KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN PERTUMBUHAN SPAT … · Larva pertama kali makan pada umur 22–24...
Transcript of KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN PERTUMBUHAN SPAT … · Larva pertama kali makan pada umur 22–24...
KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN PERTUMBUHAN SPAT TIRAM MUTIARA
Pinctada maxima (JAMESON) PADA KONDISI LINGKUNGAN PEMELIHARAAN BERBEDA
TJAHJO WINANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
KAJIAN PERKEMBANGAN LARVA DAN PERTUMBUHAN SPAT TIRAM MUTIARA
Pinctada maxima (JAMESON) PADA KONDISI LINGKUNGAN PEMELIHARAAN BERBEDA
TJAHJO WINANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
ABSTRACT
TJAHJO WINANTO. The study of growth and development of larvae and spat pearl oyster Pinctada maxima (Jameson) in different rearing environment conditions. Under the supervisions of DEDI SOEDHARMA, RIDWAN AFFANDI and HARPASIS S. SANUSI.
Major constrain in the pearl oyster breeding that are lowest of growth and development of larvae to spat and also low survival rate. One of the affected factors its unknown the optimum of rearing environment conditions, such as temperature, salinity, dissolved oxygen and light intensity. The objective of this research was to determine feeding activity, levels of food consumption, types and correct density of feed for optimizing of larvae growth and development of spat so that obtained high survival rate.
This research consisted of four levels experiments, which are the study of larvae rearing in laboratory, spat rearing in laboratory, rearing of larvae and spat under optimum environment condition and study of spat rearing in the sea. Factorial completely randomized design was applied to know that effect of types and feed density, physiology response of larvae and spat to the levels of temperature and salinity. Completely randomized design was applied to the study of response of larvae and spat to the levels of light intensity. Randomized block design was applied to the study of spat in natural sea waters.
Result of the research showed that environment factors such as temperature, salinity, oxygen consumption and light intensity were significant affected (P≤ 0.05) to the survival rate, growth of larvae and spat. Optimum temperature and salinity for larvae and spat were 20 oC and 32, 34 ‰ (P ≥ 0.05). Energetic cost for routine metabolism of larvae was average 5.65; 5.98 Calorie g wet weigh-1 hour-1 (21.62; 24.70 J/g wet weigh-1 hour-1) and for spat was 2.18; 2.28 Calorie g wet weigh-1 hour-1 (9.54; 10.02 J/g wet weigh-1 hour-1). The optimum light intensity for larvae was ≤ 200 lux and for spat was ≤ 500 lux.
Larvae were eat in the fist time after hatching at 22–24 hour age (first critical period) and suitable food is I. galbana. Life food type and density were significantly affected (P ≤ 0.05) to the survival rate, development of larvae and growth of spat. Feeding schedule for larvae and spat: stage I larvae was fed I. galbana (2600−4200 cells ml-1 hour-1). Stage II: I. galbana (3700−7800 cells ml-1 hour-1) or P. lutheri (2300−7800 cells ml-1 hour-1). Stage III: I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %) by fed density was 7700−9300 cells ml-1 hour-1. Spat D25–D28: mixture food of I. galbana (50 %) + T. tetrathele (50 %), by density 8900−10000 cells ml-1 hour-1. D28−D35: mixture fed of I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %). Food density at D28−D31: 9100−15800 cells ml-1 hour-1. D31−D33: 14600−18200 cells ml-1 hour-1. D33−D35: 17200–18925 cells ml-1 hour-1.
The best of replaced ages of spat from laboratory to the nursery site between 40–50 day old. Optimum density of spat in the nursery was 500 spat collector-1.
RINGKASAN TJAHJO WINANTO. Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat tiram mutiara Pinctada maxima (Jameson) pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, RIDWAN AFFANDI dan HARPASIS S. SANUSI.
Kendala utama pada pembenihan tiram mutiara adalah perkembangan serta pertumbuhan larva dan spat yang lambat dan sintasan rendah. Diduga, salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi lingkungan pemeliharaan optimum (seperti suhu, salinitas, konsumsi oksigen dan intensitas cahaya) yang belum diketahui.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan, jenis dan densitas pakan yang tepat untuk mengoptimumkan perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Mendapatkan informasi tentang kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimum (suhu, salinitas, konsumsi oksigen, intensitas cahaya) sehingga diperoleh pertumbuhan dan sintasan larva serta spat yang tinggi.
Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu kajian pemeliharaan larva di laboratorium, pemeliharaan spat di laboratorium, pemeliharaan larva dan spat pada kondisi lingkungan optimum dan kajian pemeliharaan spat di laut. Metode observasi digunakan pada percobaan perkembangan larva, aktivitas makan dan tingkat konsumsi pakan. Disain rancangan acak kelompok faktorial digunakan untuk mengatahui pengaruh jenis dan densitas pakan, suhu dan salinitas, konsumsi oksigen, metabolisme rutin larva dan spat terhadap pertumbuhan dan sintasan. Percobaan tentang toleransi larva dan spat terhadap intensitas cahaya menggunakan rancangan acak lengkap dan kajian spat di laut menggunakan rancangan acak kelompok.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu, salinitas, laju konsumsi oksigen, laju metabolisme dan intensitas cahaya berpengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap perkembangan, pertumbuhan, sintasan larva dan spat. Suhu dan salinitas optimum untuk larva dan spat adalah 28 oC dan 32, 34 ‰ (P ≥ 0,05). Belanja energi untuk metabolisme rutin larva pada kondisi tersebut rata-rata 5,65; 5,98 Kalori/g berat basah/jam (21,62; 24,70 J/g berat basah/jam dan pada spat rata-rata 2,18; 2,28 Kalori/g berat basah/jam (9,54; 10,02 J/g berat basah/jam. Intensitas cahaya optimum untuk larva adalah ≤ 200 lux dan untuk spat ≤ 500 lux.
Larva pertama kali makan pada umur 22–24 jam setelah menetas (masa kritis pertama) dan pakan yang sesuai I. galbana. Jenis dan densitas pakan hidup berpengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap sintasan, perkembangan larva dan pertumbuhan spat. Jadwal pemberian pakan untuk larva dan spat: larva stadia I diberi pakan I. galbana (2600−4200 sel/ml/hari. Stadia II: I. galbana (3700−7800 sel/ml/hari) atau P. lutheri (2300−7800 sel/ml/hari). Stadia III: I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %) densitas pakan 7700−9300 sel/ml/hari. Spat D25–D28: campuran pakan: I. galbana (50 %)+ T. tetrathele (50 %), densitas 8900−10000 sel/ml/hari. D28−D35 diberi pakan campuran I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %). Densitas pakan D28−D31: 9100−15800 sel/ml/hari. D31−D33: 14600−18200 sel/ml/hari. D33−D35: 17200–18925 sel/ml/hari.
Umur pemindahan spat dari lab ke lokasi pendederan di laut paling baik umur 40–50 hari. Kepadatan optimum spat pada masa pendederan adalah 500 ekor/kolektor.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Perkembangan Larva dan
Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Pada Kondisi
Lingkungan Pemeliharaan Berbeda adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2009
Tjahjo Winanto NIM C661040031
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviati P. Zamani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 20 April 2009 Tanggal Lulus .............................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWAT yang telah berkenan
memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga paripurna penelitian dan dapat
terselesaikan disertasi dengan judul “Kajian Perkembangan Larva dan Pertumbuhan
Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Pada Kondisi Lingkungan
Pemeliharaan Berbeda”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang
terhormat Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.
Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc, yang telah
berkenan memberikan saran, bimbingan serta pengarahan selama penyusunan
proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan disertasi hingga publikasi. Kepada Dr.
Ir. Odang Carman, M.Sc, Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, Dr. Ir. Edward
Danakusumah, M.Sc., PU dan Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS terima kasih atas
kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan terbuka.
Ungkapan terima kasih dari hati yang terdalam juga penulis sampaikan kepada
Rektor, Dekan Fakultas Sain dan Teknik, Ketua Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan
dan teman-teman dosen Unsoed Purwokerto, Drs. M. Jimo dan teman-teman dosen
Stiper Surya Dharma Bandar Lampung, Pimpinan dan staf C.V. Mina Mitra Usaha di
Manado, P.T. Mariat Utama di Sorong, teman-teman di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut Lampung, teman-teman Program Doktoral (S3) IPB, Program Studi
IKL khususnya Ir. Suparno, M.Si, Dr. Ir. M. Hatta, M.Si, Dr. Yulianus Paonganan,
S.Si, M.Si. Utamanya untuk istri tercinta Ir. Esty Juliaty, ananda tersayang Muthiary
Nitzschia Nur Iswari dan Bintang Ramanditya terima kasih atas dukungan,
pengorbanan serta ketulusan doa dan kasih sayangnya. Rasa hormat dan terima kasih
penulis sampaikan kepada Ayah dan Ibu, keluarga besar Bapak H. Slamet
Atmowirono (Almarhum) dan Ibu Sumariyati, kakanda Nanik Widiastuti sekeluarga,
Irawan Wijaya sekeluarga serta adiku Kusumo Wibowo sekeluarga.
Sangat disadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, namun demikian
semoga bermanfaat dan dapat menjadi sumber informasi untuk pengembangan
penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya aplikasi produksi missal spat tiram
mutiara dan pengembangan hatchery skala rumah tangga.
Bogor, April 2009
Tjahjo Winanto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang tanggal 5 Agustus 1961, sebagai anak ketiga
dari empat bersaudara, pasangan R. Soegiono Kartosaputro (Almarhum) dan Rr. S.
Yuniati. Pendidikan sarjana ditempuh di Stiper Surya Dharma Lampung, lulus pada
tahun 1994. Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Magister
Sain pada Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pasca Sarjana IPB dan lulus tahun
2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada perguruan tinggi
dan program studi yang sama diperoleh tahun 2004.
Penulis bekerja di Balai Besar Budidaya Laut Lampung sejak tahun 1984
hingga 2005, selama bekerja dari tahun 1985–1987 penulis mendapat tugas sebagai
kepada lab budidaya kekerangan dan teripang, selanjutnya dari tahun 1987–2005
bertugas sebagai kepala lab pembenihan tiram mutiara dan budidaya mutiara. Selama
menjalankan tugas, penulis juga menjadi staf pengajar di Stiper Surya Dharma
Lampung dari tahun 1996–2006, serta diberi kepercayaan sebagai kepala lab biologi.
Penulis juga menjadi staf pengajar pada Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Negeri Lampung (UNILA) dari tahun 2000–2002 dan Jurusan Biologi
Perairan, FMIPA, UNILA dari tahun 2000–2004. Selama menjadi mahasiswa
Pascasarjana IPB, penulis juga menjadi dosen tamu pada program sarjana Ilmu dan
Teknologi Kelautan, FPIK, IPB dari tahun 2005–2006. Sejak tahun 2005 sampai
sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Fakultas Sain dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Sebuah artikel yang merupakan bagian dari disertasi dengan judul ”Respon Larva
Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Terhadap Berbagai Tingkat Intensitas
Cahaya” telah diterbitkan pada Jurnal Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro,
Semarang. Vol. XIII/No. 4/Desember/2008 (Terakreditasi SK. Dirjen. Dikti. No. 55/
DIKTI/KEP/2005, Tgl 17 Nopomber 2005). Telah dipresentasikan bagian dari
disertasi berjudul ”Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologis Larva
Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) pada Seminar Moluska Ke-2 di ICC
Bogor
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………. xiii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….. xvi
PENDAHULUAN ………………………………………………………………. 1
Latar Belakang ……………………………………………………....................... 1 Perumusan Masalah ………………………………………………....................... 3 Tujuan Penelitian …………………………………………………....................... 5 Manfaat Penelitian …………………………………………………..................... 5 Hipotesis …………………………………………………………….................... 5
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 8
KAJIAN PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT DI LABORATORIUM …… 18
Pengaruh Jenis dan Densitas Pakan Hidup Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)............................................................................................................... 19
Abstract ...................................................................................................... 19 Pendahuluan ............................................................................................... 19 Bahan dan Metode ……………………..................................................... 21 Hasil dan Pembahasan........................ …………………………………… 27 Simpulan .................................................................................................... 50 Daftar Pustaka ............................................................................................ 50
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) ....................... 56
Abstract ...................................................................................................... 56 Pendahuluan ............................................................................................... 56 Bahan dan Metode ……………………...................................................... 58 Hasil dan Pembahasan ……………………………………........................ 62 Simpulan .................................................................................................... 81 Daftar Pustaka ............................................................................................ 82
Pengaruh Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)…..............................................................……………………………. 87
Abstract ...................................................................................................... 87 Pendahuluan ............................................................................................... 87 Bahan dan Metode ……………………...................................................... 88 Hasil dan Pembahasan ………………………………………………….... 91 Simpulan .................................................................................................... 101 Daftar Pustaka ............................................................................................ 101
xii
Halaman
APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA MEDIA OPTIMUM…………………………………………………………......... 104 Pengaruh Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda Terhadap Sintasan Serta Laju Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)................................................................................. 105
Abstract ...................................................................................................... 105 Pendahuluan ............................................................................................... 105 Bahan dan Metode ……………………...................................................... 106 Hasil dan Pembahasan ……………………………………………............ 108 Simpulan ..................................................................................................... 113 Daftar Pustaka ............................................................................................. 113
KAJIAN PEMELIHARAAN SPAT DI LAUT ..................................................... 116
Pengaruh Umur Pemindahan Terhadap Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)……………………………. 117
Abstract ...................................................................................................... 117 Pendahuluan ............................................................................................... 117 Bahan dan Metode ……………………..................................................... 118 Hasil dan Pembahasan ……………………………………....................... 121 Simpulan .................................................................................................... 125 Daftar Pustaka ............................................................................................ 126
Pengaruh Tingkat Kepadatan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Terhadap Sintasan dan Laju Pertumbuhan ……………………… 128
Abstract ...................................................................................................... 128 Pendahuluan ............................................................................................... 128 Bahan dan Metode ……………………..................................................... 129 Hasil dan Pembahasan ………………………………………………....... 131 Simpulan .................................................................................................... 136 Daftar Pustaka ............................................................................................ 136
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………….............. 138
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………... 149
DAFTAR PUSTAKA ...............………………………………………………….. 150
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Spesies microalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna………... 17
2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima......................... 28
3. Sintasan (%) larva P. maxima stadia veliger sampai stadia plantigrade (rata-rata ± SD; n = 30) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup………………………………………………………………………….. 39
4. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup ................................................................................. 44
5. Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas ........................................... 62
6. Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g berat basah/jam) spat P. maxima (rata- rata ± SD; n = 20) pada berbagai suhu dan salinitas....................................... 64
7. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas........................... 67
8. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (K-J/g berat basah/jam) spat
P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas..................................................... 70
9. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat suhu dan salinitas................................................................................... 74
10. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas....................................................................................................... 76
11. Sintasan larva P. maxima (rata-rata + SD) pada berbagai tingkat intensitas cahaya................................................................................................................ 94
12. Uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan dan pertumbuhan panjang relatif pada larva dan spat tiram mutiara P. maxima................................................... 109
13. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke laut................................................................................... 122
14. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat kepadatan ..... 131
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian larva
dan spat tiram mutiara P. Maxima di lab............................................................ 6 2. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian spat tiram
mutiara P. Maxima di lab..................................................................................... 7
3. Siklus hidup tiram mutiara Pinctada maxima....................................................... 12
4. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) larva
tiram mutiara P. maxima …................................................................................. 24
5. Larva P. maxima stadia bentuk-D diantara telur-telur, ditemukan pertama kali 18 – 20 jam setelah menetas............................................................ 27
6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade ………………………………….. 29
6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade ………………………………...................... 30
7. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) larva P. maxima pada berbagai tingkatan stadia...................................................................................................... 32
8. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) spat tiram mutiara P. maxima pada berbagai tingkat umur.................................................................................. 33
9. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima dari stadia veliger (D1) sampai stadia plantigrade (D20)............................................................................ 34
10. Tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima dari umur 25 – 35 hari.............. 38
11. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup................................................................ 40
12. Jadwal pemberian pakan larva tiram mutiara P. maxima dari umur 1–20 hari..... 40
13. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup................................................................ 45
14. Jadwal pemberian pakan spat tiram mutiara P. maxima dari umur 25–35 hari..... 45
15. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade (D20) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.......................…………........................................ 48
16. Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen larva tiram mutiara P. maxima....................................................................................... 60
17. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva stadia I, II dan III pada berbagai suhu dan salinitas…………….............................................................................. 74
xv
Halaman
18. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas…………….............................................................................. 77
19. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas……………................................................... 79
20. Posisi pengambilan sampel untuk mengetahui behavior larva secara kuantitatif …......................................................................................................... 90
21. Distribusi larva P.maxima stadia veliger sampai platigrade pada berbagai tingkat intensitas cahaya. (A) 0 lux; (B) 200 lux; (C) 500 lux; (D) 800 lux….... 92
22. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat intensitas cahaya........................................................................ 95
23. Warna spat tiram mutiara P. maxima, (I) Perlakuan A dan B; (II) Perlakuan C, D dan E..................................................................................... 97
24. Sintasan spat (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat intensitas cahaya............... 99
25. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya sampai spat............................................................................... 99
26. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)........... 108
27. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)................................................................................................. 109
28. Pertumbuhan panjang spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai waktu pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari................................................... 123
29. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai waktu pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari......................................... 123
30. Pertumbuhan spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat kepadatan selama percobaan ................................................................................. 130
31. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan selama percobaan ................................................................................. 134
32. Pertumbuhan cangkang spat P. maxima yang tidak normal, (A) Memanjang (DV lebih panjang dari AP); (B) Melebar (DV lebih pendek dari AP) dan (C) Normal............................................................................................................. 135
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1a. Lokasi Penelitian kajian pemeliharaan larva dan spat tiram mutiara
P. maxima di laboratorium, Desa Mangkit, Kec. Belang, Kab. Minahasa Tenggara, Prop. Sulawesi Utara............................................................................ 165
1b. Lokasi penelitian kajian pemeliharaan spat P.maxima di P. Kabra Kecil dan Selat Kabra, Kabupaten Raja Empat, Prop. Irian Jaya Barat ........................ 165
2. Komposisi Pupuk Walne dan Hirata ...................................................................... 166
3. Jumlah pakan yang dikonsumsi larva P. Maxima (sel/ml/hari) pada berbagai tingkat stadia........................................................................................... 167
4. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima................................................... 168
5. Tingkat konsumsi pakan spat tiram mutiara P. maxima.......................................... 168
6. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup …..……………………………............ 169
7a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada
berbagai jenis dan densitas pakan hidup ............................................................... 170 7b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik AP
larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup........................... 171 7c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik DV
larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup........................... 172
8a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.............. 173 8b. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan
spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup............................ 173
9a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup............................................................................................. 174
9b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.................................... 174
10a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P.maxima pada
berbagai jenis dan densitas fitoplankton............................................................ 176 10b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap lama waktu (hari) pencapaian stadia
plantigrade larva P.maxima pada berbagai jenis dan densitas fitoplankton....... 176 11. Hasil pengamatan parameter kualitas air pada percobaan pemeliharaan larva
dan spat ………………………………………………………………………… 177
12. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) larva P. maxima stadia veliger sampai plantigrade pada berbagai suhu dan salinitas..................................................... 178
13. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju konsumsi oksigen spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas.............................................. 179
14. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju metabolisme rutin
(J/g berat basah/jam) larva P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas........... 180
xvii
Halaman 15. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju metabolisme basal
spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas............................................... 181 16. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva
P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas........................................ 182 17a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu
dan salinitas…………………………………………………............................... 183 17b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan
spesifik AP x DV larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas……………………………………………...................................... 184
18a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas................................ 186 18b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap sintasan spat
P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas..................................................... 186 19a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai suhu dan
salinitas.............................................................................................................. 187 19b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan
spesifik (%) AP spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas.................... 187 19c. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan
spesifik (%) DV spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas.................... 188 20a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade pada suhu dan salinitas
berbeda……………………………………………………………………..…. 189 20b. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadap lama waktu (hari)
pencapaian stadia plantigrade pada suhu dan salinitas berbeda…….………... 189 21. Distribusi larva P. maxima pada berbagai intensitas cahaya…………………… 190
22. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai intensitas cahaya……………..................................................... 191
23a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya……………………………………………………….……... 192
23b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laja pertumbuhan spesifik (AP) larva P. maxima pada berbagai intensitas cahaya………………………………….. 192
23c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laja pertumbuhan spesifik (DV) larva P. maxima pada berbagai intensitas cahaya………………………………….. 193
24a. Sintasan, laja pertumbuhan spesifik (rata-rata ± SD) spat pada berbagai
tingkat intensitas cahaya................................................................................... 194 24b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan, laja pertumbuhan spesifik
spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya.................................................... 195 25a. Sintasan dan laja pertumbuhan spesifik spat pada kondisi
lingkungan optimum.......................................................................................... 197 25b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan dan laju pertumbuhan
spesifik spat pada kondisi lingkungan optimum................................................ 198
xviii
Halaman 26. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan spat P. maxima pada lama
waktu pemindahan dari lab ke tempat pemeliharaan di laut................................ 200 27a. Pertumbuhan Panjang spat P. maxima terhadap lama waktu pemindahan dari
laboratorium ke tempat pemeliharaan di laut.................................................... 201 27b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap pertumbuhan panjang
spat P. maxima terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke tempat pemeliharaan di laut.............................................................................. 203
28a. Hasil pengamatan beberpa parameter fisika dan kimia air pada lokasi
pemeliharaan spat tiram mutiara P. maxima di Selat Kabra.............................. 204 28b. Jenis dan kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian perairan Selat Kabra..... 204
29a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan.................................. 205 29b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan spat P. maxima
pada berbagai tingkat kepadatan........................................................................ 206 30a. Pertumbuhan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan ......................... 207 30b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap pertumbuhan spat P. maxima pada
kepadatan pemeliharaan yang berbeda.............................................................. 207
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil mutiara “South Sea Pearl”
dari tiram mutiara Pinctada maxima yang sangat digemari di pasaran dunia. Sebagian
besar produksi South Sea Pearl yang dipasarkan berasal dari hasil budidaya (Anna
2006). Perkembangan usaha budidaya mutiara saat ini sudah mengarah pada kegiatan
industri yang terintegrasi (Fassler 1995). Berdasarkan nilai ekspor hasil perikanan pada
tahun 2006, mutiara dapat dijadikan sebagai salah satu andalan penyumbang devisa
negara. Ekspor mutiara sekitar 1,94 % dari total ekspor hasil perikanan, dengan jumlah
ekspor mencapai 18.000 kg, atau senilai US $ 13.793.000 (DKP 2006).
Diperkirakan, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 65 perusahaan budidaya
mutiara, dari jumlah tersebut hanya 10 % yang mempunyai unit pembenihan sendiri,
sisanya masih tergantung pada hasil tangkapan dari alam. Kecenderungan yang
berkembang saat ini, khususnya perusahaan-perusahaan di daerah Indonesia Bagian
Tengah dan Timur ternyata lebih memilih spat yang berasal dari hatchery untuk
kemudian dibesarkan, karena ukurannya seragam, lebih mudah beradaptasi dan dalam
waktu relatif singkat dapat diperoleh jumlah yang banyak. Menurut Gricourth et al.
(2006) pada kondisi permintaan spat dari alam menjadi isu utama, maka permintaan
akan produksi spat dari hatchery juga akan terus meningkat secara efisien.
Pada umumnya, dalam satu siklus implantasi atau operasi pemasangan inti
bulat dibutuhkan tiram antara 10.000–40.000 ekor. Perusahan bermodal besar, dalam
satu siklus biasanya mengimplan 20.000–50.000 ekor, sedangkan perusahaan kecil
antara 5.000–10.000 ekor (Daryatmo 2003). Dari sekitar 58 perusahaan yang tidak
memiliki unit pembenihan, setiap siklus operasi (1 tahun dua siklus) membutuhkan
tiram mutiara rata-rata 25.000 ekor. Diperkirakan setiap tahun ada permintaan tiram
mutiara ukuran implantasi sebesar 2.900.000 ekor.
Selama pembesaran dari spat ukuran 5–7 cm sampai menjadi calon induk atau
ukuran siap implantasi (10–15 cm), tingkat keberhasilannya sekitar 60–80 %. Jika
sintasan rata-rata 70 %, maka setiap tahunnya ada peluang menjual spat ukuran 5–7
cm sekitar 4.000.000 ekor (Winanto 2004).
2
Berkembangnya budidaya mutiara ternyata juga menjadi pemicu meningkatnya
permintaan spat dan tiram siap operasi. Sedangkan spat dan calon induk yang berasal
dari alam jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim. Penyediaan
spat secara terkendali melalui hatchery merupakan alternatif yang tepat untuk
menanggulangi terbatasnya spat alam. Hatchery mampu menyediakan spat secara
massal, tepat waktu dan jumlah, disamping ukurannya seragam serta berkualitas tinggi.
Menurut Jeffrey et al. (1990) tujuan utama dari kegiatan pembenihan adalah
memproduksi jutaan juvenil (spat) dengan cara memelihara larva pada tingkat
kepadatan yang lebih tinggi dari kondisi di alam. Produksi spat melalui hatchery
merupakan pendekatan yang paling memungkinkan untuk menyediakan spat dalam
skala besar dan berkesinambungan (Rupp et al. 2005).
Kendala utama pada pembenihan tiram mutiara saat ini adalah pertumbuhan
yang lambat dan sintasan rendah dalam pemeliharaan larva dan spat. Sintasan dari
larva (D1) sampai menjadi spat berukuran 2–3 cm sekitar 0,05 % dan untuk mencapai
ukuran 2–3 cm diperlukan waktu pemeliharaan selama 3–4 bulan (BBL 2001).
Menurut Taufiq (2009) sintasan spat P. maxima umur 30 hari pemeliharaan di
laboratorium antara 6–7 %. Diduga, salah satu faktor yang menyebabkan sintasan
rendah dan pertumbuhan lambat adalah kondisi lingkungan pemeliharaan seperti suhu,
salinitas, pH, DO dan pakan optimum yang belum diketahui. Menurut Odum (1976);
Asha and Muthiah (2005) kondisi lingkungan mempunyai peranan yang vital pada saat
perkembangan larva, lebih spesifik lagi kondisi kualitas air secara menyeluruh
berpengaruh terhadap komunitas perairan. Apabila salah satu faktor lingkungan
melewati batas toleransi spesies atau jika salah satu unsur tersebut jumlahnya menurun
sampai di bawah batas kebutuhan minimum spesies sehingga menjadi faktor pembatas,
maka spesies tersebut akan mengalami perubahan pola dispersi, aktivitas fisiologis
terganggu, bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Studi tentang produksi spat tiram mutiara P. maxima secara masal di hatchery
belum banyak dilakukan. BBL (2001); Winanto et al. (2001) dan Winanto (2004)
mengungkapkan pembenihan tiram mutiara P. maxima, tetapi belum ada informasi
tentang kondisi lingkungan optimum untuk pemeliharaan larva maupun spat dan
belum dibuat prosedur standar operasionalnya (SOP). Anwar (2005) mengkaji pola
reproduksi dan pemeliharaan larva P. maxima sampai hari ke-7. Taufiq (2009)
3
menyampaikan status budidaya tiram mutiara P. maxima pada PT. Autore Pearl
Culture di Sumbawa. Taufiq et al. (2009) dan Mangidi et al. (1009) melakukan studi
pertumbuhan tiram mutiara P. maxima di perairan Sumbawa dan Sekotong, Lombok
(NTB). Di India, Alagarswami et al. (1983; 1987), CFMRI (1991), Dharmaraj et al.
(1991) melakukan studi pembenihan tiram mutiara P. fucata. Studi aspek lingkungan
dan budidaya P. margaritifera di laut telah dilakukan oleh Friedman and Bell (1996;
1999), Friedman and Southgate (1999), Southgate et al. (1998). Taylor et al. (1997;
1998) di Australia lebih banyak melakukan penelitian pada P. maxima di alam. Studi
tentang larva Pteria sterna dilakukan oleh Martinez-Fernandez et al. (2004) dan
Wayne et al. (2004) melakukan pengkajian pada embrio dan juvenil P. imbricata.
Sampai saat ini, sebagian besar kegiatan pembenihan tiram mutiara di
Indonesia masih dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar milik swasta, dengan
menggunakan tenaga ahli asing, sehingga penyebaran informasi teknologinya sangat
terbatas (Winanto 2004). Sedangkan, tuntutan akan penyediaan spat dalam jumlah
yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, serta kebutuhan informasi teknologi
pembenihan tiram mutiara sangat dibutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
perlu dilakukan penelitian tentang kebutuhan lingkungan optimum, untuk
mengoptimalkan sintasan dan laju pertumbuhan larva serta spat tiram mutiara P.
maxima, sehingga dapat dibuat standar operasional prosedure (SOP) untuk produksi
spat secara massal dan terkendali. SOP tersebut dapat dilakukan oleh praktisi atau
pembudidaya perikanan, pengusaha dan masyarakat perikanan pada umumnya.
Perumusan Masalah
Rasionalisasi dari perkembangan usaha budidaya mutiara menjadi industri
budidaya adalah kemampuan menyediakan tiram implan dalam jumlah yang cukup
dan berkesinambungan. Konsekuensinya adalah eksploitasi tiram dari alam dengan
intensitas tinggi, akibatnya populasi di alam menurun drastis. Sampai saat ini, sebagian
besar perusahaan budidaya mutiara di Indonesia masih sangat tergantung pada spat
alam dan kegiatan penyelaman tiram mutiara sangat tergantung pada musim.
Ketersediaan spat merupakan kendala utama pada pengembangan budidaya
tiram mutiara. Pasokan spat merupakan bagian yang krusial dari industri ini, jika
semata-mata hanya menggantungkan pengumpulan spat dari alam (Le Blanc et al.
4
2005). Upaya penyediaan spat melalui hatchery, merupakan langkah yang paling
bijaksana untuk mengurangi perburuan tiram mutiara di alam.
Pada pemeliharaan larva sampai spat diperlukan kondisi lingkungan yang
optimum dan terkendali, karena pada stadia tersebut kondisinya masih sangat rentan,
jika terjadi perubahan lingkungan dalam pemeliharaan dapat mengakibatkan kematian,
sehingga berbagai kajian yang berkaitan dengan pemeliharaan larva dan spat baik yang
dilakukan di laboratorium maupun di lapangan (laut) sangat diperlukan. Menurut
Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun
kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimal, seperti untuk
perkembangan, pertumbuhan dan proses-proses fisiologis yang mengatur serta
mengontrol kondisi biota laut.
Perkembangan, pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), pH dan intensitas
cahaya. Menurut Alfaro (2005); Asha dan Muthiah (2005); Martinez-Fernandez et al.
(2004) dalam memproduksi spat skala besar di hatchery, sangat diperlukan informasi
tentang pengaruh suhu, salinitas, DO dan pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan
larva serta spat.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi (Gambar 1, 2), yaitu melakukan pengkajian perkembangan larva dan
pertumbuhan spat. Kajian ini dibagi menjadi tiga tahap penelitian, yaitu Penelitian
Tahap Pertama: Kajian pemeliharaan larva dan spat di laboratorium, terdiri dari tiga
seri percobaan yaitu studi pendahuluan pengaruh jenis dan densitas pakan hidup
terhadap sintasan dan pertumbuhan, mengkaji pengaruh suhu dan salinitas terhadap
sintasan dan pertumbuhan, serta mengkaji pengaruh berbagai tingkat intensitas cahaya
terhadap sintasan dan pertumbuhan. Penelitian Tahap Kedua: Aplikasi pemeliharaan
larva dan spat pada kondisi lingkungan optimum. Penelitian Tahap Ketiga: Kajian
pertumbuhan spat di laut, terdiri dari dua seri percobaan yaitu mengkaji umur
pemindahan dan tingkat kepadatan spat.
Melalui hasil pengkajian yang dilakukan secara komprehensif, diharapkan
dapat mengetahui parameter lingkungan yang optimum untuk perkembangan larva dan
pertumbuhan spat tiram mutiara P. maxima, sehingga dapat dibuat standar operasional
prosedure (SOP) untuk mengoptimalkan produksi massal spat.
5
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui parameter kualitas air optimum (suhu, salinitas, tingkat konsumsi
oksigen dan intensitas cahaya), untuk mendapatkan sintasan, perkembangan dan
pertumbuhan larva dan spat yang tinggi.
2. Mengetahui umur pemindahan yang tepat dan tingkat kepadatan optimum, untuk
mendapatkan sintasan dan pertumbuhan spat yang tinggi.
3. Membuat standar operasional prosedure (SOP) pemeliharaan larva dan spat untuk
mengoptimalkan sintasan dan laju pertumbuhan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah meningkatkan sintasan
serta laju pertumbuhan larva dan spat, sehingga dapat menjadi informasi dasar bagi
pengembangan hatchery skala rumah tangga tiram mutiara P. maxima. Hasil studi juga
diharapkan berguna untuk pengembangan produksi massal spat di masa datang dan
atau penebaran benih kembali (restocking) di alam. Lebih lanjut, produksi hatchery
tersebut dapat mencukupi kebutuhan spat secara nasional, sehingga dapat mengurangi
perburuan tiram mutiara di alam dan menjaga kelestarian sumberdayanya.
Perkembangan teknologi hatchery skala rumah tangga yang dikelola oleh anak-anak
bangsa, diharapkan bisa mengurangi dominansi tenaga ahli asing, membuka lapangan
kerja dan memberi peluang berkembangnya swasta nasional dan usaha kecil budidaya
mutiara.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan sintasan, perkembangan, pertumbuhan larva dan spat pada
suhu, salinitas, tingkat konsumsi oksigen dan intensitas cahaya optimum yang
berbeda.
2. Pebedaan umur pemindahkan dan tingkat kepadatan spat akan mempengaruhi
perbedaan sintasan dan pertumbuhan spat.
6
MASALAH PENDEKATAN
MASALAH ASPEK KAJIAN PARAMETER YANG
DIAMATI LUARAN APLIKASI
Gambar 1. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian larva dan spat tiram mutiara P. maxima di laboratorium
Spat
Pakan Hidup
Lingkungan
Tingkah laku
Morfologi
Suhu
Salinitas
Intensitas Cahaya
Oksigen (DO)
Larva
Metabolisme Respon Larva & Spat
Konsumsi Oksigen
Jadwal Pemberian Pakan
Lingkungan Optimum
Sintasan
Pertumbuhan
Biometri
Morfogenesis
Jenis & Densitas
Aktivitas Makan
Tingkat Konsumsi Pakan
Umur Mulai Makan
Stadia Mulai Makan
Waktu Pencapaian Stadia
Produksi Masal Spat, Berkualitas &
Kontinyu
Standar Operasional
Prosedur (SOP)
7
MASALAH PENDEKATAN MASALAH
ASPEK KAJIAN PARAMETER YANG DIAMATI
LUARAN APLIKASI
Gambar 2. Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian spat tiram mutiara P. maxima di laut
Spat
Sintasan
Pertumbuhan
Ketepatan Umur Pemindahan dan
Padat Tebar Optimum
Waktu Pemindahan
Tingkat Kepadatan
Kualitas Air
Produksi Massal Spat, Berkualitas
dan Kontinyu
Biometri
Morfogenesis
Suhu
Salinitas
pH
DO
Nitrat
Fosfat
Silikat
Kelimpahan Plankton
Standar Operasional
Prosedur (SOP)
TINJAUAN PUSTAKA
Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Tiram mutiara spesies P. maxima termasuk moluska laut, dengan tubuh
dilindungi atau ditutupi oleh sepasang cangkang, termasuk kelas Bivalvia dan famili
Pteriidae (Cahn 1949).
P. maxima merupakan salah satu jenis tiram penghasil mutiara yang
mempunyai nilai ekonomis paling tinggi dan ukuran paling besar. Di pasaran
internasional, mutiara yang diproduksi sering kali disebut dengan nama “South Sea
Pearl” (Shirai 1981). Spesies ini mempunyai diameter dorso-ventral dan anterior-
posterior hampir sama sehingga bentuknya agak bundar. Bagian dorsal berbentuk
datar dan panjang serta dihubungkan oleh semacam engsel berwarna hitam
(Takemura and Kafuku 1957).
Tiram muda atau spat mempunyai warna cangkang bervariasi dengan warna
dasar kuning pucat, kuning tua atau kuning kecoklatan, coklat kemerahan, merah
anggur dan kehijauan. Pada cangkang bagian luar terdapat garis-garis radier yang
menonjol seperti sisik, berwarna lebih terang dari warna dasar cangkang, berjumlah
10 – 12 buah dan ukurannya lebih besar dibandingkan pada spesies lain.
Umumnya setelah dewasa warna cangkang menjadi kuning tua sampai kuning
kecoklatan, warna garis radier biasanya sudah memudar. Cangkang bagian dalam
(nacre) berkilau dengan warna putih-keperakan, bagian tepi nacre (nacreous-lip) ada
yang berwarna keemasan sehingga sering disebut “Gold-lip Pearl Oyster” dan yang
berwarna perak disebut juga “Silver-lip Pearl Oyster”. Pada bagian luar nacre (non-
nacreous border) berwarna coklat kehitaman.
Habitat dan Daerah Penyebaran
P. maxima disebut juga Shirocho-gai merupakan spesies tiram mutiara yang
ukurannya paling besar (Shirai 1981; Takemura and Kafuku 1957). Tempat hidupnya
mulai dari perairan dangkal dengan dasar perairan berpasir, atau pasir berkarang yang
ditumbuhi tanaman lamun sampai laut dalam berkarang. Umumnya hidup menempel
9
pada karang hingga kedalaman 10–75 m. Ditemukan juga di perairan laut dalam
dengan substrat bersedimen di daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan
paparan pulau, dimana airnya agak keruh. Biasanya dapat ditemukan banyak individu
tergeletak di atas substrat tanpa bisus (Gervis and Sims 1992; Tun and Winanto
1987; Yukihira et al. 1999, 2006). Di lokasi sekitar budidaya mutiara sering kali
ditemukan hidup menempel pada karang di kedalaman 50–100 cm (Winanto et al.
1992).
Daerah penyebaran P. maxima mulai dari laut Arafuru, Australia bagian
Utara, Philipine, Myanmar, Thailand, Papua New Guiniea dan Indonesia. Di perairan
Indonesia Pinctada maxima dapat ditemukan mulai dari Kep Aru, Papua, Laut
Banda, Kep. Maluku, Kep. Bacaan, Laut Seram, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, pantai Utara Jawa Barat dan Banten,
Kalimantan Barat dan Bangka-Belitung. Namun demikian polulasi terbesar berada di
daerah Indonesia bagian Tengah dan Timur (Tun and Winanto 1987; Winanto et al.
1992).
Siklus Hidup dan Reproduksi
Tiram mutiara mempunyai jenis kelamin terpisah, kecuali pada beberapa
kasus tertentu ditemukan sejumlah individu yang hermaprodit. Perubahan kelamin
(sex reversal) biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada
stadia awal perkembangan gonad. Fenomena sex reversal juga diamati Wada and
Wada (1939) dalam Cahn (1949) terhadap tiram P. maxima, hasilnya menunjukkan
bahwa jenis kelamin tiram ternyata tidak tetap, sejumlah jantan berubah menjadi
betina dan sebaliknya betina bisa menjadi jantan.
Bentuk gonad tebal-menggembung, pada kondisi matang penuh gonad
menutupi seluruh organ dalam (perut, hati dan yang lain) kecuali bagian kaki. Secara
eksternal sulit untuk membedakan antara gonad jantan dan betina, utamanya pada
stadia awal, keduanya berwarna krem kekuningan. Tetapi setelah stadia matang
penuh, gonad tiram P. maxima jantan berwarna putih krem, sedang yang betina
berwarna kuning tua. Sedangkan menurut Chellam (1987); CMFRI (1991) gonad
jantan P. fucata berwarna krem pucat keputihan dan betina berwarna krem
kekuningan sampai kuning.
10
Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan menjadi lima stadia
(deskripsi perkembangan gonad ini hanya didasarkan pada tiram betina) yaitu :
Stadia I : Tahap tidak aktif/salin/ istirahat (inactive/spent/resting); Stadia II:
Perkembangan/ pematangan (developing/maturing); Stadia III: Matang (mature);
Stadia IV: Matang penuh/memijah sebagian (fully maturation/partially spawned);
Stadia V : Salin (spent). Pada stadia awal perkembangan gonad, tiram jantan dan
betina menunjukkan perkembangan reproduksi yang sama, oleh karena itu pada
stadia II dan III warna gonad krem pucat. Pada stadia gametogonesis yang lain,
gonad jantan dan betina nampak sama jika diamati secara ekternal (Chellam 1987;
CMFRI 1991; Winanto 2004).
Pada berbagai kasus di lapangan, para praktisi (breeder) sering kali
menggunakan induk stadia III dan IV untuk pemijahan. Spesifikasi induk betina
stadia III adalah gonad tersebar merata hampir di seluruh jaringan organ, biasanya
berwarna krem kekuningan. Sebagian besar oocyt berbentuk buah peer, dengan
ukuran 68 x 50 .μm, ukuran inti 25 μm. Sedangkan induk Stadia IV mempunyai ciri-
ciri gonad menggembung, tersebar merata dan secara konsisten akan keluar dengan
sendirinya atau jika ada sedikit trigger. Oocyt bebas dan terdapat di seluruh dinding
kantong gonad. Hampir semua oocyt berbentuk bulat dan berinti, dengan ukuran rata-
rata 51,7 .μm.
Menurut Wada et al. (1995) pengetahuan tentang biologi reproduksi tiram
mutiara sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri budidaya mutiara,
khususnya memahami perkembangan gonad dan dinamika populasinya di alam.
Pengetahuan ini dapat digunakan untuk mengembangkan teknik pembenihan dan
perbaikan teknik penempatan inti bulat di dalam gonad pada budidaya mutiara.
Hasil pengamatan Winanto et al. (2002) terhadap stadia kematangan gonad
dan musim pemijahan P. maxima di Teluk Hurun, Lampung dari tahun 1996–2002
menunjukkan, bahwa kematangan gonad terjadi setiap bulan, namun stadia
kematangan gonad penuh (TKG IV) hanya terjadi pada bulan Maret, Mei dan
Agustus sampai Nopember. Gonad dalam masa istirahat (resting phase) terjadi pada
bulan Desember, stadia I dan II terjadi hampir sepanjang tahun. Selama tujuh tahun
pengamatan, dicatat stadia perkembangan gonad tertinggi hanya sampai TKG II
terutama pada bulan April dan Juni. Sedangkan TKG III terjadi pada bulan Januari–
Maret dan Juli–Desember.
11
Chellam (1987); CMFRI (1991) menyatakan bahwa beberapa jenis tiram
mutiara dapat dijumpai matang gonad sepanjang tahun. Sedangkan Chacko (1970)
dan Rao (1970) melaporkan bahwa musim pemijahan Pinctada spp terjadi setiap
bulan sepanjang tahun. Musim puncak kematangan gonad identik dengan musim
puncak pemijahan. Pada musim tertentu, induk tiram di alam yang telah dewasa
akan bertelur. Telur-telur tersebut kemudian akan dibuahi oleh sel kelamin jantan
(sperma) dan pembuahan terjadi secara eksternal di dalam air.
Telur yang telah dibuahi akan mengalami perubahan bentuk, mula-mula
terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar lobe II yang merupakan awal proses
pembelahan sel dan akhirnya menjadi multisel. Tahap berikutnya adalah fase
trocofor, dengan bantuan bulu-bulu getar trocofor dapat berenang-renang dan
bergerak berputar-putar. Beberapa jam kemudian trocofor akan berkembang menjadi
veliger atau larva bentuk D (Gambar 3), dengan ditandai tumbuhnya organ mulut
dan pencernaan. Larva mulai makan dan tubuhnya telah ditutupi cangkang tipis.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuh velum, pada fase ini biasanya sangat
sensitif terhadap cahaya dan sering berenang-renang di permukaan air. Selama stadia
planktonis, larva biasanya berenang-renang dengan menggunakan bulu-bulu getar
atau menghanyut dalam arus air.
Pada saat mencapai stadia umbo (Gambar 3) secara bertahap cangkang juga
ikut berkembang. Bentuk sepasang cangkangnya sama dan mantel sudah berfungsi
secara permanen. Pada akhir stadia umbo, larva bergerak dengan menggunakan
velum.
Stadia pediveliger (Gambar 3) ditandai dengan berkembangnya kaki,
gerakan-gerakan sederhana dari berenang sampai berputar-putar dilakukan dengan
velum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan baik velum akan menghilang,
lembaran-lembaran insang mulai nampak jelas.
Proses pencarian tempat atau substrat untuk menempel dan menetap dimulai
sejak larva mencapai stadia pediveliger. Pertumbuhan awal cangkang terlihat pada
bagian tepi cangkang, bentuknya sangat tipis, transparan, tersusun oleh selaput tipis
conchiolin. Pada waktu yang sama kelenjar bisus akan mensekresikan benang-
benang bisus untuk menempel. Organ lain yang berkembang yaitu labial palp dan
insang. Stadia pertumbuhan setelah pediveliger ini biasanya disebut Plantigrade
(Gambar 3).
12
Perkembangan akhir larva yaitu perubahan stadia plantigrade menjadi spat
(Gambar 3). Bentuk spat menyerupai tiram dewasa, mempunyai engsel, auricula
depan dan belakang serta terdapat takik bisus pada bagian anterior. Cangkang
sebelah kiri lebih cembung dari pada yang kanan. Spat-spat bisa menempel pada
substrat dengan bantuan benang-benang bisus. Laju pertumbuhan dari stadia larva
sampai spat pada satu tempat dan tempat yang lain berbeda-beda, tergantung dari
faktor lingkungan.
Gambar 3. Siklus hidup tiram mutiara Pinctada maxima (modifikasi dari Tun and
Winanto 1987; Winanto 1988; Ikenoue and Kafuku 1992). (1) Telur dan sperma. (2) Telur dibuahi. (3) Pembelahan sel. (4) Gastrula. (5) Larva bentuk-D. (6) Stadia umbo. (7) Spat. (8) Dewasa.
Sistem Pencernaan
Seperti halnya pada jenis kekerangan yang lain, tiram mutiara mampu
memanfaatkan phytoplankton yang terdapat secara alamiah di sekitarnya. Tiram
mutiara bersifat filter feeder atau mengambil makanan dengan jalan menyaring
pakan yang ada di dalam air laut. Getaran silia pada insang menimbulkan arus air
yang masuk ke dalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan
phytoplankton yang berada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau
melalui simpul bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam
mulut (Gosling 2004; Velayudhan and Gandhi 1987).
