KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO LAPISAN...
Transcript of KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO LAPISAN...
KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO LAPISAN
NiCoCrAlY PADA SUBSTRAT HASTELLOY C-276
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
DARWIN ACHMAD NURSAMSUR
NIM: 1111097000046
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
KARAKTERISTIK STRUKTUR MIKRO LAPISAN NiCoCrAlY PADA
SUBSTRAT HASTELLOY C-276
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Disusun Oleh :
Darwin Achmad Nursamsur
1111097000046
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iii
iv
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 Juli 2015 M
20 Ramadhan 1436 H
Darwin Achmad Nursamsur
vi
ABSTRAK
Oksidasi pada paduan nikel merupakan permasalahan utama pada aplikasinya di
seluruh industri mencakup bidang pembangkit energi, otomotif, penerbangan, dan
bidang nuklir. Teknik pelapisan pada paduan nikel merupakan salah satu upaya
yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketahanan oksidasi pada temperatur tinggi.
Pada penelitian ini, NiCoCrAlY telah berhasil dideposisikan pada substrat
Hastelloy C-276 menggunakan metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF). Untuk
melihat performa sistem lapisan NiCoCrAlY, telah dilakukan pengujian oksidasi
pada temperatur 1000°C selama 100 jam dan memberikan hasil bahwa perubahan
massa sampel membentuk kurva parabolik. Irisan penampang melintang dan
permukaan dari sampel yang terlapisi diamati dan dianalisa menggunakan
Scanning Electron Micoscopy (SEM). Hasil analisa SEM dan EDS menunjukan
bahwa sistem lapisan terdiri dari dua layer: daerah substrat dan daerah sistem
lapisan NiCoCrAlY yang berdifusi dengan O2. Fasa yang terbentuk telah
diidentifikasi menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) sebagai berikut: CrNi,
Ni3Al, Al2O3, NiO, CrO, Cr2O3, dan NiCr2O4. Hasil pengujian oksidasi menunjukan
lapisan NiCoCrAlY mampu melindungi substrat Hastelloy C-276 pada tempertaur
1000°C selama 100 jam.
Kata kunci : Oksidasi, Hastelloy C-276, NiCoCrAlY, High Velocity Oxy Fuel
(HVOF), SEM dan XRD
vii
ABSTRACT
The oxidation of nickel alloys is major infrastucture degradation problem in
practically all industries, including energy generation, automotive, aviation, and
nuclear. Coating on nickel alloys is one of the techniques which required improving
oxidation resistance in high temperature. In present work NiCoCrAlY was
diffusion-coated onto a Hastelloy C-276 by High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
method. In order to understand the performance of coating system NiCoCrAlY,
oxidation test at temperature of 1000°C for 100 hours has been caried out and the
result shows that changes in sample mass forming a parabolic curve. The cross
section and surface of the coated specimen was observed and analyzed using
Scanning Electron Micoscopy (SEM). SEM and EDS results show that the coating
comprises two layers: the substrate and diffusion zone of O2 and coating system
NiCoCrAlY. The phase formation was identified by using X-Ray Diffractometer
(XRD) as described as follow: CrNi, Ni3Al, Al2O3, NiO, CrO, Cr2O3, dan NiCr2O4.
The oxidation test shows that coating system NiCoCrAlY protect the substrate
Hastelloy C-276 at temperature of 1000°C for 100 hours.
Keywords : Oxidation, Hastelloy C-276, NiCoCrAlY, High Velocity Oxy Fuel
(HVOF), SEM and XRD
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala kemudahan yang telah diberi
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian di Pusat Penelitian Fisika (P2F),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kawasan Puspitek Serpong. Sholawat
serta salam tak lupa selalu tercurahkan untuk baginda Rasulullah SAW,
keluarganya, para sahabatnya, para pengemban risalahnya.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kementerian Agama dan kementerian pendidikan Republik Indonesia,
selaku penyelenggara beasiswa Bidik Misi yang sudah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengenyam pendidikan di tingkat
universitas dan menanggung seluruh biaya selama penulis menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ma’had Aly Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sudah
memberikan pendidikan tentang kehidupan kepada penulis selama dua
tahun dengan metode yang luar biasa sehingga penulis menjadi lebih
optimis dalam menempuh pendidikan.
3. Mom dan Abah tercinta yang selalu mendukung dan memotivasi serta
mendoakan penulis. Serta kedua kakak perempuan saya yang selalu
mendampingi penulis dalam penyususan skripsi ini.
4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
5. Dr. Eng Nur Aida, M.Si. Selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Utob Thabrani, Lc. MCL Selaku Kepala Ma’had Aly Al-Jami’ah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sudah
mendidik penulis dalam berbagai hal dengan sepenuh hati.
7. Arif Tjahjono, M.Si selaku dosen pembimbing satu yang selalu
memberikan bimbingan dan saran dalam penulisan.
8. Dr. Eni Sugiarti, M.Eng selaku pembimbing dua sekaligus pembimbing
lapangan saya yang sudah mengarahkan dan membantu penulis dari
semua proses penelitian.
9. Ibu Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si selaku penguji satu dan Bapak Dr.
Agus Budiono selaku penguji dua, yang sudah mengarahkan dan
memberikan ilmu dalam sidang munaqasyah.
10. Seluruh Dosen Prodi Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak
Priambodo, S.Si yang tak lelah menjawab semua pertanyaan penulis.
Terima kasih untuk semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
11. Seluruh pendidik Ma’had Aly Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang selalu mengingatkan penulis akan pentingnya agama serta
mengajarkan ilmu yang baru kepada penulis.
12. Teman-teman satu perjuangan Material dan Fisika 2011 yang saling
support satu sama lain.
13. Keluarga besar Ma’had Aly Al-Jami’ah dan keluarga besar Mahasiswa
Bidik Misi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
x
14. Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan
dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga penulis dapat
mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di
kemudian hari.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan untuk membalas
kebaikan dari semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi saya khususnya dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Jakarta, Juli 2015
Darwin Achmad Nursamsur
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................... i
Lembar Pengesahan Skripsi ............................... Error! Bookmark not defined.
Lembar Pengesahan Ujian .................................. Error! Bookmark not defined.
Lembar Pernyataan ............................................................................................. iv
Abstrak .................................................................................................................. vi
Abstract ................................................................................................................ vii
Kata Pengantar .................................................................................................. viii
Daftar Isi ............................................................................................................... xi
Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv
Daftar Gambar .................................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Batasan Masalah ....................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hastelloy C-276 ............................................................................................. 9
2.2 Pelapisan ...................................................................................................... 10
2.2.1 Thermal Spray ................................................................................. 11
2.2.2 Proses High Velocity Oxy Fuel (HVOF) ......................................... 13
xii
2.3 NiCoCrAlY.................................................................................................. 15
2.4 Reactive Element ......................................................................................... 16
2.5 Heat Treatment ............................................................................................ 17
2.5.1 Normalizing .......................................................................................... 18
2.6 Oksidasi Temperatur Tinggi ........................................................................ 19
2.6.1 Proses Oksidasi Temperatur Tinggi ...................................................... 19
2.6.2 Kinetika Laju Oksidasi Temperatur Tinggi .......................................... 19
2.6.3 Struktur dan Sifat Oksida ...................................................................... 23
2.6.4 Difusi Oksidasi ..................................................................................... 24
2.6.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Oksidasi ....................................... 29
2.7 Prinsip Kerja Alat Karakterisasi .................................................................. 31
2.7.1 SEM (Scanning Electrom Microscopy) ................................................ 31
2.7.2 Difraksi Sinar-X ( X-Ray Diffraction ) ................................................. 32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 34
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian ................................................................... 35
3.2.1 Bahan Penelitian ................................................................................... 35
3.2.2 Peralatan ............................................................................................... 37
3.2.3 Alat Karakterisasi ................................................................................. 40
3.3 Diagram Alir Penelitian ............................................................................... 41
3.4 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 42
3.4.1 Preparasi Substrat ................................................................................. 42
3.4.2 Preparasi Serbuk Pelapis ....................................................................... 43
3.4.3 Proses Pelapisan .................................................................................... 44
3.4.4 Proses Heat Treatment .......................................................................... 46
xiii
3.4.5 Proses Oksidasi ..................................................................................... 47
3.5 Variabel Penelitian ...................................................................................... 49
3.5.1 Variabel Perlakuan ................................................................................ 49
3.5.2 Variabel Pengujian ................................................................................ 49
3.6 Karakterisasi Struktur Mikro ....................................................................... 50
3.6.1 SEM ...................................................................................................... 50
3.6.2 XRD ...................................................................................................... 51
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ....................................................... 53
4.1 Perubahan Massa Setelah Pengujian Ketahanan Oksidasi .......................... 53
4.2 Pengamatan Visual Selama Proses Oksidasi ............................................... 55
4.3 Struktur Mikro Lapisan NiCoCrAlY Sebelum Dan Sesudah Oksidasi ....... 58
4.3.1 Hasil Karakterisasi SEM-EDX (Scanning Electrom Microscopy) ....... 58
4.3.2 Hasil Karakterisasi XRD (X-Ray Difractometer) ................................. 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 74
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 74
5.2 Saran ............................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Hastelloy C-276 Dalam weight percent [4] ............... 9
Tabel 2.2 Pengaruh Unsur Paduan Pada Ketahanan Oksidasi [4] ........................ 10
`Tabel 2.3 Tipe Proses Thermal Spray [5] ............................................................ 12
Tabel 2.4 Perbandingan Proses Thermal Spray Coating dan Karakteristik Lapisan
[5] .......................................................................................................................... 13
Tabel 2.5 Komposisi Kimia Dari NiCoCrAlY Dalam wt.% [8] ........................... 15
Tabel 2.6 Sifat beberapa oksida logam [17].......................................................... 28
Tabel 3.1 Pengaturan gas High Velocity Oxy Fuel (HVOF) ................................. 44
Tabel 3.2 Komposisi Larutan Elektrolit Cu-Plating ............................................. 50
Tabel 4.1 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Sebelum Proses Oksidasi
Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX ....................................................................... 60
Tabel 4.2 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Setelah Proses Oksidasi Setelah
Dikarakterisasi SEM-EDX .................................................................................... 62
Tabel 4.3 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Penampang Melintang Sebelum
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX............................................. 66
Tabel 4.4 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Penampang Melintang Setelah
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX............................................. 67
Tabel 4.5 Posisi 2θ dan Fasa yang Teridentifikasi ............................................... 73
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pembentukan Lapisan dengan Metode Thermal Spray Coating ....... 11
Gambar 2.2 Lapisan Hasil Proses Thermal Spray [6] ........................................... 14
Gambar 2.3 Laju Oksidasi [18] ............................................................................. 20
Gambar 2.4 Proses Skematik Oksidasi Gas Pada Permukaan Logam [18] .......... 24
Gambar 2.5 (a) lapisan oksida terbentuk pada interface logam-oksida melalui
mekanisme interstisial (b) lapisan oksida terbentuk pada interface logam-oksida
melalui mekanisme kekosongan (c) lapisan oksida terbentuk pada interface
oksida-udara melalui mekanisme interstisial (d) lapisan oksida terbentuk pada
interface oksida-udara melalui mekanisme kekosongan [21]. .............................. 26
Gambar 2.6 Skema Cara Kerja SEM [22] ............................................................. 32
Gambar 2.7 Skema Cara Kerja XRD [23] ............................................................ 33
Gambar 3.1 Bahan-bahan Penelitian ..................................................................... 36
Gambar 3.2 Alat-alat Penelitian ............................................................................ 39
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian .................................................................... 41
Gambar 3.4 Substrat Hastelloy C-276 .................................................................. 42
Gambar 3.5 Serbuk Pelapis ................................................................................... 43
Gambar 3.6 Substrat sebelum dilapisi ................................................................... 44
Gambar 3.7 Proses Penembakan Substrat ............................................................. 45
Gambar 3.8 Substrat setelah dilapisi. .................................................................... 45
Gambar 3.9 Sampel Sebelum Proses Heat Treatment .......................................... 46
Gambar 3.10 Sampel Setelah Proses Heat Treatment .......................................... 47
Gambar 3.11 Sampel Di Dalam Muffle Furnace .................................................. 48
xvi
Gambar 3.12 Pola Waktu Tahan Pengujian Oksidasi ........................................... 48
Gambar 3.13 Sampel Hastelloy C-276 Setelah Proses Oksidasi 100 Jam ............ 49
Gambar 3.14 Sampel Hastelloy C-276 Setelah Proses Cu Plating ....................... 51
Gambar 4.1 Kurva Penambahan Massa Pada Sampel Setelah Oksidasi ............... 53
Gambar 4.2 Gambar Perubahan Warna Pada Sampel Setelah Oksidasi (a) 0 jam
(b) 1 jam (c) 5 jam (d) 15 jam (e) 31 jam (f) 46 jam (g) 66 jam (h) 90 jam (i) 100
jam ......................................................................................................................... 57
Gambar 4.3 Hasil SEM Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 500 Kali
Sebelum Proses Oksidasi ...................................................................................... 58
Gambar 4.4 Hasil SEM Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 500 Kali
Setelah Proses Oksidasi ........................................................................................ 59
Gambar 4.5 Point Analysis Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 1000
Kali Sebelum Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX ...................... 60
Gambar 4.6 Point Analysis Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 1000
Kali Setelah Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX ........................ 62
Gambar 4.7 Hasil SEM Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran
100 Kali Sebelum Proses Oksidasi ....................................................................... 63
Gambar 4.8 Hasil SEM Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran
100 Kali Setelah Proses Oksidasi .......................................................................... 64
Gambar 4.9 Point Analysis Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Sebelum
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX............................................. 65
Gambar 4.10 Point Analysis Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Setelah
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX............................................. 67
xvii
Gambar 4.11 Pola Difraksi XRD Sampel Sebelum dan Sesudah Oksidasi .......... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Oksidasi sudah dikenal dari dahulu kala dan sangat merugikan baik di dunia
industri maupun di peralatan rumah tangga. Banyak peralatan yang menurun
fungsinya bahkan mengalami kerusakan permanen karena oksidasi. Beberapa kasus
yang mudah dijumpai seperti sudu turbin (turbine blade) dan baling-baling pesawat
jet yang beroperasi pada temperatur tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya
oksidasi yang akan mempengaruhi kerja mesin menjadi tidak efisien.
