Kasus Edema Paru

40
STATUS PASIEN ANAMNESIS I. Identitas Nama : Ny. B Umur : 26 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Karang Jati- Ngawi Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2013 II.Keluhan Utama Sesak nafas III. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh adanya sesak nafas sejak 1 minggu SMRS yang lalu baik saat beaktivitas maupun beristirahat disertai dengan demam. Saat datang ke UGD pasien sedang hamil 8 bulan dan saat ini pasien post-operasi SC. Saat ini pasien masih mengeluh adanya sesak nafas, meskipun sudah membaik daripada yang dirasakan sebelumnya. IV.Riwayat Penyakit Dahulu 1

description

EDEMA PARU

Transcript of Kasus Edema Paru

Page 1: Kasus Edema Paru

STATUS PASIEN

ANAMNESIS

I. Identitas

Nama : Ny. B

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Karang Jati- Ngawi

Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2013

II. Keluhan Utama

Sesak nafas

III. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh adanya sesak nafas sejak 1 minggu SMRS yang lalu baik

saat beaktivitas maupun beristirahat disertai dengan demam. Saat datang ke

UGD pasien sedang hamil 8 bulan dan saat ini pasien post-operasi SC. Saat

ini pasien masih mengeluh adanya sesak nafas, meskipun sudah membaik

daripada yang dirasakan sebelumnya.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami penyakit serupa

DM (-)

HT (+), datang pertama ke UGD dengan TD 150/70 mmHg

V. Riwayat Penyakit Keluarga

DM (-) HT (-)

1

Page 2: Kasus Edema Paru

VI. Anamnesis Sistem

Sistem Serebrospinal : demam (+) pusing (-) nyeri kepala (-), kejang (-)

Sistem Respirasi : sesak (+) batuk (-) pilek (-)

Sistem Kardiovaskular : berdebar2 (+) sianosis (-)

Sistem Digesti : mual (-) muntah (-) penurunan nafsu makan (+)

konstipasi (+)

Sistem Urogenital : BAK normal

Sistem Muskuloskeletal : kedua kaki bengkak

VII. Kebiasaan dan Lingkungan

Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : lemah, pucat dan tampak sakit

Kesadaran : GCS E4V5M6

Kepala Leher : konjungtiva anemis (+), sclera ikterik (-), sianosis (-)

Vital Sign : TD : 130/70 mmHg Nadi: 147x/menit

Suhu : 38 C RR: 55x/menit

Pemeriksaan Thoraks : Cor : s1s2 reguler, bising (-)

Pulmonal : wheezing (-) ronkhi (-)

Pemeriksaan Abdomen : Post SC

Pemeriksaan Ekstremitas: ekstremitas atas -/- ekstremitas bawah +/+

2

Page 3: Kasus Edema Paru

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 8-1-2013

Faal Hati

SGOT : 210 ul meningkat

SGPT : 380 mg/dl meningkat

Bilirubin direct : 4,32 mg/dl meningkat

Bilirubin indirect : 8,40 mg/dl meningkat

HbsAg : Negative normal

Faal Ginjal

Serum Creatinin : 0,79 mg/dl normal

Ureum : 20 mg/dl normal

Urine Lengkap

Makroskopis

Warna : kuning kecoklatan

Kekeruhan : keruh

Berat jenis : 1.020

pH : 6

Protein : positif 2 / ++ proteinuria

Nitrit (bakteri) : negative

3

Page 4: Kasus Edema Paru

Keton : negative

Urobilin : positif 1/ +

Bilirubin : positif 1/+

Mikroskopis

Eritrosit : 3-5 L/P meningkat

Leukosit : 10-15 L/P meningkat

Epitel : 20-30 L/P meningkat

Kristal : positif

Bakteri : positif

Tanggal 10-1-2013

Hematologi

Hemoglobin : 10 g/dl anemia

Leukosit : 10.400 mmk menigkat

Angka Trombosit : 105.000 mmk trombositopenia

Faal Hati

SGOT : 91 ul meningkat

SGPT : 38 ul meningkat

Kesimpulan :

