kartina risma wardani-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ...
Transcript of kartina risma wardani-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah ...
PRASASTI MARIÑCI
Kartina Risma Wardani, Ninie Soesanti Tedjowasono
Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. 16431, Indonesia
[email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Prasasti Mariñci merupakan prasasti yang berasal dari masa Majapahit akhir yang berasal dari pemerintahan Wikramawarddhana. Prasasti Mariñci tidak memiliki angka tahun yang lengkap dan hanya mencantumkan titi.ka.4.śirah 5. Prasasti Mariñci merupakan prasasti sῑma yang memiliki struktur yang berbeda dengan prasasti-prasasti sῑma pada umumnya. Prasasti Mariñci merupakan jenis prasasti rajamudra jika dilihat dari formula prasasti dan bahasa yang digunakan pada prasasti tersebut. Prasasti Mariñci berisikan perintah raja tentang pembebasan dua jenis pajak yaitu pajak tentang penghentian dua jenis pajak yaitu pajak titi lĕman dan sosorohan yang akan ditagih oleh kepala desa di Mariñci yang merupakan bagian dari daerah di Tumapĕl. Dengan demikian, prasasti Mariñci merupakan prasasti keputusan bebas pajak.
Kata Kunci: (Epigrafi, Prasasti Mariñci, rajamudra)
MARIÑCI INSCRIPTION
ABSTRACT
Mariñci Inscription is an inscription dates comes from King Wikramawarddhana ages on last majapahit kingdom era. Mariñci Inscription has no exactly year dates except for a word titi.ka.4.śirah 5. This Inscription is a sῑma inscription which has anomaly if compared with other sῑma inscriptions that come from majapahit era. Mariñci Inscription is considered as rajamudra based on it’s inscription formula and the language. The inscription itself contains the king order to release two kind of tax from Mariñci village. These tax are called titi leman and sosorohan . these kinds of tax were always collected by the village head then forwarded to Tumapĕl goverment, but the king order the tax was deleted. In short, Mariñci Inscription is the prove of tax release by the king order for Mariñci village.
Keywords : (Epigraphy, Mariñci, Insciption, rajamudra)
PENDAHULUAN
Pada umumnya prasasti-prasasti yang
berasal dari masa klasik yang memuat
berbagai informasi seperti struktur
kerajaan dan birokrasinya, struktur
kemasyarakatan, struktur perokonomian,
agama, kepercayaan dan adat istiadat di
dalam suatu masyarakat (Boechari,
2012:4). Selain itu terdapat pula prasasti
yang disebut dengan jayasong atau
Jayapāttra (Djafar, 2004:45). Prasasti
Jayasong atau Jayapāttra berisikan tentang
keputusan pengadilan mengenai perkara
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
perdata. Contoh prasastinya adalah prasasti
Wurudu Kidul 844 Śaka, prasasti Guntur
829 Śaka, prasasti Kurungan 807 Śaka dan
prasasti Dhan Nawi 833 Śaka (Boechari,
2004: 23). Dari beberapa jenis prasasti
yang disebutkan sebelumnya di antaranya
juga terdapat prasasti yang disebut prasasti
sῑma.
Prasasti sῑma merupakan prasasti yang
dikeluarkan oleh raja maupun pejabat
kerajaan yang umumnya berisikan perintah
atau maklumat. Perintah atau maklumat ini
diturunkan kembali kepada pejabat tinggi
kerajaan untuk diteruskan kembali kepada
bawahannya. Prasasti sῑma memiliki
struktur yang lengkap dengan urutan
struktur sebagai berikut: 1. Manggala;
2. Unsur Penanggalan;
3. Yang Mengeluarkan Perintah;
4. Yang Menerima Perintah;
5. Yang Mendapat Anugrah Sīma;
6. Luas Daerah Yang dijadikan Sīma;
7. Besarnya Pajak;
8. Sambhanda;
9. Daftar Yang diberi Pasĕk-Pasĕk terdiri atas:
a) Pejabat Tinggi Kerajaan, b) Para wakil
atau abdi pejabat tinggi (wadwa), c) Pejabat
Tingkat Watak, d)Pejabat dari desa yang
dijadikan Sīma, e) Pejabat dari desa-desa
sekeliling (tpi siring);
10. Jalannya upacara penetapan Sīma terdiri
atas: a) Pembagian Pasĕk- Pasĕk terdiri dari:
a) Saji-sajian, b)Makan dan Minum, c)
Upacara Makamwaŋ dan Makawitah, d)
Duduk bersama mengelilingi watu Sīma dan
watu kalumpaŋ, e) Upacara memotong ayam
dan pecah telur, f) Menyembah kepada saŋ
Hyaŋ Kalumpang dan saŋ Hyaŋ watu Sīma,
g) Menambah Daun, h) Kesenian, i)
Kutukan,
11. Larangan Bagi mańilala drwya haji untuk
memasuki daerah Sīma;
12. Penyebutan Citralekha
(Soesanti, 1992/1993: 3-6; Djafar, 1990:4-5;
Darmosoetopo, 2003: 51).
Pada dasarnya prasasti sῑma berisi
tentang maklumat atau perintah raja.
Seringkali pada prasasti-prasasti sῑma
Majapahit Adanya perbedaan dari segi
struktur dan bahasa pada prasasti-prasasti
sῑma yang singkat masa Majapahit akhir
sangat mungkin terjadi karena prasasti-
prasasti sῑma tersebut merupakan prasasti
ringkasan dari prasasti-prasasti sῑma yang
telah dikeluarkan oleh raja pendahulu. Hal
ini disebutkan pada prasasti Mariñci yang
yang berisikan peneguhan kembali
perintah raja sebelumnya. “i ńoń
amagĕhakĕn andikanira talāmpakanira
bhatara sań mokta riń amŗtabhawana”.
Selain itu, bagian penutup prasasti
berisikan tentang seruan untuk menaati
perintah raja . “ kań rājamudra yan uwun
kawaca kagugonadene...” yang memiliki
arti “perintah raja jika sudah dibaca
hendaknya dipatuhi oleh...”.
Isi dari prasasti Mariṅci adalah
penghentian penarikan kembali serta
pengurangan dari dua jenis pajak yaitu
pajak titi lӗman dan pajak sosorohan di
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Tumapĕl. Prasasti-prasasti yang berisi
tentang pengurangan beberapa jenis pajak
yang berasal dari masa Majapahit akhir
adalah prasasti Selamandi I yang
dikeluarkan pada tahun 1316 Ś, prasasti
Selamandi II yang dikeluarkan tahun 1317
Ś, prasasti Biluluk III yang dikeluarkan
pada tahun 1317 Ś, prasasti Katiden II
(Prasasti Lumpang) yang dikeluarkan pada
tahun 1317 Ś, prasasti Walandit yang
dikeluarkan pada tahun 1327 Ś dan prasasti
Biluluk V (Prasasti Karang Bogem).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
pemberian sῑma ditandai dengan
pemberian anugrah dari raja atau
bangsawan kepada seseorang atau
kelompok berupa pengurangan sebagian
pajak. Beberapa prasasti akhir Majapahit
ini berisikan tentang pembebasan sebagian
pajak. Pajak yang dibebaskan antara lain
seperti pajak sosorohan, arih purih, dan
lain-lain. Jika dilihat dari angka tahun yang
dikeluarkan oleh beberapa prasasti diatas
dapat diketahui bahwa raja yang berkuasa
pada tahun tersebut adalah
Wikramawarddhana Bhra Hyaŋ Wiśesa
yang diketahui berkuasa di Majapahit pada
tahun 1311 – 1351 Ś (1389 – 1429 M)
(Djafar, 2009:165).
GAMBARAN DATA
Prasasti Mariñci ditemukan di desa
Princi, Kec. Batu, Kab. Malang, Jawa
Timur. Sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta dengan nomor inventaris
E 49. Prasasti Prasasti ini terbuat dari
tembaga dan berbentuk persegi panjang.
