KATA PENGANTAR · Web viewMusuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme Pengganggu...
Transcript of KATA PENGANTAR · Web viewMusuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme Pengganggu...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Evaluasi
Menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana
untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan instrument dan
hasilnya dibandingkan dengan tolok ukur untuk memperoleh kesimpulan (Thoha,
1991:17).
Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses
yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevansi dan efek serta
konsekuensinya ditentukan sistematis dan seobjektif mungkin. Data ini digunakan
untuk memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam
perencanaan program, pengambilan keputusan dan pelaksanaan program untuk
mencapai kebijaksanaan penyuluh yang efektif (Van De Ban, 1999:19).
Evaluasi pembangunan adalah suatu kegiatan untuk menilai tingkat
pencapaian tujuan program pembangunan, dengan memberi informasi yang valid
dan dapat dipercaya mengenai kinerja pembangunan, memberi sumbangan pada
klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan
target, memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis lainnya,
termasuk perumusan masalah dan rekomendasi (Teguh, 2008:23).
Evaluasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk
melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu
10
sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut.
Karenanya, dalam keberhasilan ada dua konsep yang terdapat di dalamnya yaitu
efektifitas dan efisiensi. Efektifitas merupakan perbandingan antara output dan
inputnya sedangkan efisiensi adalah taraf pendayagunaan input untuk
menghasilkan output lewat suatu proses (Djunaidi, 2009:34).
Menurut Wulan dalam Arikunto (1999:47), Evaluasi program adalah suatu
rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan
program.
Menurut Worthen dan Sanders (1979) dalam Djunaidi (2008:35). Evaluasi
adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut
dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur
tertentu. Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia
sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang. Seorang manusia
yang telah mengerjakan suatu hal, pasti akan menilai apakah yang dilakukannya
tersebut telah sesuai dengan keinginannya semula.
Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi formatif, evaluasi ini
dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan
(progam, orang, produk, dan sebagainya). Fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk
pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya
membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu progam, perbaikan
progam, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dari mereka yang terlibat ( Farida, 2000:18).
11
Menurut Mardikanto (2005:32), Pokok-pokok yang terkandung dalam
pengertian evaluasi adalah :
1. Kegiatan pengamatan dan analisis terhadap suatu keadaan, peristiwa,
gejala alam atau sesuatu obyek.
2. Membandingkan segala sesuatu yang kita amati dengan pengalaman atau
pengtahuan yang kita miliki atau ketahui.
3. Melakukan penilaian atas segala sesuatu yang diamati berdasarkan hasil
perbandingan atau pengukuran yang kita lakukan.
Menurut Stufflebeam (1967) dalam Tayibnapis (2000:46) evaluasi dibagi
menjadi empat macam, yaitu :
1. Context evaluation to serve planning decision. Konteks evaluasi ini
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan
dicapai oleh progam dan merumuskan tujuan progam.
2. Input evaluation, structuring decision. Evaluasi ini menolong mengatur
keputusan, menentukkan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang
diambil, apa yang direncanakan dan strategi untuk mencapai kebutuhan.
3. Procces evaluation, to serve implementing decision. Evaluasi proses untuk
membantu mengimplementasikan keputusan. Sampai sejauh mana rencana
telah diterapkan? apa yang harus direvisi? Begitu pertanyaan tersebut
terjawab, prosedur dapat dimonitor, dikontrol dan diperbaiki.
4. Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk
menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah dicapai? Apa yang
dilakukan setelah progam berjalan?
12
Menurut Fuddin (2008:21). Model CIPP merupakan model yang berorientasi
kepada pemegang keputusan. Model ini membagi evaluasi dalam empat macam,
yaitu :
1. Evaluasi konteks melayani keputusan perencanaan, yaitu membantu
merencanakan pilihan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan
dicapai dan merumuskan tujuan program.