Perkembangan industri dengan proses yang beroperasi pada suhu tinggi juga
berkembang pesat dalam bidang pembangkit energi, otomotif, petro-kimia, dan
bidang nuklir. Perkembangan ini memerlukan dukungan dalam pemilihan bahan
untuk komponen yang tahan terhadap kerusakan akibat proses oksidasi pada
lingkungan suhu tinggi [1]. Sehingga berbagai permasalahan akibat oksidasi
tersebut perlu mendapatkan perhatian yang khusus agar kerugian yang lebih besar
dapat dihindari.
Dalam banyak hal, oksidasi tidak dapat dihindarkan karena oksidasi dapat
terjadi pada bahan apa saja dan di mana saja, hampir semua benda padat dapat
teroksidasi atau tidak kebal serangan oksidasi. Setiap jenis logam memiliki sifat
kimiawi fisik dan mekanik yang berbeda-beda serta memiliki kelebihan dan
kelemahan terhadap oksidasi. Walaupun demikian oksidasi dapat dikendalikan dan
2
dicegah dengan melakukan pemilihan dan rekayasa material yang tahan terhadap
oksidasi atau melapisi material dengan pelapis yang memiliki ketahanan oksidasi
yang tinggi, baik untuk lingkungan kerja pada temperatur rendah maupun pada
lingkungan kerja dengan temperatur tinggi.
Salah satu material yang tahan oksidasi pada temperatur tinggi adalah nikel
dan paduannya, saat ini paduan tersebut sudah banyak digunakan dan diaplikasikan
di berbagai bidang seperti, sistem tenaga nuklir, industri petro-kimia, turbin gas
pesawat dan turbin pembangkit listrik bertenaga gas. Pemilihan nikel dan
paduannya sebagai bahan pada komponen tersebut didasarkan pada sifatnya yang
memiliki banyak keunggulan, di antaranya memiliki kekuatan, ketangguhan,
ketahanan yang baik terhadap oksidasi, tahan terhadap kelelahan mekanis dan
termal, dan lain lain. Meskipun demikian paduan nikel juga memiliki beberapa
kekurangan, seperti biaya yang mahal untuk memproduksinya dan mengalami
penurunan ketahanan oksidasinya terutama jika dilakukan pada temperatur di atas
1000°C sehingga diperlukan suatu perlakuan tertentu agar paduan nikel tersebut
bisa digunakan pada temperatur tinggi, sehingga pemakaian akan menjadi lebih
lama yang pada akhirnya akan menghemat biaya perawatan dan pergantian dari
komponen yang terbuat dari paduan nikel tersebut.
Upaya untuk memperlambat laju oksidasi dan meningkatkan ketahanan
oksidasi pada temperatur tinggi dapat dilakukan dengan cara melapisi paduan nikel
dengan lapisan NiCoCrAlY (Co - 36.5 Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y) dengan metode
High Velocity Oxygen Fuel (HVOF). Pemilihan NiCoCrAlY (Co - 36.5Ni - 17.5Cr
– 8Al – 0.5Y) sebagai pelapis substrat karena didasarkan oleh sifat unsur yang
3
terkandung seperti, unsur nikel membuat fase yang memiliki titik leleh yang tinggi,
antara lain 𝛾, dan 𝛾′ − Ni3Al, juga memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi karena
adanya fase 𝛽-NiAl. Unsur kobalt memiliki kemampuan untuk mensubtitusi atom
Ni secara mudah dan dan meningkatkan ketahanan oksidasi, terutama pada
lingkungan sulfur. Adanya unsur Ni, Co, dan Al membuat adanya fase 𝛽-(Ni,Co)
Al yang menunjukkan kemampuan yang tinggi untuk membuat layer ∝- Al2O3
sebagai penahan oksidasi. Unsur Cr menyebabkan terbentuknya oksida kromium
(Cr2O3), yang menaikkan ketahanan oksidasi, dan mengurangi penggunaan Al guna
mendapatkan fase ∝- Al2O3. Dan unsur yttrium menaikkan adhesivitas dari oksida
yang terbentuk seperti ∝- Al2O3 [2].
Alloy yang dilapisi oleh NiCoCrAlY (Co - 36.5 Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y)
dengan metode High Velocity Oxygen Fuel (HVOF) akan mampu bertahan di
lingkungan oksidasi terutama pada temperatur tinggi sehingga akan memperlambat
laju pertumbuhan oksidasi pada permukaan substrat yang dilapisi NiCoCrAlY,
pada temperatur 850⁰C - 1300⁰C lapisan NiCoCrAlY mampu membentuk Al2O3 di
mana Al2O3 dapat memperlambat laju oksidasi dengan cara menahan oksigen yang
akan masuk ke permukaan substrat, selain Al2O3 selama proses oksidasi
berlangsung akan muncul spinel oxides seperti (NiO, CoO, Cr2O3) namun tidak
begitu protektif seperti Al2O3 itu pun bergantung dari mikrostruktur lapisan
NiCoCrAlY yang digunakan saat proses High Velocity Oxy Fuel (HVOF) [3].
Sistem lapisan NiCoCrAlY (Co - 36.5Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y) dengan
metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF) telah terbukti mampu mengurangi laju
oksidasi pada temperatur tinggi pada paduan nikel, namun ketahanan oksidasi dapat
4
ditingkatkan kembali dengan melakukan proses heat treatment sehingga lapisan
menjadi lebih homogen dan ketahanan terhadap oksidasi menjadi lebih baik.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti ketahanan oksidasi sistem lapisan
NiCoCrAlY pada substrat Hastelloy C-276 (paduan nikel-kromium) (Ni 55%, Mo
15 - 17%, Cr 14.5 - 16.5%, Fe 4 - 7%, dan W 3 - 4.5%) terutama ketahanan
oksidasinya pada temperatur tinggi. Oleh karena itu, menjadi sangat menarik untuk
dilakukan penelitian tentang ketahanan oksidasi dari paduan Hastelloy C-276 yang
dilapisi oleh lapisan NiCoCrAlY dan reactive element (Hafnium 0.25%) yang telah
mengalami heat treatment terutama dengan melihat pola pembentukan struktur
mikronya, baik yang tanpa oksidasi maupun yang mengalami oksidasi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana ketahanan oksidasi sistem lapisan NiCoCrAlY pada material
Hastelloy C-276 pada temperatur 1000°C selama 100 jam?
2. Bagaimana fasa-fasa yang terbentuk pada sistem lapisan NiCoCrAlY pada
material Hastelloy C-276 setelah uji oksidasi pada temperatur 1000°C
selama 100 jam?
3. Bagaimana struktur mikro pada sistem lapisan NiCoCrAlY pada material
Hastelloy C-276 setelah uji oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100
jam?
5
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Substrat yang digunakan dalam proses pelapisan adalah Hastelloy C-
276 (paduan nikel-kromium) (Ni 55%, Mo 15 - 17%, Cr 14.5 - 16.5%,
Fe 4 - 7%, dan W 3 - 4.5%).
2. Pelapisan substrat menggunakan sistem lapisan NiCoCrAlY (Co -
36.5Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y) dengan komposisi 300 gram powder
Amdry 9551 dengan tambahan reactive element (Hafnium 0.25%).
3. Pelapisan substrat menggunakan metode High Velocity Oxygen Fuel
(HVOF).
4. Perlakuan yang diberikan adalah proses Heat Treatment pada
temperatur 1100⁰C selama 4 jam.
5. Pengujian yang dilakukan adalah uji oksidasi pada temperatur 1000⁰C
selama 100 jam.
6. Karakterisasi struktur mikro sampel dilakukan menggunakan SEM
(Scanning Electron Microscopy) baik permukaan sampel maupun
secara cross section.
7. Identifikasi fasa sampel dilakukan menggunakan XRD (X-Ray
Difractometer) dengan analisa kualitatif menggunakan perangkat lunak
High Score Plus.
6
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ketahanan oksidasi sistem lapisan NiCoCrAlY pada material
Hastelloy C-276 pada temperatur 1000°C selama 100 jam.
2. Mengidentifikasi fasa-fasa yang terbentuk pada sistem lapisan NiCoCrAlY
pada material Hastelloy C-276 setelah uji oksidasi pada temperatur 1000°C
selama 100 jam.
3. Mengamati struktur mikro pada sistem lapisan NiCoCrAlY pada material
Hastelloy C-276 setelah uji oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100
jam.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya mengenai sistem lapisan NiCoCrAlY pada Hastelloy C-276.
2. Memberikan informasi mengenai struktur mikro yang terbentuk pada sistem
lapisan NiCoCrAlY.
3. Memberikan informasi mengenai pengaruh penambahan reactive element
(Hafnium 0.25%) terhadap laju oksidasi Hastelloy C-276.
4. Memberikan informasi mengenai pengaruh Heat Treatment pada 1100⁰C
selama 4 jam serta uji oksidasi pada 1000⁰C selama 100 jam pada Hastelloy
C-276.
7
5. Diharapkan dapat diaplikasikan pada dunia industri yang membutuhkan
material tahan korosi pada suhu tinggi.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan mengacu pada buku pedoman akademik yang diterbitkan
oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang pada masing-masing bab adalah sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini mencakup latar belakang penelitian, perumusan masalah,
batasan masalah yang akanditeliti, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dansistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas tentang landasan teori, berisi materi-materi
pendukung penelitian yang terdiri atas hastelloy c-276, pelapisan,
NiCoCrAlY, reactive element, heat treatment, oksidasi, dan prinsip
kerja dari XRD dan SEM.
BAB III Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan penelitian, diagram
alur penelitian dan prosedur penelitian serta alat karakterisasi yang
digunakan.
BAB IV Hasil dan Pembahasan
Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data
yang diperoleh dari penelitian.
8
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian
dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hastelloy C-276
Salah satu jenis material maju yang sedang dikembangkan saat ini ialah
Hastelloy C-276 (paduan nikel-molybdenum-kromium). Hastelloy C-276 adalah
hasil pengembangan dari paduan Ni-Cr-Mo alloy di mana kandungan karbon dan
silikonnya diturunkan seperti dapat dilihat pada tabel 2.1. Tujuan menurunkan
kadar karbon adalah untuk mengatasi permasalahan pengelasan yang sangat rawan
untuk terjadinya korosi intergranular pada lingkungan yang mengandung klorida.
Kadar karbon dan silikon yang rendah akan mencegah terjadinya presipitasi pada
batas butir di sekitar heat affected zone.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Hastelloy C-276 Dalam weight percent [4]
Ni Co Cr Mo W Fe Si Mn C Lainnya
57 2.5 16 16 4 5 0.08 1 0.01 V-0.35
Pengaruh unsur paduan terhadap logam nikel dapat dilihat pada tabel 2.1.
dengan komposisi yang paling besar adalah kromium dan molibdenum maka
Hastelloy C-276 akan sangat baik dalam lingkungan yang oksidatif [4].
10
Tabel 2.2 Pengaruh Unsur Paduan Pada Ketahanan Oksidasi [4]
Unsur paduan Kontribusi Terhadap Ketahanan Oksidasi
Nikel (Ni) Tambahan 2-3% Nikel akan meninkatkan ketahanan
terhadap oksidasi.
Kromium (Cr)
Meningkatkan ketahanan terhadap oxidizing (HCl, H2SO4,
dan H3PO4) dan high temperature oxidizing.
Molybdenum (Mo)
Meningkatkan ketahanan korosi pitting dan korosi crevice.
Besi (Fe)
Meningkatkan ketahanan pada de-carburization. Tidak
memiliki peranan terhadap peningkatan terhadap korosi.
Tungten (W) Paduan dengan 3-4% dengan kombinasi 13-16% Mo akan
memberikan ketahanan korosi dan baik. Tungten juga
memberikan ketahanan terhadap non-oxidizing acids.
2.2 Pelapisan
Pelapisan adalah menambahkan atau menempelkan suatu material atas
permukaan material lain. Pelapisan dimaksudkan untuk:
1. Melindungi permukaan material terhadap lingkungan yang mungkin
menyebabkan oksidasi dan reaksi lain yang merusak.
2. Meningkatkan kualitas permukaan bahan seperti kekerasan permukaan.
Secara umum teknis pelapisan dibedakan menjadi dua, yaitu: pelapisan
dengan bahan dasar logam dan pelapisan dengan bahan dasar bukan logam.