Mulut terletak pada bagian ujung depan saluran pencernaan atau di sebelah
atas kaki. Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan
13
yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan
kulit luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Dari
perut sisa makanan (kotoran) akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek
dan bentuknya seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan and Gandhi
1987).
Sistem Pernafasan
Insang merupakan organ yang mempunyai peran fungsional baik dalam
pernafasan maupun osmoregulasi. Sel-sel yang berperan pada proses osmoregulasi
adalah sel-sel chlorida yang terletak pada bagian dasar lembaran-lembaran insang.
Insang berjumlah empat buah, berbentuk sabit, dua insang berada di sisi kanan dan
kiri, menggantung pada pangkal mantel seperti lipatan buku (Velayudhan and
Gandhi 1987).
Air yang masuk melalui saluran inhalen akan terhenti pada bagian mantel,
lalu secara cepat dan kompak bekerjasama dengan insang sehingga dapat
memanfaatkan udara yang terangkut dan air dikeluarkan kembali melaui saluran
ekshalen. Air serta darah yang tidak berwarna masuk melalui beberapa filamen
tunggal lalu mengalir ke luar menuju pinggir insang, kemudian melintas ke atas
berputar kembali melalui filamen dan masuk ke branchial atau ctenidial. Dengan
bantuan silia-silia pada branchial dapat menimbulkan arus yang masuk ke bilik palial
dan melintas keatas, melalui lamela branchial. Jadi selain menjalankan fungsi
pernafasan, filamen pada insang dan mantel dapat memperlancar peredaran darah
(Gosling 2004; Velayudhan and Gandhi 1987).
.
Kualitas Air
Perkembangan, pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara sangat dipengaruhi
oleh kualitas air di lingkungan tempat hidupnya. Beberapa parameter kualitas air
tersebut antara lain suhu, kecerahan, salinitas, Oksigen terlarut (DO), pH. dan pakan
hidup (CMFRI 1991; Gricourth et al. 2006; O’Connor and Lawler 2004; Soria et al.
2007; Yokihira et al. 2000; 2006).
14
Suhu
Perubahan suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologi tiram
mutiara di dalam air. Menurut Cahn (1949) suhu yang baik untuk kelangsungan
hidup tiram mutiara berkisar antara 25−30 oC. Sedangkan menurut Suharyanto et al.
(1993), suhu air pada kisaran 27−31 oC dianggap cukup layak untuk kehidupan tiram
mutiara P. margaritifera (japing-japing).
Menurut Nayar dan Mahadevan (1987); Alagarswami et al. (1983 a), selama
pemeliharaan di dalam laboratorium, suhu yang bervariasi dapat mempengaruhi
waktu penempelan larva tiram mutiara. Pada suhu 28,2−29,8 oC, larva akan
menempatkan diri untuk menetap-melekat pada substrat setelah umur 24 hari.
Selanjutnya pada rentang suhu 24,3−27,2 oC larva baru akan melekat setelah 32 hari.
Pada suhu yang rendah, sebagian besar waktu tiram mutiara akan dihabiskan untuk
melakukan metamorfose secara lengkap dan melekatkan diri untuk menetap.
Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme.
Perubahan suhu walaupun kecil selama pemeliharaan larva dapat mengakibatkan
kematian. Pada suhu antara 24−30 oC, tiram mutiara P. margaritifera sangat aktif
melakukan kegiatan metabolisme, sedangkan pada suhu 18−20 oC tidak aktif lagi.
Suhu air yang baik untuk pemeliharaan larva berkisar antara 25−27 oC (Hisada dan
Komatsu, 1985; Holliday et al. 1993; Shokita et al. 1991). Di Balai Budidaya Laut
Lampung, Larva dan spat P maxima menunjukkan pertumbuhan dan kelangsungan
hidup yang baik pada kisaran suhu 26 – 28 oC (BBL 2001).
Kecerahan
Kecerahan air berpengaruh terhadap fungsi dan struktur invertebrata dalam
air. Lama penyinaran akan berpengaruh terhadap proses pembukaan dan penutupan
cangkang. Cangkang tiram akan terbuka sedikit bila ada cahaya, dan terbuka lebar
bila suasananya gelap. Oleh sebab itu ruang pemeliharaan larva dan spat biasanya
dibuat agak gelap, dengan tujuan agar organisme yang dipelihara merasa nyaman dan
cangkang bisa bebas terbuka, sehingga proses filtrasi pakan dapat berlangsung
maksimal dan alami (CMFRI 1991; Gosling 2004; Nayar and Mahadevan 1987).
15
Kecerahan yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva stadia
veliger dari radiasi sinar ultra violet. Karena larva masih bersifat fototaksis positif
dan umumnya di dalam proses metamorfose menghendaki sinar yang sesuai (CMFRI
1991).
Lokasi pemeliharaan induk sebaiknya mempunyai kecerahan antara 4,5–6,5
m. Apabila kecerahan lebih dari kisaran tersebut akan menyulitkan pemeliharaan,
karena demi kenyamanan induk harus dipelihara di kedalaman melebihi tingkat
kecerahan yang ada (Tun and Winanto 1987).
Salinitas
Dilihat dari habitatnya tiram mutiara lebih menyukai hidup pada salinitas
yang tinggi. Tiram mutiara toleran terhadap kisaran salinitas 24 dan 50 %o, namun
hanya untuk jangka waktu yang pendek yaitu sekitar 2–3 hari.
Lokasi pembenihan sebaiknya dipilih di lokasi perairan yang memiliki
salinitas antara 32–35 %o, karena baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
larva dan spat. Pada salinitas 14 %o dan 50 %o, dapat mengakibatkan kematian tiram
mutiara sampai 100 % (BBL 2001; Tun and Winanto 1987).
Oksigen terlarut (DO)
Bagi organisme akuatik yang dibudidayakan, oksigen terlarut dapat menjadi
faktor pembatas kelangsungan hidup, perkembangan dan pertumbuhan. Menurut
Imai (1982), tiram dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen
terlarut berkisar antara 5,20−6,60. Pengamatan Darmaraj (1983) di daerah populasi
alami tiram P. sugilata menunjukkan bahwa kadungan rata-rata oksigen terlarut di
bagian permukaan air 4,22 ml/l dan dasar perairan 4,37 ml/l. Sadangkan
pengamatannya di daerah budidaya mencatat kandungan oksigen terlarut di bagian
permukaan 5,05 ml/l dan di dasar perairan 4,77 ml/l.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Nayar dan Mahadevan (1987),
bahwa tiram mutiara tidak akan mengalami banyak stres pada kisaran konsentrasi
oksigen terlarut yang terbatas. Hal ini merupakan fakta, karena metabolisme pada
16
kebanyakan moluska tergantung pada batas tekanan oksigen terlarut, sampai
mencapai batas tekanan terendah hingga oksigen terlarut akan naik kembali.
Hasil penelitian Dharmaraj (1983) tentang kebutuhan oksigen terlarut tiram
mutiara P. fucata, menunjukkan bahwa tiram berukuran 40−50 mm mengkonsumsi
oksigen 1,339 μl/l; ukuran 50−60 mm mengkonsumsi 1,650 μl/l dan ukuran 60−70
mm mengkonsumsi 1,810 μl/l.
Di tempat pemeliharaan yang terkendali seperti hatchery, sebenarnya
kebutuhan oksigen terlarut tidak menjadi masalah, karena ketersediaannya dapat
diatasi dengan memberikan pengudaraan buatan menggungkan alat blower (CMFRI
1991).
pH
pH air yang layak untuk kehidupan tiram mutiara P. maxima berkisar antara
7,8–8,6 (Matsui 1960). Sedangkan pada pH 7,9–8,2 tiram mutiara dapat berkembang
biak dan tumbuh dengan baik.
Menurut Mahadevan and Nayar (1974); Nayar and Mahadevan (1987), pada
prinsipnya habitat tiram mutiara berada pada perairan dengan pH lebih tinggi dari
6,75. Tiram tidak akan bereproduksi kembali bila pH lebih tinggi dari 9,00. Aktivitas
tiram akan meningkat pada pH 6,75–7,00 dan menurun pada pH 4–6,5., pada kisaran
pH tersebut jumlah tiram yang normal hanya sekitar 10 %.
Pakan Hidup
Pakan merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan kegiatan
pembenihan tiram mutiara. Ketersediaan pakan yang tepat waktu, jumlah dan jenis
akan sangat mendukung sukses produksi massal spat. Pakan utama yang biasa
diberikan pada larva tiram mutiara yaitu jenis flagelata, berukuran kurang dari 10
mikron. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis
galbana, Pavlova lutheri/Monochrysis lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp.,
Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp. Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang
spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva,
jenis fitoplankton flagelata yang paling penting untuk pakan adalah I. galbana (Klas:
17
Haptophyceae) dengan ukuran sekitar 7 μm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis
tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran
induk (Alagarswami et al. 1987; Dharmaraj et al. 1991; Winanto el al. 2001;
Winanto 2004). Menurut Martinez-Fernandez (2004) beberapa jenis mikroalga yang
digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp, Pavlova
lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri,
Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis
tetrathele, Tetraselmis suecica (Tabel 1). Namun mikroalga yang dapat dicerna oleh
larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana.
Tabel 1. Spesies mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna
Kelompok (Devisi)
Kelas Spesies Ukuran (μm)
Karakteristik
Diatom (Bacillariophyta) Alga hijau (Chlorophyta) Flagelata (Haptophyta)
Bacillariophyceae Coscinodiscophyceae Chlorophyceae Prasinophyceae Prymnesiophyceae
Phaeodactilum tricornutum (Bohlin) Chaetoceros meulleri (Paulsen) Takano C. calcitran (Lemmermann) Thalassiosira weisflogii (Grun) Dunaliella salina (Teodoresco) Nannochloris sp Tetraselmis tetrathele (G.S. West) T. suecica (Kylin) Isochrysis aff. galbana (Green) Pavlova lutheri (Droop)
25 x 5
4–5
5 x 5
11 x 4
8–10
2–3
8 x 16
12–15
6–8
5
Sel memanjang, spines besar Dinding sel kaku, spines besar Sel besar motile, flagela dua Sangat kecil, dinding sel berserat glikoprotein Sel besar motile, flagela 4 Dinding sel dilindungi bahan organik Flagela dua, bentuk bulat – oval. Dinding sel dilapisi polisakarida
Sumber: Martinez-Fernandez (2004)
Preferensi larva terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan spesies,
masing–masing jenis tiram mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam
memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, mikro alga yang
digunakan sebagai pakan larva tiram atau organisme laut lainnya adalah mempunyai
ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah
dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan
substansi racun (Coutteau 1996; Ponis et al. 2006).
KAJIAN PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT DI LABORATORIUM
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kondisi lingkungan yang optimum (suhu, salinitas, tingkat
konsumsi oksigen, intensitas cahaya) pada pemeliharaan larva dan spat P. maxima.
Penelitian Tahap I, kajian pemeliharaan larva dan spat di laboratorium terdiri dari
tiga seri percobaan yaitu :
Pengaruh jenis dan densitas pakan hidup terhadap sintasan serta pertumbuhan
larva dan spat (merupakan studi pendahuluan).
Pengaruh suhu dan salinitas terhadap sintasan serta pertumbuhan larva dan
spat.
Pengaruh berbagai tingkat intensitas cahaya terhadap sintasan serta
pertumbuhan larva dan spat.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai dari bulan Pebruari sampai Mei 2007. Aktivitas
penelitian dilakukan di laboratorium C.V. Mina Mitra Usaha, Desa Mangkit,
Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara, Propinsi Sulawesi Utara
(Lampiran 1a).
19
Pengaruh Jenis dan Densitas Pakan Hidup Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Abstract Microalgae are the major food source for bivalve. The objective of this research is to
obtain information of required food types and densities, to determined of feeding schedule for larva and spat. An experiment was conducted using observations method, factorial randomized block and completely design. The result showed that firstly D-shape larvae was found during 18–20 hours after fertilization and was firstly fed of fitoplankton at 22–24 hours (first critical period). Larvae and spat was consuming food all the day. The larvae was have highest food consumption in the morning at 8 am and the evening at 6 pm, while spat was have tendency consumed a lot of food at about 8–10 am in the morning and evening from 4 to 6 pm. Feeding schedule of larvae could be divided into three groups: (1) D1–D8: larvae fed I. galbana at 2,600–4,200 cells ml-1 day-1. (2) D8–D16: larvae fed I. galbana at 3,700–7,800 cells ml-1 day-1 or P. lutheri at 2,300–7,800 cells ml-1 day-1. (3) D14–D20: larvae fed mixed algae of I. galbana (50 %) and P. lutheri (50 %) at 7,700–9,300 cells ml-1 day-1. Feeding schedule of D25–D28 spat are mixtures food of I. galbana (50 %) + T. tetrathele (50 %) at density 8,900–10,700 cells ml-1 day-1. Food type for D28–D35 spat: mixtures food of I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %). Food density of D28–D31 spat, 11,000–15,800 cells ml-1 day-1. D31–D33: 15,800–18,200 cells ml-1 day-1
and D33–D35: 18,200–18,900 cells ml-1 day-1 density. Highest survival rate of larvae stage I, was recorded for treatment AD (90.47 %); Stage II at treatment AE (82.28 %) and stage III at treatment CF (62.50 %). The highest survival rate of spat was showed by treatment CE (86.53 %) or combination of I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) at density 15,000 cells ml-1. The best of relative growth length of larvae stage I, was showed by treatment AD (AP x DV = 32.50 x 25.63 µm); at stage II, by treatment AE (66.95 x 55.44 µm) and at stage III, by treatment CF (60.37 x 56.71 µm). The quickest of attainment time of plantigrade stage was found on treatment CF (days 19,2) and at longest on treatment BD (days 28,28). The highest of relative growth was found at treatment CE (681.44 x 566.34 µm) and 15,000 cells ml-1 density. Keywords: Pinctada maxima; larvae; spat; life foods; survival rate; growth.
Pendahuluan
Mikroalga merupakan sumber pakan utama bagi bivalvia (Knauer and
Southgate 1999). Flagelata berukuran kurang dari 10 mikron merupakan jenis pakan
hidup yang paling disukai larva tiram mutiara. Beberapa jenis mikroalga yang umum
diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/Monochrysis
lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp.
Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis
alga tersebut. Namun jenis flagelata yang paling penting untuk pakan stadia awal
larva adalah I. galbana (Klas: Haptophyceae) dengan ukuran sekitar 3–5 μm.
(Alagarswami et al. 1987; Dharmaraj et al. 1991). Larva Pteria sterna dapat diberi
pakan Nannochloris sp, Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum
tricornutum, Chaetoceros meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii,
20
Dunaliella salina, Tetraselmis tetrahele, Tetraselmis suecica. Namun mikroalga yang
dapat dicerna oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis
galbana (Martinez-Fernandez et al. 2004).
Preferensi larva terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan spesies.
Masing-masing jenis tiram mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, dalam
memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, mikro alga yang
digunakan sebagai pakan larva tiram atau organisme laut lainnya, hendaknya
mempunyai ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva, cepat dicerna,
mengandung nilai nutrisi tinggi, potensial dikultur skala masal, cepat tumbuh dengan
kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Coutteau 1996; Ponis et al.
2006).
Berdasarkan pada nilai nutrisinya, berbeda spesies mikroalga mempunyai
daya dukung terhadap pertumbuhan yang berbeda pula, utamanya pada tingkat atau
stadia yang bervariasi. I. galbana mengandung PUFAs 20: 5 w3 (7,2 mg) dan 22: 6
w3 (4,3 mg), kandungan PUFAs sangat penting bagi perkembangan dan
pertumbuhan organisme laut dan ini hanya dapat diperoleh dari alga. Khususnya
PUFAs, merupakan komponen esensial dari membran sel semua stadia kehidupan
bivalvia moluska (Jeffrey et al. 1990). P. lutheri juga merupakan sumber asam lemak
yang baik, asam lemak yang terkandung seperti SAFA 27 mg, MUFA 8,0 mg, PUFA
72,1 mg, EPA + DHA 43,9 mg (Martinez-Fernandez et al. 2006). T. tetrathele
mempunyai kandungan asam lemak penting dari seri w6, seperti linoleic, gamma-
linolenic, dihomo-gamma-linolenic dan kandungan asam arachidonic (AA) yang
relatif tinggi. Pada spesies lain AA merupakan komponen sangat minor, sehingga
jarang dilaporkan. Kandungan asam lemak w6 seri (persen total asam lemak) yang
terdiri dari 18:2w6 sebanyak 6,5 %, 18:3w6 = 0,1 %, 20:3w6 = 0,2 % dan 20:4w6 =
2,4 % (Napolitano et al. 1990).
Melalui pemberian pakan dengan jenis yang sesuai dan dalam jumlah tepat,
diharapkan dapat meningkatkan sintasan dan laju pertumbuhan spat. Namun
sayangnya informasi dan publikasi yang berkaitan langsung dengan jadwal pemberian
pakan larva dan spat tiram mutiara P. maxima khususnya masih sangat terbatas,
sehingga dilakukan percobaan ini. Percobaan terhadap pengaruh jenis dan densitas
21
pakan hidup merupakan studi pendahuluan dan akan menjadi dasar percobaan
selanjutnya.
Tujuan
Tujuan dari studi pendahuluan ini adalah untuk mendapatkan informasi
tentang jenis dan jumlah pakan yang sesuai, serta menentukan jadwal pemberian
pakan larva dan spat. Informasi hasil yang diperoleh akan menjadi dasar percobaan
pemeliharaan larva dan spat di laboratorium.
Bahan dan Metode
Kultur Pakan Hidup
Pakan hidup yang digunakan sebagai pakan adalah fitoplankton jenis
Isochrysis galbana, Pavlova lutheri dan Tetraselmis tetrathele. Pakan disiapkan satu
bulan sebelum percobaan dimulai, dengan kepadatan 8–10 juta sel/ml. Media pupuk
kultur fitoplankton adalah formula Walne dan Hirata (Alagarswami et al. 1987;
CMFRI 1991) (Lampiran 2)
Pemeliharaan Larva
Percobaan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap I, melakukan pengkajian
terhadap perkembangan larva, aktivitas makan dan tingkat konsumsi pakan. Tahap II,
mengkaji pengaruh jenis dan densitas pakan terhadap sintasan, pertumbuhan dan
waktu pencapaian stadia larva.
Lama waktu percobaan 20 hari. Padat penebaran larva disesuaikan dengan
stadia perkembangannya, yaitu Stadia I: stadia bentuk-D sampai umbo awal (D6)
dengan kepadatan 5 ekor/ml; Stadia II: stadia umbo awal (D7) sampai umbo akhir
(D14), kepadatan 3 ekor/ml dan Stadia III: stadia umbo akhir (D15) sampai stadia
plantigrade (D20), kepadatan 2 ekor/ml (BBL 2001).
Media air laut yang digunakan untuk pemeliharaan telah melalui beberapa
tahapan proses penyaringan seperti sand filter, catrage (15, 10, 5 µm), cotton filter
dan sterilisasi ultra violet. Setiap 2–3 hari dilakukan penggantian air sebanyak 50–
100 % (BBL 2001).
22
Percobaan Tahap I
Percobaan tahap I merupakan dasar dari percobaan tahap II. Percobaan
dilakukan dengan menggunakan metode observasi, dilaksanakan di dalam
laboratorium dan mengkondisikan ruangan dengan pencahayaan rendah atau ruangan
tertutup.
Prosedur percobaan
Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan uji berupa larva P. maxima
stadia bentuk-D (D1). Larva diperoleh dari hasil pemijahan Induk P. maxima dengan
menggunakan kombinasi metode kejut suhu dan ekspose (CMFRI 1991; Winanto
2004). Wadah percobaan bak fiberglass ukuran 500 liter. Padat penebaran larva dan
densitas pakan (N2) dihitung berdasarkan metode volumetrik, yang merupakan hasil
perkalian volume air stok (ml)(V1) dan kepadaan stok (sel/ml)(N1), dibandingkan
dengan volume air percobaan (ml)(V2).
2211 NVNV =
Pengamatan terhadap perkembangan larva dan aktivitas makan dilakukan
dalam satu wadah percobaan, sedangkan pengamatan terhadap tingkat konsumsi
pakan dilakukan pada wadah yang berbeda dengan volume sama. Pengamatan
dilakukan dengan menggunakan mikroskop (perbesaran 40−60 kali), jumlah sampel
10 ml.
Untuk mengetahui tahap awal perkembangan stadia larva dilakukan
pengamatan setiap jam, dimulai dari saat pembelahan sel hingga trokofor.
Selanjutnya pengamatan dilakukan setiap 6 jam, mulai dari stadia awal larva (D1)
sampai stadia plantigrade (D20). Aktivitas makan diketahui melalui pengamatan
densitas pakan dalam media yang dilakukan setiap 2 jam selama 24 jam pada stadia
D1, D6, D14 dan D20.
Pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan harian dilakukan dengan
menempatkan hewan uji di dalam tiga wadah yang masing-masing diberi pakan
berbeda yaitu I. galbana (A), P. lutheri (B) dan I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %)
(C). Densitas pakan pada stadia D1–D3: 4000 sel/ml, D4–D6: 5000 sel/ml, D7–D9:
6000 sel/ml. D10–D11:7000 sel/ml. D12–D14: 8000 sel/ml. D15–D17:9000 sel/ml
dan D18–D20: 10.000 sel/ml. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari antara 5–6
jam setelah pemberian pakan.
23
Percobaan Tahap II
Rancangan percobaan
Disain percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial (RAK-
Faktorial 3 x 3). Pengelompokan berdasarkan pada stadia perkembangan larva.
Perlakuan terdiri dari 2 faktor dan masing-masing diberi ulangan 3 kali. Faktor (I)
Jenis Pakan Hidup dan (II) Densitas Pakan. Faktor I terdiri dari 3 taraf faktor, yaitu
Isochrysis galbana (A), Pavlova lutheri (B) dan Kombinasi I. galbana (50 %)+ P.
lutheri (50 %)(C). Faktor II terdiri dari 3 taraf faktor: 4000 sel/ml (D); 7000 sel/ml
(E) dan 10.000 sel/ml (F). Model linear dari rancangan yang digunakan adalah:
Yijkl = µ + τi + δj + (τδ)ijk + βk + εijkl
Keterangan: Yijkl = Respon pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j, kelompok stadia ke-k
dan ulangan ke-l. µ = Rataan umum. τi = Pengaruh jenis pakan ke-i. δj = Pengaruh densitas pakan ke-j. βk = Pengaruh kelompok stadia ke-k. (τδ)ijk = Pengaruh interaksi jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j & stadia ke-k. εijkl = Pengaruh galad pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j, stadia ke-k
dan ulangan ke-l.
Prosedur percobaan
Hewan uji berupa larva P. maxima stadia bentuk-D (D1), ditempatkan di
dalam ember berukuran 20 liter. Pakan hidup diberikan sesuai dengan perlakuan,
jumlah plankton dihitung dengan haemocytometer.
Pengambilan sampel sebanyak 10 ml dilakukan pada hari ke 6 (D6), D14 dan
D20, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40–60 kali. Jumlah
larva dihitung dengan menggunakan sadgewick rafter cell. Pengukuran panjang
antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) (Gambar 4) dilakukan dengan
mikrometer okuler.
24
Gambar 4. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) larva
tiram mutiara P. maxima
Pemeliharaan Spat
Percobaan dilakukan selama 10 hari. Hewan uji yang digunakan adalah spat
P. maxima umur 25 hari, berukuran rata-rata 330 x 300 µm (AP x DV).
Rancangan percobaan
Disain percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL-
Faktorial 3 x 3). Perlakuan yang diaplikasikan terdiri dari 2 (dua) faktor yaitu (I)
Jenis Pakan Hidup dan (II) Densitas Pakan Hidup. Pada setiap perlakuan dibuat
ulangan 3 kali. Faktor I terbagi menjadi 3 taraf faktor, yaitu: Isochrysis galbana (50
%) + Tetraselmis tetrathele (50 %) (A); Pavlova lutheri (50 %) + T. tetrathele (50
%) (B) dan I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %)+ T. tetrathele (50 %) (C). Faktor II
terdiri dari 3 taraf faktor, yaitu: 10.000 sel/ml (D); 15.000 sel/ml (E) dan 20.000
sel/ml (F). Model linear dari rancangan yang digunakan adalah:
Yijk = µ + τi + δj + (τδ)ij + εijk
Keterangan: Yijk = Respon pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j dan ulangan ke-k. µ = Rataan umum τi = Pengaruh jenis pakan ke-i δj = Pengaruh densitas pakan ke-j (τδ)ij = Pengaruh interaksi jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j εijkl = Pengaruh galad pada jenis pakan ke-i, densitas pakan ke-j, dan ulangan ke-k
25
Prosedur percobaan
Sehari sebelum percobaan dimulai dikondisikan penempelan spat pada
kolektor paranet (20 x 30 cm), dengan kepadatan 1 ekor/cm2. Wadah percobaan
menggunakan ember plastik volume 20 liter.
Media air laut yang digunakan telah melalui proses penyaringan seperti sand
filter dan catrage (15, 10 dan 5 mikron). Selama pemeliharaan digunakan sistim air
mengalir dan diberikan pengudaraan. Pemberian pakan disesuaikan dengan
perlakuan.
Pengamatan aktivitas makan dilakukan setiap 2 jam selama 1 hari pada spat
D25, D28, D31 dan D35. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari sekitar 5–6 jam
setelah pemberian pakan.
Untuk mengetahui sintasan dilakukan penghitungan jumlah spat secara
manual, dengan bantuan alat kaca pembesar dan hand counter. Pertumbuhan spat
diketahui dengan cara mengambil sampel sebanyak 20 ekor dan diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 5–10 kali. Pengukuran panjang antero-posterior (AP)
dan dorso-ventral (DV) dilakukan dengan menggunakan mikrometer okuler.
Parameter Yang Diamati
Perkembangan larva, pengamatan dilakukan secara mikroskopis.
Aktivitas makan
Aktivitas makan diketahui melalui pengamatan perubahan densitas
pakan dalam media percobaan. Penurunan densitas pakan dalam media
menggambarkan adanya konsumsi pakan. Untuk melihat aktivitas makan larva
dan spat, dilakukan pengamatan terhadap kebutuhan pakan yaitu dengan
menghitung selisih antara densitas pakan awal dan densitas pakan akhir.
Tingkat konsumsi pakan harian.
Diketahui dengan menghitung selisih jumlah pakan yang dikonsumsi selama satu
hari dan jumlah pakan yang diberikan.
Sintasan (SR), dihitung berdasarkan persentase jumlah spat pada akhir
pengamatan (Nt) dibagi jumlah spat pada awal pengamatan (No).
26
100xNoNtSR =
Laju pertumbuhan spesifik (L) (modifikasi dari Chengbo and Shuanglin 2004),
yaitu persentase selisih antara ukuran rata-rata panjang individu akhir
pengamatan (L1) dan awal pengamatan (Lo) dibagi waktu pengamatan (Δt).
100)( 1 X
tLoInLIn
LΔ−
=
Waktu pencapaian stadia; pengamatan hanya dilakukan terhadap larva stadia
plantigrade. Ketika dijumpai larva stadia plantigrade dalam sampel, selanjutnya
diidentifikasi dan dibuat catatan secara diskriptif.
Kualitas air, sebagai data pendukung dilakukan pengamatan terhadap parameter
suhu, salinitas, nitrat, nitrit dan amonia.
Analisis Data
Data aktivitas makan, perkembangan larva dan tingkat konsumsi pakan
dianalisis secara diskriptif. Data sintasan, pertumbuhan dan waktu pencapaian stadia
dianalisis dengan uji F. Jika terdapat data yang penyebarannya tidak normal, maka
terlebih dahulu akan dilakukan transformasi dengan logaritma natural (Ln). Apabila
uji F menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka
dilanjutkan analisis dengan uji rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data
sintasan, laju pertumbuhan dan waktu pencapaian stadia larva dilakukan dengan
menggunakan software SPSS versi 15 for Windows.
27
Hasil dan Pembahasan
Perkembangan Larva
Pengamatan terhadap perkembangan larva P. maxima menunjukkan, bahwa
akhir perkembangan embriogenesis yaitu stadia trokofore terjadi sekitar 18–20 jam
setelah menetas. Pada saat itulah dimulainya perkembangan larva veliger atau
bentuk-D dan ditemukan di antara telur-telur (Gambar 5). Sekitar 22 jam setelah
menetas ditemukan larva yang bagian lambungnya sudah berwarna, sehingga diduga
waktu itu organ pencernaan sudah ada dan larva pertama kali makan. Larva mulai
makan ketika berumur 22–24 jam setelah menetas. Hasil penelitian yang agak
berbeda dikemukakan Minaur (1969), stadia awal larva P. maxima (bentuk-D)
dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran
kira-kira 75 x 70 μm (panjang x tinggi). Cangkang larva masih transparan,
mempunyai apical flagella dan velum, pada umur 48 jam telah terbentuk gigi engsel,
perut dan otot retraktor.
Pada hari ke-5 umbo mulai berkembang, sehingga disebut stadia umbo
awal. Perkembangan larva dari stadia bentuk-D sampai umbo akhir (pediveliger)
berlangsung secara bertahap. Stadia umbo berakhir pada umur 20 hari, selanjutnya
memasuki tahap stadia plantigrade. Tahapan perkembangan larva P. maxima
didiskripsikan dalam Tabel 2 dan Gambar 6ab.
Gambar 5. Larva P. maxima stadia bentuk-D diantara telur-telur, ditemukan pertama
kali antara 18–20 jam setelah menetas.
bentuk-D
Telur
28
Tabel 2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima
Umur
Stadia
Keterangan
18–20 jam 22 jam 24 jam 28 jam 30–32 jam 5–7 hari 10 hari 12–14 hari 16–17 hari 18–20 hari 20–22 hari 25 hari
Veliger (bentuk-D) Bentuk−D Bentuk−D Bentuk−D Bentuk−D Umbo awal Umbo Umbo (middle umbo) Eye spot Umbo akhir (Pediveliger) Plantigrade Spat
Awal larva berbentuk huruf D, tubuhnya tertutup oleh sepasang cangkang tipis-transparan, sehingga nampak jaringan/organ berwarna abu-abu dan banyak globul-globul kecil.Apical flagellum, velum, otot retraktor kelihatan jelas dan dapat dibedakan. Ukuran lebar 78 μm (AP); tinggi 70 μm (DV) Warna lambung pertama kali dapat diobservasi Ukuran lebar (AP) x tinggi (DV) : 80 μm x 74 μm Terbentuk 4 gigi engsel pada bagian tengah dorsal Ukuran (AP x DV) : 84 x 78 μm Terbentuk flagella belum permanent Umbo mulai berkembang. Ukuran D6: 106 x 93 μm Tonjolan umbo berkembang melewati garis lurus engsel. Ukuran 117 x 105 μm Umbo nampak menonjol sekitar 8-10 μm di bawah garis engsel, bergerak dengan menggunakan velum. Lembaran-lembaran mantel berkembang. Sepasang cangkang sama bentuknya.Ukuran D12: 135 x 130 μm Ukuran larva D14 : 165 x 155 μm Terdapat bintik hitam (Eye spot) pada bagian bawah primordial kaki. Ukuran larva D16 : 210 x 200 μm. Kaki makin berkembang.Biasanya mulai mencari tempat untuk menempel dan menetap. Berenang dan gerakan berputar dilakukan dengan velum dan kaki. Ukuran larva D18 : 220 x 210 μm. Fase transisi atau akhir kehidupan planktonis, ditandai dengan berkembangnya lapisan cangkang baru di sepanjang periphery dan mulai memproduksi benang-benang bisus untuk menempelkan diri pada substrat. Ukuran larva D20 : 246 x 225 μm. Garis engsel, ujung bawah anterior dan posterior berkembang dan lubang bisus berbentuk spesifik. Bentuknya sudah menyerupai tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhannya masih terlihat jelas dan cangkang masih tipis. Ukuran: 330 x 300 μm.
29
Gambar 6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade
A B
CD
E F
80 x 74 µm 106 x 93 µm
135 x 130 µm 210 x 200 µm
220 x 210 µm 246 x 225 µm
Eye-spot
30
Gambar 6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B)
Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade
Penemuan yang hampir sama disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981),
larva P. maxima stadia bentuk-D terjadi pada umur 20 jam. Alagarswami et al.
(1989) juga menemukan hal yang sama pada larva P. margaritifera yaitu setelah 20
jam larva mencapai stadia awal bentuk-D (D-shape) veliger, dengan ukuran panjang
antero-posterior (AP) 75 μm dan ukuran dorso-ventral (DV) 60 µm. Velar yang
belum sempurna ditemukan pada beberapa individu, velum tersembul bentuknya
tunggal seperti lidah. Perkembangan stadia veliger ditandai dengan adanya formasi
A B
C D
F E
Silia
Velum
Umbo
Kaki Eye-spot
Kaki
Globula
Perut & saluran pencernaan
Perut & saluran pencernaan
Umbo
Garis pertumbuhan
Mantel
Viceral cavity
Mantel
Mantel
Mulut
31
garis engsel lurus, mantel, silia-silia pada velum dan hilangnya apical flagellum, pita-
pita silia pada bagian luar lubang mulut (preoral) dan setelah lubang mulut (postoral).
Perkembangan umbo terjadi melalui tiga tahap yaitu stadia umbo awal,
umbo tengah (middle umbo) dan umbo akhir. Stadia umbo awal sudah dapat diamati
mulai hari ke-5, selanjutnya pada hari ke-10 tonjolan umbo terus berkembang hingga
melewati garis lurus engsel, bentuk larva agak membulat, ukuran 117 x 105 μm.
Stadia umbo tengah dimulai pada hari ke-12 sampai hari ke-15, tonjolan umbo
semakin berkembang hingga melewati garis engsel. Diantara stadia umbo tengah dan
umbo akhir atau pada hari ke-16 ditemukan adanya bintik hitam (spot) pada bagian
tengah larva dan biasa disebut “stadia eye-spot”, ukuran 210 x 200 μm dan organ
ctenidial berkembang. Pada larva P. fucata stadia eye-spot bekembang pada hari ke-15
dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al. 1987). Pernyataan yang berbeda
disampaikan Minaur (1969); Tanaka dan Kumeta (1981) dalam penelitiannya tidak
menjumpai adanya stadia eye-spot pada larva P. maxima dan penelitian Minaur
(1969) hanya sampai stadia pediveliger umur 16 hari karena semua larvanya mati.
Stadia umbo akhir atau stadia pediveliger terjadi mulai hari ke 18–20, ditandai
dengan berkembangnya organ kaki yang berfungsi untuk bergerak-berenang dan
mulai aktif mencari tempat untuk menempel.
Plantigrade merupakan stadia akhir kehidupan planktonis larva. Stadia ini
dijumpai pada hari ke 20–22, ditandai dengan pertumbuhan awal cangkang di
sepanjang bagian tepi ventral, bentuknya tipis, transparan, tersusun oleh selaput tipis
conchiolin, sehingga kelihatan membentuk garis-garis pertumbuhan cangkang. Pada
saat yang sama kelenjar bisus akan mensekresikan benang-benang bisus untuk
menempel. Organ lain yang berkembang adalah labial palp dan insang (CMFRI
1991). Larva plantigrade akan bermetamorfose menjadi spat yang hidup sebagai
hewan sesil bentik (Alagarswami at al. 1987).
Aktivitas Makan
Pengamatan terhadap aktivitas makan larva P. maxima menunjukkan,
bahwa aktivitas makan berlangsung sepanjang hari, dan mencapai puncak pada
waktu pagi hari pukul 8.00 dan sore hari sekitar pukul 18.00 (Gambar 7).
32
0
100
200
300
400
500
600
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l) Larva D1
0100200300400500600700800900
1000
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l) Larva D6
Larva D14
0200400600800
10001200140016001800
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l)
Larva D20
0
500
1000
1500
2000
2500
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l)
Gambar 7. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) larva P. maxima pada berbagai
tingkatan stadia.
Kecenderungan larva untuk makan lebih banyak pada waktu pagi dan sore
hari, diduga berkaitan dengan aktivitas metabolisme larva. Pada waktu pagi (pukul
8.00–10.00) dan sore hari (pukul 14.00–18.00) suhu air di dalam tempat
pemeliharaan relatif konstan yaitu antara 27,5–28,5 oC, tetapi pada waktu siang hari
pukul 12.00–14.00 suhu lebih berfluktuasi dan dapat mencapai 29–30 oC, sebaliknya
malam hari dari pukul 24.00–4.00 suhu air dalam bak turun sampai sekitar 25,5–26,5 oC. Menurut Hisada and Komatsu (1985); Shokita et al. (1991) suhu air sangat
berpengaruh dalam pengendalian proses metabolisme. Pada suhu 24–30 oC tiram
mutiara P. margaritifera aktif melakukan metabolisme, tetapi pada suhu 10–20 oC
tidak aktif lagi. Kisaran suhu pagi (pukul 8.00) dan sore hari (pukul 18.00) diduga
secara alami merupakan suhu optimum bagi kehidupan larva P. maxima sehingga
laju metabolisme menjadi meningkat, pengaruh yang terlihat yaitu larva lebih banyak
mengkonsumsi pakan di pagi dan sore hari dibanding siang hari. Sebaliknya pada
waktu malam hari (pukul 24.00–4.00) suhu air relatif rendah jika dikaitkan dengan
aktivitas metabolisme, sehingga tingkat konsumsi pakan menurun dan persentasenya
paling rendah jika dibandingkan dengan waktu makan yang lain. Ghiretti (1966) juga
menyampaikan bahwa laju metabolisme moluska umumya berkaitan dengan suhu.
Bahkan tiram mutiara P. martensii tidak mau makan manakala suhu air meningkat
33
lebih tinggi dari 13 oC (Kobayashi and Watanabe 1959) dan pada tiram Crassostrea
virginica serta kerang Mytilus edulis aktivitas makan akan berhenti saat suhu air
turun sampai 5 oC (Wilbur 1964). Selama pemeliharaan larva P. margaritifera, suhu
air di dalam bak antara 26–28 oC (Alagarswami et al. 1989; Southgate and Ito 1998).
Hasil pengamatan terhadap aktivitas makan spat P. maxima menunjukkan
bahwa spat mengkonsumsi makanan sepanjang hari, dengan puncak konsumsi pakan
pada waktu pagi hari pukul 8.00–10.00 dan sore hari dari pukul 16.00–20.00
(Gambar 8; Lampiran 3).
Pola aktivitas makan spat D25–D33 relatif sama dengan larva, tetapi pada
D35 menunjukkan pola makan yang berbeda. Spat D35 lebih banyak mengkonsumsi
pakan pada sore hari antara pukul 16.00–20.00. Diduga, hal ini berkaitan dengan
intensitas cahaya dan suhu. Spat lebih menyukai kondisi lingkungan dengan
intensitas cahaya rendah dan pada sore hari suhu di dalam ruangan dapat mencapai
kondisi optimum untuk aktivitas makan.
D25
0
200
400
600
800
1000
1200
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l)
D30
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l)
D35
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4J a m
Jum
lah
Paka
n (s
el/m
l)
Gambar. 8. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) spat tiram mutiara P. maxima
pada berbagai tingkat umur.
Walaupun secara umum puncak konsumsi pakan di sore hari (pukul 18.00)
lebih rendah dibanding pagi hari (pukul 8.00–10.00), namun dilihat dari jumlah
34
pakan yang dikonsumsi masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan waktu makan
sepanjang malam dan siang hari. Peningkatan suhu di sore hari terjadi akibat adanya
akumulasi panas dari kondisi ruangan yang tertutup rapat sehingga sirkulasi udara
relatif kecil. Dugaan ini diperkuat oleh hasil pengamatan suhu harian, dimana suhu
rata-rata pada pukul pukul 18.00 antara 28–29 oC. Menurut Kestomon and Baras
(2001) pakan yang dikonsumsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu,
setelah mencapai puncak (optimum) kemudian mulai menurun, bahkan penurunan
pakan dapat terjadi secara dramatis utamanya pada suhu supra-optimal. Laju
metabolisme terus menunjukkan peningkatan sampai pada batas suhu upper-thermal
untuk pertumbuhan. Jelaslah bahwa pada suhu tinggi dapat menekan nafsu makan,
sedangkan pada suhu optimum tingkat konsumsi dan efisiensi konversi pakan dapat
maksimum.
Tingkat Konsumsi Pakan
Berdasarkan data tingkat konsumsi pakan harian, diketahui bahwa larva
menunjukkan pola konsumsi makan yang berfluktuasi. Konsumsi pakan menurun
pada hari ke-5 sampai 7, selanjutnya meningkat dan menurun kembali pada hari ke-5
sampai hari ke-16. Pakan monospesies I. galbana mulai diberikan pada awal stadia
bentuk-D (D1) hingga hari ke-13. Sebagai alternatif atau pakan pendamping dapat
diberi pakan P. lutheri mulai hari ke-5 atau lebih baik hari ke-8. Pakan multi spesies
yaitu campuran I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %) mulai diberikan pada hari ke-
14 (D14) (Gambar 9) (Lampiran 4).
0500
100015002000250030003500400045005000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Hari ke
Kon
sum
si P
akan
(sel
/Ind
/hr) I. galbana
P. lutheriI. galbana+P. lutheri
Gambar 9. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima dari stadia veliger (D1)
sampai stadia plantigrade (D20).
35
Dilihat dari tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima ada
kecenderungan semakin besar ukuran larva maka konsumsi pakan makin meningkat.
Peningkatan konsumsi pakan harian yang cukup tinggi terjadi dari stadia veliger
bentuk-D (D1) sampai stadia umbo akhir (D14), peningkatan sebesar 14.53 % terjadi
pada stadia veliger (66,53 %) ke stadia umbo awal (81,09 %) dan peningkatan yang
lebih tinggi hingga 18,38 % terjadi dari stadia umbo awal sampai stadia umbo akhir
(99,47 %). Namun sebaliknya, mulai stadia pediveliger (D20) konsumsi pakan
mengalami penurunan sampai 6,81 %. Tingkat konsumsi pakan yang relatif tinggi
pada stadia awal larva bentuk-D, diduga berkaitan dengan metamorfose dan transisi
pakan. Metamorfose, utamanya dari stadia trokofore menjadi larva stadia bentuk-D
(veliger) dan pada stadia ini untuk pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar
(eksogenous), karena cadangan makanan dari dalam (endogenous) sudah habis,
sehingga membutuhkan energi yang sangat besar dan ketersediaan energi hanya
dapat diperoleh dari pakan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Anwar (2005)
bahwa larva P. maxima stadia D-shape sangat tergantung pada nutrisi yang tersedia
dalam kuning telur, utamanya terjadi selama periode nutrisi endogenous, sampai
terbentuk organ pencernaan secara lengkap sehingga mampu mencerna makanan dari
luar (eksogenous). Tetapi ada pernyataan Anwar (2005) yang berbeda yaitu larva
baru memanfaatkan makanan dari luar menjelang hari ke 3 setelah menetas dan pada
saat itulah terjadi perubahan makanan dari kuning telur beralih ke sumber nutrisi dari
luar tubuh.
Menurut Nybakken (1988) salah satu stragi larva planktotrofik adalah
menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan berukuran kecil. Telur-telur tersebut
cepat menetas menjadi larva dan berenang bebas sebagai plankton. Oleh karena di
dalam telur hanya tersedia sedikit kuning telur, maka nutrisi larva sangat tergantung
pada pakan plankton di perairan. Telur bivalvia planktotrofik mempunyai cadangan
lemak, protein dan glikogen yang menjadi sumber energi pada stadia awal
perkembangan larva, saat cadangan makanan ini habis maka larva mulai
membutuhkan makanan dari dari luar (Gosling 2004). Hasil kajian Alagarswami et
al. (1989) pada P. margaritifera dan Gosling (2004) meneliti Crassostrea virginica,
keduanya menemukan pencernaan larva sudah terbentuk pada awal stadia veliger
atau larva bentuk-D saat berumur 24 jam. Untuk mencapai perkembangan dan
36
pertumbuhan optimum, larva veliger planktotrofik sangat tergantung pada energi
bersih yang berasal dari pakan fitoplankton (Bayne 1983).
Pada kajian ini pakan pertama kali diberikan umur 18 jam dan setelah 6 jam
kemudian dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui jumlah sisa pakan,
ternyata jumlahnya sudah berkurang. Jumlah pakan jenis I. galbana yang tersisa
sekitar 34 %, P. lutheri 99,82 % dan kombinasi jenis pakan I. galbana (50 %) + P.
lutheri (50 %) masih 97,25 %. Berkurangnya jumlah pakan I. galbana yang diberikan
diduga dimakan oleh larva, karena setiap kali sebelum melakukan penghitungan sisa
jumlah pakan, terlebih dahulu diamati kondisi fitoplankton yang masih bergerak aktif
atau hidup dan baru dimatikan saat akan dihitung. Diketahui bahwa persentase pakan
P. lutheri yang tersisa paling tinggi, diduga pakan tidak dimakan karena ukurannya
lebih besar dari bukaan mulut larva. Sedangkan berkurangnya jumlah pakan
campuran diduga karena yang dikonsumsi hanya I. galbana. Sebagai jastifikasi juga
dilakukan pengambilan sampel di dasar bak, teryata tidak ditemukan ke dua jenis
fitoplankton tersebut, jadi dipastikan berkurangnya jumlah fitoplankton bukan karena
mati. Merujuk pernyataan Alagarswami et al. (1987); CMFRI (1991), sebagian besar
embrio P. fucata mencapai stadia bentuk-D (straight-hinge) setelah 20 jam dan larva
mulai diberi makan pada stadia ini. Pada stadia veliger telah berkembang organ
mantel, velum dan mulut (oral). Nell dan Holliday (1988) memberikan pakan pada
larva Saccostrea commercialis dan Crassostrea gigas pada hari pertama stadia
bentuk-D (straight-hinge). Hal yang sama disampaikan BBL (2001); Winanto (2004)
larva P. maxima pertama kali diberi pakan jenis I. galbana atau P. lutheri pada umur
18–20 jam atau pada awal stadia bentuk-D
Tingkat konsumsi pakan larva yang diamati selama pemeliharaan
menunjukkan pola yang berfluktuasi. Penurunan konsumsi pakan terjadi diduga
karena larva mengalami metamorfose. Pada umur 5–7 hari larva mengalami
metamorfose dari stadia bentuk-D menjadi stadia umbo awal, pada stadia tersebut
terjadi penonjolan umbo pada bagian tengah dorsal cangkang kiri dan kanan.