2. Evaluasi masukan untuk keputusan strukturisasi yaitu menolong mengatur
keputusan menentukan sumber-sumber yang tersedia, alternatif-alternatif
yang diambil, rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, serta
prosedur kerja untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
3. Evaluasi proses melayani keputusan implementasi, yaitu membantu
keputusan sampai sejauh mana program telah dilaksanakan.
4. Evaluasi produk untuk melayani revisi keputusan.
Ada banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan evaluasi program
khususnya program pendidikan. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara
model-model tersebut, tetapi secara umum model-model tersebut memiliki
persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang dievaluasi
sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan.
Menurut Djunaidi (2009:14), Model-model dalam evaluasi ini dapat
dikelompokkan menjadi 6 (enam), yaitu :
1. Goal oriented Evaluation
Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan
pantauan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang terus-
13
menerus ini menilai kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta program
serta efektifitas temuan-temuan yang dicapai oleh sebuah program. Salah
satu model yang bisa mewakili model ini adalah discrepancy model yang
dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih jauh tentang adanya
kesenjangan (discrepancy) yang ada dalam setiap komponen yakni apa
yang seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai.
2. Decision Oriented Evaluation
Dalam model ini, evaluasi harus dapat memberikan landasan berupa
informasi-informasi yang akurat dan obyektif bagi pengambil kebijakan
untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan program. Evaluasi
CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam merupakan salah satu contoh
model evaluasi ini. Model CIPP merupakan salah satu model yang paling
sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri dari 4 komponen evaluasi
sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan dari
Context, Input, Process dan Product.
Evaluasi konteks (context evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang
bertujuan menyediakan alasan-alasan (rationale) dalam penentuan tujuan
(Baline R. Worthern dan James R Sanders : 1979) Karenanya upaya yang
dilakukan evaluator dalam evaluasi konteks ini adalah memberikan
gambaran dan rincian terhadap lingkungan, kebutuhan serta tujuan (goal).
Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan
menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan
sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi
14
proses (process evaluation) diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang
direncanakan tersebut sudah dilaksanakan. Ketika sebuah program telah
disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah evaluasi proses dalam
menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang bertanggungjawab
dalam melaksanakan program tersebut.
Evaluasi Produk (product evaluation) merupakan bagian terakhir dari
model CIPP. Evaluasi ini bertujuan mengukur dan menginterpretasikan
capaian-capaian program. Evaluasi produk menunjukkan perubahan-
perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini, evaluasi produk
menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan, dimodifikasi
kembali atau bahkan akan dihentikan.
3. Transactional Evaluation
Dalam model ini, evaluasi berusaha melukiskan proses sebuah program
dan pandangan tentang nilai dari orang-orang yang terlibat dalam program
tersebut.
4. Evaluation Research
Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian evaluasi memfokuskan
kegiatannya pada penjelasan dampak-dampak pendidikan serta mencari
solusi-solusi terkait dengan strategi instruksional.
5. Goal Free Evaluation
Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven ini yakni Goal Free
Evaluation Model justru tidak memperhatikan apa yang menjadi tujuan
program sebagaimana model goal oriented evaluation. Yang harus
15
diperhatikan justru adalah bagaimana proses pelaksanaan program, dengan
jalan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang terjadi selama
pelaksanaannya, baik hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif.
6. Adversary Evaluation
Model ini didasarkan pada prosedur yang digunakan oleh lembaga hukum,
setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai tujuan tertentu.
Demikian juga dengan evaluasi menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13)
ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
diarahkan kepada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih
difokuskan pada masing-masing komponen (Djunaidi, 2009:19).
2. Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu atau cara bagaimana
mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh
individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal
sehingga tercapai tujuan (goal) bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat
menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan
adalah manusia bukan mesin dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis
(Gary, 2005)
Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan
implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan
karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan
hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen sumber daya manusia
16
melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi secara
langsung sumber daya manusianya (Simamora 2005:6).
