Karya Ilmiah 8aa

59
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Kebudayaan masyarakat batak adalah karena Dewasa ini kebudayaan mengerakkaan pemikiran orang banyak.Para pemimpin Negara, sarjana ekonomi, penasehat social, ahli pendidikan, dan semacam itu, diaman-mana selalu menghadapi masalah tersebut. Dalam pelaksanaanya mereka selalu samapai pada latar belakang kebudayaan, entah sebagai penghambat, entah sebagai unsur yang harus diintegarsikan agar hasil rencana-rencana tersebut terjamin. Dalam setiap soal daya kebudayaan menampakan diri sebagai factor yang tidak dapat dielakkan, yang mau tak mau harus diperhatikan agar usaha-uasah tersebut tidak gagal. Dari dalam kebuadayaan orang mengali motif dan perangsang untuk menjungjung perkembangan masyarakat. Pertanyaan yang sering diajukan kepada banyak orang yang mengumuli antropologi dan kekudayaan dalam konteks pelayanan. Apakah yang menjadi hubungan antara antropologi dan kebudayaan. Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pelatyanan yang benar harus didasarkan atas kebenaran Alkitab saja, karena segala sesuatu berbau ilmu pengetahuan, termsuk antropologi kebudayaan tidak tidak memiliki tenpat dalam pelayanan. Pendapat ini sepintas kelihatannya benar, sehuingga orang dengan begitu gampang menrimanya, namaun dalamkenyataan yang sebenarnya ialah bahwa setiap pelayanan yang berhubungan dengan manusia pastih menyentuh antropolgi. Disisni 1

description

aa

Transcript of Karya Ilmiah 8aa

Page 1: Karya Ilmiah 8aa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Kebudayaan

masyarakat batak adalah karena Dewasa ini kebudayaan mengerakkaan pemikiran orang

banyak.Para pemimpin Negara, sarjana ekonomi, penasehat social, ahli pendidikan, dan

semacam itu, diaman-mana selalu menghadapi masalah tersebut. Dalam pelaksanaanya

mereka selalu samapai pada latar belakang kebudayaan, entah sebagai penghambat, entah

sebagai unsur yang harus diintegarsikan agar hasil rencana-rencana tersebut terjamin. Dalam

setiap soal daya kebudayaan menampakan diri sebagai factor yang tidak dapat dielakkan,

yang mau tak mau harus diperhatikan agar usaha-uasah tersebut tidak gagal. Dari dalam

kebuadayaan orang mengali motif dan perangsang untuk menjungjung perkembangan

masyarakat.

Pertanyaan yang sering diajukan kepada banyak orang yang mengumuli antropologi

dan kekudayaan dalam konteks pelayanan. Apakah yang menjadi hubungan antara

antropologi dan kebudayaan. Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pelatyanan yang

benar harus didasarkan atas kebenaran Alkitab saja, karena segala sesuatu berbau ilmu

pengetahuan, termsuk antropologi kebudayaan tidak tidak memiliki tenpat dalam pelayanan.

Pendapat ini sepintas kelihatannya benar, sehuingga orang dengan begitu gampang

menrimanya, namaun dalamkenyataan yang sebenarnya ialah bahwa setiap pelayanan yang

berhubungan dengan manusia pastih menyentuh antropolgi. Disisni Antropologi kebudayaan

yang berhubungan dengan manusia, adalah ilmu tentang manusia, akan selalu berhubungan

dengan antropologi kebudayaan itu.

Berdasarkan dari kebenaran tersebut di atas ini, dapatlah dikatakan bahwa setiap

pelayanan yang menyankut manusia perlu memperhatikan antropologi kebudayan secara

serius. Alasan utama untuk kebenaran ini ialah karena antropoli berhubungan erat dengan

manusia dan berbicara tentang manusi, adalah ilmu tentang manusia, asal usul dan

perkembangannya, cara hidup total dan adapt istiadatnya. Alasan yang sejalan ini bahwa

dengan mempelajariantropologi, setiap pembelajar disiapkan untuk menemukan

pendekanatan yang manusiawi untuk mendekati setiap manusia dalam lingkup kehidupannya.

Dari dalamnya juga yang menyebabkan korupsi dan kemacetan. Secara spontan orang merasa

soal kebudayaan merupakan soal actual dan mendesak; penyelesaiannya tidak menyangkut

kepuasan ahli-ahli ilmu melainkan survival kita sendiri dimasa kelak. Jelsa karena bahwa

1

Page 2: Karya Ilmiah 8aa

pengatahuan secara refleks lagi sistematis adalah suatu keharusan bagi setiap orang yang

memikul tanggung jawab bagi hari depan.

Kebudayaan merupakan suatu yang khas insani. Lewat kebudayaan manusia membuat

kebudayaan menjadi manusiawi, berate memanusiakan alam, sekaligus dalam kebudayaan itu

manusia meyujudkan diri sehingga mencapai kepenuhan kemanusiaannya. Dengan kata lain

kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani. Filsafat

kebudayaan memandang kebudayaan dari segi realisasi kemanusiaan. Tulis J.V.Schall S.J.:

“Philosophy has some very valuable, indeed essential contribution to make before there can

be any adequate knowledge of what is meant by culture. Futhermore, the key to a very

important problem in the field of religion and culture can also be found in philosophy. The

immediate task that confronts the philosopher is a dialectic one, that is , what do modern

historians and social scientist commonly mean by culture, what is the reality that they attempt

to describe?” Dengan demikian menurut perincian tugas yang dipaparkan di atas, maka

hakekat kebudayaan satu persatu akan disoroti menganai: 1) Hakekat., kebudayaan, subjek

dan objeknya. 2) Unsur-unsur kebudayaan. 3) Faktor-faktor kebudayaan.4) Struktur

kebudayaan. 5) Inkulturasi. 6) Akulturasi.

1.2 Rumusan masalah

Menjelaskan Kehidupan social budaya Suku Batak Angkola

Menjelaskan Kehidupan social budaya Suku Batak Mandailing

Menjelaskan Hipotesis Kerajaan Mandala Holing

Memberikan informasi tentang Pengaruh Hindu terhadap batak

Menjelaskan kehidupan social budaya Suku Batak Karo

Menjelaskan kehidupan social budaya Suku Batak Pakpak

2

Page 3: Karya Ilmiah 8aa

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Suku Batak

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma

kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari

Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak

Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Sebagian besar orang Batak menganut agama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam.

Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme

(disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah

semakin berkurang.

Sejarah

Topografi dan alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto

Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa

dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari Taiwan telah

berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak

termasuk ke dalam rombongan ini.[2]. Selama abad ke-13, orang Batak melakukan hubungan

dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan

pengembangan aksara Batak.[3]. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India

mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kamper

yang diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper dari tanah Batak

berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama pertanian orang Batak, di

samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan

terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[4]. Pada masa-masa berikutnya,

perdagangan kamper mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan

koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari

Barus, Sorkam, hingga Natal[5].