Pasien post SC e.c preeklamsia ( HT, proteinuria dan edema ekstremitas bawah)

4

Page 5: Kasus Edema Paru

ANALISIS FOTO RONTGEN THORAX

FOTO THORAX

Gambar 1. Foto Thorax Ny. B

5

Page 6: Kasus Edema Paru

ANALISIS FOTO

Analisis Foto Thorax Hasil InterpretasiPenilaian Fotoa. Identitas

b. Faktor Kondisi

c. Faktor Inspirasid. Faktor Posisi

e. Faktor Proyeksi

f. Faktor Simetrisasi

g. Faktor Terpotong

Pembacaan Fotoa. Kadua Apeks Paru

b. Corakan bronkovaskular

c. Keadaan parenkim paru

d. Sinus Costophrenikuse. Diafragmaf. Jantungg. Sistema Jaringan

Lunak dan Tulang

Terdapat nama pasien, tanggal pemeriksaan, dan marker “L”Tampak adanya processus spinosus 4, ada penampakan vertebra thorakalis I-IVTidak dapat dinilaiKlavicula menukik, scapula tampak pada apeks paruSkapula tampak pada apeks paru, klavikula menukik, posisi jantung kesan lebih lebarJarak antara median titik prosessus spinosus kanan-kiri > 2mmSuperior: tampak VC.VIILateral: tampak axilla ka-kiInferior: tampak kesan batas sinus costophrenikus dan diafragma

Tidak ditemukan adanya infiltrate, kavitas, fibrosis, maupun kalsifikasiBagian 1/3 paru superior dan 1/3 paru inferior bersihTampak perivascular haziness kedua paruKesan lancip pada ka-kiTidak dapat dinilaiTidak dapat dinilaiTidak terdapat kelainan

Kurang

Cukup

-Berbaring

AP

Tidak simetris

Tidak terpotong

Tenang

Normal

Tidak normal

Normal --Normal

Kesimpulan : Edema Paru

6

Page 7: Kasus Edema Paru

PEMBAHASAN

PRE-EKLAMSIA

Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan trias gejala klinis berupa peningkatan tekanan darah, edema pada ektremitas

bawah, dan proteinuria. Sindrom ini dapat menyebabkan penurunan perfusi darah

pada organ organ akibat adanya vasospasme dan menurunnya aktivitas sel endotel.

Preeklamsia dapat disebut sebagai hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan

atau penyakit hipertensi akut pada kehamilan. Preeklamsia tipe ini paling sering

terjadi pada trimester terakhir kehamilan. Diagnosis hipertensi ditegakkan dari

adanya peningkatan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90mmHg, yang

diukur dua kali selang 4 jam setelah penderita intirahat.

Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan didalam

tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan

kaki, jari tangan, dan wajah. Adanya proteinuria merupakan tanda penting dari

preeklamsia, tanpa adanya proteinuria belum dapat dikatakan preeklamsia.

Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 g/ liter dalam

urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+ atau ≥ 1g?liter

dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2x

dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dibandingkan

hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu adanya proteinuria dianggap sebagai

tanda yang cukup serius.

7

Page 8: Kasus Edema Paru

Gambar 2. Penilaian Klinik Eklamsia dan Preeklamsia

8

Page 9: Kasus Edema Paru

EDEMA PARU

Definisi

Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru

yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular

yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran

kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan

secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif

dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

Mekanisme

Pada paru normal (gambar 2.3), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular

terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai

dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas

membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar

intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini

disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika

cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang

peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi.

Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik

yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan

tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan

onkotik protein (Maria, 2010).

9

Page 10: Kasus Edema Paru

Gambar 3. Paru Normal (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:

1.  Membran kapiler alveoli

Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang

interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam

pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan

normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute  dari pembuluh darah ke

ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat

diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally,

2009).

