kakao cetaak
-
Upload
haidirbunsus -
Category
Documents
-
view
278 -
download
2
Transcript of kakao cetaak
28
A. POTENSI
1. Letak Wilayah
Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki nilai
strategis dalam konstalasi pembangunan Indonesia. Selain memiliki sumber daya alam
yang cukup besar, khususnya di bidang pertanian, dengan letak strategis ditengah-
tengah Indonesia dan menjadi pintu gerbang sekaligus berfungsi sebagai pusat pelayanan
Kawasan Timur Indonesia.
Wilayah pengembangan komoditi Kopi di Provinsi Sulawesi Selatan tersebar di
beberapa Kabupaten/Kota dengan penyebaran areal pada ketinggian optimum 0-600 mdpl.
Wilayah-wilayah pengembangan sentra produksi Kakao di Sulawesi Selatan antara lain
terdapat di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Soppeng, Wajo, Enrekang dan
Sidrap. Secara terperinci daerah wilayah pengembangan kakao dapat dilihat pada Tabel 1.
28
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Kakao Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Tabel 1. Menunjukkan bahwa luas areal tanaman kakao di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
263.153,05 Ha dengan produksi sebanyak 163.001,47 Ton. Dari 22 Kabupaten terdapat areal
LUAS AREAL (HA) PRODUKSINO. KABUPATEN / TBM TM TR/TT JUMLAH (TON)
KOTA 1 2 3 4 5 6 7
1 L u w u 3.703,58 28.862,08 4.196,50 36.762,16 26.996,002 Luwu Utara 4.773,38 46.632,18 4.833,13 56.238,69 31.667,003 Luwu Timur 6.246,14 27.779,26 2.310,50 36.515,90 19.229,004 Palopo 216,62 2.429,90 630,92 3.277,44 2.177,005 Tana Toraja 634,00 2.459,00 318,00 3.411,00 2.277,006 Toraja Utara 212,00 1.646,00 141,00 1.999,00 1.432,007 B o n e 1.081,00 28.339,00 1.205,00 30.625,00 20.803,008 Soppeng 3.054,00 11.332,00 1.213,80 15.599,80 11.014,009 W a j o 2.964,00 9.990,00 1.993,00 14.947,00 8.126,0010 Sinjai 175,00 3.650,00 820,00 4.645,00 3.396,0011 Bulukumba 1.041,00 5.266,00 834,00 7.141,00 4.520,0012 Selayar 199,00 390.00 83,50 672,50 164,0013 Bantaeng 5,00 5.334,27 33,57 5.372,84 2.888,201415
JenepontoTakalar
2,254,00
92.0036.00
8,50-
102,7540,00
57,3022,30
16 G o w a 860,52 1.646,50 954,00 3.461,02 1.374,0017 M a r o s 388,00 1.107,00 26,00 1.521,00 707,9018 Pangkep 21,00 202.00 23,00 246,00 102,7019 B a r r u 8,00 833.00 20,00 861,00 544,9020 Pinrang 666,00 16.972,00 5.112,00 22.750,00 15.259,0021 Sidrap 1.284,15 7.510,30 29,50 8.823,95 6.327,0022 Enrekang 1.878,50 5.342,00 919,50 8.140,00 3.917,17
J u m l a h 29.597,14 207.850,49 25.705,42 263.153,05 163.001,47
28
kakao dengan luas areal yang terbesar yaitu Kabupaten Luwu Utara yang memiliki luas
56.238,69 Ha dengan produksi sebesar 31.661 Ton, sedangkan kabupaten dengan luas
areal terkecil yaitu Kabupaten Takalar dengan luas areal 40 Ha dengan produksi sebesar
22,30 Ton.
2. Luas Areal dan Produksi
Luas Areal dan Produksi Kakao Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
3. Produktivitas dan Jumlah Petani
Rata-rata produktivitas tanaman Kakao di Provinsi Sulawesi Selatan adalah 784,22
Kg/Ha dengan jumlah petani sebanyak 288.405 KK. Ada beberapa kabupaten yang memiliki
tingkat produktivitas yang tinggi yaitu antara lain Kabupaten Luwu dengan produktivitas
935,34 Kg/ha dengan jumlah petani sebanyak 31.702 KK, Sinjai 930,41Kg/Ha, Soppeng
971,94 Kg/Ha dengan jumlah petani sebanyak 23.211 KK, Pinrang 899,07 Kg/Ha dengan
jumlah petani 25.950 KK, Tana Toraja 925,99 Kg/Ha dengan jumlah petani 11.290 KK,
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produktivitas dan Jumlah Petani Kakao Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
JUMLAH
28
NO. KABUPATEN / PRODUKTIVITAS PETANI KOTA (KG/HA) (KK)1 2 3 4
1 L u w u 935,34 31.0722 Luwu Utara 679,08 43.3153 Luwu Timur 692,21 26.6434 Palopo 895,92 2.9145 Tana Toraja 925,99 11.2906 Toraja Utara 869,99 6.3467 B o n e 734,08 40.7328 Soppeng 971,94 23.2119 W a j o 813,41 22.02410 Sinjai 930,41 7.47011 Bulukumba 858,34 10.82212 Selayar 420,51 1.44413 Bantaeng 541,44 6.43214 Jeneponto 622,83 2811516
TakalarG o w a
619,44834,50
1816.052
16 M a r o s 639,48 1.89317 Pangkep 508,42 67918 B a r r u 654,14 1.404 19 Pinrang 899,07 25.950 20 Sidrap 842,44 8.03021 Enrekang 733,28 9.590
J u m l a h 784,22 288.405
B. VISI DAN MISI
28
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka melaksanakan program
dan kegiatan mengacu kepada Visi dan Misi 2008 – 2013.
Visi
Terwujudnya Sulawesi Selatan sebagai wilayah perkebunan terkemuka berbasis kakao
Misi
Mengembangkan perkebunan yang maju, produktif dan berkualitas melalui
penguatan komoditi unggulan berbasis Kakao;
Mengembangkan usaha agribisnis perkebunan yang utuh melalui pemberdayaan
di hulu untuk memperkuat di hilir dalam mendukung industri berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan;
Memberdayakan kelembagaan masyarakat perkebunan untuk mendorong akses
penguatan usaha perkebunan melalui pengembangan kerjasama dan kemitraan
usaha;
Mendorong pengembangan inovasi teknologi dalam mendukung peningkatan
produktivitas dan nilai tambah produk perkebunan yang berbasis unggulan
kompetitif.
Tujuan :
28
Meningkatkan produksi/produktivitas dan kualitas komoditas perkebunan dengan
berbasis Kakao yang memiliki keunggulan kompetitif untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perkebunan;
Meningkatkan usaha agribisnis perkebunan untuk menunjang ketersediaan input
produksi dalam rangka mendukung peningkatan pengolahan hasil produk
perkebunan.
Meningkatkan kerjasama usaha untuk mendorong pengembangan kemitraan
dalam rangka memperkuat akses kelembagaan masyarakat perkebunan dan
memperluas jaringan pasar.
C. BUDIDAYA
I. Pendahuluan
Pada masa yang akan datang, komoditas biji kakao Indonesia diharapkan
memperoleh posisi yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya seperti karet,
kopi, dan kelapa sawit, baik dalam luas areal maupun produksinya. Sumbangsih nyata
biji kakao terhadap perekonomian Indonesia adalah dalam bentuk nilai devisa dari
ekspor biji kakao dan hasil industri kakao. Efek positif yang tidak kalah penting dari
peningkatan komoditas kakao adalah tersedianya lapangan pekerjaan bagi jutaan
penduduk Indonesia.
a. Sejarah
28
Penelusuran tentang sejarah tanaman kakao melalui publikasi yang tersedia
menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di
bagian utara Amerika Selatan. Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan serta digunakan
sebagai bahan makanan dan minuman cokelat oleh Suku Maya dan Suku Astek (Aztec). Suku
Indian maya adalah suku yang dulunya hidup di wilayah yang kini disebut Guatemala,Yucatan
dan Honduras (Amerika Tengah). Mereka telah terbiasa mengkonsumsi cokelat. Namun,
seiring penaklukkan Suku Maya oleh Suku Astek, kebun-kebun kakao milik Suku Mayaturut
dikuasai. Beranjak dari penaklukkan tersebut, Suku Astek mulai memperlajari cara menanam
serta mengolah kakao menjadi makanan atau minuman cokelat. Oleh karena itu, ketika
bangsa Spanyol datang pada tahun 1519, Suku Astek lah yang lebih dikenal sebagai
penanam dan pembudidaya tanaman kakao.
Saat ini tanaman kakao di Indonesia merupakan salah satu Negara pembudidaya
tanaman kakao paling luas di dunia dan termasuk Negara penghasil kakao terbesar ketiga
setelah Ivori Coast dan Ghana, yakni dengan nilai produksi tahunannya mencapai 572 ribu
Ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2006, pada tahun 2003 luas
areal penanaman kakao telah mencapai 917 ribu Ha dan tersebar diseluruh provinsi, kecuali
DKI Jakarta).
Pengusahaan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan
rakyat sekitar 965 ribu keluarga tani terlibat langsung dalam usaha tani kakao. Pada
tahun 2005, tercatat seluas 887.735 Ha (89,45%) perkebunan kakao di Indonesia
merupakan perkebunan rakyat. Sementara perkebunan besar swasta seluas 54.737
Ha (5,51%) dan perkebunan besar nagara hanya seluas 49.976 Ha (5,04%). Oleh
28
karena itu kakao rakyat menyumbang sekitar 90% dari produksi nasional. Namun, dari
perkebunan kakao yang ada di Indonesia, nilai produktivitas nasionalnya rendah, yaitu
rata-rata 897 Kg/Ha/tahun, padahal potensi produktivitas tanamannya bisa mencapai
lebih dari 2000 Kg/Ha/tahun.
b. Prospek
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa kecenderungan peningkatan
harga kakao dunia. Harga kakao dunia pada tahun 2006 berada pada kisaran diatas
US$ 1.500/ton. Angka ini lebih baik dari tahun 2004 yang hanya berada pada kisaran
diatas US$ 1.400/ton (ICCO, 2006). Tahun 2007 (semester pertama), tercatat
mencapai US$ 1.900/ton. Fluktuasi harga kakao tersebut tidak lepas dari
keseimbangan pasokan dan grinding kakao. Namun setelah tingkat produksi
mengalami surplus sebesar 262.000 ton pada tahun 2003, produksi kakao mengalami
defisit sebesar 38.000 ton dan 221.000 ton berturut-turut pada tahun 2004 dan 2005.
