KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal...
Transcript of KATA PENGANTARresearch.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/202FULL...Peradilan Pidana (C riminal...
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
ke hadlirat Allah SWT atas rakhmat, taufik, hidayah dan innayah-Nya,
sehingga penulisan buku dengan judul “RESTORATIVE JUSTICE
SYSTEM DI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU
LINTAS” telah dapat diselesaikan di sela-sela kepenatan rutinitas dalam
beraktifitas sehari-hari.
Penulisan buku ini, berangkat dari kegelisahan akademik penulis, yang
pada satu dimensi penulis pandang bahwa berdasarkan pengalaman empiris
terdapat cukup banyak kejadian tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang
terjadi karena faktor kealpaan dan atau ketidaksengajaan terpaksa harus
masuk ke dalam suatu sistem hukum formal yang kaku berupa Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice Sestem), yang tidak menutup
kemungkinan timbulnya gugatan ganti rugi secara keperdataan dari pihak
yang merasa dirugikan, padahal antara korban dan pelaku yang terlibat dalam
kecelakaan lalu lintas tersebut menghendaki untuk dapat diselesaikan secara
kekeluargaan dengan pertimbangan bahwa penyelesaian tersebut disamping
prosesnya melibatkan secara langsung pihak-pihak yang terlibat,
pelaksanaannya sangat sederhana, tidak memakai beaya dan manfaatnya
langsung dapat dirasakan oleh korban sehingga nilai keadilannya sangat
tinggi.
Pada dimensi lain penulis memaklumi apabila penyidik Polisi Lalu
Lintas tidak mempunyai payung hukum apabila harus menyelesaikan
kecelakaan lalu lintas tersebut secara kekeluargaan/perdamaian, dan apabila
2
penyidik “terpaksa” harus menyelesaikan secara kekeluargaan/perdamaian
maka mereka harus mengalami “senam jantung” karena dampaknya sewaktu-
waktu bentuk penyelesaian tersebut dapat menjadi “bom waktu” yang
tentunya dapat meledak setiap saat dan dapat berdampak dirinya menjadi
“korban”, karena rekan mereka yang berdinas pada fungsi Itwasda
(Inspektorat Pengawasan Daerah) dan Propam (Profesi dan Penagamanan)
akan segera “menerkam” mereka dengan menggunakan payung hukum
berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan atau Peraturan Kapolri Nomor
14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri karena senyatanya bahwa
dalam penyelesaian tindak pidana lalu lintas dalam perspektif legal formal
tidak dikenal bentuk penyelesaian secara
musayawarah/kekeluargaan/perdamaian, meskipun penyelesaian dimaksud
dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas.
Walaupun di ujung akhir Tahun 2013 kemudian lahir Peraturan Kapolri
Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu
Lintas, akan tetapi peraturan ini secara substansial tidak dapat menjawab
secara tuntas terhadap permasalahan yang muncul setiap saat di tengah
masyarakat.
Pada perkara tindak pidana (kecelakaan) lalu lintas, walaupun para
pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tersebut telah dapat
menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan, namun penyidik Polisi Lalu
Lintas tetap memproses/melakukan penyidikan dan Berkas Perkaranya
3
kemudian dikirim ke Penuntut Umum, sehingga keadilan yang demikian ini
memang patut dipertanyakan oleh para pihak dan masyarakat umum.
Sementara itu, pada dimensi yang lain bahwa salah satu fenomena
yang perlu untuk dicermati adalah makin maraknya upaya-upaya damai yang
dilakukan ketika timbul suatu dugaan tindak pidana. Hal ini sering terjadi di
kota-kota besar terutama dalam hubungan dunia bisnis yang mempunyai
intensitas tinggi, sejalan dengan perkembangan arus informasi dan
telekomunikasi yang mempersempit jarak sehingga hubungan antar dan inter
negara dapat berlangsung secara singkat dan cepat yang membuat waktu
menjadi sangat berharga. Manakala terjadi kasus pidana, maka para pihak
cenderung mengambil jalur perdamaian karena dianggap efektif dan efisien,
dibandingkan melalui proses peradilan yang menyita waktu dan tenaga,
pengalaman empiris ini menunjukkan kepada kita telah bahwa pada saat ini
telah marak terjadi quasi hukum privat ke hukum publik.
Penulisan Buku ini berusaha untuk menelusuri penyebab terjadinya
proses penyidikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut yang
dirasakan hanya melindungi dan memihak kepada korban dan tidak
mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan pelaku secara berimbang.
Secara sederhana, penulis menemukan bahwa permasalahan tersebut
berpangkal pada konstruksi hukum penyelesaian tindak pidana kecelakaan
lalu lintas yang berorientasi kepada legal-positivistik. Berdasarkan
pembahasan penulis, kemudian penulis merekomendasikan bahwa untuk
jangka waktu ke depan guna lebih memberikan rasa keadilan dan
kemanfaatan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan
4
juga memberikan “payung pengaman” serta kenyamanan bagi peyidik Lalu
Lintas, dengan berbasis kearifan (wisdom) lokal dan religous sesuai dengan
sila-sila dalam Pancasila terutama sila kedua dan kelima, sesuai dengan Pasal
28 D Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 serta sejalan dengan wisdom international yaitu Restorative
Board/Youth Panels yang berlaku di negara bagian Vermont maka sistem
hukum yang mengatur tentang penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu
lintas harus direkonstruksi dengan berorientasi pada legal-progresive.
Atas selesainya penulisan Buku ini, sebagai ungkapan rasa syukur dan
rasa puas yang tak terhingga dari diri penulis, pada kesempatan ini penulis
haturkan dalam bentuk ucapan terimakasih yang tak terhingga nilainya kepada
:
1. Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, H. Anis
Thoha, M.A., Ph.D, beserta seluruh dosen dan staf yang telah
memberikan bantuan berupa kesempatan / waktu, sarana dan prasarana
kepada penulis untuk menimba ilmu Program Doktor (S3) Ilmu Hukum
(PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang, Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H, beserta staf pengajar dan
staf administrasi yang telah banyak memberikan bantuan dan kemudahan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Doktor (S3) Ilmu
Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang.
5
3. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt, M.Hum, selaku Ketua Program S3
yang sekaligus bertindak sebagai Promotor, yang dengan semangat,
senyum, kedalaman ilmunya, kebesaran jiwanya telah memberikan
kesempatan dan sekaligus membimbing serta mendorong penulis dalam
menempuh pendidikan sekaligus menyusun Buku ini.
4. Dr. Sri Endah Wahyuningish, S.H., M.Hum selaku Co-Promotor, yang
dengan kecerdasan intelektual dan spiritualnya, syarat pengalamannya
dan kesabarannya telah membantu penulis untuk menajamkan pada tiap
analisa pemecahan permasalahan dari hasil penelitian sehingga Buku ini
pada akhirnya selesai disusun.
5. Kapolda Jawa Tengah (lama) Irjen Pol. Drs. Dwi Priyatno dan Kapolda
Jawa Tengah (baru) Irjen Pol. Drs. Nur Ali, Kabidkum Kombes Pol.
Supraptono, S.H., M.M, dan Dirlantas Kombes Pol. Drs. Istu Hari, M.M,
beserta staf dan jajaran Polres terkait (Polres Demak, Semarang, Kendal
dan Banyumas) yang telah memberikan kesempatan dan dorongan
kepada penulis untuk menempuh pendidikan dan sekaligus melakukan
penelitian;
6. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Sultan Agung Semarang
yang dengan semangat kebersamaannya telah membantu penulis dalam
mengikuti perkuliahan dan menyusun Buku ini.
7. Istri tersayang, Sri Wana, S.IP, yang dengan penuh ketulusan kasih,
kesabaran, pengertian dan pengorbanan yang sangat besar baik terhadap
waktu dan segala hal telah mendampingi serta selalu berdo’a kepada
Allah SWT untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi
6
Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Unissula Semarang, ditambah
dengan keberadaan anak-anak penulis yang menjadikan kebanggaan
tersendiri bagi penulis, IPDA Wahyu Joko Nugorho, S.IK (Akpol
Angkatan 44/Detasemen Wiratama Bhayangkara) dan IPDA Agung Joko
Haryono, S.IK (Akpol Angkatan 45/Detasemen Budi Luhur
Bhayangkara) sebagai generasi penerus dari ayah penulis dan sekaligus
diri penulis dalam meneruskan tongkat estafet profesi kepolisian, yang
seakan keduanya telah memberi kobaran api semangat yang luar biasa
besarnya di ujung pengabdian penulis sebagai anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
8. Teman-teman seprofesi di bidang kepolisian, teman-teman seprofesi di
bidang pekerjaan penegakan hukum (para Penasehat Hukum, Jaksa
Penuntut Umum dan Hakim), teman-teman seangkatan belajar di
Program Doktor Ilimu Hukum (PDIH) Unissula Semarang dan teman-
teman lain yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang secara
bergantian atau bersama-sama telah membantu penulis dalam
pengumpulan data, dalam berdiskusi dan dalam penyelesaian Buku ini.
dengan iringan do’a semoga amal baik beliau-beliau mendapatkan rachmat
dan sekaligus balasan yang setimpal dari Allah SWT baik di dunia maupun di
akherat, amin.
Penulis sadar bahwa Buku ini adalah masih jauh dari harapan, oleh
karenanya kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca yang
budiman, baik dari kalangan dosen, mahasiswa, praktisi hukum terutama dari
rekan sejawat di Kepolisian Negara Republik Indonesia, politisi maupun
7
pemerhati persoalan hukum serta pihak lain sangat penulis harapkan, semoga
hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum dan
implementasi hukum di tengah kungkungan legal-positivism yang masih
berkembang luas di Indonesia pada saat sekarang ini.
Semarang, Oktober 2014
Penulis,
Dr. Dwi Wahyono, S.H., C.N
Prof. Dr. Gunarto, S.H., M.Hum
Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum
8
KUPERSEMBAHKAN TULISAN INI UNTUK :
Guru-guruku dan Dosen-Dosenku, yang telah membukakan jendela
pengetahuan
untuk dapat melihat, menatap dan menyongsong masa
depan;
Teman-teman seprofesi, sekantor, se angkatan Caba Mawil Polri
Tahun 1981/1982, Capa Reguler XVIII Tahun 1990/1991, Selapa
Polri Dik Reg XXIX Tahun 2001/2002 dan Spamen LAN XXIX
Tahun 2010.
9
Biodata Penulis BUKU KE I
Biodata
1 NAMADr. DWI WAHYONO, S.H.,
C.N.
2 TTLSALATIGA, 7 OKTOBER
1959
3 AGAMA ISLAM
4JENIS
KELAMINLAKI-LAKI
5 PENDIDIKANPASKA SARJANA
NOTARIAT UNDIP
6 PEKERJAANANGGOTA POLRI POLDA
JATENG
7 PANGKAT/GOL AKBP / IV B
8 JABATAN KASUBBIDBANKUM
9ALAMAT
RUMAH
JL. BHAYANGKARA NO.
25 DEMAK JATENG
Telp. : 0291 685436, HP. :
0812 2810 821
e mail :
10ALAMAT
KANTOR
JL. PAHLAWAN NO. 1
SEMARANG
10
Telp. : 024 8450315, Fax. :
024 8413744
e mail :
11 ISTRISRI WANA, S.IP (PNS
PEMKAB DEMAK)
12 ANAK-ANAK
1. IPDA WAHYU JOKO
NUGROHO, S.IK.
2. IPDA AGUNG JOKO
HARYONO, S.IK.
RIWAYAT PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
1 SDN 1 DEMAK 1972
2 SMPN 1 DEMAK 1975
3 STM PEMBANGUNAN SEMARANG (MESIN) 1980
4 SMA BETHESDA SEMARANG (IPA) 1984
5 FAK HUKUM UNTAG SEMARANG (PIDANA) 1988
6PASKA SARJANA UNDIP SEMARANG
(NOTARIAT)1996
7 PDIH (S3) UNISSULA SEMARANG2012/20
14
PENDIDIKAN KEDINASAN / POLRI
11
1 SECABA POLRI1981/19
82
2 KEJURUAN BINTARA RESERSE 1982
3 KEJURUAN RESMOB 1984
4 SECAPA REGULER POLRI1990/19
91
5 KEJURUAN PERWIRA RESERSE 1991
6SEKOLAH LANJUTAN PERWIRA POLRI
(SEKARANG : SPIMMA POLRI)
2001/20
02
7SPAMEN LAN RI (DIKLAT PIM TK
II/SETINGKAT SPIMMEN POLRI)2010
RIWAYAT PEKERJAAN / JABATAN
1KARYAWAN BENGKEL TOYOTA
NASMOKO SEMARANG1980-1981
2BINTARA RESERSE POLWIL
SEMARANG1983-1990
3 KASAT RESERSE POLRES KENDAL 1991-1995
4PANIT RESERSE TIPITER POLDA
JATENG1995-1996
5 KASAT RESERSE POLRES REMBANG 1996-1997
6 KASAT RESERSE POLRES SALATIGA 1997-1999
7 KANIT RESERSE UMUM POLWIL 1999-1999
12
SURAKARTA
8 KASAT RESERSE POLRES KUDUS 1999-2001
9 WAKAPRIMKOPPOL POLRES DEMAK 2001-2001
10 PAMA SELAPA MABES POLRI 2001-2002
11PARIK RESERSE ITWASDA POLDA
JATENG2002-2003
12 WAKA POLRES SEMARANG 2003-2006
13 WAKA POLRES PURWOREJO 2006-2007
14 ADVOKAT BIDKUM POLDA JATENG 2007-2007
15KASUBBIDBANKUM BIDKUM POLDA
JATENG2007- .......
RIWAYAT KEPANGKATAN
1 SERSAN DUA 1982
2 SERSAN SATU 1986
3 SERSAN KEPALA 1989
4 CALON PERWIRA POLISI 1991
5LETNAN DUA POLISI (SEKARANG :
IPDA)1992
6LETNAN SATU POLISI (SEKARANG :
IPTU)1995
7 KAPTEN POLISI (SEKARANG : AKP) 1999
8 KOMISARIS POLISI (KOMPOL) 2002
9 AJUN KOMISARIS BESAR POLISI 2007
13
(AKBP)
11 ISTRISRI WANA, S.IP (PNS
PEMKAB DEMAK)
12 ANAK-ANAK
1. IPDA WAHYU JOKO
NUGROHO, S.IK.
2. IPDA AGUNG JOKO
HARYONO, S.IK.
RIWAYAT PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
1 SDN 1 DEMAK 1972
2 SMPN 1 DEMAK 1975
3 STM PEMBANGUNAN SEMARANG (MESIN) 1980
4 SMA BETHESDA SEMARANG (IPA) 1984
5 FAK HUKUM UNTAG SEMARANG (PIDANA) 1988
6PASKA SARJANA UNDIP SEMARANG
(NOTARIAT)1996
7 PDIH (S3) UNISSULA SEMARANG 2012/2014
PENDIDIKAN KEDINASAN / POLRI
1 SECABA POLRI 1981/1982
2 KEJURUAN BINTARA RESERSE 1982
3 KEJURUAN RESMOB 1984
14
4 SECAPA REGULER POLRI 1990/1991
5 KEJURUAN PERWIRA RESERSE 1991
6SEKOLAH LANJUTAN PERWIRA POLRI
(SEKARANG : SPIMMA POLRI)2001/2002
7SPAMEN LAN RI (DIKLAT PIM TK
II/SETINGKAT SPIMMEN POLRI)2010
BIODATA PENULIS BUKU KE II
N a m a : Prof. Dr. H. GUNARTO, SH, M.HUM.
Tempat/Tgl. Lahir : Tegal/ 5 Maret 1962
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat kantor : Jl. Raya Kaligawe Km 4 Semarang
Telp (024) 6583584, Fax (024) 6582455
Alamat Rumah : Jl. Dewi Sartika IV No 79 A,
Perumahan UNDIP Semarang,
HP. : 085647233888,
E-mail : [email protected]
Data Keluarga
Nama Istri : Dra. Hj. Ida Rahmawati
Nama Anak : 1. Dean Pratama Nugraeni (alm)
2. Dafa Mumtanza Jabbar
Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri Bogares Lor kabupaten Tegal
15
2. SMP Negeri Pangkah Tegal
3. SMA Negeri 1 Slawi
4. Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1982
5. Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga tahun
1995
6. Program Ilmu Doktor Universitas Diponegoro tahun 2011
Riwayat Pekerjaan
1987 – sekarang Dosen Fakultas Hukum UNISSULA
Jabatan Sekarang : Ketua Program Magister S3 Ilmu Hukum
UNISSULA Periode 2013-2017
Pangkat Jafa : Guru Besar
Pengalaman menjadi Pejabat Struktural :
1. Ketua PANWASLU Kota Semarang (2004-2008)
2. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum UNISSULA (1997-2001)
3. Dekan Fakultas Hukum UNISSULA (2001-2005)
4. Wakil Rektor II UNISSULA (2005 – 2009)
5. Wakil Rektor II UNISSULA (2009 - 2013)
6. Ketua Program S3/Doktor Ilmu Hukum (2014-sekarang)
Buku :
1. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis (tahun 2008)
2. Relasi Politik Demokrasi dan Penegakan Hukum (tahun 2010)
3. Rekonstruksi Paradigma Penegakan Hukum (tahun 2011)
16
karya Tulis
1. Disertasi dengan judul : Rekonstruksi Konsep Kebebasan Berserikat
Melalui Serikat Pekerja Pada Hubungan Industrial Berbasis Nilai
Keadilan Menuju Kesejahteraan Pekerja, 2011
2. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Netralitas Birokrasi dalam
Pelaksanaan Perda kota Semarang Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pajak
Parkir. Dalam majalah jurnal hukum Vol. 12 No. 1 Maret 2002, ISSN
1412-2723, hal 8-17 SK Akreditasi Dirjen Dikti No.02/Dikti/Kep.2002.
3. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul: Hubungan Industrial di
Indonesia menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1
Januari 2003, ISSN 1412-2723, hal 68-69, SK Akreditasi Dirjen Dikti
No.02/Dikti/Kep/2002.
4. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Tinjauan Yuridis Penyesuaian
YayasanLama dengan UU Yayasan Baru (UU No 16 Tahun 2001 No. 13
) Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. 13 No. 2 April 2003, ISSN 1412-
2723, hal. 198-202, SK Akreditasi Dirjen Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.
5. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Optimalisasi Kinerja Serikat
Buruh, DPRD dan DISNAKERTRANS menuju Good Govermance
Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam
Majalah Jurnal Hukum Vol. XIV No. 6 Desember 2004, ISSN 1412-
2723, hal. 849-860, SK Akreditasi Dirjen Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.
6. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Nilai-nilai Islam dalam
Ketenagakerjaan Indonesia. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. XIV No.
17
6 Desember 2004, ISSN 1412-2723, hal. 962-971, SK Akreditasi Dirjen
Dikti No. 02/Dikti/Kep. 2002.
7. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Rekonstruksi Konsep
Kebebasan Berserikat Bagi Serikat Pekerja pada Hubungan Industrial
Berbasis Nilai Keadilan. Dalam Majalah Jurnal Hukum Vol. X No. 6
UNSOED Purwokerto, September 2010Terakreditasi Dirjen Dikti No.
51/Dikti/Kep. 2010, hal. 265-276.
8. Majalah Ilmiah Terakreditasi dengan judul Dampak Hubungan Industrial
yang bersifat Kapitalistik terhadap Harmonisasi Hubungan Industrial
Pengusaha dengan Pekerja. Dalam Majalah Jurnal Dinamika Hukum Vol.
XI No. 7 UNSOED Purwokerto, Pebruari 2010. Terakreditasi Dirjen
Dikti No. 51/Dikti/Kep. 2002, hal 1-15.
Tulisan di media cetak
1. Artikel di Suara Merdeka, “Jangan Memutar Mundur Sejarah”
tanggal 13 Oktober 2011, hal. 6.
2. Artikel di Suara Merdeka, “Mengindustralisasikan Hukum tanggal 21
September 2011 hal. 6.
3. Artikel di Suara Merdeka, “Mewaspadai Korupsi Kekuasaan” tanggal
17 September 2011 hal. 6.
4. Artikel di Suara Merdeka, “Pengadilan Diktator untuk Antasari”
tanggal 9 September 2011 hal. 6.
5. Artikel di Suara Merdeka, “Fantasmogaria Penegakan Hukum di
Indonesia” tanggal 3 September 2011 hal. 6.
18
6. Artikel di Suara Merdeka, “Kasus Rumit Nazzaruddin tanggal 19
Agustus 2011, hal. 6.
7. Artikel di Suara Merdeka, “Dongeng dari Negeri Illegal” tanggal 16 Juli
2011 hal. 6.
8. Artikel di Suara Merdeka, “Kejahatan elite dan Potensi Negara Gagal”
tanggal 9 Juli 2011 hal. 6.
9. Artikel di Suara Merdeka, “Langit Hukum pun Runtuh” tanggal 3
Agustus 2011 hal. 6.
Kegiatan Ilmiah:
1. Pelatihan penyusunan laporan keuangan berbasis program aplikasi
(sebagai pembicara 3 Pebruari 2000).
2. Internasional Seminar & Workshop enled : “Research and Comercial
Aplication on Multimedia Broadcasting (sebagai peserta, 17-18 Maret
2010).
3. International Seminar on Economy “An Alternative Solution for The
Global Crisis with Islamic Financial system” (sebagai peserta, 1 Juni
2010).
4. Lokakarya “Kontribusi Pemikiran Menuju Penyempurnaan Pedoman
Akademik dan Kurikulum Fakultas Hukum (sebagai peserta, 23-24 Juni
2010)
5. “International Seminar on The Enlightement of Islamic Civilization’
(sebagai peserta Nopember 2010).
6. Seminar Nasional “Rekonstruksi Sistem Hukum Nasional Berbasis Nilai-
Nilai Islam dank e Indonesiaan (sebagai peserta, Desember 2010).
19
7. Seminar International “The Development of Islamic Civilization between
Indonesia dan Maroko (sebagai peserta, Desember 2010).
8. Seminar Nasional “Format Pendidikan dan Dakwah di Era Digital
(sebagai peserta, Desember 2010).
9. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 1: Stadium
General Membangun Peradaban Islam Bersinergi dan konsisten (sebagai
peserta 3 Maret 2007).
10. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 2: Studi Peradaan
II (sebagai peserta 21 April 2007).
11. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 3: Konsep-Konsep
Kunci Islam I (sebagai peserta 2-3 JUni 2007)
12. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 4: Tantangan
Teologi Islam I (sebagai peserta 30 Juni 2007).
13. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 5: Disiplin Ilmu-
Ilmu Islam I (sebagai peserta 15 Juli 2007)
14. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 6, Disiplin Ilmu-
Ilmu Islam II (sebagai peserta 1 Nopember 2008)
15. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 7: Tantanggan
Epistemologi Islam (sebagai peserta 6 April 2008).
16. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 8: Konsep-konsep
baru dalam Islam (sebagai peserta 19-20 April 2008)
17. Rangkaian Studi Pengembangan Peradaban Islam Seri 9: impementasi
World View Islam ke dalam Kurikulum Program Studi (sebagai peserta
30 Agustus 2008)
20
BIO DATA PENULIS KE III
Nama : Sri Endah Wahyuningsih
TTL : Wonosobo 28 April 1964
S1. Undip Semarang Lulus 1988
S2. Undip Semarang Lulus 2002
S3. Undip Semarang Lulus 2011
Pekerjaan Dosen :
2002-Mengajar Perbandingan Hukum Pidana , Politik Hukum Pidana, Hukum
Pidana Lanjut, Filsafat Hukum, dan Metode Penelitian Hukum.
2007- sebagai staff pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Unissula.
2012- Mengajar Pada Program Doktor Ilmu Hukum Unissula.
2009- mengikuti Program sandwich Like di Universitas Erasmus Rotterdam
Belanda
2002-2009 Sebagai Ketua Bagian HUkum Pidana di Unissula.
2013- sebagai sekretaris bidang administrasi dan Keauangan pada Program
Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung.
Buku Yang pernah ditulis : Perbandingan Hukum Pidana Dari Perspektif
Religious Law System (2013) Penerbit Unissula Press.
21
SINOPSIS
Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk menggali danmenganalisis nilai-nilai kearifan lokal/kearifan religious yang terkadungdalam sila kedua, keempat dan kelima dari Pancasila serta melakukanrekonstruksi mengenai eksistensi konstruksi perdamaian dapat dijadikansebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkatpenyidikan tindak pidana lalu lintas; faktor-faktor yang mempengaruhi dankendala-kendala yang dihadapi dalam konstruksi hukum berkaitan denganperdamaian sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice ditingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas; dan mengenai model perdamaiandalam melaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak pidanalalu lintas berdasarkan hukum progresif.
Proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas berdasarkanhukum progresif, penyidik tetap melakukan pemeriksaan terhadap pihak yangterkait dengan kecelakaan tersebut untuk memperjelas posisi kasusnya.Selanjutnya atas kesadaran dan kesepakatan bersama kedua pihak memintakepada Penyidik agar kasus tersebut tidak dilanjutkan ke proses Pengadilandengan alasan sudah saling menerima bahwa kecelakaan lalu lintas adalahmusibah yang bisa menimpa siapa saja dan dimana saja tanpa unsurkesengajaan. Biasanya mereka sudah bermusyawarah sendiri, dan jika dimintaPenyidik membantu mediasi secara independent. Setelah sepakat kedua pihakmembuat kesepakatan bersama dan tidak saling menuntut secara hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam konstruksi hukum berkaitandengan perdamaian sebagai payung hukum dalam implementasi restorativejustice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas adalah: faktor internterdiri dari substansi perundang-undangan, instruksi pimpinan, penyidiksebagai penegak hukum dan situasi penyidikan, faktor ekstern adalahdukungan masyarakat. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi adalah asihlemahnya penegakan hukum di Indonesia, oknum aparat, pengetahuanpenyidik dan partisipasi para pihak;
Perdamaian dalam melaksanakan restorative justice di tingkatpenyidikan tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum progresif adalah tetapmengacu pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
22
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tanpa berbicara salah danbenar, namun mengedepankan sisi manusiawi.
23
BAB ISELAYANG PANDANG RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM DI
TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
Keberadaan teknologi memberikan pengaruh besar bagi perubahan
pola hidup masyarakat, semakin pesat perkembangan teknologi suatu
negara maka semakin maju pula pola hidup masyarakatnya yang salah
satunya ditandai dengan tingginya mobilitas orang dan barang. Guna
menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan mobilitas maka sarana
penunjang pergerakan yakni sistem transportasi merupakan bidang
kegiatan yang menjadi prioritas bagi bangsa Indonesia. Transportasi darat
sebagai transportasi dominan baik secara kuantitas maupun kualitas
apabila dibandingkan transportasi udara dan transportasi laut tentunya
memerlukan atensi khusus dari pemerintah dalam penyelenggaraannya.
Accident has been given many definitions, among them an event
which happens completely by chance. However, as it has been
said, “Accidents don’t just happen-accidents are caused”. A more
adequate definition would be: “an accident is an undesired an
unpleasant suddenly occurring event with human and economic
losses caused by uncontrolled disturbances in the interaction of
components in a system.1
1 Vigilijus Sadauskas, Transport: Traffic Safety Strategies, Vilnius GediminasTechnical University, Volume XVIII No. 2, Februari 2003, hlm. 79
24
Mengingat betapa strategisnya kedudukan lalu lintas dan angkutan
jalan bagi kesejahteraan masyarakat baik yang menggunakan angkutan
pribadi maupun angkutan umum paratransit dan masstransit, maka
pemerintah mengadakan lembaga berikut organ-organ pendukung yang
memadai untuk menjamin keamanaan, ketertiban, kelancaran, dan
efektifitas kegiatan lalu lintas termasuk di dalamnya untuk menanggulangi
terjadinya kecelakaan lalu lintas, disinilah peran penting organ Satuan
Lalu Lintas (selanjutnya disebut Satlantas) yang berada di bawah lembaga
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini Kepolisian Resor.
Satlantas merupakan aparat penegak hukum dalam
penyelenggaraan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia
bidang Lalu Lintas dan merupakan penjabaran kemampuan teknis
profesional khas kepolisian, yang menjalankan (1) fungsi penindakan
(politie dwang) yakni penegakan hukum lalu lintas (police traffic law
enforcement), (2) fungsi pencegahan (politie toezicht) yakni pendidikan
masyarakat tentang lalu lintas (police traffic education), (3) fungsi
pengaturan (regeling) yakni keteknikan lalu lintas (police traffic
engineering), dan (4) fungsi pemerintahan (bestuur) yakni registrasi atau
identifikasi pengemudi dan kendaraan (driver and vehicle identification).2
Diantara keempat fungsi Satlantas tersebut diatas fungsi penegakan
hukum lalu lintas seringkali menjadi tolok ukur untuk menilai kinerja
Satlantas.
2 Soerjono Soekanto, Polisi Dan Lalu Lintas Analisis Menurut Sosiologi Hukum,Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 43
25
Dalam rangka penyelenggaraan fungsi penegakan hukum lalu
lintas maka polisi lalu lintas selaku pelaksana fungsi Satlantas berperan
sebagai aparat penyidik kecelakaan lalu lintas yang dilaksanakan
berdasarkan ketentuan hukum pidana umum yakni Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta
ketentuan hukum pidana khusus yakni UU No. 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berikut peraturan-peraturan pelaksananya.
Kecelakaan lalu lintas sebagai suatu tindak pidana tentunya
mengandung sanksi pidana. Pelaku tindak pidana lalu lintas karena
kealpaannya dapat dijatuhi pidana berupa pidana penjara, kurungan, atau
denda, sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 359
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360
a. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun.
b. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
26
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah
2. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 310
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan:
a. Kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah)
b. Korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000,00- (dua juta rupiah)
c. Korban luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00-
(sepuluh juta rupiah), dalam hal kecelakaan tersebut
mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.12.000.000,00- (dua belas juta rupiah).
Pasal 311
27
a. Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan
Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
b. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta
rupiah).
c. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan
dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak
Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
d. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
e. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana
28
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Perlu dikemukakan bahwa selain bertanggungjawab secara pidana
undang-undang memberikan kesempatan bagi korban untuk mengajukan
gugatan perdata atas kerugian yang diderita atas kecelakaan yang
disebabkan perbuatan pelaku sehingga pelaku juga dapat
dipertanggungjawabkan secara perdata.
Mencermati Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 yang lebih
menitikberatkan pada perbuatan dan perlindungan hukum bagi korban
kecelakaan lalu lintas3 berupa diajukannya pelaku di muka persidangan
dengan harapan terhadap pelaku dijatuhkan putusan pidana. Mendasarkan
pada pola pemikiran (mindset) formalistik demikian ini maka penyidik
Satlantas dalam pelaksanaan fungsi penegakan hukum cenderung
melakukan kriminalisasi yakni entah dengan bukti-bukti cukup ataupun
tidak dengan penggunaan pasal-pasal sedemikian rupa tetap melanjutkan
proses formil pidana (criminal justice system) hingga ke tahap penuntutan
oleh Kejaksaan Negara Republik Indonesia dan bermuara pada lembaga
peradilan.
3 Dalam ilmu hukum pidana dikenal studi viktimologi. Secara etimologi, viktimologiberasal dari kata victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Secaraterminologi, viktimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban dan segala aspeknyakhususnya menyangkut penyebab timbulnya korban dan akibat dari timbulnya korban sebagaisuatu kenyataan sosial. Studi viktimologi bertujuan untuk memahami dan meminimalisirviktimisasi kriminal sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan mengantisipasiperkembangan kriminalitas dalam masyarakat (Viktimologi, www.replaz.blogspot.com),diakses pada 31 Agustus 2013.
29
Kebijakan hukum pidana yang tidak memandang secara setara
(equal) kedudukan pelaku (offender) dan korban (victim) sungguh tidak
mencerminkan prinsip-prinsip keadilan khususnya apabila dilihat dari segi
pelaku mengingat terjadinya kecelakaan pada hakikatnya dilandasi atas
suatu kealpaan (culpa) bukan kesengajaan (dolus), sedangkan untuk
seseorang dapat dijatuhi pidana maka selain terbukti adanya perbuatan
(actus reus) juga harus terkandung niat batin jahat (mens rea), dan yang
patut diingat bahwa pelaku pun turut menderita kerugian baik secara fisik,
moral, maupun ekonomis. Kecuali untuk pelaku dalam kecelakaan lalu
lintas yang terjadi dengan corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan
(dolus evantualis) maka proses hukum terhadap pelaku tersebut perlu
diteruskan sampai ke pengadilan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci“ (mission sacree)
lembaga peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi
hukum itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell
Holmes, “The Supreme court is not court of justice, it is a court of law“,
melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu
maupun bagi masyarakat, bangsa dan Negara; bahkan keadilan yang
dimaksud adalah keadilan Demi Tuhan yang Maha Esa, sehingga
terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, tenang, tentram,
tertib dan damai.
Pemikiran tentang pemidanaan dalam perkembangannya kemudian
bergerak ke arah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana
30
merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi semua pihak pun menjadi
wacana yang paling mutakhir dipikirkan orang saat ini.
Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang
dianggap dapat memenuhi tuntutan itu. Pengembalian otoritas
penyelesaian pidana dari lembaga peradilan sebagai wakil negara kepada
masyarakat melalui pendekatan keadilan restoratif dimana korban dan
masyarakat merupakan komponen yang harus ada dan menentukan.
Barb Toews melihat bahwa perhatian terhadap korban merupakan
“core values” dari keadilan restoratif.4 Meskipun perhatian terhadap
pelaku juga tidak kurang porsinya dibandingkan dengan teori sebelumnya.
Makna yang terkandung dalam konsep rehabilitasi, resosialisasi, restitusi,
reparasi dan kompensasi tampaknya hanya merupakan bagian dari konsep
yang terkandung dalam restoratif.
Pandangan penulis utamanya didasarkan pada karakteristik dasar
dari filosofi pemidanaan yang mendasari keadilan restoratif yang berbeda
dengan teori-teori yang ada. Bila teori-teori yang ada melihat pemidanaan
sebagai suatu tindakan yang dipaksakan (utamanya oleh lembaga
pengadilan) dan pelaku melaksanakannya sebagai tindakan terpaksa, maka
unsur kesukarelaan menjadikan keadilan restoratif sebagai suatu
pandangan atas pemidanaan yang berbeda.5
4 Barb Toews, Little Book of Restorative Justice for People in Prison: Rebuilding theWeb of Relationships, Intercourse, PA: GoodNooks, 2006, hlm. 37-42. Restorative justice,with its emphasis on indentifying the justice needs of everyone involved in a crime, is helpingrestore prisoners sense of humanity while holding them accountable for their actions.
5 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung,Bandung, 2011, hlm. 64
31
Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan
bahwa restorative justice are not “alternative to punishment” but
alternative punishment. Sementara Stephen VP Grvey menyatakan
keadilan restoratif sebagai a way of responding to crime. Meskipun
dinyatakan adanya perbedaan mendasar antara konsep keadilan restoratif
dengan teori pemidanaan yang ada saat ini, namun tidak sedikit yang
memandang bahwa teori ini pada dasarnya hanya melengkapi teori lain
dan berhubungan dengan elemen-elemen yang ada dalam paradigma
retributif, rehabilitatif, resosialisasi sebagai paradigma pemidanaan
lainnya yang telah ada terlebih dahulu.6
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran
paling mutakhir dari berbagai modal dan mekanisme yang bekerja dalam
sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada
saat ini. PBB melalui basic principles yang telah digariskannya menilai
bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat
dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan
dengan pandangan G.P Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik
kriminal harus rasional (a rational total of the responses to crime).7
Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat
dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang
bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan
pidana yang ada saat ini.
6 VP Grevey dalam Eva Achjani Zulfa, Opcit, hal 64.7 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 15-16
32
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran dengan
metode mediasi penal (mediation in criminal cases) yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan
dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada
pada saat ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu
kerangka berpikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu
tindak pidana bagi aparat penegak dan pekerja hukum yang dilakukan
melalui diskresi (discretion) aparat penegak hukum.
Mediasi penal (mediation in criminal cases) atau dikenal yang
dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam ranah hukum
privat (bijzondere belangen) merupakan suatu upaya penyelesaian hukum
alternatif yang menempuh jalur lain daripada cara-cara penyelesaian
perkara secara yuridis tradisional.8 Salah satu faktor pendorong lahirnya
konsep mediasi penal (mediation in criminal cases) ialah meningkatnya
volume perkara dengan beragam jenisnya yang diajukan ke pengadilan
yang menjadi beban bagi pengadilan untuk melakukan pemeriksaan dan
mengadilinya. Kemampuan organisasi pengadilan yang terbatas baik
secara teknis maupun sumber daya manusia menyebabkan penumpukan
kasus di pengadilan yang tentunya tidak sejalan dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan.
8 Adiranus E. Meliala, 2006, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi danPotensinya di Indonesia”, dikutip dari http:/www.adrianusmeliala.com, hlm. 3, diakses pada5 Oktober 2013.
33
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa mediasi penal
(mediation in criminal cases) terhadap perkara pidana dilaksanakan
melalui diskresi. Diskresi menurut Roescoe Pound sebagaimana dikutip
oleh R. Abdussalam diartikan sebagai “an authority conferred by law to
act in certain condition or situation; in accordance with official’s or an
official agency’s own considered judgement and conscience”,9 artinya
suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak
pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan
nuraninya. Diskresi dalam lembaga Kepolisian telah diatur dalam Pasal 18
ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sebagai berikut:
Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Sedangkan dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan
bahwa:
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
9 Roescoe Pound, dikutip dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum di LapanganOleh Polri, Dinas Hukum Polri, Jakarta, 1997, hlm. 25-26
34
(2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
(3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
(4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
dan
(5) menghormati hak asasi manusia.
Tindakan diskresi yang dilaksanakan oleh pihak penyidik
dilakukan dengan alasan bahwa tindakan ini dapat mengefektifkan
penyelesaian tindak pidana lalu lintas, dimana tersangka melakukan
pelanggaran lalu lintas dan karena kelalaiannya menyebabkan orang lain
meninggal dunia dan luka-luka. Namun tindakan tersebut menulai
permasalahan yang pelik, yang mana di satu sisi tindakan diskresi ini
merupakan aplikasi dari hukum pidana yang dilakukan sesuai dengan
kebijakan sendiri untuk mengefektifkan hukum yang berjalan secara kaku,
sedangkan di sisi lain tindakan ini menjadi batu sandungan bagi pihak
penegak hukum khususnya penyidik yang mana penyidik selalu
disalahkan atas pelaksanaan diskresi yang dilakukan karena tindakan
diskresi tersebut memunculkan diskriminasi dalam penerapan hukumnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas sehubungan dengan
pokok bahasan dalam tulisan ini maka penyidik lalu lintas memiliki peran
yang sangat penting bagi terciptanya restorative justice mengingat
penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian
35
perkara pidana yakni dengan melakukan penyelesaian perkara kecelakaan
lalu lintas melalui mediasi penal (mediation in criminal cases), terlebih
semangat (spirit) telah terkandung dalam Pasal 236 ayat (2) UU No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagai berikut:
Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi
kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat.
Mediasi penal (mediation in criminal cases) dalam kerangka
diskresi kepolisian (police discretion) adalah merupakan sebuah upaya
progresif yang hanya berkembang dalam praktek dan bukan merupakan
tindakan hukum penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf i jo Pasal 109 ayat (2) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, fakta
hukum menyatakan bahwa tindakan mediasi penal (mediation in criminal
cases) adalah belum memiliki landasan hukum formil dalam sistem
peradilan pidana Indonesia, oleh karenanya untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan atau untuk melahirkan
payung hukum bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya maka perlu
diformulasikan suatu parameter obyektif dan mekanisme pelaksanaan
mediasi penal (mediation in criminal cases) dalam penyidikan perkara
kecelakaan lalu lintas demi tercapainya keadilan berbasis restorative
justice sehingga dipandang sangatlah perlu bahwa hukum formal yang
berkaitan dengan hal tersebut dilakukan rekonstruksi.
36
Pasal 7 ayat (1)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan
penghentian penyidikan.
Pasal 109 ayat (2)
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
maka penyidik memberitahukan hal, itu kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya.
37
BAB IIKONSEP PERDAMAIAN DALAM TINDAK PIDANA LALU LINTAS
1. Konsep Perdamaian
a. Perdamaian Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan al- islah yang
berarti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa
atau kerusakan, berusaha menciptakan perdamaian, membawa
keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu
dan lainya melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang
suci.10
Al-Qur'an menjelaskan Islah merupakan kewajiban umat
Islam baik secara personal maupun sosial penekanan islah ini lebih
terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam
rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.
Damai mempunyai arti tidak bermusuhan, keadaan tidak
bermusuhan, berbaik kembali, tentram, aman, sedang
mendamaikan, memperdamaikan yaitu menyelesaikan permusuhan
(pertengkaran) supaya kedua belah pihak berbaikan kembali,
merundingkan supaya mendapat persetujuan, dan mendamaikan
sendiri mempunyai arti sendiri penghentian permusuhan.11
10 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Intermansa, Jakarta, 1997, hlm. 74011 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet, Ke-8, P.N. Balai
Pustaka, Jakarta, 1985, hlm. 225
38
Ruang lingkup perdamaian sangat luas baik pribadi
ataupun sosial. Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT
adalah dalam hal masalah rumah tangga. Untuk mengatasi kemelut
dan sengketa dalam rumah tangga (syiqoq dan nusyus) dalam Al-
Qur’an Surat An-nisa' ayat 35, ditegaskan bahwa setiap terjadi
persengketaan diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam)
dari pihak suami atau istri untuk mendamaikan mereka. Dalam hal
ini, ulama' fiqih sepakat untuk menyatakan bahwa kalau hakam
(juru damai dari pihak suami atau istri) berbeda pendapat maka
putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam sama-
sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali,
maka putusanya harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.12
Ayat ini juga menjelaskan tentang pengangkatan hakim,
jika kamu tahu ada pertengkaran antara suami istri, sedangkan
kamu tidak mengetahui siapa yang bersalah dan mereka terus
mempersengketakan ayat ini menunjukkan kebolehan mengangkat
hakim.13
Di kalangan umat Islam dulu juga dikenal dengan adanya
tahkim. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam tahkim adalah
berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang
mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusannya
12 Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,1996, hlm. 1750
13 Teungku Muhammad Hasby Ash-shiddieqy, Al Bayan, Tafsir Penjelas Al-Qur'anul Karim, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 193
39
untuk menyelesaikan persengketaan mereka berlindungnya dua
pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai
penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan
yang terjadi di antara mereka yang sedang bersengketa.14
Suatu perdamaian harus ada timbal balik dalam
pengorbanan pada diri pihak-pihak yang berperkara maka tiada
perdamaian apabila salah satu pihak dalam suatu perkara mengalah
seluruhnya dengan cara mengakui tuntutan pihak lawan
seluruhnya, demikian pula tidak ada suatu perdamaian apabila dua
pihak setuju untuk menyerahkan penyelesaian perkara kepada
arbitrase (pemisah) setuju tunduk pada suatu nasehat yang akan
diberikan oleh orang ketiga (binded advies).15
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 sudah dijelaskan
dengan adanya asas wajib mendamaikan. Ini sebagai pedoman
untuk para hakim di Pengadilan Agama untuk mengusahakan jalan
damai dalam setiap perkara yang masuk di pengadilan.
Dari pengertian perdamaian di atas, dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan upaya damai yaitu usaha yang dilakukan
oleh seseorang atau suatu badan hukum untuk mengadakan
pemecahan persoalan dengan cara menghindari persoalan yang
lebih fatal. Di mana dalam hal ini tidak boleh memaksakan
kehendak dari pihak-pihak yang bertikai sifat mendamaikan hanya
14 Aziz Dahlan, Op. Cit., hlm. 175015 Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata,
Bineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 3
40
memberi nasehat dan anjuran untuk membatalkan gugatan tersebut
dan menyelesaikanya dengan jalan damai.
Pelaksanaan upaya perdamaian ini tidaklah mudah, sebab
orang yang sedang bersengketa hatinya masih tertutup dan
diselimuti rasa tidak suka dan kebencian yang sangat dalam.
Misalkan saja dalam kasus perceraian, yang mana mereka sedang
dilanda krisis rumah tangga yang sedang bermasalah. Dalam hal
ini Allah telah memerintahkan agar setiap keluarga yang
menghadapi krisis rumah tangganya untuk melihat jauh ke depan
dan memikirkan segala akibatnya putusnya perkawinan.
Anjuran damai dari hakim sudah dilakukan sejak sidang
pertama sebelum pembacaan surat gugatan, hal ini seperti kurang
rasional, sebab bagaimana hakim tahu dan bisa menganjurkan
damai, jika hakim sendiri belum tahu duduk perkaranya. Begitu
pula, sebelum penggugat membacakan gugatan apakah tidak
mungkin penggugat mengubah gugatannya.16
Anjuran damai sebenarnya dapat dilakukan kapan saja
sebelum perkara belum diputus, tetapi anjuran damai pada
permulaan sidang pertama adalah mutlak dan wajib dilakukan dan
dicantumkan dalam berita acara persidangan karena ada keharusan
16 Lihat HIR Pasal 130-131
41
yang menyatakan demikian, walaupun mungkin secara logika,
kecil sekali kemungkinanya.17
Dalam usaha mewujudkan perdamaian melibatkan
beberapa pihak antara lain:
1) Pihak yang berselisih.
2) Pendamai atau hakim yang diangkat dari pihak hakim atau
hakamain.18
Dari kedua keluarga ahli fiqih dalam hal ini menetapkan
bahwa hakim itu hendaknya orang yang mempunyai sifat hakim,
yaitu dapat dijadikan saksi dan benar-benar mempunyai keahlian
untuk bertindak sebagai hakam. Dalam hukum Islam usaha
mendamaikan sengketa merupakan usaha yang harus terus
dilakukan agar jalinan keluarga bertahan untuk selama-lamanya.
Kisas-diat merupakan salah satu aturan dalam syari’at
Islam mengenai hukum pidana dan berlaku bagi tindak pidana-
tindak pidana yang berkaitan dengan pembunuhan dan
penganiayaan. Kisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisās
bermakna an yaf’ala bil-fā’il mi£la mā fa’ala1 yang berarti
melakukan seperti apa yang telah dilakukan pelakunya. Sedangkan
diat yang berasal dari bahasa Arab ad-diat (singular) atau diyāt
17 Raikhan Rashyd, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet I, CV. Rajawali, Jakarta,1991, hlm. 95-96
18 Hakamaian berdasarkan pengertian surah an-Nisa' ayat 35 ditafsirkan oleh paraulama' fiqih sebagai juru damai yang terdiri atas wakil dari pihak suami dam wakil dari pihakistri, untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang yang dihadapi oleh pasangan suami istri.Lihat dalam kitab Risalatun Nikah, Gema Insani, Press, Jakarta, Cet I, 1999, hlm .158.
42
(plural) adalah bentuk ma¡dar (bentuk jadian) dari wadā yang
berarti mā yu’ta in al-māl badala an-nafs al-qatīl (harta yang
diberikan sebagai ganti dari jiwa yang terbunuh). Bentuk asli dari
ad-diat adalah al-wad. Huruf ta’ digunakan sebagai ganti dari
huruf wau yang dibuang sebagaimana dalam kata ‘iddat.19
Semua fuqaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan hal
yang haram dilakukan dan memiliki implikasi di dunia dan akhirat.
Di akhirat pelaku pembunuhan (sengaja) mendapatkan balasan
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 93,
yaitu dimasukkan dan disiksa ke dalam neraka Jahanam, dimurkai
serta dikutuk oleh Allah. Bahkan sebagaimana disebutkan oleh Ibn
Katsir, membunuh seseorang dengan sengaja merupakan dosa
besar yang dalam beberapa ayat al-Qur'an disejajarkan dengan
dosa syirik.20 Namun demikian, para ulama berbeda pendapat
mengenai dapat diterima atau tidaknya taubat seseorang yang telah
membunuh dengan sengaja.21
Sedangkan bentuk hukuman pembunuhan di dunia adalah
sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 178 dan 179, yaitu:
19 Luis Ma’luf, Al-Munjid fī al-Lugah wa al-I'lām, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986,hlm. 631
20 Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafs³r al-Qur’ān al’Adzīm, ttp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth., hlm. 535
21 ‘Ali ash-Shabuni, Rawāi' al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur'ān,(Damaskus: Maktabah al-Ghazali, tth.), hlm. 504-505. Lihat juga Al-Imam al-Jalil al-Hafiz‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al’Adzīm…, hlm. 536
43
178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara
yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih[111].
179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
44
1) diberikan sanksi pidana kisas yang setara kepada pelaku
pembunuhan tersebut; atau
2) membayar diat (ganti rugi) kepada keluarga korban dengan
syarat keluarga korban memberikan maaf kepada pelaku
pembunuhan.
Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 92 menjelaskan tentang
pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan.
Sanksi pidana bagi pembunuhan tidak sengaja adalah
memerdekakan hamba sahaya (budak) yang beriman sebagai
kaffarah (penebus dosa) serta diwajibkan membayar diat atau ganti
45
rugi kepada keluarga korban. Terdapat dua kategori sanksi pidana
dalam ayat pembunuhan tidak sengaja ini, yaitu:
1) jika korban adalah dari kaum mukmin, namun bermusuhan
dengan pelakunya, maka pidana hanya berupa kaffarah yaitu
memerdekakan hamba sahaya.
2) jika korban adalah orang kafir yang telah ada perjanjian damai
dengan kaum mukmin, dikenakan pidana ganda, yaitu
membayar diat atau ganti rugi kepada keluarga korban serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin sebagai kaffarah-
nya.
Ditinjau dari segi ilmu u¡ul al-fiqh, kebanyakan aturan-
aturan pidana dalam al-Qur’an, termasuk di dalamnya aturan
mengenai kisas dan diat, masuk dalam kategori lafdz yang khafi,
dzahir, dan nass. Lafaz khafi adalah lafdz yang maknanya terang
tapi tidak jelas cakupan kategori dan kriterianya, sementara lafdz
dzahir adalah lafaz yang maknanya segera dipahami tetapi
pemahaman itu tidak sesuai dengan konteks kalimat dan lafdz nass
adalah lafaz yang maknanya terang yang sesuai dengan konteks
kalimat.
Ketiga lafaz tersebut masih mungkin untuk ditafsiri,
ditakwil dan dapat menerima naskh.22 Dalam ushul fiqh untuk
22 Ali Hasaballah, Ushūl al-Tasyri’ al-Islāmi, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1971, hlm. 263-268
46
memperjelas dan menemukan makna yang tepat dari tiga jenis
lafaz tersebut masih memerlukan pentakwilan dan ijtihad.
Sebagai gambaran, lafdz “al-qatlā” dalam surat al-Baqarah
ayat 178 merupakan lafdz dalam kategori khafi, dalam arti bahwa
maknanya terang yaitu “pembunuhan” namun belum jelas
mengenai cakupan kategori dan kriterianya. Misalnya kemudian
muncul pertanyaan, siapa yang membunuh? Siapa yang dibunuh?
Bagaimana cara membunuhnya? Contoh lain adalah pembayaran
diat. Al-Qur'an hanya menyebutkan kewajiban membayar diat jika
si pembunuh dimaafkan atau jika terjadi pembunuhan yang tidak
disengaja. Berapa besar jumlah yang harus dibayarkan dan siapa
yang berkewajiban membayar tidak disebutkan secara jelas dalam
al-Qur'an.
Oleh karena itu kemudian para fuqaha’ menetapkan hukum
Islam dengan dasar beberapa hadis Nabi yang menjelaskan lebih
lanjut mengenai ketentuan kisas-diat dalam al-Qur’an, serta
berusaha melakukan ijtihad apabila jawaban dari persoalan yang
ditanyakan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun
yang muncul kemudian adalah adanya perbedaan penafsiran
karena masing-masing fuqaha' (baca: mazhab atau aliran dalam
hukum Islam) memiliki pandangan dan dasar sendiri. Apabila
keluarga korban atau wali terbunuh memberikan maaf kepada
pelaku pembunuhan, maka si pelaku diwajibkan membayar diat
47
dengan jumlah tertentu. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai
jumlah diat yang harus dibayarkan kepada keluarga korban.
Sedangkan untuk tindak pidana takzir, dalam Ensiklopedi
Fiqh Umar bin Khattab sebagaimana disadur oleh Sri Endah
Wahyuningsih23 bahwa pengertian takzir adalah hukuman yang
diwajibkan karena adanya kesalahan, dimana pemberi syari’at
tidak menentukan hukumannya secara tertentu.
Menurut Fathi ad-Duraini sebagaimana disadur oleh Sri
Endah Wahyuningsih24 bahwa takzir adalah hukuman yang
diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan
kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan
tujuan syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada
seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang
wajib atau mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya
itu tidak termasuk dalam katagori hudud dan kaffarat, baik yang
berhubungan dengan hak Allah SWT berupa gangguan terhadap
masyarakat umum, keamanan mereka serta perundang-undangan
yang berlaku, maupun yang terkait dengan hak pribadi.25
Sedangkan para fukaha mengartikan takzir dengan
hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadist yang
berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah SWT dan
23 Sri Endah Wahyuningsih, Perbandingan Hukum Pidana dari Perspektif ReligiousLaw System, Unissula Press, 2012, hlm. 74.
24 Sri Endah Wahyuningsih, Op Cit, hlm. 75.25 Ibid.
48
hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada sim
terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan
serupa.26
b. Perdamaian Dalam Pandangan KUH Perdata
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa:
1) Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851);
2) Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih (Pasal 1313):
3) Tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari
suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian.
Perdamaian ini tidak sekali-kali menghalangi Jawatan
Kejaksaan untuk menuntut perkaranya (Pasal 1853);
4) Segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu
kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang
penghabisan. Tidaklah perdamaian itu dibantah dengan alasan
kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah
satu pihak dirugikan (Pasal 1858).
Ditinjau dari substansi pasal-pasal tersebut, apabila hal
tersebut kemudian diadopsi ke dalam ranah implementasi
26 Ibid.
49
penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas maka akan
menghasilkan penyelesaian perkara dengan nilai kualitas keadilan
yang tertinggi karena:
1) Sifat kesukarelaan dalam proses
Para pihak percaya bahwa alternatif penyelesaian
sengketa memberikan jalan keluar yang potensial untuk
penyelesaian masalah dengan lebih baik dibandingkan dengan
prosedur litigasi.
2) Prosedur yang cepat
Karena prosedur ini bersifat informal, pihak-pihak yang
terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat
penggunaannya. Hal ini akan mempercepat proses
penyelesaian masalah sehingga mencegah terjadinya
penundaan dan berlarut-larutnya suatu masalah, seperti yang
biasa dialami apabila masalah tersebut diselesaikan melalui
proses litigasi di pengadilan.
3) Keputusan non yudisial.
Wewenang untuk membuat keputusan tetap berada
pada pihak-pihak yang terlibat atau tidak didelegasikan kepada
pembuat keputusan dari pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa
pihak-pihak yang terlibat mempunyai lebih banyak kontrol dan
mampu memperkirakan hasil-hasil sengketa yang akan dicapai.
4) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat
penyelesaian masalah
50
Prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur
litigasi di pengadilan yang sangat terbatas pada pembuatan
keputusan pengadilan yang didasarkan pada titik sempit
hukum.
5) Hemat waktu
Dalam proses penyelesaian masalah melalui proses
litigasi di pengadilan sering mengalami keterlambatan yang
cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan
hingga putusan.
6) Hemat biaya
Besarnya biaya biasanya ditentukan oleh lamanya
waktu yang dipergunakan. Dalam banyak hal, waktu adalah
uang dan penundaan penyelesaian masalah memerlukan biaya
yang sangat mahal.
7) Pemeliharaan hubungan
Hal ini berbeda dengan keputusan pengadilan yang
menempatkan satu pihak di posisi yang menang serta pihak
lain di posisi yang kalah, sehingga dapat memunculkan
permusuhan di antara mereka.
8) Keputusan yang bertahan sepanjang waktu
Keputusan ini biasanya bertahan sepanjang waktu, jika
kemudian di kemudian hari persengketaan itu menimbulkan
masalah, pihak-pihak yang terlibat lebih memanfaatkan bentuk
51
pemecahan masalah yang kooperatif dibandingkan dengan
menerapkan pendekatan yang adversarial atau pertentangan.27
Namun demikian, kendala hukum dalam implementasinya
adalah substansi dari Pasal 1853 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata sebagaimana tersebut di atas yang masih membuka
peluang untuk proses penyidikan tindak pidana berdasarkan
hukum acara pidana, sehingga memerlukan creative breakthrough
melalui penelitian disertasi ini.
2. Pengertian, Asas dan Tujuan Lalu Lintas Angkutan Jalan
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud
dengan lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud dengan
lalu lintas itu sendiri adalah gerak kendaraan dan orang di Ruang Lalu
Lintas Jalan. Sedangkan angkutan adalah perpindahan orang dan/atau
barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
27 Christopher W. Moore, Mediasi Lingkungan, Jakarta: ICEL dan CDR Associates,1995, hlm. 86
52
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. Asas transparan;
Yang dimaksud dengan ”asas transparan” adalah
keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang
benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai
kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
b. Asas akuntabel;
Yang dimaksud dengan ”asas akuntabel” adalah
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Asas berkelanjutan;
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah
penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan
persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum
pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
d. Asas partisipatif;
Yang dimaksud dengan ”asas partisipatif” adalah
pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan
kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan,
53
penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait
dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
e. Asas bermanfaat;
Yang dimaksud dengan “asas bermanfaat” adalah semua
kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
f. Asas efisien dan efektif;
Yang dimaksud dengan “asas efisien dan efektif” adalah
pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
g. Asas seimbang;
Yang dimaksud dengan ”asas seimbang” adalah
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus
dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana
serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan
penyelenggara.
h. Asas terpadu;
Yang dimaksud dengan “asas terpadu” adalah
penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan
kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar
instansi pembina.
54
i. Asas mandiri
Yang dimaksud dengan ”asas mandiri” adalah upaya
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui
pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional.
Sedangkan menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan modal angkutan
lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan
kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi
masyarakat.
3. Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas
dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
55
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas
dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas
dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pada Pasal 310 ayat (4) dijelaskan bahwa setiap orang yang
mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang
lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah). Jadi jelas bahwa pidana yang diberikan terhadap
orang yang melanggar Pasal 310 ayat (4) cukup berat.
56
Penerapan UU atau peraturan yang menyangkut kebiasaan
masyarakat memang memerlukan waktu dan pendekatan yang lebih
panjang dan berkelanjutan. Dalam UU No. 22 Tahun 2009, aturan
belok kiri jalan terus yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
diatur dalam Pasal 112 ayat (3) bahwa pengemudi yang melewati
persimpangan yang terdapat lampu lalin tidak boleh langsung belok
kiri, kecuali diatur oleh rambu lain. Peraturan ini perlu disosialisasikan
lebih luas dan berkelanjutan karena menyangkut kebiasaan yang sudah
terbentuk di masyarakat.
Polemik penerapan UU seperti UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan seharusnya bisa disikapi dengan program sosialisasi yang lebih
terarah dan terukur. Misal pada kegiatan sosialisasi Pasal 107 tentang
kewajiban menyalakan lampu utama pada siang dapat disosialisasikan
kepada masyarakat tentang hasil riset/penelitian yang mendasari
dibuatnya peraturan tersebut. Sebagaimana tesis mahasiswa ITB
tentang dampak silau penyalaan lampu pada siang hari. Hasil
penelitian tentang turunnya angka kecelakaan setelah di suatu daerah
dimana aturan ini diuji coba. Penelitian lain yang mungkin bisa
dipaparkan kepada masyarakat adalah berapa besar pengaruh
penyalaan lampu pada siang hari mempengaruhi usia pakai lampu.
Hasil-hasil penelitian semacam itu akan menjawab pro-kontra yang
timbul di masyarakat karena masyarakat akan lebih bisa menerima
bukti ilmiah yang masuk akal ketimbang wacana dan himbauan
belaka.
57
Di samping peraturan yang masih menjadi pro-kontra. Aparat
penegak hukum juga menjadi sorotan, karena berfungsi tidaknya
sebuah peraturan akan sangat tergantung pada kinerja dan sikap para
penegak hukumnya. Jika dalam usaha Kepolisian mensosialisasikan
peraturan baru diwarnai oleh pelanggaran aturan oleh Kepolisian
sendiri maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menerima
peraturan baru tersebut, walaupun peraturan itu mengatasnamakan
kepentingan masyarakat.
Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, juga mengatur mengenai kewajiban pemerintah,
seperti yang tercantum dalam Pasal 213 yang berisi: (1) Pemerintah
wajib mengawasi kepatuhan Pengguna Jalan untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. (2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib:
a. Merumuskan dan menyiapkan kebijakan, strategi, dan program
pembangunan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah
lingkungan;
b. Membangun dan mengembangkan sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang ramah lingkungan;
c. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan
Angkutan Umum, pemilik, dan/atau Pengemudi Kendaraan
Bermotor yang beroperasi di jalan; dan
58
d. Menyampaikan informasi yang benar dan akurat tentang
kelestarian lingkungan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Juga Pasal 238 dan 239 tentang kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah, yang berbunyi:
(1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan,
sarana, dan Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab
kecelakaan.
(2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan
penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 239
(1) Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas yang disahkan DPR pada 22 Juni 2009 lalu, terdapat beberapa
sanksi yang dikenakan bagi pelanggaran lalu lintas, sebagai berikut:
a. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda
paling banyak Rp 1 juta (Pasal 281).
b. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang memiliki SIM namun
tak dapat menunjukkannya saat razia dipidana dengan pidana
59
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250
ribu (Pasal 288 ayat (2)).
c. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tak dipasangi Tanda
Nomor Kendaraan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 282).
d. Setiap pengendara sepeda motor yang tak dilengkapi kelayakan
kendaraan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson,
pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250
ribu (Pasal 285 ayat (1)).
e. Setiap pengendara mobil yang tak dilengkapi kelayakan kendaraan
seperti spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu rem,
kaca depan, bumper, penghapus kaca dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500
ribu (Pasal 285 ayat (2)).
f. Setiap pengendara mobil yang tidak dilengkapi dengan
perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak,
pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda
paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 278).
g. Setiap pengendara yang melanggar rambu lalu lintas dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling
banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat (1)).
60
h. Setiap pengendara yang melanggar aturan batas kecepatan paling
tinggi atau paling rendah dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu (Pasal 287 ayat
(5))
i. Setiap pengendara yang tak memiliki Surat Tanda Nomor
Kendaraan atau STNK dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 288
ayat (1))
j. Setiap pengemudi atau penumpang yang duduk di samping
pengemudi mobil tak mengenakan sabuk keselamatan dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling
banyak Rp 250 ribu (Pasal 289).
4. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana
a. Kesengajaan
1) Pengertian Kesengajaan
Pengertian tentang “kesengajaan” tidak terdapat di
dalam KUH Pidana, petunjuk untuk dapat mengetahui arti
tentang “kesengajaan” dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan bahwa “kesengajaan” (opzet)
sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en
wetens).28
28 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip,Semarang, 1990, hlm. 102
61
Ini sama dengan Pasal 18 KUHP Swiss, yang bunyinya
“Whoever commits an act knowingly and willingly commits the
act with imtemt”, menurut Crimineel Wetboek Nederland
Tahun 1809 (Pasal 11) “sengaja” (opzet) itu adalah maksud
untuk membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh
Undang-undang. Definisi seperti itu adalah sesuai dengan
pengertian “sengaja” menurut Hukum Adat Indonesia dan
Hukum Pidana Anglo Saxon, termasuk Amerika Serikat.29
Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti
menghendaki dan mengetahui apa yang dilaksanakan. Orang
yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki
perbuatan itu dan di samping itu mengetahui atau menyadari
tentang apa yang dilakukan itu.
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur
kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena
biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah
orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
Dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari,
seseorang dengan suatu pergaulan sering mengakibatkan
sekedar kerusakan, kalau ia akan menghindarkan diri dari suatu
celaan, hampir selalu berkata, “Saya tidak sengaja.” Biasanya,
apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak
29 Zainal Abidin Fareid, HA, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.266
62
dengan sengaja itu dimaafkan oleh pihak yang menderita
kerugian. Artinya, tidak dikenai hukuman apa pun.
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari
tindak pidana, yaitu kesatu: perbuatan yang dilarang, kedua:
akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan
ketiga: bahwa perbuatan itu melawan hukum.30
2) Teori-Teori Kesengajaan
a) Teori Kehendak (Wilstheorie)
Teori paling tua ini diajarkan oleh Von Hippel
(1903) seorang guru besar di Gottingen, Jerman, dalam
bukunya berjudul “Die Grenze von Vorsats und
Fahrlassigkeit” yang berpendapat bahwa “kesengajaan”
(vorsatz) adalah kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat karena
perbuatannya itu, seperti yang dirumuskan dalam undang-
undang pidana. Suatu akibat dikehendaki jika akibat itu
lahir dari perbuatan yang betul-betul dikehendaki. Teori ini
diikuti oleh Zevenbergen dan Simons (Belanda).31
Teori kehendak menganggap kesengajaan (opzet)
ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana
dikehendaki oleh si pelaku. Teori kehendak menganggap
kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu mulai
30 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,Bandung, 2003, hlm. 66.
31 Sudarto, Op Cit, hlm. 102.
63
melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa
akibat yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu
ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu. Misalnya
seorang yang menembak orang lain yang sebagai akibatnya
kemudian meninggal dunia, menurut teori kehendak
(wilstheorie) melakukan tindak pidana pembunuhan
dengan sengaja oleh karena si pelaku itu menghendaki
matinya orang lain itu.
b) Teori Pengetahuan atau Membayangkan (voorstellings-
theorie)
Frank (1907) seorang guru besar di Tubingen,
Jerman, yang mendapat sokongan kuat dari Von Listz di
Nederland dan penganutnya antara lain adalah Von Hamel
yang berpendapat bahwa “sengaja” berarti membayangkan
akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tidak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa
yang diketahui atau yang dibayangkan oleh si pembuat
ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.32 Dalam
karangannya berjudul “Ueber den Aufbau des Schuldbegriffs”, dalam Festschrift Giezen,
menentang teori Von Hippel. Berdasarkan alasan psikologis, tidaklah mungkin suatu
32 Ibid
64
akibat dapat dikehendaki. Yang dapat dikehendaki ialah perbuatan sedangkan akibat
hanya dapat diingini, diharapkan dan dibayangkan kemungkinan akan terwujudnya.33
Menurut Van Hattum, dalam praktek hasil yang dicapai
oleh para penganut teori kehendak dan teori bayangan adalah
pada umumnya sama. Perbedaannya hanyalah terletak di
bidang psikologis dan bukan di bidang hukum, perbedaan lain
menurut Mulyatno yaitu pada cara membuktikan kesengajaan,
yaitu lebih mudah membuktikannya kalau digunakan terori
bayangan atau teori pengetahuan.34
Menurut teori bayangan (voorstellingstheorie) si pelaku
ini dapat dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan
dengan sengaja karena ia, pada waktu menembak, mempunyai
bayangan atau gambaran dalam pikirannya bahwa orang yang
ditembak itu akan meninggal dunia sebagai akibat tembakan
itu, dan kemudian si pelaku menyesuaikan perbuatannya
berupa menembak dengan akibat yang dibayangkan itu.35
3) Corak kesengajaan
Di negara-negara yang menganut sistem Eropa
Kontinental, para pengarang membedakan tiga corak sikap
batin (gradatie) “kesengajaan” yang menunjukkan tingkatan
atau bentuk dari “kesengajaan” itu , yaitu:
33 Zainal, Op Cit, hlm. 28434 Ibid, hlm. 28635 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 67.
65
a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk
mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus.
Corak kesengajaan ini merupakan bentuk
kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si
pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak
akan berbuat demikian. Ia menghendakai perbuatan beserta
akibatnya.36 Menurut Vos, sengaja sebagai maksud terjadi
jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya,
dengan kata lain, anadaikata pembuat sebelumnya sudah
mengetahui akiabat perbuatannya tidak akan terjadi, maka
sudah tentu ia tidak pernah melakukan perbuatannya.
Jonkers menyatakan sengaja sebagai maksud adalah bentuk
sengaja yang paling sederhana.37
Dengan demikian, dalam kesengajaan yang bersifat
tujuan (oogmerk) maka pertanggungjawaban si pelaku
dapat dimengerti dengan mudah oleh khalayak ramai.
Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu
tindak pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku
pantas dikenai hukuman pidana. Ini lebih tampak apabila
dikemukakan bahwa dengan adanya kesengajaan yang
bersifat tujuan ini, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-
36 Sudarto, Op Cit, hlm. 10337 Zaenal, Op Cit, hlm. 286
66
benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakan ancaman hukuman pidana (constitutief
gevold).
b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau noodzakelijkheidsbewustzijn)
Corak kesengajaan ini adalah merupakan sengaja
sadar atau insyaf akan keharusan atau sadar akan kepastian,
yang oleh Utrecht diuraikan dan diterjemahkan sebagai
sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa agar tujuan
dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu
perbuatan lain yang berupa pelanggaran pula,38 sehingga
dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat:
(a) Akibat yang memang dituju si pembuat, ini dapat
merupakan delik tersendiri atau tidak;
(b) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu
keharusan untuk mencapai tujuan tersebut di atas,
akibat ini pasti timbul/terjadi.39
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai
akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Kalau
38 Ibid, hlm. 286-28739 Sudarto, Op Cit, hlm. 103-104
67
itu terjadi, maka teori kehendak (wilstheori) menganggap
akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini
juga ada kesenjangan. Menurut teori bayangan
(voorstelling-theori), keadaan ini sama dengan kesengajaan
berupa tujuan (oogmerk) karena dalam keduanya tentang
akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku,
melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan
pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi. Maka, juga kini
ada kesengajaan.40
c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis
atau voorwaar delijk opzet)
Dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini,
ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi
kemudian ternyata benar-benar terjadi,41 masalah pokok
yang muncul adalah berapa banyak kemungkinan yang
diperlukan untuk adanya kesengajaan? Apakah
kemungkinannya harus besar atau sedang, ataukah boleh
juga sekalipun kecil? Jadi mengenai kuantitas
kemungkinannya.
Menurut Pompe, sebagaimana disadur oleh
Moeljatno,42 dalam rangka mencari kriteria untuk adanya
kesengajaan atas dasar banyaknya kemungkinan dengan
40 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hlm. 68.41 Ibid42 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 167
68
tidak mengadakan perbedaan antara kesengajaan sebagai
kepastian atau kemungkinan. Pompe mencoba mengadakan
ukuran yang obyektif untuk adanya kesengajaan, yaitu
waarschijnlijkheid (kemungkinan besar), yaitu
pengetahuan yang melebihi adanya kemungkinan belaka,
tetapi kurang dari adanya kepastian, yaitu hal-hal yang
dapat diharapkan (verwachten) atau dapat dimengerti
(begrijpen). Dengan demikian Pompe mencoba untuk
mengadakan ukuran yang tampaknya sama dengan ukuran
yang diperlukan untuk adanya hubungan kausal, di mana
dikatakan bahwa yang menjadi musabab adalah syarat yang
dapat diharapkan, dimengerti akan menimbulkan akibat
yang dimaksud.
Biasanya untuk menentukan kemungkinan yang
mana yang diperlukan guna kesengajaan, tidak dipilih jalan
yang kuantitatif, tetapi yang kualitatif, yaitu bukan
kemungkinan belaka, bahkan kemungkinan yang bersifat
tertentu, yaitu yang disertai dengan tambahan, bahwa juga
kalau diketahui dengan pasti akan adanya akibat atau
keadaan yang menyertai, hal itu merupakan perintang
untuk berbuat.43
Corak kesengajaan ini dengan terang-terangan tidak
disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang
43 Ibid, hlm. 188-189
69
bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu
kemungkinan belaka akan akibat itu. Kini, ternyata tidak
ada persamaan pendapat di antara para sarjana hukum
Belanda. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa,
terdapat dua penulis Belanda, yaitu Van Dijck dan Pompe,
yang mengatakan bahwa dengan hanya ada keinsyafan
kemungkinan, tidak ada kesengajaan, tetapi hanya mungkin
ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih dapat
dikatakan bahwa kesengajaan secara keinsyafan kepastian
praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai
tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara
keinsyafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam
kesengajaan yang lain itu, tetapi hanya disamakan atau
dianggap seolah-olah sama. Teorinya adalah sebagai
berikut: Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada
bayangan kemungkinan belaka, akan terjadi akibat yang
bersangkutan tanpa dituju, maka harus ditinjau seandainya
ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka
apakah perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau
hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kalau perlu
akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin
akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh
si pelaku jika akibat kemudian toh terjadi.44
44 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm. 70.