11
Ada tiga jenis pelapisan dengan bahan dasar logam yaitu: Vapour
Deposition, Hard Vacing, dan Thermal Spray
2.2.1 Thermal Spray
Thermal spray merupakan salah satu teknik rekayasa permukaan, yaitu
dengan mendepositkan partikulat dalam bentuk cair, semi cair atau padat ke substrat
dan struktur mikro lapisan dihasilkan dari pembekuan partikel tersebut seperti
terlihat pada gambar 2.1 [5]. Jenis material yang didepositkan ke permukaan
substrat ini dapat berupa logam, keramik maupun komposit. Bentuk material yang
digunakan sebegai pelapis dapat berupa serbuk (powder) ataupun kawat (wire)
tergantung dari jenis material dan proses pelapisan yang digunakan.
www.spray-molybdenum-wire.com
Gambar 2.1 Pembentukan Lapisan dengan Metode Thermal Spray Coating
Material diumpankan ke dalam gun, kemudian material dipanaskan hingga
mencair lalu dipercepat dengan adanya tekanan gas yang disemprotkan menuju
substrat. Pada saat partikel cair hasil semprotan tadi mengenai bagian permukaan
12
substrat, partikel tersebut kemudian mengalami pendinginan yang membentuk
struktur berupa lapisan (lamellar), dengan demikian akan membentuk lapisan atau
endapan hasil spray.
Proses pelapisan dengan metode thermal spray coating mudah digunakan,
biaya operasi lebih kecil, dan dapat meningkatkan kinerja dan umur pakai
komponen. Perbedaan tingkat porositas dan jumlah inklusi oksida pada hasil lapisan
akhir merupakan fungsi dari kecepatan partikel cair dan lingkungan, udara dan gas
inert yang digunakan. Secara khusus lapisan menempel dan terikat pada substrat
dengan ikatan mekanik (mechanical interlocks) di mana permukaan substrat telah
dikasarkan terlebih dahulu dengan grit blasting. Ikatan seperti ini disebut dengan
kekuatan ikatan adhesif, sedangkan ikatan antara partikel dengan partikel yang
sama disebut ikatan kohesif.
Berdasarkan sumber penghasil panas, proses thermal spray coating dapat
dibagi dalam dua kelompok (seperti terlihat pada Tabel 2.3), yaitu:
Pembakaran
Listrik.
`Tabel 2.3 Tipe Proses Thermal Spray [5]
Tipe Proses Thermal Spray
Sumber Panas: Pembakaran Sumber Panas: Listrik
Low Velocity Flame Spraying Plasma Spraying
High Velocity Oxy Fuel (HVOF) Wire Arc Spraying
Detonation (D-Gun) Induction Plasma Spraying
13
2.2.2 Proses High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
Proses pelapisan dengan metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
menggunakan energi kinetik yang luar biasa tinggi dan energi panas yang
dihasilkan terkontrol dan menghasilkan lapisan dengan tingkat porositas yang lebih
rendah, kekuatan ikatan lebih tinggi, permukaan lapisan lebih halus, dan tegangan
sisa yang lebih rendah jika dibandingkan dengan lapisan yang dihasilkan dari proses
spraying lainnya seperti flame spraying, electric arc spraying, atau plasma
spraying.
Tabel 2.4 Perbandingan Proses Thermal Spray Coating dan Karakteristik Lapisan
[5]
Teknik
Thermal
Spray
Kecepatan
Partikel
(m.S-1)
Kekuatan
Adhesi
(MPa)
Kandungan
Oksida (%)
Porositas
(%)
Kecepatan
Deposisi
(kg.hf’)
Tebal
Lapisan
(mm)
Flame 40 <8 10-15 10-15 1-10 0,2-10
Arc 100 10-30 10-20 5-10 6-60 0,2-10
Plasma 200-300 20-70 1-3 5-10 1-5 0,2-2
HVOF 600-1000 >70 1-2 1-2 1-5 0,2-2
Pada metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF) serbuk diumpankan secara
aksial ke dalam nosel dengan gas-gas pembakaran (kerosin, propylene, propane,
hidrogen) bertekanan tinggi. Gas-gas tersebut lewat melalui nosel dengan
peningkatan kecepatan yang tinggi ketika dibakar dengan oksigen untuk
mempercepat partikel-partikel cair mencapai kecepatan supersonik [5]. Masing-
masing partikel dipanaskan dalam ruang pembakaran pada High Velocity Oxy Fuel
14
(HVOF) gun, dan berpenetrasi ke permukaan substrat. Pada saat terjadi tumbukan
dengan substrat, partikel tersebut berubah bentuk menjadi laurel yang mengalami
pendinginan ke titik leburnya yang mengeras sepeti pada gambar 2.2 dan selama
tumbukan tersebut, terjadi percikan dan pengaruhnya dapat terlihat pada gambar
2.2
Gambar 2.2 Lapisan Hasil Proses Thermal Spray [6]
15
2.3 NiCoCrAlY
Material yang biasa digunakan di dunia industri, maritim, dan turbin gas
pesawat harus mampu bertahan di lingkungan kerja yang berat, termasuk tekanan
siklik di lingkungan oksidasi temperatur tinggi. Kekuatan biasanya terdapat pada
paduan superalloy Ni yang biasa digunakan pada turbin dan baling-baling pesawat.
Walau bagaimanapun lapisan yang kaya akan aluminium diharapkan muncul pada
lapisan yang akan digunakan dalam rangka memberikan ketahanan oksidasi yang
baik yang akan dicapai dengan tumbuhnya Al2O3 pada permukaan sampel ketika
mendapatkan perlakuan di temperatur tinggi [7]. Maka sangat tepat jika
NiCoCrAlY menjadi pelapis pada substrat Hastelloy C-276 pada proses thermal
spray. Hasil coating yang terbentuk adalah halus, rata, kuat, dan padat serta
memiliki ketahanan yang tinggi terhadap oksidasi.
Tabel 2.5 Komposisi Kimia Dari NiCoCrAlY Dalam wt.% [8]
Ni Co Cr Al Y
29-35 Bal 18-24 5-11 0,1-0,8
Pemilihan material pelapis didasarkan pertimbangan sifat dan
karakteristiknya sebagai material yang dapat memberikan proteksi terhadap
oksidasi. Aluminium memiliki pengaruh besar untuk memberikan ketahanan
oksidasi dikarenakan membentuk α-Al2O3 yang pertumbuhan lapisan protektif
oksidanya lambat [9]. Kromium berfungsi tidak hanya dapat meningkatkan
ketahanan korosi tetapi juga dapat meningkatkan difusitas aluminium untuk
membentuk dan menjaga stabilitas alumina sebagai protektif oksida serta
16
mengurangi difusi oksigen ke dalam paduan logam dengan menurunkan aktivitas
oksigen pada lapisan antar muka (interface) [10]. Nikel membentuk fasa yang
memiliki titik lebur tinggi dan tahan terhadap oksidasi seperti 𝛾-Ni, 𝛾′Ni3Al [11].
Kobalt juga dapat meningkatkan ketahanan oksidasi di mana saat konsentrasi kobalt
rendah maka ketahanan oksidasinya meningkat.
2.4 Reactive Element
Reactive element atau yang biasa disebut sebagai (RE) pertama kali
dipatenkan pada tahun 1937 oleh Pfeil. Semenjak itu penelitian mengenai aplikasi
reactive element pada lapisan mulai dilakukan dan hasil mengenai penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa:
1. Reactive element oxides bertindak sebagai nukleasi heterogen yang selektif
dalam menentukan element yang protektif seperti Aluminium dan
Kromium.
2. Mekanisme penambahan reactive element terhadap laju pertumbuhan butir
tergantung pada ukuran ion nya. Secara fisika, batas butir umumnya
menerima difusi anionik dan kationik.
3. Penambahan reactive element mempengaruhi morfologi dan mikrostruktur.
Umumnya produk oksida yang dihasilkan sangat kecil.
4. Penambahan reactive element mempengaruhi ukuran butir sehingga
menjadi lebih kecil.
5. Produk oksida yang dihasilkan berasal dari oksidasi internal.
17
6. Penambahan reactive element, partikel oksida yang dihasilkan bertindak
sebagai vacancy sink di mana mampu meminimalkan kekosongan dan
porositas pada pada permukaan alloy.
7. Penambahan reactive element, mampu mencegah pengotor seperti, sulfur,
klorin, dan fosfor pada permukaan alloy.
Dari hasil penelitian di atas, nomor 7 adalah yang paling diterima secara
keseluruhan. Sulfur adalah sebagai contoh elemen pengotor yang dapat
menghilangkan kemurnian alloy dan dapat menghancurkan adhesi dari alumina
[12].
Penambahan sejumlah kecil elemen-elemen reaktif seperti yttrium, cerium,
hafnium atau oksidanya pada paduan lapisan dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, yaitu penambahan elemen reaktif dalam bentuk larutan, dispersi oksida
(oxide dispersion), pelapisan permukaan (surface coating), pemaduan (alloying)
atau implantasi ion [13] [14] [15]. Teknik yang terakhir yaitu implantasi ion
memberikan beberapa keunggulan antara lain yaitu penambahan satu atau lebih
elemen pada lapisan dekat permukaan suatu material paduan dapat dikontrol
dengan akurat, baik konsentrasi dan kedalaman penetrasi elemen yang
diimplantasikan, dan dapat diulangi dengan hasil yang sama.
2.5 Heat Treatment
Heat Treatment ( perlakuan panas ) adalah salah satu proses untuk
mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan spesimen pada elektrik
18
terance ( tungku ) pada temperatur rekristalisasi selama periode waktu tertentu,
kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara. Sifat-sifat logam
terutama sifat mekanik yang sangat dipengaruhi oleh struktur mikrologam
disamping posisi kimianya, contohnya suatu logam atau paduan akan mempunyai
sifat mekanis yang berbeda-beda struktur mikronya diubah. Dengan adanya
pemanasan atau pendinginan dengan kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam
dan paduan memperlihatkan perubahan strukturnya. Perlakuan panas adalah proses
kombinasi antara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau
paduannya dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk
mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat
menetukan.
2.5.1 Normalizing
Normalizing adalah suatu proses pemanasan logam hingga mencapai fase
austenit yang kemudian diinginkan secara perlahan-lahan dalam media pendingin
udara. Hasil pendingin ini berupa perlit dan ferit. Prinsip dari proses normalizing
adalah untuk melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau baja paduan
tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak. Mungkin
berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon.
19
2.6 Oksidasi Temperatur Tinggi
2.6.1 Proses Oksidasi Temperatur Tinggi
Korosi kimia atau korosi kering atau korosi temperatur tinggi adalah proses
korosi yang terjadi melalui reaksi kimia secara murni yang terjadi tanpa adanya
elektrolit atau bisa dikatakan tidak melibatkan air dengan segala bentuknya. Korosi
kimia biasanya terjadi pada kondisi temperatur tinggi atau dalam keadaan kering
yang melibatkan logam dengan oksigen, nitrogen, dan sulfida. Tahap oksidasi
dimulai dengan adsorpsi oksigen, reaksi kimia untuk membentuk permukaan
oksida, nukleasi oksida dan pertumbuhan lapisan untuk membentuk proteksi.
Persyaratan dari lapisan yang berfungsi sebagai lapisan proteksi adalah homogen,
daya lekat tinggi, tidak ada kerusakan mikro ataupun makro baik yang berupa retak
atau terkelupas. Biasanya lapisan oksida sebagai lapisan pelindung ini adalah
Al2O3. Lapisan yang terbentuk bisa sangat tipis dan retak atau hilang sehingga tidak
memberikan proteksi. Akibat retak mikro maupun makro, oksigen akan masuk
melewati lapisan oksida dan mengoksida metal. Lapisan oksida yang tebal dengan
daya lekat tinggi akan melindungi metal dari oksidasi berikutnya. Lapisan dari
oksida Al2O3 dikenal sebagai lapisan tipis dengan daya lekat kuat dan protektif
terhadap logam dari proses oksidasi [16].
2.6.2 Kinetika Laju Oksidasi Temperatur Tinggi
Apabila lapisan oksida yang mula-mula terbentuk bersifat berpori, oksigen
dapat tembus dan terjadi reaksi pada antar muka oksida-logam. Namun, umumnya
lapisan tipis tidak berpori dan oksida selanjutnya mencakup difusi melalui lapisan
20
oksida. Apabila terjadi oksida di permukaan oksida oksigen maka ion logam dan
elektron harus berdifusi dalam logam yang berada di bawahnya. Apabila reaksi
oksidasi terjadi di antarmuka logam-oksida, ion oksigen harus berdifusi melalui
oksida dan elektron berpindah dengan arah berlawanan untuk menuntaskan reaksi
[17]. Logam yang bereaksi dengan oksigen atau gas lainnya pada suhu tinggi akan
mengalami reaksi kimia. Pada tingkat oksidasi, hukum kinetika parabola, linier, dan
logaritma menggambarkan tingkat oksidasi untuk logam umum dan paduan. Dalam
hal ini oksigen bereaksi untuk membentuk oksida pada permukaan logam, diukur
dengan penambahan berat. Penambahan berat pada setiap waktu (t) selama oksidasi
sebanding dengan ketebalan oksida (x). Logam tertentu, seperti baja, zirkonium
harus dilapisi untuk pencegahan korosi, karena memiliki tingkat oksidasi yang
tinggi.