Identitas Batak

3

Page 4: Karya Ilmiah 8aa

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat

kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi

sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok

kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari

satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[6] Pendapat lain mengemukakan, bahwa

munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman

kolonial.[7] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan

"rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri

dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua

orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang

telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki

berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Bukit, salah satu puncak di barat Danau

Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga

menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian

disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian

penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan

transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut

Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang

Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari

banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang

menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan

Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Penyebaran agama

Masuknya Islam

Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak

sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama

dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan

mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam

sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya,

4

Page 5: Karya Ilmiah 8aa

banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak.

Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat

Batak.[9] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang

tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan

Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan

masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan.[10]

Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo,

Pakpak, dan Dairi.

Misionaris Kristen

Lihat pula: Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward

berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[11] Setelah tiga hari berjalan, mereka

sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari

penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan

masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel

Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.

P

ada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk

menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk

memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat

Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[13].

Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan

sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen.

Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh

Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.

H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan

pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan

terdengar aneh dalam bahasa Batak.[14]

5

Page 6: Karya Ilmiah 8aa

Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20

telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[15]. Pada masa ini merupakan periode

kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak

melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang

dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin

kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.

Gereja HKBP

Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September

1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan

kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan

(GBKP) didirikan

Kepercayaan

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem

kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan

pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu

tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam

kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit

atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon

yang menawannya.

Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang

memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan

sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan

tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun

sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau

meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

6

Page 7: Karya Ilmiah 8aa

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada

dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan

berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai

dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan

kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu)

maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan

sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah

Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya

dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap

perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok

dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa

menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam

pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya

tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Falsafah dan sistem kemasyarakatan

Dalihan na Tolu

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam

kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan

na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak

Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang

paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak)

sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula

(Somba marhula-hula).

7

Page 8: Karya Ilmiah 8aa

Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu

marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon

yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-

kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa

terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi

tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak)

dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan

tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga

(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau

pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara

adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan

dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,

diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan

na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah

menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus

menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata

kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik

sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan

adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Ritual kanibalisme

Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang

bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak

tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.

Dalam memoir Marco Polo yang tinggal di pantai timur Sumatera dari bulan April sampai

September 1292, ia menyebutkan pernah berjumpa dengan rakyat bukit yang ia sebut sebagai

"pemakan manusia".

8

Page 9: Karya Ilmiah 8aa

Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di

antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak

pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa

menceritakan ritual tersebut.

Niccolò de 'Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun

1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara

(1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang

penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-

menerus kepada tetangga mereka "

Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-

undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang

dibenarkan.Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan

orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan

dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan

sedikit nasi"Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi

tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di

antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah

penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang

ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari

sebelumnya. Namun hal ini terkadang untuk menakut-nakuti calon penjajah dan sesekali

untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu

oleh bajak laut.[Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun

1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu

pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden

untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang

Batak sebagai perbuatan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat

sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan

lemon harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan

masyarakat dan tidak memikirkan balas dendamIda Pfeiffer Laura mengunjungi Batak pada

bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu

bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah

secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam

9

Page 10: Karya Ilmiah 8aa

puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki

adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki,

daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya

dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil

bagian dalam makan malam publik besar ".Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang

kanibalisme di wilayah kendali mereka.Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad

ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun

1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh Islam dalam masyarakat Batak

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi

mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar

(nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal

nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini

diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau

marga.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari

suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak"

dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan

sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera,

khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan

pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata

Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal James Stanford Raffless yang membuat

etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di

wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik

Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah

itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari

wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling

Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di

wilayah tersebut.

10

Page 11: Karya Ilmiah 8aa

Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan

Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak

untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya.

Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur

budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin

disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat

Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[29] dan Kasus Pembentukan

Propinsi Tapanuli (2008-2009).

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun,

Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.

Suku Batak Toba

Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa Batak. Suku Batak Toba meliputi

Kabupaten Toba Samosir sekarang yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Parsoburan,

dan sekitarnya.

Toba pada masa Kerajaan Batak

Pada masa Kerajaan Batak yang berpusat di Bakara, Kerajaan Batak yang dalam

pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi Kerajaan Batak dalam 4 (empat) wilayah

yang disebut Raja Maropat, yaitu:

1. Raja Maropat Silindung

2. Raja Maropat Samosir

3. Raja Maropat Humbang

4. Raja Maropat Toba

Daerah Batak Toba masuk dalam wilayah Raja Maropat Toba. Raja Maropat Toba meliputi

wilayah Toba sekarang hingga pantai Timur dan berbatasan dengan Kerajaan Johor.

Toba pada masa penjajahan Belanda

11

Page 12: Karya Ilmiah 8aa

Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membentuk Keresidenan Tapanuli pada

tahun 1910. Keresidenan Tapanuli terbagi atas 4 (empat) wilayah yang disebut afdeling dan

saat ini dikenal dengan kabupaten atau kota, yaitu:

1. Afdeling Padang Sidempuan, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan,

Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas

Utara, dan Kota Padang Sidempuan.

2. Afdeling Nias, yang sekarang menjadi Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.

3. Afdeling Sibolga dan Ommnenlanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli

Tengah dan Kota Sibolga.

4. Afdeling Bataklanden, yang sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten

Dairi, dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Daerah Batak Toba menjadi salah satu bagian dari 5 (lima) onderafdeling pada Afdeling

Bataklanden, yaitu Onderafdeling Toba yang beribukota di Balige.

Onderafdeling Toba dipimpin oleh seorang Controleur van Toba.

Toba pada masa penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, bentuk pemerintahan di Keresidenan Tapanuli hampir tak

berubah. Namanya saja diubah supaya keren dan kejepang-jepangan.

Toba pada masa awal kemerdekaan RI

Setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia pun tetap menjadikan Tapanuli

menjadi sebuah keresidenan. Dr. Ferdinand Lumban Tobing merupakan Residen Tapanuli

yang pertama.

Ada sedikit perubahan dilakukan pada nama. Namun pembagian wilayah tetap sama. Nama

Afdeling Bataklanden misalnya diubah menjadi Luhak Tanah Batak dan luhak pertama yang

diangkat adalah Cornelius Sihombing yang pernah menjabat sebagai Demang Silindung.

Nama onderafdeling pun diganti menjadi urung dan para demang yang memimpin

onderafdeing diangkat menjadi Kepala Urung. Onderdistrik pun menjadi Urung Kecil yang

dipimpin oleh Kepala Urung Kecil yang dulu adalah sebagai Assistent Demang.

