KARAKTERISTIK SEMEN SEGAR, MORFOLOGI, DAN...
Transcript of KARAKTERISTIK SEMEN SEGAR, MORFOLOGI, DAN...
KARAKTERISTIK SEMEN SEGAR, MORFOLOGI, DAN PENGUJIAN KEUTUHAN MEMBRAN PLASMA
SPERMATOZOA KELINCI LOP DAN REX
INNES MAULIDYA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Semen Segar, Morfologi, dan Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa Kelinci Lop dan Rex adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Innes Maulidya B04080117
ABSTRACT
INNES MAULIDYA. B04080117. Characteristics of Raw Semen, Sperm Morphology, and Plasma Membrane Integrity Test of Lop and Rex Rabbits. Directed by Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, MSi.
The study was conducted to investigate the quality of semen between Lop and Rex breed. Semen samples was collected by using artificial vagina and evaluated macro and microscopically. The evaluation included semen volume, pH, consistency, color, mass movement, motility, individual scores, concentration, and viability. The sperm morphology was examination using carbofuchsin eosin staining and the plasma membran integrity was determine using Hypo-Osmotic Swelling test (HOS test). Hypo-Osmotic solution was modified by mixing fructose and sodium citrate into three different osmotic pressure: 50, 100, and 150 mOsm/kg. All data were analyzed statistically using analysis of variance (ANOVA), whereas the data from HOS test were analyzed using completely randomized design (CRD) with three factor patterns. The result showed that mass movement, motility, and individual scores of Rex’s sperm was superior compare than Lop’s, but there were no difference in other parameters. The respons of plasma membrane integrity showed that Rex’s sperm was faster (15 minute) compare than Lop’s (30 minute). This fact may relate to the composition structure of the plasma membrane and seminal plasma.
Key words: Rabbit, Lop, Rex, membrane integrity, semen, sperm
RINGKASAN
INNES MAULIDYA. B04080117. Karakteristik Semen Segar, Morfologi, dan Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa Kelinci Lop dan Rex. Dibimbing oleh oleh Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, MSi.
Penelitian dilakukan untuk mempelajari kualitas semen dari kelinci Lop dan Rex. Sampel semen dikoleksi menggunakan vagina buatan, semen lalu dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi yang dilakukan meliputi pemeriksaan volume semen, pH, konsistensi, warna semen, gerakan massa, motilitas, skor individu, konsentrasi, dan viabilitas. Morfologi spermatozoa diwarnai menggunakan pewarnaan Williams dan keutuhan membran plasma spermatozoa diuji dengan Hypo-Osmotic Swelling test (HOS test). Larutan hipoosmotik yang digunakan merupakan campuran Fruktosa dan Natrium sitrat bertekanan osmotik 50, 100, dan 150 mOsm/kg. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA, sedangkan data HOS test dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola tiga faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan massa, motilitas, dan skor individu spermatozoa kelinci Rex berbeda (P<0.05) dengan kelinci Lop, tetapi tidak berbeda (P>0.05) untuk parameter lainnya. Pada pengujian membran plasma utuh (MPU), spermatozoa kelinci Rex berespon (coil) 15 menit lebih cepat dibandingkan kelinci Lop. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan komposisi struktur membran plasma dan plasma semen.
Kata kunci: Kelinci, Lop, Rex, keutuhan membran, semen, spermatozoa
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK SEMEN SEGAR, MORFOLOGI, DAN PENGUJIAN KEUTUHAN MEMBRAN PLASMA
SPERMATOZOA KELINCI LOP DAN REX
INNES MAULIDYA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Judul Skripsi : Karakteristik Semen Segar, Morfologi, dan Pengujian Keutuhan
Membran Plasma Spermatozoa Kelinci Lop dan Rex
Nama : Innes Maulidya
NRP : B04080117
Disetujui,
Pembimbing
Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, MSi NIP. 19600804 198103 2 001
Mengetahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Drh. H. Agus Setiono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohiim
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Karakteristik Semen Segar, Morfologi, dan Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa Kelinci Lop dan Rex” dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
mengarahkan, membimbing, dan membantu penulis selama ini. 2. Drh. Muhidin Nurdin selaku dosen penilai seminar serta kepada Drh. Adi
Winarto Ph.D PAVet dan Dr. drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang telah diberikan.
3. Dr. drh. Amrozi selaku dosen pembimbing akademik penulis atas segala bimbingannya selama ini.
4. Bapak Ekon Maludi, Bapak Sinto, dan karyawan Indira Farm dan Istana Kelinci yang telah menyediakan kelinci sebagai sampel dalam penelitian serta menyediakan tempat untuk melakukan penelitian.
5. Dr. drh. Amrozi selaku kepala Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) FKH IPB yang telah memberikan izin penelitian di laboratorium Fisiologi Reproduksi, serta kepada Bapak Bondan dan segenap staf URR atas bantuan yang diberikan selama penelitian.
6. Staf laboratorium Embriologi dan Histologi atas bantuannya. 7. Ayah, Ibu, Dila, Vira, dan seluruh keluarga besar penulis yang telah
memberikan do’a, semangat, dan kasih sayangnya kepada penulis. 8. Adit Fahrizal atas do’a dan dukungan yang diberikan. 9. Teman-teman satu penelitian, Irena, Rice, dan Rizal yang telah membantu
penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 10. Sahabatku Sarah, Ulan, dan Tia atas dukungan dan kebersamaannya. 11. Amink, Desray, Hana, Fara, dan rekan-rekan Avenzoar 45 atas
kebersamaannya selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2012
Innes Maulidya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 Oktober 1990 dari pasangan Bapak Ekon Maludi dan Ibu Widyawati Noor. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Sindang Barang 2 pada tahun 2002, sekolah menengah pertama di SMPN 6 Bogor pada tahun 2005, sekolah menengah atas di SMAN 5 Bogor pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB memilih Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKF), Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwa Liar FKH IPB, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kabinet Katalis periode 2009-2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................................ 2 Manfaat ...................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 3 Tinjauan Umum Kelinci ............................................................................ 3 Fisiologi Semen ......................................................................................... 6 Evaluasi Semen .......................................................................................... 6 Morfologi Spermatozoa ............................................................................. 7 Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa ................................ 9 MATERI DAN METODE .................................................................................. 10 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 10 Materi Penelitian ........................................................................................ 10 Metode Penelitian ...................................................................................... 10 Persiapan Kelinci .................................................................................. 10 Persiapan Vagina Buatan dan Koleksi Semen ...................................... 10 Evaluasi Semen ..................................................................................... 11 Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa ................................................... 13 Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa ........................... 14 Analisis Data .............................................................................................. 14 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 15 Karakteristik Semen Segar Kelinci Lop dan Rex ...................................... 15 Morfologi Spermatozoa Segar Kelinci Lop dan Rex ................................ 18 Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa ................................................. 28 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 35 Simpulan .................................................................................................... 35 Saran .......................................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36 LAMPIRAN ........................................................................................................ 40
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Karakteristik semen segar kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan ....................................................................... 15 2 Jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%) ................................................. 19 3 Jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%) ................................................. 24 4 Morfologi kepala dan ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%) ................................................. 27 5 MPU semen segar kelinxi Lop dan Rex pada beberapa tekanan osmotik yang diinkubasi selama satu jam (%) ............................................ 29 6 Waktu optimal pengujian MPU semen segar kelinci Lop dan Rex pada beberapa larutan hipoosmotik ...................................................................... 32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kelinci Lop .................................................................................................. 4 2 Kelinci Rex .................................................................................................. 5 3 Struktur Spermatozoa (Adellman & Cahill 1989) ....................................... 8 4 Komponen vagina buatan (kiri) dan vagina buatan (kanan) ........................ 11 5 Proses pewarnaan eosin nigrosin ................................................................. 12 6 Kamar hitung Neubauer dan bidang hitungnya ........................................... 13 7 Hasil koleksi semen kelinci ......................................................................... 16 8 Spermatozoa hidup (kepala berwarna putih) dan spermatozoa mati (kepala berwarna merah, tanda panah), pewarnaan eosin nigrosin ............. 18 9 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex ................................................................................................. 20 10 Morfologi kepala spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abnormal contour, (c) KA defect, (d) detached head, (e) macrocephalus, (f) microcephalus, (g) narrow, (h) taperred, (i) pearshaped, (j) round head (perbesaran 1000X) ............................................................................. 22 11 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex ................................................................................................. 25 12 Morfologi ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abaxial tail, (c) bowed midpiece, (d) DMPR abnormality, (e) teratoid form, (f) bent PP, (g) coiled PP, (h) double tail (perbesaran 1000X) ......... 26 13 Respon spermatozoa (coil) saat terpapar larutan hipoosmotik (tanda panah) .......................................................................................................... 30 14 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 50 mOsm/kg .................................................................. 31 15 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 100 mOsm/kg ................................................................ 31 16 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 150 mOsm/kg ................................................................ 32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Karakteristik semen segar kelinci Lop ........................................................ 41 2 Karakteristik semen segar kelinci Rex ........................................................ 42 3 Persentase MPU semen segar kelinci Lop ................................................... 43 4 Persentase MPU semen segar kelinci Rex ................................................... 43 5 Tekanan osmotik semen segar kelinci Lop dan Rex ................................... 44
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini, kelinci menjadi salah satu hewan kesayangan yang semakin
digemari di Indonesia. Berbagai breed kelinci mulai dibudidayakan untuk
memenuhi berbagai keperluan, seperti pemanfaatan daging, kulit dan rambut,
serta sebagai hewan laboratorium dan hewan kesayangan (Sarwono 2001).
Berdasarkan perbedaan ukuran tubuh, warna dan panjang rambut, pertumbuhan,
serta manfaat satu dengan lainnya, terdapat lebih dari 72 breed kelinci yang
tersebar luas di dunia termasuk di Indonesia. Beberapa breed kelinci yang banyak
diketahui, dipelihara, dan dibudidayakan oleh peternak Indonesia antara lain
kelinci Angora, Lop, Flemish Giant, Rex, Dutch, English Spot, Himalayan, Lion
Head, Satin, Nederland Dwarf, New Zealand, Hotot, Harlequine, Tan, Polish,
Havana, Chinchila, dan Californian.
Diantara berbagai breed kelinci yang ada, kelinci Lop dan Rex memiliki ciri
khas tersendiri yang membedakannya dengan kelinci breed lain. Ciri khas kelinci
Lop terletak pada telinga yang menggantung dari pangkal kepala hingga samping
pipi dengan ujung membulat, tidak seperti kelinci pada umumnya yang memiliki
telinga tegak (Sarwono 2001). Ciri khas ini menyebabkan kelinci Lop terlihat lucu
dan menarik sehingga digemari banyak orang sebagai kelinci hias. Kelinci Lop
juga dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging karena ukurannya yang besar.
Kelinci Rex memiliki ciri khas pada rambutnya yang halus dan lembut seperti
beludru (Sarwono 2001). Karena keindahan rambutnya, breed kelinci ini banyak
dibudidayakan sebagai penghasil rambut untuk bahan pembuatan jaket dan
aksesoris pakaian. Kelinci Rex juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan
kesayangan dan penghasil daging.
