Kasus Pt Kai2
description
Transcript of Kasus Pt Kai2
PROFIL PERUSAHAAN
Profil Perusahaan Kereta Api Indonesia
PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat sebagai PT KAI
(Persero) atau "Perseroan" adalah Badan Usaha Milik Negara yang menyediakan, mengatur,
dan mengurus jasa angkutan kereta api di Indonesia.
PT Kereta Api Indonesia (Persero) didirikan sesuai dengan akta tanggal 1 Juni 1999
No. 2, yang dibuat di hadapan Imas Fatimah, S.H., Sp.N., Notaris di Jakarta, dan kemudian
diperbaiki kembali sesuai dengan akta tanggal 13 September 1999 No. 14. Akta pendirian
tersebut telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui
Surat Keputusan tanggal 1 Oktober 1999 No. C-17171 HT.01.01.TH.99 dan telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Januari 2000 No. 4
Tambahan No. 240/2000.
Riwayat PT Kereta Api Indonesia (Persero) dibagi menjadi tiga periode, yaitu masa
kolonial, sebagai lembaga pelayanan publik, dan sebagai perusahaan jasa.
Pada masa kolonial, industri perkeretaapian dimulai pada tahun 1864 ketika Namlooze
Venootschap Nederlanche Indische Spoorweg Maatschappij memprakarsai pembangunan
jalan kereta api dari Semarang ke Surakarta, Jawa Tengah. Sejak itu tiga perusahaan lain
berinvestasi membangun jalur-jalur kereta api di dalam dan luar Pulau Jawa. Perusahaan
yang terlibat dalam industri kereta api zaman kolonial adalah Staat Spoorwegen,
Verenigde Spoorwegenbedrifj, dan Deli Spoorwegen Maatscappij.
Periode perusahaan berorientas pada pelayanan publik bermula pada masa awal
kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 25 Mei berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 1963, pemerintah Republik Indonesia membentuk Perusahaan Negara Kereta Api
(PNKA). Pada 15 September 1997 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1971,
PNKA diubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Dengan status sebagai
Perusahaan Negara dan Perusahaan Jawatan, PT Kereta Api Indonesia (Persero) saat itu
beroperasi melayani masyarakat dengan dana subsidi dari pemerintah.
Babak baru pengelolaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) dimulai ketika PJKA diubah
menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
57 Tahun 1990. Dengan status barunya sebagai perusahaan umum, Perumka berupaya
untuk mendapatkan laba dari jasa yang disediakannya. Untuk jasa layanan penumpang,
Perumka menawarkan tiga kelas layanan, yaitu kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi.
Pada tanggal 31 Juli 1995 Perumka meluncurkan layanan kereta api penumpang kelas
eksekutif dengan merek Kereta Api Argo Bromo JS-950. Merek ini kemudian dikembangkan
menjadi Kereta Api (KA) Argo Bromo Anggrek dan dioperasikan mulai tanggal 24
September 1997. Pengoperasian KA Argo Bromo Anggrek mengawali pengembangan KA
merek Argo lainnya, seperti KA Argo Lawu, KA Argo Mulia, dan KA Argo Parahyangan.
Untuk mendorong Perumka menjadi perusahaan bisnis jasa, pada tanggal 3 Februari
1998 pemerintah menetapkan pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
1998. Dengan status barunya, PT Kereta Api Indonesia (Persero) beroperasi sebagai lembaga
bisnis yang berorientasi laba. Untuk tetap menjalankan sebagian misinya sebagai organisasi
pelayanan publik, pemerintah menyediakan dana Public Service Organization (PSO).
Kasus Perusahaan Kereta Api Indonesia
Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu
perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas dalam memastikan penyajian
laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan
yang sebenarnya.
Kronologi Permasalahan
Kasus PT. KAI berawal dari perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris,
khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani
laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk
dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai
dengan fakta yang ada. Perbedaan tersebut bersumber pada perbedaan mengenai :
1. Masalah piutang PPN.
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit
harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya,
tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang
merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut
Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
3. Masalah persediaan dalam perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan
dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses
akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi
beban tahun 2005.
4. Masalah uang muka gaji.
Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan
seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005
diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus
dibebankan pada tahun 2005.
5. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) dan
Penyertaan Modal Negara (PMN).
BPYDBS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam
laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang,
menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca
tahun buku 2005.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya
laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang
yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi
menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan
komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan
keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem
akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang
rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong
terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan
laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak
memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Beberapa hal yang direfentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT.
KAI Indonesia :
1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor
Eksternal.
2. Komite audit tidak ikut serta dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat
proses audit.
3. Manajemen (tidak termasuk auditor eksternal) tidak melaporkan kepada komite audit dan
komite audit tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga
ketika komite audit mempertanyakan manajemen merasa tidak yakin.
Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak
berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan.
Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan
penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang akan
datang.
Penyelesaian Kasus Perusahaan Kereta Api Indonesia
Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa masalah yang
terlihat yaitu :
Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan
dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable
memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk
mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan
perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public
judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi
perusahaan.
Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila
Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan
Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti
tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan
pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah
rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk
memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang
merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu
transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan
kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi
perusahaan.
Ketiga, sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT.
Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal
dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT.
Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat
pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan
beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta
dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor
dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional
perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan
Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum
pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk
proses audit tahun buku 2006.
Kelima, terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu
ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan
dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang
telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.
Keenam, beberapa hal teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK
yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure
Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta
komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem
akuntansi.
Beberapa masukan yang dapat diterapkan Perusahaan Kereta Api Indonesia untuk
memperbaiki kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :
1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini
sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.
2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi
yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari
tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau
dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api sedang diproses
disana.
3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ
Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan
kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit
namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan
pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.
4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun
budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.
5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh
tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan
memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya
kepada Direksi.
6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.
7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam
pengawasan. Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang
berkomunikasi intens dengan Komite Audit.
DAFTAR PUSTAKA
http://aguswirastawa.blogspot.co.id/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
(diakses tanggal 4 November 2015)
http://www.bumn.go.id/keretaapi/halaman/41 (diakses tanggal 4 November 2015)
http://www.kompasiana.com/www.hendri.com/permasalahan-isu-
audit_5535b24a6ea8340823da4340 (diakses tanggal 4 November 2015)
http://nadhiadisiini.blogspot.co.id/2009/11/kasus-pt-kai.html (diakses tanggal 4 November
2015)