12

Page 13: Karya Ilmiah 8aa

Seiring dengan perjalanan sejarah, pemerintahan di Keresidenan Tapanuli pernah dibagi

dalam 4 (empat) kabupaten, yaitu:

1. Kabupaten Silindung

2. Kabupaten Samosir

3. Kabupaten Humbang

4. Kabupaten Toba

Batak Toba masuk dalam wilayah Kabupaten Toba.

Toba ketika penyerahan kedaulatan pada permulaan 1950

Ketika penyerahan kedaulatan pada permulaan 1950, Keresidenan Tapanuli yang sudah

disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara dibagi dalam 4 (empat) kabupaten baru, yaitu:

1. Kabupaten Tapanuli Utara (sebelumnya Kabupaten Tanah Batak)

2. Kabupaten Tapanuli Tengah (sebelumnya Kabupaten Sibolga)

3. Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelumnya Kabupaten Padang Sidempuan)

4. Kabupaten Nias

Batak Toba pun masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang beribukota di

Tarutung.

Toba pada masa sekarang

Pada Desember 2008 ini, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara.

Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribukota di Balige.

Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 12. Tahun 1998 tentang

pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal,

di Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan

pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara.

Toba dalam pembagian distrik pada HKBP

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dibagi dalam beberapa distrik yang dipimpin oleh

pendeta distrik (praeses). Pembagian distrik tersebut ada sejak tahun 1911. Pada masa itu,

13

Page 14: Karya Ilmiah 8aa

Toba telah menjadi salah satu distrik pada HKBP yang disatukan dengan Samosir, yakni

Distrik IV Toba Samosir.

Seiring perkembangan Distrik IV Toba Samosir, Samosir pun dimekarkan menjadi distrik

yang terpisah dari Distrik IV Toba Samosir pada 25 November 1945, yaitu Distrik VII

Samosir. Distrik IV Toba Samosir pun berganti nama menjadi Distrik IV Toba

Pada November 1954, Distrik IV Toba kembali dimekarkan menjadi dua distrik, yaitu Distrik

IV Toba dan Distrik XI Toba Hasundutan.

Hingga Desember 2008 ini, rekapitulasi ressort pada Distrik IV Toba ada sebanyak 28 (dua

puluh delapan) gereja ressort dan 174 (seratus tujuh puluh empat) gedung gereja HKBP.

Distrik IV Toba meliputi Porsea, Sigumpar, Laguboti, Losung Batu, Silaen, Lumban Julu,

Parsoburan, Borbor, Narumonda, Hutahaean, Ajibata, Lumban Nabolon, Parhitean, Pintu

Pohan, Sihubakhubak, dan sekitarnya.

Sedangkan pada Distrik XI Toba Hasundutan, hingga Desember 2008 ini, rekapitulasi ressort

pada Distrik XI Toba Hasundutan ada sebanyak 8 (delapan) gereja ressort dan 28 (dua puluh

delapan) gedung gereja HKBP. Distrik XI Toba Hasundutan meliputi Balige, Tampahan,

Tambunan, Huta Gaol, Hinalang Silalahi, Parik Sabungan, Bonan Dolok, dan sekitarnya.

Seluruh Tapanuli bukan Toba

Kurang dapat diketahui sejak kapan Silindung, Samosir, dan Humbang dinyatakan sebagai

Batak Toba. Padahal Batak Toba hanya meliputi wilayah Balige, Porsea, Laguboti,

Parsoburan, Silaen, Sigumpar, Lumban Julu, Ajibata, Uluan, Pintu Pohan, dan sekitarnya.

Sedangkan seluruh Tapanuli bukan Batak Toba. Melainkan antara Silindung, Samosir,

Humbang, dan Toba telah menjadi wilayah yang berbeda sejak zaman Kerajaan Batak hingga

pembagian distrik pada HKBP.

Bila diperhatikan secara saksama pada buku JAMBAR HATA karangan oleh marga

Sihombing dan PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M.

Hutagalung sangat tampak jelas bahwa seluruh Tapanuli bukan Batak Toba.

Melalui orang-orang yang tidak bertanggungjawab menyatukan Silindung, Samosir,

Humbang, dan Toba menjadi Batak Toba.

14

Page 15: Karya Ilmiah 8aa

BATAK SISAHUTA (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh

marga yang berbeda pula yang disatukan dalam suku bangsa Batak.

Marga pada suku Batak Toba

Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana

ia berasal.

Orang Batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis

keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara

terus menerus.

Dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa

Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Sonak Malela yang

mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu: Simangunsong,

Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu cotoh marga pada suku bangsa

Batak Toba.

Kesimpulan

Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi Balige,

Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya.

Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku

bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga

yang berbeda. Sonak Malela yang mempunyai 3 (tiga) orang putera dan menurunkan 4

(empat) marga, yaitu: Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan dan

[nairasaon] yang terdiri dari sitorus,sirait,butar-butar,manurung ini merupakan beberapa

marga dari batak toba.

15

Page 16: Karya Ilmiah 8aa

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sumber data

Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan

dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan

kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya

dari data buku jurnal masalah dan lain-lain.

Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti

namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah.

3.2 Cara memperoleh data

a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian

yang akan dilakukan.

b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian

pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data

c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian.

d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara

kronologis)

3.3 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa

pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal

yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang

berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam

catatan khusus.

3.4 Analisis data

` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis

dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis

yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi.

16

Page 17: Karya Ilmiah 8aa

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Suku Batak Angkola

Angkola Adalah Nama daerah Di Sumtera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian

Selatan.Pada masa dahulu tidak dikenal adanya Angkola .. kampung yang ada pertama kali

adalah sitamiang yang didirikan oleh oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe..dan

memberi nama daerah-daerah diAngkola sekarang seperti : pargarutan (tempatnya mengasah

pedang) Tanggal (tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak ) sitamiang , dan lain-

nya kemudian kembali ke toba meninggalkan daerah angkola sekarang..dan kembali lagi

disaat suku suku lain seperti suku hindia telah masuk ke-Angkola..dan marga marga lain

seperti harahap,daulay,siregar dan lain-nya``Angkola `` berasal dari sungai sungai batang

Angkola yag diberi nama seorang penguasa yang berasal dari hindia belakang yang beranama

Rajendra Kola (angkola /yang dipertuan kola).masuk melalui padang lawas . dan kemudia

berkuasa disaat itu.. disebelah selatan batang angkola diberi nama angkola jae (hilir) dan

disebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola julu (hulu)kemudian orang-orang

hindia belakang keluar dari angkola disaat wabah lepra mewabahkemudian masuklah suku

suku lain dari segala penjuru ke wilayah angkolaangkola adalah tempat atau daerah

sedangkan suku diangkola adalah suku2 batakdan suku suku lain kemudian Bukti bukti

berjayanya orang orang batak dan juGa Hindia belakang dihancurkan oleh kekuasaan padri

(1821) dibawah pimpinan Tuanku Lelo dan juga belanda dan penghancuran selanjutnya

dilakukan oleh kekuasaan bangsa jepang. dan apakah kelestarian budaya juga akan

dihancurkan Bangsa sendiri

4.2 Suku Batak Mandailing

Suku Mandailing atau juga disebut Batak Mandailing merupakan nama suku bangsa

yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal,

Sumatera Utara, yang juga dikategorikan sebagai bagian dari suku Batak, yang mempunyai

banyak dialek bahasa, walau masih berkerabat satu dengan yang lain. Pada masyarakat Adat

Minangkabau, Mandailing juga menjadi nama bagi salah satu suku yang ada pada masyarakat

tersebut.

