4: (5,6)]. Sementara R6, R7, R8, R9, dan R10
mengatakan sulit untuk memilih antara anak lai-laki dan perempuan
[Lampiran 4: (6)]. Namun hampir semua responden mengatakan akan memilih
anak laki jika harus memilih salah satu. Ada perbedaan alasan lebih memilih anak
laki-laki daripada anak perempuan di antara responden. Pada umumnya alasan
responden perempuan adalah untuk menghindari tekanan dari keluarga besar yang
menginginkan pewaris keturanan mereka. Sementara responden laki-laki pada
umumnya karena ingin meneruskan garis keturunannya dan menambah
kehormatan keluarga.
Dalam hal pendidikan, terdapat perbedaan siapa yang akan diutamakan
oleh suami dan istri. Pada umumnya responden perempuan akan memilih anak
yang mau, mampu, serius dan bertanggungjawab. Alasannya adalah supaya biaya
pendidikan yang dikeluarkan tidak sia-sia. Sementara responden laki-laki pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
umumnya memilih anak laki-laki karena sebagai pewaris keturunan. Pihak suami
ingin memberikan jaminan bahwa anak laki-laki memiliki kemampuan yang dapat
diandalkan untuk menggantikan tugas dan tanggungjawabnya dalam keluarga.
Perbedaan jawaban antara perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya protes
dari pihak perempuan yang tidak setuju kalau anak laki-laki menjadi prioritas
utama dalam keluarga [Lampiran 4: (5,6)].
Perempuan sebagai istri memposisikan diri mereka sebagai perempuan
yang ingin dipandang sama dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya
keinginan dari pihak perempuan untuk diperlakukan sama dengan laki-laki.
Meskipun keinginan itu mereka tujukan untuk anak-anak mereka terutama yang
perempuan, namun hal itu sekaligus mewakili harapan mereka sebagai perempuan
yang ingin dihargai.
Stevi Jackson yang mengulas pemikiran Mary O’Brien (1998: 35)
mengatakan bahwa laki-laki mengambil alih hasil kerja reproduksi perempuan
menjadi milik mereka dengan cara menjadikan anak biologis mereka sebagai
pewaris keturunannya. Sebagai laki-laki mereka lebih memilih anak laki-laki
sebagai pewaris keturunan sesuai dengan budaya patriakhi yang sudah
berkembang. Hal ini menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dalam
budaya Batak, anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan karena dianggap
lebih memiliki kemampuan yang unggul dalam banyak hal. Laki-laki lebih
dipercaya mampu mengurus semua warisan keluarga dan mengurus upacara adat.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
prioritas utama dalam sebuah keluarga adalah anak laki-laki. Memang setiap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
keluarga ingin mendapatkan anak laki-laki dan dan anak perempuan, tetapi anak
laki-laki tetap menjadi prioritas utama agar dapat melanjutkan garis keturunan.
Hal ini jelas merupakan tindakan ketidakadilan bagi perempuan karena dalam
Kitab Suci jelas dikatakan bahwa manusia dicipatakan secitra dengan Allah dan
memiliki martabat yang sama di hadapanNya (Kej 2:18). Oleh karena itu anak
laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi prioritas dalam keluarga. Namun di
stasi St. Maria Claret Sianindo ini, ketidakadilan ini masih terjadi hingga
sekarang.
3) Perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan adat
Berdasarkan hasil penelitian, hampir semua responden perempuan (R1,
R2, R3, dan R5) mengatakan bahwa yang menjadi ketua, pembicara, dan
pengambil keputusan dalam adat hanya kaum laki-laki saja. Tugas perempuan
hanya sebagai pelaksana hasil keputusan adat saja dan sangat kecil kemungkinan
mereka bisa terlibat dalam rapat adat. Bahkan mereka sudah bisa menerima hal itu
dan tidak tertarik untuk ikut terlibat [Lampiran 4: (6,7)]. Sementara R4
mengatakan bahwa sebenarnya ia merasa mampu untuk terlibat dalam rapat adat,
namun hal itu masih sangat sulit diterima di masyarakat terutama dari pihak laki-
laki. Ia juga mengatakan bahwa lebih mudah bagi perempuan Batak untuk terlibat
dalam bidang politik daripada di bidang adat [Lampiran 4: (7)].
Responden laki-laki (R6, R7, R8, R9, dan R10) sepakat mengatakan
bahwa sampai saat ini hanya laki-laki yang terlibat dalam rapat adat. Perempuan
bisa hadir dalam rapat sebagai pedengar dan mempersiapkan keperluan rapat,
tetapi mereka masih dianggap kurang mampu untuk memutuskan hasil rapat adat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Hal itu sudah menjadi tradisi sejak zaman para leluhur, hanya kaum laki-laki yang
dilibatkan dalam rapat adat dan hal itu masih terus berlangsung sampai saat ini
[Lampiran 4: (7)].
Mary Maynard dalam “teori-teori feminis kontemporer” dengan mengulas
pemikiran MacKinnon (1998: 426) mengatakan bahwa laki-laki membentuk dunia
dengan sudut pandang mereka, termasuk dunia sosial. Hal ini kemudian menjadi
kebenaran yang terstruktur dan tertata. Dengan demikian posisi laki-laki dalam
bidang sosial lebih istimewa daripada perempuan. Dalam urusan adat, perempuan
Batak masih terbatas pada pelaksana hasil keputusan adat. Laki-laki mengambil
peran sebagai penentu keputusan dalam musyawarah yang biasanya hanya
dihadiri oleh kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang ikut hadir dalam rapat adat,
biasanya mereka hanya sebagai pendengar dan mempersiapkan makanan.
Membatasi peranan perempuan dalam bidang sosial ini merupakan
tindakan ketidakadilan. Alasan bahwa laki-laki dianggap lebih kompeten daripada
perempuan adalah perspektif yang diciptakan oleh laki-laki. Perempuan dianggap
sebagai objek pengetahuan yang dibangun dari sudut pandang laki-laki itu sendiri.
Sementara dalam Kitab Suci sudah diungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan
merupakan citra Allah (Kej 2:18). Hal ini menunjukkan bahwa Allah memberikan
kemampuan yang sama kepada laki-laki sesuai dengan kekhasan mereka sebagai
laki-laki dan perempuan.
Kekhasan cara berfikir dan bertindak antara laki-laki dan perempuan
bertujuan untuk saling memperkaya. Artinya tidak ada yang dianggap lebih
rendah atau tidak pantas berperan dalam bidang sosial. Laki-laki dan perempuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
memiliki kesempatan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian, ketidakadilan
dalam bidang sosial masih dialami oleh perempuan hingga sekarang.
b. Laki-laki sebagai penentu garis keturunan menjadi penyebab
ketidakadilan gender
Mary O’Brien dalam “teori-teori feminis kontemporer” menjelaskan
bahwa budaya patriakhi muncul seiring berkembangnya ilmu pengetahuan tentang
kesuburan. Laki-laki semakin menyadari bahwa mereka mengalami keterasingan
dari benih keturunannya. Maka muncullah keinginan laki-laki untuk mengusai
kerja reproduksi perempuan dengan menjadikan anak biologisnya sebagai pewaris
(1998: 35). Sebagai laki-laki yang tumbuh dalam pandangan patriakhi, anak laki-
laki lebih diprioritaskan sebagai pewaris keluarga. Pandangan ini terus
berkembang dan terstruktur dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk budaya.
Budaya Batak juga menganut pandangan ini dan menjadikannya sebagai sistem
yang mengatur keberlangsungan suku Batak (Gultom 2010: 50).
Dalam Kitab Suci sangat jelas diungkapkan bahwa manusia laki-laki dan
perempuan sepadan (Kej 2:20). Perbedaan yang dimiliki laki-laki dan perempuan
menjadi sarana untuk menciptakan keturunan baru. Maka pandangan yang
mengatakan bahwa hanya laki-laki yang layak menjadi pewaris garis keturunan,
merupakan tindakan ketidakadilan bagi perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian, ke 10 responden mengungkapkan bahwa
penyebab ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dari zaman dulu sampai
saat ini adalah budaya patriakhi yang menjadikan laki-laki sebagai penerus garis
keturunan keluarga. Oleh karena itu setiap keluarga berusaha untuk mendapatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
anak laki-laki agar silsilah keluarganya tidak mati. Hanya anak laki-laki yang
berhak melanjutkan garis keturunan keluarganya berdasarkan marga atau fam dari
ayah. Sistem yang berlangsung secara turun-temurun diyakini sebagai warisan
leluhur yang harus diteruskan dan masih berlangsung hingga sekarang [Lampiran
4: (7,8,9)].
c. Dampak ketidakadilan gender bagi perempuan di stasi St. Antonio Maria
Claret Tomok Samosir
Ketidakadilan gender yang terjadi dalam budaya patriakhi yang dianut
oleh orang Batak menyebabkan banyak permasalahan yang dialami oleh
perempuan. Dampak psikologis yang dialami perempuan adanya rasa takut dan
perasaan kurang sempurna karena tidak mampu memberi pewaris keturunan
suaminya. Kehidupan perkawinan juga menjadi kurang harmonis tanpa anak laki-
laki dan secara ekonomi atau materi perempuan didiskriminasi lewat pembagian
warisan keluarga yang tidak adil.
Sistem patriakhi budaya Batak yang menjadikan anak laki-laki sebagai
pewaris garis keturunan secara tidak langsung menomorduakan keberadaan anak
perempuan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Gereja mengakui
kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dimaksudkan untuk dapat saling menyempurnakan.
Berdasarkan penelitian R1, R2, dan R3 sebagai ibu yang tidak melahirkan
anak laki-laki mengalami berbagai tekanan baik dari pihak keluarga maupun dari
masyarakat. Mereka merasa dipersalahkan karena tidak bisa memberikan pewaris
keturunan keluarga. Ada rasa takut jika pihak keluarga suami menuntut untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
melahirkan anak laki-laki . R3 mengatakan bahwa meskipun ia tidak melahirkan
anak laki-laki tetapi ia tetap merasa bersyukur. Namun dia akhirnya mengakui
bahwa ada perasaan kurang sempurna karena belum mendapatkan anak laki-laki
[Lampiran 4: (9)]. R4 mengatakan bahwa dia tidak mengalami tekanan dari
keluarga meskipun tidak memiliki anak perempuan. Walaupun sebenarnya di
hatinya ada kerinduan untuk mendapatkan anak perempuan, namun karena tidak
mendapatkan tekanan dari pihak keluarga, ia merasa lebih tenang [Lampiran
4:(9)]. R5 mengatakan bahwa ia sangat bersyukur karena memiliki anak laki-laki
dan perempuan sesuai dengan harapan keluarga [Lampiran 4: (9)].
R6, R7, dan R8 mengatakan bahwa ada perasaan tertekan karena belum
mendapatkan anak laki-laki apalagi pada saat acara adat. Dalam acara adat,
biasanya keluarga besar sering menanyakan jumlah anak dan jenis kelamin anak.
Mereka juga mengatakan bahwa ada rasa cemas karena silsilah keluarganya akan
terputus [Lampiran 4: (9)]. R9 mengatakan bahwa tetap ada keinginan untuk
memiliki anak perempuan supaya keluarganya semakin sempurna, namun dengan
adanya anak laki-laki, dia sudah sangat bersyukur. Ia juga mengungkapkan rasa
bangga karena keturunannya akan semakin berkembang [Lampiran 4: (9)]. R10
mengatakan bahwa ia sangat bersyukur karena telah memiliki anak laki-laki dan
perempuan. Ia merasa keluarganya sudah sempurna dan keturunannya akan tetap
berkembang [Lampiran 4: (10)].
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada tekanan psikologis seperti rasa
takut, malu, cemas, dan sedih bagi suami dan istri yang belum mendapatkan anak
laki-laki. Perempuan menjadi pihak yang paling mendapat tekanan. Pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
umumnya responden mengatakan bahwa perempuan yang tidak melahirkan anak
laki-laki dipandang sebagai orang yang kurang terberkati (tidak gabe). Pandangan
ini juga berlaku untuk keluarga besarnya yang dinilai kurang terhormat karena
tidak memiliki pewaris keturunan. Siahaan (1964: 49) mengatakan bahwa hal ini
merupakan tekanan yang berat bagi perempuan dan keluarganya. Perempuan
biasanya akan menjadi pihak yang dipersalahkan.
Hal ini jelas tidak adil bagi perempuan karena dalam hal reproduksi laki-
laki dan perempuan saling bekerja sama. Suami dan istri memiliki peran yang
sama dalam menghasilkan keturunan. Namun berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, tekanan psikologis ini masih dialami oleh keluarga yang tidak
mendapatkan anak laki-laki dan istri mendapat tekanan yang lebih besar.