70
d) Teori apa boleh buat (in kauf nehmen theorie / op den koop
toe nemen theorie)
Dalam teori ini keadaan batin si pembuat terhadap
perbuatannya adalah sebagai berikut:
(1) Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat
itu;
(2) Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun
apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa boleh buat
hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul
risiko.
Dalam perdebatan di Eerste Kamer mengenai
W.v.S. Menteri Modderman mengatakan bahwa,
“voorwaardelijk opzet” (delik eventualis) itu ada, apabila
kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut,
tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu
masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada
tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita
ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat ini maka
sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan
kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan
dengan sadar kemungkinan.45
45 Sudarto, Op Cit, hlm. 106-107
71
Menurut Mexger sebagaimana disadur oleh
Moeljatno,46 dalam teori inkauf nehmen (op den koop toe
nemen) dinyatakan bahwa sesungguhnya akibat atau
keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak
disetujui. Tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa
yang dimaksud, risiko akan timbulnya atau keadaan di
samping maksudnya itupun diterima. Dengan demikian
teori ini dinamakan inkauf nehmen yang oleh Moeljatno
diterjemahkan dengan “teori apa boleh buat”, sebab kalau
risiko yang telah diketahui kemungkinan akan adanya ito
sungguh-sungguh timbul (di samping yang dimaksud), apa
boleh buat, dia juga berani memikul risikonya. Jadi
menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua
syarat:
(1) Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat
keadaan yang merupakan delik;
(2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh
timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani
pikul risikonya.47
4) Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan
hukum
46 Moeljatno, 2008, Op. Cit, hlm. 16747 Ibid, hlm. 190
72
Bahwa dalam kesengajaan juga dapat mengenai “sifat
melawan hukum” atau wederrechtelijkheid. Artinya, bahwa
ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku
harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.
Memang ada semboyan yang mengatakan bahwa setiap
orang harus dianggap mengetahui isi dari undang-undang, jadi
dianggap tahu apakah suatu perbuatan dikenai hukuman pidana
atau tidak. Kalau semboyan ini diberlakukan, maka harus
diperhatikan adanya kenyataan bahwa ada pasal dalam KUHP,
seperti misalnya Pasal 406 yang melarang seseorang merusak
barang milik orang lain opzettelijk enwederrechtelijk (dengan
sengaja dan dengan melawan hukum). Perumusan ini
menunjukkan bahwa kesengajaan si pelaku tidak mengenai
“sifat melawan hukum”. Maka, orang dapat dihukum meskipun
ia tidak tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.48
Di samping pasal semacam ini, ada Pasal 333 KUHP
yang melarang orang merampas kemerdekaan orang opzettelijk
wederrechtelijk, jadi tanpa kata en. Dengan demikian, unsur
“sifat melawan hukum” diliputi oleh unsur kesengajaan; maka
orang itu baru dapat dihukum apabila ia tahu bahwa
perbuatannya melawan hukum.
48 Ibid., hlm. 71.
73
b. Kealpaan (culpa) dalam arti sempit, schuld, nalatighzid,
recklessness, negligence, fahrlassigkeit, sembrono, teledor.
1) Pengertian kealpaan
Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan
diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari
padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang
juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk
kealpaan.
Mengenai kealpaan ini keterangan resmi dari pihak
pembentuk W.v.S. (Smidt 1-825) sebagaimana disadur oleh
Moeljatno adalah sebagai berikut:
“Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet
mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali
itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar
berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau
barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian,
sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak
berhati-hati, yang teledor, yang menimbulkan keadaan itu
karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang
menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang
larangan-larangan tersebut: dia tidak menghendaki atau
menyetujui timbulnya hal yang terlarang, tetapi kesalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga
74
menimbulkan hal yang dilarang ialah dia kurang
mengindahkan larangan itu.
Jadi bukanlah semata-mata menentang larangan
tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu. Tetapi dia
tidak begitu mengindahkan larangan. Ini ternyata dari
perbuatannya, dia alpa, lalai, teledor dalam melakukan
perbuatan tersebut, sebab jika dia cukup mengindahkan adanya
larangan waktu melakukan perbuatan yang secara obyektif
kausal menimbulkan hal yang dilarang dia tentu tidak lupa atau
kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal
yang dilarang tadi. Oleh karena bentuk kesalahan ini juga
disebut dalam larangan delik, maka harus dibuktikan”49
Lebih lanjut menurut M.v.T sebagaimana disadur oleh
Sudarto, bahwa kealpaan di satu pihak benar-benar berlawanan
dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan kebetulan (toevel
atau casus). Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih
ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya
kesengajaan yang ringan.50
Ada juga yang mengatakan bahwa kesengajaan adalah
kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu obyek yang
dilindungi oleh hukum. Dan kealpaan kekurangan perhatian
terhadap obyek tersebut dengan tidak disadari.
49 Moeljatno, Op Cit, hlm. 214-21550 Soedarto, Op. Cit, hlm. 124
75
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kesalahan yang berbentuk kesengajaan dan
yang berbentuk kealpaan itu adalah soal gradasi. Kesengajaan
adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, dasarnya
adalah sama, yaitu:
a) Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana;
b) Adanya kemampuan bertanggung jawab;
c) Tidak adanya alasan pemaaf.
Tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang
menentang larangan, dalam kealpaan, kurang mengindahkan
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu
perbuatan yang obyektif kausal menimbulkan yang dilarang.51
Menurut Satochid Kertanegara, bahwa hubungan antara dolus dan culpa lata
adalah keduanya termasuk arti schuld ditinjau dari sudut pandang hukum
pidana dan dapat diistilahkan dengan schuld dalam arti luas.
Dolus adalah bentuk kesalahan yang berat, sedangkan culpa
yaitu kealpaan atau kelalaian adalah bentuk kesalahan yang
lebih ringan.52
51 Moeljatno, Op Cit, hlm. 215-21652 Satochid Kertanegara, Op. Cit. hlm. 340-341
76
Perbedaan dolus dengan culpa juga dipergunakan di dalam Undang-undang hukum
pidana, dasar perbedaannya:53
Tabel : 2
Perbedaan Dolus dan Culpa
DOLUS CULPA
1.Perbuatan dilakukan
dengan sengaja1.
Perbuatan yang dilakukan
karena kelalaian/kealpaan
2.Perbuatan itu disebut
doleuze delicten2.
Perbuatan itu disebut
culpose delicten atau
schuld delicten
3.
Diancam dengan
hukuman lebih berat
dari pada culpose
delicten
3.
Ancaman hukumannya
adalah lebih ringan
daripada doleuze delicten
Sumber : Zaenal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta,
Sinar Grafika, 2007, hlm. 328
2) Menetapkan adanya kealpaan pada seseorang
Menurut Sudarto, kealpaan orang harus ditentukan
secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah
mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang
sesungguh-sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar
bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran
53 Zaenal, Op Cit, hlm. 327-328
77
sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi
yang sama dengan si pembuat.
“Orang pada umumnya” ini berarti tidak boleh orang
yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan
sebagainya. Ia harus orang biasa, seorang ahli biasa. Untuk
adanya pemidanaan perlu adanya kekurang hati-hatian yang
cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa
levis (kealpaan yang ringan).54
Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat
peristiwa demi peristiwa. Yang harus menentukan ukuran
normatif dari kealpaan itu adalah hakim. Hakimlah yang harus
menilai sesuatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma
penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di
dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi si pembuat. Jadi
segala keadaan yang obyektif dan yang menyangkut si
pembuat sendiri diteliti dengan seksama.
Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari si
pembuat dapat digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban
untuk berbuat lain”. Kewajiban ini dapat diambil dari
ketentuan undang-undang atau dari luar undang-undang, ialah
dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang
seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa
54 Sudarto, Op Cit, hlm. 125
78
yang harusnya ia lakukan, maka hal tesebut menjadi dasar
untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa.
Undang-undang mewajibkan seseorang untuk
melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Di luar
undang-undang pun ada aturan-aturan, ialah berupa kebiasaan
atau kepatutan dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus
diindahkan oleh seseorang.
Sebaliknya apabila apa yang dilakukan oleh seorang
terdakwa dapat diterima oleh masyarakat, bahkan mungkin
sesuai dengan hukum, maka tidaklah ada persoalan apakah ada
culpa apa tidak. Dalam hal ini perbuatannya tidak bersifat
melawan hukum.
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa
dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul
di dalam culpa itu sendiri. Ia menyatakan antara lain, bahwa
culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si pembuat, namun
culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan
jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka
tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi
tidak mungkin ada culpa.55
3) Kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari
(bewuste schuld dan onbewuste schuld)
55 Soedarto, Op. Cit, hlm. 127
79
Menurut Sudarto, pada dasarnya orang berpikir dan
berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si pembuat
tidak berjalan secara tepat, dan apabila akibatnya berupa hal
yang tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang, maka
akan terjadi apa yang disebut kealpaan yang disadari dan
kealpaan yang tidak disadari. 56
a) Kealpaan yang disadari
Di sini si pembuat dapat menyadari tentang apa
yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya
dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi.57
Menurut Moeljatno, pada kealpaan yang disadari di sini
terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata
tidak benar, kemungkinan itu diinsyafi tetapi tidak berlaku
padanya, dalam hal ini, kekeliruan terletak pada salah pikir
atau pandang, yang seharusnya disingkiri.58
b) Kealpaan yang tidak disadari
Dalam hal ini si pembuat melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat,
padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.59
Menurut Moeljatno, pada kealpaan yang tidak disadari di
56 Soedarto, Op. Cit, hlm. 13157 Ibid, hlm. 13158 Moeljatno, Op Cit, hlm. 21859 Sudarto, Op Cit, hlm. 131
80
sini terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa
akibat yang dilarang mjungkin timbul karena perbuatannya,
dalam hal ini, kekeliruan terletak pada tidak mempunyai
pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul, hal
mana adalah sikap yang berbahaya.60
Menurut Van Hattum sebagaimana disadur oleh
Sudarto, menyatakan bahwa tidak ada arti praktis, perbedaan
itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari.61 Kerapkali
justru karena tanpa berpikir akan kemungkinan timbulnya
akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. Kealpaan yang
disadari adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian
kesadaran kemungkinan (yang ada pada pembuat), yang tidak
merupakan dolus eventualis.
Menurut Sudarto, perbedaan tersebut tidak banyak
artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif dan
bukan merupakan pengertian yang menyatakan keadaan
(bukan fetelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,
bagaimana seharusnya si pembuat itu berbuat.62
4) Pertanggungjawaban pidana terhadap akibat yang timbul
tidak dengan sengaja
60 Moeljatno, Loc Cit61 Sudarto, Op Cit, hlm. 28762 Ibid, hlm. 131
81
Menurut Barda Nawawi Arief, 63 bahwa akibat-akibat
yang timbul tidak dengan sengaja biasanya dirumuskan dalam
delik-delik yang dikualifikasikan atau diperberat oleh
akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte atau crime aggravated
by the result). Delik-delik ini dalam KUHP Indonesia misalnya
dirumuskan dalam pasal-pasal 187 ke-2 dan ke-3, pasal 333
ayat (3) dan pasal 354 ayat (2).
Secara doktriner, pertanggungjawaban terhadap akibat-
akibat (yang timbul) tidak dengan sengaja itu didasarkan pada
ajaran erfolgshaftung. Menurut ajaran ini, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap akibat yang timbul tanpa
diperlukan adanya hubungan sikap batin jahat (dolus/culpa) si
pembuat terhadap akibat itu, asal secara obyektif akibat itu
benar-benar telah terjadi sebagai akibat dari perbuatannya.
Ajaran ini dapat disebut erfolgshaftung yang murni. Menurut
Paul Kichyun Ryu (Guru Besar Hukum Pidana Universitas
Nasional Seoul Korea), ajaran erfolgshaftung murni diilhami
dari doktrin Versari in re illicita dalam hukum kanonik (sama
dengan ajaran dolus indirectus, pen) yang merupakan
perkecualian dari asas mens rea (asas qulpabilitas).
KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur dan
menegaskan dianutnya ajaran erfolgshaftung (yang murni) itu.
63 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2010, hlm. 123-124
82
Di beberapa KUHP negara lain ada pasal khusus yang
mengatur masalah ini, namun dengan beberapa penghalusan
atau modifikasi tertentu yang diorientasikan atau di-
konsistensi-kan dengan asas qulpabilitas. Jadi tidak menganut
ajaran erfolgshaftung yang murni.
Salah satu contoh dianutnya ajaran erfolgshaftung yang
tidak murni (atau mengalami modifikasi) ini terlihat misalnya
dalam perumusan KUHP Greenland (Pasal 7 ayat (2)):
Setelah pada ayat (1)-nya dirumuskan bahwa “KUHP
ini hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan kealpaan apabila ditetapkan secara khusus”
(jadi prinsipnya hanya dikenakan pada kesengajaan), kemudian
pada ayat (2)-nya ditegaskan:
“An offender shall be held liable for the unintended
consequences of his offense only on proof his
negligence”
(Jadi pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak
dikehendaki atau tidak disengaja itu hanya dapat
dilakukan apabila dapat dibuktikan adanya kealpaan).
5. Kesalahan Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat
khas. Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan para ahli
dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan
83
tindak pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak
pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu yang tidak
bersifat melawan hukum tidak ada artinya”.64
Sementara itu, Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa
“salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) dinyatakan dengan tegas atau tidak di
dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah
janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan
perbuatan yang tidak melawan hukum”.65
Dengan demikian, untuk dapat dikatakan seseorang melakukan
tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum.
Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang, perkataan “melawan
hukum” kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana,
kadang-kadang tidak.
Hal ini juga berpengaruh dalam lapangan hukum acara
(pembuktian) yang menimbulkan perbedaan pandangan mengenai
beban pembuktian. Sementara penulis berpendapat pembuktian sifat
melawan hukum diperlukan jika hal itu menjadi bagian inti rumusan
tindak pidana, sehingga sebaliknya tidak perlu dibuktikan jika menjadi
unsur diam-diam. Pendapat yang lain, jika berpandangan suatu tindak
pidana mutlak harus bersifat melawan hukum, maka apakah
disebutkan atau tidak hal itu harus dibuktikan.
64 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru,Jakarta, 1987, hlm. 1
65 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 42
84
Dalam Rancangan KUHP, melawan hukum dipandang selalu
ada kecuali ada alasan pembenar. Ketentuan ini cenderung dapat
ditafsirkan bahwa melawan hukum tidak perlu dibuktikan, kecuali
terdakwa atau penasihat hukumnya dapat membuktikan bahwa ada
alasan pembenar dari perbuatannya. Memang hanya apa yang
ditentukan dalam rumusan tindak pidana yang seharusnya dibuktikan.
Rancangan KUHP juga menentukan masalah sifat melawan
hukum tindak pidana. Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun
2013, menentukan bahwa, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana,
selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Sedangkan menurut Pasal 11 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2013
dinyatakan bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”.
Perkembangan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013, sifat
melawan hukum dirumuskan secara eksplisit, sedangkan dalam KUHP
tidak dirumuskan secara eksplisit. Mengenai sifat melawan hukum ini,
dalam KUHP hanya berorientasi kepada kepastian hukum tertulis,
sedangkan dalam RUU KUHP Tahun 2013 berorientasi pada keadilan.
Rumusan ini apabila dikaji dari teori pemisahan antara tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana, memuat hal yang perlu
mendapat perhatian. Dalam hukum pidana terdapat dua pandangan
85
mengenai sifat melawan hukum yaitu pandangan monistis dan
pandangan dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan
sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip
pemahaman bahwa di dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana
sudah tercakup di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act)
dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal
responsibility). Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara
unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai
orangnya. 66
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat kesalahan
syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan
dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis dalam
tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan
pertanggungjawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana.
Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya
apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga
adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana.
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika
perbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Bukan berarti tindak
66Septina Ayu Handayani, Pandangan Monistis dan Dualistis Hukum Pidana, dalamaurockefeller.blogspot.com, diakses pada 10 Desember 2013
86
pidana yang tidak memuat perkataan ‘melawan hukum’, tidak dapat
bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul
dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian, ‘melawan
hukum’ dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Hal
tersebut juga berdampak pada bunyi putusan. Dalam praktik umumnya
jika tidak terbuktinya ‘melawan hukum’ yang disebutkan dalam
rumusan tindak pidana, menyebabkan putusan bebas (vrijspraak).
Berbeda halnya jika ‘melawan hukum’ tidak dirumuskan. Tidak
terbuktinya hal ini menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan
hukum (ontslaag van alle rechtvevolging).
Beberapa putusan pengadilan yang diteliti dalam disertasi
Komariah Emong Sapardjaja,67 memutuskan “lepas dari segala
tuntutan hukum” terhadap terdakwa yang tidak terbukti sifat
melawan hukum tindak pidana yang didakwakan terhadapnya.
Dengan demikian, melawan hukum dipandang sebagai unsur
tindak pidana, sekalipun tidak dirumuskan.
Praktik peradilan sebagaimana dikemukakan di atas tidak lagi
dapat dipertahankan, terutama dilihat dari teori pemisahan tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tidak terbukti melakukan
tindak pidana menyebabkan terdakwa diputus bebas. Baik ketika salah
satu unsur tindak pidana yang didakwakan tersebut tidak terbukti
67 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum PidanaIndonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,Alumni, Bandung, 2002, hlm. 136
87
(termasuk perkataan melawan hukum yang disebutkan secara tegas),
maupun ketika tindak pidana yang didakwakan tersebut terbukti tetapi
dipandang tidak bersifat melawan hukum (melawan hukum menjadi
unsur diam-diam).
Dengan demikian, tidaklah perlu dibedakan tidak terbuktinya
tindak pidana karena bagian inti “melawan hukum” tidak terbukti dan
tindak pidana yang dipandang tidak bersifat melawan hukum. Tidak
perlu dibedakan apakah melawan hukum sebagai elementen dan
bestandeel. Suatu perbuatan sekalipun mencocoki rumusan tindak
pidana tetapi tidak bersifat melawan hukum tidak dapat dikatakan
sebagai tindak pidana, sehingga lebih tepat jika terdakwanya
kemudian dibebaskan. Dengan kata lain, termasuk diputus bebas, jika
sifat melawan hukum suatu tindak pidana (yang menjadi unsur diam-
diam) tidak terbukti.68
Pendapat ini juga dapat dikaitkan dengan ketentuan tentang
Surat Dakwaan. Tidak terbukti melakukan tindak pidana berarti tidak
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Mengingat syarat
materiil Surat Dakwaan menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP,
adalah “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan”. Dengan demikian, pasti yang didakwakan
adalah tindak pidana dan bukan sekedar perbuatan. Dapat dikatakan
tindak pidana itu tidak terbukti, jika suatu tindak pidana yang
dilakukan terdakwa dipandang tidak bersifat melawan hukum.
68 Chairul Huda, Op. Cit., hlm. 52
88
Konsepsi ini menyebabkan konstruksi Pasal 191 ayat (1)
KUHAP harus diperbaiki. Cukup ditentukan, “apabila tindak pidana
yang didakwakan tidak terbukti, maka putusannya bebas”. Dapat saja
ditambahkan, “termasuk diputus bebas, apabila suatu perbuatan yang
didakwakan mencocoki isi rumusan tindak pidana, tetapi dipandang
tidak bersifat melawan hukum”. Dengan demikian, rumusan Pasal 191
ayat (1) KUHAP tidak lagi diperuntukkan bagi “kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan”.
Tinggal kemudian, ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP
diperuntukkan pada perkara dimana tindak pidananya terbukti, tetapi
pembuatnya tidak bersalah atas tindak pidana tersebut. Dengan
demikian, bunyi putusan jika pembuat tidak diliputi kesalahan ketika
melakukan tindak pidana adalah terdakwa dilepaskan dari segala
tuntutan hukum. Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang
menentukan, “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidaklah merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum”, juga harus diperbaiki. Perumusan ini agak janggal. Dalam hal
ini, yang terbukti bukanlah ‘tindak pidana’ tetapi ‘perbuatan’. Hal
mana tidak termasuk rumusan Surat Dakwaan sesuai Pasal 143 ayat
(2) KUHAP. Dengan demikian, cukup ditentukan, “apabila terdakwa
tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka
diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
89
Ada pandangan yang memandang kesalahan sebagai bagian
dari sifat melawan hukum tindak pidana. Ajaran feit materiil dapat
dipandang sebagai ajaran yang menempatkan kesalahan sebagai
bagian melawan hukum. Demikian pula halnya dengan finale
handlungslehre,69 yang memasukkan kesalahan (kesengajaan) sebagai
bagian dari perbuatan (tindak pidana yang melawan hukum). Hal ini
juga berhubungan dalam lapangan acara pidana. Hal ini berarti
pembuktian adanya tindak pidana dipandang dengan sendirinya
sebagai pembuktian adanya kesalahan. Kesalahan dalam
pertanggungjawaban pidana semata-mata berhubungan dengan unsur-
unsur tindak pidana.
Berbeda halnya jika mengikuti aliran dualistis pemisahan
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Untuk dapat dikatakan
seseorang mempunyai kesalahan, maka sebelumnya yang
bersangkutan telah terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat
melawan hukum. Pertanggungjawaban pidana tergantung pada apakah
pembuat telah melakukan tindak pidana. Lebih jauh lagi,
pertanggungjawaban pidana itu baru dapat dipikirkan setelah terdakwa
terbukti melakukan tindak pidana yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian, baru dapat dipikirkan tentang adanya kesalahan
terdakwa, jika yang bersangkutan telah terbukti melakukan tindak
pidana yang bersifat melawan hukum. Sebaliknya, tidak perlu
69 Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalamHukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1985, hlm. 13
90
dipikirkan, apakah ada kesalahan pada diri pembuat, jika tidak dapat
dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana
yang bersifat melawan hukum.
Seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, justru
karena ia telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawabannya itu
ditujukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Berhubung
setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka
pertanggungjawaban tadi juga diarahkan kepada sifat melawan hukum
dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain, kesalahan pembuat yang
dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya
tindak pidana yang bersifat melawan hukum.
Hal demikian itu sangat tampak pada kesalahan yang
berbentuk kesengajaan. Van Hamel yang merupakan pengikut aliran
monistis mengatakan bahwa pada delik-delik kesengajaan,
kesengajaannya selalu harus diarahkan pada kelakuan dan akibat
konstitutifnya.70 Dengan demikian, kesengajaan ditujukan justru
terhadap terciptanya keadaan yang melawan hukum itu. Dolus
menguasai atau menentukan unsur melawan hukum.71 Sengaja
memengaruhi semua unsur lain yang mengikutinya, termasuk unsur
melawan hukum. Artinya, tindak pidana yang bersifat melawan
70 Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1994,hlm. 61
71 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dariKUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, terj. Tristam P. Moeliono,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 164
91
hukum hanya mempunyai arti dalam hukum pidana jika berlangsung
karena diketahui dan dikehendaki pembuatnya.
Bagaimana suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
hukum, umumnya juga telah terjadi kesatuan pendapat. Baik dalam
teori maupun dalam praktik hukum melawan hukum materiil telah
diterima. Suatu tindak pidana dikatakan bersifat melawan hukum
bukan saja karena secara formal telah taatbestand dengan isi rumusan
tindak pidana dalam undang-undang, tetapi juga perbuatan tersebut
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut. Dengan
kata lain, bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut
versi Rancangan KUHP. Diterimanya ajaran sifat melawan hukum
materiil tidak berarti suatu tindak pidana melawan hukum semata-
mata karena bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
Melainkan juga sebelumnya bertentangan dengan undang-undang.
Hal yang terakhir ini, berhubungan dengan bagaimana fungsi
dari sifat melawan hukum materiil itu. Memang telah terjadi
perbedaan pendapat mengenai hal ini. Perbedaan pendapat berkisar
apakah melawan hukum materiil ini hanya dapat digunakan dalam
fungsinya yang negatif, atau justru penggunaan dalam fungsinya yang
positif dapat digunakan secara terbatas. Artinya, apakah melawan
hukum materiil digunakan sebagai alasan penghapus pidana di luar
undang-undang atau justru digunakan untuk mengkriminalisasi suatu
perbuatan yang secara formal sebenarnya bukanlah suatu tindak
pidana.
92
Dalam common law system situasinya agak heterogen. Ajaran
melawan hukum materiil juga berlaku dalam common law system,
khususnya di Inggris dan Australia. Kedua negara tersebut mengenal
unlawfully72, sebagai suatu alasan penghapus pidana di luar undang-
undang. Namun demikian, sebaliknya di Amerika Serikat ajaran
melawan hukum materiil tidak dikenal.73
Penulis mengikuti pandangan yang menerima ajaran sifat
melawan hukum materiil terbatas pada fungsinya yang negatif.
Menjadikan melawan hukum materiil sebagai unsur mutlak setiap
tindak pidana, berarti menggunakan hal itu sebagai alasan penghapus
pidana di luar undang-undang. Dengan demikian, terdapat dua alasan
penghapus pidana, yaitu yang ditentukan dalam undang-undang dan
yang berada di luarnya.
Pertalian antara sifat melawan hukum dan kesalahan juga
tampak dalam hubungannya dengan alasan penghapusnya. Selama ini
undang-undang merumuskan masalah alasan penghapus sifat melawan
hukum bercampur dengan alasan penghapus kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana umumnya dirumuskan dalam bentuk
negatif. Dalam hal ini undang-undang umumnya merumuskan alasan-
alasan penghapus pidana sebagai alasan-alasan penghapus
pertanggungjawaban pidana. Demikian pula dalam tradisi common
72 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara &Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2002, hlm. 94
73 Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 185
93
law. Alasan-alasan penghapus pidana dikumpulkan begitu saja dalam
general defence atau general exceptions of liability.
Berkenaan dengan aliran dualistis pemisahan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana, dihubungkan dengan melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif, maka hal itu merupakan alasan
tambahan untuk meniadakan pidana. Dalam hal ini merupakan alasan-
alasan yang menyebabkan suatu perbuatan sekalipun telah memenuhi
isi rumusan undang-undang mengenai suatu tindak pidana, tetapi
kemudian karena alasan-alasan tersebut, perbuatan itu menjadi
dibenarkan. Dalam hal ini sifat tidak hukum (unlawfull) yang ada pada
perbuatan tersebut menjadi hilang karena adanya alasan-alasan tadi.
Dalam ilmu hukum hal ini disebut dengan alasan pembenar
(justification of crime), yang dibedakan dengan alasan pemaaf, yaitu
alasan-alasan penghapus kesalahan (excusing of liability).
Pasal 11 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2013 menentukan
bahwa “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan
hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Berdasarkan ketentuan Pasal
11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2013, telah merumuskan
keadaan-keadaan bagaimana yang termasuk alasan pembenar dan
alasan pemaaf juga perkembangan diakuinya sifat melawan hukum
material. Apabila konsisten dengan teori pemisahan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana, maka alasan pembenar semestinya
dirumuskan di bawa paragraf tindak pidana dan alasan pemaaf
menjadi Bagian Paragraf Pertanggungjawaban Pidana. Sekalipun tidak
94
dapat disangkal keduanya merupakan alasan-alasan penghapus pidana,
tetapi cara kerjanya berlainan. Alasan pembenar menghapuskan
pidana dengan membenarkan perbuatan yang pada pokoknya tindak
pidana. Dengan adanya alasan pembenar, maka perbuatan yang pada
pokoknya merupakan tindak pidana, menjadi dibenarkan. Alasan
pemaaf menghapuskan pidana dengan memaafkan pembuat dari
kesalahannya. Pembuat dipandang tidak bersalah, karena sesuatu dari
luar yang menyebabkannya tidak dapat dicela.
Dalam hal alasan adanya alasan pembenar, sifat melawan
hukum perbuatan hilang, baik karena alasan yang ditentukan dalam
undang-undang (alasan penghapus melawan hukum formal), maupun
yang berada di luar ketentuan undang-undang (alasan melawan hukum
materiil). Dikatakan ada alasan pembenar jika ada dua kewajiban
hukum yang saling bertentangan, sedang salah satunya telah dipenuhi,
atau jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi karena terpaksa oleh
keadaan atau apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk memenuhi
norma-norma hukum yang lebih penting daripada yang ada dalam
ketentuan pidana.74
Ketentuan Pasal 50 dan 51 ayat (1) KUHP merupakan alasan
pembenar yang timbul karena berbenturannya dua kewajiban hukum,
di mana salah satunya telah dipenuhi. “Sementara yang berada di luar
undang-undang misalnya adalah beroeprecht, seperti hak jabatan
dokter untuk melakukan pembedahan yang taatbestand dengan pasal-
74 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana..., Op. Cit., hlm. 73
95
pasal penganiayaan”.75 Sedangkan, ketentuan Pasal 49 ayat (1)
merupakan alasan pembenar yang timbul karena tidak dapat
dipenuhinya norma hukum pidana karena terpaksa oleh keadaan.
Namun demikian, dalam hubungannya dengan kesalahan, perlu
diingat kesengajaan tidak juga harus diarahkan kepada ketiadaan
alasan-alasan pembenar.76 Dalam hal ini melawan hukum ditujukan
kepada perkecualian terhadap perbuatan yang secara formal
diperbolehkan. Dengan demikian, kesengajaan tidak diarahkan kepada
perkecualian-perkecualian tersebut.
Uraian di atas menunjukkan bahwa antara sifat melawan
hukum dan kesalahan selalu terdapat hubungan. Kelakuan yang
bersifat culpa merupakan bentuk dasar tiap-tiap sifat melawan hukum
setidaknya jika perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan
pembuatnya. Dengan kata lain, untuk dapat disebut bersifat melawan
hukum cukup jika ada kealpaan. Sementara itu, kesengajaan adalah
suatu surplus. “Kesengajaan merupakan sifat pembuat yang memberi
tambahan dasar susila dari sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam
hal ini kesengajaan telah memberi suatu tambahan atas isi
kesalahan”.77 Minimal sebenarnya telah melawan hukum jika suatu
perbuatan dilarang karena dapat ditimbulkan oleh kealpaan
pembuatnya. Apalagi apabila perbuatan tersebut dapat terjadi karena
75 Indriyanto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 16476 Roeslan Saleh, Masih Saja..., Op. Cit., hlm. 6777 Ibid., hlm. 103
96
kesengajaan pembuatnya, maka sudah pada tempatnya jika dikatakan
bersifat melawan hukum.
Kesalahan sebagai ukuran pengenaan pidana, pada hakikatnya
menempatkan kesalahan sebagai batas-batas pengenaan pidana. Dalam
hal ini, kesalahan pembuat merupakan batas yang dengan hal itu dapat
ditakar pemidanaan yang tepat baginya. Kesalahan dengan demikian
ditempatkan sebagai takaran (ukuran) yang paling menentukan dalam
memutuskan bentuk dan lamanya pidana yang tepat bagi seorang
pembuat tindak pidana.
Sekalipun tidak diragukan lagi kesalahan yang menentukan
ukuran pemidanaan, tetapi pemidanaan hanya dapat dilakukan sebatas
yang ditentukan undang-undang. Pemidanaan bukan saja hanya dapat
dijatuhkan berdasarkan hukum, tetapi juga penjatuhannya sebatas apa
yang ditentukan hukum. Dengan demikian, batas pemidanaan yang
pertama ditentukan oleh model perumusan ancaman pidana dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam tradisi common law system,
batas yang demikian ini pertama-tama ditentukan oleh precedent,
berdasarkan doktrin stare decises. Baru kemudian berdasarkan
peraturan perundang-undangan (statute law).
Konsepsi di atas berhubungan dengan asas legalitas, tetapi
perlu diingat bukan semata-mata seperti yang dirumuskan dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas bukan hanya berarti “nullum crima
sine lege”, tetapi juga “nulla poena sine lege”. Artinya, bukan hanya
mengenai pelarangan atas suatu perbuatan tetapi bentuk dan jumlah
97
pengenaan pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya pun harus
ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, bentuk dan lamanya
pidana yang dapat dikenakan, terbatas hanya yang telah ditentukan
dalam undang-undang.
Asas legalitas ternyata memiliki aspek yang lebih luas daripada
sekadar yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam pasal
tersebut hanya ditentukan keharusan perumusan dengan undang-
undang suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan
hal-hal yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut dari
segi waktu. Sementara itu, mengenai bentuk dan jumlah pidana yang
dapat dijatuhkan juga terbatas dengan apa yang ditentukan undang-
undang. Sayangnya hal ini tidak secara eksplisit dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Berbeda halnya dengan Statuta Roma tentang
International Criminal Court (ICC). Dalam statuta tersebut asas
legalitas dirumuskan baik dalam arti nullum crimen sine lege (Pasal
22) maupun nulla poena sine lege (Pasal 23).
Konsekuensi hal ini adalah penentuan bentuk dan lamanya
pidana di luar dari yang telah ditetapkan undang-undang, melanggar
asas legalitas. Dalam hal ini fungsi kesalahan dalam menentukan
dipidananya pembuat dibatas oleh asas legalitas. Dengan demikian,
bekerjanya asas tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan
karenanya dibatasi oleh bekerjanya asas legalitas. Hal ini juga sebagai
bagian dari konsekuensi dianutnya teori pemisahan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana.
98
Kesalahan yang ditempatkan dalam konteks ketentuan undang-
undang mengenai bentuk dan jumlah pidana, hanya mempunyai arti
jika sistem perumusannya membuka kemungkinan bersifat
“discretionary”. Dapat dicelanya pembuat merupakan pengertian
penilaian berdasar aturan perundang-undangan. Dalam melakukan
penilaian tersebut, hakim pertama-tama dibatasi oleh undang-undang.
Konsekuensi atas dapat dicelanya pembuat juga ditentukan berdasar
undang-undang. Pidana dan pemidanaan merupakan wujud celaan
yang ditentukan undang-undang bagi pembuat tindak pidana.
Sekalipun peraturan perundang-undangan pidana telah
menentukan batas luar pengenaan pidana, tetapi penerapannya masih
menjadikan kesalahan sebagai balas dendam. Sedikitnya terdapat tiga
hal yang berkaitan dengan batas pidana yang ditentukan undang-
undang, yang implementasinya sangat bergantung pada kesalahan
pembuat. Pertama, ketentuan undang-undang yang mengancam
pembuat suatu tindak pidana dengan beberapa bentuk pidana. Dalam
hal ini bentuk pidana yang lebih berat diancamkan secara alternatif
dan/atau kumulatif dengan bentuk pidana yang lebih ringan. Kedua,
undang-undang juga menentukan batas minimum dan/atau batas
maksimum dari pidana-pidana tersebut. Hakim bebas menentukan
putusan pemidanaan dari minimum umum atau khusus (jika
ditentukan secara tersendiri), sampai dengan maksimum khusus dan
umum (jika terjadi pemberatan tindak pidana). Penerapan hal tersebut
terutama bergantung pada kesalahan pembuat.
99
Selain itu, dianutnya double track system pemidanaan, yang
memungkinkan selain pidana terhadap pembuat dapat pula padanya
hanya dijatuhkan tindakan (maatregel), juga mempunyai pengaruh.
Hal ini menyebabkan undang-undang juga memberi batas pengenaan
pidana yang ketiga, yaitu pidana dialternatifkan dengan tindakan.
Dalam hal ini sebenarnya lebib tepat batas pengenaan tindakan
daripada batas pengedaan pidana. 78
Selanjutnya, inti persoalan dalam melihat hubungan kesalahan
dan pengenaan pidana atau pemidanaan, adalah bahwa hal itu mesti
dilakukan secara proporsional. Bahkan banyak penulis yang
memandang hal ini sebagai asas hukum tersendiri, yaitu sebagai
pasangan asas legalitas (tindak pidana) dan asas tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (pertanggungjawaban
pidana). Begitu pentingnya proporsionalitas ini, sehingga dipandang
sebagai asas hukum yang menentukan pengenaan pidana dan
pemidanaan.
Dengan demikian, baik menurut teori pembalasan maupun
teori pencegahan, prinsip proporsionalitas sangat penting sebagai
dasar dan asas pembatas pengenaan pidana. Pengenaan pidana dibatasi
hanya dapat dilakukan terhadap pembuat yang melakukan tindak
pidana dengan kesalahan. Adanya kesalahan pada pembuat menjadi
batas umum pengenaan pidana. Kesalahan pembuat yang menentukan
78 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, UniversitasDiponegoro, Semarang, 2003
100
apakah suatu tidak pidana dapat dipertanggungjawabkan terhadap
pembuatnya, atau justru hanya dipandang sebagai kecelakaan belaka.
Artinya, kesalahanlah yang membedakan antara orang yang patut
dipidana dengan yang tidak patut dipidana. Asas tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dalam hal ini berarti
dapat dipidananya pembuat yang terbatas 79pada pembuat yang
melakukan tindak pidana dengan kesalahan.
Disparitas pidana sedikit banyak dapat menghambat
pencapaian tujuan pemidanaan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo,
“disparitas pidana ini sebenarnya sah-sah saja, karena hukum sendiri
telah memberikan kewenangan mengambil keputusan yang luar biasa
kepada hakim”.80 Namun demikian, dalam rangka memerhatikan
kepentingan korban sebaiknya hakim dengan sungguh-sungguh
menjadikan kesalahan sebagai batas pengenaan pidana, sehingga
disparitas pidana dapat dihindari.
Batas pengenaan pidana lainnya berkenaan dengan
pemanifestasian cara dan lamanya pengenaan pemidanaan.
Utilitarisnism mendorong agar dalam memanifestasikan pemidanaan,
diorientasikan pada pencegahan dilakukannya tindak pidana, baik oleh
pembuat (pengulangan) ataupun masyarakat. Asas tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dalam hal ini berarti
79 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, UniversitasDiponegoro, Semarang, 2003
80 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu GugatanTerhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar,Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 9
101
pidana dikenakan sebatas kesalahan pembuat. Kesalahan merupakan
batas khusus dalam menentukan bentuk dan lamanya pidana. Hal ini
mengingat penerapan batas ini hanya dapat dilihat secara khusus,
kasus per kasus.
Penentuan bentuk pidana juga merupakan pilihan atas berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebagaimana diketahui
bentuk-bentuk pidana disusun secara hierarkis. Berdasarkan Pasal 10
dan Pasal 69 KUHP, pidana disusun menurut urutan berat ringannya.
Pidana yang berbentuk perampasan terhadap nyawa lebih berat apabila
dibandingkan dengan pidana yang berbentuk perampasan
kemerdekaan. Pidana perampasan kemerdekaan lebih berat daripada
pidana denda. Begitu seterusnya. Belum lagi pada pidana perampasan
terhadap kemerdekaan masih dibedakan ke dalam jenis-jenis yang
juga menunjukkan hierarkis. Penjara lebih berat dari kurungan
misalnya. Selain itu, pidana lebih berat daripada tindakan.
Pilihan atas kemungkinan-kemungkinan tersebut ditentukan
oleh bagaimana hakim memandang kesalahan pembuat. Oleh karena
itu, jika suatu tindak pidana diancam dengan model perumusan pidana
yang alternatif-kumulatif, maka batas atasnya adalah kumulasi atas
pidana-pidana tersebut, sedangkan dan batas bawahnya adalah jika
hanya satu bentuk pidana yang dijatuhkan. Artinya, hakim memilih
menggunakan ketentuan undang-undang yang memungkinkan
menggunakan sistem alternatif. Selain itu, dalam hal suatu tindak
pidana diancam dengan pidana secara alternatif, maka bentuk pidana
102
yang paling berat adalah batas atasnya, sedangkan batas bawahnya
adalah bentuk pidana yang paling ringan.
A. BEBERAPA TEORI TENTANG PERDAMAIAN DALAM HUKUMPIDANA
1.Grand Teori : Teori Keadilan
Menurut Teori Keadilan, bahwa keadilan sesungguhnya
merupakan konsep yang relatif.81 Pada sisi lain, keadilan merupakan
hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada, yang
perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu
maupun kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata “adil”
berasal dari bahasa Arab “adala” yang mengandung makna tengah
atau pertengahan. Dari makna ini, kata “adala” kemudian
disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang
berarti penengah atau orang yang berdiri di tengah yang
mengisyaratkan sikap yang adil.82
Dari pengertian ini pula, kata adil disinonimkam dengan inshaf
yang berarti sadar, karena orang yang adil adalah orang yang sanggup
berdiri di tengah tanpa a priori memihak. Orang yang demikian adalah
orang yang selalu menyadari persoalan yang dihadapi itu dalam
konteksnya yang menyeluruh, sehingga sikap atau keputusan yang
81 Majjid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, Baltimore and London : TheJohns Hopkins University Press, 1984, hlm. 1, sebagaimana dikutip Mahmutarom,Rekonstruksi Konsep Keadilan, UNDIP Semarang, 2009, hlm. 31
82 Ibid.
103
diambil berkenaan dengan persoalan itu pun menjadi tepat dan
benar.83
Dengan demikian, sebenarnya adil atau keadilan itu sulit untuk
dilukiskan dengan kata-kata, akan tetapi lebih dekat untuk dirasakan.
Orang lebih mudah merasakan adanya keadilan atau ketidakadilan
ketimbang mengatakan apa dan bagaimana keadilan itu. Memang
terasa sangat abstrak dan relatif, apalagi tujuan adil atau keadilan
itupun beraneka ragam, tergantung mau dibawa kemana.
Keadilan akan terasa manakala sistem yang relevan dalam
struktur-struktur dasar masyarakat tertata dengan baik, lembaga-
lembaga politis, ekonomi dan sosial memuaskan dalam kaitannya
dengan konsep kestabilan dan keseimbangan. Rasa keadilan
masyarakat dapat pula kita temukan dalam pelaksanaan penegakan
hukum melalui putusan hakim.
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau
perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak
memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak
merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia
apa yang menjadi haknya. Jika kedua ini dapat dipenuhi barulah itu
dikatakan adil. Dalam keadilan harus ada kepastian yang sebanding, di
83 Nurcholis Madjid, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin danPeradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Cetakan kedua, YayasanWakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. 512-513, sebagaimana dikutip Mahmutarom,Rekonstruksi Konsep Keadilan, UNDIP, Semarang, 2009, hlm. 31
104
mana apabila digabung dari hasil gabungan tersebut akan menjadi
keadilan.84
Pada prakteknya, pemaknaan keadilan modern dalam
penanganan permasalahan-permasalahan hukum ternyata masih
menimbulkan perbedaan pendapat. Banyak pihak merasakan dan
menilai bahwa lembaga pengadilan telah bersikap kurang adil karena
terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam
memberikan putusan terhadap suatu perkara. Agaknya faktor tersebut
tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku
dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.
Idealnya hakim harus mampu menjadi living interpretator yang
mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak
terbelenggu oleh kekakuan normatif – prosedural yang ada dalam
suatu peraturan perundang-undangan bukan lagi sekedar sebagai la
bouche de la loi (corong undang-undang).
Lebih lanjut dalam memaknai dan mewujudkan keadilan, Teori
Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny yang tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum
Alam mengutamakan “the search for justice”.85 Terdapat macam-
macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori
ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan
dan kemakmuran.
84 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII, Kanisius,Yogyakarta, 1995, hlm. 196
85 Ibid.
105
a. Teori Keadilan dalam Filsafat Hukum Islam
1) Keadilan dalam perspektif Hukum Islam
Masalah keadilan menurut hukum Islam, tidak terlepas
dari filsafat hukum Islam dan teori mengenai tujuan hukum
Islam, yang pada prinsipnya adalah bagaimana mewujudkan
“kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang
mencakupi “kemanfaatan” dalam kehidupan di dunia maupun
di akherat.
Tujuan mewujudkan “kemanfaatan” ini, sesuai dengan
prinsip umum Al-Qur’an:
a) al-Asl fi al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala
yang bermanfaat dibolehkan, dan segala yang mudarat
dilarang);
b) la darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan
dan jangan menjadi korban kemudaratan);
c) ad-Darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).86
Lebih lanjut dalam gagasan Islam tentang keadilan
dimulai dari diskursus tentang keadilan illahiyah, apakah rasio
manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan
keadilan di muka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau
sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk
melalui wahyu (Allah).
86 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Cet IV, Prenada MediaGoup, Jakarta, 2012, hlm. 216 - 217.
106
Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di
kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan
tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan
mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan
keadilan illahiyah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan
dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah
dan asy`ariyah.
Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai
yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil.
Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori
rasional yang dapat diketahui melalui nalar – yaitu, tak
bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia
sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk
secara obyektif.87
Sedangkan menurut asy’ariyah, Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka
perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan
dalam arti sebab mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Betul mereka mengakui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan
menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan
bahwa Tuhan mengakui kebaikan dan keuntungan itu, tetapi
pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan itu tidaklah
87 http://diqa-butar-butar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html, diaksespada 14 Nopember 2013
107
menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan
bukan karena kepentingan manusia atau karena tujuan lain.
Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau
wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.88
Dalam menjawab suatu pertanyaan tentang makna
sitilah ‘adl oleh Sa’id Ibnu Jubayr, dimana dia telah berkata:
“Keadilan mengambil empat bentuk:
a) Keadilan dalam membuat keputusan-keputusan yang
sesuai dengan firman Allah: “Jika kalian hendak
menetapkan hukum diantara manusia, agar kalian
menetapkannya dengan adil”(Al-Qur’an Surat An-Nisa’
(4) ayat 58).
b) Keadilan dalam perkataan yang sesuai dengan firman
Allah: “Dan jika kalian berkata, maka hendaklah kalian
88 Arief Rahman, Keadilan Tuhan Menurut Mu’tazilah, Asyariah dan Maturidiah,dalam www.aariefr.blogspot.com, diakses pada 4 Maret 2014
108
berkata adil, andaikata pun terhadap sanak saudara kalian”
(Al-Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 152).
c) Keadilan dalam mencari keselamatan, berdasarkan firman
Allah: “Takutlah kalian pada suatu hari dimana tidak ada
seseorang pun yang mampu menggantikan orang laini
sedikit pun dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya
dan juga tidak akan memberi manfaat suatu syafaat
terhadapnya dan tidak juga mereka akan ditolong” (Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 123).
d) Keadilan dalam pengertian mempersekutukan Allah sesuai
firman Allah: “Namun orang-orang yang kafir itu
109
mempersekutukan sesuatu dengan “tuhan” mereka” (Al-
Qur’an Surat Al-An’am (6) ayat 1).
2) Perspektif hukum Islam tentang Kisas dan Diat
a) Pengertian Kisas dan Diat
Menurut Sri Endah Wahyuningsih89, bahwa tindak
pidana kisas dan diat adalah tindak pidana yang
diancamkan hukuman kisas atau diat. Keduanya
merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah
ditentukan, yakni tidak memilki batasan minimum ataupun
maksimal. Maksud hak individu di sini adalah sang korban
boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memafkan si
pelaku jika ia menghendakinya.
Untuk tindak pidana yang diancam dengan
hukuman kisas adalah:
(1) Pembunuhan dengan sengaja;
(2) Penghilangan/pemotongan anggota badan dan
perlukaan (penganiayaan) disengaja.90
89 Wahyuningsih, op cit. hlm. 65-7490 Kisas ialah mengambil pembalasan yang sama. Kisas itu tidak dilakukan, bila
yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayardiat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya tidak
110
Adapun tindak pidana yang diancam dengan
hukuman diat adalah:
(1) Semua tindak pidana kisas yang diberi ampunan dari
kisas atau karena ada uzur syar’i yang menghalanginya;
(2) Pembunuhan semi sengaja;
(3) Pembunuhan tersalah (tidak disengaja);
(4) Penghilangan atau pemotongan anggota badan dan
perlukaan (penganiayaan) tidak sengaja91
b) Landasan hukum kisas dan diat
Landasan hukum mengenai larangan untuk:
(1) tindak pidana pembunuhan dan perlukaan
(penganiayaan) dan sanksinya terdapat sebagaimana
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
(a) Surat al-Isra’ (17) ayat 33,
mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,umpamanya tidak menangguh-nangguhkan. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhanmenjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh sipembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil kisas dan di akherat diamendapat siksa yang pedih. Sebagaimana diambil oleh Sri Endah Wahyuningsih dari Al-Qur’an Digital Penjelasan Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 178, 23 Juni 2009.
91 Ibid.
111
yang artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharankan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa
dibunuh secara lazim, maka sesungguhnya kami
telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang
yang mendapat pertolongan”.
(b) Surat al-Baqarah (2) ayat 178,
112
yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barang siapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendakah
(yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang
demikian itu suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih”.
(c) Surat al-Maidah (5) ayat 45,
113
yang artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di
dalamnya (At Taubat) bahwasannya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, maka
melepaskan itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim”
Mengenai hal tersebut, Rasulullah bersabda
sebagai berikut:
(a) “Barang siapa menganiaya seorang mukmin dengan
membunuhnya maka di kisas karenanya kecuali jika
wali korban merelakannya (memaafkan untuk tidak
di kisas);
114
(b) Barang siapa dibunuh maka ahli waris korban
(pembunuhan) memiliki dua pilihan; jika mereka
menghendaki hukumannya (kisas); jika mereka
menghendaki (hukumannya) diat”.
(2) Dalam tindak pidana penghilangan anggota badan dan
perlukaan (penganiayaan) disengaja, sanksinya terdapat
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
(a) Surat al-Baqarah (2) ayat 179,
yang artinya:
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertaqwa”
(b) Surat al-Maidah (5) ayat 45,
115
yang artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di
dalamnya (At Taubat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan
itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim”
(c) Surat an-Nahl (16) ayat 126, yang artinya :
yang artinya :
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan
116
yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar”
(3) Dalam tindak pidana pembunuhan semi sengaja,
Rosulullah SAW bersabda:
“Ingatlah, pada pembunuhan semi sengaja, yaitu
pembunuhan dengan cambuk, tongkat dan batu, ialah
seratus unta”
(4) Dalam tindak pidana pembunuhan tersalah (tidak
disengaja),
(a) Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat (4) ayat
92,
117
yang artinya :
“Dan layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekaan hamba sahaya yang
beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua
bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
(b) Rosulullah juga bersabda yang artinya :
118
“Dalam diat pembunuhan tidak sengaja (tersalah)
dua puluh unta hiqqah (anak unta yang memasuki
umur empat tahu), dua puluh unta jaza’ah (anak
unta ynag sudah sempurna umurnya empat tahun
dan memasuki tahun kelima), dua puluh unta binti
makhad (anak unta betina yang memasuki umur dua
tahun dan induknya mulai bunting), dua puluh unta
binti labun (anak unta umur dua tahun dan
memasuki umur tiga tahun, dan induknya sudah
mempunyai air susu karena telah melahirkan
kandungannya), dan dua puluh unta banu makhad
(anak unta jantan yang memasuki usia dua tahun
dan induknya mulai bunting).
(5) Hukuman untuk tindak pidana penganiayaan tidak
disengaja, Rosulullah SAW menentukan :
“Jika anggota badan itu hanya satu, seperti hidung,
zakar, lidah diatnya adalah diat sempurna, Jika anggota
badannya sepasang, seperti mata, telinga, diatnya
adalah setengah”
Berkaitan dengan hal tersebut, Rosulullah SAW
bersabda:
“Dalam memotong hidung jika pucuknya habis
terdapat diat”. Pada lidah, zakar, tulang sulbi, kedua
tangan, kedua kaki, kedua buah pelir, kedua telinga
119
terdapat diat. Pada mata diat lima puluh unta, pada gigi
diat lima unta”
Rosulullah SAW mewajibkan diat pada setiap
menghilangkan manfaat anggota badan, seperti
pendengaran, penglihatan dan akal. Adapun pada
pelukaan (penganiayaan) Rosulullah SAW telah
menetapkan hukuman untuk sebagian perkara dan tidak
menetapkan pada sebagian yang lain. Beliau
menjadikan ganti rugi melukai kepala dan muka
(syajjai) yang sampai menampakkan tulangnya (al-
mudihah) dengan lima ekor unta, arsy (ganti rugi)
pelukaan yang memecahkan (mematahkan) tulang
(hasyimah) dengan sepuluh ekor unta, dan pada luka
yang sampai mengenai selaput antara tulang dan otak
(ammah) atau merobek selaput antara tulang dan otak
sehingga otaknya terlihat (damingah) dengan sepertiga
diat (satu diat adalah seratus ekor unta), dan
menjadikan setiap luka yang sampai masuk perut atau
dada dikenai sepertiga diat.
Menurut kaidah (aturan) umum hukum Islam,
pelukaan atau pemotongan yang belum ditentukan diat/arsy
oleh Rosulullah SAW (ganti rugi yang diwajibkan atas
tindakan sewenang-wenang terhadap anggota tubuh
manusia, tetapi tidak menghilangkan seluruh manfaatnya)
120
maka hal itu diserahkan pada hakim untuk menentukan
diat/arsy berdasarkan asumsi para pakar dan ulama. Aturan
ini sudah menjadi kesepakatan (ijmak).
Pada dasarnya, hukuman kisas dan diat bertujuan
untuk menjaga kemaslahatan masyarakat dengan
mengabaikan keadaan pelaku tindak pidana. Dengan kata
lain, hukum Islam tidak memperhatikan pribadi dan
kondisi pelaku kecuali jika korban atau ahli warisnya
memberikan ampunan.
Bahwa walaupun terhadap tindak pidana
pembunuhan dan pelukaan/penganiayaan telah menyentuh
eksistensi masyarakat, akan tetapi dalam hal ini terlebih
dahulu menyentuh pada sisi korban. Apabila korban atau
walinya telah mengampuni pelaku, maka tidak ada lagi
sebab yang menyerukan pengabaian diri pelaku dan sebab
untuk menyeru bersikap keras dalam menjaga
kemaslahatan masyarakat umum. Ini karena pengaruh
pidana berat itu telah hilang oleh pemaafan sehingga
pidana itu menjadi tidak berbahaya dan tidak
mempengaruhi eksistensi masyarakat.
Pada realitasnya, si korban atau ahli warisnya tidak
akan mengampuni pelaku kecuali telah benar-benar
memaafkan pelaku atau melihat adanya manfaat material
121
dari diat. Artinya, alasan pengampunan si korban/walinya
dapat berupa dua hal, yaitu:
(1) Permaafan dan
(2) Manfaat material yang berupa diat untuk korban atau
ahli warisnya.
Kedua alasan ini disyariatkan dan dihalalkan oleh
hukum Islam. Alasannya, permaafan bermakna
menghilangkan pertikaian dan kedengkian, sedangkan
sikap mengutamakan pembayaran diat daripada
menjatuhkan hukuman bermakna sikap toleransi,
memaafkan dan melemahkan rasa permusuhan. Tidak
diragukan lagi bahwa hak korban atau walinya adalah agar
mereka menjadi pihak pertama yang mendapat manfaat
atas tindak pidana yang menimpa mereka setelah mereka
menanggung penderitaan yang tidak ditanggung orang lain.
b. Teori Keadilan Pancasila
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang
berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan
manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat
individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu
keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Keadilan sosial
tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan manusia
sebagai makhluk yang beradab (sila kedua). Manusia pada
hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus
122
adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap
orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan
alamnya.92
Berkaitan dengan Keadilan Sosial dimaksud, pandangan
keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang
sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang
yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi
pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk
memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana
atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka
harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan
keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang
melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber
pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah
negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang tetap
dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).
Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang
menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu
92 http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial.
123
bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila
sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau
pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam
sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia
dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila
sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai
rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa
Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa
Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana
sila kelimanya sebagai berikut: “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional
yang bersumber pada Pancasila.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam
perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil
dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan
perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua
dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia,
pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan
perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan
124
kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang
adil dan beradab.
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “Keadilan
Sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-
hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan
sebagai:93
1) mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
2) menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan
pengusaha-pengusaha.
3) merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap
individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang
didapatnya dengan tidak wajar”.
Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat
dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus
menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan individu
yang lainnya.
Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua
pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum
nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan
keadilan-keadilan yang bersifat umum di antara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
93 http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial, diaksespada 14 Oktober 2013
125
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu
masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam
kelompok masyarakat hukum.94
c. Teori Keadilan Ontologis dari Soejono
Jika kita mengkaji kedudukan dan hakekat fungsi hukum
dalam konteksnya bahwa filsafat adalah sebagai hasil ijtihad-
pemikiran yang metodis-sistematis radikal mengenai hukum
(methodis systematis radicale over het recht), dapat diprediksikan
bahwa sebagian besar masyarakat dan termasuk pula praktisi
hukum, akademisi dan para legislator yang setiap hari menjadikan
hukum sebagai komsumsi yang tidak pernah terpisahkan namun
ternyata tidak merasakan dan menghayati akan kebutuhan yang
amat sangat penting/azasi mengenai pemikiran filosofis tentang
hukum, padahal secara umum filosof, eksistentensi dari filsafat
hukum itu mutlak didambakan.
Hukum maupun ilmu hukumnya, adalah sebagai aspek
pengejawantahan cipta, rasa dan karsa manusia. Ini adalah
kebutuhan, hukum tidaklah mesti hanya dipahami atau dihayati
tetapi yang terpenting juga diamalkan atau dilaksanakan tentang
tujuannya yang hakiki yakni nilai keadilan-kebenaran, ketertiban-
kesejahteraan. Numun apabila makna dan fungsi utama pokok dari
hukum ialah sebagai “gemeinscaftsregelung im dienste der gerech
94 http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/02/teori- keadilan-perspektif-hukum.html,diakses pada 14 Oktober 2013
126
tigkeit”, maka tujuan utama dari filsafat hukum ialah “the
clarification of legal values and postulates up to their ultimate
philosofical foundations”.95
Theo Hujbers mengatakan bahwa aturan hukum adalah
aturan Allah. Hukum berfungsi untuk menjamian suatu aturan
hidup sebagaimana dikehendaki Allah.96
Soejono mengatakan apabila ilmu hukum beserta teori
hukum (rechtstheorie) mempelajari sarengat dan tarekat dan
sampai pada batas tertentu juga hakekat,97 maka filsafat hukum
menjelajahi hakikat dan ma’rifat dari hukum.
Kajian dalam studi ilmu hukum dan teory hukum dalam
pandangan ahli tentu berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dalam
kutipan Soejono yaitu ilmu hukum mempelajari recht sistematiek
dan recht dogmatiek yang keduanya disebut sebagai
versamenlaam/gabungan disamping itu juga mempelajari
sosiologi dan perbandingan hukum. Sedangkan recht theori atau
teori hukum menfokuskan perhatiannya pada bidang categoreen-
leer, yakni mengenai kesamaan-kesamaan dalam bentuk lembaga-
lembaga hukum dari berbagai tata hukum (het gelijke in de vorm)
yang pada umumnya adalah pengertian-pengertian dasar
(groonbergippen) yang bersifat logis a priori.
95 Rudbruch dalam doktrinnya dikutip Soejono, hlm. 496 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,
1982, hlm. 28697 Hakikat, Ma’rifat, Tarikat adalah peristilahan dalam ilmu tasawuf, biasanya dalam
lingkup ajaran agama Islam
127
Beberapa fungsi filsafat hukum G DelVecchio membagi
fungsi dari filsafat hukum menjadi tiga yaitu:
1) Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum
yang fundamental.
2) Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari
hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang
lestari.
3) Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee),
dimana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran
idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
Dalam paham yang luas mengenai makna dan fungsi dari
filsafat hukum, yang merangkum pengertian, cita hukum, tujuan
dan berlakunya hukum (begriff-zweek-dan geltung des rechts)
maka sebagian dari konsekuensinya adalah suatu anggapan bahwa
teori hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat
hukum.
Seperti dikemukakan di atas terkait tujuannya hukum yang
hakiki yakni nilai keadilan-kebenaran, ketertiban-kesejahteraan
atau yang disebut sebagai nilai-nilai yang mutlak-universal-abadi
pada dasarnya membawa manusia pada garis atau batas ontologis
yang menakjubkan, namun seolah-olah nilai-nilai ini sering kali
membingungkan. Nilai-nilai ini menempatkan manusia dibatas
jalan pada sebuah perjalanan yang memiliki awal tetapi hampa
atau tidak jelas akhirnya hal ini seringkali dirasakan oleh para
128
ilmuan atau philosof. Maka seorang filosof pernah berkata bahwa
filsafat itu sesungguhnya bukan berobyek pada problema-
problema tetapi pada misteri-misteri. Untuk problema manusia
pada suatu saat akan dapat menemukan jawabannya serta
pemecahannya, tetapi untuk misteri-misteri seolah-olah manusia
hanya mampu mempersoalkan atau menetapkan persoalnnya.
Walaupun kadang-kadang serasa mendapatkan jawaban perkiraan
dan sementara waktu, namun tidak pernah mewujudkan kepastian
dan ketuntasan.98
Mengenai fungsi dan peranan filsafat dalam fungsi
ontologis Soejono menuliskan bahwa hukum adalah pengawal
pembangunan yang memerlukan landasan-landasan teori hukum
itu sendiri dan filsafat hukum. Landasan-landasan teori dan
filsafat hukum yang dimaksud adalah landasan yang berwawasan
ontologis.
Wawasan ontologis oleh Soejono dianggapnya
mengandung metode pendekatan dan gaya penggarapan yang
bercorak logis dan rasional, intelektual, etis-irrasional dan
divinatoris yakni berma’rifat kepada Tuhan seru sekalian alam.
Beliau sangat mengharapkan kepada seluruh praktisi hukum dan
pengawal pembangunan harus memiliki kecerdasan dan
keterampilan tekhnis berkewajiban pula karena kodratnya
98 Doolhof/libirynth dalam terjemahan oleh Soejono Koesoemo Siswoero dalamfungsi dan peranan filsafat dalam pembangunan di Indonesia
129
memulai dan menekuni meditasi, berkontempelasi, tidak
mementinkan diri sendiri ikhlas, tenang, tidak iri atas rezeki dan
kebahagiaan orang lain dan selalu bersyukur kepada Tuhan (jujur
sabar dan berbudi luhur).
Fungsi hukum dalam bukunya Theo Hujbers ”filsafat,
sejarah para filsuf” bahwa pada zaman romawi kuno, dipandang
sebagai berkaitan dengan alam, alam dikuasai hukum. Pemikiran
juga manusia yang termasuk alam itu. Dalam rangka pandangan
ini hukum berfungsi untuk mengatur alam supaya menurut garis-
garis tertentu, lagi pula mengatur hidup manusia supaya mengikuti
peraturan-peraturan yang sesuai dengan hakekatnya. Dalam
pertengahan abad hal ini berubah, hukum tetap dipertanyakan
dengan fungsinya yang semula, yakni menciptakan aturan.99
Pada tataran filsafat, filsafat sebagai dasar dalam filsafat
ilmu, atau sains dibagi tiga bagian, ialah ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Ontologi berasal dari kata yunani “onto” yang
berarti sesuatu yang sungguh ada, atau kenyataan yang
sesungguhnya. Dan “logos” yang berarti studi tentang atau teori
yang membicarakan atau dapat juga berarti ilmu.
Salah satu pendapat filosofi hukum dapat ditemukan dalam
posisi pembagian filsafat menurut Aristoteles membagi 4 bagian
seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan tulisan ini:
1) Logika;
99 Theo Huijbers, Op. Cit, hlm. 285
130
2) Filsafat teoritis: mencakup fisika, matematika, dan metafisika;
3) Filsafat Praktis: filsafat Etika, filsafat ekonomi dan filsafat politik;
4) Filsafat poetika atau seni budaya;
Namun secara Mutakhir filsafat dibagi:
1) Filsafat teoritis : logika, Metafisika/ontologi,
Kosmologi/Filsafat Alam, dan antropologi.
2) Filsafat Praktis: Etika, Filsafat agama, da filsafat Kebudayaan.
Secara Sederhana menjadi 3 momentum:
1) Pendahuluan filsafat dipelajari logika;
2) Persoalan filsafat dipelajarimetafisika;
3) Tujuan Filsafat di pelajari etika.100
Dalam pandangan di atas sangat jelas tentang teori nilai-
nilai yang dipelopori oleh LOTZE tapi pada pokoknya berusaha
mewujudkan kompromi dan perdamaian. Dari unsur-unsur tata
nilai di atas dapat dibagi menjadi 2 bagian pokok yakni :
1) Nilai-nilai berdasarkan nafsu terdiri atas :
a) Nilai kenikmatan (lust-waarden),- hedonisme,epikurisme.
b) Nilai Vital (vitale waarden)-vitalisme, naturalisme.
c) Nilai kegunaan (nuts-waarden).
2) Nilai-nilai rokhania terdiri atas :
a) Nilai logis (akal, rasional dan sebagainya).
b) Nilai estetis.
100 Soejono Koesoemo Siswoero, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum,UNDIP, Semarang, 1979, hlm. 9
131
c) Nilai etis.
d) Nilai keagamaan/religius.
Fungsi Ontologis yaitu mencari dan menciptakan landasan-
landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan ideal
keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri diatasnya.
Fungsi filsafat, salah satu filosof yang mengemukakan
fungsi filsafat adalah G Del Vecchio dalam bukunya “lezioni di
filosofia dell diretto bagi beliau bahwasanya hakikat pengertian
hukum (ressbeggriff) walaupun tidak formal tapi normatif dan
netral, tidak dapat diukur/ditentukan dari sejarah, etika agama
maupun ketentuan umum, tidak dapat membedakan antara baik
dan buruk, antara yang adil dan tidak adil. Yang mampu
mengadakan ukuran pembedaan itu adalah cita hukum (rechts
idee). Karena itu beliau membagi fungsi dari filsafat hukum
menjadi tiga namun ditambahkan satu oleh Soejono yaitu:
1) Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum
yang fundamental.
2) Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari
hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang
lestari.
3) Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee),
dimana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran
idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
132
4) Fungsi Ontologis yaitu mencari dan menciptakan landasan-
landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan
ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri di
atasnya.101
Keadilan bagi Del-Vecchioo adalah cita idiil yang
dilepaskan dari segala macam masalah tekhnis dan merupakan
nilai kepribadian mutlak atau kebebasan yang sama bagi semua
manusia yang didamba dan disangga oleh hati nurani manusia.102
Penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani
terhadap perkara yang ada oleh para praktisi hukum menurut
Soejono. Sepanjang masih menggunakan sebuah metode dan
aproach yang bersifat intelektual, logis, rasional, intuitif, etis dan
divinatoris dinamakan sebagai metode ontologis.
Rasional logis maksudnya sebagai sarana objektif, intuitif
sebagai sarana batiniah untuk melakukan pengamatan langsung
terhadap objek yang dipikirkan atau diteliti. Sedangkan aspek
divinatoris sebagai sentral fundamentalis karena bersangkutan
dengan suatu rasa di dalam diri manusia yang bersifat immateriil-
metafisis yang mampu untuk menangkap dan menerima inspirasi
yang tidak terbatas pada intelektual dan budi akan tetapi jauh
menjulang lagi yakni kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.
101 Ibid, hlm. 21102 Soejono Koesomo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran
Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya DenganPembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIPSemarang, 30 Maret 1989, hlm. 13
133
Metode ontologis tersebut secarah struktural dan
fungsional akan mewujudkan dan atau menjamin hasil yang
memenuhi persyaratan fundamental dari suatu putusan yang ideal
yakni adil dan konsisten. Gambarannya adalah dengan
memperhatikan hakekat dan makna dari hukum yakni sebagai
peraturan yang mengatur hidup bersama manusia menuju
ketentraman dan keadilan (L.J van Apeldoorn) atau yang mengatur
masyarakat untuk mengabdi kepada keadilan (Gustav Rudbruch)
atau sebagai keadilan dan kebenaran itu sendiri (Victor Hugo)
untuk mengatur penghidupan menuju/mencapai kemakmuran.103
Pembiasaan diri tekun melakukan meditasi dan
kontemplasi serta tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa
percaya, ingat dan taat kepada Tuhan yang Maha Esa, serta rela-
ikhlas serta jujur sabar dan budi luhur oleh Soejono dinamakan
metode pendekatan yang stadium tinggi dan terkhir senantiasa
mendambakan hidayah dan inayah dari Tuhan beliau menamakan
hal ini sebagai wawasan ontologis.
Dalam sistem sosial yang didalamnya terdapat berbagai
macam pengaruh kehidupan yang oleh Plautus menamakannya
homo-homini-lupus yang artinya manusia yang satu adalah serigala
bagi manusia yang lain. Sistem ini akan mampu merubah pola
tingkah laku dan pola pikir terhadap sesuatu. Wawasan ontologis
mutlak diperlukan dalam kondisi ini.
103 Ibid, hlm. 30
134
Dalam kondisi tersebut wawasan ontologis dijadikan
pengendalian keseimbangan diri manusia maupun masyarakat
dalam konteks sosial, termasuk pula sistem maupun sub-sistem
sarana dan wahana yang harus diterapkan dan digunakan untuk
mencapai tujuan hidup.
d. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih
khusus, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”.104
Pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan, namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara
kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan
numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit, yang
sekarang biasa dipahami tentang kesamaan bahwa semua warga
adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan,
prestasi, dan sebagainya.
104 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa danNusamedia, Bandung, 2004, hlm. 24
135
Pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak
kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia
membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Keadilan yang pertama berlaku dalam hukum
publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadailan
distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema
kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangka konsepsi di wilayah keadilan distributif, bahwa imbalan
yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada
keadilan yang kedua, bahwa yang menjadi persoalan bahwa
ketidaksetaraan disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran
kesepakatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-
sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelas bahwa apa yang
ada di benak Aristoteles bahwa distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai
dengan nilai kebaikan, yakni nilai bagi masyarakat.105
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan
sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau
kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan
105 Ibid,
136
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu
kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang pantas perlu
diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan
mengakibatkan terganggu tentang “kesetaraan” yang sudah mapan
atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun
kembali kesetaraan tersebut. Uraian tersebut nampak bahwa
keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan
keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.106
Dalam membangun argumentasi, Aristoteles menekankan
perlu dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan
keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia
yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan
pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini
jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif
yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat.
Berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir
itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan
hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.107
e. Keadilan Sosial Ala John Rawls
106 Ibid,107 Ibid,
137
John Rawls dalam buku a theory of justice menjelaskan
teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the
principle of fair equality of opportunity. Inti the difference
principle, bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar
memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling
kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan
menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk
mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan
otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of
opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang
mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan,
pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi
perlindungan khusus.108
Rawls mengarjakan teori mengenai prinsip-prinsip
keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme
sebagaimana dikemukakan Home, Bentham dan Mill. Rawls
berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut
prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga
diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama
akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa teori ini lebih keras
dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh
jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak
108 Ibid,
138
dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta
dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan
aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan
golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua
syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah.
Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga
dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan
bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat
pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang, supaya
kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang
berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat
primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan
haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi
yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka
139
yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.109
John Rawls menyatakan dua prinsip keadilan yang
dipercaya akan dipilih dalam posisi awal. Di bagian ini John
Rawls hanya akan membuat komentar paling umum, dan karena
itu formula pertama dari prinsip-prinsip ini bersifat tentative.
Kemudian John Rawls mengulas sejumlah rumusan dan
merancang langkah demi langkah pernyataan final yang akan
diberikan nanti. John Rawls yakin bahwa tindakan ini membuat
penjelasan berlangsung dengan alamiah.
Pernyataan pertama dari dua prinsip tersebut sebagai
berikut:110
Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang.
Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur
sedemikian rupa, sehingga (a) dapat diharapkan memberi
keuntungan semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan
terbuka bagi semua orang. Ada dua frasa ambigu pada prinsip
kedua, yakni “keuntungan semua orang” dan “sama-sama terbuka
bagi semua orang”. Pengertian frasa-frasa itu secara lebih tepat
109 John Rawls, A Theory of Justice, London : Oxford University Press, 1973, yangsudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, TeoriKeadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 69
117 Ibid, hlm. 72
140
yang akan mengarah pada rumusan kedua. Versi akhir dari dua
prinsip tersebut diungkapkan dalam mempertimbangkan prinsip
pertama.