Ukuran panjang prasasti ini adalah 29,3 cm
, lebar 9,2 cm, dan memiliki ketebalan
sekitar 0,5 cm. Prasasti ini terbuat dari
lempeng tembaga dan hanya memiliki satu
lempeng. Pada sisi recto terdapat lima
baris tulisan beserta pahatan ornamen
seperti burung betet (Psittacula alexandri)
pada bagian kiri atas. Pada sisi verso
terdapat empat baris tulisan.
Prasasti Mariṅci sebelumnya telah
dialihaksarakan oleh Boechari dan A.S
Wibowo di dalam buku yang berjudul
Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid 1
pada tahun 1980. Edhie Wurjantoro dalam
artikelnya yang berjudul Prasasti-Prasasti
Singkat Dari Masa Majapahit (abad ke-15
M) di dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi
pada tahun 2008 telah membuat alihbahasa
berdasarkan hasil pembacaan Boechari dan
A.S Wibowo pada tahun 1980 dan belum
memberikan catatan alihaksara dan catatan
alih bahasa serta belum memberikan uraian
lengkap tentang struktur pada prasasti ini.
Penelitian lebih lanjut terhadap prasasti
Mariñci perlu dilakukan untuk
memperlengkap data sejarah kerajaan
Majapahit. Telah disebutkan sebelumnya
bahwa prasasti ini tidak memiliki angka
tahun dan tidak diketahui raja mana yang
mengeluarkannya namun prasasti ini
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
diperkirakan dikeluarkan pada masa raja
Wikramawarddhana. Keunikan dari
Mariñci dan prasasti-prasasti masa
Majapahit akhir adalah terletak pada
struktur dan isinya yang ringkas. Selain itu,
bahasa yang digunakan merupakan bahasa
Jawa Tengahan yang merupakan bahasa
sehari-hari merupakn hal yang tidak lazim
digunakan dalam prasasti sῑma.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
rumusan masalahnya adalah bagaimanakan
bentuk dan isi dari prasasti Mariñci?
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
ulang dan memberikan catatan berupa
koreksi dari hasil bacaan sebelumnya,
melakukan kritik serta memaparkan dan
menjelaskan isi dari prasasti Mariñci.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini merupakan metode yang
biasa dipakai dalam penelitian sosial
lainnya.Metode penelitian arkeologi pada
dasarnya menggunakan tahapan-tahapan
penelitian seperti tahapan pengumpulan
data (observation), pengolahan data
(description), dan penjelasan (explanation)
(Deetz, 1976:8).
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian epigrafi pada umumnya juga
mempergunakan metode historiografi
karena berkenaan dengan penulisan
kembali sejarah.
Tahapan pengumpulan data, pada tahap ini
yang dilakukan adalah penelusuran dan
mencari pustaka yang memiliki kaitan
dengan prasasti Mariñci antara lain
transkripsi prasasti yang sebelumnya
dilakukan oleh Boechari dalam Prasasti
Koleksi Museum Nasional. Setelah itu,
penelusuran pustaka berupa buku-buku
pendukung, seperti Majalah Arkeologi atau
kumpulan artikel mengenai epigrafi dan
prasasti. Selain itu, naskah-naskah kuno
seperti Nagarakrtagama, Pararaton, alih
aksara beberapa prasasti akhir Majapahit.
Tahap kedua yaitu pengolahan data, pada
tahap ini melakukan kritik ekstern dan
kritik intern. Pada kritik ekstern hal yang
dilakukan adalah perbandingan prasasti
Mariñci dengan prasasti-prasasti sezaman
dengan masa Majapahit akhir berdasarkan
bentuk, bahan, aksara, simbol/ hiasan yang
terdapat di prasasti apakah sezaman dan
otentik sebagai prasasti pada masa
Majapahit. Sedangkan pada kritik intern
membandingkan bahasa dan isi prasasti
apakah sesuai dengan masanya atau tidak
dan apakah cukup kredibel untuk diteliti
lebih lanjut. Perbandingan ini dilakukan
terhadap hasil alih aksara dan bahasa
terhadap prasasti-prasasti sezaman,
khususnya prasasti-prasasti singkat masa
Majapahit akhir. Perbandingan bahasa
melingkup perbandingan terhadap kata dan
wacana, perbandingan kata di sini adalah
perbandingan kata-kata yang digunakan
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
pada prasasti-prasasti sezaman dengan
masa Majapahit akhir. Kritik intern
dilakukan untuk menguji validitas sebuah
data termasuk lambang bunyi (fonem) dan
memindahkannya menjadi lambang
pengertian. Pengetahuan terhadap lambang
bunyi atau aksara akan dapat memahami
bahasa, isi pokok lebih mendalam.
Tahap ketiga adalah interpretasi, pada
tahap ini melakukan penafsiran dari isi
prasasti mengalami pengalih-aksaraan,
pengalih-bahasaan, dan perbandingan
dengan prasasti-prasasti sezaman dengan
Majapahit akhir disertai dengan asumsi-
asumsi yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Pada tahap ini proses yang
dilakukan setelah mendapatkan bentuk
yang cukup lengkap dari analisis prasasti
berupa alih aksara yang disertai catatan
alih aksara dan alih bahasa serta catatan
alih bahasa. Berdasarkan proses yang
dilakukan akan dapat dikemukakan hasil
kajian terhadap prasasti Marinci yaitu
geografi, biografi, kronologi, dan peristiwa
yang diceritakan dari isi prasasti Marinci.
HASIL PENELITIAN
No Nama Prasasti Tempat ditemukan
1 Prasasti Biluluk I Tahun 1288 Ś Tidak Diketahui
2 Prasasti Biluluk II Tahun 1313 Ś
Desa Lubuk, Lamongan, Jawa Timur
3 Prasasti Biluluk III Tahun 1317 Ś
Desa Blubuk,Lamongan, Jawa Timur
4 Prasasti Biluluk V (Karang Bogem) Tanggal 7, śirah 8
Tidak Diketahui
5 Prasasti Katiden I tahun 1314 Ś Malang, Jawa Timur
6 Prasasti Katiden II 1317 Ś Malang, Jawa Timur
7 Prasasti Selamandi I 1316 Ś Surabaya, Jawa Timur
8 Prasasti Selamandi II Sisi A 1317 Ś & Sisi B 1318 Ś
Surabaya, Jawa Timu
9 Prasasti Walandit 1327 Ś
Desa Wonojoyo, Jawa Timur
10 Prasasti Panguhan Tahun 1338 Ś
Desa Bogem, Kediri, Jawa Timur
11 Prasasti Patapan, bulan jyesta śirah 7 Tidak Diketahui
12 Prasasti Kwak/landa Desa Ngabean, Magelang, Jawa Tengah
13 Prasasti Marinci, titi.ka.4.śirah 5
Desa Princi, Malang, Jawa Timur
Table1:TempatPenemuanPrasastiMasaMajapahitAkhir
Berdasarkan tempat-tempat penemuan
prasasti prasasti Mariñci dan prasasti-
prasasti pembanding dapat dilihat bahwa
daerah temuan prasasti-prasasti tersebut
mayoritas ditemukan di daerah Jawa
Timur. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa prasasti-prasasti tersebut termasuk
dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
No Nama Prasasti Jumlah Lempeng Bahan
1 Prasasti Mariñci 1 Tembaga
2 Prasasti Biluluk II 1313 Ś 1 Tembaga
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
3 Prasasti Katiḍen 1314 Ś 1 Tembaga
4 Prasasti Biluluk III 1317 Ś 1 Tembaga
5 Prasasti Katiḍen II (Lumpang) 1 Tembaga
6 Prasasti Panguhan 1338 Ś 3 Tembaga
7 Prasasti Walandit 1327 Ś 1 Tembaga
8 Prasasti Kwak/Landa 1 Tembaga
9 Prasasti Patapan, 1 Tembaga
10 Prasasti Biluluk V (Karaṅ Bogem) 1 Tembaga
11 Prasasti Selamanḍi
II tahun 1317 & 1318
1 Tembaga
12 Prasasti Selaman ḍi I 1 Tembaga
13 Prasasti Biluluk I tahun 1288 Ś 1 Tembaga
Table 2: Jumlah Lempeng dan Bahan Prasasti
Pada tabel 2 dipaparkan prasasti-
prasasti pendek masa akhir Majapahit
umumnya dipahatkan di atas tembaga dan
berbentuk persegi panjang. Untuk jumlah
baris umumnya tidak terlalu panjang dan
banyak, berdasarkan perbandingan
tersebut, maka prasasti Mariñci dan
prasasti-prasasti akhir masa Majapahit
maka dapat disimpulkan bahwa prasasti-
prasasti tersebut merupakan prasasti-
prasasti pendek yang sezaman dan otentik.