Menyimak ketahanan para petani kakao Indonesia dalam menghadapi fluktuasi
harga kakao pada tahun-tahun yang lalu, kondisi defisit produksi dan kecenderungan
peningkatan tingkat grinding dunia justru menjadi peluang yang besar. Titik terang
mengenai tingkat grinding dunia memang mengalami peningkatan nyata, yakni ketika
Asia dinyatakan sebagai kelompok negara yang mengalami peningkatan lebih besar
dibanding kelompok negara lain (sebesar 13,2%), sementara kenaikan grinding dunia
pada tahun yang sama (2004) hanya sebesar 4,8% (lihat Tabel.3 dan Tabel 4,).
28
Grinding kakao dalam negeri juga masih memerlukan pasokan kakao dalam jumlah
yang cukup besar sehingga impor biji kakao Indonesia terus mengalami peningkatan.
Kelompok negara Asia diperkirakan akan terus mengalami peningkatan
konsumsi, seiring dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Sedikit saja kenaikan
tingkat konsumsi di Asia khususnya China, Indonesia, dan India (hampir setengah dari
populasi penduduk dunia berdmomisili di kawasan ini), secara nyata akan
meningkatkan produksi kakao di Asia. Namun bila dibandingkan dengan negara-
negara Amerika Utara dan Eropa Barat (2.443-2.783 g/tahun), tingkat konsumsi kakao
per kapita di negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika masih sangat rendah yaitu
hanya mencapai 12-262 g/tahun.
Dibandingkan dengan negara produsen kakao lainnya, Indonesia memiliki
beberapa keunggulan dalam hal pengembangan kakao. Keunggulan tersebut antara
lain :
Ketersediaan yang masih cukup luas,
Biaya tenaga kerja yang relatif murah,
Potensi pasar domestik yang besar, dan
Sarana transportasi yang cukup baik.
II. Kesesuaian Lahan
28
Kesesuaian lahan merupakan ukuran kecocokan suatu lahan untuk digunakan,
termasuk untuk budidaya tanaman kakao. Oleh karena itu, sebelum memulai
penanaman, alangkah baiknya bila terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap
lahan yang akan digunakan. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai sumber daya lahan
sehingga bisa didapatkan informasi yang jelas mengenai seluk beluk lahan sesuai
dengan yang dibutuhkan.
a) Tahapan Penilaian
Terdapat dua macam cara dalam melakukan penilaian lahan, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dilakukan dengan
melakukan trial and error atau percobaan di lapangan. Sementara penilaian
secara tidak langsung adalah dengan melakukan pemetaan dan prediksi-prediksi
terhadap lahan yang akan digunakan.
Proses penilaian lahan secara tidak langsung dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan. Mulai dari pencirian lahan yang umumnya dilakukan saat
survey tanah, mempelajari karakteristik lahan, dan terakhir dengan menilai
keseuaian lahannya.
b) Sifat dan Karakteristik Lahan
28
1. Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang cukup berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan keberhasilan budidaya tanaman termasuk budidaya
kakao. Tanaman kakao dapat tumbuh pada garis lintang 10o LS – 10o LU dan
pada ketinggian 0–600 mdpl. Faktor iklim yang turut mempengaruhi
pertumbuhan tanaman kakao antara lain suhu udara, curah hujan, kelembapan
udara, angin, dan intensitas cahaya matahari.
a. Suhu Udara
Suhu udara merupakan faktor lingkungan yang cukup mempengaruhi
fisiologis tananamn kakao. Untuk petumbuhan yang optimal, kakao
membutuhkan suhu dengan batasan tertentu yakni suhu minimum 18-21oC
dan maksimum 30-32oC. Tanaman kakao sangat peka terhadap
penyimpangan suhu yang terlalu ekstrim. Suhu yang terlalu rendah bisa
menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao. Pada suhu
dibawah 25,5oC pembentukan bunga akan terhambat dan pertumbuhan
tanaman menurun. Sementara itu, suhu yang terlalu tinggi bisa menyebabkan
pertumbuhan vegetatif tanaman yang over. Pada suhu diatas 28oC dengan
fluktuasi harian diatas 9oC, tanaman akan mengalami ledakan tunas.
b. Curah Hujan
28
Tanaman kakao membutuhkan curah hujan yang sebarannya merata
atau curah hujan tahunannya lebih besar dari evapotranspirasinya. Kisaran
curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman kakao adalah 1.500 –
2.500 mm/tahun.
Di daerah yang curah hujannya kurang dari 1200 mm/tahun, proses
evapotranspirasinya lebih besar dari curah hujannya sehingga tanaman
kakao membutuhkan tambahan pengairan agar pertumbuhannya bisa
berlangusng normal. Pada kisaran curah hujan yang berlebih (lebih dari 3.000
mm/tahun), baisanya banyak kendala yang dijumpai seperti serangan hama
dan penyakit, pencucian hara yang berlebih, serta terjadinya erosi tanah.
c. Kelembapan udara
Tanaman kakao menghendaki lingkungan dengan kelembapan tinggi
dan konstan, yakni diatas 80%. Nilai kelembapan ini merupakan mikroklimat
hutan tropis yang dapat menjaga stabilitas tanaman. Kelembapan tinggi bisa
mengimbangi proses evapotranspirasi tanaman dan mengompensasi curah
hujan yang rendah. Namun kelembapan tinggi yang terus menerus terjadi
bisa mencetuskan munculnya jamur penyebab penyakit.
d. Angin
28
Tanaman kakao tergolong jenis tanaman yang rentan terhadap
dorongan angin kencang. Secara langsung, angin dapat merusak daun,
terutama daun-daun yang muda dan secara tidak langsung menyebabkan
tanaman kehilangan air akibat meningkatnya proses transpirasi sehingga
daun menjadi gugur.
e. Intensitas Cahaya Matahari
Secara umum, kebutuhan cahaya yang bisa mencukupi untuk proses
asimilasi tanaman adalah sekitar 75% dari total cahaya matahari penuh.
Sebagai tanaman yang terbiasa hidup dibawah naungan pohon-pohon besar,
kakao tetap membutuhkan naungan untuk mengatur intensitas cahaya
matahari sesuai dengan yang dibutuhkan, menjaga suhu dan kelembapan,
mengurangi evaporasi dari tanah, serta menjadi penyangga lingkungan.
Untuk mengoptimalkan cahaya matahari yang diterima, tanaman penanung
juga harus dipelihara, yakni dengan cara memangkasnya atau
membongkarnya.
2. Tanah
28
Tanaman kakao merupakan tanaman yang tidak rewel terhadap jenis tanah
tempat tumbuhnya. Tanaman kakao bisa survive di berbagai macam tanah.
Namun, yang terpenting adalah tanah tersebut memiliki sifat fisik tanah dan kimia
tanah yang baik.
a. Sifat Fisik Tanah
Tanah dikatakan memiliki sifat fisik yang baik apabila mampu menahan
air dengan baik, dalam hal ini memiliki aerasi dan drainase tanah yang baik.
Untuk menunjang pertumbuhannya, tanaman kakao menghendaki tanah yang
subur dengan kedalaman kurang dari 1,5 m. Hal ini penting karena akar
tunggang tanaman membutuhkan tempat yang leluasa untuk ditembusnya
sehingga akar tunggang tidak tumbuh kerdil atau bengkok. Pertumbuhan
akar yang tidak optimal bisa berdampak pada menurunnya produktivitas
tanaman.
Tanah yang cocok untuk tanaman kakao adalah yang bertekstur geluh
lempung (clay loam) yang merupakan perpaduan antara 50% pasir, 10-20%
debu, dan 30-40% lempung berpasir. Tekstur tanah ini dianggap memiliki
kemampuan menahan air yang tinggi dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
b. Sifat Kimia Tanah
28
Berdasarkan sifat kimianya, tanaman kakao membutuhkan tanah yang
kaya akan bahan-bahan organic (minimal 3% dan memiliki pH sekitar netral.
Bahan organik sangat bermanfaat bagi tanaman kakao terutama untuk
memperbaiki struktur tanah, menahan air, dan sebagai sumber hara. Bahan
organik yang tersedia dalam tanah akan berkorelasi positif terhadap
pertumbuhan tanaman.
Sementara pH tanah bisa dijadikan sebagai indikator tersedianya unsur
hara di dalam tanah. Walaupun pada kisaran pH 4,0 – 8 tanaman kakao masih
dapat tumbuh, tetapi tanaman kakao akan lebih baik tumbuh pada kisaran
pH 6,0 – 7,0. Bila pH tanah terlalu alkalis (lebih dari 8), tanaman kakao akan
mengalami defisiensi terhadap unsur-unsur seperti Fe, Mn, Zn, dan Cu
sehingga tanaman akan mengalami klorosis. Sebaliknya, bila pH tanah terlalu
asam (kurang dari 4), tanaman kakao akan kelebihan unsur-unsur tersebut (Fe,
Mn, Zn, dan Cu) sehingga tanaman kakao akan mengalami keracunan unsur
hara.
III. Bahan Tanam
28
Pengembangan bahan tanam dapat dilakukan dengan dua metode
perbanyakan, yakni generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif umumnya
dilakukan melalui persilangan antara sel kelamin betina (sel telur) dengan sel kelamin
jantan (serbuk sari/polen) yang menghasilkan hibrida dengan sifat tetua unggul.
Sementara itu, perbanyakan secara vegetatif umumnya melalui metode
penyambungan (gaft) atau metode temple (okulasi). Bahan tanaman kakao bisa terdiri
dari benih hibrida unggul yang diproduksi oleh kebun induk atau batang okulasi
(entries) yang diahsilkan oleh kebun okulasi.
Kehadiran bahan tanam hasil uji coba dari dua metode tersebut sangat
memungkinkan untuk digunakan pada kebun-kebun kakao yang mengalami kerusakan.
Bila kerusakannya terlalu parah, akan lebih praktis bila menggunakan bahan tanam
berupa benih hibrida unggul karena harus dilakukan penanaman ulang. Namun, bila
kerusakannya masih kerusakannya masih pada level ringan sampai medium, bahan
tanam yang lebih cocok untuk digunakan adalah berupa entries dari klon-klon unggul.