Dalam hal kehidupan perkawinan, sistem patriakhi mempengaruhi
keharmonisan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian, semua responden
mengatakan bahwa jika tidak memiliki anak laki-laki, keluarga akan mendapat
tekanan dari keluarga besar. Hal ini sering mempengaruhi kehidupan perkawinan.
Biasanya suami istri akan saling mempersalahkan. R1 mengatakan bahwa akibat
yang dialami adalah pihak keluarga laki-laki menyuruh suaminya untuk menikah
lagi karena belum mendapatkan anak laki-laki. Akhirnya suaminya menikah lagi
demi mendapatkan anak laki-laki. R2 dan R3 mengatakan bahwa tuntutan dari
pihak keluarga besar untuk mendapatkan pewaris keturunan membuat kehidupan
perkawinan kurang bahagia [Lampiran 4: (10)].
Mereka sering merasa kesal karena yang dipersalahkan hanya istri padahal
menurut mereka hal itu harusnya menjadi tanggungjawab suami dan istri. R4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
mengatakan bahwa kehidupan perkawinannya tidak terganggu karena keluarga
sudah merasa bahagia memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. R5
mengatakan bahwa kehidupan perkawinannya berjalan dengan lancar karena
sudah memiliki keturunan yang sempurna yakni anak laki-laki dan perempuan.
R6, R7 [Lampiran 4: (10)], dan R8 [Lampiran 4: (11)] mengatakan bahwa
meskipun tidak ada keinginan untuk menikah lagi demi mendapatkan anak laki-
laki, tetapi seringkali ada rasa ketidakpuasan terhadap istri yang tidak melahirkan
anak laki-laki.
Besarnya keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki membuat mereka
sering mempersalahkan istri. R9 dan R10 mengatakan bahwa kehidupan
perkawinannya berjalan dengan baik. Mereka tidak mendapatkan tekanan dari
keluarga besar dan masyarakat sekitar karena mereka justru dipandang terhormat
[Lampiran 4: (11)]. Hasil penelitian ini jelas menunjukkan bahwa kehidupan
perkawinan suami istri menjadi kurang harmonis kalau tidak mendapatkan anak
laki-laki. Kasus perceraian dengan alasan tidak mendapatkan anak laki-laki
memang sudah berkurang, namun menurut beberapa responden kasus demikian
masih ada terutama di daerah yang lebih terpencil. Gereja secara jelas mengatakan
bahwa tujuan utama perkawinan bukanlah keturunan, tetapi kesejahteraan suami
istri (KHK 1055). Maka berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
budaya patriakhi mengakibatkan ketidakdilan bagi perempuan yang memberikan
dampak negatif bagi kehidupan perkawinan di stasi St. Antonio Maria Claret
Tomok Samosir dan masih terjadi hingga saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Dalam hal pembagian warisan, perempuan masih mengalami
ketidakadilan. Pembagian warisan sesuai dengan aturan adat Batak menetapkan
bahwa yang berhak mendapatkan warisan adalah anak laki-laki. Anak perempuan
tidak memperoleh hak atas warisan keluarganya. Alasannya karena anak
perempuan akan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Maka untuk menjaga
agar warisan keluarga tidak jatuh ke marga lain, dibuatlah aturan anak laki-laki
sebagai pewaris harta keluarganya. Maka kalaupun ada keluarga anak perempuan
yang mendapatkan warisan dari keluarga, itu dianggap sebagai hibah dan biasanya
jumlah sangat jauh berbeda dari warisan yang diperoleh anak laki-laki (Siahaan,
1964: 130).
Berdasarkan hasil penelitian, aturan pembagian warisan tersebut masih
terjadi di stasi St. Maria Claret Tomok Samosir. R1 mengatakan bahwa sampai
saat ini ia dan keempat anak perempuannya belum mendapatkan warisan dari
pihak suami. R2 dan R3 mengatakan bahwa mereka masih sangat mengharapkan
akan melahirkan anak laki-laki supaya warisan suami tidak dibagi lagi dengan
saudara-saudaranya [Lampiran 4: (11)]. R4 mengatakan bahwa karena tidak
memiliki anak perempuan maka semua hartanya akan dibagi rata kepada anak-
anaknya [Lampiran 4: (12)]. Sementara R5 [Lampiran 4: (12)], dan R10
[Lampiran 4: (13)] mengatakan akan membagi warisan keluarga sesuai kebiasaan
adat Batak. R6, R7, dan R8 mengatakan bahwa meskipun hanya memiliki anak
perempuan, mereka akan memberikan seluruh warisan keluarga kepada anak-anak
mereka, meskipun meeka yakin akan mendapatkan protes dari pihak keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
suami. R9 mengatakan bahwa semua warisannya seutuhnya akan dibagikan
kepada semua anak-anaknya dengan jumlah yang adil [Lampiran 4: (12)].
Anak laki-laki mendapatkan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan anak perempuan. Pembagian warisanpun harus atas persetujuan semua
anak laki-laki, sementara perempuan hanya menerima apa yang diberikan oleh
saudara laki-lakinya. Memang beberapa keluarga yang hanya memiliki anak
perempuan (R6, R7, dan R8) mempunyai niat untuk membagi semua warisan
keluarga bagi anak-anaknya, namun mereka masih yakin akan mendapatkan
perlawanan dari pihak keluarga suami sebagai pewaris setelah anak laki-laki.
Dalam budaya patriakhi, kekuasaan sepenuhnya ada di tangan laki-laki dan
mencakup semua bidang, termasuk bidang ekonomi. Hal ini menyebabkan
ketidakadilan bagi perempuan untuk memperoleh hak yang sama dengan laki-laki
(Jhonson 2003: 123). Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa
pembagian warisan keluarga di stasi St. Maria Claret tidak adil bagi anak
perempuan dan masih terjadi sampai sekarang.
d. Harapan Umat Agar Gereja Mengupayakan Pendidikan Iman Tentang
Kesetaraan Martabat Pria Dan Wanita
Surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelar (Sulastri Sutrisno, 1979: 2)
mengungkapkan harapan akan kebebasan, kemerdekaan, dan keberanian berdiri
sendiri dalam konteks dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan semasa ia
hidup. Harapan yang sama diungkapkan oleh Elisabeth Jhonson yang
mengharapkan terciptanya bumi baru dimana setiap orang baik laki-laki maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
perempuan diakui, diterima dan bebas berpartisipasi tanpa ada kelompok yang
mendominasi dan disubordinasi (Jhonson, 2003: 120).
Gereja lewat surat kongregasi ajaran iman kepada para uskup Gereja
Katolik tentang kerja sama pria dan perempuan dalam Gereja dan dunia
mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama sebagai
citra Allah. Mereka harus bekerja sama dalam membangun Gereja dan dunia.
Hubungan yang rusak antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriakhi
harus dipulihkan dengan membangun relasi cinta kasih bukan pembalasan dan
saling mempersalahkan (Seri Dokumen Gereja No 70 2004, art 8). Berdasarkan
ulasan surat Kartini, pandangan kaum feminis, dan dokumen Gereja, harapan
umat di stasi St. Maria Claret Tomok Samosir merupakan harapan yang sangat
real dan mewakili harapan para perempuan di dunia. Mereka mengharapkan agar
Gereja semakin giat memberikan pendidikan iman tentang kesetaraan martabat
pria dan wanita bagi seluruh umat. Harapan ini lebih ditegaskan oleh responden
perempuan daripada responden laki-laki [Lampiran 4: (12)].
Pada umumnya responden menyadari bahwa tidak mudah mengubah
aturan adat yang sudah diyakini dan dihidupi oleh umat secara turun-temurun. Hal
ini lebih ditegaskan oleh responden laki-laki yang mengatakan bahwa mengubah
adat harus berurusan dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat Batak. Mereka
menilai hal itu terlalu sulit untuk dilakukan. Sementara responden perempuan
pada umumnya mengatakan bahwa dibutuhkan perubahan aturan adat yang lebih
adil kepada kaum perempuan meskipun sebagian dari mereka merasa bahwa hal
itu sulit dilakukan. Pada akhirnya semua responden mengharapkan usaha dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Gereja untuk melakukan pendidikan iman tentang kesetaraan gender dalam
berbagai bentuk kegiatan yang relevan. Hal ini mereka yakini mampu membantu
umat untuk memahami dan menghayati makna kesetaraan martabat laki-laki dan
perempuan secara benar dan kongkret. Dengan demikian umat lebih siap dan
mampu menghadapi berbagai godaan dan tantangan dari adat yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai iman Kristiani terutama tentang kesetaraan martabat laki-laki
dan perempuan.
e. Kesimpulan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, ketidakdilan gender masih di stasi St.
Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Hal ini dapat dilihat dari pembagian
tanggung jawab rumah tangga yang tidak adil bagi perempuan. Perempuan
mendapat tanggungjawab yang lebih besar daripada laki-laki. Perempuan bertugas
mengurusi pekerjaan rumah, merawat anak, dan ikut membantu suami mencari
nafkah. Sementara suami bertugas mencari nafkah dan mengurus keperluan adat.
Dalam berbagai hal anak laki-laki lebih diprioritaskan daripada anak perempuan
terutama menyangkut pendidikan anak. Hampir semua rersponden memilih lebih
mengutakamakan pendidikan anak laki-laki agar mampu menjadi pewaris
keturunan yang terpandang dan sukses. Sementara anak perempuan
dinomorduakan karena dianggap hanya akan menguntungkan pihak suaminya.
Demikian juga dalam urusan adat, perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan adat karena dianggap kurang mampu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Ketidakadilan bagi perempuan ini disebabkan oleh keputusan adat yang
menetapkan anak laki-laki sebagai penentu garis keturunan atau marga dari
keluarganya. Marga yang menjadi pengatur sistem kekerabatan dalam adat Batak
sekaligus menunjukkan eksistensi suku Batak. Oleh karena itu setiap keluarga
sangat mengharapkan mendapatkan anak laki-laki agar marga keluarganya tidak
mati. Keputusan adat ini menimbulkan rasa takut bagi keluarga yang tidak
mendapatkan anak laki-laki khususnya bagi kaum ibu. Para ibu merasa takut
karena tanggapan dari keluarga besar dan masyarakat yang bernada diskriminatif
dengan menyebut mereka sebagai perempuan yang tidak gabe. Hal ini juga
membuat hubungan perkawinan yang kurang harmonis karena ada perasaan
kurang sempurna sebagai keluarga jika tidak mendapatkan anak laki-laki.
Dalam pembagian warisan keluarga kaum perempuan mendapat perlakuan
diskriminatif. Warisan keluarga dibagi hanya diantara anak laki-laki, perempuan
mendapat sebagian kecil yang diberikan atas persetujuan anak laki-laki dan
biasanya dianggap sebagai kemurahan hati keluarga. Berdasarkan hasil penelitian,
ada perbedaan jawaban antara responden laki-laki dan perempuan. Responden
perempuan lebih banyak mengungkapkan berbagai bentuk ketidakadilan yang
mereka alami. Mereka dengan penuh emosi menceritakan perjuangan sebagai
perempuan Batak yang sudah terbiasa dinomordukan meskipun lebih banyak
berkorban untuk keluarga.
Mereka juga lebih banyak mengungkapkan harapan akan adanya usaha
dari Gereja untuk membantu perempuan mendapat perlakukan yang adil baik
dalam keluarga maupun dalam masyakat. Sementara responden laki-laki pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
umumnya memberikan jawaban yang singkat. Mereka berpendapat bahwa aturan
adat tentang garis keturunan sudah tepat dan tetap harus dilanjutkan demi
kelanjutan budaya Batak. Perbedaan jawaban antara responden laki-laki dan
perempuan juga memberi kesimpulan bahwa ketidakadilan gender masih terjadi di
stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
BAB IV
UPAYA MENANGGAPI KETIDAKADILAN GENDER
DENGAN KATEKESE KONTEKSTUAL UNTUK MEWUJUDKAN
KESETARAAN MARTABAT PRIA DAN WANITA
Pada bab III telah dibahas mengenai gambaran bagaimana ketidakadilan
gender masih terjadi di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diolah di bab III, penulis menemukan
bahwa ketidakadilan gender masih terjadi di stasi ini sampai saat ini. Sebagai
tindak lanjut dari hasil penelitian pada bab III penulis menyampaikan usulan
program sebagai upaya untuk menanggapi ketidakadilan gender yang masih
terjadi di Stasi St. Maria Claret Paroki Tomok ini dengan melaksanakan katekese
kontekstual dalam bentuk pendalaman iman tentang kesetaraan martabat pria dan
wanita.
Bab IV ini merupakan tindak lanjut terhadap hasil yang telah dilakukan.