Menurut Siagian (2006:43) tujuan-tujuan MSDM terdiri dari empat tujuan,
yaitu :
1. Tujuan Organisasional
Ditujukan untuk dapat mengenali keberadaan manajemen sumber daya
manusia (MSDM) dalam memberikan kontribusi pada pencapaian efektivitas
organisasi. Walaupun secara formal suatu departemen sumber daya manusia
diciptakan untuk dapat membantu para manajer, namun demikian para
manajer tetap bertanggung jawab terhadap kinerja karyawan. Departemen
sumber daya manusia membantu para manajer dalam menangani hal-hal yang
berhubungan dengan sumber daya manusia.
2. Tujuan Fungsional
Ditujukan untuk mempertahankan kontribusi departemen pada tingkat yang
sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sumber daya manusia menjadi tidak
berharga jika manajemen sumber daya manusia memiliki kriteria yang lebih
rendah dari tingkat kebutuhan organisasi.
3. Tujuan Sosial
Ditujukan untuk secara etis dan sosial merespon terhadap kebutuhan-
kebutuhan dan tantangan-tantangan masyarakat melalui tindakan meminimasi
dampak negatif terhadap organisasi. Kegagalan organisasi dalam
menggunakan sumber dayanya bagi keuntungan masyarakat dapat
menyebabkan hambatan-hambatan.
17
4. Tujuan Personal
Ditujukan untuk membantu karyawan dalam pencapaian tujuannya, minimal
tujuan-tujuan yang dapat mempertinggi kontribusi individual terhadap
organisasi. Tujuan personal karyawan harus dipertimbangkan jika
parakaryawan harus dipertahankan, dipensiunkan, atau dimotivasi. Jika tujuan
personal tidak dipertimbangkan, kinerja dan kepuasan karyawan dapat
menurun dan karyawan dapat meninggalkan organisasi.
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Para petani dalam suatu organisasi sebagai sumber daya
manusia, dan sebagai hasil proses seleksi harus dikembangkan
agar kemampuan mereka dapat mengikuti perkembangan
organisasi. Di dalam suatu organisasi, unit atau bagian yang
mempunyai tugas untuk pengembangan tenaga ini biasanya unit
pendidikan dan pelatihan. Pengembangan sumber daya manusia
dapat diartikan sebagai upaya mempersiapkan sumber daya
manusia agar dapat bergerak dan berperan dalam organisasi
sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan dan perubahan
suatu organisasi.
Oleh sebab itu, kegiatan pengembangan karyawan
dirancang untuk memperoleh karyawan-karyawan yang mampu
berprestasi dan fleksibel untuk suatu organisasi atau instansi
18
dalam geraknya di masa depan. Pengembangan sumber daya
manusia juga merupakan suatu cara efektif untuk menghadapi
beberapa tantangan yang harus dihadapi (T. Hani Handoko,
2000:117).
4. Pengertian Pendidikan dan Latihan
Zais, (1986:317) mengemukakan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai
proses memperluas kepedulian dan keberadaan seseorang menjadi dirinya sendiri,
atau proses mendefinisikan dan meredefinisikan keberadaan diri sendiri di tengah-
tengah lingkungannya. Sedangkan pelatihan dapat diartikan sebagai proses di
mana para instruktur memanipulasi peserta dan lingkungan mereka dengan cara-
cara tertentu sehingga peserta mampu menguasai perilaku yang diinginkan.
Pengertian pendidikan dan pelatihan yang dimaksud Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 adalah proses penyelenggaraan
belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil.
pendidikan dan pelatihan meliputi dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pendidikan
dan fungsi pelatihan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
pendidikan dan pelatihan yang dimaksud Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2000, bertujuan untuk :
1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi
kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan
instansi.
19
2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan
perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada
pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat.
4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan
tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya
kepemerintahan yang baik.
Melengkapi pendapat tersebut di atas, menurut Wexley dan Yukl (1995:301)
menyatakan “pelatihan adalah proses di mana pekerja mempelajari keterampilan,
sikap dan perilaku yang diperlukan guna melaksanakan pekerjaan mereka secara
efektif”.