2. Sistem Limfatik

Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan

cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah

interstitial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari

interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini

ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila

kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan

terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat  70 kg dalam keadaan

istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan

kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan

ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem

10

Page 11: Kasus Edema Paru

limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk

mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat

mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema

interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi

(Harun dan Sally, 2009).

Klasifikasi

Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):

1. Ketidakseimbangan “Starling Force”

a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis

Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat

sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28

mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis

adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai

terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1)

tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal

ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat

peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru

overperfusi).

b. Penurunan tekanan onkotik plasma

Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga

peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja

pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia

dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial

sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan

limfatik.

11

Page 12: Kasus Edema Paru

c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstisial

Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.

Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat

pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar.

Keadaan ini disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema biasanya terjadi

unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan

penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan

‘edema paru re-ekspansi’ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat

dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan

nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma

bronkhial).

2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult

Respiratory Distress Syndrome).

Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara

kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu

yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini

daripada akibat ketidakseimbangan ‘Straling Force’

- Pneumonia (bakteri, virus, parasit)

- Terisap toksin (NO, asap)

- Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi

- Aspirasi asam lambung

- Pneumonitis akut akibat radiasi

- Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)

- Dissemiated Intravascular Coagulation

- Immunologi: pneumonitis hipersensitif

- Shock-lung  pada trauma non thoraks

- Pankreatitis hemoragik akut

-

12

Page 13: Kasus Edema Paru

3. Insufisiensi sistem limfe

- Pasca transplantasi paru

- Karsinomatosis, limfangitis

- Limfangitis fibrotik (siilikosis)

4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya

- “High altitude pulmonary edema”

- Edema paru neurogenik

- Overdosis obat narkotik

- Emboli paru

- Eklamsia

- Pasca anastesi

- Post cardiopulmonary bypass

Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik

Etiologi dan Patofisiologi

Edema paru kardiogenik atau edema volume overload dapat terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan

filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada

tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan

efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema

yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan

tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan

tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan

tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg)

menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular.

Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan

menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan

13

Page 14: Kasus Edema Paru

menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut

(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :

Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya

pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.

Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi

pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan

ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin

menurunkan fungsi ventrikel kiri.

Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi

jantung.

Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor

aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi

natrium dan klorida adalah ion channelsepitel yang terdapat pada membran apikal sel

epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif

ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada

membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan

melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel

alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum

klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai

munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi

jantung yang tidak normal (Maria, 2010).

Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi

cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan

tekanan di atrium kiri dan sebagiankapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa

perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil

14

Page 15: Kasus Edema Paru

akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak

nafas (Harun dan Sally, 2009).

Gambar 4. Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.

Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat

peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan

meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan

terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas  fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat

terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).

Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema

interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar

dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan

hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum

interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk

memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah

cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di

15

Page 16: Kasus Edema Paru

lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi.

Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya

hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada

keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan

tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan

manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).

Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema

paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia

yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi

akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung

darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas

vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan

ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan.

Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin

memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi

bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini

terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila

akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009).

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik

maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan

permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan

protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema

paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah

lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya

cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera

pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif

mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana

16

Page 17: Kasus Edema Paru

terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk

menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Diagnosis

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai

beberapa kemiripan.

1. Anamnesis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya

riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung

kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi

pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang

menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang

akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

2. Pemeriksaan Fisik

Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau

tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat

mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau

sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela

interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif

intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum

yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada

pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih

dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan  gallop, bunyi

jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis

(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi

edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah

17

Page 18: Kasus Edema Paru

rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim

jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan

prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema

paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan

denganpulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-

diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien

gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal

jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas

93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai

BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al,

2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk

menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi

gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa

Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal

jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).

4. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel

vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis

kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran

ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel

vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto

thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus

edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya

kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun

pada posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15

mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto

thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan

Fujimoto, 2009).