IV. Perbanyakan Tanaman
Perbanyakan merupakan cara untuk mendapatkan bibit dengan criteria
unggul, tanaman kakao dapat diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Berikut
akan diuraikan aplikasi dari kedua cara perbanyakan tersebut :
a). Perbanyakan Generatif
28
Berdasarkan sifatnya, tanaman kakao dapat memperbanyak diri secara
generatif, yakni dengan rencana penyerbukan silang. Perbanyakan kakao
melalui cara ini sudah sering dilakukan pada tanaman kakao lindak dengan
menggunakan benih. Walaupun bibit yang dihasilkan cenderung tidak seragam,
namun lebih sederhana dan efektif dalam pengaplikasiannya. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan hasil bibit sesuai yang diharapkan ada baiknya memiliki
pemahaman lebih jauh mengenai sifat beinh, proses pembibitan dan faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhinya.
1. Pembuatan Benih
Untuk menghasilkan tanaman kakao yang baik, benih harus berasal dari
indukan yang sehat, memiliki pertumbuhan yang normal, serta berdaya
produksi tinggi.benih yang disimpan dalam buah memiliki daya tumbuh
selama 15-20 hari waktu penyimpanan. Sebaliknya, bila benih yang
disimpan diluar buah tidak diberi perlakuan yang khusus, benih akan cepat
berkecambah hanya dalam waktu 3-4 hari. Untuk mempertahankan daya
tumbuhnya, benih kakao harus diberi perlakuan khusus terlebih dahulu
selama dalam masa penyimpanan.
2. Perkecambahan benih
28
a. Perkecambahan dengan bedengan
Perkecambahan ini dilakukan dalam bedengan setinggi 1,5 m,
lebar 0,8 – 1 m, dan panjangnya sesuai kebutuhan. Bedengan
sebaiknya berupa lahan yang datar yang telah dibersihkan dengan
gulma, akar-akar pohon, atau batu. Bedengan tersebut dilapisi dengan
media pasir stinggi ± 15 cm. Dibagian tepi diberi bata merah untuk
mencegah pasir terbawa oleh air siraman. Sementara itu, dibagian
atas bedengan dibuat atap dari daun kelapa atau alang-alang yang
sengaja dibuat miring kea rah barat, tinggi atap sebelah timur 1,5 m
dan sebelah barat 1,20 m.
Perkecambahan benih dalam bedengan dilakukan dengan cara
meletakkan bagian tubuh benih dengan ujung besar atau di tempat
keluarnya akar (radikula) dibagian bawah. Benih kemudian disusun
dengan kerapatan tanaman yang berjarak alur sekitar 3 cm dan jarak
antar benih sekitar 1 cm. Benih akan mulai berkecambah pada hari ke-
4 atau hari ke-5. Pada hari ke-12, semua benih biasanya telah
berkecambah. Apabila keping biji telah mulai terlihat, pertanda benih
siap untuk dipindah ke media pembibitan.
b. Perkecambahan dengan karung goni
28
Perkecambahan dengan karung goni juga membutuhlan lahan yang bebas
dari gulma, kotoran-kotoran akar atau daun. Untuk menjamin drainase,
pada dasar lahan diletakkan karung goni. Sebelum benih disemaikan,
karung goni disiram dengan air sampai jenuh. Benih kakao disusun diatas
karung dengan jarak tanam 2x 3 cm setelah itu benih ditutup kembali
dengan karung goni lain yang sudah disterilkan ke dalam larutan
fungisida. Setelah 4 hari, karung goni dilepas dan biasanya benih telah
berkecambah.
3. Pembibitan
Pada hari ke-4 dan ke-5, benih yang telah berhasil dikecambahkan
selanjutnya dipindahkan ke media pembibitan berupa campuran tanah
subur, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Sebelum
digunakan, campuran media tersebut diayak terlebih dahulu dan
dimasukkan ke dalam polybag berukuran 20 x 30 cm sampai sekitar 1-2
cm dibawah tepi polybag.
Seperti halnya media perkecambahan, media pembibitan juag
dilengkapi dengan atap untuk menaungi kecambah. Selain rutin disiram 2
kali sehari, bibit juga perlu diberi perlakuan pemupukan.
4. Pemindahan bibit ke kebun
28
Bibit yang paling baik untuk ditanam di lapangan adalah yang
berumur 4-5 bulan, tinggi 50 – 60 cm, berdaun 20 – 45 helai, dan
berdiameter batangnya 8 mm. Namun, untuk kakao mulia senaiknya
setelah bibit berumur 6 bulan. Untuk jarak tanam 3 x 3 cm, dibutuhkan
bibit sekitar 1.250 batang, termasuk untuk bibit sulaman. Agar bisa
beradaptasi, sebelum bibit dipindahkan di kebun, bibit diaklimatisasi
terlebih dahulu, yakni melalui panjarangan (hardening) yaitu dengan
cara membuka atap bedengan secara bertahap sehingga pada saat
bibit dipindahkan atap telah terbuka penuh seperti kondisi kebun. Pada
saat bibit ditanam di kebun, idealnya pohon naungan harus sudah
tumbuh terlebih dahulu.
b). Perbanyakan Vegetatif
Pembaiakan vegetatif dapat dilakukan pada tanaman kakao
meliputi sambung pucuk (grafting), okulasi (budding), setek (cutting),
cangkokan (air layering), dan kultur jaringan (somatic embryogenesis).
Metode lain yang dapat digunakan untuk merehabilitasi adalah metode
sambung samping (side cleft grafting).
Diantara metode perbanyakan tersebut, metode okulasi merupakan
yang paling lazim digunakan, karena penggunaannya cukup hemat dan
menggunakan satu mata entres saja. Namun pertumbuhan tunasnya
28
memakan waktu cukup lama,sekitar 9 bulan.Selain itu penggunaannya
terbatas untuk perkebunan besar. Dari bidang pemuliaan tanaman,
perbanyakan denngan sambung pucuk dan okulasi dapat mempersingkat
waktu untuk menguji klon baru. Hanya dengan menempelkan entries atau
mata okulasi ke batang bawah yang sedang dalam fase pertumbuhan
generative, tanaman akan cepat berbunga. Metode ini juga dapat
digunakan untuk menguji adanya penyakit yang sifatnya sistemik serta
menguji ketahan suatu klon baru terhadap penyakit, baik disebabkan oleh
virus maupun parasit.
V. Konservasi dan Persiapan Lahan
Pilihan komposisi pertanaman dan praktik bercocok tanam yang diterapkan
atas suatu lahan seyogyanya mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah misalnya
pembuatan teras, penanaman menurut kontur, pembuatan saluran pembuangan air
huajn, dan drainase menurut kontur, serta pembuatan rorak. Selain itu mempersiapkan
areal penanaman sesuai petunjuk misalnya lahan tanpa semak, gulma, dan
memperhatikan kebutuhan air, hara, dan cahayanya.
VI. Pola Tanam dan Tumpang Sari
28
Diversifikasi tanaman merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi resiko
kegagalan usaha penanaman kakao. Peluang melakukan diversifikasi horizontal pada
tanaman kakao masih terbentang luas karena tanaman kakao toleran terhadap
penaungan. Pemakaian pohon penaung yang bernilai ekonomis tinggi dan tanaman
sela yang tepat merupakan beberapa bentuk dari diversifikasi tanaman yang layak
untuk dikembangkan. Pada lahan yang kering, diversifikasi tanaman kakao hanya bisa
dilakukan dengan metode tumpang sari (intercropping) karena tumpang sari menjamin
keberhasilan pertanaman yang terganggu akibat iklim yang tidak menentu dan faktor-
faktor lainnya.
Dari beberapa alternatif tanaman tumpang sari tersebut, kelapa merupakan
salah satu jenis tanaman yang paling banyak diteliti karena menunjukkan kombinasi
yang baik dengan tanaman kakao.
VII. Pemangkasan
Pemangkasan pada tanaman kakao ditujukan untuk menjaga kesehatan dan
meningkatkan produksi buah. Berdasarkan umur tanaman, pemangkasan terbagi
menjadi tiga, yaitu pemangkasan pada pembibitan, pemangkasan tanaman yang belum
menghasilkan, dan pemangkasan tanaman yang sudah menghasilkan. Bila dilihat dari
tujuannya, pemangkasan dibedakan menjadi empat, yaitu pemangkasan bentuk,
pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan produksi, dan pemangkasan
pemeliharaan.
28
a). Pemangkasan bentuk
Pemangkasan ini dilakukan agar tanaman kakao memiliki bentuk/kerangka yang
baik sehingga pertumbuhannya seimbang dan semua daun terkena sinar
matahari secara merata. Agar pemangkasannya optimal, sebaiknya tanaman
dipangkas pada saat berumur 8-12 bulan (tanaman muda) dan pada saat berumur
18-24 bulan (tanaman remaja). Cara yang dapat dilakukan dalam pemangkasan
bentuk adalah sebagai berikut :
Hilangkan cabang-cabang primer yang sudah tidak layak lagi (lemah),
biarkan hanya tersisa 3-4 cabang yang memiliki kondisi sehat dengan arah
pertumbuhan merata ke segala arah.
Buang cabang-cabang sekunder yang tumbuh terlalu dekat jorket (sekitar
(30-60 cm dari jorket).
Atur agar cabang sekunder jaraknya tidak terlalu dekat satu dengan yang
lainnya. Upayakan agar arah sebaran cabang-cabang sekunder tersebut
berbentuk zig-zag.
Potong cabang-cabang yang menggantung dan batasi pertumbuhunnya agar
tidak terlalu tinggi. Upayakan agar tinggi tanaman kakao selalu terjaga 3-4 m.
b). Pemangkasan Pemeliharaan
28
Pemangkasan ini bertujuan untuk memelihara tanaman kakao sehingga
pertumbuhannya bisa berlangsung sukses tanpa ada gangguan hama dan
penyakit.
Selain itu, untuk memacu pembentukan organ-organ tanaman seperti daun,
bunga, dan buah. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam pemagkasan pemeliharaan
adalah sebagai berikut :
Kurangi sebagian daun pada tajuk tanaman yang terlalu rimbun, yakni
dengan cara memotong ranting-ranting yang sangat ternaungi.
Pangkas cabang yang tumbuh dengan ketinggian > 3,5 m
Buang daun-daun yang menggantung agar tidak menghalangi pertumbuhan
cabang-cabangnya.
c). Pemangkasan Produksi
Pemangkasan produksi berkesinambungan dengan pemangkasan pemeliharaan.