Sesuai dengan definisi di atas, perbedaan esensial antara pendidikan dan
pelatihan terletak pada tujuannya. Program pelatihan memiliki sasaran dan tujuan
yang jelas sehingga pesertanya dianggap sebagai bahan baku yang perlu diproses
agar menjadi produk yang sudah direncanakan. Pendidikan pada sisi lain, lebih
ditekankan pada aspek memanusiakan manusia. Mengingat manusia memiliki
aneka ragam potensi, maka proses pendidikan dan pelatihan ini dapat pula
diterapkan secara beragam.
Pandangan di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat Brown, (1989:161),
yang menyatakan bahwa ”pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan,
sedangkan pelatihan bertujuan pada perbaikan perilaku”. Sesuai dengan pendapat
ini maka pelatihan harus lebih tertata dari pada pendidikan sebab pengetahuan
dapat di transfer kapan saja. Sedangkan pelatihan harus disusun secara sistematis
20
dan skematis agar sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan
pelatihan sebagai proses memanusiakan manusia dan membekali pesertanya
dengan keterampilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerjanya.
5. Pengertian Hama
Yang dimaksud dengan hama adalah semua binatang yang merugikan
tanaman, terutama yang berguna dan dibudidayakan manusia; apabila tidak
merugikan tanaman yang berguna dan dibudidayakan manusia dengan sendirinya
tidak disebut sebagai hama (Pracaya, 1991:7).
Hama adalah semua binatang (seperti babi, tikus, serangga, burung, tupai,
siput dan lain sebagainya) yang karena aktivitas hidupnya biasa merusak tanaman
atau hasilnya dan menurunkan kualitas maupun kuantitas sehingga menimbulkan
kerugian secara ekonomi bagi manusia (Natawigena, 1990:40)
“A pest is an organism which has characteristics that are regarded by humans as injurious or unwanted. This is most often because it causes damage to agriculture through feeding on crops or parasitising livestock, such as codling moth on apples, or boll weevil on cotton. An animal can also be a pest when it causes damage to a wild ecosystem or carries germs within human habitats. Examples of these include those organisms which vector human disease, such as rats and fleas which carry the plague disease, or mosquitoes which vector malaria.”
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hama merupakan
organisme yang keberadaannya menyebabkan kerusakan fisik komoditi dan
mengganggu kepentingan manusia secara ekonomi. Suatu organisme bisa
berstatus hama karena pengaruhnya terhadap kepentingan manusia. Keberadaan
mereka yang menyebabkan kerusakan komoditi sehingga menurun nilai
21
ekonomisnya, ataupun mengganggu kenyamanan hidup manusialah yang
menaikkan status dari hanya organisme menjadi hama
Tanaman pertanian sering diganggu atau dirusak oleh organisme
pengganggu yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme
pengganggu tanaman/tumbuhan ini dikenal sebagai hama (Djojosumarto,
2000:25).
6. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Di dunia internasional Indonesia terkenal sebagai negara
berkembang pertama yang telah berhasil menerapkan PHT
ditingkat petani sehingga sekarang telah dijadikan model bagi
negara-negara lain dalam menerapkan dan mengembangkan
PHT sesuai dengan kondisi pertanaman, ekosistem, dan sistem
sosial ekonomi masyarakat (Untung, 2008).
Program Nasional PHT (Pronas PHT) di Indonesia dimulai
pada tahun 1989 yang merupakan wujud dari Inpres No. 3 Tahun
1986, dengan dicabutnya subsidi pestisida secara bertahap.
Tindakan ini diambil karena adanya kekhawatiran pencemaran
lingkungan semakin meningkat karena penggunaan pestisida.
Pada kenyataannya permasalahan hama dan penyakit tumbuhan
tetap tinggi walaupun ada kebijakan subsidi pestisida. Di tahun-
tahun ke depannya, Inpres ini didukung juga oleh Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1992 mengenai Sitem Budidaya
Tanaman yang menyebutkan bahwa perlindungan tanaman
22
dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu (Abadi,
2005:21).