Penulis mengusulkan program pelaksanaan katekese kontekstual tentang
kesetaraan martabat pria dan wanita dalam bentuk pendalaman iman umat. Bab ini
terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan pemikiran dasar program,
bagian kedua berupa usulan program beserta matriksnya dan bagian ketiga adalah
contoh persiapan pelaksanaan katekese kontekstual dalam bentuk pendalaman
iman umat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
A. Pemikiran Dasar Program
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakadilan gender masih menjadi
keprihatinan umat stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir. Budaya
patriakhi yang dihidupi umat sudah diyakini sebagai bagian dari warisan adat para
leluhur. Garis keturunan yang ditentukan oleh anak laki-laki memberikan dampak
ketidakadilan bagi para perempuan Batak. Meskipun sudah lama menjadi Katolik,
namun pengaruh ajaran iman tentang kesetaraan martabat pria dan wanita belum
memberikan dampak positif terhadap praktek ketidakadilan gender dalam
kehidupan umat.
Sebagai orang Batak, umat di stasi ini sangat menghormati apa yang menjadi
keputusan adat. Berdasarkan hasil penelitian, mereka memahami bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki martabat yang sama, tetapi budaya menuntut mereka
untuk lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan. Sebenarnya
dalam adat para leluhur diajarkan adanya kesetaraan martabat pria dan wanita. Hal
ini tersirat pada prinsip hidup orang Batak yakni Dalihan Na Tolu. Namun dalam
perjalanan waktu nilai kesetaraan itu mulai menyimpang seturut tuntutan adat
yang menjadikan laki-laki sebagai satu-satunya pewaris garis keturunan setiap
keluarga dan marga.
Permasalahan ini muncul karena sistem kekerabatan umat di stasi ini berpusat
pada marga. Marga ini hanya ditentukan oleh anak laki-laki. Maka dalam seluruh
program adat, peranan laki-laki menjadi lebih penting daripada perempuan.
Hampir seluruh kehidupan umat di stasi ini diatur dalam tatanan adat. Sementara
program kerohanian hanya terbatas pada perayaan Ekaristi pada hari minggu dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
hari raya, perayaan sakramen lainnya, dan pendalaman iman pada masa khusus
seperti pendalaman APP, advent, dan Bulan Kitab Suci Nasional. Hal ini
membuat umat lebih terbiasa dalam program adat daripada program hidup
menggereja. Kurangnya pendidikan iman umat tentang kesetaraan martabat laki-
laki dan perempuan membuat pemahaman dan penghayatan hanya sebatas
tuntutan adat saja.
Keputusan adat tentang garis keturunan hanya ditentukan oleh anak laki-laki
membutuhkan usaha tranformasi yang tidak singkat. Seluruh sistem dalam budaya
Batak sudah menjadi prinsip hidup setiap orang Batak yang sudah dihidupi sejak
zaman para leluhur. Sistem itu juga yang mengikat setiap orang Batak menjadi
satu keluarga besar yang disebut dengan Bangso Batak (Bangsa Batak). Usaha
mendidik iman umat tentang kesetaraan martabat pria dan wanita dibutuhkan
secara perlahan dan berkelanjutan untuk membuka kesadaran umat akan
ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam kehidupan mereka serta
menggerakkan umat untuk terlibat secara aktif dalam mengubah pandangan
masyarakat Batak yang tidak adil bagi perempuan.
Maka yang perlu dilakukan oleh Gereja untuk mengatasi masalah tersebut
adalah melaksanakan katekese kontekstual tentang kesetaraan martabat pria dan
wanita sesuai dengan konteks kehidupan umat. Katekese kontekstual merupakan
katekese yang sungguh masuk dan meresap ke dalam lingkungan dan kenyataan
sosial hidup umat. Dalam katekese kontekstual, pengalaman hidup umat menjadi
materi pokok yang tidak dapat dipisahkan dari isi katekese yakni Yesus Kristus.
Keduanya menjadi sarana bagi umat untuk berefleksi dan menimba inspirasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Katekese kontekstual membantu umat untuk menghayati dan memperkembangkan
imannya dalam kenyataan sosial yang sungguh mereka gulati, membangun hidup
umat secara internal tetapi juga akan mendorong umat untuk secara aktif
mengambil bagian di dalam pembangunan hidup bersama yang berkaitan dengan
penegakan keadilan, pemecahan masalah penyakit masyarakat, pemeliharaan
lingkungan hidup, dan kepedulian kepada yang kecil, lemah, miskin, dan
tersingkir.
Katekese kontekstual sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan agar iman
mereka semakin matang. Yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah cara
pandang yang baru sesuai ajaran iman yang kemudian membentuk sikap hidup
yang mengarah pada penghayatan kesetaraan martabat pria dan wanita dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui katekese ini umat diharapkan juga mampu
menggali semangat kesetaraan martabat pria dan wanita dalam nilai-nilai budaya
Batak yang kemudian diintegrasikan dengan ajaran iman Katolik. Oleh karena itu
sebagai langkah awal, perlu dilakukan katekese kontekstual dalam bentuk
pendalaman iman tentang kesetaraan martabat pria dan wanita bagi umat. Program
ini dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan.
Lewat program ini umat disadarkan bahwa ketidakadilan gender merupakan
permasalahan yang harus segera diatasi karena bertentangan dengan ajaran iman
Katolik. Umat juga diajak untuk menggali semangat Yesus Kristus dalam
memperjuangkan kesetaraan martabat pria dan wanita sesuai dengan firman Allah
yang tertulis dalam Kitab Suci dan Dokumen Gereja. Setelah mengikuti program
pendalaman iman tentang kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan, umat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
diharapkan tergerak untuk ikut melaksanakan dan mengembangkan katekese
kontekstual tentang kesetaraan martabat pria dan wanita secara berkelanjutan baik
dalam lingkup stasi maupun paroki.
B. Usulan Program Katekese Kontekstual Dalam Bentuk Pendalaman Iman
Tentang Kesetaraan Gender
Dalam merancang usulan program, penulis menyusun langkah-langkah
yang perlu dipersiapkan dalam pendalaman iman umat. Hal ini guna
mempermudah dan memperlancar pelaksanaan pendalaman iman umat untuk
menanggapi ketidakadilan gender di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir.
1. Tema Umum: Menggali dan memaknai kesetaraan martabat pria dan wanita
dalam Kitab Suci dan Dokumen Gereja serta mengusahakan tindakan nyata untuk
menghidupinya dalam semangat Yesus Kristus.
2. Sub tema:
a. Menjadi murid Yesus yang berani memperjuangkan kesetaraan martabat pria
dan wanita di tengah budaya patriakhi: Tema ini mengajak umat sebagai murid
Kristus yang berani memperjuangkan kesetaraan martabat pria dan wanita di
tengah budaya patriakhi. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk memahami
dan mewartakan ajaran Yesus. Yesus menunjukkan kasih menembus batas-batas
yang dibangun masyarakat yang mendiskriminasiksn perempuan dengan cara
memberi kesempatan kepada perempuan Samaria untuk mengungkapkan
pendapatnya. Lewat tema ini Yesus mengajak kita untuk mampu mengasihi satu
sama lain antara laki-laki dan perempuan dan berani memberi peran atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
menghargai pemikiran perempuan sebagai bentuk kasih yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Laki-laki dan perempuan dipanggil untuk saling melengkapi satu sama lain
untuk menciptakan keluarga yang sejahtera: Dalam keluarga orang Batak,
pembagian tanggungjawab keluarga cenderung kurang adil bagi kaum perempuan.
Tema ini mendalami pandangan Gereja lewat dokumen Familiaris Consortio art:
25 yang menegaskan bahwa suami dan istri merupakan rekan yang sepadan dalam
mengemban tanggungjawab keluarga. Peranan dan tugas mereka bisa saja berbeda
namun tetap harus adil sesuai kemampuan masing-masing. Hubungan kerja sama
antara istri dan suami diharapkan sampai pada relasi persahabatan yang penuh
kasih sebagaimana cinta kasih Kristus kepada GerejaNya. Dengan demikian
keluarga yang dibangun menjadi keluarga yang yang sejahtera.
c. Memaknai dan menghayati kerja Sama lak-laki dan perempuan dalam
memenuhi panggilan menjadi mitra Allah untuk melanjutkan CiptaanNya:
Kelanjutan keturunan dikaji dari segi apapun menjadi tugas dan kerja sama antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini kurang dipahami dan dimaknai oleh keluarga
yang lebih mengikuti aturan adat Batak yang memutuskan bahwa hanya anak laki-
laki yang menjadi pewaris garis keturunan. Dalam Kitab Suci Kej 1: 26-31
dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan mendapat berkat yang sama dari Allah
untuk memelihara dan melanjutkan keturunan. Laki-laki dan perempuan
diciptakan secitra dengan Allah yang artinya menjadi wakil Allah dalam
meneruskan kehidupan. Allah juga mengatakan bahwa mereka memiliki martabat
yang sama dan menjadi rekan yang sepadan sesuai dengan tugas dan fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Inilah yang harus dipahami dan dihayati
oleh umat dalam pembagian tanggungjawab dalam keluarga.
3. Tujuan: Umat mampu menyadari ketidakadilan gender yang masih terjadi
dalam kehidupan mereka, merefleksikannya dalam terang Kitab Suci, Dokumen
Gereja dan Injil hingga menemukan semangat untuk menjadi pelopor dalam
memperjuangkan dan menghidupi kesetaraan martabat pria dan wanita dalam
kehidupan sehari-hari sebagai murid Kristus.
4. Penjelasan tema: Tema ini sangat relevan dengan situasi umat yang masih
mengalami ketidakadilan terhadap perempuan. Umat di stasi ini lebih
mengutamakan tradisi adat daripada kehidupan iman. Dalam berbagai bidang
kehidupan, nilai budaya lebih sering dimunculkan dan dijadikan sebagai
penggerak kehidupan umat. Lewat pendalaman iman dengan tema “Menggali dan
memaknai Kesetaraan Martabat Pria Dan Wanita Dalam Kitab Suci Serta
Mengusahakan Tindakan Nyata Untuk Menghidupinya Dalam Semangat Yesus
Kristus” umat diajak untuk meneladani semangat Yesus Kristus dalam
memperjuangkan dan menghidupi kesetaraan martabat pria dan wanita dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Peserta: Umat Stasi St. Antonio Maria Claret beserta pengurus paroki.
6. Tempat dan Waktu:
a. Tempat: Wisma Paroki St. Antonio Maria Claret Tomok, Samosir
b. Waktu: November 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
7. Gambaran Pelaksanaan Program
Pendalaman iman akan dilaksanakan 3 kali selama bulan November 2017
dengan sub tema yang telah dipaparkan sebelumnya. Pendalaman iman
dilaksanakan setiap hari Sabtu pukul 19.00-21.00 WIB. Hal ini sesuai dengan
kebiasaan umat yang memiliki waktu lebih longgar pada hari Sabtu. Pendalaman
iman dilaksanakan di aula dan dihadiri oleh pastor paroki agar dapat menilai
sejauh mana program ini sesuai dengan kebutuhan umat dan dapat dilanjutkan
atau dikembangkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
C. PERSIAPAN PELAKSANAAN KATEKESE KONTEKSTUAL
1. Identitas Pendalaman Iman Paroki
Pelaksana : Kristina E. Panjaitan
No. Mhs : 121124063
Tema : Menjadi murid Yesus yang berani memperjuangkan kesetaraan
martabat pria dan wanita di tengah budaya patriakhi
Tujuan : Peserta berani mengubah pandangan masyarakat yang tidak adil
bagi kaum perempuan dan terdorong untuk meneladan sikap Yesus dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Peserta : Umat Stasi St. Antonio Maria Claret beserta pengurus paroki.
Tempat : Aula Stasi St. Antonio Maria Claret
Hari/Tgl : Sabtu, 4 November 2017
Waktu : 19.00 – 21.00 WIB
Model : Shared Christian Praxis
Metode : Sharing, refleksi pribadi, informasi, dan tanya Jawab
Sarana : Video, teks lagu, teks/Kitab Suci Perjanjian Baru, lilin dan salib
Sumber : Yoh 4: 5 – 42, internet, pengalaman umat, dan tafsir Kitab Suci
Injil Yohanes
Evaluator : Romo Paroki
2. Pemikiran Dasar
Mengasihi adalah ajaran yang sudah sering kita dengar baik dari ajaran
agama kita maupun budaya kita sebagai orang Batak. Dalam kehidupan sehari-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
hari kasih kita sebagai seorang manusia memiliki banyak batasan-batasan baik
yang kita buat sendiri maupun oleh budaya kita sebagai orang Batak. Dalam
hidup berkeluarga kita juga sering membeda-bedakan dalam mengasihi antara
sesama anggota keluarga. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam keluarga
Batak anak laki-laki menjadi prioritas dalam berbagai hal. Sudah menjadi
kebiasaan dalam budaya kita bahwa pemikiran perempuan kurang diterima,
mereka dinilai kurang mampu terlibat penuh dalam mengambil keputusan. Tanpa
disadari budaya kita membatasi kita dalam mengasihi sesama secara utuh.