Sedangkan pada umur 15–16 hari terbentuk primordia kaki dan larva memasuki
tahap stadia umbo akhir, sehingga kondisi kesehatannya terganggu dan berdampak
pada berkurangnya nafsu makan. Menurut Gosling (2004) tingkat konsumsi pakan
larva bivalvia akan menurun setelah perkembangan cangkang dan velum. Selanjutnya
37
Alagarswami et al. (1989); CFMRI (1991); Gosling (2004) menerangkan pada hari
ke-6 sampai 7 umbo mulai berkembang dan pada hari ke-15 sampai 16 mulai
terbentuk eye-spot, serta berkembangnya organ ctenidial.
Mencermati data tingkat konsumsi pakan harian, maka dapat dijadikan
sebagai pedoman kapan larva P. maxima diberi pakan monospesies dan multispesies.
Pakan monospesies I. galbana diberikan mulai dari stadia awal perkembangan larva
bentuk-D (D1) sampai umur 13–14 hari. Sebagai alternatif atau pakan pendamping
dan diberikan secara bergantian dapat digunakan P. lutheri mulai hari ke-5 atau lebih
baik lagi mulai hari ke-8. Pakan multi spesies yaitu campuran I. galbana + P. lutheri
mulai diberikan pada umur 14 hari (D14). Waktu pemberian pakan yang berbeda
dilakukan (Baker 1994) pada larva C. virginica yaitu pakan I. galbana diberikan
sampai satu minggu (7 hari) setelah itu larva diberi pakan campuran I. galbana dan
diatom Thalassiosira weissflogii. Selama masa pemeliharaan larva hingga menjadi
spat P. margaritifera diberikan pakan dua jenis flagelata I. galbana dan P. lutheri
yang berasal dari kultur murni, pemberian pakan dilakukan secara bergantian bebas
(Alagarswami et al. 1989). Mikroalga merupakan sumber makanan utama bagi
bivalvia termasuk tiram mutiara (Knauer and Southgate 1999). Tidak seperti larva
ikan dan krustasea, bivalvia makan mikroalga secara langsung. Konsekuensinya,
perkembangan dan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
pakan alami yaitu fitoplankton yang sesuai (Robert and Trintignac 1997).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa spat umur 25–27 hari lebih banyak
mengkonsumsi pakan campuran I. galbana dan P. lutheri. Setelah hari ke-28 hingga
hari ke-35, spat cenderung banyak mengkonsumsi pakan campuran I. galbana, P.
lutheri dan T. Tetrathele (Gambar 10; Lampiran 5).
Berbeda dengan pola konsumsi makan larva, spat menunjukkan peningkatan
konsumsi makan mulai umur 28 hari. Diduga spat membutuhkan banyak energi
untuk memproduksi benang-benang bisus, sehingga tingkat konsumsi pakan
cenderung tetus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Memproduksi benang
bisus merupakan suatu konsekuensi dari kehidupan bentik yang harus menetap
dengan cara melekatkan diri pada substrat. Alokasi energi yang direfleksikan dengan
tingkat konsumsi makanan, menunjukkan bahwa sebagian besar energi digunakan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, salah satunya dengan cara
38
memproduksi benang-benang bisus. Faktor lingkungan termasuk pakan, berpengaruh
terhadap kelangsungan komunitas dan populasi tiram serta keberhasilannya
menemukan tempat untuk menempel (Creekman 1977).
02000400060008000
100001200014000160001800020000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11
Umur (hari ke)
Kon
sum
si P
akan
(sel
/Ind
/har
i)
I. galbana + T tetratheleP. lutheri + T. TetratheleI. galbana + P. lutheri + T. tetrathele
28 29 30 31 32 33 34 35272625
Gambar 10. Tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima dari umur 25–35 hari.
Hasil studi Devakie dan Ali (2000) pada Crassostrea iredalei menunjukkan
bahwa jumlah penempelan spat meningkat seiring dengan meningkatnya densitas
pakan sampai 100 x 103 sel/ml, tetapi kemudian menurun dengan terus meningkatnya
densitas pakan. Densitas pakan yang tinggi dapat meningkatkan formasi lapisan
biofilm yang merupakan stimulan larva menempel hingga menjadi spat (Tritar et al.
1992; Parsons et al. 1993).
Pengamatan Winanto (2000) pada formasi jumlah benang bisus spat P.
maxima menunjukkan, bahwa spat memproduksi benang bisus paling banyak pada
awal minggu pertama dan pada minggu berikutnya relatif stabil. Pada awal
menemukan substrat untuk menempel, spat akan mengalokasikan sebagian besar
energinya untuk bertahan menetap dengan cara memproduksi benang bisus
sebanyak-banyaknya.
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Larva
Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan larva stadia I tertinggi terjadi
pada perlakuan jenis pakan I. galbana dengan densitas 4.000 sel/ml (90,47 %) dan
terendah pada perlakuan pakan campuran I. galbana dan P. latheri, densitas 10.000
sel/ml (18,97 %). Sintasan larva stadia II, tertinggi terjadi pada perlakuan jenis pakan
39
I. galbana, densitas 7.000 sel/ml (82,28 %), dan terendah pada perlakuan pakan
campuran I. galbana dan P. latheri densitas 4.000 sel/ml (31,67 %). Sintasan larva
stadia III, tertinggi terjadi pada perlakuan kombinasi jenis I. galbana dan P. latheri
densitas 10.000 sel/ml (62,50 %) dan terendah pada perlakuan jenis pakan P. lutheri
densitas 4.000 sel/ml BD (12,40 %) (Tabel 3).
Tabel 3. Sintasan (%) larva P. maxima stadia veliger sampai stadia plantigrade (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.
Umur Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktor I (D) 4.000 (E) 7.000 (F) 10.000 Stadia I (D1–D6)
Jenis Pakan : (A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri
90,47 ± 0,76 63,62 ± 0,99 32,34 ± 0,64
78,25 ± 0,78 54,70 ± 0,65 43,15 ± 0,73
56,70 ± 0,65 35,13 ± 0,60 18,97 ± 0,35
Stadia II (D7–D14)
(A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri
52,64 ± 0,56 51,93 ± 0,53 31,67 ± 0,88
82,28 ± 0,77 81,52 ± 0,79 71,33 ± 0,71
70,22 ± 0,59 69,55 ± 0,85 58,57 ± 0,71
Stadia III (D15–D20)
(A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri
16,07 ± 1,07 12,40 ± 0,93 31,50 ± 0,89
30,48 ± 0,89 27,61 ± 0,90 48,17 ± 1,20
46,92 ± 1,08 44,19 ± 1,27 62,50 ± 0,74
Laju pertumbuhan spesifik larva menunjukkan pola dan hasil yang sama
dengan sintasan (Gambar 11; Lampiran 7a).
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap sintasan dan laju
pertumbuhan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan
dan antara stadia, serta interaksi antar perlakuan dan perlakuan dengan stadia. Tetapi
uji Tukey pada stadia II menunjukkan bahwa perlakuan pakan I. galbana (A) tidak
berbeda nyata lebih besar (P ≥ 0,05) dengan P. lutheri (B) (Lampiran 6; 7bc).
40
Stadia I
0
1
2
3
4
5
6
7
4000 7000 10000
Densitas (sel/ml)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
)
I. galbanaP. lutheriI. galbana+P. lutheri
Stadia II
0123456789
4000 7000 10000Densitas (sel/ml)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
)
I. galbanaP. lutheriI. galbana+P.lutheri
Stadia III
0
1
2
3
4
5
6
7
8
4000 7000 10000Densitas (sel/ml)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
)I. galbanaP. lutheriI. galbana+P. lutheri
Gambar 11. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada
berbagai jenis dan densitas pakan hidup.
Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian, sintasan
dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan untuk larva P.
maxima (Gambar 12) sebagai berikut:
Gambar 12. Jadwal pemberian pakan larva tiram mutiara P. maxima dari umur 1–20
hari (D1–D20).
Sintasan dalam penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan hasil
penelitian Anwar (2005) yaitu pada hari ke-7 sintasan tertinggi (78,67 %) terjadi
pada perlakuan kombinasi pakan hidup jenis Tetraselmis chui (10 %) + Chaetoceros
41
(20 %) + Pavlova lutheri (30 %) + Isochrysis galbana (40 %). Selanjutnya larva
mengalami kematian missal setelah hari ke-7.
Berkaitan dengan kualitas pakan larva, maka telah dipertimbangkan untuk
memberikan asupan pakan hidup (fitoplankton) yang mengandung nutrisi tinggi.
Spesies fitoplankton yang digunakan dalam penelitian ini telah diseleksi berdasarkan
ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva tiram mutiara P. maxima dan
terutama profil biokimianya (Brown et al. 1997; Martinez-Fernandez et al. 2006),
serta studi nutrisi pada spesies yang masih satu genus seperti Isochrysis dan Pavlova,
keduanya diketahui mempunyai kandungan nilai nutrisi super (Delaunay et al. 1993;
Thomson et al. 1993; O’Connnor and Heasman 1997; Martinez-Fernandez et al.
2006). Bertepatan dengan ukurannya yang kecil, maka spesies Isochrysis dan
Pavlova biasanya digunakan sebagai pakan larva bivalvia (Jeffrey et al. 1990).
Mengingat studi ini merupakan dasar dari percobaan selanjutnya, maka
pengaruh perlakuan yang diberikan akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut:
• Stadia I; terlepas dari kandungan nilai nutrisinya, ternyata larva yang diberi
perlakuan pakan I. galbana menunjukkan sintasan dan laju pertumbuhan lebih
baik jika dibandingkan perlakuan lain. Diduga, pada fase awal pertumbuhan
larva, waktu pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous),
larva menghendaki tersedianya pakan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran
bukaan mulutnya. Larva lebih memilih I. galbana karena ukurannya yang sesuai
dengan bukaan mulut dibanding P. lutheri. Jenis flagelata ini mempunyai sedikit
silia, gerakannya relatif lambat dan warnanya kontras dengan warna air, sehingga
lebih menarik minat larva. Sejumlah studi yang dilakukan Helm and Laing
(1987) Southgate et al. (1998); Phatarpekar et al. (2000); Martinez-Fernandez et
al. (2006); Rico-Villa et al. (2006); menunjukkan I. galbana (T-Iso) mengandung
nilai nutrisi yang tinggi untuk larva P. margaritifera. Menurut Martinez-
Fernandez et al. (2006) ukuran flagelata I. galbana 3 x 5 µm atau menurut
Chapman and Chapman (1973) ukurannya 3,5–4 μm, sedangkan ukuran Pavlova
sp 4 x 8 µm (5–8 µm). I. galbana biasanya digunakan sebagai pakan stadia awal
larva, karena mempunyai keunggulan yaitu ukurannya lebih kecil dibanding jenis
lain (Phatarpekar et al. 2000). Pemeliharaan larva P. margaritifera yang hanya
diberi pakan Monochrysis (=Pavlova) lutheri dilaporkan larva menunjukkan
gejala tidak normal (Tanaka et al. 1970). Laporannya yang lain tentang masalah
42
penggunaan pakan P. lutheri sebagai pakan larva P. margaritifera yaitu dalam
kaitannya dengan kondisi alga yang tidak sehat (morbidity) karena suhu air kultur
larva yang relative tinggi, sehingga P. lutheri banyak yang mati sebelum
dimakan, akibatnya menurunkan kualitas air pemeliharaan larva. Observasi pada
larva Crassostrea gigas yang diberi pakan P. lutheri tidak menunjukkan
pengaruh yang negatif (Ponis et al. 2003), tetapi tingkat konsumsinya rendah
(Ponis et al. 2003, 2006). Hasil studi Ponis et al. (2006) juga menjelaskan
terdapat indikasi bahwa kelas Pavlovaceae tidak cocok untuk pakan larva C.
gigas, karena larva menunjukkan pertumbuhan yang tidak baik dan sintasan
rendah.
• Stadia II; larva menunjukkan preferensi yang tinggi pada jenis pakan I. galbana,
namun selisih angka konsumsi kedua jenis pakan I. galbana dan P. lutheri
tersebut tidak terlalu besar, sehingga pada stadia ini diperoleh gambaran bahwa
larva stadia II menyukai kedua spesies fitoplankton tersebut. Pilihan larva pada
jenis pakan yang bervariasi yaitu I. galbana atau P. lutheri juga tercermin dari
pengaruhnya yang siknifikan pada sintasan dan laju pertumbuhan. Berarti kedua
jenis fitoplankton tersebut selain dapat menyediakan nutrisi juga dapat dicerna
oleh larva. Hal ini didukung oleh pernyataan Martines-Fernandez et al. (2004)
bahwa jenis mikroalga yang dapat dicerna oleh larva P. sterna hanya
Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana. Alagarswami et al.
(1989) melakukan pengujian secara partial terhadap dua jenis alga I. galbana dan
P. lutheri yang diberikan pada larva P. margaritifera, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa larva yang diberi makan I. galbana pertumbuhannya lebih
cepat. Pada hari ke-23, larva yang makan I. galbana ukuran tinggi (DV)
mencapai 244,8 μm, sedangkan yang diberi P. lutheri berukuran 202,8 µm.
• Stadia III; larva lebih menyukai jenis pakan campuran I. galbana dan P. lutheri.
Alagarswami et al. (1989) memelihara larva P. margaritifera sampai menempel
dengan memberikan pakan campuran yang terdiri dari I. galbana dan P. lutheri.
Tetapi penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, ternyata pakan campuran
hanya sesuai diberikan pada larva P. maxima mulai hari ke-14 sampai larva
menempel. Larva yang diberi pakan campuran menunjukkan pertumbuhan dan
43
sintasan lebih baik jika dibanding pakan monispesies, diduga variasi pakan yang
diberikan dapat mengurangi kebosanan pada satu jenis pakan dan nutrisinya juga
lebih lengkap.
I. galbana dan P. lutheri sering disebut juga dengan golden-brown
flagelata, keduanya mempunyai kandungan lemak tinggi (Martinez-Fernandez et al.
2006). Lemak merupakan sumber energi utama bagi stadia awal kehidupan bivalvia
(Gallager et al. 1986; Laing and Millican 1986), termasuk larva tiram mutiara P.
margaritifera (Strugnell and Southgate 2003). Sejumlah studi menyebutkan bahwa
yang terpenting dari kandungan protein alga adalah dalam asosiasinya dengan
kompetensi nutrisi alga, karena faktor tersebut mempengaruhi perkembangan dan
sintasan larva. Kandungan protein penting pengaruhnya terhadap nilai nutrisi
mikroalga, terutama dalam asosiasinya dengan asam lemak dan karbohidrat,
keduanya mempunyai peranan utama dalam mendeterminasi nilai nutrisi dan
mempunyai peranan sekundair dalam memodifikasi kandungan nutrisi (Leonardos
and Lucas 2000). Laporan yang sama disampaikan Hoffman et al (2004) tentang
kualitas mikroalga, merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan
sintasan larva C. gigas, dengan diskripsi membandingkan antara protein dengan
lemak dan karbohidrat (Protein : Lemak + Karbohidrat). Hasil penelitian Martinez-
Fernandez et al. (2006) menemukan bahwa, pertumbuhan awal larva P. margaritifera
menunjukkan korelasi positif nyata dengan tingkat kandungan protein, lemak dan
karbohidrat, tetapi larva dewasa menunjukkan korelasi siknifikan hanya dengan
kandungan karbohidrat, namun penelitiannya tidak menemukan korelasi yang nyata
antara P : L + K dengan pertumbuhan atau sintasan larva P. margaritifera.
Dalam penelitian ini, digunakan formula Walne sebagai media (pupuk)
kultur I. galbana dan P. lutheri. Komposisi Walne mengandung mikronutrien yang
lebih lengkap jika dibanding media pupuk lain seperti Conway dan Guillard yang
biasa digunakan untuk kultur fitplankton. Walne juga mengandung vitamin, sehingga
semakin melengkapi kandungan nutrisi fitoplankton yang dikultur. Menurut Jeffrey
et al. (1990) vitamin yang terkandung dalam mikroalga juga memberikan kontribusi
pada nilai nutrisi yang dikandungnya. Diduga kandungan nutrisi fitoplankton yang
digunakan dalam penelitian sudah cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari kecepatan
blooming atau pencapaian kepadatan puncak populasi dan lamanya waktu fase
stasioner. Puncak blooming keduanya dicapai hari ke-5 dengan lama waktu fase
44
stasioner mulai hari ke 5–9. Kepadatan fitoplankton (I. galbana) yang digunakan
sebagai pakan mencapai 8–9 juta sel/ml dan P. latheri 10–11 juta sel/ml. Hasil kultur
murni yang sama dilakukan BBL (2002) yaitu kepadatan optimum Isochrysis sp. dan
Pavlova sp. antara 5–10 juta sel/ml.
Menurut nilai nutrisinya, berbeda spesies mikroalga mempunyai kemampuan
mendukung pertumbuhan yang berbeda pada tingkat atau stadia yang bervariasi. I.
galbana mengandung PUFAs 20: 5w3 (7,2 mg) dan 22: 6w3 (4,3 mg), kandungan
PUFAs sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan organisme laut dan ini
hanya dapat diperoleh dari makan alga. Khususnya PUFAs, merupakan komponen
esensial pembentuk membran sel pada semua stadia kehidupan bivalvia moluska
(Jeffrey et al. 1990). P. Lutheri juga sumber asam lemak yang baik, kandungan asam
lemak seperti SAFA 27 mg, MUFA 8,0 mg, PUFA 72,1 mg, EPA + DHA 43,9 mg
(Martinez-Fernandez et al. 2006).
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat
Sintasan spat tertinggi terdapat pada perlakuan pakan I. galbana (25 %) + P.
lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) densitas 15.000 sel/ml (86,53 %) dan terendah
pada perlakuan P. lutheri (50 %) + T. tetrathele (50 %) densitas 10.000 sel/ml (46,30
%). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey menunjukkan adanya beda nyata
(P ≤ 0,05) antar perlakuan dan interaksinya (Tabel 4; Lampiran 8ab).
Tabel 4. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan
densitas pakan hidup
Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktor I (D) 10.000 (E) 15.000 (F) 20.000 Jenis Pakan : (A) I. galbana + T. tetrathele
52,17 ± 0,62
69,32 ± 0,82
61,02 ± 0,86
(B) P. lutheri+ T. tetrathele
46,28 ± 0,68
60,09 ± 1,17
53,45 ± 1,51
(C) I. galbana + P. lutheri + T. tetrathele
65,70 ± 0,75
86,57 ± 0,85
78,22 ± 0,84
Kajian terhadap laju pertumbuhan spesifik spat menunjukkan hasil yang sama
dengan sintasan (Gambar 13; Lampiran 9a). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah
45
Tukey juga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan
dan interaksinya (Lampiran 9bc).
0
5
10
15
20
25
30
10000 15000 20000Densitas (sel/ml)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
) Ig + TtPl + TtIg + Pl + Tt
Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata μm ± SD) pada
berbagai jenis dan densitas pakan hidup (Ig : Isochrysis galbana, Pl : Pavlova lutheri, Tt : Tetraselmis tetrathele).
Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian,
sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan spat P.
maxima (Gambar 14) sebagai berikut:
Gambar 14. Jadwal pemberian pakan spat tiram mutiara P. maxima dari umur 25–35
hari (D25–D35).
Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey yang menunjukkan adanya
pengaruh nyata pada interaksi antara jenis dan densitas fitoplankton,
mengindikasikan bahwa secara sinergi jenis dan densitas fitoplankton mempengaruhi
46
sintasan dan laju pertumbuhan spat. Aplikasi perlakuan jenis (multi spesies) dan
densitas pakan hidup pada spat sengaja diberikan mengingat adanya kecenderungan
dari stadia akhir larva yang menunjukkan lebih menyukai variasi pakan campuran
dibanding pakan monospesies. Mempertimbangkan pula hasil penelitian (Chellam
1983; Winanto 1987; Anwar 2005) tentang analisis isi lambung tiram mutiara yang
menemukan berbagai jenis plankton di dalam isi lambung tiram mutiara.
Pertimbangan lain karena pakan multispesies lebih menjanjikan pengkayaan variasi
nilai nutrisi dibanding monospesies. Dipertegas lagi oleh Jeffrey et al. (1990) untuk
memastikan kecukupan nutrisi dari pakan mikroalga adalah kebiasaan untuk
memberikan makanan campuran (mixed diet) yang terdiri dari dua atau lebih spesies
alga yang berbeda, misalnya pada stadia setelah larva atau juvenil diberikan
tambahan pakan flagelata berukuran besar seperti Tetraselmis dan Chroomonas dan
jenis diatom sentris lainnya. Dengan memberikan pakan campuran dapat dipastikan
telah tersedia suatu komplemen yang lengkap dengan nutrisi. Pendapat tersebut
selaras dengan hasil kajian yang dilakukan yaitu spat menunjukkan sintasan tertinggi
(86,53 %) pada perlakuan pakan multispesies atau kombinasi tiga jenis flagelata I.
galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) dengan densitas 15.000
sel/ml.
Laing (1995) melakukan penelitian pada larva stadia akhir dan juvenil Ostrea
edulis dan C. gigas dengan memberikan pakan standar yang terdiri dari campuran T-
Iso (Isocrysis aff. galbana), Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis suecica. Dalam
percobaan ini tidak digunakan C. calcitran dan T. suecica karena ukurannya relatif
besar sehingga dipilih P. lutheri yang ukurannya lebih kecil dan mempunyai
kandungan nutrisi lebih tinggi. Menurut Martinez-Fernandez (2004) C. calcitran
berukuran 5 x 5 µm, mempunyai dinding sel kaku dan spina besar, sedangkan T.
suecica berukuran 12–15 µm. Menurut Nell and Holiday (1988) C. calcitran
biasanya digunakan sebagai pakan larva dan juvenil/spat tiram Crassostrea sp.,
Saccostrea sp dan Ostrea sp. Merujuk pernyataan dari BBL (1999; 2004) C.
calcitran., T. chuii, Chlorella sp., Dunaliella sp., dan Nannochloropsis sp., umumnya
digunakan sebagai green water dan pakan zooplankton (rotifer) pada pembenihan
ikan laut.
Pertimbangan utama menggunakan T. tetrahele sebagai komposisi pakan
campuran adalah selain ukurannya yang relatif kecil juga kandungan nilai nutrisinya
47
yang tinggi. Hasil analisis mikroalga T. tetrahele yang dilakukan Napolitano et al.
(1990) mencatat adanya kandungan asam lemak penting dari seri w6, seperti linoleic,
gamma-linolenic, dihomo-gamma-linolenic dan kandungan asam arachidonic (AA)
yang relatif tinggi. Pada spesies lain AA merupakan komponen sangat minor,
sehingga jarang dilaporkan. Kandungan asam lemak w6 (persen total asam lemak)
yang terdiri dari 18:2w6 sebanyak 6,5 %, 18:3w6 = 0,1 %, 20:3w6 = 0,2 % dan
20:4w6 = 2,4 %.
Sintasan dan laju pertumbuhan paling rendah yang terjadi pada perlakuan
jenis pakan P. lutheri (50 %) + T. Tetrathele (50 %) densitas 10.000 sel/ml (BD),
diduga tidak berkaitan langsung dengan jenis pakan, tetapi densitasnya yang terlalu
rendah, sehingga spat kekurangan pakan dan kondisinya jadi menurun, pertumbuhan
terhambat atau bahkan mati. Ciri-ciri spat yang kondisinya lemah antara lain
cangkang terbuka relatif lebar dan reaksinya lambat saat menutup cangkang. Spat
yang mati umumnya masih melekat pada kolektor, cangkangnya ada yang sedikit
terbuka tetapi ada juga yang tetap tertutup dan jika disentuh akan terlepas dari
kolektor. Menurut Laing (1995) kebutuhan pakan baik dalam jumlah maupun
konsentrasi yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan dan waktu
penempelan tiram O. edulis dan C. gigas. Oleh sebab itu, untuk melihat kompetensi
menempel stadia akhir larva, maka diberikan jenis pakan Tahitian I. galbana dengan
kepadatan tinggi sekitar 20.000 sel/ml (Baker 1994).
Lebih lanjut diamati, spat yang diberi pakan dengan komposisi terdapat I.
galbana menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
komposisi tambahan P. lutheri. Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Helm and
Laing (1987) walaupun I. galbana mengandung HUFA relative kecil tetapi tetap
digunakan sebagai pakan, karena sebagai pemacu pertumbuhan. Menurut Napolitano
et al. (1990) I. galbana mengandung 45 komponen lemak, dengan kandungan unsur
utama termasuk saturated (14:0 dan 16:0), monounsaturated (16:1w7 dan 18:1w7),
polyunsaturated (18:2w6, 18:4w3, 18:5w3, 22:5w6 dan 22:6w3) dan asam lemak (90
% dari total asam lemak). Penting untuk dicatat bahwa kandungan 22:6w3 (DHA)
pada I. galbana sangat berlimpah, dengan nilai rata-rata mencapai 20 %, diikuti oleh
18:4w3 sebanyak 14 %. Salah satu ciri yang mencolok dari kandungan lemak I.
galbana adalah adanya asam lemak yang tidak biasa ditemukan seperti 18:5w3 atau
mengandung w3-PUFA (53,6 %).
48
Waktu Pencapaian Stadia
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa waktu pencapaian stadia
plantigrade tercepat (19,2 hari) terdapat pada perlakuan pakan I. galbana (50 %) + P.
lutheri (50 %), densitas 10.000 sel/ml (CF) dan paling lambat terjadi pada perlakuan
pakan P. lutheri dengan densitas 4.000 sel/ml (28,28 hari) (Gambar 15; Lampiran
10a). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey menunjukkan terdapat perbedaan
nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan dan interaksinya (Lampiran 10b).
0
5
10
15
20
25
30
35
4000 7000 10000Densitas (sel/ml)
Wak
tu (h
ari)
I. galbanaP. lutheriI. galbana + P. luitheri
Gambar 15. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade (D20) pada berbagai
jenis dan densitas pakan hidup.
Hasil pengamatan terhadap waktu pencapaian stadia plantigrade, semakin
mempertegas bahwa jenis dan densitas pakan terbaik untuk sintasan dan
pertumbuhan larva stadia I adalah I. galbana (4.000 sel/ml) dan campuran pakan I.
galbana + P. lutheri (10.000 sel/ml) baik diberikan mulai hari ke-14 sampai hari ke-
20.
Refleksi dari kualitas pakan yang diberikan dapat dilihat dari waktu
pencapaian stadia plantigrade. Menurut Tan Tiu et al. (1989) nilai nutrisi pakan
berpengaruh pada lama waktu stadia larva dan kompetensi menempel. Lebih lanjut
Baker (1994) menyampaikan bahwa kualitas pakan larva biasanya menjadi penyebab
utama lama waktu penempelan larva C. virginica. Waktu pencapaian stadia
plantigrage tercepat terdapat pada perlakuan pakan I. galbana + P. lutheri (10.000
sel/ml), diduga karena kombinasi dua spesies fitoplankton tersebut mampu
menyediakan nutrisi yang lebih lengkap jika dibanding larva yang hanya diberi pakan
monospesies. Menurut pendapat beberapa outhor yang dirangkum Bayne (1983),
49
larva yang diberi pakan campuran alga (mixed algae), menunjukkan pertumbuhan
lebih cepat jika dibanding larva yang diberi pakan satu jenis alga, karena pakan
campuran menyediakan nutrient esensial lebih lengkap. Lebih lanjut disampaikan
Muller-Feuga et al. (2003) pakan campuran alga dapat meningkatkan perubahan
pencapaian keseimbangan pakan, mikroalga umumnya sebagai penyedia nutrisi
dalam ratio plurispesifik untuk bivalvia. Oleh sebab itu, produksi larva sesungguhnya
akan siknifikan jika menggunakan metode pemberian pakan yang empiris. Dimana
setiap penelitian atau hatchery komersial harus mempunyai berbagai spesies
mikroalga dan ada fasilitas pencampuran mikroalga sendiri, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan larva (Coutteau and Sorgeloos 1992). Berkaitan dengan
keanekaragaman pakan, kombinasi jenis pakan yang biasa digunakan adalah
Haptophyceae dan Bacillariophyceae (Robert and Gerard 1999). Campuran jenis
pakan yang terdiri dari dua Prymnesiophyta yaitu Pavlova lutheri dan Isochrysis
affinis galbana (clone T. Iso), keduanya telah diketahui berperan penting dalam
perkembangan dan metamorfosis Pecten maximus (Delaunay et al. 1993). Helm
(1977), mendemontrasikan pemberian pakan campuran I. galbana dan T. suecica
pada larva O. edulis, larva menunjukkan pertumbuhan dan waktu penempelan yang
siknifikan.
Kualitas Air
Beberapa parameter kualitas air (Lampiran 11) yang diamati, masih berada
pada kisaran yang memenuhi syarat untuk sintasan dan pertumbuhan larva dan spat
tiram mutiara. Sehingga tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut.
50
Simpulan
1. Larva bentuk-D pertama kali dijumpai pada umur 18–20 jam setelah menetas.
Larva mulai makan ketika berumur 22–24 jam setelah menetas (masa kritis I).
Larva dan spat mempunyai kecenderungan mengkonsumsi pakan sepanjang hari.
Puncak konsumsi makan larva yaitu pada waktu pagi hari sekitar pukul 8.00 dan
sore hari sekitar pukul 18.00. Sedangkan spat mengkonsumsi banyak pakan pada
waktu pagi hari sekitar pukul 8.00–10.00 dan sore hari dari pukul 16.00–18.00.
2. Jadwal pemberian pakan larva P. maxima; D1–D8 diberi pakan I. galbana
(2.600–4.200 sel/ml/hari. D8–D16: I. galbana (3.700–7.800 sel/ml/hari) atau P.
lutheri (2.300–7.800 sel/ml/hari). D14–D20: I. galbana (50 %) + P. lutheri (50
%) (7.700–9.300 sel/ml/hari).
Jadwal pemberian pakan spat P. maxima; D25–D28 diberikan pakan campuran
Isochrysis galbana (50 %) + Tetraselmis tetrathele (50 %) dengan densitas
8.900–10.000 sel/ml/hari. D28–D35 diberi pakan campuran I. galbana (25 %) +
Pavlova lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %), pada umur D28–D32: densitas
9.100–15.800 sel/ml/hari; D32–D35, densitas 14.600–18.925 sel/ml/hari.
3. Sintasan dan laju pertumbuhan larva stadia I tertinggi terdapat pada perlakuan
jenis pakan I. galbana densitas 4.000 sel/ml; Stadia II tertinggi pada perlakuan I.
galbana densitas 7.000 sel/ml; Stadia III tertinggi pada perlakuan pakan
campuran I. galbana + P. lutheri, densitas 10.000 sel/ml.
Sintasan dan laju pertumbuhan spat tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi
pakan I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %), dengan
densitas 15.000 sel/ml.
Daftar Pustaka
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A, Victor ACC, Gandhi AD. 1983. Larva Rearing and Production of Spat of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould).. Elsivier Science Publisher. B.V. Amsterdam. Aquaculture 3: 287-301.
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A, Victor ACC. 1983a. On
Controlled Spawning of Indian Pearl Oyster Pinctada fucata (Gold). Proc. Symp. Coastal Aquaculture, Mar, Biol. Ass. India. Pt. 2: 590-597.
51
__________________________. 1983b. Embrionic and Larva Development of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gold). Proc. Symp. Coastal Aquaculture, Mar, Biol. Ass. India. Pt. 2: 598-603.
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery
Tecnology for Pearl Oyster Production. Bul CMFRI 39: 37-8. Alagarswami K, Dharmaraj S, Chellam A, Velayudhan TS. 1989. Larva and Juvenil
Rearing of Black-lip Pearl Oyster Pinctada margaritifera (Linnaeus). Aquaculture 76: 43-56.
Anwar K. 2005. Kajian Pola Reproduksi dan Pemeliharaan Larva Tiram Mutiara
(Pinctada maxima Jameson) Pada Pemberian Pakan Alami. Disertasi. IPB. Bogor.
Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild
versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169. (BBL) Balai Budidaya Laut. 1999. Pembenihan ikan kerapu tikus (Cromileptes
altivelis). Balai Budidaya Laut Lampung. 88 hal. _____. 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Balai Budidaya Laut
Lampung. Seri Budidaya Laut 6: 61 hal. _____. 2002. Kultur Pakan Hidup. Balai Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya
Laut 7: 106 hal. _____. 2004. Pembenihan ikan kerapu. Balai Budidaya Laut Lampung. Seri
Budidaya Laut 13. 106 hal. Bayne BL. 1983. Physiological ecology of marine molluscan larvae. In: Tompa AS,.
Verdonk NH, Biggeleer JAMV. The Mollusca. Development. 3(8): 299-336. Brown MR, Jeffrey SW, Volkman JK, Dunstan GA. 1997. Nutritional Properties of
Microalgae for Mariculture. Aquaculture. 151: 315-331. Chapman VJ, and Chapman DJ. 1973. The Algae. The University Press. London. Chellam A. 1983. Stydy on the stomach contents of pearl oyster Pinctada fucata
(Gould) with reference to the inclusion of bivalve eggs and larvae. Proc Symp Coastal Aquaculture 2: 604-607.
Chengbo Z and Shuanglin D. 2004. Effect of Na/K Ratio in Seawater on Growth and
Energy Budget of Juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234: 485-496. CMFRI. 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8.
Regional Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
52
Coutteau P. 1996. Micro-Algae. In: Lavens P, Sorgeloos P. Manual on The Production and Used of Live Food for Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. 361(2):7-43.
Coutteau P and Sorgeloos P. 1992. The Uses of Algal Substitutes and The
Requirements for Live Algae in Hatchery and Nursery rearing of Bivalve Molluscs: An International Survey. J Shellfish Res 11: 467–476.
Creekman LL. 1977. The effects of conditioning the American oyster (Crassostrea
virginica) with Tetraselmis suecica and comstarch on the growth, vigor, and survival of its larvae. Master’s Thesis, Dept. Mar. Science, Univ. Virginia, 58 pp.
Delaunay F, Marty Y, Moal J, Samain JF. 1993. The effect of Monospecific Alga
Diets on Growth and Fatty Acid Composition of Pecten maximus (L.,) Larvae. J Exp Marine Biol Ecol 173: 163–179.
Devakie MN and Ali AB. 2000. Salinity-temperatur and nutritional effects on the
setting rate of larvae of the tropical oyster, Crassostrea iredalei (Faustino). Aquaculture 184: 105–114.
Dharmaraj, S, Velayudhan TS, Chellam A, Victor ACC, Gopinathan CP. 1991.
Hatchery Production of Pearl Oyster Spat: Pinctada fucata. CMFRI Special Publication 49. India. 36p.
Galleger SM, Mann R, Sasaki GC. 1986. Lipid as an Index of Growth and Viability
in Three Species of Bivalve larvae. Aquaculture 56: 81-103. Ghiretti F. 1966. Respiration. In: Wilbur KM, Yonge CM. Physiology of Mollusca,
Vol. II. Academic Press. New York. 5: 175-208 Gosling E. 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Book. Great Britain. Helm MM. 1977. Mixed Algal Feeding of Ostrea edulis Larvae With Isochrysis
galbana and Tetraselmis suecica. J Mar Biol. Assoc UK 57: 1019-1029. Helm MM and Laing PF. 1987. Preliminary Observations on The Nutritional Value
of “Tahiti Isochrysis” to Bivalve Larvae. Aquaculture 62: 281-288. Hisada Y and Komatsu H. 1985. Black-lip Pearl Oyster. Deputy General Manager.
Pearl Enterprise. Div. Pearl Res. Dept. Japan. 8p. Hofman EE, Powel EN, Bochenek EA, Klinck JM. 2004. A Modelling Study of The
Influence of Environment and food Supply on Survival of Crassostrea gigas Larvae. J Marine Science 61: 596-616.
Jeffrey SW, Gerland CD, Brown MR. 1990. Microalgae in Australian Mariculture.
In: Biology of Marine Plants. Longman-Chesher. 18: 400-414.
53
Kestomon P and Baras E. 2001. Enfironmental Faktor and Feed Intake: Mechanism and Interaction. In: Haulihan D, Boujard T, Jobling M (Ed). Food Intake in Fish. Blackwell Science. USA. p131-156.
Knauer J and Southgate PC. 1999. A review of The Nutritional Requirement of
Bivalves and The Development of Alternative and Artificial Diets for Bivalve Aquaculture. Rev Fisheries Science 7: 241-280.
Kobayashi S and Watanabe N. 1959. The Study of Pearls. Gihodo Press, Tokyo. Laing I and Millican PF. 1986. Relative Growth and Growth Efficiency of Ostrea
edulis L., Spat Fed Various Algal Diets. Aquaculture 54: 245-262. Laing I. 1995. Effect of food Supply on Oyster Spatfall. Aquaculture 131:315-324 Leonardos N and Lucas NIA. 2000. The Nutritional Value of Algae Grown Under
Different Culture Conditions for Mytilus edulis L., Larvae. Aquaculture 182: 301-315.
Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Rangel-Davalos C. 2004. Ingestion and
Digestion of 10 Species of Microalgae by Wing Pearl Oyster Pteria sterna (Gould, 1851) Larvae. Aquaculture 230: 417-423.
Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Southgate PC. 2006. The Nutritional
Value of Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip Pearl Oyster (Pinctada margaritifera, L.) Larvae. Aquaculture 257: 491-503.
Minaur J. 1969. Experient on the Artificial Rearing of The Larva of Pinctada
maxima (Jameson)(Lamellibranchia). Aust J Freshw Res 20: 175-187. Muller-Feuga A, Robert R, Cahu C, Robin J, Divanach P. 2003. Uses of Microalgae
in Aquaculture. In: Stottrup JG, McEvoy LA (Eds.), Live Feed in Marine Aquaculture. Blackwell Science Ltd., Oxford, UK., pp. 252-299.
Napolitano GE, Ackman RG, Ratnayake WMN. 1990. Fatty acid composition of
three cultured algal species (Isochrysis galbana, Chaetoceros gracilis and Chaetoceros calcitrans) used as food for bivalve larvae. J World Aquaculture Society 21(2): 122-130.
Nell JA and Holliday JE. 1988. Effects of Salinity on the Growth and Survival of
Sydney Rock Oyster (Saccostrea commercialis) and Pacific Oyster (Crassostrea gigas) Larvae and Spat. Aquaculture 68: 39-44.
Neter J, Wesseran W, Kutsner MH. 1990. Applied Linear Statistikcal Models.
Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. Third Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p.
Nybakken JW. 1988. Marine Biology: An Ecological Approach. Alih Bahasa oleh
Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis. P.T. Gramedia, Jakarta.
54
O’Connor WA and Heasman MP. 1997. Diet and Feeding Regimens for Larval Doughboy Scallop, Mimachlamys asperrima. Aquaculture 158: 289-303.
Parsons GJ, Dadswell MJ, Roff JC. 1993. Influence of biofilm on settlement of sea
scallop, Placopecten magellanicus (Gmelin, 1791), in Passamaquoddy Bay, News Brunswick, Canada. J. Shellfish Res. 12: 279–283
Phatarpekar PV, Sreepada RA, Pednekar C, Achuthankutty CT. 2000. A
Comparative study on growth performence and biochemical composition of mixed culture of Isochrysis galbana and Chaetoceros calcitrans with monocultures. Aquaculture 181: 141-155.
Ponis E, Robert R, Parisi G, Tredici M. 2003. Assessment of the performance of
Pacific oyster (Crassostrea gigas) larvae fed with fresh and preserved Pavlova lutheri concentrates. Aquaculture 11:69-79.
Ponis E, Probert I, Veron B, Le Coz JR, Mathieu M, Robert R. 2006. Nutritional
value of six Pavlovaceae for Crassostrea gigas and Pecten maximus larvae. Aquaculture 254: 544-553.
Rico-Villa B, Le Coz JR, Mingant C, Robert R. 2006. Influence of Phytoplankton
Diet Mixtures on Microalgae Consumption, Larva Development and Settlement of The Pacific Oyster Crassostrea gigas (Thunberg). Aquaculture 256: 377-388.
Robert R and Trintignac P. 1997. Microalgues et Nutrition Larvaire en Ecloserie de
Molluques. Haliotis 26: 1-13. Robert R and Gerard A. 1999. Bivalve Hatchery Techniques: Current Situation for
The Oyster Crassostrea gigas and the Scallop Pecten maximus. J Aquat Living Resour 12: 121-130.
Shokita S, Kakazu K, Tomori A, Toma T. 1991. Black-lip Pearl Oyster (Pinctada
margaritifera). In. Yamaguchi (Ed.). Aquaculture In Tropical Areas. Midori. Japan. Pp. 236-242.
Southgate PC, and Ito M. 1998. Evaluation of a partial culture technique for pearl
oyster (Pinctada margaritifera L.) larvae. Aquaculture Enginering 18: 1-7. Southgate PC, Beer AC, Duncan PF, Tamburri R. 1998. Assesment of The
Nutritional Value of Three Species of Tropical Microalgae, Dried Tetraselmis and A Yeast-Based Diet for Larvae of The Blacklip Pearl Oyster, Pinctada margaritifera (L.). Aquaculture 162: 247-257.
Strugnell JM and Soutgate PC. 2003. Changes in Tissue Composition During Larval
Development of The Blacklip Pearl Oyster, Pinctada margarifera (L.). J Molluscan Res 23: 179-183.
55
Tanaka Y, Inoha S, Kakazu K. 1970. Studies on Seed Production of Black-lip Pearl Oyster Pinctada margaritifera in Okinawa: V. Rearing of The Larvae. Bull Tokai Regional Fisheries Res Lab 63: 97-106.
Tanaka Y and Kumeta M. 1981. Succesful artificial breeding of silver-lip pearl
oyster Pinctada maxima (Jameson). Bulletin Natural Research Institute. Japan. Aquaculture 2: 21-28.
Tan Tiu A, Vaughan D, Chiles T, Bird K. 1989. Food Value of eurytopic microalgae
to bivalve larvae of Cyrtopleura costata (Linnaeus, 1758), Crassostrea virginica (Gmelin, 1791), and Mercenaria mercenaria ((Linnaeus, 1758). J Shellfish Res 8: 399-405.
Thomson PA, Guo M, Harrison PJ. 1993. The Influence of Irradiance on the
Biochemical Composition of Three Phytoplankton Species and Their Nutritional Value for Larvae of The Pacific Oyster (Crassostrea gigas). J Marine Biology 117: 259-268.
Tritar S, Prieur D, Weiner R. 1992. Effects of bacterial films on the settlement of the
oyster, Pecten maximus (Linnaeus, 1758). J. Shellfish Res. 11: 325–330. Wilbur KM and Owen G. 1964. Growth. In: Wilbur KM and Yonge CM. Physiology
of Mollusca. Vol. I. Academic Press. New York. 7: 211-242. Winanto T. 1987. Biologi Tiram Mutiara. Petunjuk Pelatihan Ahli Budidaya Tiram
Mutiara. Tidak di publikasikan. BBL Lampung. _________. 2000. Preferensi Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
(Bivalvia: Pteriidae) Terhadap Diameter dan Tingkat Kekasaran Bahan Kolektor. Tesis, Tidak Dipublikasikan. IPB. Bogor.
_________. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P. T. Panebar Swadaya,
Jakarta. Seri Agribisnis. 95 hal.
56
Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Abstract
Energy budget is one of the most sensitive tools available for individual assessing environmental changes like temperature and salinity, and also prerequisite for individual growth and survival. The aim of this study is to obtain informations of energy budget for routine metabolism on different levels of temperature and salinity, and was to know the levels of optimum temperature and salinity. Randomized block design was applied with three replications. The result of study showed that optimal temperature and salinity on P. maxima larvae and spat is 28 oC and 32–34 ‰. Energy budget to routine metabolism increased was attributed temperature and salinity increased due to the optimal, than would be decreased were temperature and salinity increased. The highest of energy budget for routine metabolism at treatment BF. Stage I: energy budget between 6.73–7.35 C g wet weight-1 hour-1 (28.18–30.74 J g wet weight-1 hour-1); Stages II: 5.85–5.95 C g wet weight-1 hour-1 (24.48–24.90 J g wet weight-1 hour-1); Stages III: 4.73–4.80 C g wet weight-1 hour-1 (15.07–19.58 J g wet weight-1 hour-1). The highest of survival rate of larvae by treatment BF but not significan (P ≥ 0.05) with BE, stage I: survival rate between 87.75–87.92 %; Stage II: 81.91–82.39 % and stage III: 76.72–77.26 %. The best of relative growth length of larvae by treatment BF and BE (P ≥ 0.05), at stage I: 29.78 x 17.93–30.57 x 18.43 µm (AP x DV); stage II: 57.62 x 46.73–58.13 x 47.33 µm and stage III: 80.32 x 69.29–80.88 x 69.62 µm. The quickest time of plantigrade stages have found by treatment BF (19.50 days) and hasn’t significant (P ≥ 0.05) with BE (20.85 days). Keywords: Pinctada maxima; larvae; temperature; salinity; routine metabolism.
Pendahuluan
Pinctada maxima merupakan spesies tiram penghasil mutiara South Sea Pearl
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan ukurannya paling besar (Shirai 1981).
Daerah penyebarannya mulai dari perairan laut dangkal dengan dasar ditumbuhi
tanaman lamun sampai perairan dalam berkarang atau dengan substrat bersedimen di
daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan pulau (Gervis and Sims 1992;
Yukihira et al. 1999).
Bivalvia laut umumnya hidup pasif sehingga kelangsungan hidupnya sangat
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Jeong and Cho 2007). Studi tentang
outekologi bivalvia (termasuk tiram mutiara) telah dilakukan dan jelas menunjukkan
bahwa beberapa parameter fisik perairan berpengaruh terhadap perkembangan,
pertumbuhan dan sintasan. (Alagarswami and Victor 1976; Kinne 1964; Marsden
2004; Yukihira et al. 2006). Khususnya suhu dan salinitas dapat didiskripsikan
sebagai “master factor” untuk banyak organisme laut (Kinne 1964). Berkaitan
dengan pentingnya pengaruh kedua faktor tersebut, maka telah digunakan untuk
57
mendiskripsikan sejumlah spesies moluska, tetapi penelitian yang berkaitan dengan
pengaruh sinergi suhu dan salinitas belum banyak dilakukan (Kinne 1964; Yukihira
et al. 2006).
Studi tentang suhu dan ketersediaan pakan pada tiram mutiara P. maxima dan
P. margaritifera di Great Barrier Reef Australia telah dilakukan oleh Yukihira et al.
(1998ab, 1999, 2000, 2006). Penelitian Slamet et al. (1998) di perairan Bali Utara
mencatat suhu 28−29 oC dan salinitas 32−34 ‰ merupakan kisaran yang baik untuk
sintasan dan pertumbuhan tiram mutara P. maxima. Menurut BBL (2001); Tun and
Winanto (1987) pembenihan tiram mutiara sebaiknya dilakukan di lokasi dengan
salinitas air 32–35 ‰. Larva dan spat menunjukkan perkembangan, pertumbuhan dan
sintasan yang baik pada suhu 26−28 oC.