Mulanya pengembangan Program Nasional PHT dimulai pada
tanaman padi. Penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia
telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan Program Nasional
PHT pada tanaman padi (tahun 1989), palawija (1990), sayuran
(tahun 1992) dengan dukungan dana “hibah (grant)” dari UNDP
(1989 – 1993) dan dikoordinasikan oleh BAPPENAS. Sejak tahun
1994 sampai dengan 1998 dilanjutkan dengan bantuan dana
“Loan” dari Bank Dunia dan dikoordinasikan oleh Departemen
Pertanian. Program Nasional PHT pada tanaman perkebunan
mulai dilaksanakan pada bulan April 1997 selama tujuh tahun
dengan dukungan dana dari ADB (Mutsanna, 2008:38).
Tiga program pokok dari Program Nasional PHT yaitu: (1)
Pengembangan teknologi PHT melalui kegiatan penelitian; (2)
Pengembangan kualitas dan kuantitas SDM melalui pelatihan
petugas lapangan dan Sekolah Lapangan PHT; dan (3)
Kelembagaan yang mendukung penerapan dan pengembangan
PHT. Sebagai catatan, ternyata Program Nasional PHT dari tahun
1989-1999 telah berhasil melatih lebih dari satu juta petani padi
melalui penerapan SLPHT. Komoditi yang dicakup pada kegiatan
PHT yaitu padi, kedelai, kubis, kentang, cabe, dan bawang
merah. PHT di bidang perkebunan telah berhasil melatih 106.000
23
petani pada komoditas kopi, kakao, dan lain-lain (Mutsanna,
2008:76).
PHT adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan
menyadarkan diri pada faktor-faktor moralitas alami seperti musuh alami dan
cuaca serta mencari taktik pengendalian yang mendatangkan gangguan sekecil
mungkin terhadap faktor-faktor tersebut. PHT menggunakan pestisida hanya
setelah pemantauan populasi hama yang sistematis dan pemantauan musuh alami
menunjukkan diperlukannya penggunaan pestisida (Flint dan R Van den Bosh,
1993:93)
Kogan (dalam Samsudin, 2008:46) mendefinisikan PHT merupakan sistem
yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan menggunakan
taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara harmonis
dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan keuntungan yang
berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan.
Smith (dalam Oka, 1995:97) mendefinisikan PHT sebagai berikut:
Pemberantasan Hama Terpadu (“Integrated Pest Control”): adalah pengendalian
hama yang menggunakan semua teknik dan metoda yang sesuai dalam cara-cara
yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah
tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan lingkungan dan
dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan.
Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu sistem pengelolaan populasi
hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan serasi
mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu
24
aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan
kerusakan ekonomi (Untung, 1997:93).
Dilihat dari aspek teknologi, PHT merupakan perpaduan berbagai teknologi
pengendalian hama yang dapat menekan populasi hama sehingga tidak
mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani. Menurut Undang-Unfang Nomor
12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyatakan bahwa penggunaan
pestisida dalam sistem PHT merupakan alternatif terakhir. Tujuan utama PHT
tidak hanya mengendalikan populasi hama tetapi juga meningkatkan produksi dan
kualitas produksi serta meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan petani. Cara
dan metode yang digunakan adalah dengan memadukan teknik-teknik
pengendalian hama secara kompatibel serta tidak membahayakan kesehatan
manusia dan lingkungan hidup (Untung, 2003)
Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman (2007:41), ada empat prinsip
yang digunakan dalam PHT adalah sebagai berikut :
1. Budidaya tanaman sehat
2. Pelestarian musuh alami
Musuh alami merupakan faktor penting pengendali Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) untuk dilestarikan dan dikelola agar mampu
berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di alam.
3. Pengamatan secara teratur
Masalah OPT biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur
lingkungan yang sesuai baik biotik maupun abiotik serta campur tangan
manusia yang dapat mendukung pertumbuhan populasi OPT, oleh karena
25
itu pengamatan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin
merupakan dasar analisis ekosistem untuk mengambil keputusan dan
melakukan tindakan yang diperukan.
4. Petani sebagai ahli PHT
Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri, hendaknya
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem
serta mampu menetapkan keputusan pengendalian OPT secara tepat sesuai
dengan prinsip PHT.