Tujuannya adalah untuk memaksimalkan produktivitas tanaman. Cara ini
dilakukan dengan memangkas daun-daun agar tidak terlalu rimbun sehingga sinar
matahari tidak tersebar merata ke seluruh organ daun. Dengan demikian, proses
fisiologis terpenting dari tanaman, yakni fotosintetis bisa berjalan lancar sehingga
sirkulasi makanan dari daun ke seluruh organ tanaman juga lancer. Tanaman pun
akhirnya dapat berproduksi secara optimal.
28
VIII. Pemupukan
Pemupukan pada dasarnya dialkukan dengan tujuan menambah unsur-unsur
hara yang kurang atau tidak tersedia di dalam tanah. Umumnya, pemupukan tanaman
kakao menggunakan pupuk urea atau ZA sebagai sumber N, pupuk TSP sebagai
sumber P, dan pupuk KCl sebagai sumber K. selain pupuk buatan tersebut, pada
tanaman kakao juga bisa ditambahkan pupuk organic berupa pupuk kandang atau
kompos.
Meskipun tanaman membutuhkan asupan tambahan berupa pupuk buatan
ataupun pupuk organik, pemberian pupuk tetap harus memperhatikan petunjuk dan
dosis yang dianjurkan. Hal ini penting untuk mencegah tanaman kakao mengalami
keracunan akibat kekurangan atau kelebihan dosis yang hanya akan mengganggu
produktivitas tanaman kakao.
a). Jumlah/dosis unsur hara (pupuk) yang diberikan
Hasil analisis jaringan tanaman kakao menunjukkan bahwa sekitar 200 kg N, 25
Kg P, 300 Kg K, dan 140 Kg Ca setiap hektar diperlukan untuk membentuk
kerangka dan kanopi kakao sebelum tanaman mulai berbuah. Tanaman dapat
memenuhi kebutuhan akan hara dengan cara memanfaatkan unsur-unsur hara
yang memang sudah tersedia di dalam tanah. Dalam melakukan pemupukan
ternyata tetap harus memperhatikan kondisi tanaman dan lingkungan.
28
b). Jenis pupuk
Jenis-jenis pupuk yang umum diberikan dalam budidaya tanaman kakao adalah
sebagai berikut : Urea (46% N), ZA (21%N), TSP (46% P2O5), SP-36 (36% p2O5),
KCl (60% K2O), Kiserit (27% MgO) dan Dolomit (19% MgO).
c). Waktu Pemupukan
Pemupukan biasanya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Waktu yang ideal untuk
melakukan pemupukan adalah pada saat musim penghujan atau pada akhir musim
hujan (Maret – April atau Oktober – November).
d). Aplikasi Pemupukan
Pemberian pupuk organic yang diaplikasinkan melalui tanah dapat diberikan
dengan cara meletakkan pupuk pada parit (alur) yang dibuat melingkar di sekeliling
pohon dan kemudian ditutup kembali. Penutupan dimaksudkan untuk mengurangi
hilangya pupuk akibat penguapan (urea) dan erosi.
Pupuk yang diaplikasikan melalui daun dapat diberikan apabila telah tampak gejala
kekurangan atau kekahatan atau hanya dilakukan pada pemupukan unsur mikro
(seperti Cu, Zn, Fe, atau Mn). Untuk meningkatkan efektifitas pupuk daun,
penyemprotan dilakukan secara merata pada permukaan bagian bawah daun dan
menghindari penyemprotan menjelang turun hujan.
IX. Pengendalian Hama
28
Hama merupakan organisme pengganggu tumbuhan yang disebabkan oleh serangga,
tungau, dan mamalia. Pengendalian hama pada prinsipnya dilakukan melalui
pendekatan ekologis, yaitu tindakan evaluasi dan penggabungan semua teknik
pengendalian yang ada secara terpadu. Tujuannya adalah untuk mengelola populasi
hama agar tidak terjadi kerusakan secara ekonomis yang bisa berpengaruh buruk
terhadap lingkungan. Beberapa komponen teknologi pengendalian yang dapat
dipadukan antara lain adalah kultur teknis, mekanis, biologis, pemanfaatan tanaman
tahan, dan komponen kimiawi.
A. Penggerek Buah Kakao (PBK)
Hama PBK adalah ras biologis dari Conopomorpha cramerella Snell yang
hanya hidup pada kakao. Serangga dewasa hama PBK berbentuk ngengat yang
aktif terbang, kawin, dan meletakkan telurnya pada malam hari, yaitu muali pukul
18.00 sampai 07.00 keesokan harinya. Pada siang hari, ngengat bersembunyi
ditempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu pada bagian bawah cabang
horizontal.
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa 63,43% imago PBK
menyukai cabang horizontal yang berdiameter antara 5,1-10 cm, sedangkan
cabang vertikal dengan diameter 0-5 cm, tetapi hama ini tidak menyukai cabang
yang diameternya lebih dari 20 cm sebagai tempat peristirahatannya. Ngengat PBK
tidak mampu terbang jauh dan arah terbangnya tidak menentu. Seekor serangga
28
jantan hanya mampu terbang sejauh 153 m di lapangan terbuka, tetapi apabila
dilakukan penangkapan menggunakan feromon seks, ngengat jantan mampu
terbang sejauh 800 m.
Telur ngengat PBK berbentuk oval dengan panjang 0,45 – 0,50 mm dan
lebar 0,25 – 0,30 mm, pipih, berwarna orange pada saat baru diletakkan, dan
kemudian berubah menjadi abu-abu kehitaman apabila akan menetas. Telur PBK
lebih banyak diletakkan pada buah-buah yang berukuran panjang lebih dari 10 cm.
lama stadium telur berkisar antara 2-7 hari.
Hama ini menyerang buah-buah kakao mulai dari yang masih muda
(panjang ± 8 cm) sampai buah menjelang masak. Stadium yang menimbulkan
kerusakan pada tanaman kakao adalah stadium larva. Larva PBK cenderung
memakan daging buah dan saluran makanan yang menuju biji, walaupun tidak
sampai menyerang biji.
Larva yang baru menetas dari telur berwarna putih transparan dengan
panjang kurang lebih 1 mm. larva tersebut langsung menggerek ke dalam buah dan
memakan permukaan dalam kulit buah, daging buah, dan saluran makanan ke biji
(palsenta). Lama stadium larva sekitar sekitar 14-18 hari, terdiri dari 4 instar. Pada
pertumbuhan penuh , panjangnya 12 mm dan berwarna putih kotor sampai hijau
muda. Menjelang pembentukan kepompong (pupa), larva membuat lubang keluar
pada kulit buah dengan diameter 1 mm. setelah berada di luar buah,larva tersebut
akan segera merayap pada permukaan buah atau menjatuhkan diri dengan
28
pertolongan benang sutera untuk mencari tempat membuat kepompong. Sebelum
menjadi kepompong, larva terlebih dahulu memintal benang sutera untuk membuat
rumah kepompong (kokon).
Gejala serangan baru biasanya tampak dari luar, yakni pada saat buah
mulai dewasa. Serangan ditandai dengan memudarnya warna kulit buah,
munculnya belang berwarna hijau kuning atau merah jingga, dan bila buah dikocok
tidak berbunyi. Gejala serangan akan semakin terlihat saat buah dibelah, yakni
ditandai dengan daging buah yang tampak berwarna hitam dengan biji-biji melekat
satu sama lain, keriput, dan bobotnya sangat ringan. Kerugian akibat serangan PBK
merupakan resultan dari penurunan berat biji kualitas rendah, kehilangan hasil, dan
meningkatnya biaya panen yang disebabkan sulit untuk memisahkan biji yang
terserang dari kulit buah.
PBK adalah hama yang sulit dideteksi dan sulit dikendalikan. Oleh akrena
itu, untuk menanggulangi PBK diperlukan tindakan penanggulangan yang
didasarkan pada tingkat serangan dan keadaan tanaman kakao. Tindakan
pengendalian terpadu PBK terbagi menjadi dua, yaitu untuk daerah bebas PBk dan
daerah serangna. Pada daerah bebas PBK dapat dilakukan dengan melaksanakan
peraturan mengenai karantina domestic maupun internasional secara benar.
Tindakan karantina tersebut yaitu dengan tidak memasukkan bahan tanaman kakao
dari daerah terserang PBK. Selain karantina, hak yang juga perlu dilakukan adalah
melakukan kegiatan monitoring/pengamatan serangan PBK di tempat pengumpulan
28
hasil (TPH) pada setiap panen dengan cara mengambil 100 buah contoh untuk
diamati serangan PBKnya.
Standar Operasional Pengendalian (SOP) PBK di daerah serangan PBK
dibagi menjadi teknik pengendalian yang wajib dilakukan oleh pekebun, yaitu
meliputi pemangkasan, pemupukan, panen sering, dan sanitasi, serta teknik
pengendalian lain jika serangan PBK masih tinggi dan dirasakan merugikan, yaitu
meliputi pengendalian hayati, penyarungan buah, penyemprotan insektisida,
pemasangan perangkap feromon, dan pemanfaatan tanaman tahan.
B. Kepik Pengisap Buah (helopeltis spp.)
Kepik pengisap buah Helopeltis spp. (Hemiptera, Miriade) merupakan
hama utama yang menduduki peringkat kedua setelah PBK. Terdapat lebih dari
satu spesies Helopeltis pada tanaman kakao, antara lain H.antonii, H. theivora, dan
H. caliver. Serangga muda (nimfa) dan imago Helopeltis spp. menyerang tanaman
kakao dengan cara menusukkan alat mulutnya (stilet) ke dalam jaringan tanaman,
yakni dengan menghisap cairan sel-sel di dalamnya. Bersamaan dengan tusukan
stilet tersebut, Helopeltis spp. akan mengeluarkan cairan yang bersifat racun dari
dalam mulutnya yang dapat mematikan jaringan tanaman disekitar tusukan. Gejala
serangan hama ini adalah munculnya bercak-bercak cekung berwarna cokelat
muda yang lama-kelamaan berubah menjadi kehitaman.
28
Serangan pada buah muda dapat menyebabkan buah mati. Bercak pada
buah yang terserang berat akan menyatu sehingga bila buah tidak mati dan
berkembang terus, maka permukaan kulit buah menjadi retak dan terjadi perubahan
bentuk (malformasi) yang dapat menghambat perkembangan biji di dalam buah.