Asal Muasal Nama

17

Page 18: Karya Ilmiah 8aa

Mandailing dalam bahasa Minang berasal dari dua kata, mande dan hilang yang

digabung menjadi mandehilang bermaksud ibu yang hilang dan kemudian berubah tutur

menjadi sekarang. Selain itu, Mandailing atau Mandahiling bisa juga berasal dari kata

Mandala dan Hiling atau Holing, yang artinya pusat negeri Kalinga atau Kalingga. Kalingga

sendiri berasal dari kata Sanskrit Lingga, yang berarti lelaki dan imbuhan ka atau ha, menjadi

Kalingga atau Halingga, yang berarti 'kelelakian'.

Adat Istiadat

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga

Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal

tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-

Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan aksara asli

[[Minangkabau dan Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara

lainnya. Meskipun bangsa Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak

dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha/pustaka, namun amat

sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke - 19 M. Umumnya

pustaha-pustaha/pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu ghaib,

ramalan2 tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi dan bukan tentang sejarah.

Kekerabatan

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun

matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing

hanya dikenal belasan marga saja berbeda di Batak, yang mengenal hampir 500 marga.

Seperti halnya di Karo, Nias, Gayo, Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak

mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak. Marga-marga di Mandailing, antara lain

Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan (Nasibuan),

Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae), Matondang,

Hutasuhut.

Marga-Marga Mandailing, menurut Abdoellah Loebis, di Mandailing Julu dan

Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbahagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa

Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan.

Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution

18

Page 19: Karya Ilmiah 8aa

Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain.

Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia,

Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga

Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga).

Menurut Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, di Angkola dan Sipirok

terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga

terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution

dan Lubis di Padang Lawas.

Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing

antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap,

Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan,

Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Mandailing versus Batak

Ada juga suku bangsa di Malaysia yang menamakan dirinya sebagai suku Mandailing,

terutama di Negeri Sembilan, tepatnya di Kg. Kerangai, Kg. Lanjut Manis dan Kg.

Tambahtin, mereka juga menolak disebut bagian dari suku Batak dan mereka menganggap

Mandailing merupakan suku bangsa yang terpisah dari suku Batak. Terjadinya perbedaan

pendapat tersebut disebabkan adanya rasa perbedaan agama, dimana mayoritas penduduk

Mandailing adalah Islam, yang diistilahkan melayu dalam bahasa Mandailing, sedangkan

mayoritas agama pada suku bangsa Batak lainnya adalah Kristen Protestan, yang tergabung

dalam Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sementara minoritas Kristen di Mandailing

tergabung dalam Gereja Kristen Angkola (GKA).

Di samping itu, penolakan masyarakat Mandailing disebut batak salah satunya juga

disebabkan sejarah persebaran manusia di Sumatera. Semisal, tidak ada satupun artefak atau

situs sejarah yang bisa membuktikan bahwa suku Mandailing berasal dari Pusu Buhit dan

sekitarnya. Di mana, dalam mitologi Batak, inilah daerah asal muasal orang Batak. Dalam

perspektif persebaran manusia di Mandailing, masyarakat Mandailing tua lebih menyukai

tinggal di lereng gunung yang berpepohonan lebat dibandingkan dengan di daerah dataran

tandus seperti pulau Samosir.

19

Page 20: Karya Ilmiah 8aa

Selain itu, ungkapan kata Batak dalam termiologi Minangkabau tua adalah stereotype untuk

para pengelana berkuda. Mereka berkenalan dari sebuah daerah potensial tinggi ke dataran

tinggi tandus yang dilatarbelakangi sebuah perisitwa sosial. Sebut saja seperti lari dari

majikan, begal, rampok dan sebagainya. Pelarian ke dataran tinggi tandus, di mana kehidupan

menjadi begitu sulit adalah sebuah upaya proteksi dari ancaman konflik sosial maupun

politik. Perisitiwa ini sendiri terjadi jauh sebelum bangsa-bangsa dari Eropa melakukan invasi

ke Pulau Sumatera.

Namun, sebutan etnis Batak itu dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas

Stanford Raffless pada Tahun 1823 M, dalam rangka membuat suku Kristen, yang berada di

antara Kesultanan Islam Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, yaitu di pedalaman Barus,

yang kala itu masuk dalam Kesultanan Barus bawahan Kesultanan Aceh. Dalam bahasa

Belanda policy (kebijakan) itu berbunyi, "Een wig te drijen tusschen het mohamedaansche

Atjeh en het eveneens mohammadansche Sumatra's West Kust. Een wig in de vorm van de

Bataklanden (Aceh yang Islam serta Minangkabau (Pantai Barat Sumatra) yang Islam dipisah

dengan blok Batak (Barus Tanah Kristen)." Perintah ini meniru perintah Gubernur Jenderal

Inggris di Calcutta, yaitu "Burma yang Buddha serta Siam yang Buddha dipisah dengan blok

Karen yang kristen." Pelaksanaannya, 3 pendeta British Baptist Mission, yaitu Pendeta

Burton, Pendeta Ward, Pendeta Evans ke Kota Tapian Na Uli, tempat Raffless beribukota

saat itu. Pada tahun 1834 M, melalui Londonsche Tractaat, Sumatera bagian utara ditukar

dengan Belanda dengan Kalimantan Utara (Sarawak dan Sabah), perintah Raffless diteruskan

pemerintah Hindia Belanda.Upaya membentuk suku dan wilayah khusus Kristen di Sumatera

baru dimulai tahun 1873 M, dengan berhasilnya Belanda menakhlukkan wilayah Aceh, yaitu

Silindung, dan menghancurkan masjid di Tarutung, setelah Pendeta Nommensen pada tahun

1863 M dari Sipirok pindah ke Silindung ditemani 2 perwira Paderi yang telah dibaptist

Pendeta Verhouven pada tahun 1834 M, yaitu Ja Mandatar Lubis dan Kali (Qadli) Rancak

Lubis di Pakantan. Daerah Silindung kemudian dimasukkan dalam Karesidenan Air Bangis,

di bawah Gouvernemen Sumatra's West Kust. Selanjutnya, pada tahun 1881 M, daerah Toba

berhasil ditakhlukkan Belanda, dan dilanjutkan dengan pengkristenan. Hal ini membuat wali

negeri Bakkara (Bangkara), yang berada di bawah Kesultanan Aceh, yaitu Si Singam Manga

Raja (Sri Singa Maha Raja) XII yang merupakan keturunan Sultan Aceh melalui Kesultanan

Barus, melakukan perlawanan sengit dari tahun 1882 - 1884 M, yang dibantu Tentara Aceh.

