Kasospol Update 2

10
#02//2015 KONTRIBUTOR: ABEL DHARMA SETIAWAN (2014) EISYA A. ELOKSARI (2013) IFFA D. N. (2014) kasospol update!

description

 

Transcript of Kasospol Update 2

Page 1: Kasospol Update 2

#02//2015

Kontributor:Abel DhArmA SetiAwAn (2014)eiSyA A. eloKSAri (2013)iffA D. n. (2014)

kasospolupdate!

Page 2: Kasospol Update 2

Dari Tim Update!

Rasanya jarak tak hanya telah memisahkan bumi dan langit saja, tetapi juga kita sebagai ‘yang katanya’ para calon ilmuwan politik mendatang dengan aktivitas menulis hari-hari ini. Kekhawatiran akan kemampuan diri sendiri atau pun akan tuaian penilaian yang akan diterima dari orang lain mungkin menjadi sejumlah penghenti langkah kita untuk berkarya selama ini. Kawan Kasospol Update!, Aristoteles pernah berkata “agar tidak dikritik, jangan katakan sesuatu, jangan lakukan sesuatu dan jangan jadi sesuatu”. Kini sudah waktunya bagi kamu untuk mulai berkarya dan menjadikannya sebagai sebuah keabadian lewat tulisan yang ringan namun tetap berbobot. Kasospol Update! hadir untuk menjadi kawan setiamu dalam menebarkan manfaat. Yuk angkat penamu sekarang!

Salam bermanfaat, Tim Update!

1

Penerbit: Departemen Kajian Sosial dan Politik HMIP FISIP UIPenanggung Jawab: Aditya Fathurrahman Abdillah

Pemimpin Redaksi: Edwina Rosanti BaduduPengarah: Harry Nugraha, Lazuardi, Vita Rachim Yudhani

Penyunting: Heru Utomo Adji, Reza ParamadhanDesain: Ignatius Radityo, Dimas Dwi Nugraha

Redaksi

D a f t a r I s i

3 Politik Diskriminasi di NusantaraAbel Dharma Setiawan (2014)

5

7

Undang-Undang Kesetaraan Gender untuk SemuaEisya A. Eloksari (2013)

Siapa yang Peduli?Iffa D. N. (2014)

Page 3: Kasospol Update 2

“Menulis adalah sebuah keberanian...” Pramoedya Ananta Toer

“Jika kita memlih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu

akan pecah berantakan” Tere Liye, Negeri di Ujung Tanduk

2

Page 4: Kasospol Update 2

3

J ika bicara persoalan politik, hal tersebut merupakan serang-kaian fenomena yang tak kunjung dapat dikupas secara final dengan hasil yang menggugah. Hal tersebut dipengaruhi oleh rangkaian faktor sejarah dan karakter pelaku yang be-rada di dalamnya, sehingga terjadi permasalahan yang sedemikian rupa pada implementasinya. Menyangkut persoalan politik, akan terasa asing dan membingungkan apabila di-bahas persoalan yang menyangkut masalah diskriminasi yang dikupas berdasarkan sudut pandang politik. Permasalahan yang membingung-kan tersebut seolah menjadi blun-der yang tak kunjung disadari oleh masyarakat awam. Masalah yang ta-dinya hanya berlabel “sepele”, tak pernah diyakini dapat menjadi rang-kaian korelasi blunder yang kom-pleks. Berangkat dari realita terse-but, akan menjadi sangat menarik untuk lebih mengupas secara kom-prehensif persoalan tentang politik diskriminasi di bumi Nusantara ini. Bertolak dari zaman penjajahan kolonial, telah tertata sistem penggolongan (stratifikasi) yang sedemikian rupa membuat nuansa pembedaan menjadi sangat kentara di bumi Nusantara saat itu. Realita akan

kesengsaraan dan penderitaan kaum pribumi yang merasa di-anak tirikan di tanahnya sendiri menjadi suatu dentuman psikologis yang tak kunjung terobati. Sistem yang telah terbangun tersebut menjadi suatu fondasi kokoh tertempanya karakter dan nuansa yang begitu luar biasa ekstrem. Dapat dibayangkan, kepahitan realita yang dialami namun tak dapat diatasi dan dicari solusinya. Hingga akhirnya hal tersebut menjadi suatu fakta sejarah yang pedih untuk diputar kembali alurnya.