VOKAL
A ā i I ӗ
U ŗ e ī o
-
Table 3: Tabel Aksara Vokal Prasasti Mariñci
KONSONAN
Ka kha ga gha sa śa
- -
ta ṭa da ḍa wa Ra
- -
bha dha ca cha ra ṛe
- -
Pha ma la ha na ṅa
-
Ņa ja Jha tha ya ña
- - - Ba Pa Şa lĕ rĕ
Table 4: Aksara Konsonan
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Table 5: Aksara Pasangan
Pada tabel 3,4, dan 5 merupakan bentuk
aksara prasasti Mariñci dan prasasti-
prasasti pembanding, berdasarkan
perbandingan tersebut dapat diketahui
bahwa aksara-aksara tersebut memiliki
bentuk yang sama dengan aksara pada
masa Majapahit. Dengan demikian,
prasasti-prasasti tersebut otentik berasal
dari masa Majapahit.
NO BAHASA JAWA KUNA
BAHASA JAWA TENGAHAN
(BAHASA JAWA KUNA DIALEK TENGAHAN)
1 ingwang Ingong 2 wruhanya Wruhane 3 yen Yan 4 i Hi 5 iku hiku 6 iya hiya 7 iṅ hiṅ 8 apan hapan 9 amagĕhakĕn hamagĕhakĕn
10 adagaṅ hadagaṅ 11 antiga hantiga 12 aṅrakşa haṅrakşa 13 pwa po 14 sake saki 15 wineh wehi
16 reh Reh
17 ajña urī mahārāja rajamudra, suratinoṅ
18 Istilah Ibu paduka
handikanira talampakira (duli paduka)
19 - Andika Table 6: Perbandingan Bahasa Jawa Kuna dengan
Bahasa Jawa Pertengahan
Tabel 6 menerangkan bahwa gejala
perubahan kata-kata dari bahasa Jawa
Kuna ke bahasa Jawa Pertengahan.
Perubahan bahasa dialami pada prasasti-
prasasti akhir Majapahit seperti pada
prasasti Mariñci, prasasti Karaŋ Bogĕm,
prasasti Selamaṇḍi I dan prasasti
Selamaṇḍi II, prasasti Katiden, prasasti
Biluluk II dan prasasti Biluluk III, prasasti
Walandit, prasasti Biluluk I, prasasti
Patapan. Perkembangan sastra Jawa Kuna
dan Jawa Pertengahan dimulai pada abad
ke-9 M masa Jawa Tengah hingga abad ke-
15 M masa Jawa Timur yang tersusun
dalam bentuk prosa dan puisi yaitu
kakawin untuk sastra Jawa Kuna dan
kidung untuk sastra Jawa Pertengahan.
Kajian mengenai kepengarangan dan
kepengayoman sastra sastra Jawa Kuna
dan Jawa Pertengahan memiliki makna
dari segi sejarah sastra dan keagamaan,
politik dan budaya. Sastra Jawa Kuna dan
Jawa Pertengahan merupakan sarana
politik bagi sang raja dalam mengukuhkan,
melegitimasi, proteksi, serta
menginternalisasi nilai-nilai, ide-ide atau
pemikiran-pemikiran tertentu kepada
masyarakat umum (Suparta&Adiwimarta,
2001:37).
PASANGAN Ka kha Ga gha sa Śa
- - - - -
Ta ṭa Da ḍa wa Ra - - - - - -
Bha dha Ca cha ra ṛe - -
- - -
Pha ma La ha na ṅa - - - - - -
Ņa ja Jha tha ya Ña - - - - - -
ba pa Şa
-
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Menurut Mardiwarsito & Kridasala
bahwa bahasa tulisan yang digunakan pada
periode Majapahit adalah bahasa Jawa
Tengahan yang mendekati bahasa sehari-
hari (Mardiwarsito & Kridasala, 2012:15-
16). Dengan demikian, bahasa Jawa
Pertengahan yang digunakan pada prasasti
Mariñci dan prasasti-prasasti pembanding
merupakan suatu bentuk pengukuhan dan
legitimasi dari seorang raja yang
mengeluarkan prasasti-prasasti agar dapat
diterima oleh masyarakat.
Nama Prasasti
Contoh Perbandingan Bahasa
Wruhane Rājamudra Surat Handikanira/ Talampakanira
Prasasti Mariñci √ √ X √
Prasasti Biluluk I X X √ X
Prasasti Biluluk II √ √ X √
Prasasti Biluluk III √ √ X X
Prasasti Karaŋ Bogem
√ X X X
Prasasti Katiḍen I √ √ X X
Prasasti Katiḍen II √ √ X √
Prasasti Selamandi
I √ √ X X
Prasasti Selamandi
II √ √ X X
Prasasati Walandit √ √ X √
Prasasti Paguhan X X X √
Prasasti Patapan X √ √ √
Prasasti Kwak/ Landa
X X X X
Table 7: Contoh Perbandingan Bahasa
Pada Tabel 7 Prasasti-prasasti yang
menggunakan bahasa Jawa Pertengahan
selalu mengandung kata-kata wruhane, dan
suratinoṅ, rajamudra, handikanira
talampakira. Menurut Machi Suhadi, kata
wruhane, handikanira talampakira dan
surat merupakan formula dari prasasti
rajamudra (Suhadi, 1993: 255). Dengan
demikian, prasasti Mariñci dan prasasti-
prasasti pembanding merupakan jenis
prasasti rajamudra berdasarkan jenis
bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa
Pertengahan.
Prasasti Mariñci merupakan
prasasti sīma. Sīma dapat diartikan sebagai
tanah atau daerah yang diberi batas untuk
diubah status pajaknya untuk tujuan
tertentu yang berkaitan dengan kewajiban
terhadap negara, misalnya pembiayaan
bangunan suci atau pemeliharaan tempat
umum seperti bendungan, jalan raya,
sarana penyeberangan atau hanya sebagai
tanda balas jasa dari seorang raja (Susanti,
1992:1). Pada umumnya, prasasti
sīma.memiliki struktur lengkap yang terdiri
dari: ) Manggala, 2) Unsur Penanggalan, 3)
Yang Mengeluarkan Perintah, 4) Yang
Menerima Perintah, 5) Yang Mendapat
Anugrah Sīma , 6) Luas Daerah Yang
dijadikan Sīma, 7) Besarnya Pajak, 8)
Sambhanda, 9) Daftar Yang diberi Pasĕk-
Pasĕk terdiri dari: a) Pejabat Tinggi
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Kerajaan, b) Para wakil atau abdi pejabat
tinggi (wadwa), c) Pejabat Tingkat Watak,
d)Pejabat dari desa yang dijadikan Sīma, e)
Pejabat dari desa-desa sekeliling (tpi
siring), 10) Jalannya upacara penetapan
Sīma: a) Pembagian Pasĕk- Pasĕk terdiri
dari: a) Saji-sajian, b)Makan dan Minum,
c) Upacara Makamwaŋ dan Makawitah, d)
Duduk bersama mengelilingi watu Sīma
dan watu kalumpaŋ, e) Upacara memotong
ayam dan pecah telur, f) Menyembah
kepada saŋ Hyaŋ Kalumpang dan saŋ Hyaŋ
watu Sīma, g) Menambah Daun, h)
Kesenian, i) Kutukan, 11) Larangan Bagi
maṅilala drwya haji untuk memasuki
daerah Sīma, 12) Penyebutan Citralekha.