Menurut Direktorat Perlindungan Tanaman (2007:43), Strategi PHT adalah
memadukan semua teknik atau metode pengendalian OPT secara kompitabel.
Teknik atau metode pengendalian yang dapat digunakan antara lain :
1. Pemanfaatan pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan
yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.
2. Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, bertujuan untuk
membuat lingkungan tanaman padi kurang sesuai untuk perkembangan
OPT serta mendorong berfungsinya agen hayati
3. Pengendalian fisik dan mekanik bertujuan untuk mengurangi populasi
OPT, mengganggu fisiolgis OPT, memanipulasi lingkungan fisik sehingga
kurang sesuai bagi perkembangan OPT.
4. Penggunaan pestisida secara bijaksana dengan melaksanakan prinsip tepat
jenis, mutu, waktu, cara, sasaran, dosis dan konsentrasi.
Menurut Oka (1995:87) tujuan Pengendalian Hama Terpadu dapat diuraikan
sebagai berikut:
26
1. Memantapkan hasil dalam taraf yang telah dicapai oleh teknologi
pertanian maju
2. Mempertahankan kelestarian lingkungan
3. Meningkatkan efisiensi masukan dalam berproduksi.
4. Meningkatkan kesejahteraan / pendapatan petani.
5. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu.
7. Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu
PHT kemudian disebarluaskan ke petani dengan pola
Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Prinsip pendidikan orang dewasa
(andragogi) yang diwujudkan dalam bentuk SLPHT telah diakui
relevansi, efektivitas serta manfaatnya oleh banyak pihak
sebagai pendekatan pemberdayaan petani untuk kondisi petani
di negara berkembang (Untung, 2008:99).
SLPHT berupa pendekatan proses belajar pendidikan non
formal di mana materi pelajaran, tempat pertemuannya berada
di lapangan (kebun). Pemandu Lapang (PL) atau fasilitator
merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan
dalam keberhasilan pelaksanaan SLPHT. Karena kepemilikan
gelar sarjana bidang perlindungan tanaman dan pengalaman
kerja minimal 5 tahun dalam bidang perlindungan tanaman sulit
dipenuhi sehingga seseorang dengan latar belakang yang baik
dalam bidang perlindungan tanaman dapat dipilih menjadi PL.
Petani peserta SLPHT adalah petani yang terlibat langsung dalam
27
produksi perkebunan sebagai petani pemilik kebun, memiliki
kebun minimal 0,5 ha, dapat membaca dan menulis. Pertemuan
SLPHT diadakan sebanyak 20 pertemuan, sekali seminggu.
Setiap kelompok SLPHT beranggotakan 25 petani dengan
minimal 20% anggota wanita (Direktorat Jenderal Perkebunan,
2006:37).
Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan suatu
model percontohan yang tujuannya adalah untuk melatih petani agar memiliki
keahlian dalam pengendalian hama dan mampu menerapkan di lapangan (Denny,
2008:59).
Direktorat Jenderal Perkebunan (2004:14) menyebutkan
bahwa melalui Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT), diharapkan petani mampu mengembangkan sekaligus
menerapkan empat prinsip PHT, yaitu 1) budi daya tanaman
sehat, 2) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, 3)
pengamatan ekosistem secara berkala dan 4) petani mampu
menjadi manajer dalam usaha tani. Keberhasilan SLPHT dapat
dilihat dari kemampuan petani dalam menerapkan keempat
prinsip tersebut.
SLPHT adalah suatu model percontohan latihan petani secara besar-besaran,
tujuan dari kegiatan ini adalah unuk melatih petani sehingga mampu
meningkatkan kemampuan dan pengetahuan untuk dapat digunakan memecahkan
masalahnya sendiri terutama mengenai serangan organisme pengganggu tanaman,
28
selain itu diharapkan dapat menjadi ahli lapangan PHT sehingga mampu
menerapkan prinsip PHT, sekurang-kurangnya di lingkungan sawahnya sendiri
(Untung, 1993:85).
