kasus vaskulopati
-
Upload
ni-putu-yudiartini-putri -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of kasus vaskulopati
PENDAHULUAN
Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah suatu penyakit sistemik yang mengenai jaringan ikat
di kulit, organ dalam dan dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan disfungsi endotel,
fibrosis dan produksi autoantibodi. Sklerosis sistemik menyerupai gangguan jaringan
penyambung lain dalam hal adanya masa remisi dan eksaserbasi dalam perjalanan penyakit
yang umumnya lambat, sehingga pasien dapat tetap hidup dalam jangka waktu yang cukup
lama. Tetapi penyakit ini dapat juga berjalan cepat dan mengakibatkan kematian dalam
waktu singkat bila organ vital ikut terserang dan menjadi rusak.1-,3
Skleroderma merupakan penyakit yang jarang dijumpai dibandingkan dengan penyakit
jaringan ikat lain. Kasus ini ditemukan sporadik dengan distribusi seluruh dunia dan mengenai
semua ras. Epidemiologi terbukti sulit untuk ditetapkan karena perbedaan klinis penyakit
yang luas dan ketiadaan kriteria diagnosis yang diterima secara luas. Meskipun demikian
dilaporkan pada orang dewasa sekitar 2,6 sampai 2,8 per 1 juta penduduk per tahun. Di
Amerika Serikat sekitar 20 kasus per 1 juta penduduk. Laporan dari Inggris dan Jepang
menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dari sekitar 35 kasus per 1 juta penduduk.
Kejadian pada wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu sekitar 4:1, dengan usia terbanyak
pada dekade ketiga atau keempat kehidupan. 1,2
Patogenesis Skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan
humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan fungsi sel
endotel dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari Skleroderma berupa
fenomena Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi
proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan
jaringan. Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap
skleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan
terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast
teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis
dan kerusakan jaringan yang ireversibel. 1,2,4
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan pembuluh darah
besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami
proliferasi, membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis
2
adventitia. Oklusi lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi tunica intima dan media serta
fibrosis adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis sehingga
menjadi suatu lingkaran setan. Angiogram tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium
lanjut menunjukkan hilangnya gambaran vaskuler. 2,4,5
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan vasokonstriktor
(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian
diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan
terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih
lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya
mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada
Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang
tinggi seperti vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah
progenitor sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi
jumlahnya menurun secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan
diferensiasinya menjadi sel endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif
dan kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.2,4,6,7
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting dalam implikasi
klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai dengan perubahan
respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat
perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti
calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor
alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud terjadi perubahan
warna yang episodik (palor, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap
lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun peubahan yang spesifik terjadi pada
jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga, hidung, dan lidah. Pada fase
palor dan sianosis, pasien akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan
merasa seperti terbakar.2,4,6
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada berbagai penyakit kolagen, yaitu 95% pada sklerosis
sistemik, 91% pada mixed connective tissue disease (MCTD) dan 40% pada lupus
eritromatosus sistemik. Selain itu fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai
trauma akibat pekerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek samping obat (penghambat
reseptor beta), kelainan onkologik dan hematologik (disglobulinemia) dan hipotiroidisme.