Melalui jalan komentar umum, prinsip-prinsip tersebut
terutama menerapkan struktur dasar masyarakat, mereka akan
mengatur penerapan hak dan kewajiban dan mengatur distribusi
keuntungan sosial dan ekonomi. Sebagaimana diungkapkan
rumusan mereka, prinsip-prinsip tersebut menganggap bahwa
struktur sosial dapat dibagi menjadi dua bagian utama, prinsip
pertama diterapkan yang satu, yang kedua pada yang lain. Mereka
membagi antara aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan
dan menjamin kebebasan warganegara dan aspek-aspek yang
menunjukkan dan mengukuhkan ketimpangan sosial ekonomi.
Kebebasan dasar warga Negara adalah kebebasan politik (hak
untuk memilih dan dipilih menduduki jabatan publik) bersama
dengan kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan
berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan seseorang
seiring dengan kebebasan untuk mempertahankan hak milik
(personal), dan kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang
sebagaimana didefinisikan oleh konsep rule of law. Kebebasan-
kebebasan ini oleh prinsip pertama diharuskan setara, karena
warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar
yang sama.
141
Prinsip kedua berkenaan dengan distribusi pendapatan dan
kekayaan serta dengan desain organisasi yang menggunakan
perbedaan dalam otoritas dan tanggung jawab, atau rantai
komando. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak
perlu sama, harus demi keuntungan semua orang, dan pada saat
yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa
diakses oleh semua orang. Masyarakat yang menerapkan prinsip
kedua dengan membuat posisi-posisinya terbuka bagi semua
orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur
ketimpangan sosial ekonomi sedemikian hingga semua orang
diuntungkan.
Prinsip-prinsip ini ditata dalam tata urutan dengan prinsip
pertama mendahului prinsip kedua. Urutan ini mengandung arti
bahwa pemisahan dari lembaga-lembaga kebebasan setara yang
diperlukan prinsip pertama tidak bisa dijustifikasi, atau digantikan
dengan keutungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi
kekayaan dan pendapatan, serta hierarki otoritas, harus sejalan
dengan kebebasan warga negara dan kesamaan kesempatan.
Jelas bahwa prinsip-prinsip tersebut agak spesifik isinya,
dan penerimaan mereka terletak pada asumsi-asumsi tertentu
yang pada akhirnya harus dijelaskan. Teori keadilan tergantung
pada teori masyarakat dalam hal-hal yang akan tampak nyata
nanti. Sekarang, harus dicermati bahwa dua prinsip tersebut (dan
hal ini berlaku pada semua rumusan) adalah kasus khusus tentang
142
konsepsi keadilan yang lebih umum yang bisa dijelaskan sebagai
berikut:111
Semua nilai sosial – kebebasan dan kesempatan,
pendapatan dan kekayaan dan basis-basis harga diri –
didistribusikan secara sama kecuali jika distribusi yang
tidak sama dari sebagian, atau semua, nilai tersebut demi
keuntungan semua orang.
Ketidakadilan adalah ketimpangan yang tidak menguntungkan
semua orang. Tentu, konsepsi ini sangat kabur dan membutuhkan
penafsiran.
Sebagai langkah pertama, anggaplah bahwa struktur dasar
masyarakat mendistribusikan sejumlah nilai-nilai primer, yakni
segala sesuatu yang diinginkan semua orang yang berakal. Nilai-
nilai ini biasanya punya kegunaan apa pun rencana hidup
seseorang. Sederhananya, anggaplah bahwa nilai-nilai primer
utama pada disposisi masyarakat adalah hak dan kebebasan,
kekuasaan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan. Hal-hal
tersebut merupakan nilai-nilai sosial primer. Nilai-nilai primer
lain seperti kesehatan dan kekuatan, kecerdasan dan imajinasi,
hal-hal natural, kendati kepemilikan mereka dipengaruhi oleh
struktur dasar, namun tidak langsung berada di bawah kontrolnya.
Bayangkan tatanan hipotesis awal di mana semua nilai primer di
111 Ibid,
143
distribusikan secara sama, semua orang punya hak dan kewajiban
yang sama, pendapatan dan kekayaan dibagi sama rata. Kondisi
ini memberikan standar untuk menilai perbaikan. Jika
ketimpangan kekayaan dan kekuasaan organisasional akan
membuat semua orang menjadi lebih baik daripada situasi asal
hipotesis ini, maka mereka sejalan dengan konsepsi umum.
Mustahil secara teoritis, bahwa dengan memberikan
sejumlah kebebasan fundamental, mereka secara memadai
dikompensasi capaian-capaian ekonomi dan sosialnya. Konsepsi
keadilan umum tidak menerapkan batasan pada jenis ketimpangan
apa yang diperbolehkan, hanya mengharuskan agar posisi semua
orang bisa diperbaiki. Tidak perlu mengandaikan sesuatu yang
amat drastis seperti persetujuan pada perbudakan. Bayangkan
bahwa orang-orang justru menanggalkan hak-hak politik tertentu
manakala keuntungan ekonomi signifikan dan kemampuan
mereka untuk memengaruhi arus kebijaksanaan melalui penerapan
hak-hak tersebut pada semua kasus akan terpinggir. Pertukaran
jenis ini yang akan diungkapkan dua prinsip tersebut, setelah
diurutkan secara serial mereka tidak mengijinkan pertukaran
antara kebebasan dasar dengan capaian-capaian sosial dan
ekonomi. Urutan secara serial atas prinsip-prinsip tersebut
mengekspresikan pilihan dasar di antara nilai-nilai sosial primer.
Ketika pilihan ini rasional, begitu pula pilihan prinsip-prinsip
tersebut dalam urutan ini.
144
Dalam mengembangkan keadilan sebagai fairness, dalam
banyak hal akan mengabaikan konsepsi umum tentang keadilan
dan justru mengulas kasus khusus dua prinsip dalam urutan.
Keuntungan dari prosedur ini, bahwa sejak awal persoalan
prioritas diakui, kemudian diciptakan upaya untuk menemukan
prinsip-prinsip untuk mengatasinya. Orang digiring untuk
memperhatikan seluruh kondisi di mana pengetahuan tentang
yang absolute memberi penekanan pada kebebasan dengan
menghargai keuntungan sosial dan ekonomi, sebagaimana
didefinisikan oleh leksikal order dua prinsip tadi, akan jadi masuk
akal. Urutan ini tampak ekstrim dan terlampau spesial untuk
menjadi hal yang sangat menarik, namun ada lebih banyak
justifikasi daripada yang akan terlihat pada pandangan pertama.
Atau setidaknya seperti yang akan disebutkan. Selain itu,
pembedaan antara hak-hak dan kebebasan fundamental dengan
keuntungan sosial dan ekonomi menandai perbedaan di antara
nilai sosial primer yang seharusnya dimanfaatkan. Pembedaan
yang ada dan urutan yang diajukan hanya bersandar pada
perkiraan. Namun penting untuk menunjukkan kalimat utama dari
konsepsi keadilan yang masuk akal, dan dalam kondisi, dua
prinsip dalam tata urutan serial tersebut bisa cukup berguna.
Kenyataan bahwa dua prinsip tersebut bisa diterapkan pada
berbagai lembaga punya konsekuensi tertentu. Berbagai hal
menggambarkan hal ini. Pertama, hak-hak dan kebebasan yang
145
diacu oleh prinsip-prinsip ini adalah hak-hak dan kebebasan yang
didefinisikan oleh aturan publik dari struktur dasar. Kebebasan
orang ditentukan oleh hak dan kewajiban yang dibentuk lembaga-
lembaga utama masyarakat. Kebebasan merupakan pola yang
pasti dari bentuk-bentuk sosial. Prinsip pertama menyatakan
bahwa seperangkat aturan tertentu, aturan-aturan yang
mendefinisikan kebebasan dasar, diterapkan pada semua orang
secara sama dan membiarkan kebebasan ekstensif yang sesuai
dengan kebebasan bagi semua. Satu alasan untuk membatasi hak-
hak yang menentukan kebebasan dan mengurangi kebebasan
bahwa hak-hak setara sebagaimana didefinisikan secara
institusional tersebut saling mencampuri.
Hal lain yang harus diingat bahwa ketika prinsip-prinsip
menyebutkan person, atau menyatakan bahwa semua orang
memperoleh sesuatu dari ketidaksetaraan, acuannya person yang
memegang berbagai posisi sosial, atau jabatan atau apapun yang
dikukuhkan oleh struktur dasar. Dalam menerapkan prinsip kedua
diasumsikan bahwa dimungkinkan untuk memberi harapan akan
kesejahteraan pada individu-individu yang memegang posisi-
posisi tersebut. Harapan ini menunjukkan masa depan hidup
mereka sebagaimana dilihat dari status sosial mereka. Secara
umum, harapan orang-orang representative bergantung pada
distribusi hak dan kewajiban di seluruh struktur dasar. Ketika hal
ini berubah, harapan berubah. Dapat diasumsikan bahwa harapan-
146
harapan tersebut terhubung dengan menaikkan masa depan orang
yang representative pada satu posisi, berarti kita meningkatkan
atau menurunkan masa depan orang-orang representative di
posisi-posisi lain. Hal ini bisa diterapkan pada bentuk-bentuk
institusional, prinsip kedua (atau bagian pertamanya) mengacu
pada harapan akan individu-individu representative. Kedua prinsip
tersebut tidak bisa diterapkan pada distribusi nilai-nilai tertentu
pada individu-individu tertentu yang bisa diidentifiasi oleh nama-
nama pas mereka. Situasi di mana seseorang mempertimbangkan
bagaimana mengalokasikan komoditas-komoditas tertentu pada
orang-orang yang membutuhkan yang diketahui tidak berada
dalam cakupan prinsip tersebut. Mereka bermaksud mengatur
tatanan institusional dasar, dan tidak boleh mengasumsikan bahwa
terdapat banyak kesamaan dari sudut pandang keadilan antara
porsi administratif berbagai nilai pada person-person spesifik
dengan desain yang layak tentang masyarakat. Intuisi common
sense mengenai porsi administratif mungkin merupakan panduan
yang buruk bagi desain tata masyarakat.
Sekarang prinsip kedua menuntut agar setiap orang
mendapat keuntungan dari ketimpangan dalam struktur dasar.
Berarti pasti masuk akal bagi setiap orang representative yang
didefinisikan oleh struktur ini, ketika ia memandangnya sebagai
sebuah titik perhatian, untuk memilih masa depannya dengan
ketimpangan daripada masa depannya tanpa ketimpangan. Orang
147
tidak boleh menjustifikasi perbedaan pendapatan atau kekuatan
organisasional karena orang-orang lemah lebih diuntungkan oleh
lebih banyaknya keuntungan orang lain. Lebih sedikit
penghapusan kebebasan yang dapat diseimbangkan dengan cara
ini. Dengan diterapkan pada struktur dasar, prinsip utilitas akan
memaksimalkan jumlah harapan orang-orang representative
(ditekankan oleh sejumlah orang yang mereka wakili, dalam
pandangan klasik), dan hal ini akan membuat kita mengganti
sejumlah kerugian dengan pencapaian hal lain. Dua prinsip
tersebut menyatakan bahwa semua orang mendapat keuntungan
dari ketimpangan sosial dan ekonomi. Namun jelas bahwa ada
banyak cara yang membuat semua orang bisa diuntungkan ketika
penataan awal atas kesetaraan dianggap sebagai standar.
Bagaimana memilih di antara berbagai kemungkinan ini? Pada
prinsipnya harus jelas sehingga dapat memberikan kesimpulan
yang pasti.
1) Teori Penegakan Hukum
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara
normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi
kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu
148
harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit),
kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).112
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi
peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang : fiat
justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena
bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk
manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai
justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul
keresahan di dalam masyarakat.
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum
112 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 134
149
keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum
harus adil. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus dihukum :
setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-
bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan : adil bagi Si
Suto belum tentu dirasakan adil bagi Si Noyo.
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan
kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan.
Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan,
maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu
selanjutnya.
Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara
ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian
secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu
mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang
antara ketiga unsur tersebut.
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu
menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati
peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa
tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa
kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen
150
scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah
bunyinya).
Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya kita
hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau
peraturan perundang-undangan, terutama bagi praktisi.
Undang-Undang itu tidak sempurna. Memang tidak
mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan
manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak
lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Meskipun
tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan.
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih
lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.113
b. Teori Utilitarian
Aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran moral ideal atau
ajaran moral teroritis, sebaliknya ada aliran yang dapat
dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilisits.
113 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 3
151
Pakar-pakar penganut aliran utilistis terutama adalah
Jeremy Bentham, menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata
untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-
besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.
Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga
masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah
satu alatnya.114
Terdapat banyak bentuk utilitarianisme dan perkembangan
teorinya terus berlanjut di tahun-tahun belakangan ini. John Rawls
tidak mengulas bentuk-bentuk tersebut di sini, juga tidak akan
mempertimbangkan berbagai modifikasi yang ditemukan dalam
diskusi kontemporer. Tujuan John Rawls adalah menyusun teori
keadilan yang menjadi alternative dari pemikiran utilitarian secara
umum dan dari semua versi pemikiran alternatifnya. John Rawls
yakin, kontras antara pandangan kontrak dengan utilitarianisme
tetap sama di semua kasus tersebut. Karena itu, akan
dibandingkan keadilan sebagai fairness dengan berbagai varian
terkemuka dari institusionalisme, perfeksionalisme dan
utilitarianisme dalam rangka mengungkapkan perbedaan
mendasar dengan cara yang paling mudah. Dengan tujuan seperti
ini, jenis utilitarianisme yang akan dijelaskan di sini adalah
doktrin klasik yang barangkali paling jelas dan paling lengkap
terdapat dalam rumusan Sidgwick. Gagasan utamanya,
114 Achmad Ali, 2012, Op. Cit, hlm. 246
152
masyarakat disebut tertata dengan tepat dan karenanya adil, ketika
lembaga-lembaga utamanya diatur sedemikian demi mencapai
keseimbangan kepusasan netto yang merupakan hasil rata-rata
dari kepuasan seluruh individu anggota masyarakat yang
bersangkutan.115
Kita tentu bisa menyatakan bahwa ada cara berpikir
tentang masyarakat yang bisa dengan mudah menganggap bahwa
konsepsi keadilan yang paling rasional adalah utilitarian. Sebagai
pertimbangan: setiap orang dalam menyadari kepentingannya
tentu bebas menyeimbangkan kerugian dengan keuntungannya.
Kita bisa melakukan pengorbanan demi keuntungan di kemudian
hari. Seseorang bisa bertindak, setidaknya ketika orang lain tidak
terpengaruh, untuk meraih keuntungan terbesarnya, untuk
mengajukan tujuan rasionalnya sebisa mungkin. Sekarang kenapa
masyarakat tidak bertindak persis sama dengan prinsip yang
diterapkan dan karena itu menganggap bahwa apa yang rasional
bagi satu orang adalah tepat bagi sekumpulan orang? Ketika
kesejahteraan seseorang dibangun dari serangkaian kepuasan yang
dialami di berbagai momen yang berbeda dan yang membentuk
kehidupan seseorang, maka kesejahteraan masyarakat dibangun
dari pemenuhan sistem hasrat dari berbagai individu di dalamnya.
115 Helmut Schoeck, Envy: A Theory of Social Behavior, terj. Michael Glenny danBetty Ross, London : Secker and Warburg, 1969, hlm. 153. The alternative, is tosystematically restore the diminishing economic productiveness of the many by enabling themto acquire, by legitimate means private ownership of the productive capital which isreplacing or diminishing the value of their labor power in industrial production.
153
Sebab prinsip bagi individu adalah sejauh mungkin meningkatkan
kesejahteraannya, sistem hasratnya, prinsip bagi masyarakat
adalah meningkatkan sejauh mungkin kesejahteraan kelompok,
menyadari bahwa pada tingkatan yang paling luas sistem hasrat
yang paling komprehensif datang dari hasrat para anggotanya.
Ketika individu menyeimbangkan capaian masa kini dan masa
depan dengan kerugian masa kini dan masa mendatang, maka
masyarakat bisa menyeimbangkan kepuasan dan ketidakpuasan
antara berbagai individu. Dan melalui pemikiran-pemikiran ini
kita bisa mencapai prinsip utilitas secara alamiah, sebuah
masyarakat tertata dengan baik ketika lembaga-lembaganya
memaksimalkan keseimbangan kepuasan. Prinsip pilihan asosiasi
ditafsirkan sebagai perluasan prinsip pilihan bagi satu orang.
Keadilan sosial merupakan prinsip kebijaksanaan rasional yang
diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif dari kelompok.116
Gagasan ini menjadi semakin atraktif dengan pemikiran
lebih lanjut. Dua konsep etika utama adalah tentang hak dan
manfaat; konsep mengenai orang yang hebat kita yakin turun dari
konsep-konsep tersebut. Maka struktur teori etika sangat
ditentukan oleh bagaimana ia menentukan dan mengaitkan dua
pandangan dasar ini. Sekarang tampak bahwa cara termudah
untuk menghubungkannya dilakukan oleh teori-teori teleologis:
manfaat didefinisikan secara terpisah dari hak dan hak
116 John Rawls, 1973¸ Op. Cit, hlm. 136
154
didefinisikan bagaimana ia memaksimalkan manfaat. Lebih
tepatnya, berbagai lembaga dan tindakan adalah hak yang
alternatif-alternatifnya menghasilkan paling banyak hak, atau
setidaknya sebanyak lembaga-lembaga lain dan bertindak terbuka
sebagai kemungkinan yang riil (sebuah keharusan dibutuhkan
ketika kelas maksimal tidak tunggal). Teori-teori teleologis
mempunyai intuisi yang kuat karena mereka menampilkan
gagasan tentang rasionalitas. Lazim untuk berpikir bahwa
rasionalitas memaksimalkan sesuatu dan bahwa dalam moral ia
harus memaksimalkan manfaat. Tentu, agak menggoda untuk
berpikir bahwa sesuatu harus ditata sedemikian rupa demi manfaat
yang paling banyak.
Adalah penting untuk tetap berpikir bahwa dalam teori
teleologis manfaat didefinisikan secara terpisah dari hak. Ini
mengandung arti. Pertama, teori tersebut mempertimbangkan
penilaian kita mengenai mana yang baik (penilaian kita tentang
nilai) sebagai kelas yang terpisah dari penilaian yang secara
intuitif bisa dibedakan dengan akal sehat, kemudian mengajukan
hipotesis bahwa hak memaksimalkan manfaat sebagaimana
ditunjukkan sebelumnya. Kedua, teori tersebut membuat orang
bisa menilai manfaat sesuatu tanpa mengacu pada hak. Misalnya,
jika kesenangan dikatakan sebagai satu-satunya manfaat, maka
bisa dianggap bahwa kesenangan dapat diakui dan ditempatkan
dalam nilai dengan kriteria yang tidak mengandaikan standar
155
apapun tentang hak, atau apa yang akan dianggap demikian.
Ketika distribusi manfaat juga dianggap sebagai manfaat,
barangkali suatu tatanan yang lebih tinggi dan teorinya
mengarahkan kita unutk menghasilkan manfaat terbanyak
(termasuk manfaat pemerataan), kita tidak lagi memiliki
pandangan teleologis dalam pengertian klasik. Persoalan distribusi
tunduk di bawah konsep hak sebagaimana orang memahaminya
secara intuitif, dan teori ini tidak punya definisi independen
tentang manfaat. Kejelasan dan kesederhanaan teori-teori
teleologis klasik sebagian besar lahir dari fakta bahwa mereka
memilah penilaian moral kita ke dalam dua kelas, yang satu
dicirikan secara terpisah sedangkan yang lain diaitkan dengan
memaksimalkan prinsip.
Doktrin-doktrin teleologis berbeda, dengan cukup jelas,
menurut bagaimana konsepsi mengenai manfaat. Jika ia dianggap
sebagai perwujudan kehormatan manusia dalam berbagai bentuk
kebudayaan, kita mempunyai apa yang disebut perfeksionisme.
Pandangan ini di antaranya ditemukan dalam pandangan
Aristoteles dan Nietzsche. Jika manfaat didefinisikan sebagai
kesenangan, kita mendapatlan hedonisme; jika sebagai
kebahagiaan, eudaimonisme dan lain-lain. Kita akan memahami
prinsip utilitas dalam bentuk klasiknya yang mendefinisikan
manfaat sebagai pemuasan hasrat, atau barangkali sebagai
pemuasan hasrat rasional. Hal ini sesuai dengan pandangan dalam
156
semua hal-hal esensial dan memberikan penafsiran yang fair
atasnya. Istilah yang tepat dari kerjasama sosial yang diciptakan
oleh situasi apapun akan meraih kepuasan terbesar dari hasrat
rasional para individu. Mustahil untuk menyangkal
kemasukakalan dan daya tarik konsepsi ini.
Bentuk yang paling jelas dari pandangan utilitarian
mengenai keadilan adalah bahwa pandangan ini tidak
mempersoalkan bagaimana pemuasan tersebut didistribusikan
pada individu-individu lebih daripada mempersoalkan bagaimana
orang mendistribusikan kepuasannya sepanjang waktu. Distribusi
yang tepat adalah yang memberikan pemenuhan maksimum.
Masyarakat mesti mengalokasikan apapun cara-cara pemuasan itu,
hak dan kewajiban, peluang dan privileged dan berbagai bentuk
kekayaan, demi meraih maksimum tersebut. Namun tidak ada
distribusi kepuasan yang lebih baik dari yang lain kecuali
distribusi yang lebih setara dipilih untuk memutus ikatan.117
Benar bahwa dalil-dalil keadilan tertentu, khususnya yang
mengenai perlindungan kebebasan dan hak atau yang
mengungkapkan klaim-klaim penyangkalan, tampak
berkontradiksi dengan argument ini. Namun, dari sudut pandang
utilitarian, penjelasan tentang dalil-dalil dan karakter tegas mereka
adalah bahwa mereka seharusnya dihargai dan dicampakkan dari
situasi khusus jika jumlah keuntungan ingin dimaksimalkan.
117 Ibid, hlm. 138
157
Namun, seperti semua dalil lain, dalil-dalil mengenai keadilan
adalah turunan dari salah satu tujuan pencapaian keseimbangan
terbesar dalam pemuasan. Maka tidak ada alasan mengapa capaian
yang lebih besar tidak mengompensasi kerugian yang lebih sedikit
dari pihak lain; atau lebih penting lagi, mengapa pelanggaran
kebebasan segelintir orang tidak bisa dibenarkan oleh manfaat
yang lebih banyak yang didapat oleh banyak orang. Bisa saja
terjadi dalam banyak kondisi, setidaknya dalam tahap peradaban
yang maju, jumlah keuntungan terbesar tidak diperoleh dengan
cara ini. Tak ayal, kekukuhan dalil-dalil common sense tentang
keadilan punya manfaat tertentu dalam membatasi kecenderungan
orang pada ketidakadilan dan pada tindakan-tindakan yang secara
sosial merusak. Namun penganut utilitarian percaya bahwa
menegaskan keketatan ini sebagai prinsip moral pertama adalah
sebuah kesalahan. Sebab beralasan bagi satu orang untuk
memaksimalkan pemenuhan sistem hasratnya. Adalah hak
masyarakat untuk memaksimalkan keseimbangan kepuasan netto
yang diambil alih dari para anggotanya.
Maka cara yang paling alamiah dalam utilitarianisme
(kendati bukan satu-satunya) adalah mengadopsi prinsip pilihan
rasional satu orang bagi masyarakat secara keseluruhan. Sekali
lagi ini diakui, ruang pengamat netral dan penekanan pada simpati
dalam sejarah pemikiran utilitarian telah dipahami. Sebab melalui
konsepsi tentang pengamat netral dan penggunaan identifikasi
158
simpatik dalam membimbing imajinasi kita inilah prinsip bagi
satu orang bisa diterapkan pada masyarakat. Si pengamat inilah
yang diandaikan membawa tatanan hasrat semua orang ke dalam
satu sistem hasrat yang koheren, melalui konstruksi inilah banyak
orang bergabung mejadi satu. Dengan memiliki kekuatan-
kekuatan ideal simpati dan imajinasi, pengamat yang tak berpihak
ini merupakan individu yang sangat rasional yang
mengidentifikasi serta mengalami hasrat orang lain seolah
hasratnya sendiri. Dengan demikian, ia mengukuhkan intensitas
hasrat-hasrat tersebut dan menekankannya pada satu sistem hasrat
kepuasan yang oleh legislator dimaksimalkan dengan
menyesuaikan aturan-aturan sistem sosial. Pada konsepsi
mengenai masyarakat ini, para individu dianggap mempunyai
banyak perbedaan di mana hak dan kewajibannya diberikan dan
alat-alat pemuasan diletakkan sesuai dengan aturan sehingga
memberikan pemenuhan keinginan. Karena itu, sifat keputusan
yang dibuat oleh legislator ideal tidak berbeda secara material
dengan keputusan pengusaha untuk memaksimalkan
keuntungannya melalui produksi komoditas, atau dari keputusan
konsumen untuk memaksimalkan kepuasannya dengan membeli
beragam barang. Pada setiap kasus, terdapat satu orang yang
sistem hasratnya menentukan alokasi terbaik dari peralatan yang
terbatas. Keputusan yang tepat secara esensial merupakan
pertanyaan tentang administrasi yang efisien. Pandangan
159
mengenai kerjasama sosial ini merupakan konsekuensi dari
perluasan prinsip pilihan bagi satu orang pada masyarakat dan
kemudian agar perluasan ini berhasil menggabungkan semua
orang menjadi satu melalui tindakan-tindakan imajinatif dari
pengamat simpatik yang tak berpihak. Utilitarianisme tidak
menganggap serius perbedaan antar individu.118
Penganut utilitarian mungkin memberikan tanggapan
bahwa semua persoalan ini sudah diperhitungkan dalam usahanya
memaksimalkan kegunaan rata-rata. Jika, misalnya kesetaraan
kebebasan diperlukan untuk menjamin harga diri manusia dan
kegunaan rata-rata bisa tercapai asalkan ada penegasan atas
kesetaraan kebebasan itu, maka pasti kesetaraan itu akan
diwujudkan. Sejauh ini pendapat utilitarian ini terdengar bagus.
Tetapi, persoalan utamanya adalah bahwa kita tidak boleh
melalaikan syarat publisitas. Syarat ini menyatakan bahwa usaha
kita dalam memaksimalkan kegunaan rata-rata menghadapi
hambatan diakui secara terang oleh prinsip kegunaan rata-rata dan
diterima sebagai dasar masyarakat yang fundamental. Hal yang
tidak bisa kita lakukan adalah meningkatkan kegunaan rata-rata
dengan mendorong manusia untuk mengadopsi dan menerapkan
prinsip keadilan non utilitarian. Jika, dengan alasan apapun,
pengakuan publik atas utilitarianisme menciptakan hilangnya
harga diri, maka tidak ada cara untuk menariknya kembali. Dari
118 Ibid, hlm. 140
160
sudut persyaratan yang telah dibahas inilah ongkos yang harus
dibayar dari skema utilitarian. Sehingga, jika kegunaan
seharusnya ditegaskan dan direalisasikan secara jelas sebagai
dasar dari strutur sosial. Karena alasan-alasan yang sudah
disebutkan, kemungkinan besar hal inilah yang akan terjadi.
Sehingga prinsip-prinsip ini akan merepresentasikan prospek yang
menarik dan akan diterima dalam kedua cara berpikir yang telah
diulas di atas. Penganut utilitarian tidak bisa mengatakan bahwa ia
sekarang benar-benar memaksimalkan kegunaaan rata-rata.
Semua pihak justru akan memilih dua prinsip keadilan tersebut.119
Dengan demikian, seperti yang sudah dijelaskan, kita
harus mencermati bahwa utilitarianisme merupakan pandangan
yang menyatakan bahwa prinsip kegunaan merupakan prinsip
yang paling benar untuk dijadikan sebagai konsepsi umum
masyarakat tentang keadilan. Dan untuk menunjukkan hal ini, kita
harus menyatakan bahwa kriteria ini akan dipilih dalam posisi
asal. Jika kita suka, kita bisa mendefinisikan variasi lain dari
situasi awal yang memiliki asumsi motivasi bahwa semua pihak
ingin mengadopsi prinsip-prinsip yang memaksimalkan kegunaan
rata-rata. Pernyataan-pernyataan sebelumnya menunjukkan bahwa
kedua prinsip keadilan masih bisa dipilih (dalam situasai ini).
Tetapi jika demikian kita keliru menyebut prinsip-prinsip ini – dan
teori yang memunculkan teori-teori tersebut – sebagai utilitarian.
119 Ibid
161
Asumsi motivasi itu sendiri tidak menentukan karakter
keseluruhan teori. Sebenarnya, dukungan terhadap prinsip
keadilan justru diperkuat jika prinsip ini dipilih dalam berbagai
asumsi motivasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa teori
keadilan sangat kuat berakar dan tidak terpengaruh oleh
perubahan kecil dalam kondisi ini. Hal yang ingin kita ketahui
adalah konsep keadilan macam apakah yang mencirikan perhatian
kita dalam reflective equilibrium dan paling unggul untuk
dijadikan basis moral umum dalam masyarakat kecuali seseorang
bersikeras bahwa konsepsi unggul itu diberikan oleh prinsip
kegunaan, jawaban pertanyaan itu bukanlah prinsip utilitarian.
Namun, pembela (prinsip) kegunaan bisa bersikeras
mengatakan bahwa prinsip ini juga menyerupai gagasan Kantian,
yaitu gagasan yang diformulasikan oleh Bentham sebagai
“everybody to cpunt for one, nobody for more than one”. Seperti
yang dijelaskan Mill, formula itu berarti bahwa kebahagiaan
seseorang yang dianggap setara derajatnya dengan kebahagiaan
orang lain harus dihitung persis sama. Bobot dalam fungsi
tambahan yang merepresentasikan prinsip kegunaan sama untuk
semua orang, dan wajar jika menganggapnya satu. Bisa jadi
muncul pernyataan bahwa prinsip kegunaan memperlakukan
person sebagai tujuan sekaligus alat. Prinsip ini memperlakukan
mereka sebagai tujuan dengan menetapkan bobot (positif) yang
sama pada kesejahteraan setiap orang; prinsip ini memperlakukan
162
mereka sebagai alat dengan memberi celah pada meningkatnya
prospek hidup sebagian orang untuk mengimbangi menurunnya
prospek hidup sebagian orang lainnya yang sebelumnya telah
berada pada situasi yang tidak berutung. Dua prinsip keadilan
memberikan tafsiran yang lebih kuat dan berkarakter atas gagasan
Kant. Prinsip ini bahkan mengenyahkan kecenderungan untuk
memandang manusia sebagai alat kesejahteraan manusia lainnya.
Dalam kerangka sistem sosial, kita harus memperlakukan person
hanya sebagai tujuan dan sama sekali tidak boleh
memperlakukannya sebagai alat. Argumentasi sebelumnya
menerangkan tafsiran yang lebih tegas ini.120
c. Teori Legislasi
Peter Noll yang menulis buku Gezetzgebungslehre sebagai
gagasan awal,121 telah memberikan perhatian dan pengaruh yang
sangat besar terhadap studi keilmuwan tentang fenomena legislasi.
Sampai saat itu, Noll melihat bahwa teori hukum telah secara
eksklusif terfokus pada ajudikasi, sementara legislasi tidak
menjadi perhatian.122 Ilmu hukum (legal science) secara terbatas
120 Achmad Ali, 2012, Op. Cit, hlm. 250121 Peter Noll, Gesetsgebungslehre, Reinbek: Rohwohlt, 1973, hlm. 314122 Fakta yang menjelaskan bahwa teori hukum dalam legislasi tidak terlalu penting,
terlihat sebagaimana pandangan J. Landis, “Statutes and the Sourches of Law”, dalam“Harvard Legal Essays Written in Honor and Presented to Joseph Hendri Beale and SamuelWilliston”, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1934, hlm. 230. Disebutkan dalambuku tersebut: “the interplay between legislation and adjudication has been generally
163
hanya menerangkan apa yang disebut Noll sebagai “a science of
the application of rules” (Rechtsprechung wissenschaft), yang
lebih banyak memfokuskan penerapan hukum oleh hakim.
Padahal, menurutnya, kreasi para hakim dan para legislator atau
judicial process dan legislative process, sesungguhnya melakukan
hal yang sama.123
Sebelum Peter Noll, tokoh yang memiliki perhatian
terhadap legislasi adalah Jeremy Bentham (1748-1832), lahir di
London Inggris. Salah satu karya terbesar Bentham adalah
Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Out Line
of New System of Logic, Deontology, and Theory of Legislation.124
Senada dengan teori legislasi tersebut, ada pula teori
legisprudence kritis, teori yang menempatkan posisi negara dan
masyarakat dalam dinamika politik yang tidak saling berbenturan,
kompromistik dan bisa saling berbagi peran dalam memproses
pembentukan hukum. Rubin (ahli hukum Amerika Serikat), ketika
menganalisis proses legislasi dalam pembentukan “Truth in
Lending Act” (Undang-Undang Keenaran dalam Pemberian
Pinjaman) di Amerika Serikat, menggunakan bahasa teori
pluralisme dan/atau teori pilihan masyarakat. Teori yang
explored from the standpoint of interpretation. The function of legislature…has been largelyignored”
123 Peter Noll, Op. Cit, hlm. 48124 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, terj. Nurhadi, Bandung: Nuansa Media dan Nuansa, 2006, hlm.2-3. Buku aslinya berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Out Lineof New System of Logic, Deontology, dan Theory of Legislation.
164
menyatakan adanya tawar menawar dari kekuatan relative dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekelompok
legislator yang memiliki jumlah suara besar di parlemen.125
Teori legisprudence kritik ini mengkritisi tafsir dan proses
pembentukan hukum melalui kelembagaan negara dan
mengabsahkannya sebagai satu-satunya proses politik perundang-
undangan. Teori ini meyakini bahwa proses “via negara” dalam
legislasi tidak semata-mata dibawa dan dikawal oleh pemegang
kekuasaan dalam badan legislatif, tetapi banyak dipengaruhi oleh
pengetahuan, peran, kepentingan, dan tafsir-tafsir yang
mengerubuti badan legislatif ataupun aktor-aktornya, untuk
dipilah-pilah mana yang didorong “via negara” dan mana yang
tidak. Artinya, pembentukan hukum tidak lagi bergantung di
bawah doktrin pemisahan kekuasaan, sebagaimana digambarkan
Montesqieu, serta tidak lagi bisa mengklaim politik perundang-
undangan sebagai satu proses prosedural mekanistik.
Tokoh selanjutnya, Fuller, berpendapat bahwa sistem
hukum uang genuine selalu terikat dengan prinsip-prinsip moral
tertentu. Ia menyebutnya prinsip moral dengan istilah “the inner
morality of law”, yang seharusnya menjadi prima facie peletakan
kewajiban kepada warga negara utnuk mematuhi hukum. Fuller
mengakui bahwa dalam praktiknya, produk hukum penguasa
125 Edward L. Rubin, Legislative Methodology: Some Lessons from the Truth inLending Act, 80GEI.L/233, 1991
165
(legislasi) semuanya konsisten dengan prinsip moral tersebut.126
Sementara Dworkin berpendapat berbeda. Ia yang terkenal dengan
“interpretative theory” berkeyakinan bahwa setiap produk hukum
(legislasi) harus dapat diinterpretasikan dan diterapkan dengan
pendekatan moral. Baginya, hukum positif harus memiliki
integritas moral. Integritas mungkin tidak menjamin pencapaian
keadilan, tetapi integritas tersebut menjamin adanya derajat
moralitas tertentu dalam setiap produk hukum, sehingga terhindar
dari legislasi yang sekadar menjadi produk kekuasaan politik.127
Prinsip legalitas sebagai dasar putusan-putusan pengadilan
dan keterbatasan hakim dalam mengaplikasikan hukum, jelas
terkait dengan otoritas atau kedaulatan pada legislator untuk
membentuk aturan-aturan hukum. Perdebatan tentang hukum
tidak cukup menggambarkan cara negara dapat menjalankan
mandat hukum.
Kajian legislasi yang digagas oleh Bentham dan Petre
Noll, mendapatkan ruang dan tempat secara intelektual dari
pemikir hukum dan ahli hukum zaman modern ini. Pada satu sisi,
hukum modern lahir di dunia bersamaan dengan lahirnya negara
modern, yang ditandai pula oleh konstitusi-konstitusi modern,
sekitar abad ke-18. Konstitusi modern ini memiliki pemahaman
bahwa negara modern yang rasional harus membagi-bagi dan
126 Andrew Altman, Arguing about Law: an Introduction to Legal Philosophy, ed. 2,Belmont: Wadsworth, 2001, hlm. 54-58
127 Ibid, hlm. 59
166
memilah-milah tugasnya secara rasional. Dengan demikian, kalau
tidak sepenuhnya bertipe pemisahan, akan ada pembagian kerja
yang rasional. Rasionalisasi inilah yang menghasilkan pembagian
ke dalam berbagai tugas dan peran khusus, yaitu legislatif,
eksekutif dan yudisial.128 Rasionalisasi kerja ini mewarnai
perdebatan soal teori kekuasaan dalam wacana konstitusional
modern ala Montesqieu.
Negara dengan konstitusional modern yang dimaksud di
sini adalah negara yang telah menghasilkan undang-undang dan
konvensi yang telah diakui untuk melaksanakan fungsi-fungsi
ketiga kekuasaan pemerintah, yaitu eksekutif, legislatif dan
yudisial.129
Pemilahan jenis-jenis kekuasaan dalam politik
pemerintahan secara langsung telah memberikan pengaruh besar
bagi proses demokratisasi politik. Pada masa lalu, kekuasaan
senantiasa terpusat pada raja atau kelompok oligarki kekuasaan
tertentu, tetapi sejak lahir teori pemisahan kekuasaan Montesqieu,
kekuasaan tersebut telah terpisahkan dan terbagi dalam kekuasaan
pembentukan hukum, kekuasaan untuk melaksanakan hukum dan
kekuasaan untuk memberikan penghukuman terhadap berbagai
128 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,Muhammadiyah University Press, 2004, hlm. 37
129 CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah danBentuk-bentuk Konstitusi Dunia, diterjemahkan dari Modern Political Constitution: anIntroduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa danNusamedia, Bandung, 2004, hlm. 15
167
bentuk pelanggaran. Pemikiran ini tentu mengguncang model
kekuasaan yang selama ini paternal terhadap kekuasaan raja atau
ratu (sistem kerajaan) saat itu.
Guncangan tersebut tidak hanya dirasakan pada masa
peralihan tersebut, tetapi hingga kini juga sering mengundang
perdebatan yang tak kunjung usai, yaitu menyangkut kekuasaan
legislatif sebagai kekuasaan untuk pembentukan hukum. Pada saat
itulah, lahir teori legislasi dan muncul pemikiran bahwa
kekuasaan legislasi di tangan kekuasaan legislatif atau badan
khusus pembuat hukum. Secara ekstrem, bisa dikatakan bahwa
sejak saat itu, hukum hanya dibuat oleh badan legislatif. Hukum
semata-mata dilihat sebagai hukum negara, terbentuk melalui
proses kelembagaan negara yang sah dan diakui secara konstitusi.
Tafsir keabsahan kelembagaan negara yang demikian,
dalam ilmu hukum, pada babak berikutnya, memperhatikan
wacana ketertiban politik dalam perkembangan ketatanegaraan
yang dibentukdan difasilitasi melalui hukum perundang-
undangan, sebagai produk hukum negara (state law). Akan tetapi,
dibalik proses demokratisasi dalam praktik ketatanegaraan,
muncul hegemoni-hegemoni kekuasaan atas tafsir hukum negara
tersebut. Misalnya, hukum melalui perundang-undangan
dipergunakan untuk mengubah perilaku masyarakat (law as a tool
of social engineering), adalah respons sebgaai tafsir hegemonic
negara atas realitas sosial. Para legislator berupaya mencari akar
168
masalah dan menemukan solusinya, serta menuangkannya dalam
bentuk tulisan yang disahkan menjadi peraturan perundang-
undangan. Pada sisi lain, para ilmuwan hukum terjebak dalam
merumuskan definisi, mendeskripsikan konsep, serta menjelaskan
fenomena hukum baru tersebut. Hal ini akan berbagaya bila
terjadi generalisasi terhadap penafsiran bahwa dalam masyarakat
tidak ada hukum atau tatanan sosial, sehingga generalisasi tersebut
justru memperkuat ketegangan hubungan negara dengan
masyarakat.130
Padahal, hukum diciptakan tidak senantiasa berbanding
lurus dengan keinginan sebagian besar rakyatnya, tetapi justru
sebaliknya, kerap hanya melindungi kepentingan segelintir
pemegang kekuasaan (baik kekuasaan politik maupun kekuasaan
ekonomi). Hukum merupakan produk politik, yang bisa digunakan
untuk mendefinisikan kekuasaan, siapa yang paling banyak suara
(atau pengaruh uang siapa yang paling banyak) dalam proses
legislasi, dialah yang akan menjadi hukum, alias sebagai hal yang
paling benar. Berpijak pada pernyataan tersebut, dengan mudah
dapat dijelaskan jawaban formal tentang badan legislatif, tetapi
lebih dari itu, jelas pula legislator yang berpihak pada tirani
kekuasaan dan konglomerasi ekonomi dan siapa yang sebaliknya.
130 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, CV Pustaka Setia, Bandung,2011, hlm. 146
169
Pada fase berikutnya, dalam suatu konstitusional modern
adalah hukum menjadi alat kontrol kekuasaan, sehingga
pembentukan hukum melalui badan hukum negara yang
berwenang merupakan bentuk yang harus dipenuhi. Dengan
konteks demikian, tidak heran jika lahir legal centralism
(sentralisme hukum), yaitu hukum yang hanya dimaknai sebagai
hukum negara (state law), dan sumber keadilan hanyalah negara.
Di luar hukum negara bukanlah hukum. Karena dalam praktik
ketatanegaraan, kelembagaan kontrol kekuasaan belum tentu kuat
sebagaimana dibayangkan pemikir-pemikir politik, hukum dengan
pemahaman legal centralism telah menjadi alat yang efektif untuk
melegitimasi segala tindakan penguasa, sehingga ia cenderung
melanggengkan kekuasaan, sekalipun dengan kekerasan. Kita bisa
melihat dengan mudah pengalaman praktik ketatanegaraan Orde
Lama dan Orde Baru di Indonesia, bahwa hukum dipergunakan
untuk melanggengkan kekuasaan dari rezim Soekarno (dengan
demokrasi terpimpinnya) dengan rezim Soeharto (presiden
seumur hidup).
Di sinilah letak kegagalan teori-teori legislasi yang
mengasumsikan negara sebagai negara budiman, yang selalu
mampu memberikan pengayoman kepada rakyatnya. Padahal,
negara dengan konstitusional modern, justru cenderung memiliki
potensi utnuk mereproduksi pemahaman sentralisme hukum di
dalam perangkat struktur ketatanegaraan dan instrument represif
170
negara. Para hakim, jaksa, polisi, birokrasi pemerintahan dan yang
paling berbahaya dalam konteks ini, para legislator, terus menerus
mendigdayakan hukum negara sebagia hukum yang berlaku bagi
rakyatnya. Kegagalan teori-teori legislasi yang berbasis kerangka
berpikir legalisme, telah menambah ketegangan hubungan hukum
dalam praktik ketatanegaraan, yaitu hukum negara dengan hukum
rakyat (state law vs folk law), dari hubungan hukum negara-rakyat
sebagai superior-inferior, hingga pada level pengesampingan
hukum rakyat yang dianggap bukan hukum hanya karena
atributnya berbeda. Negara dengan konstitusional modern secara
tidak langsung sampai kapan pun akan terus menyuburkan tarik-
menarik kepentingan atau dinamika antara sentralisme hukum
yang dibawanya, versus pluralisme hukum sebagai tatanan yang
telah ada di tengah masyarakat.131
Apabila posisi rakyat dengan eksistensi hukum yang
dimilikinya kuat, lahir dalam perkembangan teori legislasi dalam
bentuk decentralized power (kekuasaan yang telah
terdesentralisasi) dalam organ-organ sosial. Rakyat akan
mengambil alih peran-peran negara dalam pengambilan
keputusan. Akan tetapi, jika sebaliknya, posisi negara terlampau
kuat sehingga terlampau susah untuk dikontrol oleh publik,
hubungan negara dengan rakyat dalam teori legislasinya adalah
penundukan. Hubungan dalam model penundukan ini berpotensi
131 Ibid, hlm. 147
171
mengancam keberadaan hukum-hukum local, adat dan/atau
kebiasaan tertentu di masyarakat.
Dalam kajian legispridence kritis, pengembangan teori-
teori legislasi diarahkan pada pergulatan pemikiran soal penguatan
peran masyarakat sebagai bagian dari upaya decentralized power,
melalui kritik terhadap negara dengan konstritusional modern
yang selalu eksklusif memperbincangkan diskursus pembentukan
hukum di level negara, bukan sebaliknya, memperkuat peran
publik yang non negara yang terlibat dalam proses legislasi.
Penggalian secara lebih nyata teori-teori legislasi dalam
legisprudence kritis inilah mejadi pekerjaan serius soal
demokratisasi ketatanegaraan ke depan melalui pengembangan
model-model decentralized power.
Implementasi teori legislasi dalam tataran ketatanegaraan
Indonesia secara historis sudah diawali sejak adanya pemikiran
mengenai perencanaan peraturan perundang-undangan dan
kaitannya dengan prolegnas. Pemikiran mengenai perencanaan
peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan prolegnas
telah dimulai sejak tahun 1976 dalam Simposium mengenai Pola
Perencanaan Hukum dan perundang-Undangan di Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.132 Symposium ini ditindaklanjuti oleh pemerintah
dengan mengadakan Lokakarya penyusunan Program Legislasi
132 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Pola Umum PerencanaanHukum dan Perundang-undangan, Bina Cipta, Bandung, 1997
172
Nasional di Manado pada tanggal 3-5 Februari 1997.133 Lebih
lanjut untuk lebih memantapkan Program Legislasi Nasional, pada
tanggal 17-19 Oktober 1983 di Jakarta diadakan “Rapat Kerja
Konsultasi Prolegnas Pelita IV” yang menghasilkan rekomendasi
agar Menteri Kehakiman segera membentuk Panitia Kerja Tetap
Program Legislasi Nasional (Panjatap Prolegnas). Periode ini
dikatakan oleh BPHN disebut Periode Pelembagaan dan
Pembentukan Pola (1983-1998).134
Pada era Reformasi (tahun 1999 sampai sekarang),
Prolegnas tidak hanya menjadi kerja pemerintah, yang dalam hal
ini Menteri Kehakiman dan BPHN, tetapi sudah menjadi program
kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fungsi Prolegnas
ditekankan sebagai instrument utama pengintegrasi dalam
perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
mengikat pemerintah dan DPR. Era ini, dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang telah diperbarui dengan
133 Pada lokakarya inilah, untuk pertama kalinya disusun konsep Program LegislasiNasional yang mencerminkan keseluruhan rencana pembangunan hukum nasional di bidanghukum tertulis secara berencana dan koordinatif oleh BPHN yang dilaksanakan dalam setiapRepelita. Dapat dilihat dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Hak Asasi Manusia RI,Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN, Jakarta, 2008, hlm. 10
134 Tahun 1998 adalah akhir drai Pemerintahan Orde Baru, maka pada era ReformasiProgram Legislasi Nasional secara yuridis telah diatur dengan terbitnya Keppres No. 188Tahun 1988 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang dilengkapidengan Keppres 44 Tahun 1999 tentang Teknis Penyusunan Perundang-undangan dan bentukRUU, RPP dan Keppres. Sebelum keluar Keppres tersebut, Program Legislasi Nasional diaturberdasarkan Inpres No. 15 Tahun 1970 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(berlaku selama seperempat abad)
173
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah babak baru
perkembangan prolegnas.
a. Teori Hukum Progresif
Teori Hukum Progresif dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo
dimana dinyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada
filosofis dasarnya yaitu hukum untuk manusia, bukan sebaliknya
sehingga manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hal
ini mengingat di samping kepastian dan keadilan hukum juga
berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau memberikan
kemanfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa
berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam
konteks mencari kebahagiaan hidup.135 Satjipto Rahardjo
menyatakan “…., baik faktor; peranan manusia, maupun
masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil
sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan
bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu
sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri,
melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.136
Menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum progresif
adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-
putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut
135 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta,2009, hlm.1
136 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang PergulatanManusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
174
semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-
undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata
lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi,
empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan
disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa
dilakukan.137
Bagi hukum progresif proses perubahan tidak lagi berpusat
pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum
mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.
Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan
melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).
Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku
hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi
secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan, pada titik inilah
menurut Satjipto Rahardjo hukum harus dibiarkan mengalir begitu
saja menggeser paradigma hukum positivisme untuk menemukan
tujuannya sendiri. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka
dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan
137 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, GentaPublishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
175
hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang
harus dilayaninya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dipahami bahwa secara
substantif gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata
memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatik melainkan
juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik di mana hukum
dipandang sebagai suatu:
a. Institusi Yang Dinamis
Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan
bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan
mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law
as a process, law in the making). Hukum progresif tidak
memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang
demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus
membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini
bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah
176
hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a
process, law in the making).138
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan
tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika
kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi
pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak
dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum
sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum
yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan
undang-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat
kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka
hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan
kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk
memenuhi kepentingan kepastian hukum.
b. Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah
suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.139 Hukum adalah untuk manusia, dalam artian
hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan
yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena
138 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010,hlm. 72
139 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi ParadigmatikAtas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta,2009, hlm. 31
177
itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah
tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat.
Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan
ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar
dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-
problem kemanusiaan.
c. Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada
aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan
akan membangun sistem hukum positif yang logis dan
rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan
menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu.
Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa
dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan
masyarakatnya. Dengan menempatkan aspek perilaku berada
di atas aspek peraturan, faktor manusia dan kemanusiaan
mempunyai unsur compassion (perasaan baru), sincerely
(ketulusan), commitment (tanggung jawab), dare
(keberanian), dan determination (kebulatan tekad).
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan
kemanusiaan di atas faktor peraturan, berarti melakukan
pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-
positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu
manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial.
178
Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai
tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk
memberikan keadilan kepada siapapun. Mengutamakan
perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan
sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan
memberikan pemahaman hukum sebagai proses
kemanusiaan.140
d. Ajaran Pembebasan
Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai
kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe,
cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-
positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum
progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.
Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum,
maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila
perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule
breaking”.
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud di sini
bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkisme, sebab
apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada logika
kepatutan sosial dan logika keadilan serta tidak semata-mata
berdasarkan logika peraturan semata. Di sinilah pemikiran
hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati
140 Ibid,
179
nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus
pengendali “paradigma pembebasan” itu.
Dengan demikian paradigma pemikiran hukum
progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan
sebaliknya” akan membuat konsep pemikiran hukum
progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan
format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk
mewujudkannya.
b. Diskresi Kepolisian
Diskresi erat kaitannya dengan Teori Hukum Progresif
mengingat hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan
konteks daripada teks aturan semata di sini diskresi satu nafas
dengan tujuan hakiki dari hukum progresif yakni ketertiban,
kesejahteraan, dan kebahagiaan serta dilatarbelakangi oleh
ketertiban hukum tertulis. Menurut Van Apeldoorn, tujuan yang
dirumuskan dalam ketentuan hukum sering kabur sehingga
memberi kesempatan pelaksananya untuk menambahkan atau
menafsirkan sendiri sesuai konteks situasi yang ia hadapi, inilah
konsep diskresi. Dalam pelaksanaan diskresi penyelenggara
hukum dituntut memilih dengan bijaksana bagaimana harus
bertindak. Diskresi yang dilakukan penyelenggara hukum semata-
mata atas dasar pertimbangan kegunaan dan kefungsian tindakan
dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga
kewibawaan hukum itu sendiri.
180
Diskresi (discretion, discretionary power, freies ermessen)
secara harfiah diartikan sebagai pertimbangan kemerdekaan
bertindak atau kebijaksanaan. Menurut Marcus Lukman diskresi
adalah “… sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat
atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan
tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang”.141
Sehubungan dengan hal ini Philipus Mandiri Hadjon menyatakan
sebagai berikut:142
“Kekuasaan pemerintahan semula adalah “legis
execution” yakni melaksanakan undang-undang.
Kekuasaan yang demikian tidak pernah dapat
dilaksanakan, baik dilihat dari sifat tugas pemerintahan
maupun keterbatasan undang-undang. Tugas pemerintahan
tidaklah pasif (hanya melaksanakan undang-undang) tetapi
aktif menyelenggarakan ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat. Demikian juga, tidak ada undang-undang
yang dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Undang-undang sifatnya umum dan ditandai
dengan ciri-ciri “impersonal” dan “abstrak”. Untuk
selanjutnya tugas pemerintah menerapkan undang-undang
dalam situasi konkrit sehingga dengan latar belakang
141 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, 2006, hlm. 177142 Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 185-186
181
undang-undang yang demikian melahirkan asas freies
ermessen.”
Pada hakikatnya diskresi adalah ranah hukum administrasi.
Diskresi merupakan kelengkapan yang secara inheren melekat
pada setiap administrasi negara atau setiap pengelola organisasi
sebagai instrumen untuk memecahkan masalah yang tidak dapat
dijangkau oleh hukum (legality, rechtmatigheid). Dilukiskan
hubungan antara hukum dengan diskresi bagaikan hubungan
antara susunan tulang dengan otot, diskresi sebagai otot akan
memungkinkan hukum sebagai susunan tulang bergerak atau
digerakkan secara teratur.
Lembaga kepolisian sebagai bagian dari administrasi
negara berwenang melakukan diskresi. Menurut putusan Hoge
Raad (Mahkamah Agung) di Belanda tanggal 9 Maret 1917, suatu
tindakan dapat dianggap rechtmatigheid (sah sesuai dengan hukum)
sekalipun tanpa pemberian kuasa secara khusus oleh Undang-
undang, asalkan dilaksanakan berdasarkan batas-batas kewajiban
menurut Undang-undang yang disebut asas plictmatigheid. Asas
plichmatigheid merupakan asas fundamental dalam pelaksanaan
diskresi yang bertujuan untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Asas plichmatigheid
sendiri terdiri dari empat sub asas, yaitu:143
143 Ibid, hlm. 187
182
a. Notwendig noodzakelijk (keperluan), yaitu tindakan diskresi
kepolisian dilakukan untuk meniadakan suatu gangguan atau
untuk mencegah terjadinya suatu gangguan. Apabila tindakan
diskresi kepolisian tersebut tidak diambil maka sesuatu yang
perlu dicegahkan terjadi. Yang terpenting dalam melakukan
tindakan tersebut adalah tidak dilakukan secara berlebihan
yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia
b. Sachlik atau zakelyk (objektif), yaitu tindakan diskresi
kepolisian yang diambil adalah untuk kepentingan tugas
kepolisian dikaitkan dengan masalah yang perlu ditangani.
Tindakan diskresi kepolisian tersebut harus menggunakan
pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan tidak boleh
berdasarkan kepentingan subjektif atau pribadi.
c. Zweckmassig atau doelmatigheid (tujuan), yaitu tindakan
diskresi kepolisian yang diambil adalah untuk mencapai
tujuan hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu
yang dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai
ukuran yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sarana
yang tepat agar tujuan dapat tercapai.
d. Evenredig (keseimbangan), yaitu tindakan diskresi kepolisian
yang diambil harus senantiasa menjaga keseimbangan antara
sifat (keras lunaknya) tindakan atau sarana yang
dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau
berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
183
Ide-ide pokok diskresi kepolisian menurut putusan Hoge
Raad tersebut di atas telah diadopsi dalam ketentuan hukum
nasional Indonesia yakni dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya Pasal 18 ayat
(1) dengan batasan-batasan sebagaimana tercantum dalam Pasal
16 ayat (1) huruf l dan ayat (2), sebagai berikut:
a. Pasal 18
Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
b. Pasal 16
a) ayat (1)
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana,
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
(1) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b) ayat (2)
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan
yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
184
(6) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
(7) selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
(8) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
(9) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa; dan
(10)menghormati hak asasi manusia.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa asas yurisdiktas dan asas legalitas dalam
diskresi sama sekali tidak boleh diabaikan, diskresi harus
berpegang pada tiga prinsip, yaitu:144
a. Wetmatigheid, yaitu diskresi tidak boleh bertentangan
ketentuan hukum yang berlaku (asas legalitas);
b. Rechtmatigheid, yaitu pembuat diskresi harus mempunyai
wewenang atau masih dalam lingkup kewenangan menurut
hukum (asas yurisdiksi). Tanpa wewenang, suatu diskresi
adalah tindakan sewenang-wenang (willekeur);
c. Doelmatigheid, yaitu tindakan diskresi dalam rangka
melindungi kepentingan umum (asas kemanfaatan) dalam
kerangka prinsip pertama dan kedua.
144 Ibid, hlm. 188
185
c. Teori Restorative Justice
Dalam proses pengadilan perkara pidana yang berupaya
maksimal untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran
material, sering muncul keluhan ketidakadilan dari pihak yang
berkepentingan (stakeholder) dalam perkara tersebut. Karena
dalam perkara pidana stakeholdernya tidak seperti dalam perkara
perdata yaitu penggugat dan tergugat, tetapi lebih luas yaitu
korban, pelaku dan masyarakat banyak terutama komunitas sekitar
di mana kejahatan itu terjadi. Bahkan dalam perkara kejahatan
luar biasa yang menyangkut kejahatan kemanusiaan, genosida,
kejahatan perang dan agresi, stakeholdernya adalah masyarakat
internasional dan/atau bangsa-bangsa beradab. Dalam skala lokal,
pelaku kejahatan kesusilaan di Indonesia bida dikucilkan, ditolak
atau dikeluarkan dari komunitasnya. Jika menyangkut kejahatan
tertentu, suatu masyarakat dapat melakukan upacara atau kegiatan
ritual sebagai upaya pemulihan keseimbangan agar jiwa komunal
kemasyarakatan pulih kembali. Fenomena praktek hukum ini
menunjukkan bahwa perbuatan pidana berada dalam kawasan
publik dan tidak berada dalam ranah privat seperti hubungan
keperdataan.145
Proses mengadili dalam perkara pidana merupakan proses
interaksi nalar hukum dan batin untuk mencapai puncak kearifan
145 M. Sholehuddin, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 26
186
dalam memutus suatu perkara. Putusan pengadilan dalam perkara
pidana harus didasarkan atas fakta-fakta yang muncul di
persidangan dan dapat meyakinkan bagi hakim yang memutus
perkara. Bukti-bukti yang sah mengandung arti authentic, reliable
dan valid. Meyakinkan berarti tidak ada keraguan bagi hakim
bahwa ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan
akibat yang timbul. Putusan pengadilan dalam perkara pidana
harus dapat menjelaskan bahwa terdakwa telah terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan (ada dalam ranah lahiriah)
dan bersalah (ada dalam ranah batiniah). Terbuktinya perbuatan
terdakwa tersebut harus dalam kualitas perbuatan pidana dan
bukan terbukti dalam lingkup perdata.
Akan tetapi diperlukan penghayatan terhadap prinsip-
prinsip yang dipegang teguh baik dalam peraturan maupun dalam
pelaksanaan pidana perampasan kemerdekan yang antara lain
mendapatkan preferensi pada alternatif pidana perempasan
kemerdekaan seperti denda, pidana bersyarat, jangan
menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek,
sejauh mungkin menerapkan The Standard Minimum Rules for
The Treatment of Prisoner (SMR). Selalu berusaha
mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan
program-program pembinaan narapidana di luar lembaga. Pidana
penjara sebagai perampasan kemerdekaan di samping itu
berakibat pula kehilangan otonomi untuk menentukan ruang gerak
187
sesuai dengan keinginannya yang dibatasi oleh aturan ketat dalam
lingkungan tembok penjara, kehilangan sekuriti karena terpaksa
berkumpul dengan aneka ragam orang yang bukan pilihannya,
kehilangan hubungan kodrat keanekaragaman seks karena
dipisahkan dengan terpaksa (sexual relationships) dan kehilangan
pekerjaan / penghasilan yang seharusnya diperoleh serta pilihan
pelayanan pribadi. Kelima unsur kehidupan kodrat manusian
tersebut, mengakibatkan dengan mudah keberingasan untuk
berkelahi, homosexual, tekanan penyakit jiwa, dorongan untuk
melakukan pelarian pada setiap kesempatan dan lain-lain keadaan
tidak normal yang membawa akibat buruk lebih banyak daripada
kefaeahannya. 146
Sementara itu, keterlibatan masyarakat sebagai komponen
stakeholder dalam perkara pidana berbanding lurus dengan
jangkauan tingkat berbahayanya kejahatan yang dilakukan.
Komunitas masyarakat banyak sebagai stakeholder juga
merupakan konsekuensi etis dari akibat yang ditimbulkan oleh
kejahatan, sehingga menuntut rasa pertanggungjawaban kolektif
dari masyarakat, karena berbahayanya kejahatan berada dalam
ranah publik. Jika masyarakat beradab tidak melakukan reaksi
terhadap perbudakan, pembunuhan masal atau kejahatan
kemanusiaan lainnya, maka martabat kemanusiaan dapat berubah
146 Sri Sumarwani, Pidana dan Hak-hak Manusia, Undip Press, Jakarta, 2012, hlm.30-31
188
dan merosot menjadi setingkat dengan kebinatangan. Jika bangsa
manusia tidak merespon terhadap penistaan martabat
kemanusiaan, berarti tidak merasa bertanggung jawab dan mati
rasa terhadap harkat kemanusiaan dirinya sendiri. Atensi, empati
dan tanggung jawab stakeholder atas adanya kejahatan manusia
terhadap manusia lainnya merupakan bagian dari sikap moral.
Entitas tanggung jawab, niat, kesalahan dan rasa bersalah
merupakan fokus acuan hukum pidana dan proses pengadilan
perkara pidana.147
Restorative justice bertujuan untuk mewujudkan
pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku dan masyarakat
berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara
yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum
pelaku. Dalam proses pengadilan pidana konvensional,
kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau
direpresentasikan oleh negara cq pemerintah cq kejaksaan dan
kepolisian. Pertanyaannya, seberapa efektif dan representative
pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara
utuh. Perlu cermin besar untuk dapat melihat kepentingan korban
kejahatan, karena menyangkut hak, martabat dan kemampuan
insani dari korban selaku manusia yang berdaulat. Begitu pula hak
dan kepentingan masa depannya. Apalagi kalau korban yang
147 M. Sholehuddin, Op Cit, hal. 26.
189
berstatus kepala keluarga yang mempunyai tanggungan anggota
keluarga.148
Proses peradilan pidana konvensional, terlalu
menyederhanakan masalah hak, martabat dan kepentingan korban
serta masyarakat terkait (stakeholder). Seolah-olah kasus dan
penderitaan yang menimpa diri korban kalau telah ditangani oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan, maka korban, keluarga korban dan
masyarakat (stakeholder) tidak perlu ikut campur tangan lagi serta
menyerahkan nasibnya kepada penegak hukum. Padahal, kalau
pelaku kejahatan dihukum penjara atau denda, kepentingan moril
dan materiil dari korban dan stakeholder tidak terpenuhi. Denda
yang dikenakan kepada pelaku masuk ke kas negara dan nasib
korban terabaikan. Dalam hubungan ini restorative justice
mengajukan cermin besar untuk dapat melihat needs and roles
secara utuh dan jelas. Dalam arti membuat peta tentang
kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku
kejahatan dan masyarakat yang terkait, sehingga ada dasar untuk
mendistribusikan tanggung jawab akibat kejahatan sesuai dengan
posisi peran masing-masing agar tercapai keadilan yang
berkualitas memulihkan. Jadi restorative justice memperluas
lingkaran pihak berkepentingan, sehingga dapat menjangkau
pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam proses
penyelesaian perkara pidana, karena dalam proses peradilan
148 Ibid
190
pidana konvensional ada sisi gelap yang tidak terlibat dan ada
pihak yang kepentingannya tidak tersantuni.
Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif
berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan hanya urusan
pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus
memberikan keadilan secara totalitas yang tidak bisa mengabaikan
kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakatnya. Jadi
peradilan pidana yang restoratif adalah metode pemulihan yang
melibatkan pelaku kejahatan, korban dan komunitasnya di dalam
proses pemidanaan dengan memberi kesempatan kepada pelaku
untuk menyadari kesalahannya dan bertobat sehingga pelaku
dapat kembali ke dalam kehidupan komunitasnya kembali.
Gerakan untuk meningkatkan porsi empati dan derajat
keadilan lebih total kepada korban dan stakeholder juga
dipraktekkan dalam kasus-kasus kejahatan HAM (Hak Asasi
Manusia) di Amerika Latin. Sebagaimana digagas dan
diaplikasikan oleh Dinah Shelton tentang remedy atau proses
penyelesaian perkara pidana yang berkualifikasi mengobati moral
dan fisik, memperbaiki dan menolong pihak-pihak yang dirugikan
secara moril dan materiil. Memulihkan moral yang luka, phisik
yang cacat dan harta yang hilang menjadi acuan dengan
memperlakukan korban dan pelaku secara pantas dan adil, begitu
pula masyarakat yang berkepentingan.
191
Cedera moral kemanusiaan yang dalam, hilangnya harta
dan hak-hak strategis korban serta stakeholder dalam kejahatan
HAM atau kejahatan yang berkualifikasi the most serious crime
lainnya, secara moral yuridis menuntut keterlibatan dan tanggung
jawab negara untuk menerapkan peradilan yang restoratif. Karena
kejahatan demikian menghancurkan peradaban bangsa dan
merupakan musuh bersama umat manusia sehingga menjadi
kewajiban masyarakat internasional dan menuntut
pertanggungjawaban negara untuk mengadilinya. Jadi tanggung
jawab kolektif masyarakat merupakan bagian dari upaya
pengobatan luka batin atau harta yang hilang dan pemulihan
ketertiban hukum serta mencegah timbulnya korban potensial.
Restorative justice bertujuan untuk merestorasi
(membangun kembali) ekuilibrium metafisik kehidupan korban,
masyarakat dan juga pelaku kejahatan. Keseimbangan spiritual
komunitas stakeholder dan korban perlu dipulihkan agar gairah
kehidupan bersinar kembali dalam upaya membangun
peradabannya. Begitu pula pelaku kejahatan perlu diberi ruang
kontemplasi untuk menyadari dan bertobat demi pemulihan jiwa
dan kesadaran sosialnya.149
Dalam mengelola konflik yang timbul dalam kejahatan
HAM Negara Afrika Selatan, Argentina, Chili, El Salvador dan
Guatemala berpengalaman menerapkan konsep remedy yang
149 Ibid
192
dilakukan sebagai complement (pelengkap) dari pelaksanaan
pengadilan HAM. Dalam kacamata teori international human
rights law pengadilan HAM tidak digantikan (substitute) oleh
peran rekonsiliasi dan kebenaran. Ide dasar dan pemberdayaan
lembaga kebenaran dan rekonsiliasi tidak bertentangan dengan
nilai-nilai masyarakat Indonesia. Semua agama di Indonesia
memiliki semangat keadilan dan pengampunan. Dalam perspektif
Islam sebagai contoh, terdapat konsep islah yang mengandung
makna penyelesaian damai suatu perselisihan. Dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat pada kasus Tanjung Priok, Jenderal
Try Sutrisno pernah mencoba menggunakan cara islah dengan
para korban pelanggaran HAM Tanjung Priok. Tetapi karena
prosedur pembentukan lembaga islah tidak memiliki dasar
legitimasi, maka hasilnya pun kurang memuaskan. Dalam hukum
tradisional atau hukum adat di Indonesia dikenal adanya tradisi
rekonsiliasi setelah terjadinya pembunuhan sebagai contoh
rekonsiliasi setelah terjadi pembunuhan di Bengkulu tahun 1914
dan rekonsiliasi setelah pembunuhan atau pembunuhan tidak
berencana di Lampung tahun 1913-1914. Merajut kembali
suasana jiwa yang tercabik-cabik akibat adanya perbuatan pidana,
memang menuntut adanya jiwa besar dari pelaku kejahatan,
korban dan masyarakat yang terkena imbas (stakeholder).150
150 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik danPermasalahannya, Bandung: Mandar Maju, 2005, hlm. 54
193
Perkembangan sistem peradilan pidana yang menekankan
kepada pembaruan pemidanaan yang berhubungan dengan
kejahatan perusahaan serta memberi perhatian yang layak bagi
perlindungan masyarakat dan keadilan bagi korban, juga terjadi di
Amerika Serikat. Pada tahun 1991, Kongres Amerika Serikat
memberlakukan penjatuhan sanksi bagi organisasi, khususnya
lembaga bisnis. Karena sebelumnya ada anggapan umum bahwa
sanksi pidana terhadap kejahatan korporat dirasakan terlalu lunak
dan tidak konsisten, sehingga diberlakukan pendekatan pengenaan
pidana yang optimal. Pengenaan pidana yang optimal ini
berkorelasi dengan kerugian akibat dari perbuatan ilegal dalam
upaya mencegah, menemukan dan menghukum kejahatan.
Dengan demikian, penggunaan sanksi ekonomis merupakan
konsekuensi logis bagi kejahatan korporat yang menimbulkan
kerugian ekonomis yang besar serta pembebanan kewajiban
retribusi. Jadi, pembenaran terhadap pemidanaan (sebagaimana
dipaparkan di atas) didasarkan atas tujuan pemidanaan yang
menginginkan pencegahan, kesepadanan, perlindungan publik dan
restitusi bagi korban.
Kejahatan HAM, kejahatan korporat, kejahatan sadis dan
kejahatan lain yang melibatkan penderitaan korban dan/atau
keluarganya serta masyarakat stakeholder, banyak terjadi di
Indonesia. Hal ini menuntut penggalian pendalaman ilmu,
mengasah kecerdasan moral serta memperpeka naluri keadilan.
194
Dalam arti, penegak hukum bertanggung jawab untuk
menegakkan restorative justice agar korban dan/atau keluarganya
terayomi oleh hukum, masyarakat stakeholder terpulihkan dari
luka (bathin) akibat kejahatan dan pelaku kejahatan disadarkan
atas perbuatannya agar tidak melakukan kembali dan meminta
maaf kepada korban dan/atau keluarganya sehingga dapat
meredakan rasa bersalah. Dengan restorative justice, kehidupan
dan penghidupan korban dan/atau keluarganya, masyarakat
stakeholder dan pelaku menjadi pulih kembali melakukan tugas
dan kewajibannya sesuai dengan porsi hak dan posisi sosial
masing-masing. Sejatinya menegakkan hukum mengemban misi
luhur menjaga dan menegakkan martabat kemanusiaan.151
B. PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
1. Restorative Justice/Mediasi Penal dan Penerapannya (Secara
Umum) di Indonesia
Upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute
Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata,
tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum
pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum
151 Ibid
195
pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah
‘mediasi penal’ (penal mediation).152
Mediasi penal atau mediasi pidana (penal mediation) sering
juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain “mediation in
criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah
Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der
Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA), dan dalam istilah
Perancis disebut ”de mediation pénale”.
Semua pengertian atas istilah mediasi yang telah dikemukakan
tersebut merujuk pada satu pengertian dalam hukum pidana, yakni
mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban untuk
menyelesaikan perkara yang tengah dihadapi dengan jalan
musyawarah untuk mufakat. Karena sifatnya yang demikian itu, istilah
mediasi penal juga dikenal dengan sebutan ”Victim Offender
Mediation” (VOM), Täter Opfer Ausgleich (TOA), atau Offender-
victim Arrangement (OVA). Kemudian karena sifatnya yang mencari
jalan tengah (alternatif) atas suatu penyelesaian perkara pidana,
dikenal pula istilah ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya
”crime control and the criminal justice system” untuk menyebut
mediasi penal ini.
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan
152 CSA Teddy Lesmana, Mediasi Penal, Sebuah Transplantasi Hukum dalamSistem Peradilan Pidana, dalam www.jambilawclub.com, diakses pada 1 Nopember 2013.
196
istilah ADR “Alternative Dispute Resolution”, ada pula yang
menyebutnya “Appropriate Dispute Resolution”).153 ADR pada
umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk
kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak
dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal
tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek
sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui
berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme
musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam
masyarakat (musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah
adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga
sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian
damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja
di proses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam
perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan
hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk
menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif
penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev
153 New York State Dispute Resolution Association Inc, Alternative DisputeResolution in New York State, An Overview, dalam http://www.nysdra.org/, diakses tanggal 9Agustus 2012.
197
Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana
menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata
tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.
Konsep pendekatan Restorative Justice merupakan suatu
pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban.