Gambar 2.3 Laju Oksidasi [18]
21
A. Laju pertumbuhan parabolik
Pada tingkat hukum parabola, laju oksidasi temperatur tinggi pada logam
sering mengikuti hukum laju parabolik, yang memerlukan ketebalan (x) dan
proposional waktu (t) yaitu [17] :
𝑥2 = 𝑘p.t (2.1)
Di mana kp dikenal sebagai konstanta laju parabolik, dan x ialah ( ∆𝑊𝐴⁄ ).
Dan penebalan lapisan bertambah secara parabolik sesuai hubungan :
∆𝑊2= 𝑘p.t (2.2)
𝛥𝑊 = 𝑊1– 𝑊0 (2.3)
Dimana : kp = dikenal sebagai konstanta parabolik (g2m-4s-1)
W0 = sebagai berat awal spesimen (gram)
W1 = sebagai berat akhir spesimen (gram)
Pada rentang temperatur tertentu berbagai oksida bertambah tebal sesuai
hukum parabolik. Pada temperatur rendah dan untuk lapisan oksida yang tipis,
berlaku hukum logaritmik. Apabila tebal kerak bertambah mengikuti hukum
parabolik, resultan tegangan yang terjadi pada antar muka bertambah dan akhirnya
lapisan oksida mengalami kegagalan-perpatahan sejajar dengan antar muka atau
mengalami perpatahan geser atau pematahan tarik melalui lapisan. Di daerah ini
laju oksidasi meningkat sehingga terjadi peningkatan yang kemudian berkurang
lagi akibat perpatahan lokal di kerak oksida. Laju oksidasi yang bersifat parabolik
22
berubah menjadi rata dan laju oksidasi mengikuti hukum linear. Perubahan seperti
ini disebut paralinear dan biasanya dijumpai pada oksidasi titanium setelah oksida
mencapai ketebalan kritis [16].
B. Laju Pertumbuhan linier
Pertumbuhan oksidasi linier (lurus) mengikuti kaidah konstan terhadap waktu
sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut [16]:
dx / dt = k t (2.4)
dimana: x = luas dari ketebalan oksida (𝜇m)
t = waktu oksidasi (detik)
k = konstanta pertumbuhan linier
Pertumbuhan garis lurus atau rektilinier terjadi bilamana oksida tidak mampu
merintangi masuknya oksigen ke permukaan logam, sebagaimana terjadi bila
oksida yang terbentuk dari volume logam tertentu terlalu kecil untuk menyalut
seluruh permukaannya. Jika oksida retak atau terkelupas akibat besarnya tegangan
dalam, maka pola pertumbuhan yang terjadi adalah serangkaian pendek tipe
parabolik yang bila diamati secara keseluruhan akan tampak linier. Perilaku seperti
ini disebut paralinier. Ini bisa terjadi bila siklus temperatur cukup untuk membentuk
perbedaan-perbedaan kontraksi dan ekspansi antara logam dan oksida yang
membuat oksida terlepas dari logam. Pertumbuhan garis lurus ini khas dialami oleh
logam yang diproses pada temperatur tinggi; sebagai contoh adalah besidiatas
1000°C dan magnesium di atas 500°C.
23
C. Laju pertumbuhan logaritmik
Pada pertumbuhan logaritmik permukaan akan terbalut dengan lapisan oksida
tipis yang terjadi pada logam tertentu pada temperatur rendah. Laju difusi yang
menembus selaput tipis ini sangat rendah, dan sesudah pertumbuhan yang cepat
dalm periode awal berlalu, laju pertumbuhan akhirnya menjadi nol. Persamaan laju
oksidasi logaritmik dapat dituliskan sebagai berikut [16]:
x = Ke log (at + 1) (2.5)
dimana : x = luas dari ketebalan oksida (𝜇m)
t = waktu oksidasi (jam)
Ke dan a adalah konstan.
Contoh logam-logam yang teroksidasi dengan cara seperti di atas adalah
magnesium di bawah 200°C dan alumunium di bawah 50°C.
2.6.3 Struktur dan Sifat Oksida
Golongan oksida mantap yang jauh lebih besar dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok yang anggota-anggotanya mudah menguap pada
temperatur relatif rendah, dan kelompok yang biasanya tetap tinggal pada
permukaan logam kecuali bila dihilangkan secara fisik atau secara kimia.
Oksida yang mudah menguap tersebut terbentuk pada permukaan logam,
tetapi segera berubah menjadi gas. Akibatnya permukaan logam yang tetap reaktif
itu terus mengalami proses oksidasi sampai logam habis sama sekali. Laju reaksi
tersebut tidak menurun, bahkan biasanya bertambah bila temperatur meningkat.
Sifat oksida yang mempengaruhi laju oksidasi yaitu sifat adesif daya lekat yang
baik, tidak mudah mengelupas, titik leleh oksida yang tinggi, tekanan uap yang
24
rendah, memiliki koefesien muai termal yang sama dengan metal serta lapisan
oksida memiliki koefesien difusi yang rendah.
2.6.4 Difusi Oksidasi
Secara sederhana reaksi oksidasi terjadi sebagai berikut,
Logam + O2 Logam Oksida
Gambar 2.4 Proses Skematik Oksidasi Gas Pada Permukaan Logam [18]
Reaksi yang terjadi akan menjadi lebih kompleks karena akan terbentuk
lapisan oksida yang memisahkan logam dari udara yang memasok oksigen. Agar
oksidasi terus berlangsung maka logam harus berdifusi keluar atau oksigen
berdifusi ke dalam melalui lapisan oksida yang terbentuk [19]. Proses difusi ini
dapat terjadi dalam dua mekanisme, yaitu:
25
1. Sebuah atom dari logam M, yang membentuk oksida MO, melepaskan
dua elektron sehingga membentuk ion M2+. Baik ion logam maupun
elektron berdifusi melalui oksida yang terbentuk menuju interface
antara oksida dan udara. Elektron ditangkap oleh O2 sehingga
membentuk ion O2- lalu ion M2+ dan O2- membentuk lapisan oksida MO
pada interface antara lapisan oksida dan udara.
2. Sebuah atom dari logam M melepaskan dua elektron dan membentuk
ion M2+. Dalam kasus ini hanya elektron yang dilepaskan oleh logam M
yang berdifusi melalui lapisan oksida menuju interface antara lapisan
oksida dan udara. Lalu elektron ini bereaksi dengan oksigen membentuk
ion O2-. Kemudian ion O2- ini berdifusi kembali melalui lapisan oksida
menuju interface antara lapisan oksida-logam dan bereaksi dengan M2+
membentuk oksida MO. Dengan demikian lapisan oksida akan
terbentuk pada interface antara logam dan lapisan oksida [20].
26
Gambar 2.5 (a) lapisan oksida terbentuk pada interface logam-oksida melalui
mekanisme interstisial (b) lapisan oksida terbentuk pada interface logam-oksida
melalui mekanisme kekosongan (c) lapisan oksida terbentuk pada interface oksida-
udara melalui mekanisme interstisial (d) lapisan oksida terbentuk pada interface
oksida-udara melalui mekanisme kekosongan [21].
Proses terbentuknya lapisan oksida pada logam dipengaruhi oleh
mekanisme proses difusi tersebut dan juga dipengaruhi oleh rasio Pilling-
Berdworth (PB). Rasio PB menunjukkan perbandingan volume oksida yang
terbentuk dengan volume logam apabila terjadi oksidasi. Rasio PB diformulasikan
sebagai berikut:
27
𝑃𝐵 =𝑀𝑀. 𝑑𝑚
𝑚. 𝑀𝐴. 𝑑𝑜𝑥
Dengan:
MM : massa molekul relatif oksida (sma)
dm : densitas logam (kg/m3)
m : jumlah atom logam dalam molekul oksida (sma)
MA : massa atom relatif logam (sma)
dox : densitas oksida (kg/L)
Apabila rasio PB < 1 maka volume lapisan oksida yang terbentuk lebih kecil
dari volume logam akibatnya lapisan oksida akan berpori atau retak sehingga
lapisan oksida tersebut tidak dapat melindungi logam dari oksidasi lebih lanjut
(tidak protektif). Laju oksidasi yang terjadi adalah linear.
Apabila rasio PB = 1 maka volume lapisan oksida yang terbentuk tepat sama
dengan volume logam, sehingga lapisan oksida dapat melindungi logam dari
oksidasi lebih lanjut tanpa adanya internal stress. Namun kondisi ini sangat jarang
terjadi.
Apabila rasio PB > 1 maka volume lapisan oksida yang terbentuk lebih
besar dari volume logam, sehingga lapisan oksida dapat melindungi logam dari
oksidasi lebih lanjut meskipun hal ini disertai adanya internal stress. Apabila
oksidasi yang terjadi mengikuti mekanisme difusi proses 1, yakni lapisan oksida
terbentuk di antara interface logam-oksida maka stress akan terbatas hanya pada
28
lapisan terluar dan secara umum dapat dihilangkan dengan mudah. Lalu oksidasi
parabolik akan terjadi. Namun apabila oksidasi yang terjadi mengikuti mekanisme
difusi proses 2, yakni lapisan oksida terbentuk di antara interface oksida-udara,
stress terbentuk pada bagian dalam lapisan oksida dan secara umum tidak mudah
untuk dihilangkan. Akibatnya pada batas stress tertentu lapisan oksida yang
terbentuk akan terlepas dan oksidasi kembali terjadi. Dalam kondisi ini terjadi
oksidasi parabolik yang kemudian diikuti dengan oksidasi linear [20].
Berikut ini tabel yang menunjukkan beberapa sifat oksida logam :
Tabel 2.6 Sifat beberapa oksida logam [17]
Logam Oksida Logam PB ratio
Cobalt Cobalt (III) oxide – Co2O3 1,99
Molybdenum Molybdenum oxide – MoO3 3,27
Aluminium Aluminium oxide – Al2O3 1,28
Chromium Chromium (III) oxide – Cr2O3 2,07
Nickel Nickel (II) oxide – NiO 1,70
Proses oksida terbentuk dengan proses mekanisme yang ditentukan oleh
kondisi lingkungan, dan material. Proses oksidasi logam dalam temperatur tinggi
dapat dipandang analog dengan sel korosi basah, yaitu terdiri dari 4 komponen,
dengan oksida bertindak sebagai: elektroda untuk oksidasi logam, untuk reduksi
oksigen, penghantar ionik, dan penghantar elektron.
Molibdenum adalah contoh klasik untuk kelompok ini. Di udara bebas logam
ini teroksidasi dengan laju cukup tinggi bila temperatur lebih dari 300°C. Terbentuk
29
dua lapisan yaitu lapisan MoO2, sedangkan di sebelah luar lapisan MoO3. Di atas
500°C MoO3 mulai menguap, dan pada sekitar 770°C laju penguapan sama dengan
laju oksidasi. Peningkatan temperatur yang lebih lanjut akan membuat logam cepat
sekali habis. Efek yang timbul semakin dahsyat ketika MoO3 mulai memasuki fase
lelah pada temperatur lebih dari 815°C.
2.6.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Oksidasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju oksidasi, di antaranya adalah
temperatur, sumber oksigen (gas oksigen atau air), dan tekanan.
1. Temperatur
Laju pertumbuhan oksida sangat sensitif terhadap temperatur,
karena laju difusi oksigen. Secara eksponensial atau matematis
ditunjukkan pada persamaan berikut:
𝐷 = 𝜇 exp(−𝐸𝑎/𝑘𝑇)
Di mana: D : koeffisien difusi (cm2/detik)
𝜇 : mobilitas
𝐸𝑎 : energi aktivasi (eV)
𝑘 : konstanta Boltzman (2.38x10-23 J/K)
T : temperatur (K)
30
Meningkatnya temperatur dapat secara signifikan meningkatkan
pertumbuhan oksidanya.
2. Sumber Oksigen
Laju pertumbuhan oksida juga berhubungan dengan sumber
oksigen. Oksidasi kering dengan O2 memiliki laju pertumbuhan oksida
lebih rendah dibandingkan dengan oksida basah dengan H2O. Misalnya
dengan silikon (100) pada temperatur 1000°C, lapisan oksida basah
tumbuh 2,2 mm setelah 20 jam, sedangkan lapisan oksida kering tumbuh
hanya 0,34 mm. Oleh karena itu proses oksidasi basah lebih disukai
untuk menumbuhkan lapisan oksida tebal seperti masking oxide dan
field oxide.
3. Tekanan
Tekanan dapat digunakan untuk mengontrol laju pertumbuhan
oksida. Tekanan tinggi dapat meningkatkan laju oksidasi. Tekanan
rendah menurunkan laju oksidasi dan sedang diselediki untuk
menumbuhkan oksida sangat tipis yang diperlukan untuk VLSI
(VeryLarge Sircuit Integration).
31
2.7 Prinsip Kerja Alat Karakterisasi
2.7.1 SEM (Scanning Electrom Microscopy)
SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan alat karakterisasi yang
digunakan untuk melihat objek mikroskopis dengan perbesaran yang cukup tinggi.
SEM menggunakan berkas elektron, media vakum dan beberapa tambahan seperti
spektrometer sinar-X, detektor elektron backscattered detektor elektron
transmitted, tahapan pemanasan/pendinginan/regangan dan device semikonduktor.
