Kata Pengantarsatudata.semarangkota.go.id/adm/file/20170919081838PemerataanPenda... · Konsep dan...

46

Transcript of Kata Pengantarsatudata.semarangkota.go.id/adm/file/20170919081838PemerataanPenda... · Konsep dan...

Kata Pengantar

Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi

”Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang

Tahun 2014”.

Bahasan pada publikasi ini memuat gambaran tingkat ketimpangan

pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang. Untuk keperluan

tersebut, selain menggunakan hasil survei tahun 2014 juga dilengkapi dengan data

lain yang terkait dengan pokok bahasan.

Publikasi ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kota Semarang dengan Badan Pusat Statistik Kota

Semarang.

Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaik-baiknya,

namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta

saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan.

Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan

pembangunan di Kota Semarang.

KEPALA BAPPEDA

KOTA SEMARANG

T T D

BAMBANG HARYONO

Pembina Utama Muda

NIP. 19580410 198603 1 010

Semarang, 2015

KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK

KOTA SEMARANG

T T D

ENDANG RETNO SRI SUBIYANDANI, S.Si

Pembina Tk. I

NIP. 19641023 198802 2 001

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 ii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ..................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

Daftar Gambar ..................................................................................................... iv

Daftar Tabel ......................................................................................................... v

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar belakang ........................................................................... 2

1.2. Tujuan ........................................................................................ 3

1.3. Sistematika Penulisan ................................................................ 3

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Teori Pareto ............................................................................... 5

2.2. Indeks Theil dan Indeks-L ......................................................... 6

2.3. Teori Gini Ratio ........................................................................ 7

2.4. Kriteria Bank Dunia .................................................................. 10

BAB III Metodologi

3.1. Sumber Data .............................................................................. 13

3.2. Konsep dan Definisi .................................................................. 13

3.3. Teknik Analisis ......................................................................... 14

BAB IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Semarang

4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang

Tahun 2010 – 2014 .................................................................... 18

4.2. Pola Konsumsi Rumahtangga ................................................... 21

4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan .......................................... 28

a. Koefisien Gini ....................................................................... 28

b. Relatif Ineqauality (Kriteria Bank Dunia) ............................ 33

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 iii

BAB V Penutup

5.1 Kesimpulan ................................................................................ 38

5.2. Saran .......................................................................................... 39

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2010 ................... 20

Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang

Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010 .......... 21

Gambar 3. Prosentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang ..... 23

Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita Sebulan Dirinci Menurut

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2014 ............................ 25

Gambar 5. Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 .............. 26

Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2014 ............................... 28

Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Ratio Kota Semarang

Tahun 2010 – 2014 ...................................................................... 30

Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2010 – 2014 ................................................ 33

Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria bank Dunia Tahun 2014 ................................................. 36

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Kota Semarang

Tahun 2010 – 2014 ............................................................................ 19

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

Tahun 2010 – 2014 ............................................................................ 19

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah)

Tahun 2010 – 2014 ............................................................................ 20

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran perkapita Sebulan dan Komposisi

Konsumsi Penduduk Kota Semarang .................................................. 22

Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota

Semarang Tahun 2014 ....................................................................... 27

Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2010 – 2014 ............................................................................ 29

Tabel 7. Peringkat Gini Ratio Kab./Kota di wilayah Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2010 – 2014 ............................................................... 31

Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria Bank Dunia Tahun 2009 – 2013 ........................................... 34

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 1

BAB I

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 2

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan

perekonomian di suatu wilayah, adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat

pertumbuhan PDRB. Secara lebih rinci sering pula diulas faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno, pertumbuhan Ekonomi

adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu

perekonomian dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Karena pendapatan regional adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh

seluruh pelaku ekonomi dalam suatu wilayah, maka besar atau kecilnya pendapatan

regional dapat dilihat sebagai gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat di

wilayah yang bersangkutan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang hanya

diukur dengan pendapatan regional belum tentu berkorelasi positif dengan

kesejahteraan masyarakatnya atau dapat dikatakan bahwa besarnya tingkat

pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan gambaran bahwa seluruh penduduk yang

ada di wilayah tersebut meningkat kesejahteraannya. Sangat mungkin terjadi, ekonomi

meningkat pesat tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat.