Restorative Justice menghendaki adanya partisipasi langsung pelaku,
korban, dan masyarakat secara aktif dalam penyelesaian suatu tindak
pidana, di sini kepentingan korban sama pentingnya dengan upaya
membuat pelaku menjadi jera sehingga diharapkan kehidupan sosial
masyarakat dapat pulih kembali. Perwujudan konsep penegakan
hukum pidana berbasis Restorative Justice ialah metode mediasi penal
(mediation in criminal cases) yang dilakukan melalui diskresi
(discretion) aparat penegak hukum.
Dikaji dari perspektif terminologinya mediasi penal dikenal
dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters,
victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris),
strafbemiddeling (Belanda), der Au Bergerichtliche Tatausgleich
(Jerman), de mediation penale (Perancis). Pada dasarnya, mediasi
penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution/ADR) yang lazim
diterapkan terhadap perkara perdata.
Latar belakang pemikiran diadakannya penyelesaian melaui
Restorative Justice ini ialah ide-ide pembaharuan hukum pidana
198
(penal reform) menyangkut ide perlindungan korban, ide harmonisasi,
ide Restorative Justice, ide mengatasi kekakuan (formalitas) dalam
sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem
peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini
(pragmatisme), khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana
penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody) untuk
mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara dengan segala bentuk
dan variasinya di pengadilan (court case overload), Restorative Justice
dipandang sejalan dengan asas “peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Konsep Restorative
Justice berkembang berlandaskan prinsip kerja (working principles)
sebagai berikut:
a. Penanganan konflik (Conflict Handling, Konflikt
bearbeitung).
Tugas mediator adalah membuat para pihak
mengenyampingkan kerangka hukum dan mendorong mereka
terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide
bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik
itulah yang dituju oleh proses Restorative Justice.
b. Berorientasi pada proses (Process Orientation,
Prozessorientierung).
Restorative Justice lebih berorientasi pada kualitas proses
daripada hasil yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan
199
kesalahannya, kebuntuan-kebuntuan konflik terpecahkan,
ketenangan korban dari rasa takut.
c. Proses informal (Informal Proceeding, Informalität).
Restorative Justice merupakan suatu proses yang informal,
tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and
Autonomous Partici-pation, Parteiautonomie/Subjektivie-rung).
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek
dari prosedur hukum pidana melainkan lebih sebagai subjek yang
mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk
berbuat, mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
Restorative Justice/Mediasi Penal yang juga biasa dikenal
dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”, ide atau
wacana dimasukkannya ADR dalam penyelesaian perkara pidana di
Indonesia, antara lain terlihat dari perkembangan sebagai berikut :154
a. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang
berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen
A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara
mempertimbangkan ”privatizing some law enforcement and justice
functions” dan ”alternative dispute resolution/ADR” (berupa
mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem
154 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di LuarPengadilan, Pustaka Magister, Semarang, 2008, hlm. 10-16
200
peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam
dokumen itu sebagai berikut:
”The techniques of mediation, conciliation and arbitration,
which have been developed in the civil law enforcement,
may well be more widely applicable in criminal law. For
example, it is possible that some of the serious problems
that complex and lengthy cases involving fraud and white
collar crime pose for courts could by reduced, if not
entirely eliminated, by applying principles developed in
conciliation and arbitration hearings. In particular, if the
accused is a corporation or business entity rather than an
individual person, the fundamental aim of the court
hearing must be not 21 to impose punishment but to
achieve an outcome that is in the interest of society as a
whole and to reduce the probability of recidivism”.
Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan
dalam lingkungan hukum perdata, seyogyanya juga dapat
diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Dicontohkan
misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur
”fraud” dan ”white collar crime” atau apabila terdakwanya adalah
korporasi/badan usaha. Ditegaskan pula bahwa apabila
terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha, maka tujuan
utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah
201
menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat
bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi
kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive).
b. Dalam laporan Kongres PBB ke-9/1995 tentang ”The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (dokumen
A/CONF.169/16), antara lain dikemukakan:
1) Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan
perkara) di pengadilan, maka peserta kongres menekankan
pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi dan
kompensasi, khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda
(dalam laporan No. 112).
2) Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis)
mengemukakan ”mediasi penal” (penal mediation) sebagai
suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan
penyelesaian negosiasi pelaku tindak pidana dengan korban
(dalam laporan No. 319)
c. Dalam ”International Penal Reform Conference” yang
diselenggarakan di Royal Holloway College, University of
London, pada tanggal 13-17 April 1999 dikemukakan, bahwa
salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum
pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah
perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau
mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai
dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the
202
formal judicial system with informal, locally based, dispute
resolution mechanisms which meet human rights standards).
Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan strategi
pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana,
yaitu mengembangkan/membangun:
1) Restorative justice
2) Alternative dispute resolution
3) Informal justice
4) Alternatives to Custody
5) Alternative ways of dealing with juveniles
6) Dealing with Violent Crime
7) Reducing the prison population
8) The Proper Management of Prisons
9) The role of civil society in penal reform.
d. Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan
Eropa (he Committee of Ministers of the Council of Europe) telah
menerima Recommendation No. R (99) 19 tentang ”Mediation in
Penal Matters”
e. Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke-10/2000 (dokumen
A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk
memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya
diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif
(restorative justice).
203
f. Pada 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat The EU Council
Framework Decision tentang ”kedudukan korban di dalam proses
pidana” (the Standing of Victims in Criminal Proceedings)- EU
(2001/220/JBZ) yang di dalamnya termasuk juga masalah mediasi.
Pasal 1 (e) dari Framework Decision ini mendefinisikan
”mediation in criminal cases” sebagai : ”the search prior to or
during criminal proceedings, for a negotiated solutionbetween the
victim and the author of the offence, mediated by a competent
person”. Pasal 10-nya menyatakan, setiap negara anggota akan
berusaha ”to promote mediation in criminal cases for offences
which it considers appropriate for this sort of measure”.
Walaupun Pasal 10 ini terkesan hanya memberi dorongan
(encouragement), namun menurut Annemieke Wolthuis155,
berdasarkan penjelasan di dalam website Uni Eropa, negara
anggota wajib mengubah UU dan hukum acara pidananya, antara
lain mengenai ”the right to mediation”.
g. Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi
2002/12 mengenai ”Basic Principles on the Use of Restorative
Justice Programmes in Criminal Matters” yang di dalamnya juga
mencakup masalah mediasi.156
Dengan demikian, sejak tahun 1995 melalui Kongres PBB ke-9
sampai dengan tahun 2002 (Resolusi 2002/12 yang telah diterima
155 Ibid, hlm. 15156 Ibid
204
Ecosoc (PBB) tentang Basic Principles on the Use of Restorative
Justice Programmes in Criminal Matters), masalah mediasi dalam
perkara pidana sudah masuk dalam agenda pembahasan di tingkat
internasional. Tentunya, yang melatarbelakangi pemikiran tersebut
adalah adanya ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform),
antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative
justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku,
ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem
pemidanaan yang ada saat ini khususnya dalam mencari alternatif lain
dari pidana penjara dan sebagainya.
Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener Ontario
Kanada pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke
Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika
Serikat, mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Elkhart, Indiana
dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979.
Setelah itu, program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia,
yang perkembangannya paling subur adalah di negara-negara Eropa.
Semakin maraknya penggunaan mediasi penal sebagai
alternatif sistem peradilan pidana untuk menangani ABH adalah
karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan oleh mediasi sebagai
pilihan penyelesaian sengketa seperti fleksibilitas, kecepatan,
rendahnya biaya dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk
menentukan proses dan kesepakatan yang diinginkan. Umbreit,
205
seorang profesor pionir dan pakar mediasi penal dari Amerika Serikat
menawarkan definisi mediasi penal, yaitu:157
“Proses yang memberikan kesempatan kepada korban
pencurian dan tindak pidana ringan untuk bertemu pelaku
dalam suasana yang aman yang terstruktur, dengan tujuan
meminta pelaku langsung bertanggung jawab sambil
menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban. Dengan
dibantu seorang mediator yang ahli, korban mampu
memberitahu pelaku bagaimana kejahatan yang dilakukan
mempengaruhi hidupnya, mendapatkan jawaban dan secara
langsung terlibat dalam membuat rencana restitusi sebagai
bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau
kerusakan yang ditimbulkan”.
Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang
dilakukan orang dewasa maupun anak-anak. Barda Nawawi Arief158
menjelaskan bahwa metode ini melibatkan berbagai pihak yang
bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat
berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi.
Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada
tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau
157 Mark Umbreit, “Introduction : Restorative Justice Through Victim OffenderMediation”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation : An Essential Guide toPractice and Research, ed. UMbreit, San Fransisco : M., Jossey Bass, 2001b, hlm. xxxviii
158 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal...Op. Cit, hlm. 8
206
setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe
pelaku tindak pidana, atau khusus untuk anak-anak atau untuk tipe
tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak
kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan kepada pelaku anak, pelaku
pemula, juga delik-delik berat atau bahkan residivis.
Penggunaan mediasi penal sebagai alternatif peradilan pidana
anak dalam penanganan ABH terbilang baru karena biasanya mediasi
penal digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak
pidana ringan lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan korban, mediasi penal juga dipakai untuk
menyelesaikan tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan
pembunuhan.159 Banyak program mediasi penal dibuat untuk
menghindarkan (diversi) ABH dari penjara untuk mendapatkan pilihan
mekanisme yang lebih murah, cepat dan lebih ringan hukumannya.160
Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan saat ini
sangat diperlukan, karena:
a. Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara
b. Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap
lebih cepat, murah dan sederhana
159 Rodney A. Ellis dan Karen M. Sowers, Juvenile Justice Practice: AcrossDisciplinary Approach to Intervention, Wadsworth, Belmont, 2001, hlm. 205
160 Mark Umbreit dan Robert B. Coates, “The Impact of Victim Offender Mediation: Two Decades of Research”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: AnEssential Guide to Practice and Research, ed. UMbreit, M., Jossey Bass, San Fransisco,2001, hlm. 169
207
c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh keadilan
d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan
pemidanaan.
Walaupun mediasi penal belum memiliki payung hukum dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa
peraturan yang berupaya secara tersirat memungkinkan metode ini.
Barda Nawawi Arief memaparkan perkembangan pengaturan mediasi
penal di Indonesia:161
a. Walaupun perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan
di luar pengadilan, namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan
adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :
1) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang
hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82
KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu
hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum
untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan jika penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam
Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau
“pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan
penghapus penuntutan.
161 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal...Op. Cit, hlm. 34-39
208
2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8
tahun. Menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan
sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun.
Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan
kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua
asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan
kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi
dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3
Tahun 1997)
b. Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum
merupakan “mediasi penal” sepertu yang diuraikan di atas.
Penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan Pasal 82 KUHP di
atas belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan
penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban
(terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi)
yang merupakan sarana pengalihan/diversi (means of dicersion)
untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana.
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM juga membuka
kemungkinan lain dalam memberi kewenangan kepada Komnas
HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM.
Namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan bahwa
semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh
209
Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM juga
dapat hanya memberi saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c) atau hanya
memberi rekomendasi kepada Pemerintah atau DPR untuk
ditindaklanjuti penyelesaiannya (sub d dan sub e). Demikian pula
tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat
adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan
penuntutan atau pemidanaan. Di dalam Pasal 96 (3) hanya
ditentukan, bahwa “keputusan mediasi mengikat secara hukum dan
berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
d. Di beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dan kasus KDRT (kekerasan
dalam rumah tangga). Namun ketentuan mediasi penal itu tidak
terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
maupun dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT.
e. Gugurnya kewenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP
dan di dalam Konsep Rancangan KUHP digabung dalam satu
pasal dan diperluas dengan ketentuan sebagai berikut:
Kewenangan penuntutan gugur, jika:
1) Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
2) Terdakwa meninggal dunia
3) Daluwarsa
4) Penyelesaian di luar proses
210
5) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak
pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda
paling banyak kategori II
6) Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
7) Presiden memberi amnesti atau abolisi
8) Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada
negara lain berdasarkan perjanjian
9) Tindak pidana aduan yang tidak ada pengadilan atau
pengaduannya ditarik kembali
10) Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Bisa disimpulkan berdasarkan ketentuan tersebut bahwa
Rancangan KUHP memungkinkan penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan. Walaupun pengaturan rincinya belum ada, namun akan
diatur lebih lanjut di dalam Rancangan KUHP. Pengintegrasian
mediasi dalam sistem peradilan Indonesia sebenarnya sudah
dilakukan, walaupun baru dalam kasus perdata. Itupun baru dalam
bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang secara hierarkis
berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan sebuah Undang-
Undang. Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan ini untuk
menerjemahkan undang-undang yang belum jelas peraturanya. Namun
kewenangan ini sebatas prosedural dan bukan substantif. Dalam
PERMA mediasi perkara perdata tersebut dinyatakan:
211
“Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan
memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur
acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan
kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu
menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung”.
Mediasi penal bisa saja diintegrasikan dalam sistem peradilan
pidana melalui penerbitan PERMA karena akan menyingkat waktu
dibandingkan menerbitkan sebuah Undang-undang yang memakan
waktu lama. Namun, walaupun hal ini sudah merupakan terobosan
hukum yang konstruktif, akan lebih baik kalau mediasi mempunyai
dasar hukum dalam bentuk undang-undang karena akan berlaku secara
nasional, tidak hanya berlaku dalam lingkup internal pengadilan yang
menjadi yurisdiksi sebuah PERMA. Hal ini pula yang menjadi salah
satu hambatan mendasar dalam implementasi mediasi perkara perdata
di pengadilan selama ini.162
Akan lebih baik lagi bila mediasi dimasukkan dalam
Rancangan KUHP karena akan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat para pihak dan aparat penegak hukum dengan kuat.
Walaupun RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menurut
162 Fatahillah A. Syukur, Contrains Hampering The Implementation of IndonesianCourt Annexed Mediation and Some Proposed Solution, Paper presented at the 4th AsiaPacific Mediation Forum Conference, 2008, hlm. 11
212
rencana memuat mediasi sebagai metode penyelesaian perkara ABH
segera disahkan, dikhawatirkan nasibnya juga akan sama dengan
undang-undang lain seperti UU Pengadilan Anak dan UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Walaupun UU
tersebut mempunyai substansi lebih reformatif dan ancaman pidana
lebih berat bagi pelanggar hukum, tetapi tidak dipakai oleh aparat
penegak hukum karena pandangan legalistik an sich aparat penegak
hukum yang hanya berpedoman pada hukum acara yang berlaku.
Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendasi Dewan
Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”,
dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut:
a. Model “Informal Mediation”
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana
(criminal justice personel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat
dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang
para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan
tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan, dapat
dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation
officer) oleh pejabat polisi atau oleh hakim. Jenis intervensi
informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
b. Model “Traditional Village or Tribal Moots”
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk
memecahkan konflik kejahatan di antara warganya.
213
1) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di
wilayah pedesaan/pedalaman
2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas
3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi
inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern.
Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan
berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam
bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan
hak-hak individu yang diakui menurut hukum.
c. Model “Victim Offender Mediation”
1) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang
paling sering ada dalam pikiran orang
2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan
dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari
model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,
mediator independen atau kombinasi
3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik
pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap
pemidanaan atau setelah pemidanaan
4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak
pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe
tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan
tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku
214
anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat
dan bahkan untuk residivis.
d. Model “Reparation Negotiation Programmes”
1) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi
atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana
kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan
2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para
pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan
materiel
3) Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan
program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar
ganti rugi/kompensasi.
e. Model “Community Panels or Courts”
Model ini merupakan program membelokkan kasus pidana
dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang
lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi
atau negosiasi.
f. Model “Family and Community Group Conferences”
1) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand,
yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (Sistem
Peradilan Pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku
tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga
masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim
anak) dan para pendukung korban
215
2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan
yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat
membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari
kesusahan/persoalan berikutnya.
2. Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas dalam Kerangka
Restorative Justice
Walaupun dalam asas hukum positif Indonesia (perspektif
yuridis) tidak mengenal istilah tindak pidana (termasuk tindak pidana
lalulintas) dapat diselesaikan di luar pengadilan akan tetapi dalam hal-
hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar
pengadilan, namun demikian dalam praktik penegakan hukum tidak
sedikit tindak pidana (termasuk tindak pidana lalulintas) diselesaikan
di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum (diskresi
kepolisian), mekanisme perdamaian, dan lembaga adat. Mengingat
praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada
landasan hukum formalnya dan hanya berkembang dalam dimensi
praktik maka lazim terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan
penyelesaian damai namun tetap diproses ke pengadilan sesuai hukum
positif yang berlaku, sehingga sungguh sangat menciderai rasa
keadilan bagi para pihak. Restorative Justice sebagai salah satu
alternatif penyelesaian perkara di bidang hukum pidana menunjukkan
bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar.
216
Dalam penyelesaian tindak pidana di bidang lalu lintas dengan
kerangka Restorative Justice, eksistensi nilai keadilannya dapat dikaji
dari berbagai perspektif, yaitu filosofis, sosiologis dan juga diskresi
kepolisian, sebagai berikut :
a. Perspektif filosofis
Eksistensi Restorative Justice mengandung asas
diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan
berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-
kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai peradilan dengan
pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law
enforcement process). Melalui proses Restorative Justice maka
diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan
para pihak yang terlibat dalam tindak pidana (termasuk tindak
pidana lalu lintas) tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban.
Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan
mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan
perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku
dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan,
disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi
yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win).
Restorative Justice mempunyai implikasi bersifat positif
dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara
cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif
217
lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan
komponen sistem peradilan pidana.
b. Perspektif sosiologis
Perspektif sosiologis berorientasi pada masyarakat
Indonesia yang akar budaya masyarakatnya berorientasi pada nilai
kekeluargaan dan mengedepankan asas musyawarah mufakat
menurut kearifan lokal hukum adat untuk menyelesaikan suatu
sengketa dalam suatu sistem sosial.
Kearifan lokal hukum adat, menurut pandangan Soepomo
diartikan sebagai “suatu hukum yang hidup, karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta hukum
adat bersifat dinamis dan akan tumbuh serta berkembang sejalan
dengan perkembangan masyarakatnya”. Dimensi kearifan lokal
hukum adat yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan
religius ini berkorelasi dengan aspek sosiologis dari cara pandang
dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktik sosial
masyarakat Indonesia, lembaga Restorative Justice sudah lama
dikenal dan telah menjadi tradisi, masyarakat Papua misalnya
dikenal “budaya bakar batu”, sebagai simbol budaya lokal, yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk
perkara pidana melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni
sosial.
c. Perspektif diskresi kepolisian
218
Restorative Justice dalam dimensi hukum negara (ius
constitutum) sejatinya belum banyak dikenal, khususnya di tingkat
proses penyidikan tindak pidana, hanya ada beberapa aturan yang
dapat dipakai menjadi dasar hukum pemberlakuan Restorative
Justice pada tahapan proses penyidikan di Indonesia dan satu
diantaranya adalah Surat Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. Pol. : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14
Desember 2009 perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR).
Surat ini menjadi rujukan bagi Kepolisian untuk
menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana ringan, seperti Pasal
205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482. Surat ini efektif
berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan
dan penyelidikan. Beberapa point penekanan dalam Surat
Kepolisian tersebut antara lain:
1) Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai
kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui
ADR;
2) Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-
pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai
kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum
yang berlaku sacara profesional dan proporsional;
219
3) Penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada
musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat
sekitar;
4) Penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma
hukum sosial serta memenuhi asas keadilan;
5) Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak
lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
dan untuk jenis tindak pidana di bidang lalu lintas adalah tidak
termasuk di dalamnya, sehingga penyelesaian tindak pidana di
bidang lalu lintas dengan kerangka Restorative Justice sampai
dengan saat ini adalah belum ada payung hukumnya.
Dalam konsepsi diskresi kepolisian yang erat kaitannya
dengan Teori Hukum Progresif, dimana dinyatakan bahwa
pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya yaitu
hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya, sehingga manusia
menjadi penentu dan titik orientasi hukum, hukum progresif lebih
mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks aturan semata,
sehingga ketika proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas
dalam kerangka restorative justice pada faktanya belum ada
payung hukumnya, maka dalam hal ini, dengan mendasari tujuan
dari proses penegakanan hukum yaitu untuk kepentingan keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan, dengan dilandasi nilai filosofi
yang sangat tinggi yang didalamnya terkandung makna dari
persepektif kisas dan diat dalam hukum Islam, maka menjadi
220
sangat jelas lagi tegas bahwa secara konsepsional inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup, maka oleh
karenanya proses perubahan tidak lagi berpusat dan bergantung
pada peraturan, tetapi pada kreativitas penyidik lalu lintas dalam
mengaktualisasikan hukum pada ruang dan waktu yang tepat. Oleh
karenanya, dengan mendasari Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka penyidik
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri guna melakukan
perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap
peraturan yang ada berupa UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang UULAJ, tanpa harus
menunggu perubahan peraturan (changing the law) karena
senayatanya bahwa hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan”
daripada “prosedur”.
Dalam hal ini, diskresi kepolisian diproyeksikan secara
hukum dapat memayungi kegiatan penyidik kepolisian dalam
melakukan penyelesian tindak pidana lalu lintas dalam kerangka
Restorative Justice yang didasari atas adanya kesepakatan hasil
musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan dari para pihak
yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (pelaku dan korban atau
221
keluarga), dimana sebelumnya antara kedua pihak telah saling
memaafkan, saling menyadari bahwa tindak pidana kecelakaan
lalu lintas tersebut terjadi terjadi karena suatu kealpaan dan bukan
karena kesengajaan, kemudian diakhiri dengan memberi dan
menerima ganti rugi sesuai dengan yang dikehendaki di antara
para pihak yang telibat di dalamnya.
d. Perspektif kebijakan Islam/Wisdom Islam, Teori Ta’wil al-Ilmu
Dalam teori Ta’wil al-Ilmu, yaitu menggabungkan tiga
aspek : aspek bayani (tekstual), aspek burhani (rasional) teori dan
aspek Kasyfi (spiritual).
Ide pendekatan Bayani, Burhani dan Kasyfi awalnya
dikemukakan oleh Muhammad ‘Abid al Jibiri dalam buku-
bukunya:
1) Takwin al Aql al Araby,
2) Bunyah al Aql al Araby, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li
Nudzumi al Ma’rifah fi al Tsa qafah al Arabiyah.
Kedua buku ini berisi kajian yang mendalam tentang keislaman
dalam tataran humanties (kemanusiaan) secara umum. Sedang
kitabnya yang ketiga yakni :
3) Al Aql al Siyasi al Araby, merupakan aplikasi dalam sosial
politik masyarakat muslim.
Dari pemikiran Dr. al Jabiri ini oleh Prof. Amin Abdullah
diteorikan dengan epistimologi Ta’wilul Ilmiy. Buku-buku al
Jabiri di atas, khususnya buku kedua berisi pendekatan pemikiran
222
berupa analisa kritis dan pencerahan dalam pemikiran terhadap
syari’ah dalam arti luas (Akidah, Ahkam dan Akhlak) melalui
sumbernya. Syari’ah yang sumber pokoknya al Qur’an, dijadikan
subyek dan obyek kajian akal.163
Selama ini nash (teks) al Qur’an sebagai subyek
ditafsirkan dengan istilah bayani yang pengertiannya adalah teks
sesuatu yang sudah matang untuk diterapkan. Tidak juga
didudukkan sebagai obyek kajian, pemahaman, pemaknaan, dan
interpretasi. Padahal mendudukkan nash, pemahaman,
pemaknaan, dan interpretasi sebagai obyek di samping subyek
kajian inilah yang merupakan pengembangan pemikiran dalam
studi ke-Islaman yang oleh Prof. Amin Abdullah dimaksudkan
dengan At Ta’wil Al ‘Ilmi yang diungkapkan sebagai wacana
pengembangan pemikiran penafsiran terhadap al Qur’an.
Maksudnya al Qur’an dijadikan sebagai subyek dan obyek telaah
ilmu keislaman yang baru.
Dr. Al Jabiri sendiri dalam kitabnya Bunyatul ‘aqli al
‘Araby dalam mengemukakan pendekatan bayani itu mulai
dengan memaknakan al Bayan dari segi bahasa dan pemakaian
para pakar terhadap kata istilah al Bayan itu. Dalam paparannya,
dikemukakan bahwa al Qur’an menyebut kata dengan
menggunakan akar kata ba, ya, dan nun, sampai 250 kali. Sedang
163 Abdullah, Amin, “al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma PenafsiranKitab Suci”, Jurnal Al-jami’ah IAIN Sunan Kalijaga, Volume 39, No. 2, Juli – Desember2001
223
Ibnu Mundhur (ahli bahasa) dalam bukunya lisanul a’rab
menyimpulkan ada lima arti pokok al Bayan, yaitu:164
1) Menghubungkan satu dengan yang lain.
2) Memutuskan satu dengan yang lain.
3) Mengungkap satu pengertian dengan jelas.
4) Mengemukakan pengertian tentang kemampuan
menyampaikan sesuatu dengan jelas.
5) Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.
Asy Syafi’iy disamping keahliannya bidang fiqih dan
ushul fiqh, juga terkenal alih bahasa, mengemukakan tentang
fungsi bayani ini pada dataran teori ilmiyyah yang kemudian oleh
Al Jahidh diletakkan dalam datara praktis.
Adapun al Jahidh, seorang mufassir yang banyak
menyoroti ayat dari segi bahasa, seperti pemikiran al Jabiri,
mengemukakan bahwa sehubungan dengan al Bayan ini perlu
diberi batasan, sehingga kalau diterapkan dalam pemaknaan al
Qur’an dapat sesuai. Untuk itu al Jahidh menulis dua kitab:165
1) Nudhumul Qur’an (susunan kata al Qur’an).
2) Ayul Qur’an (ayat-ayat al Qur’an).
Di samping itu al Jahidah yang juga dikualifikasikan ahli
ilmu kalam itu menulis buku yang bernama “al Bayan wat
164 Ibid165 Ibid
224
Tabyin”. Dalam kitab itu memberikan syarat efektivitas ketentuan
bayani itu pada:166
1) Kelancaran pengucapnya.
2) Baik pilihan kata-kata.
3) Dapat mengungkapkan maksud pembicaraan yang lengkap
dengan:
a) Kata-kata yang baik dan jelas.
b) Isyarat-isyarat yang tepat.
c) Tulisan yang terang.
d) Dengan janji dan persetujuan.
e) Dengan kenyataan yang ada yang berupa fakta.
4) Bayan dari segi balaqhah (seni sastra) adalah ungkapan
kata-kata dalam susunan yang dapat memberikan makna yang
jelas.
5) Dari segi kekuasaan bayan juga dimaksudkan untuk dapat
mempengaruhi orang lain.
Kalau mau dirumuskan dalam satu ungkapan, bahwa
menurut al Jahidh kata al Bayan itu adalah kata yang umum yang
meliputi bermacam-macam pengertian. Rincian pengertian bayan
itu antara lain dapat difahami oleh akal manusia, sehingga bayan
dan akal manusia itu dua hal yang saling melengkapi. Demikian
166 Ibid
225
dikemukakan Ibnu Wahab. Oleh al jabiri dikatakan bahwa Ibnu
Wahab membagi bentuk bayan dalam empat macam:167
1) Bayan al I’tibar (ialah sesuatu yang dapat membawakan pada
pengertian, yang dibagi dua :
a) Yang nampak didapati dengan panca indera seperti
panasnya api dapat diketahui dengan meraba benda yang
panas.
b) Yang tidak nampak, tetapi dapat dicapai dengan
menyamakan (qiyas) dan dengan memahami berita.
2) Bayan al I’tiqad, (ialah yang dapat membawa pengertian
dalam fikiran dan membawa keyakinan dalam hati).
3) Bayan al ibarah (ialah pernyataan yang dapat menunjukkan
pada usatu pengertian, baik yang dhahir yang tidak
memerlukan pada tafsir (penjelasan) lebih lanjut maupun yang
bathin yang memerlukan pada penjelasan (tafsir). Yang bathin
lebih lanjut dapat dicapai dengan menggunakan sistem qiyas
dan pemikiran dan menggunakan dalil dan khabar. Adapun
yang dimasukkan dalam qiyas dan pemikiran setelah istidlal
adalah ijtihad dalam memahami arti yang dimaksudkan oleh
bayan tersebut. Sedang khabar adalah sunnah yang
menjelaskan terhadap syari’at.
4) Bayan al kitab, (tulisan) yang akan memberi penjelasan orang
sesudahnya dan orang yang tidak hadir pada waktu itu.
167 Ibid
226
Kesimpulan yang diberikan oleh Dr. M.A. Al Jabiri ialah
bahwa al Bayan itu dapat dibagi dua, yakni:168
1) Sesuatu yang diterima (mauhuban) dan
2) Sesuatu yang diusahakan dan ditanggapi (maksuban).
Jadi prinsip pendekatan al Bayan ialah gambaran akal
yang merupakan gharizah (insting) yang tidak akan sampai pada
perwujudan yang dimaksud kecuali dengan usaha pencarian
manusia dengan perantaraan khabar (nash) maupun dengan
perantaraan nadzar (pemikiran). Pemikiran ini adalah kemampuan
dan usaha akal dalam menanggapi dan menangkap petunjuk atau
dalil yang disebut amarat. Dalam pengamatannya Al Jabiri setelah
mengemukakan bahwa asy Syafi’i sebagai ahli bahasa dan ahli
fiqih/ushul fiqih telah membuat qaidah-qaidah tentang tafsirul
khithap (qaidah tentang penafsiran terhadap nash). Juga al Jabiri
mengemukakan pendapat al Jahidh yang telah menelurkan qaidah-
qaidah menuju kepada hasil-hasil khitap. Dan Ibnu Wahab yang
telah menelurkan jalah dalam rangka mendapatkan pengertian
yang dapat mendatangkan keyakinan. Akhirnya ia menyimpulkan
bahwa sebenarnya pemikiran ahli bahasa, ahli kalam, dan ahli
ushul dan fiqih keseluruhan menggunakan al Bayan dalam
memahami nash-nash baik sebagai subyek maupun obyek.
168 Ibid
227
Lebih lanjut oleh al Jabiri dikemukakan bahwa dalam
lapangan bahasa seperti ilmu nahwu ada cara yang penerapannya
menggunakan ilmu mantiq seperti dalam penggunaan bentuk kata
benda yang menggunakan bentuk isim alat, isim makan (tempat),
dan sebagainya. Juga dalam menghubungkan lafadl (kata) dengan
maknanya. Demikian pula pada ilmu ushul fiqih, dalam
memahami nash sebagai sumber yang harus difahami sebagai
subyek juga menggunakan qaidah yang dibentuk atas dasar:169
1) Qaidah lughawiyyah, dan
2) Qaidah syar’iyyah.
Keduanya mendudukkan adanya epistimologi ijtihad yang
termasuk di dalamnya menjadikan rumusan maqashidusy syari’ah
(tujuan penetapan hukum) adalah kemashlahatan. Dalam ilmu
kalam adanya perbedaan pendangan apakah al Qur’an qadiem
atau hadits (sesuatu yang baru) dan selesailah perdebatan itu
dengan penyelesaian bahwa al Qur’an itu Qadiem makna-
maknanya sedang lafadl serta hurufnya adalah hadits (baru,
maksudnya makluq) maka lafadl dan huruf al Qur’an itu lafadlnya
dapat ditanggapi oleh akal (fikiran) manusia maksudnya, tidaklah
tabu fikiran manusia itu mengembangkannya sebagai mana dalam
bahasa ada qiyas dan dalam fiqih ada ijtihad.
Pengembangan pemikiran ini merupakan wacana yang
terus menerus perlu dikaji dalam rangka menatap kemajuan
169 Ibid
228
dimasa kini dan mendatang. Metode memahami nash dengan
tafsir dan ta’wil ala mufassirin, dikembangkan menjadi dengan
tafsir dan ta’wil ilmiy, penta’wilan nash dengan menjadikan nash,
dijadikan pula obyek di samping subyek. Tentu metodenya pun
harus difikirkan untuk tidak keluar dari jalur kebenaran.
Kebenaran yang berdasarkan pada wahyu yang diterima untuk
difahami dan diamalkan sebagai sumber agama juga kebenaran
yang dapat difahami dan diamalkan agama sebagai rahmatan lil
‘alamien. Untuk itu diperlukan pendekatan lain yakni irfani dan
burhani yang akan dibicarakan pada rubrik manhaj ini yang akan
datang. Insya Allah.
e. Perspektif kebijakan lokal/wisdom local masyarakat
Indonesia (perspektif Pancasila / sila-sila dalam Pancasila)
Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara
umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.170 Kearifan lokal atau sering disebut local
wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
170 Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, JurnalFilsafat Jilid 37, Nomor 2, 2004, hlm. 111
229
tertentu.171 Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana
wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi.
Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
‘kearifan/kebijaksanaan’. Kearifan lokal merupakan pengetahuan
yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi
bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal
yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan
lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan
kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan
harmonis. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar
sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu
mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh
keadaban. Pada akhirnya kearifan lokal dijadikan pandangan hidup
dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka
yang meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan,
ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
171 N. A. Ridwan, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda P3M STAINPurwokerto, Vol 5 No. 1, 2007, hlm. 27-38.
230
serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program,
kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan,
memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan
memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang
terdapat pada warga mereka.
Masyarakat harmonis jika dipahami secara sepintas
merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan
semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua dan sila
keempat dari Pancasila. Dalam masyarakat yang harmonis, warga
bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan
solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk
mencapai kebaikan bersama. Beberapa indikator yang dapat
digunakan sebagai ukuran dalam mewujudkan tercapainya
masyarakat harmonis, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama
atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan
terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya
kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya
eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh
toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang
demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; dan 6)
terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan
bertanggung jawab.
231
BAB IIIEKSISTENSI KONSTRUKSI PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG
HUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICEDI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
A. PEJABAT PENYIDIK DALAM KUHAP
Salah satu alasan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana untuk menggantikan Herziene Inlands Reglement adalah
karena masalah Hak Asasi Manusia (human rights). HIR, yang
merupakan kodifikasi peninggalan penjajahan Belanda, dipandang kurang
memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Karenanya dapat diduga bahwa selayaknya jika KUHAP (Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) berisi
ketentuan-ketentuan beracara pidana yang memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap Hak Asasi Manusia dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan acara pidana dalam HIR.
Dengan membaca pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP dapat
ditemukan sejumlah ketentuan dimana kepada Penyidik dibebani
sejumlah kewajiban dalam melakukan pemeriksaan tersangka. Kewajiban
itu antara lain kewajiban memberitahukan kepada tersangka tentang
haknya didampingi penasihat hukum.
Dalam tahap penyidikan di bawah berlakunya KUHAP terdapat
beberapa pajabat, yaitu:
Penyelidik;
Penyidik; dan
232
Penyidik pembantu
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia
(Pasal 4 KUHAP). Fungsi penyelidik adalah melakukan penyelidikan,
yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan (Pasal 1 butir 5 KUHAP).
Penyidik, menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP, adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dikemukakan lagi bahwa
penyidik adalah:
Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
Sedangkan menurut Pasal 1 butir 3 KUHAP, bahwa Penyidik
Pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu pejabat polisi negara
Republik Indonesia, karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
233
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda mengenal
diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Menurut Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, Penyelidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP, penyelidik dapat melakukan tindakan
berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
234
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
B. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PENYIDIK
1. Kewajiban-Kewajiban Penyidik Dalam Pemeriksaan terhadap
Tersangka
Dalam KUHAP, khususnya Bab XIV Bagian Kedua tentang
Penyidikan, yang mencakup Pasal 106 sampai dengan Pasal 136,
diatur sejumlah kewajiban Penyidik dalam memeriksa tersangka.
Selain itu dalam KUHAP terdapat Bab VI yang berjudul "Tersangka
dan Terdakwa", yang mencakup Pasal 50 sampai dengan Pasal 68,
dimana ditentukan sejumlah hak tersangka. Apa yang di satu pihak
merupakan hak tersangka dengan sendirinya di lain pihak menjadi
kewajiban dari Penyidik.
Dengan meneliti pasal-pasal dalam kedua Bab tersebut, maka
di antaranya ada pasal-pasal yang menentukan kewajiban-kewajiban
Penyidik terhadap tersangka dalam melakukan pemeriksaan.
a. Kewajiban Penyidik terhadap tersangka sebelum
dimulainya pemeriksaan
Kewajiban-kewajiban Penyidik terhadap tersangka
sebelum dimulainya pemeriksaan yang diatur dalam Bab XIV
Bagian Kedua adalah sebagai berikut :
235
1) Kewajiban memanggil tersangka dengan surat panggilan yang
sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar.
Pada Pasal 112 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa
Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan
alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil
tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan
tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
Pemanggilan memang memiliki tenggang waktu
dengan saat dilakukannya pemeriksaan. Tetapi, dilakukannya
pemeriksaan, kebanyakan dimulai dengan pemanggilan
terlebih dahulu, sehingga antara keduanya terdapat kaitan
yang amat erat. Karenanya, penulis memandang perlu untuk
dilakukannya pembahasan terhadap hal ini.
Pemanggilan harus dilakukan : (1) dengan surat
panggilan yang sah, dan (2) dengan memperhatikan tenggang
waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari
seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Jadi,
pemanggilan harus dilakukan dengan surat panggilan. Surat
panggilan yang sah berarti surat panggilan itu harus
memenuhi standar sebagaimana layaknya suatu surat resmi,
yaitu setidak-tidaknya memiliki kepala surat yang
menyebutkan identitas dari kantor/instansi dan ditandatangani
236
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor/instansi
yang bersangkutan.
Surat panggilan juga harus menyebutkan "alasan
pemanggilan secara jelas". Mengenai hal ini dikatakan oleh
M. Yahya Harahap bahwa,
Dengan menyebut alasan pemanggilan, orang yang
dipanggil sudah tahu dari semula untuk apa dia
dipanggil, apakah sebagai tersangka, saksi atau
sebagai ahli. Sering dijumpai surat panggilan yang
kabur. Artinya tidak dicantumkan secara tegas apakah
yang dipanggil itu sebagai saksi atau tersangka.
Misalnya hanya menyebut: dipanggil menghadap
tanggal sekian sehubungan dengan pemeriksaan
perkara pidana yang dituduhkan berdasarkan pasal
338 KUHP. Bentuk panggilan seperti ini nampaknya
tidak fair. Seolah-olah sengaja untuk menakuti orang
yang dipanggil. Padahal nyatanya orang yang
dipanggil tadi hanya akan diperiksa sebagai saksi.
Pemanggilan seperti ini, di samping bentuknya kabur,
sekaligus juga telah melanggar landasan penegakan
kepastian hukum bagi orang yang dipanggil. Oleh
karena itu dengan berlakunya KUHAP yang dalam
salah satu tujuannya adalah menegakkan kepastian
237
hukum, haruslah tegas dijelaskan status orang yang
dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi.172
Sebagaimana dikatakan oleh M. Yahya Harahap, surat
panggilan yang tidak menyebutkan status terpanggil apakah
sebagai tersangka atau saksi, merupakan surat yang kabur dan
melanggar kepastian hukum.
2) Kewajiban memberitahukan kepada tersangka dengan jelas
dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan kepadanya.
Menurut Pasal 51 huruf a KUHAP, untuk
mempersiapkan pembelaan tersangka berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai.
Hak tersangka ini di lain pihak merupakan kewajiban
dari Penyidik. Dengan demikian, Penyidik berkewajiban
memberitahukan kepada tersangka dengan jelas dan dalam
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan kepadanya.
3) Kewajiban memberitahukan kepada tersangka haknya
mendapat bantuan hukum.
172 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sarana
Bakti Semesta, Jakarta, 1985, hlm. 125
238
Pada Pasal 114 KUHAP ditentukan bahwa dalam hal
seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum
dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib
memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa di dalam
perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 KUHAP.
Didampingi oleh seorang atau lebih penasihat hukum
adalah merupakan hak dari tersangka. Hak ini berlaku untuk
semua tindak pidana, terutama apabila tindak pidana yang
disangkakan itu tidak diancamkan pidana mati, tidak
diancamkan pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi yang tidak
mampu tidak diancamkan dengan pidana 5 tahun atau lebih.
Jika tindak pidana itu diancamkan pidana mati, dan
seterusnya itu, maka didampingi oleh penasihat hukum,
bukan lagi hanya sekedar hak melainkan sudah merupakan
suatu kewajiban.
Penyidik wajib memberitahukan adanya hak ini
kepada tersangka. Apakah tersangka akan menggunakan
haknya ini atau tidak, diserahkan kepada tersangka sendiri.
Dalam hal tersangka berkehendak untuk didampingi
penasihat hukum, maka penyidik wajib memberikan
kesempatan kepada tersangka untuk mendapatkan penasihat
hukum. Ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 54
239
dan 55 KUHAP. Menurut Pasal 54, guna kepentingan
pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
Selanjutnya menurut Pasal 55 KUHAP, untuk mendapatkan
penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau
terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Kewajiban memberitahukan tentang wajib didampingi
penasihat hukum dalam tindak pidana tertentu dan menunjuk
penasihat hukum bagi mereka.
Kewajiban untuk memberitahukan kepada tersangka
bahwa ia wajib didampingi penasihat hukum, disebutkan
dalam Pasal 114 KUHAP. Kewajiban pemberitahuan ini
berkaitan dengan ketentuan Pasal 56 KUHAP, kewajiban
didampingi penasihat hukum ini dalam hal seseorang
disangka melakukan tindak pidana yang:
Diancam dengan pidana mati; atau
Diancam dengan pidana 15 tahun atau lebih; atau,
Diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih bagi yang
tidak mempunyai penasihat hukum sendiri.
Kewajiban penyidik bukan hanya sebatas
memberitahu saja, melainkan menurut Pasal 56 KUHAP,
Penyidik wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Pada Pasal 56 ayat (2) ditentukan bahwa setiap penasihat
240
hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma
b. Kewajiban Penyidik Terhadap Tersangka Pada Saat
Pemeriksaan Berlangsung
Kewajiban Penyidik terhadap tersangka pada saat
pemeriksaan berlangsung adalah;
1) Kewajiban menanyakan kepada tersangka apa ia menghendaki
didengarnya saksi a de charge
Pada Pasal 116 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa
dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki
didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan
bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
Dengan demikian kepada Penyidik dibebankan oleh
undang-undang suatu kewajiban untuk menanyakan kepada
tersangka apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya, yaitu saksi a de charge.
Menurut Pasal 116 ayat (3) ini, "bilamana ada maka hal itu
dicatat dalam berita acara". Adanya saksi a de charge yang
disebutkan dalam berita acara. Ini terlepas dari apakah
tersangka menghendaki didengamya saksi a de charge atau
tidak. Sekalipun tersangka tidak menghendaki didengarnya
saksi a de charge, tetapi apabila tersangka mengatakan
sebenarnya ada saksi a de charge, maka adanya saksi ini
harus dicatat dalam berita acara.
241
Kewajiban memanggil dan memeriksa saksi a de
charge apabila tersangka menghendaki didengarnya saksi a
de charge
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 116 ayat (3), maka
selanjutnya dalam Pasal 116 ayat (4) ditentukan bahwa dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi a de charge.
Kewajiban Penyidik memanggil dan memeriksa saksi
a de charge hanya berlaku dalam hal tersangka menghendaki
didengarnya saksi a de charge itu. Jika tersangka tidak
menghendaki didengarnya saksi a de charge, maka Penyidik
juga tidak berkewajiban untuk memanggil dan memeriksa
saksi.
Mengenai kewajiban memanggil dan memeriksa saksi
a de charge ini diberikan komentar oleh M. Yahya Harahap
sebagai berikut,
Tentang masalah kewajiban hukum bagi penyidik
untuk memanggil dan memeriksa saksi a de charge kiranya
perlu sedikit dipersoalkan. Yakni sampai dimanakah
kewajiban itu harus dipenuhi oleh penyidik? Apakah beban
kewajiban hukum tersebut tanpa batas? Kalau memang tanpa
batas, berarti berapa sajapun yang dikemukakan tersangka,
dengan sendirinya harus dipanggil dan diperiksa oleh
penyidik. Bukankah hal ini bisa menimbulkan hambatan
242
terhadap kelancaran pemeriksaan, dan sekaligus telah
melanggar prinsip pemeriksaan yang cepat, tepat dan biaya
ringan? Bahkan sekaligus melanggar tujuan penegakan
kepastian hukum.173
Oleh karena itu, M. Yahya Harahap mengemukakan
pendapatnya tentang hal ini sebagai berikut,
Bertitik tolak dari prinsip dan tujuan hukum yang
hendak dicapai oleh KUHAP sendiri, barangkali ada
tepatnya agar kewajiban hukum yang dibebankan
Pasal 118 ayat (3) tersebut, dibatasi sepanjang
kebutuhan yang pantas bagi kepentingan keuntungan
tersangka. Apabila sudah nampak ada gejala buruk
dalam mengajukan saksi a de charge ke arah
mempermainkan jalannya pemeriksaan, hilanglah atau
hapuslah kewajiban penyidik untuk memanggil dan
memeriksa saksi-saksi a de charge yang diajukan
tersangka.174
Sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap,
diajukannya saksi a de charge dalam pelaksanaannya perlu
dibatasi sepanjang kebutuhan yang pantas bagi kepentingan
keuntungan tersangka. Batas yang pantas ini berarti tidak
173 Ibid, hlm. 142174 Ibid
243
perlu terlalu berlebih-lebihan dalam mengajukan orang-orang
yang menurut tersangka merupakan saksi a de charge.
M. Yahya Harahap memberikan contoh bahwa
memang tidak ada pembatasan yang tegas tentang jumlah
saksi a de charge sampai 5 atau 10 orang. Mungkin lebih dari
10 masih benar relevan bagi kepentingan keuntungan
tersangka. Yang pokok, apabila secara nyata sudah tidak
dibutuhkan, dan ada gejala pengajuan saksi-saksi untuk
memperlambat jalannya penyidikan, maka penyidik tidak lagi
berkewajiban untuk memeriksa saksi selebihnya.175
Kewajiban mendapatkan keterangan tersangka tanpa
tekanan dari siapapun dan atau bentuk apapun terhadap
tersangka.
Pada Pasal 117 ayat (1) ditentukan bahwa keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
M. Yahya Harahap memberikan komentar terhadap
pasal Pasal 117 ini, bahwa:
Tersangka dalam memberikan keterangan harus bebas
berdasar "kehendak" dan "kesadaran" nuraninya.
Tidak boleh dipaksa dengan cara apapun baik
penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan
penganiayaan. Maupun dengan tekanan dan paksaan
175 Ibid
244
batin berupa ancaman, intimidasi ataupun intrik baik
yang datang dari pihak penyidik maupun dari pihak
luar. Begitulah bunyi dan pengertian Pasal 117 secara
harfiah dan secara teoritis. Bagaimana nanti dalam
praktek, kenyataanlah yang akan bicara.176
Sebagaimana dikatakan oleh M. Yahya Harahap, tidak
dibenarkan ada tekanan fisik maupun batin terhadap
tersangka.
2. Akibat Hukum Bagi Penyidik Dalam Melakukan Pemeriksaan
Terhadap Tersangka
Pertama-tama dapat dikutipkan pandangan M. Yahya
Harahap mengenai apa konsekuensi pelanggar kewajiban penyidik
berkenaan dengan ketetuan Pasal 117 KUHAP. M. Yahya Harahap
menulis sebagai berikut,
Mengenai pelaksanaan Pasal 117 tersebut, tidak ada kita
jumpai sanksinya. Menurut pendapat kita, satu-satunya
jaminan untuk tegaknya ketentuan Pasal 117 ialah melalui
praperadian, dengan memajukan gugatan ganti rugi atas dasar
alasan bahwa pemeriksaan telah dilakukan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang. Akan tetapi hal ini kurang
efektif. Karena betapa sulitnya bagi seorang tersangka untuk
176 Ibid, hlm. 136
245
membuktikan bahwa keterangan yang diberikannya dalam
pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Atau
bagaimana seorang tersangka mampu membuktikan paksaan,
tekanan atau penganiayaan dan ancaman intimidasi yang
dilakukan terhadap dirinya dalam pemeriksaan penyidikan?
Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan
atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan ialah kehadiran
penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. Tapi oleh
karena Pasal 115 yang mengatur kehadiran penasihat hukum
dalam mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan bersifat
fakultatip, peran pengawasan yang diharapkan dari para
penasihat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, benar-benar
sangat terbatas dan semata-mata sangat tergantung dari belas
kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau
mengizinkannya. Bagaimana halnya jika ternyata keterangan
yang diberikan tersangka dan yang telah dituangkan dalam
berita acara pemeriksaan adalah hasil dari pemerasan,
tekanan, ancaman atau paksaan? Keterangan yang diperoleh
dengan jalan seperti ini dianggap tidak sah. Cara yang dapat
ditempuh untuk menganggap keterangan itu tidak sah, dengan
jalan mengajukannya ke praperadilan atas alasan bahwa
penyidik telah melakukan cara-cara pemeriksaan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang. Dalam arti pemeriksaan
telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau
246
penganiayaan dan sebagainya. Sehingga apabila praperadilan
mengabulkannya, berarti dia telah membenarkan adanya cara-
cara pemaksaan dalam pemeriksaan. Bila demikian halnya
tentu sudah terkandung suatu penetapan praperadilan yang
menyatakan hasil pemeriksaan tidak sah.177
Dalam tulisan di atas M. Yahya Harahap mengemukakan
berbagai cara untuk menjamin tegaknya Pasal 117 KUHAP. Cara-
cara itu adalah menjamin agar tersangka didampingi penasihat
hukum dan juga keberatan melalui jalan praperadilan. Tetapi fungsi
penasihat hukum terbatas sedangkan pemeriksaan praperadilan gugur
jika perkara pokok telah mulai diperiksa di pengadilan. Dengan
demikian cara-cara tersebut kurang dapat menjamin perlindungan
terhadap tersangka.
Kalimat penting dalam kutipan di atas adalah kata-kata
"mengenai jaminan pelaksanaan Pasal 117 tersebut, tidak ada kita
jumpai sanksinya". Kata-kata M. Yahya Harahap menunjukkan
kelemahan KUHAP. Sekalipun KUHAP memberikan banyak hak
kepada tersangka, tetapi dalam KUHAP tidak ada sanksi yang tegas
terhadap pelanggaran kewajiban oleh penyidik.
KUHAP cenderung lebih menekankan pada tujuan dicapainya
kebenaran material daripada aspek tatacara (prosedural). Dalam
doktrin ini dinamakan substantive law model (model yang
177 Ibid
247
menekankan hukum pidana material), yaitu yang terutama
diperhatikan adalah tercapainya penegakan hukum pidana material.
Model yang lain adalah due process model, yaitu model yang
menekankan pada proses yang layak. Model ini terutama dianut di
negara seperti Amerika Serikat. Due Process Model (cara beracara
yang layak) merupakan cara penegakan hukum pidana dengan
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap tatacara untuk
menemukan dan menggunakan alat bukti.
Salah satu asas dari model ini yaitu: bukti yang diperoleh
secara tidak sah adalah juga tidak sah. Jadi, sekalipun suatu alat bukti
atau barang bukti kelihatannya secara material adalah benar, tetapi
apabila alat bukti atau barang bukti itu diperoleh tidak melalui tata
cara yang sah, maka alat bukti atau barang bukti itu akan dipandang
sebagai tidak sah (illegal) dan tidak dapat digunakan di depan
pengadilan untuk memberatkan terdakwa.
Sehubungan dengan hal ini dapat dikemukakan kasus Rochin
V. California, 1951, yang duduk pekaranya dimulai dari tiga deputi
sheriff secara tidak sah memasuki rumah Rochin dan memaksa
masuk ke kamar tidur, dimana mereka menemukan dua kapsul di atas
tempat tidur. Ketika para petugas itu menanyakan kapsul itu milik
siapa, Rochin meraih kapsul itu dan memasukkan ke dalam
mulutnya. Mereka menyerang dan menendang Rochin untuk
berusaha mengeluarkan kapsul itu. Gagal untuk mendapatkannya
mereka memborgol tangannya dan membawanya ke rumah sakit di
248
mana dokter memberi petunjuk untuk menggunakan sejenis alat
penghisap yang dimasukkan ke dalam perut Rochin. Pompa perut ini
mengeluarkan kapsul yang mengandung morfin. Kapsul tersebut
digunakan sebagai bukti utama mendakwa Rochin. Keputusan
dikuatkan di Pengadilan banding tetapi ditolak oleh Supreme Court
of the United States dengan dasar bahwa itu melanggar Due Process
Clause dari Amandement ke empat belas.178
William M. Evan memberikan komentar terhadap kasus
tersebut sebagai berikut,
In this case the California narcotics law, designed presumably
to protect the health and morals of the public, was
subordinated to the Due Process Clause, which safeguards the
citizen against the abusive and arbitrary exercise if authority
by the state. The conviction was reserved not because of any
doubt about the validity of the evidence of violation of the
narcotics law, but because of the methods by which it was
obtained.179
Terjemahannya:
Dalam kasus ini, undang-undang narkotik California yang
dibuat dengan dasar pandangan untuk melindungi kesehatan
178 William M. Evan, “Value Conflict in the law of Evidence”, dalam Social Structure
and Law, Sage Publications, London, 1990, hlm. 58179 Ibid
249
dan moral masyarakat umum, telah diletakkan di bawah Due
Process Clause (Syarat Beracara yang Layak), yang
merupakan penjaga warga negara dalam melawan
penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan
kekuasaan negara. Dakwaan ditolak bukan karena adanya
keraguan tentang keabsahan bukti dilanggarnya undang-
undang narkotika, melainkan karena metode memperoleh
barang bukti itu.
Sekalipun Indonesia tidak perlu seketat seperti di Amerika
Serikat dalam memberikan penekanan terhadap aspek tatacara
(prosedural), tetapi perhatian yang lebih besar sudah perlu diberikan.
Jika tidak, maka kesewenang-wenangan dapat saja terjadi. Oleh
sebab itu, dalam KUHAP sudah perlu ditentukan apa sanksinya jika
terjadi pelanggaran kewajiban oleh Penyidik dalam memeriksa
seorang tersangka.
Dilihat dari kaca mata tugas pokok Polri, maka kinerja Polri
juga masih belum memenuhi harapan masyarakat. Menurut UU No.
2 Tahun 2002 dalam Pasal 13 dinyatakan tugas pokok Kepolisian
Negara R.I adalah:
a. Memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
250
Berangkat dari tugas pokok tersebut dapat dilihat secara garis
besar seberapa jauh kinerja Polri dapat dicapai:
Pertama, dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Secara umum tugas ini masih jauh dari harapan. Dapat
dimengerti adanya kekurangan personil, anggaran, dan peralatan.
Namun, nampaknya perlu dicari pola-pola yang inovatif dalam
pelaksanaannya, agar tidak monoton dan bersifat tradisional belaka.
Sangat dirasakan oleh masyarakat kurangnya rasa aman dan tertib di
semua tempat karena kejahatan semakin brutal sementara aparat
kemanan tidak mengimbanginya dengan sistem keamanan secara
menyeluruh. Yang dapat dilihat dan dirasakan antara lain kurang
tegasnya polisi, kurang konsisten dan konsekwennya dalam
pencegahan dan penindakan. Operasi Kepolisian sering dilaksanakan
bersifat hanya sporadis. Akibatnya pelanggar hanya mereda beberapa
saat dan di wilayah tertentu saja, sementara jika pelanggaran dan
kejahatan sudah meningkat lagi maka baru diadakan operasi lagi dan
terbatas pula. Di bidang lalu lintas juga sangat tidak tertib, misalnya
di Jakarta sendiri. Mungkin lalu lintas di kota ini yang paling
semrawut di dunia. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya
keterpaduan dari semua instansi yang terkait.
Kedua, dalam penegakan hukum. Secara umum mengalami
kemajuan, namun masih perlu peningkatan kinerja secara sungguh-
sungguh, utamanya perkara yang menjadi sorotan masyarakat adalah
tentang penanganan koruptor dan hal-hal lain yang menyangkut
251
banyak merugikan negara. Di tubuh Polri sendiri harus ada
konsistensi dan transparansi dalam pemberantasan korupsi jika Polri
ingin mendapat dukungan masyarakat dan memiliki citra yang baik.
Pemberantasan korupsi di tubuh Polri dan pemberantasan perjudian
adalah merupakan point of no return, apabila Polri konsisten dengan
reformasi internalnya. Masyarakat sangat berharap akan
keberlanjutan penanganan masalah tersebut walaupun sudah pasti
banyak korban dan resistensi baik dari dalam tubuh Polri sendiri
maupun orang luar yang mempunyai kepentingan tertentu.
Terkadang juga ada kasus berat namun hanya dapat terungkap kalau
ada pejabat penting yang turun tangan. Faktanya memang
menunjukkan adanya fenomena seperti itu.
Ketiga, dalam perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam bidang inipun masih jauh dari harapan
masyarakat.
Masyarakat pada umumnya belum merasa terlindungi secara
baik, belum merasa diayomi, dan belum merasa dilayani dengan baik
oleh Polri. Oleh karena itu, perlu peningkatan sikap, perilaku, dan
tindakan yang lebih baik, lebih proaktif dengan benar-benar setiap
anggota Polri menempatkan diri sebagai pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat. Merubah kultur ke arah demikian memang tidak
mudah dan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Namun, perlu
kesungguhan, konsistensi, dan keberlanjutan dari semua lapisan
organisasi Polri. Untuk masalah ini, yang sangat diperlukan adalah
252
tindakan nyata berupa sikap teladan dari setiap atasan. Pengawasan
yang ketat dan berlanjut dari setiap atasan akan lebih memacu
keberhasilan Polri. Harapan masyarakat terhadap kinerja Polri sudah
banyak disebutkan pada perbincangan sebelumnya, yang pada
intinya masyarakat ingin agar Polri dapat mewujudkan tugas
pokoknya dengan baik, yang dilandasi oleh moralitas,
profesionalisme sebagai polisi sipil, dan memiliki kedekatan dengan
rakyat yang positif. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan. Untuk
itu, setiap anggota Polri juga harus memperhatikan beberapa hal,
yaitu:
a. Mengenal diri, artinya tahu dan paham, dan menghayati benar
siapa dirinya (sebagai anggota polisi sipil), paham dan
menghayati tugasnya dan bagaimana melakukan tugas dengan
baik, serta memahami apa yang menjadi keharusan dan
larangannya.
b. Integritas pribadi, artinya bersikap jujur, adil, dan amanah dalam
melakukan tugas.
c. Pengendalian diri, yang berarti dapat menolak gratifikasi dan
bertindak secara proporsional serta tidak emosional.
d. Komitmen dan konsistensi, artinya memiliki tekad yang kuat
untuk menjadi polisi yang baik sebagai pelindung, pengayom,
dan pelayan masyarakat.
253
e. Kepercayaan diri, artinya dalam melaksanakan tugas tidak
bersikap ragu-ragu, tegas tetapi tetap terukur dan tetap sopan
santun.
f. Fleksibel, berarti tidak bersifat kaku dalam bertindak.
Perlu diperhatikan bahwa masyarakat berharap Polri bersikap
netral dalam kehidupan politik dan tidak berpolitik praktis seperti
ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jangan lagi karena
kepentingan sesaat Polri terlibat dalam politik praktis seperti dalam
kampanye dengan memobilisasi para purnawirawannya, karena jika
hal itu terjadi akan merugikan Polri dan menjauhkan Polri dari
masyarakat yang sangat majemuk dan bermacam paham politik.
Secara umum, fungsi hukum acara pidana adalah untuk
membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan
hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara
pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa
dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan
pengadilan.180
Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu
kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan
tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara
180 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.
25
254
pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak
hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasihat hukum).
Permasalahan yang muncul adalah "penggunaan kewenangan yang
tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum.181
Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang
berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan
bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.
Ciri-ciri negara hukum antara lain (1) Pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum
atau peraturan perundang-undangan; (2) Adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia (warga negara); (3) Adanya pembagian
kekuasaan dalam negara; dan (4) Adanya pengawasan dari badan-
badan peradilan.182 Di Indonesia, jaminan perlindungan HAM
dituangkan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan
termasuk dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Pada hakikatnya, upaya
mengimplementasikan HAM ke dalam undang-undang tersebut
adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai
181 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Atas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 6182 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1992, hlm. 29
255
nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk
itu harus dijamin pelaksanaannya.183
Dalam kaitan dengan itu, Bagir Manan mengatakan bahwa
keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada
penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak
berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun
sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan
tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan
perundang-undangan.184 Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum
di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan
pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan
hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan
kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan
hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kebenaran.185
Sebagai karya agung bangsa Indonesia, KUHAP telah
meletakkan hak-hak asasi manusia terutama hak-hak
tersangka/terdakwa secara memadai. Akan tetapi dalam
perjalanannya, apa yang terangkai secara indah dalam baris-baris
183 Mardjono Reksodiputro, Op. Cit, hlm. 39184 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk Kuliah Umum di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 18 Agustus 1997, hlm. 8185 Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, Pidato
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan, hlm. 11
256
kata dan kalimat dalam pasal-pasal KUHAP tersebut dalam
implementasinya terbukti tidak mampu menghadirkan
"penghormatan" terhadap harkat dan martabat manusia akibat
penggunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum secara tidak
bertanggungjawab dan terkontrol. Kewenangan yang hakekatnya
dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak
asasi warga negara berubah fungsi menjadi alat penindas dan
penyiksa warga negara yang disangka menjadi pelaku tindak pidana
(tersangka/terdakwa), meski KUHAP telah memberi batasan dengan
asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum,
antara lain : 1) the legality principle, 2) the presumption of
innocence, 3) the rule for errest and accusation, 4) the rule on
detection pending trial, 5) the minimum rights accorded to accused
to prepare his defers, 6) the rule examination during preliminary
investigation and during the trial, 7) the independence of court of
justice and examination in a public trial, 8) the rules on appeal and
review against a court decision.186
Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana
terutama banyak terjadi di tingkat penyidikan dan penuntutan karena
pada tingkat ini tersangka/terdakwa rentan diperlakukan sebagai
obyek, penyidikan misalnya seringkali dilakukan secara kekerasan
(violence) dan penyiksaan (torture), bahkan dianggap sebagai
186 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 4
257
pemeriksaan dengan metode yang telah "mumbudaya", meskipun
telah adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya
suatu pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. Tentang hal ini
sebenarnya KUHAP secara implisit telah mencoba memberikan
perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar, kekerasan dan
penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan bahwa
dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka
atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik atau hakim.
Memori Penjelasan atas Pasal 52 KUHAP ini menyatakan
agar supaya pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang
daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus
dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Sedangkan Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan
dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 52 dan Pasal 117
ini ada baiknya dikaitkan dengan prinsip universal tentang non self
incremintion dari tersangka/terdakwa (hak tersangka/terdakwa untuk
tidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagaimana tercermin
secara tidak langsung dan implisit sifatnya Pasal 66 KUHAP
(tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian) dan Pasal
189 ayat (3) KUHAP (keterangan terdakwa hanya dapat
dipergunakan bagi dirinya sendiri).
258
Sementara jaminan KUHAP terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa yang juga bermaksud melindungi
tersangka/terdakwa dari perlakukan yang melanggar hak asasi
manusia, keberadaannya tidak dijunjung tinggi bahkan diabaikan,
antara lain hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik (Pasal
50 ayat (1) KUHAP), hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam
bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan
kepadanya (Pasal 51 ayat (1) KUHAP), hak untuk memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52 KUHAP), hak
untuk mendapatkan bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal
177 ayat (1), hak atas bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP), hak
memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 KUHAP), hak untuk
mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP),
hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang
serumah mengenai penanahanan terhadap dirinya (Pasal 59
KUHAP), hak mendapatkan kunjungan keluarga (Pasal 60 KUHAP),
hak untuk berkomunikasi setiap kali ia memerlukan (Pasal 61
KUHAP), hak untuk tidak disensor dalam hal ia berkirim atau
menerima surat (Pasal 62 ayat (1) KUHAP), hak untuk tidak
dibebani kewajiban untuk membuktikan (Pasal 66 KUHAP) dan hak
untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP).
C. EKSISTENSI KONSTRUKSI PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG
HUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DI
TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
259
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber
(Dirlantas Polda Jawa Tengah, Kasatlantas Polres Semarang, Kasatlantas
Polres Demak, Kasatlantas Polres Kendal dan Kasatlantas Polres
Banyumas)187 diperoleh rangkuman keterangan bahwa dalam hal proses
penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum
progresif, penyidik tetap melakukan pemeriksaan secara BAP terhadap
saksi-saksi dan pihak yang terkait dengan kecelakaan tersebut untuk
memperjelas posisi kasus yang sebenarnya. Selanjutnya atas kesadaran
sendiri dan kesepakatan bersama kedua pihak meminta kepada Penyidik
agar kasus tersebut tidak dilanjutkan sampai ke Pengadilan dengan alasan
sudah saling menerima bahwa kecelakaan lalu lintas adalah musibah yang
bisa menimpa siapa saja dan dimana saja tanpa unsur kesengajaan.
Biasanya mereka sudah bermusyawarah sendiri, dan jika diminta
187 Hasil wawancara dengan :
1. Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember 2013 yang merupakan pusat
kebijakan berkaitan dengan proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas di
wilayah Polda Jawa Tengah,
2. Kasatlantas Polres Semarang pada tanggal 5 Desember 2013 (jalur tengah antara kota
Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya);
3. Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota
Semarang-Surabaya);
4. Kasatlantas Polres Kendal, pada tanggal 6 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota
Jakarta/Bandung-Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya); dan
5. Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember 2013 (jalur pantai selatan
antara kota Jakarta/Bandung- Surakarta/Yogjakarta-Surabaya).
260
Penyidik membantu mediasi secara independen. Setelah sepakat kedua
pihak membuat kesepakatan bersama dan tidak saling menuntut secara
hukum.
Model perdamaian antara korban dan pelaku pada kecelakaan lalu
lintas, penyidik berpegang pada Pasal 235 ayat (1) dan (2) serta Pasal 236
ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalulintas tesebut
dipertemukan untuk melakukan musyawarah guna menentukan berapa
besar biaya pengobatan dan atau perbaikan kendaraan. Proses
kesepakatan bersama dimaksud kalau dikehendaki oleh para pihak dapat
disaksikan oleh tokoh masyarakat atau aparat desa setempat tanpa campur
tangan dari penyidik, setelah terjadi kesepakatan perdamaian dan
dilanjutkan dengan melaksanakan apa yang disepakati barulah dibuatkan
Surat Pernyataan Bersama antara pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan perdamaian pada kecelakaan lalu lintas yaitu pelaku, korban
kecelakaan atau pihak keluarga yang mewakili, pihak pemilik/pengurus
perusahaan kendaraan.
Masih menurut Kasatlantas Polres Demak,188 secara legal praktis
“perdamaian” dapat dijadikan payung hukum dalam implementasi
restorative justice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas karena
bisa diterima oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalulintas,
tetapi secara legal formal belum bisa, karena belum ada peraturan atau
keputusan yang jelas tentang restorative justice. Saat sekarang Penyidik
188 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013
261
masih berpegang kepada diskresi kepolisian, kemanfaatan hukum,
keadilan dan kemanusiaan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesai.
Menurut Kasatlantas Polres Banyumas,189 bahwa konsep keadilan
restoratif dalam penanganan terhadap tindak pidana lalu lintas adalah
hukum untuk manusia, hukum yang berperikemanusiaan, dengan
mengedepankan hati nurani, kemanfaatan hukum dan keadilan. Dengan
Restorative Justice keadilan dan kemanfaatan hukum lebih dirasakan oleh
masyarakat dan menimbulkan kesan bahwa Polri atau Penyidik bekerja
dengan mengedepankan hati nurani.
Penerapan konsep keadilan restoratif bagi pelaku tindak pidana
lalu lintas adalah bahwa pada prinsipnya kecelakaan lalu lintas terjadi
bukan akibat dari unsur kesengajaan tetapi merupakan kelalaian, bahkan
akibat dari kecelakaan lalu lintas pelaku bisa juga sebagai korban. Sangat
tidak manusiawi apabila orang yang sudah menderita dibuat lebih
menderita lagi, maka akan lebih efektif apabila dalam penyelesaianannya
menggunakan pendekatan kekeluargaaan.
Berikut disajikan data kejadian dan penyelesaian kecelakaan lalu
lintas di wilayah Polda Jawa Tengah dan Polres tertentu dalam periode 5
(lima) tahun terakhir dari tahun 2009 – akhir bulan Nopember 2013,
yakni:
189 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember
2013
262
Tabel : 3
Data Kejadian dan Penyelesaian Laka Lantas
di Wilayah Polda Jawa Tengah Tahun 2009 - akhir Nopember 2013
N
OKESATUAN
JUMLAH
KEJADIA
N
PENYELESAIA
N
Prosentase
Penyelesaian
RJSPP RJ
1POLRES
BANYUMAS3.746 632 3.114 83,19
2 POLRES KENDAL 2.358 2.040 743 31,51
3POLRES
SEMARANG1.691 126 1.565 92,55
4 POLRES DEMAK 2.539 89 2.450 96,50
5 POLDA JATENG 68.492 9.697 58.795 85,84
Sumber: Diolah dari berbagai data di Polda Jateng, Polres Banyumas,
Polres Kendal, Polres Semarang, Polres Demak, akhir Nopember Tahun
2013190
190 Data Kejadian Kecelakaan lulintas dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2009-Nopember 2013) dengan penjelasan :1. Jumlah Kejadian, adalah menerangkan jumlah kejadian kecelakaan lalulintas di masing-
masing wilayah hukum Polres;2. Penyelesaian SPP, merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas berdasarkan ketentuan
hukum (Sistem Peradilan Pidana/KUHAP) dalam bentuk disidik dan Berkas Perkara
diserahkan ke Penuntut Umum (P-21) dan atau dihentikan proses penyidikannya/SP3
263
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyelesaian
kasus kecelakaan lalu lintas di Polres Banyumas, Polres Kendal, Polres
Semarang dan Polres Demak, sebagian besar lebih mengarah kepada
bentuk penyelesaian Restorative Justice yaitu penyelesaian berdasarkan
atas dasar permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu
(tidak cukup bukti/tidak memenuhi unsur/demi hukum) dan atau dilimpahkan ke Instansi
samping;
3. Penyelesaian RJ (Restorative Justice), merupakan penyelesaian kecelakaan lalulintas
berdasarkan permohonan dari pihak yang telah melakukan perdamaian karena telah
dicapai keadilan dan kemanfaatan, bentuk penyelesaian berdasarkan Restorative Justice
di tingkat penyidikan tidak dikenal secara yuridis formal tetapi secara yuridis praktis telah
dilakukan karena permintaan para pihak yang terlibat dalam kecelakaan, sehingga untuk
kepastian hukum maka bentuk administrasi penyelesaiannya adalah penyelesaian
terhadap pelanggaran yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas berupa
proses Tilang (tindak pelanggaan), proses Berita Acara Cepat (BAC) atau Berita Acara
Singkat (BAS), akan tetapi pada pelaksanaannya mengalami hambatan teknis,
sebagaimana dialami oleh Polres Banyumas dimana pihak Pengadilan dan Kejaksaan
Negeri Purwokerto dan Banyumas menolak pelimpahan bentuk penyelesaian ini dengan
alasan bahwa penyelesaian tersebut bertentangan dengan azas nebis in idem, walaupun
terjadinya kecelakaan lalu lintas selalu diawali dengan pelanggaran lalulintas namun
kejadian tersebut adalah merupakan suatu rangkaian peristiwa sehingga tidak dapat
diproses secara sendiri-sendiri dan harus diproses secara bersamaan sebagai suatu
rangkaian peristiwa yang utuh.
4. Prosentase, merupakan jumlah prosentase penyelesaian kecelakaan lalu lintas secaraRestorative Justice.
264
lintas yang sudah menyelesaikan secara kekeluargaan (berdamai) karena
masing-masing telah menemukan keadilannya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kejadian kecelakaan lantas yang terjadi di Polres Banyumas
sebanyak 3.746 kejadian, 3.114 kejadian atau 83,19% diselesaikan secara
Restorative Justice, Polres Semarang dari 1.691 kejadian, 1.565 kejadian
atau 92,55% diselesaikan secara Restorative Justice, untuk Polres Demak
dari 2.539 kejadian, 2.450 kejadian atau 96,50% diselesaikan secara
Restorative Justice dan untuk Polres Kendal dari 2.358 kejadian, 743
kejadian atau 31,51% diselesaikan Restorative Justice. Sedangkan untuk
data penyelesaian kecelakaan lalu lintas di seluruh jajaran Polda Jateng
(35 Polres) dari 68.492 kejadian, 58.795 kejadian atau 85,84%
diselesaikan secara Restorative Justice.