Respon organisme aquatik terhadap suhu dan salinitas dapat diketahui melalui
tingkat energi yang dibelanjakan untuk metabolisme. Pengelolaan pembelanjaan
energi secara positif adalah prasyarat bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
individu dan hal ini dapat menjadi kriteria penting untuk mengevaluasi adanya
pengaruh lingkungan (Smaal and Widdows 1994). Laju metabolisme dapat diukur
dari kalori yang dibelanjakan atau laju konsumsi oksigen. Pengukurannya dapat
dilakukan dengan menggunakan alat kalorimetrer atau respirometer. Laju
metabolisme dapat juga diukur pada tingkat basal dan atau aktif. Laju metabolisme
basal atau standar (basal metabolism), yaitu pengukuran yang dilakukan dengan cara
memuasakan hewan uji selama 1–2 kali 24 jam. Metabolisme rutin (routine
metabolism) adalah pengukuran yang dilakukan dengan tetap memberikan pakan
setiap hari. Metabolisme aktif (active metabolism) adalah pengukuran yang
dilakukan pada organisme yang aktif berenang atau perenang cepat. Feeding
maksimum (Msda) adalah energi metabolisme untuk kegiatan makan (Feeding
Metabolism, Mt), seperti mencerna dan penyerapan makanan, atau sering pula
disebut energi metabolisme untuk standard dynamic action (Msda) (Affandi et al.
2009; Soria et al. 2007; Wirahadikusumah 1985).
Selama pemeliharaan lava di laboratorium, diperlukan kondisi lingkungan
yang optimum, karena selama perkembangan embrio sampai stadia larva kondisinya
masih sangat rentan dan sensitif, khususnya terhadap perubahan suhu dan salinitas
(O’Connor and Lawler 2004). Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi
58
larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan
pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses-
proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan
terkontrol. Selama proses produksi spat skala besar di hatchery, sangat diperlukan
informasi tentang pengaruh suhu, salinitas dan pakan terhadap pertumbuhan dan
sintasan (Alfaro 2005; Asha dan Muthiah 2005; Martinez-Fernandez et al. 2004).
Dampak faktor lingkungan terhadap organisme telah lama diketahui, bahkan satu
faktor dapat dimodifikasi oleh faktor lainnya, sehingga perlu dilakukan studi
komprehensif untuk mengetahui pengaruh negatif yang ditimbulkan (Kinne 1964;
Yukihira et al. 2000; 2006).
Tujuan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin pada tingkat suhu dan salinitas
berbeda, serta dapat diketahui tingkat suhu dan salinitas optimum, sehingga dapat
diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi.
Bahan dan Metode
Percobaan dilakukan di dalam ruangan menggunakan alat pendingin (AC),
untuk meningkatkan suhu air digunakan alat heater. Pengukuran suhu dilakukan
dengan menggunakan termometer Hg, sedangkan salinitas diukur dengan
refraktometer (Atago, Jepang).
.Untuk mendapatkan salinitas air media (S) yang sesuai dengan perlakuan
(30 dan 32 ‰) ditambahkan air tawar, karena salinitas air di lokasi penelitian ≥ 34
‰. Pengenceran air laut dilakukan dengan perhitungan, mengalikan volume air laut
(liter) yang diencerkan (V1) dengan tingkat salinitas (‰) yang akan diencerkan (St),
dibagi hasil kali volume air tawar yang ditambahkan (V2) dengan volume (liter) air
laut yang diencerkan (V1). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
12
1
VxVStxVS =
59
Tahapan percobaan dimulai dengan kultur pakan hidup, pemijahan,
pemeliharaan larva dan spat.
Kultur Pakan Hidup
Pakan hidup dipersiapkan satu bulan sebelum percobaan dimulai. Jenis
pakan hidup yang digunakan adalah fitoplankton Isochrysis galbana, Pavlova lutheri
dan Tetraselmis tetrathele. Inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni skala
lab, kemudian diperbanyak hingga mencapai kepadatan sekitar 8–10 juta sel/ml.
Media pupuk untuk kultur pakan hidup adalah formula Walne dan Hirata
(Alagarswami et al. 1987; CMFRI 1991) (Lampiran 2).
Rancangan Percobaan
Rancangan acak kelompok faktorial (RAK–FAKTORIAL 3 x 3) digunakan
dalam percobaan pemeliharaan larva, Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada
tahap perkembangan stadia larva. Sedangkan pada pemeliharaan spat menggunakan
rancangan acak lengkap faktorial (RAL–FAKTORIAL). Perlakuan yang digunakan
terdiri dari 2 faktor, yaitu (I) suhu, (II) salinitas. Faktor I terdiri dari tiga taraf faktor
yaitu suhu 26 oC (A); 28 oC (B); dan 30 oC (C). Faktor II terdiri dari tiga taraf faktor
yaitu salinitas 30 ‰ (D); 32 ‰ (E); 34 ‰ (F). Masing-masing perlakuan diulang tiga
kali. Model linear yang digunakan sama seperti pada percobaan sebelumnya
Pemeliharaan Larva
Hewan uji berupa larva P. maxima stadia bentuk-D (D1), dipelihara di
dalam wadah percobaan ember plastik ukuran 20 liter. Hewan uji diperoleh dari hasil
pemijahan induk P. maxima dengan menggunakan kombinasi metode kejut suhu dan
ekspose (CMFRI 1991; Winanto 2004). Padat penebaran larva diatur sesuai dengan
tahap perkembangannya (BBL 2001). Jadwal pemberian pakan dan media air yang
digunakan mengacu pada percobaan sebelumnya.
Pemeliharaan Spat
Hewan uji spat P. maxima umur 25 hari, ukuran rata-rata 330 x 300 µm (AP
x DV) digunakan dalam percobaan ini. Wadah pemeliharaan menggunakan ember
60
plastik ukuran 20 liter. Jadwal pemberian pakan dan media air serta pengelolaannya
mengacu pada percobaan sebelumnya.
Sehari sebelum percobaan dimulai, dilakukan proses penempelan spat pada
kolektor berukuran 20 x 30 cm. Spat-spat diambil dengan menggunakan kuas,
kemudian ditebarkan di atas kolektor yang telah disusun horisontal. Kepadatan spat 1
ekor/cm2. Setelah spat menempel dengan kuat (24 jam), selanjutnya kolektor
dimasukkan ke dalam wadah percobaan.
Parameter yang Diamati
Konsumsi oksigen
Pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menempatkan hewan
uji di dalam botol plastik berwarna gelap ukuran 200 ml. Disain percobaan untuk
mengetahui laju konsumsi oksigen, yaitu berupa satu unit peralatan yang terdiri dari
empat botol. Botol A untuk stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah hewan
uji; botol C untuk mengukur laju konsumsi oksigen; dan botol D sebagai tempat
menampung sisa air buangan (Gambar 16). Oksigen terlarut diukur dengan alat DO
meter (YSI 550A, tipe 03J0820 AJ). Untuk mengetahui berat hewan uji, sampel
disaring dan ditampung menggunakan planktonet, kemudian ditimbang
menggunakan timbangan analitik Dever Instrumen ( d = 0,0001 gr).
Gambar 16. Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen larva tiram
mutiara P. maxima. D
61
Variabel yang diukur adalah konsentrasi pemakaian oksigen oleh larva atau
spat dengan sistim tertutup, pengamatan dilakukan setiap jam (1 jam sekali) selama
24 jam. Pengukuran nilai oksigen yang dikonsumsi dilakukan dengan menghitung
selisih antara kandungan oksigen terlarut awal dalam mg/liter [O2]O dan akhir
pengamatan dalam mg/liter [O2]t, dibagi dengan waktu pengamatan/jam (T) dan
jumlah hewan uji dengan satuan berat (mg) (W) (Soria et al. 2007), atau secara
matematis dinyatakan sebagai berikut:
Konsumsi Oksigen = [ ] [ ]
WxTtOoO 22 −
Metabolisme rutin
Tingkat metabolisme rutine diukur pada kondisi hewan uji tetap diberi pakan
dua kali sehari selama percobaan. Untuk mengetahui laju metabolisme rutine
dilakukan dengan mengkonversi jumlah O2 yang dikonsumsi ke dalam satuan energi
sebagai berikut; 1 mgO2 = 0,7 mlO2 (Jeong and Cho 2007); 1 mlO2 = 19,9 Joule
(Soria et al. 2007) dan 1 kalori (calorie) = 4,184 Joule (Somanath et al. 2000).
Sintasan, laju pertumbuhan dan waktu pencapaian stadia
Metode yang digunakan untuk mengetahui sintasan, laju pertumbuhan
spesifik dan waktu pencapaian stadia plantigrade sama dengan percobaan
sebelumnya.
Kualitas air
Parameter air yang diukur selama percobaan antara lain nitrat, nitrit dan
amonia.
Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis dengan uji F. Jika terdapat
data yang penyebarannya tidak normal, maka terlebih dahulu akan dilakukan
transformasi dengan logaritma natural (Ln). Apabila uji F menunjukkan adanya
pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji
rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 15 for Windows.
62
Hasil dan Pembahasan
Konsumsi Oksigen
Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi oksigen larva P.
maxima tertinggi (Stadia I–III) terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰
(BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (AD) (Tabel 5).
Hasil analisis varian terhadap tingkat konsumsi oksigen menunjukkan adanya
perbedaan nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu dan salinitas, sedangkan interaksi
antara suhu dan salinitas tidak nyata pengaruhnya (P ≥ 0,05). Uji nilai tengah Tukey
menunjukkan bahwa perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P
≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰ (F), tetapi E dan F berbeda nyata lebih besar dari
perlakuan salinitas 30 ‰ (D). Sedangkan perlakuan suhu dan tiap tahap stadia
berbeda nyata (Lampiran 12).
Tabel 5. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas
Umur Faktor II Salinitas (‰) Faktor I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Stadia I (D1–D6)
Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30
1,09 ± 0,03a 1,65 ± 0,03c 1,34 ± 0,05e
1,29 ± 0,03b 1,98 ± 0,08d 1,75 ± 0,03f
1,31 ± 0,03b 2,16 ± 0,03d 1,77 ± 0,04f
Stadia II (D7–D14)
(A) 26 (B) 28 (C) 30
0,73 ± 0,03a 1,29 ± 0,03c 1,15 ± 0,03e
1,10 ± 0,03b 1,72 ± 0,03d 1,30 ± 0,04f
1,12 ± 0,03b 1,75 ± 0,03d 1,32 ± 0,03f
Stadia III (D15–D20)
(A) 26 (B) 28 (C) 30
0,34 ± 0,04a 1,08 ± 0,03c 0,79 ± 0,04e
0,74 ± 0,03b 1,39 ± 0,03d 1,14 ± 0,02f
0,76 ± 0,03b 1,41 ± 0,03d 1,16 ± 0,03f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Konsumsi oksigen larva P. maxima dalam kajian ini berbeda dengan hasil
penelitian Pechenik (1980) pada larva veliger (prosobranch) Nassarius obsoletus,
nilai laju konsumsi oksigen veliger kecil sampai besar berkisar antara 2,5 sampai 10
63
ml O2/jam/g berat kering. Pada larva veliger Crepidula formicate laju konsumsi
oksigen antara 2,5–5 ml O2/jam/g berat kering. Laju konsumsi oksigen pada larva
Mytilus edulis antara 0,75–3 ml O2/jam/g berat kering (Bayne 1983). Laju konsumsi
oksigen larva Ostrea edulis berkisar antara 3–6 ml O2/jam/g berat kering (Gosling
2004). Sedangkan Crisp (1974) menggunakan nilai rata-rata konsumsi oksigen 5 ml
O2/jam/berat kering untuk menduga kelangsungan hidup larva berkaitan dengan
waktu di puasakan, tujuannya untuk mengetahui kandungan protein dan lemak
sebagai cadangan energi. Diduga, variabel penyebab perbedaan nilai konsumsi
oksigen adalah penggunaan spesies dan metode pengukuran yang berbeda. Menurut
Chacon et al. (2003) perbedaan spesies dan metodologi mungkin dapat dijadikan alas
an untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil penelitian.
Dari hasil analisis dapat diinterpretasikan, semakin meningkat suhu dan
salinitas maka laju konsumsi oksigen juga makin meningkat, hingga mencapai batas
optimum (28 oC; 32–34 ‰), kemudian konsumsi oksigen akan menurun pada kondisi
suhu dan salinitas yang meningkat. Menurut Bayne (1983) pengaruh suhu dan
salinitas pada laju konsumsi oksigen bervariasi antar spesies dan dipengaruhi oleh
kondisi pretreatment (sebelum perlakuan) pada induk, gamet dan larva yang berada
pada satu seri penelitian.
Bayne (1983) menyatakan bahwa tidak ada cara yang sederhana untuk
menghitung laju konsumsi oksigen pada kondisi lingkungan yang berbeda.
Selanjutnya menurut Goddard (1996) laju konsumsi oksigen dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk suhu air, berat badan dan tingkat aktivitas.
Data tingkat konsumsi oksigen yang diperoleh dapat merefleksikan
karakteristik kondisi larva tiram mutiara pada berbagai suhu dan salinitas media.
Pada P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama tiram
dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi oksigen kembali normal dicatat
setelah waktu tersebut (Darmaraj 1983). Menurut Taylor (1976) peningkatan
aktivitas cardiac dan respirasi pada bivalvia Arctica islandica mengikuti periode
penutupan cangkang. Hal ini digunakan sebagai interpretasi representasi pembayaran
kembali “utang oksigen” selama masa anaerob. Opini lain disampaikan Boyden
(1972) tentang meningkatnya konsumsi oksigen setelah hewan uji di ekspose,
ternyata dapat merefleksikan hasil ekskretori nitrogen dari aktivitas jaringan yang
meningkat tinggi. Tanda-tanda pada waktu penyesuaikan diri dengan kondisi di
64
ekspose yang penting dicatat adalah waktu membuka cangkang untuk tujuan
bernafas.
Sebagai salah satu indikator, meningkatnya konsentrasi oksigen juga dapat
dijadikan indikasi peningkatan jumlah penempelan larva stadia akhir. Meningkatnya
konsentrasi oksigen juga dapat mengurangi mortalitas larva (Alfaro 2005). Kajian ini
juga mencatatat hal yang sama, dimana pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (BF)
diikuti oleh sintasan (BF) dan laju perumbuhan (BF) yang tinggi pula. Diduga pada
kondisi tingkat konsumsi oksigen tinggi maka laju metabolisme akan meningkat,
sehingga larva dapat maksimal memanfaatkan pakan yang diberikan. Hal ini
terefleksi dari laju pertumbuhan dan sintasan yang tinggi. Sebaliknya pada perlakuan
suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (AD) laju konsumsi oksigen paling rendah, maka sintasan
dan laju pertumbuhan juga rendah. Menurut Goddard (1996) dibawah kondisi
oksigen terlarut rendah, organisme menunjukkan tanda-tanda stress. Ini merupakan
tanda umum pertama yang diamati, kemudian organisme menunjukkan nafsu makan
berkurang, akibatnya pola renang dan distribusinya menjadi tidak normal.
Pengamatan terhadap tingkat konsumsi oksigen spat menunjukkan bahwa
nilai tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰ (25hari: 0,863 mg
O2/g berat basah/jam; 35 hari: 0,627 mg O2/g berat basah/jam) dan terendah pada
perlakuan suhu 26 oC, salinitas 30 ‰ (25 hari: 0,084 mg O2/g berat basah/jam; 35
hari: 0,069 mg O2/g berat basah/jam) (Tabel 6).
Tabel 6. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas.
Faktor I Salinitas (‰) Faktor II (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) : • Umur 25 hari
(A) 26 (B) 28 (C) 30
• Umur 35 hari (A) 26 (B) 28 (C) 30
0,084 ± 0,032a 0,510 ± 0,025c 0,331 ± 0,022e
0,069 ± 0,032a 0,328 ± 0,029c 0,213 ± 0,019e
0,286 ± 0,028b 0,829 ± 0,024d 0,660 ± 0,026f
0,182 ± 0,031b 0,593 ± 0,021d 0,507 ± 0,034f
0,303 ±0,026b 0,863 ± 0,015d 0,687 ± 0,014f
0,204 ± 0,018b 0,627 ± 0,061d 0,533 ± 0,026f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
65
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas berpengaruh
nyata (P ≤ 0,05) terhadap tingkat konsumsi oksigen spat dan terdapat pengaruh
interaksi nyata (P ≤ 0,05) antara suhu dan salinitas. Hasil uji nilai tengah Tukey
menunjukkan bahwa antar perlakuan suhu berbeda nyata (P ≤ 0,05), tetapi pada
perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dari salinitas
34 ‰ (F) dan Perlakuan D (salinitas 30 ‰) berbeda nyata lebih kecil (P ≤ 0,05) dari
E dan F (Lampiran 13).
Kajian terhadap laju konsumsi oksigen spat menunjukkan hasil yang
mendukung kajian toleransi spat terhadap suhu dan salinitas, yaitu tingkat konsumsi
oksigen spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC; salinitas 32 ‰, 34 ‰ (BE,
BF). Tingkat konsumsi oksigen pada spat lebih rendah jika dibandingkan larva,
penurunan konsumsi oksigen sampai sekitar 59,71 % (BE), 60,99 % (BF). Diduga,
penurunan ini disebabkan oleh behavior yang berbeda. Spat hidupnya menetap-
menempel, sedangkan larva bersifat planktonis yang mempunyai behavior aktif
berenang-renang, sehingga membutuhkan energi lebih besar yang direfleksikan
dengan konsumsi oksigen tinggi. Dharmaraj (1983) melakukan pengukuran
konsumsi oksigen pada tiram mutiara P. fucata (50–60 mm) yang berasal dari lokasi
budidaya, nilainya 1,34 ml O2/jam, sedangkan pada P. sugilata (10–20 mm) yang
berasal dari perairan dekat pantai, menunjukkan nilai 0,62 ml O2/jam.
Konsumsi oksigen tiram Crassostrea gigas dari berbagai ukuran pada suhu
13 oC; salinitas 33 ‰ berkisar antara 0,23–1,91 mg O2/jam/g berat daging kering dan
selama penelitian tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara 0,53 dan 0,67 mg
O2/jam/g berat daging kering (Jeong and Cho 2007). Pada bivalvia Cerastoderma
edule laju konsumsi oksigen berkisar antara 0,014–0,087 µl O2/mg berat daging/jam
(Kittiwatanawong 2007). Penelitian lain pada abalone (Haliotis discus hannai)
dengan ukuran panjang 92,6 mm; berat kering 12,1–14,39 g, nilai laju konsumsi
oksigen pada suhu 25 oC, salinitas 31,6 – 32 ‰ adalah 0,30–0,32 ml O2/jam/g berat
kering (Lee et al. 2007). Beberapa hasil penelitian yang dihimpun Gosling (2004)
mencatat laju konsumsi oksigen C. gigas pada suhu 27–28 oC sekitar 0,51ml
O2/jam/g berat kering. Laju konsumsi oksigen M. edulis 0,38 ml O2/jam/g berat
kering pada suhu 15 oC; laju konsumsi oksigen Ostrea edulis 0,962 ml O2/jam/g
berat kering (15 oC) dan pada suhu 25 oC 2,655 ml O2/jam/g berat kering; laju
66
konsumsi oksigen C. virginica pada suhu 20 oC 0,372 ml O2/jam/g berat kering dan
pada suhu 30 oC 0,423 ml O2/jam/g berat kering.
Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil beberapa penelitian di atas, karena
selain ukuran sampel dan spesies berbeda, penelitian tersebut umumnya dilakukan di
alam atau dengan mengambil sampel dari alam, sedangkan dalam percobaan ini
sampel berasal dari dalam laboratorium. Diduga, spat yang berasal dari alam harus
melakukan aklimatisasi dengan kondisi perlakuan, sehingga membutuhkan energi
yang relatif besar. Sebaliknya spat yang berasal dari lab atau dari larva yang sudah
dipelihara di dalam lab, tidak perlu membelanjakan banyak energi untuk melakukan
aklimatisasi dengan kondisi laboratorium. Disamping itu, spat yang berasal dari lab
tidak perlu menghamburkan energi untuk filtrasi, karena media air di dalam
laboratorium kualitasnya baik setelah melalui beberapa tahapan proses filtrasi.
Sebaliknya spat yang berasal dari alam harus membelanjakan energi lebih besar
untuk filtrasi, karena masih adanya partikel terlarut yang terjerap di dalam mantel
maupun insang. Menurut Ropert and Goulletquer (2000) laju filtrasi dipengaruhi oleh
ukuran partikel dan ukuran partikel yang stabil berkisar antara 7–8 µm, semakin
besar partikel maka dibutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan filtrasi.
Metabolisme Rutin
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembelanjaan energi [C(J)/g/jam]
untuk metabolisme rutin larva tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC; salinitas
34 ‰ (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC; salinitas 30 ‰ (AD) (Tabel 7).
Hasil analisis varian menunjukkan terdapat pengaruh siknifikan (P ≤ 0,05) suhu dan
salinitas terhadap laju metabolisme rutin, tetapi tidak ada interaksi nyata (P ≥ 0,05)
antara suhu dan salinitas. Uji nilai tengah Tukey juga menunjukkan ada pengaruh
siknifikan (P ≤ 0,05) suhu, salinitas dan setiap tahap stadia terhadap laju metabolisme
rutin, namun pada salinitas 32 ‰ tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan
salinitas 34 ‰, sedangkan pada salinitas 32 ‰ dan 34 ‰ berbeda nyata lebih besar
(P ≤ 0,05) dengan salinitas 30 ‰ (Lampiran 14).
67
Tabel 7. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas.
Umur Faktor II Salinitas (‰) Faktor I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Stadia I (D1–D6)
Suhu (oC): (A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
3,62 ± 0,12 5,50 ± 0,12 4,48 ± 0,16
15,15 ± 0,45a 23,03 ± 0,50c 18,75 ± 0,68e
4,30 ± 0,10 6,58 ± 0,27 5,83 ± 0,09
18,01±0,43b 27,53±1,12d 24,40±0,39f
4,36 ± 0,12 7,20 ± 0,09 5,90 ± 0,14
18,26±0,45b 30,13±0,37d 24,69±0,59f
Stadia II (D7–D14)
(A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
2,41 ± 0,69 4,31 ± 0,09 3,84 ± 0,11
10,09 ± 2,90a 18,02 ± 0,37c 16,07 ± 0,46e
3,68 ± 0,11 5,74 ± 0,10 4,32 ± 0,12
15,38 ± 0,45b 24,02 ± 0,43d 18,07 ± 0,51f
3,73 ± 0,09 5,83 ± 0,10 4,41 ± 0,09
15,60 ± 0,37b 24,39 ± 0,44d 18,45 ± 0,39f
Stadia III (D15–D20)
(A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J
1,12 ± 0,14 3,60 ± 0,08 2,64 ± 0,14
4,70 ± 0,60a
15,07 ± 0,37c 11,04 ± 0,57e
2,45 ± 0,09 4,62 ± 0,10 3,80 ± 0,07
10,25 ± 0,36b 19,32 ± 0,40d 15,88 ± 0,29f
2,52 ± 0,10 4,67 ± 0,10 3,86 ±0,10
10,55 ± 0,42b 19,58 ± 0,43d 16,14 ± 0,42f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %; C (Calorie); J (Joule).
Pada hewan air, besarnya energi yang dibutuhkan untuk metabolisme dapat
diestimasi melalui pengukuran laju konsumsi oksigen. Metabolisme adalah proses
pemanfaatan nutrien, baik sebagai energi maupun materi melalui proses perombakan
dan sintesis. Proses metabolisme terjadi di dalam sel, dapat dilakukan secara
anabolisme dan katabolisme. Metabolisme rutin didefinisikan sebagai tingkat
pembelanjaan energi pada kondisi normal, untuk mempertahankan struktur dan
fungsi jaringan agar organisme tersebut tetap hidup. Pengukuran Metabolisme rutin
ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau
masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju
konsumsi oksigen (Affandi et al. 2008; Gosling 2004; Soria et al. 2007).
68
Hasil analisis laju metabolisme rutin yang diperoleh dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa sintasan dan laju pertumbuhan pada perlakuan suhu 28 oC,
suhu 34 ‰ (BF) paling tinggi dan terendah pada perlakuan 26 oC, suhu 30 ‰ (AD).
Untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan dibutuhkan energi yang relatif besar,
pada perlakuan BF energi yang dibelanjakan mencapai 19,58–30,13 J/g/jam (4,67–
7,20 C/g/jam), sedangkan pada perlakuan AD pembelanjaan energi lebih rendah atau
sekitar 4,70–15,15 J/g/jam (1,12–3,62 C/g/jam). Lebih jelas diperoleh gambaran
bahwa untuk aktivitas setiap tahap perkembangan stadia larva dialokasikan energi
yang berbeda sehingga larva mampu menyesuikan diri dengan suhu dan salinitas
perlakuan.
Sampai saat ini belum banyak publikasi yang berkaitan dengan laju
metabolisme larva, khususnya pada larva tiram mutiara P. maxima. Beberapa hasil
penelitian yang dirangkum Bayne (1983) salah satunya tentang konsumsi oksigen
pada veliger moluska (prosobranch), hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju
konsumsi oksigen larva veliger ukuran kecil sampai besar antara 2,5–10,0 ml
O2/gram berat kering/jam. Diperkirakan dalam bentuk kalori untuk metabolisme rutin
(1 ml O2 = 19,90 Joule) setara dengan 49,75–199 J/g berat kering/jam. Konsumsi
oksigen larva Metilus edulis berkisar antara 3–6 ml O2/g berat kering/jam (Gosling
2004) atau setara dengan 59,70–119,40 J/g/jam untuk laju metabolisme rutin.
Dalam percobaan ini, laju metabolisme rutin pada setiap tahap stadia larva
berbeda nyata (P ≤ 0,05). Belanja energi terbesar terjadi stadia I yaitu rata-rata 7,20
C/g berat basah/jam, diikuti stadia II rata-rata 5,83 C/g berat basah/jam dan pada
stadia III rata-rata 4,63 C/g berat basah/jam. Dari hasil analisis tersebut diketahui,
bahwa laju metabolisme rutin menurun seiring dengan meningkatnya stadia
perkembangan larva. Menurut Goddard (1996) jika dihitung per unit berat badan,
maka hewan kecil lebih banyak menggunakan energi dibanding hewan besar.
Diduga laju metabolisme tertinggi terjadi pada saat aktivitas larva
meningkat paling tinggi. Pada stadia I, larva mempunyai kebiasaan aktif berenang-
renang, jika diamati dengan seksama aktivitas renangnya sangat tinggi hingga
membentuk gerakan massa larva yang berputar-putar dan kebiasaan itu terus
berlangsung selama stadia tersebut. Pada stadia II, aktifitas renang larva mulai
menurun, diduga pada stadia umbo akhir cangkang semakin berkembang, bertambah
tebal dan berat, sehingga menghambat gerakan larva. Disamping terjadi metamorfose
69
dari stadia eye-spot menjadi pediveliger. Pada stadia III, laju metabolisme paling
rendah selama stadia larva, diduga selain cangkang bertambah berat, pada stadia ini
terjadi metamorfose dan perubahan behavior (masa transisi) dari kehidupan
planktonis menjadi bentik, sehingga larva mulai banyak berada di bagian tengah
badan air dengan gerakan lambat.
Penjelasan lebih lanjut berkaitan dengan perbedaan tingkat konsumsi oksigen
pada setiap tahap stadia adalah adanya pengaruh suhu. Berdasarkan hasil pengamatan
dapat dijelaskan bahwa laju metabolisme meningkat dengan meningkatnya suhu
sehingga mencapai batas optimum (28 oC), selanjutnya laju metabolisme akan
menurun seiring dengan meningkatnya suhu. Diduga, suhu 30 oC terlalu tinggi untuk
aktivitas metabolisme larva sehingga metabolisme tidak berlangsung efektif
akibatnya laju pertumbuhan lebih rendah dibanding pada suhu 28 oC. Demikian juga
pada suhu 26 oC laju pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28 oC dan
30 oC, diduga suhu 26 oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme,
sehingga berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva.
Pernyataan yang mendukung disampaikan Goddard (1996) bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air. Suhu akan
mempengaruhi mekanisme transport ion yang berimplikasi pada osmoregulasi
dengan melibatkan berbagai reaksi kimia. Mediasi transpor ion ditimbulkan oleh
meningkat dan menurunnya suhu. Oleh sebab itu osmoregulasi fluida ekstraseluler
lebih efektif pada suhu tinggi dibanding suhu rendah. Sebagai gambaran, terdapat
beberapa spesies yang dapat bertahan lebih baik pada kondisi fluktuasi salinitas dari
pada suhu tinggi (Gilles and Jeuniaux 1979). Gastropoda Nassarius reticulates tetap
hidup pada salinitas 20–30 ‰, suhu 25 oC tetapi itu hanya terjadi pada kisaran
salinitas yang luas antara 10–40 ‰ dan pada suhu lingkungan hidupnya sekitar 5 oC
(Eriksson and Tallmark 1974).
Terlepas dari pengaruh salinitas, suhu memberikan pengaruh signifikan
terhadap perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2 oC) yang digunakan dalam
penelitian ini ternyata memberikan efek yang siknifikan pada sintasan dan
pertumbuhan larva. Menurut Yukihira et al. (2000; 2006) perbedaan suhu selama
pemeliharaan walaupun kecil atau sekitar 1–2 oC berpengaruh kuat terhadap laju
pertumbuhan. Dikemukakan juga oleh Bayne (1983); Gosling (2004) laju
pertumbuhan larva menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu
70
hingga mencapai batas optimum dan kemudian laju pertumbuhan akan menurun
bersamaan dengan meningkatnya suhu.
Belanja energi untuk metabolisme rutin spat tertinggi terdapat pada suhu 28 oC dan salinitas 34 ‰ (BF). Belanja energi terendah terjadi pada suhu 26 oC, salinitas
30 ‰ (AD). Hasil analisis varian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan laju
metabolisme yang nyata (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu, salinitas dan interaksi
suhu dan salinitas. Selanjutnya uji Tukey juga menunjukkan terdapat perbedaan laju
metabolisme yang nyata (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu, salinitas dan interaksi
antara suhu dan salinitas. Sedangkan perlakuan salinitas 32 ‰ (E) tidak berbeda
nyata lebih kecil dengan perlakuan 34‰ (F), tetapi E, F berbeda nyata lebih besar (P
≤ 0,05) dari perlakuan salinitas 30 ‰ (D) (Tabel 8; Lampiran 15).
Tabel 8. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas.
Faktor II Salinitas (‰)
Faktor I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) Umur 25 hari: (A) 26 (Calorie) (B) 28 (Calorie) (C) 30 (Calorie) (A) 26 (Joule) (B) 28 (Joule) (C) 30 (Joule)
0,27 ± 0,10a 1,64 ± 0,08c 1,06 ± 0,06e
1,12 ± 0,42a 6,86 ± 0,34c 4,45 ± 0,29e
0,92 ± 0,09b 2,66 ± 0,07d 2,12 ± 0,09f
3,84 ± 0,38b 11,13 ± 0,32d 8,87 ± 0,36f
0,97 ± 0,08b 2,77 ± 0,05d 2,20 ± 0,05f
4,07 ± 0,35b
11,60 ± 0,20d 9,22 ± 0,20f
Umur 35 hari: (A) 26 (Calorie) (B) 28 (Calorie) (C) 30 (Calorie) (A) 26 (Joule) (B) 28 (Joule) (C) 30 (Joule)
0,22 ± 0,10a 1,05 ± 0,09c 0,68 ± 0,06e
0,93±0,43a 4,41±0,38c 2,86±0,25e
0,59 ± 0,10b 1,90 ± 0,07d 1,63 ± 0,11f
2,45±0,41b 7,96±0,28d 6,81±0,45f
0,66 ± 0,06b 2,01 ± 0,20d 1,71 ± 0,08f
2,74±0,24b 8,43±0,82d 7,16±0,34f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 28 oC; salinitas 32 ‰; 34‰ (BE
dan BF) merupakan kondisi optimum untuk sintasan dan laju pertumbuhan spat. Pada
kondisi yang sesuai, spat dapat mengalokasikan energi secara maksimum untuk
71
perkembangan dan pertumbuhan. Sebaliknya pada suhu 26 oC salinitas 30 ‰ (AD),
belanja energi spat paling rendah, sehingga sintasan dan laju pertumbuhan spat juga
rendah. Menurut Goddard (1996) pada kondisi suhu dan salinitas optimum terjadi
laju metabolisme maksimum, sehingga bisa dicapai sintasan dan laju pertumbuhan
maksimum.
Data yang diperoleh menjelaskan, bahwa belanja energi untuk metabolisme
pada spat lebih rendah dibandingkan dengan stadia larva. Diduga, pada stadia larva
bersifat planktonis dengan dicirikan aktif berenang, sehingga membutuhkan energi
yang lebih besar. Energi tersebut diperoleh dari makanan yang difilter (filter feeder),
jadi selama periode planktonis tingkat filtrasi juga meningkat. Menurut Crisp (1984);
Dame (1996) keseimbangan energi dapat diestimasi melalui perbandingan antara
energi yang diperoleh dari makanan dan energi yang digunakan untuk metabolisme
internal. Jika hasilnya positif, keseimbangan energi ini dapat didefinisikan sebagai
skope untuk pertumbuhan, atau representasi energi yang digunakan untuk tumbuh
(jaringan somatik) (Resgalla et al. 2007).
Sebaliknya pada spat, sepanjang hidupnya menetap-menempel pada
substrat. Aktivitas fisik utama spat hanya melakukan filtrasi makanan, sehingga
membutuhkan energi yang relatif lebih kecil. Menurut Bayne and Newell (1983)
biaya energetik untuk aktivitas makan pada M edulis meningkat secara eksponensial
seiring dengan laju filtrasi; penurunan kebutuhan energi bisa mencapai dua atau tiga
kali dari pada kondisi aktif.
Dalam kajian ini belanja energi untuk metabolisme rutin spat umur 25 hari
lebih besar dibandingkan umur 35 hari. Diduga, spat umur 25 hari lebih banyak
mengeluarkan energi, karena masih berada pada masa transisi hidup sebagai bentik,
sehingga harus memproduksi banyak bisus untuk memantapkan posisi menempel
pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari spat sudah menetap, sehingga
kondisinya relatif sudah lebih stabil.. Produksi benang bisus yang dilakukan hanya
untuk mengimbangi pertumbuhan cangkang, sehingga membelanjakan energi lebih
kecil. Menurut Morse (1990); Pawlik (1992); Zhao et al. (2003) metamorfose dan
penempelan larva merupakan masa kritis dalam pengendalian dinamika populasi
invertebrata. Sebagian besar bivalvia mempunyai benang bisus pada stadia post
72
larva, benang bisus berfungsi sebagai stabilisator pada waktu proses metamorfose
dari larva menjadi spat.
Pengukuran laju metabolisme basal pada juvenil abalone (Haliotis fulgans)
dengan berat rata-rata 36,2 g dilakukan setelah dipuasakan. Disebutkan, abalone
menggunakan 108,10 kalori yang berasal dari katabolisme protein atau setara dengan
2,99 C/g/hari. Penelitiannya yang lain pada H. carrugata, menghabiskan kalori 40 –
50 C/g/hari dan proporsi tersebut yang digunakan untuk metabolisme basal sekitar
2,8 – 3,5 C/g/hari. Nilai ini cenderung meningkat dan energi yang diperoleh berasal
dari metabolisme karbohidrat (Viana et al. 2007). Spesies Mytilus californianus
dengan berat kering 1 g, pada suhu 13 oC menghabiskan kalori rata-rata 20,6 J/liter,
nilai tersebut dibagi untuk komponen metabolisme basal 2,72 J/jam dan biaya
mencerna makanan 8,15 J/jam.
Percobaan ini membatasi perlakuan salinitas hanya sampai 34 ‰, karena
selain berdasarkan studi pendahuluan dan rujukan literatur juga mempertimbangkan
habitat alami tiram mutiara yang umumnya hidup di perairan yang dipengaruhi
oseanik, sehingga diduga perlakuan pada salinitas lebih dari 34 ‰ tidak berbeda
nyata. Ternyata hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sintasan, laju
pertumbuhan, konsumsi oksigen dan pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin
pada salinitas 32 ‰ tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰.
Hasil pengamatan yang mendukung dikemukakan oleh Soria et al. (2007) pada
juvenil scallop (Agropecten purpuratus) konsumsi oksigen pada salinitas 34 ‰ lebih
besar dari pada salinitas 38 ‰, tetapi konsumsi oksigen pada perlakuan salinitas 38
‰ dan 42 ‰ tidak berbeda nyata. Selanjutnya disampaikan, tidak ada perbedaan
yang nyata (P > 0,05) laju konsumsi oksigen pada salinitas 34, 38 atau 42 ‰ dengan
suhu 10 oC dan 22 oC.
Perubahan salintas dapat berpengaruh terhadap toleransi suhu organisme
akuatik poikiloterm (Garside and Chin 1972). Toleransi terhadap suhu maksimum
yang ditunjukkan oleh hewan isoosmotik pada saat berada dalam suatu lingkungan,
merupakan strategi adaptasi yang secara umum dimiliki hewan invertebrata. Harus
dicatat, pada sejumlah spesies menunjukkan tidak atau hanya mempunyai kekuatan
osmoregulasi ekstraseluler kecil, mekanisme regulasi isoosmotik intraseluler akan
membawa sejumlah volume sel regulasi dan itu merupakan strategi adaptasi terbaik
73
dalam medium. Kerang spesies M. granosissimus, berasal dari laut kemudian
diadaptasikan ke salinitas 3 ‰, maka akan mengalami stress dan mungkin akan mati
jika tidak dikembalikan ke laut. Pada spesies tertentu, media air lebih sebagai
penyebab kondisi stres salinitas sehingga variabelnya tergantung pada kemampuan
adaptasi spesies (Gilles and Jeuniaux 1979).
Dalam percobaan ini, tingkat metabolisme rutin larva dan spat tertinggi
terjadi pada perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 32 ‰; 34 ‰, atau merupakan suhu
dan salintas optimum untuk larva dan spat P. maxima, jadi hasil sintasan dan laju
pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada perlakuan tersebut dapat diterima. Pendapat
yang sama disampaikan Syafiuddin (2005) dan Thomas et al. (2000) bahwa laju
metabolisme optimal terjadi pada kondisi suhu optimal. Perubahan suhu lingkungan
juga merubah energi yang ditujukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan, laju
respirasi atau laju konsumsi oksigen. Sebagai contoh, hewan di daerah tropis
mempunyai laju metabolisme lebih besar dibanding hewan yang hidup di daerah
subtropis, fenomena ini dapat terjadi karena adanya perbedaan suhu perairan. Laju
metabolisme hewan tropis meningkat 10 % pada setiap peningkatan suhu air sebesar
1 %. Reaksi biokimia yang berbasis pada kompensasi suhu dipercaya berpengaruh
terhadap kerja sistim syaraf, serta perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam tingkat
reaksi enzim (Gosling 2004). Suhu juga mempengaruhi fenomena biologis hewan
aquatik, hal ini tidak mengejutkan karena osmoregulasi hewan aquatik mungkin
responsif pada pengaruh termal (Vernberg and Silverthorn 1979).
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Larva
Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan larva P.
maxima dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Pada stadia I; sintasan tertinggi terjadi
pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 ‰ (87,92 %) dan terendah pada perlakuan 26 oC, salinitas 30 ‰ (22,80 %). Pada stadia II dan III, sintasan tertinggi juga terjadi
pada perlakuan yang sama (Tabel 9).
Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05)
antar perlakuan suhu, salinitas dan tahap stadia, tetapi interaksi antara suhu dan
salinitas tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05). Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan
perbedaan nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu, namun perlakuan salinitas 34 ‰ (F)
74
tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dari 32 ‰ (E), sedangkan perlakuan 30 ‰
(D) berbeda nyata lebih kecil (P ≤ 0,05) dari E dan F (Lampiran 16).
Tabel 9. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat suhu
dan salinitas.
Umur Faktor II Salinitas (‰) Faktor I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Stadia I (D1–D6)
Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30
22,80 ± 1,17a 61,17 ± 1,04c 54,46 ± 0,81e
43,02 ± 1,29b 87,75 ± 1,09d 71,95 ±0,91f
43,71 ±1,03b 87,92 ±1,28d 72,23 ± 0,75f
Stadia II (D7–D14)
(A) 26 (B) 28 (C) 30
21,17 ± 0,82a 59,09 ± 0,62c 48,67 ± 0,76e
32,20 ± 1,27b 81,91 ± 0,64d 69,61 ± 0,60f
32,67 ± 1,73b 82,39 ± 0,71d 70,17 ± 1,04f
Stadia III (D15–D20)
(A) 26 (B) 28 (C) 30
10,33 ± 0,91a 64,79 ± 1,19c 48,41 ± 0,83e
22,39 ± 0,88b 76,72 ± 0,86d 60,98 ±0,77f
22,60 ± 0,80b 77,26 ± 0,75d 61,34 ± 0,85f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Pengamatan terhadap laju pertumbuhan larva dan analisis varian serta uji Tukey
menunjukkan pola dan hasil yang sama dengan sintasan (Gambar 17; Lampiran 17abc).
Stadia I
0123456789
26 28 30 26 28 30 26 28 30Suhu (oC) dan salinitas (‰)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
) 30 ‰32 ‰34 ‰
Stadia IIStadia III
Gambar 17. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva stadia I (D1–D6), stadia II (D7–
D14) dan stadia III (D15–D20) pada berbagai suhu dan salinitas.
75
Kajian toleransi larva terhadap suhu dan salinitas memberikan hasil yang
komparable utamanya pada toleransi larva tiram mutiara P. maxima yang dipelihara
dalam wadah terbatas dan diberi perlakuan berbagai suhu dan salinitas. Menurut
Gosling (2004) pada saat ini akan lebih bermanfaat apabila dilakukan pengkajian
dengan melihat pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pertumbuhan
Menurut O’Connor and Lawler (2004) suhu dan salinitas berpengaruh terhadap
kecepatan dan keberhasilan pertumbuhan awal larva P. imbricata.
Berdasarkan hasil percobaan ini, sintasan dan laju pertumbuhan larva P.
maxima dari stadia veliger sampai plantigrade nyata dipengaruhi oleh suhu dan
salinitas. Hal ini terlihat dari hasil analisis varian dan uji lanjut Tukey yang
menunjukkan pengaruh siknifikan (P ≤ 0,05) pada setiap perlakuan suhu dan
salinitas, tetapi tidak ditemukan pengaruh nyata (P ≥ 0,05) pada interaksi suhu dan
salinitas. Sehingga diinterpretasikan tidak ada sinergi antara suhu dan salinitas dalam
mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima. Penelitian O’Connor and
Lawler (2004) juga menemukan tidak ada pengaruh sinergi suhu dan salinitas,
walaupun ada pengaruh siknifikan suhu dan salinitas terhadap perkembangan larva P.
imbricata.
Dalam penelitian ini sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan 28 oC dan
salinitas 32 ‰; 34 ‰. Sintasan terendah terjadi pada perlakuan suhu 26 oC, salinitas
30 ‰. Rendahnya sintasan diduga karena suhu dan salinitas media relatif rendah
untuk perkembangan larva P. maxima sehingga proses metabolisme dan
osmoregulasi fluida ekstraseluler tidak dapat berlangsung efektif. Pendapat yang
dikemukakan didukung oleh data yang menunjukkan adanya pengaruh suhu dan
salinitas yang siknifikan (P ≤ 0,05) terhadap laju metabolisme rutin.
Hasil penelitian yang tidak jauh berbeda disampaikan O’Connor and Lawler
(2004) yaitu adanya pengaruh suhu serta salinitas pada sintasan larva P. imbricata
dan terlepas dari adanya pengaruh suhu, sintasan tertinggi ditemukan pada salinitas
32 dan 35 ‰. Sebaliknya tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada salinitas ≤ 23 ‰,
umumnya mortalitas terjadi dengan cepat dan sangat tinggi pada pengujian suhu
ekstrim 14 dan 26 oC. Larva P. imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap
salinitas, apalagi jika salinitas turun sampai kurang dari 29 ‰ dan larva tidak dapat
berkembang pada suhu rendah yang ekstrim sekitar 14 oC. Pada kisaran salinitas 29–
76
35 ‰, persentase perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat
siknifikan seiring dengan meningkatnya salinitas.
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sintasan spat tertinggi terjadi pada
perlakuan suhu 28 ºC dan salinitas 34 ‰ (82,20 %) dan terendah pada perlakuan
suhu 26 ºC dan salinitas 30 ‰ (15,22 %) (Tabel 10). Hasil analisis varian
menunjukkan adanya pengaruh nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan suhu, salinitas serta
interaksi suhu dan salinitas (Lampiran 18a).
Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤
0,05) antar perlakuan suhu. Sedangkan perlakuan salinitas salinitas 32 ‰ (E) tidak
berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan salinitas 34 ‰ (F) dan salinitas 30 ‰
secara nyata berbeda (P ≤ 0,05) dengan salinitas 32 ‰ dan 34 ‰ (Lampiran 18b).
Pola yang sama dengan sintasan juga diamati dari hasil analisis varian dan
uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spat, yaitu pertumbuhan terbaik pada suhu 28
ºC dan salinitas 34 ‰ (BF) dan adanya pengaruh nyata (P ≤ 0,05) pada perlakuan
suhu atau salinitas, serta interaksi suhu dan salinitas. (Gambar 18; Lampiran 19abc).
Tabel 10. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai suhu dan salinitas
Faktor II Salinitas (‰)
Faktor I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30
15,22 + 1,75a
67,18 + 1,35c
50,32 + 0,98e
37,83 + 1,95b
80,77 + 1,16d
74,60 + 1,63f
39,37 + 1,69b
82,20 + 0,82d
75,37 + 1,58f
Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
77
0
5
10
15
20
25
26 28 30Suhu (oC) dan salinitas (‰)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
) 30 ‰32 ‰34 ‰
Gambar 18. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada
berbagai suhu dan salinitas
Berbeda dengan kajian pada larva yang tidak ditemukan adanya interaksi
antara suhu dan salinitas terhadap sintasan. Pada spat terdapat interaksi antara suhu
dan salinitas terhadap sintasan, maka suhu dan salinitas secara sinergi mempengaruhi
sintasan. Diduga, spat hidupnya menetap sehingga lebih dipengaruhi kondisi
lingkungan.