Dalam kisah percakapan Yesus dengan perempuan Samaria, kita dapat
melihat bagaimana kasih Yesus menembus batas-batas yang dibangun oleh
masyarakat. Dalam tradisi Yahudi, perempuan mendapat tempat yang lebih
rendah daripada kaum laki-laki. Perempuan dalam kisah ini adalah perempuan
yang dikucilkan dalam masyarakat.Yesus dengan begitu karab bercerita dengan
perempuan tersebut tanpa mempedulikan stigma yang diberikan masyarakat
kepadanya. Menarik bahwa Yesus menyampaikan pengajaran kepada perempuan
dan dipahami dengan baik. Yesus sama sekali tidak merendahkan pemikiran
perempuan tersebut. Perempuan itu akhirnya mampu menemukan bahwa Yesus
adalah Mesias. Pewartaan perempuan itupun diterima oleh orang sekampungnya.
Hal ini merupakan peristiwa yang langka karena dalam tradisi Yahudi pemikiran
dan pewartaan perempuan sulit diterima dalam masyarakat. Hal itu juga terlihat
dari reaksi para murid Yesus yang heran melihat Yesus bercakap-cakap dengan
peremuan Samaria.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Yesus mau menunjukkan bahwa perempuan sama berharga di
hadapanNya. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk memahami dan
mewartakan ajaran Yesus. Yesus telah menunjukkan kasih yang menembus
batas-batas yang dibangun masyarakat yang mendiskriminasiksn perempuan. Hal
inilah yang hendak disampaikan Yesus kepada kita semua. Lewat kisah ini Yesus
mengajak kita untuk mampu mengasihi satu sama lain antara laki-laki dan
perempuan. Lewat teladan Yesus ini kita diundang untuk berani memberi peran
atau menghargai pemikiran perempuan sebagai bentuk kasih yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Pengembangan Langkah-Langkah
a. Pembukaan
1) Pengantar : Selamat malam dan selamat jumpa bagi kita semua yang dikasihi
Kristus. Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pada kesempatan yang
baik ini kita akan mendalami dan merenungkan bersama bagiamana kita
mengasihi dan menghargai sesama kita, apakah masih ada batasan tertentu
yang kita bangun diantara kita? Dalam pendalaman iman ini kita akan belajar
bagaimana mengasihi sesama seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri.
Maka marilah kita mempersiapkan hati kita untuk mengikuti pendalam iman
ini dengan penuh hikmat.
2) Lagu Pembukaan : “Hari Ini Kurasa Bahagia” [lampiran 5:(15 )].
3) Doa Pembuka :Allah Bapa yang maha kasih, kami bersyukur atas segala
rahmatMu yang kami terima dalam kehidupan kami hingga saat ini. Tuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
kami bersyukur juga karena Engkau telah menciptakan manusia dengan
sempurna baik sebagai perempuan maupun laki-laki dan Engkau
mengajarkan kami untuk saling menghormati, mengasihi satu sama lain.
Namun seringkali kami saling menuntut untuk lebih dihargai baik sebagai
perempuan maupun laki-laki. Pada kesempatan ini ya Tuhan kami hendak
belajar bagaimana mengasihi yang benar antara laki-laki dan perempuan
lewat ksah percakapn Yesus dengan perempuan Samaria. Kami mohon
curahkanlah rahmatMu agar selama pendalaman iman ini kami dapat
membuka hati dan pikiran kami untuk menerima sabdaMu. Doa ini kami
haturkan ke hadapanMu dengan perantaraan Kristus Tuhan dan penyelamat
kami. Amin.
b. Langkah I: Mengungkapkan pengalaman hidup peserta
1) Pendamping mengajak peserta untuk menyaksikan video“Kartini” [Lampiran
5: (15 )].
2) Pendamping memberikan pertanyaan kepada umat untuk dijawab secara
pribadi
Apa saja ketidakadilan yang dialami oleh Kartini dalam video tersebut?
Ceritakanlah!
Apakah ketidakadilan yang dialami oleh Kartini masih terjadi di lingkungan
hidup kita? Mengapa?
3) Peserta diberi kesempatan untuk mensharingkan tanggapan mereka atas
pertanyaan diatas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
4) Arah rangkuman
Dalam video tersebut diceritakan bahwa Kartini mewakili perempuan
Jawa mengalami berbagai ketidakadilan terutama untuk mengeyam pendidikan
seperti kaum laki-laki pada zamannya.Kartini dilarang mengeyam pendidikan
agar kelak tidak dapat menjadi seorang pemimpin atau perempuan yang berkarir
dalam masyarakat.Dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi kita orang Batak,
ketidakadilan yang dialami oleh Kartini masih sering terjadi.Perempuan
dinomorduakan dalam hal pendidikan agar tidak melebihi anak laki-
laki.perempuan di daerah kita juga msih sulit diterima sebagai pemimpin dalam
masyarakat terutama dalam urusan adat.
c. Langkah II : Mendalami pengalaman hidup peserta
1) Peserta diajak untuk merefleksikan sharing pengalaman berkaitan dengan
cerita di atas dengan dibantu pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana Kartini memperjuangkan keadilan bagi perempuan Jawa?
Menurut pengalaman anda apakah kisah yang dialami oleh Kartini masih
terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Ceritakanlah!
2) Arah rangkuman
Kartini memulai perjuangannya dari dirinya sendiri.Ia mempelajari banyak
hal dan berbagi ilmu dengan orang lain. Ia membangkitkan kesadaran kaum
perempuan untuk tidak hanya patuh pada aturan adat yang mengekang kebebasan
kaum perempuan. Ia juga berusaha menyampaikan pemikirannya kepada kaum
laki-laki agar memberi kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengeyam
pendidikan sama seperti kaum laki-laki.Dalam kehidupan kita sebagai orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Batak, masih banyak perempuan yang kurang menyadari berbagai ketidakadilan
yang mereka alami dalam keluarga dan masyarakat.Namun ada juga perempuan
yang sudah menyadarinya dan memperjuangkan keadilan bagi dirinya dengan
rajin bersekolah dan hidup mandiri.Demikian juga dari kaum laki-laki, ada yang
tidak menyadari bahwa mereka sering memperlakukan perempuan secara tidak
adil.Namun ada juga yang sudah menyadari dan berusaha menghargai kaum
perempuan dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk maju dan
berkembang.
d. Langkah III : Menggali pengalaman iman Kristiani
1) Pendamping meminta salah satu peserta untuk membacakan perikop Kitab
Suci Yohanes Yoh 4: 5 – 42 atau dari teks fotocopy yang dibagikan [Lampiran
5: (15)].
2) Peserta diberi kesempatan untuk hening secara pribadi merenungkan dan
menanggapi Kitab Suci dengan dibantu pertanyaan sebagai berikut :
Menurut anda, mengapa Yesus mau berbincang-bincang dengan perempuan
yang sudah dikucilkan dalam masyarakatnya? Jelaskanlah!
Berbicara apa bacaan Kitab Suci tersebut kepada anda sebagai perempuan
maupun laki-laki yang hidup dalam kebiasaan sebagai orang Batak?
3) Peserta diajak untuk secara pribadi menemukan sendiri pesan inti perikop
sehubungan dengan 2 (dua) pertanyaan di atas.
4) Pendamping memberikan tafsiran dari bacaan Kitab Suci Yoh 4: 5 – 42 dan
menghubungkannya dengan tanggapan peserta dalam hubungan dengan tema
dan tujuan :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Dalam Yoh 4: 5 – 42 dikisahkan saat Yesus bertemu dan berbincang-
bincang dengan perempuan Samaria yang sedang mengambil air di sumur.
Sebenarnya Yesus sudah mengetahui latar belakang kehidupan perempuan itu.
Perempuan Samaria itu dianggap sebagai perempuan berdosa oleh
masyarakatnya karena melakukan perzinahan. Dalam budaya Yahudi maupun
Samaria, perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dan dianggap lemah.
Oleh karena itu perempuan yang cenderung dipersalahkan dalam berbagai kasus.
Seperti perempuan Samaria yang tinggal dengan laki-laki yang bukan suaminya.
Seharusnya laki-laki itu juga disebutkan sebagai orang yang berzinah, tetapi hal
itu tidak terjadi karena perempuanlah yang dianggap telah menggoda laki-laki
untuk berbuat dosa.
Pemikiran perempuan juga kurang diterima dalam masyarakat.Maka
sangta sulit bagi perempuan di zaman Yesus untuk terlibat dalam kehidupan
masyarakat yang lebih luas. Namun sesuatu yang berbeda dilakukan oleh Yesus
kepada perempuan Samaria itu. Yesus mau meminta tolong kepadanya dan
kemudian berbincang-bincang tentang iman akan sang Mesias. Pembicaraan
tentang Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan Allah bukan hal yang mudah
untuk dipahami. Para murid bahkan sering tidak mengerti apa maksud dari
pengajaran Yesus. Namun perempuan Samaria itu mengerti dan percaya, bahkan
pewartaannya diterima oleh orang sekampungnya.
Sikap Yesus ini menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki
kemampuan berfikir yang sama seperti kaum laki-laki. Yesus memberi
kesempatan kepada perempuan Samaria untuk mengungkapkan pikiran dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
perasaannya. Yesus sekaligus menegur para murid yang merasa heran karena
melihatNya berbincang-bincang dengan perempuan yang dianggap kurang baik
dalam masyarakat. Inilah makna kasih yang hendak diajarkan Yesus kepada para
muridNya untuk menghargai keberadaan kaum perempuan, menghargai peranan
perempuan dan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk
mengembangkan dirinya agar lebih berguna bagi banyak orang. Yesus
mendobrak kebiasaan adat di zamannya yang mendiskriminasikan perempuan.
Yesus menunjukkan kasih Allah yang sama besarnya terhadap laki-laki dan
perempuan. Ia juga ingin para murid melakukan hal yang sama dan mengubah
pandangan serta perlakukan mereka yang kurang adil bagi kaum perempuan.
e. Langkah IV : Menerapkan iman Kristiani dalam situasi peserta konkrit
1) Pengantar
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, dalam video Kartini yang
telah kita saksikan tadi kita melihat bagiama ketidakadilan yang dialami oleh
Kartini dan perempuan Jawa pada zamannya. Mereka sebagai perempuan
dianggap lemah dan harus tunduk pada kaum laki-laki dan aturan adat bahkan
mereka dilarang bersekolah agar tidak bisa menyamai atau melebihi peranan
laki-laki. Namun hal itu membuat Kartini semakin tergerak untuk berjuang
mencerdaskan kaum perempuan agar tidak tergantung pada kaum laki-laki.
Yesus dalam Injil tadi juga menunjukkan dukunganNya terhadap kaum
perempuan dengan meberi kesempatan bagi perempuan Samaria untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya hingga mampu memahami dan
mewartakan iman akan Yesus sang Mesias.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Sikap Yesus ini jelas tidak sesuai dengan adat mereka pada masa itu tetapi
Ia mau menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang
sama di hadapan Allah. Yesus menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki
hak untuk menjadi pewarta iman. Kita sebagai orang Batak yang hidup dalam
aturan adat yang lebih mengutamakan anak laki-laki diajak untuk merenungkan
bagaimana kita hidup sebagai laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Pendamping memberikan pertanyaan untuk direnungkan secara pribadi
Beranikah anda seperti Yesus mendobrak pandangan budaya kita yang
menomorduakan anak perempuan dengan memberikan kesempatan yang
sama kepada mereka untuk berkembang sama seperti anak laki-laki?
Mengapa?
3) Arah rangkuman
Sebagai seorang Katolik, kita memang sudah memahami bahwa Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama. Namun kita
yang hidup dalam budaya Batak yang garis keturunan kita ditentukan oleh anak
laki-laki membuat kita cenderung memperlakukan anak laki-laki lebih istimewa
daripada anak perempuan. Sebagai laki-laki jelas tidak mudah bagi kita untuk
mengikuti sikap Yesus yang memberi kesempatan yang sama kepada perempuan
untuk berkembang seperti anak laki-laki dan sebagai perempuan kitapun
terkadang sudah memilih untuk mengikuti kebiasaan adat dan kurang tergerak
untuk memperkembangkan diri. Namun lewat pendalaman iman ini kita diajak
untuk mengikuti teladan Yesus untuk memahami bahwa laki-laki dan perempuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
memiliki martabat yang sama dan memberi kesempatan yang sama juga untuk
berkembang sesuai kemampuan masing-masing untuk melayani Allah dan
sesama.
f. Langkah V : Mengusahakan aksi konkrit
1) Pengantar
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, dalam video Kartini kita
telah melihat bagaimana ketidakadilan yang dialami oleh perempuan Jawa
perjuangan mereka untuk hidup setara dengan kaum laki-laki.Kita juga telah
menemukan pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam suku
kita dan bagaimana Injil berbicara tentang situasi kita.Yesus menunjukkan kasih
yang benar kepada kaum perempuan dengan memberi kesempatan kepada
mereka untuk berkembang seperti laki-laki dalam kehidupannya. Itulah kasih
yang sejati yang ditunjukkan Yesus kepada kita bahwa kita semua baik laki-laki
maupun perempuan memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Maka
sekarang marilah kita memikirkan niat atau usaha apa yang akan kita lakukan
agar tidak terjadi lagi kesenjangan gender dalam kehidupan kita sehari-hari.