Berkas elektron yang dipancarkan dari elektron gun difokuskan pada
permukaan sampel oleh lensa elektron ( electron lens ). Jumlah total elektron yang
mencapai permukaan sampel adalah selisih antara total elektron yang dipancarkan
dengan total elektron yang terhalang oleh celah pada jalur berkas. Jumlah elektron
yang mengenai sampel per satuan luas ditentukan oleh diameter probe elektron.
Karena elektron partikel bermuatan, maka interaksi elektron dengan sampel
merupakan interaksi kuat ( interaksi coulomb ). Ketika berkas elektron mengenai
sampel maka terjadi penghamburan oleh atom yang dekat lapisan permukaan
sampel. Akibatnya arah gerak elektron berubah dan sebagian energinya hilang.
Pada peristiwa elektron sumber memasuki sebuah bahan, arah gerak elektron
dipengaruhi oleh berbagai penghalang ( multiple scattering ) dan mengikuti lintasan
yang rumit dan komplek jauh dari garis lurus. Ketika elektron dengan energi yang
sama mengenai permukaan sampel, sebagian elektron dipantulkan dalam arah
berlawanan ( back scattering ) dan sisanya diserap oleh sampel. Jika sampel cukup
32
tipis, maka elektron dapat melewati sampel ( elektron transmisi ). Skema cara kerja
SEM dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Skema Cara Kerja SEM [22]
2.7.2 Difraksi Sinar-X ( X-Ray Diffraction )
Sinar-X merupakan suatu radiasi elektromagnetik yang mempunyai panjang
gelombang 0.1 nm ( nanometer ). Panjang gelombang ini lebih pendek dari panjang
gelombang cahaya tampak ( 400-800 nanometer ). Sinar-X dihasilakan dari logam
yang ditembakkan dengan elektron yang sangat cepat dalam tabung hampa. Hal ini
terjadi karena adanya potensial yang berbeda yang sangat besar perbedaannya
diantara kedua elektrodanya ( katoda dan anoda ). Berkas elektron ini dipancarkan
dari katoda ke anoda. Radiasi yang dipancarkan sinar-X dapat dipisahkan dari dua
komponen yaitu: spektrum kontinyu dengan rentang panjang gelombang yang lebar
dan spektrum garis super implus yang sesuai dengan karakteristik logam yang
ditembak.
33
Pada spektrum kontinyu energi potensialnya meningkat seiring dengan
bertambahnya nomor atom target dan sebanding dengan kuadrat tegangannya.
Sedangkan pada spektrum super impuls radiasi terjadi jika elektron yang tereksitasi
memiliki cukup energi untuk mengeluarkan satu elektron dari dalam kulitnya.
Misalnya, kekosongan pada kulit K pertama dengan n=1 diisi oleh elektron lain
yang berasal dari kulit L dengan n=2, maka dikenal dengan K∝, tetapi kalau
elektronnya mengisi dari kulit M menuju kulit K disebut dengan K𝛽.
Pemanfaatan metode difraksi memegang peranan sangat penting untuk
menganalisis padatan kristal. Metode ini berfungsi untuk mengetahui ciri-ciri utama
dari struktur suatu unsur seperti parameter kisi, tipe struktur, susunan atom dalam
kristal, kehadiran cacat, orientasi dan ukuran butir, serta ukuran dan kerapatan
precipitat ( kerapatan fasa ). Skema cara kerja XRD dapat dilihat pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Skema Cara Kerja XRD [23]
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 hingga Januari 2015.
Penelitian ini dilakukan di beberapa laboratorium, diantaranya:
1. Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET), Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jalan Sangkuriang-Komplek LIPI Gedung
20 lantai 4 Bandung, Jawa Barat Indonesia 40135. Laboratorium ini
digunakan untuk proses pelapisan Hastelloy C-276 menggunakan sistem
lapisan NiCoCrAlY dengan metode High Velocity Oxygen Fuel (HVOF).
2. Pusat Penelitian Fisika ( P2F ) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Kawasan Puspitek Serpong, Tangerang Selatan, Banten Indonesia
15314. Laboratotium High Temperature Coating ( HTC ), laboratorium ini
digunakan untuk proses preparasi sampel dan penyimpanan sampel sebelum
dan sesudah oksidasi. Laboratorium Keramik dan Furnace, laboratorium ini
digunakan untuk proses heat treatment dan oksidasi. Laboratorium Uji
Bahan 3 Scanning Electron Microscopy ( SEM ), laboratorium ini
digunakan untuk proses karakterisasi sampel dengan Scanning Electron
Microscopy ( SEM ). Laboratorium Uji Bahan 4 X-Ray Diffractometer (
XRD ), laboratorium ini digunakan untuk proses karakterisasi sampel
dengan X-Ray Diffractometer ( XRD ).
35
3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian
3.2.1 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Hastelloy C-276, merupakan substrat utama yang akan dilapisi.
b. Serbuk MCrAlY (M: Ni atau Co) (Co - 36.5Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y),
merupakan sebagai bahan pelapis substrat.
c. Reactive element (Hafnium 0.25%), merupakan bahan tambahan sebagai
pelapis.
d. Resin epoxy teknis, merupakan bahan yang digunakan sebagai bahan
pelapis pada sampel sebelum dikarakterisasi.
e. H2SO4, merupakan bahan yang digunakan sebagai bahan elektrolit saat
proses Cu-plating.
f. CuSO4, merupakan bahan yang digunakan sebagai bahan elektrolit saat
proses Cu-plating.
g. Serbuk Alumina, merupakan bahan yang digunakan sebagai penghalus saat
proses polishing.
h. Aquades, merupakan bahan yang digunakan sebagai bahan elektrolit saat
proses electroplating.
i. Aseton, merupakan bahan yang digunakan sebagai pembersih sebelum
sampel dikarakterisasi.
36
j. Hardener, merupakan bahan yang digunakan sebagai pengeras saat sampel
dilapisi oleh resin epoxy teknis.
a. Hastelloy C-276
b. Aseton
c. Hardener
d. Resin epoxy e. Aquades
Gambar 3.1 Bahan-bahan Penelitian
37
3.2.2 Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Timbangan digital 6 digit
Berfungsi untuk menimbang serbuk pelapis dan substrat.
b. Power supply
Berfungsi untuk memberikan arus listrik.
c. Kabel penghubung
Berfungsi untuk menghubungkan arus listrik.
d. Penjepit buaya
Berfungsi sebagai alat penjepit substrat ketika Cu-plating.
e. Gelas beker, berukuran 100 mL dan 500 mL
Berfungsi untuk menakar larutan dan cairan.
f. Muffle Furnace merk MTI Corporation KSL-1700X
Berfungsi sebagai alat uji oksidasi pada temperatur 1000°C dan 100
jam.
g. Jangka sorong
Berfungsi untuk mengukur dimensi sampel.
h. Abrasive paper no #100, #400, #800, dan #1200
Berfungsi untuk menghaluskan permukaan sampel sebelum proses
pelapisan.
38
i. Ultrasonic cleaner
Berfungsi untuk membersihkan dengan menggunakan gelombang
ultrasonik.
j. Magnetic stirrer
Berfungsi untuk mengaduk larutan.
k. Molding dies
Berfungsi sebagai alat penyangga sampel sebelum dilapisi resin epoxy.
l. Elektroda tembaga dan nikel
Berfungsi sebagai elektroda saat proses Cu-plating.
m. Pengering (hair dryer)
Berfungsi untuk mengeringkan sampel dan alat-alat kerja.
n. Ceramic crucible
Berfungsi sebagai alat penyangga sampel ketika dimasukan ke dalam
furnace untuk dioksidasi.
o. Horizontal Heated Furnace
Berfungsi sebagai alat pembakaran ketika proses heat treatment pada
temperatur 1100°C selama 4 jam.
p. Mesin pemotong
Berfungsi sebagai alat pemotong sampel baik saat preparasi maupun
setelah dilapisi resin epoxy teknis.
q. Polisher machine
Berfungsi sebaga alat penghalus sampel.
39
r. Pinset
Berfungsi untuk mengambil sampel basah dan panas.
s. Kawat
Berfungsi sebagai pengikat sampel ketika proses heat treatment.
t. Aluminium rodstick
Berfungsi sebagai alat penggantung sampel ketika proses oksidasi.
u. Kamera digital
Berfungsi sebagai alat pemotret sampel di setiap proses.
v. Penggaris
Berfungsi sebagai alat pengukur panjang sampel.
w. Mesin HVOF (High Velocity Oxy Fuel)
Berfungsi sebagai alat penembak ketika proses pelapisan sampel
dengan serbuk MCrAlY dan reactive element.
x. Mesin Ball Mill
Berfungsi sebagai alat penghalus serbuk MCrAlY dan reactive element
sebelum proses pelapisan.
y. Desikator
Sebagai alat penyimpanan sampel baik sebelum maupun sesudah
proses.
Berikut ini gambar beberapa peralatan penelitian yang dipergunakan
Gambar 3.2 Alat-alat Penelitian
40
3.2.3 Alat Karakterisasi
a. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Berfungsi untuk melihat morfologi pada sampel sehingga bisa dilakukan
analisis permukaan, penampang melintang, ketebalan dari lapisan yang
terbentuk dan mengetahui elemen yang terkandung dalam sampel.
b. X-Ray Diffraction (XRD)
Berfungsi untuk melihat fasa yang terbentuk pada sampel.
a. Timbangan Digital 6
Digit
b. Polisher Machine c. Ultrasonic Cleaner
d. Alat Pemotong e. Muffle Furnace merk
MTI Corporation KSL-
1700X
d. Alumina Rodstick dan
ceramic crucible
41
3.3 Diagram Alir Penelitian
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian
Substrat Hastelloy C-276 Serbuk MCrAlY (300 gram)
+ Reactive Element
(Hafnium 0.25%)
Penimbangan
dan pengukuran
dimensi substrat
Dihaluskan dengan Ball
Milling (3 jam, 8 rps)
Dipotong dan
diampelas
(#100, #400,
#800, #1200)
Blasting
Alumina selama
5 menit
Pelapisan
Hastelloy C-276
dengan metode
HVOF
Proses Heat
Treatment
(1100°C selama
4 jam)
Proses Oksidasi
(1000°C selama
100 jam)
SEM XRD
ANALISA
KESIMPULAN
42
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode High Velocity Oxy Fuel (HVOF),
meliputi : preparasi substrat dan preparasi serbuk pelapis, pencampuran serbuk
NiCoCrAlY dan serbuk reactive element (Hafnium 0.25%) menggunakan ball mill
selama 3 jam dan 8 rps, penembakan serbuk pelapis pada substrat, pengeringan
kembali setelah substrat dilapisi, proses heat treatment pada temperatur 1100°C
selama 4 jam, proses oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam,
karakterisasi sampel menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-
Ray Diffraction (XRD).
3.4.1 Preparasi Substrat
Substrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hastelloy C-276.
Substrat tersebut pertamakali dilakukan pemotongan untuk mendapatkan ukuran
yang diinginkan, serta dihaluskan dengan abrasive paper nomor #100, #400, #800,
dan #1200 agar substrat lebih halus dan bersih sebelum dilapisi. Setelah substrat
bersih dan halus maka dilakukan penimbangan dan pengukuran dimensi substrat
menggunakan timbangan digital 6 digit dan jangka sorong.
Gambar 3.4 Substrat Hastelloy C-276
43
3.4.2 Preparasi Serbuk Pelapis
Serbuk bahan pelapis yang digunakan dalam penelitian ini adalah MCrAlY
(M: Ni atau Co) (Co - 36.5Ni - 17.5Cr – 8Al – 0.5Y) sebanyak 300 gram, dan
ditambahkan reactive element (Hafnium 0.25%). Tujuan dari penambahan serbuk
reactive element (Hafnium 0.25%) adalah agar pelapis lebih stabil dan menambah
daya lekat dari lapisan oksida protektif yang akan terbentuk, sehingga menjadi lebih
kuat. Jika serbuk pelapis tanpa tambahan reactive element maka pertumbuhan
Al2O3 melalui dua proses yakni masuk dan keluar aluminium melalui batas butir,
sehingga mudah mengelupas namun jika serbuk pelapis ditambahkan reactive
element maka proses difusi hanya terjadi satu arah yakni, difusi atom oksigen,
dengan demikian daya lekat lebih kuat dan laju oksidasi berkurang.
Serbuk bahan pelapis dan reactive element dicampurkan dan dihaluskan
menggunakan ball mill selama 3 jam dan 8 rps dengan tujuan agar serbuk pelapis
tersebut menjadi lebih homogen dan memiliki ukuran yang lebih halus dan kecil.
Gambar 3.5 Serbuk Pelapis
44
3.4.3 Proses Pelapisan
Substrat yang telah disiapkan sebelumnya dilakukan proses blasting
alumina selama 5 menit agar pori-pori substrat terbuka dan mudah menerima dan
berikatan dengan serbuk pelapis sehingga didapatkan lapisan yang kuat. Sementara
itu serbuk pelapis yang sudah dicampurkan dan dihaluskan menggunkan ball mill
dimasukan ke powder feeder dan meletakan substrat pada dudukan sampel agar
substrat mudah ditembak saat proses pelapisan menggunkana metode High Velocity
Oxy Fuel (HVOF).