Berjalannya takdir sejarah dan seiring dengan ber-evolusinya ruang dan waktu yang tak sejalan dengan harapan, membawa realita sejarah ini kepada masa Imperialisme bangsa kulit kuning. Sempat terlintas segenggam harapan untuk keluar dari keterpurukan akan realita tersebut. Asa untuk bebas dari segala pembedaan segera tumbuh dengan puncak kesadaran nasional. Namun, asa tinggal menjadi asa, realita menjungkirbalikkan segalanya. Biarpun diterpa angin segar dengan kenaikan status sosial tak membuat hidup kaum pribumi menjadi sesegar angin yang berhembus. Realita yang jauh lebih pahit harus mereka jalani demi secercah harapan akan ”hidup”. Realita yang seolah hanya menjadi kedok para sutradara dalam memainkan panggung pertunjukkannya, seperti itulah perlakuan sang bangsa kulit kuning terhadap kaum yang dianggap saudara mudanya.Hingga akhirnya, keterpurukan realita tersebut terbayarkan dengan harga ”proklamasi kemerdekaan” yang digapai oleh para founding father. Berpuncak pada selembar naskah tersebutlah, bangsa

Politik Diskriminasi di Nusantara

Abel Dharma Setiawan (2014)

kasospol update!

Page 5: Kasospol Update 2

kasospol update!

4

ini mendeklarasikan suatu kebebasan dari jebakan realita sejarah yang kejam. Namun, ini belum lah menjadi akhir dari segalanya. Perjuangan untuk mempertahankan panji-panji di tanah ibu pertiwi seolah menjadi tantangan tersendiri yang tak kunjung selesai. Barisan para pejuang gagah berani mengorbankan hembusan nafasnya untuk membayar sebuah harga ”kemerdekaan”. Hingga masuk pada klimaks dari semua perjuangan tersebut, tergapai sudah target sebuah kemerdekaan. Masuk pada suatu rezim terpimpin sang founding father, bumi pertiwi ini hendak menghilangkan luka batin dari segala perbedaan yang terjadi.

Namun jalan tidak selalu serasi, begitu pula fakta menjawabnya. Hembusan kebe-basan untuk memulihkan segala perbedaan tersebut harus dinodai oleh perbedaan kembali yang diciptakan oleh rezim penguasa. Begitulah the smiling general, Soeharto menjawab den-gan senyumnya. Berkedok menjalankan ideologi secara murni dan konsekuen, beliau mencip-takan suatu orde yang menjadi sejarah kelam sepanjang republik ini berdiri. Tanpa disadari, bumi pertiwi diajak untuk kembali mengenang perbedaan yang ada pada masa penjajahan silam. Semua tak lepas dari sekedar kedok dan kepentingan para penguasa untuk menancapkan kuku mereka pada sebuah kekuasaan. Hal ini seolah menjadi ironi yang membungkam setiap orang untuk berani bersuara melawan realita tersebut. Berbagai label diskriminasi menjadi suatu tanda yang tak dapat dihilangkan. Golongan etnis yang tak bersalah dan dijadikan kambing hitam para pencetak sejarah membuat mereka terdiskriminasi kembali untuk yang ke sekian kalinya. Ingin rasanya mereka marah dari cap bernuansa rasial yang menjadi makanan mereka sehari-hari.

Puncak cerita ini bertampu pada suatu masa yang disebut dengan Reformasi. Setelah the smiling general ditumbangkan oleh aksi para panji yang sudah bosan dengan ke-dok yang dimainkan sang sutradara, bumi pertiwi mendapatkan kembali cahaya terangnya yang sempat redup puluhan tahun silam. Berangkat dari momen tersebut, mereka berupaya melakukan re-strukturisasi terhadap berbagai aspek kehidupan. Tembok pembedaan diskrim-inasi yang diciptakan selama puluhan tahun silam kini berusaha untuk diruntuhkan bersa-ma-sama. Niat dan usaha yang didorong oleh rasa untuk bersama bersatu membangun tanah Nusantara ini. Tetapi, perubahan tersebut seolah hanya menjadi suatu klise yang menarik.

Setelah menanjak, mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Label diskrimina-si pun masih kerap kali dijumpai. Hingga memaksa terjadinya konflik saudara yang berbe-da latar belakang sejarah. Begitulah realita menjawab tantangan yang ada, dengan rang-kaian fenomena yang tak terduga semua terbentuk sedemikian rupa sehingga siapapun tak dapat lari darinya. Sudah saatnya bagi kita para panji-panji muda untuk menerbangkan kembali Garuda dan mengibarkan sang saka di republik ini untuk mari bersama memba-ngun tanah tumpah darah ini. Karena hanya itu lah satu-satunya jalan untuk membawa real-ita sejarah ini berujung pada suatu akhir yang manis. Nusantara yang harmonis dan tentram di dalam sanubari akan rujukan sebuah persatuan tanpa syarat. Bersatu bersama memba-wa cerita sejarah ini sampai akhir. Jayalah Nusantaraku, Merdeka! Salam Persatuan!

Page 6: Kasospol Update 2

5

kasospol update!