Serangan pada pucuk atau ranting akan menyebabkan ranting menjadi layu, kering,
dan mati. Pada serangan yang berat, daun-daun akan gugur dan ranting tanaman
akan tampak seperti lidi. Serangan hama ini bisa meyebabkan penurunan produksi
buah sebesar 50-60%..
Semut hitam (D. thoracicus) merupakan salah satu musuh alami yang
dapat digunakan untuk mengendalikan hama ini. Aktivitas semut hitam yang selalu
berada di permukaan buah menyebabkan Helopeltis spp. tidak sempat menusukkan
stiletnya atau bertelur diatas buah kakao sehingga buah pun terbebas dari
serangan Helopeltis spp. Semut hitam berfungsi sebagai agen pengendali hayati
jika populasi di ekosistem kakao cukup berlimpah.
C. Ulat Kilan
Ulat kilan (ulat jengkal), Hyposidra talaca Walker (Lepidoptera,
Geometridae) adalah hama pemakan daun, terutama menyerang daun yang masih
muda. Serangan dimulai sejak larva keluar dari telur. Daun-daun muda yang
diserang tampak berlubang dan pada serangan yang berat, daun-daun yang lebih
tua juga diserang sehingga tanaman akan gundul. Kerusakan tanaman kakao
28
akibat serangan hama H. talaca tidak berpengaruh langsung terhadap produksi,
tetapi dengan gundulnya tanaman, maka proses fisiologis tanaman khususnya
proses fotosintesis menjadi sangat terganggu.
Pada serangan yang terbatas di beberapa ranting, pengendaliannya adalah
dengan momotong bagian ranting yang daun-daun mudanya rusak atau membunuh
ulat yang telah dikumpulkan, kemudian dibenamkan ke dalam tanah. Bila serangan
relatif luas, dianjurkan untuk melakukan penyemprotan menggunakan insektisida
berdasarkan system peringatan dini.
D. Penggerek Batang
Larva penggerek batang/cabang Zeuzera coffeae Nietn. (Lepidoptera,
Cossidae) mulai menggerek dari bagian samping batang/cabang yang meiliki
diameter 3-5 cm dengan panjang liang gerek mencapai 40-50 cm. akibatnya,
cabang menjadi berlubang dan pada permukaan lubang sering terdapat campuran
kotoran larva dan serpihan jaringan. Menjelang stadium pupa, larva membuat
rongga gerekan dengan arah melintang di ujung gerekan hingga mendekati kulit
batang/cabang dan sering meninggalkan liang gerekannya serta mulai membuat
lubang gerekan baru pada pangkal batang/cabang yang sama atau kadang-kadang
pada batang/cabang yang lain. Batang/cabang yang terkena gerekan ini akan layu,
kering, dan mati, terutama pada batang/cabang yang berukuran kecil.
28
Hama ini dapat dikendalikan dengan cara mekanis seperti memotong
batang/cabang yang terserang, yakni pada jarak 10 cm kea rah pangkal dari lubang
gerekan, kemudian larva atau kepompong yang ditemukan dibunuh. Pengendalian
secara biologis juga dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan jamur B.
Bassiana. Caranya adalah dengan memasukkan campuran (suspensi) spora B.
Bassiana dan air ke dalam lubang penggerek menggunakan alat semprot tangan.
Pengendalian secara kimia dengan insektisida juga dapat dilakukan yaitu dengan
cara menutup lubang gerekan dengan menggunakan kapas yang telah dibasahi
larutan insektisida racun pernafasan, kemudian lubang ditutuo dengan potongan
kayu.
X. Pengendalian Penyakit
Penyakit utama pada tanaman kakao disebakan oleh organism mikroskopis
sehingga baru dapat diketahui setelah terjadi interaksi yaitu muncul gejala. Pada
kondisi lingkungan yang cocok dapat menyebabkan terjadinya epidemi penyakit.
Pada saat epidemi, pengendalian akan sangat sulit dan memerlukan biaya yang
besar. Tindakan sanitasi untuk menurunkan sumber inokulum sangat efektif untuk
menekan penyakit. Meskipun demikian, pada intensitas serangan sedang sampai
berat, fungisida lebih bertujuan sebagai tindakan preventif yaitu menlindungi bagian
tanaman yang masih sehat.
28
Penyakit-penyakit penting pada tanaman kakao di Indonesia meliputi
penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora), kanker batang (Phytophthora
palmivora), antraknose colletotrochum (Colletotricum gloeosporioides), vascular
streak dieback (Oncobasidium yheobromae), dan jamur akar. Penyakit busuk buah
merupakan penyakit terpenting karena terddapat hamper di seluruh areal
penanaman kakao dan kerugiannya langsung dapat dirasakan dengan penurunan
produksi yang cukup tinggi.
XI. Pasca Panen
A. Pengolahan
1. Kapasitas Pengolahan
Panen kakao bersifat musiman, oleh karena itu titik kritis pengolahan
terjadi pada saat panen puncak. Kapasitas setiap batch pengolahan harus
mampu menampung saat panen maksimum. Jumlah panen harian maksimum
biji kakao biasanya adalah 1,022% dari produksi tahunan kering (PTK). Dengan
demikian, kapasitas pengolahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika rendemen biji kakao rata-rata 35%, rumusannya adalah sebagai berikut :
KP = LA x PB x 1,022/100
KP = LA x PB x 1,022/100
28
Keterangan : PK = Produktivitas biji kakao kering (kg/ha/th)KP = Kapasitas maksimum pengolahan (kg biji kakao segar/hari)
= Produksi Kakao segar tertinggi (kg/hari)PB = Produktivitas biji kakao basah (kg/ha/th)
LA = Luas areal perkebunan (ha)
2. Pemetikan dan Sortasi Buah
Periode perkembangan buah kakao dari pembungaan sampai buah
masak adalah sekitar 5-6 bulan. Perkrmbangan buah kakao biasanya masih
lambat pada 40 hari pertama, kemudian menjadi sangat cepat sampai umur 75
hari. Setelah itu, pertumbuhan buah kakao menjadi lambat dan mulai terjadi
pertumbuhan embrio. Selama terjadi pertumbuhan embrio, lemak terakumulasi
pada biji yang sedang berkembang. Pembentukan gula pada pulp terjadi
selama 30-40 hari sebelum buah kakao betul-betul masak.
Pemetikan terhadap buah muda atau lewat masak hendaknya dihindari
karena hanya akan menurunkan mutu biji keringnya, terutama meningkatnya
jumlah biji gepeng dan biji berkecambah. Pemetikan buah dapat dilakukan
menggunakan gunting, sabit, atau alat tajam lainnya, asalkan tidak sampai
membuat buah atau bantalan buah rusak.
Buah hasil pemetikan harus dipisahkan antara yang baik dan jelek. Buah
jelek dapat berupa buah terserang hama/penyakit, buah muda, atau buah
28
kelewat masak. Pemanenan meliputi kegiatan pengambilan buah kakao masak
dari pohon, pemecahan buah, dan pengambilan (extract) biji kakao segar. Pada
saat masak, warna kulit buah berubah dari hijau menjadi kuning-jingga, atau
dari merah menjadi jingga, terutama pada lekukan kulit buah.
3. Pemeraman (Penyimpanan) Buah
Pemeraman buah dilakukan selama 5-12 hari tergantung kondisi setempat dan
derajat kematangan buah. Selama pemerapam buah, dihindari buah kakao
terlampau masak, rusak, atau diserang jamur, yakni dengan cara sebagai
berikut :
Mengatur tempat pemeraman agar cukup bersih dan terbuka
Disimpan menggunakan wadah pemeraman seperti keranjang ata karung
goni
Member alas pada permukaan tanah dan penutup permukaan tumpukan
buah dengan daun-daun kering apabla dilakukan pemeraman di kebun.
Cara ini dapa menurunkan jumlah biji kakao yang rusak dari sekitar 15%
menjadi sekitar 5%
4. Pemecah Buah
Pemecahan buah dapat dilakukan dengan pemukul kayu, pemukul berpisau,
atau dengan pisau bagi yang sudah berpengalaman. Walaupun pemecahan
dengan pisau tdak direkomendasikan karena beresiko merusak biji, tetapi cara
28
ini paling umum dilakukan. Kerusakan biji segar karena terpotong pisau dapat
meningkatkan biji terserang jamur.
5. Fermentasi
Biji kakao yang dikeringkan tanpa difermentasi dahulu akan bermutu rendah
karena tidak mempunyai calon cita rasa cokelat. Begitupula dengan fermentasi
yang tidak benar, akan menghasilkan biji bercita rasa baik dan bermutu rendah.
Cita rasa khas cokelat terus berkembang dalam dua tahapan, yaitu fermnetasi
oleh pekebun dan penyangraian oleh pabrikan cokelat.
Biji kakao yang tidak difermentasi ditandai dengan ciri-ciri bertekstur pejal,
berwarna slaty (keabu-abuan), memiliki rasa sangat pahit dan sepat, serta
bercita rasa cokelat. Biji kakao yang difermentasi dengan baik akan bertekstur
agak remah atau mudah pecah, warna keping biji cokelat sampai cokelat
dengan sedikit warna ungu, cita rasa pahit dan sepat tidak dominan, dan
tentunya berkualitas baik.
Waktu fermentasi yang diterapkan bervariasi antara 2-6 hari, tetapi umumnya
petani menerapkan waktu fermentasi selama 2 hari, sedangkan petani yang
lebih mahfum akan tujuan fermentasi masih mau memfermentasi selama 5-6
hari, demikian pula unit-unit pengolahan inti. Namun, masih banyak petani yang
tidak menerapkan proses fermentasi maupun pencucian.
28
6. Perendaman dan Pencucian
Pencucian terhadap biji kakao dilakukan karena masih banyaknya pulp yang
melekat pada kulit masih tebalsehingga menurunkan kadar kulit biji kering.
Siasanya sebelum pencucian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan
perendaman selama kurang lebih 3 jam. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
jumlah biji bulat dengan penampilan menarik dan berwarna cokelat cerah.
Tujuan perendaman dan pencucian adalah menghentikan proses fermnetasi
dan memperbaiki penampilan biji. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan
pencucian setengah bersih. Pencucian dapat dilakukan dengan secara
manual, yakni dengan tangan atau
menggunakan mesin cuci.