Sintasan terbaik spat dalam kajian ini adalah pada suhu 28 ºC dan salinitas
32 ‰, 34 ‰ (BE; BF). Hasil yang hampir sama dikemukakan oleh O’Connor and
Lawler (2004) bahwa suhu dan salinitas berpengaruh terhadap sintasan P. imbricata.
Disamping suhu, sintasan tertinggi ditemukan pada kisaran salinitas 32 dan 35 ‰ dan
mortalitas tinggi akan terjadi pada salinitas 23 ‰ dalam waktu sekitar 7 hari. Pada
suhu rendah spat P. maxima dapat mengalami kematian (Yukihira et al. 2006). Jika
suhu tubuh parallel berhimpit dengan suhu lingkungan, maka organisme tersebut
akan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan beberapa jenis organisme
aquatik ada yang dapat mendeteksi perubahan suhu kurang dari 0,5 oC (Goddard
1996).
Hasil percobaan dapat diinterpretasikan bahwa pada suhu atau salinitas
tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan spat. Menurut Yukihira et al. (2006) suhu
memberikan pengaruh siknifikan pada pertumbuhan, pada suhu rendah juvenile P.
maxima akan mengalami kematian. Menurut Chen and Chen (2000) sintasan
maksimum abalone secara langsung berkaitan dengan salinitas, tetapi sebaliknya
pada suhu tidak menunjukkan ada relasi. Dalam kondisi kritis pada salinitas
78
maksimum, sintasan akan meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas. Lebih
lanjut disampaikan, bahwa hasil analisis Anova dua arah (Two way Anova)
mengindikasikan pengaruh suhu dan salinitas yang signifikan pada sintasan, tetapi
tidak ada interaksi yang siknifikan pada pengaruh suhu dan salinitas.
Berbeda dengan hasil penelitian ini, terdapat interaksi yang siknifikan pada
pengaruh suhu dan salinitas, diduga hewan uji yang digunakan mempunyai sifat yang
berbeda. Abalone dapat bergerak bebas dengan berjalan, sedangkan spat tiram
mutiara hidupnya menetap, sehingga baik pakan maupun kehidupannya sangat
tergantung pada lingkungan tempat tinggalnya. Lain halnya pada waktu masih hidup
sebagai larva planktonis, pengaruh suhu dan salinitas juga menunjukkan tidak ada
interaksi yang siknifikan. Sebaliknya abalone, dengan mobilitasnya dapat berjalan
mencari pakan dan dapat menghindar atau berpindah tempat apabila suhu lingkungan
tidak cocok bagi kelangsungan hidupnya. Pengaruh sinergisme suhu dan salinitas
dapat dijelaskan dengan fenomena biofisiologis hewan aquatik, dimana suhu
berpengaruh terhadap osmoregulasi hewan akuatik dan lebih spesifik osmoregulasi
hewan laut dipengaruhi oleh salinitas. Sebagai contoh, organisme yang berada di
daerah baru, maka laju akomodasi konsentrasi darahnya akan menyesuaikan diri
dengan lingkungan salinitas baru dan tergantung pada suhu, jadi laju akomodasi
meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Suhu tidak hanya sebagai faktor fisik
yang penting dalam mendeterminasi karakteristik dasar fluida, tetapi juga dapat
digunakan sebagai efek deteksi tambahan yang terpasang dalam sistim tubuh,
sehingga dapat mempengaruhi pergerakan air yang melintasi membran sel atau
secara deferensial mempengaruhi relatifitas pengambilan ion aktif sehubungan
dengan kehilangan ion (House 1974; Vernberg and Silverthorn 1979).
Hasil pengkajian yang diperoleh sebenarnya tidak terlalu mengejutkan
mengingat distribusi tiram mutiara umumya berada di suatu perairan yang pengaruh
oseaniknya kuat. Menurut Cahn (1949); Tun and Winanto (1987) tiram mutiara P.
maxima menyukai hidup di perairan dengan salinitas tinggi atau lebih dari 32 ‰.
Disampaikan O’Connor and Lawler (2004), spat Pinctada imbricata hidup dengan
sintasan yang baik pada salinitas 32–35 ‰ dan suhu di wilayah Port Stephens sekitar
14–24 oC. Hal yang agak berbeda pada Pinctada maxima, jika melihat distribusinya
hanya di perairan daerah tropis dan ditemukan pada kedalaman 10–75 m (Winanto et
79
al. 1992; BBL 2001). Pengamatan Slamet et al. (1998) pada tiram mutiara P. maxima
di perairan Bali Utara mencatat kisaran nilai kualitas air, antara lain salinitas 32–34
‰ dan suhu 28–29 oC. Setiap spesies hewan air menghendaki kisaran suhu perairan
yang diinginkan, dibutuhkan untuk makan, metabolisme dan tumbuh optimal
(Goddard 1996). Perubahan suhu yang mendadak dapat mengakibatkan stress atau
bahkan mortalitas tinggi, ini dapat terjadi manakala lingkungan perairan tiba-tiba
berubah, sehingga orgnisme yang ada tidak sempat melakukan aklimatisasi secara
bertahap dari derajat suhu yang ada ke suhu yang lain (Summerfelt 2007). Perubahan
suhu yang ditolerir yaitu 0,2 oC/menit (12 oC/jam) “asalkan perubahan suhu total
tidak lebih dari beberapa derajat” (Boyd 1990).
Dalam kajian ini baik suhu maupun salinitas yang digunakan sebagai
perlakuan selalu konstan, sehingga jika terdapat mortalitas memang disebabkan oleh
perlakuan yang diaplikasikan. Merujuk pada habitat alaminya, maka dapat diterima
jika dalam kajian ini diketahui bahwa suhu 28 oC dan salinitas 32–34 ‰ merupakan
kondisi lingkungan optimum spat P. maxima yang dipelihara di dalam ruangan
terkendali (Laboratorium).
Waktu Pencapaian Stadia
Hasil percobaan pengaruh suhu dan salinitas terhadap lama waktu
pencapaian stadia plantigrade menunjukkan bahwa suhu 28 oC dan salinitas 34 ‰
(18,93 hari) adalah kondisi terbaik untuk sintasan, perkembangan dan pertumbuhan
larva P. maxima (Gambar 19; Lampiran 20a).
0
5
10
15
20
25
30
35
26 28 30Suhu (oC) dan salinitas (‰)
Wak
tu (h
ari)
30 ‰32 ‰34 ‰
Gambar 19. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada
berbagai tingkat suhu dan salinitas.
80
Hasil analisis varian menunjukkan bahwa suhu dan salinitas berpengaruh
nyata (P ≤ 0,05) terhadap waktu pencapaian stadia, tetapi tidak ditemukan pengaruh
interaksi yang nyata (P ≥ 0,05) antara suhu dan salinitas. Uji nilai tengah Tukey
menunjukkan tidak ada pengaruh nyata antara salinitas 32 dan 34 ‰ (P ≥ 0,05),
tertapi keduanya berbeda nyata (P ≤ 0,05) dengan salinitas 30 ‰. Sedangkan antar
perlakuan suhu secara nyata (P ≤ 0,05) berpengaruh terhadap waktu pencapaian
stadia (Lampiran 20b).
Hasil pengamatan terhadap lama waktu pencapaian stadia plantigrade
semakin mempertegas bahwa kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) optimum untuk
larva P. maxima adalah suhu 28 oC dan salinitas 32–34 ‰ (BE; BF). Pada kajian ini
tidak ditemukan adanya pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya
memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Diduga,
pada kondisi suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga
larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 26 oC relatif rendah untuk
perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30 oC relatif tinggi untuk perkembangan
lava. Hasil penelitian yang hampir sama dikemukakan oleh O’Connor and Lawler
(2004) bahwa pencapaian stadia D-veliger larva P. imbricata (Roding) dipengaruhi
oleh suhu dan salinitas, tetapi tidak ditemukan adanya pengaruh sinergi antara suhu
dan salinitas. Penundaan waktu metamorfosa larva bivalvia biasanya berasosiasi
dengan suhu (Loosanof and Davis 1963; Alagarswami et al. 1983). Diduga,
disamping adanya variable lain, suhu dan salinitas rendah merupakan penyebab
utama mengapa larva memperpanjang waktu stadia planktonisnya (Alagarswami et
al. 1983). Berkaitan dengan kompetensi larva untuk menempel, beberapa peneliti
mengamati bahwa stadia planktonis larva dapat dijumpai sampai hari ke tiga setelah
berakhirnya stadia larva, jika kondisi lingkungan tidak sesuai dan tidak menemukan
substrat yang cocok untuk menempel (Baker 1994).
Menurut O’Connor and Lawler (2004) jumlah D-veliger menurun seiring
dengan meningkatnya salinitas, tetapi pada suhu kurang pengaruhnya. Berkaitan
dengan ontogeni atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata
pada suhu dan salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang
besar. Oleh sebab itu ukuran larva P. imbricata pada suhu 22 dan 26 oC variasinya
kecil. Penelitian Yukihira et al. (2000) di dalam laguna Great Barrier Reef,
81
Quensland Utara, Australia mencatat bahwa kisaran suhu optimum pada P. maxima
dan P. margaritifera antara 23–28 oC.
Kualitas Air
Parameter air yang diamati merupakan data pendukung percobaan. Hasil
pengamatan (Lampiran 11) menunjukkan bahwa nitrat, nitrit dan amonia masih
berada pada kisaran yang memenuhi syarat untuk sintasan dan pertumbuhan larva
serta spat P. maxima.
Simpulan
1. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva dan spat adalah 28 oC, sedangkan
salinitas optimum untuk pemeliharaan larva dan spat antara 32 ‰−34 ‰.
2. Tingkat konsumsi oksigen dan pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin baik
pada larva maupun spat tertinggi terjadi pada suhu 28 oC; salinitas 32 ‰−34 ‰.
3. Sintasan, laju pertumbuhan larva dan spat tertinggi terjadi pada perlakuan suhu
28 oC dan salinitas 32 ‰−34 ‰.
82
Daftar Pustaka
Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan. Pencernaan dan Penyerapan Makanan. IPB Press. Bogor
Alagarswami K Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A, Victor ACC, Gandhi AD.
1983. Larva Rearing and Production of Spat of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould). Elsivier Science Publisher. B.V. Amsterdam. Aquaculture 32: 87-301.
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery
Technology for Pearl Oyster Production. CMFRI. Bulletin 39 : 37-8. Alfaro AC. 2005. Effect of Water Flow and Oxygen Concentration on Early
Settlement of The Zealand Green-lipped Mussel, Perna canaliculus. Aquaculture 246: 285-294.
Asha PS and Muthiah P. 2005. Effects of Temperature, Salinity and pH on Larval
Growth, Survival and Development of Sea cucumber Holothuria spinifera Theel. Aquaculture 250: 823-829.
Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild
versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169. (BBL) Balai Budidaya Laut. 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima).
Balai Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya Laut 6: 61 hal. ______________________. 2002. Kultur Pakan Hidup. Balai Budidaya Laut
Lampung. Seri Budidaya Laut 7: 106 hal. Bayne BL. 1983. Physiological ecology of marine molluscan larvae. In: Tompa AS,
Verdonk NH, Biggeleer JAMV. The Mollusca. Development. 3(8): 299-336. Bayne BL and Newell RC. 1983. Physiological Energetics of Marine Molluscs. In:
Saleuddin ASM. and Wilbur KM (Editors). The Mollusca IV. Physiology. Part I. Academic Press. New York.
Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment station, Auburn University, Auburn, Alabama. Boyden CR. 1972. The Behavior, Survival and Respiration of the Cocles
Cerastoderma edule and C. Glaucum in Air. J Mar Biol Ass U.K., 52(3): 661-680
Cahn AR. 1949. Pearl Culture in Japan. United States Department of The Interior
Fish and Wildlife Service. Fishery Leaflet 357. Washington DC. 91 p.
83
Chacon O, Viana MT, Farias A, Vazques C, Garcia-Esquivel Z. 2003. Circadian metabolic rate and short-term response of juvenile green abalone (Haliotis fulgens Philippi) ti three anesthetics. J Shellfish Research 22(1): 415-421.
Chen J-C and Chen W-C. 2000. Salinity Tolerance of Haliotis diversicolor
supertexta at Different Salinity and Temperatur. Aquaculture 181: 191-203. CMFRI. 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8.
Regional Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Crisp DJ. 1974. Energy Relation of Marine Invertebrate Larvae. Thallasia Jugosl. 10:
103-120. Crisp DJ. 1984. Energy flow measurements. In: Holme NA, Mcintyre AD (Eds).
Methods for the Study of Marine Benthos. Blackwell Sc. Publ, Oxford, pp. 284-372.
Dame RF. 1996. Ecology of Marine Bivalves. An Ecosystem Approch. CRC Press.
Boca Raton. 254 pp. Dharmaraj S. 1983. Oxygen Consumtion in Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould)
and Pinctada sugilata (Reeve). Proc. Symp. Coastal Aquaculture 2: 627-632. Eriksson S and Tallmark B. 1974. The Influence of Environmental Factors On The
Diurnal Rhythm of The Prosobranch Gastropod Nassarius reticulatus From A Non-Tidal Area. Zoon 2: 135-142.
Garside ET and Chin-Yuen-Kee ZK. 1972. Influence Of Osmotic Stress On Upper
Lethal Temperatures In The Cyprinodontid Fish Fundulus heteroclitus (L.) Can J Zool 50: 787-791.
Gervis MH and Sims NA. 1992. The Biology and Culture of Pearl Oysters (Bivalvia:
Pteriidae). ICLARM. Manila, Philippines. 49 pp. Gilles R and Jeuniaux CH. 1979. Osmoregulation and Ecology in Media of
Fluctuating Salinity. In: Gilles R. Mechanism of Osmoregulation in Animals. Maintenance of Cell Volume. John Wiley & Sons. New York. 13: 581-604.
Goddard S. 1996. Feeding, Temperature and Water Quality. In: Feed Management in
Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. 4: 51-73. Gosling E. 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Book. Great Britain. Jeong W-G and. Cho S-M. 2007. Long-term Effect of Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon on Physiological Metabolism of The Pacific Oyster, Crassostrea gigas. Aquaculture 265: 343-350.
84
Kinne O. 1964. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and Brackish Water Animals: II. Salinity and Temperature-Salinity Combinations. Mar Biol Ann Rev 2: 281-339.
Lee JA, Kim JW, Kim WS. 2007. Effect of tremata closure on the oxegen
consumption rhythm of ezo abalone Haliotis discus hannai. Aquaculture 270: 312-320.
Loosanof V and Davis H. 1963. Rearing of Bivalve Mollusks. US. Beureu of
Commercial Fisheries Biological Laboratory. Mildford, Connecticut. 130p. Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Rangel-Davalos C. 2004. Ingestion and
Digestion of 10 Species of Microalgae by Wing Pearl Oyster Pteria sterna (Gould, 1851) Larvae. Aquaculture 230: 417-423.
Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Southgate PC. 2006. The Nutritional
Value of Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip Pearl Oyster (Pinctada margaritifera, L.) Larvae. Aquaculture 257: 491-503.
Marsden ID. 2004. Effects of Reduced Salinity and Seston Availability on Growth of
The New Zealand Little-neck Clam Austrovenus Stutchburyi. Mar Ecol Prog Ser 266: 157-171.
Morse DE. 1990. Recent Progress in Larva Settlement: Closing The Gap Between
Molecular Biology and Ecology. Bull Mar Sci 46: 465-483. Nayar KN and Mahadevan S. 1987. Ecology of pearl oyster beds. In: Pearl Culture.
Central Marine Fisheries Research Institute, India. CMFRI Bull. 39(5): 29-36. Neter J, Wesseran W, Kutsner MH. 1990. Applied Linear Statistikcal Models.
Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. Third Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p.
O’Connor WA and Lawler NF. 2004. Salinity and Temperature Tolerance of
Embryos and Juveniles of The Pearl Oyster, Pinctada imbricata Roding. Aquaculture 229: 493-506.
Pawlik JR. 1992. Chemical Ecology of The Settlement of Benthic Marine
Invertebrates. Oceanogr Mar Biol Annu Rev 30: 273-335. Pechenik JA. 1980. Growth and energy balance during the larva lives of three
prosobranch gastropods. J Exp Marine Biology and Ecology 44: 1-28. Resgalla CJr, Brasil ES, Laitano KS, Reis Filho RW. 2007. Physioecology of the
mussel Perna perna (Mytilidae) in Southern Brazil. Aquaculture 270: 464-474.
Ropert M and Goulletquer P. 2000. Comparative Physiological energetics of Two
Suspension Feeders: Polychaete Annelid Linice conchilega (Pallas 1766) and
85
Pacific Cupped Oyster Crassostrea gigas (Thunberg 1795). Aquaculture 181 (1-2): 171-189.
Slamet B, Tridjoko, Hersapto. 1998. Pengamatan aspek-aspek biologi beberapa jenis
kerang mutiara (Pinctada sp) diperairan pantai Utara Bali. Hal: 118-22. Smaal AC and Widdows J. 1994. The scope for growth of bivalves as an integrated
response parameter in biological monitoring. In: Kramer KJM (Ed)., Biomonitoring of coastal waters and estuaries. CRC Press, Boca Raton, pp. 247-267.
Somanath B, Palavesam A, Lazarus S, Ayyapan M. 2000. Influence of nutrient
sources on specific dynamic action of pearl spat, Etroplus suratensis (Bloch). Naga 23 (2): 15-17.
Soria G, Merino G, Von Brand E. 2007. Effect of increasing salinity on physiological
response in juvenile scallop Agropecten purpuratus at two rearing temperatures. Aquaculture 270: 451-463.
Summerfelt RC. 2007. Water Quality Considerations for Aquaculture (Unpublish).
Department of Animal Ecology, Iowa State University. Ames. Summerft.doc. Syafiuddin 2005. Peranan Suhu Pada Laju Metabolisme Ikan. Tugas Akhir Mata
Kuliah Fisiologi dan Biokimia Nutrisi Ikan. (tidak dipublikasikan) Prog. Studi Ilmu Perairan. IPB. Bogor.
Taylor AC. 1976. Burrowing Behaviour and Anaerobiosis in The Bivalve Arctica
islandica (L.). J Mar Biol Ass U.K., 56 (1): 95-109. Thomas CW, Crear BJ, Hart PR. 2000. The Effect of Temperature on Survival,
Growth, Feeding and Metabolic Activity of The Southern Rock Lobster, Jasus edwardsii. Aquaculture 185: 73-84.
Tun MT and Winanto T. 1987. Pearl Farming. Package Technology. FAO/UNDP.
INS/81/008/ MANUAL/11. 56p. Vernberg, W.B., 1972. Metabolic-environmental interaction in the marine plankton.
Proceeding European Marine Biology Symposium. 5th, 1970. pp: 189-196. Vernberg WB and Silverthorn SU. 1979. Temperature and Osmoregulation in
Aquatic Species. In. Gilles, R. Mechanism of Osmoregulation in Animals. Maintenance of Cell Volume. John Wiley & Sons. New York. 11:537-554.
Viana MT, D’abramo LR, Gonzales MA, Garcia-Suarez JV, Shimada A, Vasquez-
Pelaez C. 2007. Energy and nutrient utilization of juvenile green abalone (Haliotis fulgens) during starvation. Aquaculture 264: 323-329.
Winanto T, Pontjoprawiro S, Murdjani M. 1992. Budidaya Tiram Mutiara. Petunjuk
Pelatihan Budidaya Tiram Mutiara. BBL dan FAO/UNDP. INS/81/008.
86
Winanto T, Soekendarsi E, Paonganan Y. 2001. Hatchery Production of Spat of Pearl
Oyster Pinctada maxima (Jameson) in Indonesia. Special Publication. J Phuket Marine Biology 25 (1): 189-192.
Winanto T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P. T. Panebar Swadaya,
Jakarta. Seri Agribisnis. 95 hal. Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid.
ITB, Bandung. Yukihira H, Klumpp DW, Lucas JS. 1998a. Effects of Body Size on Suspension
Feeding and Energy Budgets of The Pearl Oyster Pinctada maxima and P. margaritifera. Mar Ecol Prog Ser 170: 119-130.
_______________________________. 1998b. Coparative Effects of Microalgal
Species and Food Concentration on Suspension Feeding and Energy Budgets of The Pearl Oyster Pinctada maxima and P. margaritifera. Mar Ecol Prog Ser 171: 71-84.
_______________________________. 1999. Feeding Adaptations of The Pearl Oyster Pinctada maxima and P. margaritifera to Variations. Mar Ecol Prog Ser 182: 161-173.
Yukihira H, Lucas JS, Klumpp DW. 2000. Comparative effects of temperature on
suspension feeding andenergy budgets of the pearl oyster Pinctada maxima and Pinctada Margaritifera. Marine Ecology Prog Ser 195: 179-173.
_____________________________ . 2006. The pearl oyster, Pinctada maxima and
P. Margaritifera, respon in different ways to culture in similar environments. Aquaculture. 252: 208-224.
87
Pengaruh Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya Terhadap Sintasan Serta Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Abstract
Light intensity affects the physiological functions and structures of bivalve larvae and spat. An experiment was conducted to evaluate the effects of light intensity on distribution, growth and survival rate of pearl oyster Pinctada maxima larvae and spat. Completely randomized design was applied with four levels of light intensity tested i.e. 0 (fully covered), 200, 500, and 800 lux. While is for spat i.e. 0, 500, 1000, 1500 and 2000 lux, with three replications for each. The result of study showed that larvae distribution was significantly affected by light intensity, whereas the optimum light intensity for survival rate and growth of larvae was 0−200 lux and 500 lux for spat.
Keywords: Larvae; spat; Pinctada maxima; light intensity, survival rate; growth.
Pendahuluan
Berkembangnya budidaya mutiara ternyata menjadi pemicu meningkatnya
permintaan spat dan tiram siap operasi. Sedangkan spat yang berasal dari alam
jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim (Winanto 1996; 2004).
Produksi melalui hatchery merupakan pendekatan yang paling memungkinkan dalam
penyediaan spat (Rupp et al. 2005). Kendalanya, produksi spat dari hatchery sangat
terbatas, karena masih banyak permasalahan pada pemeliharaan larva dan spat,
sehingga sintasannya masih rendah. Salah satu faktor lingkungan yang diduga
menjadi penyebabnya adalah intensitas cahaya.
Menurut Yan et al. (2006) intensitas cahaya berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan bivalvia. Intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi
dapat melindungi tubuh larva stadia veliger dari radiasi sinar ultra violet. Larva tiram
mutiara bersifat fototaksis positif dan umumnya selama proses metamorfose
menghendaki intensitas cahaya yang sesuai (CMFRI 1991; Gosling 2004). Pola
pertumbuhan kepah (hard clam) dipengaruhi oleh cahaya dan kondisi gelap (Cenni et
al. 1989). Larva Kerang Manila (Ruditapes philippinarum) yang dipelihara pada
kondisi terkena sinar matahari langsung (15.000–2000 lux), menunjukkan
pertumbuhan dan sintasan yang siknifikan lebih rendah dibandingkan dengan larva
yang dipelihara di dalam kondisi intensitas cahaya 1000–5000 lux dan < 500 lux.
Tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara larva yang dipelihara dengan intensitas
cahaya 1000–5000 dan < 500 (Yan et al. 2006).
88
Kajian yang berkaitan dengan respon larva tiram mutiara Pinctada maxima
terhadap intensitas cahaya belum banyak dilakukan. Informasi tersebut sangatlah
penting, sehingga berbagai pengkajian yang berkaitan dengan intensitas cahaya pada
larva P. maxima khususnya perlu dilakukan.
Tujuan
Mendapatkan informasi tentang intensitas cahaya optimum untuk distribusi
larva, sintasan serta pertumbuhan larva dan spat, sehingga dapat memacu percepatan
pertumbuhannya.
Bahan dan Metode
Kultur Pakan Hidup
Pakan hidup dipersiapkan satu bulan sebelum percobaan dimulai. Jenis pakan
hidup yang digunakan adalah Isochrysis galbana, Pavlova lutheri dan Tetraselmis
tetrathele dengan kepadatan sekitar 8–10 juta sel/ml. Media pupuk untuk kultur
pakan hidup menggunakan formula Walne dan Hirata Alagarswami at al. 1987;
CMFRI 1991) (Lampiran 2).
Rancangan Percobaan
Disain percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pada
percobaan pemeliharaan larva diterapkan perlakuan intensitas cahaya 0 lux (A); 200
lux (B); 500 lux (C), dan 800 lux (D), sedangkan pada pemeliharaan spat 0 lux (A);
500 lux (B); 1.000 lux (C); 1.500 lux (D) dan 2.000 lux (E). Masing-masing
perlakuan diberikan ulangan tiga kali. Model linear dari rancangan yang di gunakan
adalah:
Yij = µ + τi + εij
Keterangan: Yij = Pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = Perlakuan 1, 2, 3, 4 j = Ulangan 1, 2, 3
89
Pemeliharaan Larva
Hewan uji berupa larva Pinctada maxima stadia bentuk-D (D1),
ditempatkan di dalam wadah percobaan ember plastik ukuran 20 liter. Larva
diperoleh dari hasil pemijahan induk P. maxima dengan menggunakan kombinasi
metode kejut suhu dan ekspose (CMFRI 1991; Winanto 2004). Stok larva dipelihara
di dalam bak fiberglass ukuran 1 ton. Suhu air media bervariasi 27–29 oC dan
salinitas air ≥ 32 ‰. Jadwal pemberian pakan dan media air yang digunakan
mengacu pada percobaan sebelumnya.
Intensitas cahaya diatur sesuai dengan perlakuan menggunakan lampu TL 40
watt (6 buah) yang diletakkan di atas wadah percobaan. Pengaturan pencahayaan
dilakukan dengan menggunakan paranet yang ditutupkan pada wadah percobaan.
Pada perlakuan 0 lux, wadah percobaan ditutup rapat dengan plastik berwarna hitam.
Untuk mendapatkan intensitas cahaya 200, 500 dan 800 lux, masing-masing wadah
ditutup dengan tiga, dua dan satu lembar paranet. Intensitas cahaya diukur dengan
menggunakan digital lux meter (Lutron LX-101, USA).
Padat penebaran larva diatur berdasarkan tahap perkembangan stadianya
(BBL 2001). Pengamatan dilakukan dengan mikroskop (40–60 kali), jumlah sampel
10 ml. Jumlah larva dihitung dengan menggunakan sadgewick rafter cell. Jumlah
plankton dihitung dengan haemocytometer. Pengukuran panjang antero-posterior
(AP) dan dorso-ventral (DV) dilakukan dengan mikrometer.
Pemeliharaan Spat
Percobaan menggunakan hewan uji berupa spat P. maxima dengan wadah
pemeliharaan ember plastik ukuran 20 liter. Media air laut yang digunakan dan
jadwal pemberian pakan mengacu pada percobaan sebelumnya (studi pendahuluan).
Sehari sebelum percobaan dimulai, dilakukan proses penempelan spat pada
kolektor (20 x 30 cm), dengan kepadatan 1 ekor/cm2. Prosedur kerja dan teknik
pemeliharaan spat sama seperti percobaan sebelumnya. Pengaturan intensitas cahaya
sama seperti pada percobaan pemeliharaan larva.
90
Parameter yang Diamati
Beberapa parameter yang diamati dalam percobaan ini adalah distribusi
larva, seperti aktivitas berenang dan preferensinya terhadap cahaya, serta sintasan,
pertumbuhan, pikmentasi dan densitas penempelan spat.
Distribusi larva
Pengamatan dilakukan setiap hari secara langsung di media percobaan.
Parameter yang diamati adalah sifat larva terhadap berbagai tingkat intensitas cahaya
(fototaksis positif/negatif), tingkah laku berenang dan tingkah laku sosial
(bergerombol atau soliter).
Distribusi larva diketahui dari jumlah larva yang berada pada tiap bagian
kedalaman air dalam wadah yaitu di bagian permukaan (A), tengah (B) dan bawah
(C) (Gambar 20). Dibandingkan dengan jumlah total larva dan dinyatakan dalam
persen.
Gambar 20. Posisi pengambilan sampel untuk mengetahui distribusi larva pada
berbagai tingkat intensitas cahaya di dalam wadah percobaan.
Sintasan
Dihitung berdasarkan persentase jumlah individu pada akhir pengamatan
dibagi jumlah individu pada awal pengamatan.
Laju Pertumbuhan spesifik
Dihitung berdasarkan persentase selisih rata-rata ukuran individu akhir (Ln)
dan awal pengamatan (Ln), dibandingkan waktu pengamatan (Chengbo and
Shuanglin 2004).
Pikmentasi spat
Pengamatan terhadap pigmentasi dilakukan sebagai data pendukung
percobaan dan pengambilan sampel dilakukan pada akhir percobaan (D35).
91
Pengamatan dibatasi hanya pada warna cangkang spat, dilakukan secara visual
dengan mengidentifikasi warna spat pada setiap perlakuan. Perbedaan warna
yang terjadi pada setiap perlakuan menggambarkan adanya pengaruh intensitas
cahaya. Sampel berjumlah 20 ekor diambil dari setiap perlakuan.
Analisis Data
Data hasil percobaan distribusi larva dianalisis secara diskriptif, sedangkan
data sintasan dan pertumbuhan dianalisis dengan uji F. Jika uji F menunjukkan
adanya pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis
dengan uji rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data sintasan dan
pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 for Windows.
Hasil dan Pembahasan
Distribusi Larva
Hasil pengamatan terhadap distribusi larva, menunjukkan adanya respon yang
berbeda terhadap tingkat intensitas cahaya. Pada perlakuan intensitas cahaya O lux
dan 200 lux, larva umur 1–5 hari cenderung berada di permukaan (87–92 %), antara
7–12 % larva berada di bagian tengah badan air dan tidak ada larva yang berada di
bagian bawah atau dasar bak. Pada intensitas cahaya 500 lux, sebagian besar berada
di permukaan sampai lapisan tengah media, 61–78 % di bagian permukaan, di bagian
tengah 14–35 % dan 2–12 % di bagian bawah, tetapi pada hari ke 3–4 tidak
ditemukan larva di bagian bawah badan air. Sebaliknya terjadi pada intensitas cahaya
800 lux, larva pada hari 1–5 tersebar merata di seluruh bak, jumlah larva yang berada
di permukaan ada sekitar 25–39 %, di bagian tengah 38–49 % dan di bagian bawah
17–25 % (Lampiran 21).
Secara umum, pada stadia umbo awal dan stadia umbo akhir (pediveliger)
larva menunjukkan kecenderungan berada di bagian tengah badan air, hal ini dapat
dilihat dari peningkatan jumlah persentase larva. Pada akhir periode planktonis larva
yakni stadia pediveliger sampai plantigrade, larva cenderung menyebar merata. Larva
pada intensitas cahaya 200 lux dan 0 lux lebih banyak di bagian tengah, 95 % larva
sudah menempel setelah hari ke 18–19, sehingga hanya ditemukan 2,5 % sampel
92
larva yang masih hidup sebagai planktonis di permukaan, selebihnya sekitar 2,5 %
hidup di bagian tengah. Pada intensitas cahaya 500 dan 800 lux, sampai hari ke 20–
25 larva masih belum menempel dan cenderung berada di bagian tengah dan dasar
badan air serta di dasar bak (Gambar 21).
Selama pengamatan, larva menunjukkan tingkah laku berenang yang unik.
Gerakan berenangnya berputar-putar dan hidup bergerombol. Pada hari pertama
sampai ke dua, larva berenang menyebar di seluruh badan air. Setelah hari ke-2, larva
terlihat bergerombol di permukaan dan ketika diamati dengan penerangan lampu
baterai jelas terlihat, larva bergerak bergerombol membentuk lebih dari satu
kelompok. Memasuki hari ke-5 sampai hari ke-7, massa larva mulai bergerak
berputar-putar, kebiasaan tersebut berlangsung hingga hari ke 14–16.
O lux
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21Umur (hari)
Jum
lah
larv
a (%
)
PermukaanTengahBaw ah
200 lux
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1314 1516 171819 2021
Umur (hari)
Jum
lah
Larv
a (%
)PermukaanTengahBaw ah
500 lux
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu (hari)
Jum
lah
larv
a (%
)
PermukaanTengahBawah
800 lux
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu (hari)
Jum
lah
larv
a (%
)
PermukaanTengahBawah
Gambar 21. Distribusi larva Pinctada maxima stadia veliger sampai plantigrade pada
berbagai tingkat intensitas cahaya (0 lux; 200 lux;500 lux; 800 lux).
Pengamatan lebih jauh terhadap tingkah laku larva, khususnya kebiasaan
berenang dan bersosialisasi, diamati larva mempunyai kebiasaan berenang-
bergerombol sambil berputar-putar, gerakannya menyerupai angin puting beliung,
93
dimulai dari massa yang berada di bagian atas. Selanjutnya akan diikuti oleh massa
yang berada di bawahnya. Bentuknya mengerucut semakin mengecil ke bawah, tetapi
tidak sampai menyentuh dasar. Gerakan berputar-putar lebih sering dilakukan searah
jarum jam dan yang menarik jarang ditemukan adanya benturan antara satu
kelompok massa dengan massa yang lain. Jika terjadi benturan antar dua kelompok,
maka sesaat keduanya akan bersatu membentuk massa yang lebih besar sambil tetap
berputar-putar, selanjutnya akan terpecah lagi menjadi dua kelompok atau lebih.
Kelompok massa ini perlahan akan menyebar dan menjauhi permukaan air manakala
diberi perlakuan lampu dengan intensitas cahaya 800 lux, sedangkan pada intensitas
cahaya 500 lux masih ada sekelompok massa kecil-kecil yang menyebar di bagian
tengah badan air. Pernyataan yang mendukung hasil kajian ini disampaikan Gosling
(2004), bahwa selama stadia larva-bivalvia bersifat planktonis dan benar-benar
bersifat fototrofik serta sensitif terhadap cahaya. Namun cenderung bersifat shading-
behavior atau menghindar dari cahaya langsung (Brusca 1990).
Menurut Gosling (2004) penyebaran larva bivalvia pada awal fase embrionik
tidak terlalu aktif atau pasif, tetapi saat mulai makan pertama kali (stadia veliger)
akan menyebar vertikal dan aktif berenang. Penyebarannya dibantu oleh arus air.
Dicatat, kecepatan gerak vertikal larva bivalvia antara 0,15–10 mm/detik, hal ini
mengindikasikan bahwa larva mampu mengendalikan distribusinya secara vertikal.
Berdasarkan hasil kajian diketahui, bahwa selama menjalani periode
planktonis (20 hari), larva P. maxima menghendaki kondisi lingkungan pemeliharaan
dengan intensitas cahaya rendah atau kurang dari 200 lux. Hasil kajian ini dapat juga
digunakan untuk menjawab, mengapa sebagian besar hatchery tiram mutiara yang
ada di Indonesia menggunakan disain bangunan tertutup atau ruangan gelap,
utamanya untuk pemeliharaan larva. Dipertegas lagi oleh pernyataan Alagarswami et
al. (1987) dan CMFRI (1991), larva tiram mutiara P. fucata mempunyai preferensi
konsisi lingkungan dengan pencayaan rendah atau gelap. Untuk memanipulasi
lingkungan digunakan wadah pemeliharaan yang berwarna gelap. Hasilnya, larva
menunjukkan pertumbuhan yang siknifikan lebih tinggi dan waktu penempelan lebih
cepat. Penempelan spat pada bak berwarna gelap (hitam) lebih tinggi atau mencapai
73,7 %, jika dibandingkan pada bak berwarna biru (23,2 %) dan putih (27,3 %).
94
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Larva
Hasil percobaan menunjukkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh nyata (P
≤ 0,05) terhadap sintasan dan laju pertumbuhan larva P. maxima. Sintasan tertinggi
pada stadia I terjadi pada perlakuan intensitas cahaya 200 lux (96,47 %), kemudian
diikuti perlakuan 0 lux (96,37 %), 500 lux (72,26 %) dan terendah pada perlakuan
800 lux (55,33 %). Hasil yang sama juga terjadi pada stadia II dan III (Tabel 11).
Hasil analisis varian terhadap sintasan menunjukkan adanya beda nyata (P ≤ 0,05)
antar perlakuan. Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan, bahwa perlakuan 0 lux
tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dengan perlakuan 200 lux, tetapi perlakuan
0 dan 200 lux berbeda nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dengan perlakuan 500 dan 800 lux
(Lampiran 22).
Tabel 11. Sintasan (%) larva Pinctada maxima (rata-rata + SD) pada berbagai tingkat intensitas cahaya.
Stadia/Umur Intensitas Cahaya (lux)
0 200 500 800
Stadia I (D1–6) 96,37+0,12a 96,47+0,25a 72,26+0,25b 55,33+0,23c
Stadia II (D7–14) 95,23+0,26a 95,87+0,12a 70,43+0,05b 53,13+0,05c
Stadia III (D15–20) 90,23+0,40a 90,56+0,44a 69,40+0,66b 48,17+0,09c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan larva P. maxima menunjukkan
bahwa pada Stadia I, laju pertumbuhan tercepat terjadi pada perlakuan 200 lux (28,76
x 14,63 μm) dan paling lambat pada perlakuan 800 lux (20,47 x 6,57 μm).
Selanjutnya pada stadia II dan III juga menunjukkan hasil yang sama (Gambar 22)
(Lampiran 23a). Hasil analisis varian terhadap laju pertumbuhan larva menunjukkan
adanya beda nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan. Hasil uji nilai tengah Tukey
menunjukkan, bahwa perlakuan 200 lux tidak berbeda nyata lebih besar (P ≥ 0,05)
dengan perlakuan 0 lux, sedangkan perlakuan 0 dan 200 lux berbeda nyata lebih
besar (P ≤ 0,05) dengan perlakuan 500 dan 800 lux (Lampiran 23bc).
95
01
234
567
89
0 200 500 800
Intensitas cahaya (lux)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
) I II III
Gambar 22. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva Pinctada maxima (rata-rata ± SD)
pada berbagai tingkat intensitas cahaya. Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf 5 %
Dalam percobaan ini, sintasan dan laju pertumbuhan larva P. maxima
dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Pendapat yang sama dikemukakan Lucas et al.
(1988), bahwa intensitas cahaya berpengaruh terhadap perkembangan dan laju
pertumbuhan bivalvia moluska. Intensitas cahaya yang tinggi (≥ 10.000 lux) cukup
kritis bagi pertumbuhan normal dan sintasan kima Tridacna gigas. Penelitian lain
menyatakan bahwa pola pertumbuhan jevenil kepah (hard clam) dipengaruhi oleh
cahaya dan kondisi gelap (Cenni et al. 1989).
Intensitas cahaya yang optimum untuk sintasan dan laja pertumbuhan larva P.
maxima antara 0–200 lux. Hal ini menunjukkan bahwa larva lebih cenderung
menyukai kondisi lingkungan dengan pencahayaan rendah. Menurut Brusca (1990)
stadia planktonis larva bersifat foto-positif dan cenderung menghindari cahaya
langsung (shading behavior). Berkaitan dengan sifatnya tersebut, di alam banyak
ditemukan spat menempel di bagian bawah pelampung pada keramba apung (KJA)
atau menempel di bagian bawah benda-benda keras yang menancap di dasar laut dan
di kedalaman air, sehingga tidak terkena cahaya matahari langsung (Winanto et al.
1992).
Hasil penelitian Yan et al. (2006) pada larva Kerang Manila yang diberi
perlakuan terkena matahari langsung (tidak ditutupi) menunjukkan laju pertumbuhan
yang siknifikan lebih lambat jika dibanding kelompok kerang yang diberi perlakuan
ditutup sebagian (1000–5000 lux) atau ditutup rapat (< 500 lux). Fenomena yang
a a
b
c
96
sama juga teramati dalam penelitian ini, mengingat habitat alami tiram mutiara yang
hidup di dasar laut hinggá kedalaman 10–75 m, sehingga larva secara alami akan
melakukan adaptasi pada kondisi lingkungan dengan intensitas cahaya rendah.
Dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa laju pertumbuhan larva pada
intensitas cahaya 0, 200 lux nyata lebih tinggi dibanding pada intensitas cahaya 500
dan 800 lux. Diduga, hal ini berkaitan dengan efektivitas metabolisme, pada kondisi
gelap sampai remang-remang (0–200 lux), larva dapat melakukan proses pencernaan
makanan lebih efisien dibanding pada kondisi lingkungan yang terang. Observasi
yang dilakukan Zhuang (2006) terhadap ritme makan Kepah (Meretrix meretrix)
selama siklus diurnal, dengan pencahayaan 9,8 Watt/m2 (diletakkan di atas
permukaan air pada bak pemeliharaan) sebagai periode penyinaran. Hasil observasi
menunjukkan bahwa, terdapat tiga fase pencernaan makanan, yaitu: fase pencernaan
tertinggi terjadi pada pukul 00:00–08:00. Fase pencernaan terendah terjadi dari pukul
12:00–20:00, dan fase peralihan terjadi antara pukul 20:00–00:00. Laju pencernaan
meningkat tajam dari fase makan terendah ke fase makan tertinggi.
Menurut Yamamuro et al. (2000); Wong and Chueng (2001); Wu et al.
(2002) bivalvia yang tinggal pada habitat dan lingkungan sama, akan mempunyai
ritme makan yang sama pula. Berdasarkan pada fase ritme makan, jelaslah bahwa
ritme makan pada semua ukuran Kepah (Meretrix meretrix), sebenarnya merupakan
atribut dari siklus terang-gelap yang mempengaruhi pergerakan dan kemampuan
mendapatkan makanan.
Menurut Gosling (2004) sinar dapat menjadi modulator pertumbuhan pada
kerang Mytilus edulis. Jika kerang ditempatkan di dalam tempat pemeliharaan yang
gelap terus menerus, atau mengurangi tingkat intensitas cahaya, atau dengan periode
penyinaran kurang dari 7 jam, maka secara siknifikan akan meningkatkan
pertumbuhan. Hal ini mungkin berkaitan dengan meningkatknya aktivitas makan.
Pigmentasi spat
Pada akhir percobaan diamati adanya pengaruh intensitas cahaya terhadap
pigmentasi atau perbedaan warna cangkang spat. Secara diskriptif dapat digambarkan
bahwa pada perlakuan intensitas cahaya 0 lux (A) dan 500 lux (B) sebagian besar
cangkang spat berwarna gelap atau lebih gelap dibanding perlakuan intensitas
cahaya 1000 (C), 1.500 (D) dan 2.000 lux (E). Pada perlakuan A dan B, cangkang
97
umumnya berwarna gelap, seperti kecoklatan, coklat kekuningan dan sebagian kecil
berwarna ungu tua (anggur tua), kehijauan sampai hijau tua. Sedangkan warna
cangkang pada perlakuan C, D dan E kelihatan lebih terang atau sebagian besar
berwarna kekuningan, kuning keputihan, krem (putih kecoklatan) dan ada yang di
bagian sekitar umbonya berwarna agak kemerahan (Gambar 23).
Sampai saat ini belum banyak dilakukan kajian mengenai fisiologi dan
regulasi organ-organ pembawa pigmen atau organ pencahayaan pada moluska.
Observasi pada warna dan karakteristik spektrum cahaya yang berpengaruh terhadap
warna moluska juga masih terbatas (Nicol 1964). Warna struktural atau
schemochromic pada moluska, biasa digunakan untuk membedakan adanya
pigmentasi (biokrom), yaitu dengan memunculkan pikmen berwarna-warni. Warna
yang timbul dapat berubah-ubah, sesuai dengan panjang gelombang yang diterima
antara cahaya yang masuk dan dipantulkan secara bergantian oleh lapisan sangat tipis
kalsium karbonat, dengan substansi pembanding indek-refraksi (biasanya air), dalam
strata penyusutan yang sama.
Gambar 23. Warna spat tiram mutiara P. maxima, (A) Intensitas cahaya 0 dan 500
lux (B) Intensitas cahaya 1.000, 1.500 dan 2.000 lux.
Sebagai contoh adalah corak warna yang ditimbulkan dan terjadi karena
adanya campur tangan manusia, diekspresikan sangat sempurna dalam wujut mutiara
dan di lapisan bagian dalam cangkang (nacre) abalone atau tiram mutiara. Pigmetasi
warna juga nampak jelas pada cangkang jenis tersebut, seperti warna coklat, merah,
pink, ungu, kuning, orange, hijau dan warna lain dari material yang mengandung zat
kapur (calcareous) atau dari protein cochiolin matrik cangkang (Fox 1966). Spat P.
maxima warnanya kuning pucat atau kuning kecoklatan, dan warna pada garis-garis
radiernya bervariasi seperti coklat kemerahan, merah anggur atau hijau. Setelah
A B
98
dewasa warna-warna pada garis radier tersebut biasanya memudar (BBL 2001;
Winanto 2004). Hal ini diduga, pada waktu spat dipelihara di dalam lab hanya
mendapat pencahayaan sedikit atau dengan intensitas cahaya rendah, sehingga
timbulah pigmentasi dan setelah dewasa dipelihara di alam dengan mendapat
intensitas cahaya tinggi, maka pikmen warna yang berperan hanya zat kapur yang
berada pada permukaan cangkang sehingga warna tiram dewasa menjadi kuning tua
atau kuning kecoklatan.
Pada beberapa sample bivalvia juga ditemukan adanya karotinoid, hasil
observasi menunjukkan bahwa kandungan karotin pada moluska berubah-ubah sesuai
dengan musim (Fox 1966). Warna orange cerah pada kerang Mytilus californianus
ditemukan oleh Scheer (1940), namun tidak ditemukan adanya karotin tetapi berupa
Xantophil yang jarang ditemukan. Mytilus californianus adalah konsumen penyaring,
khususnya detritus laut berukuran sangat kecil dan plankton kecil, kemudian sambil
memilah melakukan asimilasi dan menghasilkan xantofil, jadi bukan karotin. Lebih
dari itu, seperti pada sedikit moluska laut lainnya, proses itu kelihatannya sudah
terjadi, yaitu biasa untuk memodifikasi makanan tertentu yang mengandung
karotinoid ke dalam derivat yang tidak biasa terjadi, misalnya mytiloxantin.
Menurut Fox (1966); Wilbur and Saleuddin (1983) pigmen warna gelap pada
cangkang spat disebabkan oleh melanin. Ketika deposit katabolik tidak dapat larut,
mungkin melanin tidak aktif menjalankan aktivitas fungsi biokimia di dalam
pengaturan metabolisme, tetapi mungkin secara biofisika masih efektif dalam
menentukan corak yang spesifik. Peristiwa ini berlangsung ketika terjadi pertukaran
panas dan infiltrasi cahaya matahari masuk, sehingga melukai atau merusak jaringan
dasar. Harus diingat, tidak semua pikmen warna gelap dari invertebrata disebabkan
melanine.
Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa spat memberikan respon yang
berbeda-beda terhadap perlakuan intensitas cahaya. Pada intensitas 500 lux (B) spat
menunjukkan sintasan paling tinggi (96,12 %), bahkan lebih tinggi jika dibandingkan
pada intensitas cahaya 0 lux (A: 84,26%), selanjutnya diikuti perlakuan C (78,50 %),
99
D (60,02 %) dan sintasan terendah pada perlakuan D (48,70 %) (Gambar 24)
(Lampiran 24a).
0
20
40
60
80
100
120
0 500 1000 1500 2000
Intensitas cahaya (lux)
Sint
asan
(%)
ab c
d
e
Gambar 24. Sintasan (%) spat (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat intensitas
cahaya. Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik spat terbaik
terdapat pada perlakuan 500 lux (543,74 x 541,27 µm) dan pertumbuhan paling
lambat pada perlakuan 2.000 lux (224,54 x 223,04 µm) (Gambar 25) (Lampiran 24a).
Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan dan laju
pertumbuhan menunjukkan adanya pengaruh nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan
(Lampiran 24b).
0
5
10
15
20
25
30
35
0 500 1000 1500 2000
Intensitas cahaya (lux)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
)
Antero-posterior (AP)Dorso-ventral (DV)a
bc
d
e
Gambar 25. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat
intensitas cahaya. Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
100
Berdasarkan hasil analisis korelasi antara sintasan dan pertumbuhan
dengan intensits cahaya, dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi intensitas
cahaya, maka sintasan spat makin rendah. Semakin tinggi intensitas cahaya makin
lambat pertumbuhan spat atau semakin bertambah ukuran spat (dewasa) makin
menurun toleransinya terhadap intensitas cahaya.
Diduga, kondisi ini berkaitan dengan sifat spat yang lebih menyukai kondisi
lingkungan remang-remang (shading behavior). Laju metabolisme spat akan
meningkat pada kondisi lingkungan dengan intensitas cahaya rendah, pada keadaan
demikian laju filtrasi spat juga akan meningkat, sehingga dapat diperoleh pakan
dalam jumlah maksimum, serta mendapatkan cukup energi untuk tumbuh dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Menurut Yang et al. (2000); Wu et al. (2002) mengukur intensitas cahaya
lebih efektif pengaruhnya dibanding mengukur lama waktu panjang siang hari (ada
cahaya), karena intensitas cahaya sepanjang pagi sampai sore hari berfluktuasi,
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan atau cuaca. Dengan mengukur intensitas
cahaya, maka dapat diketahui kebutuhan pencahayaan spat P. maxima, sehingga
dapat dilakukan pemeliharaan di lab dengan memanipulasi pencahayaan. Pada
bivalvia seperti M. meretrix, ritme biologis makan erat kaitannyanya dengan cahaya,
suhu, ketersediaan pakan dan gerakan pasang surut air. Zhuang (2006) mengamati
aktifitas makan M. meretrix dipengaruhi oleh panjang siang atau adanya cahaya.
Diperkirakan pengaruh respon laju mencerna (Ingestion Rate) dan efisiensi asimilasi
(Assimilation Efficiency) meningkat sepanjang siang hari. Hal sama ditunjukkan juga
oleh kepah (clam), bahwa menurunnya laju mencerna (IR) disebabkan oleh
meningkatnya efisiensi asimilasi, peristiwa ini dipengaruhi oleh perubahan lama
pencahayaan. Merangkum pendapat Yang et al. (2000); Wu et al. (2002), laju
mencerna makanan berkaitan dengan metabolisme dan efektifitas metabolisme
berkaitan erat dengan energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan, lebih luas lagi pada
aktivitas biologis seperti mencari tempat untuk menempel atau tempat
tinggal/menetap yang nyaman. Sejalan dengan pemikiran para ahli tersebut, hasil
kajian ini juga menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) intensitas cahaya
terhadap sintasan, pertumbuhan, dan jumlah penempelan spat. Hasil kajian ini
didukung juga oleh Gosling (2004) yang menyampaikan bahwa cahaya merupakan
modulator pertumbuhan kerang. Jika menempatkan kerang (mussel) secara terus-
101
menerus di tempat gelap, mengurangi pencahayaan atau pada fotopiriod 7 jam atau
kurang, semua kondisi tersebut berpengaruh siknifikan meningkatkan pertumbuhan,
biasanya ditunjukkan melalui peningkatan aktivitas makan.
Simpulan
1. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap distribusi larva Pinctada maxima.
2. Intensitas cahaya optimum untuk sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima
adalah 0−200 lux, sedangkan untuk spat 0−500 lux.
Daftar Pustaka
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery Tecnology for Pearl Oyster Production. In: Pearl Culture. CMFRI. Cochin, India. Bulletin 39(9): 62-71.
BBL (Balai Budidaya Laut). 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima).
Balai Budidaya Laut Lampung. Seri Budidaya Laut 6: 61 hal. ______________________. 2004. Pembenihan ikan kerapu. Balai Budidaya Laut
Lampung. Seri Budidaya Laut 13. 106 hal. Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Phylum Mollusca. Sounderland, Massachusetts. 20:
363-387. Cenni S, Cerrato RM, Siddall SE. 1989. Periodicity of growth lines in larval and post
larval shell of Marcenaria marcenaria. J Shellfish Res 8: 444-445. Chengbo Z and Shuanglin D. 2004. Effect of Na/K Ratio in Seawater on Growth and
Energy Budget of Juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234: 485-496. CMFRI 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8.
Regional Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Fox DL. 1966. Pigmentation of Molluscs. In: Wilbur KM and Yonge CM.
Physiology of Mollusca. Vol. II. Academic Press. New York. 8: 249-274. Gosling E. 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Book. Great Britain.
102
Jeffry SW, Gerland CD and Brown MR. 1990. Microalgae in Australian Mariculture. In: Biology of Marine Plants. Longman-Chesher. 18: 400-414.
Lucas SJ., Braly RD, Crawford CM, Nash WJ. 1988. Selecting optimum conditions
for ocean-nursery culture of Tridacna gigas. Gian clams in Asia and the Pacific. In: Copland JW, Lucas JS (Eds). Australian Center for International Agricultural Research Monograph Series, vol. 98. Australian Center for International Agricultural Research, Canberra, Australia, pp.129-132.
Neter J, Wesseran W, Kutsner MH. 1990. Applied Linear Statistikcal Models.
Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. Third Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p.
Nicol JAC. 1964. Special Effectors: Luminous Organs, Chromatophores, Pigments,
and Poison Glands. In: Wilbur KM and Yonge CM. Physiology of Mollusca. Academic Press. New York. 12(III – IV):360-371.
Rupp GS, Parsons GJ, Thompson RJ, de Bem MM. 2005. Influence of
Environmental Faktors, Season and Size at Development on Growth and Retrieval of Postlarval Lion’s Paw Scallop Nodipecten nodosus (Linnaeus, 1758) From A Subtropical Environment. Aquaculture 243: 195-216.
Scheer BT. 1940. Some Features of The Metabolism of The Carotenoid Pigments of
The California Sea Mussel (Mytilus californianus). J Biol Chem 136: 275-299.
Segal E. 1970. Light, Animal, Invertebrates. MarineEcology, A Comprehensive,
Integrated Treatise on Life in The Oceans and Coastal Waters. Environmental Factors. Wiley-Interscience. London. Vol. I (1): 159-212.
Wilbur KM and Saleuddin ASM. 1983. Shell Formation. In: Saleuddin ASM and
Wilbur KM. The Mollusca. Physiology 1, Vol. 4. Academic Press. New York. Pp. 235-287.
Winanto T, Pontjoprawiro S, Murdjani M. 1992. Budidaya Tiram Mutiara. Pelatihan
Ahli Budidaya Tiram Mutiara. BBL dan FAO/UNDP. INS/81/008. Winanto T, Soekendarsi E, Paonganan Y. 2001. Hatchery Production of Spat of Pearl
Oyster Pinctada maxima (Jameson) in Indonesia. J Phuket Marine Biology Special Publication 25 (1): 189-192.
Winanto T. 1996. Status of Pearl Oyster Culture in Indonesia. J Australian
Gemmology 19 (6): 345-349. _________. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P.T. Panebar Swadaya,
Jakarta. Seri Agribisnis. 95 hal.
103
Wong WH and Cheung SG. 2001. Feeding Rhythm of The Green Lipped Mussel, Perna viridis (Linnaeus,1785)(Bivalvia: Mytillidae), during spring and neap tidal cycles. J Exp Marine Biol Ecol 257: 13-36.
Wu GH, Chen PJ, Hang RS, Yang SY, Shen JL. 2002. Influence of Salinity and Day
and Night Rhythm on Feeding Rate (FR) of Ruditapes philippinarum. Jour Oceanography 21: 72-77.
Yang XX, Lin XT, Ji XL. 2000. The Effect of Light Intensity, Temperature, Salinity
on Filtration Rate of Perna viridis. Chin. J Mar Sci 24: 36-38. Yamamuro M, Hiratsuka J, Ishitobi Y. 2000. Seasonal Change in a Filter-Feeding
Bivalve, Musculista senhousia, population of a Eutrophic Estuarine Lagoon. J Marine Syst 26:117-126.
Yan X, Zhang G, Yang F. 2006. Effects of diet, stoking density, and environmental
factors on growth, survival, and metamorphosis of Manila clam Ruditapes philippinarum larvae. Aquaculture 253: 350-358.
Zhuang S. 2006. The influence of salinity, diurnal rhythm, and day length on feeding
behavior in Meretrix meretrix Linnaeus. Aquaculture 252: 384-590.
APLIKASI PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT PADA MEDIA OPTIMUM
Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan sintasan dan pertumbuhan yang tinggi guna produksi masal
spat, dengan menerapan lingkungan pemeliharaan yang optimum (suhu, salinitas, oksigen
terlarut atau DO dan intensitas cahaya).
Pada penelitian tahap II dilakukan pengkajian pemeliharaan larva dan spat dalam kondisi
lingkungan optimum.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai Agustus 2007. Aktivitas penelitian
yang meliputi pemijahan, kultur pakan hidup, pemeliharaan larva dan spat dilakukan di
dalam hatchery skala rumah tangga (HSRT), di P. Kabra Kecil, Kecamatan Samate,
Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Irian Jaya Barat (Lampiran 1b).
105
Pengaruh Kondisi Lingkungan Pemeliharaan Berbeda Terhadap Sintasan Serta Laju Pertumbuhan Larva dan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Abstract
Rearing of larvae and spat required optimal and controlled environment conditions. The objective of this study is to know the optimum environment conditions for rearing of pearl oyster P. maxima larvae and spat, through to applied the optimum of temperature, salinity, dissolve oxygen and light intensity. The results show that the survival rate (62.20 %) and relative growth (725.34 x 583.50 µm) at optimum environment conditions was significantly higher (P ≤ 0.05) than control (36.55 %; 570.82 x 435.72 µm). Survival rate and growth of larvae to spat was followed from larvae D6: 77.41 % and 20.72 x 11.36 µm; D14: 59.26 %, 47.92 x 35.33 µm; D20: 39.76 %, 67.22 x 56.34 µm; spat D25: 21.07 %, 73.50 x 65.43 µm.
Keywords: Larvae; spat; Pinctada maxima; natural, optimum; survival rate, growth.
Pendahuluan
Berkembangnya budidaya mutiara ternyata juga menjadi pemicu meningkatnya
permintaan spat dan tiram siap operasi. Sedangkan spat dan calon induk yang berasal dari
alam jumlahnya terbatas, sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim. Penyediaan spat
secara terkendali melalui hatchery merupakan alternatif yang tepat untuk menanggulangi
terbatasnya spat alam. Hatchery mampu menyediakan spat secara massal, tepat waktu
dan jumlah yang cukup, disamping ukurannya seragam serta berkualitas tinggi. Menurut
Jeffrey et al. (1990) tujuan utama dari kegiatan pembenihan adalah memproduksi jutaan
juvenil (spat) dengan cara memelihara larva pada tingkat kepadatan yang lebih tinggi dari
kondisi di alam. Produksi melalui hatchery merupakan pendekatan yang paling
menguntungkan dalam penyediaan spat (Rupp et al. 2005).
Ketersediaan spat merupakan kendala utama dalam pengembangan budidaya
tiram mutiara. Suplai spat merupakan bagian yang krusial dari industri ini, jika semata-
mata hanya menggantungkan pengumpulan spat dari alam (Le Blanc et al. 2005).
Dalam pemeliharaan larva sampai spat diperlukan kondisi lingkungan yang
optimum dan terkendali, karena pada stadia tersebut kondisinya masih sangat rentan.
Perubahan lingkungan yang terjadi dalam pemeliharaan dapat mengakibatkan kematian,
sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam berkaitan dengan pemeliharaan larva
106
dan spat, baik yang dilakukan di laboratorium maupun di lapangan (laut). Menurut
Gricourth, et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun
kuantitas diperlukan kondisi pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan,
perkembangan dan proses-proses yang mengatur organisme harus dalam kondisi
terkontrol.
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah mendapatkan informasi tentang kondisi
lingkungan optimum untuk pemeliharaan larva dan spat tiram mutiara P. maxima,
melalui penerapan pengaturan suhu, salinitas, DO dan intensitas cahaya yang optimum,
agar dapat diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi.
Bahan dan Metode
Kultur Pakan Hidup
Pakan hidup dipersiapkan sebulan sebelum percobaan dimulai. Jenis pakan yang
digunakan adalah fitoplankton Isochrysis galbana, Pavlova lutheri, Tetraselmis tetrathele
dengan kepadatan sekitar 8–10 juta sel/ml. Media pupuk untuk kultur pakan hidup adalah
formula Walne dan Hirata (Lampiran 2).
Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan tiga kali
ulangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada perkembangan stadia larva sampai
menjadi spat. Perlakuan yang diaplikasikan adalah lingkungan pemeliharaan optimum,
seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), intensitas cahaya dan jenis serta dosis pakan
terbaik (A), dibandingkan kontrol atau kondisi lingkungan pemeliharaan sebenarnya (B)
di dalam hatchery.
Prosedur Percobaan
Hewan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah larva tiram mutiara P.
maxima stadia bentuk-D atau umur 1 hari. Larva diperoleh dari hasil pemijahan induk P.
107
maxima dengan menggunakan kombinasi metode ekspose dan kejut suhu ( CMFRI 1991;
Winanto 2004). Wadah percobaan menggunakan bak fiberglass ukuran 2 ton. Media air
laut yang digunakan telah melalui proses penyaringan bertingkat seperti sand filter,
catrage (15, 10 dan 5 mikron), cotton filter dan ultra violet.
Aplikasi perlakuan lingkungan optimum mengacu pada percobaan sebelumnya,
yaitu meliputi jadwal pemberian pakan, kepadatan individu, pengelolaan air, parameter
lingkungan (suhu 28 oC, salinitas 32−34 ‰, DO 5−6, intensitas cahaya untuk larva ≤ 200
lux dan spat 500 lux). Sedangkan perlakuan kondisi lingkungan alamiah diaplikasikan di
dalam hatchery dengan kondisi sebenarnya. Setelah larva berusia 16–18 hari, di dalam
bak dipasang kolektor-kolektor dengan posisi vertical. Kolektor berukuran 40 x 60 cm,
terbuat dari bahan paranet.
Untuk mengetahui sintasan dan laju pertumbuhan, dilakukan pengambilan sampel
sebanyak 10 ml, selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan
perbesaran 40–60 kali. Jumlah larva dihitung dengan menggunakan sadgewick rafter cell.
Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan tinggi dorso-ventral (DV) (Taylor et al.
1997) dilakukan dengan mikrometer okuler.
Parameter Yang Diamati
Sintasan, dihitung berdasarkan persentase jumlah spat pada akhir pengamatan dibagi
jumlah spat pada awal pengamatan.
Laju pertumbuhan spesifik, dihitung berdaarkan persentase selisih rata-rata antara
ukuran individu akhir pengamatan (Ln) dan ukuran individu awal pengamatan (Ln)
dibandingkan waktu pengamatan (Chengbo and Shuanglin 2004).
Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika terdapat data yang
penyebarannya tidak normal, maka terlebih dahulu akan dilakukan transformasi dengan
logaritma natural (Ln). Apabila uji F menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05)
pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji rerata Tukey (Neter et al.
1990). Pengolahan data sintasan dan laju pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 15 for Windows.
108
Hasil dan Pembahasan
Sintasan dan Pertumbuhan
Hasil pengamatan terhadap larva sampai spat yang dipelihara pada kondisi
lingkungan optimum (A), menunjukkan sintasan yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kontrol (B). Rata-rata sintasan larva stadia umbo (D6) 89,45 % (A) sedangkan
pada kontrol (B) rata-rata 65,38 %. Sintasan larva D14 adalah 70,21 % dan pada kontrol
48,32 %. Sintasan larva D20 pada kondisi optimum 57,06 % sedangkan pada kontrol
22,46 %. Sintasan Spat D25 adalah 32,09 % dan pada kontrol 10,05 % (Gambar 26;
Lampiran 25a).
0102030405060708090
100
I II III SpatStadia
Sint
asan
(%)
OptimumKontrol
Gambar 26. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I sampai spat (D25)
Selama masa pemeliharaan larva sampai spat terjadi penurunan sintasan pada
setiap tahap stadia, pada kondisi lingkungan optimum terjadi penurunan sintasan sebesar
35,87 %. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan kondisi alamiah yang mengalami
penurunan sintasan sekitar 15,37 %.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, laja pertumbuhan spesifik larva dan spat
pada kondisi lingkungan optimum(A) nyata lebih tinggi (P ≤ 0,05) dari pada perlakuan
kontrol (B). Laju pertumbuhan dari stadia larva sampai spat menunjukkan pola
109
pertumbuhan sigmoid, dengan puncak pertumbuhan terjadi pada stadia umbo awal
sampai umbo akhir (Gambar 27; Lampiran 25a).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
I II III SpatStadia
Laju
Per
tum
buha
n (%
)
Optimum
Kontrol
Gambar 27. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) dari stadia I
sampai spat (D25).
Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antara
perlakuan lingkungan optimum (A) dibanding kontrol (B) dan antar kelompok stadia.
Hasil uji nilai tengah Tukey juga menunjukkan bahwa lingkungan optimum (A) berbeda
nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dengan kontrol (B) dan antar kelompok stadia (P ≤ 0,05)
(Tabel 12; Lampiran 25b).
Tabel 12. Uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan dan pertumbuhan panjang relatif larva
dan spat tiram mutiara P. maxima. Perbedaan Nilai Tengah
Perlakuan Sintasan (%) Pertumbuhan Relatif (μm) AP DV (A) Lingkungan Optimum (B) Kontrol
62,20a 36,55b
725,34a 570,82b
583,50a 435,72b
Stadia I Stadia II Stadia III Spat D25
77,41a 59,26b 39,76c 21,07d
20,72a 47,92b 67,22c 73,50d
11,36a 35,33b 56,34c 65,43d
Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan pada taraf 5 %
110
Sintasan larva dan spat pada lingkungan optimum lebih rendah jika
dibandingkan kajian sebelumnya yang dilakukan secara partial. Diduga, pada pengkajian
partial hanya terfokus pada variabel yang diteliti saja, sedangkan variabel diluar
perlakuan dikondisikan homogen. Dalam percobaan partial selalu dimulai dengan
mengunakan hewan uji baru, seragam (digrading) dan diseleksi dari stok yang telah
disiapkan untuk penelitian. Sintasan pada kajian partial dihitung dari setiap tahap
percobaan. Sebaliknya pada kajian lingkungan optimum, tidak dilakukan penggantian
ataupun penambahan hewan uji baru selama masa percobaan.
Perkembangan larva dan pertumbuhan spat P. maxima yang diamati dalam
kajian ini, secara umum tidak jauh berbeda dengan laju pertumbuhan P. margaritifera
(Alagarswami et al. 1989) dan P. fucata (Alagarswami et al. 1987; CMFRI 1991), tetapi
secara spesifik masing masing mempunyai kisaran lingkungan optimum yang berbeda.
Penelitian tentang P. margaritifera, P. fucata dan P. martensii sebagian besar dilakukan
di daerah beriklim sedang atau empat musim. Kajian pemeliharaan larva P. maxima yang
dilakukan di Australia oleh Minaur (1969) hanya sampai pada stadia pediveliger (D20).
Laporan tentang keberhasilan pembenihan buatan P. maxima di Jepang juga telah
disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981), namun tidak menyampaikan informasi lengkap
mengenai perkembangan larva, misalnya perkembangan stadia umbo dari D11–D18 dan
juga tidak menyertakan data yang lengkap berkaitan dengan kondisi lingkungan selama
pemeliharaan. Taylor et al. (1997; 1998) lebih banyak mengkaji pertumbuhan spat P.
maxima di laut.
Setiap spesies hewan air mempunyai kisaran lingkungan optimum yang
berbeda, misalnya suhu, terdapat kisaran batas atas dan batas bawah serta kisaran
optimum untuk pertumbuhan yang mana akan berubah seiring dengan perkembangannya.
Suhu merupakan faktor lingkungan kritis yang berpengaruh kuat terhadap nafsu makan
dan pertumbuhan. Suhu untuk pertumbuhan optimum biasa disebut SET (standard
environmental temperature). Laju metabolisme hewan-hewan ectothermal (suhu
tubuhnya sama dengan suhu perairan) meningkat dua kali lipat pada setiap terjadi
peningkatan suhu 10 oC, keterkaitan itu disebut factor Q10 (Summerfelt 2007).
111
Makna khusus bagi akuakultur, setiap spesies yang dibudidayakan mempunyai
kisaran suhu optimum. Kisaran suhu optimum didefinisikan sebagai cakupan/rangkuman
di mana organisme yang dipelihara tetap diberi makan dan tidak ada tanda-tanda behavior
abnormal dihubungkan dengan stres akibat suhu atau termal stress (Elliot 1981). Dalam
kisaran optimum ini dapat juga didefinisikan sebagai pertumbuhan optimum yang sempit.
Di luar kisaran optimal organisme akan mengalami stres akibat panas dan dapat mati jika
suhu berada di atas atau di bawah batas suhu letal (Goddard 1996).
Kualitas dan kuantitas pakan optimum (sesuai hasil penelitian) yang diberikan
selama penelitian ini, diduga cukup efektif sebagai penyedia bahan baku yang dapat
dirubah menjadi cadangan energi atau energi untuk perkembangan larva dan
pertumbuhan spat. Disampaikan Laing (1995) tipe dan nilai nutrisi yang terkandung
dalam makanan (alga) merupakan factor yang siknifikan mempengaruhi laju
pertumbuhan larva dan selama periode planktonis larva (spatfall). Diduga, jenis dan
jumlah cadangan material biokimia yang terakumulasi selama perkembangan larva, serta
perbedaan jenis makanan yang diberikan dapat mempengaruhi kompetensi larva untuk
menempel (Haws et al. 1993; Baker 1994).
Pernyataan lain yang cukup kontroversial disampaikan Gardes (1983); His et al.
(1989) yaitu stadia awal perkembangan larva mempunyai kemampuan mengatur sistim
filtrasi dan laju metabolisme dalam merespon konsentrasi partikel-partikel makanan yang
tersedia dan larva dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan. Fenomena
menarik ini dapat menjadi jawaban, mengapa sintasan pada stadia awal (kontrol) dalam
penelitian ini cukup tinggi (65,38 %), bahkan pada kondisi optimum sintasan bisa
mencapai 89,45 %. Analoginya, jika dalam kondisi tidak ada pakan saja larva stadia awal
dapat bertahan hidup sampai beberapa hari, maka dengan tersedianya pakan dalam
jumlah cukup dan jenis yang sesuai tentu sintasannya akan lebih tinggi.
Selanjutnya, juga telah di aplikasikan kondisi lingkungan optimum tersebut
untuk hatchery skala rumah tangga tiram mutiara, hasilnya menunjukkan sintasan dan
laju pertumbuhan larva sampai spat lebih tinggi dibanding kontrol. Hasil dalam kajian ini
juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Southgate dan Ito (1998) dengan
menggunakan sistim partial-flow untuk mendapatkan kualitas air yang prima, sintasan
112
larva P. margaritifera pada hari ke 7 sekitar 61 % dan sintasan larva stadia pediveliger 5
%. Studi yang sama dilakukan Alagarswami et al. (1989) dilaporkan sintasan larva P.
fucata stadia pediveliger 6,3 %. Martinez-Fernandez et al. (2006) membagi penelitiannya
pada larva P. margaritifera menjadi dua bagian, penelitian pertama dimulai dari larva D1
(1 hari) berukuran 81,3 µm sampai D10, hasilnya menunjukkan sintasan antara 15,2–64,6
%. Penelitian ke dua dilakukan selama 8 hari, dimulai dari larva D11 (122,9 µm) dengan
hasil sintasan 68,9 %. Dilaporkan oleh Taufiq (2009) sintasan larva P. maxima sampai
menjadi spat umur 30 hari adalah 6–7 %.
Melihat sintasan akhir yang diperoleh baik pada kajian yang dilakukan (32, 09
%) maupun kontrol (10,05 %), diketahui bahwa mortalitas larva dan spat selama
pemeliharaan relatif masih tinggi. Diduga ada penyebab lain yang mengakibatkan
mortalitas, mengingat parameter utama (suhu, salinitas, oksigen terlarut, intensitas cahaya
dan pakan) yang diaplikasikan sudah dalam kondisi optimum. Kemungkinannya adalah
kesalahan operator, misalnya kurang hati-hati dan kurang teliti saat grading dan
penggantian air, sehingga ada kemungkinan larva yang ukurannya sangat kecil (μm)
dapat lolos dari saringan-planktonet, karena ukurannya yang kurang seragam. Hal ini
diperkuat oleh hasil pengamatan yang tidak menemukan larva yang mati di dasar bak.
Secara mikroskopis juga dilakukan pengambilan sampel dari dasar bak, tetapi
persentasenya sangat kecil dan tidak sebanding dengan angka kehilangan yang diperoleh.
Sebaliknya pada kontrol, mulai hari ke 3–7 sudah dijumpai larva yang mati di dasar bak
dan mortalitas lebih tinggi pada hari ke 14–16, larva yang mati bergerombol membentuk
baris di bagian sudut bak, warnanya orange-kemerahan dan dapat diamati secara visual
dengan bantuan penerangan lampu baterai. Sesuai dengan pendapat Baker (1994) larva di
hatchery biasanya diseleksi atau digrading dengan tujuan agar pertumbuhannya cepat dan
untuk mendapatkan ukuran yang seragam, tetapi tanpa disadari dapat mengakibatkan
mortalitas karena kesalahan penanganan.
Parameter lingkungan optimum yang diperoleh dalam kajian ini dapat
diterapkan untuk pengembangan hatchery skala rumah tangga, dimana beberapa
parameter tersebut dapat dikendalikan dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan tiram
mutiara P. maxima dari stadia larva sampai spat.
113
Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan, maka dapat disimpulkan bahwa spat yang
dipelihara pada kondisi lingkungan optimum dapat menunjukkan sintasan dan laju
pertumbuhan maksimum.
Daftar Pustaka
Abo K and Toda S. 2001. Evaluation Model of Farming Density of Japanese Pearl Oyster, Pinctada fucata, P. martensii, Based on Physiology and Food Environment. Bul Jpn Soc Fish Oceanography 65: 135-144.
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery Tecnology
for Pearl Oyster Production. CMFRI. Bul 39: 37-8. ________________________________________________. 1989. Larva and Juvenil
Rearing of Black-lip Pearl Oyster Pinctada margaritifera (Linnaeus). Aquaculture 76: 43-56.
Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild
versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169. Chengbo Z and Shuanglin D. 2004. Effect of Na/K Ratio in Seawater on Growth and
Energy Budget of Juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234: 485-496. CMFRI. 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8. Regional
Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Elliott JM. 1981. Thermal Stress on Freshwater Teleosts. In: Stress and Fish. Ed. A.D.
Pickering. Academic Press. London and New York. Pp. 209-245. Gardes D. 1983. The Pacific Oyster Crassostrea gigas. Feeding Behaviour of Larvae and
Edults. Aquaculture 31: 195-219. Goddard S. 1996. Feeding, Temperature and Water Quality. In: Feed Management in
Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. 4: 51-73. Gricourt L, Mathieu M and Kellner K. 2006. An Insulin-Like System Involved in The
Control of Pacific Oyster Crassostrea gigas Reproduction: hrlGF-1 Effect on Germinal Cell Proliferation and Maturation Assosiated with Expression Of an Homologous Insulin Receptor-related Receptor. Aquaculture 251: 85-98.
114
Haws McC, DiMichele I and Hand SC. 1993. Biochemical Changes and Mortality During Metamorphosis of The Eastern Oyster, Crassostrea virginica and Pacific Oyster, Crassostrea gigas. Mol Mar Biol Biotechnology 2: 207-217.
His E, Robert R and Dinet A. 1989. Combined Effects of Temperature and Salinity on Feed
and Starved Larvae of The Mediterranean Mussel Mytilus galloprovincialis and The Japanese Oyster Crassostrea gigas. J Mar Biol 100: 455-463.
Jeffrey SW, Gerland CD and Brown MR. 1990. Microalgae in Australian Mariculture. In:
Biology of Marine Plants. Longman-Chesher. 18: 400-414. Laing I. 1995. Effect of food Supplay on Oyster Spatfall. Aquaculture 131:315-324 Le Blanc N, Landry T, Staryhn H, Tremblay R, McNiven M, Davidson J. 2005. The
Effect of High air and Water Temperature on Juvenile Mytilus edulis in Price Edward Island, Canada. Aquaculture 243: 185-194.
Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Southgate PC. 2006. The Nutritional Value of
Seven Species of Tropical Microalgae for Black-Lip Pearl Oyster (Pinctada margaritifera, L.) Larvae. Aquaculture 257: 491-503.
Minaur J. 1969. Experient on the Artificial Rearing of The Larva of Pinctada maxima
(Jameson)(Lamellibranchia). Aust J Freshw Res 20: 175-187. Rupp GS, Parsons GJ, Thompson RJ, de Bem MM. 2005. Influence of Environmental
Faktors, Season and Size at Development on Growth and Retrieval of Postlarval Lion’s Paw Scallop Nodipecten nodosus (Linnaeus, 1758) From A Subtropical Environment. Aquaculture 243: 195-216.
Southgate PC and Ito M. 1998. Evaluation of a partial culture technique for pearl oyster
(Pinctada margaritifera L.) larvae. Aquaculture Engineering 18:1-7. Summerfelt RC. 2007. Water Quality Considerations for Aquaculture (Unpublish).
Department of Animal Ecology, Iowa State University. Ames. Summerft.doc. Tanaka Y and Kumeta M. 1981. Succesful artificial breeding of silver-lip pearl oyster
Pinctada maxima (Jameson). Bulletin Natural Research Institute. Japan. Aquaculture 2: 21-28.
Taufiq N. 2009. Culture of Pearl Oyster Pinctada maxima In Sumbawa. Makalah
Seminar Nasional Moluska ke-2, tanggal 11−12 Februari 2009 di IPB ICC Botani Square, Bogor.
Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor CE. 1997. Effects of Stocking Density on
Growth and Survival of Early Juvenile Silver-lip Pearl Oyster Pinctada maxima (Jameson) Held in Suspended Nursery Culture. Aquaculture 153: 31-40.
115
Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor CE. 1998. Assessment of Artificial Substrates
for Collection of Hatchery-reared Silver-lip Pearl Oyster (Pinctada maxima Jameson) Spat. Aquaculture 162: 219-230.
Winanto T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P.T. Panebar Swadaya, Jakarta.
Seri Agribisnis. 95 hal.
KAJIAN PEMELIHARAAN SPAT DI LAUT
Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan informasi tentang waktu pemindahan yang tepat dan tingkat
kepadatan optimum, sehingga diperoleh sintasan dan pertumbuhan spat P. maxima yang
tinggi.
Penelitian tahap III tentang Kajian Pertumbuhan Spat di Laut, terdiri dari dua
seri percobaan yaitu:
Pengaruh umur pemindahan terhadap sintasan dan pertumbuhan spat.
Pengaruh tingkat kepadatan spat terhadap sintasan dan pertumbuhan.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2007. Lokasi penelitian di
Selat Kabra, Kecamatan Samate, Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Irian Jaya Barat
(Lampiran 1b).
117
Pengaruh Umur Pemindahan Terhadap Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Abstract
The High mortalities of spats were found in the transition period from laboratory to the culture condition of the sea. The aim of this study is to obtain information about right time of spat replaced from laboratory to the sea. Randomized block design was applied with seven levels replacing ages and three replicated for each i.e. (A) 30, (B) 40, (C) 50, (D) 60, (E) 70, (F) 80 and (G) 90 days. Results of this study showed that right ages to replace of spat from laboratory between days 40 to 50. The best of survival rate at treatment days 80 (51.40 %) and the highest of growth at treatment days 50 (36.68 x 32.47 mm) and not significant (P ≥ 0.05) than days 40 (36.18 x 32.20 mm). Keywords: Spat; Pinctada maxima; replace; survival rate; growth rate.
Pendahuluan
P. maxima merupakan salah satu jenis tiram penghasil mutiara yang mempunyai
nilai ekonomis paling tinggi dan ukuran paling besar. Di pasaran internasional, mutiara
yang diproduksi sering kali disebut dengan nama “South Sea Pearl” (Shirai 1981).
Indonesia termasuk salah satu negara penghasil mutiara (South Sea Pearl) yang cukup
diskenal di pasaran dunia, sebagian besar produksi South Sea Pearl yang dipasarkan
berasal dari hasil budidaya (Anna 2006). Tetapi sayang produksinya dari tahun ke tahun
terus mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab turunnya produksi mutiara
karena semakin sulitnya mendapatkan tiram ukuran implantasi dan ketersediaan spat
tidak mencukupi serta dipengaruhi musim.
Ketersediaan spat merupakan kendala utama dalam pengembangan budidaya
tiram mutiara. Suplai spat merupakan bagian yang krusial dari industri ini, jika semata-
mata hanya menggantungkan pengumpulan spat dari alam (Le Blanc et al. 2005).
Sebagian besar perusahaan budidaya mutiara di Indonesia masih sangat tergantung pada
spat alam. Sedangkan spat dan calon induk yang berasal dari alam jumlahnya terbatas,
sangat fluktuatif dan dipengaruhi musim. Penyediaan spat secara terkendali melalui
hatchery merupakan alternatif yang tepat untuk menanggulangi terbatasnya spat alam.
118
Hatchery mampu menyediakan spat secara massal, tepat waktu dan jumlah, disamping
ukurannya seragam serta berkualitas tinggi.
Produksi spat melalui hatchery merupakan pendekatan yang paling fisibel untuk
menyediakan atau suplai spat dalam skala besar dan berkesinambungan (Rupp et al.
2005). Tetapi sampai saat ini sintasan spat dari hatchery masih rendah. Sintasan dari
larva sampai menjadi spat berukuran 2–3 cm sekitar 0,05 % (BBL 2001). Mortalitas
spat paling tinggi terjadi pada periode transisi atau masa pendederan, disaat pertama
kali di pindahkan dari laboratorium ke tempat pemeliharaan di laut. Memperhatikan
permasalahan yang ada, maka dilakukan pengkajian yang berkaitan dengan
pemeliharaan awal spat di laut.
Tujuan
Tujuan khusus dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
umur pemindahan spat dari laboratorium ke laut yang tepat, sehingga dapat diperoleh
sintasan dan pertumbuhan yang tinggi, pada masa pendederan maupun masa
pembesaran di laut.
Bahan dan Metode
Penyediaan Hewan Uji
Sebelum percobaan dimulai, dilakukan kultur plankton dan seleksi induk. Pada
saat jumlah plankton sudah mencukupi untuk kebutuhan produksi spat, maka induk
dibawa ke lab untuk dipijahkan. Induk dipijahkan di dalam akuarium, setelah induk
memijah selanjutnya dilakukan pemanenan telur dengan menggunakan planktonet (20,
40 dan 60 µm). Telur yang telah diseleksi dipelihara di dalam bak penetasan volume 1
m3, yang sekaligus berfungsi sebagai bak pemeliharaan larva (BBL 2001). Selama masa
pemeliharaan larva hingga spat (30 hari), jadwal pemberian pakan dan pengelolaan air
mengacu pada percobaan tahap I dan II.
Pada waktu larva berusia 16 hari, di dalam bak pemeliharaan larva mulai
dipasang kolektor (40 x 60 cm) dari bahan paranet (Winanto et al. 2001). Setelah spat
menempel pada kolektor dan ukurannya sudah memenuhi syarat sebagai hewan uji,
119
maka dilakukan seleksi untuk mendapatkan ukuran spat yang seragam. Selanjutnya,
spat hasil seleksi dikembalikan ke tempat pemeliharaan, dengan menggunakan sistim
air mengalir dan pengudaraan.
Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan disain rancangan acak kelompok (RAK) dengan tujuh
perlakuan dan tiga kali ulangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada umur
pemindahan. Perlakuan yang diterapkan adalah umur spat dipindahkan dari lab ke
tempat pendederan di laut, yang dilakukan secara bertahap yaitu mulai umur 30 (A), 40
(B), 50 (C), 60 (D), 70 (E), 80 (F) dan 90 (G) hari. Model linear dari rancangan yang
digunakan adalah :
Yij = µ + τi + βj + εijk
Keterangan: Yij = Respon perlakuan ke-i, kelompok ke-j dan ulangan ke-k
µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j εij = Pengaruh galad pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j dan
ulangan ke-k.
Prosedur Percobaan
Sehari sebelum percobaan dimulai, disiapkan sejumlah spat yang telah
menempel pada kolektor, dengan kepadatan 2 ekor/cm2. Kolektor dimasukkan ke dalam
kantong waring (# 1–2 mm) dan digantungkan pada rakit apung di laut dengan
kedalaman 3 m (BBL 2001).
Untuk mengetahui umur pemindahan yang tepat, maka dilakukan pemindahan
spat sesuai dengan perlakuan. Lama waktu percobaan 3 bulan, untuk mengetahui
sintasan dan pertumbuhan maka setiap 15 hari dilakukan pengamatan serta pengambilan
sampel pada masing-masing perlakuan.
Untuk mengetahui sintasan dilakukan penghitungan terhadap seluruh jumlah
spat yang masih hidup, baik yang menempel pada kolektor dan kantong waring maupun
yang tidak menempel dan berada di dalam kantong waring.
120
Pertumbuhan diamati dengan mengambil sampel sebanyak 20 ekor. Sampel
diletakkan di dalam wadah berisi air laut bersih, cangkang spat dibersihkan dari kotoran
dan organisme penempel dengan menggunakan sikat dan pisau kecil. Selanjutnya
dilakukan pengukuran panjang dorso-ventral (DV) dan tinggi antero-posterior (AP)
(Taylor et al. 1997) dengan menggunakan calipper. Setelah pengukuran, spat
dimasukkan (disusun) kembali ke dalam keranjang pemeliharaan dan dikembalikan ke
tempat pemeliharaan.
Parameter Yang Diamati
Parameter yang diamati untuk mengetahui umur pemindahan terbaik adalah
sintasan dan laju pertumbuhan.
Sintasan
Sintasan dihitung berdasarkan persentase jumlah spat pada akhir pengamatan
dibagi jumlah spat pada awal pengamatan.
Laju Pertumbuhan
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan panjang antero-posterior (AP) dan
tinggi dorso-ventral (DV) (Taylor et al. 1997) dan mengetahui laju pertumbuhan
spesifik (Chengbo and Shuanglin 2004).
Kualitas air
Sebagai data pendukung, dilakukan pengamatan terhadap kualitas air di lokasi
percobaan. Parameter kualitas air yang diamati selama percobaan di laut antara lain:
suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, kecerahan, amonia (NH3-), nitrat (NO3-) fosfat
(total-P) dan kesuburan perairan.
Kesuburan perairan hanya dilihat dari kualitas dan kuantitas plankton. Sampel
diambil pada kedalaman hewan uji dipelihara (3 m), dengan metode penyaringan
(planktonet 40 mikron) dan penghitungan. Sampel air yang diambil disimpan dalam
botol sampel dan ditambahkan larutan lugol sebagai pengawet, kemudian diamati di
121
laboratorium. Penghitungan sampel (1 ml) dilakukan dengan haemocytometer,
identifikasi hanya sampai genus dengan menggunakan buku identifikasi Newell and
Newell (1977).
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika terdapat data yang
penyebarannya tidak normal, maka terlebih dahulu akan dilakukan transformasi dengan
logaritma natural (Ln). Apabila uji F menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05)
pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji Tukey (Neter et al. 1990).
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 15 for Windows.
Hasil dan Pembahasan
Sintasan dan Laju Pertumbuhan
Pengamatan terhadap umur pemindahan spat dari laboratorium ke tempat
pembesaran di laut menunjukkan bahwa, perlakuan waktu pemindahan 80 hari (F)
menunjukkan sintasan paling baik (51,40 %) sedangkan sintasan terendah terjadi pada
perlakuan waktu 30 hari (9,34 %) (Tabel 13). Hasil analisis varian terhadap sintasan
spat, menunjukkan bahwa setiap perlakuan (umur dan waktu pemindahan) berbeda
nyata (P ≤ 0,05). Uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan menunjukkan hasil yang agak
berbeda, umur nyata berpengaruh (P ≤ 0,05) terhadap sintasan, sedangkan waktu
pemindahan menunjukkan bahwa perlakuan A dan B berbeda nyata lebih kecil (P ≤
0,05) dengan perlakuan C, D, E, F G. Tetapi perlakuan C tidak berbeda nyata lebih kecil
(P ≥ 0,05) dari D. Perlakuan E, F dan G tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05), namun C, D
berbeda nyata lebih kecil (P ≤ 0,05) dengan E, F, G (Lampiran 26).
122
Tabel 13. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke laut
Umur Waktu pemindahan (hari) (hari) (A) 30 (B) 40 (C) 50 (D) 60 (E) 70 (F) 80 (G) 90
15
67,98 ± 1,33
72,63 ± 1,88
75,35 ± 0,65
83,52 ± 2,18
85,68 ± 2,27
89,90 ± 4,12
93,48 ± 3,80
30
42,80 ± 0,96
55,72 ± 1,37
68,54 ± 1,36
70,23 ± 0,61
73,93 ±1,28
78,53 ± 2,41
80,26 ± 2,23
45
39,57 ± 0,81
46,51 ± 1,07
60,62 ± 0,64
62,76 ±.0,63
66,15 ± 0,96
67,32 ± 1,47
69,01 ± 1,23
60
32,17 ± 2,56
41,39 ± 0,66
51,02 ± 0,87
50,01 ± 1,48
60,87 ± 1,03
62,13 ± 0,95
64,67 ± 1,14
75
26,81 ± 1,08
37,94 ± 0,74
46,49 ± 1,12
49,28 ± 0,81
57,67 ± 0,57
59,72 ± 0,86
54,82 ± 2,17
90
9,36 ± 1,57a
36,72 ± 0,73a
43,30 ± 0,97b
44,52 ±0,74b
49,77 ± 1,20c
51,40 ± 1,10c
48,46 ± 0,81c
Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti huruf berbeda menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan antero-posterior (AP) dan dorso-
ventral (DV) menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang terbaik terdapat pada
perlakuan C (36,68 x 32,47 mm) atau lama waktu pemindahan 50 hari, diikuti perlakuan
B; A; D; E dan F. Spat dengan lama waktu pemindahan 90 hari (G) mengalami
pertumbuhan paling lambat (21,10 x 16,76 mm) (Gambar 28). Laju pertumbuhan
spesifik spat juga menunjukkan hasil yang sama (Gambar 29).
Analisis varian terhadap pertumbuhan (AP x DV) spat, menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar lama pemeliharaan (umur) dan antar
perlakuan waktu pemindahan. Hasil uji nilai tengah Tukey terhadap pertumbuhan AP
dan DV menunjukkan, setiap kelompok umur berbeda nyata (P ≤ 0,05). Sedangkan
waktu pemindahan menunjukkan, bahwa perlakuan A tidak berbeda nyata lebih kecil (P
≥ 0,05) dengan D. Perlakuan B tidak berbeda nyata lebih kecil (P ≥ 0,05) dari C,
sedangkan E, F, G tidak berbeda nyata (P ≥ 0,05), tetapi B, C berbeda nyata lebih besar
(P ≤ 0,05) dari A, D dan B, C, A, D berbeda nyata lebih besar (P ≤ 0,05) dengan
perlakuan E, F, G (Lampiran 27ab).
123
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 15 30 45 60 75 90
Waktu Pemeliharaan (hari ke)
Panj
ang
(mm
)
30 hari40 hari50 hari60 hari70 hari80 hari90 hari
Gambar 28. Pertumbuhan panjang spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai waktu
pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari.
0
0.51
1.5
2
2.53
3.5
30 40 50 60 70 80 90
Waktu pemindahan (hari ke)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
)
Gambar 29. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai
waktu pemindahan selama masa pemeliharaan 90 hari.
Hasil pengamatan menunjukkan, makin lama spat dipelihara di dalam lab
maka pertumbuhannya semakin lambat, atau makin cepat spat dipindahkan ke laut maka
pertumbuhannya semakin cepat. Diduga, jika spat lebih awal dipindahkan ke laut (umur
40–60 hari) maka secara alami spat akan cepat beraklimatisasi dengan kondisi alam.
Hal ini dapat diamati dari sintasan, spat yang tidak mampu beraklimatisasi akan mati,
sedangkan yang dapat bertahan hidup akan tumbuh cepat. Analoginya, pada awal spat
dipindahkan ke laut membutuhkan energi yang besar untuk aklimatisasi, spat akan
Waktu pemindahan
124
mengalokasikan sebagian besar energinya untuk mempertahankan hidup, salah satu
upaya yang dapat diamati adalah produksi benang-benang bisus yang jumlahnya lebih
banyak dan ukurannya lebih besar serta warnanya lebih gelap (hitam) dibanding bisus
spat yang masih di lab. Setelah melewati masa kritis dan mampu beraklimatisasi dengan
konsisi lingkungan, spat akan mengalokasikan energi lebih besar untuk tumbuh,
sehingga pertumbuhannya lebih cepat dibanding waktu pemindahan 70–90 hari. Fakta
yang lebih mendasar dapat dilihat dari waktu pemeliharaan di laut yang berbeda, pada
saat spat umur 70–90 hari masih menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di alam,
dilain pihak spat umur 30–60 hari sudah melakukan kegiatan pertumbuhan somatik,
karena telah mampu mengatasi kondisi lingkungan. Namun demikian spat umur 40 dan
50 hari pertumbuhannya nyata lebih baik dari pada umur 30 hari, diduga spat yang
dipindah umur 30 hari memerlukan waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri, karena
usianya terlalu muda dan cangkangnya masih sangat tipis. Pada kajian ini diketahui
bahwa waktu pemindahan spat ke laut sebaiknya dilakukan pada umur antara 40–50
hari pemeliharaan di lab.