Namun, struktur yang ditemukan pada
prasasti Mariñci dan prasasti-pprasasti
pembanding tidaklah lengkap seperti yang
dijelaskan pada tabel 8.
Nama Prasasti
Urutan struktur Prasasti Pendek masa Akhir Majapahit
1 2 3 4 5 6
Prasasti Mariñci
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
kan perintah
raja
Isi Perintah/Keputu
san
Raja yang
mengeluarkan prasasti
Larangan Bagi
maṅilala drwya haji
untuk memasuki
daerah Sīma
unsur Pertanggal
an
-
Prasasti Biluluk
I
Penerima
Anugrah Sῑma
Isi/ perintah
Besarnya pajak Kutukan
Unsur
Penanggal
an
-
Prasasti Biluluk
II
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Nama Raja/
Pejabat yang
memberi
Perintah
Penerima
Anugrah Sῑma
Isi/ perintah
Besarnya
pajak
Unsur Penanggalan
Prasasti Biluluk
III
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Isi Perintah
/ Keputus
an
Nama Raja/
Pejabat yang
memberi
Perintah
Unsur Penanggal
an - -
Prasasti Biluluk
V (Karaṅ Bogem)
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Penerima
Anugrah Sῑma
Luas Daerah yang
dijadikan sῑma
Besarnya pajak
Unsur
Penanggal
an
-
Prasasti Katiḍen
I
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Isi Perintah
/ Keputus
an
Nama Raja/
Pejabat yang
memberi
Perintah
Unsur Penanggal
an - -
Prasasti Katiḍen
II
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Nama Raja/
Pejabat yang
memberi
Perintah
Isi Perintah
/ Keputus
an
Unsur Penanggal
an - -
Prasasti Selama
ndi I
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Nama Raja/Pej
abat yang
memberi
Perintah
Penerima
Anugrah Sῑma
Isi Perintah/Keputusan
Besarnya
pajak
Unsur Penanggalan
Prasasti Selamandi II
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Penerima
Anugrah Sῑma
Isi Perintah
/ Keputus
an
Besarnya pajak
Unsur
Penanggal
an
-
Prasasati
Walandit
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
-kan perintah
raja
Isi Perintah
/ Keputus
an
Besarnya pajak
Unsur Penanggal
an
Nama Raja/Pejab
at yang memberi
Perintah
Citrale-kha
Prasasti Paguha
n
Unsur Penanggalan
Raja yang
mengeluarkan prasasti
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
kan perintah
raja
Penerima Anugrah
Raja yang mengeluarkan
prasasti
-
Prasasti Patapan
Pejabat tinggi yang
menerima dan menerus
a-kan perintah
raja
Raja yang
mengeluarkan prasasti
Besarnya pajak
unsur Pertanggal
an - -
Prasasti Kwak/ Landa
Luas Daerah yang
dijadikan Sῑma
Raja yang
mengeluarkan prasasti
Besarnya pajak
unsur Pertanggal
an - -
Table 8: Struktur Prasasti Majapahit Akhir
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa
struktur prasasti Mariñci yang terdiri dari
1) Pejabat tinggi yang menerima dan
meneruskan perintah raja; 2) Isi
Perintah/Keputusan mengenai pajak;
3)Raja yang mengeluarkan prasasti; 4)
Larangan Bagi maṅilala drwya haji untuk
memasuki daerah Sīma; 5) Unsur
pertanggalan. Dengan demikian, dapat kita
ketahui bahwa urutan prasasti Mariñci dan
prasasti-prasasti pembanding tidaklah sama
dengan urutan pada prasasti sima pada
umumnya dan prasasti-prasasti tersebut
telah mengalami perubahan urutan struktur
pada prasasti sīma pada masa akhir
Majapahit. NO NAMA ISI
1
Prasasti Mariñci
(Tanpa angka
tahun hanya
menyebutkan
titi.ka.4.śirah.5)
Maklumat tentang
penghentian pajak di
desa Mariñci.
2 Prasasti Biluluk II
(1313 Ś)
Para bangsawan di
Biluluk yang
berdagang serba empat,
penjaga sῑma, yang
berdagang serba satu
tidak dikenai pajak.
Yang memahat di
Biluluk tidak dikenai
pajak untuk mengisi
kas pemerintah.
3
Prasasti
Selamaṇḍi I
(1316 Ś)
Seluruh wilayah milik
si Darani di Selamandi
dibebaskan dari pajak,
segala jenis kerja bakti
untuk raja pada 1316 Ś.
4
Prasasti Biluluk
III
(1317 Ś)
Seruan untuk pejabat di
Biluluk di tangulunan
untuk membebaskan
pajak ananda hanandu
pembelian tanah
rawa/berlumpur.
5 Prasasti Katiden II
(1317 Ś)
Penduduk Katiden
yang meliputi sebelas
desa dibebaskan dari
macam pajak karena
menjaga alang0alang di
gunung Lejar.
6
Prasasti Walanḍit
(1327 Ś bulan
asada, tanggal 9
paro gelap)
Pembebasan pajak
titiloman di desa
walanḍit.
7
Prasasti Biluluk
V(Karaṅ Bogem)
(Tanggal7, śirah
8)
pembebasan pajak arik
purih untuk pedagang
bunga cempaka,
menyadap air gula
kelapa.
8
Prasasti
Kwak/Landa
(Tanpa angka
tahun)
Pembagian tanah sῑma
untuk memuja dan
penetapan persajian di
kwak sebanyak 4
kupang emas.
9 Prasasti Biluluk I
(Tahun 1288)
pajak pembuatan
garam 7 kupang,denda
apabila tidak
memberikan sedekah
dan berjualan
10 Prasasti Panguhan
(Tahun 1338 Ś)
Menyebutkan hanimbal
waruk batara di
paguhan meninggal di
pramalaya dan patih di
paguhan, patih sirĕg
dan patih tmbeṅ
menerima uang pisis
200.000
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
11
Prasasti Patapan
(Tidak
menyebutkan
angka tahun hanya
disebutkan bulan
jyesta śirah 7)
seruan penduduk desa di
Patapan dari perintah
raja Bhaṭara Hyaṅ
Wiuesa meneguhkan
kembali perintah bhaṭara
yang meninggal di pariṅ
Malaya.
12
Prasasti Katiden I
(Tanggal ke-9,
tahun 1314 Ś)
boleh menombak
hewan buruan yang
memakan tanaman-
tanaman yang tumbuh
di katiden.