7. Pengeringan
Proses pengeringan adalah
kelanjutan dari tahap oksidatif dari
fermentasi yang berperan penting
dalam mengurangi kelat dan
pahit. Tujuan utama pengeringan
adalah mengurangi kadar air biji
dari sekitar 60% menjadi 6-7%
28
sehingga aman selama pengangkutan dan pengapalan menuju pabrikan.
Selain itu, proses pengeringan dilakukan untuk mengahsilkan biji kakao kering
yang berkualitas baik, terutama dalam hal fisik, calon cita rasa, dan aroma yang
baik.
Kecepatan pengeringan juga turut mempengaruhibiji kering yang dihasilkan.
Jika pengeringan terlalu lambat, hal ini bisa menjadi lebih berbahaya karena
bisa menstimulan kehadiran jamur yang berkembang dan masuk ke dalam biji.
Sementara itu pengeringan yang terlalu cepat juga bisa mengganggu
kesempurnaan reaksi oksidatif yang berlangsung dan dapat menyebabkan
tingkat keasaman berlebih. Hal ini terjadi karena reaksi asam asetat sangat
dipengaruhi oleh pengeringan.
Pengeringan biji kakao dapat dilakukan dengan penjemuran, memakai alat
pengering, atau kombinasi keduanya. Cara pengeringan yang dianjurkan
adalah dengan melakukan penjemuran. Namun, bila keadaan tidak
memungkinkan, terutama dalam pengolahan skala besar, penjemuran dapat
diganti denganproses penghembusan (aspiration) udara dengan suhu
lingkungan selama 72-80 jam dan dilanjutkan dengan hembusan udara panas
45-60oC sampai biji kering.
28
8. Tempering
Tempering adalah proses penyesuaian suhu pada biji kakao dengan suhu
udara sekitarnya setelah dikeringkan. Tujuannya adalah agar biji kakao tidak
mengalami kerusakan fisik pada tahap pengolahan berikutnya (misalnya sortasi
dan pengemasan) serta untuk menjaga stabilitas kadar air dan berat. Tempat
tempering bisa disebut gudang timbun sementara. Kapasitas gudang timbun
sementara ini umumnya adalah 330 kg biji kakao kering/m2. Gudang biasanya
didesain sedemikian rupa agar mampu menampung sekitar 30% jumlah
produksi tahunan.
9. Sortasi
Sortasi ditujukan untuk memisahkan biji kakao dari
kotoran yang melekat dan
mengelompokkan biji
menjadi berdasarkan
kenampakan fisik dan
ukuran biji. Sortasi
sebaiknya segera dilakukan
setelah biji kakao kering lebih dari 5 hari. Setiap
28
orang membutuhkan sortasi 4m2. Pengelompokan mutu dan grading dilakukan
mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan oleh Departemen Perdagangan.
10. Pengemasan dan Penyimpanan di Gudang
Pengendalian mutu biji kakao pasca pengemasan menyangkut masalah
penyimpanan di gudang, pengangkutan, ekspor, dan pengapalan. Badan
Agribisnis Departemen Pertanian pada tahun 1998 telah menerbitkan Standar
Prosedur Operasional (SPO) di tingkat hilir yang teridri dari SPO penanganan
biji kakao di eksportir, SPO fumigasi kakao yang gudang, dan SPO fumigasi
kakao di container.
B. Mutu
Biji kakao Indonesia yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan SNI biji
kakao (SNI 01-2323-1991). Standar ini meliputi defenisi, klasifikasi, syarat mutu,
cara pengambilan sampel, cara uji, syarat pendanaan, cara pengemasan, dan
rekomendasi. Biji kakao yang diekspor diklasifikasikan berdasarkan jenis tanaman,
jenis mutu, dan ukuran berat biji. Berdasarkan jenis tanaman dibedakan atas dua
klasifikasi, yaitu jenis mulia (fine cocoa) dan jenis lindak (bulk cocoa). Sementara
berdasarkan jens mutunya terdapat dua golongan, yaitu Mutu I dan Mutu II.
28
Menurut ukuran bijinya yang dinyatakan dalam jumlah biji/100 gram, biji kakao
dikelompokkan menjadi 5 golongan.
Tabel 3. Penggolongan Ukuran Biji Kakao
Ukuran Jumlah Biji/100 gramAA Maksimal 80A Maksimal 100B Maksimal 110C Maksimal 120S > 120
Persyaratan mutu biji kakao terbagi dalam dua kelompok syarat mutu, yaitu
syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh setiap partai biji kakao yang akan diekspor seperti yang tercantum
dalam Tabel 4. Persyaratan khusus biji kakao merupakan persyaratan yang harus
dipenuhi untuk klasifikasi jenis mutu (Tabel 5.)
Tabel. 4 Persyaratan Umum Biji Kakao
Karakteristik Persyaratan
Kadar air (b/b)* Maks. 7,5%Biji berbau asap dan atau abnormal, dan atau berbau asing Tidak ada
28
Serangga hidup Tidak adaKadar air biji pecah dan atau pecahan Maks 3%Biji dan atau pecahan kulit (b/b) Kadar benda-benda asing (b/b)
Maks 0%
Table 5. Persyaratan Khusus Biji Kakao
KarakteristikPersyaratan (Maksimal)Mutu I Mutu II
Kadar biji berkapang (b/b) 3% 4%Kadar biji tidak terfermentasi (biji/biji) 3% 8%Kadar biji berserangga, pipih, dan berkecambah 3% 6%
XII. Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Coklat
Cokelat memiliki tiga sifat utama yang membedakannya dari produk-produk lain, yaitu
kekhasan cita rasa, tekstur, dan warnanya. Padatan cokelat berperan sebagai
pemberi cita rasa dan warna, sedangkan lemak dalam cokelat berperan dalam
mengendalikan tekstur produk.
A. Kontribusi Kakao terhadap Cita Rasa Produk Cokelat
1. Aroma Cokelat
28
Komponen-komponen aroma cokelat terbentuk
selama penyaringan biji kakao dari calon-calon
pembentuk cita rasa seperti asam amino, peptide,
gula pereduksi dan kuinon. Senyawa-senyawa
tersebut terbentuk selama proses penyiapan biji,
khususnya selama fermentasi dan pengeringan.
Selama penyangraian, senyawa calon pembentuk cita rasa bereaksi satu sama
lain melalui reaksi maillard menghasilkan komponen-komponen yang mudah
menguap dan beraroma khas cokelat. Komponen-komponen tersebut termasuk
dalam golongan alcohol, eter, furan, tiazol, piron, asam, ester, aldehida, imin,
amin, oksazol, pirazin, dan pirol. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
aroma khas cokelat tidak hanya ditentukan oleh satu komponen saja,
kekhasannya merupakan suatu fungsi dari beratus-ratus komponen
penyusunnya, walaupun 2-fenil-5-metil-2-heksanal dianggap sebagai
pembentuk karakter dari aroma cokelat.
Senyawa Karakter Cita Rasaa) Konsentrasi
(µg kg-1) b)
Pirazin Tajam (pungent), manis -
2-Metilpirazin Seperti kacang, khas kakao, khas cokelat 4
2-5Dimetilpirazin Khas kakao, seperti kacang sangria 60
50
28
2-6Dimetilpirazin Seperti kacang. Khas kopi, bau rumput (green) 88
2-Etilpirazin Bau lemak kacang, apek, seperti kacang -
2-3Dimetilpirazin Khas caramel, khas kakao 19
2,3,5-Trimetilpirazin Khas kakao, seperti kacang sangria 1,200
2-3,5,6-Tetrametil- pirazin
Khas cokelat, khas kakao, khas kopi 2,900
Sumber: a) Bonvehi & Coll, b) Puziah et al (1998a)
2. Rasa Pahit khas Cokelat
Rasa pahit adalah cita rasa khas lain yang alami yang bisa dikecap dari
cokelat. Rasa tersebut berasala dari komponen-komponen alkaloid seperti
theobromine dan caffeine, komponen fenolic, pirazin, beberapa peptide, dan
asam amino bebas. Rasa pahit cokelat seringkali rancu dengan rasa sepat,
karena sebagian orang tidak sepenuhnya mengerti sifat-sifat dan perbedaan
antara kedua rasa tersebut. Terlebih lagi tannin atau polifenol dalam cokelat
sebagai komponen yang banyak bertanggungjawab terhadap rasa sepat, juga
menghasilkan rasa pahit.
Clifford (1985) menegaskan bahwa theobromine menampakkan rasa pahit
metallic yang tidak langsung dirasakan di permukaan lidah dan bersifat stabil,
sedangkan rasa pahit cokelat lebih cepat terasa dan menghilang di permukaan
lidah dengan cepat. Rasa pahit cokelat dapat dirasakan di seluruh rongga
28
mulut, sedangkan rasa pahit theobromine hanya terasa di bagian pangkal lidah.
Terdapat korelasi positif yang nyata antara total polifenol dalam pasta cokelat
dan tongkat kepahitannya.
3. Rasa Asam
Diantara atribut-atribut rasa cokelat, rasa asam merupakan atribut penting yang
berkontribusi secara nyata tehdap cita rasa keseluruhan produk cokelat.
Kehadiran rasa asam dalam jumlah sedikit akan menyumbang keseimbangan
cita rasa cokelat, tetapi pada jumlah yang lebih besar, rasa asam dianggap
sebagai cacat rasa. Biji kakao dengan keasaman yang dinyatakan dalam
satuan pH pada nilai 5,20 - 5,50 atau nilai titrasi asam 0,12 – 0,15 meq g -1
diterima sebagai biji kakao dengan tingkat keasaman yang optimal oleh
pabrikan cokelat. Asam dalam biji kakao termasuk dalam asam-asam organik
yang terbagi dalam kelompok asam organik mudah menguap (terutama asam
asetat) dan asam organik yang tidak mudah menguap (asam laktat, suksinik,
malik, oksalat, dan tartarat), asam asetat merupakan komponen asam dengan
konsentrasi paling besar, yaitu mencapai 788 µg/g.
28
4. Rasa Manis
Rasa manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan
cokelat. Rasa manis ini terutama diperoleh dari penambahan padatan gula
dalam proses formulasinya. Beberapa asam amino bebas seperti glisin dan
alanin serat beberapa peptida juga memberikan rasa manis. Namun, bila
dibandingkan rasa manis yang berasal dari padatan gula, kontribusi asam-
asam amino tersebut sangat kecil. Arti penting asam amino dan gula dalam biji
kakao sangat besar dalam pembentukan komponen cita rasa, terutama selama
proses penyangraian. Konsentrasi asam amino dan gula akan menurun secara
nyata selama proses tersebut, yakni sejalan dengan peningkatan jumlah
komponen cita rasa.