Gambar 3.6 Substrat sebelum dilapisi
Sebelum melakukan pelapisan maka dilakukan pengaturan gas pada mesin
High Velocity Oxy Fuel (HVOF) terlebih dahulu yaitu,
Tabel 3.1 Pengaturan gas High Velocity Oxy Fuel (HVOF)
No Spray Parameter Tekanan
1 N2 4.8 bar
2 O2 8.2 bar
3 Propane 5.2 bar
4 Putaran Kompres Air 4 bar
45
Setelah semunya siap baik substrat maupun serbuk pelapis maka dilakukan
pre-heating sebelum penembakan dengan High Velocity Oxy Fuel (HVOF) selama
1 menit, pre-heating dilakukan agar serbuk pelapis mudah terbakar dan proses
penembakan dilakukan selama 20 detik/substrat dengan temperatur 1150°C.
Gambar 3.7 Proses Penembakan Substrat
Setelah substrat dilapisi dengan merata maka dilakukan pendinginan di
ruang terbuka hingga substrat kembali pada temperatur normal, dan substrat yang
sudah dilapisi ditimbang massanya menggunakan timbangan digital 6 digit serta
difoto menggunakan kamera digital.
Gambar 3.8 Substrat setelah dilapisi.
46
3.4.4 Proses Heat Treatment
Substrat yang sudah dilapisi dengan serbuk NiCoCrAlY dan reactive
element (Hafnium 0.25%) selanjutnya diberikan perlakuan heat treatment, tujuan
dari proses heat treatment adalah agar lapisan pada substrat menjadi lebih homogen
dan merata serta adanya rekristalisasi pada lapisan yang diharapkan lebih tahan
terhadap korosi.
Sampel dipersipakan terlebih dahulu dan diletakan pada ceramic crucible
dengan penyangga kawat agar sampel dapat berdiri dengan tegak sehingga aliran
gas N2 dan panas saat proses heat treatment dapat megalir dengan merata. Proses
heat treatment dilakukan pada temperatur 1100°C selama 4 jam dan ditahan selama
30 menit saat temperatur mencapai 1100°C dengan aliran gas N2 di dalam
Horizontal Heated Furnace.
Gambar 3.9 Sampel Sebelum Proses Heat Treatment
Setelah proses heat treatment selesai maka sampel ditimbang menggunkan
timbangan digital 6 digit untuk mengetahui perubahan massa sampel setelah proses
47
heat treatment dan difoto menggunakan kamera digital agar perubahan warna dapat
diamati baik sebelum maupun sesudah proses heat treatment.
Gambar 3.10 Sampel Setelah Proses Heat Treatment
3.4.5 Proses Oksidasi
Proses oksidasi dilakukan untuk mengetahui ketahanan sampel terhadap
korosi suhu tinggi, proses oksidasi dilakukan pada temperatur 1000°C selama 100
jam. Mula-mula memanaskan sampel di dalam muffle furnace merk MTI
Corporation KSL-1700X dari temperatur ruang (30o C) hingga mencapai
temperatur 1000o C kemudian menahan pada temperatur tersebut selama satu jam.
Kemudian menurunkan kembali temperatur sampel hingga mencapai temperatur
ruang. Lalu mengeluarkan sampel dari muffle furnace merk MTI Corporation KSL-
1700X, untuk menimbang sampel agar diketahui penambahan massa sampel yang
serta mengambil gambar sampel menggunkan kamera digital untuk mengetahui
perubahan warna yang terjadi selama proses oksidasi.
48
Gambar 3.11 Sampel Di Dalam Muffle Furnace
Selanjutnya memasukkan kembali sampel ke dalam muffle furnace merk
MTI Corporation KSL-1700X, memanaskan kembali hingga mencapai 1000o C,
dan menahan selama 4 jam. Sehingga total waktu oksidasi adalah 1 jam ditambah
4 jam yakni 5 jam. Setelah waktu tahan selesai, kembali menurunkan temperatur
furnace, kemudian kembali mengeluarkan, menimbang sampel dan memotretnya.
Begitu seterusnya hingga durasi total oksidasi mencapai 100 jam. Pola waktu tahan
pengujian oksidasi hingga mencapai 100 jam ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 3.12 Pola Waktu Tahan Pengujian Oksidasi
Tem
per
atu
r (o
C)
30
1000
Waktu (jam)
10 1 10 4 16 15 20 24
49
Setelah pengujian oksidasi selesai, dilanjutkan dengan membuat kurva laju
pertumbuhan oksida dengan memplot data perubahan massa sampel tiap satuan luas
terhadap waktu yang diperoleh selama pengujian oksidasi.
Gambar 3.13 Sampel Hastelloy C-276 Setelah Proses Oksidasi 100 Jam
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Perlakuan
a. Variasi sampel yang mendapatkan perlakuan : sampel yang mendapatkan
proses heat treatment dan tanpa proses oksidasi, sampel yang mendapatkan
proses heat treatment dan mendapatkan proses oksidasi.
3.5.2 Variabel Pengujian
a. Analisa morfologi sampel : SEM
b. Analisa fasa yang terbentuk pada sampel : XRD
50
3.6 Karakterisasi Struktur Mikro
Karakterisasi untuk mengetahui struktur mikro dalam penelitian ini
meliputi: Scanning Electron Microscopy (SEM) dan X-Ray Diffraction (XRD)
3.6.1 SEM
SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan bertujuan untuk melihat
penampakan mikrostruktur sampel, ukuran butir serta komposisi. Sebelum proses
SEM berlangsung, sampel harus dipreparasi terlebih dahulu. Proses preparasi
adalah proses pelapisan (coating) sampel dengan menggunakan tembaga (Cu) yang
bertujuan untuk menyelaraskan koefisien refleksi antara logam (sampel dengan
resin). Pelapisan tembaga dilakukan dengan metode electroplating menggunakan
elektroda tembaga dan larutan elektrolit Cu plating dengan rapat arus 100
mA/sampel pada temperatur ruang selama kurang lebih 20 jam.
Tabel 3.2 Komposisi Larutan Elektrolit Cu-Plating
Bahan Formula Konsentrasi
Tembaga Sulfat CuSO4 50 g/500 ml
Asam Sulfat H2SO4 50 ml/500 ml
Setelah sampel terlapisi tembaga dilanjutkan dengan mencetak sampel
menggunakan resin dalam cetakan khusus. Lalu memotong sampel dan
mengampelas sampel menggunakan abbrasive paper grit #100, #400, #800, #1200,
51
#1500, #2000, dan #3000. Kemudian dilanjutkan dengan polishing sampel
menggunakan kain beludru menggunakan mesin polisher dan alumina
micropolisher. Polishing dilakukan hingga permukaan sampel halus dan mengkilat
seperti cermin.
Gambar 3.14 Sampel Hastelloy C-276 Setelah Proses Cu Plating
3.6.2 XRD
Pengujian XRD adalah suatu metode pengujian untuk mengetahui fasa yang
terdapat di sistem lapisan NiCoCrAlY dengan menggunakan suatu mesin yang
disebut dengan mesin diffractometer. Pengujian ini hanya dilakukan dengan
padatan kristal, hal ini dikarenakan padatan kristal memiliki susunan atom yang
teratur dibandingkan amorf. Pada pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui
fasa yang terbentuk di lapisan sampel
Pada dasarnya pembentukkan XRD adalah karena adanya sebuah elektron
yang menembak sebuah logam tabung hampa karena adanya perbedaan potensial
yang begitu besar antara katoda dan anoda.
52
Hasil pengujian ini berupa peak, di mana peak ini menggambarkan fasa
yang terdapat dalam sebuah material. Fasa terkuat (dominan) akan membentuk
sebuh peak paling tinggi diantara fasa-fasa lainnya.
53
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Perubahan Massa Setelah Pengujian Ketahanan Oksidasi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan oksidasi sistem lapisan
NiCoCrAlY pada material Hastelloy C-276 pada temperatur 1000°C selama 100
jam terhadap pola pembentukan struktur mikro pada permukaan substrat setelah
dilapisi NiCoCrAlY, baik yang tidak mendapatkan perlakuan oksidasi maupun
yang mendapatkan perlakuan oksidasi. Setelah sampel mendapatkan perlakuan
oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam ternyata sampel mengalami
penambahan massa, hal ini disebabkan oleh oksigen yang berdifusi ke dalam
sampel selama proses oksidasi berlangsung. Setelah proses oksidasi, penambahan
massa pada sampel sebesar 0.346421 mg/cm2. Adapun kurva penambahan massa
pada sampel dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini.
Gambar 4.1 Kurva Penambahan Massa Pada Sampel Setelah Oksidasi
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0 20 40 60 80 100
Pe
nam
bah
an M
assa
(m
g/cm
2)
Durasi Okasidasi (Jam)
54
Adapun penambahan massa mulai terjadi setelah proses pengujian
ketahanan oksidasi selama 1 jam yakni sebesar 0,064751 mg/cm2, dan setelah
pegujian selama 5 jam sampel mendapatkan penambahan massa yang paling sedikit
yakni sebesar 0,021583821 mg/cm2, dari semula pengujian 1 jam sebesar 0,064751
mg/cm2 berubah menjadi 0,086335 mg/cm2, hal ini dikarenakan durasi waktu
pengujian yang masih singkat sehingga proses difusi oksigen tidak terjadi dalam
waktu yang lama. Namun ketika pengujian ditingkatkan kembali menjadi 15 jam,
ternyata sampel menunjukan perubahan massa sebesar 0,073384991 mg/cm2 dari
pengujian 5 jam 0,086335 mg/cm2 berubah menjadi 0,15972 mg/cm2, peningkatan
massa terus terjadi hingga pada pengujian 31 jam sebesar 0,051800726 mg/cm2,
dari pengujian 15 jam sebesar 0,15972 mg/cm2 bertambah menjadi 0,211521
mg/cm2, dan penambahan massa sebesar 0,048563596 mg/cm2 terjadi pada saat
pengujian 46 jam, dari penambahan sebelumnya sebesar 0,211521 mg/cm2
bertambah menjadi 0,260085 mg/cm2, kemudian penambahan massa semakin
meningkat dan penambahan massa pada saat pengujian 66 jam sebesar 0,05719696
mg/cm2 dari semula 0,260085 mg/cm2 bertambah menjadi 0,317282 mg/cm2.
Penambahan massa paling besar terjadi pada saat pengujian 90 jam yakni sebesar
0,072306 mg/cm2, dari semula 0,317282 mg/cm2 berubah menjadi 0,389588
mg/cm2, hal ini terjadi dikarenakan waktu pengujian yang cukup panjang
dibandingkan waktu pengujian yang lain di mana sampel ditahan pada temperatur
1000°C selama 24 jam sehingga dengan durasi penahanan temperatur yang cukup
lama, memungkinkan adanya oskigen yang berdifusi dalam jumlah yang banyak
dibandingkan saat pengujian pada durasi waktu yang lain. Dan saat pengujian 100
55
jam, penambahan massa yang teradi adalah sebesar 0,021584035 mg/cm2 dari
semula 0,389588 mg/cm2 berubah menjadi 0,411172 mg/cm2, penambahan massa
pada saat pengujian 100 jam semakin menurun dibandingkan pengujian
sebelumnya, padahal durasi waktu pengujian sampel pada temperatur 1000°C
adalah selama 10 jam, namun penambahan massa yang terjadi pada saat pengujian
100 jam hampir sama kecilnya dengan penambahan massa ketika pengujian 5 jam
di mana pada saat pengujian 100 jam dan 5 jam hanya memiliki selisih 0,000000214
mg/cm2. Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa pada saat pengujian
ketahanan oksidasi selama 100 jam, sampel mulai menunjukan penurunan
penambahan massa yang diindikasikan adanya lapisan oksida protektif pada sistem
lapisan NiCoCrAlY yang mampu menahan oksigen untuk berdifusi dengan lapisan
NiCoCrAlY sehingga mampu melindungi substrat dari serangan oksidasi. Dari
hasil penambahan massa pada sampel setelah uji oksidasi, kurva cenderung
membentuk kurva parabolik jika pengujian dilakukan dengan rentang waktu yang
lebih lama. Dengan demikian lapisan mampu menahan difusi oksigen lebih lanjut
karena adanya produk oksida yang protektif seperti 𝛼-Al2O3. Secara umum total
penambahan massa yang terjadi pada sampel setelah proses pengujian ketahanan
oksidasi selama 100 jam pada temperatur 1000°C adalah 0.346421 mg/cm2.
4.2 Pengamatan Visual Selama Proses Oksidasi
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual terlihat perubahan warna pada
sampel sebelum dan sesudah dioksidasi. Adapun gambar perubahan warna pada
sampel dapat dilihat pada gambar 4.2. Permukaan logam umumnya mengalami
56
oksidasi kita berada di udara pada temperatur ruang dan membentuk lapisan oksida
sangat tipis (lapisan kusam). Oksidasi kering ini sangat terbatas dan hanya merusak
sebagian kecil permukaan substrat metalik dan umumnya bukan merupakan
masalah yang gawat. Namun pada temperatur tinggi, hampir semua logam dan
paduan bereaksi dengan lingkungan di sekitarnya dengan laju yang cukup berarti
dan membentuk lapisan oksida tebal (kerak) yang tidak bersifat melindungi [24].