2) Memikirkan aksi nyata sebagai bentuk kesaksian kita agar semakin mengenal
Yesus dan menjadi muridnya yang memperlakukan semua orang dengan kasih
yang sama meskipunharus menentang budaya yang tidak adil.
Berikut ini adalah pertanyaan penuntun untuk membantu peserta membuat niat-
niat:
Usaha apa yang hendak anda lakukan untuk mewujudkan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki martabat yang sama dalam kehidupan sehari-hari?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
3) Pendamping memberikan waktu hening kepada peserta untuk memikirkan
sendiri-sendiri tentang aksi kongkrit pribadi/bersama yang akan dilakukan,
kemudian dituliskan dalam potongan kertas yang telah disediakan.
4) Pendamping memberikan kesempatan bagi peserta untuk mensharingkan aksi
nyata yang tellah dirumuskan secara pribadi.
5) Pendamping mengajak peserta untuk mendiskusikan aksi nyata yang telah
dirumuskan secara bersama dan akan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
g. Penutup
1) Kesempatan untuk hening sejenak untuk meresapkan semua rangkaian
pendalaman iman. Sementara itu lilin dan salib diletakkan ditengah - tengah
peserta untuk dinyalakan.
2) Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan doa umat
secara spontan, diawali oleh pendamping dan kemudian disusul oleh peserta.
Akhir doa umat ditutup dengan doa Bapa Kami.
3) Doa penutup: Doa spontan dari salah satu peserta
4) Lagu penutup: “Cintailah Sesamamu” [Lampiran 5: (17 )].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama merupakan kesimpulan
dari rumusan permasalahan yang telah dikemukakan pada bab I. Bagian kedua
menyampaikan saran untuk beberapa pihak yang terkait dalam menanggapi
ketidakadilan gender yang terjadi di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir.
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya laki-laki dan perempuan diciptakan secitra dengan Allah dan
memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Hal ini juga yang diimani dan
diajarkan oleh Gereja Katolik kepada umatNya. Namun pada kenyataannya masih
banyak budaya yang menganggap laki-laki lebih istimewa, salah satunya budaya
Batak Toba yang menganut paham patriakhi yang menetapkan anak laki-laki
sebagai penentu garis keturunan atau marga dari keluarganya. Oleh karena itu
setiap keluarga sangat mengharapkan mendapatkan anak laki-laki agar marga
keluarganya tidak mati. Hal ini mengakibatkan berbagai bentuk ketidakadilan
gender bagi perempuan di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir
Berdasarkan hasil penelitian, pembagian tanggungjawab rumah tangga
tidak adil bagi perempuan. Tanggung jawab dalam rumah tangga pada umumnya
lebih dibebankan pada perempuan. Para orangtua lebih mengutakamakan
pendidikan anak laki-laki agar mampu menjadi pewaris keturunan yang
terpandang dan sukses, dan dalam urusan adat perempuan tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan adat karena dianggap kurang mampu. Para ibu juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
merasa takut dianggap tidak gabe jika belum melahirkan anak laki-laki. Hal ini
membuat hubungan perkawinan kurang harmonis karena ada perasaan tidak
sempurna sebagai keluarga tanpa anak laki-laki. Demikian juga dalam pembagian
warisan keluarga yang dibagi hanya untuk anak laki-laki. Perempuan hanya
mendapat sebagian kecil yang diberikan atas persetujuan anak laki-laki dan
biasanya dianggap sebagai kemurahan hati keluarga. Ketidakadilan gender ini
lebih banyak dikemukakan oleh responden perempuan daripada laki-laki. Hal ini
semakin mempertegas bahwa ketidakadilan gender masih terjadi sampai sekarang
di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir.
Usaha katekese kontekstual yang perlu dilakukan lewat berbagai kegiatan
harus relevan dengan situasi umat salah satunya adalah lewat pendalaman iman.
Yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah cara pandang yang baru sesuai
ajaran iman yang kemudian membentuk sikap hidup yang mengarah pada
penghayatan kesetaraan martabat pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Pendalaman iman tentang kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan
diharapkan mampu membangkitkan semangat umat untuk terlibat aktif
mengusahakan aksi nyata yang membawa perubahan bagi budaya Batak yang
semakin adil bagi kaum perempuan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis menyampaikan
beberapa saran kepada pihak yang terkait sebagai upaya menanggapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
ketidakadilan gender yang terjadi di stasi St. Antonio Maria Claret Tomok
Samosir.
Bagi Paroki St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir, supaya memberi
perhatian terhadap ketidakadilan gender yang sudah dianggap umat sebagai
bagian dari warisan leluhur. Paroki lewat para pastornya sebaiknya berusaha
membuka kesadaran umat akan ketidakadilan gender yang masih terjadi
dengan melakukan berbagai kegiatan atau program pendidikan iman yang
relevan dengan situasi dan kebutuhan umat baik itu lewat kotbah, bimbingan
keluarga, seminar, rekoleksi, retret dan pendalaman iman. Sebaiknya pastor
paroki terlebih dahulu membina para pengurus paroki dan lingkungan agar
program yang dimaksud dapat terlaksa secara serempak dan berkelanjutan di
semua stasi.
Sebagai tindakan lebih lanjut, paroki sebaiknya membina dan
menggerakkan para pelopor yang memiliki kemapuan dan kemauan untuk
mengupayakan kesetaraan martabat pria dan wanita dalam konteks budaya
patriakhi Batak. Program ini dapat dikembangkan menjadi lintas paroki
sehingga menjadi komunitas yang lebih luas dan diharapakan lebih efektif
membina umat dan masyarakat dalam memperjuangkan kesetaraan martabat
pria dan wanita.
1. Bagi stasi St. Antonio Maria Claret Tomok Samosir, sebaiknya terbuka untuk
menerima dan melaksanakan program yang dibuat oleh pastor paroki karena
tanpa partisipasi umat semua yang direncanakan akan sia-sia. Ketua stasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
diharapkan lebih giat mengajak umat untuk ikut serta dalam seluruh program
yang telah dirumuskan oleh pastor dan pengurus paroki.
2. Bagi tokoh-tokoh umat di stasi dan paroki St. Antonio Maria Claret, sebaiknya
lebih sering berkumpul untuk memaknai nilai-nilai budaya Batak tentang
kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan serta berusaha merefleksikannya
dalam terang Injil. Mereka juga sebaiknya lebih dahulu memberi teladan dan
kemudian menggerakkan umat untuk terbuka melaksanakan program paroki
mengenai upaya menanggapi ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
DAFTAR PUSTAKA
1. Dokumen
Komkat KWI. (2000). Petunjuk Umum Katekese. Jakarta: KWI.
Kongregasi Suci Untuk Para Klerus. (1991). Direktorium Kateketik Umum. Ende.
Nusa Indah.
Lembaga Alkitab Indonesia. (2009). Kitab Suci Alkitab Deuterokanonika. Jakarta:
LAI, 2009.
Yohanes Paulus II. (1994). Familiaris Consortio. (R. Hardawiryana, Penerjemah).
Yogyakarta: Kanisius (Dokumen asli diterbitkan tahun 1981).
______________ (1992). Catechesi Tradendae. (R. Hardawiryana,Penerjemah).
Jakarta: Dokpen KWI (Dokumen asli diterbitkan tahun 1979).
_______________ (2004). Kerja Sama Pria dan Perempuan dalam Gereja dan
Dunia. Jakarta: Dokpen KWI.
KWI. (1995). Katekismus Gereja Katolik. Indonesia: Keuskupan Agung Ende.
2. Buku
Beny Mite, Matheus. (2009). Model Katekese Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius.
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1978). Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Sumatera Utara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Gerit Singgih, Emanuel. (2000). Berteologi Dalam Konteks. Yogyakarta:
Kanisius.
Gultom, Ibrahim. (2010). Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.
Jhonson, A. Elisabeth (2003). Kristologi Di Mata Kaum Feminis. (Hartono, SJ,
Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius
Heryatno W.W, FX. “Katekese Kontekstual” dalam Rukiyanto. (2012).
Pewartaan Di Era Global. Yogyakarta: Kanisius.
_________________ “Sejarah Katekese” dalam Rukiyanto. (2012). Pewartaan
Di Era Global. Yogyakarta: Kanisius.
Jackson Stevi, dkk. (1998). Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta:
Jalasutra.
Komisi Kateketik KWI. (1989). Menuju katekese Kontekstual Tahun 2000. Bogor:
Mardi Yuana.
__________________ (1997). Upaya Pengembangan Katekese Di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Lalu, Yosef. ( 2012). Katekese Umat. Yogyakarta: Kanisius.
Leonard Supama, Markus. (2012) Panduan Katekis Volunter Berkatekese Umat.
Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Murniati, Nunuk. A. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.
Papo, Jakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah.
Armada Riyanto, FX. (2004). Membangun Gereja Dari Konteks. Malang: Dioma.
Saparinah Sadli. (2010). Berbeda tetapi Setara, Yogyakarta: Kanisius.
Seran, Yanuarius. (2007). Pengembangan Komunitas Basis. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama.
Siahaan, N. (1964). Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: C.V Napitupulu & Sons.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sulastri Sutrisno. (1979). Surat-Surat Kartini. Jakarta: Bala Pustaka.
Telambanua, Marinus. (1999). Ilmu Kateketik. Jakarta: OBOR.
3. Artikel
Hartaningsih, dkk. (2010). “Supaya Perempuan Tidak (terus) Terbisukan Lagi"
Kompas (Diterbitkan pada 15 Mei, halaman 20).
HeryatnoWW, FX. (2015). Katekese Kontekstual. Diktat Mata Kuliah Pendidikan
Agama Katolik III Untuk Mahasiswa Semester VII, Program Studi
Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
_______________ (2015b). Peta Katekese. Diktat Mata Kuliah Pendidikan
Agama Katolik III Untuk Mahasiswa Semester VII, Program Studi
Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
_______________ (2015c). Katekese Umat. Diktat Mata Kuliah Pendidikan
Agama Katolik III Untuk Mahasiswa Semester VII, Program Studi
Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Muhammad Hilmi. (2013). “Pesan Persaudaraan Dalihan Na Tolu”. Kompas
(Diterbitkan pada 2 Januari, halaman 3).
Manfred Habur, Agustinus. (2016). Makalah “Identitas Ilmu Kateketik Sekarang
Ini”.
4. Internet
http://buletin-narhasem.blogspot.co.id/2009/01/perempuan-dalam-adat-
batak.html?m=1 (Diakses pada Senin, 12 April 2017, 19.00 WIB).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=frontpage
&Itemid=159 (Diakses pada Senin, 12 April 2017, 20.00 WIB).
http://www.imankatolik.or.id/pengertian-dasar-dan-prinsip-katekese.html
(Diakses pada Rabu, 17 Mei 2017, 10.00 WIB).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 1 )
Lampiran 1: Surat Ijin Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 2 )
Lampiran 2: Panduan Wawancara :
1. Menurut anda wajarkah jika seorang suami atau laki-laki ikut membantu
pekerjaan rumah? Mengapa? Seberapa sering hal itu terjadi?
2. Jika harus memilih, mana yang anda pilih memiliki hanya anak perempuan
atau hanya anak laki-laki? Mengapa?
3. Jika keluarga anda hanya mampu menyekolahkan satu anak saja, siapakah
yang anda utamakan? Anak laki-laki atau anak perempuan? Mengapa?
4. Setujukah anda jika ada laki-laki yang menikah lagi demi mendapatkan
anak laki-laki?Mengapa? Seberapa banyak hal itu terjadi sejauh yang anda
ketahui?
5. Bagaimana pembagian tanggungjawab dalam rumah tangga antara suami
dan istri? Mengapa demikian?
6. Menurut anda wajarkan seorang perempuan menjadi ketua dan pembicara
dalam upacara adat? Mengapa? Pernahkah hal itu terjadi?
7. Apa yang paling anda takutkan jika tidak memiliki anak laki-laki?
Mengapa?
8. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap seorang ibu yang tidak
melahirkan anak laki-laki? Mengapa demikian?
9. Bagaimana pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan sesuai
adat Batak? Menurut anda apakah itu sudah adil?