5. Cacat Cita Rasa
Kesalahan-kesalahan dalam pengolahan hulu dan hilir cokelat bisa menjadi
penyebab terjadinya cacat cita rasa cokelat. Rasa sepat yang menonjol
merupakan salah satu cacat serius yang pada cokelat yang disebabkan karena
biji tidak difermentasi. Cacat rasa ini sangat sulit untuk diperbaiki selama
pabrikasi cokelat. Rasa ini sangat menimbulkan rasa kurang nyaman karena
mengganggu saraf di lidah dan seolah-olah menyegat dan menimbulkan rasa
kering. Hal itu karena polifenol yang berlebihan pada cokelat berinteraksi
dengan protein dengan kaya prolin di air liur dan mengendapkannya. Asam
28
asetat dan asam laktat adalah komponen yang juga ditenggarai sebagai
penyebab cacat cita rasa.
B. Kontribusi Kakao terhadap Tekstur Produk Cokelat
“The real chocolate” atau cokelat yang baik harus memiliki
tekstur halus (smooth dan buttery) yang bisa meleleh
dengan lembut dan perlahan di dalam mulut dengan
cita rasa yang kompleks dan menyenangkan.
Cokelat harus langsung meleleh dalam mulut,
yakni ketika dimakan tanpa perlu meninggalkan
kesan keras. Tekstur seperti lilin (waxy mouth-feel)
menandakan bahwa cokelat mengandung sejumlah lemak.
Cokelat harus dapat dicetak, disimpan, dan disajikan dengan mudah pada suhu
kamar, yakni berada sedikit di bawah suhu badan (350), tetapi begitu di dalam
mulut lemak kakao akan bertindak sebagai pelumas dan menajdi media penyebar
dari cita rasa cokelat. Lemak kakao juga mampu mengubah persepsi rasa cokelat
di dalam mulut. Seperti diketahui, daerah permukaan lidah memiliki kepekaan yang
28
berbeda-beda terhadap rasa. Namun, tidak ada aroma yang ditimbulkan oleh
lemak kakao.
C. Kontribusi Kakao terhadap Warna Produk Cokelat
Warna cokelat dapat dibentuk selama proses pabrikasi, khusunya melalui proses
alkalisasi, oksidasi polifenol yang terkandung bubuk cokelat (utamanya senyawa
katekin dan prosianidin) dapat menghasilkan warna produk yang berbeda-beda.
Dalam kondisi yang ekstrim, warna hitam bahkan bisa dibuat dengan melakukan
alkalisasi berat. Hanya saja, dalam alkalisasi harus diperhatikan agar penambahan
alkali tidak sampai membuat prosuk cokelat memiliki kadar abu yang berlebihan
dan melebihi ambang batas yang disyaratkan.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Cokelat
Sifat genetis, kondisi lingkungan, pemanenan, pengolahan biji, dan pabrikasi
adalah beberapa diantara banyak faktor yang berpengaruh besar terhadap cita
rasa, tekstur, dan warna produk cokelat. Produk cokelat berkualitas hanya dapat
diperoleh dari biji kakao yang berasal dari buah sehat dan bermutu baik. Selain itu,
28
juga ditentukan oleh pengolahan di tingkat hulu (fermentasi dan pengeringan) yang
dilakukan dengan baik pengolahan di tingkat hilir (pabrikasi) yang baik pula. Selain
dipengaruhi oleh distribusi partikel, proses tempering dan penggunaan bahan
penstabil, serta bahan pengemulsi, tesktur cokelat juga banyak dipengaruhi oleh
sifat kekerasan yang secara intristik ada pada lemak kakao dan lemak susu.
XIII. Industri Hilir
A. Tahapan Pengolahan
1. Pembersihan dan Sortasi
Tahap pertama dari semua proses produksi adalah pembersihan dan sortasi.
Tidak masalah seberapa higienisnya pekebun mengolah atau bagaimanapun
bersihnya penanganan dan penggudangan, pasti masih mengandung material
yang harus dibuang. Hal ini bukan hanya untuk menjamin bahwa pabrikan
menggunakan bahan yang sehat tetapi juga untuk menlindungi mesin-mesin dari
potongan-potongan logam atau batu yang bisa menyebabkan rusaknya
peralatan. Oleh karena itu, operator seringkali melakukan sortasi dengan cara
memilah-milah biji kakao dan memisahkannya dari benda-benda asing yang
besar seperti batu besar atau cabang-cabang tanaman kakao. Akhir-akhir ini,
pelaksanaan pekerjaan pemilahan ini dilakukan langsung oleh pekebun atau
eksportir sebelum biji kakao dikirim ke pabrikan cokelat. Pengiriman biji kakao,
28
baik dalam bentuk curah atau di dalam karung, harus terpisah dari biji-biji yang
melekat dan bahan-bahan lain. Pemisah bermagnet, sikat, dan hembusan udara
bisa digunakan untuk menghilangkan semua kotoran dari biji kakao.
2. Penyangraian dan Sortasi
Tujuan penyangraian adalah mengembangkan cita rasa dan aroma khas
cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba, menggelembungkan kulit
biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga
memudahkan penghancuran dan penghalusan.
Kondisi penyangraian sangat dipengaruhi oleh jenis olahan akhir yang dituju,
suhu penyangraian untuk bubuk kakao biasanya lebih tinggi dari pada untuk
permen cokelat. Suhu penyangraian yang umum untuk bubuk kakao adalah
106-121oC, sedangkan untuk permen cokelat adalah 99-104oC. Penyangraian
pada suhu rendah atau terllu cepat akan menyebabkan aroma cokelat kurang
tajam, tetapi jika suhu terlalu tinggi atau terlalu lama bisa menyebabkan biji
kakao beraroma gosong.
Waktu penyangraian cukup bervariasi, mulai dari 15 menit hingga 2 jam,
tergantung pada tipe penyangrai dan tujuan hasil olahan akhir serta kadar air biji
28
kakao. Biji kakao kering yang berkadar air 6,5% mengandung nib lebih kurang
87,1% kulit 12,0%, dan germ 0,9%. Setelah penyangraian, kadar air nib turun
menjadi 2,5% - 3% dan kadar air kulit menjadi 4%. Selama penyangraian, biji
kakao akan kehilangan berat kurang lebih 4,6% yang berasal dari kotiledon dan
1,4% dari kulit. Namun, secara teoritis rendemen nib biji kakao yang telah
disangrai adalah 88,5%.
Pada prinsipnya, terdapat dua tipe penyangrai, yaitu tipe batch dan tipe
kontinyu. Penyangraian tipe batch biasaya berbentuk drum berputar dengan
pemanasan dari luar menggunakan burner minyak tanah, kayu, arang, atau LPG
(Liquid petroleum gas). Penyangrai tipe kontinyu biasanya menggunakan udara
panas yang dialirkan berlawanan dengan aliran biji kakao.
3. Pemisahan Nib dan Biji
Setelah penyangraian, biji kakao sebaiknya dipecahkan sedikit guna membantu
pemisahan kulit dari nib. Pabrikan melakukannya dengan melewatkan biji
diantara dua roll bergigi atau dengan roll pemukul yang mampu melemparkan
biji ke plat baja. Meskipun telah pecah dan terpisah, nib dan kulit masih
tercampur sehingga membutuhkan pemisahan lebih lanjut menggunakan blower
atau mesin pemisah. Mesin pemisah menggunakan kombinasi antara ayakan
dan aliran udara untuk memisahkan kulit dari nib berdasarkan ukuran dan berat
jenis.
28
Terdapat dua sebab yang menjadikan proses pemisahan kulit merupakan suatu
prosesyang kritis. Pertama, berhubungan dengan kemurnia produk akhir. Nib
kakao tidak mungkin bebas dari kulit karena teknik pemisahan tidak mungkin
berlangsung sempurna. Batas maksimum kulit pada bubuk kakao adalah 1,75%.
Kedua, adalah faktor profitabilitas. Proses penyangraian sangat menentukan cita
rasa dan warna karena proses pemisahan kulit sangat menentukan hasil
rendemen. Mesin-mesin yang dipasang kurang baik atau dikendalikan dengan
tidak baik akan membuat hilangnya nib karena terbawa dengan kulit. Kehilangan
nib pada tahap ini berpengaruh pada harga pembelian biji kakao.
4. Nib, Alkalisasi, Penyangraian, dan Sterilisasi
Dalam pembuatan beberapa jenis bubuk kakao, prosedurnya dapat dimodifikasi.
Pertama, biji kakao dimasukkan ke dalam microniser yang menerapkan panas
radiasi infra merah ke biji bersih dalam waktu singkat. Alat ini cukup untuk
menggelembungkan kulit tanpa mempenagruhi kotiledon. Biji kakao kemudian
dipecah dan dipisahkan dari kulitnya sehingga rendemennya menjadi lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan kotiledon belum renyah. Temperature yang lebih
rendah juga menjamin sedikit lemak kakao yang mengalir ke kulit biji sehingga
rendemen lemak lebih tinggi.
Kedua, dengan penambahan alkali biasanya berupa larutan potassium karbonat
pada nib. Alkali merubah warna nib selama proses penyangraian, yang terus
28
berlanjut terhadap warna bubuk kakao. Alkali dapat ditambahkan sampai 3%
dari berat nib (berat kering). Biasanya akan terjadi perubahan pH dari 5,5% -
5,6% menjadi 6,8% - 7,5%. Walaupun untuk bubuk kakao gelap dapat mencapai
8,5%, tetapi dapat mengurangi cita rasa sehingga hanya layak untuk merubah
warna. Tahap akhir dari proses penyangraian melibatkan penyemprotan air ke
dalam oven. Tujuannya adalah untuk membunuh organism dan mikroba yang
masih melekat.
5. Penghancuran dan Penghalusan
Proses berikutnya adalah penggilingan nib menjadi pasta kakao sebagai produk
primer kakao pertama. Oleh karena setengah dari berta nib adalah lemak,
pengaruh dari kegiatan penggilingan bersama-sama dengan panas yang
ditimbulkan adalah nib padat menjadi pasta cair. Proses ini menyebabkan titik
cair sesungguhnya. Pengoperasian mesin penggilingan bervariasi menurut
keadaan nib dan produk yang dimaksudkan. Sebagai contoh, suhu penggilingan
untuk nib, sumber aroma dipertahankan agar tetap rendah sehingga cita rasa
yang mudah menguap tidak hilang. Oleh karena itu, idealnya peralatan modern
untuk penggilingan harus dilengkapi dengan pendingin air. Walaupun dapat
membuat cita rasa produk cokelat susu menjadi kasar, tetapi suhu yang tinggi
dapat menguapkan cita rasa yang tidak diharapkan.