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
57
(g) (h) (i)
Gambar 4.2 Gambar Perubahan Warna Pada Sampel Setelah Oksidasi (a) 0 jam
(b) 1 jam (c) 5 jam (d) 15 jam (e) 31 jam (f) 46 jam (g) 66 jam (h) 90 jam (i) 100
jam
Penampilan sampel saat sebelum proses pengujian ketahanan oksidasi
terlihat nampak lebih hitam mengkilat, hal ini disebabkan oleh proses heat
treatment. Dan perubahan warna pada sampel saat setelah pengujian selama 1 jam
belum begitu nampak terlihat hal tersebut dikarenakan belum begitu banyak
oksigen yang berdifusi dengan lapisan NiCoCrAlY. Namun setelah pengujian
selama 5 jam hingga 31 jam dapat diamati ternyata sampel mulai mengalami
perubahan warna yang cukup signifikan, di mana warna sampel berubah menjadi
lebih ke abu-abuan dan tidak hitam pekat seperti sebelumnya. Hal ini menunjukan
bahwa dengan waktu pengujian yang semakin lama maka semakin banyak pula
oksigen yang berdifusi dengan lapisan NiCoCrAlY. Penampilan sampel setelah
pengujian selama 46 jam, 66 jam, 90 jam, dan 100 jam warna sampel menjadi lebih
abu-abu pekat hal tersebut dimungkinkan karena durasi waktu pengujian yang
semakin panjang, sehingga oksigen yang berdifusi dengan lapisan NiCoCrAlY
semakin banyak dan merubah penampilan warna dari sampel.
58
4.3 Struktur Mikro Lapisan NiCoCrAlY Sebelum Dan Sesudah Oksidasi
Pengamatan struktur mikro lapisan NiCoCrAlY menggunakan SEM-EDX
(Scanning Electrom Microscopy) dan Difraksi Sinar-X ( X-Ray Diffraction ) untuk
melihat struktur mikro dan fasa yang terbentuk pada permukaan substrat Hastelloy
C-276 setelah dilapisi NiCoCrAlY, baik yang tidak mendapatkan perlakuan
oksidasi maupun yang mendapatkan perlakuan oksidasi.
4.3.1 Hasil Karakterisasi SEM-EDX (Scanning Electrom Microscopy)
Pengujian SEM-EDX (Scanning Electrom Microscopy) dalam penelitian ini
bertujuan untuk melihat morfologi dan komposisi unsur dari Hastelloy C-276 yang
telah dilapisi NiCoCrAlY dan untuk mengetahui pengaruh proses heat treatment
pada temperatur 1100°C selama 4 jam terhadap struktur mikro lapisan NiCoCrAlY
dan pengaruh proses oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam.
Gambar 4.3 Hasil SEM Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 500 Kali
Sebelum Proses Oksidasi
59
Gambar 4.4 Hasil SEM Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 500 Kali
Setelah Proses Oksidasi
Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscopy) terhadap permukaan sampel sebelum dan sesudah pengujian oksidasi,
dapat dilihat bahwa permukaan sampel sebelum pengujian oksidasi terlihat lebih
homogen dan gumpalan pada permukaan lapisan NiCoCrAlY dapat terlihat lebih
jelas, ini disebabkan sampel belum mengalami proses oksidasi. Sedangkan
permukaan sampel setelah pengujian oksidasi terlihat tidak homogen dan gumpalan
pada permukaan lapisan NiCoCrAlY terlihat lebih hancur. Hal ini disebabkan
sampel mengalami oksidasi dan ada oksigen yang berdifusi ke dalam permukaan
sampel sehingga merusak permukaan sampel.
Adapun untuk komposisi unsur yang terkandung di dalam lapisan
NiCoCrAlY sebelum proses oksdasi terdapat pada gambar 4.5.
60
Gambar 4.5 Point Analysis Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 1000
Kali Sebelum Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Tabel 4.1 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Sebelum Proses Oksidasi
Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Unsur
Atomic Percentage (%)
1 2 3 4 5 6 7
Al 30.00 35.64 57.89 13.43 1.99 8.26 0.42
O 62.95 56.46 20.79 61.10 61.32 59.76 61.61
Cr 6.22 1.53 18.14 13.43 33.73 31.49 37.97
Co 0.83 1.41 1.55 1.47 1.90 0.49 -
Ni - - - - 1.06 - -
Y - - 1.63 - - - -
61
Berdasarkan hasil point analysis pada permukaan lapisan NiCoCrAlY
sebelum proses oksidasi dapat diketahui telah terjadi oksidasi. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya unsur oksigen yang tinggi di titik 1, 2, 4, 5, 6, dan 7.
Oksidasi itu sendiri terjadi saat proses pelapisan dengan teknik High Velocity
Oxygen Fuel (HVOF) karena dilakukan pada temperatur 1150°C sehingga
memungkinkan terjadinya oksidasi pada temperatur tersebut, namun oksidasi hanya
terjadi pada lapisan permukaan dan oksigen tidak berdifusi ke dalam lapisan
NiCoCrAlY. Pada titik 3 kadar oksigen yang teridentifikasi ialah paling kecil
dibandingkan pada titik-titik lainnya dan teridentifikasi adanya unsur yttrium, di
mana Yttrium adalah bahan tambahan pada pelapis sebagai reactive element yang
berfungsi sebagai penstabil dan penambah daya lekat dari lapisan oksida protektif
yang telah terbentuk, sehingga menjadi lebih kuat. Dengan teridentifikasinya unsur
yttrium dan kandungan oksigen yang paling sedikit pada titik 3, membuktikan
bahwa penambahan reactive element telah berhasil mengurangi laju oksidasi di titik
3. Pada titik 3 oksidasi terhenti pada saat kadar oksigen mencapai 20,79%,
sementara pada titik-titik yang lain oksidasi baru terhenti saat kadar oksigen
mencapai di atas 50% .
Adapun untuk komposisi unsur yang terkandung di dalam lapisan
NiCoCrAlY setelah proses oksidasi terdapat pada gambar 4.6.
62
Gambar 4.6 Point Analysis Permukaan Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran 1000
Kali Setelah Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Tabel 4.2 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Setelah Proses Oksidasi Setelah
Dikarakterisasi SEM-EDX
Unsur
Atomic Percentage (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
Al 3.94 9.38 3.30 11.50 35.53 5.04 5.91 4.86
O 64.57 54.42 61.68 58.45 49.98 52.77 53.88 67.87
Cr 19.66 18.28 21.59 18.39 9.26 23.35 26.32 18.87
Co 5.87 7.32 7.52 5.55 2.83 9.76 7.53 4.63
Ni 5.96 10.60 5.91 6.51 2.41 9.09 7.18 3.78
63
Berdasarkan gambar 4.6 dan tabel 4.2 dapat diketahui telah terjadi oksidasi
pada lapisan NiCoCrAlY. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya unsur oksigen
yang tinggi di semua titik dan sampel sudah teroksidasi sebelumnya pada saat
proses pelapisan dengan teknik High Velocity Oxygen Fuel (HVOF) karena
dilakukan pada temperatur 1150°C. Oksidasi paling banyak terjadi pada daerah
yang gelap hal tersebut dibuktikan dengan adanya kandungan unsur aluminium
yang paling besar pada titik 5, di mana titik 5 merupakan daerah yang paling gelap
di antara titik-titik yang lain. Kandungan unsur aluminium pada titik 5 sebesar
35.53%.
Adapun hasil karakterisasi penampang melintang dengan menggunakan
SEM dapat dilihat pada gambar 4.7
Gambar 4.7 Hasil SEM Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran
100 Kali Sebelum Proses Oksidasi
64
Gambar 4.8 Hasil SEM Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Perbesaran
100 Kali Setelah Proses Oksidasi
Berdasarkan hasil SEM penampang melintang pada lapisan NiCoCrAlY
sebelum dan sesudah proses oksidasi, dapat diamati bahwa sebelum proses oksidasi
sistem lapisan NiCoCrAlY terlihat lebih homogen dibandingkan dengan sistem
lapisan NiCoCrAlY setelah oksidasi. Setelah proses oksidasi sistem lapisan
NiCoCrAlY lebih tebal dibandingkan sebelum proses oksidasi. Hal ini disebabkan
adanya difusi oksigen ke dalam sistem lapisan NiCoCrAlY selama proses oksidasi.
Pada permukaan sistem lapisan NiCoCrAlY sesudah proses oksidasi terlihat adanya
butiran-butiran yang diperkirakan merupakan produk oksida yang terbentuk selama
proses oksidasi. Meskipun bagian permukaan sistem lapisan NiCoCrAlY
teroksidasi, substrat yang dilindungi oleh lapisan tersebut sama sekali tidak
teroksidasi dan hanya membentuk garis-garis halus, hal tersebut dikarenakan batas
65
butir yang mengecil setelah proses oksidasi dan membentuk garis-garis yang
tampak pada substrat. Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa sistem lapisan
NiCoCrAlY telah berhasil melindungi substrat dari kerusakan akibat oksidasi.
Hasil point analysis penampang melintang pada sampel baik sebelum
maupun setelah proses oksidasi dapat dilihat pada gambar 4.9 dan 4.10. Hasil
analisa SEM dan EDS menunjukan bahwa sistem lapisan terdiri dari dua layer:
layer yang paling bawah adalah daerah substrat dan layer bagian atas adalah daerah
sistem lapisan NiCoCrAlY yang berdifusi dengan O2.
Gambar 4.9 Point Analysis Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Sebelum
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
66
Tabel 4.3 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Penampang Melintang Sebelum
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Unsur Position (%at)
Unsur Position (%at)
Unsur Position (%at)
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
O 0.62 1.40 23.23 57.56 3.87 O 2.77 4.74 2.30 O 2.94
Al 7.59 5.37 37.95 33.39 27.49 Al 0.47 0.23 0.61 Al 0.42
Cr 22.02 22.57 10.80 4.89 21.76 Cr 21.28 28.47 20.36 Cr 17.99
Co 36.26 37.06 10.28 2.45 26.88 Ni 61.21 33.83 63.09 Co 0.33
Ni 33.51 33.60 17.20 1.72 20.01 Mo 12.67 29.88 11.98 Ni 67.56
Mo - - 0.55 - - W 1.60 2.86 1.66 Mo 9.24
W 1.52
Berdasarkan hasil point analysis penampang melintang lapisan NiCoCrAlY
sebelum proses oksidasi dapat diamati bahwa secara umum kadar oksigen pada
lapisan NiCoCrAlY lebih tinggi dibandingkan dengan kadar oksigen pada substrat.
Hal ini disebabkan oleh teroksidasinya lapisan NiCoCrAlY pada saat proses
pelapisan dengan teknik High Velocity Oxygen Fuel (HVOF) karena dilakukan
pada temperatur 1150°C. Namun pada substrat juga terindikasi adanya unsur
oksigen pada beberapa titik. Hal ini menunjukan kemungkinan terdifusinya atom
oksigen ke dalam substrat ketika proses pelapisan dilakukan. Adapun ketebalan
sistem lapisan yang terbentuk adalah berkisar 100 𝜇m. Adapun hasil point analysis
penampang melintang pada sampel setelah proses oksidasi dapat dilihat pada
gambar 4.10
67
Gambar 4.10 Point Analysis Penampang Melintang Lapisan NiCoCrAlY Setelah
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Tabel 4.4 Komposisi Unsur Lapisan NiCoCrAlY Penampang Melintang Setelah
Proses Oksidasi Setelah Dikarakterisasi SEM-EDX
Unsur Position (%at)
Unsur Position (%at)
Unsur Position (%at)
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
O 3.20 0.62 2.21 55.20 6.24 1.75 O 2.54 O 2.91
Al 6.34 4.55 5.08 39.46 5.59 95.27 Al 0.71 Al 0.59
Cr 22.24 23.30 23.38 1.53 19.22 0.81 Cr 20.80 Cr 20.96
Co 35.86 37.85 36.77 2.08 38.53 1.10 Ni 64.36 Co 1.44
Ni 32.36 33.68 32.56 1.74 30.42 0.83 Mo 10.18 Ni 63.16
Hf - - - - - 0.25 W 1.41 Mo 9.62
W 1.32
68
Berdasarkan hasil point analysis penampang melintang lapisan NiCoCrAlY
setelah proses oksidasi dapat diamati bahwa lapisan NiCoCrAlY teroksidasi dengan
ditunjukan adanya kandungan unsur oksigen yang lebih besar dibandingan
kandungan unsur oksigen pada substrat. Hal ini menunjukan sistem lapisan
NiCoCrAlY telah berhasil melindungi substrat dari oksidasi lebih lanjut.
Kandungan oksigen yang terkandung dalam substrat diperkiran berasal dari
oksidasi yang terjadi ketika proses pelapisan dilakukan bukan berasal dari proses
oksidasi pada saat pengujian ketahanan oksidasi. Secara umum titik-titik yang
terletak pada permukaan lapisan mengalami oksidasi lebih banyak dibandingkan
titik yang terletak di dalam lapisan. Hal ini ditunjukan oleh kadar oksigen pada
masing-masing titik. Namun pada titik 6, meskipun posisinya berada pada
permukaan lapisan kadar oksigen yang terdeteksi cukup rendah apabila
dibandingkan titik-titik yang lain. Hal ini disebabkan adanya unsur hafnium yang
berperan sebagai reactive element sehingga oksidasi di titik tersebut berjalan lebih
lambat dan terhenti ketika kadar oksigen mencapai 1,75%.
Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa sistem lapisan NiCoCrAlY
telah berhasil melindungi substrat dari kerusakan akibat oksidasi dan reactive
element yang ditambahkan sebesar 0,25% terbukti mampu membuat lapisan lebih
stabil dan lebih kuat sehingga tahan terhadap serangan oksidasi.
69
4.3.2 Hasil Karakterisasi XRD (X-Ray Difractometer)
Karakterisasi XRD dilakukan untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk
secara kualitatif baik sebelum pengujian oksidasi maupun setelah pengujian
oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam. Karakterisasi XRD dilakukan
dengan cara menganalisis pola difraksi sinar-x. Proses identifikasi pola difraksi
sinar-x bahan aktif dilakukan dengan menggunakan alat uji XRD dengan merek
Rigaku tipe Smart Lab, dimana menggunakan CuK-𝛼 sebagai sumber cahaya
dengan mengaplikasikan scanning speed 2o/menit dengan rentang sudut 10o sampai
90o dan menggunakan perangkat lunak highscore plus untuk menganalisa fasa
secara kualitatif.
Gambar 4.11 Pola Difraksi XRD Sampel Sebelum dan Sesudah Oksidasi
70
Sampel sebelum pengujian oksidasi menunjukan adanya produk oksidasi
berupa fasa NiCrO4 dan Cr2O3, hasil ini diperkuat oleh hasil analisa point analysis
permukaan menggunakan SEM-EDX di mana sampel mengandung unsur oksigen
yang cukup tinggi. Selain produk oksidasi ternyata pada sampel sebelum pengujian
oksidasi teridentifikasi fasa Ni3Al dan fasa ini sesuai dengan hasil analisa point
analysis penampang melintang menggunakan SEM-EDX di mana teridentifikasi
unsur Ni dan Al yang cukup tinggi. Fasa Ni3Al adalah fasa intermetalik yang cukup
protektif terhadap serangan oksidasi, adapun dengan adanya fasa produk oksidasi
menunjukan bahwa sampel sebelum pengujian oksidasi telah teroksidasi
sebelumnya, yakni ketika proses pelapisan menggunakan metode High Velocity
Oxy Fuel (HVOF) karena proses pelapian tersebut dilakukan pada temperatur
1150°C. Selama proses pelapisan sampel menggunakan metode High Velocity Oxy
Fuel (HVOF) dengan sistem lapisan NiCoCrAlY telah terjadi reaksi oksidasi antara
fasa intermetalik NiCr dan fasa Cr dengan O2 dengan persamaan setengah reaksi
redoks, sebagai berikut:
NiCr NiCr8+ + 8e- (5.1)
Cr Cr3+ + 3e- (5.2)
O2 + 4e- 2O2- (5.3)
Proses oksidasi dimulai dengan pelepasan elektron oleh fasa NiCr dan Cr
sehingga menghasilkan ion NiCr4+ dan Cr3+ yang akan mereduksi gas O2 menjadi
ion O2-. Ion-ion yang terbentuk akan saling berikatan dengan persamaan reaksi,
sebagai berikut:
71
NiCr8+ + 4O2- NiCrO4 (5.4)
2Cr3+ + 3O2- Cr2O3 (5.5)
Maka selama proses pelapisan, unsur pelapis seperti Ni cenderung berubah
bentuk menjadi Ni3Al, CrNi, dan NiO.
Adapun fasa yang teridentifikasi pada sampel setelah mendapatkan
pengujian oksdiasi ialah CrNi, Ni3Al, Al2O3, NiO, CrO, Cr2O3, NiCr2O4. Selama
pengujian oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam terjadi reaksi oksidasi,
sebagai berikut:
Ni Ni2+ + 2e- (5.6)
Cr Cr2+ + 2e- (5.7)
NiCr8+ Ni4+ + Cr4+ (5.8)
Al Al3+ + 3e- (5.9)
Ni4+ + 2e- Ni2+ (5.10)
Cr4+ + e- Cr3+ (5.11)
Ni2+ + 2Cr3+ + 4O2- NiCr2O4 (5.12)
O2 + 4e- 2O2- (5.13)
Unsur Ni yang awalnya memiliki bilangan oksidasi 4+ dalam fasa NiCrO4
mengalami reduksi menjadi 2+, sedangkan unsur Cr yang bilangan oksidasi
awalnya 4+ tereduksi menjadi 3+ sehingga total bilangan oksidasi pada fasa NiCrO4
menurun. Selain itu unsur Ni dan Cr dalam lapisan teroksidasi menjadi ion Ni2+ dan
72
Cr2+. Fasa NiCrO4 akan berikatan dengan ion Cr2+, sementara ion Ni2+ akan
berikatan dengan ion O2- dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
NiCrO4 + Cr2+ NiCr2O4 + e- (5.14)
Ni2+ + O2- NiO (5.15)
Cr2+ + O2- CrO (5.16)
2Al3+ + 3O2- Al2O3 (5.17)
Fasa yang paling mendominasi ialah Ni3Al yang berada pada sudut 2θ
35,84°, 44,15°, 51,48°, 75,73°, hal tersebut didukung oleh hasil analisa point
analysis baik permukaan maupun penampang melintang di mana teridentifikasi fasa
Ni dan Al yang cukup tinggi. Fasa Al2O3 juga teridentifikasi pada sudut 2θ 35,84°,
dan 75,73° di mana fasa Al2O3 adalah lapisan yang protektif sehingga mampu
melindungi substrat dari serangan oksidasi lebih lanjut, dan sesuai dengan analisa
SEM permukaan, di mana terdapat kandungan unsur Al dan O yang cukup
seimbang di daerah yang lebih gelap. Hal tersebut menunjukan bahwa lapisan
NiCoCrAlY terbukti mampu melindungi substrat Hastelloy C-276 dari serangan
oksidasi.
Fasa-fasa yang teridentifikasi pada sampel baik sebelum pengujian oksidasi
maupun setelah pengujian oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam beserta
posisi sudut 2θ dapat dilihat lebih jelas pada tabel 4.5 di bawah ini.
73
Tabel 4.5 Posisi 2θ dan Fasa yang Teridentifikasi
Sampel 2𝛉 Fasa
Sebelum Oksidasi
24,02 NiCrO4, Cr2O3,
43,91 CrNi, Ni3Al, NiCrO4
51,13 CrNi, NiCrO4, Cr2O3
75,41 CrNi
Setelah Oksidasi
24,02 Cr2O3, NiCr2O4
35,84 Ni3Al, Al2O3, NiO
37,39 CrO
44,15 CrNi, Ni3Al, CrO
51,48 CrNi, Ni3Al, Cr2O3
63,49 NiCr2O4
75,73 CrNi, Ni3Al, Al2O3
74
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Sistem lapisan NiCoCrAlY mampu melindungi substrat Hastelloy C-276
dari serangan oksidasi pada temperatur 1000°C selama 100 jam. Hasil ini
didukung oleh hasil point analysis SEM baik permukaan maupun secara
cross section dan didukung oleh hasil karakterisasi XRD di mana terdapat
fasa Al2O3 yang bersifat protektif dan melindungi lapisan dari serangan
oksidasi.
2. Lapisan oksida protektif Al2O3 tumbuh di atas permukaan lapisan
NiCoCrAlY di daerah yang lebih gelap. Hasil ini didukung oleh hasil
karakterisasi SEM permukaan baik sampel sebelum pengujian oksidasi
maupun sampel setelah pengujian oksidasi, di mana kandungan unsur Al
dan O cenderung setimbang dibandingkan di permukaan daerah yang lebih
terang.
3. Fasa-fasa yang teridentifikasi dari sistem lapisan NiCoCrAlY sebelum
pengujian oksidasi adalah CrNi, Ni3Al, NiCrO4 dan Cr2O3. Di mana fasa
CrNi dan NiCrO4 yang paling mendominasi.
4. Fasa-fasa yang teridentifikasi dari sistem lapisan NiCoCrAY setelah
pengujian oksidasi adalah CrNi, Ni3Al, Al2O3, NiO, CrO, Cr2O3, dan
75
NiCr2O4. Di mana fasa Ni3Al yang paling mendominasi dibandingkan fasa
yang lain.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian sistem lapisan NiCoCrAlY pada substrat Hastelloy
C-276 yang telah dilakukan, saran untuk penelitian selanjutnya adalah :
1. Dalam proses pengujian ketahanan oksidasi, muffle furnace sudah harus
dalam keadaan optimum.
2. Dalam proses pendinginan setelah penahanan temperatur pada 1000°C,
harus dipastikan bahwa temperatur di dalam muffle furnace sudah di bawah
temperatur ruang sebelum sampel dikeluarkan dari dalam muffle furnace.
3. Alumina rodstick dan crucible harus selalu diperhatikan baik sebelum
maupun sesudah pengujian oksidasi agar sampel teroksidasi secara merata.
4. Pengamatan visual pada sampel harus lebih diperhatikan, agar nampak
perubahan yang jelas di setiap pengujian oksidasi.
5. Alumina rodstick, muffle furnace, dan crucible harus selalu dibersihkan dari
pengotor sebelum digunakan kembali untuk melakukan pengujian
ketahanan oksidasi.
76
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bandriyana, Bernardus dkk. 2004. Ketahanan Korosi Baja Anti Karat Pada
Operasi Suhu Tinggi. Fakutas Teknik, UBiNus Jakarta.
[2] Kusriantoko, Parindra. 2013. Pengaruh komposisi komposit Al2O3/YSZ dan
variasi feed rate terhadap ketahanan termal dan kekuatan lekat pada YSZ-
Al2O3/YSZ double layer TBC untuk aplikasi pada nosel roket. Fakultas
Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November.
[3] W. Brandl, G. Marginean, D. Maghet, D. Utu. 2004. Effects of specimen
treatment and surface preparation on the isothermal oxidation behaviour of
the HVOF-sprayed MCrAlY coatings. University of Applied Sciences
Gelsenkirchen, Germany.
[4] Triharto, Dandi Panggih. 2010. Studi ketahanan korosi SUS 316L, SUS
317L, SUS 329J, dan Hastelloy C-276 dalam asam asetat yang mengandung
ion bromida. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
[5] Dewi, Aprilia Kurnia. 2009. Mikrostruktur permukaan Baja JIS S45C hasil
difusi paska pelapisan HVOF –Thermal spray coating. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
[6] Gordon England. Nature of thermal spray coating coatings. Gambar diakses
pada hari rabu, 08 Juli 2015 dari http://www.gordonengland.co.uk/tsc.htm.
77
[7] M.N Task, et al. 2013. The effect of microstructure on the type II hot
corrosion of Ni-Base MCrAlY alloys. Departement of Mechanical
Engineering and Materials Science, University of Pittsburgh, USA.
[8] Oerlikon Metco. 2014. Material product data sheet DSMTS -0092.5-
CoNiCrAlY powders.
[9] R. Prescott, and M.J. Graham, The formation of alumina oxide scales on
high-temperature alloys, Oxidation of Metals, 38 (3-4), pp. 233-254, 1992.
[10] S. Bose, High temperature coatings, Elsevier, Amsterdam, 2007.
[11] Y. Tamarin, Protective coatings for turbine blades, ASM International,
Ohio, 2002.
[12] Nan Mu. 2007. High temperature oxidation behavior of 𝛾 − 𝑁𝑖 + 𝛾′- Ni3Al
alloys and coatings modified with Pt and reactive elements. Iowa State
University. Ames Iowa
[13] Strawbridge and P.Y. Hou. 1994. The role of reactive elements in oxide
scale adhesion, Materials at High Temperatures, 12 (2-3) 177-181
[14] V.A.C. Haanappel and M.F. Stroosnijder.1999. Ion implantation technique
as research tool for improving oxidation behaviour of TiAl based
intermetallic alloys, Surface Engineering, 15 (2) 119-125
[15] G. Schumacher, et al. 1999. Improvement of the oxidation resistance of
gamma titanium aluminides by microalloying with chlorine using ion
implantation, Materials and Corrosion 50, 162-165
78
[16] Denny A. Jones. 1992. Principle and Prevention of Corrossion. Macmillan
Publishing Company. USA.
[17] Kr. Trethewey and J. Chamberlin. 1991. Ahli bahasa oleh Alex Tri Kanjtono
Widodo. Korosi. Jakarta: PT Gramedia.
[18] Callister, Jr. William, D. 2007. An introduction materials science and
engineering seventh edition. Departement of metallurgical engineering. The
university of Utah
[19] Lawrence H. Van Vlack, Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material, h.
541.
[20] P. J. Gellings, Introduction to Corrosion Prevention and Control
(Enschede: T.pn., 2005), h. 97-98.
[21] Supab Choopun, dkk., “Metal-Oxide Nanowires by Thermal Oxidation
Reaction Technique, Nanowires,” gambar diakses pada 28 April 2014 dari
http://www.intechopen.com/books/nanowires/metal-oxide-nanowires-by-
thermal-oxidation-reaction-technique.
[22] L. Reimer. 1998. Scanning electron microscope second edition page 2.
Springer – Verlag.
[23] Linode.com. 2011. Australian learning and teaching council. Gambar
diakses pada hari selasa, 07 Juli 2015 jam 23.10 WIB.
[24] R.E. Smallman dan R.J. Bishop. 2000. Modern physical metallurgy and
materials engineering 6th edition. Bandung: Erlangga.