Undang-Undang Kesetaraan Gender untuk SemuaEisya A. Eloksari (2013)

ada tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman (CEDAW) yang berarti Indonesia telah memiliki komitmen untuk menyetarakan perempuan dengan laki-laki. Kini, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan Indonesia masih belum memiliki payung hukum yang melindungi perempuan dari tindak diskriminasi. Itikad pemerintah untuk merumuskan suatu undang-undang yang mengacu pada CEDAW dan penghapusan diskriminasi telah ada sejak awal tahun 2000 namun, baru pada tahun 2013 Rancangan Undang-Undang yang disebut Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) terbentuk. RUU KKG ini menjadi langkah nyata pemerintah dalam merealisasikan masyarakat yang adil.

Tulisan ini tidak akan membahas apa arti gender atau apakah kesetaraan gender itu perlu atau tidak. Namun, perlu rasanya kita memahami bahwa setara bukan berarti sama. Dua bangunan yang terbuat dari batu bata dan kayu pun bisa memiliki tinggi yang sama; begitu juga gender. Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tapi bukan berarti mereka tidak memiliki hak dan kesempatan yang

sama. UU KKG ingin memberikan kesempatan agar semua orang — baik laki-laki maupun perempuan — tidak terdiskrimiansi karena hal-hal given seperti jenis kelamin dan ras.

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU KKG nantinya akan lebih banyak mempengaruhi hidup perempuan. Namun hal ini bukan karena UU KKG dirancang khusus untuk perempuan, melainkan karena perempuan selama berabad-abad telah dikondisikan supaya inferior dari laki-laki sehingga keberadaannya kurang diperhitungkan. Misalnya masih banyak redaksi hukum di Indonesia yang belum memperhatikan hak-hak perempuan. Contohnya dapat kita lihat baru-baru ini dengan gagalnya pengubahan usia minimal perkawinan bagi perempuan. Pada Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia minimal bagi laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan perempuan 16 tahun. Padahal, pada umumnya, anak yang berusia 16 tahun baru duduk di kelas 10 (1 SMA), lantas jika dia sudah menikah, apakah ada sekolah yang mau menerimanya? Kalaupun ada, ketika ia kemudian hamil, apakah sekolah maupun keluarganya masih mau membiarkan perempuan ini bersekolah? Dengan demikian, hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan telah dirampas.

Contoh lainnya adalah Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 di Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran. Perda tersebut telah mengakibatkan banyak perempuan menjadi korban salah tangkap karena dianggap sebagai pelacur. Anehnya, walaupun Perda tersebut tidak menyebutkan secara spesifik bahwa yang diduga pelacur adalah perempuan, sebagian besar tersangka yang kemudian ditangkap adalah perempuan. Secara tidak sadar, kekosongan payung hukum yang mengatur tentang diskriminasi gender telah

P

Page 7: Kasospol Update 2

6

kasospol update!

menghasilkan perda-perda yang diskriminatif dan membahayakan. Dengan adanya UU KKG, perda-perda seperti ini tidak akan dapat dikeluarkan karena sifatnya yang masih mengandung bias gender.

Memang sulit untuk merealisasikan UU KKG tanpa pengetahuan yang cukup tentang isu gender, diskriminasi, dan konsep kesetaraan. RUU KKG di Indonesia menuai banyak komentar yang masih membahas ranah filosofis undang-undang itu sendiri, bukan mengomentasi redaksi hukum, persoalan sektoral, atau hal-hal teknis di dalamnya. Sangat disayangkan jika kemudian usaha untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan

beradab harus terhambat karena hal-hal seperti kurangnya edukasi. Meski begitu, memang tidak mudah untuk membangun suatu budaya baru; budaya di mana laki-laki setara dengan perempuan dan bahwa kondisi yang demikian dikatakan adil walaupun keadilan merupakan keuntungan bagi setiap umat manusia dan telah tertuang dalam landasan ideologi bangsa

Indonesia, yakni Pancasila. Lalu, mengapa keadilan gender masih belum diakui oleh negara?

Page 8: Kasospol Update 2

7

kasospol update!

Siapa Yang Peduli?

Deru mesin di pabrik iniTiba-tiba menjadi berhentiMemotong jari tangan Menorehkan cacat ditubuh kamiSiapa yang peduli?Apakah kami bisa disebut pejuang?Kami yang sudah berjuang untuk memperkaya harta kalianTetapi mengapa kalian tidak mau memperjuangkan hak kami?Siapa yang peduli?Hanya sepi yang kurasa sekarangSaat dia pejuang sesungguhnya jatuh dari atap geloraSiapa yang peduli dengan nasib kami?Kenapa tidak ada yang peduli pada nasib kami?Haruskah kami semua membakar diri atas ketidakadilan ini?Sampaikan salam kamiSalam dari perut keluarga kami yang berteriak kelaparanDari mereka yang masih kami sekolahkanKami hanya ingin keadilan berpihak pada orang seperti kamiTolong kamiSiapa yang bisa menolong kami?

Iffa D. N. (2014)

Page 9: Kasospol Update 2
Page 10: Kasospol Update 2

Copyright © 2015 Kasospol UpdateDepartemen Kajian Sosial dan Politik HMIP FISIP UI