28
Tingkat kehalusan ukuran partikel sangatlah penting. Jika pasta kakao ditujukan
untuk produksi lemak dan bubuk, penghalusan yang berlebihan dapat
menyulitkan tahap pengepresan, tetapi jika terlalu kasar, pengempaan menjadi
tidak sempurna karena masih banyak tertinggal dalam struktur jaringan sel.
Selain berpengaruh terhadap rendemen lemak, ukuran partikel yang dihasilkan
dari proses grinding sangat berpengaruh terhadap ukuran partikel bubuk. Proses
selanjutnya dari bungkil dan bubuk tidak mengurangi ukuran partikel yang telah
diatur pada proses grinding, tetapi adang-kadang terhadap pemacahan
aglomerasi partikel bubuk kakao.
6. Pencampuran (Blending)
Proses pencampuran ini dapat dilakukan pada setiap tahap pengolahan, tetapi
sangat jarang dilakukan sebelum penyangraian karena perbedaan biji atau nib
membutuhkan kondisi penyangraian yang berbeda. Selain itu, pencampuran
yang dilakukan pada saat pemecahan kulit bisa membuat masalah baru pada
pengaturan mesin. Biji berkulit keras membutuhkan mesin lebih kuat daripada
yang berkulit tipis. Pencampuran juga akan mengahsilkan rendemen yang lebih
rendah karena biji berkulit tipis akan lebih duluan hancur daripada biji lainnya.
Walaupun pencampuran dapat dilakukan setelah tahap penyangraian, tetapi
seringkali ditunda setelah proses penggilingan karena pencampuran dapat
menyulitkan proses penggilingan.
28
B. Hasil Olahan Akhir
1. Pasta Kakao
Pasta cokelat dikenal juga sebagai chocolate paste atau chocolate mass yang
merupakan hasil setengah jadi. Produk pasta cokelat ini biasa dipasarkan dalam
skala besar, baik dari pabrikan ke makanan cokelat atau dalam skala rumah
tangga, yakni oleh pengecer-pengecer yang akan digunakan sebagai bahan
baku pembuatan kue rumah tangga. Untuk menghasilkan bubuk kakao dengan
cita rasa yang lebih baik, dalam pembuatan pastanya perlu dilakukan proses-
proses seperti pasteurisasi, deasidifikasi, alkalisasi, dan penambahan gula
reduksi terlebih dahulu. Gula reduksi diharapkan dapat meningkatkan cita rasa
melalui peningkatan reaksi Maillard. Selain karena cita rasa pasta kakao yang
baik, lezatnya makanan cokelat juga ditentukan oleh penggunaan bahan dasar
yang baik dan resep yang sesuai.
2. Lemak dan Bubuk Kakao
Lemak kakao diperoleh dari ekstarksi nib kakao. Ada tiga cara ekstraksi lemak
kakao yaitu, pengempaan hidrolik, pengempaan ulir (expeller press) dan
ekstraksi dengan pelarut. Lemak kakao yang berkualitas baik berasal dari nib
yang baik dan biasanya diperoleh dengan cara pengempaan hidrolik. Lemak
kakao tersusun dari komponen-komponen kimia seperti gliserida stearat,
palmitat, oleat, dan sedikit linoleat.
28
Lemak kakao sebagian besar dimanfaatkan sebagai bahan baku
manisan/makanan cokelat dan sebagian kecil lainnya lansung dicampur susu,
gula, dan bahan tambahan lain menjadi permen cokelat putih, yang lebih dikenal
sebagai white chocolate. Lemak kakao sebagian kecil juga digunakan sebagai
bahan kosmetika (misalnya lipstick dan pelembab) serta untuk keperluan
farmasi (oabt-obatan suspositaria).
Proses pembuatan bubuk kakao pada pabrikan umumnya melalui penyangraian
biji, pemisahan nib dari kulit biji, penghancuran dan penghalusan nib,
pengempaan, penepungan bungkil kakao dan pengayakan, serta pemberian
aroma-aroma tambahan. Untuk memperbaiki warna dan aroma bubuk kakao
yang dihasilkan, selama pengolahan juga dapat dilakukan proses alkalisasi pada
nib, pasta kakao, atau bungkil kakao.
3. Makanan Cokelat
Makanan cokelat adalah hasil utama pengolahan biji kakao di pabrikan. Jenis
makanan cokelat yang paling banyak adalah berupa permen atau manisan
cokelat dengan atau tanpa susu. Pembuatan makanan cokelat melalui proses
utama, yaitu pembersihan, penyangraian, pemisahan nib dari kulit, penghalusan
nib menjadi pasta cokleat, pencampuran pasta cokelat dengan bahan lainnya
(gula, lemak cokelat, susu, emulsifier), homogenisasi campuran, pematangan,
pencetakan, serta pengemasan. Jenis-jenis makanan cokelat yang ada di
pasaran saat ini sangat beragam, tetapi yang paling terkenal adalah jenis
28
cokelat susu (milk chocolate), dan cokelat gelap (dark chocolate), dengan atau
tanpa tambahan kacang (seperti kacang mete, kacang hazel, dan kacang
tanah), atau biscuit.
Begitupun dengan permen cokelat, ada dua macam permen cokelat yang
beredar di pasaran, yaitu permen cokelat gelap dan permen cokelat susu,
dengan atau tanpa bahan pengisi. Bahan pengisi yang biasa digunakan pada
permen cokelat adalah kacang mete, kacang almond, biscuit, atau crackers.
28
DAFTAR PUSTAKA
Darjanto. M., 1977. Beberapa Catatan Tentang Pembungaan dan Pembentukan Buah
Cokelat. Menara Perkebunan.
Disbun, 2009. Kelapa Dalam, Data Statistik Perkebunan 2009. Dinas Perkebunan Provinsi
Sulawesi Selatan, Makassar.
Erwiyono, R & Sugiyanto. 2001. Kompetisi antara Bibit Kakao dan Tanaman Penutup
Tanah Arachis Pintoi. Pelita Perkebunan.
Prawoto. A., et al, 2008. Panduan Lengkap Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga
Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, H.,, 1986. Budidaya dan Mutu Hasil Hibrida Antarklon Kakao dan Kaitannya
dengan Penanganan Kebun Benih. Pelita Perkebunan.
28
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
A. Selamat Datang di Sulawesi Selatan................................................. 1
1. Potensi Wilayah............................................................................. 1
2. Luas Areal dan Produksi.............................................................. 3
3. Produktivitas dan Jumlah Petani................................................. 3
B. Visi dan Misi Perkebunan Prov. Sul-Sel........................................... 5
C. Budidaya.............................................................................................. 6
I. Pendahuluan ................................................................................. 6
a. Sejarah...................................................................................... 7
b. Prospek..................................................................................... 8
II. Keseuaian Lahan.......................................................................... 10
a. Tahapan Penilaian................................................................... 10
b. Sifat dan Karakteristik Lahan.................................................. 11
1. Iklim..................................................................................... 11
2. Tanah................................................................................... 14
28
III.Bahan Tanaman............................................................................... 16
IV. Perbanyakan Tanaman................................................................. 16
a. Perbanyakan Generatif............................................................ 17
b. Perbanyakan Vegetatif............................................................ 20
V. Konservasi dan Persiapan Lahan............................................... 21
VI. Pola Tanam dan Tumpang Sari................................................... 22
VII. Pemangkasan............................................................................... 22
a. Pemangkasan Bentuk............................................................. 23
b. Pemangkasan Pemeliharaan................................................... 24
c. Pemangkasan Produksi.......................................................... 24
VIII.Pemupukan................................................................................... 25
a. Jumlah/Dosis Unsur Hara (pupuk) yang Diberikan.............. 25
b. Jenis Pupuk.............................................................................. 26
c. Waktu Pemupukan................................................................... 26
d. Aplikasi Pemupukan................................................................ 26
IX. Pengendalian Hama..................................................................... 27
a. Penggerek Buah Kakao (PBK)................................................ 27
b. Kepik Pengisap Buah.............................................................. 30
c. Ulat Kilan.................................................................................. 31
d. Penggerek Batang................................................................... 32
28
X. Pengendalian Penyakit................................................................ 33
XI. Pasca Panen................................................................................. 34
a. Pengolahan .............................................................................. 34
b. Mutu.......................................................................................... 41
XII. Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Cokelat..................................... 43
a. Kontribusi Kakao Terhadap Cita Rasa Produk Cokelat........ 43
b. Kontribusi Kakao Terhadap Tekstur Produk Cokelat........... 48
c. Kontribusi Kakao Terhadap Warna Produk Cokelat............. 49
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cita Rasa, Tekstur,
dan Warna Cokelat................................................................... 49
XIII. Industri Hilir.................................................................................. 50
a. Tahapan Pengolahan .............................................................. 50
b. Hasil Olahan Akhir................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 59
28
KATA PENGANTAR
Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan Indonesia yang cukup potensial dalam
menyumbang devisa Negara. Di tingkat dunia, kakao Indonesia menempati posisi ketiga setelah
Pantai Gading dan Ghana. Hal ini didukung dengan areal tanaman kakao yang masih banyak
tersedia, tenaga kerja, dan tenaga ahli kakao.
Dalam upaya meningkatkan produksi dan mutu kakao, disamping harus ada lahan juga
harus tersedia modal, khususnya didalam penguasaan ilmu pengetahuan di bidang budidaya
cengkeh. Sebab itu, buku ini dimaksudkan untuk memberi banyak pengetahuan mengenai berbagai
hal seputar kakao.
Menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang dapat bekerja sendirian, maka izin kan
kami mencucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan buku ini. Akhir kata kami dedikasikan buku ini kepada semua pihak yang
membutuhkan.
Makassar, September 2010
Penyusun
Bidang Pasca Panen dan Sistem Informasi Perkebunan
28
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan
Jl. Perkebunan No. 7 Makassar
Sulawesi Selatan – Indonesia
Telepon (0411-449918, 449167)
Fax (0411-443865)