Potensi besar yang dimiliki kelinci Lop dan Rex harus dimanfaatkan dengan
baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan potensi tersebut adalah dengan
mengetahui potensi reproduksi jantan kedua breed kelinci yang dipengaruhi oleh
organ reproduksi, libido, dan kualitas semen yang diejakulasikan (Togun &
Egbunike 2006). Semen merupakan sekresi dari organ kelamin jantan yang terdiri
atas spermatozoa dan plasma semen (Garner & Hafez 2000). Pemeriksaan
terhadap kualitas semen merupakan upaya untuk mengetahui fertilitas hewan
2
jantan. Pemeriksaan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan
secara makroskopis terdiri atas pengukuran volume semen, konsistensi, warna,
dan pH semen, sedangkan pemeriksaan secara mikroskopis terdiri atas gerakan
massa, gerakan individu, motilitas, konsentrasi, viabilitas, dan morfologi
spermatozoa.
Spermatozoa terdiri atas dua bagian, yaitu kepala dan ekor (Garner & Hafez
2000). Keseluruhan bagian ini dibungkus oleh membran plasma yang berfungsi
sebagai pelindung terhadap perubahan lingkungan, unsur transport dari dalam ke
luar sel atau sebaliknya (Pinto & Kozink 2008), serta menjaga intergritas biokimia
dan struktur spermatozoa (Amorim et al. 2009). Membran plasma yang
mengalami kerusakan akan menyebabkan terganggunya komponen-komponen
dalam spermatozoa seperti akrosom di bagian kepala yang mengandung enzim-
enzim penting untuk fertilisasi ataupun mengganggu mitokondria jika kerusakan
terjadi pada bagian ekor. Kerusakan dapat menyebabkan terjadinya penurunan
fungsi membran plasma sehingga penurunan kualitas spermatozoa dapat terjadi.
Mengingat pentingnya fungsi membran plasma, maka dilakukan pengujian
terhadap keutuhan membran plasma dengan uji khusus yang disebut Hypo-
Osmotic Swelling test (HOS test).
Pengujian terhadap keutuhan membran plasma spermatozoa telah banyak
dilaporkan pada berbagai hewan, antara lain pada kambing (Fonseca et
al. 2005), sapi (Correa & Zavos 1994), babi (Zou & Yang 2000), kuda (Neild et
al. 1999), dan manusia (Jayendran et al. 1984), akan tetapi pengujian ini masih
jarang dilakukan pada kelinci.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik semen segar baik
secara makroskopis dan mikroskopis, terutama morfologi dan keutuhan membran
plasma spermatozoa kelinci Lop dan Rex.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
karakteristik semen segar baik secara makroskopis dan mikroskopis, terutama
morfologi dan keutuhan membran plasma spermatozoa kelinci Lop dan Rex.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Kelinci
Kelinci yang banyak diternakkan saat ini berasal dari kelinci liar
(Orytolagus cuniculus) yang telah mengalami domestikasi, tersebar di kawasan
Afrika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Chili, serta pulau-pulau di Pasifik
dan Atlantik. Klasifikasi kelinci adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae
Sub famili : Leporine
Genus : Lepus, Pentalagus, Bunolagus, Nesolagus, Romerolagus,
Brachylagus, Sylvilagus, Oryctolagus, dan Poelagus.
Spesies : Lepus spp., Pentalagus spp., Bunolagus spp., Nesolagus spp.,
Romerolagus spp., Brachylagus spp., Sylvilagus spp.,
Oryctolagus spp., dan Poelagus spp.
Di Indonesia khususnya Pulau Jawa, kelinci pada mulanya merupakan
ternak hias yang dipelihara oleh Belanda. Pada perkembangannya, kelinci mulai
meluas ke kalangan rakyat biasa dan banyak diternakkan oleh petani-petani di
daerah pegunungan. Breed kelinci pertama yang diternakkan di Indonesia adalah
Nederland Dwarf yang pada awalnya merupakan usaha sambilan berskala kecil.
Pada tahun 1980, pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pemeliharaan kelinci
sebagai sumber daging, akan tetapi usaha ini tidak berjalan mulus seperti di
daerah Eropa dan Asia.
Berdasarkan bobotnya, kelinci dewasa dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu
tipe kecil, sedang, dan besar. Ketiga tipe tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Tipe kecil (small and dwarf breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai
ternak biasa atau sebagai hewan kesayangan karena sifatnya yang jinak dan
mudah dipelihara. Memiliki bobot 0.9-2 kg dan dewasa kelamin pada 4-6
bulan. Beberapa breed kelinci tipe kecil antara lain Lop Dwarf, Dutch, Polish,
dan English Angora.
4
2. Tipe sedang (medium breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai penghasil
daging, bulu, dan kulit. Bobotnya adalah antara 2-4 kg. Mencapai dewasa
kelamin pada umur 7-8 bulan. Beberapa breed kelinci tipe sedang antara lain
Rex, New Zealand White, English spot, dan Californian.
3. Tipe berat (giant breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai penghasil
daging, bulu, dan kulit seperti tipe sedang. Bobot yang dapat dicapai adalah
hingga 8 kg. Kelinci tipe ini mencapai dewasa kelamin pada umur 10-12 bulan.
Beberapa breed kelinci tipe berat antara lain Flemish Giant dan Giant
Chinchilla (Sarwono 2001).
Terdapat lebih dari 72 breed kelinci yang tersebar luas di dunia. Beberapa
breed kelinci yang sudah dibudidayakan di Indonesia, antara lain:
1. Kelinci Lop
Kelinci Lop memiliki kepala lebar, mata hitam, serta tubuh kompak dan
padat. Ciri khas kelinci Lop terletak pada telinga yang menggantung dari pangkal
kepala hingga samping pipi dengan ujung membulat, tidak seperti kelinci pada
umumnya yang memiliki telinga tegak (Gambar 1). Perubahan posisi telinga
terlihat setelah usia kelinci 2-4 bulan. Ciri khas ini yang menyebabkan kelinci Lop
terlihat lucu dan menarik sehingga digemari banyak orang sebagai kelinci hias.
Gambar 1 Kelinci Lop.
5
Lop melahirkan 6-8 ekor anak setiap kali bunting. Kemampuan beranak tiap
induk cukup besar, yaitu mencapai 36 ekor per tahun. Anak Lop tumbuh cepat dan
berdaging padat. Rata-rata bobot anak setelah berumur 65 hari adalah 1.8 kg dan
bobot dewasa mencapai 4.5-5 kg, karenanya Lop juga banyak diternakkan untuk
diambil dagingnya (Sarwono 2001). Beberapa jenis kelinci Lop antara lain
English Lop, Holland Lop, Dwarf Lop, American Fuzzy Lop, Angora Lop, dan
French Lop. Diantara beberapa jenis kelinci Lop tersebut, English Lop merupakan
jenis yang paling terkenal, berwarna kuning, coklat, dan hitam kekuning-
kuningan.
2. Kelinci Rex
Kelinci Rex memiliki proporsi tubuh yang baik dengan bagian belakang
membulat, tulang kuat, kepala lebar, dan telinga tegak. Ciri khas kelinci Rex
terletak pada rambutnya yang halus dan lembut seperti beludru dengan panjang
hingga 1.27 cm. Karena keindahan rambutnya, kelinci ini banyak dibudidayakan
sebagai penghasil rambut selain sebagai kelinci hias. Rambut Rex yang eksotis
digunakan sebagai bahan baku pembuatan jaket atau aksesoris pakaian. Bobot
dewasa Rex dapat mencapai 2.7-3.6 kg. Ukurannya yang besar juga dimanfaatkan
peternak Rex untuk diambil dagingnya (Sarwono 2001).
Gambar 2 Kelinci Rex.
6
Kelinci Rex melahirkan 6-7 ekor anak setiap kali bunting dan setiap tahun
kelinci ini dapat melahirkan hingga 6 kali. Warna rambut kelinci Rex sangat
bervariasi antara lain putih, hitam, biru, ungu merah muda (Lilac), coklat emas
(Nutria, Cinnamon), merah kuning keemasan, coklat gelap kehitam-hitaman
(Havana), bertotol (Dalmation), kombinasi hitam dan oranye (Harlequin), dan
seperti kucing Siam (Siamese Sable). Kelinci Rex yang paling terkenal adalah
White Rex, yang berambut putih mulus dan tebal. Kualitas rambutnya sangat baik,
lembut seperti beludru. Breed ini disebut juga Ermine Rex.
Fisiologi Semen
Semen merupakan sekresi dari organ kelamin jantan yang terdiri atas
spermatozoa dan plasma semen (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa pada semen
dihasilkan oleh testis dan dipengaruhi oleh hormon gonadotropin dan gonad,
sedangkan plasma semen merupakan campuran sekresi dari epididimis dan
kelenjar-kelenjar kelamin seperti kelenjar vesikularis dan prostat. Plasma semen
berperan dalam keberhasilan reproduksi karena digunakan sebagai media
transport dan energi bagi spermatozoa. Semen memiliki larutan buffer nitrat,
bikarbonat, kation, pH sedikit basa (7.3-7.8), dan tekanan osmotik yang hampir
sama dengan darah.
Evaluasi Semen
Semen yang telah dikoleksi segera mungkin dievaluasi untuk mengetahui
kuantitas dan kualitas semen sebelum semen itu digunakan. Hal ini karena hanya
semen dengan kualitas baik yang memiliki kemampuan fertilisasi yang tinggi.
Keberhasilan fertilisasi dari ejakulasi secara pasti hanya dapat ditentukan setelah
inseminasi, akan tetapi cara ini memakan waktu dan biaya. Karenanya, tes
laboratorium dikembangkan untuk memperkirakan kualitas in vitro dan
mengorelasikan parameter kualitas semen tersebut dengan kesuburan in vivo. Tes
laboratorium ini dapat digunakan untuk memprediksi kesuburan pejantan
(Rodríguez-Martínez 2003; Carluccio et al. 2004).
Menurut Freshman (2002), evaluasi semen mencakup gross evaluation,
pengukuran pH, motilitas, morfologi, konsentrasi spermatozoa, sitologi, kultur
semen, dan alkaline phosphate. Secara umum, evaluasi semen yang dilakukan
7
mencakup evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis,
volume semen, pH, konsistensi, dan warna semen dapat dinilai, sedangkan secara
mikroskopis, gerakan massa, motilitas, skor individu, konsentrasi, viabilitas, dan
morfologi dapat dinilai.
Morfologi Spermatozoa
Garner dan Hafez (2000) membagi spermatozoa menjadi dua bagian, yaitu
kepala dan ekor. Kepala spermatozoa berbentuk bulat, lonjong, dan pipih. Kepala
spermatozoa terdiri atas bagian akrosom anterior dan post akrosomal posterior.
Akrosom anterior dibungkus oleh tudung akrosom yang merupakan struktur
berupa dua lapis membran diantara plasma membran dan anterior kepala
spermatozoa. Kandungan tudung akrosom adalah akrosin, hyaluronidase, dan
enzim hidrolitik lainnya yang berfungsi untuk menembus ovarium dan membran
oosit. Kepala juga berisi kromosom atau untaian DNA (Barth & Oko 1989).
Ekor spermatozoa terdiri atas bagian penghubung (connecting piece), bagian
tengah (midpiece), bagian utama (principle piece), dan bagian ujung (endpiece).