10. Perubahan apa yang anda harapkan agar terwujud kesetaraan martabat
laki-laki dan perempuan dalam budaya Batak?Mengapa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 3 )
Lampiran: 3 Identitas Responden
Identitas Responden
N = 10 orang
No Nama Jenis
Kelamin
Jumlah dan Jenis
Kelamin Anak
Kode
1 Ibu Siagian Perempuan 4 perempuan R1
2 Ibu Panjaitan Perempuan 2 perempuan R2
3 Ibu Tamba Perempuan 4 perempuan R3
4 Ibu Situmorang Perempuan 5 laki-laki R4
5 Ibu Silalahi Perempuan 4 perempuan
3 laki-laki
R5
6 Bapak Sidabutar Laki-laki 2 perempuan R6
7 Bapak Panjaitan Laki-laki 4 perempuan R7
8 Bapak Sihombing Laki-laki 3 laki-laki R8
9 Bapak Silalahi Laki-laki 2 perempuan
2 laki-laki
R9
10 Bapak Sidabutar Laki-laki 3 anak perempuan
1 anak laki-laki
R10
NB: Peneliti tidak menggunakan nama asli dari responden karena menurut adat
Batak hal itu dianggap tidak sopan. Maka yang dipakai adalah marga dari
setiap responden.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 4 )
Lampiran 4: Transkip Wawancara
a. Bentuk ketidakadilan gender yang terjadi
1) Tanggungjawab rumah tangga
R1: Pembagian tugas antara saya dan suami adalah seperti pada
umumnya saja, saya mengurus pekerjaan rumah tangga dan merawat
anak-anak sementara suami bekerja di luar mencari nafkah. Sebenarnya
sangat wajar kalau suami ikut membantu pekerjaan istri karena keluarga
adalah tanggungjawab bersama. Suami saya dulu sangat rajin membantu
pekerjaan rumah tangga, tetapi ia tidak mau terus terang dihadapan
orang-orang karena biasanya akan diejek.
R2: Pembagian pekerjaan seperti biasanyalah, kalau suami bekerja
mencari uang dan saya mengurus rumah dan anak-anak. Tetapi saya juga
sering ikut membantu suami mencari uang dengan berjualan. Suami
memang sudah seharusnya ikut membantu pekerjaan istri karena istri
juga sering ikut membantu suami mencari nafkah. Suami saya sering
membantu pekerjaan di rumah tangga tetapi harus saya minta, padahal
kalau istri tanpa dimintapun tetap ikut mencari nafkah untuk
keluarganya.
R3:Karena saya dan suami bekerja sebagai guru maka kami berdua
sama-sama mencari nafkah, namun saya tetap mengurus semua urusan
rumah tangga. Menurut saya sangat baik jika suami ikut membantu
pekerjaan istri di rumah, namun suami saya seringkali menolak jika
dimintai tolong. Alasannya karena suami saya sudah lelah bekerja di luar
rumah.
R4:Saya dan suami bekerja sebagai petani, kami bekerja sama mencari
nafkah. Dalam keluarga, saya memang sudah sepakat dengan suami
kalau pekerjaan rumah tangga itu harus dikerjakan bersama. Sampai saat
ini suami masih setia membantu pekerjaan saya sebagai ibu rumah
tangga.
R5:Suami saya bekerja mencari nafkah, tetapi sayapun ikut membantu
menanbah penghasilan dengan berjualan. Namun walupun saya
berjualan, saya tetap mampu mengurus semua pekerjaan rumah. Suami
memang sangat wajar jika ikut membantu pekerjaan istri yang begitu
banyak. Namun saya merasa masih mampu mengerjakan semuanya, saya
lebih baik mengajari anak-anak saya untuk ikut membantu pekerjaan
rumah daripada meminta suami saya.
R6:Pekerjaan rumah tangga sudah seharusnya menjadi tanggungjawab
istri dan saya sebagai suami bertanggungjawab mencari uang. Tidak ada
masalah jika suami ikut membantu pekerjaan istri, tetapi seorang istri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 5 )
harusnya sudah bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah karena tugas
utama seorang suami adalah mencari nafkah.
R7: Ya..kalau urusan pekerjaan di rumah sudah jelas menjadi tugas istri,
yang jelas saya juga bertanggungjawab mencari uang. Wajar saja jika
seorang suami ikut membantu pekerjaan istri, tetapi jangan terlalu sering
karena itu dapat menurunkan harga diri suami di mata teman-temannya.
R8:Yang jelas istri saya mengurus semua pekerjaan rumah dan anak-
anak sementara saya bekerja mencari uang. Saya merasa nyaman saja
ikut membantu pekerjaan istri tetapi tetap ada batasnya karena itu adalah
tugas utama seorang istri. Biasanya saya membantu istri jika ia sedang
sakit saja.
R9:Saya sebagai suami bertanggaungjawab memenuhi kebutuhan
keluarga terutama masalah uang, sedangkan istri saya mengurus semua
pekerjaan rumah dan mendidik anak-anak. Saya sangat jarang membantu
pekerjaan istri di rumah karena banyak anak yang bisa ia mintai tolong.
Istri saya juga sudah terbiasa mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa
bantuan saya.
R10:Urusan uang dan adat itu menjadi tanggungjawab saya, sementara
istri mengurus pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak-anak. Istri
saya juga ikut membantu mencari uang dengan berjualan. Menurut saya
sangat wajar jika seorang suami ikut membantu pekerjaan istri, namun
saya sangat jarang melakukannya karena sudah sangat sibuk mencari
nafkah. Waktu luang lebih baik saya pakai untuk refresing di kedai
supaya besoknya tetap semangat bekerja lagi.
2) Prioritas antara anak laki-laki dan perempuan
R1: Bagi saya baik anak perempuan maupun anak laki-laki sama
berharganya. Saya ingin memiliki dua-duanya, tetapi kalau harus
memilih saya rasa memiliki anak laki-laki jauh lebih tenang karena tidak
mendapat tekanan dari pihak keluarga suami. Kalau soal sekolah, ya
semua harus disekolahkan dengan baik dank arena anak saya hanya
perempuan maka saya akan memilih anaka perempuan. Namun jika
seandainya saya memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka saya akan
memilih siapa yang mau dan mampu otaknya untuk sekolah lebih tinggi.
R2: Bagi saya anak laki-laki dan anak perempuan sama berharganya dan
sangat sulit untuk memilih salah satu diantaranya. Sebaiknya memang
memiliki dua-duanya, tetapi demi menghindari tekanan dari keluarga
besar, memang lebih aman jika lebih memilih anak laki-laki daripada
perempuan. Seandainya saya memiliki anak laki-laki dan perempuan,
dan biaya pendidikan hanya untuk satu orang maka saya akan memilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 6 )
anak yang mau sekolah saja karena kalau tidak serius sekolah percuma
semua biayanya.
R3:Harusnya tidak ada perbedaan mana yang lebih diutamakan antara
anak laki-laki dan perempuan karena semuanya merupakan anugerah
Tuhan. Saya tidak mau memilih antara anak laki-laki dan perempuan,
kalau boleh dua-duanya. Jika seandainya saya memiliki anak laki-laki
dan perempuan dan hanya bisa menyekolahkan satu orang, maka saya
akan memilih anak yang serius untuk sekolah saja biarpun itu anak
perempuan karena sekarang ini justru anak perempuan lebih berbakti
kepada orangtuanya daripada anak laki-laki.
R4: Sebenarnya semua anak harus menjadi yang utama tanpa dibeda-
bedakan tetapi karena adat kita lebih mengutamakan anak laki-laki,
membuat orang sering lebih memilih anak laki-laki padahal anak
perempuan jauh lebih saying terhadap orangtuanya. Kalau harus memilih
salah satu anak untuk disekolahkan, maka saya lebih memilih anak yang
memang mau sekolah dan bertanggungjawab karena kita sudah susah
mencari uang kalau anak tidak serius sekolahnya kan bisa hancur
keluarga.
R5: Bagi saya semuanya tergantung pada kemampuan dan kemauan
anak itu sendiri. Baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan,
nanti dilihat siapa yang lebih semangat dan setia mengikuti nasehat
orangtuanya. Begitu juga dalam hal pendidikan.
R6: Semua anak sama pentingnya, tetapi kalau harus memilih antara
anak laki-laki dan perempuan, saya lebih memilih anak laki-laki karena
dapat melanjutkan keturunan atau marga saya. Seandainya harus
memilih salah satu untuk disekolahkan tinggi, ya saya lebih memilih
anak laki-laki karena nati dialah yang menggantikan tugas saya kalau
saya sudah tiada.
R7: Dari segi adat anak laki-laki jelaslah menjadi yang paling utama
karena dapat memperkembangakan keturunan dari marga saya, tetapi
dalam ajaran iman, semuanya sama berharganya. Masalahnya kalau
tidak ada anak laki-laki, keturunan atau marga saya akan mati. Jika
hanya satu saja yang bisa disekolahkan, maka saya lebih memilih anak
laki-laki karena kalau anak perempuan sesukses apapun itu dia akan
menjadi bagian dari keluarga atau marga suaminya.
R8: Ibaratnya saya yang hanya memiliki anak laki-laki, tetap dipuji
orang dan dikatakan dapat membentuk satu kampong baru. Istilah itu
sudah menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih penting daripada anak
perempuan. Kalau hanya memiliki anak perempuan, itu nanti menjadi
miliki marga suaminya. Soal sekolah sebenarnya semua harusnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 7 )
disekolahkan semampunya, tetapi kalau harus memilih maka saya lebih
memilih anak laki-laki karena kalau perempuan nanti dia menjadi milik
keluarga suaminya.
R9: Sebenarnya anak laki-laki dan perempuan sama pentingnya, tetapi
jika harus memilih..ya saya lebih memilih anak laki-laki supaya
keturunan saya tidak mati. Nanti anak laki-laki saya akan membawa
menantu yang saya anggap jadi anak perempuan saya. Jika hanya satu
yang bisa disekolahkan, ya…saya lebih memilih anak laki-laki saja
supaya nanti dia bisa membanggakan marga saya.
R10: Sama berharganya dan semuanya diberi kesempatan untuk berhasil,
tetapi memang anak laki-laki lebih diutamakan karena nantinya menjadi
pengganti orangtuanya yang mengatur segala urusamn keluarga. Jadi
anak laki-laki diusahakan lebih pintar, berpendidikan dan berkecukupan.
Soal pendidikan semua anak berhak mendapatkan yang terbaik tetapi
jika hanya satu yang bisa disekolahkan, maka lebih baik anak laki-laki
saja karena kalu anak prmpuan nanti kalaupun sudah sukses dia akan
lebih banyak membantu keluarga suaminya.
3) Perempuan dalam adat
R1: Dalam urusan adat masih sangat sulit diterima kalau perempuan
tampil sebagai pembicara atau ikut mengambil keputusan rapat.
Mungkin ini sudah tradisi dan saya pribadi tidak mempermasalahkannya.
R2:Memang peranan perempuan dalam adat masih sebatas sebagai
pendengar dan pelayan, mungkin karena kita perempuan dianggap
kurang mengusai pengetahuan tentang adat. Masalahnya kita juga jarang
mendapatkan kesempatan untuk belajar adat seperti laki-laki.
R3: Sudah sejak dulu kalau laki-laki yang menjadi ketua, pembicara dan
pengambil keputusan dalam rapat adat. Kita yang perempuan biasanya
hanya menerima dan melaksanakan hasil pembicaran mereka.
R4: Ya..memang peranan perempuan dalam upacara aatau rapat adat
masih sebatas pendengar dan pelayan saja. Katanya pemikiran
perempuan dianggap kurang mampu padahal saya merasa mampu untuk
itu. Perempuan batak lebih mudah terlibat dalam urusan politik daripada
urusan adat.
R5: urusan adat memang menjadi tugas para laki-laki, tetapi kita
perempuan juga bisa ikut membantu. Namun biasanya yang menjadi
penentu adalah kaum laki-laki. Saya sendiri merasa kurang mampu jika
harus terlibat dalam urusan adat, biarlah itu menjadi tanggungjawab para
laki-laki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 8 )
R6: Ya…kalau urusan adat, perempuan memang tidak memiliki tugas
yang penting. Biasanya mereka bertugas menyiapkan makanan atau
minuman. Itu sudah dimulai sejak zaman para leluhur dulu.
R7: Ya…anehlah jika perempuan menjadi ketua ataupun sebagai
pembicara dalam adat padahal masih banyak laki-laki yang jauh lebih
memahami adat Batak.
R8: Dari zaman leluhur sudah ditentukan bahwa yang mengurus adat itu
laki-laki sementara para perempuan menyiapakan makanan dan
minuman. Sulit mengubah aturan itu karena itu sama saja kita melawan
nasehat para leluhur kita.
R9: Memang banyak perempuan yang memiliki kemampuan untuk
memahami adat dan mampu berbicara dalam acara adat, tetapi selama
masih ada laki-laki maka itu akan tetap menjadi tugas laki-laki.