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas secara Restorative
Justice ini disamping dikehendaki oleh para pihak yang terlibat dalam
dalam kecelakaan lalu lintas sebagaimana hasil wawancara dengan warga
masyarakat sebagai pihak yang pernah terlibat dalam kecelakaan lalu
lintas di wilayah hukum Polres Demak, dimana mereka lebih memilih
perkaranya diselesaikan melalui Restorative Justice daripada menjalani
sidang di pengadilan, alasannya bahwa perkara tersebut cepat selesai dan
lebih dirasakan keadilannya.191
191 Hasil wawancara dengan sdr. Khoerul Taufik, umur 21 tahun, pekerjaan swasta,alamat desa Mulyorejo RT 04 / RW IV Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak dan sdr.Didi Suhardi, umur 40 tahun, pekerjaan swasta, alamat Panggung Selatan Gang KembarNomor 53 RT 05 / RW VII Kelurahan Kalijaga Kota Cirebon, dimana keduanya pernah menjadipelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Desa Bakung KecamatanMijen Kabupaten Demak.
265
Pendapat warga masyarakat tersebut adalah senada dan didukung
oleh ulama/tokoh agama an. KH. Murodhi yang menyatakan bahwa kalau
antara pelaku dan korban dalam kecelakaan lalu lintas sudah saling
memafkan maka telah dicapai kebaikan antara kedua pihak, maka untuk
perkaranya tidak perlu lagi disidangkan di pengadilan192, demikian pula
pendapat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang Dra. Hj.
Sulistyowati, S.H., C.N. menyatakan bahwa apabila kejadian kecelakaan
lalu lintas telah diselesaikan diantara para pihak maka kesimbangan sosial
di tengah masyarakat telah pulih kembali, oleh karenanya tidak
diperlukan lagi perkaranya diteruskan ke pengadilan193, demikian pula
pernyataan Ketua GNPK Jateng yang sekaligus sebagai Ketua Dewan
Penasehat Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia an. H. Mastur Darori,
S.H., M.Si menyatakan bahwa perdamaian diantara para pihak yang
terlibat dalam kecelakaan lalu lintas mempunyai nilai filosofi keadilan
yang sangat tinggi, bahkan melebihi nilai keadilan yang dilahirkan oleh
hakim dalam putusannya, maka tidak perlu lagi perkara tersebut dibawa
ke ranah sidang pengadilan194, senada dengan hal tersebut dinyatakan
oleh praktisi hukum yang sekaligus Ketua DPD Peradi Jateng an. H. Doni
192 Hasil wawancara dengan tokoh agama an. K.H. Murodhi, pengasuh PondokPesantren “Darrusalam” Desa Gebugan Kecamatan Klepu Kabupaten Semarang, tanggal 24Agustus 2014
193 Hasil wawancara dengan wakil rakyat di DPRD an. Dra. Hj. Sulistyowati, S.H.,C.N., Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, tanggal 24 Agustus 2014
194 Hasil wawancara dengan Ketua GNPK Jateng yang sekaligus sebagai KetuaDewan Penasehat Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia an. H. Mastur Darori, S.H., M.Si,tanggal 25 Agustus 2014
266
Djunaedi, S.H., Sp.N., C.D., proses penegakan hukum itu bertumpu pada
tiga pilar, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila
terjadi benturan antara kepastian hukum dengan keadilan dan
kemanfaatan maka yang lebih diutamakan adalah aspek keadilan dan
kemanfaatan, oleh karenanya dengan adanya perdamaian diantara para
pihak dalam perkara kecelakaan lalu lintas maka dalam hal ini keadilan
dan kemanfaatan telah dicapai, sehingga kepastian hukum dapat
dikesampingkan195, dan menurut Dr. M. Haryanto, S.H., M.H., Dekan
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
menyatakan sependapat bahwa apabila dalam perkara kecelakaan lalu
lintas telah dicapai penyelesaian secara kekeluargaan (perdamaian) maka
tidak perlu lagi perkaranya diteruskan ke sidang pengadilan, hal tersebut
didasarkan atas pertimbangan proses pemidanaan itu adalah ultimum
remedium yang merupakan senjata pamungkas dalam penyelesaian
perkara pidana, apabila mekanisme lain masih dimungkinkan (misalnya
musyawarah mufakat) maka mekanisme dimaksud dapat dilaksanakan
untuk menyelesaikan terlebih dahulu karena penyelesaian tersebut
memberikan manfaat baik bagi kedua pihak, mengacu pendapat Gustaf
Radbruch bahwa proses penegakan hukum itu bertumpu pada tiga pilar,
yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, apabila aspek
kepastian hukum yang diutamakan maka akan mengorbankan aspek
keadilan, demikian pula sebaliknya, akan tetapi kalau dipilih aspek
195 Hasil wawancara dengan Ketua DPD Peradi Jateng an. H. Doni Djunaedi, S.H.,Sp.N., C.D., tanggal 24 Agustus 2014
267
manfaat maka aspek kepastian hukum dan aspek keadilan secara serta
merta sudah tercakup di dalamnya, hal tersebut sejalan dengan Teori
Hukum Progresif Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu
untuk manusia bukan untuk dirinya sendiri, kalau terjadi permasalahan
dengan hukum maka yang dikalahkan adalah hukum, bukan manusianya,
hal ini senafas dengan diskresi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia196.
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang
seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai
permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk
mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan
tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia mengidentikkan penyelesaian
permasalahan hukum dengan aparat penegak hukumnya antara lain,
polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem
peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana ditempuh melalui sistem
peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan
adalah membuat laporan polisi. Melalui laporan polisi ini korban
berharap ada keadilan dimana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir
dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa
keadilan dalam masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim
196 Hasil wawancara dengan akademisi an. Dr. M. Haryanto, S.H., M.H. DekanFakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, tanggal 27 Agustus 2014
268
terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan
mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.
Penegakan hukum sangatlah erat dengan masyarakat,
sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny, dimana
menurutnya “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem
volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat).197 Namun, ternyata hukum modern yang dipakai
oleh bangsa Indonesia dikembangkan tidak dari dalam masyarakat
Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside).
Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat,
khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran
hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa.198 Hukum
modern memiliki tipe liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum
substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi
penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk
menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang
hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari
197 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 124198 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 138
269
kehadiran negara modern.199 Positivisme inilah yang selama ini tertanam
di benak kebanyakan para sarjana hukum di Indonesia. Akibatnya sangat
mempengaruhi pola berpikir penegak hukum dalam penanganan perkara
pidana termasuk perkara pidana di bidang lalu lintas yaitu harus sesuai
pada hukum positif yang ada.
Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara melalui sistem
peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu
penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum
itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai
dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan
sampai ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya berdampak pada
penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan.200
Hukum pidana adalah ultimum remidium yang berarti suatu upaya
terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk
menyelesaikan perkara. Namun, pada perkembangannya hukum pidana
justru digunakan sebagai upaya pertama dalam menyelesaikan suatu
masalah antara orang yang satu dengan yang lain. Bahkan ada suatu
perkara yang sebenarnya termasuk dalam ranah perdata dipaksanakan
menjadi perkara pidana. Pergeseran fungsi hukum pidana ini
199 Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi,
PDIH, UNDIP, Semarang, 22 Juli 2000, hlm. 4200 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003,
hlm. 170
270
menunjukkan bahwa masyarakat telah meninggalkan sedikit demi sedikit
budaya berhukum. Padahal dalam suatu masyarakat masih mempunyai
hukum adat yang berfungsi lebih efektif dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Sejauh mana hukum pidana adat tercakup atau berperan
mempengaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-
undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang
merupakan kesadaran hukum masyarakat setempat, masih tidaknya
hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh
mana hukum pidana adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh
falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan
yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap
penerapan hukum pidana adat. Dengan demikian sebenarnya asas
legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa
hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum
pidana adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai
figur utama untuk menyelesaikan suatu perkara banyak memegang
peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan
menemukan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana,
yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh
menolak memberi keadilan.201 Sebagaimana yang disampaikan oleh van
201 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni AHM- PTHM, Jakarta, 1982, hlm. 16
271
Apeldoorn, maka hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-
undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan
hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim
harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena
undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam
masyarakat.202
Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan
keseimbangan sosial dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud di
sini adalah antara pelaku dan korban tindak pidana, sehingga tercipta
kembali harmonisasi sosial dalam masyarakat. Bentuk penyelesaian ini
dilakukan secara seimbang dengan jalan musyawarah antara pihak pelaku
dan korban. Prinsip win-win solution harus diutamakan demi tercapainya
kesepakatan dalam menyesaikan perkara. Pada akhirnya diharapkan
pelaku meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi, apabila perlu mengganti segala kerugian yang
diderita oleh korban. Sebaliknya korban memaafkan pelaku dan tidak
meneruskan perkara sampai ke pengadilan. Konsep penyelesaian seperti
ini disebut dengan restorative justice. Konsep restorative justice,
menempatkan kejahatan sebagai bagian dari gejala yang menjadi bagian
tindakan sosial, sehingga penyelesaiannya tentu harus mengutamakan
kearifan lokal yang sesuai dengan kaidah di masyarakat setempat dan
mengutamakan musyawarah untuk mufakat yang sesuai dengan sila ke-4
202 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962,
hlm. 230
272
Pancasila. Sebenarnya bentuk penyelesaian seperti ini sudah ada sejak
lama. Namun, seringkali masyarakat dan penegak hukum enggan
melakukannya dengan alasan hukum harus tetap ditegakkan walaupun
lama waktunya.
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang
diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa : “Restorative justice is an
approach to problem solving that, in its various forms, involves the
victim, the offender, their social networks, justice agencies and the
community.”203 Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka
restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan
masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen
masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Menurut Bagir Manan, substansi restorative justice mengandung
prinsip yang dapat membangun partisipasi bersama antara pelaku,
korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau
tindak pidana. Selain itu juga menempatkan pelaku, korban, dan
masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung
berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua
pihak (win-win solutions).204 Prinsip restorative justice menurut Bagir
203 United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, United Nations
Publication, New York, 2006, hlm. 6204 Bagir Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika
Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta,
2008, hlm. 7
273
Manan ini sangat memungkinkan peran serta masyarakat dalam
menentukan hukum yang seimbang dan adil.
Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan teori
hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut
Satjipto Rahardjo inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan
bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen
hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum,
melainkan untuk kebahagiaan manusia.205 Oleh karena itu cara
penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-
undang. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian tersebut ialah
kembalinya harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan
masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk
adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi
kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan tersebut, semua itu
dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara
perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip tersebut
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: pertama, justice requires that
205 Satjipto Rahardjo. “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah dalam
Seminar Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007
274
we work to restore those who have been injured; kedua, those most
directly involved and affecttted by crime should have the.206
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk
mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk
memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki
kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat
komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk
menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses
peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha
yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan
sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan
konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.207 Selain itu
restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang
206 Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No.
3 September 2012. hlm. 411207 Setyo Utomo,”Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis
Restorative Justie” makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD)
tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR
KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan
Pembinaan Hukum Nasional /BPHN Departement Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21
Oktober 2010
275
paling terkena pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas”
mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan
mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan
kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam
cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara
sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban
tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga
mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan
pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.208
Melalui restorative justice tidak semua perkara pidana harus
selesai di meja hijau, namun dapat diakhiri sendiri antara pelaku dan
korban. Cara penyelesaian yang ditempuh melalui restorative justice
sesuai dengan budaya dan ideologi bangsa Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila. Hasil penyelesaian dapat
dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penyelesaian
memperhatikan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta
mengandung nilai keadilan sosial bagi kedua belah pihak, dan tentunya
dapat tercipta kembali kondisi sosial sebagaimana sebelum terjadi tindak
pidana.
D. IMPLEMENTASI PERDAMAIAN TINDAK PIDANA (LALU
LINTAS) DI BERBAGAI NEGARA
208 Ibid
276
Bentuk pendekatan yang digunakan dalam penerapan keadilan
restorative di beberapa negara sangat bervariasi, bentuk-bentuk praktik
restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika
Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand dapat dikelompokkan dalam
empat praktek yang menjadi dasar pioneer penerapan restorative justice
di beberapa negara, yaitu
1. Victim Offender Mediation (Mediasi antara Pelaku dan Korban)
Bentuk ini pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di
Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia.
Bentuk ini merupakan bentuk pendekatan restorative dimana dibuat
suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan
korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan
fasilitator dalam pertemuan tersebut. Bentuk ini dirancang untuk
mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban khususnya
kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai:209
a. Bentuk tanggung jawab pelaku;
b. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban;
c. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku terhadap
dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang
penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh
keduanya.
209 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung,
Bandung, 2011, hlm. 90
277
Persiapan penyelenggaraan, sistem monitoring dan evaluasi
dari proses dilaksanakan oleh pihak ketiga yang ditunjuk (dalam hal
ini adalah mediator). Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan
pada periode purna ajudikasi, petugas pengadilan atau
pemasyarakatan dapat menjalankan fungsi tersebut. Berdasarkan
pengalaman di beberapa negara Eropa,210 mediasi yang dilakukan
tidak mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara pelaku
dengan korban. Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang
lebih dimana ia bertemu secara satu persatu dengan masing-masing
pihak, hingga terjalin suatu kesepakatan atas suatu restitusi yang
akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga perasaan
dan kenyamanan masing-masing pihak selama proses terjadi.
2. Conferencing
Ini merupakan bentuk penerapan pendekatan keadilan
restorative yang dikembangkan di New Zealand dan merupakan
refleksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional
yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Meski
demikian, banyak negara yang telah mengadopsi pendekatan ini
antara lain Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan beberapa
negara Eropa. Dalam bentuk conferencing ini penyelesaian bukan
hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim),
210 Daniel van Ness, Allison Morris dan Gabriel Maxwell, Introducting Restorative
Justice, dalam Allison Morris dan Gabrielle Maxwell (editor), Restorative Justice for Juveniles:
Conferencing, Mediation and Circles, Hart Publishing, Oxford, 2001, hlm. 7
278
tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti
keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat
pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena:
a. Mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak
langsung atas tindak pidana yang terjadi atau
b. Mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan
hasil dari conferencing
c. Mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan
keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.
3. Circles
Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di
Yukon, Kanada. Sama dengan conferencing, dalam penerapan
pendekatan keadilan restorative dengan model ini, maka para pihak
yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang
terlibat termasuk di dalamnya aparat penegak hukum. Tetapi berbeda
dengan model sebelumnya, setiap anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut
berpartisipasi. Circles dalam hal ini didefinisikan sebagai pihak-
pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana secara meluas.
4. Restorative Board/Youth Panels
Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont
pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice
Assistance setelah melihat respon yang baik dari warga terhadap
studi yang dilakukan oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan
279
keikutsertaan masyarakat dalam program rapartaive tersebut dan
sifat perbaikan yang menjadi dasarnya. Tujuan menyelesaikan
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan
pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim jaksa dan
pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi
pelaku dang anti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya
adalah peran aktif anggota masyarakat secara langsung dalam proses
peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada
korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara
langsung dengan pelaku.
Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental
(civil law), biasanya cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian
pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang
memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan
penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, masyarakat pun dengan
begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam
sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa
begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang
dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat
membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran
pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan
280
hukum (equality before the law).211 Seharusnya memahami hukum secara
komprehensif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat
penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun
pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum
(Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya
berorientasi membuat hukum saja.212
Salah satu dari pengaruh tradisi hukum Eropa Continental
tersebut di antaranya penegakan hukum di Indonesia cenderung normatif,
atau sesuai dengan peraturan tertulis. Kecenderungan seperti ini sering
disebut sebagai positivisme213 dimana penegakan hukum harus
berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum berdasarkan hukum
positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya tiada suatu perbuatan
dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika
suatu perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal
jelas-jelas itu mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu
211 Jimly Asshiddiqie. ”Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”
makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka
Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006212 Ibid213 Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang
beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja.
Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula
membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi, Responsi
Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992, hlm. 80
281
dalam etika bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang
melakukannya bisa mengatakan bahwa tidak ada undang-undang yang
melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum tentunya tidak bisa lepas
dari para penegak hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, advokat. Lalu
bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu berpedoman pada
hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana
seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya,
dicari peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang
para penegak hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik,
baik dalam hukum formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang
terberat adalah di pundak seorang hakim, karena apapun perkara di
hadapannya harus diputus, baik itu ada aturannya atau tidak. Dalam
kondisi seperti ini menjadi pertanyaan bolehkah aparat penegak hukum
membuat hukum sendiri demi mencapai keadilan.
Sebagai contoh penerapan restorative justice dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung
sebagaimana dalam putusan perkara pidana Nomor : 1600 K/Pid/2009
tertanggal 24 November 2009. Perkara ini bermula dari pengaduan
korban bernama Erniwati tentang tindak pidana penipuan dan
penggelapan yang dilakukan oleh Ismayawati. Pada persidangan di
Pengadilan Negeri Yogyakarta pengadu mengajukan permohonan
282
pencabutan pengaduan kepada Majelis Hakim. Adapun alasan
pencabutan tersebut dikarenakan sebagai berikut:214
1. terdakwa merupakan menantu dari pengadu;
2. terdakwa mempunyai dua orang anak yang masih kecil;
3. pengadu telah memaafkan terdakwa;
4. pengadu telah mengikhlaskan kerugian yang ia derita.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya
membacakan putusan yang amarnya menyatakan tuntutan dalam perkara
ini tidak dapat diterima. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Yogyakarta dengan pertimbangan pencabutan tersebut sudah
melewati batas waktu yang ditentukan dalam KUHP. Di tingkat kasasi,
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yang sangat
memperhatikan prinsip keadilan restoratif. Mahkamah Agung dengan
tegas menilai bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bersifat kaku dan
terlalu formalistik oleh karena itu harus dibatalkan.
Di Indonesia sangatlah jarang ditemui pertimbangan hukum
seperti ini. Pertimbangan hukum biasanya hanya dilihat dari aspek
normatifnya saja. Dalam perkara ini Mahkamah Agung menegaskan
bahwa tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang
terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun ini adalah perkara pidana,
namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor
mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun
214 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24
November 2009
283
juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila
dilanjutkan. Ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang
disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran
terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga
merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan
antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan
Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang
memuaskan untuk para pihak yang berselisih.
Mahkamah Agung sebelumnya juga pernah mengeluarkan
putusan yang mempertimbangkan restorative justice dalam perkara
tindak pidana pembunuhan Nomor : 107 PK/Pid/2006 tanggal 21
November 2007 atas nama Terdakwa Adiguna Sutowo. Orang tua korban
telah membuat surat pernyataan yang intinya telah memaafkan terdakwa
namun oleh judex factie tidak dipertimbangkan. Perdamaian ini menurut
Mahkamah Agung seharusnya dapat dijadikan alasan untuk pertimbangan
yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan khususnya yang
berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex facti /judex juris telah
mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi keadilan sosiologis
(restorative justice) tersebut pada waktu persidangan berlangsung.215
Dalam putusan Nomor : 107 PK/Pid/2006 ini Mahkamah Agung
mendefinisikan bahwa restoratif justice adalah suatu proses melalui mana
para pelaku kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas
215 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21
November 2007
284
kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada masyarakat
yang sebagai balasannya, mengizinkan bergabungnya kembali pelaku
kejahatan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan
di sini lebih bersifat edukatif dan korektif dengan tetap memperhatikan
tujuan pemidanaan yang bersifat preventif. Atas dasar itulah Mahkamah
Agung meringankan vonis terhadap terdakwa dari tujuh tahun menjadi
empat tahun penjara.
Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang
mendatangkan kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut
bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana,
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana memang harus dihukum
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka penegakan
hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan
hukum pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah
memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat. Tujuan dari
penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali
disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu
perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat jalan keluar
terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya
memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini
memang tidak tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan
improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan keadilan.
Restorative justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang
merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
285
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan
pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga
merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penyelesaian seperti
di atas sama halnya dengan konsep yang dicantumkan PBB dalam
Handbook on Restorative Justice Programmes. Adanya peran masyarakat
dalam penyelesaian perkara menunjukkan bahwa hukum pidana ini
bersifat publik, oleh karenanya publik pun harus terlibat dan memantau
pelaksanaannya. Selama ini penyelesaian perkara pidana hanya dilakukan
aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim. Masyarakat tidak
dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi karena setelah perkara diambil
alih aparat penegak hukum di situ kewenangan diberikan oleh negara
tanpa ada yang boleh ikut campur sedikitpun.
Dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
diperkuat dengan munculnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak yang telah diperbarui dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012. Undang-Undang ini menurut penulis merupakan
reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini karena terdapat
penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem peradilan
formal yang selama ini diterapkan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib
286
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.216 Undang-Undang ini
juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di
luar pengadilan melalui diversi. Diversi merupakan pengalihan
penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan
pidana. Diversi ini bertujuan sebagai berikut:217
1. mencapai perdamaian antara korban dan anak
2. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan
3. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan
4. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
5. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak
Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan restorative
justice dalam penanganan perkara pidana di Indonesia telah
dimungkinkan pelaksanaannya. Dalam berhukum memang seharusnya
para pihak mempunyai hak dan kewenangan untuk ikut serta
penyelesaian, sehingga tidak hanya menjadi monopoli aparat penegak
hukum. Namun, hambatan yang muncul seringkali terbentur dengan tidak
adanya pengaturan dalam hukum tertulis. Dasar hukum penyelesaian
perkara pidana dengan diversi saat ini hanya terbatas pada sistem
216 Keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan
bukan pembalasan. Lihat Pasal 1 huruf 6.217 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
287
peradilan anak, sedangkan untuk orang dewasa masih berpedoman pada
KUHAP.
Pada setiap masyarakat terdapat sebuah hukum universal bahwa
keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap
pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap
pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi
representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap
pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat
yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru
menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa
diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan
tersebut tidak akan berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran
yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh
dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan
segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya
terpusat pada segelintir orang saja.218
Hasil penyelesaian perkara pidana harus dapat mencapai keadilan
bagi masing-masing pihak pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Hukuman yang dijatuhkan hendaknya pula berkemanusiaan
yang adil dan beradab. Keadilan ini dapat diwujudkan dalam
keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keseimbangan
yang adil akan mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum
218 A. Malik Madaniy, Politik Berpayung Fiqh, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2010,
hlm. 33-34
288
tindak pidana terjadi. Pelaku akan lebih bertanggungjawab pada
perbuatan yang ia lakukan, sehingga timbul hati nurani untuk meminta
maaf dan berusaha tidak mengulangi tindak pidana lagi. Korban pun juga
dapat merasakan keseimbangan yang adil bilamana kerugian yang ia
derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. Dalam hukum pidana yang
diatur di KUHP, memang tidak dikenal kewajiban ganti kerugian yang
dibebankan terhadap pelaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
rasa ketidakpuasan bagi korban dimana setelah perkara ditangani oleh
aparat penegak hukum, maka tertutuplah bagi korban untuk menuntut
kerugiannya. KUHAP mengatur kewenangan menuntut di muka
persidangan hanya ada pada jaksa yang bertindak mewakili Negara.
Memang masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat
ditempuh secara perdata dengan mengajukan gugatan di pengadilan,
namun itu memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh
karena itu diperlukan penyelesaian perkara pidana secara cepat tepat
sesuai keinginan korban dan kemampuan pelaku. Di sinilah
keseimbangan yang adil dapat diwujudkan.
Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari
pada keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis
klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban
mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah
tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup
bermasyarakat.219 Oleh karena itu dalam berhukum tentunya harus selalu
219 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23
289
dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek
sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya.
Tidak seharusnya keadilan bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu
terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk
mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan
menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila
penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan
produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan
bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu
menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pendapat Mahfud MD menyatakan bahwa hakim di pengadilan
boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat
putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif. Hal
ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi
juga dalam sistem hukum Indonesia.220 Sebenarnya perdebatan tentang
tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-
undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari
ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada
lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai
corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim
220 Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”
http://www.mahfudmd.com/index. php?page=web.OpiniLengkap&id=26,diakses pada 20
Mei 2013
290
sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang.
Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada
irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bukan “Demi
Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini semua menjadi
dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan
keadilan meski jika terpaksa melanggar ketentuan formal undang-undang
yang menghambat tegaknya keadilan.
Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya
kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi
undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan,
keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak
kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan
terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan
menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya
sampai pada keyakinan dalam membuat vonis. Meski demikian, tidaklah
dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos
ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur
secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada
undang-undang. Dalam sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim
diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika
undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan
291
keadilan.221 Pendapat Mahfud MD ini menurut penulis sejalan dengan
pertimbangan hakim agung yang mengadili perkara nomor Nomor: 107
PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007 dan Nomor : 1600
K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Pada kedua putusan ini Hakim
Agung lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif dari pada
kepastian hukum.
Berdasarkan contoh kasus yang penulis kaji di atas, maka
penerapan restorative justice dalam perkara pidana mempunyai
persyaratan sebagai berikut: Pertama, harus terdapat niat baik atau itikad
dari para pihak termasuk masyarakat. Itikad ini muncul dari hati nurani
untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Tanpa ada niatan dari semua
pihak maka restorative justice mustahil untuk diwujudkan. Kedua, pelaku
tindak pidana benar-benar menyesal dan berjanji tidak mengulangi
perbuatannya. Pelaku dalam hal ini harus meminta maaf kepada korban
dan keluarganya dimana korban serta keluarganya bersedia memaafkan
pelaku. Ketiga, bentuk perdamaian berjalan secara seimbang yang
membuat korban atau keluarganya tidak akan menuntut lagi terhadap
pelaku. Keempat, bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban atau
keluarganya dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun masyarakat tidak
terkena secara langsung tindak pidana, namun pada dasarnya suatu tindak
pidana merupakan peristiwa yang meresahkan masyarakat. Hal ini
221 Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”
http://www.mahfudmd.com/index. php?page=web.OpiniLengkap&id=26, diakses 20 Mei
2013
292
berkaitan pula dengan tujuan restorative justice. Jika masyarakat
menerimanya maka pelaku pun dapat diterima kembali. Apabila
keempatnya telah terpenuhi maka tidak seharusnya aparat penegak
hukum yang menangani membuat keputusan yang bersifat kaku.
Misalnya saja apabila perkara sudah terlanjur dilimpahkan ke pengadilan,
tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku, vonis
hendaknya mempertimbangkan perdamaian yang telah dibuat antara
pelaku dan korban atau keluarganya.
Penulis berpendapat bahwa pihak yang dirugikan atas suatu tindak
pidana harus diberikan kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana
yang menimpanya. Kewenangan di sini terbatas pada niatan untuk
menyelesaikan perkara secara cepat melalui jalan damai. Jadi, di sini ada
dua pilihan bagi korban. Pertama, apabila pihak korban mempunyai
niatan untuk berdamai dan memaafkan pelaku, maka restorative justice
diterapkan serta korban dapat berperan secara aktif. Kedua, apabila tidak
ada niatan damai dari korban atau keluarganya, maka perkara pidana
tersebut menjadi wewenang penuh aparat penegak hukum dengan tetap
memperhatikan kerugian yang diderita korban. Dengan demikian
keseimbangan antara pelaku dan korban dapat terwujud di tengah-tengah
masyarakat. Penegakan hukum tidak harus kaku, tujuan hukum tidak
terlepas dari keadilan sehingga bila keadilan telah terwujud tidak perlu
diperpanjang lagi dengan proses peradilan pidana. Pemberian maaf dan
atau ganti kerugian terbukti telah dapat mewujudkan keseimbangan,
walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur.
293
Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru berada dalam
rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap jiwa
manusia dan perlukaan/penganiayaan (qisas/diat). Hal tersebut
dikarenakan menurut hukum Islam tindak pidana kisas-diat adalah
merupakan hak adami bukan hak Allah. Di dalam hukum Islam juga tidak
mengenal perbedaan antara perdata dan pidana, pemisahan tersebut ada
pada hukum yang bersumber pada hukum barat. Dengan demikian
terhadap kejahatan terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat
memilih bentuk hukuman apakah dengan qisas ataukah diat, yakni
mengganti kerugian kepada keluarga korban, atau famili memaafkan
dengan tidak menuntut balas terhadap pelaku tindak pidana.222 Bentuk
penanganan seperti inilah yang menjadikan penyelesaian perkara pidana
menjadi fleksibel. Keterlibatan pihak korban dan keluarganya/ahli
warisnya diperlukan karena dari sinilah dapat diketahui bentuk
keseimbangan. Cara penyelesaian seperti ini sangat baik untuk
dikembangkan agar penanganan perkara pidana tidak berjalan kaku.
Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan
nama Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem
peradilan pidana yang merupakan pemutakhiran atas Sistem Peradilan
Pidana (SPP). Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri dari:
1. Hukum itu sendiri;
222 Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara & Departemen
Agama RI, Jakarta, 1998, hlm. 227
294
2. Sarana dan Prasarana;
3. Institusi Penegak Hukum;
4. Masyarakat; dan
5. Budaya.223
Pada pendapat beliau, sudah jelas terlihat adanya susupan dari
teori restorative justice, dimana perlu dibangun kerjasama antara institusi
penegak hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis
(unsur budaya) yang mempengaruhi proses law enforcement.224
Restorative justice menuntut proses peradilan pidana dengan memberikan
pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang
dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran
paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana.225
Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan
bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak
223 Rocky Marbun, “Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam
Sistem Peradilan Pidana”, http: www.wordpres.com, diakses pada 2 Oktober 2012224 Ibid225 Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, “Hukum Pidana dalam
Perspektif”. Pdf, Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas
Leiden, Universitas Groningen, 2012, hlm. 311
295
lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan”.
Ciri utama dalam konsep restorative justice adalah dalam melihat
suatu kejahatan menempatkan gejala kejahatan dan berbagai konflik
sosial sebagai tindakan sosial daripada sebagai pelanggaran hukum
pidana.226 Konsep restorative justice dalam menegakkan keadilan ketika
terjadi kejahatan, konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia
adalah memandang keadilan sebagai suatu sistem sosial yang
menempatkan berbagai bentuk konflik sebagai tindakan yang merugikan
orang dan merusak hubungan-hubungan dalam masyarakat. Salah satu
wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya mekanisme penal
mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui
instrument mediasi, arbitrase atau konsiliasi.
Keadilan Restoratif merupakan salah satu proses diversi, yaitu
semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-
sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan
korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki,
rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Restorative justice atau keadilan restorasi dinilai sebagai
226 Muhammad Mustofa, ”Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian dan Restorative
Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Sosial”, Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35, Tahun 2005, hlm. 208
296
paradigma baru dalam menyikapi tindak kejahatan yang dapat direstorasi
kembali, pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah
ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam
memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar
dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut: Restorative
justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict
that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal,
social work, and counceling professionals and community groups.
Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed,
the person causing the harm, and the affected community.
Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang
menempatkan keadilan restorative sebagai nilai dasar yang dipakai
dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya
keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban
serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana
tersebut dalam masyarakat.
Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah
pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya
sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam
model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
297
keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting
disamping peran pelaku.
Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai
model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat
sejumlah kelemahan, yaitu:
1. Korban, bahwa korban yang semestinya hadir sebagai pihak yang
menjadi pusat dari mekanisme yang berjalan di luar pelaku terlihat
belum menjadi bagian dari berbagai mekanisme yang ada.
a. Keberadaan korban menyebabkan pertimbangan penerapan
pendekatan keadilan restorative tidak dapat diterapkan untuk
semua jenis tindak pidana.
b. Keinginan korban untuk ikut berpartisipasi secara sukarela
merupakan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan
penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan restorative.
Contoh kasus, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan
keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi
oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan, meskipun
bukan gambaran utuh dari penerapan pendekatan restorative baik
pelaku dan keluarga korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga
korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu
kesepakatan yaitu menikahkan putra putrinya.
298
Melihat contoh kasus tersebut, pernyataan yang
dikemukakan oleh korban atau keluarga korban seperti:
a. Keinginan untuk secepatnya menyelesaikan masalah;
b. Tak ingin berurusan dengan petugas penegak hukum (kalau
sudah di tangan penegak hukum terlalu lama);
c. Menginginkan hasil yang nyata dan memuaskan, misalnya:
1) Pengembalian uang atau barang;
2) Pemulihan nama baik;
3) Perkawinan yang terselenggara;
4) Memperoleh biaya pengobatan dan lain sebagainya;
2. Pelaku, dalam memenuhi salah satu unsur dari penyelenggaraan
penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan restorative, maka syarat bahwa pelaku yang mau melakukan
evaluasi diri untuk menyadari kesalahan dan bertanggung jawab
yang harus dipenuhi.
Dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan
pendekatan keadilan restorative, terutama yang dilakukan di luar sistem
peradilan pidana maka hal ini amat rentan untuk tidak dipenuhi dan tak
jarang diabaikan. Posisi yang mendudukkan seseorang sebagai pelaku
bisa jadi sangat instan dan subjektif, tak jarang korban yang sebenarnya
justru didudukkan sebagai pelaku dan dimintai pula
pertanggungjawabannya. Dalam memposisikan salah satu pihak sebagai
korban perlu kehati-hatian. Oleh karenanya perlu diperhatikan bilamana
penyelesaian perkara di luar sistem ingin dilakukan. Mekanisme
299
pembuktian tetap harus ditempuh untuk menjamin bahwa yang
bertanggungjawab adalah korban yang sesungguhnya dapat dilihat dalam
kacamata yang obyektif.
Lembaga Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan
apakah suatu perbuatan diteruskan atau tidak diteruskan dalam proses
peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam perkara lalu lintas
misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan
kerugian yang kecil atau luka yang kecil biasanya diselesaikan dengan
mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi
atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar
kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Namun demikian jika
kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan kerugian yang besar
seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat dilakukan, adapun pembayaran
ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan penguburan jenazah korban
hanya sebagai salah satu pertimbangan yang nantinya digunakan oleh
hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.227
Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak
menghapuskan tindak pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan
diproses dalam sistem peradilan pidana. Selanjutnya bahwa proses
mediasi penal yang dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak
pidana tertentu, bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam
diskresi kepolisian keputusan yang diambil justru bertentangan dengan
227 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 43
300
peraturan sehingga melalui pertimbangan yang sangat banyak dan
strategis untuk kepentingan orang banyak.
Di sini pun peran polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya
sebagai saksi yang menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut
melalui kesepakatan perdamaian.228 Di samping delik aduan biasanya
masyarakat menyelesaikan sendiri perkara pidana dengan mediasi yaitu
misalnya dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
sekali pun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan
delik aduan, akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua
pihak dan keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi
seringkali menjadi pilihan. Dalam mediasi ini pihak korban dapat
meminta ganti kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi
kesepakatan dari pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian,
kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses
peradilan tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti
kerugian hanya bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan
penuntutan, keputusan tetap di tangan hakim.
Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh
karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi
beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi
228 Romli Atmasasmita, 2008, ”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi
– Jaksa: Menuju Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univ. Indonesia, Depok, 17 April 2008
301
pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu
dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori
'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian
seperti dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan
matinya orang lain), serta dalam tindak pidana terhadap harta benda
seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang
penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling mengenal,
maka dapat dilakukan mediasi dimana korban dapat meminta ganti
kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah
dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian
meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada
korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan,
dengan alasan kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatifnya, selama
belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam
penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan
pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu
alasan pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum
tuntutannya.229
Dalam hukum pidana tidak dikenal mediasi penal, namun
demikian ada kesempatan bagi korban untuk menggugat ganti kerugian
kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses peradilan pidana tetap
dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita mempermasalahkan mediasi
229 www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, akses
tanggal 25 Desember 2012
302
penal dalam hal penentuan pengganti kerugian dari pelaku kepada korban
hal ini dimungkinkan, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban
dalam pidana bersyarat merupakan salah satu syarat khusus yang telah
dilakukan oleh terpidana, di samping ketentuan pidana yang akan
dijatuhkan oleh hakim tidak lebih dari 1 (satu) tahun untuk pidana
penjara.
Masyarakat sebenarnya membutuhkan lembaga mediasi penal,
khususnya untuk delik-delik aduan, seperti penghinaan, tindak pidana
pencurian yang melibatkan anggota keluarga, kasus-kasus yang unsur
pidananya tidak jelas, dan kasus-kasus dengan nilai kerugian yang ringan
atau sedikit. Dalam kasus-kasus seperti ini apabila tetap diproses dalam
peradilan pidana justru akan lebih banyak nilai kerugiannya. Pengalaman
praktik mediasi penal oleh hakim tidak pernah dilakukan, oleh karena
tidak ada peraturan normatif yang mengaturnya, biasanya hal-hal yang
menyangkut kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat
penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan
mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan
yang salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum
perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Temuan praktik mediasi di tingkat Mahkamah Agung RI, bahwa
mediasi penal di lingkungan Mahkamah Agung telah dipraktikan dalam
kasus tindak pidana yang pelakunya anak di bawah umur. Pelaksanaan
mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur ini didasarkan pada
303
Kesepakatan Antara Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah
Agung, dan Para Ketua Muda Mahkamah Agung dalam Rapat Pimpinan
Mahkamah Agung RI di Novotel Hotel Bagor, 17 Mei 2009 yang
membahas tentang temuan hukum serta permasalahan-permasalahan yang
timbul di Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya. Praktik
mediasi penal untuk pelaku anak di bawah umur telah diujicobakan di
lingkungan Pengadilan Negeri Jawa Barat.230
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya telah banyak
dilakukan praktik mediasi penal dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana
meskipun tidak mengemuka, sehingga kasus tersebut tidak sampai pada
proses peradilan pidana. Praktik mediasi penal yang dilakukan oleh
masyarakat biasanya menggunakan tokoh masyarakat atau tokoh agama
sebagai mediatornya. Namun demikian meskipun telah diselesaikan
secara mediasi penal, tidak menghapuskan kewenangan penyidik untuk
melakukan penyidikan jika suatu saat diketahui oleh penyidik telah
terjadi tindak pidana yang termasuk katagori delik biasa yang telah
didamaikan. Dengan demikian kedudukan akta kesepakatan damai tetap
lemah, karena masih dapat dilakukan penuntutan, namun demikian
keberadaan akta kesepakatan damai tersebut dapat dijadikan sebagai
salah satu pertimbangan untuk memperingan tuntutan Jaksa Penuntut
Umum. Jadi apabila diketahui oleh aparat penegak hukum proses
230 www//http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article, di akses 27
Desember 2012
304
peradilan pidana terhadap pelaku tetap diadakan, sehingga tidak
menghapuskan penuntutan.
Kebijakan-kebijakan untuk menetapkan mediasi penal sebagai
alternatif penyelesaian perkara pidana yang merupakan bagian dari proses
peradilan pidana sangat dibutuhkan, sehingga mediasi penal dapat
menjadi sarana penyelesaian perkara pidana yang sah dan hasil
kesepakatannya bersifat mengikat terhadap para pihak, aparat penegak
hukum, dan masyarakat sehingga tindak pidana yang diselesaikan melalui
mediasi penal menghapuskan kewenangan untuk menuntut. Berlakunya
mediasi penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan
penuntutan di masa mendatang adalah sejalan dengan kebijakan konsep
KUHP 2008 tentang gugur atau hapusnya kewenangan menuntut tindak
pidana, sebagaimana tertuang dalam Pasal 145 huruf d, e, dan f yang
menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika : (d).
Penyelesaian di luar proses. (e). maksimum pidana denda dibayar dengan
suka rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan
pidana denda paling banyak katagori II. (f). maksimum pidana denda
dibayar dengan suka rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III.
Sementara itu sebagai alasan menghapus kewenangan
menjalankan pidana bagi pelaku yang telah dijatuhi putusan hakim
berupa pidana penjara, mediasi penal dalam tahapan eksekusi ini sejalan
dengan Pasal 57 RUU KUHP tentang perubahan atau penyesuaian
305
pidana, yang dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau
tindakan dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Adapun penentuan kebijakan-kebijakan dalam konstruksi politik
hukum mediasi penal yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-
undang meliputi:
1. Penentuan Kebijakan Formulasi Pengertian Yuridis Mediasi Penal
Pengertian yuridis mediasi penal hendaknya dirumuskan
dengan tidak meninggalkan arti sebenarnya dari mediasi penal
sebagaimana pertama kali dicetuskan pada tanggal 15 September
1999, oleh Council Of Europe Committee Of Ministers dalam
Recommendation No. R (99) 19 Of The Committee Of Ministers To
Member States Concerning Mediation In Penal Matters sebagai
dasar hukum penegakan mediasi penal di negara-negara Eropa,
sebagai berikut: “Penal mediation is any process whereby the victim
and the offender are enabled, if they freely consent, to participate
actively in the resolution of matters arising from the crime through
the help of an impartial third party (mediator)”.231
2. Kebijakan Penentuan Asas-Asas Mediasi Penal
Dalam penyusunan politik hukum tentang mediasi penal,
diperlukan formulasi tentang asas-asas dan tujuan-tujuan yang akan
dicapai dalam proses mediasi penal. Asas-asas dalam mediasi penal
yang perlu dirumuskan meliputi:
231 Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral
306
a. Asas Bebas dan Sukarela
Bahwa pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada
kehendak bebas dan suka rela dari korban dan pelaku tindak
pidana, sehingga dalam memutuskan apakah perkara pidananya
akan dimediasikan atau pun tidak harus berdasarkan persetujuan
bebas (freely consent) dari para pihak.
b. Kebebasan Para Pihak Untuk Menarik Diri Selama Proses
Mediasi
Selama proses mediasi penal berlangsung, para pihak
baik korban maupun pelaku dibebaskan untuk menarik dirinya
dari proses mediasi kapan saja.
c. Asas Kerahasiaan (Confidential)
Proses mediasi penal bersifat rahasia, dalam arti para
pihak baik korban, pelaku tindak pidana maupun mediator harus
memegang kerahasiaan yang terjadi selama proses mediasi,
termasuk kerahasiaan pernyataan-pernyataan yang dinyatakan
para pihak, alasan-alasan jika tidak tercapai kesepakatan maupun
hal-hal lain yang timbul saat proses mediasi penal berlangsung.
Kecuali jika timbul hal-hal yang membahayakan para pihak,
seperti ancaman dan penyerangan fisik dari satu pihak kepada
pihak lain, maka hal tersebut dapat dilaporkan kepada penyidik,
namun jika proses mediasi tidak mencapai kesepakatan,
mediator hanya boleh menyampaikan kepada hakim bahwa
mediasi tidak mencapai kesepakatan tanpa menguraikan alasan-
307
alasannya, begitu pula mediator tidak dapat bertindak sebagai
saksi terhadap pernyataan-pernyataan para pihak dalam proses
peradilan.
Sementara itu tujuan mediasi penal dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Menyelesaikan konflik pidana dengan mengadakan rekonsiliasi
antar pelaku tindak pidana dan korban.
b. Mengadakan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban
berupa restitusi dan ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
c. Merekatkan kembali hubungan yang terganggu antara pelaku
dan korban karena adanya tindak pidana.
d. Memperlancar proses rehabilitasi pelaku dan pemulihan
martabat korban.
3. Kebijakan Penentuan Tindak Pidana Yang Dapat Dimediasi
Kebijakan penentuan tindak-tindak pidana yang dapat
dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Ancaman pidana yang rendah, tindak pidana yang dapat
dimediasikan hendaknya tindak pidana yang hanya diancam
dengan ancaman pidana denda atau ancaman pidana penjara
paling lama satu (1) tahun dan atau tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 359 KUHP (kelalaian berakibat matinya
orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan
308
orang lain luka berat), Pasal 310 Undang-undang Nomor 22
Tahunn 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
b. Tingkat kerugian yang ditimbulkan tindak pidana yang dapat
dimediasikan haruslah tindak pidana yang menimbulkan
kerugian yang kecil saja, seperti dalam pelanggaran-pelanggaran
dan kejahatan ringan. Contohnya: tindak pidana pencurian
ringan, penganiayaan ringan, penipuan ringan dan penggelapan
ringan.
c. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian dapat
dimediasikan, hal ini menyangkut sikap batin pelaku tindak
pidana. Dalam kelalaian tindak pidana dan akibat yang terjadi
bukan karena kehendak pelaku, melainkan karena kekurangan
penghati-hatian.
d. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut
maupun relatif. Tindak pidana aduan dapat dimediasikan karena
penuntutannya didasarkan pada ada atau tidak adanya
pengaduan, dan adanya kesempatan bagi korban atau pengadu
untuk mencabut pengaduannya sehingga proses tidak sampai
berlanjut pada peradilan pidana. Contoh : delik zina, penghinaan
dan lain-lain.
e. Tindak pidana yang melibatkan anggota keluarga sebagai
pelaku/korban, hal ini sejalan dengan salah satu tujuan mediasi
penal yaitu mengintegrasikan dan menyatukan atau memperkuat
kembali hubungan antara pelaku tindak pidana dan korban.
309
Dengan demikian apabila terjadi tindak pidana yang melibatkan
anggota keluarga maka dimungkinkan untuk dilakukan proses
mediasi penal.
f. Tindak pidana di mana pelakunya anak di bawah umur, terhadap
anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana terdapat
ketentuan khusus, sehingga proses peradilan pidana yang
dijalaninya tidak menimbulkan trauma berkepanjangan yang
akan mengganggu perkembangan psikisnya, sehingga dibuka
kemungkinan besar untuk penyelesaian dengan jalan proses
mediasi penal.
4. Penentuan kebijakan pelaksanaan mediasi penal sebagai bagian dari
proses peradilan pidana
Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk
yaitu:232
a. Mediasi penal di luar proses peradilan pidana (out of criminal
justice process), di sini diperlukan landasan hukum berupa
kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang:
1) Tindak pidana yang dapat dimediasikan di luar proses
peradilan pidana.
232 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana
,Tahun 2009.
310
2) Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku dan korban
di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu diakui
keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.
3) Mediasi penal difasilitasi oleh mediator yang telah
bersertifikasi.
4) Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak
pelaku dan korban, sebagai keputusan yang sah dan final
sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu
dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila
disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal
ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah
bersifat suka rela.
5) Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai
alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah
dimediasikan.
b. Penal sebagai bagian proses peradilan
Pidana (Within Criminal Justice Process) Mediasi, pada
tahap penyidikan ini merupakan kombinasi model mediasi
informal mediation, victim-offender mediation dan reparation
negotiation programmes. Pada tahap ini dapat ditetapkan cara
kerja mediasi penal sebagai berikut:233
233 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana
,Tahun 2009
311
1) Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu
(diuraikan dalam bahasa tindak pidana yang dapat
dimediasikan), maka pihak penyidik memanggil pelaku dan
korban untuk menawarkan alternative penyelesaian perkara
pidananya di luar proses peradilan.
2) Mediasi penal harus dilakukan secara suka rela dari semua
pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik
dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal,
selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut
kepada korban dengan menginformasikan jasa mediator
penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya.
3) Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip
confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-
pernyataan yang muncul selama proses mediasi termasuk
mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses
peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama
proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak mencapai
kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
4) Pada kesempatan mediasi inilah pelaku dan korban
dipertemukan untuk mencari solusi yang saling
menguntungkan. Pihak korban dapat mengajukan tuntutan
ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian yang
312
dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan
difasilitasi oleh mediator.
5) Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta
diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh
karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan
suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan
tugas mediasi.
6) Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator
memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai
kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti
kerugian dari pelaku kepada korban.
7) Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final,
sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.
8) Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik
menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada
pelimpahan BAP kepada Penuntut Umum. Dalam
pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan ini dilakukan
sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan korban.
Mediasi penal pada tahap penuntutan ini merupakan
kombinasi antara bentuk Victim Offender Mediation dan
Reparation Negotiation Programme.
Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan
dapat digambarkan sebagai berikut:
313
a. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,
dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak
pidana.
b. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari
pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui
untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi
diberikan kepada jaksa penuntut umum.
c. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun
dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang
bersertifikasi.
d. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak
pidana.
e. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti
semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang
muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua
pihak yang terlibat.
f. Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran
ganti kerugian kepada korban.
g. Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara
pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak
pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas
314
tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala
sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.
h. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh
semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan
yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat
berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.
Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat
digunakan sebagai alasan untuk menghapuskan menjalankan pidana
bagi pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan
oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah
mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan
dari model Victim Offender Mediation dan Reparation Negotiation
Programmes. Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai
berikut:
a. Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal
sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para
pihak.
b. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara
suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara
mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban.
c. Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan
mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan
bersertifikasi.
315
d. Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada
kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku,
serta dilakukan pembayaran ganti kerugian yang diderita korban.
e. Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga
segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul
dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak
termasuk mediator.
f. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses
pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana
mestinya.
g. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak saling menerima
hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti
kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil kesepakatan
yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan
tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final,
sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam
proses peradilan pidana.
Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang menjalani
pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk
menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika
pelaku telah menjalankan sebagian pidananya. Adapun pelaksanaan
pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut:
316
a. Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan
kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna
meringankan pidananya.
b. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari pelaku tindak
pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa
penuntut umum sebagai eksekutor.
c. Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan
disetujuinya mediasi penal.
d. Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat
dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun
mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.
e. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan (confindentiality)
sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam
mediasi bersifat rahasia.
f. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan
kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan
tersebut berfungsi sebagai alasan utuk menghapuskan
kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat
dibebaskan.
g. Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian
kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang
bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan
terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.
317
318
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM KONSTRUKSI HUKUM
BERKAITAN DENGAN PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNG HUKUMDALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
A. DISKRESI DALAM TUGAS DAN WEWENANG KEPOLISIAN
Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda
“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan,
Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan.234 Diskresi sering dirumuskan sebagai “Freis
Ermessen” Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T Simorangkir,
diskresi diartikan sebagai “kebebasan mengambil keputusan dalam setiap
situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”.235
Didalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa:
1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
234 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang 1977, hlm. 91235 JCT Simorangkir, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 2007, hlm. 38
319
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kalimat dalam Pasal 18 tersebut yang berbunyi “bertindak
menurut penilaian sendiri” merujuk kepada konsep diskresi atau “Freies
Ermessen”. Dalam bahasa Inggris, diskresi (Discretion) mengandung
arti, “the quality of being discreet, or careful about what one does and
says”, dari kalimat tersebut mempunyai makna yakni kualitas yang
bijaksana, atau berhati-hati tentang apa yang dilakukan dan dikatakan.
Jadi, inti dari makna kata diskresi yang telah dijelaskan di atas yakni
harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Dalam bahasa UU No. 2 Tahun 2002 tersebut diskresi dirumuskan
sebagai “dalam keadaan yang sangat perlu”. Penjelasan resmi dari UU
tersebut berbunyi, “yang dimaksud dengan `bertindak menurut
penilaiannya sendiri` adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak
harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan
betul-betul untuk kepentingan umum”.236
Diskresi adalah kebebasan untuk memilih berbagai langkah
tindakan (Caurses of action or inaction). Diskresi membutuhkan tingkat
kecerdasan yang memadai dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini
peningkatan sumber daya manusia (SDM) penegak hukum memegang
peranan penting dari pada keputusan yang diambil, atau dalam hal ini
adalah Peraturan Perundang-undangan (to improve the human resources
236 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, 2010, hlm. 103
320
is more important than it`s product), mengingat pentingnya penegak
hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman ataupun Advokad) harus
berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya didasarkan
pada peraturan perundang-undangan semata, sebab hukum bukanlah
hanya ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Ia harus
dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat
diterima oleh manusia yang ada didalamnya.
Kualitas sumberdaya manusia penegak hukum adalah faktor
penentu jalannya suatu Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), oleh karena itu peningkatan profesionalisme, integritas dan
disiplin merupakan upaya penting yang harus dilakukan tiada henti.
Selain itu perlu setiap penegak hukum bertindak proporsional serta
memiliki kemandirian, kearifan dan perilaku hukum yang baik, agar
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum sebagai tata hukum
atau nilai dasar dari cita hukum dapat diwujudkan dinegeri tercinta ini. 237
Kewenangan diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang
yang dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan
keyakinan serta lebih menekankan pada pertimbangan moral ketimbang
pertimbangan hukum. Diskresi itu dilakukan bukan lepas dari ketentuan
hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Oleh
karena itu praktik Kepolisian demi kepentingan umum dapat dipandang
sebagai upaya pengayoman sehingga dapat berlangsung. Secara tegas
237 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi dan Tax Amnesty Dalam
Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 21
321
dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa:
“…tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan
asas preventif dan asas kewajiban umum Kepolisian yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini
setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki
kewenangan diskresi yaitu kewenangan untuk bertindak demi
kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
…Undang-undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan Kode
Etik Profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral
maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia”.
Meskipun Polisi itu bertindak seolah-olah justru tidak berdasarkan
atas hukum positif yang berlaku, namun apabila dikaji lebih mendalam
justru tindakan tersebut adalah merupakan suatu tindakan yang dapat
menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu perlindungan terhadap
setiap warga negara yang berdasarkan atas keadilan, kemaslahatan dan
kemanfaatan hukum itu sendiri untuk membahagiakan rakyatnya.
Pemberian kewenangan diskresi kepada Polisi pada hakikatnya
bertentangan dengan asas negara yang didasarkan pada hukum
(Rechtstaats). “Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang
terjadi, tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali
dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan
322
dicapai”.238 Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur
oleh peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat
dicapai.
Berdasarkan pandangan Chamblis dan Saidman, maka dapat
diartikan bahwa hukum merupakan suatu bentuk ide-ide yang mengatur
secara terperinci dan mendetail dengan memberikan suatu bentuk arah
pada kehidupan bersama dan bersifat umum, maka pada saat itu pula
kehidupan akan mengalami kemacetan. “Sekalipun Polisi dalam
melakukan diskresi terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan
jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada Polisi guna
memberikan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih luas”.239
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh Polisi maka Polisi
mempunyai kewenangan dalam menerobos suatu bentuk kekakuan
hukum yang lebih menonjolkan sisi legisme semata, tanpa
memperhatikan stelsel-stelsel kemasyarakatan yang hidup di masyarakat
dalam mencapai suatu bentuk kemaslahatan dan keadilan yang nyata.
Dari hal tersebut, maka bentuk diskresi yang diberikan kepada Polisi
merupakan suatu bentuk terobosan terhadap penegakan hukum secara
nyata dengan tetap memberikan suatu bentuk keadilan yang nyata dengan
238 Fitriana K. Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi Dalam Penyidikan di
Polwiltabes Semarang, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2006, hlm.
13239 Ibid
323
memperhatikan sisi risiko dan kemanfaatan dari suatu tindakan yang
dilaksanakan.
B. DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM
Setelah kita ketahui bahwa tugas Polisi secara konsepsional
adalah tugas-tugas Kepolisian preventif dan represif atau tugas-tugas
penjaga ketertiban (order maintenance) dan penegakan hukum (law
enforcement), letak diskresi Kepolisian dapat diberikan di seluruh bidang
tugas Kepolisian baik dalam lingkup tugas-tugas preventif seperti Polisi
Lalu Lintas, Sabhara dan sebagainya maupun tugas-tugas represif seperti
Polisi Reserse, baik di dalam tugas-tugas penjagaan ketertiban (order
maintenance) maupun di dalam tugas-tugas penegakan hukum (law
enforcement). Hanya kadarnya mungkin yang agak berbeda antara satu
dengan yang lainnya.240
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum sesungguhnya adalah “hukum
yang mati” (black letter law). Sebuah peraturan boleh saja mengatur,
menyuruh, dan melarang segala macam perbuatan, tetapi sesungguhnya
ia hanya kata-kata, janji-janji, dan ancaman-ancaman di atas kertas. Janji-
janji dan sebagainya itu baru menjadi kenyataan melalui tangan-tangan
dan pekerjaan manusia, antara lain oleh Polisi. Oleh karena itu Polisi
adalah hukum yang hidup.241
240 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 65241 Satjipto Rahardjo, 2010, Op. Cit, hlm. 107
324
Selanjutnya oleh Donald Black dikatakan, “in a number of ways
the police determine the quantity of law as well, since they have the
capacity to exercise more or less social control from one setting to
another” yang mempunyai arti dalam sejumlah cara Polisi menentukan
kuantitas hukum juga, karena mereka memiliki kemampuan untuk
menjalankan lebih atau kurang kontrol sosial dari suatu pengaturan yang
lain.242 Lebih lanjut oleh Black dikatakan “whenever the police act in an
official capacity, every kind of social control they exercise, including
forms of punishment considered brutal by some, is understandable as
law” dari kalimat tersebut mempunyai makna kata setiap kali tindakan
Polisi dalam kapasitas formal, setiap jenis kontrol sosial mereka
melaksanakan, termasuk bentuk hukuman yang dianggap cela oleh
beberapa orang, dimengerti sebagai hukum. Memang dari kalimat
tersebut dijelaskan bahwa hukum itu menjadi hidup di tangan Polisi, oleh
karena Polisi melakukan mobilisasi hukum. Hal tersebut adalah bahasa
sosiologis untuk penegakan hukum.243
Peran Polisi di dalam penegakan hukum seolah-olah diibaratkan
bahwa Polisi adalah hukum yang hidup, karena di tangan Polisi inilah
tujuan-tujuan hukum untuk melindungi dan menciptakan keadaan yang
aman di dalam masyarakat dapat diwujudkan. Melalui tangan Polisi
inilah hal-hal yang bersifat falsafati dalam hukum bisa untuk diwujudkan
menjadi nyata, tetapi justru oleh karena sifat pekerjaannya yang demikian
242 Ibid243 Ibid
325
itulah, Polisi banyak berhubungan dengan masyarakat dan menanggung
risiko mendapatkan sorotan yang tajam pula dari masyarakat yang
dilayaninya.
Di banyak literatur dan perundang-undangan pidana belum ada
yang mengatur dan menjelaskan secara rinci tentang kualifikasi serta
jenis tindak pidana dan pasal-pasal yang patut untuk di-diskresikan,
karena hal tersebut menyangkut tugas dan kewenangan Polisi menurut
keyakinannya sendiri demi kepentingan umum sebagai amanat dari Pasal
18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dalam melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut,
Polisi selaku aparat penegak hukum harus bertindak juga sesuai
profesionalisme selaku Institusi Negara dalam menegakkan hukum yang
menjunjung tinggi nilai keadilan dan berdasarkan atas tanggung jawab
serta Kode Etik Profesi Kepolisian.
Perincian tugas-tugas Polisi seperti yang tercantum dalam
Undang-undang di atas membuktikan bahwa untuk mencapai dan
memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh
Polisi, tentunya pekerjaan tersebut hanya boleh dilaksanakan dengan
mematuhi berbagai pembatasan tertentu, salah satu dari pembatasan itu
adalah hukum. Dalam hal ini Polisi oleh hukum ditugasi untuk
menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang
berlaku di masyarakat. “Diskresi dibutuhkan dan dilakukan oleh Polisi
karena ia bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga
326
ketertiban yang bertugas mengusahakan kedamaian (peacekeeping) dan
ketertiban (order maintance)”.244
Menurut Soerjono Soekanto245 “di satu fihak memang benar
bahwa hukum merupakan sarana pengendalian sosial, akan tetapi di lain
pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar
proses interaksi sosial (law as a facilitation of human interaction)”. Maka
dari itu, hukum itu di samping fungsinya sebagai sarana pengendalian
sosial, hukum juga dapat mengatur dan menuntun kehidupan bersama
secara umum, sebab apabila hukum mengatur secara sangat terperinci,
dengan memberikan langkah-langkah secara lengkap dan terperinci,
maka pada waktu itu pula kehidupan akan macet. Oleh karena itu diskresi
sesungguhnya merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh
hukum itu sendiri.
Pemberian diskresi kepolisian pada perkara-perkara yang masuk
di dalam bidang tugas preventif memang lebih besar daripada perkara-
perkara di bidang penegakan hukum. Hal ini dikarenakan tugas-tugas
Polisi itu umumnya adalah tugas-tugas preventif, tugas-tugas di lapangan
atau tugas-tugas umum Polisi, yang ruang lingkupnya sangat luas dan
tidak seluruhnya tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Maka diserahkan tindakan berikutnya kepada Polisi itu sendiri sebagai
244 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang, 2009, hlm. 104245 Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1991, hlm. 48
327
jalan keluarnya oleh anggota Polisi itu. Dan disinilah terdapat ruangan-
ruangan diskresi.
Dalam melaksanakan tugas preventif, Polisi sebagai aparat
penegak hukum, dalam perspektif sosiologis, selalu memiliki apa yang
disebut status dan role. Status melahirkan role, artinya kedudukan yang
ia miliki menyebabkan adanya hak-hak dan kewajiban-kebajiban tertentu.
Inilah yang disebut wewenang. Kalau hak, merupakan wewenang untuk
berbuat, maka kewajiban, merupakan beban atau tugas.246
Dalam melaksanakan kewajiban tersebut sebagai aparat penegak
hukum, Polisi disamping masuk dalam sub sistem peradilan yang erat
dengan kepastian hukum atau corong dari undang-undang, juga harus
mengedepankan aspek keadilan didalam tugasnya sebagai aparat penegak
hukum. Gustav Radbruch mengemukakan keadilan adalah terpenting
dalam penegakan hukum, selain nilai kepastian, dan nilai kemanfaatan
oleh karena itu Kepolisian di dalam menjalankan tugasnya secara
preventif dan represif harus mencerminkan nilai-nilai keadilan secara
proporsional. Hal tersebut menurut Muhtarom bahwa “nilai keadilan itu
246 Indah Sri Utari, Persepsi Polisi Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Konteks
Penegakan Hukum di Poltabes Semarang (Suatu Studi Sosiologi), Tesis Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 99
328
merupakan suatu yang abstrak, maka dalam pelaksanaannya harus
diperhatikan aspek kepastian hukum maupun kemanfaatannya”.247
Kepastian hukum diantaranya harus mengandung jaminan
pelaksanaan keadilan secara kongkrit, jika aspek kepastian hukum
berbenturan dengan keadilan, maka rasa keadilan yang harus diutamakan.
Sedangkan aspek kemanfaatan tidak hanya dilihat dari sudut orang-
perorang, melainkan harus dilihat secara luas yang berorientasi pada
masalah kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, dan itu menjadi
keharusan dalam penegakan hukum termasuk hukum agama dan hukum
adat.248
Menurut Satjipto Rahardjo,249 “penegak hukum adalah pekerjaan
yang berhubungan dengan hukum, sedang menjaga ketertiban adalah
sosiologi. Keduanya sangat berbeda dalam sifat dan substansinya”.
Masyarakat sendiri membutuhkan diskresi, hal tersebut menitikberatkan
pada jaminan pelaksanaan keadilan secara kongkrit. Asumsi tersebut
sangatlah dibutuhkan karena dalam pelaksanaannya secara normatif,
seorang penegak hukum disamping menjalankan aturan-aturan
perundang-undangan, harus melihat aspek-aspek sosiologis, yakni tujuan
Polisi sebagai pelaksana ketertiban adalah mencegah atau
247 Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative Dispute Resolution
(ADR) (Studi Penyelesaian Konflik Antar Partai Politik). Undip Press dengan Wahid Hasyim
University Press, Semarang, 2012, hlm. 36248 Ibid249 Satjipto Rahardjo, 2010, Op. Cit, hlm. 105
329
penanggulangan terjadinya suatu kejahatan di masyarakat, dalam hal ini
menitikberatkan terhadap terjadinya suatu kejahatan di masyarakat,
karena hal tersebut jaminan pelaksanaan secara kongkrit. Maka dari itu,
“diskresi adalah untuk membuat hukum lebih siap dan efektif
menghadapi kejadian-kejadian yang muncul dalam masyarakat”.250
Diskresi yang ada pada tugas Polisi dikarenakan pada saat Polisi
menindak, lalu dihadapkan pada dua macam pilihan apakah
memprosesnya secara formal sesuai dengan tugas dan kewajibannya
sebagai penegak hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara itu
dalam arti mengambil tindakan diskresi Kepolisian. Tindakan diskresi ini
mempunyai arti tidak melaksanakan tugas kewajibannya selaku penegak
hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh hukum dan demi kepentingan umum.
Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku, demi ketertiban atau
karena alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-
alasan ini pun erat kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas preventif
Polisi. Oleh Faal dijelaskan dua macam tindakan diskresi oleh Polisi,
yakni;
Tindakan Kepolisian yang berupa menindak (represif) yang
kemudian dilanjutkan dengan tindakan diskresi ini, disebut
dengan tindakan diskresi Kepolisian aktif. Sedangkan keputusan
Kepolisian yang berupa sikap Kepolisian yang umumnya
250 Ibid
330
mentolelir (mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran
hukum disebut diskresi Kepolisian pasif.251
Dari dua jenis tindakan diskresi tersebut hakikatnya sama-sama
bertolak dari pemikiran akan hukum yang dapat mengakomodir
kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Selain itu tindakan
diskresi yang dilakukan oleh Polisi tidak serta merta akan suatu
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) melainkan lebih
mengutamakan pencapaian tujuan sasarannya (doelmatigheid) daripada
legalitas hukum positif yang berlaku (rechtsmatigheid) dengan
mengedepankan Kode Etik Profesi Kepolisian yang bertujuan tercapainya
profesionalisme dalam menjaga kamtibmas serta penegakan hukum.
Di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),
diskresi bukanlah hal yang dianggap asing lagi. Tindakan diskresi dari
dahulu sudah banyak dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam
menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, akan tetapi dari
tindakan diskresi tersebut porsi serta bentuk dari tindakannya yang
berbeda-beda.
Dengan demikian, menurut Faal,252 “apabila kata diskresi itu
digabungkan dengan kata Kepolisian, maka istilah menjadi Diskresi
penyidik”. Yang dapat diartikan suatu kebijaksanaan berdasarkan
kekuasaan (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar
251 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 68252 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 15-16
331
pertimbangan demi kepentingan umum dan keyakinan dirinya. Jadi,
diskresi dikaitkan dengan Kepolisian dan penyidik adalah suatu
kebijaksanaan penyidik berdasarkan kekuasaan (power) untuk melakukan
suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan penilaiannya sendiri.
Perannya sebagai aparat penegak hukum menunjukkan bahwa
seorang polisi tidak terlepas dari apa yang merupakan dasar peraturan-
peraturan berlakunya tugas dan fungsi mereka sebagai pengemban fungsi
negara dalam memelihara keamanan, ketertiban masyarakat dan
menegakkan hukum serta norma-norma di masyarakat.
Dalam pelaksanaan diskresi oleh penyidik tidak dapat dilepaskan
dari peraturan dasar yang dijadikan landasan oleh penyidik dalam
melaksanakan tugas di tengah masyarakat. Bahwa dari dasar peraturan
tersebut, terdapat dua bidang hukum yang berisikan suatu larangam,
anjuran dan sanksi bagi pembuatannya yang disebut dengan legal materiil
dan peraturan yang menjadikan dasar bekerjanya seorang aparat penegak
hukum dalam menegakkan hukum materiil di tengah masyarakat yang
disebut dengan legal formil. Akan tetapi dalam dua bidang hukum
tersebut sering kali terdapat suatu ketidakefektifan dalam penegakan
hukum pidana di tengah masyarakat, karena aturan hukum tersebut
bersifat kaku serta tanpa memperhatikan tujuan dari pemidaanan tersebut.
Maka dari itu kedudukan dari Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dan Pasal 16 ayat (1) huruf l serta Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
332
Indonesia adalah merupakan dasar hukum (legal formil) bagi anggota
Polri untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab demi kepentingan masyarakat yang lebih luas atau kepentingan
umum dalam menjembatani suatu bentuk penanganan perkara pidana
yang dinilai ringan bobotnya dan tidak efektif apabila prosesnya
dilanjutkan ke peradilan
Dalam pelaksanaan penegakan hukum apabila hanya berdasarkan
atas peraturan perundang-undangan saja tanpa melihat aspek sosiologis
maka penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak
akan berjalan dengan baik serta efektif, karena dalam penegakan hukum
tidak hanya terpatok pada aspek kepastian hukum yang tercantum dalam
undang-undang semata, akan tetapi juga aspek keadilan serta
kemaslahatan untuk terciptanya situasi berhukum yang baik,
mementingkan aspek-aspek nilai positif dalam masyarakat serta
mengedepankan hak asasi manuasia secara umumnya.
Di sisi lain, Polisi dalam menegakkan hukum juga harus dituntut
untuk mengambil langkah tegas, kuat dan keras dalam fungsinya secara
preventif dan represif. Akan tetapi dalam fungsinya tersebut Kepolisian
dituntut lebih mengedepankan dan bertumpu pada upaya-upaya preventif
sebelum melaksanakan upaya-upaya yang bersifat represif.
Dalam penegakan hukum yang dilaksanakan kepolisian sebagai
law enforcement banyak mengalami suatu kendala-kendala dalam
melaksanakan kewenangan dalam bidang penyidikan, maka dari itu
langkah diskresi merupakan alternatif utama bagi penyelesaian perkara
333
dalam menyaring suatu bentuk perkara pidana. Karena di sini, Kepolisian
dalam wewenangnya sebagai aparat penegak hukum juga mempunyai
fungsi sebagai juru damai (peace keeping official) dan pelayan publik
(public servant).
Dalam penyaringan-penyaringan suatu perkara pidana, langkah
diskresi tidak dapat diterapkan untuk seluruh jenis tindak pidana dan
hanya untuk kategori-kategori tertentu saja, diantanya adalah 1) kategori
delik aduan (yang bersifat absolut atupun relatif), 2) pidananya hanya
pidana denda dan pelanggar telah membayar denda, 3) kategori
pelanggaran (diancam dengan pidana denda), 4) tindak pidana
administrasi, 5) kategori ringan, 6) kategori pelanggaran hukum adat.
Dari klausul tersebut, pokok diskresi penyidik terhadap perkara pidana
terdapat pada perkara kejahatan ringan, diantaranya adalah; Pasal 302
tentang penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 tentang
penganiayaan ringan terhadap manusia, Pasal 364 tentang pencurian
ringan, Pasal 373 tentang penggelapan ringan, Pasal 379 tentang
penipuan ringan, Pasal 482 tentang penadahan ringan, Pasal 315 tentang
penghinaan ringan.
Adanya penyaringan-penyaringan perkara yang masuk di dalam
Proses Peradilan Pidana (Criminal Justice Process) merupakan realisasi
dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana, asas dan
tujuan Sistem Peradilan Pidana. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa
dalam kenyataanya hukum tidak secara kaku diberlakukan kepada
334
siapapun dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam undang-
undang.253
Pelaksanaan diskresi oleh seorang penyidik Kepolisian tentunya
mempunyai pola dan bentuknya sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh
keadaan dan situasi kasus, keadaan sosial dan ekonomi serta budaya
setempat serta kondisi dan situasi hukum yang dialami oleh seorang
aparat penyidik Kepolisian tersebut. Seperti halnya penyelesaian perkara
pidana yang diselesaikan secara adat kebiasaan yang status hukum
adatnya sangat kuat pada saat proses penyidikan berjalan. Seperti halnya,
kasus pemerkosaan, membawa lari perempuan, pencurian, penganiayaan,
pengeroyokan dan perzinaan. Langkah yang dilakukan oleh penyidik
Kepolisian dalam hal ini adalah mengawasi dan berkoordinasi serta
memonitor jalannya penyelesaian suatu perkara pidana yang bertujuan
untuk mencapai aspek keadilan dan kemanfaatan disamping aspek
kepastian hukum yang menghindari dari sanksi-sanksi yang dapat
melampaui batas-batas hak asasi manusia serta pencideraan dari hukum
itu sendiri terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Selain dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
merupakan landasan dasar yuridis formal (hukum tertulis) dari penyidik
Kepolisian untuk melaksanakan kewenangan diskresi, menurut Faal
terdapat ketentuan-ketentuan hukum lainnya di luar dari landasan yuridis
253 Fitriana K. Ratnaningsih, 2006, Op. Cit, hlm. 66
335
formal (hukum tertulis) yang dapat dibuat pedoman dalam tindakan
diskresi yang dilakukan oleh penyidik. Dari ketentuan-ketentuan hukum
di luar hukum positif tersebut yang dapat digunakan oleh penyidik
Kepolisian sebagai dasar dalam melakukan tindakan diskresi tersebut
adalah;
1. Hukum tidak tertulis yang berlaku di dalam masyarakat.
Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil, dinyatakan bahwa:
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum
materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-
kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili
oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula
dan orang itu, dengan pengertian: bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang
tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim
336
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham
hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti
diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama
dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada
perbuatan pidana itu.