3
Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen, terutama pada sklerosis sistemik umumnya
berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen itu timbul, sehingga kadang sulit
membedakan dengan fenomena Raynaud Primer yang tidak diketahui penyebabnya.1,2,7
Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis relatif lebih ringan dan tidak progresif seperti
halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi yang
ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel. Di dalan sel endotel terdapat perubahan
produksi dan responsifitas endothelium derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric
oxide, prostacyclin) dan vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah mikro sehingga diapedesis leukosit transendotelial meningkat, aktifasi
kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan
terjadinya trombosis. Sel Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya.1,2,8
Sel endotel yang rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan
menghasilkan berbagai vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), Tromboksan-A2
(Tx-A2) dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endotel yang masih utuh akan menghasilkan
vasodilator seperti prostasiklin, monoamine oxidase (MAO), dan endothelium dependent
relaxation factor (EDRF). Tetapi sel endotel yang rusak tidak bereaksi terhada vasodilator
tersebut, sel endotel yang rusak akan menghasilkan vasokonstriktor endotelin-1 sehingga
terjadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen semakin diperberat dengan adanya hiperplasi
intimal. Selain itu, pada skleroderma juga terjadi deformabilitas eritrosit yang meningkatkan
viskositas darah.1,2,6,9
Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai oleh timbulnya iskemia jari
yang kemudian akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. Gambaran fenomena Raynaud juga
terjadi pada berbagai arteri kecil dan areteriola pada organ viseral, sehingga timbul berbagai
kelainan pada organ tersebut. Kerusakan vaskular pada skleroderma akan menyebabkan
peningkatan kadar berbagai petanda seperti faktor von Willenbrand, trombomodulin, ICAM-1
(intercellularadhesion molecule-1) serum dan ELAM-1 (endothelial leucocyte adhesion
molecule-1) serum. Peningkatan kadar faktor von Willebrand berhubungan dengan
progresivitas fenomena Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya angka mortalitas.
Pada skleroderma juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel
menyebabkan penurunan sintesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan
4
antikoagulan. Secara non-invasif, mikroangiopati pada skleroderma dapat diperiksa dengan
kapilaroskopi lipat kuku.1,2,9,10
Diagnosis skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang.
Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul kelainan
kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan
gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. Pemriksaan autoantibosi
antitopo-1 dan antisentromer harus dilakukan karena memiliki spesifisitas yang baik pada
sklerosis sistemik. Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan
kriteria sklerosis sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:
1 kriteria mayor, atau 2 dari 3 kriteria Minor1
Kriteria mayor berupa skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit
yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau
metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan
batang tubuh (toraks dan abdomen) 1
Kriteria minor berupa: (1) Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya
terbatas pada jari; (2) Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung
pada ujung jari atau hilangnya substasi jaringan jari akbat iskemia; (3) Fibrosis basal kedua
paru. Gambaran linier atau linenodular yang retikular terutama di bagian basal kedua paru,
tampak pada gambaran foto thorak standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak
difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru. 1
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya termasuk pembuluh darah merupakan gambaran yang
sering ditemukan. Peningkatan matriks ekstraseluler pada dermis, terutama kolagen tipe I dan
III, yang disertai penipisan epidermis merupakan gambaran patologis yang khas pada
skleroderma sistemik. Seringkali gejala awal mengikuti fenomena Raynaud adalah edema
pada kedua tangan yang diseratai nyeri. Keterlibatan kulit juga meliputi pruritus, salt-pepper
appearance, teleangiektasis, kalsinosis, kontraktur dan pursed lip appearance.2,5,10
Fenomena Raynaud merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik. Menghindari
merokok dan udara dingin, serta menjaga tubuh tetap dalam keadaan hangat, biasanya cukup
efektif mengatasi fenomena Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat,
misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, dapat