Alagarswami et al. (1987), melakukan pemeliharaan spat P. fucata di lokasi
budidaya mulai ukuran 10–20 mm dan melakukan pemindahan spat ukuran > 3 mm
dengan menggunakan transportasi darat ke lokasi budidaya. Dicatat, mortalitas tertinggi
terjadi pada waktu spat dipindahkan dengan ukuran kurang dari 3 mm. Sementara Rose
and Baker (1994); Taylor et al. (1997) memindahkan spat P. maxima dari hatchery pada
umur 45 hari, dengan ukuran dorso-ventral sekitar 3 mm, spat dimasukkan ke dalam
kantong dengan lebar mata jaring # 1 mm dan digantungkan pada long-line di
kedalaman 2,5 m.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan spat adalah pakan,
ketersediaan pakan yang melimpah baik secara kuantitas maupun kualitas sangat
dibutuhkan hewan filter feeder seperti tiram mutiara. Pakan merupakan faktor pembatas
bagi organisme yang hidup di perairan. Tiram mutiara termasuk hewan pemakan
plankton (plankton feeder) atau mengambil makanan dengan cara menyaring (filter
feeder) dan pakan utama tiram mutiara adalah fitoplankton (CMFRI 1991; Winanto et
al. 2001). Semakin beragam jenis pakan alami yang ada di perairan maka peluang untuk
125
mendapatkan jenis yang sesuai dan variasi nilai nutrisinya akan makin tercapai.
Beberapa faktor penentu kualitas nutrien mikroalga yang digunakan sebagai pakan
bivalvia, antara lain ukuran sel, mudah dicerna dan komposisi biokimia. Oleh sebab itu
kemampuan mencerna makanan menjadi salah satu faktor utama yang menentukan
sintasan dan pertumbuhan (Owen 1974; Albentosa et al. 1993; Martinez-Fernandez et
al. 2004).
Menurut Zarnoch and Schreibman (2008), produktivitas perairan yang tinggi
dapat membantu meningkatkan aktivitas metabolisme kerang (clam) selama mengalami
stres fisiologis. Kualitas pakan merupakan hal penting yang dapat dipertimbangkan
sebagai tambahan kuantitas pakan. Sebagai contoh, terjadinya blooming picoplankton
(< 1–4 µm) di perairan tetapi kerang (hard clam) tersebut tidak dapat makan secara
efisien Hal ini berkaitan dengan efisiensi absorbsi kerang yang tidak baik, karena
dinding sel plankton yang tidak dapat dicerna (Bass et al. 1990) atau terlalu singkatnya
waktu pakan berada di dalam usus kerang (Bricelj et al. 1984). Kualitas pakan yang
jelek telah diduga sebagai salah satu penyebab berkurangnya usaha reproduktif di lokasi
tertentu (Newell et al. 2003).
Kualitas Air
Pengamatan terhadap parameter kualitas air, baik fisika, kimia dan biologi
(Lampiran 28ab) manunjukkan masih berada pada kisaran yang memenuhi syarat untuk
sintasan dan pertumbuhan spat P. maxima.
Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan maka dapat disimpulkan bahwa, pemindahan spat
terbaik pada umur antara 40–50 hari pemeliharaan di laboratorium.
126
Daftar Pustaka
Alagarswami K, Dharmaraj S, Velayudhan TS, Chellam A. 1987. Hetchery Tecnology for Pearl Oyster Production. CMFRI. Bull. 39: 37-8.
Albentosa M, Perez-Camacho A, Labarta U, Fernandez-Reiriz MJ. 1993. Evaluation of
Live Microalgal Diets for the Seed Culture of Ruditapes decussatus Using Physiological and Biochemical Parameters. Aquaculture 148(1): 11-23.
Anna. 2006. Mengenal Mutiara, Perhiasan Para Bangsawan. Warta Pasar Ikan. Ditjen.
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.DKP. Ed. Pebruari, No. 29: 4-6. Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild
versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169. BBL. 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Balai Budidaya Laut
Lampung. Seri Budidaya Laut 6: 61 hal. Bass AE, Molout RE, Shumway S. 1990. Growth of Northern Quahogs Mercenaria
mercenaria Linnaeus, 1758) Fed on Picoplankton. J Shellfish Res. 9: 299-307 Bricelj VM, Bass AE, Lopez GR. 1984. Absorbtion and Gut Passage Time of Microalgae
In a Suspension Feeder: An Evaluation of the 51Cr. 14C Twin Tracer Technique. J Mar Ecol Prog Ser 17: 57-63.
Cahn AR. 1949. Pearl Culture in Japan. United States Department of The Interior Fish
and Wildlife Service. Fishery Leaflet 357. Washington DC. 91 p. Chengbo Z and Shuanglin D. 2004. Effect of Na/K Ratio in Seawater on Growth and
Energy Budget of Juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234: 485-496. CMFRI. 1991. Pearl Oyster Farming and Pearl Culture. Training Manual No. 8.
Regional Seafarming Development and Demonstration Project. RAS/90/002. Bangkok, Thailand. 103 p.
Le Blanc N, Landry T, Staryhn H, Tremblay R, McNiven M, Davidson J. 2005. The Effect of High air and Water Temperature on Juvenile Mytilus edulis in Price Edward Island, Canada. Aquaculture 243: 185-194.
Martinez-Fernandez E, Acosta-Salmon H, Rangel-Davalos C. 2004. Ingestion and
Digestion of 10 Species of Microalgae by Wing Pearl Oyster Pteria sterna (Gould, 1851) Larvae. Aquaculture 230: 417-423.
127
Neter J, Wesseran W, Kutsner MH. 1990. Applied Linear Statistikcal Models. Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. Third Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p.
Newell GE and Newell RC. 1977. Marine Plankton. A Practical Guide. Fifth edition.
Hutchinson, London. 343p. Newell RIE, Gobler C, Tettelbach ST. 2003. Linking Hard Clam (Marcenaria
marcenaria) Reproduction to Phytoplankton Community Structure: II. Phytoplankton Community Structure and Food Composition. J Shellfish Res 22 (1): 347 (abstract).
Owen G. 1974. Feeding and Digetion in The Bivalvia. In: Lowenstein, O. (Ed.),
Advances in Comparative Physiology and Biochemistry, Vol 5. Academic Press. New York. 1-35.
Rose RA and Baker SB. 1994. Larva and Spat Culture of The Western Australian Silver
or Goldlip Pearl Oyster, Pinctada maxima Jameson (Mollusca: Pteriidae). Aquaculture: 126: 35-50.
Rupp GS, Parsons GJ, Thompson RJ, deBem MM. 2005. Influence of Environmental
Faktors, Season and Size at Development on Growth and Retrieval of Postlarval Lion’s Paw Scallop Nodipecten nodosus (Linnaeus, 1758) From A Subtropical Environment. Aquaculture 243: 195-216.
Shirai S. 1981. Pearls. Marine Planning Co. Ltd. Japan. 168p. Slamet B, Tridjoko, Hersapto. 1998. Pengamatan aspek-aspek biologi beberapa jenis
kerang mutiara (Pinctada sp) diperairan pantai Utara Bali. Hal: 118-22. Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor CE. 1997. Effects of Stocking Density on
Growth and Survival of Early Juvenile Silver-lip Pearl Oyster Pinctada maxima (Jameson) Held in Suspended Nursery Culture. Aquaculture 153: 31-40.
Winanto T, Pontjoprawiro S, Murdjani M. 1992. Budidaya Tiram Mutiara. Petunjuk
Pelatihan Budidaya Tiram Mutiara. Balai Budidaya Laut dan FAO/UNDP. INS/81/008.
Winanto T, Soekendarsi E, Paonganan Y. 2001. Hatchery Production of Spat of Pearl
Oyster Pinctada maxima (Jameson) in Indonesia. Jour. Phuket Mar. Biol. Special Publication 25 (1): 189-192.
Zarnoch CB and Schreibman MP. 2008. Influence of Temperature and Food
Availability on The Biochemical Composition and Mortality of Juvenil
128
Mercenaria mercenaria (L.) During The Over-Winter Period. Aquaculture 274: 281-291.
Pengaruh Tingkat Kepadatan Spat Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan
Abstract
Stocking density was affected to the growth and survival rate of spat. The objective of this study is to obtain information optimal stocking density of spat during nursery culture. Randomized block design was applied with four stocking density treatments and three replications, that are (A) 500, (B) 1000, (C) 1500, (D) 2000 spat collector-1. The result showed that optimum density of P. maxima spat is 500 spat collector-1. The best of survival rate was found at density 500 spat collector-1 and the best of growth at treatment 500 spat collector-1 (36.50 x 33.37 mm). Keywords: Spat, Pinctada maxima; density; survival rate; growth.
Pendahuluan
Produksi mutiara berbasis budidaya merupakan aktivitas yang ekonomis penting
(Arnaud-Hoand 2003). Berkembangnya budidaya mutiara ternyata juga menjadi pemicu
meningkatnya permintaan spat dan tiram siap operasi (Winanto 2004). Hingga saat ini
produksi spat dari hatchery masih sangat terbatas, sehingga sebagian besar usaha
budidaya mutiara mengandalkan pengumpulan spat dari alam. Akibatnya terjadi
pengambilan spat dari alam secara progresif. Budidaya mutiara secara konsekuen sangat
tergantung pada sumberdaya alam dan dengan pengetahuan yang baik pada sumberdaya
ini, serta adanya kepedulian dari praktisi budidaya pada stok alam, akan berdampak
positif bagi upaya pengelolaannya (Arnaud-Hoand 2003).
Pinctada maxima merupakan salah satu spesies akuakulture dengan nilai
ekonomis tinggi dan spat yang diproduksi dari hatchery juga mempunyai nilai jual
tinggi (Taylor et al. 1997). Spat P. maxima umumnya dipindahkan dari hathery ke
tempat pendederan di laut pada saat mencapai ukuran panjang engsel sekitar 3–5 mm
(Rose. 1990). Spat yang dipindahkan dari hatchery masih dalam kondisi menempel
pada spat kolektor dan dibiarkan tetap berada pada kolektor untuk beberapa waktu,
129
sampai dipindahkan ke dalam keranjang pemeliharaan dengan ukuran kantong
bervariasi disesuaikan dengan perkembangan spat (O’Sullivan 1994).
Penelitian tingkat kepadatan spat di alam dengan spesies bivalvia lain seperti
kerang Mercenaria mercenaria, tiram Saccostrea commercialis telah mapan, bahkan
sudah ada patokan tingkat kepadatan yang sesuai untuk usaha komersial (Hadley and
Manzi 1984; Holliday et al. 1991). Taylor et al. (1997) mempublikasikan penelitiannya
pada spat P. maxima dengan tingkat kepadatan 10 juvenil per slat (1,3 juvenil per 100
cm2); 50 juvenil per slat (6,7 juvenil per 100 cm2); 100 juvenil per slat (13,3 juvenil per
100 cm2) dan 150 juvenil per slat (20 juvenil per 100 cm2). Hasil sintasan dan
pertumbuhan terbaik pada tingkat kepadatan 10 juvenil per slat.
Informasi tentang tingkat kepadatan optimum pada pendederan spat P. maxima
sangat bermanfaat bagi perkembangan industri budidaya mutiara. Studi tentang hal ini
belum dilakukan secara mendalam, oleh sebab itu pada kajian ini akan diaplikasikan
perlakuan dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi dari penelitian Rose and Baker
(1994) dan Taylor et al. (1997). Harapannya dapat mengetahui pengaruh tingkat
kepadatan terhadap sintasan dan pertumbuhan spat P. maxima.
Tujuan
Tujuan khusus dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
tingkat kepadatan optimum spat per kolektor, sehingga dapat diperoleh sintasan dan
pertumbuhan yang tinggi.
Bahan dan Metode
Penyediaan Hewan Uji
Tahap awal sebelum percobaan dimulai dilakukan seleksi induk dan kultur
plankton. Pada saat jumlah plankton sudah mencukupi untuk kebutuhan produksi spat,
maka induk dibawa ke lab untuk dipijahkan. Induk dipijahkan di dalam aquarium,
setelah induk memijah selanjutnya dilakukan pemanenan telur. Telur yang telah bersih
diseleksi dan dipelihara di dalam bak penetasan volume 1 ton, yang sekaligus berfungsi
130
sebagai bak pemeliharaan larva. Jadwal pemberian pakan dan pengelolaan air mengacu
pada percobaan tahap I dan II.
Pada waktu larva berusia 16 hari, di dalam bak pemeliharaan larva dipasang
kolektor dari bahan paranet (40 x 60 cm). Setelah spat menempel pada kolektor dan
ukurannya sudah memenuhi syarat sebagai hewan uji, maka dilakukan seleksi untuk
diambil yang ukurannya seragam. Selanjutnya spat-spat dikembalikan ketempat
pemeliharaan, dan dapat dipergunakan untuk percobaan.
Rancangan Percobaan
Disain percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), dengan
empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada
umur atau waktu pengamatan. Perlakuan yang digunakan adalah kepadatan spat 500
(A), 1000 (B), 1500 (C), 2000 ekor/kolektor (D). Model linear yang digunakan sama
seperti pada model sebelumnya yang menggunakan rancangan percobaan sama.
Prosedur Percobaan
Lama waktu percobaan 3 bulan. Sebelum percobaan dilaksanakan, disiapkan
spat-spat yang sudah menempel pada kolektor ukuran 40 x 60 cm (2400 cm2),
jumlahnya disesuaikan dengan perlakuan. Selanjutnya spat kolektor dimasukkan ke
dalam kantong waring (# 1 mm) dan digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman
3 m. Pekerjaan persiapan dilakukan di dalam laboratorium.
Untuk mengetahui tingkat kepadatan spat optimum, dilakukan pengamatan
terhadap sintasan dan pertumbuhan dengan mengambil sampel setiap 15 hari, sebanyak
20 spat. Prosedur pengukuran sintasan dan laju pertumbuhan sama seperti percobaan
sebelumnya.
Parameter Yang Diamati
Sintasan, dihitung berdasarkan persentase jumlah spat pada akhir pengamatan
dibagi jumlah spat pada awal pengamatan.
131
Laju pertumbuhan spat; pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan panjang
antero-posterior(AP) dan tinggi dorso-ventral (DV) (Taylor et al. 1997). Laju
pertumbuhan spesifik dihitung menurut Chengbo and Shuanglin (2004).
Kualitas air; pengamatan terhadap kualitas air di lokasi percobaan dilakukan
sebagai data pendukung pada percobaan. Parameter kualitas air yang diamati,
teknik pengambilan sampel dan prosedur pengamatannya sama seperti pada
percobaan sebelumnya.
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika uji F menunjukkan adanya
pengaruh nyata (P < 0,05) pada tiap perlakuan, maka dilanjutkan analisis dengan uji
rerata Tukey (Neter et al. 1990). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 15 for Windows.
Hasil dan Pembahasan
Sintasan
Dari hasil pengamatan terhadap tingkat kepadatan spat diketahui bahwa pada
tingkat kepadatan 500 spat/kolektor (A) menunjukkan sintasan paling baik (62,19 %)
jika dibanding perlakuan lain, seperti tingkat kepadatan 1.000, 1.500 dan 2.000 spat/
kolektor (Tabel 14). Hasil analisis varian terhadap sintasan spat pada berbagai tingkat
kepadatan menunjukkan ada perbedaan yang nyata antar perlakuan dan kelompok umur
(P ≤ 0,05). Hasil uji nilai tengah Tukey juga menunjukkan bahwa tiap kelompok umur
dan perlakuan tingkat kepadatan berbeda nyata (P ≤ 0,05). (Lampiran 29).
Tabel 14. Sintasan spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat kepadatan Parameter Umur Tingkat Kepadatan (spat/kolektor) amatan (hari) (A) 500 (B) 1.000 (C) 1.500 (D) 2.000 Sintasan (%) 15 92,67±1,17 92,33±1,06 83,03±1,13 77,34±1,05 30 84,42±1,05 83,72±1,18 70,64±1,25 63,83±1,10 45 78,76±1,09 77,75±1,12 60,12±1,34 56,87±1,06
132
60 73,33±0,92 71,40±1,09 56,59±1,42 51,35±1,42 75 66,50±0,94 64,41±0,95 50,58±1,63 45,49±1,04 90 62,19±1,18a 56,53±0,90b 42,56±1,29c 33,38±1,65d
Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti huruf berbeda menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Pengamatan terhadap perkembangan awal spat memerlukan penanganan dan
tindakan yang ekstra hati-hati, karena ukuran spat masih sangat kecil dan cangkangnya
sangat tipis serta rapuh. Jika tidak hati-hati utamanya saat penebaran spat di atas
kolektor, maka cangkang dapat pecah, akibatnya bentuk spat menjadi tidak normal atau
bahkan menyebabkan kematian. Sintasan terbaik terjadi pada tingkat kepadatan
optimum 500 spat/kolektor (20,83 spat per 100 cm2). Diduga pada kondisi kepadatan
optimum spat dapat tumbuh dan berkembang lebih baik karena kompetisi ruang dan
pakan relatif kecil. Sebaliknya pada kepadatan tinggi (2.000 spat/kolektor) terjadi
kompetisi pakan dan tempat yang lebih tinggi, sehingga spat yang aktif mendapatkan
pakan akan hidup dan tumbuh pesat, sebaliknya yang pasif akan tumbuh lambat atau
bahkan mati. Sama halnya dengan persaingan tempat, karena spat termasuk hewan yang
hidup menetap-menempel pada substrat, maka jika kepadatan terlalu tinggi
perkembangan cangkangnya akan terganggu, karena ruang tumbuh terbatas dan
cangkang saling berhimpitan antara satu dengan yang lain. Pada kepadatan 2.000
spat/kolektor ditemukan spat menempel bergerombol, saling melekat antara satu dengan
yang lain. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan jadi terhambat dan spat yang tertindih di
bawah sering ditemukan mati atau jika hidup ukurannya lebih kecil dari pada yang
berada di atas.
Dalam penelitian Taylor et al. (1997) juga menemukan hal yang sama, yaitu
pada tingkat kepadatan tinggi (≥ 25 individu per 100 cm2) individu saling melekat
bersama membentuk kelompok. Kebiasaan suka bergerombol semakin nyata pada
tingkat kepadatan yang tinggi.
Jika tingkat kepadatan yang digunakan dalam kajian ini dikonversi dengan hasil
penelitian Taylor et al. (1997) yaitu “kepadatan individu per 100 cm2”, maka hasilnya
hampir sama dengan penelitian Rose and Baker (1994) yaitu pada tingkat kepadatan 4
individu per 100 cm2 dan 25 individu per 100 cm2 (kultur di dasar) dan tingkat
133
kepadatan 3 individu per 100 cm2, 7 individu per 100 cm2.(metode gantung di laut)
Hasilnya sintasan 98−99 % (kultur di dasar) pada tingkat kepadatan 4 individu per 100
cm2 dan tidak berbeda nyata.dengan 25 individu per 100 cm2. Sintasan dengan metode
gantung 88–91 %. Sintasan tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil kajian ini dan hasil
penelitian Taylor et al. (1997). Lebih lanjut Taylor et al. (1997) menyampaikan bahwa
hasil sintasan dapat berbeda karena adanya perbedaan lokasi penelitian, musim dan
metode budidaya. Berdasarkan hasil kajian dapat disampaikan bahwa semakin tinggi
tingkat kepadatan, maka sintasan makin rendah.
Laju Pertumbuhan Spat
Pertumbuhan (AP x DV) tercepat terjadi pada perlakuan 500 spat/kolektor
(36,50 x 33,37 mm), diikuti perlakuan 1.000 spat/kolektor (32,17 x 30,20 mm), 1.500
spat/kolektor (28,13 x 25,30 mm) dan paling lambat pada perlakuan 2.000 spat/kolektor
(21,40x 19,37 mm) (Gambar 30; Lampiran 30a). Hasil perhitungan laju pertumbuhan
spesifik juga menunjukkan bahwa perlakuan 500 spat/kolektor nyata lebih baik jika
dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 31). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah
Tukey terhadap pertumbuhan (AP x DV) spat menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan
nyata (P ≤ 0,05) pada setiap kelompok umur dan pada tiap perlakuan tingkat kepadatan
(Lampiran 30b).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 15 30 45 60 75 90Waktu (hari ke)
Panj
ang
(mm
)
500 ekor/kolektor1000 ekor/kolektor1500 ekor/kolektor2000 ekor/kolektor
134
Gambar 30. Pertumbuhan spat P. maxima (rata-rata) pada berbagai tingkat kepadatan selama percobaan.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
500 1000 1500 2000Tingkat kepadatan spat (ekor/kolektor)
Laj
u pe
rtum
buha
n (%
) a b cd
Gambar 31. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat
kepadatan selama percobaan. Huruf berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
Tingkat kepadatan terbaik untuk pertumbuhan spat pada percobaan ini adalah
500 spat/kolektor (A) atau setara dengan 20,83 spat per 100 cm2. Pada kepadatan
optimum spat dapat tumbuh dengan baik, sebaliknya pada kepadatan tinggi (2.000
spat/kolektor) pertumbuhan spat nyata lebih lambat. Diduga pada kepadatan tinggi
terjadi kompetisi pakan dan ruang yang tinggi. Ruang yang terbatas, menyebabkan
posisi spat saling berhimpitan sehingga pertumbuhan cangkang menjadi tidak normal.
Misalnya, bentuk cangkang memanjang (DV lebih panjang dari AP), atau melebar (DV
< AP) (Gambar 32) karena pertumbuhannya terhambat oleh spat lain yang lebih besar
dan atau posisinya menempel di bagian atas cangkang. Ratio antara pertumbuhan
panjang dorso-ventral (tinggi) dibanding antero-posterior (panjang) akan mengalami
penurunan seiring dengan meningkatnya kepadatan. Hal ini mengindikasikan tingkat
kepadatan tidak hanya mempengaruhi laju pertumbuhan individu umumnya tetapi juga
cara individu tersebut tumbuh.
Berkaitan dengan laju pertumbuhan spat, hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan, maka laju pertumbuhan makin lambat.
Menurut Gosling (2004) sebagian besar peneliti menerangkan bahwa tingkat kepadatan
merupakan modulator pertumbuhan. Beberapa peneliti juga telah melakukan pengujian
135
pengaruh berbagai kisaran tingkat kepadatan pada setiap stadia dalam siklus hidup
bivalvia, namun demikian hasil laju pertumbuhan yang diamati dapat berbeda
tergantung pada spesies dan lingkungan pemeliharaan.
Gambar 32. Pertumbuhan cangkang spat P. maxima yang tidak normal, (A) Memanjang
(DV lebih panjang dari AP); (B) Melebar (DV lebih pendek dari AP) dan (C) Normal.
Hanya ada satu penjelasan, bahwa tingkat kepadatan yang tinggi dapat
mengurangi ketersediaan makanan per individu. Sebagai hipotesis alternatif adalah laju
pertumbuhan menurun pada tingkat kepadatan tinggi, karena berkurangnya ruang
(space). Akibatnya dapat memicu meningkatnya kontak fisik antar individu, sehingga
lebih sering terjadi iritasi dan retraksi mantel atau penutupan cangkang, akibatnya nafsu
makan jadi menurun (Cote et al. 1993).
Penelitian Taylor et al. (1997) di perairan dekat Pulau Bacan Maluku Utara pada
spat P. maxima ukuran 5 x 6,2 mm, menemukan laju pertumbuhan dan sintasan
tertinggi terjadi pada tingkat kepadatan 1,3 individu per 100 cm2.
Pada kajian ini ditemukan tingkat kepadatan optimum spat (500 spat/kolektor)
yang lebih tinggi dari pada penelitian Taylor et al. (1997), demikian juga dengan
sintasan dan pertumbuhan dalam kajian ini lebih tinggi. Diduga, selain ukuran spat yang
digunakan sebagai hewan uji berbeda, juga berkaitan dengan kondisi lingkungan
perairan tempat pemeliharaan dan teknik pemeliharaan yang berbeda, utamanya
frekwensi penggantian sarung keranjang (cover). Jika terlambat dalam penggantian
sarung keranjang, maka mata jaring akan tertutup oleh kotoran dan organisme
penempel, sehingga sirkulasi air terhambat. Akibatnya pasokan makanan dan oksigen
A B C
136
terlarut dari perairan juga menjadi terhambat, sehingga berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan dan sintasan.
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati bersamaan dengan percobaan waktu
pemindahan spat (Lampiran 28ab) menunjukkan masih berada pada kisaran yang baik
untuk sintasan dan pertumbuhan spat P. maxima.
Simpulan
1. Tingkat kepadatan spat tiram mutiara P. maxima terbaik adalah 500
ekor/kolektor (40 x 60 cm). Semakin tinggi tingkat kepadatan maka sintasan dan
laju pertumbuhan makin rendah.
2. Sintasan dan laju pertumbuhan tertinggi terdapat pada tingkat kepadatan 500
ekor/kolektor (40 x 60 cm).
Daftar Pustaka
Arnaud-Haond S, Vonau V, Bonhomme F, Boundry P, Prou J, Seaman T, Veyret M, Goyard E. 2003. Spat Collection of The Pearl Oyster (Pinctada margaritifera cumingii) in French Polynesia: An Evalution of The Potential Impact on Genetic Variability of wild and Farmed Populations After 20 Years of Commercial Exploitation. Aquaculture 219: 181-192.
BBL. 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Balai Budidaya Laut
Lampung. Seri Budidya Laut 6, 61 hal. Baker P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larvae, Crassostrea virginica. Wild
versus hatchery-reared larvae. Aquaculture 122: 161-169. Cote J, Himmelman J, Claereboudt M, Bonardelli JC. 1993. Influence of Density and
Depth on The Growth of Juvenile Sea Scallops (Placopecten magellanicus) in Suspended Culture. Can. J. Fish. Aquat. Sci., 50: 57-69.
Gosling E. 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News Book.
Great Britain.
137
Hadley NH and Manzi JJ. 1984. Growth of Seed Clams, Mercenaria mercenaria, at various Densities in A Commercial Scale Nursery System. Aquaculture 36: 369-378.
Holliday JE, Maguire GB, Nell JA. 1991. Optimum Stoking Density For The Nursery
Culture of Sydney Rock Oyster (Saccostrea commercialis). Aquaculture 96:7-16 Le Blanc N, Landry T, Staryhn H, Tremblay R, McNiven M, Davidson J. 2005. The
Effect of High air and Water Temperature on Juvenile Mytilus edulis in Price Edward Island, Canada. Aquaculture 243: 185-194.
Neter J, Wesseran W, Kutsner MH. 1990. Applied Linear Statistikcal Models.
Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. Third Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p.
Newell GE and Newell RC. 1977. Marine Plankton. A Practical Guide. Fifth edition.
Hutchinson, London. 343p. O’Sullivan D. 1994. Hatchery Boost For Australia’s Pearl Oyster. Fish Farm. Int.,
21(2): 31-33. Rose RA. 1990. A Manual of The Artificial Propagation of The Gold-lip or Silver-lip
Pearl Oyster, Pinctada maxima (Jameson) From Western Australia. Fisheries Department Western Australia Marine Research Laboratories, P.O. Box 20, Nth Beach W.A. 6020. Commonwealth F.R.D.C., 41 pp.
Rose RA and Baker SB. 1994. Larva and Spat Culture of The Western Australian Silver
or Goldlip Pearl Oyster, Pinctada maxima Jameson (Mollusca: Pteriidae). Aquaculture: 126: 35-50.
Taylor JJ, Rose RA, Southgate PC, Taylor, CE. 1997. Effects of Stocking Density on
Growth and Survival of Early Juvenile Silver-lip Pearl Oyster Pinctada maxima (Jameson) Held in Suspended Nursery Culture. Aquaculture 153: 31-40.
Winanto T. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. P.T. Panebar Swadaya, Jakarta.
Seri Agribisnis. 95 hal.
PEMBAHASAN UMUM
Perkembangan Larva
Larva bentuk-D pertama kali diamati umur 18–20 jam setelah menetas,
kemudian pada umur 22 jam ditemukan larva yang bagian lambungnya sudah
berwarna, sehingga diduga pada saat waktu itu sudah ada organ pencernaan dan larva
pertama kali makan. Stadia ini merupakan masa kritis pertama dalam kehidupan
larva, karena terjadi perubahan asupan pakan yaitu setelah cadangan makanan dari
dalam habis (endogenous), maka dibutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous).
Temuan yang hampir sama disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981), larva P.
maxima stadia bentuk-D terjadi pada umur 20 jam. Alagarswami et al. (1989) juga
menemukan hal yang sama pada larva P. margaritifera yaitu setelah 20 jam larva
mencapai stadia awal bentuk-D.
Perkembangan umbo terjadi melalui tiga tahap yaitu stadia umbo awal, umbo
tengah (middle umbo) dan umbo akhir. Diantara stadia umbo tengah dan umbo akhir
atau pada hari ke 16 ditemukan adanya bintik hitam (spot) pada bagian tengah larva
dan biasa disebut “stadia eye-spot”. Pada larva P. fucata stadia eye-spot bekembang
pada hari ke 15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al. 1987).
Stadia umbo akhir (pediveliger) dimulai dari hari ke 18–20, ditandai dengan
mulai aktif mencari tempat untuk menempel. Pada stadia ini terjadi masa transisi dari
kehidupan planktonis menjadi bentik (spat) dan merupakan masa kritis, karena jika
tidak menemukan substrat untuk menempel, maka larva akan menunda masa
planktonisnya, akhirnya akan turun ke dasar atau mati. Menurut CMFRI (1991),
plantigrade merupakan stadia akhir kehidupan planktonis larva, dijumpai pada hari
ke 20–22, ditandai dengan pertumbuhan awal cangkang disepanjang bagian tepi
ventral, bentuknya tipis, transparan. Pada saat yang sama disekresikan benang-
benang bisus untuk menempel.
Aktivitas Makan
Aktivitas makan larva P. maxima berlangsung sepanjang hari, dengan puncak
konsumsi pada waktu pagi hari pukul 8.00 dan sore hari sekitar pukul 18.00
Kecenderungan larva untuk makan lebih banyak pada waktu pagi dan sore hari,
diduga berkaitan dengan aktivitas metabolisme. Kisaran suhu pagi (pukul 8.00) dan
139
sore hari (pukul 18.00) diduga secara alami merupakan suhu optimum bagi
kehidupan larva P. maxima sehingga laju metabolisme menjadi meningkat.
Sebaliknya pada waktu malam hari (pukul 24.00–4.00) suhu air relatif rendah jika
dikaitkan dengan aktivitas metabolisme, sehingga tingkat konsumsi pakan menurun
dan persentasenya paling rendah jika dibandingkan dengan waktu makan yang lain.
Ghiretti (1966) juga menyampaikan bahwa laju metabolisme moluska umumya
berkaitan dengan suhu.
Spat menunjukkan pola aktivitas makan yang hampir sama dengan larva,
yaitu mengkonsumsi pakan sepanjang hari, dengan puncak konsumsi pakan pada
waktu pagi hari pukul 8.00 sampai 10.00 dan sore hari dari pukul 16.00 sampai
20.00. Walaupun secara kuantitatif puncak konsumsi pakan di sore hari (pukul 18.00)
lebih rendah dibanding pagi hari (pukul 10.00), namun dilihat dari persentase jumlah
pakan yang dikonsumsi masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan waktu makan
sepanjang malam dan siang hari.
Menurut Brett (1997) dalam Keatomon and Baras (2001) konsumsi pakan
akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, setelah mencapai puncak
(optimum) kemudian mulai menurun, bahkan penurunan konsumsi pakan dapat
terjadi secara dramatis utamanya pada suhu di atas optimal. Laju metabolisme terus
menunjukkan peningkatan sampai pada batas suhu upper-thermal untuk
pertumbuhan. Jelaslah bahwa suhu tinggi dapat menekan nafsu makan, sedangkan
pada suhu optimum tingkat konsumsi dan efisiensi konversi pakan dapat maksimum.
Tingkat Konsumsi Pakan
Pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima,
menunjukkan, semakin besar ukuran larva maka konsumsi pakan makin meningkat.
Peningkatan konsumsi pakan harian yang cukup tinggi terjadi dari stadia veliger
bentuk-D (D1) sampai stadia umbo akhir (D14), namun sebaliknya pada stadia
pediveliger (D20) konsumsi pakan mengalami penurunan sampai 6,81 %. Tingkat
konsumsi pakan relatif tinggi pada awal stadia bentuk-D, diduga berkaitan dengan
metamorfose dan masa transisi pakan larva. Metamorfose, utamanya dari stadia
trokofore menjadi larva stadia bentuk-D (veliger) dan larva untuk pertama kali
membutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous), karena cadangan makanan dari
dalam (endogenous) sudah habis, sehingga membutuhkan energi yang sangat besar
140
dan ketersediaan energi hanya dapat diperoleh dari pakan. Alagarswami et al. (1989)
meneliti P. margaritifera dan Gosling (2004) meneliti Crassostrea virginica,
keduanya menemukan pencernaan larva sudah terbentuk pada awal stadia veliger
larva bentuk-D saat berumur 24 jam. Untuk mencapai perkembangan dan
pertumbuhan optimum, larva veliger planktotrofik sangat tergantung pada energi
bersih yang berasal dari pakan fitoplankton (Bayne 1983).
Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan, sintasan dan laju
pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan untuk larva P. maxima
sebagai berikut:
Pengamatan tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima menunjukkan
bahwa semakin besar ukuran maka tingkat konsumsi pakannya makin menurun.
Pendapat yang sama disampaikan Zeuthen (1947); Thorson (1936) dalam (Wilbur,
1964) bahwa laju metabolisme per unit berat badan ditemukan mengalami penurunan
seiring dengan meningkatnya ukuran Mytilus sp dan hal ini juga ditemukan pada
beberpa jenis bivalvia di perairan artik. Efisiensi makan bivalvia menurun manakala
ukuran individu semakin bertambah besar (Wilbur, 1964).
Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian,
sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan spat P.
maxima sebagai berikut:
141
Menurut Jeffrey et al. (1990) untuk memastikan kecukupan nutrisi dari pakan
yang diberikan, maka dibiasakan memberikan pakan campuran (mixed diet) yang
terdiri dari dua atau lebih spesies alga yang berbeda, misalnya pada stadia pasca larva
(juvenil) diberikan tambahan pakan flagelata berukuran besar seperti Tetraselmis dan
Chroomonas dan jenis diatom sentris lainnya. Dengan memberikan pakan campuran
dapat dipastikan telah tersedia suatu komplemen yang lengkap dengan nutrisi.
Lebih lanjut diamati, spat yang diberi pakan dengan komposisi terdapat I.
galbana menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
komposisi tambahan P. lutheri. Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Helm and
Laing (1987) walaupun I. galbana mengandung HUFA relative kecil tetapi tetap
digunakan karena sebagai pemacu pertumbuhan. Menurut Napolitano et al. (1990) I.
galbana mengandung 45 komponen lemak, dengan kandungan unsur utama termasuk
saturated (14:0 dan 16:0), monounsaturated (16:1w7 dan 18:1w7), polyunsaturated
(18:2w6, 18:4w3, 18:5w3, 22:5w6 dan 22:6w3) dan asam lemak (90 % dari total
asam lemak). Penting untuk dicatat bahwa kandungan 22:6w3 (DHA) pada I.
galbana sangat berlimpah, dengan nilai rata-rata mencapai 20 %, diikuti oleh 18:4w3
sebanyak 14 %. Salah satu ciri yang mencolok dari kandungan lemak I. galbana
adalah adanya asam lemak yang tidak biasa ditemukan seperti 18:5w3 atau
mengandung w3-PUFA (53,6 %).
Laju Metabolisme Larva
Sampai saat ini belum banyak publikasi yang berkaitan dengan
metabolisme larva, khususnya pada larva tiram mutiara P. maxima. Kajian ini
dilakukan untuk mengetahui respon larva terhadap suhu dan salinitas yang berbeda,
sehingga dapat diketahui jumlah energi yang dialokasikan serta tingkat konsumsi
oksigen atau oksigen terlarut yang dibutuhkan, guna mengoptimalkan sintasan dan
laju pertumbuhan.
Laju metabolisme rutin dapat ditentukan melalui pengukuran tingkat
konsumsi oksigen. Pengukuran Metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi
organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai
jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi et al.
2008; Gosling 2004).
142
Alokasi energi terbesar yang digunakan untuk metabolisme rutin pada
perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 34 ‰ (BF) dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa sintasan dan pertumbuhan paling tinggi terjadi pada perlakuan tersebut dan
terendah pada perlakuan suhu 26 oC dan salinitas 30 ‰ (AD). Pada perlakuan BF
energi yang dibelanjakan mencapai 19,58–30,13 J/g/jam (4,67–7,20 C/g/jam),
sedangkan pada perlakuan AD pembelanjaan energi lebih rendah yaitu 4,70–15,15
J/g/jam (1,12–3,62 C/g/jam).
Hasil pengamatan terhadap perkembangan stadia larva menunjukkan bahwa
laju metabolisme menurun seiring dengan meningkatnya perkembangan stadia larva.
Secara umum belanja energi terbesar terjadi pada stadia I dan terendah pada stadia
III. Pernyataan yang mendukung disampaikan Vernberg (1972) dan Pechenik (1980),
pada larva Nassarius obsoletus diamati mengalami penurunan konsumsi oksigen
manakala berkembang atau mengalami metamorfose dari stadia berenang aktif
berubah menjadi pediveliger yang mempunyai behavior berenang berputar-putar
(crawling).
Menurut Gosling (2004) pada saat ini akan lebih bermanfaat melakukan
pengkajian dengan melihat pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap
pertumbuhan. Suhu dan salinitas berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan
pertumbuhan awal larva P. imbricata (O’Connor and Lawler, 2004). Pada percobaan
ini, sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima nyata dipengaruhi oleh suhu dan
salinitas. Suhu dan salinitas optimum untuk larva P. maxima adalah 28 oC dan 32–34
‰ (P ≥ 0,05). Tingkat oksigen terlarut yang dibutuhkan selama masa stadia larva
antara 4,8−5,5.
Laju Metabolisme Spat
Belanja energi tertinggi baik pada spat umur 25 hari (2,66–2,77 C/g/jam)
maupun umur 35 hari (1,90–2,01 C/g/jam) terjadi pada perlakuan suhu 28 oC;
salinitas 34 ‰; 32 ‰ ((P ≥ 0,05), sehingga sintasan dan pertumbuhan pada perlakuan
tersebut paling tinggi. Tingkat oksigen terlarut yang dibutuhkan spat (D25−D35)
antara 4,8−5,5. Menurut Goddard (1996), pada kondisi suhu dan salinitas optimum
terjadi laju metabolisme maksimum, sehingga bisa dicapai sintasan dan laju
pertumbuhan maksimum.
143
Dalam kajian ini belanja energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima
umur 35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Diduga, spat umur 25
hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi hidup
sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bisus untuk menempelkan diri
pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisinya relatif sudah lebih stabil,
spat sudah menetap, jika ada produksi bisus hanya untuk mengimbangi pertambahan
berat, sehingga membutuhkan energi lebih kecil.
Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya berpengaruh terhadap fungsi dan struktur invertebrata dalam
air. Intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva stadia
veliger dari radiasi sinar ultra violet. Larva tiram mutiara bersifat fototaksis positif
dan umumnya selama proses metamorfose menghendaki intensitas cahaya yang
sesuai (CMFRI, 1991).
Pengamatan terhadap distribusi larva hari ke 2 menunjukkan, pada intensitas
cahaya rendah (0, 200 lux) terlihat bergerombol di permukaan, membentuk lebih dari
satu kelompok. Hari ke 5–7, massa larva mulai bergerak berputar-putar menyerupai
angin puting beliung, kebiasaan tersebut berlangsung hingga hari ke 14−16. Pada
intensitas cahaya 800 lux, larva menyebar dan menjauhi permukaan air. Pada
intensitas cahaya 500 lux masih terdapat sekelompok masa larva kecil-kecil di bagian
permukaan air. Menurut Gosling (2004), selama stadia larva-bivalvia bersifat
planktonis dan benar-benar bersifat fototrofik dan sensitif terhadap cahaya. Namun
cenderung bersifat shading-behavior atau menghindar dari cahaya langsung (Brusca,
1990).
Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa larva P. maxima menghendaki
kondisi lingkungan pemeliharaan dengan intensitas cahaya rendah atau kurang dari
200 lux. Temuan ini dapat juga menjadi jawaban, mengapa sebagian besar hatchery
tiram mutiara yang ada di Indonesia menggunakan disain bangunan tertutup atau
ruangan gelap untuk pemeliharaan larva khususnya. Dipertegas lagi oleh pernyataan
Alagarswami et al. (1987) dan CMFRI (1991) larva tiram mutiara P. fucata
mempunyai preferensi konsisi lingkungan dengan pencahayaan rendah dan untuk
memanipulasi lingkungan digunakan wadah pemeliharaan yang berwarna gelap dan
144
hasilnya larva menunjukkan perkembangan yang baik serta waktu penempelan lebih
cepat.
Pada intensitas cahaya 0, 500 lux spat lebih banyak menempel pada kolektor
bagian atas dan ada sebagian yang bergerombol di bagian kerangka kolektor sebelah
atas. Pada intensitas cahaya 1.000 lux, spat banyak berada di bagian tengah kolektor,
sedangkan pada intensitas cahaya 1.500 dan 2.000 lux hanya ditemukan sedikit spat
yang menempel pada kolektor, sebagian besar spat menempel di bagian bawah
kolektor dan dasar wadah.
Dalam percobaan ini intensitas cahaya optimum dicapai pada kisaran 500 lux,
setelah melewati 1000–2000 lux jumlah penempelan spat semakin menurun.
Disampaikan Bayne (1983); Gosling (2004) juvenil atau spat bivalvia umumnya
besifat foto-negative. Winanto et al. (1987) menjumpai spat P. maxima menempel
pada bagian bawah pelampung rakit budidaya tiram mutiara dan keramba ikan di
perairan teluk Hurun Lampung. Spat P. maxima hidup menempel pada substrat yang
keras di dasar perairan sampai kedalaman sekitar 10–75 m.
Berkaitan dengan pengaruh intensitas cahaya terhadap pigmentasi khususnya
warna cangkang spat, sampai saat ini belum banyak dilakukan kajian terhadap
fisiologi dan regulasi organ-organ pembawa pigmen atau organ pencahayaan pada
moluska. Observasi pada warna dan karakteristik spektrum cahaya yang berpengaruh
pada warna moluska juga masih terbatas (Nicol 1964). Cangkang spat P. maxima
berwarna kuning pucat atau kuning kecoklatan, dan warna pada garis-garis radiernya
bervariasi mulai dari coklat kemerahan, merah anggur atau hijau. Setelah dewasa
warna-warna pada garis radier tersebut biasanya memudar (BBL 2001; Winanto
2004).
Pada beberapa sampel bivalvia juga ditemukan adanya karotinoid, hasil
observasi menunjukkan bahwa kandungan karotin pada moluska berubah-ubah sesuai
dengan musim (Fox 1966). Warna orange cerah pada kerang Mytilus californianus
ditemukan oleh Scheer (1940), namun tidak ditemukan karotin tetapi berupa
Xantophil yang jarang ditemukan. Diduga, pigmen warna gelap pada cangkang spat
disebabkan oleh melanin, tetapi harus diingat tidak semua pigmen warna gelap dari
invertebrata disebabkan melanine (Fox 1966; Wilbur and Saleuddin 1983).
145
Mengukur intensitas cahaya diduga lebih efektif pengaruhnya dibanding
mengukur lama waktu panjang siang hari (ada cahaya), karena intensitas cahaya
sepanjang pagi sampai sore berfluktuasi dipengaruhi kondisi lingkungan atau cuaca
(Zhuang 2006). Melalui pengungukuran intensitas cahaya, maka dapat diketahui
kebutuhan pencahayaan spat P. maxima, sehingga dapat dilakukan pemeliharaan di
lab dengan manipulasi pencahayaan. Menurut Yang et al. (2000); Wu et al. (2002)
ritme biologis makan bivalvia M. meritrix erat kaitannyanya dengan cahaya, suhu,
ketersediaan pakan dan gerakan pasang surut air. Aktifitas makan M. meritrix
dipengaruhi oleh panjang siang atau adanya cahaya. Zhuang (2006) menyampaikan,
laju mencerna makanan berkaitan dengan metabolisme dan efektifitas metabolisme
berkaitan erat dengan energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan dan aktivitas
biologis lainnya seperti mencari tempat untuk menempel atau tempat tinggal-
menetap yang nyaman. Sejalan dengan pemikiran para ahli tersebut, hasil kajian ini
juga menunjukkan adanya pengaruh nyata (P < 0,05) intensitas cahaya terhadap
sintasan, pertumbuhan, dan jumlah penempelan spat. Dukungan juga disampaikan
Gosling (2004) bahwa cahaya merupakan modulator pertumbuhan kerang. Jika
menempatkan kerang (mussel) secara terus-menerus di tempat gelap, serta
mengurangi pencahayaan atau pada fotopiriod ± 7 jam, maka perlakuan yang
diberikan dapat berpengaruh siknifikan terhadap pertumbuhan dan biasanya dapat
dilihat melalui peningkatan aktivitas makan.
Pemeliharaan Larva dan Spat pada Lingkungan Optimal
Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik
secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang
optimal, seperti untuk pertumbuhan dan proses fisiologis yang mengatur organisme
tetap dalam kondisi terkontrol. Setiap spesies hewan air mempunyai kisaran
lingkungan optimum yang berbeda (Summerfelt 2007). Makna khusus bagi
akuakultur, setiap spesies yang dibudidayakan mempunyai kisaran suhu optimum.
Kisaran suhu optimum didefinisikan sebagai cakupan/rangkuman yang meliputi
pemberian pakan dan tidak terdapat tanda-tanda behavior abnormal berkaitan dengan
stres akibat suhu atau termal stress (Elliot 1981). Kisaran optimum dapat juga
didefinisikan sebagai pertumbuhan optimum yang sempit (Goddard 1996).