Ekor terdiri atas aksonema yang tersusun oleh sembilan pasang mikrotubulus
yang melingkari 2 inti filament. Aksonema dibungkus oleh banyak mitokondria
yang berfungsi sebagai sumber energi bagi motilitas spermatozoa. Fruktosa yang
terkandung dalam semen merupakan sumber pembentuk adenosine triphosphate
(ATP) pada mitokondria. Ekor spermatozoa berfungsi sebagai penggerak
lokomosi dengan gelombang di daerah implantasi ekor kepala, mendorong
spermatozoa bergerak melalui uterus dan tuba Falopii hingga bertemu dan
berpenetrasi pada oosit (Schatten & Gheorghe 2007), keberhasilan fertilisasi
bergantung pada hal ini.
Kelainan terhadap morfologi spermatozoa atau abnormalitas secara alami
dapat ditemukan pada spermatozoa karena kurang sempurnanya proses dalam
organ reproduksi hewan. Abnormalitas dipicu oleh penyakit, heat stress,
perlakuan kriopreservasi, dan musim (Barth & Oko 1989). Tingginya persentase
spermatozoa abnormal berkorelasi dengan kesuburan pada kelinci (Lavara et al.
2005). Penilaian terhadap abnormalitas spermatozoa dibantu dengan pewanaan
William.
8
Barth dan Oko (1989) mengklasifikasikan abnormalitas spermatozoa ke
dalam dua kelompok, yaitu abnormalitas spermatozoa primer dan sekunder.
Abnormalitas spermatozoa primer merupakan abnormalitas yang terjadi pada
bagian kepala spermatozoa karena adanya kelainan saat proses spermatogenesis
dalam tubuli seminiferi. Abnormalitas spermatozoa primer meliputi pyriform
(pearshaped), narrow at the base (taperred), abnormal countour, undeveloped,
narrow, variable size (macrocephalus, microcephalus), double head, detached
head, dan diadem.
Gambar 3 Struktur spermatozoa (Adelman & Cahill 1989).
Abnormalitas spermatozoa sekunder terjadi pada bagian ekor akibat
kerusakan selama perjalanan spermatozoa melalui epididimis dan selama fase
ejakulasi atau setelah ejakulasi yang meliputi kesalahan penanganan dan
perlakuan terhadap spermatozoa seperti heat shock, pemanasan berlebihan, dan
karena kontaminasi urin, air, atau antiseptik (Chenoweth 2005). Abnormalitas
spermatozoa sekunder meliputi abaxial tail, coiled tails (simple bent, under the
head, double folded), dan abnormal midpiece. Abnormalitas dianggap serius
9
apabila abnormalitas spermatozoa primer yang ditemukan mencapai 18-20%
karena dapat menurunkan fertilitas (Barth & Oko 1989).
Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa
Seluruh bagian spermatozoa diselimuti oleh membran plasma yang
berfungsi sebagai pelindung terhadap perubahan lingkungan, sebagai unsur
transport dari dalam ke luar sel atau sebaliknya (Pinto & Kozink 2008), serta
menjaga integritas biokimia dan struktur spermatozoa (Amorim et al. 2009).
Keutuhan membran plasma akan menentukan kualitas spermatozoa. Hypo-
Osmotic Swelling test (HOS test) merupakan uji khusus yang digunakan untuk
mengetahui keutuhan membran plasma spermatozoa (Lodhi et al. 2008). Mocé et
al. (2004), Daader dan Seleem (2005), dan Safaah et al. (2008) menunjukkan
bahwa HOS test dapat digunakan untuk menilai hasil fertilisasi in vitro dari semen
kelinci.
Dasar dari HOS test adalah hukum osmosis. Saat spermatozoa terpapar oleh
medium hipoosmotik, bahan biokimia aktif pada spermatozoa akan meningkatkan
volume spermatozoa dengan mengalirkan air masuk ke dalam spermatozoa hingga
tercapai keseimbangan antara kompartemen dalam spermatozoa dengan
lingkungan ekstraseluler. Proses ini menyebabkan spermatozoa membengkak,
terjadi perubahan ukuran dan bentuk spermatozoa yang dapat dievaluasi
menggunakan mikroskop fase kontras (Cabrita et al. 1999; Fonseca et al. 2005).
Pembengkakan mudah teramati pada bagian ekor yang menunjukkan adanya
kebengkokan ekor (coil).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai April 2012 bertempat
di Indira Farm Hamtaro and Rabbit House, Istana Kelinci, dan di Unit
Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah vagina buatan, mikroskop
cahaya, gelas objek dan penutup, water bath, heating table, pH paper, pipet,
mikropipet, pipet Pasteur, counting chamber, tabung Eppendorf, stopwatch,
counter, termometer, termos, spoit, aluminium foil, dan bak pencuci.
Bahan yang digunakan antara lain semen kelinci yang berasal dari 3 ekor
kelinci Lop dan 3 ekor kelinci Rex (berbobot badan 2-2.5 kg dalam usia
produktif), 1 ekor kelinci Lop betina, 1 ekor kelinci Rex betina, alkohol, NaCl
0.9%, KY Jelly, larutan Hipoosmotik (Natrium Sitrat dan Fruktosa), bahan
pewarnaan Eosin Nigrosin, dan bahan pewarnaan Williams (alkohol absolut,
chloramin 0.5%, air destilasi, alkohol 95%, dan larutan Williams).
Metode Penelitian
Persiapan Kelinci
Kelinci jantan dipelihara dalam kandang individual, dipelihara juga kelinci
betina sebagai pemancing (teaser) di kandang lain.
Persiapan Vagina Buatan dan Koleksi Semen
Komponen vagina buatan, yaitu outer layer, inner linner, termometer,
tabung penampung, KY Jelly, spoit, dan karet disiapkan (Gambar 4). Inner linner
dimasukkan ke dalam outer layer dan diikat pada kedua ujungnya menggunakan
karet. Melalui lubang kecil pada outer layer, air hangat bersuhu 40oC dimasukkan
dengan menggunakan spoit hingga inner linner mengembang. KY jelly lalu
dioleskan pada sepertiga bagian depan vagina buatan. Tabung penampung
kemudian dipasangkan pada bagian belakang vagina buatan, sedangkan bagian
depan dibiarkan terbuka sebagai tempat penis intromisi (Gambar 4).
11
Daerah sekitar preputium kelinci dibersihkan dengan menggunakan NaCl
0.9%. Teaser kemudian dimasukkan ke dalam kandang pejantan atau didekatkan
dengan pejantan. Pejantan dibiarkan menaiki pemancing (mounting). Pada saat
yang bersamaan, vagina buatan diarahkan pada penis kelinci. Koleksi semen
dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 3 hari.
Gambar 4 Komponen vagina buatan (kiri) dan vagina buatan (kanan).
Evaluasi Semen
Evaluasi semen yang dilakukan meliputi evaluasi secara makroskopis dan
mikroskopis. Secara makroskopis, volume semen, pH, konsistensi, serta warna
semen dapat dinilai. Sedangkan secara mikroskopis, gerakan massa, motilitas,
skor individu, konsentrasi, viabilitas, dan morfologi spermatozoa dapat dinilai.
Evaluasi Makroskopis:
1. Warna dapat dinilai langsung dengan menggunakan indra penglihatan, akan
diperoleh warna putih, krem, atau kuning.
2. Volume dapat dilihat langsung dari skala yang ditunjukkan pada tabung
penampung.
3. Konsistensi didapatkan dengan menggoyangkan tabung berisi semen, akan
diperoleh hasil encer, sedang, atau kental.
12
4. pH dapat diketahui dengan membaca hasil pada pH paper yang dicelupkan
pada semen.
Evaluasi Mikroskopis:
1. Gerakan massa
Gerakan massa dapat dinilai dengan mengamati pergerakan spermatozoa
menyerupai gelombang pada mikroskop perbesaran 100X, yaitu dengan
meneteskan satu tetes semen ke atas permukaan gelas objek dan selanjutnya
dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan dilakukan minimal pada lima lapang
pandang berbeda. Hasil yang diperoleh adalah (+++), (++), (+), atau (-).
2. Skor individu dan Motilitas
Skor individu dan motilitas dapat dinilai dengan bentuan cairan isotonis
NaCl 0.9%. Satu tetes semen dicampurkan dengan empat tetes NaCl 0.9% dan
ditutup gelas penutup, lalu diamati di mikroskop perbesaran 400X. Skor
individu spermatozoa dinilai berdasarkan kecepatan pergerakan spermatozoa
(1-5), sedangkan motilitas dinilai berdasarkan banyaknya spermatozoa yang
bergerak progressive dan dinyatakan dalam persen (%). Pemeriksaan dilakukan
minimal pada lima lapang pandang berbeda.
3. Viabilitas
Viabilitas dinilai menggunakan bantuan pewarnaan Eosin Nigrosin. Satu
tetes spermatozoa dicampur dengan empat tetes pewarna Eosin Nigrosin lalu
diulas, difiksasi di atas meja pemanas, dan diamati di bawah mikroskop
perbesaran 400X. Sebanyak sepuluh lapang pandang spermatozoa dihitung.
Spermatozoa hidup akan memiliki kepala berwarna putih, sedangkan
spermatozoa mati akan memiliki kepala berwarna merah.
Gambar 5 Proses pewarnaan eosin nigrosin.
13
Perhitungan:
4. Konsentrasi Spermatozoa
Sebanyak 5 µL semen dicampurkan dengan 95 µL formol salin. Kemudian
campuran tersebut diteteskan pada counting chamber. Konsentrasi spermatozoa
adalah jumlah spermatozoa dalam counting chamber x 106 dengan satuan
spermatozoa per mL.
Gambar 6 Kamar hitung Neubauer dan bidang hitungnya.
Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa diwarnai dengan pewarnaan Williams. Dari sampel
semen segar yang ada, dibuat preparat ulas dan difiksasi di atas meja pemanas.
Preparat ulas yang telah siap kemudian dicuci dalam alkohol absolut selama 4
menit dan dikeringudarakan. Selanjutnya preparat dicelupkan berulang kali dalam
larutan chloramin 0.5% selama 1-2 menit atau hingga lendir (mucous) hilang dan
ulasan terlihat jernih. Preparat kemudian dicuci dalam air destilasi. Setelah itu
preparat dicelupkan dalam alkohol 95%. Selama 8-10 menit selanjutmya, preparat
diwarnai dengan larutan Williams. Langkah terakhir, preparat dicuci dengan air
mengalir hingga ulasan terlihat jernih dan dikeringkan.
Sebanyak sepuluh lapang pandang diperiksa dari preparat yang telah
diwarnai. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop cahaya perbesaran 400X.
14
Perhitungan:
Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa
Pengujian dilakukan menggunakan larutan campuran 0.735 g Natrium Sitrat
dan 1.351 g Fruktosa dalam 100 mL aquadest dan diatur tekanannya menjadi 50
mOsm/kg (TO50), 100 mOsm/kg (TO100), dan 150 mOsm/kg (TO150). Sebanyak
10 µL semen dari masing-masing kelinci dicampur dengan 2 mL larutan sesuai
perlakuan. Campuran kemudian diinkubasi dalam water bath (37oC) dan diamati
setiap 15 menit selama 1 jam. Pemeriksaan dilakukan dengan perbesaran 400X
pada sepuluh lapang pandang. Spermatozoa dengan membran plasma utuh akan
memperlihatkan kebengkokan ekor (coil).