Menurut Untung (1996:30), Sekolah Lapangan PHT adalah suatu model
percontohan latihan petani secara besar-besaran. Tujuan Sekolah Lapangan PHT
(SLPHT) adalah untuk melatih petani sehingga menjadi ahli lapangan PHT
sehingga mampu menerapkan prinsip-prinsip PHT, sekurang-kurangnya
dilingkungan sawahnya sendiri. Untuk menghasilkan petani yang ahli dalam PHT,
keterampilan dasar yang perlu didapatkan dari SLPHT adalah :
a. Pengenalan musuh alami, hama dan pola penyerangannya.
Kemampuan mengidentifikasi musuh alami, hama maupun pola
penyerangannya dapat dipelajari melalui analisis ekosistem.
b. Pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis yang disusun, petani
dapat mengambil keputusan yang terbaik dalam pengendalian hama,
sehingga modal yang ditanamkan di sawahnya dapat diefisienkan
penggunaannya.
SLPHT merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk lebih
memasyarakatkan PHT secara nyata dan benar di lapangan. Tujuannya agar petani
menjadi tahu, mau dan mampu menerapkan empat prinsip dasar PHT di kebunnya
yaitu (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami,
(c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan
manajer di kebunnya.
29
Dalam SLPHT juga terdapat peserta, pemandu, kurikulum dan kegiatan
berlatih melatih yang menyatu dengan lingkungan alam nyata. Sedangkan metoda
berlatih melatih yang dipakai adalah mengacu pada prinsip-prinsip berlatih
melatih orang dewasa (andragogi) dengan siklus berlatih melatih melalui
pengalaman (Experience Learning Cycle/ELC) (Chalifah, 2007:17).
Metode yang digunakan dalam kegiatan SLPHT skala luas adalah metode
pendidikan orang dewasa (POD) dengan mengutamakan sistem atau cara
pembelajaran lewat pengalaman (CBLP). (Dinas Pertanian Perkebunan dan
Kehutanan, 2007:53)
Azas pokok pelatihan SLPHT di didasarkan pada acuan umum
penyelenggaraan SLPHT yaitu (a) kebun sebagai sarana belajar utama, (b) belajar
dari pengalaman, (c) pengkajian agroekosistem, (d) metode dan bahan praktis
serta tepat guna, dan (e) kurikulum keterampilan sesuai yang dibutuhkan.
Menurut Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (2007:54), Tujuan
Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah sebagai berikut :
1. Meningkatakan kemampuan dan keterampilan petani di bidang
pengamatan OPT pada tanaman pangan dan teknologi pengendaliannya.
2. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petani dalam menganalisis
agroekosistem pertanian.
3. Mengendalikan serangan OPT pada kawasan/hamparan
4. Meningkatkan pemahaman petani akan perlunya kerjasama baik antar
anggota dalam kelompok tani maupun antar kelompok.
5. Meningkatkan kerjasama dalam/dan antar kelompok dalam berusahatani
30
6. Meningkatkan kualitas agroekosistem.
B. Penelitian yang Relevan
Maya Novariyanthy (2009), mahasiswa Program Pascasarjana Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada mengadakan penelitian tentang
Dampak SLPHT terhadap Perubahan Perilaku, Produktivitas dan Pendapatan
Petani pada Perkebunan Teh Rakyat di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten
Bandung.
Dalam hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai
pengetahuan mengenai PHT teh lebih baik daripada petani
non-SLPHT.
2. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai
sikap mengenai PHT teh lebih baik daripada petani non-
SLPHT.
3. Diduga petani alumni SLPHT mempunyai
perilaku mengenai PHT teh lebih baik daripada petani non-
SLPHT
4. Diduga produktivitas dari usaha tani teh
petani alumni SLPHT lebih tinggi daripada petani non-
SLPHT.
5. Diduga pendapatan dari usaha tani teh
petani alumni SLPHT lebih tinggi daripada petani non-
SLPHT.