Selain itu juga, penamaan suku Kristen di Kalimantan, yaitu Dayak oleh Belanda, dan

Malayik oleh Inggris. Semenjak itu orang Mandailing, baik yang tinggal di afdeeling

20

Page 21: Karya Ilmiah 8aa

Padangsidempuan (Tapanuli Selatan), Labuhan Batu, Asahan, Sumatera Barat dan Riau

menolak disebut sebagai orang Batak.Peristiwa di atas dikuatkan pada tahun 1922-1926 M,

setelah terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim bermarga Siregar yang semula

mengaku Mandailing kemudian mengaku sebagai Batak, ingin dikuburkan di tanah wakaf

Mandailing di Sungai Mati, Medan. Dalam hal ini, Mahkamah Syariah Deli memutuskan

hanya orang yang mengaku Mandailing yang berhak dikuburkan pada tanah wakaf tersebut.

Peristiwa ini dianggap oleh sebagian orang, sebagai salah satu pengukuhan terhadap

perbedaan identitas orang Mandailing dengan Batak.[

Sejarah

Dalam tulisan MANDAILING DALAM LINTASAN SEJARAH oleh Drs.

Pengaduan Lubis, yang dikabarkan dalam Mandailing.org, dinyatakan Suku bangsa atau

kelompok etnis Mandailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing memang

mempuyai aksara sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak. Tetapi ternyata orang-orang

Mandailing pada zaman dahulu tidak menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan

sejarah. Pada umumnya yang dituliskan adalah mengenai ilmu pengobatan tradisional,

astronomi tradisional, ilmu ghaib, andung-andung dan tarombo atau silsilah keturunan

keluarga-keluarga tertentu. Setelah sekolah berkembang di Mandailing, Surat Tulak-Tulak

mulai dipergunakan oleh guru-guru untuk menuliskan cerita-cerita rakyat Mandailing sebagai

bacaan murid-murid sekolah.

Beberapa legenda yang mengandungi unsur sejarah dan berkaitan dengan asal-usul

marga orang Mandailing masih hidup di tengah masyarakat Mandailing. Seperti legenda

Namora Pande Bosi dan legenda Si Baroar yang dtulis oleh Willem Iskandar pada abad ke-18

M. Tetapi legenda yang demikian itu tidak memberi keterangan yang cukup berarti mengenai

sejarah Mandailing. Dalam beberapa catatan sejarah seperti sejarah Perang Paderi yang

disusun oleh M. Radjab, disebut-sebut mengenai Mandailing dan keterlibatan orang

Mandailing dalam Perang Paderi. Catatan sejarah ini hanya berhubungan dengan masyarakat

Mandailing pada abad ke-18 dan awal masuknya orang Belanda ke Mandailing. Bagaimana

sejarah atau keadaan masyarakat Mandailing pada abad-abad sebelumnya tidak terdapat

tulisan yang mencatatnya.

Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang

berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365 M. kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair

21

Page 22: Karya Ilmiah 8aa

yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana

(1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang

bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit,

keberadaan dimana kitab ini tidak diketahui. Baru pada tahun 1894, satu Kitab

Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada Juli

1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok.

Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak

negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan

Majapahit. Tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing, kecuali sebagai salah satu

negara bawahan Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskan nama Mandailing

terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 M telah diakui keberadaannya

sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Pengertian negara bawahan dalam

hal ini tidak jelas artinya, karena tidak ada keterangan berikutnya.

Jadi dapatlah dikatakan bahwa Negeri Mandailing sudah ada sebelum abad ke-14 M.

Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada.

Kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena nama

Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk

Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad

ke-5 M atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada

abad ke-6 M. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah berupa

reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi tersebut adalah Candi

Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8 M.

Apakah pada abad ke-14 M, Mandailing merupakan satu kerajaan tidak diketahui.

Karena dalam Kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut sebagai kerajaan

tetapi sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tetapi dengan disebutkan negeri

Mandailing sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu Mandailing merupakan satu

kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing sebelum abad ke-14 M, tidak ada sama

sekali kecuali keberadaan Candi Siwa di Simangambat. Namun demikian, berdasarkan

berbagai peninggalan dari zaman pra sejarah dan peninggalan dari zaman Hindu/Buddha

yang terdapat di Mandailing kita dapat mengemukakan keterangan yang bersifat hipotesis.

4.3 Hipotesis Kerajaan Mandala Holing

22

Page 23: Karya Ilmiah 8aa

Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa di Simangambat terdapat

reruntuhan Candi Siwa (Hindu) dari abad ke-8. Candi tersebut jauh lebih tua dari candi-candi

di Portibi (Padang Lawas) yang menurut perkiraan para pakar dibangun pada abad ke-11.

Dengan adanya candi ini bisa menimbulkan pertanyaan mengapa dan kapan ummat Hindu

yang selanjutnya saya sebut orang Hindu dari India datang ke Mandailing yang terletak di

Sumatera yang mereka namakan Swarna Dwipa (Pulau Emas).

Besar kemungkinan orang Hindu datang ke Mandailing yang terletak di Svarna

Dwipa adalah untuk mencari emas. Dalam sejarah India, terdapat keterangan yang

menyebutkan bahwa sekitar abad pertama Masehi, pasokan emas ke India yang didatangi dari

Asia Tengah terhenti. Karena di Asia Tengah terjadi berbagai peperangan.Oleh karena itu

kerajaan-kerajaan yang terdapat di India berusaha mendapatkan emas dari tempat lain, yaitu

dari Sumatera/Swarna Dwipa. Dalam hubungan ini kita mengerti bahwa di wilayah

Mandailing yang pada masa lalu hingga kini di dalamnya termasuk kawasan Pasaman

terdapat banyak emas. Bukti-bukti mengenai hal ini banyak sekali. Jadi besar sekali

kemungkinan bahwa tempat yang dituju oleh orang Hindu dari India untuk mencari emas di

Swarna Dwipa adalah daerah Mandailing.