R10: Perempuan bisa ikut dalam rapat adat, mereka juga bisa
memberikan masukan tetapi yang memutuskan tetap laki-laki. Itu karena
pemikiran perempuan masih belum bisa memahami adat dengan baik,
nanti malah terjadi kesalahan.
b. Penyebab ketidakadilan gender
R1: Hal itu karena dari dulu sudah ditentukan bahwa yang menjadi penerus
keturanan atau marga adalah anak laki-laki, maka semua keluarga harus
memiliki anak laki-laki. Saya sebagai ibu yang tidak melahirkan anak laki-
laki merasa dianggap kurang terberkati, ada juga yang bilang kalau saya itu
kurang berusaha. Saya sendiri ingin sekali memiliki anak laki-laki dan
sudah berusaha semampu saya, namun mungkin Tuhan belum
memberikannya.
R2: Aturan adat kita yang memilih anak laki-laki sebagai pewaris
keturunan. Coba kalau perempuan juga dapat menjadi pewaris keturunan,
pasti perempuan juga akan sama berharganya dengan anak laki-laki.
Sebagai ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki, saya mungkin
dianggap kurang beruntung atu kalau orang kita menyebutnya tidak gabe.
R3: Aturan adatlah yang menyebabkannya. Sudah dari zaman nenek
moyang diputuskan bahwa hanya anak laki-laki yang berhak meneruskan
marga keluarganya. Jadinya anak laki-laki dianggap paling berharga
daripada anak perempuan. Mungkin masyarakat memandang saya ataupun
keluarga saya tidak gabe, tetapi saya tidak peduli soal itu yang penting
semua anak saya nantinya harus sukses.
R4: Karena anak laki-laki itulah yang menjadi pewaris marga ayahnya, jadi
kalau tidak ada anak laki-laki marga keluarga akan mati. Biasanya kalau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 9 )
ada ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki memang dianggap kurang
gabemaka seringlah dilakukan usaha dengan meminta doa kepad para
leluhur atau orangtua mereka.
R5: Itu karena laki-laki menjadi pewaris keturunan atau marga ayahnya,
maka setiap keluarga harus memiliki anak laki-laki supaya keturunannya
tetap berlanjut. Memang dalam masyarakat kita sudah menjadi tradisi kalau
ibu yang belum mendapatkan anak laki-laki dianggap kurang sempurna
karena nanti marga suaminya bisa berhenti pada keturunan pertama saja.
R6: Ya…karena kalau tidak anak laki-laki maka keturunan saya tidak akan
berlanjut. Inilah yang kemudian membuat setiap keluarga lebih
mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan. Masyarakat
biasanya memandang seorang ibu yang belum memiliki anak laki-laki
sebagai perempuan yang kurang gabe jadi harus dilakukan berbagai upaya
misalnya dengan upacara adat meminta doa kepada leluhur baik yang sudah
meninggal maupun yang masih hidup.
R7: Karena sejak zaman nenek moyang sudah diputuskan bahwa laki-laki
menjadi pewaris keturunan atau marga. Maka supaya garis keturunan saya
tidak mati, saya harus memiliki anak laki-laki. Jadinya sampai sekarang
anak laki-laki itu dianggap paling penting daripada anak perempuan. Kalau
ada ibu yang belum melahirkn anak laki-laki biasanya disebut tidak
gabekarena kalau sudah gabe berarti sudah memiliki anak laki-laki dan
perempuan.
R8: Sudah aturan adat bahwa anak laki-laki itu memang lebih berharga
karena dapat melanjutkan keturunan sementara perempuan akan menjadi
bagian dari kelurga atau marga yang lain. Perempuan Batak yang belum
melahirkan anak laki-laki biasanya disebut belum gabe, karena belum
memberikan pewaris keturunan bagi keluarganya.
R9: Karena anak laki-laki adalah pewaris keturunan keluarganya dan
menjadi tanda kehormatan bagi keluarga. Setiap keluarga atau marga pasti
tidak mau kalau garis keturunannya terputus, maka selalu diusahakan agar
memiliki anak laki-laki. Kalau istri belum melahirkan anak laki-laki
biasanya dilakukan berbagai upaya atau acara adat untuk memohonkan
diberi anak laki-laki karena kalau belum ada anak laki-laki, keluarga
tersebut kurang memiliki kehormatan secara adat.
R10: Karena anak laki-laki adalah pewaris garis keturunan dari marga
ayahnya, maka memang kalau boleh jujur anak laki-laki dianggap lebih
penting daripada anak perempuan meskipun sebenarnya semua anak
berharga dan penting. Ini semacam tuntutan adat yang harus dijalankan.
Perempuan Batak kalau tidak melahirkan anak laki-laki biasanya dianggap
belum gabe karena nanti keluarga atau marga sumainya akan mati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 10 )
c. Dampak ketidakadilan gender
1) Dampak psikologis
R1: Saat mengandung anak ketiga dan keempat mengalami ketakutan, saya
takut kalau anak saya tetap perempuan dan keluarga suami akan
mempersalahkannya karena tidak bisa melanjutkan garis keturunan
suaminya.
R2: Mengalami ketakutan karena seharusnya tidak melahirkan lagi seturut
anjuran dokter, tetapi karena takut mendapat tekanan dari keluarga, saya
memilih untuk hamil lagi demi mendapatkan anak laki-laki.
R3: Merasa ada yang kurang dalam hidup. Saya sudah berusaha
mensyukuri apa yang diberikan Tuhan tetapi tanpa anak laki-laki sepertinya
ada yang masih kurang dalam keluarga saya.
R4: Tidak mengalami tekanan karena sudah memiliki anak laki-laki, namun
tetap ada kerinduan untuk memiliki anak perempuan. Kalau seandainya
belum memiliki anak laki-laki, yang saya takutkan adalah keluarga besar
pihak suami yang merasa kurang puas karena belum mendapatkan pewaris
keturunan.
R5: Karena memiliki anak laki-laki dan perempuan maka saya tidak pernah
mendapat tekanan perasaan apa-apa seperti yang dialami oelh teman-teman
yang tidak memiliki anak laki-laki.
R6: Ada perasaan tertekan karena belum mendapatkan anak laki-laki. Saya
merasa sedih dan agak malu jika ditanya oleh keluarga besar. Kadang
keluarga juga mengatakan bahwa itu tidak masalah tetapi itu hanya sebagai
ungkapan penghiburan saja.
R7: Ada perasaan kurang sempurna dan rasa takut kalau nanti marga saya
akan mati.
R8: Jelas merasa ada yang kurang dalam hidupku, apalagi saat acara adat.
Saya juga takut kalau nanti marga saya akan mati.
R9: Meskipun sudah memiliki anak laki-laki tetapi saya tetap memiliki
kerinduan untuk memiliki anak perempuan. Namun karena tidak menjadi
masalah yang besar, saya tidak terlalu memikirkannya.
R10: Tidak mengalami tekanan karena sudah memiliki anak laki-laki dan
perempuan. Rasanya keluarga saya sudah sempurna. Seandaianya belum
memiliki anak laki-laki, yang say takutkan hanya soal penerus marga saya
saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 11 )
2) Dampak bagi perkawinan
R1: Pihak keluarga suami saya menyuruh suami saya untuk menikah lagi
demi mendapatkan anak laki-laki dan akhirnya saya dan keempat putri saya
ditinggalkan oleh suami saya. Saya jelas tida setuju jika demi mencari anak
laki-laki, uami bisa menikah lagi karena kita sudah Katolik dan dalam
agama kita perkawinan itu hanya sekali seumur hidup. Memang sudah tidak
banyak lagi yang melakukan hal itu sekarang ini, tetapi tetap masih ada
beberapa yang mengalaminya.
R2: Saya merasa tuntutan keluarga besar agar saya melahirkan anak laki-
laki menjadi sumber masalah dalam keluarga. Saya sering merasa kesal
karena menurut saya ini bukan hanya kesalahan saya. Kalau suami disuruh
menikah lagi, saya sangat tidak setuju karena ini bukan hanya kesalahan
saya saja. Jarang terjadi karena tidak banyak keluarga yang tidak memiliki
anak laki-laki, tetapi masih ada beberapa kasus seperti itu yang terjadi.
R3: Karena merasa ada yang kurang dan sering dibicarakan dalam
keluarga, saya merasa kurang bahagia sebagai istri. Kadang muncul
perasaan gagal memberi keturunan laki-laki.kalau ada suami yang memilih
menikah lagi karean ingin mencari anak laki-laki, saya jelas tidak setuju.
Kita juga sudah beragama bukan seperti zaman dulu lagi. Memang samapai
saat ini masih ada kasus seperti itu tetapi tidak sebanyak zaman dulu.
R4: Saya merasa tenang dalam keluarga karena sering dipuji juga karena
memiliki anak laki-laki yang lumayan banyak. Saya hanya sedikit
mengalami kewalahan mengurus pekerjaan rumah karena semua anak saya
adalah laki-laki. Kalau ada suami yang menikah lagi baik itu pilihannya
sendiri ataupun dipaksa, itu tetap saja tidak benar karena anak perempuan
dan laki-laki sama saja.
R5:Kehidupan keluarga saya berjalan dengan baik, soal keturunan kami
merasa sudah sempurna karena memiliki anak laki-laki dan anak
perempuan. Saya rasa sangat tidak adil jika ada suami yang menikah lagi
hanya untuk mendapatkan anak laki-laki apalagi di zaman sekarang ini. kita
kan sudah beragama dan agama kita melarang pernikahan dua kali.
Sekarang sudah semakin hal itu terjadi, tetapi di daerah pedalaman sana
masih sering terjadi. Hal itu karena pengetahuan masyarakat masih kurang
luas.
R6:Saya tidak pernah berfikir untuk menikah lagi meskipun istri saya
belum melahirkan anak laki-laki karena saya masih berpegang pada ajaran
agama Katolik yang melarang perkawinan dua kali. Memang kerinduan
untuk memiliki anak laki-laki itu pasti ada, tetapi kalau Tuhan belum
berkenan mau gimana lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 12 )
R7: Menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki bukan perkara mudah
karena kita harus membayar adat lagi dan itu lumayan mahal. Sebenarnya
kalau ditanya apakah itu boleh atau tidak, saya agak bingung karena agama
melarang tetapi dalam adat kita yang tidak memiliki anak laki-laki juga
mengalami kesulitan. Sejauh ini keluarga saya baik-baik saja, meskipun
kerinduan untuk memiliki anak laki-laki itu masih tetap ada.
R8: Jika ada suami yang memilih menikah lagi untuk memiliki anak laki-
laki, saya sulit memberi pendapat. Hal itu memang dilarang oleh agama
kita, tetapi kasihan juga kalau tidak memiliki penerus marganya. Masih
lebih baik seperti saya yang memiliki anak laki-laki 3 orang meskipun tetap
menginginkan anak perempuan supaya semakin sempura.
R9: Saya memang tidak setuju kalua ada suami yang menikah lagi demi
mendapatkan anak laki-laki karena hal itu bukan hanya kekurangan istri
tetapi bisa juga suami yang bermasalah. Namun yang saya katakana ini
tentu tidak semudah itu bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki
karena nanti dalam adat mereka kurang terhormat.
R10: Saya memang tidak mengalami tekanan apapun dalam keluarga soal
anak laki-laki yang memang harus ada dalam sebuah keluarga Batak.
Tetapi melihat dan mendengar pengalaman teman yang belum
mendapatkan anak laki-laki, saya bisa memahami bagaimana tekanan yang
mereka alami. Meskipun kita sudah beragama, tetapi adat kita ini juga
harus dipenuhi. Perempuan yang tidak memiliki saudara laki-lakipun
biasanya kurang terhormat karena nanti anak-anaknya tidak memiliki
Tulang(paman).
3) Dampak ekonomi atau materi
R1: Pembagian harta biasanya yang diutamakan adalah anak laki-laki.
sampai saat ini, keluarga suami saya belum memberikan apa-apa sebagai
bagian dari keempat putri saya padahal mereka juga harusnya berhak.
Katanya nanti kalau istri kedua suami saya melahirkan anak laki-laki, maka
harta suami saya sebagaian besar akan diberikan kepada anak laki-lakinya
meskipun dari istri kedua. Kemungkinan anak saya akan mendapat bagian
yang sangat kecil jumlahnya. Menurut saya pribadi ini sangat tidaka adil,
tetapi itulah adat. Saya lebih baik bekerja serius agar dapat menyekolahkan
anak-anak saya sampai sukses daripada mengharapkan warisan suami.