13
Prasasti
Selamaṇḍi II
(Prasasti ini terdiri
dari satu lempeng
yang dipahatkan
pada kedua
sisinya namun
pada lempeng A
dan lempeng B
tahun pengeluaran
prasasti berbeda
(Sisi A 1317 Ś &
Sisi B 1318 Ś)
1 A. perintah raja
melarang seluruh desa
si darani yang menjadi
sῑma dicabut akarnya,
yang mengambil benda
dari tanah keraton akan
dikenai denda. 1 B.
sῑma milik si darani di
selamandi dibebaskan
dari pajak, iuran
pemeliharaan
bendungan
Tabel 9: Perbandingan Isi
PEMBAHASAN
Berdasarkan perbandingan dengan unsur-
unsur ekstern prasasti-prasasti pembanding
lainnya maka dapat disimpulkan prasasti
Mariñci dikeluarkan pada masa Majapahit
Akhir. Hal ini juga didukung dengan
adanya perbandingan unsur-unsur intern
pada Prasasti-prasasti pembanding. Pada
prasasti Biluluk I dikeluarkan pada tahun
1288 Ś yang diperkirakan dikeluarkan
masa pemerintahan Hayam Wuruk
(Rājasanagara). Pada prasasti Selamandi I
yang dikeluarkan tahun 1316 Ś, prasasti
Selamandi II terdapat angka tahun yang
berbeda dalam satu lempeng, pada sisi A
dikeluarkan tahun 1317 Ś dan sisi B
dikeluarkan tahun 1318 Ś. Pada prasasti
katiden II (Lumpang) yang dikeluarkan
tahun 1317 Ś, prasasti katiden I yang
dikeluarkan 1314 Ś, prasasti Panguhan
yang dikeluarkan tahun 1338 Ś, dan
prasasti Walandit yang dikeluarkan tahun
1327 Ś pada masa Wikramawardhana.
Masa pemerintahan Rājasanagara
berlangsung dari tahun 1272 -1311 Ś
(Djafar, 2012:165), namun dilihat dari
bentuk struktur prasasti, bahasa dan isi
prasasti Mariñci lebih menyerupai prasasti-
prasasti yang dikeluarkan pada masa
pemerintahan Wikramawardhana
berlangsung dari tahun 1311 – 1351 Ś
(1389 – 1429 M).
Pada unsur kronologi pada prasasti Mariñci
tidak ada angka tahun namun terdapat
kalimat yang menyebutkan tithi ka 4 śiraḥ
5. Titi ka 4 adalah nama bulan dalam
bahasa Jawa Kuna yaitu Karttika. Mangsa
nya adalah Kapat, jika dikonversikan ke
dalam bulan penanggalan masehi yang
berlangsung dari Oktober hingga
November. Sedangkan untuk angka
tahunnya masih belum dapat dipastikan1.
1 Menurut Machi Suhadi (1993: 625) Kata śiraḥ
dapat merujuk kepada angka tahun 1300 Ś, angka di belakang kata śiraḥ kemudian ditambahkan dengan 1300. Apabila memang
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Dengan demikian, prasasti Mariñci
dikeluarkan pada bulan Oktober atau
November di antara tahun 1389 – 1429 M.
Tokoh yang disebut pada prasasti Mariñci
adalah paduka mengenai bhre saŋ mokta
riŋ amṛtabhawana tidak diketahui siapa
namun karena wilayah yang ditetapkan
daerah bebas pajak adalah Tumapel
mungkin tokoh tersebut merupakan
Bhatara di Tumapel (Wurjantoro,
2008:159). Tokoh yang disebut pada
prasasti Mariñci adalah Bhātara di
Tumapel yang merupakan kepala daerah
Tumapel. Dapat dipastikan bahwa Bhatara
ini merupakan penguasa daerah tersebut.
Paduka bhatāra merupakan penguasa
daerah yang berkuasa di sebuah negara
daerah atau provinsi perlu diketahui bahwa
para penguasa daerah tersebut di dalam
prasasti-prasasati biasanya mengiringi
perintah raja disebutkan sebagai pejabat-
pejabat tinggi yang mengiringi perintah
raja (Djafar, 2012:5
Prasasti-prasasti yang pembanding
menyebutkan beberapa tokoh seperti pada
prasasti Biluluk II menyebutkan Pāduka
Bhatāra Śrī Parameswara, pada prasasti
Katiden II menyebutkan paduka Bhatāra
demikian maka ada kemungkinan angka tahun yang dimiliki prasasti Mariñci adalah 1305 Ś. Namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk memastikan asumsi ini.
Śrī Parameswara, dan Bhatāra Hyaŋ
Wisesa. Jika disimpulkan bahwa tokoh dari
prasasti-prasasti tersebut merupakan para
penguasa daerah yang mengiringi perintah
raja atau sebagai pejabat pelaksana raja
yang berkedudukan sebagai Pāduka
Bhaṭṭara.
Pada prasasti Patapan menyebutkan
Tokoh Saŋ Āryya Rājaparākrama dan
Daŋâcâryya Wiūwanatha, pada prasasti
Katiden I (1314 Ś) disebutkan tokoh yang
meninggal di Kŗtabhuwana. Sedangkan
pada prasasti Walandit (1327 Ś)
menyebutkan Bhaṭṭara Hyaŋ Wkas iŋ
Suka. Pada prasasti Panguhan
menyebutkan paduka Bhaṭṭara di paguhan
yang meninggal di pramalaya.
Kerajaan Majapahit memiliki
struktur perwilayahan yang terdiri dari
ibukota sebagai kedudukan raja dan pusat
pemerintahan, dibawah kerajaan terdapat
nagara daerah atau provinsi yang
kedudukannya dipimpin oleh seorang
Paduka Bhatāra. Para penguasa daerah ini
biasanya adalah para kerabat raja. Dalam
prasasti Wariŋinpitu (1369 Ś) disebutkan
terdapat empat belas negara daerah atau
provinsi. Negara-negara daerah atau
provinsi tersebut adalah Daha, Jagaraga,
Kahuripan Tañjuṅpura, Pajaṅ,
Kĕmbarjĕnar, Wĕnkĕr, Kabalan, Tumapĕl,
Siṅhapura, Matahun, Wirabhūmi, Kĕliṅ
dan Kalinapura, Pandalas, Paguhan,
Pamotan, Mataram, Lasĕm, Pakĕmbangan
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
dan Pawwanawwan. Selain itu, pada
prasasti Trawulan III Nagara daerah atau
provinsi meliputi Kabalan, Tumapĕl,
Siṅhapura, Matahun (Djafar, 2012:55-56).
Pāduka bhatāra śrī parameśwara yang
meninggal di wişṇubhawana menurut kitab
Pararaton adalah Raden Kudamerta yang
menjadi bawahan Majapahit di Wengker
dan dikenal sebagai Bhre Parameśwara.
Sedangkan tokoh bhatāra hyaŋ wiśesa
dikenal juga sebagai Wikramawarddhana
yang merupakan keponakan sekaligus
menantu raja Hayam Wuruk.
Pada prasasti Mariñci yang disebutkan
adalah bhatāra saŋ mokta riŋ
amṛtabhawana diduga sebagai bhatara
yang meninggal di Tumapĕl (Wurjantoro,
2008: 159). Pada masa Majapahit yang
terdapat beberapa nama yang menyebutkan
bhatara di Tumapĕl yaitu pada masa
Kŗtawarddhana (Raden Cakradhara),
Wijayaparakramawarddhana (Dyah
Krtawijaya yang berkuasa dari 1369 Ś –
1373 Ś), dan BhreTumapĕl BhraHyaŋ
insukha.
Berdasarkan keterangan dalam serat
Pararaton Wikramawarddhana (Bhra Hyaŋ
Wisesa) memiliki tiga putra yaitu Bhre
Tumapel, Bhre Prabhustri (Suhita) dan
Kŗtawijaya. Bhre Tumapĕl Bhra Hyaŋ
Insukha (putra mahkota yang meninggal
pada 1321 Ś atau 1399 M) sebelum
dinobatkan sebagai raja telah meninggal
pada tahun kesepuluh keperintahan
ayahnya. Setelah Wikramawarddhana
(Bhra Hyaŋ Wisesa) meninggal maka yang
menggantikan posisinya sebagai raja
Majapahit adalah Suhīta yang memerintah
1351 Ś – 1369 Ś (Poesponegoro, 1993:
440; Djafar, 2012:99).