18

Page 19: Kasus Edema Paru

Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang

dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose

antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis

pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus

yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa

garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk

melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan

Fujimoto, 2009).

Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik

dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara

lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru

meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas

dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien

dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non

Kardiogenik (dikutip dari Lorraineet al, 2005)

NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik

1 Ukuran Jantung Normal atau membesar

2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar

3 Distribusi Vaskuler Seimbang

4 Distribusi Edema rata / Sentral

5 Efusi pleura Ada

6 Penebalan Peribronkial Ada

7 Garis septal Ada

8 Air bronchogram Tidak selalu ada

19

Page 20: Kasus Edema Paru

Gambar 5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik

(dikutip dari Cremers et al, 2010)

Gambar 6. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik

(dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)

20

Page 21: Kasus Edema Paru

5.  Ekokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel

kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga

dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).

6. EKG

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia

atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi

gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien

dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan

gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas,

dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1

minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan

yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial

yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut

dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan

metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).

Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik

dan Non Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)

21

Page 22: Kasus Edema Paru

Penatalaksanaan

Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik

(dikutip dari ESC, 2012)

Keterangan:

1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang

direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat

dulang jika diperlukan.

2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau PaO2 <60

dapat="dapat" diberikan="diberikan" hipoksemia="hipoksemia" kpa="kpa"

22

Page 23: Kasus Edema Paru

mengobati="mengobati" mmhg="mmhg" oksigen="oksigen" po="po"

span="span" untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko

mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien

non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah

jantung 

3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada

pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.

4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi

adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.

5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,

bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.

6.  Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x

lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat

takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit jarang sekali diperlukan.

Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat

dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.

7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung,

SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.

8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat

tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh

hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang sekali dipelukan.

9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang

adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi

O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi

pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer

juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi

kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya

penurunan ronkhi.

23

Page 24: Kasus Edema Paru

10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv

dengan pengobatan diuretik oral.

11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal

nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard),

dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-

tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah,

perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme /

iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit,

gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah

arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.

12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama  adalah respon awal

pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).

13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan

diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit

katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat

mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak

adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).

14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus

dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.

15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat

kontraindikasi.Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP)

dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi

dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen)

pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized

controled trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif

atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka

kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90%

dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian

24

Page 25: Kasus Edema Paru

dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif

dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien

dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang

kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk

penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan

pneumotoraks, dan depressed consciousness.

16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi

invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya

kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll.

17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥

dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).

18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan

pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung)

maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak

dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.

19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap

terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus

dipertimbangkan.

25

Page 26: Kasus Edema Paru

DAFTAR PUSTAKA

1. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and

Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:

2. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary

Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51.

3. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant.

(Online). Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-

ray-heart-failure.html. (24 November 2012)

4. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo  AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati  S, editor.  Buku ajar ilmu penyakit  dalam. 5th

Ed. Jakarta:  Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519

5. Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and

Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed

in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and

Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) . Eur J

Heart Fail 2008;10:933–989.

6. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic

Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388–2442

doi:10.1093/eurheartj/ehn309

7. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic

Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847

doi:10.1093/eurheartj/ehs104

8. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and

Framework for Future Research.  AHA 2005; 112; 3958-3968.

9. Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous

Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The

26

Page 27: Kasus Edema Paru

Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency Department with

Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial .Leeds. Health

Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33

10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo  AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati  S, editor.  Buku ajar ilmu penyakit  dalam. 5th

Ed. Jakarta:  Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653

11. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9,

2009

12. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.

13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis

VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52

14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and

Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The

Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p.

1075.

15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart

Failure. Circulation 2004 : 110 : 1091-1096

16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI

Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-

19

17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute

Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and

Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205

27

Page 28: Kasus Edema Paru

KASUS RADIOLOGI 1

FOTO THORAX : EDEMA PARU

Oleh :

Ida Nor Hidayah

06711095

28