Pengukuran atau evaluasi hasil pembangunan dirasa belum cukup apabila hanya

di ukur dengan pertumbuhan ekonomi melalui PDRB, diperlukan parameter lain yang

mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat terkait dengan distribusi

hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Publikasi ini memuat parameter penunjang

indikator pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan gambaran tentang: pemerataan

pendapatan (mengukur seberapa besar kesenjangan pendapatan antar penduduk)

sekaligus melihat perubahan pola konsumsi masyarakatnya di Kota Semarang tahun

2014.

BAB I PENDAHULUAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 3

1.2. Tujuan

Publikasi ini, bertujuan untuk memberikan gambaran pemerataan pendapatan dan

pola konsumsi penduduk di Kota Semarang pada tahun 2014. Series data dari publikasi

ini diharapkan dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distribusi pendapatan di

Kota Semarang.

1.3. Sistematika Penulisan

Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu :

Bab I Pendahuluan,

Berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka,

Berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan.

Bab III Metodologi,

Mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang

digunakan dalam penulisan ini.

Bab IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kota Semarang 2014,

Berisi uraian ringkas tentang distribusi pendapatan dan Pola konsumsi di Kota

Semarang.

Bab V Penutup,

Berisi kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 4

BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 5

TINJAUAN PUSTAKA

Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya

dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua

negara di dunia. Menurut Kuncoro (1997), kemiskinan dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu :

pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan pendekatan ini di identifikasikan jumlah

penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. kedua, kemiskinan relatif,

yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan

pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah

distribusi pendapatan.

Badan Pusat Statistik dalam "Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan

2009", untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan tersebut telah muncul

beberapa teori maupun ukuran yang digunakan, antara lain :

2.1. Teori Pareto

VilfredoPareto (1897) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan

2009 (BPS, 2009), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di

Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti

distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut:

A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X

X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang

bersangkutan

N = Jumlah penduduk total

b = Parameter yang nilainya antara 1 dan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 6

Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui

ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya

mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya

ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen

kelompok penduduk terkaya menikmati 80 % dari pendapatan nasional negaranya.

2.2. Indeks Theil dan Indeks -L

Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah

ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah

Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut

masuk dalam famili ukuran ketimpangan "generalized enthropy". Rumus "generalized

enthropy" secara umum dapat ditulis sebagai berikut:

( )

( )*

∑ (

)

+,

adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran).

Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan

nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α

dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara

pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang

lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi

(penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap

perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya).

Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.

a) GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut:

GE(1) =

∑ (

) (

)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 7

b) GE (0), juga dikenal dengan indeks-L, disebut ukuran deviasi log rata-rata

(mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari

log (y):

GE(0) =

∑ (

)

2.3. Teori Gini Ratio

Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk

mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini

adalah sebagai berikut :

∑ ( )

G = Gini Ratio

Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i

Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i

Qi-1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1

k = Banyaknya kelas pendapatan

Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah

pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau

tinggi.

Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut :

a. Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,35

b. Ketimpangan taraf sedang, bila G antara 0,35 - 0,5

c. Ketimpangan taraf tinggi, bila G > 0,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 8

Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai Indeks Gini

menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks

Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi

pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan

yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran

ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya

menggunakan data pengeluaran.

Kurva Lorez

Keterangan:

- Sumbu OB menyatakan persentase jumlah penduduk

- Sumbu OD menyatakan persentase pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 9

Titik K pada kurva OKLB menunjukkan 40 persen jumlah penduduk menerima

pendapatan sebesar 10 persen total pendapatan. Sedang titik M pada kurva OMNB

menggambarkan bahwa 40 persen jumlah penduduk menerima bagian pendapatan

sebesar 17 persen dari total pendapatan. Berarti distribusi pendapatan yang digambarkan

oleh kurva OMNB lebih merata dari pada distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh

kurva OKLB.

Kelemahan Gini Ratio adalah besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan

letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva

OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang

diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase

yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva

OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk

mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan

ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas

bawah atau kelas atas yang timpang.

Daimon dan Thorbecke (1999-5) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat

Kemiskinan 2009 (BPS, 2009) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan

distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan

kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.

a. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara

drastis sebagai akibat krisis.

b. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam

pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.

Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:

a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa

jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan

berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.

b. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika

penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi

lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 10

c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya,

seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini

juga memenuhi hal ini.

d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari

si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi

kriteria ini.

Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:

a. Dapat didekomposisi

Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah)

menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain.

Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok.

Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah

nilai Indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).

b. Dapat diuji secara statistik

Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal

ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang)

kepercayaan umumnya dapat dibentuk.

2.4. Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia, dalam upaya mengukur ketimpangan pendapatan, membagi

penduduk menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk berpendapatan

rendah, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan kelompok 20

persen penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan ditentukan

berdasarkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen

penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut:

a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah lebih kecil dari 12 persen, maka dikatakan terdapat

ketimpangan pendapatan tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 11

b. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah antara 12 persen sampai dengan 17 persen, maka

dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan moderat/sedang/menengah.

c. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk

berpendapatan rendah lebih besar dari 17 persen, maka dikatakan terdapat

ketimpangan pendapatan rendah.

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 12

BAB III

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 13

METODOLOGI

3.1. Sumber Data

Distribusi pendapatan penduduk 2014 dihitung berdasarkan data hasil Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014 yang pengumpulan datanya

dilakukan melalui wawancara tatap muka antara petugas survei dengan responden.

3.2. Konsep dan Definisi

Konsep dan definisi yang dipakai pada Susenas 2014 yang terkait diantaranya :

Rumah tangga

Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami

sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan

dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama

menjadi satu.

Anggota Rumah Tangga / Penduduk

Anggota Rumah Tangga (ART) / penduduk adalah orang yang biasanya tinggal

di suatu rumah tangga, baik yang berada di dalam rumah tangga waktu pencacahan

maupun sementara tidak ada. Yang bepergian walaupun kurang dari enam bulan

tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak

dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga enam bulan atau

lebih atau yang telah tinggal di dalam rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi

berniat tinggal enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART.

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 14

Pengeluaran

Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan

rumah tangga untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumahtangga dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan,

aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan

asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa

memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas

pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk

konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada

pihak lain.

Pendapatan

Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau

dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang

diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan

yang tidak sebenarnya.Oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data

pengeluaran dengan asumsi bahwa pengeluaran masyarakat merupakan gambaran

dari pendapatan mereka.

3.3. Teknik Analisis

Teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini

Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data

pengeluaran (konsumsi) rumah tangga.

Gini Ratio

Angka Gini Ratio terletak antara 0 - 1 dan apabila angka ini makin mendekati 0

(nol) berarti semakin rendah tingkat ketimpangannya. Sebaliknya apabila angka ini

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 15

semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang

pemisah antara si kaya dan si miskin lebar).

Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

0,00 < G < 0,35 → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah

0,35 < G < 0,50 → pemerataan / ketimpangan sedang

G > 0,50 → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi

Kriteria Bank Dunia

Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi penduduk ke dalam 3 (tiga)

kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40

persen kelompok penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen kelompok

berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan

menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40

persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10.

Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus :

( )

( )( )

i = 1, 2, 3, ... 10

ni = Persentase ke-i

Di = Desil ke-i

Qb = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sebelum Di

Qa = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sesudah Di

Pb = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sebelum Di

Pa = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sesudah Di

BAB III METODOLOGI

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 16

Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang

diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima

kelompok ini:

Kurang dari 12 persen → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi

12 persen - 17 persen → pemerataan / ketimpangan sedang

Di atas 17 persen → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 17

BAB IV

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 18

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

KOTA SEMARANG

4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2010 – 2014

Salah satu konsekwensi dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan

adalah ketimpangan distribusi pendapatan.

Dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2014

mencapai 121.262.902,12 juta rupiah dan Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun

( 2010 – 2014 ) mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5 % (lihat Tabel 1 dan 2) maka

dapat dikatakan ekonomi makro kota semarang menunjukan perkembangan yang cukup

baik selama lima tahun tersebut.

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian kota semarang,

pendapatan masyarakat yang terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per

kapita juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun . Tercatat PDRB per kapita

pada tahun 2014 mencapai 72.482.351,82 juta rupiah atau 9,59% lebih tinggi dari tahun

2013 yang mencapai 66.137.764,12 juta rupiah.

Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia secara umum

dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan masyarakat

suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan pendapatan yaitu Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Perkapita.

Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil penduduk akan

tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran pendapatan penduduk untuk

dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.

Tingkat pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan ekonomi wilayah

tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang bermukim di wilayah tersebut, jadi

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 19

wilayah yang mempunyai nilai PDRB tinggi belum tentu memiliki PDRB perkapita

yang tinggi bila jumlah penduduk wilayah tersebut besar jumlahnya.

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2010 80.824.099,97 80.824.099,97

Tahun 2011 91.034.098,92 86.142.966,70

Tahun 2012 99.753.672,36 91.282.029,07

Tahun 2013 *) 108.783.394,43 97.340.978,65

Tahun 2014 **) 121.262.902,12 102.501.385,64

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2010 13,69 5,35

Tahun 2011 12,63 6,58

Tahun 2012 9,58 5,97

Tahun 2013 *) 9,05 6,64

Tahun 2014 **) 11,47 5,30

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 20

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar

Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Kota Semarang

Tahun Atas Dasar

Harga Berlaku

Atas Dasar

Harga Konstan 2010

Tahun 2010 51.804.774,72 51.804.774,72

Tahun 2011 57.311.533,89 54.232.266,96

Tahun 2012 61.705.999,74 56.465.578,95

Tahun 2013 *) 66.137.764,12 59.181.042,47

Tahun 2014 **) 72.482.351,82 61.268.049,56

Keterangan: *). Angka sementara

**). Angka sangat sementara

13,69

12,63

9,58 9,05

11,47

5,35

6,58 5,97

6,64

5,30

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

2010 2011 2012 2013 2014

PDRB adh Berlaku PDRB adh Konstan 2010

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 21

Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas

Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010

4.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi perkapita dapat digunakan sebagi pendekatan pendapatan perkapita

sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator

yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi

pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke

pengeluaran bukan makanan.

Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap

makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang

bukan makanan pada umumnya lebih tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok

penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga

peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan

10,63

7,67 7,18

9,59

4,69 4,12

4,81

3,53

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

2011 2012 2013 2014

PDRB Perkapita adh Berlaku PDRB Perkapita adh Konstan 2010

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 22

makanan ,ditabung atau diinvestasikan. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat

dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana

perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Secara umum pergerakan yang terjadi dari tahun 2010 ke tahun 2014 terlihat

bahwa konsumsi non makanan mendominasi struktur konsumsi penduduk Kota

Semarang, secara teoritis komposisi pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat

Kota Semarang mengalami peningkatan kesejahteraan.

Pada tahun 2014, Komoditi ‘Perumahan dan fasilitas rumah tangga’ dan komoditi

‘Makanan dan Minuman Jadi’ mendapat porsi tertinggi masing-masing 22.45% dan

16,05% disusul ‘Aneka barang dan jasa lainnya’ 13,00 %, Pendidikan 6,11%, sedangkan

pengeluaran untuk 18 kelompok komoditas lainnya masing-masing kurang dari 5%.

Pengeluaran perkapita kota semarang pada tahun 2013 sebesar Rp 1,058,225

terbagi sebesar Rp 426.314 (40,28%) untuk pengeluaran makanan dan Rp 631.910

(59,72%) untuk pengeluaran non makanan.

Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi

Penduduk Kota Semarang

Tahun Rata-rata Pengeluaran

Per-kapita sebulan (Rp)

Persentase

Makanan Non Makanan

Tahun 2010 654.535 43,42 56,58

Tahun 2011 749.403 40,75 59,25

Tahun 2012 760.649 43,36 56,64

Tahun 2013 1.070.470 37,29 62,71

Tahun 2014 1.058.225 40,28 59,72

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 23

Gambar 3. Persentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang

Komposisi Pengeluaran kelompok komoditas Makanan sebagai berikut: sub

kelompok komoditas makanan dan minuman jadi memiliki porsi terbesar yakni sebesar

39,84 persen, selanjutnya sub kelompok komoditas padi-padian 10,41 persen, sub

kelompok tembakau dan sirih 9,39 persen, Sub kelompok telur dan susu 8,21 persen,

sub kelompok buah-buahan 5,86 persen, sub kelompok sayur-sayuran 5,71 persen dan 8

sub kelompok komoditas yang lain masing-masing kurang dari 5 persen.