digunakan vasodilator.2,8
5
Penggunaan calcium channel blocker menyebabkan vasodilatasi arteriolar dan meningkatkan
aliran darah perifer. Obat golongan ini berguna pada pasien dengan fenomena Raynaud
karena teruji klinis memperbaiki frekuensi dan keparahan serangan iskemik. Selain itu obat
golongan ini juga memperbaiki perfusi dan gangguan fungsi miokard tahap awal. Penggunaan
nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dengan efek hipotensif yang tidak terlalu
besar. Efek samping obat yang biasanya ditemukan pada penggunaan dalam dosis besar antara
lain hipotensi, edema perifer dan sakit kepala. Obat golongan α1-adrenergic receptor
antagonist seperti Prazosin dapat digunakan dengan dosis 1-3 mg/hari. OPC-28326
merupakan selective α-adrenergic antagonist dengan kecenderungan ikatan pada subtipe
reseptor α(2C)-adrenergic, dengan dosis 10-40 mg obat ini dapat memperbaiki perfusi pada
kulit jari pasien dengan fenomena Raynaud.9.,8
Penggunaan analog prostasiklin selain dapat mengurangi vasospasme juga dapat menghambat
agregasi platelet dan aktivasi leukosit. Obat golongan ini digunakan secara luas sebagai terai
fenomena Raynaud. Penggunaaan infus iloprost (analog prostasiklin yang stabil) secara
intermiten memperbaik fenomena Raynaud pada pasien skleroderma dan menurunkan tingkat
keparahan dan frekuensi serangan. Penggunaan preparat oral tidak menunjukkan hasil yang
seefektif penggunaan preparat intravena. Iloprost diberikan perdrip dengan dosis
3ng/kgBB/menit, 5-8 jam/hari, selam 3 hari berturut-turut. Obat ini juga dapat digunakan
untuk mengobati ulkus pada jari.9-10
Vaskulopati pada skleroderma menyebabkan penebalan penebalan tunica intima arteri
iterlobular dan arcuata ginjal sehingga terjadi oenuruna perfusi ginjal yang diikuti injuri
endotel atau episode vasospasme arteriol ginjal. Penurunann perfusi ginjal menyebabkan
hiperplasia aparfatus juxtaglomerular dan meningkatkan produksi renin. Angiotensin-
converting enzyme inhibitors (ACE inhibitor) menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II dan memperbaiki perfusi ginjal. Akan tetapi, ACE inhibitor tidak efektif untuk
fenomena Raynaud. Losartan, antagonis reseptor angiotensin II tipe I, efektif mengurangi
tingkat keparahan dan frekuensi serangan fenomena Raynaud. 9-10
Penggunaan phospodiesterase inhibitor seperti sildenafil dan tadalafil menunjukan efektivitas
dalam perbaikan fenomena Raynaud dan penyembuhan serta pencegahan ulkus pada jari.
Obat golongan ini bekerja pada jalur nitric oxide (NO), sehingga vasodilatasi yang dimediasi
NO berlangsung lebih panjang. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
juga digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi trombosit. Diantara SSRI,
6
fluoxetine ( Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya baik dalam beberapa penelitian.
Penggunaan antagonis reseptor endotelin seperti bosentan berguna dalam mengurangi mean
pulmonary arterial pressure dan mengurangi frekuensi terbentuknya ulkus baru pada jari.
Namun tidak efektif pada fenomena Raynaud yang tidak didahului adanya ulkus pada jari.
Pemberian nitrogliserin topikal sebagai vasodilator juga dapat dilakukan. Aspirin dosis rendah
dan dipiridamol mencegah agregasi platelet. Terapi empiris jangka panjang dengan statin dan
antioksidan dapat memperlambat kerusakan dan obliterasi pembuluh darah. 9-10
Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, terlebih bila sudah timbul ulkus. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder. Bila luka cukup dalam, mungkin
dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi, dan pemberian antibiotik parenteral.10
7
ILUSTRASI KASUS
Nn. A, usia18 th berobat ke Poliklinik Penyakit Dalam RS FMC pada tanggal 14 Agustus
2015 dikirim dari Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin dengan keluhan utama jari-jari
tangan dingin bila cuaca dingin sejak 1 bulan sebelumnya. Pasien dikonsulkan dengan
diagnosa skleroderma. Awalnya 2 tahun yang lalu muncul bercak kehitaman dengan
konsistensi keras di lengan tangan kanan dan kiri, semakin meluas ke tangan, badan,
punggung, leher, dan wajah. Keadaan ini disertai kulit mengeras, mengkilat dan kering.
Tiga bulan kemudian bercak menjadi kemerahan dan kulit tangan dan wajah terasa tebal, jari-
jari tangan terasa kaku di pagi hari dan pucat hingga tampak biru bila cuaca dingin. Rambut
sering rontok, kulit wajah terasa merah bila terpapar sinar matahari. Bercak tidak disertai
dengan nyeri, gatal, maupun rasa panas. Perlahan-lahan bercak kemerahan berubah menjadi
bercak-bercak putih seukuran biji jagung tanpa disertai rasa gatal maupun baal dan kulit terasa
semakin keras dan sukar untuk dicubit, hal ini berlangsung selama 6 bulan berikutnya. Pasien
juga mengatakan terdapat kekakuan di sendi jari tangan dan kaki disertai nyeri tanpa bengkak.