Hukum tidak tertulis yang menjadi dasar diskresi ini seperti
adat kebiasaan serta kebudayaan yang berlaku di masyarakat dan
tidak betentangan dengan hukum positif. Kebiasaan merupakan
aturan-aturan tidak tertulis, tetapi hidup subur, dituruti dan ditaati
oleh masyarakat. Kebudayaan masyarakat sudah ada sejak dahulu
semenjak masyarakat ada dan menduduki suatu wilayah. Interaksi
antara orang satu dengan yang lainnya membuat adanya suatu
konflik sosial, dari hal tersebut lahir suatu ketentuan-ketentuan yang
tidak tertulis dan mereka yakini serta mematuhinya, termasuk dalam
penyelesaian suatu sengketa pidana.
Pada zaman Kolonial Belanda, sumber pengetahuan tentang
hukum adat adalah pada Pasal 131 IS, Indische Regeling yang
337
menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis pluralistik,
Pada ayat (1) dari Pasal 131 IS tersebut menetapkan suatu asas
bahwa hukum perdata dan hukum pidana materiil dan formil
ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi, yaitu Undang-Undang yang
ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan persetujuan Volksraat.
Ketentuan dalam Indische Regeling tersebut merupakan embrio bagi
keberlakuan hukum adat di Indonesia pada era zaman penjajahan
pemerintahan Hinda Belanda. Pada ayat 2 sub (b) Pasal 131 IS
menetapkan suatu pedoman kepada pemberi ordonansi untuk hukum
yang bersifat materiil yang harus diatur bagi orang Indonesia, untuk
itu berlaku azas bahwa hukum adat mereka akan dihormati dengan
kemungkinan penyimpangan-penyimpangan di dalam hal:
a. Kebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, maka mereka
akan taklukkan perundang-undangan yang berlaku bagi orang
Eropa, sekedar atau perlu diubah atau mereka akan bersama-
sama dengan orang-orang Eropa ditaklukkan ada keistimewaan
yang sama.
b. Kebutuhan masyarakat; mereka menghendaki atau berdasarkan
kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat
mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan
orang Timur asing.
Di samping dalam Pasal 131 IS, masih terdapat Pasal di
dalam IS lainnya yang memungkinkan berlakunya hukum adat, Pasal
tersebut adalah Pasal 130 IS yang menegaskan bahwa terdapat
338
daerah-daerah di mana kepada bangsa Indonesia diberikan kebebasan
untuk menganut hukumnya sendiri. Hal tersebut memberikan
pandangan bahwa hukum adat di Indonesia pada era pemerintahan
Hindia Belanda keberlakuannya diakui karena banyaknya kebiasaan-
kebiasaan pada masyarakat di Indonesia yang memiliki banyak
ragam suku, kebudayaan, ras, bahasa dan berbagai bentuk
permasalahan hukum juga. Dari ketentuan hukum adat tersebut
dirasa lebih efektif dalam menyelesaikan problem-problem di
masyarakat karena dipandang tidak semua permasalahan hukum di
Indonesia pada masa itu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan
hukum materiil yang dibuat oleh pemerintah saja, akan tetapi asalkan
hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang
diakui umum.
Sesungguhnya hukum yang tidak tertulis sebagai landasan
hukum adalah suatu hal yang konstitusional sifatnya. Karena hal itu
diakui oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 “hukum dasar yang tidak tetulis ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara”.254 Bunyi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut secara harfiah mempunyai suatu
perlindungan dan penjaminan keberlakuan hukum adat pada masa
sekarang yang sudah ada sejak dahulu pada era pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda.
254 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 117
339
Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepolisian, di
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di masyarakat
sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa
hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang
dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada dan hidup
di tengah masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan
hukum positif yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan
keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat serta tidak merugikan
hak-hak orang lain.
Begitu juga penyelesaian terhadap perkara-perkara pidana
yang serba ringan sifatnya akan menjadi lebih efektif apabila
diproses berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu,
akan tetapi apabila dipaksakan penyelesaiannya melalui lembaga
peradilan yang ada maka justru akan menimbulkan permasalahan
baru dan dampak negatif bagi tersangka dan masyarakat secara
umumnya, sehingga dengan demikian maka adat kebiasaanlah yang
dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun
juga hal itu dirasa lebih praktis, efektif dan efisien dari segi estimasi
biaya dan tenaga daripada diselesaikan lewat Sistem Peradilan
Pidana (Criminal Justice System). Misalnya saja suatu penyelesaian
perkara ditempuh dengan upaya kekeluargaan dengan cara duduk
bersama guna mencari solusi dari permasalahan yang ada, maka hal
tersebut dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan
340
hubungan yang ada antara kedua belah pihak yang berperkara
menjadi renggang atau pecah dalam pergaulan di tengah masyarakat.
Sebagai hukum yang tidak tertulis, hukum adat juga
mempunyai tujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai
dan tidak dapat melepaskan diri dari unsur-unsur keadilan,
kemanfaatan dan seberapa dapat diperlukan unsur kepastian hukum.
Unsur keadilan dalam hukum adat menuntut jaminan hukum agar
kepentingan-kepentingan masyarakat tetap dilindungi, akan tetapi
tidak boleh mengorbankan kepentingan umum yang menjadikan
hukum tidak seimbang, sedangkan unsur kemanfaatan dalam hukum
adat mengajarkan bahwa dalam hal pemenuhan terhadap semua
kepentingan dan semua hak, bagi pendukung hak harus dapat
mengambil kemanfaatan dari pemenuhan hak dan kepentingan
tersebut. Secara formal, dalam perlindungan kepentingan
memerlukan kepastian hukum, dan seiring dengan hal tersebut
perlunya unsur kepatutan dalam pemenuhan hak.
Bagi aparat penegak hukum, maka ia harus berusaha untuk
menggali dan mengikuti serta memahami nilai hukum yang sifatnya
tidak tertulis dalam rangka melengkapi hukum formal itu, agar sesuai
dengan perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat. “Menggali berarti mengakui adanya nilai hukum yang
terpendam dan tersimpan sebagai nilai budaya bangsa, mengikuti
berarti ia harus terjun ke tengah gejolak kehidupan masyarakat”.255
255 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 21
341
Dengan demikian, aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum
idealnya tidak hanya berdasarkan atas aturan tertulis yang di atas
kertas saja, melainkan seorang aparat hukum dalam menegakkan
hukum juga berdasarkan atas hukum yang tidak tertulis dan berlaku
di tengah masyarakat, karena sifat dari hukum itu sendiri adalah
dinamis serta tidak statis, dan di tangan Polisi yang langsung
berhadapan dengan masyarakat sebagai geet keeper in the process
atau penjaga pintu gerbang di dalam proses haruslah mengakui
kedudukan hukum tidak tertulis di tengah masyarakat serta
menegakkannya dengan rasa adil.
Perlu diketahui juga bahwa keberadaan hukum tidak tertulis
juga didasari Konstitusi Negara Republik Indonesia setelah
amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, tepatnya pada Pasal 18 B ayat (2), yang dijelaskan bahwa:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang”.
Pada pasal tersebut diungkapkan bahwa Negara mengakui
keberadaan hukum adat yang masih diakui sebagai hukum tidak
tertulis sepanjang masih diakui dan hidup sesuai dengan
perkembangan di tengah masyarakat serta tidak bertolak pada prinsip
342
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari landasan konstitusi
tersebut tidak ada alasan bagi seorang aparat penegak hukum untuk
menegakkan hukum secara tertulis dan kaku saja, karena dalam
masyarakat terdapat hukum tidak tertulis yang dipakai juga untuk
menyelesaikan suatu perkara-perkara tertentu di dalam masyarakat
tersebut.
Dalam hal ini, posisi anggota Kepolisian selaku aparat
penegak hukum juga mempunyai pengaruh yang besar dalam
menggali nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat berkaitan
dengan pelaksanaan tugas di bidang pemolisian masyarakat sehingga
mereka mempunyai kekuasaan penuh atas tindakan diskresi
dimaksud. Oleh karenanya, aparat Kepolisian dalam melihat serta
memaknai hukum haruslah tidak sebatas secara parsial dan tidak
hanya berdasarkan segi formal atas aturan tertulis yang bersifat kaku
di atas kertas belaka yang hanya mengakomodir kepentingan
penguasa. Dari sosok Polisi dituntut dan berkewajiban langsung
dalam mengamati perkembangan serta perubahan nilai-nilai yang
hidup di tengah masyarakat, agar dalam pelaksanaan diskresi oleh
Penyidik Kepolisian dapat sejalan, setujuan, efektif serta tepat pada
sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan diskresi,
profesionalisme Kepolisian dan peranannya sebagai aparat penegak
hukum.
Berkaitan dengan fungsi peranan, menurut Soerjono Soekanto
“ada empat tipe peranan, yaitu: 1. peranan yang ideal, 2. peranan
343
yang seharusnya, 3. peranan yang dianggap oleh diri sendiri, 4.
peranan yang sebenarnya dilakukan diri sendiri”.256 Dalam peranan
tersebut, pertama kaitannya dengan diskresi yang dilakukan oleh
seorang penyidik dalam pelaksanaan tugas penyidikan terhadap suatu
bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yakni dimana
seorang penyidik secara ideal mempunyai wewenang atau peranan
dalam hal penyidikan, karena hal tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
serta Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan dalam Undang-
Undang diterapkan di masyarakat tanpa melihat segala bentuk
masyarakatnya seperti apa, dari itulah kadang aturan dari Negara
yang berbentuk hukum tertulis atau hukum positif tersebut terkadang
terbentur dengan adat istiadat serta kebudayaan yang ada di dalam
masyarakat yang berbentuk hukum tidak tertulis.
Kedua, kejelian sikap aparat penegak hukum dalam
menanggapi suatu permasalahan di tengah masyarakat sangatlah
dibutuhkan, demikian pula bahwa keberanian seorang Polisi dalam
menerjang arus positivisme hukum serta kekakuan dari suatu
peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu perkara
yang ada di tengah masyarakat adalah sangat diidam-idamkan dan
didambakan oleh masyarakat, oleh karena itu kedua aspek kinerja
Polisi tersebut mempunyai makna tersendiri yang mendudukkan
256 Ibid
344
aspek kewenangan menjadi aspek penting yang seharusnya
dilaksanakan oleh Polisi selaku seorang penegak hukum, penjaga
keamanan dan ketertiban serta pembimbing masyarakat. Dari kata
harus tersebut, kemudian timbul suatu kewenangan terhadap
penegakan hukum yang tidak kaku sesuai apa yang diatur dalam
Undang-Undang saja, akan tetapi harus pula melihat nilai-nilai serta
kebudayaan yang terkandung dalam masyarakat yang merupakan
perwujudan dari diskresi pasif oleh penyidik Kepolisian.
Yang ketiga, dari perwujudan peranan penyidik Kepolisian
dari peranan yang dianggap oleh diri sendiri tersebut merupakan
suatu sikap oleh Polisi yang dalam hal ini adalah penyidik
mempunyai peranan mengamati suatu kasus perkara pidana yang
sedang ditanganinya untuk disaring guna menemukan suatu perkara
yang kurang efektif dan perkara pidananya dianggap ringan, hal
tersebut merupakan perwujudan dari aspek peranan yang dianggap
diri sendiri dan merupakan suatu bentuk diskresi aktif dari seorang
penyidik Kepolisian.
Yang keempat dari aspek peranan kepolisian adalah peranan
yang sebenarnya dilakukan diri sendiri, dari peranan tersebut
merupakan peranan yang timbul dalam sisi seorang penyidik
kepolisian, maka dari itu sikap dan tindakan yang dilakukan oleh
seorang penyidik dalam menentukan kualitas serta profesionalisme
penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi dalam melakukan
penyidikan serta melakukan tindakan diskresi kepolisian untuk
345
menyaring suatu bentuk tindak pidana yang dianggap ringan serta
kurang efektif dilihat dari segi sosiologis dan budaya serta adat
istiadat yang berlaku dan berkembang di tengah masyarakat.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hukum adat yang
berlaku di tengah masyarakat juga mempunyai peranan di dalam
pelaksanaan diskresi oleh polisi dalam penegakan hukum di
masyarakat.
2. Pendapat para ahli hukum yang sesuai dan yurisprudensi
Menurut Faal,257 pendapat para ahli hukum ini dijadikan
sebagai dasar pemikiran atau untuk menambah wawasan yang lebih
luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi
penyidik, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh
penyidik nantinya mempunyai landasan atau alasan yang kuat.
Dalam sebuah peraturan perundang-undangan, bahasa yang
digunakan biasanya sangat kaku, sehingga para aparat penegak
hukum kesulitan dalam melakukan penegakan terhadap aturan
perundang-undangan tersebut. Seperti contohnya dalam Pasal 1 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dimana mengandung
arti dari asas nullum delictum nulla poena sine previa lege ponali, isi
dari asas tersebut adalah merupakan suatu ketentuan yang sangat
kaku dalam penerapannya dan tidak mengakomodir secara
keseluruhan dari aspek-aspek keadilan di dalam masyarakat karena
lebih mementingkan kepastian hukum saja. Hal tersebut bagi praktisi
257 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 119
346
hukum sangat membuat kesulitan untuk memahaminya, karena apa
yang ada di dalam peraturan tersebut tidak seperti apa yang ada
dalam penerapannya di tengah masyarakat, maka dari itu penjelasan
dari seorang ahli hukum sangat dibutuhkan dalam memahami dan
memperjelas hukum yang kurang jelas tersebut, sehingga
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh para aparat penegak
hukum yang sedang bertugas akan mendapat landasan yang relatif
lebih kuat.
Di samping itu, bahwa pendapat dari para ahli hukum ini
kemudian dijadikan sebagai dasar pemikiran atau untuk menambah
wawasan yang lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan diskresi penyidik, dari dasar pemikiran tersebut membuat
terang bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan suatu
tindakan-tindakan diskresi yang berdasarkan pada kepentingan-
kepentingan umum yang ada di masyarakat dan bukan kepentingan
atas suatu legitimasi dari aturan perundang-undangan saja yang
bersifat kaku tersebut. Dalam doktrin-doktrin hukum tersebut
memuat berbagai definisi, kajian dan analisis-analisis yang dikemas
dalam suatu ilmu pengetahuan dari para ahli hukum, yang mana hal
tersebut dapat dijadikan landasan untuk mempermudah bagi aparat
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya serta melakukan
suatu tindakan diskresi, supaya tidak bertentangan dengan aspek-
aspek pemerintahan yang baik dan penyalahgunaan kekuasaan.
347
Dengan pejelasan para ahli hukum yang relevan tersebut akan
melengkapi substansi hukum yang kurang jelas, sehingga
kebijaksanan-kebijaksanaan yang diambil oleh aparat penegak
hukum dalam hal ini adalah aparat Kepolisian akan mempunyai dasar
yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi hukum, sekalipun hal
tersebut belum secara rinci diatur oleh aturan perundang-undangan.
Menurut Suteki258 dalam makalah yang disampaikan pada
Seminar dan Lokakarya “Alternative Dispute Resolution (ADR)”
dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya tindak pidana ringan
(TIPIRING) di Polda Jawa Tengah tanggal 1 Desember 2010.
Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya
aparat Kepolisian adalah sangat berkaitan dengan aliran Sosioloigical
Jurisprudence, karena dalam aliran tersebut berusaha menyatukan
ilmu hukum dengan lingkungan, yaitu masyarakat. Konsekuensi
logis dari aliran tersebut yakni:
a. Terdapat penghargaan terhadap The Living law
b. Memberikan kebebasan kepada Polisi dalam hal ini sebagai
aparat penegak hukum untuk bertindak dan memutus dengan
bijaksana untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berdasarkan
the living law, atas dasar faham hukum non-positivistik.
258 Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paper disampaikan di Polda Jawa Tengah,
Semarang, 1 Desember 2010
348
c. Mengembangkan public control terhadap produk undang-
undang, karena implementasi pertama keberadaannya adalah
Polisi sebagai penegak hukum dari produk undang-undang
tersebut kepada masyarakat.
Pengaruh Sosiological Jurisprudence dalam proses
penegakan hukum, khususnya polisi belum begitu nyata, padahal
pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri. Dari hal tersebut letak tugas dan
wewenangnya termasuk dalam ruang lingkup penyidikan, namun
belum banyak dari penyidik dan aparat Kepolisian yang
memperhatikan aspek sosiologis dari hukum tersebut, disebabkan
oleh kuatnya dominasi faham positivistik di mindset mereka selaku
alat dari Negara yang mengemban tugas kepenegakan hukum.
Selanjutnya Suteki menjelaskan dasar teoritik dalam aspek
sosiologis oleh aparat penegak hukum, yakni dasar teoritik
Responsive Law Theory dan dasar teoritik Progressive law Theory.259
Oleh Suteki dalam makalahnya mengutip dari Philippe Nonet &
Philip Selznick, pertama, dasar teoritik “Responsive Law Theory
mengidentifikasi hukum ke dalam tiga tipe yaitu Represive Law,
259 Ibid
349
Outonomous Law dan Responsive Law”.260 Hukum responsif
menonjolkan adanya pergeseran penekanan dari yang semula
menekankan pada aturan-aturan menuju ke pada tujuan, dan
pentingnya memperhatikan aspek kerakyatan baik sebagai tujuan
maupun cara pencapaian tujuan. Hukum responsif sangat concern
dengan faktor-faktor sosial untuk menjadi dasar, pelaksanaan dan
pencapaian tujuan hukum.
Dalam konsepsi hukum sebagai upaya politik, partisipasi
warga negara memperoleh makna khusus di dalam hukum. Model
hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick
didasarkan pada pandangan tersebut. Yang terpenting adalah
partisipasi aktif dari warga negara dalam hukum yang merupakan
dasar pokok dari keseluruhan hukum dan arti pengembangan hukum,
misalnya seorang individu menundukkan diri secara yuridis dan
mengklaim suatu hal, membenarkan diri menurut undang-undang
yang berlaku, mengusulkan suatu asas, mengajukan eksepsi,
menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban, menuntut
kepentingannya diakui sebagai hak, menuntut pemulihan dan
penegasan kedudukan dirinya sebagai seorang warga negara serta
menampilkan diri sebagai subjek hukum.
Karakteristik hukum responsif tersebut dapat menjadi trigger
sebuah upaya aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan
260 Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2011,
hlm. 29
350
sosial substantif yang oleh Nonet dan Selznick disebut subordinative
justice sehingga melampaui dua jenis keadilan lainnya yaitu
procedural justice dan materiil justice.261
Kedua, yakni dasar teoritik progressive law theory. Teori
hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the
truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Satjipto
Rahardjo sebagai penggagas hukum progresif mengatakan bahwa
rule breaking sangat penting dalam sistem penegakan hukum. Dalam
penegakan hukum Kepolisian dan juga penegak hukum lainnya,
harus berani membebaskan diri dari penggunaan pola baku, dan cara
yang demikian sebenarnya sudah banyak terjadi. Teori tersebut
merupakan sebuah refleksi akan suatu penegakan hukum untuk untuk
terbebas dari pola baku yang klasik. Cara baru inilah yang tadi
disebut rule breaking. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk
melakukan rule breaking, yaitu:
a. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari
keterpurukan hukum dan tidak membiarkan diri terkekang cara
lama;
b. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru
dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum;
c. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja,
tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan
(compassion) kepada kelompok yang lemah.262
261 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 5-6
351
Dalam perspektif hukum progresif seharusnya kita tidak
boleh terus terjebak pada formalisme hukum yang dalam praktik
menunjukkan banyak kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian
kebenaran dan keadilan substansial. Dalam formalisme, hukum dan
penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis
ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada
kekeliruan di dalamnya. Seolah hukum itu seperti mesin automat,
tinggal pencet tombol maka keadilan begitu saja akan diciptakan
pula. ”Formalisme telah melahirkan gejala spiral pelanggaran hukum
yang tak berujung pangkal dan memasukkan hal tersebut ke dalam
jerat kerangkeng penegakan hukum yang kaku”.263
Yurisprudensi mengenai diskresi Kepolisian pada masa
penjajahan yang terkenal adalah berdasarkan Arrest Hoge Raad
tanggal 25 Januari 1892 dan tanggal 11 Maret 1914 yang antara lain
mengatakan;
(…..) untuk sahnya segala tindakan-tindakan Kepolisian
(Rechtmating) tidak selalu harus berdasarkan peraturan
Undang-Undang (Wettelijk Voor Schrift) akan tetapi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut;
a. Tindakan-tindakan Polisi itu tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan.
262 Satjipto Rahardjo, 2005, Op. Cit, hlm. 5263 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 5-6
352
b. Bahwa tindakan ini adalah untuk mempertahankan (…),
ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
c. Bahwa tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang
(ieders recht).264
Dasar yurisprudensi tersebut merupakan suatu perwujudan
dari tindakan nyata Polisi dalam pengakuan adanya bentuk eksistensi
dari pelaksanaan diskresi oleh Polisi dalam praktek Kepolisian di
tengah masyarakat. Hal tersebut dapat menjadi suatu landasan
diskresi oleh Polisi dalam menegakkan aturan perundang-undangan
tidak usah terlalu kaku dan alot dalam menjalankan serta
menegakkan peraturan perundang-undangan di tengah masyarakat.
Dengan demikian tugas polisi tersebut merupakan bagian dalam
menegakkan hukum disamping dari menegakkan undang-undang di
tengah masyarakat.
Dalam penentuan diskresi Kepolisian dalam hal pelaksanaan
kebijaksanaan untuk menghentikan, mengenyampingkan maupun
menyelesaikan perkara di tingkat penyidikan, terkadang terjadi
ketidaksamaan kepentingan kebijaksanaan, yaitu untuk mengabulkan
atau menolak permohonan perkara para pihak yang berkaitan dengan
perkara (pelaku dan korban). Dalam arti bahwa antara pelaku dan
korban berkeinginan agar perkara yang sedang diproses di tingkat
264 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 118
353
penyidikan dapat diselesaikan dengan cara damai dan tidak
diteruskan ke proses peradilan.
Status serta dampak hukum yang diterima oleh pelaku
kejahatan apabila kasusnya dilakukan diskresi oleh penyidik tetap
menjadi tersangka, hal itu sangat membebankan tersangka,
disamping akibat yang ditimbulkan telah dikembalikan seperti
semula kepada korban kejahatan, juga penyidik telah sepakat jika
kasusnya akan dihentikan untuk tidak diproses. Akan tetapi status
tersangka tersebut juga menimbulkan dampak baru di kemudian hari
apabila seorang penyidik mempunyai keinginan untuk melanjutkan
kasus tersangka yang dahulunya pernah dilakukan tindakan diskresi
oleh penyidik demi alasan kepastian hukum serta mengacuhkan
kepentingan tersangka dan korban yang sebelumnya telah sepakat
untuk berdamai, hal tersebut membuat ketidaksamaan kepentingan
antara seorang penyidik dengan korban ataupun pelaku kejahatan.
Pelaksanaan diskresi pada tingkat penyidikan tentunya
mempunyai pola dan bentuk tersendiri yang dipengaruhi oleh kasus,
keadaan sosial, ekonomi dan budaya setempat, situasi dan kondisi
maupun oleh perasaan hukum petugas penyidik itu sendiri. Seperti
penyelesaian perkara pidana pada saat penyidikan yang diselesaikan
secara adat kebiasaan yang hukum adatnya sangat kuat, seperti kasus
pencurian, pengeroyokan, perzinahan. Dalam hal ini polisi hanya
mengawasi dan mengkoordonasi serta memonitor untuk menghindari
354
sanksi-sanksi yang mungkin melampaui batasan hak asasi manusia
dan kemanusiaan serta hukum.
Dari banyak pandangan tersebut yang menunjukkan fungsi
pelaksanaan diskresi oleh polisi terletak pada suatu keadaan tertentu
dimana peran dari polisi dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi demi
kepentingan umum hukum memperbolehkan tindakan tersebut
dilakukan berlandaskan atas aspek keadilan dan kemanfaatan serta
tidak terlalu mengedepankan aspek kepastian hukum yang kaku.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi polisi sebagai aparat
penegak hukum dalam pemegang tugas penyidikan terhadap suatu
bentuk tindak pidana sangatlah bervariasi dan berkembang,
terkadang dalam pelaksanaan proses penyidikan yang dilakukan
polisi tersebut terkesan hanya sekedar ajang untuk balas dendam
semata dengan dalih sebagai bentuk kepastian hukum daripada
keadilan serta kemanfaatan hukum, dalam hal ini maka diskresi
Kepolisian merupakan sarana yang dapat dipergunakan oleh penyidik
dalam memberikan suatu bentuk rasa adil serta kemanfaatan akan
hukum yang didambakan oleh masyarakat terhadap kebuntuan yang
dihadapi oleh penyidik dalam menanggulangi suatu kejahatan
ataupun menangani suatu bentuk tindak pidana, karena tidak
selamanya dengan dilakukannya penyidikan, penuntutan sampai pada
tahap pengadilan tersebut dapat menjamin bahwa suatu permasalahan
355
tersebut dapat selesai dengan tanpa timbulnya permasalahan-
permasalahan lain di belakangnya.
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM KONSTRUKSI HUKUMBERKAITAN DENGAN PERDAMAIAN SEBAGAI PAYUNGHUKUM DALAM IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DITINGKAT PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan nara sumber
(Dirlantas Polda Jawa Tengah, Kasatlantas Polres Semarang, Kasatlantas
Polres Demak, Kasatlantas Polres Kendal dan Kasatlantas Polres
Banyumas,265 diperoleh rangkuman kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian
265 Hasil wawancara dengan :
1.Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember 2013 yang merupakan pusat
kebijakan berkaitan dengan proses penyidikan terhadap tindak pidana lalu lintas di
wilayah Polda Jawa Tengah,
2.Kasatlantas Polres Semarang pada tanggal 5 Desember 2013 (jalur tengah antara kota
Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya);
3.Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota
Semarang-Surabaya);
4.Kasatlantas Polres Kendal, pada tanggal 6 Desember 2013 (jalur pantai utara antara kota
Jakarta/Bandung-Semarang-Surakarta/Yogjakarta-Surabaya); dan
5. Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember 2013 (jalur pantai selatan antara
kota Jakarta/Bandung- Surakarta/Yogjakarta-Surabaya).
356
sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat
penyidikan tindak pidana lalu lintas adalah:
1. Indonesia bukan negara Liberal dengan penerapan hukum yang kaku;
Bangsa Indonesia dari jaman dahulu telah menerapkan asas
musyawarah untuk mufakat dalam setiap hal atau permasalahan. Jadi
penyelesaian permasalahan apapun dengan jalan musyawarah atau
perdamaian dirasa menjadi jalan yang terbaik.
2. Dirasa lebih efektif/murah dan tidak bertele-tele;
Pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian
dirasakan lebih efektif dan efisien, karena prosesnya tidak bertele-
tele dan beayanya murah.
3. Berdasarkan kesepakatan kedua pihak;
Pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian
ini harus mendapatkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Apabila
salah satu pihak tidak bersedia melakukan perdamaian, maka
sengketa tersebut akan dibawa ke pengadilan.
4. Tanpa pengaruh dari pihak manapun;
Kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak dalam
proses perdamaian tidak boleh ada pengaruh dari pihak manapun.
Apabila ada campur tangan dari pihak luar, maka hasil yang
diharapkan dari penyelesaian sengketa melalui perdamaian tersebut
tidak akan tercapai.
5. Mengedepankan sisi manusiawi dan hati nurani;
357
Pelaksanaan perdamaian dalam penyelesaian sengketa ini
juga mengedepankan sisi manusiawi dan hati nurani dari pelaku
maupun korban.
6. Keadilan lebih dirasakan oleh masyarakat.
Dengan dilaksanakannya perdamaian dalam penyelesaian
sengketa ini, keadilan akan lebih dirasakan oleh masyarakat daripada
sengketa tersebut di bawa ke pengadilan.
7. Pemidanaan tidak menimbulkan efek jera;
Pemidanaan yang diberikan kepada tersangka melalui putusan
yang diberikan oleh pengadilan dengan hukuman penjara ternyata
tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku dikarenakan hukuman
yang diberikan kepada pelaku tidak terlalu berat, sehingga pelaku
setelah keluar dari penjara biasanya akan mengulangi lagi
perbuatannya.
Berdasarkan uraian di atas, ketujuh hal tersebut menjadi faktor
yang mempengaruhi implementasi restorative justice atau alternative
dispute resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa melalui perdamaian
di Polda Jawa Tengah dan jajarannya. Pelaksanaan ADR atau perdamaian
dalam penyelesaian sengketa memang lebih sering digunakan oleh pihak
Kepolisian dalam menyelesaian sengketa, dikarenakan pelaksanaan ADR
atau perdamaian dirasakan lebih efektif, murah dan tidak memerlukan
waktu yang lama.
358
Sedangkan menurut Dirlantas Polda Jawa Tengah,266 penerapan
restorative justice cukup efektif dalam mempercepat penyelesaian
perkara kecelakaan lalu lintas. Dan hal itu secara mayoritas dikehendaki
oleh mereka yang berperkara, tanpa pengaruh dari pihak manapun dan
keadilan lebih dapat dirasakan oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres
Demak,267 diperoleh keterangan bahwa kendala-kendala yang dihadapi
dalam konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung
hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan
tindak pidana lalu lintas adalah karena restorative justice belum
ditetapkan sebagai aturan atau ketetapan yang baku secara legal formal
sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara tindak pidana kecelakaan
lalu lintas.
Masih menurut Kasatlantas Polres Demak,268 upaya yang
dilakukan oleh penyidik dalam mengatasi kendala yang terjadi terhadap
penerapan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana lalu lintas
adalah dengan mengakomodir suara masyarakat yang terlibat kecelakaan
lalu lintas, dan memberikan masukan kepada pimpinan atau yang
berkompeten dalam pembuatan undang-undang/peraturan/ketetapan
untuk mengesahkan restorative justice sebagai salah satu cara dalam
266 Wawancara dengan Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 13 Desember
2013267 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 2 Desember 2013268 Ibid
359
penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dengan alasan lebih
manusiawi dan mengedepankan rasa keadilan dan hati nurani, sehingga
akan didapat payung hukum yang legal dan formal, sebagai wujud
penerapan hukum modern.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres
Banyumas,269 diperoleh keterangan bahwa penerapan konsep perdamaian
sebagai payung hukum dalam implementasi restorative justice di tingkat
penyidikan tindak pidana lalu lintas mendapat respon yang sangat positif
dan diterima sebagai suatu keadilan dan sangat dikehendaki oleh
masyarakat khususnya dalam penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas.
Masih menurut Kasatlantas Polres Banyumas,270 solusi apabila
konsep keadilan restoratif tidak dapat diterima oleh pihak korban adalah
bila diminta, Penyidik dapat menempatkan diri sebagai mediator atau
konsultan dalam pemecahan masalah yang dilaksanakan secara
profesional dan tidak memihak/netral, namun apabila hal tersebut tetap
tidak bisa diterima, maka secara prosedural Penyidik berwenang untuk
mengajukan/ memproses kasus tersebut sampai ke Pengadilan.
Pada dasarnya hukum itu tidak terlepas dari apa yang dilakukan
manusia maupun masyarakat terhadapnya. Hal tersebut membuat
kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya dihormati dan ditaati oleh
manusia dan masyarakat itu sendiri pada khususnya. Disamping itu,
269 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 4 Desember
2013270 Ibid
360
dalam hukum sarat dengan sentuhan-sentuhan serta curahan nilai-nilai
atau konstruksi ide para pembuat maupun oleh para penggunanya.
Hukum mengandung ide-ide sebagai hasil dari pikiran pembuat undang-
undang, ide-ide tersebut mengandung beberapa aspek tentang kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan sosial. Oleh karena ide-ide tersebut masih
abstrak, maka harus diwujudkan menjadi kenyataan. Proses mewujudkan
ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan tersebut itulah yang merupakan
arti dari kepenegakan hukum.
Hal tersebut memang sangat relevan sekali akan suatu sistem
pranata hukum di Indonesia yang hanya mengedepankan aspek secara
kepastian hukumnya dan tidak terlalu memprioritaskan aspek-aspek yang
lain, maka dari itu di dalam suatu institusi-institusi hukum yang
diamanahkan oleh Undang-undang dalam menegakan hukum di
Indonesia kurang begitu maksimal, dan terkadang timbul permasalahan
lain di luar dari jalur hukum yang hanya terpaku pada undang-undang
karena dalam menegakkan hukum hanya bersifat kaku tanpa melihat
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan aspek-aspek
sosiologisnya.
Dalam penyampaian suatu ide tersebut juga tidak terlepas dari apa
yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat seutuhnya, ide tersebut
dalam membuat suatu kerangka hukum juga tidak dapat bertentangan
dengan dasar Negara Indonesia yang termaktub dalam kerangka ideologi
Negara Indonesia atau konstitusi Negara Indonesia yang berdasarkan atas
hukum (Rechstaats), dan bukan pada kekuasaan belaka (Machtstaats).
361
Hal tersebut juga berlaku pada kepenegakan hukum di Indonesia yang
harus berlandaskan pada nilai-nilai kepastian hukum, keadilan dan
kemaslahatan.
Penerapan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan dasar
diskresi oleh penyidik adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa antara tugas dan
wewenang Kepolisian adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
aparat Kepolisian sebagai pengayom, pelindung dan pelayan
masyarakat tidak dapat dilepaskan mengingat sifat penugasan yang
diberikan sangat memerlukan wewenang-wewenang. Setiap produk
Undang-Undang mempunyai hirarki sendiri dalam susunan tata
peraturan di Indonesia, fungsi dari Undang-Undang Dasar 1945
mempunyai keterkaitan satu sama lain dengan Undang-Undang
lainnya sebagai aturan dasar (groundnorm) bagi Undang-Undang
yang ada dibawahnya.
Bila diperhatikan, setiap produk Undang-Undang yang
mengatur kewenangan Polisi sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, selalu mencantumkan kewenangan blanko yang isi kewenangan
itu diserahkan kepada Polisi sendiri untuk menentukannya.
Kewenangan itu tidak lain kewenangan diskresi penyidik.271 Dalam
kewenangan tersebut, seorang aparat penegak hukum yang dalam hal
ini adalah Polisi mempunyai kewenangan yang sangat penuh dalam
271 M. Faal, 1991, Op. Cit, hlm. 115
362
mengambil sikap serta tindakan untuk melakukan wewenang diskresi
dalam menyaring perkara pidana yang dianggap ringan serta tidak
efektif bila diselesaikan melalui Proses Peradilan Pidana (Criminal
Justice Process), maka dari itu diskresi penyidik sangat berkaitan
erat dengan keefektifan suatu perkara yang diselesaikan melalui jalur
non litigasi menggunakan asas kekeluargaan.
Apabila diamati ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang
Dasar 1945, yang langsung atau tidak langsung mengatur eksistensi,
tugas dan kewenangan Kepolisian dapat dilihat dalam pokok-pokok
Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terlihat:
a. … melindungi segenap bangsa Indonesia
b. … ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berarti harus menertibkan diri sendiri dalam rangka ikut
melaksanakan ketertiban dunia.
Dan selanjutnya isi pokok dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 tersebut adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia; mempunyai kesamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27), terlihat di
sini bahwa kedudukan Polisi adalah sebagai penegak hukum, yang
melindungi setiap warga Negara atau masyarakat dan menciptakan
363
keamanan warga Negara. Sedangkan menertibkan diri atau
masyarakat, pada isi pokok kedua itu dalam arti agar warga
masyarakat mematuhi segala norma-norma dalam tata kehidupan
yang telah disepakati (sosial order) sehingga terwujud adanya tertib
masyarakat. Dengan demikian tugas polisi yang menegakkan
keamanan dan ketertiban masyarakat adalah pancaran dan sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun
1945. Konsekuensinya adanya tugas ini memerlukan wewenang,
termasuk wewenang diskresi penyidik.272
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Dasar pelaksanaan diskresi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dimana
dijelaskan bahwa penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang
mengadakan penghentian penyidikan, akan tetapi hal tersebut tidak
boleh sembarangan dilakukan karena di Pasal 7 ayat (1) huruf j juga
menjelaskan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Pasal tersebut dapat digunakan oleh penyidik sebagai
landasan untuk melakukan tindakan diskresi Kepolisian dalam
menangani suatu perkara pidana, sehingga pelaksanaan diskresi
Kepolisian adalah sah menurut hukum, karena Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
272 Ibid, hlm. 116
364
Pidana merupakan pedoman pokok yang menjadikan dasar hukum
setiap aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dimana
substansi aturannya adalah bersifat umum di atas ketentuan khusus
dari hukum formil.
Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mengatur pengertian seorang penyelidik dan penyidik yang menurut
Undang-Undang berwenang untuk melakukan suatu tindakan
penyidikan pada suatu perkara pidana. Ketentuan tersebut merupakan
bentuk pemberian kewenangan kepada aparat Kepolisian dari Negara
dalam menerima tanggung jawab sebagai penyidik. Bunyi ketentuan
tersebut adalah:
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Penjelasan dalam pasal tersebut merupakan pemberian
wewenang kepada setiap petugas atau pejabat Kepolisian sesuai
dengan ruang lingkup kewenangan jabatan selaku aparat Kepolisian
yang berkualifikasi sebagai penyidik perkara pidana dalam proses
peradilan. Di samping itu seorang aparat Kepolisian dalam
melaksanakan tugasnya selaku pemilik dari kekuasaan penyidikan
365
juga terdapat suatu bentuk kewajiban-kewajiban yang mesti
diketahui serta dilaksanakan. Kewajiban-kewajiban tersebut
termaktub dalam Pasal 7 KUHAP yang dijadikan dasar atau
pedoman dalam melakukan suatu tindakan penyelidikan atau
penyidikan dengan berpedoman juga pada Peraturan Kapolri Nomor
14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Diantara bunyi Pasal tersebut adalah:
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
366
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 7 tersebut tentang
kewenangan yang timbul karena suatu kewajiban dalam penyidikan
suatu perkara Pidana. Mengingat wewenang Kepolisian untuk
melakukan tindakan-tindakan Kepolisian tidak mungkin diatur secara
limitatif (bersifat membatasi), maka di dalam ketentuan Pasal 7 ayat
(1) huruf i dinyatakan bahwa “penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) karena kewajibannya mempunyai wewenang
mengadakan penghentian penyidikan”, serta Pasal 7 ayat (1) huruf j
dinyatakan juga bahwa “penyidik sebagaiman dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”, dari kedua
penjelasan tersebut merupakan suatu bentuk landasan diskresi
367
penyidik dalam penegakan hukum pidana sub penyidikan Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Dalam hubungannya dengan wewenang untuk menghentikan
penyidikan, kewenangan ini dilakukan hanya dalam hal penyidik
menganggap perlu. Selanjutnya ketentuan tersebut merupakan
rumusan kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf I pada pelaksanaanya diatur dalam Pasal 109 ayat (2)
dan ayat (3) Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kriteria untuk
melakukan penghentian penyidikan tersebut yakni; (a) karena tidak
terdapat cukup bukti; atau (b) peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana, dan (c) penyidikan dihentikan demi
hukum. Penghentian penyidikan diberitahukan kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya dalam penghentian penyidikan juga dapat dilakukan
melalui langkah perdamaian secara kekeluargaan dari pelaku dan
korban serta tindakan lain dari penyidik yang bertanggung jawab
dalam rangka menyaring suatu tindak pidana yang dianggap ringan
serta tidak efektif bila dilakukannya langkah pro justicia.
Menurut M. Faal yang dimaksud dengan tindakan lain, adalah
tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyidikan dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan.
368
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.273
Dari syarat tersebut, seorang aparat penyidik dilarang
melakukan suatu tindakan diskresi ataupun tindakan lain yang
bertentangan dengan aturan hukum, melanggar suatu asas kepatutan
dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) di dalam
kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan kekuasaan selaku
penyidik pada proses penegakan hukum pidana, karena tindakan lain
tersebut menitikberatkan pada hal yang bersifat subyektif. Dengan
demikian penyidik selaku aparat Kepolisian berwenang untuk
melakukan tindakan apa saja sepanjang memenuhi ketentuan angka 1
sampai dengan 5 tersebut.
Selain itu dasar pengaturan pelaksanaan diskresi oleh Polisi
pada saat penyidikan diatur di dalam Pasal 31 ayat (1) juncto Pasal
21 ayat (1) dan ayat (4) KUHP Juncto Pasal 35 dan 36 PPRI Nomor
27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP”.274 Adanya hal
subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak
273 Ibid, hlm. 115274 YM Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, Keni
Media, Bandung, 2012, hlm. 123
369
penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengabulkan atau tidak
mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan
terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya
permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap
diri tersangka/terdakwa.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyebutkan:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana”.
Karena kegunaan penahanan dalam tingkat penyidikan di
Kepolisian telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi:
Pasal 20 ayat (1)
“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”
370
Serta dengan memperhatikan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi:
“Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau
penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan”
Pejabat tersebut yang dalam hal ini adalah seorang penyidik
dapat melakukan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan
uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun, dalam
prakteknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat untuk
melaksanakan penangguhan penahanan belum tentu permohonan dari
advokad/penasihat hukum ataupun keluarga tersangka tentang
permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan
tersangka yang disertai atau tidak disertai adanya jaminan uang atau
orang dapat dikabulkan begitu saja oleh penyidik atau aparat penegak
hukum yang bersangkutan. Karena penyidik atau aparat penegak
hukum yang bersangkutan tersebut mempunyai kewenangan atau hak
diskresi dalam menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau
mengabulkan permohonan penangguhan atau pengalihan jenis
penahanan tersebut.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
371
Dasar yang membolehkan pelaksanaan diskresi dalam
menyaring suatu perkara pidana oleh Polisi menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 ini terdapat di dalam Pasal 16 dan Pasal 18.
Dalam bunyi Pasal 16 secara spesifik masuk dalam ayat (1) huruf h
yang berbunyi bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses
pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk
mengadakan penghentian penyidikan. Akan tetapi hal tersebut juga
tidak boleh asal-asalan karena dalam huruf l juga menjelaskan dalam
rangka menyelenggarakan tugas, petugas Polri di bidang proses
pidana mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Maka dari itu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik Polri tidak boleh asal-asalan dan lebih mengedepankan rasa
tanggung jawab dan alasan serta pertimbangan-pertimbangan yang
kuat.
Membicarakan wewenang diskresi tidak dapat dilepaskan
dengan fungsi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas Kepolisian,
karena fungsi tersebut merupakan landasan adanya tugas Kepolisian.
Mengingat tugas Kepolisian tersebut maka diperlukan kewenangan-
kewenangan yang cukup luas untuk dimiliki oleh Polisi selaku
pengemban tugas sebagai aparatur negara. Apabila dicermati secara
teliti, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan
bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
372
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Dari penjelasan dimaksud dapat diartikan bahwa
hal tersebut adalah merupakan suatu bentuk perwujudan dari tugas
yang diemban oleh Kepolisian. Dari luasnya tugas yang diemban
Kepolisian tersebut tentunya lahir kewenangan-kewenangan tertentu
yang berupa suatu bentuk tindakan-tindakan tertentu, suatu
kebijakan-kebijakan tertentu yang dirangkum dalam suatu kata
wewenang Kepolisian.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana telah
disebutkan dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khusus di
bidang proses penegakan hukum pidana, Polri mempunyai
kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 yang berbunyi:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
373
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal
orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) tersebut merupakan bentuk-
bentuk kewenangan yang diberikan oleh Polisi selaku aparat penegak
hukum pidana. Dari dasar yuridis formal tersebut tersirat
kewenangan utama untuk menghentikan suatu proses penyidikan
perkara pidana serta diadakannya tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab berupa penyaringan suatu perkara pidana
diberikan kepada penyidik ada pada huruf h dan l Pasal 16 ayat (1)
374
Undang-Undang Nomor 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Dalam makna kata peristiwa dihentikan demi hukum tersebut
terdapat banyak makna yang dimana bisa juga dikarenakan suatu
keadaan yang mendesak ataupun perkara yang ditangani terlalu
ringan, hal tersebut merupakan implementasi dari penyaringan suatu
tindak pidana oleh penyidik. Akan tetapi dalam menyaring suatu
perkara pidana serta melakukan tindakan lain oleh penyidik tersebut
terdapat syarat-syarat tertentu yang dijadikan suatu dasar
diperbolehkannya tindakan penyidik, ketentuan tersebut diatur dalam
ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni:
(2) Tindakan lain sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) huruf l
adalah tindakan melakukan penyelidikan dan penyidikan yang
dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut;
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang
memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia (HAM).
375
Bunyi dari Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut
merupakan suatu syarat yang bersifat batasan di dalam suatu
ketentuan hukum secara yuridis formal. Dari syarat tersebut, seorang
aparat penyidik dilarang melakukan suatu tindakan diskresi ataupun
tindakan lain yang bertentangan dengan aturan hukum, melanggar
suatu asas kepatutan dan menciderai nilai-nilai hak asasi manusia
(HAM) di dalam kewenangan jabatannya atau penyalahgunaan
kekuasaan selaku penyidik pada proses penegakan hukum pidana.
Dalam rangka pemeriksaan perkara pidana di samping
kewenangan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Polri juga mempunyai suatu kewenangan berupa tindakan
lain menurut penilaiannya sendiri yaitu dapat melakukan suatu
tindakan lain demi kepentingan umum, kepentingan umum di sini
merupakan suatu bentuk penerapan dari asas diskresi oleh penyidik
selaku pejabat publik dalam menegakkan hukum pidana di wilayah
yurisdiksinya. Penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah sebagai berikut:
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
376
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini
merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum
Kepolisian yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
Kepolisian untuk bertindak ataupun tidak bertindak menurut
penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya guna
memelihara ketertiban, menjaga dan menjamin keamanan umum.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 disebutkan bahwa yang dimaksud bertindak menurut
penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
anggota Polri, juga dalam hal ini adalah penyidik Kepolisian dalam
hal bertindak serta mempertimbangkan manfaat serta risiko dari
tindakannya dan benar-benar untuk kepentingan umum.
Pembahasan mengenai substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan kewenangan aparat Kepolisian yang telah lama
diperkenalkan, akan tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-
hari sudah banyak diguanakan. Seorang penyidik Kepolisian yang
bertugas ditengah-tengah masyarakat dalam melakukan penyidikan
377
terhadap suatu perkara pidana harus mampu mengambil keputusan
berdasarkan penilaiannya sendiri apabila dalam melaksanakan
tugasnya didapatkan suatu perkara yang dianggap ringan atau kurang
efektif bila diproses serta timbul suatu dampak negatif, diantara
dampak tersebut yakni stigmatisasi negatif dari masyarakat yang
berakibat sulitnya seorang pelaku membaur kembali dengan
masyarakat, karena adanya penahanan dalam Proses Peradilan
Pidana (Criminal Justice Process), maka tidak bisanya seseorang
pelaku kejahatan untuk memberikan nafkah bagi keluarganya
(terebutnya hak kesejahteraan), terebutnya hak untuk mendapatkan
suatu pendidikan bagi seorang anak apabila pelakunya anak, dan lain
sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, maka seyogyanya seorang
penyidik dapat menggunakan kewenangan diskresi pada suatu
perkara pidana tertentu yang bersifat ringan dan berupa delik aduan.
Terdapat kekhawatiran bahwa si petugas atau penyidik
tersebut akan bertindak sewenang-wenang dan sangat tergantung
pada kemampuan subyektif. Untuk itu, dalam hukum Kepolisian
dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang
petugas atau penyidik akan melakukan diskresi, yaitu:
a. Tindakan harus “benar-benar diperlukan atau asas keperluan;
b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas
Kepolisian;
c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu
hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang
378
dikhawatirkan. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu
tercapainya tujuan;
d. Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan, yakni harus
senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras lunaknya)
tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya
atau berat ringannya suatu perkara pidana yang harus ditindak.275
Dari penjelasan tersebut telah jelas disebutkan apabila
seorang pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai
wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan dalam proses
peradilan yang dimana harus berdasarkan atas kepentingan umum
dan rasa bertanggung jawab menurut penilaiannya sendiri dalam
keadaan yang sangat perlu memperhatikan peraturan perundang-
undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian melalui Peraturan
Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Disamping itu lahirnya Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
didasarkan pada paradigma baru, yaitu semangat demokrasi dan
reformasi di Indonesia pada saat itu, sehingga diharapkan dapat lebih
memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Polri
sebagai bagian integral dari agenda reformasi secara menyeluruh
yang meliputi segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam
275 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI),
Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hlm. 99.
379
mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur serta
beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.276
Batasan diskresi bagi suatu penyidikan terhadap tindak
pidana sampai saat ini masih kurang jelas dan bahkan kewenangan
diskresi hanya dimuat secara tersamar dalam peraturan perundang-
undangan. Oleh karena belum ada hukum positif yang mengatur
secara tegas, sehingga terkadang berpotensi menimbulkan terjadinya
suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dan atau suatu tindak
pidana korupsi. Disamping itu suatu peraturan perundang-undangan
harus mengatur secara rinci dan detail dalam diskresi yang dilakukan
oleh penyidik, karena ruang lingkup suatu penyidikan terhadap
tindak pidana sangat luas dengan bermacam-macam kasus kejahatan
yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam masyarakat, kejahatan
yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan juga mengalami suatu
perkembangan seiring semakin majunya perkembangan masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari dimana diperlukan suatu tindakan
khusus yang bersifat subjektif oleh penyidik dalam menyelesaikan
suatu bentuk perkara pidana demi kepentingan umum.
Fungsi Kepolisian dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 adalah salah satu fungsi pemerintah Negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka
penegakan hukum (Law Enforcement), Kepolisian mempunyai tugas
276 Ibid, hlm. 37
380
penyidikan terhadap suatu perkara pidana yang merupakan implementasi
dari fungsi Kepolisian tersebut dan amanat dari Pasal 6 ayat 1 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Pelaksanaan penyidikan oleh penyidik tidak selalu mulus dalam
mengungkap suatu perkara pidana pada sub sistem penyidikan dari
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian,
kewenangan diskresi yang dimiliki Polisi selaku institusi Negara selaku
pejabat publik dalam hal penegakan hukum (Law Enforcement) sudah tak
asing lagi dewasa ini, akan tetapi pada saat seorang penyidik menangani
suatu proses perkara pidana, malah seorang Penyidik Kepolisian kadang
dihadapkan kepada suatu masalah-masalah yang dirasa ringan, kurang
efektif dan efisien untuk dilakukannya penyidikan sampai dilimpahkan
(P21) ke Penuntut Umum Kejaksaan, selanjutnya ke tahap Pengadilan
untuk diputus oleh Hakim. Mengingat hal tersebut, maka manfaat diskresi
dari Kepolisian ini adalah menjadikan pelaksanaan kebijakan yang
didasari oleh profesionalisme dalam bekerja dari Kepolisian yang dituntut
untuk bekerja secara maksimal dalam memberikan suatu pelayan,
pembinaan serta pengayoman kepada masyarakat luas secara umumnya
dan menegakkan hukum secara khususnya dari Polisi lebih efektif dan
efisien.
Sekalipun hanya merupakan kewenangan diskresi yang dipunyai
Polisi sebagai pemegang kekuasaan penyidikan terhadap suatu perkara
pidana, akan tetapi pengaruhnya sangat besar sekali di dalam komponen
381
Sistem Peradilan Pidana lainnya (Criminal Justice System Others).
Diskresi oleh penyidik kepolisian terdapat faktor-faktor yang
melatarbelakangi untuk dasar dilakukannya tindakan diskresi penyidik
tersebut. Dalam melakukan penyidikan, seorang penyidik juga terdapat
faktor-faktor tertentu, akan tetapi seorang penyidik seringkali juga
menemukan kendala-kendala yang menghambat pelaksanaan proses
penyidikan. Dukungan dan kendala tersebut berasal dari faktor internal
kepolisian dan faktor eksternal kepolisian. Demikian juga dalam
pelaksanaan dan kewenangan diskresi penyidik Kepolisian, para penyidik
di kepolisian juga mempunyai faktor dorongan dan hambatan pada saat
penyidikan perkara pidana.
Beberapa faktor yang mendorong dan hambatan/kendala bagi
penyidik dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat
penyidikan terhadap suatu tindak pidana adalah:
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
a. Faktor Internal Yang Mendorong Diskresi Penyidik
Dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, diskresi penyidik
sudah tidak asing lagi. Hal tersebut dilakukan dalam rangka
optimalisasi dan keefektifan dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangan Kepolisian sebagai pengayom serta pelayan
masyarakat pada umumnya dan aparat penegak hukum secara
khususnya. Faktor internal dalam diskresi penyidik yang dimiliki
oleh penegak hukum selaku pejabat publik yang oleh Negara
mendapatkan tugas dan fungsi pelaksanaan penyidikan adalah
382
faktor yang terdapat serta mempengaruhi di dalam kubu seorang
penyidik Kepolisian itu sendiri dalam mengambil tindakan
diskresi penyidik. Diantara Faktor Internal tersebut adalah;
1) Substansi Peraturan Perundang-Undangan
Dalam hal diskresi yang dilakukan oleh penyidik
Kepolisian tersebut terdapat substansi perundang-undangan
yang ada sekarang ini cukup mendasari sebuah tindakan
Diskresi yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian, seperti
ihwal yang tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h dan i
dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h tersebut tersebut
dijelaskan bahwa seorang penyidik Kepolisian berhak untuk
mengadakan penghentian penyidikan dan Pasal 16 ayat (1)
huruf i, serta dalam Pasal 18 ayat (1) dijelaskan juga bahwa
untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Hal tersebut dapat diartikan dalam hal diskresi ini, seorang
aparat penyidik Kepolisian berhak mengadakan penghentian
penyidikan suatu perkara pidana dalam fungsi dan
wewenangnya bertindak menurut penilaiannya sendiri
dengan syarat demi kepentingan umum serta rasa
383
bertanggung jawab demi profesionalisme seorang penyidik
dalam setiap tugasnya.
Aparat Kepolisian sebagai pranata Negara dalam
mengemban fungsinya sebagai penyidik dalam Sistem
Peradilan Pidana sangat berkaitan erat dengan sebuah
peraturan yang mendasarinya untuk melakukan suatu
tindakan, termasuk dalam hal ini adalah sebuah tindakan
diskresi yang dilakukan oleh seorang penyidik. Peraturan
tersebut merupakan bentuk mandat dari Negara kepada
Kepolisian selaku instansi serta alat Negara dalam
menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum serta
pemeliharaan ketertiban serta penjaga keamanan di
masyarakat. Dari peraturan tersebut terdapat pasal yang
menjadikan jembatan dari Aparat Kepolisian terhadap
kebuntuan dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi
di masyarakat. Subtansi peraturan tersebut merupakan suatu
implementasi akan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab menurut penilaiannya sendiri demi
kepentingan umum. Dari tindakan lain tersebut harus
berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
harus patut, masuk akal, pertimbangan yang layak
berdasarkan keadaan yang memaksa dan harus menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
384
Dalam meningkatkan kualitas penegakan hukum in
abstracto (proses pembuatan perundang-undangan) sangat
mendasari kualitas penegakan hukum oleh aparatur Negara.
“Legislatif yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan
dalam menyusun dan membuat aturan perundang-undangan
sangat mempunyai peran besar dalam hal ini, proses
legeslasi/formulasi ini merupakan tahap awal yang sangat
strategis dari proses penegakan hukum ”in concreto”.277
Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan atau kelemahan
dalam pembuatan/penyusunan peraturan perundang-
undangan pada tahap legislatif ini merupakan kesalahan
strategis yang dapat menghambat penegakan hukum secara
in concreto, akan tetapi pada tahap pembuatan/penyusunan
peraturan perundang-undangan oleh legislatif berdasarkan
atas nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan lebih
mementingkan aspek nilai yang tumbuh pada masyarakat
dapat menyebabkan penegakan hukum di masyarakat
berjalan dengan baik, sinergis dan efektif yang berdasarkan
atas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai
tujuan dari hukum tersebut.
Dari amanat peraturan perundang-undangan yang
ada sudah cukup relevan dengan tugas aparat Kepolisian,
277 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 25
385
akan tetapi dalam rangka pengambilan suatu kewenangan
untuk melakukan tindakan diskresi penyidik di tengah-
tengah penanganan terhadap suatu perkara pidana supaya
bisa efektif dan efisien belum bisa mengakomodir secara
keseluruhan bentuk perkara pidana apa saja yang dapat
dilakukan tindakan diskresi oleh penyidik, karena dalam hal
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyidik, kadang
aparat Kepolisian terbentur terhadap suatu perkara pidana
yang ringan dan tidak efektif serta efisien untuk
dilakukannya suatu tindakan penyidikan dalam Proses
Peradilan Pidana (Criminal Justice Process), maka dari itu
seharusnya tindakan diskresi penyidik harus diatur secara
jelas, dan rigid dalam penerapannya bentuk kasus yang
diperbolehkan untuk dilakukan langkah diskresi oleh
penyidik.
2) Instruksi Dari Pimpinan
Instruksi dari pimpinan secara struktural juga
mempunyai faktor penting dalam pengambilan suatu
tindakan diskresi oleh penyidik Kepolisian. Sebuah instruksi
dari seorang pimpinan sangatlah membantu pada
pengambilan suatu diskresi yang dilakukan penyidik dalam
proses penyidikan tindak pidana.
Seorang pimpinan dirasa cukup berpengalaman dan
mahir dalam sebuah tugasnya sebagai aparat penegak
386
hukum, hal tersebut sebagai sebuah pertimbangan dan
instruksi yang sangat penting terhadap seorang bawahannya
dalam membantu untuk pemecahan sebuah masalah hukum
supaya lebih efekif dalam penyelesaian suatu permasalahan
hukum yang dihadapi oleh seorang penyidik.
Instruksi dari pimpinan untuk memproses atau
melanjutkan penyidikan ataupun diambil jalan diskresi yang
terkadang berupa memaafkan, menasehati, ataupun
menghentikan penyidikan akan dipatuhi dan dilaksanakan
oleh penyidik yang bersangkutan. Dengan demikian intruksi
dari pimpinan merupakan pendorong yang sangat kuat,
karena dari instruksi tersebut dapat berupa suatu perintah
terhadap bawahannya untuk melakukan diskresi pada suatu
tingkat penyidikan terhadap perkara pidana, karena
bagaimana pun juga sebuah instruksi merupakan perintah
bagi bawahannya untuk melaksanakannya serta
menerapkannya dalam tugas dan wewenangnya sebagai
aparat penyidik tindak pidana.
3) Penyidik Sebagai Penegak Hukum
Dalam melaksanakan penyidikan terhadap suatu
perkara pidana kadang seorang penyidik terdapat
permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi oleh
pelaku kejahatan dalam penyelesaian perkaranya, karena
387
permasalahan hukum tersebut dirasa sangat ringan serta
kurang efektif bila diproses melalui hukum pidana formal.
Seorang aparat petugas Kepolisian mempunyai tugas
dan fungsi yang berbeda-beda, hal tersebut sesuai dengan
porsi-porsi jabatannya yang diemban dalam rangka tugas
Kepolisian. Tugas penyidikan pada Kepolisian diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 6
ayat (1), jadi porsi jabatan secara khusus anggota Kepolisian
yang diemban untuk melaksanakan kewenangan penyidikan
terhadap suatu tindak pidana umum di masyarakat yakni
bernotabene dalam Satuan Reserse Kriminal dan atau dalam
Unit Laka Lantas pada Satuan Lalu Lintas. Dari kekuasaan
penyidikan yang dimiliki tersebut berimbas porsi
kewenangan dalam mengambil suatu tindakan diskresi yang
dimliki penyidik terhadap suatu perkara pidana (termasuk
pidana lalu lintas) yang sedang ditanganinya.
Peran dan kedudukan polisi sebagai seorang
penyidik telah memberikan wewenang pada polisi tersebut
untuk melakukan diskresi sesuai yang telah diatur oleh
undang-undang sehingga petugas penyidik tersebut dapat
mempergunakan diskresi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari hal tersebutlah sangat berpengaruh dan mendasari
sebagai faktor pendorong bagi seorang penyidik Kepolisian
388
dalam menerapkan serta menggunakan kewenangan diskresi
penyidik.
4) Situasi Dalam Penyidikan
Seorang penyidik Kepolisian dalam melaksanakan
tugas penyidikan sangat mendasarkan pada situasi dan
kondisi suatu perkara pidana terhadap pelakunya, sedangkan
penghambat dari tindakan diskresi oleh penyidik adalah dari
pihak korban tidak mau kasusnya dihentikan dan memaksa
pada penyidik agar penyidikan proses ini dilanjutkan. Hal
tersebut adalah penting karena setiap permasalahan hukum
yang dihadapkan kepada setiap penyidik Kepolisian
beranekaragam dan sangatlah variatif.
Penilaian terhadap suatu perkara apakah perlu atau
tidaknya dilakukan suatu tindakan diskresi oleh seorang
penyidik sangatlah penting sekali, karena dalam hal situasi
dan kondisi yang memungkinkan bagi seorang aparat
penyidik untuk melaksanakan kewenangan diskresinya
terhadap suatu perkara pidana yang ditanganinya, karena
menurut penilaian penyidik perkara tersebut merupakan
delik aduan dan sangat ringan serta tidak efektif untuk
dilakukannya suatu tindakan penyidikan, maka dari itu
menurut situasi dan kondisi yang demikian kewenangan
diskresi yang dimiliki aparat penyidik Kepolisian sangatlah
berfungsi dengan baik serta efektif.
389
b. Faktor Eksternal Yang Mendorong Diskresi Penyidik
Faktor Eksternal yang menjadi pendorong bagi penyidik
dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat
penyidikan tindak pidana khususnya di bidang tindak pidana lalu
lintas adalah dukungan dari masyarakat.
Dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
pelaksanaan diskresi, karena aspek kepentingan umum sangat
berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat sebagai objek
pandangan penyidik atas tindakan diskresi boleh atau tidaknya
tindakan tersebut dilaksanakan. Sehingga pandangan masyarakat
atas suatu kasus sangat diperlukan dalam keefektifan suatu
proses penyidikan. Jangan sampai tindakan diskresi yang
dilakukan oleh penyidik malah menimbulkan dampak negatif di
masyarakat.
Dalam pelaksanaan diskresi oleh aparat Kepolisian,
dukungan dari masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk
menunjang kinerja serta profesionalisme dari aparat Kepolisian
dalam memberantas kejahatan yang selalu menghantui rasa
aman serta tentram di tengah masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari serta peran dari masyarakat terhadap aparat
Kepolisian adalah sebagai kontrol sosial terhadap suatu
penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian sebagai
penjaga pintu gerbang di dalam proses (gate keeper in the
process), proses yang dilakukan oleh aparat Kepolisian masuk
390
ke dalam satu Sistem Peradilan Pidana, yakni Sub Sistem
Penyidikan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tindakan diskresi
sangat dibutuhkan sebagai faktor pendorong karena dalam
terjadinya suatu kasus pidana, jika kasus tersebut kalau
diteruskan dikhawatirkan justru akan menimbulkan konflik dan
masalah baru, atau bisa juga pelakunya anak yang masih punya
masa depan panjang.
Dalam upaya melakukan suatu penyidikan terhadap
tindak pidana, seorang penyidik yang berhadapan langsung
dengan seorang pelaku kejahatan kadang terhambat oleh hak-hak
dari pelaku kejahatan untuk terpenuhinya haknya. Diantaranya
adalah mendapatkan bantuan hukum dari seorang advokad dan
bantuan sosial dari kalangan masyarakat luas sebagai pengawas
atau kontrol dari kewenangan aparat penyidik dalam penegakan
hukum dalam upaya peningkatan kualitas penegakan hukum
selama ini dan untuk yang akan datang.
Di samping itu masalah dalam pelaksanaan diskresi oleh
penyidik tersebut sangat berkaitan dengan masyarakat sebagai
objek dari tugas dan fungsi polisi sebagai alat Negara untuk
melindungi, mengayomi serta menegakkan hukum demi rakyat.
Namun yang menjadi hambatan dalam permasalahan tersebut
adalah mindset atau anggapan polisi terhadap masyarakat
sebagai letak dari tugas dan fungsinya, anggapan seorang polisi
391
terhadap masyarakat dalam menilai atau memandang masyarakat
tersebut adalah subyek yang harus dilindungi, dilayani serta
dibina maka anggapan tersebut menitik beratkan pada
kewenangan diskresi yang lebih besar dan optimal. Dari hal
tersebut dapat dipandang bahwa tugas serta fungsinya tidak
semata-mata untuk melakukan suatu tindakan represif di dalam
suatu Proses Peradilan Pidana (Criminal Justice Process) akan
tetapi mentolerir serta membina untuk tidak melakukan
kesalahan kembali merupakan jalan alternatif yang sangat efektif
dan sangat diperlukan.
Anggapan polisi selaku pemilik dari kekuasaan
penyidikan apabila masyarakat yang seharusnya dilindungi,
diayomi serta dilayani dianggap musuh atau sesuatu yang harus
diberantas serta dijatuhkan, maka hal tersebut juga
mempengaruhi korelasi atau hubungan antar keduanya menjadi
kurang harmonis atau tidak baik, maka pemberian atau
pelaksanakan kebijakan diskresi oleh penyidik Kepolisian sangat
kecil atau sukar ditemui. Dari hal tersebut juga sangat
mempengaruhi suatu struktur masyarakat terhadap Polisi di
kehidupan sehari-hari. Dalam praktek hukum yang dilaksanakan
oleh Polisi apabila anggapan dari Polisi seperti itu, maka respek
dari masyarakat pun juga negatif terhadap Polisi, terkadang rasa
segan, tidak hormat atau tidak percaya lagi terhadap penegakan
hukum yang dilakukan oleh Polisi apabila terhadap seseorang
392
yang ada di dalam suatu lapisan masyarakat yang melakukan
suatu perkara ringan atau tidak efektif bila diproses justru
terhadap penyidik untuk diproses dalam Sistem Peradilan
Pidana. Tindakan tersebut menjadikan suatu reaksi dari
masyarakat untuk acuh terhadap penegakan hukum oleh Polisi
dan kenyataannya justru lebih banyak mempengaruhi
pelaksanaan hukum, termasuk tindakan diskresi oleh penyidik
selaku aparat penegak hukum.
2. Faktor-faktor Penghambat/Kendala Diskresi Penyidik
Beberapa faktor yang menjadi penghambat/kendala bagi
penyidik dalam menggunakan wewenang diskresinya pada saat
melakukan penyidikan tindak pidana adalah:
a. Masih Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia
Penegakan hukum di Indonesia dirasa masyarakat sangat
lemah sekali. Hal tersebut benar, karena dalam pranata serta
sistem hukum di Indonesia masih banyak kekurangan dan
mudah diterobos oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang
menjadi celah bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan
hukum di masyarakat, hal tersebut sangat menyulitkan seorang
penyidik dalam melakukan tindakan diskresi. Selain itu, Peran
dari advokad sebagai pemberi bantuan hukum pada
kenyataannya tidak berjalan dengan baik serta efektif, karena
pada dasarnya advokad sebagai pemberi bantuan hukum bagi
tersangka kejahatan justru menjadi pendorong pemberi bantuan
393
sosial. Hal tersebut tidak menguntungkan namun dapat menjadi
beban bagi seorang tersangka yang dimana dalam mengalami
proses hukum yang seharusnya dibutuhkan seorang tersangka
adalah mendapatkan bantuan hukum tetapi justru mendapatkan
beban sosial atau moral bagi tersangka.
Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto”
maupun secara ”in concreto”, yang merupakan masalah aktual
yang yang akhir-akhir ini mendapatkan sorotan tajam dari
masyarakat. Diantara masalah tersebut adalah:
1) Masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) calon
ataupun penegak hukum tersebut
2) Masalah penegak hukum “in abstracto” (proses pembuatan
produk perundang-undangan)
3) Masalah kualitas penegakan hukum “in concreto”; dan
4) Masalah kualitas budaya hukum (pengetahuan dan
kesadaran hukum) masyarakat.
Masalah penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum sejak dahulu dirasa sangat memberatkan bagi
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, maka dari
itu perlunya suatu sikap yang bermoral, beretika dan menjunjung
tinggi profesionalisme berdasarkan kode etik yang diemban oleh
setiap personal aparat yang diberikan kewenangan atau
legitimasinya oleh Negara.
394
Pandangan Leon Duguit mengenai tatanan hukum yang
baik yakni “terjaganya tatanan hukum yang alamiah dan bebas
dari kesewenang-wenangan dan nafsu kekuasaan”. “Tatanan
hukum yang “alamiah” dimaksud adalah hukum yang timbul
dari kebutuhan dan dinamika interaksi masyarakat itu sendiri”.278
Dari hal tersebut masalah kesewenang-wenangan dari aparat
kepada masyarakat mempunyai dampak yang negatif dalam
penegakan hukum, akan tetapi kewenangan dari aparat yang
dalam hal ini adalah penyidik untuk menentukan tindakan
diskresinya juga harus timbul dari kebutuhan dan dinamika
interaksi masyarakat itu sendiri. Disamping itu letak kualitas
penegakan hukum terletak kepada aparat penegak hukum
sebagai fungsi penerapan dan penegakan suatu ide-ide yang
tercantum dalam aturan perundang-undangan, hal tersebut
diilhami dari suatu persepsi hukum yang menyatakan bahwa
apabila peraturan perundang-undangannya jelek akan tetapi
penegak hukumnya baik maka kualitas penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut berjalan dengan
baik dan efektif, sedangkan meskipun peraturan perundang-
undangannya bagus, akan tetapi penegak hukumnya tidak baik
maka kualitas penegakan hukum tersebut tidak bagus.
b. Oknum Aparat
278 Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 68
395
Dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh
seorang oknum sangat dimungkinkan karena alasan
kesejahteraan yang masih belum tercukupi serta kesalahan yang
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak disengaja (human error)
dari oknum tersebut. Sehingga hal tersebut juga berimbas kepada
diskresi yang dilakukan oleh seorang oknum tersebut, dengan
dalil kesejahteraan tersebut menimbulkan suatu sikap kong
kalikong antara seorang tersangka dengan penyidik sangat
dimungkinkan yang berujung pada suap yang diterima oknum
dari seorang tersangka.
Tindakan yang dilakukan oleh oknum tersebut
menjadikan rusaknya tatanan pranata hukum di Indonesia dan
mencoreng citra dari instansi yang menjadi payung dimana
oknum tersebut bekerja dan melaksanakan tugas dinasnya
sebagai aparat penegak hukum. Hal itu sangat disayangkan,
karena ulah dari salah satu oknum menjadikan jaminan atas
hukum di Indonesia ini tidak dipercaya lagi oleh masyarakat
termasuk tindakan diskresi, karena kualitas diskresi itu juga
ditentukan oleh oknum yang mempunyai kewenangan menurut
pertimbangan secara pribadi atas berdasarkan peraturan
perundang-undang untuk melakukan tindakan diskresi tersebut
dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
396
Di samping itu penentuan tindakan diskresi juga
ditentukan pada basis moral penyidik selaku aparat penegak
hukum. Basis moral diperlukan karena kebijakan atau tindakan
yang mutu dan berorientasi pada perubahan bagi kepentingan
orang banyak atau kepentingan umum, hanya bisa lahir dari
lembaga/pengambil keputusan yang memiliki tingkat kesadaran
moral yang mumpuni.279
c. Pengetahuan Penyidik
Penyidik sebagai aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya haruslah mempunyai pengetahuan yang
luas tentang hukum. Pengetahuan para penyidik selaku aparat
Kepolisian sangat berbeda-beda. Hal tersebut dirasa sangat
mempengaruhi tentang suatu tindakan yang dilakukan oleh
penyidik dalam menangani suatu perkara pidana. Dari
pengetahuan yang berbeda-beda tersebut dirasa dalam
melakukan tugasnya sebagai penegakan hukum, pelaksanaan
tugas tersebut kurang optimal.