Wilayah kerajaan terdiri dari daerah-
daerah yang diperintah oleh para rakai
yang dikenal pada masa Mataram Kuna
atau Bhattara yang dikenal pada masa
Majapahit. Para rakai atau Bhattara
merupakan penguasa daerah otonom dalam
susunan birokrasi. Kata i diakhir kata raka
pada masa Majapahit berubah menjadi
bhattra i yang menunjukkan daerah yang
pernah dikuasainya. (Kartakusuma, 1983:
571).
Para rakai mendapat hak otonom penuh
sebagai raja daerah dan menjalankan
pemerintahannya dibantu dengan sejumlah
pejabat daerah seperti dalam struktur
pemerintahan pusat. Sistem pemerintahan
otonom ini mengakibatkan daerah watak
mempunyai ciri budaya yang khas namun
masih memperlihatkan ciri budaya keraton.
(Pigeaud, 1962:523; Kartakusuma,
1983:572). Dapat ditarik kesimpulan awal
bahwa yang dimaksud dengan Bhre
Tumapĕl disini adalah Bhre Tumapĕl Bhra
Hyaŋ Insukha sebagai putra mahkota putra
dari Bhra Hyaŋ Wisesa
Wikramawarddhana.
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Pada nama tempat pertama yang
disebutkan oleh prasasti Mariñci adalah
Tumapĕl yang ditetapkan menjadi sῑma
dan nama tempat kedua adalah Mariñci.
Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah
mungkin bahwa Tumapĕl merupakan
negara daerah atau salah satu provinsi dari
kerajaan Majapahit. Pada susunan wilayah
Majapahit disebut sebagai wanwa/ deśa/
thāni, sedangkan Mariñci disebut sebagai
aŋśa/lurah/kuwu.
Tempat penemuan prasasti Mariñci
adalah desa Princi di Batu, Malang , Jawa
Timur. Ada beberapa prasasti yang
ditemukan di daerah Malang antara lain
prasasti yaitu Katiden I dan Katiden II.
Terdapat prasasti yang disebutkan yang
ditemukan di daerah Jawa Timur antara
lain Prasasti Biluluk II, Prasasti Selamaṇḍi
I, Prasasti Biluluk III, Prasasti Walanḍit,
Prasasti Panguhan, Prasasti Selamaṇḍi II.
Pada prasasti Biluluk II dan Biluluk III
terdapat persamaan toponimi dengan
tempat penemuan prasasti tersebut yaitu
desa Bluluk tampaknya ada penyingkatan
nama tempat pada tempat prasasti tersebut
ditemukan.
Tumapĕl merupakan salah satu dari
negara-negara daerah di kerajaan
Majapahit. Dahulu, daerah ini merupakan
daerah keakuwuan yang berada di bawah
kekuasaan raja Kadiri. Tumapĕl
merupakan bekas kerajaan Singasari yang
didirikan oleh Ken Aṅrok (1222-1292 Ś).
Pada masa pemerintahan Bhre Paṇḍansalas
Tumapĕl dijadikan pusat pemerintahan
Majapahit pada 1388-1390 Ś. Nama
Tumapĕl disebutkan pula dalam berita
Cina dengan nma Tu-ma-pan, hingga tahun
1464 Ś Tu-ma-pan masih mengirim
utusan-utusannya ke negeri Cina. Di dalam
berita-berita tradisi Tumapĕl disebut
dengan nama Śĕṅguruh dan Supit Uraṅ.
Pada masa sekarang negara daerah
Tumapĕl terletak di Malang sekitar
Singasari (Djafar, 2012:176). Berdasarkan
peta diketahui bahwa cakupan daerah
Tumapĕl berada di antara Gunung
Penanggungan dan Gunung Kawi. Jika
dihubungkan dengan letak penemuan
prasasti Mariñci di desa Princi yang juga
berada di antara kawasan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa desa Princi pada
abad ke-14 M juga memang termasuk
dalam wilayah kekuasaan Tumapĕl.
Jika diperhatikan terlihat
persamaan bunyi antara nama Mariñci
yang disebutkan di dalam prasasti dengan
nama desa Princi yang merupakan tempat
asal penemuan prasasti Marinci. Hal ini
memberikan asumsi adanya pergeseran
toponimi dari desa Marinci. Nama tempat
pada prasasti yang bertahan hingga kini
memiliki beberapa kemungkinan
diantaranya adalah nama daerah yang
bersangkutan tidak mengalami perubahan
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
nama atau bunyi, nama daerah itu
mengalami penyingkatan atau perubahan
dalam salah satu unsurnya, nama daerah itu
sedikit berubah menurut hukum perubahan
bunyi, dan nama daerah itu mengalami
perubahan kedalam bentuk sinonimnya
(Kusen, 1990:13), maka dapat diasumsikan
secara toponimi terjadi pergeseran nama
wilayah yang dahulu bernama Mariñci saat
ini telah menjadi dusun Princi. Secara
administratif dusun Princi masuk ke dalam
wilayah kecamatan Batu, Malang, Jawa
Timur. Wilayah kecamatan Batu saat ini
juga diapit oleh dua pegunungan yaitu
gunung Kawi dan gunung penanggungan
sama dengan wilayah Tumapěl yang diapit
dengan kedua gunung tersebut.
Peristiwa yang disebutkan pada
prasasti Mariñci adalah tentang
penghentian penarikan pajak dan
pembebasan dua jenis pajak yaitu titi
lĕman dan pajak sosorohan. Penghentian
pajak tersebut disebutkan pada prasasti
dikarenakan pada zaman dahulu ada wiku
yang bekerja di ladang (paṅarӗmban)
untuk dewa rĕşi dibebaskan dari pajak titi
lĕman dan pajak sosorohan.
“satuwuk tuwuk ta kaŋ
paṅarӗmban riŋ dewa rӗşi.
deśeŋ mariñci. Luputiŋ iŋ titi
lӗmah. luputiŋ sosorohan iku ta
hi rehane luwara panagihhana
hubayane. makaṅuni huwusa
husosorana. hi rehane kahudala
deniṅ amawa wa râjamūdra.
rehe kaŋ maṅarӗmban ri dewa
rӗşi. si samasanak riŋ marinci.
hana pihagӗme tan kasabha
deniṅ ampan. iṅoṅ amagӗhakӗn
andikanira talāmpakanira
bhatāra saŋ mokta riŋ
amṛtabhawana”.
Artinya: “Sejak dahulu di sana golongan
wiku yang bekerja untuk dewa
rӗsi di mariṅci.bebas dari aturan.
lӗman.bebas dari iuran wajib
pajak, itulah jenis pajak yang
dibebaskan tagihannya, ada
seruan bahwa sejak dahulu telah
berakhir iuran wajib pajak
(sosorohan) yang diserahkan
kepada yang membawa titah raja
(dibubuhi cap raja). Yang
bekerja untuk untuk dewa rӗṣi di
mariñci. Semua sanak saudara
laki-laki. Ada perintahku. tidak
untuk sering dikunjungi oleh
ampan-mpan. ketika aku (i ṅoṅ)
meneguhkan perintah duli
paduka (talampakanira) bhatara
yang meninggal di
amṛtabhawana”.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui bahwa isi dari prasasti Mariñci
merupakan prasasti penetapan sīma.
Istilah lain yang digunakan sebagai
penetapan sīma dalam prasasti-prasasti
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
lain adalah manusuk sīma atau sunusuk
yang memiliki arti memberi batas atau
membuka lahan (Boechari, 1957: 52).
Jika memang sīma juga dapat diartikan
sebagai kegiatan membuka lahan maka
pengertian sīma tersebut sangat
memungkinkan untuk dihubungkan
dengan pendapat Theodore G. Pigeaud,
Zoetmulder, dan Weatherbee mengenai
kata paṅarӗmban.