Sedangkan komposisi pengeluaran non makanan dapat dirinci sebagai berikut:

37,59 persen pengeluaran untuk sub komoditas perumahan dan fasilitas rumahtangga,

21,76 persen untuk sub kelompok aneka barang jasa lainnya, 10,23 persen untuk sub

kelompok pendidikan, 8,29 persen untuk barang tahan lama, 7,85 persen untuk

pengeluaran kesehatan , 5,47 persen untuk pengeluaran pajak, pungutan dan asuransi

dan 2 sub kelompok yang lain sebesar 4,66 persen untuk sub kelompok pakaian alas

kaki dan tutup kepala serta 4,15 persen untuk keperluan pesta dan upacara.

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

43,42 40,75 43,36 37,29 40,28

56,58 59,25 56,64 62,71 59,72

Makanan Non Makanan

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 24

Dibandingkan dengan kabupaten atau kota lain di Provinsi Jawa Tengah, rata-rata

pengeluaran per kapita sebulan tertinggi adalah Kota Semarang dan Kota Salatiga,

hingga lebih dari satu juta rupiah, sedangkan kabupaten kota lain di Jawa Tengah masih

dibawah 900 ribu rupiah.

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 25

Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita sebulan dirinci menurut

Kabupaten / Kota di Jawa Tengah Tahun 2014

Kab. Cilacap

Kab. Banyumas

Kab. Purbalingga

Kab. Banjarnegara

Kab. Kebumen

Kab. Purworejo

Kab. Wonosobo

Kab. Magelang

Kab. Boyolali

Kab. Klaten

Kab. Sukoharjo

Kab. Wonogiri

Kab. Karanganyar

Kab. Sragen

Kab. Grobogan

Kab. Blora

Kab. Rembang

Kab. Pati

Kab. Kudus

Kab. Jepara

Kab. Demak

Kab. Semarang

Kab. Temanggung

Kab. Kendal

Kab. Batang

Kab. Pekalongan

Kab. Pemalang

Kab. legal

Kab. Brebes

Kota Magelang

Kota Surakarta

Kota Salatiga

Kota Semarang

Kota Pekalongan

Kota Tegal

Prov. Jawa Tengah

581.181

574.367

520.635

473.325

512.261

699.460

682.016

466.678

640.216

706.312

720.933

566.222

681.304

672.528

592.931

537.282

616.826

569.537

738.651

540.466

591.291

739.149

553.243

687.766

513.141

570.696

457.249

535.860

571.508

787.022

876.057

1.058.283

1.058.225

565.137

897.747

622.858

Tahun 2014

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 26

Gambar 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2014

Padi-padian, 4,20 Umbi-umbian, 0,13

Ikan/udang/cumi/kerang, 1,79

Daging, 1,79 Telur dan Susu, 3,31

Sayur-sayuran, 2,30

Kacang-kacangan, 1,19

Buah-buahan, 2,36

Minyakdan Lemak, 1,00

Bahan Minuman, 1,19

Bumbu-bumbuan, 0,44

Konsumsi Lainnya, 0,77

Makanan dan Minuman Jadi, 16,05

Tembakau dan sirih, 3,78

Perumahan dan Fasilitas Rumahtangga, 22,45

Kesehatan, 4,69

Pendidikan, 6,11

Aneka Barang dan Jasa Lainnya, 13,00

Pakaian, Alas kaki dan Tutup Kepala, 2,78

Barang Tahan Lama, 4,95

Pajak, Pungutan dan Asuransi, 3,27

Keperluan Pesta dan Upacara/Kenduri, 2,48

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 27

Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk

Kota Semarang Tahun 2014

Jenis Pengeluaran

Makanan Persen

Jenis Pengeluaran Non

Makanan Persen

(1) (2) (3) (4)

Padi-padian 10,41 Perumahan dan Fasilitas

Rumah tangga 37,59

Umbi-umbian 0,32 Aneka Barang dan Jasa 39,84

Ikan / udang / cumi / kerang 4,45 - Kesehatan 7,85

Daging 4,44 - Pendidikan 10,23

Telur dan Susu 8,21 - Lainnya 21,76

Sayur-sayuran 5,71 Pakaian, Alas kaki dan

Tutup Kepala 4,66

Kacang-kacangan 2,96 Barang Tahan Lama 8,29

Buah-buahan 5,86 Pajak, Pungutan dan

Asuransi 5,47

Minyak dan Lemak 2,47 Keperluan Pesta dan

Upacara / Kenduri 4,15

Bahan Minuman 2,95

Bumbu-bumbuan 1,09

Konsumsi Lainnya 1,90

Makanan dan Minuman Jadi 39,84

Tembakau dan sirih 9,39

Total 100,00 100,00

Rata – Rata Pengeluaran

Makanan (Rp.) 426,314

Rata – Rata Pengeluaran

Non Makanan (Rp.) 631,910

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 28

4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan

a. Koefisien Gini (Gini Ratio)

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting

karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Tingginya

ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan

belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk

menilai ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0 sampai

dengan 1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis

kemerataan sempurna dengan luas area di bawah kurva Lorenz.

Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2014

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 29

Koefisien Gini berikut ini didasarkan data SUSENAS mengenai pengeluaran

rumah tangga di Kota Semarang tahun 2010 – 2014.

Selama kurun waktu 2010 – 2014, Koefisien gini tahun 2010 merupakan angka

capaian terbaik (koefisien terendah), sedangkan koefisien gini tertinggi sebesar 0,3807

dialami pada tahun ini.

Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah

Tahun Kota Semarang Jawa Tengah

Tahun 2010 0,3224 0,2908

Tahun 2011 0,3545 0,3462

Tahun 2012 0,3518 0,3554

Tahun 2013 0,3514 0,3900

Tahun 2014 0,3807 0,3729

Peringkat dari indeks gini disusun menurut wilayah yang memiliki ketimpangan

terendah (rangking 1) hingga wilayah yang memiliki ketimpangan tertinggi (rangking

terakhir). pada tahun 2014, Kota Semarang menempati rangking ke 25 dari 35

kabupaten/ kota di jawa tengah. Rentang waktu 2010 hingga 2014, peringkat capaian

koefisien gini tidak menunjukkan trend tertentu, Namun selama kurun waktu tersebut

wilayah Kota Semarang masuk dalam kategori 10 besar dengan ketimpangan tertinggi

kecuali pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan seperti kota tegal,

kota magelang, kota pekalongan dan kota salatiga, maka Indeks Gini Kota Semarang

masih berada dibawah Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang dan berada diatas

Kota Tegal dan Kota Pekalongan.

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 30

Koefisien Gini pada level wilayah provinsi selalu lebih rendah dari kota semarang

pada periode 2010 hingga 2011 dan 2014, sedangkan pada 2012 dan 2013 tercatat level

provinsi melebihi nilai ketimpangan Kota Semarang, bahkan pada tahun 2013 angka gini

rasio provinsi Jawa tengah mencapai angka 0,39 terpaut setidaknya 4 poin dari Kota

Semarang.

Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

Tahun 2010 – 2014

Keterbandingan indeks gini level provinsi terhadap Kota Semarang dilihat

menurut kategori ketimpangan rendah (<0,35), sedang(0,35 – 0,5) atau tinggi (>0,5) ,

maka pada 5 tahun terakhir indeks gini Kota Semarang terkategori ketimpangan sedang

kecuali tahun 2010 sedangkan pada level provinsi, termasuk kategori ketimpangan

0,3224

0,3545 0,3518

0,3514

0,3807

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

2010 2011 2012 2013 2014

Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang

TINGGI

SEDANG

RENDAH

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 31

rendah pada kurun waktu 2009 hingga 2011 selebihnya terkategori sebagai ketimpangan

sedang. Jika melihat pola perkembangannya, pada level provinsi dalam kurun waktu 5

tahun terakhir tampak selalu mengalami kenaikan, sedangkan indeks gini kota semarang

cenderung berfluktuasi dan cenderung pada kategori ketimpangan sedang.