Perhitungan:
Analisis Data
Data dianalisis secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)
dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat perbedaan antar breed. Data yang
diperoleh dari HOS test dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan pola tiga faktor, yaitu faktor breed, tekanan osmotik, dan waktu. Seluruh
data dianalisis menggunakan komputer dengan program SAS 9.1.3. Data disajikan
dalam bentuk rataan ± standar deviasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Semen Segar Kelinci Lop dan Rex
Evaluasi terhadap semen sangat diperlukan untuk memperoleh informasi
mengenai kualitas semen. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai pedoman
dalam upaya meningkatkan kualitas spermatozoa (Brun et al. 2002). Perbedaan
karakteristik semen pada berbagai inidividu dipengaruhi oleh breed, genetik,
pakan, status kesehatan, kondisi pemeliharaan, musim, umur, dan frekuensi
koleksi semen (Alvarino 2000).
Evaluasi semen dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan secara makroskopis meliputi pengukuran volume semen, konsistensi,
warna semen, dan pH, sedangkan pemeriksaan secara mikroskopis meliputi
pemeriksaan terhadap gerakan massa, motilitas, skor individu, konsentrasi,
viabilitas, dan morfologi spermatozoa (Tabel 1).
Tabel 1 Karakteristik semen segar kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan
Parameter Breed Lop Rex
Makroskopis Volume (mL) 0.47±0.23 0.44±0.24 Warna putih-krem putih-krem Konsistensi encer-kental encer-kental pH 7.28±0.44 7.38±0.19 Mikroskopis Gerakan Massa 2.33±0.71a 2.67±0.50b Motilitas (%) 40.00±9.35a 61.67±12.58b Skor Individu (0-5) 3.67±0.50a 4.00±0.43b Konsentrasi (106/mL) 123.89±107.67 280.56±237.71 Viabilitas (%) 47.94±15.02 61.40±18.10 Morfologi normal (%) 87.93±2.06 91.27±3.27 Morfologi abnormal (%) 12.07±2.06 8.73±3.27
Superskrip dengan notasi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Makroskopis
Volume semen yang diperoleh dari kelinci Lop dan Rex adalah sebanyak
0.47±0.23 mL dan 0.44±0.24 mL. Hasil ini menunjukkan bahwa volume kelinci
16
Lop lebih banyak dibandingkan kelinci Rex, tetapi secara statistik tidak berbeda
(P>0.05). Garcia-Tomas et al. (2006) memperoleh nilai yang lebih tinggi, yaitu
1.19±0.43 mL. Ogbuewu et al. (2009) dan El-Azim dan El-Kamash (2011) juga
memperoleh nilai yang lebih tinggi, yaitu sebesar 0.51-0.64 mL, akan tetapi nilai
tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil yang diperoleh dari penelitian.
Perbedaan volume yang diperoleh setiap peneliti terutama disebabkan karena
adanya perbedaan breed kelinci yang digunakan. Variasi umur, bobot badan,
status kesehatan dan reproduksi, kualitas pakan, serta frekuensi koleksi semen
juga berpengaruh terhadap volume semen yang dihasilkan (Johnson et al. 2000).
Gambar 7 Hasil koleksi semen kelinci.
Konsistensi dan warna semen yang teramati pada kelinci Lop dan Rex
adalah sama, yaitu encer hingga kental dengan semen berwarna putih hingga krem
(Gambar 7). Garner dan Hafez (2000) menjelaskan bahwa warna dan konsistensi
dipengaruhi oleh riboflavin (hasil sekresi kelenjar vesikularis) dan banyaknya
jumlah spermatozoa yang terkandung dalam semen. Kedua parameter ini dapat
digunakan untuk memprediksi secara cepat konsentrasi spermatozoa dalam
semen. Semen dengan konsistensi kental dan berwarna keruh menunjukkan bahwa
semen memiliki konsentrasi spermatozoa yang tinggi.
Sekresi prostat yang bersifat asam dan sekresi kelenjar vesikularis yang
bersifat basa berhubungan dengan pH semen. Pengukuran pH sangat penting
mengingat pH merupakan faktor pembatas kelangsungan hidup spermatozoa
17
dalam semen. Kelinci memiliki pH basa (El-Azim & El-Kamash 2011), pH yang
asam dapat menurunkan kelangsungan hidup spermatozoa. Adanya penimbunan
asam laktat (produk sampingan metabolisme spermatozoa) atau karena adanya
disfungsi dari salah satu atau kedua kelenjar aksesori pada saluran reproduksi
jantan dapat menyebabkan pH menjadi asam. Pada penelitian ini semen kelinci
Lop dan Rex memiliki pH yang sama (P>0.05), yaitu 7.28±0.44 dan 7.38±0.19.
Nilai ini hampir sama dengan pH kelinci Sinai dan Balady yang diteliti oleh El-
Azim dan El-Kamash (2011) dan Garcia-Tomas et al. (2006), yaitu 7.33 hingga
7.63. Perbedaan pH disebabkan karena perbedaan breed dan faktor lingkungan
termasuk pakan.
Mikroskopis
Gerakan massa merupakan gerakan spermatozoa dalam kelompok sehingga
membentuk gelombang menyerupai awan. Gerakan massa yang teramati pada
kelinci Rex dan Lop adalah 2.67±0.50 dan 2.33±0.71, kedua nilai ini berbeda
(P<0.05) secara statistika. Motilitas dan skor individu merupakan gerakan dan
kecepatan spermatozoa secara individual. Spermatozoa motil dan skor individu
pada kelinci Rex adalah 61.67±12.58% dan 4.00±0.43. Nilai ini berbeda (P<0.05)
dengan kelinci Lop, yaitu sebesar 40.00±9.35% dan 3.67±0.50.
Motilitas digunakan sebagai acuan kualitas semen dan indikasi fertilitas,
meskipun motilitas tidak secara langsung mempengaruhi hasil kebuntingan pada
teknik fertilisasi in vitro maupun intra cytoplasmic sperm injection (ICSI)
(Moghadam et al. 2005). Motilitas sangat erat hubungannya dengan fertilitas,
karena hanya spermatozoa yang memiliki motilitas progressive yang dapat
mencapai tempat terjadinya fertilisasi. Beberapa peneliti melaporkan hasil
pemeriksaan motilitas yang beragam. Kelinci New Zealand White memiliki
motilitas 74.50% (Ogbuewu et al. 2009), 60.27% (El-Haekam et al. 1992), dan
68.21% (El-Azim & El-Kamash 2011), Balady 63.21%, sedangkan Sinai 63.11%
(El-Azim & El-Kamash 2011). Perbedaan motilitas berhubungan dengan breed,
perlakuan, dan metode koleksi semen.
Konsentrasi semen kelinci Lop adalah 123.89±107.67 x 106/mL dan Rex
adalah 280.56±237.71 x 106/mL, tidak ada perbedaan (P>0.05) meskipun secara
rataan konsentrasi spermatozoa Rex lebih tinggi. Nilai konsentrasi kedua breed
18
tersebut hampir sama dengan laporan Garcia-Tomas et al. (2006), yaitu
245.35±227.08 x 106/mL. Perbedaan konsentrasi dipengaruhi oleh teknik koleksi
semen, breed, umur, dan status kesehatan hewan (Setiadi et al. 2006).
Viabilitas spermatozoa kelinci Lop (47.94±15.02%) lebih rendah daripada
kelinci Rex (61.40±18.10%), akan tetapi keduanya lebih rendah dibandingkan
dengan temuan Garcia-Tomas et al. (2006) dan El-Azim dan El-Kamash (2011),
yaitu sebesar 81.14-86.17% (Gambar 8).
Gambar 8 Spermatozoa hidup (kepala berwarna putih) dan spermatozoa mati (kepala berwarna merah, tanda panah), pewarnaan eosin nigrosin.
Seluruh parameter evaluasi dari kelinci Lop dan Rex yang diteliti
menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil penelitian lainnya.
Meskipun demikian, kedua kelinci tersebut terbukti fertil, karena secara in vivo
telah menghasilkan banyak anak melalui perkawinan alami. Sehingga
kemungkinan kualitas tersebut normal dan merupakan karakteristik dari semen
pada kedua kelinci tersebut.
Morfologi Spermatozoa Segar Kelinci Lop dan Rex
Morfologi spermatozoa menunjukkan kualitas semen serta status kesehatan
tubuli seminiferi dan epididimis. Kelainan pada morfologi atau abnormalitas dapat
terjadi pada sebagian atau seluruh bagian spermatozoa baik kepala, leher, atau
ekor. Abnormalitas spermatozoa secara alami dapat ditemukan akibat proses
spermatogenesis yang kurang sempurna. Abnormalitas spermatozoa yang tinggi
akan berdampak pada keberhasilan fertilisasi.
19
Abnormalitas Spermatozoa Primer
Abnormalitas pada bagian kepala spermatozoa atau abnormalitas
spermatozoa primer terjadi karena adanya kelainan saat proses spermatogenesis
dalam tubuli seminiferi (Chenoweth 2005). Abnormalitas spermatozoa primer
yang ditemukan adalah pearshaped, taperred, narrow, abnormal contour, round
head, macrocephalus, microcephalus, double head, knobbed acrosome defect (KA
defect), dan detached head (Tabel 2 dan Gambar 10).
Tabel 2 Jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%)
No Jenis abnormalitas L1 L2 L3 Rataan R1 R2 R3 Rataan 1 Pear shaped 0.65 1.14 0.00 0.60 ± 0.57 0.80 1.01 1.48 1.10 ± 0.35 2 Taperred 0.39 0.79 2.27 1.15 ± 0.99 0.11 1.44 0.74 0.77 ± 0.66 3 Narrow 2.60 1.75 2.56 2.31 ± 0.48 1.49 1.44 2.23 1.72 ± 0.44 4 Abnormal contour 1.69 1.23 2.84 1.92 ± 0.83 1.49 1.58 1.48 1.52 ± 0.06 5 Round head 0.78 0.79 0.57 0.71 ± 0.13 0.23 1.15 0.00 0.46 ± 0.61 6 Macrocephalus 0.13 0.70 0.85 0.56 ± 0.38 0.92 0.43 0.00 0.45 ± 0.46 7 Microcephalus 1.04 1.14 0.57 0.92 ± 0.31 0.69 0.72 0.74 0.72 ± 0.03 8 Double head 0.00 0.18 0.85 0.34 ± 0.45 0.00 0.00 0.00 0.00 ± 0.00 9 K A defect 0.91 1.40 0.00 0.77 ± 0.71 1.03 1.44 2.23 1.56 ± 0.61
10 Detached head 5.86 4.39 1.99 4.08 ± 1.95 2.63 3.60 2.60 2.94 ± 0.57 Ket : L (kelinci Lop), R (kelinci Rex)
Jenis abnormalitas spermatozoa primer yang paling banyak ditemukan pada
kedua breed kelinci adalah detached head, yaitu sebesar 4.08±1.95% pada kelinci
Lop dan 2.94±0.57% pada kelinci Rex. Detached head ditandai dengan kepala
spermatozoa tanpa ekor karena tidak sempurnanya membran plasma yang
menghubungkan bagian posterior kepala dengan basal ekor. Spermatozoa tanpa
ekor menyebabkan spermatozoa tidak dapat bergerak. Hal ini disebabkan karena
fungsi ekor adalah sebagai penggerak spermatozoa (Schatten & Gheorghe 2007).
Detached head diakibatkan oleh hipoplasia testis, degenerasi testis, atau akibat
peradangan pada ampula dan epididimis. Predisposisi kejadian detached head
adalah faktor genetik (McGowan et al. 1995). Secara fisiologis, abnormalitas
kepala tanpa ekor dapat terjadi terkait dengan pematangan sel sertoli (Shimomura
et al. 2008).
Abnormal contour dan KA defect merupakan jenis abnormalitas
spermatozoa primer yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan spermatozoa
20
dalam membuahi sel telur. Penyebab utama kedua jenis abnormalitas ini adalah
kelainan genetik (Barth & Oko 1989). Pada abnormal contour, terjadi perubahan
struktur kepala spermatozoa menjadi tidak rata dan tidak teratur. Adanya
perubahan struktur ini menyebabkan spermatozoa kehilangan kemampuannya
dalam melakukan fungsi fertilisasi (Barth & Oko 1989). Abnormalitas ini terjadi
karena degenerasi sel primordial pada tubuli seminiferi testis. Abnormal contour
pada kelinci Lop ditemukan sebesar 1.92±0.83%, sedangkan pada kelinci Rex
sebesar 1.52±0.06%.
Jenis abnormalitas KA defect ditandai dengan adanya lekukan ke bagian
dalam atau luar kepala spermatozoa pada daerah akrosom. Berlebihnya matriks
akrosomal dari kepala spermatozoa dan terlambatnya pembentukan fase
akrosomal saat spermiogenesis menjadi penyebab terjadinya KA defect (Barth &
Oko 1989). Struktur akrosom yang tidak utuh menyebabkan enzim-enzim pada
kepala spermatozoa tidak mampu menginduksi sel telur, akibatnya tidak ada
spermatozoa yang berhasil berpenetrasi masuk ke dalam zona pelusida
(Thundathil et al. 2000). Jenis abnormalitas ini ditemukan pada kelinci Lop
sebesar 0.77±0.71% dan 1.56±0.61% pada kelinci Rex.
Gambar 9 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa primer kelinci Lop dan Rex.
Jenis abnormalitas spermatozoa primer berikutnya adalah perubahan bentuk
kepala spermatozoa menjadi narrow, taperred, dan pearshaped. Ketiga bentuk
21
abnormalitas spermatozoa ini berpengaruh terhadap kemampuan fertilitas (Barth
& Oko 1989; Chenoweth 2005). Bentuknya yang berbeda, lebih kecil, dan
ramping menyebabkan pergerakan ketiga bentuk spermatozoa ini lebih
progressive. Hal ini dapat diamati pada saat pemeriksaan motilitas spermatozoa.
Pada kelici Lop dan Rex narrow ditemukan sebesar 2.31±0.48 dan 1.72±0.44%.
Narrow ditandai dengan penyempitan pada bagian kepala spermatozoa secara
menyeluruh karena tidak sempurnanya fase spermatosit primer dan tidak
meratanya penyebaran substansi spermatozoa pada daerah kepala.
Taperred memiliki morfologi yang hampir sama dengan narrow, akan tetapi
penyempitan pada taperred hanya terjadi pada bagian post akrosom dengan batas
yang tidak jelas. Persentase abnormalitas yang terjadi pada Lop dan Rex adalah
1.15±0.99 dan 0.77±0.66%. Pearshaped ditandai dengan pembesaran pada bagian
akrosom yang berisi kromatin dan penyempitan bagian post akrosom dengan
batasan yang jelas (Barth & Oko 1989). Abnormalitas ini disebabkan karena tidak
sempurnanya pembentukan akhir tudung akrosom akibat gangguan regulasi panas
dan hormonal pada testis saat proses spermiogenesis (McGowan et al. 1995).
Pearshaped bersifat genetik (Chenoweth 2005), pada kelinci Lop dan Rex
ditemukan sebesar 0.60±0.57 dan 1.01±0.35%.
Round head merupakan jenis abnormalitas kepala yang ditandai dengan
bentuk kepala spermatozoa menjadi bulat tanpa adanya batasan akrosom yang
jelas. Abnormalitas ini merupakan kelainan yang disebabkan karena faktor
genetik. Round head yang ditemukan pada kelinci Lop sebesar 0.71±0.13% dan
pada kelinci Rex sebesar 0.46±0.61%.
Variabel size adalah jenis abnormalitas spermatozoa primer yang ditandai
dengan ukuran kepala mengecil (microcephalus) atau membesar (macrocephalus).
Perbedaan ukuran kepala spermatozoa dipengaruhi oleh jumlah kromosom yang
dikandungnya. Abnormalitas jenis ini terjadi akibat defisiensi atau kelebihan
kromatin inti (bahan pembentuk kromosom) yang terjadi saat metafase pada fase
meiosis. Variabel size bersifat genetik, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan, adanya luka, demam, dan orchitis kronis (Barth & Oko
1989). Kedua jenis variabel size dapat menurunkan kemampuan fertilitas dari
spermatozoa.
22
Gambar 10 Morfologi kepala spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abnormal contour, (c) KA defect, (d) detached head, (e) macrocephalus, (f) microcephalus, (g) narrow, (h) taperred, (i) pearshaped, (j) roundhead (perbesaran 1000X).
a
g
fe
dc
b
j
h
i
23
Microcehalus dapat menyebabkan terlihatnya progressive movement saat
pemeriksaan motilitas spermatozoa akibat ukuran kepala yang kecil dan
kemampuan ekor yang meningkat, sedangkan macrocephalus dapat menyebabkan
melambatnya pergerakan spermatozoa karena ketidakmampuan ekor melakukan
pergerakan dengan ukuran kepala spermatozoa yang besar. Microcephalus dan
macrocephalus yang ditemukan pada kelinci Lop adalah sebesar 0.92±0.31% dan
0.56±0.38%, sedangkan pada kelinci Rex sebesar 0.72±0.03% dan 0.45±0.46%.
Jenis abnormalitas terakhir yang ditemukan adalah double head yang
ditandai dengan kepala ganda berukuran sama atau berbeda pada satu ekor.
Double head hanya ditemukan pada kelinci Lop, yaitu sebesar 0.34±0.45%.
Abnormalitas ini disebabkan karena kelainan genetik pada sel primordial dan
kesalahan pada saat spermiogenesis.
Tingginya abnormalitas spermatozoa primer pada semen berhubungan
dengan menurunnya fertilitas pejantan (Saacke 2008; Sarder 2004). Hal ini terjadi
karena kepala spermatozoa berisi nukleus sebagai pembawa materi genetik dan
acrosomal enzyme untuk melakukan fertilisasi.
Abnormalitas Spermatozoa Sekunder
Abnormalitas pada bagian leher dan ekor spermatozoa atau abnormalitas
spermatozoa sekunder terjadi setelah proses spermiasi, yaitu saat perjalanan
spermatozoa dari tubuli seminiferi testis menuju epididimis (Chenoweth 2005).
Pemeriksaan terhadap ekor dapat dengan mudah teramati saat melakukan evaluasi
motilitas spermatozoa, yaitu ditemukannya pergerakan spermatozoa tidak
progressive. Abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan adalah distal
midpiece reflex abnormality (DMPR abnormality), segmental aplasia of
mitokondrial sheat (SA mitokondrial), bowed midpiece, bent principal piece (bent
PP), coiled principal piece (coiled PP), abaxial tail, double tail, dan teratoid
forms (Tabel 3 dan Gambar 12).
Abaxial tail merupakan abnormalitas spermatozoa sekunder yang paling
banyak ditemukan pada kelinci Lop, yaitu sebesar 3.93±2.21%. Pada kelinci Rex,
abnormalitas ini hanya ditemukan sebesar 0.85±0.57%. Abaxial tail merupakan
abnormalitas genetik yang bersifat herediter (Barth & Oko 1989) dan tidak
mempengaruhi fertilitas karena kepala spermatozoa tetap utuh. Abaxial tail
24
dicirikan dengan letak pangkal ekor yang bergeser dari tengah kepala spermatozoa
ke samping dan membentuk fosa implantasi di tempat tersebut. Jenis abnormalitas
ini normal ditemukan pada babi (McIntosh 1990).
Tabel 3 Jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%) No Jenis abnormalitas L1 L2 L3 L R1 R2 R3 R
1 DMPR abnormality 0.28 1.01 2.03 1.10 ± 0.88 0.24 2.24 1.14 1.21 ± 1.00 2 SA mitokondrial 0.28 0.46 2.32 1.02 ± 1.13 1.53 2.39 0.00 1.19 ± 1.69 3 Bowed midpiece 1.38 1.47 4.35 2.40 ± 1.69 0.35 0.60 0.38 0.44 ± 0.13 4 Bent PP 0.69 0.46 2.61 1.25 ± 1.18 0.71 1.19 1.52 1.14 ± 0.41 5 Coiled PP 0.00 0.00 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 0.75 1.14 0.63 ± 0.58 6 Abaxial tail 5.67 4.68 1.45 3.93 ± 2.21 1.18 1.19 0.19 0.85 ± 0.57 7 Double tail 0.14 0.64 0.29 0.36 ± 0.26 0.12 0.30 0.00 0.14 ± 0.15 8 Teratoid forms 0.69 1.19 0.29 0.72 ± 0.45 0.47 0.15 0.95 0.52 ± 0.40
Ket : L (Kelinci Lop), R (Kelinci Rex)
Abnormalitas midpiece yang ditemukan adalah bowed midpiece dan DMPR
abnormality. Abnormalitas pada midpiece atau leher spermatozoa merupakan
abnormalitas genetik yang bersifat kongenital dan herediter (Chenoweth 2005).
Kedua abnormalitas ini terjadi akibat preparasi yang salah, proses abnormal
selama ejakulasi (Bloom 1968), dan tidak sempurnanya proses pematangan
spermatozoa (Barth & Oko 1989).
Bowed midpiece ditemukan pada kelinci Lop dan Rex sebesar 2.40±1.69
dan 0.44±0.13%. Bowed midpiece ditandai dengan adanya lengkungan
membentuk huruf U pada bagian leher spermatozoa, sedangkan DMPR
abnormality ditandai dengan melingkarnya leher spermatozoa. Bowed midpiece
tidak menyebabkan penurunan fertilitas, begitu juga DMPR abnormality. Kedua
jenis abnormalitas ini hanya menyebabkan penurunan motilitas karena terdapat
membran yang membungkus bagian leher yang melingkar. Pada kelinci Rex,
DMPR abnormality merupakan jenis abnormalitas sekunder yang paling banyak
ditemukan, yaitu sebesar 1.21±1.00%.
Abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan berikutnya adalah bent
PP dan coiled PP. Bent PP terjadi akibat disfungsi testis dan epididimis.
McGowan et al. (1995) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya bent PP adalah
25
akibat cold shock dan perbedaan tekanan osmotik dengan lingkungan. Bent PP
ditemukan pada kelinci Lop dan Rex sebesar 1.25±1.18% dan 1.14±0.41%.
Coiled PP ditandai dengan ekor yang menggulung sederhana pada bagian
ujung. Abnormalitas ini disebabkan karena preparasi yang kurang tepat dan
pematangan yang tidak sempurna pada spermatozoa (Barth & Oko 1989). Coiled
PP dapat menyebabkan terganggunya motilitas spermatozoa akibat adanya
membran yang membungkus bagian melingkar tersebut. Pada kelinci Lop coiled
PP tidak ditemukan, sedangkan pada kelinci Rex jenis abnormalitas ini ditemukan
sebesar 0.63±0.58%.
Gambar 11 Diagram persentase jenis abnormalitas spermatozoa sekunder kelinci Lop dan Rex.
Abnormalitas jenis SA mitokondrial ditemukan sebesar 1.02±1.13% pada
kelinci Lop dan 1.19±1.69% pada kelinci Rex. Abnormalitas ini bersifat serius
karena mitokondria diperlukan sebagai tempat mengkonversi adenosine
triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP) menjadi energi yang
diperlukan untuk pergerakan spermatozoa (Silva & Gadella 2006). Pergerakan
spermatozoa sangat berpengaruh terhadap fertilitas.
Double tail ditandai dengan adanya dua ekor pada satu kepala spermatozoa.
Sama halnya dengan double head, abnormalitas ini terjadi akibat kelainan genetik.
Pada kelinci Lop dan Rex, abnormalitas ini ditemukan sebesar 0.36±0.26% dan
0.14±0.15%. Teratoid form ditandai dengan adanya ekor di dalam kepala
26
spermatozoa. Teratoid form pada kelinci Lop dan Rex ditemukan sebesar
0.72±0.45% dan 0.52±0.40%. Teratoid form merupakan abnormalitas genetik dan
tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Gambar 12 Morfologi ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex (a) normal, (b) abaxial tail, (c) bowed midpiece, (d) DMPR abnormality, (e) teratoid form, (f) bent PP, (g) coiled PP, (h) double tail (perbesaran 1000X).
Tingginya abnormalitas spermatozoa sekunder dipengaruhi oleh ejakulasi
yang tidak sempurna dan akibat perlakuan yang tidak tepat saat koleksi semen,
seperti pemanasan, pendinginan, penambahan antibiotik, atau terkontaminasi zat
a b
e f
g h
dc
27
berbahaya (Barth & Oko 1989). Arifiantini dan Ferdian (2004) juga menjelaskan
bahwa kesalahan preparasi spermatozoa dapat menyebabkan peningkatan jumlah
abnormalitas spermatozoa sekunder yang ditemukan.
Abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kelinci Lop dan Rex tidak
berbeda (P>0.05), baik abnormalitas spermatozoa primer maupun sekunder. Hal
ini menunjukkan bahwa kualitas kedua breed kelinci jika dilihat dari tingkatan
abnormalitas yang teramati sama, meskipun jumlah abnormalitas pada kelinci Lop
lebih tinggi dibandingkan pada kelinci Rex.
Tabel 4 Morfologi kepala dan ekor spermatozoa kelinci Lop dan Rex yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (%)
Pejantan Kepala Ekor Total Spermatozoa Abnormal Normal Abnormal Normal Abnormal
L1 85.94 ± 5.92 14.06 ± 5.92 90.87 ± 6.12 9.13 ± 6.12 11.60 ± 3.49 L2 86.49 ± 8.16 13.51 ± 8.16 90.09 ± 6.79 9.91 ± 6.79 11.71 ± 2.55 L3 87.50 ± 1.69 12.50 ± 1.69 86.67 ± 8.71 13.31 ± 8.71 12.92 ± 0.59
Rata-Rata 86.64 ± 0.79 13.36 ± 0.79 89.21 ± 2.23 10.79 ± 2.23 12.07 ± 2.06 R1 90.62 ± 2.39 9.38 ± 2.39 95.42 ± 0.55 4.58 ± 0.55 6.98 ± 3.39 R2 87.19 ± 2.55 12.81 ± 2.55 91.19 ± 2.59 8.81 ± 2.59 10.81 ± 2.83 R3 88.5 ± 2.92 11.5 ± 2.92 94.67 ± 1.58 5.33 ± 1.58 8.42 ± 4.36
Rata-Rata 88.77 ± 1.73 11.23 ± 1.73 93.76 ± 2.26 6.24 ± 2.26 8.74 ± 3.27 Ket: L (kelinci Lop), R (Kelinci Rex)
Berdasarkan hasil penelitian, persentase morfologi kepala dan ekor
spermatozoa normal pada kelinci Lop sebesar 86.64±0.79 dan 89.21±2.23. Kelinci
Rex memperoleh persentase morfologi kepala dan ekor spermatozoa normal lebih
tinggi secara deskriptif dibandingkan kelinci Lop, yaitu sebesar 88.77±1.73 dan
93.76±2.26 (Tabel 4), tetapi tidak terdapat perbedaan secara statistik (P>0.05). El-
Haekam et al. (1992) memperoleh nilai persentase morfologi kepala dan ekor
normal kelinci yang hampir sama, yaitu 91.21% dan 91.87% untuk kelinci New
Zealand White serta 90.85% dan 91.61% untuk kelinci Californian. Perbedaan
persentase normalitas setiap peneliti dapat disebabkan karena perbedaan dalam
teknik koleksi dan penanganan semen, breed, kualitas hewan yang digunakan
(Toelihere 1993), perbedaan iklim, heat stress, dan musim (Barth & Oko 1989).
Abnormalitas kepala dan ekor yang ditemukan pada kelinci Lop adalah
13.36±0.79 dan 10.79±2.23% dengan total 12.07±2.06%, sedangkan pada kelinci
Rex sebesar 11.23±1.73 dan 6.24±2.26% dengan total 8.74±3.27% (Tabel 4).
28
Abnormalitas dianggap serius jika abnormalitas yang ditemukan mencapai 18-
20% karena dapat menurunkan fertilitas (Barth & oko 1989).
Persentase abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kedua breed
kelinci kurang dari 20%. Hasil ini menunjukkan bahwa kelinci yang digunakan
secara umum memiliki kualitas spermatozoa yang baik karena kelinci
mendapatkan manajemen pakan dan pemeliharaan yang baik. Koleksi semen
menggunakan vagina buatan pada hewan yang belum terbiasa juga dapat
meningkatkan abnormalitas spermatozoa yang terjadi (Arifiantini & Ferdian
2004). Nilai abnormalitas spermatozoa primer yang tinggi dapat juga dipengaruhi
oleh umur. Hewan tua cenderung memiliki abnormalitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan hewan muda (Padrik & Jaakma 2002).
Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa
Pengujian membran plasma utuh (MPU) spermatozoa bertujuan untuk
mengetahui kualitas spermatozoa (Lodhi et al. 2008). Pengujian ini perlu
dilakukan mengingat fungsi membran plasma yang sangat penting. Membran
plasma spermatozoa berfungsi sebagai pelindung organel-organel sel spermatozoa
terhadap perubahan lingkungan, mengatur keluar masuknya za-zat makanan dan
ion-ion yang diperlukan dalam proses metabolisme, menjaga keseimbangan
elektrolit intra dan ekstraseluler, serta menjaga intergritas biokimia dan struktur
spermatozoa (Pinto & Kozink 2008; Amorim et al. 2009). Spermatozoa dengan
MPU menunjukkan kebengkokan ekor (coil) saat berada dalam larutan
hipoosmotik.
Pengujian MPU pada spermatozoa kelinci Lop dan Rex dilakukan dengan
menggunakan larutan bertekanan 50 mOsm/kg (TO50), 100 mOsm/kg (TO100), dan
150 mOsm/kg (TO150) pada suhu 37ºC selama satu jam dan diamati setiap 15
menit (Tabel 5). Pemilihan larutan hipoosmotik yang digunakan disesuaikan
dengan tekanan osmotik semen kelinci yang diperoleh. Tekanan osmotik semen
kelinci Lop adalah 300, 300, dan 320 mOsm/kg, sedangkan tekanan osmotik
semen kelinci Rex adalah 270, 290, dan 300 mOsm/kg.
Pada awal pemeriksaan, yaitu pada menit ke-0, persentase spermatozoa coil
lebih rendah dibandingkan pemeriksaan pada menit berikutnya baik pada
spermatozoa kelinci Lop maupun kelinci Rex. Hasil ini menunjukkan bahwa
29
belum banyak spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal ini
berkaitan dengan plasma semen yang memberikan efek stabil pada spermatozoa
(Setiadi et al. 2006) sehingga reaksi berjalan lambat. Pengencer atau krioprotektan
pada semen beku dan cair juga memberikan kestabilan pada spermatozoa di awal
pemeriksaan (Rusiyantono 2008).
Tabel 5 MPU semen segar kelinci Lop dan Rex pada beberapa tekanan osmotik yang diinkubasi selama 1 jam (%)
Tekanan Ras Masa inkubasi (menit ke-)
0 15 30 45 60
50 mOsm/kg
Lop 22.42±13.73b 32.09±19.05b 55.03±9.29a 35.02±4.51a,b 32.28±2.43b
Rex 25.99±7.45b 69.77±32.89a 59.52±13.44a 48.63±6.40a,b 37.52±7.99a,b
100 mOsm/kg
Lop 23.36±5.58b 26.33±5.68b 32.82±3.18b 46.29±5.51 a 44.35±4.96 a
Rex 24.88±9.02b 35.15±18.68a,b 60.16±22.13a 44.18±8.39a,b 39.79±8.47a,b
150 mOsm/kg
Lop 18.58±9.22 25.82±7.83 27.37±12.17 36.70±21.25 29.33±13.19 Rex 14.50±14.40 34.12±31.07 25.86±5.42 19.83±2.29 16.47±2.97
Superskrip dengan notasi berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Saat terpapar larutan hipoosmotik, spermatozoa yang memiliki tekanan
osmotik lebih tinggi (hiperosmotik) akan bereaksi terhadap larutan untuk
mempertahankan fungsi normalnya. Spermatozoa akan menunjukkan
kemampuannya dalam mengatur volume sel, terutama regulatory volume increase
(RVI) (Petrunkina et al. 2005). Kemampuan spermatozoa untuk mengatur volume
sel didapatkan saat spermatozoa berada dalam epididimis (Yeung et al. 2004).
Kegagalan untuk mengatur volume sel dalam keadaan fisiologis dapat menjadi
salah satu sumber infertilitas (Yeung et al. 2006).
Reaksi spermatozoa diawali dengan terjadinya aliran air dari larutan
hipoosmotik ke dalam sel spermatozoa melalui membran plasma. Hal ini
menyebabkan komposisi air bertambah pada spermatozoa sehingga terjadi
perubahan ukuran dan bentuk spermatozoa, serta penurunan tekanan osmotik
spermatozoa (Fonseca et al. 2005). Pembengkakan terus terjadi dan semakin
memuncak hingga mencapai ekor. Akibatnya, coil terjadi di ujung hingga tengah
atau tepat di bawah kepala spermatozoa (Gambar 13). Coil terjadi akibat
gangguan kontraksi dan relaksasi ekor karena aliran ion dari ekor ke medium
30
hipoosmotik. Proses tersebut terus berlangsung hingga tercapai keseimbangan
antara kompartemen dalam spermatozoa dengan lingkungan ekstraseluler.
Gambar 13 Respon spermatozoa (coil) saat terpapar larutan hipoosmotik (tanda panah).