Orang Hindu yang datang ke wilayah Mandailing adalah yang berasal dari negeri atau

Kerajaan Kalingga di India. Oleh karena itu mereka disebut orang Holing atau orang Koling.

Ada kemungkinan mereka masuk dari daerah Singkuang (tambahan: Pelabuhan Natal).

Karena Singkuang yang merupakan tempat bermuaranya Sungai Batang Gadis cukup terkenal

sebagai pelabuhan. Itulah sebabnya tempat tersebut dinamakan Singkuan oleh pedagang Cina

(Singkuang dibuat pada masa Dinasti Ming, yang merupakan koloni dari keturunan orang-

orang dari ekspedisi Panglima Ceng Ho) yang berarti 'harapan baru'. Karena melalui

pelabuhan ini mereka biasa memperoleh berbagai barang dagangan yang penting yang

berasal dari Sumatera seperti damar, gitan, gading dsb.

Menurut dugaan setelah orang Holing/Koling tiba di Singkuang, selanjutnya mereka

menyusuri Sungai Batang Gadis ke arah hulunya. Dengan demikian maka akhirnya mereka

sampai di satu dataran rendah yang subur yaitu di kawasan Mandailing Godang yang

sekarang. Sejak zaman pra sejarah di kawasan tersebut dan di berbagai tempat di Mandailing

sudah terdapat penduduk pribumi (tambahan: Suku Lubu, yang memakai sistem matriarkhat

dan matrilineal). Hal ini dibuktikan oleh adanya peninggalan dari zaman pra sejarah berupa

23

Page 24: Karya Ilmiah 8aa

lumpang-lumpang batu besar di tengah hutan di sekitar Desa Runding di seberang Sungai

Batang Gadis dan bukti-bukti lainnya di berbagai tempat.

Pada waktu orang Holing/Koling sampai di kawasan Mandailing Godang (waktu itu

kita tidak tahu nama kawasan ini), maka mereka bertemu dengan penduduk pribumi

setempat. Penamaan orang Holing/Koling digunakan untuk menyebutkan orang Hindu yang

berasal dari Negeri Kalingga tersebut dibuat oleh penduduk pribumi. Setibanya di wilayah

Mandailing, orang-orang Holing/Koling tersebut menemukan apa yang mereka cari yaitu

emas. Kita mengetahui melalui sejarah bahwa emas tercatat sebagai salah satu modal utama

dalam berdirinya kerajaan-kerajaan besar dan emas juga merupakan sumber kemakmuran.

Setelah orang-orang Hindu menemukan banyak emas di kawasan Mandailing yang sekarang

ini, mereka kemudian menetap di kawasan tersebut. Karena orang-orang Holing/Koling

menetap di kawasan itu maka dinamakan Mandala Holing/Koling. Mandala artinya

lingkungan atau kawasan. Mandala Holing/Koling berarti lingkungan atau kawasan tempat

tinggal orang-orang Holing/Koling. Sampai sekarang kita sering mendengar disebut-sebut

adanya Banua Holing/Koling. Tetapi orang-orang tidak mengetahui dimana tempat yang

dinamakan Banua Holing/Koling itu.Berdasarkan hipotesis ini kita dapat mengatakan bahwa

yang disebut Banua Holing/Koling itu adalah wilayah Mandailing yang dahulu ditempati oleh

orang-orang Holing/Koling. Dengan kata lain Banua Holing/Koling adalah Mandala

Holing/Koling. Berabad-abad kemudian Mandala Holing/Koling dikenal sebagai Kerajaan

Holing. Dalam hubungan ini Slamet Mulyana (1979:59) mengemukakan bahwa hubungan

dagang dan diplomat antara Cina dan Jawa berlangsung, mulai dari berdirinya Kerajaan

Holing pada permulaan abad ke-7 sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan

abad ke-16. Sejalan dengan keterangan Slamet Mulyana ini kita dapat melihat hubungan

antara Kerajaan Holing dengan adanya Candi Siwa Di Simangambat yang dibangunkan pada

abad ke-8. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukan bahwa dari berbagai catatan sejarah

disebut-sebut adanya Kerajaan Kalingga dan Kerajaan Holing. Tetapi sampai sekarang para

sejarah belum menentukan dimana sebenarnya lokasinya yang pasti. Ada pakar sejarah yang

menduga bahwa Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Timur tetapi Kerajaan Holing yang

disebut-sebut dalam catatan Cina tidak diketahui lokasinya yang pasti. Dan dapat pula

dipertanyakan apakah Kerajaan Kalingga adalah yang disebut juga sebagai Kerajaan Holing.

Dengan argumentasi yang telah dikemukan di atas, kita mengajukan dugaan

(hipotesis) bahwa yang disebut Kerajaan Holing itu dahulu terletak di wilayah Mandailing

yang juga disebut sebagai Kerajaan Mandala Holing/Koling. Kiranya cukup beralasan untuk

24

Page 25: Karya Ilmiah 8aa

menduga bahwa nama Mandahiling (Mandailing) yang disebut oleh Mpu Prapanca dalam

Kitan Negarakertagama pada abad ke-14 berasal dari nama Mandalaholing yang kemudian

mengalami perubahan penyebutan menjadi Mandahiling dan akhirnya kini menjadi

Mandailing. Untuk membuktikan kebenaran dugaan atau hipotesis ini tentu masih perlu

dilakukan penelitian. Dan ini merupakan tantangan bagi orang Mandailing yang

berkedudukan sebagai pakar sejarah

Diperkiranya orang-orang Hindu menetap di Kerajaan Mandalaholing (Kerajaan

Holing/ Banua Holing) yang kaya dengan emas berabad-abad lamanya. Yaitu sejak mereka

datang pertama kali pada abad-abad pertama Masehi. Sampai abad ke-13 orang-orang Hindu

masih ada yang menetap di Mandailing yang sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya cukup banyak peninggalan Hindu/Buddha di wilayah Mandailing. Salah satu

diantaranya adalah tiang batu di Gunung Sorik Merapi yang bertarikh abad ke-13 M di

kawasan Mandailing Godang (Pidoli) terdapat lokasi persawahan yang bernama Saba Biara.

Yang disebut biara atau vihara adalah tempat orang-orang Hindu-Buddha melakukan

kegiatan keagamaan.