Tabel 7. Peringkat Nilai Gini Ratio Kabupaten / Kota di wilayah

Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten/Kota

Rangking

Tahun

2010

Rangking

Tahun

2011

Rangking

Tahun

2012

Rangking

Tahun

2013

Rangking

Tahun

2014

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 Kab. Cilacap 14 8 7 31 20

2 Kab. Banyumas 34 28 18 30 11

3 Kab. Purbalingga 8 6 11 8 5

4 Kab. Banjarnegara 16 30 16 33 16

5 Kab. Kebumen 4 21 20 5 1

6 Kab. Purworejo 28 31 5 18 33

7 Kab. Wonosobo 13 25 32 19 24

8 Kab. Magelang 12 11 10 20 17

9 Kab. Boyolali 19 32 34 34 6

10 Kab. Klaten 15 12 14 21 27

11 Kab. Sukoharjo 29 16 24 22 26

12 Kab. Wonogiri 27 27 8 23 15

13 Kab. Karanganyar 26 34 35 14 28

14 Kab. Sragen 21 24 29 27 14

15 Kab. Grobogan 24 13 25 24 22

16 Kab. Blora 17 19 33 35 34

17 Kab. Rembang 1 2 13 9 18

18 Kab. Pati 11 7 3 3 8

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 32

Kabupaten/Kota

Rangking

Tahun

2010

Rangking

Tahun

2011

Rangking

Tahun

2012

Rangking

Tahun

2013

Rangking

Tahun

2014

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

19 Kab. Kudus 10 26 17 25 30

20 Kab. Jepara 2 14 26 15 7

21 Kab. Demak 9 10 19 16 10

22 Kab. Semarang 22 17 28 6 9

23 Kab. Temanggung 20 35 22 26 32

24 Kab. Kendal 18 33 27 10 23

25 Kab. Batang 23 3 4 4 3

26 Kab. Pekalongan 6 5 2 2 4

27 Kab. Pemalang 3 1 1 1 2

28 Kab. Tegal 30 4 6 11 13

29 Kab. Brebes 5 20 9 7 12

30 Kota Magelang 31 22 31 17 29

31 Kota Surakarta 33 18 30 28 31

32 Kota Salatiga 35 23 21 32 35

33 Kota Semarang 32 29 23 29 25

34 Kota Pekalongan 25 9 12 12 21

35 Kota Tegal 7 15 15 13 19

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 33

Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 – 2014

b. Relatif Inequality (Kriteria Bank Dunia)

Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil perhitungan

indeks gini hanya bisa menggambarkan tingkat pemerataan pendapatan secara umum,

tetapi belum menjelaskan besarnya porsi yang diterima oleh kelompok berpendapatan

rendah/miskin dari keseluruhan pendapatan wilayah. Dengan menggunakan ukuran yang

dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan

Universitas Sussex, kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai masalah

ketidakadilan (inequality) melalui indikator yang disebut relative inequality atau biasa

disebut dengan kriteria Bank Dunia. Relative Inequality diartikan sebagai ketimpangan

dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat.

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000

Th. 2010

Th. 2011

Th. 2012

Th. 2013

Th. 2014

0,3224

0,3545

0,3518

0,3514

0,3807

0,2908

0,3462

0,3554

0,3900

0,3729

Provinsi Jawa Tengah Kota Semarang

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 34

Ketimpangan distribusi pendapatan Kota Semarang berdasarkan pendekatan

Kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa pada tahun 2013, 40% penduduk yang

memiliki pendapatan terendah hanya dapat menikmati 16,08 persen dari total pendapatan

seluruh penduduk, hal ini termasuk dalam kategori ketimpangan sedang menurut versi

bank dunia. Berbeda dengan 4 tahun sebelumnya (2009-2012), 40% penduduk

berpendapatan terendah, dapat menikmati lebih dari 17% (berkisar antara 18 hingga 22

persen), hal ini masuk dalam kategori ketimpangan rendah.

Perekonomian kota semarang yang terus menggeliat naik secara otomatis akan

berdampak pada perubahan nominal pengeluaran perkapita dan Kota Semarang memiliki

pendapatan perkapita tertinggi se Jawa Tengah, tetapi pada sisi yang lain hanya 16 persen

saja dari pendapatan penduduk yang diterima oleh 40 persen kelompok rumah tangga

berpendapatan terendah di tahun 2013. Tingkat ketimpangan sudah seharusnya perlu

mendapat perhatian agar angka ini tidak menuju pada level yang lebih tinggi ditahun

mendatang. Bila ada keinginan untuk menurunkan proporsi penduduk miskin dimasa

depan, masalah ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu dan antar wilayah karena

merupakan bagian dari konsekwensi pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah yang tidak

akan pernah hilang.

Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria

Bank Dunia Tahun 2009 – 2013

Tahun

Kriteria Bank Dunia

40 % Rendah 40 % Menengah 20 % Tinggi

Tahun 2009 18,81 34,46 46,73

Tahun 2010 21,68 35,13 43,19

Tahun 2011 18,15 36,27 45,58

Tahun 2012 18,24 36,16 45,60

Tahun 2013 16,08 46,68 37,24

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 35

Dengan kriteria Bank Dunia secara umum tidak terlihat adanya ketimpangan

pendapatan dikota semarang, hal ini ditunjukkan oleh persentase pendapatan kelompok

40% berpendapatan terendah yang berada di dibawah 17 %. Namun terjadi

kecenderungan penurunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 ( dari 21,68 ke

16,08 ). Sejak tahun 2009 ketimpangan distribusi pendapatan di kota semarang selama

periode lima tahun terakhir cenderung meningkat, namun masih pada level yang rendah.

Tetapi ukuran Gini Ratio periode 2009 dan 2011 berada pada level sedang. Untuk kota

semarang kedua ukuran ketimpangan ini hampir tidak memperlihatkan perbedaan yang

berarti, namun Koefisien Gini cenderung fluktuatif pada level ketimpangan pendapatan

yang rendah hingga sedang. Untuk Provinsi Jawa Tengah, ukuran koefisien gini

berfluktuatif, levelnya masih dalam posisi ketimpangan rendah namun secara perlahan

bergerak pada posisi menuju ketimpangan distribusi pendapatan sedang yang dimulai

pada tahun 2009 sampai dengan 2013. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan

ketimpangan yang tetap rendah dan berada dalam posisi yang belum menghawatirkan,

namun indikasi kecenderungannya selama periode 2009 – 2013 perlu untuk lebih

dicermati.

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 36

Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan

Kriteria Bank Dunia Tahun 2013

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

110,00

Kumulatif Pendapatan (persen)

16,08

46,68

37,24

40 % I (Rendah) 40 % II (Sedang) 20 % III (Tinggi)

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 37

BAB V

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 38

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab – bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan :

1. Koefisien Gini Kota Semarang selama kurun waktu lima tahun terakhir (

2010 – 2014 ) mengalami fluktuasi dari posisi ketimpangan distribusi

pendapatan rendah hingga sedang.

2. Koefisien Gini Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun

terakhir ( 2010 – 2014 ) mengalami fluktuasi dan pada 3 tahun terakhir

termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.

3. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah selama kurun

waktu lima tahun terakhir ( 2010 – 2014 ) mengalami fase dari posisi

ketimpangan distribusi pendapatan rendah menuju ketimpangan distribusi

pendapatan sedang. Hal ini berarti terjadi kesenjangan distribusi pendapatan

yang semakin melebar.

4. Menurut kriteria bank dunia persentase pendapatan yang diterima oleh

kelompok 40% berpendapatan terendah kota semarang berada di kisaran

17%, namun tetap memiliki fase yang tidak berbeda dengan apa yang

ditunjukan oleh koefisien gini.

BAB V PENUTUP

Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 39

5.2. Saran-saran

1. Pertumbuhan ekonomi kota semarang yang terus meningkat tetapi tidak

diimbangi dengan kecenderungan tingkat pemerataan pendapatan yang

tinggi atau ketimpangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat

terutama dalam empat tahun terakhir perlu diwaspadai. Progaram-program

pengentasan kemiskinan harus terus dilanjutkan dan diperketat

pengawasannya. Hal ini untuk menghindari kebocoran / tidak tepat sasaran.

2. Jumlah penduduk miskin dan kantong kemiskinan di Kota Semarang harus

mendapat perhatian khusus. Dengan memperhatikan dan memetakan potensi

sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada didaerah tersebut

akan mempercepat proses pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya akan

memperkecil tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.