Pasien mengalami penurunan berat badan sejak 1 tahun yang lalu, berat badan pasien
sebelumnya 65 kg, saat ini berat badan pasien 50 kg. Sejak 2 bulan SMRS pasien berobat
jalan di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin, pasien diberikan obat salep dan rutin kontrol
tiap bulan. Pasien merasakan rasa tebal dan kering di kulitnya berkurang, dan bercak-bercak
putih pada kulitnya perlahan memudar. Namun jari-jari pasien masih tetap terasa dingin bila
cuaca dingin, diikuti dengan perubahan warna tangan menjadi pucat kebiruan dan akan
kembali lagi menjadi warna merah muda seperti semula. Demam, sesak, nyeri dada tidak ada.
tidak ada mual, muntah, maupun nyeri menelan. Buang air kecil seperti biasa. Buang air kecil
keluar pasir, berbatu dan seperti cucian daging tidak ada. BAB mencret sejak 3 hari SMRS.
BAB cair tanpa ampas berwarna kuning kecokelatan, sehari 2-3 kali. Riwayat darah tinggi
tidak ada, riwayat merokok tidak ada.
Pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik golongan kloramfenikol bila pasien
menggunakan preparat ini maka akan timbul bengkak ada wajah, tidak ada riwayat asma. Di
keluarga tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien. Pasien
merupakan anak tunggal dan tinggal bersama orangtuanya. Sehari-hari pasien bekerja sebagai
pegawai administratif.
8
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang baik, kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 110/80 mmHg. Nadi 78x/menit, pernapasan 18x/menit, dan suhu 36, 3˚C. Berat
badan 50 kg dan tinggi badan 160 cm, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik, jvp 5-2
cmH2O, dan tiroid tidak membesar. Mukosa mulut basah berwarna merah muda, gigi geligi
lengkap, faring tidak hiperemis. Kulit kering, terdapat indurasi, terdapat makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada jari-jari tangan kanan dan kiri, kulit dada bagian
atas, leher, dan wajah. Ditemukan gambaran salt-pepper appearance pada kulit lengan kanan
dan kiri, dada bagian atas, punggung, leher dan wajah. Dinding dada simetris baik pada
keadaan statis maupun dinamis, tidak ada nyeri tekan pada dada, tidak ada penyempitan sela
iga, sonor pada perkusi, bunyi nafas vesikuler, tidak ada rongkhi dan wheezing. Ictus cordis
tidak terlihat, teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra. Bunyi jantung I-II murni reguler,
murmur dan gallop tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan permukaan datar,
supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba, timpani pada perkusi, dan bising usus
positif meningkat. Pada pemeriksaan ektremitas ditemui akral dingin, tampak pucat kebiruan,
CRT 3-4 detik, tidak ada edem. Terdapat pelebaran kapiler pada lipatan kuku jari-jari kiri dan
kanan, terdapat penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada kulit jari dan
kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal tangan kanan dan kiri, terdapat
pencekungan pada distal phalangeal juga terdapat nekrosis pada lipatan kuku digiti III manus
dextra.
Masalah yang ditegakkan saat ini adalah sebagai berikut:
1. Vaskulopati
2. Skleroderma
3. Gastroenteritis
Pada pasien ini direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit,
LED, ureum dan kreatinin serum, kapilaroskopi, biopsi kulit, EKG, Thorax foto, profil ANA.
Rencana terapi yang diberikan antara lain:
1. Nifedipin lepas lambat tab 30 mg 1x sehari
2. Aspirin tab 80 mg 1x sehari
3. Atorvastatin 10 mh 1x sehari
4. Prednison 5mg 2x sehari
5. Attapulgit tab 600 mg x 2 tablet setelah BAB
9
Hindari kontak dengan udara dingin dengan menjaga badan tetap hangat, memakai sarung
tangan, baju hangat, mandi dengan air hangat, hindari kontak langsung dengan minuman
dingin dan makanan beku. Hindari stress sebagai pemicu emosional. Hindari obat yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi.