Menurut dugaan Kerajaan Mandalaholing yang dahulu pernah terdapat di Mandailing

yang sekarang meluas sampai ke kawasan Pasaman (yang dahulu merupakan bagian dari

Mandailing). Menurut keterangan yang pernah saya peroleh di Pasaman, batas antara wilayah

Mandailing dan wilayah Minangkabau terletak di Si Pisang lewat Palupuh. Sekarang batas

antara Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Di kawasan Pasaman, yaitu di

tempat yang bernama Tanjung Medan dekat Rao terdapat juga candi yang mirip keadaannya

dengan candi di Portibi. Dan kita tahu bahwa di kawasan Pasaman juga terdapat emas yang

dibutuhkan oleh orang-orang Hindu. Kalau tidak salah di kawasan yang bernama Manggani.

Di kawasan itu juga terdapat tambang emas Belanda pada masa penjajahan.

4.4 Pengaruh Hindu

Peninggalan-peninggalan bersejarah seperti disebutkan di atas, membuktikan bahwa

sudah ada manusia yang mendiami wilayah Mandailing pada masa tersebut. Sebagai pribumi

Mandailing, mereka terus berkembang sampai orang-orang Hindu datang dan menetap di

Mandailing. Besar kemungkinan antara penduduk pribumi hidp berdampingan secara damai

dengan orang-orang Hindu yang menetap dan kemudian membangun kerajaan di wilayah

Mandailing. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun banyak ditemukan

peninggalan dari zaman Hindu di wilayah Mandailing, tapi ditemukan juga peninggalan

kebudayaan pribumi Mandailing yang berkembang sendiri tanpa didominasi oleh pengaruh

25

Page 26: Karya Ilmiah 8aa

Hindu. Misalnya, patung-patung batu seperti yang terdapat di halaman Bagas Godang

Panyabungan Tonga-Tonga dan patung-patung kayu yang terdapat di Huta (Kuta) Godang.

Demikian juga ornamen-ornamen tradisional yang terdapat pada Bagas Godang dan Sopo

Godang yang hanya sedikit sekali memperlihatkan pengaruh Hindu. Yakni pada ornamen

berbentuk segitiga yang disebut bindu (pusuk robung) yang merupakan lambang dari Dalian

Na Tolu. Dalam kebudayaan Hindu, bindu (bentuk segitiga) merupakan lambang mistik

hubungan manusia dengan dewa trimurti. Bagian-bagian lain dari ornamen tradisional tidak

memperlihatkan adanya pengaruh Hindu. Dari bentuknya, ornamen-ornamen yang ada

sampai sekarang ini hanya menggunakan garis-garis geometris (garis lurus), kecuali ornamen

benda alam, buatan dan hewan seperti matahari, bulan, bintang, pedang, ular dll. Bentuk

ornamen yang hanya menggunakan garis-garis geometris ini membuktikan ornamen tersebut

berasal dari zaman yang sudah lama sekali (primitif).

Pengaruh Hindu juga terdapat pada budaya tradisional Mandailing, antara lain pada

penamaan desa na ualu (walu) (mata angin)dan pada gelar kebangsawanan seperti Mangaraja

(Maharaja), Soripada (Sripaduka/Sripaduha), Batara Guru serta nama gunung seperti Dolok

Malea. Keaneragaman bahasa Mandailing yang terdiri dari hata (kata) somal, hata sibaso,

hata parkapur, hata teas dohot jampolak dan hata andung, yang kosa katanya masing-masing

berlainan menunjukkan budaya pribumi Mandailing sudah lama berkembang yang tentunya

dihasilkan dari peradaban yang sudah tinggi yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya

Hindu. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun orang Hindu lama menetap dan

mengembangkan budayanya tetapi pribumi Mandailing tidak didominasi oleh orang-orang

Hindu, dan bebas mengembangkan budayanya sendiri.

Adanya dua masyarakat, yaitu pribumi Mandailing dan orang Hindu yang masing-

masing mengembangkan budayanya pada masa yang lalu di lingkungan alam yang subur dan

kaya dengan emas. Diduga kemungkinan besar Mandailing merupakan pusat peradaban di

Sumatera pada masa awal abad-abad Masehi. Salah satu bukti mengenai hal ini adalah

adanya ragam bahasa yang sudah disebutkan di atas dan adanya aksara yang dinamakan

[[Surat Tulak-Tulak (yang berasal dari huruf Pallawa), yang kemudian berkembang ke arah

utara mulai dari Toba, Simalungun sampai Karo dan Pakpak. Penelitian para pakar sudah

membuktikan bahwa aksara Mandailing (Surat Tulak-Tulak). Bahasa yang halus dan aksara

yang dimiliki oleh sesuatu bangsa menunjukkan bahwa bangsa tersebut sudah mempunyai

peradaban yang tinggi.

26

Page 27: Karya Ilmiah 8aa

Ada permasalahan yang sampai sekarang belum terpecahkan, yaitu kapan orang

Hindu lenyap dari wilayah Mandailing dan apa yang menyebabkan mereka hilang dari

Mandailing. Setelah orang Hindu lenyap dari Mandailing, pribumi Mandailing terus

mengembangkan kebudayaannya. Budaya Mandailing berkembang tanpa memperlihatkan

pengaruh budaya Hindu yang esensial, walau pun masyarakat Mandailing terbagi dalam 5

kasta, yaitu Namora-mora, Datu-datu, Kalak Somal, Ampong Dalam, dan Hatoban. Dalam

kebudayaan Hindu salah satu esensial adalah konsep bahwa raja adalah wakil dewa di bumi

yang mendasari feodalisme dalam pelaksanaan pemerintahan kerajaan. Masyarakat

Mandailing tidak menganut konsep yang demikian itu, dan pemerintahan yang demokratis

yang dijalankan bersama-sama oleh Namora Natoras dan Raja. Hal ini dilambangkan oleh

bangunan Sopo Godang sebagai balai sidang adat (pemerintahan) yang sengaja dibuat tidak

berdinding, agar rakyat dapat secara langsung melihat dan mendengar segala hal yang

dibicarakan oleh para pemimpin mereka. Semuanya berlangsung secara transparan yang

langsung disaksikan sendiri oleh rakyat.

Setelah Belanda menjajah Mandailing, keadaan yang demikian itu mengalami banyak

perubahan sehingga akhirnya muncul hal-hal yang feodalistis. Karena untuk memperkuat

kedudukannya di Mandailing, Belanda berusaha mengembangkan hal-hal yang feodalistis

untuk dapat menguasai rakyat Mandailing yang demokratis. Sifat rakyat Mandailing yang

demokratis itu, pada akhirnya mendorong munculnya pergerakan nasional di Mandailing

sebagai pelopor pergerakan di Sumatera Utara.

4.5 Suku Batak Karo

Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia.

Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami

(dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut

Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh

dengan perhiasan emas.

Eksistensi Kerajaan Haru-Karo

Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak

diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya

"Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di

27

Page 28: Karya Ilmiah 8aa

Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa

yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini

masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan

kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru

pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga

ke sungai Siak di Riau.