R2: Kalau mengikuti adat Batak, biasanya anak laki-laki mendapat
sebagaian besar harta warisan keluarga, sementara anak perempuan hanya
mendapat sebagaian kecil saja. Kalau seperti keluarga saya yang belum
mendapatkan anak laki-laki, bisa jadi sebagian warisan kami diberikan
kepada saudara dari suami saya. Makanya kami masih terus berusaha agar
mendapatkan anak laki-laki. Ini memang tidak adil karena anak perempuan
juga berhak mendapatkan harta orangtuanya, tetapi untuk mengatasinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 13 )
kita berusaha menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin supaya punya
bekal di masa depan.
R3:Sesuai adat, anak laki-laki akan mendapatkan bagian yang lebih besar
dibandingkan anak perempuan. Bagi saya ini jelas tidak adil apalagi kami
tidak memiliki anak laki-laki. Dulu masih berlaku aturan bahwa kalau
sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka seluruh hartanya
diambil oleh saudara suami. Tetapi bagi saya itu tidak berlaku lagi karena
saya dan kelurga yang bekerja mengumpulkan harta, maka saya akan tetap
memperjuangkan agar keempat putri kami yang menjadi pewaris harta
keluarga kami.
R4: Kalau pembagian warisan keluarga dibagi rata diantara semua anak-
anak saya karena mereka laki-laki semua. Berbeda lagi kalau ada anak
perempuan. Dalam pembagian harta warisan, biasanya anak perempuan
mendapat jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan bagian anak
laki-laki. Bagi saya ini kurang adil bagi perempuannya karena justru anak
perempuan itu yang lebih rajin membantu orangtuanya. Tetapi namanya
juga adat, sulit untuk diubah.
R5: Cara pembagiannya sepertini ini, semua warisan kami dibagi 4. Setiap
anak laki-laki mendapat satu bagian, sementara satu bagian lagi dibagi oleh
keempat anak perempuan kami. Itupun masih termasuk aturan baru, dulu
perempuan malah tidak mendapatkan apa-apa. Kalau dibilang adil atau
tidak, semua tergantung nasib anak perempuan. Kalau dia mendapatkan
suami yang punya banyak warisan, maka tidak jadi masalah. Tetapi kalau
suaminya juga tak punya warisan, maka hidupnya akan sulit. Makanya
sekarang ini banyak orangtua yang sudah mulai memberikan hartanya bagi
anak perempuan meskipun tetap tidak sama jumlahnya dengan anak laki-
laki.
R6: Menurut adat, pembagian warisan keluarga hanya antara anak laki-laki.
Anak perempuan tidak berhak atas warisan orangtuanya kecuali atas izin
saudara laki-laki, itupun dianggap hibah bukan ha katas warisan. Jika tidak
ada anak laki-laki, maka seluruh warisan akan diambil oleh saudara laki-
laki dari ayahnya. Menurut saya ini kurang adil bagi anak perempuan
karena seharusnya mereka juga mendapat hak yang sama. Saya sendiri
tidak rela kalau harta saya diambil oleh saudara-saudara saya, maka saya
akan mengusahakan agar warisan saya diberikan kepada anak-anak saya.
Namun saya tetap takut kalau saya sudah meninggal, saudara-saudara saya
akan mengabil alih harta saya karena saya tidak memiliki anak laki-laki.
R7:Kalau memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka pembagian harta
biasanya hanya diantara anak laki-laki. Lalu atas kesepakatan antara anak
laki-laki, biasanya mereka memberikan sebagaian kecil bagi saudarinya
secara sukarela tanpa ada ketentuan berapa jumlahnya. Tetapi kalau seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 14 )
saya yang tidak memiliki anak laki-laki, biasanya hrta saya akan diambil
alih saudara saya. Bagi saya itu tidak adil karena saya bekerja keras justru
untuk masa depan anak-anak saya. Maka saya bertekad akan memberika
seluruh harta saya kepada anak-anak saya sebelum saya meninggal kelak
supaya tidak diambil alih oleh saudara-saudara saya.
R8: Soal pembagian harta warisan, kita tinggal mengikuti aturan adat yang
sudah ada. Semua harta saya akan dibagi rata kepada ketiga anak saya
karena anak saya semuanya laki-laki. Nanti mereka bertiga akan berunding
dan membagi semuanya secara adil. Kalau ada anak perempuan, biasanya
hanya diberi sedikit saja karena nanti dia juga akan mengikuti suaminya
jadi tidak perlu khawatir akan kehidupannya. Bagi saya pribadi, aturan
pembagian warisan ini sudah adil dan wajar karena kalau anak perempuan
mendapatkan warisan yang sama dengan anak laki-laki, maka itu hanya
akan memperkaya keluarga suaminya bukan keluarga saya.
R9: Pembagian warisan menurut adat Batak itu memang terdengar kurang
adil karena anak perempuan kurang diperhitungkan, tetapi itu sudah
dipikirkan baik-baik oleh para leluhur kita. Setiap laki-laki orang Batak kan
akan mendapatkan warisan dari keluarganya dan setiap anak perempuan
Batak akan mengikuti suaminya. Maka sebenarnya adil, apalagi dalam adat
Batak semua biasa pernikahan ditanggung oleh laki-laki bahkan harus
“membeli” perempuan dengan harga yang biasanya tidak murah.
R10: Sesuai dengan aturan adat, saya akan membagi harta saya menjadi dua
bagian besar. Satu bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian lagi dibagi
oleh ketiga anak perempuan saya. Menurut saya ini adil karena anak
perempuan akan pergi mengikuti suaminya sementara anak laki-laki akan
mengurus semua keturunan saya dan nama saya. Jadi ini adil karena
tanggungjawab anak laki-laki itu jauh lebih besar daripada anak
perempuan.
d. Harapan untuk mewujudkan kesetaraan martabat pria dan wanita
R1: Sulit untuk mengungkapkan harapan dalam situasi seperti ini karena
urusan adat itu sulit untuk diperbaiki apalagi untuk diubah. Mungkin bagi
kita yang sudah beriman Katolik supaya diingatkan oleh pastor secara
terus-menerus bahwa anak laki-laki dan perempuan itu sama berharganya
di mata Tuhan.
R2: Kalau bisa pastor harus lebih sering berkotbah untuk mengatakan
kepada umat bahwa di hadapan Tuhan anak laki-laki dan perempuan itu
sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
R3: Harapan saya adalah pihak gereja atau pastor semakin sering berkotbah
tentang adat kita ini. Sudah jelas Kitab Suci mengatakan bahwa perempuan
dan laki-laki sama di hadapan Allah, setara. Harusnya pastor juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 15 )
mengatakan demikian kepada umatnya karena biasanya kalau pastor yang
mengatakan, umat mudah percaya.
R4: Kalau mengubah adat, itu sangat sulit dilakukan karena sudah sejak
dahulu kala aturan adat kita ini dibuat dan berkembang sampai saat ini.
Mungkin yang perlu diubah adalah pemikiran kita saja supaya lebih maju.
Sekarang kan anak perempuan juga sudah bisa menjadi pemimpin.
R5: Tempat kita ini kan sudah maju, banyak wisatawan yang dating dan
pemikiran kitapun haruslah ikut maju. Hal yang baik dari adat kita tetaplah
dilanjutkan, tetapi kalau hal yang kurang baik biarlah ditiggalkan begitu
saja. Saya yakin, nanti kalau tempat ini semakin maju, adat yang kurang
baik itu juga akan dilupakan orang.
R6: Harapannya semoga kita tetap kuatlah imannya meskipun belum
mendapatkan anak laki-laki. saya juga terkadang takut tergoda untuk
berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran iman saya hanya karena
saya ingin mendapatkan anak laki-laki.
R7: Harapannya diberikan Tuhan anak laki-laki dalam keluarga saya.
Tetapi kalaupun tidak diberikan semoga keluarga kita tetap bahagia.
R8: Bagaimanapun anak laki-laki akan tetap menjadi penerus garis
keturunan dalam adat Batak dan itu tidak mungkin bisa diubah. Mungkin
yang bisa dilakukan adalah memperdalam iman Katolik kita saja agar tetap
menghargai semua anak baik laki-laki maupun perempuan.
R9: Harapan saya, semoga iman Katolik di stasi ini semakin kuat, sehingga
apapun tuntutan adat iman tidak goyah. Saya sangat mengharapkan agar
pastor memberikan pendampingan bagi keluarga yang tidak memiliki anak
laki-laki agar terhindar dari keinginan yang bertentangan dengan iman kita
seperti menikah dua kali.
R10: Harapan saya adalah agar Gereja bersikap tegas menentang jika ada
keluarga yang meminta suami untuk menikah lagi demi mendapatkan anak
laki-laki karena itu hanya akan memberikan penderitaan kepada para
perempuan terutama istri yang tidak melahirkan anak laki-laki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 16 )
Lampiran 5: Bahan Contoh Satuan Pendalaman Iman
Lagu pembuka: “Hari Ini Kurasa Bahagia”
Hari ini kurasa berkumpul bersama saudara seiman
Tuhan Yesus telah satukan kita
Tanpa memandang diantara kita
Bergandengan tangan dalam kasih dalam satu iman
Berjalan dalam terang kasih Tuhan
Kau sahabatku, kau saudaraku
Tiada yang dapat memisahkan kita
Video “Kartini”
Video Kartini bercerita tentang ketidakadilan yang dialami oleh Kartini dan
perempuan Jawa pada masa hidupnya.Kartini dipaksa menikah dengan laki-laki
pilihan orangtuanya dan harus tunduk pada suaminya.Perlahan Kartini mulai
menyadari adanya perlakuan yang tidak adil bagi kaum perempuan.Iapun mulai
mempelajari banyak hal, namun keinginannya untuk sekolah seperti kaum laki-
laki ditentang oleh keluarganya.Mereka takut Kartini semakin pintar dan akhirnya
menyamai kedudukan dan kekuasaan kaum laki-laki. Kartini memang tidak
mampu secara langsung mengubah adat yang sudah mengakar dalam kehidupan
masyarakat tetapi ia tidak pernah berhenti berjuang. Ia tetap belajar secara diam-
diam dan mendidik banyak perempuan disekitarnya. Kartini mengatakan bahwa
tubuhnya bisa saja terikat pada aturan adat tetapi jiwa dan pikirannya harus
mampu terbang bebas.
Teks Kitab Suci Yohanes 4:5-42
4:5 Maka sampailah Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat
tanah yang diberikan Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf.
4:6 Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia
duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.
4:7 Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus
kepadanya: "Berilah Aku minum."
4:8 Sebab murid-murid-Nya telah pergi ke kota membeli makanan.
4:9 Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang
Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak
bergaul dengan orang Samaria.)
4:10 Jawab Yesus kepadanya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan
siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah
meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup."
4:11 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tidak punya timba dan
sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?
4:12 Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan
sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 17 )
anaknya dan ternaknya?"
4:13 Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi,
4:14 tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan
haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan
menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada
hidup yang kekal."
4:15 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku
tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air."
4:16 Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini."
4:17 Kata perempuan itu: "Aku tidak mempunyai suami." Kata Yesus kepadanya:
"Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami,
4:18 sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu,
bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar."
4:19 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa
Engkau seorang nabi.
4:20 Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan,
bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah."
4:21 Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya
akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan
juga di Yerusalem.
4:22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang
kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
4:23 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-
penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa
menghendaki penyembah-penyembah demikian.
4:24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya
dalam roh dan kebenaran."
4:25 Jawab perempuan itu kepada-Nya: "Aku tahu, bahwa Mesias akan datang,
yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu
kepada kami."
4:26 Kata Yesus kepadanya: "Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan
engkau."
4:27. Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia
sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorangpun yang
berkata: "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan
dengan dia?"
4:28 Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota
dan berkata kepada orang-orang yang di situ:
4:29 "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu
yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?"
4:30 Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.
4:31 Sementara itu murid-murid-Nya mengajak Dia, katanya: "Rabi, makanlah."
4:32 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Pada-Ku ada makanan yang tidak
kamu kenal."
4:33 Maka murid-murid itu berkata seorang kepada yang lain: "Adakah orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
( 18 )
yang telah membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?"
4:34 Kata Yesus kepada mereka: "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia
yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.
4:35 Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai?
Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-
ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.
4:36 Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah
untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita.
4:37 Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang
lain menuai.
4:38 Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-
orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka."
4:39 Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya
karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala
sesuatu yang telah kuperbuat."
4:40 Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta
kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Iapun tinggal di situ dua hari
lamanya.
4:41 Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya,
4:42 dan mereka berkata kepada perempuan itu: "Kami percaya, tetapi bukan lagi
karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami
tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."
Lagu penutup: “Cintailah Sesamamu”
Gemuruh ombak menderu, berlomba menuju pantai
Bagaikan dua insan yang mencinta
Semenjak alam tercipta, mereka saling mencinta
Indahnya, betapa indah alam ini
Cintailah sesamamu…
Seperti dirimu sendiri
Bersama-sama kita nikmati
Apa yang dianugerahkannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI