KANAL: Saluran Aspirasi Korban Lapindo
-
Upload
tifa-foundation -
Category
Documents
-
view
245 -
download
5
description
Transcript of KANAL: Saluran Aspirasi Korban Lapindo
1Kanal | Edisi 7 | 2009
A
Lelakon:Perempuan-Perempuan Tangguh
Yok Opo Rek:Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie
hal 3 - 4
hal 5
Kabar Anyar:Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa
hal 6 - 7
Ketika KorbanMasuk Bursa
Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda
bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun
sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran
kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon
legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho
yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpangan-
persimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol Porong-
Gempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah
“Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”,
atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa
apes luapan lumpur.
Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu,
khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah
korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2,
yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan
Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus
merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum
Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H.
Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga
asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal
sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun
Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya.
Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak
resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi
Ilmiawan, warga Desa Permisan.
Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda.Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ PartaiKebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di PartaiBarisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura.
Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun
partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam
peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana
sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan
korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan
pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi
mereka menggandeng “saudara senasib”?
“Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan
penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas
ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus
persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk
usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk
perjuangan korban Lapindo.
Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalampergerakan warga korban lumpur guna menuntuttanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia seringterlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini diaingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui,perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewanlegislatif nanti akan bertentangan dengan partainya,Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab,“Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagaianggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.
Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekatirakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk timkampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain jugamenggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum,Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dansekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIPJabon. Iwan biasanya membentuk forum-forumpertemuan untuk menyampaikan visi-misi danmenangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisamenjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong,Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.
CaleCaleCaleCaleCalegggggCaleCaleCaleCaleCaleggggg
2 Kanal | Edisi 7 | 2009
Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (LapisBudaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, JamboreC, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi RahmanSeblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net
Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa
Tapi, Iwan mengaku kesulitanmenyentuh warga korbanLapindo dari dalam peta
terdampak. Selain karena merekasendiri terpencar dan datanya susah
untuk didapat, juga karena, menurutIwan, warga korban di dalam peta lebih
pragmatis dalam merespon sosialisasicaleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebihenak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebihsusah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk
ke sana,” tutur Iwan.
Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo
dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota
dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap
nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai
Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota
dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda
kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta
maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu
ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua
korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak
memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan
saya aspirasikan,” ujarnya lagi.
Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasibkorban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam prosespencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawankorban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, danmereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangatanti politik uang (money politics), menurut Muli. Dankarena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muliberkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap harisaya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini sayaserius,” tuturnya.
Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nantiduduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara denganpolitik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalahmanusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muliberjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Sayaakan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidakikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisikorban,” tandasnya.
Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur inisepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi,caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akanmenjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadimengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi RakyatKorban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uangkontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Iasendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari PartaiBarisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesamakorban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakatdengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.
Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpurmenyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka,warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan halitu. Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya.Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim suksescaleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnyadiceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberisembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifapesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankanpermasalahan korban lumpur.
“Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRDSidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampumenyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa.Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akanmenciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akanmemperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.
Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punyapengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub)Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satutim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modalusaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi,setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan.“Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satucalon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapikenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak calegyang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur.Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.
Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakanparpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasuslumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinyadi Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satutim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanyaperubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkancaleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korbanlumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyakwarga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.
Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itutampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur.Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masihberharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untukmemperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan.Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan KompleksAngkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yangmaju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korbanyang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani danberkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,”ujarnya.
Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo,mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraupsuara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmenmemberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,”tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, wargayang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisamengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja,Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jikaakhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu,caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)
3Kanal | Edisi 7 | 2009
B
Perempuan-Perempuan
Bagaimana nasib satu keluarga
patrilinial di desa, jika suami,
sebagai tulang punggung keluarga,
tak berfungsi dengan baik atau
lumpuh sama sekali? Bagaimana
keluarga ini melanjutkan hidup
sehari-hari? Bagaimana sekolah
anak-anak mereka? Bagaimana
kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang
lainnya masih bisa diuraikan dengan jawaban terbata-
bata. Pertanyaan lebih ekstremnya: bagaimana jika
kelumpuhan ini terjadi massal? Anda akan
membayangkan hal-hal buruk.
Tapi ini bukan bayangan, bukan imajinasi. Ini fakta
yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat
kita, sangat dekat. Ini kisah ribuan suami yang
pekerjaannya direnggut bencana lumpur Lapindo,
sementara istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan
segala keterbatasannya, dipaksa menanggung beban
keluarga semuanya. Ya, semuanya.
Perempuan itu, Asfeiyah namanya (45 tahun), masih
tegak sebagai ibu rumah tangga di Pasar Baru Porong.
Suaminya Pak Sanep (45 tahun), sebelum bencana
Lapindo, adalah seorang pengrajin emas, tapi sudah lebih
dari tiga tahun tidak bekerja lagi.
“Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa
nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan
kenapa suaminya jadi pengangguran.
Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas
beberapa tahun sebelum bencana lumpur. Saat itu,
keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo.
Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja
serabutan.
“Kalau ada yang mengajak bekerja, (ya bekerja),
kalau tidak ya tidak. Nggak bisa cari sendiri,” jelas
Asfeiyah.
Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo,
Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang
minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order,
itu menurut itungan paling jarang bagi Asfeiyah.
“Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong),” jelas
Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit
tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi
orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling
cuma tambal baju alias vermak.
Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk
bertempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung
tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana
lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi
pilihan lain pada Asfeiyah
sekeluarga selain pindah ke
pengungsian di Pasar Baru
Porong. Dan ini bagai mimpi
buruk buatnya. Semua
anggota keluarganya tak
satupun yang bekerja dan dia satu-
satunya yang banting-tulang untuk
semua anggota keluarga.
Tiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu
rupiah untuk makan semua keluarga, dan beberapa bulan
terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu.
Hanya pada bulan 2-8 Asfeiyah bisa bekerja normal
sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan
dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa
menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000
rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti
enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4
pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.
Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena
sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih, Asfeiyah
dan keluarga-keluarga lain di Pasar Baru Porong yang
tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban
Tangguh
Kehidupannya di Renokenongo
memang sulit tapi di
pengungsian lebih sulit lagi.
Sekarang tak ada lagi orang
yang minta dibikinin baju,
kalau ada paling-paling cuma
tambal baju alias vermak.
4 Kanal | Edisi 7 | 2009
Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan
20 persen uang aset mereka. Meski tak
sesuai keinginan, warga tak bisa menolak
cara pembayaran yang dilakukan Minarak
Lapindo, yakni dengan cara mencicil.
Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang
keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia
menggunakan uang tersebut untuk modal dagang
pakaian. Meski tak ramai, Asfeiyah tiap harinya bisa
dapat pemasukan sekitar 30.000 rupiah sementara uang
untuk makan semua keluarganya adalah 50.000.
Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan
uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa
mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia
hapus.
“Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,”
kata Asfeiyah.
Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini
dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.
“Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami,”
tutur Asfeiyah. “Tapi kalau nggak marah nggak tahan,
Mas.”
Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa menjadi tulang
punggung keluarga. Ribuan lainnya mengalami nasib
serupa. Seorang ibu warga Perumahan Tanggulangin
Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama.
Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun), kini mengontrak
rumah di Sidokare, Sidoarjo. Alasannya tentu jelas
karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur.
Bu Hani, begitu siswa Madrasah Aliyah Khalid bin
Walid biasanya memanggil namanya, adalah guru di MA
tersebut. Sebelum ada lumpur, suaminya Hendra Jaya
(44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya.
Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di
sekitarnya. Namun lumpur Lapindo menenggelamkan
bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja
lagi.
Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu
rupiah per bulan dan suami yang menganggur tentu
bencana Lapindo jadi pukulan yang berat bagi keluarga
ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutup
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan tiadanya
pemasukan Hani mencoba memperkecil pengeluaran.
Caranya dengan mengurangi jatah makan sehari-hari.
“Berasnya saya kurangi dan ganti singkong yang
sama mengandung karbohidrat,” Hani berusaha
menahan air matanya saat mengatakan ini.
Hani juga berusaha supaya dapat pemasukan
tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi
belajar dan suaminya diminta membikin barangnya.
Namun itu belum cukup menutupi kebutuhan keluarga.
Hani lantas berdagang keliling pakaian dan kue supaya
asap dapurnya tak padam.
Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima
kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak
pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa
menerima kenyataan ini dan bisa bersabar.
“Tapi yang kecil suka protes, saya mencoba
mengarahkannya dengan agama,” tutur Hani. Tapi
namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes.
Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam
lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini.
Ibu Crhristina, warga Glagaharum, juga merasakan
dampak tidak langsung bencana Lapindo.
Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa
Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007.
Keluarganya cukup terpandang dan kaya. Tanahnya
luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar
wisata Tanggulangin.
Setelah tidak jadi kepala desa, praktis pendapatan
mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu.
Toko ini sebelum ada lumpur mendatangkan pendapatan
yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. Seharinya
bisa 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan
anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih.
Misalnya, semua anaknya kalau sudah masuk SMP
pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu
kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang
harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya.
Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya,
pasti bajunya baru,” kenang Crhistina.
Sekarang semua sudah berubah. Sejak Bencana
Lapindo dua tahun lalu, satu per satu langganan Chris-
tina hilang.
“Dulu langganan saya dari Siring, Ketapang,
Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, dan lainnya,” tutur
Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam
dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina.
Pendapatannya menurun drastis hingga 500 ribu hingga
1 juta seharinya.
Lima dari 6 karyawannya di toko bangunan dia
pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko
yang masih bertahan. Gudang-gudang tempat
penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong
karena permintaan yang terus berkurang.
Akhir tahun lalu, Christina meminjamkan secara
gratis gudang ini untuk Yayasan Khalid bin Walid dan
digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat
gedung sekolah Khalid bin Walid di Renokenongo
tenggelam.
“Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah,
bagaimana kalau ini menimpa saya,” tutur Christina.
[mam]
Foto: Rahman
5Kanal | Edisi 7 | 2009
Nyaris tiga tahun sudah warga Renokenongo tinggal
berdesak-desakan di pengungsian Pasar Baru Porong (PBP).
Belakangan, dengan datangnya ratusan pedagang sayur di
lokasi pengungsian mereka, ‘rumah’ mereka kian terasa tak
nyaman. Para pedagang ini mulai pindah secara bertahap
sejak 10 Januari lalu. Sebelumnya, mereka berdagang di
depan stasiun Porong, di tanah milik Perusahan Jawatan
Kereta Api (PJKA). Meski penjualan bagus namun lokasi sempit,
tanahnya becek kalau hujan.
“Sekarang tanah itu akan digunakan perbaikan stasiun,”
tutur Iwan, seorang pedagang rempah di Pasar Baru Porong.
Belum genap sepuluh hari mereka berdagang di PBP, mereka
sudah didemo oleh para pengungsi korban Lapindo, yang
menempati PBP sejak luapan lumpur dua setengah tahun
lalu, yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Pengungsian yang sumpek jadi tambah sumpek. Selain
itu, soal keamanan juga menjadi alasan terganggunya para
pengungsi. Sesuai perjanjian, para pengungsi ini tidak mau
Pembelian sawah dongkel di Desa Besuki, Kecamatan
Jabon, masih menyisakan persoalan di warga. Pasalnya, dari
93 petak tanah hanya 41 petak yang akan dibeli oleh
Pemerintah. Keseluruhan tanahnya seluas 5 hektar dan hanya
2 hektar lebih sedikit yang dibeli oleh Pemerintah.
Desa Besuki adalah salah satu desa korban Lapindo yang
mendapat ganti rugi dari APBN. Meski semua Desa Besuki
terkena lumpur, tapi hanya sebagian desa yang mendapatkan
ganti rugi.
Sawah dongkel ini adalah salah satu contohnya. Sama-
sama terkena lumpur dan kini tidak produktif namun tidak
semua masuk peta dan dibeli oleh Pemerintah. Hanya yang
Tayangan baru ANTV bertajuk Empat Lawan Satu
mendapat tanggapan sinis dari korban Lapindo. Maklum
tayangan perdana, pada 5 Februari, yang menampilkan Abu
Rizal Bakrie, Menkokesra sekaligus pemilik Group Bakrie itu,
membicarakan banyak hal soal nasib korban Lapindo.
Imam (30 tahun), korban asal Jatirejo, bahkan hafal apa
saja yang dibicarakan Bakrie dalam acara tersebut. Setidaknya
ada enam perkataan Bakrie yang dia garisbawahi: (bencana
Lapindo) karena fenomena alam, para korban yang tidak punya
surat dikasih rumah, waktu Bakrie datang ke Sidoarjo dicium
tangannya, putusan pengadilan menetapkan Lapindo tidak
bersalah, ada provokasi, dan yang dilakukan Bakrie sesuai
dengan Peraturan Presiden.
Satu-per satu pernyataan Bakrie ini ditanggapi oleh Imam.
Menurutnya, tidak benar kalau bencana ini adalah fenomena
alam, ini karena kesalahan teknis pemboran. Lebih lanjut
menurut Imam, dari awal Lapindo ingin membeli tanahnya.
“Pernah ditawar tapi tidak dikasihkan, izinnya buat
peternakan,” tutur Imam. Lebih jauh, Imam merujuk pada ahli-
ahli geologi dunia di Cape Town yang memutuskan lumpur
Lapindo disebabkan oleh kesalahan pemboran. Sementara,
gempa Yogja, yang kerap diklaim Lapindo
sebagai penyebab, terlalu jauh untuk
menjadi pemicu semburan lumpur.
Soal para korban tak bersurat yang dikasih
rumah ditanggapi keras oleh Imam.
Menurutnya, Lapindo pernah bilang hanya mau
membayar korban yang memiliki surat dan itu juga
yang dilaksanakan Lapindo hingga sekarang. Kemudian, soal
kedatangan Bakrie di Sidoarjo yang disambut dengan cium
tangan, menurut Imam itu tidak benar. Dia tidak pernah melihat
Bakrie datang ke Sidoarjo. Bahkan kalau, misalnya, Bakrie
datang ke Sidoarjo akan digasak ramai-ramai karena sudah
menyengsarakan banyak orang.
Imam juga tidak sepakat dengan putusan pengadilan yang
memutus Lapindo tidak bersalah. Menurutnya, pengadilan
bukan ahli pemboran dan tidak mempertimbangkan sisi
kemanusiaan dari para korban. Ada provokasi terhadap korban
lumpur juga ditolak oleh Imam. Menurutnya korban yang
menuntut haknya itu memang benar korban yang belum
dilunasi haknya. Tentang langkah Lapindo yang sesuai dengan
Perpres itu juga tidak benar, karena berkali-kali Lapindo
mangkir dan tidak sesuai dengan keputusan presiden.
Lilik Kamina, korban di PBP, juga menanggapi sinis acara
Empat Lawan Satu. Dia bilang kalau acara itu hanya untuk
mempromosikan Lapindo dan Bakrie. “Lihat saja tak ada
korban yang diberi kesempatan bicara.”
Barat jalan tol yang dibeli, sementara yang di sebelah timur tol
dibiarkan saja menjadi tanah mati. Sebenarnya tidak hanya
sawah dongkel saja yang terkena lumpur di Besuki. Ada tiga
persawahan lain yang juga kena lumpur, yakni; sawah Kepuh
Barat, Kepuh Timur dan Gempol.
Pembedaan ini, menurut seorang warga Besuki Adib
Rosadi, terjadi karena pemerintah tidak melibatkan warga
dalam penentuan daerah yang masuk peta. “Kalau kami
dilibatkan kami akan minta semua tanah dongkel dibeli,” kata
Adib. Adip tak habis fikir kenapa pemerintah membedakan
tanah yang sama-sama kena lumpur dan kini sama-sama
tidak bisa berfungsi tersebut.
meninggalkan PBP sebelum Minarak Lapindo Jaya membayar
20% aset mereka yang tenggelam lumpur.
“Pengungsian jadi tambah sumpek, selain itu soal
keamanan juga,” tutur Darmi, seorang pengungsi yang tidak
bisa keluar dari bilik pengungsiannya karena mobil-mobil sayur
parkir tepat di depan biliknya. Untuk mencegah terjadinya
keributan antara pedagang dan para pengungsi. Dinas Pasar
dan Himpunan Pedagang Pasar sudah berunding dengan
tokoh pengungsi. “Untuk sementara dikasih garis batas di
mana pedagang tidak boleh berjualan di batas itu,” tutur Darmi.
Selain itu, para pengungsi juga dibagi penghasilan dengan
menjaga toilet sementara petugas pasar mengurusi parkir
dan kebersihan. Tuntutan para pengungsi sederhana mereka
mau dilunasi pembayaran 20% aset mereka yang sudah 2,5
tahun ini belum juga tuntas dibayarkan. Mereka akan
meninggalkan Pasar Baru Porong kalau tuntutan ini dilunasi.
[Lilik]
Tanah Dongkel Menyisakan Masalah
Tinggal di Pengungsian, Semakin Tak Nyaman
Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie
6 Kanal | Edisi 7 | 2009
Warga MenanggapiDingin Sesumbar Karsa
Begitu ditetapkan sebagai
pemenang pilgub Jatim pada 30
Januari lalu, pasangan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf
(Karsa) menjanjikan, dalam seratus hari,
pemerintahannya akan memperketat prioritas
program, di antaranya penuntasan kasus Lapindo.
Warga korban di luar peta terdampak akan diberi
ganti rugi, kata Syaifullah.
Warga korban sendiri tak terlalu antusias
menanggapi pernyataan Gus Ipul itu. “Ya, setengah
percaya, ya, setengah tidak,” ujar Jarot Suseno,
koordinator warga Siring Barat. Siring Barat
termasuk wilayah terdampak di luar peta versi
Perpres 14/2007 maupun versi Perpres 48/2008.
Sudah sejak April 2008, desa ini dan dua desa
lainnya, Jatirejo Barat dan Mindi, direkomendasikan
Gubernur Jawa Timur untuk ditangani segera
karena dinilai tidak layak huni. Namun, sampai hari
ini, tidak ada penanganan konkrit. Padahal, kondisi
Siring Barat semakin parah.
“Sudah sekitar 70 persen rumah warga rusak,”
tutur Jarot. Siring Barat dihuni sekitar 319 keluarga
yang menempati 250 rumah. Sekitar 175 rumah
mengalami berbagai kerusakan, mulai retak-retak
akibat amblesan tanah (land subsidence),
munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga
air yang tercemari logam berat. Bahkan, pada 5
Januari lalu, akibat amblesan tanah, salah satu
rumah warga roboh.
Pemerintah sudah menjanjikan alokasi 82 miliar
untuk penanganan Siring Barat dan tiga desa
lainnya: Jatirejo Barat, Mindi dan Besuki Barat.
“Tapi sampai sekarang, belum ada realisasi apa-
apa,” tambah Jarot. Lebih parah lagi, suplai air
bersih justru dihentikan. “Sudah dua minggu lebih,
kami tidak memperoleh pasokan air bersih,” ujar
Jarot, lagi. Berbagai janji tak berwujud itu mungkin
yang membuat warga menanggapi datar-datar saja
sesumbar Karsa menuntaskan kasus Lapindo
dalam seratus hari, meski masih berharap.
“Semoga saja kali ini beneran,” imbuh Jarot.
Tim 16 Demo BPLS dan MinarakSetelah kesepakatan tanggal 3 Desember lalu
dilanggar Minarak Lapindo Jaya, sekira 4.000
korban Lapindo dari Perumahan Tanggul Angin
Sejahtera I kembali mendemo kantor Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan
kantor Minarak Lapindo Jaya, pada 11 Febuari ini.
Massa ini terorganisir rapi dalam kelompok Tim 16.
“Ada sekitar 2.000 sepeda motor dengan satu
truk komando, satu motor dua orang,” tutur Ruli
Syarif Hidayat (49 tahun), salah seorang warga
Tim 16. Warga menuntut Minarak Lapindo Jaya
melaksanakan janji yang diucapkan di depan Presiden bulan
Desember lalu.
Saat itu, Nirwan Bakrie berkomitmen untuk segera
membayar 80% sisa uang aset korban Lapindo. Caranya
dengan dicicil 30 juta perbulan plus 2,5 juta untuk
memperpanjang kontrak. Meski warga sudah memberi
toleransi dengan menerima pola cicilan ini namun MLJ
kembali mangkir dari omongannya sendiri.
“Kurang dari 2% dari Tim 16 yang dicicil sesuai dengan
janji (3 Desember),” tutur Ruli. Sisanya ada yang dicicil 15
juta dan ada pula yang dicicil 2,5 juta. Tim 16 meminta supaya
MLJ segera menuntaskan persoalan ini.
Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo, KoalisiKorban Lumpur Meluruk Grahadi
Ada yang beda dari demo korban Lapindo 16 Februari
lalu. Biasanya mereka turun ke jalan dalam kelompok-
kelompok kecil dan menyuarakan tuntutan kelompok mereka.
Namun demo pagi ini lebih kompak, mereka tergabung dalam
Koalisi Kelompok Korban Lapindo (K3L).
K3L ini terdiri dari Gerakan Pendukung Perpres 14/2007
alias Geppres (tuntutan: cash and carry), Laskar Korban
Lumpur atau Lasbon Kapur (tuntutan: 20% cash dan 80%
diganti rumah), Pengungsi Pasar Baru Renokenongo atau
Persatuan Warga Renokenongo Korban Lapindo alias Pagar
Rekorlap (belum tuntas 20% dan belum menentukan sikap
untuk 80%), dan Persatuan Warga Perum TAS I alias Tim 16.
Koalisi ini terbentuk karena kesamaan nasib sial, yakni:
hampir tiga tahun tak satu pun kelompok yang sudah tuntas
tuntutannya. Mereka juga merasa gubernur baru, yang belum
genap seminggu dilantik, yaitu: pasangan Sukarwo dan
Syaifullah Yusuf.
Korban mendesak gubernur untuk berkomitmen kepada
korban Lapindo. Akhir Januari lalu Sukarwo sesumbar akan
segera menyelesaikan kasus Lapindo. Kasus Lapindo masuk
dalam agenda 100 hari pertama Gubernur.
Korban lumpur tak begitu yakin dengan sesumbar ini dan
ingin kerja nyata Pakde Karwo. Zainal Arifin, koordinator
aksi, bilang gubernur musti berkomitmen dan mendesak
pemerintah mengambil alih proses ganti rugi lewat dana apa
pun. Korban lainnya, Sumitro, menuntut pemerintah untuk
memberikan dana talangan untuk para korban.
Haji Sunarto, pimpinan Pagar Rekorlap, menyatakan akan
memboikot pemilu jika persoalan korban ini tidak selesai
sampai pemilu 2009. “Jika sampai pemilu 2009, ganti rugi
korban belum terselesaikan, maka kami akan memboikot
pemilu. Buat apa memilih pemimpin jika tidak perduli dalam
penderitaan kami,” tegas Sunarto.
Usai menemui perwakilan korban, Sukarwo bilang
meminta persiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendesak
PT lapindo Brantas untuk segera membayar sisa ganti rugi
80% yang sudah telat hampir satu tahun.
Selain itu Sukarwo berjanji kepada ribuan masa akan
mencarikan dana talangan dari pemerintah daerah maupun
pusat untuk ganti rugi semua korban. Warga membubarkan
diri setelah Sukarwo mengumbar janji.
7Kanal | Edisi 7 | 2009
Diasuh oleh Tim Advokasi HukumPosko Bersama Korban Lapindo HUKUM
Warga korban Lapindo sudah berkali-kali disuguhi
kesepakatan pelunasan aset tanah dan bangunan
mereka yang tenggelam. Tapi hingga hampir tiga
tahun ini, seluruh skema itu tidak juga ditaati oleh
PT Minarak Lapindo Jaya sebagai juru bayar
Lapindo Brantas, Inc. Sementara, kondisi
kehidupan warga terus memburuk. Bagaimana jika
Pemerintah saja yang mengambil alih penyelesaian
ini? Apakah memungkinkan secara hukum?
Pada dasarnya, Pemerintah memiliki tanggung jawab
untuk melindungi rakyatnya. Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28 ayat (4) menyatakan, perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah
seharusnya tidak membiarkan rakyatnya diombang-
ambingkan oleh korporasi PT Lapindo Brantas, sebuah
lembaga swasta.
Adanya Perpres 14/2007 tidak serta merta
menunjukkan Pemerintah telah melakukan perlindungan
atas rakyatnya. Sebab, faktanya, skema penyelesaian
masalah sosial yang tercantum dalam Perpres tersebut
sama sekali tidak efektif, dioper-oper, berbelit.
Pemerintahan meneyerahkan pada Lapindo, lalu
Lapindo menyerahkan pada PT Minarak Lapindo Jaya.
Penyelesaian pembayaran uang muka aset korban
sebesar 20 persen belum juga tuntas. Sedangkan
pelunasan 80 persen terus berputar-putar. Ada yang
disuguhi tanah pengganti, yang ternyata juga bermasalah.
Ada yang dijanjikan rumah, tapi belum juga dibangun.
Ada yang diberi cicilan, namun juga tak ditepati. Ada
yang sama sekali tidak mendapat pembayaran apa-apa
meski menurut Perpres sudah jatuh tempo pelunasan
80 persen.
Ujungnya, rakyat korban dibiarkan berhadap-hadapan
langsung dengan korporasi. Pemerintah bertindak
seolah-olah sebagai penengah konflik antara Lapindo
dan warga korban. Padahal, seharusnya Pemerintah
berada dalam posisi melindungi rakyatnya. Toh, Lapindo
yang mengingkari janji berkali-kali justru tidak mendapat
konsekuensi hukum apa-apa.
Apakah Pemerintah bisa mengambil alih
penyelesaian? Bisa. Selain landasannya adalah UUD
1945 di atas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri
dalam laporannya pada 29 Mei 2007 sudah memberikan
rekomendasi pengambilalihan dan penyelamatan
masyarakat setempat tersebut. Pemerintah juga bisa
menyediakan anggaran penyelesaian masalah sosial
tersebut dalam APBN Perubahan dengan memperoleh
persetujuan DPR. Ini dijamin Undang-Undang 17/2003
Tentang Keuangan Negara Pasal 27 ayat (4) dan ayat
(5).
Dengan Pemerintah mengambil alih penanganan
masalah sosial tersebut, tidak berarti Lapindo lepas
tanggung jawab. Pengambilalihan ini bukan upaya
menyelamatkan Lapindo, melainkan upaya
menyelamatkan warga korban. Pemerintah harus tegas
menuntut tanggung jawab Lapindo secara finansial
maupun administratif. Bahkan melalui Pasal 25 UU 23/
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gubernur
Jatim berwenang melakukan paksaan terhadap
penanggung jawab usaha Lapindo untuk menanggung
beban biaya atas penyelamatan, penanggulangan,
maupun pemulihan akibat kerusakan yang ditimbulkan
oleh Lapindo. Jadi, keseluruhan biaya itu ditagihkan ke
Lapindo, bahkan Pemerintah bisa menyita aset-aset
Lapindo dan pemegang tanggung jawab (Bakrie Group).
Jika Lapindo mengelak karena merasa belum
diputuskan bersalah oleh pengadilan, berdasarkan UU
23/1997 tersebut, Gubernur selaku pejabat administrasi
negara berwenang menilai ada tidaknya palanggaran
dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan
pengadilan. Bukti-bukti yang ada, baik dokumen realtime
chart, daily drailing report, SOP, dokumen audit BPK,
keterangan ahli di Konferensi Cape Town yang lalu, dan
lain-lain bisa dijadikan landasan keputusan Gubernur.
(Baca rubrik Hukum Edisi Nomor 5)
Sementara, perangkat hukum yang sering dirujuk
sebagai ‘penyelesai masalah’, yakni Perpres 14/2007 dan
Perpres 48/2008 dianggap (ditafsir) sebagai pelengkap.
Dan seharusnya, pejabat negara tak perlu berdalih dengan
kedua produk hukum itu. Posisi UU jelas lebih tinggi
dari Perpres. *
Pemerintah MengambilAlih Penyelesaian Masalah Sosial?
8 Kanal | Edisi 7 | 2009
“Pilihlah Aku”
Baliho di mana-mana. Di pinggiran tanggul, di bekas rumah
korban Lapindo, di pengungsian—semua seperti hendak
berteriak: “Pilihlah aku”. Partai apakah yang jadi pilihan korban
lumpur nanti? Ada korban lumpur yang enggan menyontreng
partai manapun, memilih golput. Tapi jangan kuatir, korban
lumpur akan memilih partai-partai itu, mungkin semuanya
sekaligus. (Foto: AS Nizar/A Novik )
“Pilihlah Aku”