Pengetahuan akan suatu tindakan diskresi oleh Polisi
sangatlah minim dan tidak merata di seluruh sumberdaya
manusia yang ada, hal tersebut membuat hambatan yang besar
dalam pelaksanaan diskresi di dalam kekuasaan penyidikan oleh
penyidik Polisi, karena dalam penanganan suatu perkara pidana
oleh penyidik, penyidik dituntut untuk menjadi seorang
279 Ibid, hlm. 35
397
pimpinan (leader) yang mengakomodir kepentingan umum serta
kepentingan tersangka ataupun korban dari kejahatan sehingga
keadilan yang dicita-citakan masyarakat tidak hanya berupa hal
yang utopis belaka, akan tetapi nyata dalam bentuk realisasinya
oleh aparat penegak hukum.
Dari permasalahan tersebut timbul dikarenakan suatu
keterbatasan sarana perpustakaan yang dapat dijadikan akses
oleh penyidik selaku aparat penegak hukum dalam
mengembangkan pengetahuan tentang diskresi serta hukum
secara teoritis ataupun praktis untuk direalisasikan, disamping
itu minimnya suatu pelatihan ataupun seminar-seminar tentang
diskresi atapun penyelesaian perkara pidana di luar pidana
(alternative dispute resolution) yang seharusnya diikuti oleh
para penyidik sangat minim, adapun pelatihan ataupun seminar
tersebut hanya diikuti oleh pimpinan, hal itu di luar dari
pengetahuan dari penyidik yang hampir seluruhnya berpangkat
Brigadir Polisi, karena dalam proses penyidikan terhadap
perkara pidana lalu lintas dalam pelaksanaannya dilakukan oleh
penyidik yang berpangkat Brigadir Polisi tersebut. Sehingga hal
tersebut membuat tidak optimalnya pelaksanaan diskresi oleh
penyidik.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas perpustakaan tersebut
serta pelatihan ataupun bentuk seminar tentang diskresi ataupun
penyelesaian perkara di luar Pengadilan (alternative dispute
398
resolution), maka penegakan hukum yang baik mencakup
sumber daya manusia (SDM) dengan pengetahuan yang baik dan
terampil, organisasi yang baik dalam mengakomodir
kepentingan penyidik dalam menangani perkara pidana serta
mengutamakan tujuan hukum hanya sebatas cita-cita belaka
tanpa adanya bentuk realisasi nyata dari aparat penegak hukum,
karena aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum
tersebut serta kekuasaan dalam penyidikan perkara pidana hanya
berpatok pada peraturan perundang-undangan yang bersifat kaku
tanpa mementingkan faktor-faktor sosial serta dampak yang
akan terjadi di dalam di masyarakat.
Diskresi pada dasarnya berpangkal dari pengetahuan
penyidik yang bertujuan untuk pengambilan suatu keputusan
ataupun kebijakan untuk menyaring suatu bentuk tindak pidana
yang dianggap ringan dan atau tidak efektif bila dilanjutkan ke
dalam proses penuntutan serta pengadilan. Selain itu
pengambilan kebijakan ataupun keputusan tersebut berdasarkan
pada pengetahuan penyidik yang dikuatkan dalam Pasal 7 huruf j
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana serta Pasal 16 ayat (1) huruf h
serta Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan
Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga tindakan dalam
399
pengambilan kebijakan diskresi tersebut tidak keluar dalam jalur
hukum serta dalam pengambilan kebijakan diskresi penyidik
tersebut harus berlandaskan atas pemerintahan yang baik serta
bebas dari korupsi. Dari pemikiran tersebut berimbas pada
tindakan diskresi yang tidak asal-asalan serta berdasarkan atas
uang akan tetapi tindakan diskresi tersebut sangat
mengefektifkan serta mengoptimalkan penyelesaian perkara
pidana pada sub sistem penyidikan dalam Sistem Peradilan
Pidana.
d. Partisipasi Para Pihak
Kurangnya pemahaman dari tersangka yang berasal dari
masyarakat juga berimbas kepada diskresi yang dilakukan oleh
penyidik. Karena ketidaktahuan akan diskresi dari tersangka
menjadikan kurangnya partisipasi dan keaktifan dari tersangka
tersebut dalam memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh
penyidik dalam melakukan diskresi yang menjadi kewenangan
penyidik. Hal tersebut sangat menghambat penyidik untuk
melakukan tindakan diskresi.
Tersangka mempunyai peran penting dalam memberikan
keterangan yang dibutuhkan oleh seorang penyidik dalam proses
pemeriksaan perkara tindak pidana. Dari keterangan tersangka
tersebut menjadi pedoman bagi seorang penyidik untuk
melakukan tindakan diskresi menurut penilaian penyidik sendiri.
Apabila keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik kepada
400
tersangka kurang lengkap, maka tindakan diskresi yang
dilakukan oleh penyidik pun akan lama untuk dilakukan bahkan
semisal keterangan yang diberikan oleh tersangka tidak kuat
maka bisa saja diskresi dari penyidik tidak akan dilakukan.
Aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak
terlepas akan suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya, hal
tersebut penting karena dalam menegakkan hukum, seorang
Polisi langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga dalam
menegakkan hukum kadang Polisi selaku aparat penegak hukum
mempunyai masalah ataupun dampak positif serta negatif dalam
menegakkan suatu norma positif di masyarakat. “Menurut
Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya”.280 Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Diantara faktor-faktor tersebut adalah:
1) Faktor hukumnya sendiri (misalnya Undang-Undang).
2) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
3) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
280 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem Peradilan
Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta. Galangpress, Yogyakarta, 2008,
hlm. 52
401
4) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.281
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam penegakan
hukum terdapat suatu faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-
faktor yang ada merupakan suatu indikator-indikator dalam kualitas
penegakan hukum serta faktor tersebut hadir secara sendirinya karena
perkembangan masyarakat. Dari hal tersebut bahwa faktor penegak
hukum merupakan salah satu faktor yang penting serta tidak bisa
diabaikan begitu saja, sebab pengabaian terhadap faktor-faktor yang ada
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan
sesuai tujuan hukum tersebut.
Menurut Barda Nawawi Arief,282 kualitas penegakan yang
dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi
terutama kualitas penegakan hukum secara materiil/substansi seperti
terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat, antara
lain: (1) adanya perlindungan HAM (hak asasi manusia), (2) tegaknya
nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama, (3)
tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, (4) bersih dari
praktek “favoritisme” (pilih kasih), (5) terwujudnya kekuasaan
kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode
281 Ibid, hlm. 52-53282 Barda Nawawi Arief, 2010, Op. Cit, hlm. 19
402
etik/kode profesi, (6) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa.
Selain itu yang perlu ditekankan adalah justru pada peran diskresi
yang dimiliknya. Faktor penegak hukum dalam suatu penegakan hukum
tidak dapat semata-mata peran tugas, atau kewajibannya yang tertuang
dalam peraturan perundang-undangan.283 Secara umum pelaksanaan
diskresi merupakan tindakan yang lumrah dan dilaksanakan sejak dulu
oleh para pengambil keputusan karena diskresi tidak dapat dihindari
dalam penegakan hukum disebabkan dua alasan, yaitu:
1. Penerapan aturan dalam kasus yang sebenarnya dalam kenyataan pasti
membutuhkan sifat bijaksana dari seorang petugas. Suatu perbuatan
pidana dapat diterapkan aturan yang sama namun di lain kondisi
tidak bisa karena alasan yang ada pada saat itu. Aturan pada
prinsipnya diterapkan secara subjektif oleh penegaknya, kemampuan
subjektif pelaksana bervariasi tergantung tenggapannya terhadap
kejahatan ataupun pelanggaran yang terjadi. Sebagai contoh
misalnya dalam kasus perbuatan yang dianggap melanggar akan
dianggap pemaksaan kehendak oleh seorang petugas tapi pada
petugas lain akan mempertimbangkan. Faktor apakah pelaku
membela haknya atau karena terpaksa atau kelalaian atau sengaja
karena kesembronoan dan lain-lain yang tidak sama dengan petugas
pertama dalam memberikan pertimbangan.
283 Moh. Hatta, 2008, Op. Cit, hlm. 53
403
2. Eksistensi, kepentingan dan penerapan diskresi memberi kesan bahwa
penegak hukum tidak memberikan batasan untuk menyelidiki dan
meneliti kesalahan bila memang ditemukan. Penegakan hukum
tetaplah dijamin bagi masyarakat luas dan bukan ditentukan oleh satu
orang ataupun individu saja.284
Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum mempunyai
kaitan dengan tugas dan peranan mereka dalam menegakkan suatu
peraturan serta pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya, masalah peranan dianggap penting karena pembahasan
mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi.
Diskresi dalam hal ini mengandung arti luas bila dilaksanakan oleh
pejabat publik, akan tetapi dalam arti sempit yang tercantum dalam Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia mempunyai sifat khusus pelaksanaan diskresi
menjadi kewenangan aparat Kepolisian, maka hal tersebut mengandung
suatu arti sempit dan khusus bagi aparat Kepolisian yang dalam hal ini
penyidik mempunyai kewenangan penuh dalam melakukan suatu
tindakan diskresi.
Diskresi dalam pelaksanaannya dianggap penting sekali, karena
tindakan tersebut menyangkut pengambilan keputusan yang sifatnya
sangat terikat oleh hukum dimana penilaian pribadi memegang peranan
dalam pelaksanaan diskresi. Hal tersebut menimbulkan suatu persepsi
dasar yang dimana diskresi merupakan suatu legitimasi dari aparat
284 Marlina, 2010, Op. Cit, hlm. 5
404
penegak hukum dalam memberikan suatu kebijakan atau keputusan.
Dalam konteks legitimasi tersebut melatarbelakangi hubungan antara
seorang aparat penegak hukum atau penyidik yang dalam hal ini
mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu tindakan atau keputusan
yang ditujukan langsung kepada seorang pelaku kejahatan yang
notabanenya adalah bagian dari masyarakat. Dari hal tersebut kefektifan
dari fungsi penegakan hukum dapat diketahui dalam peranannya untuk
menegakkan hukum di tengah masyarakat, karena fungsi diskresi tersebut
merupakan aspek penting dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System)
405
BAB V
REKONSTRUKSI PERDAMAIAN DALAM MELAKSANAKAN
RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA LALU LINTAS BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF
A. PENERAPAN MEDIASI OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA DALAM PENANGANAN TINDAK
PIDANA SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Polri adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan yang
dalam kaitannya dengan Pemerintahan adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia. Sehingga dengan demikian, fungsi sosial lembaga kepolisian
dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di sisi
satu dan fungsi penegakan hukum di sisi lain adalah merupakan dua mata
sisi yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara Polri meruapakan
alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
406
masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Agar dalam melaksanakan fungsi
dan perannya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau yang
dianggap sebagai wilayah negara Republik Indonesia tersebut dapat
berjalan dengan efektif dan effisien, maka wilayah negara Republik
Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan
tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang
Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa wilayah
kepolisian dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang biasa disebut
dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri
yang bertanggung jawab kepada Presiden, kemudian wilayah di tingkat
Provinsi disebut dengan Kepolisian Daerah yang lazim disebut dengan
Polda yang dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab
kepada Kapolri, di tingkat Kabupaten disebut dengan Kepolisian Resot
atau disebut juga Polres yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang
bertanggungjawab kepada Kapolda, dan di tingkat Kecamatan ada
Kepolisian Sektor yang biasa disebut dengan Polsek dengan pimpinan
seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres, dan di
tingkat Desa atau Kelurahan ada Pos Polisi yang dipimpin oleh seorang
407
Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi
daerahnya.285
Susunan organisasi dan tata kerja Polri disesuaikan dengan
kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenang yang di atur lebih lanjut
dengan Peraturan Kapolri, dalam organisasi Negara dan Pemerintahan
Polri yang dipimpin oleh Kapolri merupakan Lembaga Negara non
Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, antara lain UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab fungsi kepolisian Kapolri menetapkan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian,
antara lain menentukan dan menetapkan:
1. penyelengaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka
pelaksanaan tugas kepolisian negara Republik Indonesia; dan
2. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negera Republik
Indonesia.
Pelaksanaan kegiatan operasional dan pembinaan kemampuan
kepolisian dilaksanakan oleh seluruh fungsi kepolisian secara berjenjang
mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah yang terendah yaitu Pos
Polisi, dan tanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang
kepolisian secara hierarkhi dari tingkat paling bawah ke tingkat pusat
285 Pandji Susilo, Tugas dan Wewenang Polri, dalam www.wordpress.com, diakses
pada 19 Mei 2014
408
yaitu Kapolri, selanjutnya Kapolri mempertangungjawabkannya kepada
Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengingat karena Kapolri diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR-RI.
Tugas pokok Kepolisin Negara Republik Indonesia adalah:286
1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. menegakan hukum, dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut Polri melakukan:287
1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. menyelenggaran segala kegiatan dalam menjamin keamanan
ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3. membina masyarakat untuk meningkatkan parsipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk
pengamanan swakarsa;
286 Ibid287 Ibid
409
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya;
8. menyelenggarakan indentifiksi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingn
tugas kepolisian;
9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia;
10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingan dalam lingkungan tugas kepolisian; serta
12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, yang dalam pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Agar dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian sebagaimana
tersebut di atas dapat berjalan dengan baik, pelaksanaan tugasnya itu
dapat dipatuhi, ditaati, dan dihormati oleh masyarakat dipatuhi dalam
rangka penegakan hukum, maka oleh Undang-undang Polri diberi
kewenangan secara umum yang cukup besar antara lain:288
288 Ibid
410
1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
menggangu ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyekit msyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan msyarakat;
13. menerima dan menyimpa barang temuan untuk sementara waktu.
Selain kewenangan umum yang diberikan oleh Undang-Undang
sebagaimana terebut di atas, maka diberbagai Undang-Undang yang telah
mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini dalam Undang-
Undang itu juga telah memberikan kewenangan kepada Polri untuk
411
melaksanakan tugas sesuai dengan perundangan yang mengaturnya
tersebut antara lain;
1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya;
2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan;
6. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;
7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengaman swakarsa dalam bidang teknis
kepolisian;
8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik
dan memberantas kejahatan internasional;
9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi
kepolisian internasional;
11. melaksanakan kewenangan laian yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.
412
Dalam bidang penegakan hukum publik khususnya yang berkaitan
dengan penanganan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP, Polri sebagai penyidik utama yang menangani setiap kejahatan
secara umum dalam rangka menciptakan keamanan dalam negeri, maka
dalam proses penannganan perkara pidana Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri, telah menetapkan kewenangan sebagai berikut:
1. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
2. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
3. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. memanggil orang untuk didengan dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
7. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
8. mengadakan penghentian penyidikan;
9. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yng disangka melakukan tindak pidana;
413
11. memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai neri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai
negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yng bertanggung jawab,
yaitu tindakan penyelidik dan penyidik yang dilaksankan dengan
syarat sebagai berikut;
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,
dan
e. menghormati hak azasi manusia.
Pesatnya globalisasi di berbagai bidang di kehidupan masyarakat
dunia secara umum dan masyarakat Indonesia secara khusus dalam
beberapa tahun terakhir ini, memberikan peluang bagi masyarakat dalam
menyampaikan ide-ide dan gagasannya antara lain dalam bidang hukum
sebagai salah satu sub sistem sosial dalam masyarakat. Hukum dalam
realitasnya memiliki 3 (tiga) tujuan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan. Pencapaian ketiga tujuan ini membutuhkan proses yang
berlangsung pada sub-sub sistem hukum yang antara lain disebutkan oleh
414
L.M. Friedman289 yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum. Substansi hukum yang menjadi acuan dalam sistem hukum
Indonesia antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP) serta Peraturan PerUndang-Undangan lain
yang merupakan lex specialis dari KUHP misalnya Undang-Undang
Lalulintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.
Sistem hukum pidana di Indonesia mengisyaratkan bahwa
pelaksanaan pidana pada hakikatnya terlepas dari kemauan orang-orang,
sehingga pada umumnya ketentuan hukum pidana tetap terlanggar
meskipun ada persetujuan dari pihak yang dirugikan, hal ini tentu saja
berbeda dengan sistem dalam hukum perdata. Dunia ilmu pengetahuan
hukum mengenal ada pemisahan antara hukum publik dan hukum privat
namun demikian dalam banyak hubungan hukum, ternyata banyak yang
mengandung bersama-sama unsur-unsur publik dan privat sekaligus. Hal
ini sudah selayaknya, pada pokoknya semua hukum mengatur tingkah
laku manusia dalam masyarakat untuk keselamatan masyarakat,
sedangkan masyarakat itu terdiri atas manusia, maka kepentingan
masyarakat yang selalu menjadi faktor dalam segala peraturan hukum
namun dalam suatu hubungan hukum tertentu, keadaannya adalah
289 Dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hlm.
128
415
sedemikian rupa bahwa titik berat berada pada kepentingan satu orang
manusia, sedangkan pada hubungan lainnya ternyata titik berat ada pada
kepentingan umum.290
Dengan keadaan dititikberatkan pada satu orang manusia maka
kemudian diserahkan kepada individu tersebut untuk menetapkan apakah
hubungan hukum akan dilaksanakan atau tidak, sedangkan untuk keadaan
yang titik beratnya pada kumpulan manusia, maka harus ditetapkan oleh
kumpulan manusia tadi. Inilah yang kemudian membedakan antara
hukum publik dan privat. Hukum Pidana menjadi salah satu bagian dari
hukum publik dan hukum perdata menjadi bagian dari hukum privat.291
Hubungan bisnis yang berkembang saat ini, secara sepintas dapat
dikatakan bahwa hubungan bisnis tersebut tampak sebagai hubungan
privat, namun jika ditelaah lebih jauh ternyata di dalamnya bukan hanya
masalah privat tapi tersangkut pula masalah pidana. Sebagai contoh, jika
seseorang yang membuat perjanjian dalam bisnis adakalanya terdapat
penipuan dalam perjanjian itu maka penipuan inilah yang akan berkaitan
dengan masalah pidana sedangkan hubungan berupa perjanjian antara
para pelaku bisnis tersebut adalah masalah perdata.
Hukum publik dalam hal ini pidana sangat berbeda dengan
masalah perdata. Dalam masalah pidana, segala masalah yang timbul
akan diserahkan kepada negara untuk penyelesaiannya meskipun dalam
290 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Jakarta, 2003, hlm. 2291 Ibid
416
teori hukum acara pidana penyerahan penyelesaian kepada negara
tersebut berbeda-beda. Ada yang harus dilaporkan, ada pula yang harus
diadukan.292 Salah satu fenomena yang perlu untuk dicermati adalah
makin maraknya upaya-upaya damai yang dilakukan ketika timbul suatu
dugaan tindak pidana. Hal ini sering terjadi di kota-kota besar terutama
dalam hubungan dunia bisnis yang mempunyai intensitas tinggi, sejalan
dengan perkembangan arus informasi dan telekomunikasi yang
mempersempit jarak sehingga hubungan antar dan inter negara dapat
berlangsung secara singkat dan cepat yang membuat waktu menjadi
sangat berharga. Manakala terjadi kasus pidana, maka para pihak
cenderung mengambil jalur perdamaian karena dianggap efektif dan
efisien, dibandingkan melalui proses peradilan yang menyita waktu dan
tenaga.
Dalam perkara perdata, upaya damai merupakan suatu hal yang
sudah terlegitimasi dengan asas dan peraturan-peraturan yang terkait
dengan keperdataan. Namun dalam perkara pidana, upaya perdamaian ini
masih merupakan suatu hal yang patut dipertanyakan, mengingat
berlakunya suatu ketentuan bahwa ”tak ada perdamaian dalam pidana”
dan “tercapainya perdamaian, tidak menghilangkan unsur-unsur pidana
yang ada”.
Filsuf moral dan politik menyepakati bahwa ada suatu hak yang
disebut hak asasi manusia. Namun demikian, belum ada kesepakatan
292 S.R. Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Alumni,Bandung, 1996, hlm. 81
417
tentang apakah hak-hak asasi manusia itu, apa alasan pembenarannya,
dan apa yang menjadi prioritas di antara hak-hak tersebut. Sebagai
contoh, beberapa teoritisi hak asasi berpendapat bahwa hak asasi terbatas
pada hak sipil dan politik, dan tidak mencakup hak ekonomi atau
kesejahteraan. Sebaliknya, teoritisi lain berpendapat bahwa hak untuk
sejahtera sebagai manusia merupakan hak asasi, dimana kesejahteraan
tersebut mencakup pertimbangan ekonomi atau kesejahteraan.293 Hak
ekonomi dan sosial mempunyai kedudukan yang sama dengan hak sipil
dan politik, yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Jika salah satu dari hak tersebut tidak dijamin, maka hal tersebut akan
meniadakan hak yang lain. Masalah penting lain dalam hal hak asasi
adalah apakah perlu ada konflik antara nilai kebebasan dan kesamaan,
sehingga hak-hak yang didasarkan pada tiap-tiap nilai tersebut saling
terpisah.
Persamaan hak dalam hal ini dipandang mengganggu hak untuk
bebas, dimana hak terakhir ini sebagai hak menentang campur tangan.
Konflik antara kebebasan dan kesamaan dikemukakan oleh Charvet yang
mengatakan bahwa konsep tradisional tentang hak asasi tidak koheren,
karena konsep ini memunculkan persyaratan yang kontradiktif. Di satu
pihak, konsep ini menunjuk kebebasan sebagai penentuan tujuan individu
oleh individu sendiri dan di lain pihak menunjuk kesamaan sebagai syarat
moral untuk memandang kebutuhan dan tujuan orang lain sekalipun
293 Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali (terj.), Tiara Wacana, Yogyakarta,
1993, hlm. 564
418
keduanya saling bertentangan. Dalam penyebutan konflik antara
kebebasan dan kesamaan ini, kebebasan dipahami sebagai hak individual,
sementara kesamaan dipandang sebagai hak atau tuntutan sosial. Jadi, hak
individu dipandang bertentangan dengan hak atau tuntutan masyarakat.294
Dalam penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir
sama dengan yang kita kenal dengan istilah diskresi (discretion) yang
dimiliki oleh lembaga dalam sistem peradilan pidana kita, seperti
kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk
untuk kemudian tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses
peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi yang berbeda dengan
sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih mengedepankan kepentingan
pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan korban, sehingga tercapai
win-win solution yang menguntungkan pelaku tindak pidana dan
korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara langsung
dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya
sehingga dihasilkan perdamaian diantara para pihak. Mediasi penal
dilakukan dengan transparan sehingga dapat mengurangi permainan kotor
yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional.
Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal,
sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan
upaya berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses
peradilan pidana Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di
Indonesia. Sistem peradilan pidana merupakan sistem yang terdiri atas
294 Ibid, hlm. 433
419
sub-sub sistem seperti lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bahkan termasuk penasihat
hukum. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia
berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai hukum formil
untuk melaksanakan hukum pidana materiil. Dalam proses peradilan
pidana, bekerjanya sistem peradilan pidana terdapat saling
kebergantungan (interdepency) antara sub sistem satu dengan sub sistem
lainnya. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan
restorative justice, yaitu konsep yang memandang kejahatan secara lebih
luas. Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana
bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang
mewakili korban, dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya
kepada pelaku dan negara (Jaksa Penuntut Umum).
Lembaga Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menentukan
apakah suatu perbuatan akan diteruskan atau tidak diteruskan prosesnya
ke dalam sistem peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Dalam
perkara lalu lintas misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, apabila hanya
menimbulkan kerugian yang kecil atau luka yang kecil biasanya
diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan korban, dan pihak
kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak
diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban.
Namun demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut menimbulkan
kerugian yang besar seperti nyawa misalnya, maka mediasi tidak dapat
420
dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit
dan penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan
yang nantinya digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada
terdakwa.295
Kesepakatan mengganti kerugian tidak menghapuskan tindak
pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses dalam sistem
peradilan pidana. Selanjutnya bahwa proses mediasi penal yang
dilakukan oleh lembaga kepolisian dalam tindak pidana tertentu,
bukanlah bentuk diskresi kepolisian, karena dalam diskresi kepolisian
keputusan yang diambil justru bertentangan dengan peraturan sehingga
melalui pertimbangan yang sangat banyak dan strategis untuk
kepentingan orang banyak. Di sini pun peran polisi bukan sebagai
mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang menyaksikan
diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan
perdamaian.296 Di samping delik aduan biasanya masyarakat
menyelesaikan sendiri perkara pidana dengan mediasi yaitu misalnya
dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sekali pun
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan delik aduan,
295 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 43296 Romli Atmasasmita,”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Polisi – Jaksa:
Menuju Integrasi, di Auditorium Bumi Putera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ.
Indonesia, Depok, 17 April 2008
421
akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua pihak dan
keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi seringkali
menjadi pilihan. Dalam mediasi pihak korban dapat meminta ganti
kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila terjadi kesepakatan dari
pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian, kesepakatannya
tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan tetap berjalan
sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya bersifat
sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan
tetap di tangan hakim.
Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh
karena belum ada Undang-Undang yang mengatur pelaksanaan mediasi
beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi
pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu
dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori
'delik biasa', seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian
seperti dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan
matinya orang lain), serta dalam tindak pidana terhadap harta benda
seperti Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang
penipuan yang biasanya antara korban dan pelaku sudah saling mengenal,
maka dapat dilakukan mediasi di mana korban dapat meminta ganti
kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah
dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Namun demikian
meskipun telah dilakukan kesepakatan mengganti kerugian kepada
korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tetap dilakukan,
422
dengan alasan bahwa kejaksaan bekerja berdasarkan aturan normatif,
selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi penal dalam
penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah dilakukan
pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah satu
alasan pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk memperingan
maksimum tuntutannya.297
Dalam hukum pidana tidak dikenal istilah mediasi penal, namun
demikian ada kesempatan bagi korban pidana untuk menggugat ganti
kerugian kepada pelaku melalui gugatan perdata dan proses peradilan
pidana tetap dijalankan. Namun sebenarnya apabila kita
mempermasalahkan mediasi penal dalam hal penentuan pengganti
kerugian dari pelaku kepada korban hal ini dimungkinkan, dan dapat
dijadikan dasar bagi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
bersyarat. Ganti kerugian terhadap korban dalam pidana bersyarat
merupakan salah satu syarat khusus yang telah dilakukan oleh terpidana,
di samping ketentuan pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim tidak lebih
dari 1 (satu) tahun untuk pidana penjara. Apabila dalam mediasi dicapai
kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa
telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti
kerugian dari pelaku kepada korban. Hasil kesepakatan mediasi penal
merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus
penuntutan. Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik
297 www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, akses
tanggal 25 Desember 2012
423
menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP
kepada penuntut. Dalam pelaksanaan mediasi penal di tahap penuntutan
ini dilakukan sekaligus negosiasi ganti kerugian antara pelaku dan
korban. Mediasi penal pada tahap penuntutan ini merupakan kombinasi
antara bentuk Victim- Offender Mediation dan Reparation Negotiation
Programme. Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan
dapat digambarkan sebagai berikut:298
1. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat
menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana.
2. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara sukarela dari pelaku
dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk
dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada
Jaksa Penuntut Umum.
3. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat
melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi.
4. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana.
5. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti
semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang
muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak
yang terlibat.
298 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana
,Tahun 2009
424
Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran
ganti kerugian kepada korban. Jika mediasi penal tidak mencapai
kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses
pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap
tindak pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak
tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi
selama proses mediasi. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang
diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai
putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat
berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan. Mediasi ini jika
mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alasan
untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana.
Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari
luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan.
Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim-Offender Mediation dan
Reparation Negotiation Programmes. Hakim setelah mempelajari kasus
dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan
mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian
para pihak. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara
suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik
oleh pelaku maupun oleh korban.
Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator
di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi. Mediasi
mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada kesempatan ini diadakan
425
rekonsiliasi antara korban dan pelaku, serta dilakukan pembayaran ganti
kerugian yang diderita korban. Mediasi penal dilakukan berdasarkan
prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala
pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh
para pihak termasuk mediator. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan
maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan
sebagaimana mestinya. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak
saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati
pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil
kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi
berkekuatan tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final,
sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam proses
peradilan pidana. Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang
menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan
untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika
pelaku telah menjalankan sebagian pidananya.
Untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu, pelaku dapat
menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna
meringankan pidananya. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari
pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa
Penuntut Umum sebagai eksekutor. Jaksa sebagai eksekutor akan
mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal. Jika telah
disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan
bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui
426
dan disertifikasi. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan
(confindentiality) sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul
dalam mediasi bersifat rahasia. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk
berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil
kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan
kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan.
Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada
korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat final dan
digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang
belum dijalaninya. Dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9/1995
yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen
A/CONF.169/6) diungkapkan perlunya semua negara
mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice
functions” dan “alternative dispute resolution/ADR” (berupa mediasi,
konsiliasi, restitusi, dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.
Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai
berikut:299
“The techniques of mediation, conciliation and arbitration, which
have been developed in the civil law environment, may well be
more widely applicable in criminal law. For example, it is
possible that some of the serious problems that complex and
299 www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, Pembaharuan Hukum, Hukum Pidana
,Tahun 2009
427
lengthy cases involving fraud and white-collar crime pose for
courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying
principles developed in conciliation and arbitration hearings. In
particular, if the accused is a corporation or business entity
rather than an individual person, the fundamental aim of the court
hearing must be not 21to impose punishment but to achieve an
outcome that is in the interest of society as a whole and to reduce
the probability of recidivism”.
Bentuk penerapan keadilan restorative di beberapa negara seperti
di negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand
sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu, yaitu:
5. Di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia
dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (Mediasi antara
Pelaku dan Korban) yang merupakan bentuk pendekatan restorative
dimana dibuat suatu forum yang mendorong adanya pertemuan
antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai
koordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut dalam untuk
mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban khususnya
kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai:
d. Bentuk tanggung jawab pelaku;
e. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban;
f. Keinginan korban untuk didengarkan oleh pelaku terhadap
dampak tindak pidana bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang
428
penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh
keduanya.
Persiapan penyelenggaraan, sistem monitoring dan evaluasi
dari proses dilaksanakan oleh pihak ketiga yang ditunjuk (dalam hal
ini adalah mediator). Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan
pada periode purna ajudikasi, petugas pengadilan atau
pemasyarakatan dapat menjalankan fungsi tersebut. Berdasarkan
pengalaman di beberapa negara Eropa,300 mediasi yang dilakukan
tidak mensyaratkan adanya pertemuan langsung antara pelaku
dengan korban. Dimungkinkan mediator memainkan peranan yang
lebih dimana ia bertemu secara satu persatu dengan masing-masing
pihak, hingga terjalin suatu kesepakatan atas suatu restitusi yang
akan dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga perasaan
dan kenyamanan masing-masing pihak selama proses terjadi.
6. Di New Zealand dikenal dengan istilah Conferencing yang merupakan
refleksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional
yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand. Dalam
bentuk conferencing ini penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku
dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak
langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat
korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku.
7. Di Yukon, Kanada dikenal dengan istilah Circle, dalam bentuk ini
para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga dan pihak
300 Daniel van Ness, Allison Morris dan Gabriel Maxwell, 201, Op Cit, hlm. 7
429
lain yang terlibat termasuk di dalamnya aparat penegak hukum dan
setiap anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan
perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi.
8. Di negara bagian Vermont dikenal dengan istilah Restorative
Board/Youth Panels dengan lembaga pendamping yang disebut
Bureau of Justice Assistance yang bertujuan untuk menyelesaikan
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan
pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim jaksa dan
pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi
pelaku dang anti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya
adalah peran aktif anggota masyarakat secara langsung dalam proses
peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada
korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara
langsung dengan pelaku.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di beberapa
negara lain, mediasi penal dimungkinkan untuk tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (kekerasan dalam rumah
tangga – domestic violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi
penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak
maupun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT. Akhirnya patut dicatat,
bahwa gugurnya kewenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP
(yang tersebar dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 82 di atas), di
dalam Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan
ketentuan sebagai berikut:
430
Dari ketentuan RKUHP di atas terlihat, dimungkinkannya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Mediasi penal sering
dinyatakan merupakan ”the third way” atau ”the third path” dalam upaya
”crime control and the criminal justice system” dan telah digunakan di
beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di
Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana
pengaturannya, tentunya memerlukan kajian yang mendalam dan
komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di
bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat
dan dalam kenyataan sehari-hari.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menunjukkan kecenderungan
polarisasi bahwa “mediasi penal” dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia telah dikenal oleh hakim Indonesia. Dikaji dari perspektif Asas,
Norma dan Teori eksistensi mediasi penal disebutkan antara “ada” dan
“tiada”. Dikatakan “ada” oleh karena ternyata praktik mediasi penal telah
dilakukan oleh penegak hukum, masyarakat Indonesia dan penyelesaian
tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga
adat. Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi penal dalam ketentuan
Undang-Undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi
dalam tataran di bawah Undang-Undang dikenal secara terbatas melalui
diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Pada tataran di
bawah Undang-Undang, penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui
mediasi penal misalnya diatur dalam:
431
1. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif
Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar
Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. Surat ini sifatnya parsial dan prinsip-
prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini
menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan
ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun
apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
2. Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian
Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya
atau Tindakan Hukum kepada kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham.
Saat ini mediasi penal belum diatur dalam KUHAP, KUHP dan
Undang-Undang tersendiri. Oleh karena itu, untuk waktu ke depan (ius
contituendum) hendaknya perlu dipikirkan secara lebih jauh dalam
ketentuan apa sebaiknya mediasi penal tersebut akan diatur, apakah diatur
dalam KUHP, KUHAP, Undang-Undang tersendiri, Peraturan di bawah
Undang-Undang atau Peraturan Mahkamah Agung RI. Dalam praktik,
dengan diterapkan mediasi penal walau perUndang-Undang belum
mengaturnya maka telah terjadi pergeseran paradigma adanya quasi
432
hukum privat ke dalam hukum publik dan dari hasil penelitian
mendeskripsikan bahwa sependapat apabila mediasi penal tersebut
dilakukan.
Peraturan mediasi penal hendaknya mengatur secara limitatif
dalam hal perkara apa saja yang dapat dilakukan penyelesaian melalui
mediasi penal. Diskripsi hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa
perkara yang diatur secara limitaitf dapat diselesaikan secara mediasi
penal yaitu berupa perkara pencurian ringan, perkara yang bersifat
pribadi, perkara pencurian ringan, dan perkara yang dilakukan oleh anak
serta perkara kekerasan dalam rumah tangga. Peradilan Umum dianggap
relatif lebih tepat untuk mengadili perkara pencurian ringan, perkara yang
bersifat pribadi, dan perkara yang dilakukan oleh anak serta perkara
kekerasan dalam rumah tangga dibandingkan dengan peradilan adat dan
dibentuk badan peradilan tersendiri. Peneliti dalam hal ini berpendapat
bahwa pada dasarnya tidak meniadakan unsur pidana bagi pelaku namun
untuk tindak pidana tertentu misalnya yang melibatkan anak-anak
seharusnya perdamaian menyebabkan pelaku yang masih anak-anak tidak
dijerat dengan hukum atau tidak berurusan dengan pengadilan yang akan
menyebabkan anak tersebut dicap sebagai pelaku tindak pidana.
Hal ini dapat mendukung berkurangnya jumlah anak-anak yang
ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan
mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat
berguna kelak di kemudian hari. Mediator dalam musyawarah pada
perkara dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika
433
kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru.
Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya
pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta
keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui
muyawarah pemulihan, setelah itu proses peradilan baru berjalan. Dalam
proses peradilan harus berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu
proses yang dapat memulihkan, artinya perkara tersebut benar-benar
ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyai niat, minat,
dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan
restorative justice serta apabila tindakan penahanan harus dilakukan
sebagai pilihan terakhir maka pelaksanaannya harus dengan
mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-Hak Anak
yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi
penal” seperti yang diuraikan di atas.
Penyelesaian di luar pengadilan berdasar Pasal 82 KUHP di atas
belum menggambarkan secara tegas adanya kemungkinan penyelesaian
damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah
pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan ”sarana
pengalihan/diversi” (means of diversion)” untuk dihentikannya
penuntutan maupun penjatuhan pidana. Pasal 82 KUHP merupakan
alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti
rugi/kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar
434
denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan
memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan
menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan
pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada
kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.
Kemungkinan lain terlihat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM
(yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk melakukan mediasi
dalam kasus pelanggaran HAM (dalam Pasal 1 ke-7, Pasal 76 ayat (1),
Pasal 89 ayat (4), dan Pasal 96). Namun tidak ada ketentuan yang secara
tegas menyatakan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat
dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4)
Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi
rekomendasi kepada Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian pula tidak ada ketentuan
yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya mediasi oleh
Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan.
Di dalam Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan
mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
Peneliti dalam hal ini memandang bahwa dari setiap tahapan penanganan
tindak pidana tahapan di kepolisian merupakan tahap awal dan masih
merupakan tahapan penyidikan sehingga dalam hal ini belum ada
kepastian mengenai pihak yang melakukan suatu tindak pidana dan
435
belum dapat dipastikan siapa yang bertanggung jawab untuk memberikan
penggantian kerugian. Jika dilihat dari hal ini maka pada dasarnya
pengadilan merupakan tempat paling efektif untuk melakukan
perdamaian dan ganti kerugian digabungkan dalam putusan pidana yang
dijatuhkan oleh hakim. Namun, apabila dalam tahap penyidikan, pelaku
sudah mengakui kesalahannya dan aparat kepolisian meyakini bahwa
pengakuan tersebut adalah benar adanya, bukan rekayasa, maka tempat
paling efektif adalah di kepolisian. Berdasarkan apa yang telah
diterangkan sebagaimana konteks di atas dapatlah disebutkan tentang
aspek-aspek perlindungan Hak Asas Manusia dalam pelaksanaan mediasi
penal sebagai berikut:
1. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dari
perspektif pengkajian Asas, Norma dan Praktik eksistensi hasil
penelitian di tingkat penyidikan tindak pidana lalulintas di daerah
hukum Polda Jateng sebesar 85,84% menyebutkan antara “ada” dan
“tiada”. Dikatakan “ada” oleh karena ternyata praktik mediasi penal
telah dilakukan oleh penegak hukum (penyidik tindak pidana
lalulintas di jajaran Polda Jateng) atas permintaan para pihak yang
terlibat dalam kecelakaan lalu lintas karena mereka telah melakukan
musyawarah untuk mufakat dan kemudian membuat perdamaian,
masyarakat Indonesia (khususnya Jawa Tengah) dan penyelesaian
tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme
lembaga adat (perdamaian). Dikatakan “tiada” dikarenakan mediasi
penal dalam ketentuan Undang-Undang tidak dikenal dalam Sistem
436
Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah Undang-Undang
dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan
sifatnya parsial. Pada tataran di bawah Undang-Undang penyelesaian
perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat
Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar
Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. Kemudian dalam Inpres No. 8 Tahun
2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur
yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum
kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
2. Pengkajian terhadap dimensi praktik penyelesaian perkara di luar
pengadilan melalui dimensi mediasi penal (penal mediation) dari
perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia dilakukan melalui
diskresi oleh penegak hukum, dilakukan masyarakat Indonesia dan
penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui
mekanisme lembaga adat (perdamaian). Dimensi kearifan lokal
hukum adat yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan
religius serta sesuai dengan sila kedua dan kelima dari Pancasila
dalam praktik sosial pada masyarakat Indonesia, lembaga mediasi
penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi antara lain pada
437
masyarakat melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial.
Dengan demikian proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh
aparatur negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai
akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah tercapai.
3. Eksistensi mediasi penal saat ini dilakukan melalui diskresi penegak
hukum sehingga untuk masa mendatang diperlukan adanya
pengaturan secara limitatif terhadap perkara-perkara yang dapat
dilakukan melalui mediasi penal khususnya terhadap perkara yang
sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku
anak serta perkara kecelakaan lalu lintas sehingga kedepan di satu
sisi diharapkan dapat menekan penumpukan perkara ke badan
peradilan sedangkan di sisi lainnya diharapkan tidak terjadi adanya
penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dari para pihak yang
terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana.
4. Akibat dikenal dan diterapkannya mediasi penal maka telah terjadi
pergeseran paradigma yaitu ada sifat hukum privat ke dalam ranah
hukum publik. Oleh karena itu, hendaknya diperlukan alternatif yang
relatif paling baik terhadap tahap dan proses mediasi penal tersebut
dilakukan apakah di tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan
ataukah di setiap tingkat atau proses dari Sistem Peradilan Pidana.
B. MODEL REKONSTRUKSI PERDAMAIAN DALAM
MELAKSANAKAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT
438
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS
BERDASARKAN HUKUM PROGRESIF
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Dirlantas Polda
Jawa Tengah,301 diperoleh keterangan bahwa rekonstruksi perdamaian
dalam melaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak
pidana lalu lintas berdasarkan hukum progresif adalah tetap mengacu
pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tanpa berbicara salah dan benar,
namun mengedepankan sisi manusiawi.
Menurut Dirlantas Polda Jawa Tengah,302 rekonstruksi
perdamaian dalam tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas sudah
didasarkan pada hukum progresif dan harus tetap berpegang pada hukum
progresif secara acuannya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres
Demak,303 diperoleh keterangan bahwa pola ideal dalam penyidikan
tindak pidana lalu lintas untuk masa yang akan datang sehingga dapat
diterima oleh semua pihak adalah menggunakan pola restorative justice
sebagai wujud perkembangan hukum modern, tidak memerlukan waktu
lama, praktis dan dapat memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi
pihak-pihak yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan atau keluarganya.
301 Wawancara dengan Dirlantas Polda Jawa Tengah, pada tanggal 26 November
2013302 ibid303 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Demak, pada tanggal 3 Desember 2013
439
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasatlantas Polres
Banyumas,304 diperoleh keterangan bahwa pola ideal penyelesaian tindak
pidana lalu lintas untuk masa yang akan datang yang didasarkan pada
konsep perdamaian sebagai perwujudan restorative justice berdasarkan
hukum progresif adalah:
1. Tetap menggunakan Pola Restorative Justice dimana tidak semua
Kasus Pidana diproses sampai ke Pengadilan (Disversi) sebagai
wujud perkembangan hukum Modern. Namun demikian bila tidak
bisa ada alternatif lain yakni menggunakan Hukum Progresif. Dalam
kasus kecelakaan lalu lintas Hukum Progresif dan Restorative Justice
bisa digunakan bersama-sama dan atau sendiri-sendiri tergantung
kepada kesepakatan mereka yang berperkara;
2. Perlu disarankan kepada pakar hukum agar dapat mewujudkan aturan
hukum yang simpel/praktis namun tetap mengedepankan nilai-nilai
keadilan dan kemanfaatan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya
304 Wawancara dengan Kasatlantas Polres Banyumas, pada tanggal 9 Desember
2013
440
Sedangkan alasan dicabut laporannya karena perkara sudah dapat
diselesaikan secara musayawarah mufakat/kekeluargaan/perdamaian
belum termasuk dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP tersebut, sehingga
pasal tersebut perlu direkonstruksi, yang dimasukkan dalam pasal
tersebut yang berbunyi “Dalam hal telah terjadi perdamaian antara
pelaku/pembuat dan korban tindak pidana, maka dapat dijadikan
pertimbangan bagi penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dinyatakan bahwa:
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti
Untuk kepentingan menghentikan proses penyidikan, tidak ada
lagi alasan lain selain alasan tidak terdapat cukup bukti sebagaimana
tersebut di atas, alasan telah dicabut laporannya karena perkaranya sudah
dapat diselesaikan secara musayawarah
mufakat/kekeluargaan/perdamaian belum masuk dalam substansi Pasal
441
260 ayat (1) hurug g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut,
sehingga dalam hal ini pasal tersebut perlu untuk direkonstruksi. Adapun
ketentuan yang harus direkonstruksi tersebut adalah adanya penambahan
yang dimasukkan dalam Pasal 260 ayat (1) huruf g yang selengkapnya
nanti berbunyi “menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti
dan/atau dalam hal telah terjadi perdamaian antara pelaku/pembuat dan
korban tindak pidana, maka dapat dijadikan pertimbangan bagi penyidik
untuk menghentikan penyidikan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 260
ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pelaksanaan
perdamaian belum termuat dalam kedua pasal tersebut, maka perlu
diadakan rekonstruksi terhadap kedua pasal tersebut dengan
menambahkan keterangan “dalam hal telah terjadi perdamaian antara
pelaku/pembuat dan korban tindak pidana, maka dapat dijadikan
pertimbangan bagi penyidik untuk menghentikan penyidikan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
Diskresi memberikan kesempatan serta sebuah kebebasan bagi
penegak hukum dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan
oleh pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan, konteks
pembahasannya lebih memperhatikan bagaimana seseorang petugas
secara individu atau kelompok yang punya wewenang dalam menangani
suatu kasus untuk menggunakan kebijakan sendiri dalam suatu situasi
yang terjadi untuk melakukan atau tidak melakukan. Secara sederhana,
442
diskresi menunjukan kebebasan kekuasaan untuk membuat keputusan
dengan mempertimbangkan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan
keadilan semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana,
dalam hal ini pidana merupakan ultimum remidium atau sebagai sarana
terakhir. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragik (sesuatu yang
menyedihkan), sehingga hukum pidana dikatakan “sebagai mengiris
dagingnya sendiri atau pedang bermata dua”, artinya bahwa hukum
pidana yang melindungi benda hukum (nyawa, harta, benda,
kemerdekaan, kehormatan) dalam pelaksanaannya, ialah apabila ada
pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengadakan
perlukaan terhadap benda hukum si pelanggar sendiri. Sehingga dalam
menanggapi hal tersebut bahwa sebagai alat “social control” fungsi
hukum pidana adalah subsider, artinya hukum pidana hendaknya baru
diadakan, apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
Prakteknya pertimbangan atau pilihan diskresi banyak dipaksakan
tidak hanya oleh aturan formal yang ada tapi juga oleh desakan ekonomi,
sosial dan politik yang terjadi atas pilihan yang ada. Desakan-desakan
tersebut menjadi alasan penyidik menetapkan kebijakan akan tetapi
kebijakan yang ditetapkan tidak membuat pelanggaran atas norma-norma
hukum lain atau hak-hak yang semestinya dipenuhi. Alasan tersebutlah
yang menjadi salah satu hal penting yang sesuai dengan point-point dan
pembuat kebijakan diskresi untuk membuat prosedur dan metode
kerjanya juga. Oleh karena itu diskresi berjalan pada semua bagian dari
443
pembuat Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dan
berhubungan dengan pengontrolan aparat.305
Satjipto Rahardjo dalam perkembangan di dunia pendidikan tinggi
hukum mempunyai suatu sumbangsih akan kepenegakan hukum di
Indonesia ini sangat memprihatinkan, hal tersebut menimbulkan suatu
gagasan yang cukup bagus dalam kepenegakan hukum oleh aparat
penegak hukum melalui hukum progresifnya, menurutnya, “hukum tidak
mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum peraturan perUndang-
Undangan, tetapi hukum juga bergerak pada aras (landasan) non-
fornal”.306
Dari teori tersebut memposisikan hukum progresif pada suatu
tataran refleksi akan kepenegakan hukum di Indonesia yang sangat kental
dengan sebuah peraturan yang bersifat kaku serta belum bisa menjamin
akan suatu keadilan yang merupakan dasar dari tujuan hukum. Dalam
hukum progresif, mendahulukan kepentingan manusia lebih diutamakan
daripada menafsir serta mencermati hukum dari sudut “logika dan
peraturan”. “Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan
sistem hukum modern yang sarat dengan prosedur, sehingga sangat
berpotensi meminggirkan kebenaran dan keadilan”.307
305 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
USU Press, Medan, 2010, hlm. 6306 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 10-11307 Ibid, hlm. 12
444
Selain dalam hukum progresif, dalam mengefektifkan kinerja dari
aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, hukum
responsif juga merupakan suatu terobosan yang baik dan sangat relevan
jika diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum
terhadap masyarakat. Peraturan perUndang-Undangan sebagai acuan
dasar bagi penegak hukum tidak selamanya benar dan dapat
mengakomodir berbagai kepentingan yang ada dimasyarakat dalam
mencita-citakan rasa adil dari hukum itu sendiri. Selama ini masyarakat
merasa belum mendapatkan pelayanan dari rasa aman serta keadilan
sosial yang sangat didamba-dambakan Polisi selaku aparat penegak
hukum yang selalu berbaur dengan masyarakat.
Hal itu terjadi karena penyidik merasa terbatasi langkahnya
dengan suatu sistem yang formal serta sangat prosedural dari suatu
peraturan, kebijakan dan prosedur dari penguasa yang lebih
mengedepankan proses hukum serta kepastian hukum yang membabi
buta, akan tetapi proses hukum tersebut kerapkali ditumpangi dengan
suatu kepentingan dari penguasa serta ajang untuk balas dendam. Dari
permasalahan tersebut diketahui bahwa kebanyakan peraturan, kebijakan
dan prosedur dari penguasa kerapkali dibuat sebagai alat atau tunggangan
untuk mewujudkan kepentingan penguasa yang mengatasnamakan
Negara tanpa melihat kepentingan rakyat di dalamnya untuk
mendapatkan wujud keadilan sosial.
Sejumlah peraturan, kebijakan, dan prosedur memang dianggap
penting dan dapat digunakan, di samping itu peraturan-peraturan tersebut
445
mungkin tetap dijunjung tinggi serta dihormati keberlakuannya di
masyarakat, namun hal tersebut hanya berjalan sampai pada tataran
penghayatan serta penafsiran beberapa peraturan yang berisikan suatu
ide-ide serta kaidah-kaidah tertentu yang bersifat kaku, akan tetapi tidak
mendefinisikan akan suatu tatanan hukum yang baik dalam memberikan
rasa adil dalam masyarakat sebagai pencari keadilan, dari hal tersebut
fungsi yang menjadi ciri dari hukum responsif Philippe Nonet dan Philip
Selznick adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan. “Ketika nilai-nilai ini diartikulasi, nilai-nilai
tersebut menawarkan kriteria-kriteria otoritatif untuk mengkritisi
peraturan-peraturan yang ada dan bersifat kaku tersebut”.308 Hal tersebut
berimbas penegakan hukum yang salah satu kewenengannya dimiliki
pada instansi Kepolisian, dari peraturan yang bersifat kaku tersebut
menjadikan mindset aparat penegak hukum juga menjadi hanya terpatok
pada peraturan yang menjadi suatu tertib hukum bagi masyarakat.
Fungsi dari peraturan tersebut bagi aparat penegak hukum
sangatlah mengekang dalam pelaksanaan kewenangan serta tugas yang
dimilikinya. Dari peraturan tersebut merupakan rangkuman dari suatu
tertib hukum yang bersifat dogmatis. Hal tersebut apabila sebuah
peraturan yang wajib dijalankan oleh aparat penegak hukum malah
menimbulkan suatu pertentangan dalam penggunaan diskresi penyidik,
karena dalam penggunaan diskresi penyidik tersebut kewenangannya
308 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung,
2011, hlm. 90
446
tidak dapat dibatasi meskipun dengan penilaiannya sendiri, akan tetapi
penggunaannya harus didasari oleh rasa bertanggung jawab dan tidak
bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik demi tercapainya
tujuan hukum bagi masyarakat.
Dalam suatu tertib hukum yang terpusat pada peraturan (rule
centered legal order), pertimbangan sering beralih dari peraturan ke
tujuan, hal tersebut dirasa penting karena dapat mengurangi interpretasi
tekstual yang sewenang-wenang, untuk mengekang aparat supaya tidak
bertindak ultra viresi, melampaui batas-batas kewenangan yang
dimiliki.309
Kepolisian selaku aparat penegak hukum mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam menegakan hukum di masyarakat. Dalam hal
ini, hukum progresif dan reponsif merupakan suatu bentuk landasan,
doktrin dari para ahli hukum bagi aparat penegak hukum dalam
melakukan suatu tindakan diskresi penyidik sebagai pejabat publik dan
menentukan keefektifan serta pemberi rasa keadilan di masyarakat yang
berdasarkan atas suatu kearifan (wisdom) guna melaksanakan tugas
pemolisian sehari-hari disamping tugasnya dalam menanggulangi
kejahatan di masyarakat. Seperti dijelaskan di atas, gagasan hukum
progresif serta hukum responsive dari para ahli hukum tersebut muncul
dikarenakan kepercayaan masyarakat akan buruknya kinerja aparat
penegak hukum. Kaitannya dengan itu, posisi hukum progresif dan
hukum responsif bukan merupakan suatu peraturan yang wajib ditaati
309 Ibid, hlm. 91
447
oleh aparat penegak hukum, akan tetapi sebuh doktrin atau sumbangsih
pemikiran dari para ahli hukum yang dapat menjadikan pedoman dalam
melaksanakan tugas dan kewenangan untuk memberikan rasa nyaman,
keadilan serta kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Bagi Kepolisian selaku instansi dari Negara yang mempunyai
fungsi penegakan hukum, pelayanan, pengayoman serta pembimbingan
kepada masyarakat, sorotan dan kecaman masyarakat sudah termasuk
makanan sehari-hari bagi mereka. Itu disebabkan Polisi adalah birokrasi
penegak hukum yang berada langsung di tengah-tengah masyarakat,
ibarat bekerja ”tanpa sarung tangan” dan “tidak belakang loket”. Ia
adalah penegak hukum jalanan yang harus membereskan sekalian kotoran
dalam masyarakat.310
Dari tugas yang dilakukan polisi tersebut merupakan tugas yang
sangat berat diemban oleh polisi sebagai penjaga pintu gerbang dalam
proses gate keeper in the process di luar tugas aparat penegak hukum
lainnya, yang diantaranya adalah jaksa sebagai penuntut umum dan
hakim sebagai pengadil dari suatu perkara pidana. Dari tugas Kepolisian
tersebut banyak terjadi suatu keadaan yang menurut Undang-Undang
harus diproses, akan tetapi karena kekakuan Undang-Undang tersebut
malah menimbulkan efek dan dampak baru yang negatif apabila polisi
310 Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang, 2009, hlm. 96
448
melaksanakan peraturan perUndang-Undang secara kaku tersebut di
tengah masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, polisi selalu
bercengkrama dan kontak langsung dengan masyarakat sebagai obyek
dari tugas pemolisian, sesuai penjelasan di atas dinyatakan bahwa dimana
ada masyarakat di situ ada polisi yang bertugas untuk menjaga ketertiban
dan keamanan di trngah masyarakat dari segala bentuk kejahatan mulai
dari antisipasi atau pencegahan sampai kepada penindakan terhadap suatu
kejahatan. Dalam tugasnya sehari-hari tersebut polisi dirasa sangat
dibutuhkan masyarakat di segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara akan tetapi kadang ditemukan suatu bentuk
penyimpangan dari seorang oknum polisi dari mulai penyuapan sampai
makelar kasus pidana yang terjadi. Dari hal tersebut, diskresi kadang
dianggap tidak melindungi kepentingan umum atau kepentingan
masyarakat, akan tetapi melindungi kepentingan orang-orang yang
berpenghasilan tinggi dalam melancarkan tujuannya untuk mendapatkan
kekebalan hukum yang dimana hal tersebut sangat tidak sepaham dengan
asas equality before the law, yang dimana mempunyai pengertian setiap
orang atau warga Negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan
hukum.
Asas equality before the law tersebut merupakan penerapan dari
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV
secara eksplisit menyebutkan: setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan
449
yang sama di hadapan hukum. Disamping dalam Pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV, perlakuan yang sama di
depan hukum juga terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang dimana dijelaskan bahwa perlakuan yang sama atas diri
setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan
perlakuan. Dari penjelasan KUHAP tersebut tersirat sebuah asas yaitu
equality before the law (persamaan di depan hukum bagi semua manusia)
yang diwajibkan untuk didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup
bangsa dan dasar Negara, di samping itu asas tersebut juga mengatur
perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia.
Penegasan dari Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV serta penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana tersebut tersirat bahwa setiap orang tidak
ada yang kebal terhadap hukum, maka dari itu perlu kesadaran serta
profesionalisme aparat penegak hukum (law enforcement) dalam
menegakkan hukum dengan moralitas serta integritas yang baik dan
bernurani, bukan semata-mata kendali dari masalah financial
menyebabkan keadilan tergadaikan dan tak ada artinya lagi di mata
masyarakat. Disamping itu asas equality before the law secara filosofis
merupakan perwujudan dari sosok Dewi Themis dalam mitologi Yunani
Kuno dalam peradaban Romawi sebagai dewi justitia (dewi keadilan)
yang tergambar dalam seorang sosok dewi dengan mata tertutup serta di
450
tangan kanannya membawa pedang dan di tangan kiri membawa
timbangan, yang bermakna dalam menegakkan hukum tidak boleh
membeda-bedakan setiap orang dalam penegakannya.
Perlakuan yang sama di depan hukum tanpa adanya diskriminasi,
tidak saja tertera dalam penjelasan umum KUHAP, tetapi juga tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bagian
menimbang. Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai
diskriminasi tersangka berdasarkan status sosial atau kekayaan an sich,
tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna
kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran dan lain-
lain. Sebagai menifestasi dari asas equality before the law serta Dewi
Themis tersebut, seorang aparat kepolisian khususnya Penyidik dalam
fungsinya pada Sub Penyidikan Sistem Peradilan Pidana tidak boleh
membeda-bedakan setiap orang dalam menegakkan hukum yang berlaku
di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan tindakan diskresi
oleh penyidik terhadap semua orang yang berada dalam wilayah
yurisdiksi Negara Kesatuan Indonesia dengan memperhatikan aspek
kebaikan, kemaslahatan, keadilan di dalamnya serta memperhatikan jenis
delik serta kategori jenis pidana yang dilakukan, dengan demikian maka
tidak terdegradasi pula fungsi pemidanaan sebagai pencegahan terjadinya
suatu kejahatan dan pemberian nestapa bagi pelaku kejahatan dengan
memandang hak asasi manusianya.
451
Menurut Marlina,311 diskresi dapat diaplikasikan dalam bentuk
yang positif, banyak alasan dan pertimbangan petugas merupakan salah
satu point diskresi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
keseimbangan antara ketidakseragaman dan individualisasi dari
hukuman. Sedangkan belajar dalam aspek negatif, dari diskresi adalah
adanya keinginan untuk memikirkan aspek positif dan negatif ketika
melihat konsep dari kemurahan hati (mercy) yaitu perasaan kasihan atau
ketabahan dalam menentukan kebijakan.
Dari pandangan tersebut terhadap aspek positif dan negatif
merupakan suatu dampak yang timbul dalam melakukan suatu tindakan
diskresi dalam proses penegakan hukum, di satu sisi seorang aparat
penegak hukum menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum
bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara ketidakseragaman dan
individualisasi hukuman, karena hal tersebut dikarenakan suatu perkara
yang dilakukan sangat variatif dan harus dilakukan suatu penanganan
yang beda pula serta bersifat individualisasi dalam hukumannya. Akan
tetapi hal tersebut beda dan bisa menimbulkan suatu dampak negatif
apabila penanganannya serta dalam pelaksanaan diskresi tersebut hanya
terpaku pada aspek rasa belas kasih atau perasaan kasihan, hal tersebut
dapat menimbulkan kesenjangan sosial bagi sesama pelaku kejahatan
yang dimana dari aspek ketidakseragaman tersebut menyebabkan
kecemburuan dalam penanganan suatu perkara untuk dilakukannya
langkah diskresi oleh penyidik.
311 Marlina, 2010, Op. Cit, hlm. 6
452
Niger Walker memberikan pendapat bahwa kemurahan hati
merupakan sesuatu yang berbeda pengertiannya dengan kelonggaran.
Niger beranggapan kelonggaran dalam penghukuman seperti alasan
retributif memberi kesan bahwa kesalahan pelaku tidaklah sebesar
keburukan akibat pelanggaran itu. Ketika pelaku dinyatakan bersalah
secara penuh tetap harus dipikirkan kemungkinan penderitaan baginya
lebih jauh disamping kesalahan yang diperbuatnya. Selanjutnya Niger
Walker mengemukakan pertimbangan untuk diskresi dalam aturan
Undang-Undang di Inggris telah dikemukakan dalam:
1. Permohonan ampun dan pengakuan atas kesalahan dan jangka waktu
pelaku dalam menyampaikan permohonan tersebut (plea of guilty
and the timeliness of the plea) (terdapat dalam powers of the criminal
courts (sentencing) Act 2000 (PCC (S) A s.152);
2. The totality principle (PCC (S) A 2000 s. 158(2)b) yaitu memastikan
bahwa hukuman yang diberikan tidak melebihi kesanggupan
terhukum dengan berbagai pengecualian melihat sebab khusus
lingkungan seperti kondisi fisik atau mental pelaku. PCC (S) A
2000s. 118) berisi pertimbangan lain yang tidak tertulis seperti
motivasi, godaan, kata hati, ketidaktahuan, ketidak cakapan,
tekanan/paksaan, rasa sesal, sifat yang baik sebelumnya atau jasa
yang diperbuat sebelumnya.312
Dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, menurut
Gustav Radbruch hukum dituntut untuk memenuhi tiga ranah
312 Ibid, hlm. 7
453
keberlakuan yang disebut dengan triadism.313 Radbruch mengatakan
bahwa “The idea of law is defined through a triad of justice, utility and
certainty.314 Dari ketiga nilai dasar tersebut yang dimana telah dijelaskan
oleh Radbruch memiliki hubungan atau keterikatan satu sama lain. Dari
nilai-nilai yang di katakan Radbruch dimensi tujuan hukum terletak
kehendaknya menjadikan keadilan sebagai inti (core) dari tata hukum,
tujuan Radbruch dengan proposal keadilannya itu adalah untuk menjamin
agar tata hukum benar-benar berfungsi sebagai penjamin kehidupan dan
martabat manusia.315 Menurut Radbruch dijelaskan bahwa:
”....where statutory law is incompatible with the requirements of
justice "to an intolerable degree", or where statutory law was
obviously designed in a way that deliberately negates "the
equality that is the core of all justice", statutory law must be
disregarded by a judge in favour of the justice principle”.316
Berdasarkan pendapat Radbruch tersebut, dapat dikatakan bahwa
seorang penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan hakim,
313 Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem Peradilan Pidana
Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paper disampaikan di Polda Jawa Tengah,
Semarang, 1 Desember 2010, hlm. 7314 Ibid315 Bernard L.Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. 65316 http://en.wikipedia.org/wiki/Gustav_Radbruch
454
dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory law/state law) apabila
hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi rasa
keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.317
Dari makna kata tersebut dapat diartikan bahwa apabila peraturan
perUndang-Undangan tidak sesuai dengan persyaratan keadilan "untuk
tingkatannya yang amat berat, atau dimana peraturan perUndang-
Undangan jelas dirancang dengan cara yang sengaja meniadakan
kesetaraan yang merupakan inti dari semua keadilan, peraturan
perUndang-Undangan harus dikesampingkan oleh penegak hukum guna
mendukung prinsip keadilan. Wajah buruk pranata hukum di Indonesia
sebagaimana yang terjadi pada saat ini mengindikasikan bahwa polisi
selaku aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas serta
wewenangnya untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan suatu
perkara pidana lebih menitikberatkan pada aspek dogmatika atau
statutory law bahkan seringkali Polisi hanya bertugas untuk menjadi
penegak Undang-Undang yang berakibat pada penciptaan keadilan
formal belaka di dalam proses penegakan hukum, hal tersebut
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada penegakan hukum
yang dilakukan oleh polisi di masyarakat sehingga menurunkan kualitas
penegakan hukum.
Maka dari itu, dalam penegakan hukum oleh Polisi di samping
aparat penegak hukum juga pejabat publik mempunyai kewenangan
dalam pelaksanaan diskresi dengan menyaring suatu perkara pidana yang
317 Suteki, 2010, Op. Cit, hlm. 7
455
sifatnya ringan sebagai upaya meningkatkan kualitas dalam penegakan
hukum di dalam sistem peradilan pidana serta menciptakan kepercayaan
dari masyarakat kepada Kepolisian selaku institusi penegakan hukum.
Diskresi dapat dilakukan oleh pejabat publik dan dalam praktek apabila
berupa keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan
sasarannya (doelmatigheid) daripada legalitas hukum yang berlaku
(rechtsmatigheid).
Diskresi memiliki tiga syarat antara lain: 1. Demi kepentingan
umum, 2. Masih dalam lingkup kewenangannya, dan 3. Tidak melanggar
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian diskresi
muncul karena terdapat tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai
yang antara lain untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan
menegakkan hukum yang berorientasi pada kebijakan kebijakan hukum
yang berkeadilan dan kemanfaatan hukum.318
Diskresi merupakan suatu bentuk asas yang baik dan dapat
mengakomodir kepentingan masyarakat atau kepentingan umum dalam
hal untuk mencari suatu bentuk rasa keadilan sosial dari seorang aparat
penegak hukum. Fenomena yang berkembang pada saat ini adalah
dirasakan telah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu
pranata hukum serta adanya justifikasi terhadap pranata hukum yang
tidak baik atau gagal dalam menjalankan tugasnya. Maka dari itu diskresi
ini merupakan suatu bentuk langkah kongkrit dalam pencerahan
318 Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty dalam
Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 8
456
penegakan hukum di Indonesia, karena dalam kaitan dengan tugas dan
kewajibannya selaku penyidik mempunyai kebebasan dalam menyaring
suatu perkara pidana berdasarkan penilaiannya sendiri untuk kepentingan
umum, akan tetapi kebebasan tersebut juga dilandaskan akan asas
pemerintahan yang baik serta bebas korupsi, kolosi dn nepotisme, tidak
bertentangan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian yang tercantum dalam
Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011, serta mengedepankan aspek
keadilan sosial bagi masyarakat.
Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan
bagian dari proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap
mudah dan sederhana. Begitu pula dalam mewujudkan masyarakat
madani, tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ketika
penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat
pembuktiannya sangat sulit dan kompleks, tidak mustahil produk putusan
pengadilan yang dihasilkan pun dapat berakibat keliru atau tidak tepat.
Apabila hal tersebut terjadi, maka akan membawa dampak terhadap
proses penegakan hukum yang dapat mencederai rasa keadilan bagi pihak
yang terkait atau masyarakat tertentu. Akibatnya muncul gelombang
perasaan ketidakpuasan masyarakat yang berpuncak pada reformasi
hukum. Sejalan dengan asas yang dianut dalam hukum acara pidana,
yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum asas ini
lebih dikenal dengan istilah isonamia atau equality before the law. Secara
universal prinsip atau asas tersebut diakui sebagai perwujudan dari suatu
negara hukum (rechstaat), dan Indonesia sebagai negara hukum
457
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, pengakuan prinsip tersebut menggambarkan bahwa Indonesia
menjunjung tinggi akan hak-hak asasi manusia.
Dalam situasi hukum perUndang-Undangan yang elitis demikian,
maka apabila penerapan hukum perUndang-Undangan dilakukan dengan
menggunakan konsep hukum sebagaimana yang dipahami dalam tradisi
berpikir legal-positivism yang memandang hukum hanya sebatas pada
lingkaran peraturan perUndang-Undangan dan yang melakukan
pemaknaan perUndang-Undangan secara formal-tekstual; dengan
mengabaikan nilai-nilai sosial dalam masyarakat, maka yang akan terjadi
adalah hukum yang mengabdi kepada kepentingan elit, bukan kepada
kepentingan masyarakat luas, sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan
keadilan akan semakin jauh dari apa yang diharapkan. Apabila negara
hukum (rechstaat) itu sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum
sebagai negara Undang-Undang dan negara prosedur, maka negeri ini
sedang mengalami kemerosotan serius.319 Untuk itu, penerapan hukum
memerlukan adanya konsep hukum lain, yang lebih memungkinkan
pencapaian tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Konsep hukum progresif, yang memaknai hukum untuk manusia
dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, merupakan
319 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif “Terapi Paradikmatik
Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia, Antonylib, Yogyakarta, 2009, hlm. vi
458
alternatif yang dapat dipergunakan dalam penerapan hukum, yang lebih
memungkinkan untuk mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan
Pemahaman terhadap konsep hukum progresif tidak terlepas dari
kondisi pemikiran hukum yang melatarbelakangi lahirnya hukum
progresif. Pemahaman hukum menurut hukum progresif menegaskan
bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.320 Dalam konsep hukum progresif, posisi manusia menjadi
sentral utama dalam menilai hukum apakah baik atau buruk, benar atau
sebaliknya.
Kebutuhan masyarakat terhadap peran hukum dalam memberikan
kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan semakin jauh dari
kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak
terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak di
khalayak ramai namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan
menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif.
Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga
hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam setiap persoalan yang
menimpa bangsa ini. Sungguh sangat ironis bagi negara yang
mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum
karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.
320 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2
459
Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat
yang terus berubah, pada kenyataannya paradigma tersebut memunculkan
sebuah stagnasi di abad 20 saat tidak mampu memberikan solusi dalam
zaman postmodernisme.321 Implikasinya ketika manusia dalam setiap
proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan
kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut
(hukum harus responsif). Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar
antara hukum progresif dengan hukum positivis yang selama ini
diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu tertinggal jauh
terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif
lebih membuka diri dan respon terhadap perubahan dan tidak terikat pada
hukum tertulis. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan
persoalan kemanusiaan.322 Dengan demikian peran hukum lebih
menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan
kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya
mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan
yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak
boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-
nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan
masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak
321 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia & Hukum, Buku Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 137322 A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di
Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007, hlm. 52
460
dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan
bernegara.
Mengingat ketentuan hukum yang selalu tertinggal dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat maka menjadi kaharusan bagi
hakim untuk melakukan kajian hukum secara komprehensif yang disebut
penafsiran hukum. Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum
dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang
heteronom dan teori penemuan hukum yang otonom.323 Teori penemuan
hukum heteronom menempatkan hakim sebagai corong Undang-Undang
(la bouche de la loi) sedangkan teori penemuan hukum otonom
menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan
mengaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat. Perbedaan yang
mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim
terikat pada ketentuan hukum tertulis.
Dalam bahasa yang hampir sama Van Apeldoorn menjelaskan
bahwa hakekat dari kegiatan penafsiran itu sebagai suatu usaha mencari
kehendak pembuat Undang-Undang yang pernyataannya kurang jelas.
Fungsi dari penafsiran hukum pada dasarnya ada 4 (empat) yaitu sebagai
berikut:324
1. Untuk memahami makna asas atau kaidah hukum,
323 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.19324 Bagir Manan, “Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, Tahun
XXIV, No. 285 Agustus, 2009, hlm. 5
461
2. Menghubungkan suatu fakta hukum dengan kaidah hukum,
3. Menjamin penerapan atau penegakan hukum yang dapat dilakukan
secara tepat, benar dan adil
4. Mempertemukan antara kaidah hukum dengan perubahan-perubahan
sosial agar kaidah hukum tetap aktual mampu memenuhi kebutuhan
sesuai dengan perubahan masyarakat.325
Penggunaan penafsiran sebagai pengaruh perkembangan
masyarakat pada dasarnya membuka peluang bagi hakim untuk
melakukan penemuan hukum secara progresif. Hakim tidak hanya
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tetapi juga mengikuti
perkembangan penghayatan nilai-nilai tersebut di masyarakat. Di sinilah
titik temu antara penemuan hukum dengan hukum progresif yang
memberikan kemudahan serta kemungkinan bagi hakim untuk
menghasilkan berbagai terobosan baru dalam memutus perkara.
Pandangan tersebut juga ditegaskan oleh Harifin A. Tumpa dengan
mengatakan hukum itu sangat luas dan kompleks, karena mengikuti
seluruh segi kehidupan manusia dalam masyarakat. Hukum itu tidak
pernah berhenti berkembang sejalan berkembangnya kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, seorang hakim tidak boleh ketinggalan
dan selalu harus mengikuti perkembangan hukum itu …. dst, tetapi hakim
325 Ibid
462
harus mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat tersebut.326
Dalam hal inilah hakim menjalankan perannya sebagai lembaga
yudisial dengan melakukan penafsiran hukum terhadap aturan yang ada
untuk menghasilkan aturan hukum sebagai dasar untuk mengadili.
Dengan adanya kebebasan untuk melakukan penafsiran, maka hakim
dapat juga melakukan penemuan hukum di dalam setiap penafsirannya.
Dari kata “penemuan hukum” secara implisit menunjukkan adanya
hukum yang telah berlaku dalam masyarakat, tetapi belum diketahui
secara jelas sehingga dibutuhkan usaha untuk mendapatkannya.
Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut oleh
negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk
legislasi. Hukum adalah peraturan perUndang-Undangan yang dihasilkan
melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena
telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan, tanpa
melihat apakah isinya memuat nilai-nilai keadilan atau tidak. Dalam
sistem ini, pelaku hukum (hakim dan birokrasi), sebagaimana doktrin
dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai terompet atau
corong Undang-Undang.