10
DISKUSI
Diagnosis vaskulopati ditegakkan dari anamnesis dan pemerisaan fisik. Dari anamnesis
didapatkan adanya keluhn jari tangan yang menjadi dingin apabila terpapar udara dingin.
Perubahan suhu jari tangan ini diikuti dengan perubahan warna jari-jari menjadi pucat,
membiru , dan kemudian kembali merah mda seperti warna awal. Perubahan yang terjadi pada
jari-jari pasien dapat dipikirkan sebagai fenomena Raynaud. Fenomena Raynaud adalah
perubahan warna yang episodik (palor,sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respon terhadap
lingkungan yang dingin atau stress emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umunya
terjadi pada jari tangan, tapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga, hidung dan lidah.
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada berbagai penyakit kolagen, yaitu 95% pada sklerosis
sistemik, 91% pada mixed connective tissues disease ( MCTD ) dan 40% pada
lupuseritematosus sistemik. Beratnya fenomena Raynaud pada skleroderma ditandai oleh
timbulnya ischemia jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. Pada pemeriksaan di
temukan akral dingin, tampak pucat kebiruan, CRT 3-4 detik. Terdapat pelebaran kapiler pada
lipatan kuku jari-jari kiri dan kanan, terdapat pencekungan pada distal phalangeal juga
terdapat nekrosis pada lipatan kuku digiti III manus dextra. Akral dingin disertai CRT yang
memanjang disebabkan oleh buruknya perusi darah ke jaringan perifer akibat vasokonstriksi
yang disebabkan oleh vaskulopati. Pencekungan ada distal phalangeal dan adanya nekrosis
pada lipatan kuku digiti III menunjukkan beratnya iskemia yang terjadi.
Diagnosis skleroderma ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis
didapatkan adanya bercak kehitaman yang berubah warna menjadi kemerahan dan kemudian
menjadi makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada tangan yang diikuti dengan
penebalan kulit, kulit kering, dan keras yang menjalar hampir ke seluruh tubuh. Selain itu
pasien juga mengeluh adanya kekakuan sendi yang disertai nyeri dan penurunan berat badan.
Adanya keluhan BAB cair bisa dipikirkan sebagai bagian manifestasi gastrointestinal. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya indurasi, arthalgia, pelebaran kapiler pada lipatan kuku
jari-jari kiri dan kanan, terdapat penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada kulit jari
dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal tangan kanan dan kiri, terdapat
pencekungan pada distal phalangeal, dan “salt and pepper” apperance. Berdasarkan American
Rheumatism Association (ARA), diagnosis skleroderma ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria
mayor atau 2 atau lebih kriteria minor. Pada pasien ini didapatkan kriteria mayor yaitu
11
skleroderma proksimal. Penyakit ini lebih sering menyerang usia 30-50 tahun dan dengan
prevalensi terbanyak perempuan 2-3 kali lebih beresiko daripada laki-laki. Meskipun kriteria
usia pasien tidak termasuk rentang usia berisiko, namun tidak menutup kemungkinan pasien
menderita penyakit ini karena jika dilihat dari jenis kelamin, pasien termasuk pada kelompok
yang beresiko menderita skleroderma.
Diagnosis gastroenteritis ditegakkan atas dasar BAB mencret sejak 3 hari SMRS. BAB cair
tanpa ampas berwarna kuning kecokelatan, sehari 2-3 kali dan disertai bising usus yang
meningkat.