Dalam TO50, spermatozoa kelinci Lop mengalami coil dari menit ke-0
hingga menit ke-30, lalu mengalami penurunan pada menit berikutnya. Pada
menit ke-30, persentase spermatozoa coil mencapai 55.03±9.29%, berbeda
(P<0.05) dengan menit sebelumnya (Gambar 14). Hasil ini menunjukkan bahwa
pemeriksaan MPU spermatozoa kelinci Lop dalam TO50, sebaiknya dilakukan
pada menit ke-0 hingga menit ke-30 dan optimal dilakukan pada menit ke-30. Hal
berbeda ditunjukkan oleh spermatozoa kelinci Rex, kenaikan persentase
spermatozoa coil hanya terjadi hingga menit ke-15, yaitu mencapai
69.77±32.89%, lalu mengalami penurunan hingga menit ke-60 (Gambar 14).
Hasil ini menunjukkan bahwa pemeriksaan MPU spermatozoa kelinci Rex dalam
TO50 sebaiknya dilakukan pada menit ke-0 hingga menit ke-15, dengan hasil
optimal pada menit ke-15 (Tabel 6).
Dalam TO100 dan TO150, spermatozoa kelinci Rex juga mencapai respon
tertinggi atau puncak coil lebih cepat dibandingkan kelinci Lop, yaitu pada menit
ke-30 (60.16±22.13%) dalam TO100 dan pada menit ke-15 (34.12±31.07%) dalam
TO150, sedangkan kelinci Lop dalam TO100 dan TO150 mengalami puncak coil pada
31
menit ke-45 (Gambar 15 dan 16). Hasil ini menunjukkan bahwa pemeriksaan
MPU spermatozoa kelinci Rex sebaiknya dilakukan pada menit ke-0 hingga menit
ke-30 dengan waktu optimal pada menit ke-30 (TO100) dan pada menit ke-15
(TO100), sedangkan kelinci Lop sebaiknya diperiksa pada menit ke-0 hingga menit
ke-45 dengan waktu optimal pada menit ke-45 dalam TO100 dan TO150 (Tabel 6).
Gambar 14 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 50 mOsm/kg.
Gambar 15 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 100 mOsm/kg.
32
Gambar 16 Diagram persentase spermatozoa coil kelinci Lop dan Rex dalam larutan bertekanan 150 mOsm/kg.
Perbedaan waktu yang diperlukan spermatozoa kelinci Lop dan Rex untuk
mencapai puncak persentase coil sangat bergantung pada kondisi membran
plasma spermatozoa (Herdis et al. 2004). Struktur membran plasma spermatozoa
yang dimiliki kelinci Rex diduga lebih tipis dibandingkan kelinci Lop, sehingga
kelinci Rex selalu mencapai puncak coil lebih cepat dibandingkan kelinci Lop.
Faktor lain yang mempengaruhi hasil ini adalah cairan dari kelenjar asesoris yang
membentuk plasma semen. Cairan ini diduga bertanggung jawab terhadap
kestabilan membran plasma spermatozoa ejakulat yang diperlihatkan dengan lebih
banyaknya MPU (Setiadi et al. 2006).
Tabel 6 Waktu optimal pengujian MPU semen segar kelinci Lop dan Rex pada beberapa larutan hipoosmotik
Larutan Hipoosmotik
Menit ke-
Lop Rex
50 mOsm/kg 30’ 15’
100 mOsm/kg 45’ 30’
150 mOsm/kg 45’ 15’
Pada pemeriksaan MPU, terdapat perbedaan persentase spermatozoa yang
mengalami coil antara spermatozoa kelinci Lop dan Rex. Perbedaan persentase
MPU ini berhubungan erat dengan perbedaan breed, musim (Kale et al. 2000),
33
gerakan massa, motilitas, konsentrasi, total spermatozoa utuh (Prasad et al. 1999),
dan tingkat fertilitas individual (Jayendran et al. 1984). Hasil HOS test juga
berhubungan dengan viabilitas dan morfologi spermatozoa normal (Jayendran et
al. 1984; Mantovani et al. 2002; Fonseca et al. 2005).
Semen segar kelinci Rex memiliki gerakan massa, motilitas, konsentrasi,
viabilitas, dan morfologi spermatozoa normal lebih tinggi dibandingkan semen
segar kelinci Lop. Hasil ini berkorelasi positif dengan hasil MPU yang
menunjukkan bahwa spermatozoa kelinci Rex juga memperoleh persentase MPU
yang lebih tinggi dibandingkan kelinci Lop.
Keutuhan membran plasma juga berkorelasi positif dengan motilitas
spermatozoa (Hashinuma & Sekine 2003; Yu & Leibo 2002). Korelasi ini
menunjukkan kemampuan spermatozoa untuk hidup. Akan tetapi, kualitas
membran plasma spermatozoa dapat tetap dipertahankan meskipun motilitas
menurun secara drastis, yaitu dengan menambahkan bahan pengencer yang tepat
(Setiadi et al. 2006). Setiadi et al. (2006) menduga krioprotektan yang terdapat
dalam bahan pengencer ikut berperan dalam mempertahankan keutuhan membran
plasma tersebut.
Setelah mencapai puncak persentase coil, terjadi penurunan pada
pemeriksaan di menit berikutnya. Secara fisiologis, penurunan persentase ini
terjadi karena spermatozoa berusaha menurunkan volumenya kembali akibat
kebengkakan yang terjadi. Spermatozoa akan meningkatkan kemampuannya
untuk melakukan regulatory volume decrease (RVD), proses ini akan
menyebabkan ekor spermatozoa lurus kembali (Petrunkina et al. 2004).
Penurunan persentase juga dapat terjadi karena adanya kerusakan pada
membran plasma spermatozoa. Jika terjadi kerusakan pada membran plasma,
maka reaksi spermatozoa terhadap larutan menjadi tidak sempurna karena
membran plasma tidak dapat lagi mempertahankan keseimbangan osmotik dan
terjadi pengerasan pada lapisan phospolipid (Sankai et al. 2002). Kerusakan
membran plasma menyebabkan spermatozoa tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan normal sehingga kualitas spermatozoa yang bersangkutan akan menurun
(Arifiantini et al. 1999). Pada keadaan lebih lanjut, kerusakan ini dapat
menyebabkan terganggunya metabolisme spermatozoa, akibatnya spermatozoa
34
mulai kehilangan motilitas dan keutuhan akrosom yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian spermatozoa (Iguer-ouada & Verstegen 2001; Yu &
Leibo 2002; Yulnawati & Setiadi 2005).
Kerusakan membran plasma dapat terjadi pada bagian kepala dan ekor
spermatozoa. Kerusakan membran plasma spermatozoa pada bagian kepala
biasanya disertai dengan kerusakan pada tudung akrosom. Keadaan ini
menyebabkan keluarnya enzim-enzim yang diperlukan untuk proses fertilisasi,
sehingga spermatozoa kehilangan kemampuan untuk membuahi ovum (Herdis et
al. 2004). Kerusakan membran plasma pada bagian ekor berpengaruh terhadap
mitokondria yang terletak pada bagian ekor spermatozoa. Mitokondria berfungsi
sebagai penghasil ATP dan ADP untuk motilitas spermatozoa. Gangguan fungsi
mitokondria menyebabkan spermatozoa kehilangan daya geraknya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kelinci Lop memiliki karakteristik semen dengan volume 0.47 ml, berwarna
putih-krem, konsistensi encer-kental, pH 7.28, gerakan massa 2.33, motilitas
40%, skor individu 3.67, konsentrasi 123.89 x 106/mL, dan viabilitas 47.94%,
sedangkan karakteristik semen kelinci Rex adalah volume 0.44 ml, berwarna
putih-krem, konsistensi encer-kental, pH 7.38, gerakan massa 2.67, motilitas
61.67%, skor individu 4, konsentrasi 280.56 x 106/mL, dan viabilitas 61.40%.
2. Abnormalitas spermatozoa yang ditemukan pada kelinci Lop dan Rex adalah
12.07 dan 8.74%.
3. Pengujian optimal terhadap keutuhan membran plasma spermatozoa kelinci
Rex adalah 15-30 dan Lop adalah 30-45 menit inkubasi.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengenceran dan pembekuan
semen kelinci serta inseminasi buatan (IB) pada kedua breed kelinci untuk
mengetahui efektifitas IB pada kelinci.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan komponen
membran plasma kedua breed kelinci.
DAFTAR PUSTAKA
Adelman MM, Cahill EM. 1989. Atlas Sperm Morphology. Chicago, Illinois: ASCP Pr.
Alvarino JMR. 2000. Reproductive performance of male rabbits. In Proc. 7th World Rabbit Congress, July 2000, Valencia, Spain, A: 13-35.
Amorim EAM, Torres CAA, Graham JK, Amorim LS, Santos LVL. 2009. The hypoosmotic swelling test in fresh rabbit spermatozoa. Anim. Reprod. Sci. 111: 338-343.
Arifiantini RI, Purwantara B, Putra WW. 1999. Pengujian keutuhan membran plasma spermatozoa semen cair domba menggunakan larutan hipoosmotik. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Bidang Ilmu Hayat. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB.
Arifiantini RI, Ferdian F. 2004. Tinjauan aspek morfologi dan morfometri spermatozoa kerbau rawa (Bubalus bubalis) yang dikoleksi dengan teknik masase. J. Vet. FKH Udayana 7: 83-91.
Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of Bovine Spermatozoa. Iowa: Iowa State University Pr.
Bloom. 1968. A new sperm defect pseudo droplets in the middle piece of the bull sperm. Nord. Vet. Med. 20: 270-288.
Brun JM, Theau-Clément M, Bolet G. 2002. The relationship between rabbit semen characteristics and reproductive performance after artificial insemination. Anim. Reprod. Sci. 70: 139-149.
Cabrita E, Alvarez R, Anel E, Herr´aez MP. 1999. The hypoosmotic swelling test performed with counter: a method to assay functional integrity of sperm membrane in rainbow trout. Anim. Reprod. Sci. 55: 279-287.
Carluccio A, Robbe D, De Amicis I, Contri A, Tosi U, Russo F, Paoletti M. 2004. Artificial insemination in rabbits: Laboratory and field trail with three different semen extenders. World Rabbit Sci. 12: 65-79.
Chenoweth PJ. 2005. Genetic sperm defect. Theriogenology 64: 457-468.
Correa JR, Zavos PM. 1994. The hypoosmotic swelling test: its employement as an assay to evaluated the functional integrity of the frozen-thawed bovine sperm membrane. Theriogenology 42: 351-360.
Daader AH, Seleem TST. 2005. Response of spermatozoa of different breeds of rabbits to hypo-osmotic swelling test. In Proc.: The 4 th. Inter. Con. on Rabbit Prod. in Hot Clim., Sharm El-Sheikh, Egypt, 177-181.
El-Haekam AA, El-Moty AKI, El-Bogdady AH, Hassanein HH. 1992. Some physical characteristics of rabbit semen as a affected by breed, lighting systems, and ejaculation sequences. Egypt J. Rabbit Sci. 2(1): 33-37.
El-Azim AA, El-Kamash EM. 2011. Evaluation of semen quality and its relation to mating system for some breeds of rabbits under environmental conditions in the middle of Egypt. Egypt Poult. Sci. 31(II): 467-480.
37
Fonseca JF, Torres CAA, Maffili VV, Borges AM, Santos ADF, Rodrigues MT, Oliviera RMF. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat spermatozoa. Anim. Reprod. 2(2): 139-144.
Freshman JL. 2002. Semen collection and evaluation. Clin. Tech. in Small Pract. 17(3): 104-107.