31
6. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
pendapatan petani teh dari usahatani teh adalah luas
kebun, harga pucuk teh, umur tanaman, produktivitas
kebun, tenaga kerja yang digunakan, jumlah tanggungan
dan keikutsertaan petani dalam SLPHT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani teh yaitu berusia
antara 30-59 tahun, mempunyai rata-rata pendidikan formal sekolah dasar,
mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 4-6 orang, mempunyai luas kebun
paling banyak pada luasan 0,1 – 0,5 ha, umur tanaman teh yang dimiliki 11 – 15
tahun dan mempunyai pengalaman berkebun 11-15 tahun. Selain itu juga petani
alumni SLPHT memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku petani mengenai
PHT lebih tinggi pada petani alumni SLPHT dibandingkan petani non-SLPHT
serta produktivitas dan pendapatan petani alumni SLPHT lebih tinggi
dibandingkan dengan petani non-SLPHT. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan petani adalah harga pucuk teh, produktivitas kebun, tenaga kerja dan
dummy SLPHT.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Kebanyakan petani teh di Kecamatan Pasirjambu berusia
produktif yaitu antara 30 – 59 tahun dengan tingkat
pendidikan formal petani adalah sekolah dasar.
2. Petani memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 –
6 orang dalam satu keluarga dan anak-anak petani
kebanyakan masih bersekolah di sekolah dasar
32
3. Status kepemilikan kebun adalah milik sendiri dengan luas
kebun paling banyak dengan luasan 0,1 – 0,5 ha, umur
tanaman teh yaitu 11 – 20 tahun, pengalaman berkebun
teh yaitu 11 – 15 tahun, kurang dari 5% petani pernah
mengikuti pelatihan selain SLPHT dan petani mempunyai
usaha lain selain usahatani teh.
4. Tingkat pengetahuan petani alumni SLPHT meliputi
pengetahuan mengenai budidaya teh, agroekosistem
kebun teh dan OPT teh dan musuh alaminya lebih tinggi
dibandingkan dengan petani non-SLPHT.
5. Tingkat sikap petani alumni SLPHT terhadap PHT dan
SLPHT lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-SLPHT.
6. Tingkat perilaku petani alumni SLPHT meliputi perilaku
mengenai budidaya teh, agroekosistem kebun teh dan OPT
teh dan musuh alaminya lebih tinggi dibandingkan dengan
petani non-SLPHT.
7. Dampak SLPHT pada perubahan perilaku petani antara lain
1) mampu melakukan teknik budidaya teh yang benar, 2)
mampu melakukan pengendalian OPT berdasarkan analisa
agroekosistem, 3) mampu menggunakan pestisida sintetis
dengan benar, seperti arah penyemprotan yang benar,
mengurangi rutinitas penggunaan pestisida, resiko
kesehatan yang lebih rendah.
33
8. Produktivitas kebun teh petani alumni SLPHT (Rp 13.907
kg/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-SLPHT
(Rp 10.754 kg/ha).
9. Pendapatan petani alumni SLPHT (Rp 9.151,988/ha) lebih
tinggi dibandingkan dengan petani non SLPHT (Rp
4.341.366/ha).
10. Dampak SLPHT terhadap usahatani teh yaitu
pengggunaan pupuk sintetis lebih sedikit dan
menggantinya dengan pupuk alami, penggunaan pestisida
sintetis lebih sedikit dan menggantinya dengan pestisida
nabati, penggunaan tenaga kerja upahan lebih sedikit dan
lebih banyak memakai tenaga kerja keluarga.
11. Harga jual pucuk teh, produktivitas, tenaga kerja dan
keikutsertaan dalam SLPHT berpengaruh positif terhadap
pendapatan petani. Sedangkan jumlah tenaga kerja
upahan berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.
12. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pendapatan petani teh adalah harga jual pucuk teh,
produktivitas, tenaga kerja dan keikutsertaan dalam
SLPHT.
13. Faktor-faktor lain yang akan turut menunjang
keberhasilan SLPHT adalah dinamika kelompok tani,
pemasaran termasuk di dalamnya harga dan sarana