Penggunaan pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum
perUndang-Undangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan
(ketidakadilan ekonomi) dan kemiskinan semakin meluas, sebab
326 Harifin A. Tumpa,” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”, Varia
Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September, 2010, hlm. 6
463
kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan neoliberalisme, akan
menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan
cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani
manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya
untuk mengabdi pada masyarakat. Inilah hukum progresif, yang
menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.
Hukum progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global
sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama
untuk melakukan perbaikan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati
dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini.
Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi utama dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum. Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak
mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di
luar dirinya. Ini berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang
cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan
kesejahteraannya.327
Dalam pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki
kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam hal hubungan manusia,
termasuk keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang
327 Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif”, Makalah Seminar
Nasional I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum
Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007
464
menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks
ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris
(membebaskan). Hukum progresif yang menghendaki pembebasan dari
tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran Roscoe
Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan
cara-cara yang paling baik untuk memajukan atau mengarahkan
masyarakat.328
Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat
perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan
Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih
Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang
Negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui
putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri,
bertentangan dengan konstitusi Amerika.329
Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya
pengangkatan suatu moralitas ke dalam bentuk perUndang-Undangan
Amerika. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari
pada teks aturan, maka diskresi mempunyai tempat yang penting dalam
penyelenggaraan hukum. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara
hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus
328 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16329 244 Jurnal Hukum No. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 – 248
465
bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan
resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam
menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari
pada ketentuan-ketentuan formal selain itu diskresi merupakan faktor
wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan
mengutamakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak. Diskresi
dilakukan karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas
sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial.330
Oleh karena itu kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan
kreatif, sangat diperlukan untuk memandu pemaknaan yang kreatif
terhadap aturan-aturan yang demikian itu. Penerapan hukum progresif,
yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan
akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi,
yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan
kesejahteraan rakyat banyak. Pintu masuk bagi penerapan hukum
progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah
diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum
dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.331 Ini berarti bahwa hakim
tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi
330 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm.
79331 Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
466
bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas
hakim menjadi sangat menentukan.
Dalam pelaksanaan kontrak, menunjukkan bahwa pengadilan di
Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas pacta sunt servanda
dari pada asas iktikad baik. Mengedepankan asas pacta sunt servanda,
berarti mengedepankan isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara
formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh
pengadilan diberlakukan sebagai Undang-Undang bagi para pihak. Ini
merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang
hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formal tekstual,
yang mengabaikan keadilan. Namun belakangan, sikap pengadilan
Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad
baik.
Mengedepankan iktikad baik, berarti pengadilan tidak lagi
terbelenggu untuk mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat
pada nilai-nilai kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini
merupakan gambaran bahwa dalam memutus sengketa pelaksanaan
kontrak, pengadilan Indonesia, telah bergeser menjadi progresif.
Dengan demikian tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus
didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum di kalangan para
penegak hukum terutama para hakim. Apabila para hakim, sudah tidak
lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan
hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan
467
menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perUndang-Undangan
yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.
Hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Bila rakyat adalah
untuk hukum, apapun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis
karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-Undang. Seorang hakim
bukan hanya teknisi Undang-Undang tetapi juga makhluk sosial.
Pekerjaan hakim sungguh mulia, karena ia bukan hanya memeras otak
tapi juga nuraninya. Sehingga eksistensi hukum progresif bertolak dari
dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan prilaku (rules and
behavior). Hukum ditempatkan sebagai aspek prilaku namun juga
sekaligus sebagai peraturan. Peraturan akan membangun suatu sistem
hukum positif, sedangkan prilaku atau manusia akan menggerakkan
peraturan dan sistem yang telah (akan) terbangun.332
Hukum progresif sebagaimana telah diungkap di atas,
menghendaki kembalinya pemikiran hukum pada falsafah dasarnya yaitu
hukum untuk manusia. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi dari
keberadaan hukum. Karena itu, hukum tidak boleh menjadi institusi yang
lepas dari kepentingan pengabdian untuk mensejahterakan manusia. Para
pelaku hukum dituntut untuk mengedepankan kejujuran dan ketulusan
dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepudian
pada penderitaan yang dialami oleh rakyat dan bangsanya. Kepentingan
rakyat baik kesejahteran dan kebahagiannya harus menjadi titik orientasi
332 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2006, hlm. 265
468
dan tujuan akhir dari penyelenggaraan hukum. Dalam konteks ini, term
hukum progresif nyata menganut ideologi hukum yang pro keadilan dan
hukum yang pro rakyat.333
Paradigma hukum progresif Satjitpto Rahardjo menginginkan
adanya pertalian hukum dengan manusia. Hukum merupakan bagian
integral yang tidak mungkin dilepaskan dari manusia. Hukum harus
berorientasi pada manusia dan tidak sebatas tunduk pada norma-norma
hukum. Kredo yang biasa diucapkan Satjipto ialah “Kita tidak boleh
menjadi tawanan Undang-Undang” dan “Hukum itu untuk manusia dan
tidak sebaliknya”. Supremasi hukum tidak sama dengan supremasi
Undang-Undang yang sekedar memencet tombol, tetapi yang harus
terbangun dalam pikiran kita ialah keunggulan dari keadilan dan
kejujuran.334
Konteks paradigma pemikiran Satjipto Rahardjo di atas jelas
berseberangan dengan paradigma positivisme hukum yang berpandangan
bahwa, pertama, hukum hanyalah perintah penguasa dan atau dibuat oleh
instansi berwenang. Kedua, tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan
moral dan etika. Ketiga, analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum
dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologi. Keempat, sistem
hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang
333 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 212334 Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2003, hlm. 119-120
469
diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial,
politik, moral maupun etik. Kelima, hukum harus dipandang semata-mata
dalam bentuk formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dengan
bentuk-bentuk materialnya. Keenam, isi hukum atau materi hukum diakui
ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum karena hal tersebut dapat
merusak kebenaran ilmiah hukum.335
Paradigma positivisme hukum di atas jelas terlihat bahwa hukum
tidak berbasis pada dunia empiris dan sosiologis, tetapi lebih pada norma-
norma formal yang berlaku dan telah dipositivisasi oleh pemangku
kebijakan. Bahkan, cukup tegas dalam pandangan tersebut bahwa hukum
bukanlah sesuatu yang empiris sebagaimana para ilmuan sosial gunakan
dalam mengkaji kebenaran hukum (order of fact), tetapi kebenaran
hukum bagi kaum positivis ialah kebenaran yang logis dalam nalar
hukum (order of logic). Paradigma positivisme hukum berakar dari aliran
rasionalisme dan logika modern yang memandang bahwa kebenaran itu
ada dua, pertama, kebenaran eternal (abadi)/kebenaran logis. Kedua,
kebenaran fakta yang ditentukan oleh self evident, tetapi kebenaranya
ditentukan oleh proposisi yang satu dengan proposisi yang lain.336 Aliran
rasionalisme berbeda secara ekstrim dengan aliran empirisme. Aliran
335 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2003, hlm. 81336 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2005, hlm. 49-51
470
kritisisme dan intuisisme berupaya mendamaikan aliran rasionalisme dan
empirisme.337
Idealita hukum sebagaimana Satjipto katakan bahwa seorang
hakim yang semestinya juga sosiolog dan keluar dari gedung pengadilan
demi mendengar suara hiruk pikuk masyarakat, tidak terpenjara teks-teks
hukum, penegakan hukum yang bukan suatu tindakan yang pasti, hukum
adalah pantulan masyarakatnya, hukum untuk rakyat bukan untuk hukum
sendiri, hukum untuk manusia dan tidak sebaliknya dan beberapa lainnya
merupakan nalar hukum empiris dan faktual. Bagi kaum positivis
pemikiran Satjipto Rahardjo jelas bukan pemikiran hukum yang bisa
diterapkan dalam sistem hukum tapi pemikiran hukum yang sekedar
memberi masukan secara sosiologis dan antropologis saja. Kebenaran
teorinya bukan kebenaran teori hukum tapi kebenaran teori sosial.
Mudzakkir mengatakan setiap ilmu mempunyai tiga ciri pokoknya
masing-masing, yaitu ciri ontologis yang menjelaskan satu obyek ilmu,
epistimologis yang menjelaskan metodologi dan metode pengkajian satu
ilmu dan aksiologisnya yang menjelaskan tujuan satu ilmu. Dari pokok
ciri-ciri ilmu tersebut maka setiap obyek ilmu akan menghasilkan
kesimpulannya yang berbeda-beda tergantung obyek ilmu yang diteliti.
Maka kajian terhadap permasalahan hukum bisa diterapkan dengan dua
pendekatan yaitu memakai yuridis (teori hukum) dan pendekatan non
yuridis (teori non hukum). Pendekatan yuridis akan menghasilkan
337 Ibid, hlm. 49
471
pemikiran yang yuridis, sedangkan pendekatan ilmu non yuridis akan
menghasilkan kesimpulan non yuridis pula.338
Mudzakkir juga menambahkan, ilmu hukum merupakan bagian
dari ilmu yang non empirik yang mempunyai ciri-ciri, pertama, order of
logic. Kedua, landasan kebenarannya teori koherensi yang berarti adanya
kesesuaian dan saling topang antara satu idea dengan idea yang lain.
Ketiga, kebenarannya ditentukan secara internal. Keempat, tujuannya
memahami obyek sedalam-dalamnya. Kelima, memakai nalar deduksi
(induksi) atas dasar aksioma, nilai/asas, atau kebenaran yang abstrak
untuk memberi penilaian kepada obyek tertentu yang kongkrit dan
empirik. Keenam, memakai metode interpretasi, konstruksi dan
sistematisasi. Ketujuh, melakukan preskripsi. Kedelapan, demi
kepentingan pengambilan keputusan (problem solving). Kesembilan,
tidak bebas nilai karena berdasarkan aksioma.339
Pandangan Mudzakkir menolak anasir-anasir pemikiran sosial
yang basis kebenarannya memakai standar korespondensi, yaitu adanya
kemiripan antara idelita dengan realita, antara gagasan dengan fakta-fakta
sosial yang empirik. Letak problematik pemikiran hukum progresif
Satjipto Rahardjo kalau mengacu pada pemikiran Mudzakkir karena
Satjipto terlampau menggunakan ukuran fakta-fakta sosial sebagai basis
pengukuran kebenaran. Hukum dalam pikiran Satjipto Rahardjo
sangatlah empiris dan hidup dalam masyarakat (living law). Padahal
338 Makalah kuliah Magister Hukum UII pada 8 Januari 2011339 Makalah kuliah Magister Hukum UII pada 22 April 2011
472
hukum sebagaimana Mudzakkir katakan merupakan bangunan yang
sistemik dan berbentuk piramida, mulai dari nilai-nilai, asas-asas hukum,
peraturan hukum formal dan kemudian masyarakat hukum Indonesia.340
Kritik serupa juga diungkap oleh Hans Kalsen. Menurutnya, tata
hukum merupakan satu sistem norma. Landasan validitas dari suatu
norma seperti uji kebenaran dari pernyataan tentang “kenyataan”,
konfirmasinya bukanlah dengan realita. Dasar validitas dari sebuah
norma ialah selalu berupa norma, bukan pada fakta. Pencarian landasan
validitas dari norma menuntun kita bukan kepada realita melainkan
kepada norma lain yang menjadi sumber lahir norma tersebut yaitu norma
yang lebih tinggi yang disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang
validitasnya dapat ditelusuri kepada satu norma dasar yang sama
membentuk suatu sistem norma atau suatu tata normatif. Bahwa suatu
norma termasuk ke dalam sistem norma tertentu, ke dalam suatu tata
normatif tertentu dapat diuji hanya dengan mengkonfirmasikan bahwa
norma dasar tersebut mendapatkan validitasnya dari norma dasar.341
Menurut Kalsen, validitas suatu norma hukum tidak dapat
dipertanyakan atas dasar bahwa bahwa isi-isinya tidak sesuai dengan
suatu nilai moral atau politik. Suatu norma ialah norma hukum yang valid
atas dasar fakta bahwa norma tersebut telah dibuat menurut suatu aturan
340 Ibid341 Hans Kalsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Empirik-Deskriptif, Tanpa Tempat: Rimdi Press, 1995, hlm. 112-113
473
tertentu dan hanya atas dasar peraturan itu saja.342 Terdapat perbedaan
antara pernyataan ilmu hukum normatif dengan ilmu hukum sosiologis.
Ilmu hukum normatif menjelaskan tentang keharusan dan menegaskan
validitas suatu norma yang wajib ditaati dan diterapkan. Sedangkan ilmu
hukum sosiologis sekedar mendeskripsikan hukum yaitu pernyataan
tentang kenyataan dan berbeda makna keharusan.343 Kalsen juga
menegaskan bahwa hukum merupakan kesatuan sistem344 yang
diciptakan oleh satu negara dan merupakan personifikasi dari tata hukum
nasionalnya.345
Sesuai kerangka pemikiran Hans Kalsen, kita juga akan mengenal
di dunia akademik tentang sumber-sumber, asas-asas hukum dan
hierarkhi perUndang-Undangan. Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum
disebutkan bahwa sumber hukum formil ialah sumber hukum dengan
bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal.
Sumber hukum formal merupakan dasar kekuatan mengikatnya
peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh para
penegak hukum. Hukum formal merupakan causa efficent daripada
hukum yang meliputi, pertama, Undang-Undang. Kedua, kebiasaan.
Ketiga, Yurisprudensi. Keempat, traktat (perjanjian antar negara).
342 Ibid, hlm. 115343 Ibid, hlm. 173-174344 Ibid, hlm. 1345 Ibid, hlm. 183-184
474
Kelima, perjanjian. Keenam, Doktrin. Dari sumber hukum formal tersebut
akan berlaku asas-asas hukum, yaitu:346
1. “Lex Superiory Derogat Legi Imferiory” yang berarti Undang-Undang
yang dibuat oleh penguasa yang tinggi mempunya derajat yang lebih
tinggi, sehingga apabila ada dua Undang-Undang yang tidak
sederajat bertentangan maka hakim harus menerapkan Undang-
Undang yang lebih tinggi dan menyatakan bahwa Undang-Undang
yang lebih rendah tidak mengikat.
2. “Lex Specialis Derogat Legi Generali” yang berarti bahwa Undang-
Undang yang khusus mengesampingkan Undang-Undang yang
bersifat umum. Jika ada dua macam ketentuan dari peraturan
perUndang-Undangan yang setingkat dan berlaku bersamaan serta
saling bertentangan, hakim harus menerapkan yang khusus dan
mengesampingkan yang umum.
3. “Lex Pasterior Derogat Legi Priori” yang berarti bahwa Undang-
Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang yang
terdahulu, sejauh Undang-Undang itu mengatur obyek yang sama.
4. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. Undang-Undang tidak
berlaku apabila, pertama, jangka waktu berlakunya Undang-Undang
telah habis. Kedua, obyek yang diatur oleh Undang-Undang telah
tidak ada. Ketiga, Undang-undnag itu telah dicabut oleh
pembentuknya atau oleh instansi yang lebih tinggi. Keempat, telah
346 J. B. Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduang Mahasiswa, Gramedia
Pustaka Utma, Jakarta, 1996, hlm. 53-56
475
dikeluarkan Undang-Undang yang baru yang isinya bertentangan
dengan isi Undang-Undang terdahulu.
Untuk mempertegas landasan hukum hierarkis dan sistemik di
atas, pada Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan PerUndang-Undangan juga dinyatakan tentang hirarkhi dan
materi Peraturan PerUndang-Undangan yang meliputi, pertama, UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Ketiga, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang. Keempat, Peraturan Pemerintah. Kelima,
Peraturan Presiden. Keenam, Peraturan Daerah Provinsi. Ketuju,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam kajian ilmu perUndang-Undangan keberadaan hierarkhi
perundangan-undangan tersebut menjadi norma-norma yang harus
dipatuhi dan saling mengalahkan antara satu dengan lainnya. Norma-
norma tersebut menjadi ukuran atau pedoman bagi seseorang dalam
bertindak dalam kehidupan masyarakat. Norma-norma tertulis itu harus
dipatuhi.347
Keberadaan hierarkhi merupakan basis teoritik yang mendasar
dari penganut positivisme dan mazhab hukum murni karena hukum
merupakan satu sistem yang logis dan tidak emprikal. Untuk menjaga
kesatuan hukum yang berlaku di masyarakat maka positivisasi hieraki
347 Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan PerUndang-Undangan, UII Press,
Yogyakarta, 2004, hlm. 7-8
476
dan sentralisme hukum (legal centralism) merupakan satu keharusan.
Maka, ukuran kebenaran suatu hukum dalam konteks ini bukan lagi
sejauhmana mana hukum sesuai dengan kepentingan sosial empiric,
tetapi sejauhmana hukum tersebut bersesuaian dengan norma-norma di
atasnya. Hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam konteks
hukum yang hierarkis, sistemis dan sentralistik mengalami kematiannya,
terutama bagi hukum adat dan masyarakat adat.
Rikardo Simarmata mengungkapkan bahwa dampak dari ambisi
penyatuan hukum dan pengakuan yang tidak jelas terhadap masyarakat
adat menjadi kondisi yang mendorong terhadap penggusuran hak-hak
masyarakat adat. Praktek di lapangan yang ditonjolkan ialah pembatasan
bukan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Dampak yang paling tragis
ialah cepatnya segelintir pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) menguasai dan
memanfaatkan kawasan-kawasan hutan. Sementara kawasan-kawasan
deposit tambang diserahkan kepada pemegang kuasa pertambangan dan
kontrak karya. Proses penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat
dibantu oleh satu ketentuan yang mengatakan bahwa penguasaan
masyarakat hukum adat atas kawasan hutan (hak ulayat) dapat dibekukan.
Ketentuan lain menyebutkan bahwa setiap orang menyerahkan tanahnya
bila ada kandungan bahan tambang di dalamnya.348
348 Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu? dalam Donny Donardono
(Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2007, hlm. 72-73
477
Ricardo menambahkan, jika masyarakat adat menolaknya maka
yang biasa yang terjadi pada mereka ialah penyiksaan (torture),
pemerkosaan (rape), pembunuhan tanpa proses pengadilan (extra judicial
killing), militerisasi dan perampasan tanah (extensive land alienation),
bahkan diantara mereka harus diusir dan menjadi pengungsi di negaranya
sendiri. Dalam suasana masyarakat adat yang dizalimi tersebut, mereka
kemudian dibuatkan program oleh Departemen Sosial berupa Program
pemukiman kembali (resettlement) yang kemudian dikenal dengan
program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing
(PKSMT). Lewat program ini masyarakat adat dianggap terasing dan
berdiam di berbagai kawasan hutan yang merupakan tempat-tempat
baru.349
Marginalisasi lainnya terkait ketentuan mengenai KTP, SIM dan
Paspor yang ketiga telah diatur oleh hukum pemerintah yang terpusat.
Kantor-kantor swasta dan pemerintah sama sekali menutup terhadap
tanda pengenal diri selain ketiganya. Hal tersebut juga berlaku untuk
dokumen-dokumen pengangkutan hasil hutan. Masyarakat adat sudah
biasa disita kayunya serta ditangkap pengangkutnya dan pemilik kayunya
oleh Polisi Kehutanan/Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau
Polisi karena tidak memiliki identitas dan dokumen formal.350 Demikian
juga hukum perkawinan adat yang sudah tidak diakui oleh Kantor Urusan
Agama dan Kantor Catatan Sipil, matinya peradilan adat dan beberapa
349 Ibid350 Ibid
478
kasus hukum masyarakat lainnya yang tertutup atas hegemoni hukum
nasional yang menyengsarakan rakyatnya.
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan hukum negara yang
tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen yang dulu disebut sebagai
hukum kolonial dan yang kini disebut hukum nasional, itu tidak
selamanya mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh
rakyat setempat dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak dipahaminya
hukum negara oleh rakyat yang berbagai-bagai itu terkadang bukan pula
disebabkan oleh ketidaksadarannya melainkan juga sering karena
ketidaksediannya. Kenyataan ini mencerminkan terjadinya cultural gaps
bahkan juga cultural conflict. Isi kaidah yang terkandung dalam hukum
negara dan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tidak hanya
bersesuaian satu sama lain melainkan juga acap bertentangan.351
Soetando menambahkan, sesungguhnya insitusi negara nasional
berikut hukum nasionalnya itu merupakan invensi dan sekaligus bagian
dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa Eropa. Pengalaman itu terpelajari
dan kemudian tertiru tatkala bangsa-bangsa Eropa itu tidak bertindak
sebagai penjajah melainkan juga menampilkan diri sebagai guru-guru
berbagai bangsa di tanah jajahannya. Konsep negara bangsa yang tak
351 Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan Kebijakan
Perkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia), Makalah pada Seminar Nasional
“Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikiran di Indonesia dan
Pergulatannya Dalam Gerakan Pembaharuan Hukum”, pada 21 November 2006 di
Universitas Al-Azhar, Jakarta, hlm. 3
479
hanya bersifat trans lokal akan tetapi juga teritorial dengan sarana
penertibnya yang disebut hukum nasional yang diunifikasi dan
dikodifikasikan dan serta merta menjadi tertiru setelah merdeka.352
Masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia dewasa ini amat berbeda
dengan apa yang dihadapi para sarjana yang bersemangat nasionalisme
pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para sarjana itu serempak
menjadi penganjur dipertahankannya hukum adat yang berarti juga
mempertahankan kemajemukan untuk menghadapi hukum Belanda pada
saat itu.353
Kritik keras juga diungkap oleh I Nyoman Nurjaya yang
mengatakan bahwa fenomena konflik yang terjadi secara meluas di
Indonesia beberapa dasawarsa ini merupakan akibat dari konflik nilai
(conflict of values), konflik norma (conflict of norms), dan atau konflik
kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama
maupun golongan dalam masyarakat. Dalam perspektif hukum dan
kebijakan, fenomena konflik itu bersumber dari persoalan diskriminasi
pengaturan dan perlakuan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat di
daerah yang cenderung mengabaikan, menggusur, dan bahkan
mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (customary
law/adat law), termasuk religi dan tradisi-tradisi serta kearifan
masyarakat daerah melalui dominasi pemberlakuan dan penegakan
hukum negara (state law) yang bercorak sentralisme hukum (legal
352 Ibid, hlm. 2353 Ibid, hlm. 5
480
centralism). Paradigma pembangunan hukum (legal development
paradigm) yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini harus diganti
dengan paradigma yang bercorak pluralisme hukum (legal pluralisme).354
Polemik hukum di atas memperlihat betapa paradigma hukum
progresif satu sisi “termarjinal dan terbunuh” akibat hegemoni paradigma
hukum positivistik, hierarkis dan sistemik dalam sistem hukum di
Indonesia, tetapi pada sisi yang lain paradigma hukum progresif
tertantang untuk mewujudkan cita-citanya yaitu menghadirkan hukum
untuk manusia, menghadirkan hukum untuk rakyat, demi kebahagian,
kesejahteraan dan martabatnya sebagai manusia yang multikultural.
Suntikan moral untuk bangkitnya kekuatan hukum progresif juga
menggema ditengah banyaknya masyarakat yang menderita akibat hukum
hierarkis yang terlihat suci (transden) hari ini.
Tantangan yang sudah menghadang hukum progresif di Indonesia
ialah kekuatan positifisme hukum yang secara hegemonik telah
membangun struktur hierarkis secara teoritik dan normatif dan juga telah
berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai universitas hukum di
Indonesia. Hukum progresif telah menjadi wacana beberapa intelektual
dan beberapa kaum muda, sama halnya dengan wacana-wacana hukum
empirical dan kritis lainnya. Tetapi, kekuatan wacana itu masih sangat
lemah dan gampang terpatahkan dalam debat hukum di ruang-ruang
354 I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan… op. cit,
hlm 75-77
481
struktural. Wacana hukum progresif perlu kekuatan yang lebih besar
hingga sebanding dengan madzhab positivisme baik secara teoritik,
norma-norma, pelaku-pelaku hukum dan jejaring para intelektualnya.
Tantangan utama yang harus didorong untuk mewujudkan usaha
itu ialah menciptakan platform paradigma pembangunan hukum di
Indonesia. Abdul Hakim Garuda Nusantara pada tahun 1983 telah
menggagas tentang strategi pembangunan hukum responsif dan progresif
di Indonesia. Usaha-usaha yang harus dilakukan diantaranya ialah perlu
diciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan pertumbuhan
sejati kelompok-kelompok kolektif masyarakat lapisan bawah untuk
mengorganisasikan dan memperjuangkan hak-haknya, akses masyarakat
terhadap pengadilan diperkuat, kelompok-kelompok sosial non negara
pemerintah harus bergerak menyadarkan hak-hak masyarakat bawah, dan
pemerintah baik eksekutif dan legislatif penting didorong untuk merespon
kepentingan masyarakat lapisan bawah.355
Dalam konteks pembangunan hukum yang responsif dan progresif
tersebut, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengkritik keras terhadap
paradigma hukum kontinental (rule of law) yang saat ini sesungguhnya
menjadi basis paradigma para penegak hukum, perumus hukum dan
beberapa intelektual hukum di Indonesia. Menurut Abdul Hakim, tipe
tradisi hukum kontinental merupakan model pembangunan hukum yang
ortodoks yang mempunyai ciri-ciri adanya peranan yang sangat dominan
355 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 24-48
482
dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam
menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum akhirnya
bersifat positivis-instrumentalis. Hukum menjadi alat yang ampuh bagi
pelaksanaan ideologi dan program negara.356
Kondisi terbalik terjadi pada tipe pembangunan hukum dengan
model hukum adat (common law) yang responsif. Ciri-ciri dari tradisi
model common law ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga
peradilan dan partisipasi yang luas kelompok-kelompok sosial atau
individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangunan
hukum. Keberadaan pemerintah dan parlemen menjadi lebih relatif, dan
adanya tekanan yang timbul dari partisipasi masyarakat luas dan
kedudukannya yang relatif bebas mendorong lembaga peradilan lebih
kreatif dalam menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan
mempunyai peranan substansial dalam pembangunan hukum.357
Secara historis, dua tipe pembangunan hukum dengan model civil
law dan common law tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
John Henry Marryman mengungkapkan, di Inggris dan Amerika Serikat
yang menjadi model tipe hukum common law para hakimnya selalu
menjadi kekuatan yang progresif dan berada di pihak individu dalam
melawan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, mereka juga
memainkan peranan penting dalam melaksanakan sentralisasi kekuasaan,
356 Ibid, hlm. 27357 Ibid
483
dan dalam penghancuran feodalisme.358 Berbeda dengan Eropa
Kontinental dimana fakta sejarah mengatakan bahwa kompilasi dan
kodifikasi risalah-risalah dan komentar-komentar hukum karya para
sarjana hukum oleh Kaisar Justianus menjadi kebutuhan hukum
kekaisaran Roma yang besar untuk mengatur penduduk dan wilayahnya
yang luas. Kompilasi dan kodifikasi dilakukan sebagai usaha
memurnikan kembali nilai-nilai hukum Romawi Kuno yang agung dan
dianggap mampu melayani pemerintah dan masyarakat. Ada kepercayaan
dengan memurnikan dan melestarikan nilai-nilai hukum Romawi Kuno
kelangsungan hidup kekaisaran Roma di bawah Justianus akan lebih
terjamin.359
Paradigma pembangunan hukum yang responsif dan progresif
juga disuarakan oleh Artidjo Alkostar. Menurutnya, pembagunan hukum
tidak mungkin hanya dipercayakan dan tergantung kepada penguasa saja,
karena eksistensi hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial.
Prioritas polititical will sebaiknya dicurahkan pada pembangunan
ekonomi dan teknologi dibandingkan dengan pembangunan hukum dan
keadilan. Pembangunan hukum berkorelasi dengan visi kerakyatan,
karena hukum selalu menyangkut tingkah laku (behaviour). Konstruksi
hukum atau Undang-Undang penempatan posisi rakyat sebagai pemegang
peran (role occupat) dan dilacak (trace) secara paradigmatik, apakah
358 John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press,
California, 1969, hlm 17359 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum… Op. Cit, hlm 30
484
perangkat hukum dan Undang-Undang tersebut telah mempergunakan
paradigma kontrol, sosial, paradigma nilai, paradigma institusi atau atau
paradigma ideologi.360
Perubahan paradigma dalam satu cabang ilmu merupakan satu
yang asasi sehingga tidak statis dan hanya berkutat dengan variabel dan
konsep yang tertinggal ditengah perkembangan sosial dan teknologi yang
cukup pesat. Itulah yang terjadi dengan perkembangan hukum di
Indonesia saat ini. Menurut Artidjo, hukum Indonesia terbelenggu oleh
kapsul positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme
hukum tidak peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan
hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan kepastian hukum
yang kemudian berakibat pada pertumbuhan hukum Indonesia yang
berjalan tanpa visi dan tidak jelas paradigmanya. Watak hukum Eropa
Kontinental bertradisi tanpa paradigma sosiologi, karena memakai
metode berfikir deduktif seperti kebiasan hukum Romawi. Karakter
hukum Anglo Amerika lebih realistis karena memberi perhatian kepada
yang berkembang dalam dinamikas sosial.361
Kegalauan atas hegemoni paradigma positivisme di Indonesia
juga diungkap oleh Suparman Marzuki. Menurutnya, kegagalan politik
hukum hak asasi manusia di Indonesia merupakan dampak dari belum
360 Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. Mahfud MD,
dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm 335-
336361 Ibid, hlm. 337-339
485
hadirnya paradigma hukum responsif di Indonesia. Semestinya
pembuatan hukum hak asasi manusia di Indonesia harus diproses secara
partisipatif dengan substansi yang responsif terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial sesuai dengan realitas hak asasi manusia di Indonesia.
Proses partisipatif mensyaratkan dua hal, yaitu:362
1. DPR meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat,
dan tidak memerankan diri sebagai konseptor Undang-Undang,
apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk perudang-
undangan. Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara
dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warganegara berpartisipasi
dalam wacana bersama. Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang
membeku di dalam perkumpulan para wakil rakyat, tetapi juga
terdapat dalam berbagai forum warganegara, organisasi non
pemerintah dan gerakan sosial.
2. Mensyaratkan organisasi masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan
intelektual yang mengkaji dan merumuskan kebutuhan hukum
masyarakat. Perpaduan DPR yang sejatinya adalah representasi
(politik) rakyat dengan organisasi masyarakat sipil diproyeksikan
mampu merumuskan substansi hukum HAM yang memiliki kekuatan
perlindungan (to protect), penghormatan (to respect) dan pemenuhan
(to fullfil) HAM yang kontekstual dengan kebutuhan substansial
362 Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm. 431-432
486
masyarakat. Bukan produk hukum HAM yang responsif terhadap
demokrasi politik.
Sedangkan dalam konteks penegakan hukum, Suparman Marzuki
menegaskan mendesaknya penegakan hukum yang progresif, yaitu
penegakan hukum yang submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih
afirmatif (affirmatif law enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk
melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan
penggunaaan satu cara yang lain, yang menerobos terhadap pakem-
pakem praktek hukum yang telah lama berlangsung. Penegakan hukum
progresif mengharuskan aparatur penegak hukum hak asasi manusia
bersikap realistis, tidak bermukim di menara gading. Mereka harus
mengasah intuisi dengan dengan turun ke bawah menyerap aspirasi yang
berkembang di masyarakat. Para hakim harus menjadi agen perubahan
dan tidak menjadi staf sistem hukum. Mereka harus berani mendobrak
sekat-sekat yang dibangun oleh ideologi-ideologi penindas keadilan
sosial. Mereka harus keluar dari tafsir monolitik karena teks Undang-
Undang hanya memberi ruang penafsiran yang terbatas. Penegakan
hukum progresif lebih mengedepankan konteks ketimbang teks-teks
aturan semata.363
Menurut Suparman, penegakan hukum progresif menempatkan
kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya,
karena aparatur penegak hukum harus memiliki kepekaan pada
363 Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi,
Pusham UII, Yogyakarta, 2011, hlm. 269-270
487
persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia.
Salah salah satu persoalan krusial dalam konteks itu ialah
keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas baik
politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh hukum yang manipulatif.
Dalam kondisi-kondisi tersebut, keberadaan hukum progresif harus
menjadi institusi yang emansipatoris yang membawa pemberdayaan.
Konsep kesamaan (aquality) yang didasarkan pada kolektivitas atau
komunitas (group related equality) dan bukan individu sebagai unit
(individual equality). Aksi-aksi afirmatif penegakan hukum hukum HAM
progresif didukung oleh keinginan untuk mendayagunakan hukum HAM
bagi kepentingan rakyat yang lemah atau rentan.364
Pemikiran beberapa intelektual di atas merupakan representasi
atas kegelisahan atas bangunan sistem dan penegakan hukum yang tidak
responsif dan menawarkan tawaran-tawaran solutif. Sistem yang ada
telah berdampak terhadap marjinalisasi, keterpurukan hukum yang
berdimensi sosial dan banyak masyarakat rentan yang telah menjadi
korbannya. Kegelisahan tersebut juga tercerimin dalam pemikiran-
pemikiran hukum Satjipto Rahardjo. Gumpalan kegagalauanya melihat
hukum yang telah kehilangan relasinya dengan kultur dan struktur
masyarakat mendorongnya untuk mendeklarasikan hukum progresif di
Indonesia. Satjipto menuliskan “kekuatan hukum progresif akan mencari
berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Hukum progresif
ialah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan
364 Ibid, hlm. 271-272
488
sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa
menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada”.365
Berangkat dari ajakan dan kegalauan mendalam Satjipto Rahardjo
tersebut, tantangan besar kekuatan kaum progresif ialah meyakinkan
bahwa terdapat masalah sistemik dan terstruktur dalam bangunan
paradigma hukum kenegaraan di Indonesia. Para intelektual hukum, para
pemangku kebijakan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dan para
aktifis sosial dan hak asasi manusia harus selalu dibangunkan hati nurani
dan kesadarannya untuk merombak struktur hukum yang statis dan telah
menelan banyak korban. Membangkitkan kepekaan nurani dan
mendorong kesadaran atas multi krisis sistem hukum merupakan modal
kuat akan lahirnya generasi yang berparadigma hukum progresif. Pada
saatnya nanti, hukum progresif akan tegak dan akan membebaskan
masyarakat dari ketertindasannya.
Mendasari pendangan hukum progresif tersebut di atas, apabila
dikaitkan dengan substansi ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya,
365 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif …… Op. Cit. , hlm. 116
489
dan substansi ketentuan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
menyatakan bahwa:
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti
kedua pasal tersebut tidak memberikan peluang kepada penyidik untuk
menghentikan proses penyidikan yang sedang berjalan walaupun para
pihak yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas dimaksud telah
mendapatkan keadilan yang hakiki, yaitu telah dicapainya perdamaian
yang dibangun melalui mediasi dengan musyawarah mufakat antara
kedua pihak dengan atau tanpa bantuan seorang mediator (oleh penyidik
apabila diminta oleh para pihak) untuk mendapatkan manfaat yang lebih
besar, serta untuk meligitimed perdamaian tersebut kemudian dibuat
Surat Kesepakatan Bersama/Surat Perdamaian, sehingga perangkat
hukum yang demikian adalah masih sangat kental dengan aliran hukum
positivisme yang justru telah menciderai hukum dan keadilan masyarakat
itu sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, dalam
perkembangannya Polri pada tanggal 19 Desember 2013 telah
490
memberontak untuk keluar dari “tawanan undang-undang” dan
kemudian memposisikan “hukum itu untuk manusia dan tidak
sebaliknya” sebagaimana kredo yang sering diucapkan oleh Satjipto
Rahardjo dengan melakukan terobosan kreatif (creative breakthrough)
berupa penerbitan Peraturan Kapolri 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas yang diundangkan di Jakarta pada
tanggal 23 Desember 2013 dengan diketahui oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Amir Syamsudin, termuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1528 dan efektif
berlaku mulai bulan Januari 2014. Dalam Peraturan Kapolri tersebut,
dinyatakan dalam beberapa pasalnya diantaranya adalah sebagai berikut :
Pasal 4
Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. kecelakaan ringan;
b. kecelakaan sedang; dan
c. kecelakaan berat.
Pasal 5
Kecelakaan ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila
mengakibatkan kerusakan kendaraan dan / atau barang.
Pasal 6
491
(1) Kecelakaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
apabila mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan /
atau barang.
(2) Luka ringan sebagaimana dimasud pada ayat (1) terdiri atas:
a. luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak
memerlukan perawatan inap di rumah sakit; atau
b. selain yang diklasifikasikan dalam luka berat.
Pasal 7
(1) Kecelakaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c,
apabila mengakibatkan korban luka berat atau meninggal dunia.
(2) Luka berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau
menimbulkan bahaya maut;
b. tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan;
c. kehilangan salah satu panca indera;
d. menderita cacat berat atau lumpuh;
e. terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;
f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau
g. luka yang membutuhkan rawat inap lebih dari 30 (tiga puluh)
hari.
(3) Korban meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. meninggal dunia di TKP;
492
b. meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit; atau
c. meninggal dunia karena luka yang diderita dalam masa
perawatan selama 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
Pasal 35
(1) Penyidik melakukan penilaian atas hasil olah TKP untuk menentukan
ada atau tidaknya unsur tindak pidana pada kecelakaan lalu lintas
sebagai dasar dilakukan penyidikan.
(2) Penyidik melakukan penyidikan kecelakaan lalu lintas, apabila
terdapat cukup bukti atau terpenuhinya unsur tindak pidana.
(3) Penyidik melakukan penghentian penyidikan kecelakaan lalu lintas,
apabila tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak
pidana atau batal demi hukum.
(4) Penyidik kecelakaan lalu lintas menyampaikan hasil perkembangan
penyidikan kepada korban atau keluarga korban melalui Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
Pasal 36
(1) Penanganan kecelakaan lalu lintas ringan yang terdapat cukup bukti
atau terpenuhinya unsur pidana, dilakukan dengan proses
pemeriksaan singkat.
(2) Proses pemeriksaan singkat pada kecelakaan lalu lintas ringan,
apabila terjadi kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat dapat
diselesaikan di luar pengadilan.
493
Pasal 63
Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Ringan
(1) Kewajiban mengganti kerugian terjadi kesepakatan damai antara para
pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, untuk menyelesaikan
perkaranya dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.
(2) Kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat kecelakaan lalu
lintas dituangkan ke dalam surat pernyataan kesepakatan damai.
(3) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimna
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan selama belum dibuatkan
laporan polisi.
(4) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas ringan, apabila unsur-unsur
tindak pidana terpenuhi dan tidak terjadi kesepakatan damai antara
para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, maka penyelesaian
perkaranya diselesaikan secara singkat.
(5) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib diregister dan surat pernyataan
kesepakatan damai diarsipkan.
Pasal 64
Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Sedang
Dalam perkara kecelakaan lalu lintas sedang, apabila unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara
singkat.
Pasal 65
494
Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Sedang
Dalam perkara kecelakaan lalu lintas berat, apabila unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara
biasa.
Pasal 73
Dasar Penghentian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas
(1) Pertimbangan untuk melakukan penghentian penyidikan kecelakaan
lalu lintas dengan alasan:
(a) tidak cukup bukti; atau
(b) demi hukum.
(2) Penghentian penyidikan kecelakaan lalu lintas dengan alasan demi
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
(a) tersangka meninggal dunia;
(b) perkara telah melampaui kedaluwarsa; atau
(c) nebis in idem.
Mencermati semangat, substansi, maksud dan tujuan
dikeluarkannya Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tersebut,
terlihat jelas bahwa Polri sebenarnya menyadari bahwa posisinya berada
di tengah-tengah antara aliran legal positivisme dan legal progresivisme
dalam rangka penegakan hukum pada pelanggaran hukum perkara
kecelakaan lalu lintas. Polri telah berusaha untuk merespon dalam
memenuhi rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit) tetapi juga memenuhi
kepastian hukum (rechtssicherheit) disamping kemanfaatan
495
(zweckmassigkeit). Hal ini terlihat pada substansi Pasal 36 dan Pasal 63
Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tersebut dimana upaya
penyelesesaian di luar pengadilan hanya diberikan kesempatan secara
hukum dalam hal perkara kecelakaan lalu lintas ringan saja manakala
telah terjadi kesepakatan damai diantara para pihak yang terlibat dalam
kecelakaan lalu lintas tersebut. Sedangkan untuk kecelakaan lalu lintas
sedang dan berat, sesuai bunyi Pasal 64 dan 65 tidak diberi kesempatan
secara hukum kepada para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas
tersebut untuk dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat dalam
kerangka penyelesaian di luar pengadilan, sehingga hal ini tidak dapat
memberikan payung hukum bagi penyidik, sungguh kungkungan mind set
legal positivisme yang mengutamakan kepastian hukum
(rechtssicherheit) dalam hal ini telah menimbulkan dan sekaligus
menciderai rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit) dan kemanfaatan
(zweckmassigkeit).
Sebenarnya sukma dari Pasal 64 dan Pasal 65 Peraturan Kapolri
Nomor 15 Tahun 2013 ini nampaknya masih sangat kuat dipengaruhi oleh
substansi Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang tidak memberikan kesempatan secara hukum kepada para pihak
yang telah mendapatkan keadilannya secara hakiki dalam kecelakaan lalu
lintas baik sedang maupun berat untuk menyelesaian perkara kecelakaan
lalu lintas tersebut secara musyawarah dan mufakat di luar sidang
pengadilan.
496
Oleh karena itu, berdasarkan pentingnya pelaksanaan restorative
justice dengan mind set legal progresivisme di tingkat penyidikan tindak
pidana lalu lintas, maka dengan mem-breakdown:
1. Pendapat Carl von Savigni yang pada intinya menyatakan bahwa
hukum itu tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat;
2. Pendapat Satjipto Rahardjo yang pada intinya menyatakan bahwa
hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif/undang-
undang;
3. Pendapat Gustaf Radbruch yang pada intinya menyatakan bahwa
seorang penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan hakim,
dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory law/state law) apabila
hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi
rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari
keadilan;
4. Pelaksanaan Perdamaian dalam perkara pidana yang berlaku di negara
bagian Vermont dalam bentuk Restorative Board/Youth Panels dengan
lembaga pendamping yang disebut Bureau of Justice Assistance
sebagai wisdom internasional;
5. Pelaksanaan wisdom lokal masyarakat Indonesia yang sebagian besar
beragama Islam, yaitu sila kedua dan sila kelima Pancasila, Pasal 28
huruf D UUD Tahun 1945, asas musyawarah dan mufakat berdasarkan
hukum adat yang berlaku bagi masyarakat Indonesia serta kemafaatan
dalam skala luas yang sesuai perspektif Islam.
497
maka Pasal 109 ayat KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
tersebut perlu direkonstruksi dengan menggunakan pola pikir dan atau
teori Hukum Progresif Perdamaian, sehingga kedua pasal tersebut yang
awalnya berbunyi:
Pasal 109 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik
dan penuntut umum.
direkonstruksi sehingga menjadi:
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
498
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, apabila telah terjadi
perdamaian antara para pihak yang terlibat dalam kecelakaan lalu
lintas tersebut, maka dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk
menghentikan proses penyidikan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
(4) Dalam hal penghentian tersebut ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik
dan penuntut umum.
Pasal 260 ayat (1) hurug g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan berwenang:
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti
direkonstruksi sehingga menjadi:
Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
499
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan berwenang:
g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti dan atau
apabila telah terjadi perdamaian antara para pihak yang terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, maka dapat dijadikan dasar
bagi penyidik untuk menghentikan proses penyidikan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Sehingga Pasal 109 KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) hurug g
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan hasil dari hasil rokonstruksi tersebut dapat menjawab dan
sekaligus memberikan rasa keadilan masyarakat (gerechtigkeit),
kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit)
serta sekaligus memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi penyidik
dalam penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas.
Hukum Progresif Perdamaian, berawal dari pendapat Satjipto
Rahardjo dimana hukum dimaknai sebagai suatu “institusi yang bertujuan
untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia”366, yang dalam hal ini apabila
diimplementasikan ke dalam sebuah penyelesaian dengan jalan
perdamaian antara para pihak pada perkara kecelakaan lalu lintas adalah
merupakan perangkat hukum yang sangat diharapkan oleh masyarakat
terutama masyarakat yang terlibat dalam kecelakan lalu lintas karena
366Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum, Genta Pulishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. 116
500
dapat merespon kehendak masyarakat yang mendambakan keadilan dan
kemanfaatan yang lebih cepat dan nyata.
Secara komperhensif, rekonstruksi perdamaian dalam
implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan tindak pidana lalu
lintas berdasarkan Hukum Progresif adalah sebagaimana tergambarkan
dalam tabel berikut:
Tabel : 4
Rekonstruksi Perdamaian Dalam Tingkat Penyidikan Tindak Pidana
Lalu Lintas Berdasarkan Hukum Progresif
NO PERIHAL URAIAN
1 Dasar Rekonstruksi Memadukan wisdom lokal berupa Sila ke 2
dan ke 5 Pancasila dengan wisdom
internasional tentang Restorative Board dan
Pasal 28 D UUD 1945
2 Paradigma Hukum Penegakan hukum yang berkeadilan di
bidang tindak pidana lalu lintas yang
berbasis Hukum Progresif
3 Rekonstruksi Pasal
Undang-undang
Pasal 109 ayat (2) Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal
260 ayat (1) huruf g Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
501
4 Konsep Rekonstruksi Perdamaian antara pelaku dan korban
dalam Tindak Pidana Lalu Lintas dapat
dijadikan sebagai dasar untuk penghentian
proses penyidikan Tindak Pidana Lalu
Lintas
5 Subyek Pelaku, korban, polisi dan masyarakat yang
terlibat dalam tindak pidana lalu lintas
6 Tujuan Mewujudkan keadilan bagi pelaku dan
korban yang telah berdamai dalam tindak
pidana lalu lintas
7 Substansi a. Perdamaian yang terjadi antara pelaku
dan korban dalam tindak pidana lalu
lintas dapat dijadikan dasar hukum
untuk menghentikan proses penyidikan;
b. Polisi dapat mewujudkan diskresi
kepolisian berdasarkan nilai keadilan
bagi pelaku dan korban dalam tindak
pidana lalu lintas yang berbasis Hukum
Progresif.
8 Implikasi Kajian a. Implikasi Perubahan Paradigmatik dari
Polisi yang positivistik menjadi Polisi
yang menemukan keadilan dalam
penyidikan tindak pidana lalu lintas
berbasis Hukum Progresif;
502
b. Implikasi model dari Perdamaian dalam
penyelesaian tindak pidana lalu lintas
sebagai pengurangan hukuman menjadi
Perdamaian dapat menjadi alasan/dasar
hukum untuk menghentikan proses
penyidikan tindak pidana lalu lintas
guna menemukan keadilan bagi pelaku
dan korban
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu, berikut disajikan
kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Eksistensi konstruksi perdamaian sebagai payung hukum dalam
implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan tindak pidana
lalu lintas.
a. secara legal praktis “perdamaian” dapat dijadikan payung hukum
dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan
tindak pidana lalu lintas karena hal tersebut dikehendaki dan bisa
diterima oleh para pihak yang terlibat dalam kecelakaan
lalulintas, penyelesaian secara restorative justice tersebut
didukung oleh pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat,
pimpinan DPRD, praktisi hukum (pengacara) dan akademisi,
akan tetapi secara legal formal belum bisa;
503
b. penyelesaian tindak pidana (kecelakaan) lalu lintas dengan pola
restorative justice di wilayah Polda Jawa Tengah dikatakan”ada”
dan “tiada”, dikatakan “ada” karena berdasarkan keadilan
(gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) memang
telah dilaksanakan oleh penyidik Polri atas dasar permintaan
para pihak, dikatakan “tiada” karena berdasarkan kepastian
hukum (rechtssicherheit) tidak ada dasar hukumnya.
c. penerapan restorative justice cukup efektif dalam mempercepat
penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sehingga dapat
mengurangi penumpukan perkara di tingkat penyidikan, dan hal
itu secara mayoritas dikehendaki oleh mereka yang berperkara
(85,84 %), tanpa pengaruh dari pihak manapun dan keadilan
lebih dirasakan oleh masyarakat.
d. model perdamaian antara korban dan pelaku pada kecelakaan
lalu lintas adalah melalui mediasi, penyidik hanya berpegang
pada Pasal 235 ayat (1) dan (2) serta Pasal 236 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan Diskresi Kepolisian, kemanfaatan hukum,
keadilan dan kemanusiaan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pola keadilan restoratif dalam
penanganan terhadap tindak pidana lalu lintas adalah hukum
untuk manusia, hukum yang berperikemanusiaan, dengan
mengedepankan hati nurani, kemanfaatan hukum dan keadilan.
504
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan kendala yang dihadapi dalam
konstruksi hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung
hukum dalam implementasi Restorative Justice di tingkat penyidikan
tindak pidana lalu lintas
a. faktor-faktor yang mempengaruhi :
1) faktor internal:
a) substansi peraturan perundang-undangan;
b) instruksi dari pimpinan;
c) penyidik sebagai penegak hukum;
d) Situasi dalam penyidikan;
2) faktor eksternal adalah perlunya dukungan masyarakat.
b. kendala yang dihadapi, yaitu :
1) masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia;
2) oknum aparat;
3) pengetahuan penyidik;
4) partisipasi para pihak.
Dari kendala-kendala yang dihadapi dalam konstruksi
hukum berkaitan dengan perdamaian sebagai payung hukum
dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan
tindak pidana lalu lintas adalah kendala yang menonjol adalah di
bidang masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang
didalam substansinya belum terdapatnya payung hukum bagi
restorative justice sebagai aturan atau ketetapan yang baku
505
secara legal formal sebagai salah satu bentuk penyelesaian
perkara tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam mengatasi
kendala yang terjadi terhadap penerapan restorative justice
terhadap pelaku tindak pidana lalu lintas adalah dengan
mengakomodir suara masyarakat yang terlibat kecelakaan lalu
lintas, dan memberikan masukan kepada pimpinan atau yang
berkompeten dalam pembuatan undang-
undang/peraturan/ketetapan untuk mengesahkan restorative
justice sebagai salah satu cara dalam penyelesaian perkara
kecelakaan lalu lintas dengan alasan lebih manusiawi dan
mengedepankan rasa keadilan dan hati nurani, sehingga akan
didapat payung hukum yang legal dan formal, sebagai wujud
penerapan hukum modern.
Penerapan konsep perdamaian sebagai payung hukum
dalam implementasi restorative justice di tingkat penyidikan
tindak pidana lalu lintas mendapat respon yang sangat positif
dan diterima sebagai suatu keadilan dan sangat dikehendaki oleh
masyarakat khususnya dalam penyelesaian perkara kecelakaan
lalu lintas.
Solusi apabila konsep keadilan restoratif tidak dapat
diterima oleh pihak korban adalah bila diminta, Penyidik dapat
menempatkan diri sebagai mediator atau konsultan dalam
pemecahan masalah yang dilaksanakan secara profesional dan
506
tidak memihak/netral, namun apabila hal tersebut tetap tidak bisa
diterima, maka secara prosedural Penyidik berwenang untuk
mengajukan/ memproses kasus tersebut sampai ke Pengadilan.
3. Konstruksi perdamaian dalam pelaksanakan restorative justice di
tingkat penyidikan tindak pidana lalu lintas berdasarkan hukum
progresif
a. tetap mengacu pada Pasal 235 dan Pasal 236 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan kemanfaatan hukum, keadilan dan kemanusiaan yang
terdapat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. pelaksanakan restorative justice di tingkat penyidikan tindak
pidana lalu lintas pada waktu yang akan datang pola idealnya
menggunakan Hukum Progresif Perdamaian;
c. Hukum Progresif Perdamaian, memandang bahwa hukum adalah
sebagai suatu “institusi yang bertujuan untuk mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia”, yang sangat diharapkan oleh masyarakat
terutama masyarakat yang terlibat dalam kecelakan lalu lintas
yang sudah melakukan musyawarah dan mufakat untuk
mencapai perdamaian. Hukum Progresif Perdamaian dapat
merespon kehendak masyarakat yang terlibat dalam kecelakaan
lalu lintas yang mendambakan keadilan dan kemanfaatan yang
lebih cepat dan nyata.
507
d. Hukum Progresif Perdamaian, sejalan / cerminan dari :
1) pendapat:
a) Carl von Savigni yang menyatakan bahwa hukum itu
tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat;
b) Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu
untuk manusia bukan untuk hukum itu sendiri dan
hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum
positif/undang-undang, akan tetapi bergerak pada alas
(landasan) non formal;
c) Gustaf Radbruch yang menyatakan bahwa seorang
penegak hukum dalam hal ini adalah polisi, jaksa dan
hakim, dapat mengabaikan hukum tertulis (statutory
law/state law) apabila hukum tertulis tersebut ternyata
dalam praktiknya tidak memenuhi rasa keadilan
sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari
keadilan
2) pelaksanaan perdamaian dalam perkara pidana yang berlaku
di negara bagian Vermont dalam bentuk Restorative
Board/Youth Panels dengan lembaga pendamping yang
disebut Bureau of Justice Assistance sebagai wisdom
internasional;
3) pelaksanaan wisdom lokal masyarakat Indonesia sila kedua
dan sila kelima Pancasila, Pasal 28 huruf D UUD Tahun
508
1945, asas musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum
adat serta kemafaatan dalam skala luas yang sesuai
perspektif Islam.
Maka substansi Pasal 109 ayat KUHAP dan Pasal 260 ayat (1)
huruf g Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan tersebut perlu direkonstruksi dengan
menggunakan pola pikir dan atau teori Hukum Progresif
Perdamaian, sehingga kedua pasal tersebut yang awalnya
berbunyi sebagaimana tabel sebagai berikut:
Tabel : 5
TABEL REKONSTRUKSI PASAL 109 KUHAP
PASAL 109 KUHAP
YG BERLAKU SAAT INI KE DEPAN/IDEALNYA
(1) Dalam hal penyidik telah
mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak
pidana, penyidik
memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum.
(1) Dalam hal penyidik telah
mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak
pidana, penyidik
memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik
menghentikan penyidikan
(2) Dalam hal penyidik
menghentikan penyidikan
509
karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentikan
demi hukum, maka
penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau
keluarganya.
karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentikan
demi hukum, maka
penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian
tersebut ayat (2) dilakukan
oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b,
pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan
kepada penyidik dan
penuntut umum.
(3) Dalam perkara kecelakaan
lalu lintas, apabila telah
terjadi perdamaian antara
para pihak yang terlibat
dalam kecelakaan lalu
lintas tersebut, maka dapat
dijadikan dasar bagi
penyidik untuk
menghentikan proses
penyidikan dengan
mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
(4) Dalam hal penghentian
tersebut ayat (2) dilakukan
510
oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b,
pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan
kepada penyidik dan
penuntut umum.
Dan
Tabel : 6
TABEL REKONSTRUKSI PASAL 260 AYAT (1) huruf g
UULAJ
PASAL 260 AYAT (1) Huruf g UULAJ
YG BERLAKU SAAT INI KE DEPAN/IDEALNYA
Dalam hal penindakan
pelanggaran dan penyidikan
tindak pidana, Penyidik
Kepolisian Negara Republik
Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang tentang
Kepolisian Negara Republik
Dalam hal penindakan
pelanggaran dan penyidikan
tindak pidana, Penyidik
Kepolisian Negara Republik
Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang tentang
Kepolisian Negara Republik
511
Indonesia, di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan berwenang
menghentikan penyidikan jika
tidak terdapat cukup bukti
Indonesia, di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan berwenang
menghentikan penyidikan jika
tidak terdapat cukup bukti dan
atau apabila telah terjadi
perdamaian antara para pihak
yang terlibat dalam kecelakaan
lalu lintas tersebut, maka dapat
dijadikan dasar bagi penyidik
untuk menghentikan proses
penyidikan dengan
mempertimbangkan segi keadilan
dan kemanusiaan.
B. SARAN-SARAN
1. Karena permasalahan hukum yang dihadapi penyidik di masyarakat
berbeda-beda dan beraneka ragam corak dan modelnya, untuk itu
perlu penanganan yang berbeda pula dengan melakukan tindakan
lain berdasarkan hukum menjadi alternatif yang dapat digunakan
oleh penyidik. Subtansi perundang-undangan sekarang belum secara
rigid dan detail mengaturnya, maka dari itu hendaknya pemerintah
memberikan suatu tanggapan yang serius dalam membuat dasar
512
peraturan yang baik serta rigid bagi tindakan diskresi yang meliputi
ruang berlaku tugas penyidikan, kualifikasi bentuk perkara yang
dapat dilakukan diskresi serta bentuk konsekuensi dari tindakan
diskresi penyidik agar lebih mendapatkan dapat payung hukum yang
sah dan tidak bertentangan dengan hukum. Pengaturan peraturan
yang khusus bagi tindakan diskresi penyidik untuk dijadikan
landasan serta pertimbangan dalam mengambil kebijakan subyektif
dari penyidik selaku pejabat publik Negara bersangkutan demi
kelancaran tugas-tugasnya, supaya tindakan diskresi penyidik
tersebut dapat sah dan kuat secara hukum.
2. Agar pelaksanaan setiap diskresi benar-benar sesuai dengan harapan,
maka baik oleh pelaku (subjek) diskresi maupun sasaran (objek)
diskresi seyogianya harus saling bersedia dan mampu mawas diri.
Kesediaan introspeksi, disamping retrospeksi, diharap dapat
mendorong penggunaan diskresi secara benar, baik dan
bertanggungjawab, sehingga dengan demikian, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa diskresi akan berdampak pada terwujudnya
pemerintahan yang baik.
3. Mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana lalulintas, pada
faktanya telah dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat Jawa
Tengah (85,84 %), baik yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas
maupun masyarakat pada umumnya karena hasil mediasi telah dapat
mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi para pihak yang nilai
filosofinya sangat tinggi karena telah dapat mengintegrasikan nilai-
513
nilai keadilan yang sesuai dengan kearifan lokal, sesuai dengan sila
kedua, keempat dan kelima Pancasila akan tetapi belum memiliki
payung hukum, maka dari itu hendaknya :
a. dalam jangka menengah, pemerintah melalui lembaga legislatif
sesegera mungkin membentuk payung hukum mengenai mediasi
penal dengan merekonstruksi Pasal 109 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pasal 260 ayat (1) huruf g
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, sehingga kedua pasal tersebut dapat menjawab
dan sekaligus memberikan rasa keadilan masyarakat
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian
hukum (rechtssicherheit).
b. dalam jangka pendek, Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesegera mungkin merevisi Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun
2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
yang memberikan payung hukum untuk pelaksanaan mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaian terhadap semua perkara
pidana/kecelakaan lalu lintas guna menjawab pesatnya tuntutan
keadilan masyarakat.
514
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur
A. Malik Madaniy, Politik Berpayung Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2010
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YayasanLembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996
_________, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Cet IV, Jakarta:Prenada Media Goup, 2012
Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992
Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, “Hukum Pidana dalam
Perspektif”. Pdf, Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: UniversitasIndonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif HukumProgresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Andrew Altman, Arguing about Law: an Introduction to Legal Philosophy,ed. 2, Belmont: Wadsworth, 2001
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatandari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavior Jurisprudence) KasusHakim Bismar Siregar, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2007
515
Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. MahfudMD, dkk (Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,Yogyakarta: UII Press, 1999
Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru vanHoeve, 1996
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Pola Umum PerencanaanHukum dan Perundang-undangan, Bandung: Bina Cipta, 1997
Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Hak Asasi Manusia RI, Tiga DekadeProlegnas dan Peran BPHN, Jakarta, 2008
_________, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi DinamikaHukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, Jakarta: PerumPercetakan Negara RI, 2008
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006
Barb Toews, Little Book of Restorative Justice for People in Prison:Rebuilding the Web of Relationships, Intercourse, PA: GoodNooks,2006
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di LuarPengadilan, Semarang: Pustaka Magister, 2008
_________, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010
_________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidanadalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2010
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruangdan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010
516
_________, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta: GentaPublishing, 2011
Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Binacipta, 1983
Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan,Yogyakarta: UII Press, 2004
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansadan Nusamedia, 2004
Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali (terj.), Yogyakarta: TiaraWacana, 1993
CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah danBentuk-bentuk Konstitusi Dunia, diterjemahkan dari Modern PoliticalConstitution: an Introduction to the Comparative Study of TheirHistory and Existing Form, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004
Chairul Huda, Dari Tiada Tanpa Kesalahan Menuju Kepada TiadaPertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PrenadaMedia, 2006
Christopher W. Moore, Mediasi Lingkungan, Jakarta: ICEL dan CDRAssociates, 1995
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa danBagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama, 2008
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar,1962
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia danPenerapannya, Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982
517
Edward L. Rubin, Legislative Methodology: Some Lessons from the Truth inLending Act, 80GEI.L/233, 1991
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: PenerbitLubuk Agung, 2011
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education,2010
Hans Kalsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum NormatifSebagai Ilmu Empirik-Deskriptif, Tanpa Tempat: Rimdi Press, 1995
Harifin A. Tumpa,” Apa yang Diharapkan Masyarakat dari Seorang Hakim”,Varia Peradilan, Tahun XXV, No. 298, September, 2010
Helmut Schoeck, Envy: A Theory of Social Behavior, terj. Michael Glennydan Betty Ross, London: Secker and Warburg, 1969
Indah Sri Utari, Persepsi Polisi Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam KonteksPenegakan Hukum di Poltabes Semarang (Suatu Studi Sosiologi),Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997
Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
_________, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara &Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002
Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara& Departemen Agama RI, 1998
J. Landis, “Statutes and the Sourches of Law”, dalam “Harvard Legal EssaysWritten in Honor and Presented to Joseph Hendri Beale and SamuelWilliston”, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1934
518
J. B. Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum : Buku Panduang Mahasiswa,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utma, 1996
J.C.T Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dariKUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, terj.Tristam P. Moeliono, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
Jeremy Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation,Out Line of New System of Logic, Deontology, dan Theory ofLegislation¸ terjemahan Teori Perundang-Undangan Prinsip-PrinsipLegislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terj. Nurhadi, Bandung:Nuansa Media dan Nuansa, 2006
John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, California: StanfordUniversity Press, 1969
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973,yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzandan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Joko Purwono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan RI, UNS, 1993
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: CV Pustaka Setia,2011
Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam HukumPidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan danPerkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2002
519
Lili Rajidi dam IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Sistem, Bandung: RemajaRosdakarya, 2003
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik danPermasalahannya, Bandung: Mandar Maju, 2005
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian),Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Disertasi, Semarang:Universitas Diponegoro, 2003
_________, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Jakarta: PT. Sarana Bakti Semesta, 1985
_________, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan danPenyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Macquarie Library, The Macquarie Dictionary, Australia, 1985
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; TerapiParadigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia,Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP, 2009
Mahmutarom, Rekonstruksi Konsep Keadilan, Undip Semarang, 2009
Majjid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, Baltimore and London :The Johns Hopkins University Press, 1984
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta:Universitas Indonesia, 1995
520
Mark Umbreit, “Introduction: Restorative Justice Through Victim OffenderMediation”, dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: AnEssential Guide to Practice and Research, ed. UMbreit, SanFransisco: M., Jossey Bass, 2001b
Mark Umbreit dan Robert B. Coates, “The Impact of Victim OffenderMediation: Two Decades of Research”, dalam The Handbook ofVictim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice andResearch, ed. UMbreit, San Fransisco: M., Jossey Bass, 2001b
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam HukumPidana, Medan: USU Press, 2010
Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi dan Tax AmnestyDalam Penegakan Hukum, Jakarta: Referensi, 2012
Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalahdan Atas Persamaan Kedudukan dalam Hukum, Bandung: PT.Alumni, 2003
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
_________, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawab dalam Hukum Pidana,Yogyakarta: Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas GadjahMada, 2000
Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif; Sistem PeradilanTerpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi) Kapita Selekta.Yogyakarta: Galangpress, 2008
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu : Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmadan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2005
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Bandung: Alumni, 1992
521
Munawar Kholil, et.al., Silabus dan Teaching Material Pilihan PenyelesaianSengketa(PPS)/Alternative Dispute Resolution (ADR), Jakarta: FHUI-Proyek ELIPS, 1988
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim dalam MenanganiSuatu Perkara Pidana, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia,1987
Nurcholis Madjid, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin danPeradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Jakarta,Yayasan Wakaf Paramadina, Cetakan kedua, 1992
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008
Peter Noll, Gesetsgebungslehre, Reinbek: Rohwohlt, 1973
Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia,2011
Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI),Surabaya: Laksbang Mediatama, 2007
R. Subekti dan R. Citro Sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta: PT. Pradnya Paramitra, 2005
Raikhan Rashyd, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet I, Jakarta: CV.Rajawali, 1991
Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu? dalam DonnyDonardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia,Jakarta: HuMa, 2007
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006
522
Rodney A. Ellis dan Karen M. Sowers, Juvenile Justice Practice: AcrossDisciplinary Approach to Intervention, Belmont: Wadsworth, 2001
Roescoe Pound, dikutip oleh R. Abdussalam, Penegakan Hukum di LapanganOleh Polri, Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997
Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalamHukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1985
_________, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta: AksaraBaru, 1987
_________, Masih Saja Tentang Kesalahan, Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994
Romli Atmasasmita,”Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam SistemPeradilan Pidana di Indonesia,” Makalah disampaikan pada SeminarHubungan Polisi – Jaksa: Menuju Integrasi, di Auditorium BumiPutera –Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok,17 April 2008
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009
Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknis Penyusunan Kontrak, Jakarta: SinarGrafika, 2006
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: suatu Tinjauan TeoritisSerta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983
_________, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983
_________, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”, makalahdisampaikan dalam Seminar Nasional Menggugat PemikiranPositivisme di Era Reformasi, PDIH, UNDIP, Semarang, 22 Juli 2000
_________, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003
523
_________, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,Muhammadiyah University Press, 2004
_________, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2006
_________, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang PergulatanManusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007
_________, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Malang: BayumediaPublishing, 2009
_________, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: GentaPublishing, 2009
_________, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta:Genta Publishing, 2009
_________, Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Genta Publising, 2010
Soejono Koesoemo Siswoero, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum,Semarang: UNDIP, 1979
________, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai AliranFilsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya DenganPembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato PengukuhanGuru Besar, Semarang: UNDIP, 30 Maret 1989
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, SuatuPengantar Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Soerjono Soekanto, Pengertian Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982
_________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986
524
_________, Polisi Dan Lalu Lintas Analisis Menurut Sosiologi Hukum,Bandung: Mandar Maju, 1990
_________, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Citra AdityaBakti, 1991
_________, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Soetandyo Wigyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan DinamikaMasalahnya, Jakarta: Huma, 2002
_________, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan KebijakanPerkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia), Makalahpada Seminar Nasional “Pluralisme Hukum : Perkembangan diBeberapa Negara, Sejarah Pemikiran di Indonesia dan PergulatannyaDalam Gerakan Pembaharuan Hukum”, pada 21 November 2006 diUniversitas Al-Azhar, Jakarta
S.R. Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia,Bandung: Alumni, 1996
SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986
Sri Endah Wahyuningsih, Mata Kuliah Penunjuang Disertasi, PerbandinganHukum Pidana dari perspektif Religious Law System, UNISSULAPress, 2012
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:Alumni, 1992
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas HukumUndip, 1990
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991
525
Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Yogyakarta: Pusham UII-Pustaka Pelajar, 2011
_________, Robohnya Keadilan : Politik Hukum HAM Era Reformasi,Yogyakarta: Pusham UII, 2011
Suparmin, Model Polisi Pendamai Dari Perspektif Alternative DisputeResolution (ADR) (Studi Penyelesaian Konflik Antar Partai Politik).Semarang: Undip Press dengan Wahid Hasyim University Press, 2012
Suteki, Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Sistem PeradilanPidana Khususnya Tindak Pidana Ringan (TIPIRING). Paperdisampaikan di Polda Jawa Tengah, Semarang, 1 Desember 2010
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, ProsesPelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000
Teungku Muhammad Hasby Ash-shiddieqy, Al Bayan, Tafsir Penjelas Al-Qur'anul Karim, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII,Yogyakarta: Kanisius, 1995
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997
United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, New York:United Nations Publication, 2006
Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum AcaraPerdata, Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1993
Vigilijus Sadauskas, Transport: Traffic Safety Strategies, Vilnius GediminasTechnical University, Volume XVIII No. 2, Februari 2003
W.J.S. Poerwa Darminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet, Ke-8,Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1985
526
William M. Evan, “Value Conflict in the law of Evidence”, dalam SocialStructure and Law, London: Sage Publications, 1990
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:Refika Aditama, 2003
YM Immanuel Patrio, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi,Bandung: Keni Media, 2012
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 1977
Zainal Abidin Fareid, HA, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta : 2007
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan AngkutanJalan
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentangDisiplin Anggota Polri
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada TingkatKepolisian Daerah
527
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada TingkatKepolisian Resor
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun2013 Tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
SK KAPOLRI No.Pol. Skep/1205/IX/2000 Tentang Himpunan Juklak danJuknis Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, tanggal 11September 2000
Kongres PBB 9 Tahun 1995 (Dokumen A/Conf 169/6)
Laporan Konggres PBB The Prevention of Crime and the Treatment ofOffenders
International Penal Reform Conference Tahun 1999 di London
Deklarasi Wina, Konggres PBB 10 Tahun 2000, The EV Council FrameworkDecision-Mediation in Criminal Case
Ecosoc Resolusi 2002/12, Basic Principle on the Use of Restorative JusticeProgram Mes in Criminal Matters
Internet
Adiranus E. Meliala, 2006, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisidan Potensinya di Indonesia”, dikutip darihttp:/www.adrianusmeliala.com
http://diqa-butar-butar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html
http://kartikarahmah2406.wordpress.com/2012/12/02/teori-keadilan-sosial
528
http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/02/teori- keadilan-perspektif-hukum.html
Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan”http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26 (diakses 20 Mei 2013)
Mu’in Abdul Kadir, Rekonstruksi Hukum, dalamwww.fatkhulmuin1983’s.weblog.com
Rocky Marbun, “Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalamSistem Peradilan Pidana”, http: www.wordpres.com, diunduh pada 2Oktober 2012
Septina Ayu Handayani, Pandangan Monistis dan Dualistis Hukum Pidana,dalam aurockefeller.blogspot.com
Viktimologi, www.replaz.blogspot.com
www/http Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, aksestanggal 25 Desember 2012
www//http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article, di akses 27Desember 2012
www.lppm.undip.ac.id Umi Rozah Dosen Fakultas Hukum UniversitasDiponegoro Semarang, Membangun Mediasi Penal, PembaharuanHukum, Hukum Pidana ,Tahun 2009
Majalah dan Sumber Lain
Abdullah, Amin, “al-Ta’wil al-‘Ilmi: Kearah Perubahan ParadigmaPenafsiran Kitab Suci”, Jurnal Al-jami’ah IAIN Sunan Kalijaga,Volume 39, No. 2, Juli – Desember 2001,
529
A.M. Mujahidin, Hukum Progresif: Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum diIndonesia, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk Kuliah Umumdi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 18 Agustus 1997
__________;“Beberapa Catatan tentang Penafsiran”Varia Peradilan, TahunXXIV, No. 285 Agustus, 2009
_________, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam PenyelesaianSengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral
Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, PidatoPengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan
Fatahillah A. Syukur, Contrains Hampering The Implementation ofIndonesian Court Annexed Mediation and Some Proposed Solution,Paper presented at the 4th Asia Pacific Mediation Forum Conference,2008
Fitriana K. Ratnaningsih, Pelaksanaan Diskresi Oleh Polisi DalamPenyidikan di Polwiltabes Semarang, Skripsi Fakultas Ilmu SosialUniversitas Negeri Semarang, 2006
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu GugatanTerhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, PidatoPengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
Jimly Asshiddiqie. ”Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum diIndonesia” makalah Disampaikan pada acara Seminar “MenyoalMoral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas HukumUniversitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006
Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”,Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012
530
Muhammad Mustofa, ”Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian danRestorative Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum danKetertiban Sosial”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35,Tahun 2005
N. A. Ridwan, “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda P3M STAINPurwokerto, Vol 5 No. 1, 2007
Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, JurnalFilsafat Jilid 37, Nomor 2, 2004
Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalahdalam Seminar Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan olehFakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama denganProgram Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum UniversitasTrisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang BerbasisRestorative Justie makalah disampaikan dalam kegiatan Focus GroupDiscussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMANPIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”,diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan HukumNasional Badan Pembinaan Hukum Nasional /BPHN DepartementHukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010