Kata paṅarӗmban pada prasasti
Mariñci kemungkinan berhubungan
dengan kata aṅarĕmban yang ditemukan
pada Tantu Panggelaran yang artinya
masih belum jelas tetapi berdasarkan
pengertian yang diajukan Pigeaud
sepertinya mengacu kepada
“kelembagaan ekonomi desa”.
“paṅarӗmban” (rendered tentatively: family man’s retribution) is to be connected with aṅarӗmban (found in the Tantu Panggelaran). The meaning of the letter Word is not clear. It seems to refer to householding and rural economy)”
( Pigeaud, 1962: 363).
Pada penelitian berikutnya Zoetmulder
berpendapat kata paṅarӗmban
berhubungan dengan salah satu kelas
wiku yang bekerja pada suatu lahan
(Zoetmulder, 1995:6). Sedangkan
menurut Weatherbee Paṅarӗmban riŋ
dewa rӗşi dalam prasasti Mariñci
mungkin saja merupakan pendiri
mandala, yang baru membuka
pemukiman keagamaan di tempat
terpencil dan memiliki sedikit populasi
di wilayah Tumapĕl (Weatherbee,
1985: 350).
Jika dihubungkan dengan pengertian
sīma sebagai kegiatan membuka
lahan, maka kata paṅarӗmban yang
terdapat pada prasasti Mariñci dapat
diartikan sebagai kelompok wiku yang
berperan sebagai perintis yang
membuka lahan pemukiman baru
untuk ditinggali untuk membangun
perekonomian pedesaan dan bertujuan
untuk kepentingan keagamaan.
Dalam struktur pemerintahan
Majapahit terdapat satu jabatan yang
membantu raja dalam mengelola
pemerintahan yang disebut dengan
mangilala drwya haji. Jabatan ini
mempunyai tugas untuk mengurus
masalah-masalah seperti penarikan pajak;
pengelolaan perjudian; pengrajin; pejabat
keagamaan; para administrator; seniman;
tentara kerajaan; pelayan dan budak;
pertanian dan peternakan; perdagangan dan
transportasi; paranormal; dan penderita
cacat (Yogi, 1999: 98). Sebagai prasasti
sīma, prasasti Mariñci memerintahkan
kepada penguasa daerah di Tumapel untuk
membebaskan desa Mariñci dari dua jenis
pajak yaitu lӗman (luputiŋ iŋ titi lӗmah)
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
dan sosorohan (luputiŋ sosorohan). Selain
itu pada prasasti Mariñci terdapat
himbauan kepada ampan mpan untuk tidak
sering mengunjungi desa Mariñci (tan
kasabaha deniṅ ampan mpan). Bila
dihubungkan dengan salah satu tugas dari
mangilala drwya haji yang juga mengurusi
masalah penarikan pajak, maka sangat
memungkinkan ampan mpan yang
disebutkan sebelumnya merupakan salah
satu kelompok dari mangilala drwya haji.
Meskipun di dalam prasasti
Mariñci disebutkan adanya larangan
ampan mpan untuk mengurangi kunjungan
ke desa Mariñci, bukan berarti desa
Mariñci bebas dari pungutan pajak.
Menurut Boechari (2012 :297) daerah sῑma
tidak serta merta bebas dari kewajiban
membayar pajak kepada raja. Pajak tanah
atau hasil bumi dan denda-denda atas
segala tindak pidana seluruhnya tidak
diserahkan kepada kas kerajaan tetapi
diperuntukkan untuk pengelolaan
bangunan suci tertentu atau untuk
dinikmati oleh orang yang mendapat
anugrah sῑma. Sīma dapat diartikan sebagai
tanah atau daerah yang diberi batas untuk
diubah status pajaknya untuk tujuan
tertentu yang berkaitan dengan kewajiban
terhadap negara, misalnya pembiayaan
bangunan suci atau pemeliharaan tempat
umum seperti bendungan, jalan raya,
sarana penyeberangan atau hanya sebagai
tanda balas jasa dari seorang raja (Susanti,
1992:1).
KESIMPULAN
Prasasti Mariñci ditemukan di desa
Princi, Kec. Batu, Kab. Malang, Jawa
Timur. Sekarang disimpan di Museum
Nasional Jakarta dengan nomor inventaris
E 49. Prasasti Prasasti ini terbuat dari
tembaga dan berbentuk persegi panjang.
Ukuran panjang prasasti ini adalah 29,3 cm
, lebar 9,2 cm, dan memiliki ketebalan
sekitar 0,5 cm. Prasasti ini terbuat dari
lempeng tembaga dan hanya memiliki satu
lempeng. Pada sisi recto terdapat lima
baris tulisan beserta pahatan ornamen
seperti burung betet (Psittacula alexandri)
pada bagian kiri atas. Pada sisi verso
terdapat empat baris tulisan.
Struktur prasasti Mariñci ringkas
dan tidak lengkap jika dibandingkan
dengan prasasti-prasasti sīma pada
umumnya. Struktur prasasti Mariñci terdiri
atas 1) Pejabat tinggi yang menerima dan
meneruskan perintah raja; 2) Isi perintah/
keputusan raja; 3) Larangan Bagi maṅilala
drwya haji untuk memasuki daerah Sīma;
4) Raja yang mengeluarkan prasasti; 5)
Unsur pertanggalan. Aksara yang
digunakan adalah Jawa Kuna, sedangkan
bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
Pertengahan yang bentuknya mendekati
bahasa sehari-hari pada masa Majapahit
akhir. Bahasa Jawa Pertengahan ini adalah
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
bahasa maklumat pemerintah dan
sebagainya seperti yang terdapat di desa
Bluluk saat ini (Mardiwarsito &
Kridalaksana, 2012: 15-16).
Berdasarkan perbandingan unsur
ekstern dan unsur intern antara prasasti
Mariñci dan prasasti-prasastimakhir
Majapahit yang berasal dari masa Hayam
Wuruk dan Wikramawarddhana, kesamaan
pada prasasti Mariñci lebih banyak
ditemukan pada Wikramawarddhana.
Dengan demikian, prasasti Mariñci berasal
dari masa Wikramawarddhana sekitar dari
tahun 1311 – 1351 Ś (1389 – 1429 M).
Tithi ka 4 śiraḥ 5 dapat
dikonversikan ke dalam bulan penanggalan
masehi yang berlangsung dari Oktober
hingga November. Pada prasasti Mariñci
yang disebutkan adalah bhatāra saŋ mokta
riŋ amṛtabhawana. Apabila dibandingkan
dengan informasi di Kitab Pararaton yang
menyebutkan mengenai penguasa Tumapěl
yang meninggal pada tahun 1321 Ś maka
dapat diasumsikan bahwa bhatāra yang
dimaksud adalah Bhre Tumapĕl Bhra Hyaŋ
Insukha.
Prasasti Mariñci merupakan jenis
prasasti rājamudra yaitu jenis prasasti
pendek yang berisikan tentang keputusan
kerajaan tentang pembebasan pajak.
Struktur prasasti ini berbeda dengan
prasasti-prasasti sīma pada umumnya, hal
ini dapat diketahui melalui struktur prasasti
Mariñci yang hanya terdiri dari 1) Pejabat
tinggi yang menerima dan meneruskan
perintah raja; 2) Isi Perintah/Keputusan
mengenai pajak; 3) Raja yang
mengeluarkan prasasti; 4) Larangan Bagi
maṅilala drwya haji untuk memasuki
daerah Sīma; 5) Unsur pertanggalan.
Dengan demikian, prasasti ini merupakan
maklumat atau perintah raja. Adanya
perbedaan dari segi struktur dan bahasa
pada prasasti-prasasti sῑma yang singkat
masa Majapahit akhir sangat mungkin
terjadi karena prasasti-prasasti sῑma
tersebut merupakan prasasti ringkasan dari
prasasti-prasasti sῑma yang telah
dikeluarkan oleh penguasa daerah untuk
melegitimasikan raja pendahulunya.