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku

Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang

Abad", (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip

Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara

itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa

di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan

bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang

dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman"

mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum

tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan

suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus

(300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu

lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut

sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka

disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum

Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia,

dan lainnya.

Wilayah Pengaruh Suku Karo

28

Page 29: Karya Ilmiah 8aa

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo

diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada

Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Tanah Karo

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah

ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera

Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah

buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang

terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini,

tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau

"Taneh Karo Simalem". Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari

geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut

trites.Trites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki

rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil

dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang

diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada

isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang

suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.

Kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan

disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi

Sumatera Utara.

Kabupaten Dairi

Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya

melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang

merupakan Taneh Karo:

29

Page 30: Karya Ilmiah 8aa

Kecamatan Taneh Pinem

Kecamatan Tiga Lingga

Kecamatan Gunung Sitember

[sunting] Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)

Kecamatan Simpang Simadam

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga

silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan).

Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan

untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama

seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan

merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:

1. Karo-karo

2. Tarigan

3. Ginting

4. Sembiring

5. Perangin-angin

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo

mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga

ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap

bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama,

maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang

mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-

laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang

melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat

menikah diantara mereka.

30

Page 31: Karya Ilmiah 8aa

Rakut Sitelu

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu

(artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut

sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan

yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari

tiga kelompok, yaitu:

1. kalimbubu

2. anak beru

3. senina

1.

Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang

mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau

keluarga inti.

Tutur Siwaluh

Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan

penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

1. puang kalimbubu

2. kalimbubu

3. senina

4. sembuyak

5. senina sipemeren

6. senina sepengalon/sedalanen

7. anak beru

8. anak beru menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-

kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang

dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:

31

Page 32: Karya Ilmiah 8aa

1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang

2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini

dapat dikelompokkan lagi menjadi:

o Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri

kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri

adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere

Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka

merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi

kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah

kandung.

o Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang.

Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang.

Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai

darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri

keponakannya.

o Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh

karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya.

Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu

adalah berdasarkan perkawinan.

Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.

Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya

adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam

masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam

bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).

Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini

didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang

bersaudara.

Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai

anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.

Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk

diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga

32

Page 33: Karya Ilmiah 8aa

tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri

dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:

anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga

generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua

adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat

yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai.

Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara),

karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga

dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui

segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah

anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-

laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh

baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere

mama.

Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata

minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih

luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu

kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya

anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Aksara

Aksara KaroAksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo,

akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah

digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti

o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek

Tari tradisional

Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:

Piso Surit

Lima Serangkai

33

Page 34: Karya Ilmiah 8aa

Terang Bulan

Kegiatan Budaya

Merdang merdem = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".

Mahpah = "kerja tahun" yang disertai "Gendang guro-guro aron".

Mengket Rumah Mbaru - Pesta memasuki rumah (adat - ibadat) baru.

Mbesur-mbesuri - "Ngerires" - membuat lemang waktu padi mulai bunting.

Ndilo Udan - memanggil hujan.

Rebu-rebu - mirip pesta "kerja tahun".

Ngumbung - hari jeda "aron" (kumpulan pekerja di desa).

Erpangir Ku Lau - penyucian diri (untuk membuang sial).

Raleng Tendi - "Ngicik Tendi" = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang

karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.

Motong Rambai - Pesta kecil keluarga - handai taulan untuk memanggkas habis

rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.

Ngaloken Cincin Upah Tendi - Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari

keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).

Ngaloken Rawit - Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau

celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) -

keponakan laki-laki.

Suku Batak Pakpak

Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan

tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaki di Kabupaten

Dairi,Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara),

Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Prov.Aceh.

Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah

Pakpak Silima suak yang terdiri dari :

34

Page 35: Karya Ilmiah 8aa

1. [[Pakpak Klasen](Kab. Humbang Hasundutan Sumut]

2. Pakpak Simsim (Kab.Pakpak Bharat-sumut)

3. Pakpak Boang (Kab.Singil dan kota Sabulusalam-Aceh)

4. Pakpak Pegagan (Kab.Dairi-sumut)

5. Pakpak Keppas (Kab.Dairi sumut)

Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten

Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten,

yakni:

1. Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)

2. Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)

Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten

Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten

Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai

Pakpak Klasen.

Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan

kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang.

Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan

yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang

bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.

Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan

Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan).

Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di

Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.

Marga Pakpak

Anakampun

Angkat

Bako

35

Page 36: Karya Ilmiah 8aa

Bancin

Banurea

Berampu

Berasa

Beringin

Berutu

Bintang

Boang Manalu

Capah

Dabutar

Cibro

Gajah Manik

Gajah

Kabeaken

Kesogihen

Kaloko

Kombih

Kudadiri

Lembeng

Lingga

Maha

Maharaja

Manik

Matanari

Meka

Maibang

Padang

Padang Batanghari (BTH)

Pasi

Penarik Pinayungan

Sambo

SARAAN

Sikettang

Sinamo

36

Page 37: Karya Ilmiah 8aa

Sitakar

Sitongkir

Solin

Saing

Tendang

Tinambunan

Tinendung

Tumangger

Turutan

Ujung

BAB V

PENUTUP

Bangsa Indonesia mengakui atas keluhuran budaya bangsanya adalah satu hal yang

37

Page 38: Karya Ilmiah 8aa

tidak dapat diragukan. Namun pantas disayangkan, perhatian dan penghormatan terhadap

budaya bangsa masih berada pada level yang meragukan. Terhadap budayanya, bangsa ini

terkesan pokoknya masih ada yang mengurusi. Dalam kondisi seperti ini perlahan dan pasti

suatu saat nanti bangsa ini pasti lupa akan budayanya sendiri. Situasi ini menunjukan betapa

krisis budaya telah melanda negeri ini. Maka marilah kita menjaga dan saling menghormati

kebudayaan kita.

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

Bangun, P. 1999. Kebudayaan Batak. Dalam Koentaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djamabatan.

38

Page 39: Karya Ilmiah 8aa

Campbell, D.T. 1976. Stereotypes and the Perception of Group Differences. Dalam Hollander, E.P. & Hunt, R.G. (eds.), Current Perspectives in Social Psychology. London: University Press.

Deaux, W. 1981. Social Psychology in the 80th. Monterey: Brooks/Cole Publishing Co.

Ihromi, T. 1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia.

Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco.

Koentaraningrat (ed.). 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djamabatan.

Kodiran. 1999. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djamabatan.

Masrun, Martono, Haryanto, Hardjito, P., Utami, M.S., Bawani, N., Aritonang, L., & Soetjipto, H.P. 1986. Studi Mengenai Kemandirian pada Penduduk Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

39