Penatalaksanaan pada pasien sklerosis sistemik, dilakukan secara non farmakologik dan
farmakologik. Dibutuhkan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga, tentang
pentingnya perlindungan kulit untuk mengurangi gejala dari fenomena Raynaud, pengaturan
pola makan, menghindari makan makanan yang merangsang lambung, alkohol dan rokok,
serta mengurangi stres. Selain edukasi, teknik rehabilitasi seperti stretching, peningkatan
gerak yang berpengaruh terhadap kesembuhan dari sklerosis sistemik. Sebagai akibat dari
kronisitas sklerosis sistemik, dilaporkan meningkatnya rasa sakit, kelelahan, dan gangguan
fungsi fisik, seperti wajah dan perubahan tangan. Perubahan ini dapat mempengaruhi
hubungan sosial, menyebabkan masalah fungsional, dan mengubah keadaan pasien, yang
menyebabkan ketidakpuasan, sehingga mengurangi kualitas hidup.
Terapi farmakologi yang diberikan pada kasus ini yaitu nifedipin, aspirin, dan statin untuk
vaskulopati. Penggunaan nifedipin sebagai calcium channel blocker menyebabkan
vasodilatasi arteriolar dan meningkatkan aliran darah perifer. Obat golongan ini berguna pada
pasien dengan fenomena Raynaud karena teruji klinis memperbaiki frekuensi dan keparahan
serangan iskemik. Selain itu obat golongan ini juga memperbaiki perfusi dan gangguan fungsi
miokard tahap awal. Aspirin dosis rendah mencegah agregasi platelet. Terapi empiris jangka
panjang dengan statin dapat memperlambat kerusakan dan obliterasi pembuluh darah.
Prednison bertujuan sebagai imunomodulator agar perjalanan skleroderma tidak progresif.
Attapulgit digunakan sebagai pengeras feses untuk mengurangi keluhan gastroenteritis
sebagai manifestasi gastrointestinal dari skleroderma.
Pada perjalanannya, penyakit ini sangat mungkin melibatkan banyak organ, mulai dari kulit,
saluran cerna, paru, ginjal dan jantung. Saat ini pada kasus ini yang dikenai adalah kulit dan
saluran cerna, namun untuk mencegah terjadinya perburukan, dilakukan pemeriksaan secara
12
berkala 3-6 bulan sekali. Angka harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah
sekitar 68%. Harapan hidup akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan
banyaknya keterlibatan organ viseral. Pada kasus ini harapan hidup lebih buruk karena
merupakan sklerosis sistemik difus. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi
karena kelainan paru, jantung atau ginjal.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohadi B. Sklerosis sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K. Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3. Ed ke-5. Jakarta:
Interna Publishing;2009.h.2620-7.
2. Varga J. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorders. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's principles of
internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill;2011.p.3570-6.
3. Varga J, Denton CP, Wigley FM. Scleroderma: From pathogenesis to comprehensive
management. New York: Springer;2012.p.229-33, 236, 313-23.
4. Khanna. Diagnosis & treatment of systemic and lcalized scleroderma. Expert Rev.
Dermatol. 2011;6(3): 287–302.
5. Abraham DJ, Krieg T, Distler J, Distler O. Overview of pathogenesis of systemic
sclerosis. Rheumatology.2009;48:iii3–iii7.
6. Huston KK, Stone JH, Wigley FM. Digital ischaemia and Raynaud’s phenomenon. In:
Ball GV, Fessler BJ, Bridges SL. Oxford textbook of vasculitis. 3 rd ed. Oxford: Oxford
University Press;2014.p.213-8.
7. Mayes MD. Systemic Sclerosis clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford L,
White PL. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. New York: Springer;2008.p.343-
7.
8. Creager MA, Perlstein TS, Halperin JL. Vasospasm and other related vascular disease:
Raynaud’s phenomenon. In: Creager MA, Beckman JA, Loscalzo J. Vascular
Medicine: A Companion to Braunwald's Heart Disease. 2nd ed.Philadelphia: Elsevier
Saunders;2013.p.587-90.
9. Roswati E. Scleroderma: A case report. CDK.2012;39(6):441-3.
10. Pattanaik D, Brown M, Postlewaite AE. Vascular involvement in systemic sclerosis
(scleroderma). Journal of Inflammation Research.2011;4:105-25.