Garcia-Tomas M, Sanchez J, Refael O, Ramon J, Piles M. 2006. Variability, repeatability, and phenotypic relationships of several characteristics of production and semen quality in rabbit. Anim. Reprod. Sci. 93: 88-100.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: Hafez B and ESE Hafez, editor. Reproduction in Farm Animal, 7th ed. USA: Williams and Wikins.
Hashinuma M, Sekine J. 2003. Evaluation of membrane integrity of canine epididymal spermatozoa by short hypoosmotic swelling test with ultrapure water. J. Vet. Med. Sci. 65(7): 817-820.
Herdis, Rizal M, Boediono A. 2004. Daya hidup sperma epididimis domba setelah disimpan pada suhu rendah (5ºC). J. Anim. Prod. 6(1): 30-36.
Iguer-ouada M, Verstegen JP. 2001. Long term preservation of chilled canine semen: effect of commercial and laboratory prepared extenders. Theriogenology 55(2): 671-684.
Jayendran RS, Vander-Ven HH, Perez-Pelaez M, Crabo BG, Zanevld LJD. 1984. DeveLopment of an assay to assess the functional integrity of the human sperm membrane and its relationship to other semen characters. J. Reprod. Fertil 70: 219-228.
Johnson LA, Weitze KF, Fiser P, Maxwell WMC. 2000. Storage of boar semen. J. Anim. Sci. 62: 143-172.
Kale MM, Manik RS, Tomer OS. 2000. In vitro assessment of crossbreed buck fertility. Indian J. Anim. Sci. 70: 25-29.
Lavara R, Mocé E, Lavara F, Viudes de Castro M, Vicente J. 2005. Do parameters of seminal quality correlate with the results of on- farm inseminations in rabbits? Theriogenology 64: 1130-1141.
Lodhi LA, Zubair M, Qureshi ZI, Ahmad I, Jamil H. 2008. Correlation between hypoosmotic swelling test and various conventional semen evaluation parameters in fresh Nili-Ravi buffalo and Sahiwal cow bull semen. Pakistan Vet. J. 28(4): 186-188.
Mantovani R, Rota A, Falomo ME, Bailoni L, Vincenti L. 2002. Comparison between glycerol and ethylene glycol for the cryopreservation of equine spermatozoa: semen quality assessment with standard analyses and with the hypoosmotic swelling test. Reprod. Nutr. Dev. 42: 217-226.
McGowan M, Galloway D, Taylor E, Entwistle K, Johnston P. 1995. Veterinarians examination of bulls. Queensland: Australia Association of cattle veterinarians.
38
McIntosh GB. 1990. Pig AI; The Technique. Farm Note, Queensland Department of Primary Industry.
Mocé E, Vicente JS, Lavara F, Lavara R, Marco-Jiménez F. 2004. Different in the response of the spermatozoa from three rabbit linesto the Hypo-Osmotic Swelling Test. Reprod. in Dom. Anim. 39(4): 265.
Moghadam KK, Nett R, Robin JC, Thomas MA, Awadalla SG, Scheiber MD, Williams DB. 2005. The motility of epididymal or testicular spermatozoa does not directly affect IVF/ICSI pregnancy outcomes. J. Androl. 26(5): 619-623.
Neild D, Chaves G, Flores M, Mora N, Beconi M, Aguero A. 1999. Hypoosmotic test in equine spermatozoa. Theriogenology 51: 721-727.
Ogbuewu IP, Okoli IC, Iloeje MU. 2009. Semen Quality characteristics, reaction time, testis weight, and seminiferous tubule diameter of buck rabbit fed neem (Azadirachta Indica A. Juss) leaf meal based diets. Iranian J. of Reprod. Med. 7(1): 23-28.
Padrik P, Jaakma U. 2002. Sperm morphology in Estonian Holstein dairy bulls, factors affecting it and relation to fertility. Agraarteadus 13: 243-56.
Petrunkina AM, Harrison RAP, Ekhlasi-Hundrieser M, To¨pfer-Petersen E. 2004. The role of volume-sensitive osmolyte and anion channels in volume regulation by mammalian spermatozoa. Mol. Hum. Reprod. 10: 815-823.
Petrunkina AM, Jebe E, To¨pfer-Petersen E. 2005. Regulatory and necrotic volume increase in boar spermatozoa. J. of Cell. Phys. 204: 508-521.
Pinto CRF, Kozink DM. 2008. Simplified hypoosmotic swelling testing (HOST) of fresh and frozen-thawed canine spermatozoa. Anim. Reprod. Sci. 104: 450-455.
Prasad JK, Kumar S, Mohan G, Shanker U, Agarwal SK. 1999. Hypo-osmotic swelling test (HOST) and its response in fresh and freeze-thawed semen. Indian J. Anim. Sci. 69: 766-769.
Rodríguez-Martínez H. 2003. Laboratory semen assessment and prediction of fertility: still utopia. Reprod. Dom. Anim. 38: 312-318.
Rusiyantono Y. 2008. Penambahan bahan krioprotektan dalam bahan pengencer pembuatan semen beku melalui teknologi sederhana dalam menunjang pelaksanaan IB di daerah. Prosiding seminar sapi potong.
Saacke RG. 2008. Sperm morphology: Its relevance to compensable and uncompressible traits in semen. Theriogenology 70: 473-478.
Safaah M, Vicente JS, Lavara R, Viudes de Castro MP. 2008. Semen evaluation of two selected lines of rabbit bucks. World rabbit sci. 16: 141-148.
Sankai T, Tsuchiya H, Ogonuki N. 2002. Shortterm nonfrozen storage of mouse epididymal spermatozoa. Theriogenology 55(8): 1759-1768.
Sarder MJU. 2004. Morphological sperm abnormalities of different breeds of AI bull and its impact on conception rate of cows in AI programme. Bangl. J. Vet. Med. 2: 129-135.
39
Sarwono B. 2001. Kelinci potong dan Hias. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Schatten H, Gheorghe M. 2007. Comparative Reproductive Biology. Iowa, USA: Blackwell Pub.
Setiadi MA, Suprayogi A, Yulnawati. 2006. Viabilitas dan integritas membran plasma spermatozoa epididimis anjing selama penyimpanan pada pengencer yang berbeda. Media Kedokteran Hewan 22(2): 118-123.
Shimomura K, Sakurai K, Shimada K, Hagiwara M, Kato M, Furuhara K. 2008. Occurance of headless sperms in adolescent rat urine. Lab. anim. 42: 204-212.
Silva PFN, Gadella BM. 2006. Detection of damage in mammalian sperm cells. Theriogenology 65: 958-978.
Thundathil J, Meyer R, Palasz AT, Barth AD, Mapletoft RJ. 2000. Effect of the knobbed acrosome defect in bovine sperm on IVF and embryo production. Theriogenology 54: 921-34.
Toelihere. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Togun VA, Egbunike GN. 2006. Seasonal variations in the sperm production characteristics of Zebu (White fulani) cattle genitalia in the humid tropical environment. Middle-East J. Sci. Res. 1: 87-95.
Yeung CH, Anapolski M, Setiawan I, Lang F, Cooper TG. 2004. Effectsof putative epididymal osmolytes on sperm volume regulation of fertile and infertile c-ros transgenic mice. J. Androl. 25: 216-223.
Yeung CH, Barfield JP, Cooper TG. 2006. Physiological volume regulation by spermatozoa. Mol. and Cell. Endocrin. 250: 98-105.
Yu I, Leibo SP. 2002. Recovery motile, membrane intact spermatozoa from canine epididymides stores for 8 day at 4ºC. Theriogenology 57(3): 1179-1190.
Yulnawati, Setiadi MA. 2005. Motilitas dan Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa Epididimis Kucing Selama Penyimpanan Pada Suhu 4° C. Media Kedokteran Hewan 21(3).
Zou CX, Yang ZM. 2000. Evaluation on sperm quality of freshly ejaculated boar semen during in vitro storage under different temperatures. Theriogenology 54: 1477-1488.
40
L A M P I R A N
41
Lampiran 1 Karakteristik semen segar kelinci Lop
Sampel Ulangan Pemeriksaan Makroskopis Pemeriksaan Mikroskopis
Volume Warna Konsistensi pH Motilitas Skor Individu
Gerakan Massa Konsentrasi H-M
Lop 1 1 0.7 krem sedang 7 45.00 4 1 70.00 41.18 2 0.2 krem sedang 6.7 50.00 4 3 62.5 50.00 3 0.8 krem encer 6.7 55.00 4 2 132.5 67.65
Lop 2 1 0.77 krem kental 8 45.00 4 3 342.5 68.57 2 0.4 putih sedang 7.5 40.00 4 3 150 58.82 3 0.43 putih sedang 7.2 35.00 4 3 245 32.89
Lop 3 1 0.35 putih encer 7.5 30.00 3 2 45 30.43 2 0.17 putih sedang 7.7 30.00 3 2 47.5 50.70 3 0.4 putih encer 7.2 30.00 3 2 20 31.18
42
Lampiran 2 Karakteristik semen segar kelinci Rex
Sampel Ulangan Pemeriksaan Makroskopis Pemeriksaan Mikroskopis
Volume Warna Konsistensi pH Motilitas Skor Individu
Gerakan Massa Konsentrasi H-M
Rex 1 1 0.64 krem kental 7.2 55.00 4.5 2 180 86.49 2 0.2 putih sedang 7.5 45.00 3 3 35 46.67 3 0.34 putih sedang 7.2 50.00 4 3 105 26.42 Rex 2 1 0.3 putih encer 7.5 80.00 4 3 802.5 72.39 2 0.1 putih encer 7.5 70.00 4 3 272.5 55.12 3 0.51 krem encer 7.5 75.00 4 3 505 80.13 Rex 3 1 0.45 krem kental 7.5 65.00 4.5 3 297.5 65.33 2 0.5 putih kental 7.5 55.00 4 2 150 56.86 3 0.9 krem sedang 7 60.00 4 2 177.5 63.23
43
Lampiran 3 Persentase MPU semen segar kelinci Lop
Menit Membran Plasma Utuh (%)
50 mOsm/kg 100 mOsm/kg 150 mOsm/kg Lop 1 Lop 2 Lop 3 Lop 1 Lop 2 Lop 3 Lop 1 Lop 2 Lop 3
0 38.10 16.67 12.50 17.14 27.94 25.00 29.17 12.28 14.29 15 54.05 22.22 20.00 21.43 32.56 25.00 22.73 34.72 20.00 30 45.71 55.10 64.29 29.41 33.33 35.71 35.00 33.77 13.33 45 38.71 30.00 36.36 44.83 41.67 52.38 18.39 31.71 60.00 60 32.00 34.83 30.00 42.31 40.74 50.00 26.39 17.86 43.75
Lampiran 4 Persentase MPU semen segar kelinci Rex
Menit Membran Plasma Utuh (%)
50 mOsm/kg 100 mOsm/kg 150 mOsm/kg Rex 1 Rex 2 Rex 3 Rex 1 Rex 2 Rex 3 Rex 1 Rex 2 Rex 3
0 30.43 30.14 17.39 20.00 35.29 19.35 31.03 4.76 7.69 15 90.00 87.50 31.82 25.81 56.67 22.99 70.00 16.48 15.89 30 72.22 60.87 45.45 84.62 54.35 41.51 25.93 20.41 31.25 45 56.00 44.44 45.45 52.94 43.40 36.21 18.18 18.85 22.45 60 36.67 30.00 45.90 49.38 36.67 33.33 13.33 19.23 16.84