Peristiwa yang melatar belakangi
prasasti Mariñci adalah pada zaman
dahulu ada golongan wiku yang
bekerja di ladang (paṅarӗmban) untuk
dewa rĕşi dibebaskan dari pajak titi
lĕman dan pajak sosorohan. Prasasti
Mariñci merupakan prasasti sῑma, arti
kata sῑma adalah memberi batas atau
membuka lahan (Boechari, 1957: 52).
Jika memang sīma juga dapat
diartikan sebagai kegiatan membuka
lahan maka pengertian sīma tersebut
sangat memungkinkan untuk
dihubungkan dengan pendapat
Weatherbee mengenai kata
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
paṅarӗmban yaitu pendiri mandala,
yang baru membuka pemukiman
keagamaan di tempat terpencil dan
memiliki sedikit populasi di wilayah
Tumapĕl (Weatherbee, 1985: 350).
Dengan demikian, dapat diartikan
sebagai kelompok wiku yang berperan
sebagai perintis yang membuka lahan
pemukiman baru untuk ditinggali
untuk membangun perekonomian
pedesaan dan bertujuan untuk
kepentingan keagamaan. Pembukaan
lahan tersebut dimaksudkan untuk
membentuk suatu perkampungan para
agamawan dalam hal ini adalah
pendirian mandala.
Pada prasasti Mariñci telah
disebutkan mengenai paṅarӗmban, yaitu
golongan wiku yang bekerja untuk dewa
rĕsi, di wilayah kekuasaan Tumapel yaitu
desa Mariñci. Berdasarkan penjelasan-
penjelasan tersebut dapat disimpulkam
bahwa kaum paṅarӗmban telah membentuk
suatu pemukiman yang digunakan untuk
kepentingan keagamaan. Hal ini dipertegas
dengan pendapat dari Agus Aris Munandar
(1990: 150) yang menyatakan bahwa
terdapat tokoh yang hidup mengasingkan
diri bersama golongan Rĕsi di pertapaan
dan juga mandala-mandala antara lain para
Bhagawan, Tyagan, Wiku, Janggan, dan
Wanaprastha. Dengan demikian, prasasti
Mariñci dikeluarkan dalam rangka
mendukung kaum paṅarӗmban
memelihara bangunan suci untuk
kepentingan keagamaan di Mariñci. Seperti
yang kita ketahui itu pada prasasti Mariñci
terdapat himbauan kepada ampan mpan
untuk tidak sering mengunjungi desa
Mariñci dan memerintahkan kepada
penguasa daerah di Tumapel untuk
membebaskan desa Mariñci dari dua jenis
pajak yaitu lӗman (luputiŋ iŋ titi lӗmah)
dan sosorohan (luputiŋ sosorohan).
Ampan-mpan merupakan salah satu
kelompok dari Mangilala Drwya Haji yang
mempunyai tugas untuk mengurus
masalah-masalah seperti penarikan pajak.
Namun, bukan berarti desa Mariñci benar-
benar bebas dari pajak tersebut karena
pajak tanah atau hasil bumi dan denda-
denda atas segala tindak pidana seluruhnya
tidak diserahkan kepada kas kerajaan tetapi
diperuntukkan untuk pengelolaan
bangunan suci tertentu atau untuk
dinikmati oleh orang yang mendapat
anugrah sῑma.
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
DAFTAR REFERENSI
Adiwimarta, Sri Sukesi, & Sulistiati (2001). Bahasa. Sedyawati, Edi dkk. Dalam Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (hal. 191-195). Jakarta: Balai Pustaka & Pusat Bahasa.
Asshiddiqie, Jimly (2003). Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII (hal. 1-64). Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Boechari (2012). Rakyān Mahāmantri i Hino: A Study a Highest Court Dignitaryof Ancient Java up to the 13 Century A.D. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Budiardjo, P. M (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
De Casparis, J. G. 1975. Indonesian
Palaeography: A History of Writing in
Indonesia from the Beginning to C. A.
D. 1500. Leiden: E. J. Brill
Damais, L. C (1995). Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Deetz, J (1976). Invitation to Archaeology. New York: Garden City.
Djafar, Hasan (2012). Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana & Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kartakusuma, Rachidiana (2003). Peran dan Fungsi Epigrafi Sebagai Bidang Studi Sumber Sejarah Tertulis dan Permasalahannya dalam Cakrawala
Arkeologi (hal.200-217).Depok: Universitas Indonesia.
Kartakusuma, Rachidiana (1983). Rakai. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III (hal. 571). Jakarta: PT.Bunda Karya.
Mardiwarsito, L., & Kridalaksana, H (2012). Struktur Bahasa Jawa Kuna. Depok: Komunitas Bambu.
Munandar, Agus Aris (1990). Kegiatan
Keagamaan Di Pawitra: Gunung Suci
Di Jawa Timur Abad 14-15.Tesis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia (Belum
Diterbitkan)
Munandar, Agus Aris (2006). Kerajaan Majapahit Abad XIV - XV. Dalam Majapahit (hal. 26-40). Jakarta: Indonesian Heritage Society.
Pigeaud, Theodore G. Th. 1960. Java in
the 14th Century. A Study in Cultural
History. The Nāgara-Kĕrtāgama by
Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365
A.D. Vol. I: Javanese Texts in
Transcription. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Poesponegoro, M., & Notosusanto, N (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Santiko, Hariani (2006). Agama Pada Masa Majapahit. Dalam Majapahit (hal. 34-40). Jakarta : Indonesian Heritage Society.
Santiko, Hariani (2005). Kehidupan Beragama Golongan Rĕsi Di Jawa. Dalam Hari-Hara Kumpulan Tulisan
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015
Tentang Agama Veda Dan Hindu Di Indonesia Abad IV-XVI M (hal 126-139) (Belum Diterbitkan).
Sedyawati, Edi (1983). Keadaan Masyarakat Jawa Kuna Masa Kadiri dan Penafsirannya. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III (hal. 639). Jakarta: PT. Bunda Karya.
Suhadi, Machi.1993. Tanah Sima Dalam Masyarakat Majapahit. Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Belum Diterbitkan)
Suhadi, Machi (2003). Interpretasi Epigrafi dalam Cakrawala Arkeologi, (hal.127-134). Depok: Universitas Indonesia.
Suhadi, Machi (1980). Tinjauan Tentang Struktur Pemerintahan Zaman Sindok dan Majapahit Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II (hal. 295). Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta Departemen P&K.
Suparta, I Made, & Adiwimarta, S. S. Sastra Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan. Edi Sedyawati &dkk (Editor) (2001). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (hal. 31-40). Jakarta : Balai Pustaka & Pusat Bahasa.
Ninie- Susanti (1993). Masalah Ketentuan Sekitar Kasus Sima Masa Jawa Kuna. Laporan Penelitian FIB UI.Depok: Universitas Indonesia.
Ninie- Susanti (2001). Kajian Dalam Sastra Jawa Kuna. Edi Sedyawati,dkk (Editor) .Dalam Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (hal. 493). Jakarta: Balai Pustaka & Pusat Bahasa.
Vernika Hapriwitasari (2011). Lambang Raja Pada Kerajaan Kuna di Kawasan
Indonesia Abad XI-XV Masehi: Rekonstruksi Makna. Tesis. Depok: Universitas Indonesia ( Belum Diterbitkan)
Wibowo, A.S, & Boechari (1980). Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid 1. Jakarta: Museum Nasional.
Wurjantoro, Edhie (2008). Prasasti Singkat Masa Mapapahit (Abad XV). Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI (hal. 144). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Yogi, Dhiana (1996). Mangilala Drwiya Haji: Kedudukan dan Perannya dalam Struktur Pemerintahan. Skripsi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. (Belum Diterbitkan)
Zoetmulder, P (1985). Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P (2006). Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasasti Mariñci ..., Kartina Risma Wardani, FIB UI, 2015