146
Hasil dalam kajian ini juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
Southgate dan Ito (1998) dengan menggunakan sistem partial-flow untuk
mendapatkan kualitas air yang prima, sintasan larva P. margaritifera pada hari ke 7
sekitar 61 % dan sintasan larva stadia pediveliger 5 %. Studi yang sama dilakukan
Alagarswami et al (1989) dilaporkan sintasan larva P. fucata stadia pediveliger 6,3
%. Informasi dari teknisi pembenihan tiram mutiara P. maxima pada P. T. Kyoko
Shinju di Lampung, sintasan spat sampai umur 30–40 hari kira-kira 10–20 %
(Komunikasi Pribadi, 2007). Menurut Taufiq (2009) sintasan spat P. maxima umur
30 hari di P.T. Autore Culture, Dompu Sumbawa antara 6–7 %.
Umur Pemindahan Spat
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa spat paling baik dipindahkan ke laut
pada umur 40–50 hari pemeliharaan di lab, karena secara alami spat akan cepat
beraklimatisasi dengan kondisi alam dan cangkangnya sudah relatif tebal untuk
melindungi tubuh dari kondisi lingkungan. Sebaliknya pada umur 30 hari,
canngkangnya masih tipis sehingga tidak tahan terhadap kondisi lingkungan di alam
yang berfluktuasi. Alagarswami et al. (1987) melakukan pemeliharaan spat P. fucata
di lokasi budidaya mulai ukuran 10–20 mm dan pernah juga melakukan pemindahan
spat ukuran > 3 mm dengan menggunakan transportasi darat ke lokasi budidaya,
dicatat mortalitas tinggi banyak terjadi pada spat yang dipindahkan ukuran < 3 mm
(umur 35–40 hari). Sementara Rose and Baker (1994); Taylor et al. (1997)
memindahkan spat P. maxima dari hatchery pada umur 45 hari dengan ukuran sekitar
3 mm (DV), spat dimasukkan ke dalam kantong dengan lebar mata jaring # 1 mm
dan digantungkan pada long-line di kedalaman 2,5 m. Perusahaan budidaya mutiara
P.T. Autore Culture, di Dompu Sumbawa memindahkan spat umur 30 hari ke laut,
tetapi mortalitasnya cukup tinggi yaitu sekitar 92 % (Taufik, 2009).
Tingkat Kepadatan Spat
Tingkat kepadatan merupakan modulator pertumbuhan (Gosling 2004). Pada
tingkat kepadatan yang tinggi akan terjadi kompetisi pakan dan ruang. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan spat terbaik terjadi pada
147
kepadatan optimum 500 ekor/kolektor (20,83 spat per 100 cm2). Diduga pada
kepadatan optimum kompetisi ruang dan pakan relatif kecil, sehingga spat dapat
tumbuh dan berkembang lebih baik. Sebaliknya pada kepadatan tinggi seperti
perlakuan 2.000 spat/kolektor, terjadi kompetisi pakan dan tempat yang lebih tinggi,
sehingga hanya spat posisinya di atas dan aktif memfilter pakan dapat hidup dan
tumbuh pesat, tetapi yang terhimpit atau di bagian bawah akan lambat tumbuh atau
bahkan mati. Dalam penelitian Taylor et al. (1997) juga menemukan hal yang sama,
yaitu pada kepadatan yang tinggi (≥ 25 individu per 100 cm2) individu saling melekat
bersama membentuk kelompok atau bergerombol. Gerombolan yang saling melekat
antara satu dengan lainnya semakin nyata pada tingkat kepadatan tinggi.
Jika ukuran kepadatan yang digunakan dalam kajian ini dikonversi sesuai
dengan penelitian Taylor et al. (1997) yaitu kepadatan individu per 100 cm2, maka
hasil kajian yang dilakukan hampir sama dengan penelitian Rose and Baker (1994)
pada spat P. margaritifera dimana sintasan terbaik terdapat pada kepadatan 4
individu per 100 cm2 dan 25 individu per 100 cm2, namun kedua kepadatan tersebut
tidak berbeda nyata.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai
tingkat kepadatan pada setiap stadia dalam siklus hidup bivalvia, namun demikian
hasil laju pertumbuhan yang diamati dapat berbeda tergantung pada spesies dan
lingkungan pemeliharaan (Gosling, 2004).
Menurut Cote et al. (1993) hanya ada satu penjelasan bahwa tingkat
kepadatan yang tinggi dapat mengurangi ketersediaan makanan per individu. Sebagai
hipotesis alternatif adalah laju pertumbuhan menurun pada tingkat kepadatan tinggi,
karena berkurangnya ruang (space); hal ini memicu meningkatnya kontak fisik antar
individu, dengan lebih sering terjadi iritasi dan retraksi mantel atau penutupan
cangkang, akibatnya nafsu makan jadi menurun.
Akhirnya, menyitir satu pernyataan menarik dari Abo dan Toda (2001),
“The Ultimate Goal” dari budidaya tiram mutiara adalah apabila secara ekonomi
dapat berjalan dan menghasilkan mutiara-mutiara dalam kuantitas besar dan kualitas
tinggi. Jadi laju pertumbuhan dan sintasan bukanlah akhir dari segalanya, ini hanya
salah satu faktor dan faktor yang paling penting adalah kontribusinya kepada ultimate
goal dari budidaya mutiara itu sendiri.
148
STANDAR OPERASIONAL PROSEDURE (SOP) PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT TIRAM MUTIARA P. maxima
TAHAP I
Pemeliharaan Larva
HATCHERY Stadia 1
Stadia 2 SR = 70 %
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5-6.
• Pakan : Isochrysis galbana dan atau Pavlova lutheri.
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 3700–7800 sel/ml. • Densitas larva: 3 ekor/ml
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, Intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5,5-6,5.
• Pakan : I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %).
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 7500–10000 sel/ml. • Densitas larva: 1–2 ekor/ml. • Pemasangan kolektor : hari ke 16–17.
Stadia III SR = 57−70 %
TAHAP II
Pemeliharaan Spat
Spat (D25) SR = 32 %
Spat (D35) SR = 80−90 %
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya 500 lux, DO 6-7, running water.
• Pakan : I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + Tetraselmis tetrathele (50 %).
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 8900–19000 sel/ml. • Densitas spat : 1–2 ekor/cm2.
Spat (D90) SR = 50−60 %
TAHAP III
Pendederan dan Pembesaran
• Waktu pemindahan : hari ke 40–50. • Densitas : 500 ekor/kolektor (20,83/100 cm2).• Kedalaman pemeliharaan : 3 m. • Frekwensi perawatan : setiap 1–2 minggu. • Media : salinitas ≥ 32 ‰, suhu 28−29 oC, arus
25−30 cm/detik.
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 4,8-5,5.
• Pakan : Isochrysis galbana. • Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 2600–4200 sel/ml. • Densitas larva: 5 ekor/ml
149
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Faktor lingkungan seperti seperti suhu, salinitas, DO dan intensitas cahaya
berpengaruh nyata (P ≤ 0,05) terhadap sintasan, perkembangan larva dan
pertumbuhan spat P. maxima. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva dan spat
adalah 28 oC, sedangkan salinitas optimum 32–34 ‰. Tingkat oksigen terlarut
yang baik untuk pemeliharaan larva antara 4,8−6,5 dan untuk spat 6−7. Intensitas
cahaya optimum untuk pemeliharaan larva 0– 200 lux dan spat 0−500 lux.
2. Umur pemindahan spat ke laut paling baik dilakukan antara 40–50 hari
pemeliharaan di lab. Kepadatan optimum spat tiram mutiara P. maxima pada masa
pendederan di laut adalah 500 ekor/kolektor (40 x 60 cm).
Saran
1. Standar operasional prosedure (SOP) pemeliharaan larva dan spat dapat
digunakan untuk pengembangan hatchery tiram mutiara P. maxima, yang
dilakukan oleh para praktisi-pembudidaya.
2. Perlu dilakukan kajian ekofisiologi larva dan spat tiram mutiara P. maxima yang
lebih mendalam, utamanya berkaitan dengan kemampuan proses adaptasi terhadap
lingkungan, seperti mengukur aktifitas silia (ciliary activity), laju filtrasi, tekanan
osmotik, enzim dan absorbsi asam amino khususnya pada organ-organ spesifik.
STANDAR OPERASIONAL PROSEDURE (SOP) PEMELIHARAAN LARVA DAN SPAT TIRAM MUTIARA P. maxima
TAHAP I
Pemeliharaan Larva
HATCHERY Stadia 1
Stadia 2 SR = 70 %
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5-6.
• Pakan : Isochrysis galbana dan atau Pavlova lutheri.
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 3700 – 7800 sel/ml. • Densitas larva: 3 ekor/ml
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, Intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5,5-6,5.
• Pakan : I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %).
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 7500 – 10000 sel/ml. • Densitas larva: 1 – 2 ekor/ml. • Pemasangan kolektor : hari ke 16 – 17.
Stadia III SR = 57-70 %
TAHAP II
Pemeliharaan Spat
Spat (D25) SR = 32 %
Spat (D35) SR = 80-90 %
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya 500 lux, DO 6-7, running water.
• Pakan : I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + Tetraselmis tetrathele (50 %).
• Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 8900 – 19000 sel/ml. • Densitas spat : 1 – 2 ekor/cm2.
Spat (D90) SR = 50-60 %
TAHAP III
Pendederan dan Pembesaran
• Waktu pemindahan : hari ke 40 – 50. • Densitas : 500 ekor/kolektor (2400 cm2). • Kedalaman pemeliharaan : 3 m. • Frekwensi perawatan : setiap 1 – 2 minggu.• Media : salinitas ≥ 32 ‰, suhu 28-29 oC,
arus 25-30 cm/detik.
• Media : salinitas 32-34 ‰, suhu 28 oC, intensitas cahaya ≤ 200 lux, DO 5-6.
• Pakan : Isochrysis galbana. • Pemberian : 2 x 1 hari. • Jumlah : 2600 – 4200 sel/ml. • Densitas larva: 5 ekor/ml
STANDAR OPERASIONAL PROSEDURE (SOP) PENELITIAN
No. Obyek Penelitian
Sub Penelitian
Pengamatan Standar Teknis Luaran
1
Pemeliharaan larva dan spat di lab
Jenis dan densitas pakan hidup.
• Aktivitas makan
• Tingkat
konsumsi pakan.
• Umur / stadia
mulai makan. • Morfogenesis.
• Metode observasi. • Hewan uji larva D1 & spar D25 (330 x
300 µm) • Wadah percobaan larva volume 500 liter
& percobaan spat volume 20 liter. • Jenis pakan I. galbana, P. lutheri, T
tetrathele. • Pupuk formula Walne dan Hirata. • Skala kultur murni 2-5 lt. • Kepadatan larva 2-5 ekor/ml dan spat 1
ekor/cm2 (spat menempel pada kolektor ukuran 20 x 30 xm).
• Kepadatan pakan larva 4-10 x 103 sel/ml dan pakan spat 10-20 x 103 sel/ml.
• Suhu ruang 19-23 oC • Salinitas media 32 – 34 ‰. • Mengamati selisih jumlah pakan
sebelum dan sesudah dikonsumsi. • Pengamatan setiap 2 jam selama 1 hari
pada hari ke 1, 6, 14 dan 20. • Pengamatan secara mikroskopis (40 kali)• Jumlah sampel larva 10 ml dan sampel
spat 20 ekor. • Metode observasi. • Penurunan densitas pakan dalam media
menunjukkan adanya tingkat konsumsi pakan.
• Menghitung selisih densitas pakan yang dikonsumsi selama 1 hari dan jumlah pakan yang diberikan.
• Metode observasi. • Perkembangan embrionologi. • Pengamatan mikroskopis (40-60 kali)
mulai dari telur fertil sampai stadia trokofor.
• Jumlah sampel 10 ml, diambil acak. • Metode observasi. • Pengamatan mikroskopis (40 kali) mulai
17 jam setelah fertilisasi sampai hari ke 20.
• Mengidentifikasi waktu pencapaian stadia plantigrade pada setiap perlakuan.
• Jumlah sampel 10 ml, diambil acak.
• Larva bpertamdijump18-20 jmeneta
• Aktifitdan tinkonsumlarva d
• Jadwalpakan spat.
Lingkungan pemeliharaan:• Suhu
,salinitas, DO.
• Biometri • Sintasan • Respon
hewan uji terhadap perlakuan.
• Rancangan percobaan RAK Faktorial. • Perlakuan larva: Jenis pakan (A) I.
galbana. (B) P. lutheri. (C) T. tetrathele. Densitas pakan: (D) 4000; (E) 7000; 10000 sel/ml.
• Perlakuan spat: Jenis pakan (A)I.galbana (50 %)+ T. tetrathele (50 %); (B) P. lutheri (50 %)+ T. tetrathele (50 %); (C) I. galbana (25 %)+ P. lutheri (25%)+T. tetrathele (50 %). Densitas pakan (D) 10000; (E) 15000; (F) 20000 sel/ml.
• Mengukur panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) dengan menggunakan mikrometer. Sampel diambil acak, untuk larva sebanyak 10 mldan sampel spat 20 ekor.
• Menghitung laju pertumbuhan spesifik yaitu persentse selisih ukuran akhir (Ln) dan awal (Ln) dibagi waktu pengamatan.
• Rancangan percobaan RAK Faktorial. • Perlakuan larva & spat......... sda. • Menghitung persentase selisih jumlah
hewan uji akhir dan awal. • Sampel diambil acak, untuk larva
sebanyak 10 ml dan sampel spat 20 ekor.• Menghitung sampel larva secara
mikroskopis (40-60 kali) menggunakan sadgewick raftercells
• Rancangan percobaan RAK Faktorial. • Perlakuan suhu 26; 28; 30 oC dan
salinitas 30; 32; 34 ‰. • Wadah volume 20 liter. • Pengamatan mikroskopis (40 x) • Mengamati perkembangan dan
pertumbuhan larva. • Mengamati pertumbuhan spat. • Pengukuran suhu dengan termometer
Hg. Untuk mendapatkan suhu sesuai perlakuan digunakan heater.
• Pengukuran salinitas dengan refrakto-meter. Untuk mendapatkan salinitas 30, 32 ‰ dilakukan penambahan air tawar (salinitas di lokasi ≥ 34 ‰).
• Untuk mempertahankan kosentrasi salinitas dilakukan penambahan air tawar.
• Panjang AP x DV diukur dengan mikrometer.
• Menghitung laju pertumbuhan spesifik. • Menghitung sintasan (%).
• Suhu o
larva doC.
• Salinitoptimudan sp‰.
• Kebutuuntuk metabolarva d
• Intensitas
cahaya.
• Konsumsi
oksigen • Laju meta-
bolisme rutin • Respon
hewan uji terhadap perlakuan.
• Menempatkan hewan uji di dalam botol
gelap volume 200 liter. • Mengukur konsentrasi oksigen dengan
siatim tertutup. • Oksigen terlarut diukur dengan DO
meter (YSI 550A, tipe 03J0820). • Berat larva ditimbang dengan
timbangan analitik. • Pengamatan dilakukan setiap jam
selama 24 jam. • Menghitung selisih kandungan oksigen
terlarut awal & akhir pengamatan, dibagi waktu pengamatan dan berat larva.
• Diukur pada kondisi larva tetap diberi
pakan selama percobaan. • Mengkonversi jumlah O2 yang
dikonsumsi ke dalam satuan energi yaitu 1 mgO2 = 0,7 mlO2; 1 mlO2 = 19,9 Joule; 1 calorie = 4,184 Joule.
• Rancangan percobaan RAL. • Perlakuan larva: 0, 200, 500, 800 lux. • Perlakuan spat: 0, 500, 1000, 1500,
2000 lux. • Pengamatan mikroskopis (40 x)
terhadap perkembangan larva dan pertumbuhan spat.
• Pengukuran intensitas cahaya dengan digital lux meter (Lutron LX-101, USA)
• Pencahayaan menggunakan lampu TL 40 watt.
• Untuk mendapatkan Intensitas cahaya 0 lux, wadah ditutup dengan plastik hitam. Intensitas 200-1000 dimanipulasi dengan penutupan paranert rangkap 2-6 lembar.
• Mengamati pigmentasi pada cangkang spat.
• Menghitung laju pertumbuhan spesifik (AP x DV).
• Menghitung sintasan (%).
• Intensi
optimu– 200 l
• Intensioptimu500 lux
2 Aplikasi pemeliharaan larva & spat pada lingkungan optimum.
• Sintasan • Rancangan percobaan RAK. • Wadah uji ukuran 2 ton. • Perlakuan: lingkungan optimum (suhu
28 oC, salinitas 32-34 ‰, intensitas cahaya untuk larva 0-200 lux & spat 500 lux) dan kondisi alami (kontrol).
• Pakan jenis I. galbana, P. lutheri, T. tetrathele. Densitas pakan larva 4000 –
• Lingkupemeloptimu28 oC,32-34 intensipada llux &
7000 sel/ml dan spat 10000 – 20000 sel/ml.
lux)
3 Pemeliharaan spat di laut
Pendederan dan pembesaran • Pengukuran
parameter fisika dan kimia air
• Waktu pemindahan.
• Tingkat
kepadatan. • Sintasan • Pertumbuhan • Salinitas • Suhu • pH
• Rancangan percobaan RAK. • Perlakuan waktu pemindahan mulai hari
ke 30, 40, 50, 60, 70, 80 dan 90. • Proses penempelan spat di dalam lab. • Kepadatan spat 2 ekor/cm2 (ukuran
kolektor 40x60 cm) • Selama di lab spat diberi pakan cam-
puran I.galbana, P. lutheri, T.tetrathele, kepadatan 20-30 x 103 sel/ml.
• Pemeliharaan di lab dengan sistim running water dan diberi pengudaraan.
• Pemeliharaan dengan rakit apung pada kedalaman 3m
• Rancangan percobaan RAK. • Perlakunan tingkat kepadatan 500,
1000, 1500 dan 2000 spat/kolektor. • Proses penempelan spat di dalam lab. • Kolektor dari bahan paranet (40x60 cm)
dimasukkan dalam kantong waring (# 1 – 2 mm).
• Pemeliharaan dengan rakit apung pada kedalaman 3m
• Menghitung persentase selisih jumlah
hewan uji akhir dan awal. • Pengamatan setiap 15 hari. Jumlah
sampel 20 ekor, diambil acak. • Menghitung laju pertumbuhan spesifik
yaitu persentse selisih ukuran akhir (Ln) dan awal (Ln) dibagi waktu pengamatan.
• Pengukuran AP x DV menggunakan calipper.
• Pengamatan setiap 15 hari. Jumlah sampel 20 ekor, diambil acak.
• Waktupeminke laut– 50 sepemellab.
• Tingka
kepadapada mpendedekor/k
• DO • Nitrat • Nitrit • Fosfat • Amonia • Silikat • Arus • Jenis dan
kelimpahan plankton
165
Lampiran 1a. Lokasi Penelitian kajian pemeliharaan larva dan spat tiram mutiara P. maxima di laboratorium Desa Mangkit, Kec. Belang, Kab. Minahasa Tenggara, Prop. Sulawesi Utara.
Lampiran 1b. Lokasi penelitian kajian pemeliharaan spat P. maxima di P. Kabra Kecil
dan Selat Kabra, Kec. Samate, Kabupaten Raja Ampat, Prop. Irian Jaya Barat, Papua.
166
Lampiran 2. Komposisi Pupuk Walne dan Hirata
Media Walne’s
Larutan – A : 5,00 ml
Larutan – B : 0,50 ml (Larutkan A, B, C dalam aquades 5 liter)
Larutan – C : 0,50 ml
1. Larutan – A :
• Na2 EDTA (Sodium/Natrium EDTA) : 45,00 gram • H3BO3 (Asam Orthoboric) : 33,60 gram • NaNO3 atau KNO3 : 100,00 gram (116 gram) • NaH2PO4, 2H2O : 20,00 gram • MnCl2,4H2O (Mangan Klorida) : 0,36 gram • FeCl3, 6H2O (Besi Klorida) : 1,30 gram • Aquades : 1,00 liter
2. Larutan – B (Trace elemen) :
• ZnCl2 (Seng Klorida) : 2,10 gram • CuSO4,5H2O (Tembaga Sufat) : 2,00 gram • CoCl2,6H2O (Cobalt Klorida) : 0,90 gram • (NH4) 6,Mo7O2,4H2O (Amonium paramolybdate) : 2,00 gram • Aquades : 1,00 liter • Tambahkan asam clorida (HCl) secukupnya untuk mendapatkan larutan jernih
3. Larutan – C (Vitamin):
• B1 (thiamin) : 100 mg • B12 : 5 mg • Aquades : 1 liter
Komposisi Media Hirata
• (NH4)2SO4 : 122,60 ppm
• Na2PO4,12H2O : 23,00 ppm
• Clewat 32 : 15,00 ppm
168
Lampiran 4. Tingkat konsumsi pakan harian larva tiram mutiara P. maxima.
Hari ke
Densitas awal (sel/ml) Densitas Akhir (sel/ml) Konsumsi pakan (sel/ml/hari)
Iso Pav Iso+Pav Iso Pav Iso+Pav Iso Pav Iso+Pav 1* 4.000 4.000 4.000 1.360 3.993 3.890 2640 7 110
2 4.000 4.000 4.000 690 3.968 3.170 3310 32 8303 4.000 4.000 4.000 100 3.912 2.535 3900 88 14654 5.000 5.000 5.000 428 2.698 2.800 4572 2305 22005 5.000 5.000 5.000 494 2.720 2.983 4506 2280 20176 5.000 5.000 5.000 950 2.893 3.075 4050 2207 19257 6.000 6.000 6.000 2.275 3.836 4.097 3725 2164 19038 6.000 6.000 6.000 1.790 2.180 3.640 4210 3820 23609 6.000 6.000 6.000 600 2.113 2.413 5400 5120 3587
10 7.000 7.000 7.000 710 1.055 2.610 6290 5946 439011 7.000 7.000 7.000 185 1.392 275 6815 6500 560812 8.000 8.000 8.000 598 734 1.418 7402 7266 658213 8.000 8.000 8.000 376 481 983 7624 7519 701714 8.000 8.000 8.000 42 170 336 7958 7830 768015 9.000 9.000 9.000 1.268 1.395 1.447 7733 7605 755316 9.000 9.000 9.000 1.400 1.510 1.500 7600 7490 750017 9.000 9.000 9.000 1.131 1.250 940 7869 7750 806018 10.000 10.000 10.000 1.890 1.980 1.285 8110 8020 871519 10.000 10.000 10.000 1.633 1.756 955 8367 8244 904520 10.000 10.000 10.000 1.470 1.585 740 8530 8415 9260Keterangan:
1. Iso : Isochrysis galbana 2. Pav : Pavlova lutheri 3. * : Pakan diberikan umur 18 jam dan dihitung 6 jam kemudian
Lampiran 5. Tingkat konsumsi pakan harian spat tiram mutiara P. maxima
Hari Densitas awal (sel/ml) Densitas akhir (sel/ml) Jumlah Pakan yang Dimakan (sel/Ind/hari)
ke Ig+Tt Pa+Tt Ig+Pa+Tt Ig+Tt Pa+Tt Ig+Pa+Tt Ig+Tt Pa+Tt Ig+Pa+Tt 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
10000 10000 10000 15000 15000 15000 17500 17500 20000 20000 20000
10000 10000 10000 15000 15000 15000 17500 17500 20000 20000 20000
10000 10000 10000 15000 15000 15000 17500 17500 20000 20000 20000
1100 750 186
4280 3281 1740 2671 862
2906 2750 2190
3865 3510 2940 5862 4886 3080 4663 4190 6398 5100 4140
1837 1480 900 3525 1400 386 1675 284 1800 1570 1075
8900 9250 9814
10720 11719 13260 14829 16638 17094 17250 17810
6135 6490 7060 9138
10114 11920 12837 13310 13602 14900 15860
8163 8520 9100 11475 13600 14614 15825 17216 18200 18430 18925
Keterangan: Ig : Isochrysis galbana Pa : Pavlova lutheri Tt : Tetraselmis tetrathele
169
Lampiran 6. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F Sig,
Jenis 3828,084 2 1914,042 456,712 0,000**Densitas 3576,934 2 1788,467 426,748 0,000**Umur 13478,620 2 6739,310 1608,075 0,000**Jenis * Densitas 617,380 4 154,345 36,828 0,000**Jenis * Umur 6715,621 4 1678,905 400,606 0,000**Densitas * Umur 11134,184 4 2783,546 664,185 0,000**Galad 259,837 62 4,191 Total 237045,734 81
Uji Tukey terhadap sintasan larva pada berbagai jenis pakan hidup
Jenis N Alpha = 0,05 Fitoplankton 1 2 3 Iso+Pav 27 41,4670 Pav 27 48,4196 Iso 27 58,2256Sig, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey terhadap sintasan larva pada berbagai densitas pakan hidup
Densitas N Alpha = 0,05 Fitoplankton 1 2 3 4000 27 40,4044 10000 27 51,4159 7000 27 56,2919Sig, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey terhadap sintasan stadia larva pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3 Stadia III 27 32,2044 Stadia I 27 52,6067 Stadia II 27 63,3011Sig, 1,000 1,000 1,000
170
Lampiran 7a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Stadia I:
Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktir I (D) 4,000 (E) 7,000 (F) 10,000 Jenis Pakan : AP DV AP DV AP DV (A) I. galbana Rata-rata 5,2 4,38 3,9 3,1 2,5 1,7 STDEV 0,56 0,58 0,74 0,62 0,75 0,72 (B) P. lutheri Rata-rata 2,48 1,66 1,7 0,93 0,75 0,21 STDEV 0,75 0,54 0,65 0,60 0,6 0,26 (C) I. galbana Rata-rata 0,71 0,18 0,15 0,05 0,06 0,02 + P. lutheri STDEV 0,65 0,20 0,17 0,04 0,04 0,03
Stadia II :
Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktir I (D) 4000 (E) 7000 (F) 10000 Jenis Pakan : AP DV AP DV AP DV (A) I. galbana Rata-rata 4,93 3,7 7,85 6,97 5,58 4,67 STDEV 1,31 0,85 0,63 0,75 0,79 0,75 (B) P. lutheri Rata-rata 4,49 3,59 7,7166667 6,93333 5,35 4,47 STDEV 0,88 0,83 0,81 0,80 0,83 0,80 (C) I. galbana Rata-rata 2 1,1 5,26 4,36 4,19 3,29 + P. lutheri STDEV 0,8 0,85 0,84 0,83 0,81 0,84
Stadia III :
Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktir I (D) 4000 (E) 7000 (F) 10000 Jenis Pakan : AP DV AP DV AP DV (A) I. galbana Rata-rata 1,69 1,25 3,18 2,73333 4,90 4,46 STDEV 0,75 0,74 0,84 0,654 0,80 0,86 (B) P. lutheri Rata-rata 1 0,64 3,04 2,59 4,82 4,37 STDEV 0,7 0,65 0,74 0,78 0,86 0,85 (C) I. galbana Rata-rata 1,65 1,15 3,63 3,17 6,70 6,25 + P. lutheri STDEV 0,89 0,70 0,85 0,72 0,70 0,75
171
Lampiran 7b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik AP larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F Sig,
Jenis 41,043 2 20,522 39,742 0,000** Densitas 28,833 2 14,417 27,919 0,000** Stadia 150,178 2 75,089 145,417 0,000** Jenis * Densitas 8,999 4 2,250 4,357 0,004* Jenis * Stadia 49,899 4 12,475 24,159 0,000** Densitas * Stadia 102,380 4 25,595 49,567 0,000** Galad 32,015 62 0,516 Total 1418,943 81 Uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik (AP) larva pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Jenis N Alpha 0,05Fitoplankton 1 2 3 Iso+Pav 27 2,6726 Pav 27 3,4830 Iso 27 4,4148 Sig, 1,000 1,000 1,000
Densitas N Alpha 0,05 1 2 4000 27 2,6837 10000 27 3,7222 7000 27 4,8144 Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey terhadap petumbuhan relatif larva pada tingkat stadia yang berbeda
Stadia N Alhpa 0,05 1 2 3
St,I 27 1,9389 St,III 27 3,3681 St,II 27 5,2633 Sig, 1,000 1,000 1,000
172
Lampiran 7c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik DV larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F Sig.
Jenis 31,352 2 15,676 35,563 0,000** Densitas 34,024 2 17,012 38,595 0,000** Stadia 120,250 2 60,125 136,403 0,000** Jenis * Densitas 9,492 4 2,373 5,383 0,001** Jenis * Stadia 42,167 4 10,542 23,916 0,000** Densitas * Stadia 97,410 4 24,352 55,247 0,000** Galad 27,329 62 0,441 Total 1031,683 81 Uji Tukey : laju pertumbuhan spesifik DV larva pada berbagai jenis pakan hidup
Jenis N Alpha 0,05 Fitoplankton 1 2 3 Pav 27 2,1415 Iso+Pav 27 2,8219 Iso 27 3,6626Sig, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey : laju pertumbuhan spesifik DV larva pada berbagai densitas pakan hidup
Alpha 0,05 Densitas
N 1 2 3
4000 27 1,9615 10000 27 3,2708 7000 27 4,9150Sig, 1,000 1,000 1,000
, Uji Tukey : laju pertumbuhan spesifik DV larva pada berbagai tingkat stadia,
Stadia N Alpha 0,05 1 2 3 Stadia I 27 1,3593 Stadia III 27 2,9241 Stadia II 27 4,3426Sig, 1,000 1,000 1,000
173
Lampiran 8a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Faktor II Ulangan Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktir I (D)10.000 (E) 15.000 (F) 20.000 Jenis Pakan (A) Iso + Te 1 51,65 68,51 60,05 2 52,00 69,30 61,70 3 52,85 70,14 61,32 Rata-rata 52,17 69,32 61,02 STDEV 0,62 0,81 0,86 (B) Pav + Te 1 47,00 60,10 51,82 2 46,20 58,92 53,75 3 45,65 61,25 54,79 Rata-rata 46,28 60,09 53,45, STDEV 0,68 1,16 1,5,1, (C) Iso+Pav+Te 1 64,94 85,75 78,80 2 65,72 86,50 77,25 3 66,45 87,46 78,60 Rata-rata 65,70 86,57 78,22 STDEV 0,76 0,86 0,84
Lampiran 8b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan spat
P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Jenis 2603,363 2 1301,682 1483,485 0,000** Densitas 1347,434 2 673,717 767,814 0,000** Jenis * Densitas 41,766 4 10,441 11,900 0,000** Galad 15,794 18 0,877 Total 113383,881 27
Uji Tukey : Sintasan spat pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
174
Lampiran 9a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Faktor II Ulangan Densitas Pakan Hidup (sel/ml)
Faktir I (D) 10.000 (E) 15.000 (F) 20.000 Jenis Pakan AP DV AP DV AP DV (A) Iso + Te 1 13,55 11,7 19,3 17,53 16 14,2 2 14,5 12,65 18,3 16,24 16,8 14,9 3 15,45 13,6 17,45 15,7 17,6 15,72 Rata-rata 14,5 12,65 18,35 16,49 16,8 14,94 STDEV 0,95 0,9 0,93 0,94 0,8 0,76(B) Pav + Te 1 5,3 3,52 13 10,18 11,6 9,62 2 7 5,2 15,8 13,2 12,2 10,5 3 9 7 13,2 13,04 13,4 11,5 Rata-rata 7,1 5,24 14 12,14 12,4 10,54 STDEV 1,85 1,74 1,56 1,70 0,92 0,94(C) Iso+Pav+Te 1 16,46 14,68 22,33 20,27 20,3 19,52 2 15,6 13,7 23 21,24 21,7 19 3 14,8 12,9 24 22,24 20,1 18 Rata-rata 15,62 13,76 23,11 21,25 20,7 18,84 STDEV 0,83 0,89 0,84 0,98 0,87 0,77
Lampiran 9b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik (%)
spat P. maxima pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig, Jenis Pakan 342,945 2 171,473 246,798 0,000**Densitas 174,798 2 87,399 125,792 0,000**Jenis * Densitas 13,692 4 3,423 4,927 0,000**Galad 12,506 18 0,695 Total 7320,293 27
Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik AP pada berbagai jenis pakan
Jenis N Nilai alpha 0,05 Pakan 1 2 3
Pav+Te 9 11,1667 Iso+Te 9 16,5500 Iso+Pav+Te 9 19,8100 Siknifikan 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik AP pada berbagai densitas pakan
Densitas N Nilai alpha 0,05 1 2 3 10000 sel/cc 9 12,4067 15000 sel/cc 9 16,6333 20000 sel/cc 9 18,4867Siknifikan 1,000 1,000 1,000
175
ANOVA laju pertumbuhan spesifik DV spat pada berbagai jenis dan densitas pakan
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig,
Jenis Pakan 342,988 2 171,494 271,041 0,000**Densitas 174,592 2 87,296 137,969 0,000**Jenis * Densitas 13,775 4 3,444 5,443 0,005**Galad 11,389 18 ,633 Total 5822,151 27
Uji Tukey
Jenis N Nilai alpha 0,05 Pakan 1 2 3
Pav+Te 9 9,3067 Iso+Te 9 14,6933 Iso+Pav+Te 9 17,9500Siknifikan, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey
Densitas Nilai alpha 0,05 N 1 2 3 10000 sel/cc 9 10,5500 20000 sel/cc 9 14,7733 15000 sel/cc 9 16,6267 Siknifikan 1,000 1,000 1,000
176
Lampiran 10a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada berbagai jenis dan densitas fitoplankton.
Faktor II Ulangan Densitas Plankton (sel/ml)
Faktir I (D) 4.000 (E) 7.000 (F) 10.000 Jenis Pakan : (A) I. galbana 1 27,24 25,20 19,65 2 26,15 24,50 21,16 3 28,00 23,60 23,08 Rata-rata 27,13 24,43 21,30 STDEV 0,93 0,80 1,72(B) P. lutheri 1 29,10 25,30 23,20 2 28,30 26,70 20,90 3 27,45 25,40 22,15 Rata-rata 28,28 25,80 22,08 STDEV 0,82 0,78 1,15(C) I. galbana + P. lutheri 1 25,70 21,73 18,33 2 24,42 22,40 20,00 3 26,10 24,05 19,28 Rata-rata 25,41 22,73 19,20 STDEV 0,88 1,19 0,84
Lampiran 10b. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadap lama waktu
(hari) pencapaian stadia plantigrade larva P,maxima. Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Jenis Fitoplankton 39,803 2 19,902 17,952 0,000** Densitas 167,344 2 83,672 75,476 0,000** Jenis * Densitas 0,293 4 0,073 0,066 0,991 Galad 19,955 18 1,109 Total 15831,759 27
Uji Tukey : Lama waktu pencapaian stadia plantigrade pada berbagai jenis fitoplankton Fitoplankton N Alpha = 0,05 1 2 Iso+Pav 9 22,4456 Iso 9 24,2867Pav 9 25,3889Sig, 1,000 0,095
Uji Tukey : Lama waktu pencapaian stadia plantigrade pada berbagai densitas fitoplankton
Densitas N Alpha = 0,05 1 2 3 10000 9 20,8611 7000 9 24,3200 4000 9 26,9400Sig, 1,000 1,000 1,000
177
Lampiran 11. Hasil pengamatan parameter kualitas air pada percobaan pemeliharaan larva dan spat di laboratorium.
Parameter Hasil Pengamatan * Referensi
Suhu (oC) 27,50 – 29,00 28 – 30 (Slamet et al. 1998) Salinitas (‰) ≥ 34 32 – 35 (Cahn 1949; Slamet et al.
1998) DO (ppm) 3,46 – 4,85 4,37 – 4,77 (Dharmaraj 1987) Nitrat (mg/l) 0,094 – 0,570 0,253 – 0,665 (Liaw. 1969) Ntrit (mg/l) 0,006 – 0,040 0,1 – 2,0 (Hochheimer. 2007) Amonia (mg/l) 0,012 – 0,038 0,02 – 0,10 (Vinogradov et al.
1993; Hochheimer 2007) Keterangan : *Data yang diamati diluar perlakuan.
178
Lampiran 12. Analisis varian dan uji Tukey terhadap tingkat konsumsi oksigen (mg O2/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata + SD) pada berbagai suhu dan salinitas
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Suhu 5,947 2 2,974 554,654 0,000**Salinitas 2,178 2 1,089 203,165 0,000**Umur 5,148 2 2,574 480,124 0,000**Suhu * Salinitas 0,031 4 0,008 1,425 0,235 Galad 0,375 70 0,005 Total 147,036 81
Uji Tukey : Konsumsi oksigen larva pada berbagai tingkat suhu
Uji Tukey : Konsumsi oksigen larva pada berbagai tingkat salinitas
Uji Tukey : Konsumsi oksigen larva pada berbagai tingkat stadia,
Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3 Stadia III 27 0,97741 Stadia II 27 1,27707 Stadia I 27 1,59485Sig, 1,000 1,000 1,000
179
Lampiran 13. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju konsumsi oksigen spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas
ANOVA
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig,
Suhu 1,799 2 0,900 444,753 0,000** Salinitas 0,862 2 0,431 213,103 0,000** Umur 0,280 1 0,280 138,478 0,000** Suhu * Salinitas 0,060 4 0,015 7,448 0,000** Galad 0,089 44 0,002 Total 13,259 54
Uji Tukey : Laju konsumsi oksigen spat pada berbagai tingkat suhu
Alpha 0,05 Suhu
N 1 2 3
26 oC 18 0,18817 30 oC 18 0,48850 28 oC 18 0,62517Sig, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey : Laju konsumsi oksigen spat pada berbagai tingkat salinitas Salinitas N Alpha 0,05 1 2
30 ‰ 18 0,25594 32 ‰ 18 0,,5094434 ‰ 18 0,53644Sig, 1,000 0,181
180
Lampiran 14. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap laju metabolisme rutin (J/g berat basah/jam) larva P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Suhu 553,372 2 276,686 554,654 0,000** Salinitas 202,696 2 101,348 203,165 0,000** Umur 479,014 2 239,507 480,124 0,000** Suhu * Salinitas 2,843 4 0,711 1,425 0,235 Galad 34,919 70 0,499 Total 13681,024 81
Uji Tukey
Suhu N Alpha = 0,05 1 2 3 26 oC 27 13,23034 30 oC 27 18,33007 28 oC 27 22,54582Sig, 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey
Salinitas N Alpha = 0,05 1 2
30 ‰ 27 14,79108 32 ‰ 27 19,3816634 ‰ 27 19,93349
Sig, 1,000 0,127 Uji Tukey
Stadia N Subset 1 2 3 Stadia III 27 13,73844Stadia II 27 17,95055Stadia I 27 22,41724Sig, 1,000 1,000 1,000
181
Lampiran 15. Analisis kovarian dan uji nilai tengah Tukey terhadaplaju metabolisme rutin (Joule/g berat basah/jam) spat P. maxima pada berbagai suhu dan salinitas
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig.
Suhu 167,396 2 83,698 444,753 0,000** Salinitas 80,208 2 40,104 213,103 0,000** Umur 26,060 1 26,060 138,478 0,000** Suhu * Salinitas 5,607 4 1,402 7,448 0,000** Galad 8,280 44 0,188 Total 1233,694 54
Uji Tukey
Suhu Alpha = 0,05 (oC)
N 1 2 3
26 18 1,81506 30 18 4,71207 28 18 6,03036
Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey Salinitas N Alpha = 0,05
(‰) 1 2 30 18 2,46884 32 18 4,9141034 18 5,17454
Sig, 1,000 0,181
182
Lampiran 16. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Suhu 32547,645 2 16273,822 1376,645 0,000** Salinitas 5553,641 2 2776,820 234,899 0,000** Stadia 1674,543 2 837,271 70,827 0,000** Suhu * Salinitas 102,440 4 25,610 2,166 0,082 Galad 827,495 70 11,821 Total 286466,115 81
Uji Tukey : Sintasan larva pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Uji Tukey : Sintasan larva pada berbagai tahap stadia
Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3 Stadia III 27 49,4259 Stadia II 27 55,2626 Stadia I 27 60,5589
Sig, 1,000 1,000 1,000
183
Lampiran 17a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Stadia I :
Faktor II Salinitas (‰) Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) AP DV AP DV AP DV (A) 26 Rata-rata 4,83 0,06 13,73 2,97 14,27 3,43 SD 0,23 0,04 0,23 0,21 0,46 0,49 (B) 28 Rata-rata 12,90 0,82 33,90 20,80 34,27 21,43 SD 0,61 0,08 0,35 0,55 0,48 0,60 (C) 30 Rata-rata 8,17 0,33 20,03 9,57 20,53 9,97 SD 0,15 0,15 0,75 0,60 0,23 0,45
Stadia II :
Faktor II Salinitas (‰) Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) AP DV AP DV AP DV (A) 26 Rata-rata 12,92 1,73 24,10 14,17 24,78 14,40 SD 0,48 0,35 0,20 0,76 0,59 0,65 (B) 28 Rata-rata 20,77 10,53 57,62 46,73 58,13 47,33 SD 0,21 0,50 0,71 0,66 0,57 0,65 (C) 30 Rata-rata 16,65 6,63 45,05 32,71 45,20 33,03 SD 0,38 0,23 0,25 0,82 0,65 0,93
Stadia III :
Faktor II Salinitas (‰) Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) AP DV AP DV AP DV (A) 26 Rata-rata 16,83 8,17 31,85 18,72 32,43 19,33 SD 0,32 0,76 0,69 0,96 0,60 0,65 (B) 28 Rata-rata 69,33 58,60 80,32 69,29 80,88 69,62 SD 0,65 0,65 0,73 0,74 0,63 0,56 (C) 30 Rata-rata 54,03 43,62 65,17 54,45 65,43 52,89 SD 0,75 0,60 0,91 0,74 0,55 0,68
184
Lampiran 17b. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik (%) AP larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Suhu 184,265 2 92,133 139,508 0,000** Salinitas 70,742 2 35,371 53,559 0,000** Stadia (Umur) 31,446 2 15,723 23,808 0,000** Suhu * Salinitas 5,778 4 1,445 2,187 0,079 Galad 46,229 70 ,660 Total 1347,228 81
Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik AP pada Suhu yang berbeda
Suhu N Alpha = 0,05 (oC) 1 2 3 26 27 1,8867 30 27 3,1715 28 27 5,5289
Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik AP pada Salinitas yang berbeda Salinitas N Alpha = 0,05
(‰) 1 2 30 27 2,2137 32 27 4,074834 27 4,2985
Sig, 1,000 0,977 Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik AP pada berbagai tahap stadia larva Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3 St, I 27 2,7200 St, II 27 3,6311 St, III 27 4,2359Sig, 1,000 1,000 1,000
185
Lampiran 17c. Analisis varian dan uji nelai tengah Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik dorso-ventral (DV) larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Sig,
Suhu 146,664 2 73,332 89,747 0,000** Salinitas 41,717 2 20,858 25,527 0,000** Umur 47,511 2 23,755 29,073 0,000** Suhu * Salinitas 10,063 4 2,516 3,079 0,051 Galad 57,197 70 0,817 Total 810,853 81
Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik DV pada berbagai tingkat suhu
Suhu N Alpha = 0,05 (oC) 1 2 3 26 27 0,9859 30 27 2,2681 28 27 4,2567
Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik DV pada berbagai tingkat salinitas Salinitas N Alpha = 0,05
(‰) 1 2 30 27 1,5770 32 27 2,9081 34 27 3,3256
Sig, 1,000 1,000 Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik DV pada berbagai tingkat stadia Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3 St, I 27 1,4315 St, II 27 2,9063 St, III 27 3,8730Sig, 1,000 1,000 1,000
186
Lampiran 18a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Faktor II Ulangan Salinitas (‰) Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) (A) 26 1 15,17 38,00 41,00 2 17,00 39,70 39,50 3 13,50 35,80 37,62 Rata-rata 15,22 37,83 39,37 STDEV 1,75 1,95 1,69 (B) 28 1 65,80 82,00 82,60 2 67,25 80,60 82,74 3 68,50 79,70 81,25 Rata-rata 67,18 80,77 82,20 STDEV 1,35 1,16 0,82 (C) 30 1 49,30 72,80 77,05 2 50,40 76,00 73,90 3 51,25 75,00 75,16 Rata-rata 50,32 74,60 75,37 STDEV 0,97 1,64 1,58
Lampiran 18b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan spat P. maxima pada
berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Sig,
Suhu 10442,356 2 5221,178 2563,333 0,000** Saliitas 2613,574 2 1306,787 641,566 0,000** Suhu * Saliitas 130,476 4 32,619 16,014 0,000** Galad 36,664 18 2,037 Total 104467,987 27
Uji Tukey : Sintasan spat pada berbagai tingkat suhu
Suhu N Alpha = 0,05 (oC) 1 2 3 26 9 30,9211 30 9 66,7622 28 9 76,7156
Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Sintasan spat pada berbagai tingkat salinitas
Salinitas N Subset (‰) 1 2 30 9 44,2411 32 9 64,400034 9 65,7578
Sig, 1,000 0,136
187
Lampiran 19a. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Faktor II Ulangan Salinitas (‰)
Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) AP DV AP DV AP DV (A) 26 1 7,6 5,73 10,3 9,12 13,03 11,17 2 5,8 3,96 11,62 9,04 11,15 9,31 3 9,7 7,8 13,84 11,98 12,12 10,25 Rata-rata 7,7 5,83 11,92 10,05 12,1 10,24 STDEV 1,95 1,92 1,79 1,67 0,94 0,93 (B) 28 1 14,5 12,62 22,33 21 21,82 20,5 2 15,34 13,49 21,57 20,17 22,64 21,4 3 13,65 11,78 23,15 21,83 23,38 22 Rata-rata 14,5 12,63 22,35 21 22,61333 21,3 STDEV 0,84 0,86 0,79 0,83 0,78 0,75 (C) 30 1 11,63 9,76 15,95 14,08 17,81 14,3 2 12,5 10,62 17,63 15,77 17 15,1 3 13,34 11,48 16,82 14,94 16,19 15,96 Rata-rata 12,49 10,62 16,8 14,93 17 15,12 STDEV 0,85 0,86 0,84 0,84 0,81 0,83
Lampiran 19b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik(%)
AP spat P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Sig,
suhu 385,080 2 192,540 259,381 0,000**Salinitas 186,245 2 93,122 125,450 0,000**suhu * Salinitas 17,537 4 4,384 5,906 0,003**Galad 13,362 18 0,742 Total 6901,557 27
Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik AP spat pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Suhu N Alpha 0,05 1 2 3
26 oC 9 10,5733 30 oC 9 15,4300 28 oC 9 19,8200 Sig, 1,000 1,000 1,000
Salinitas N Alpha 0,05
1 2 30 ppt 9 11,5622 32 ppt 9 17,0233 34 ppt 9 17,2378 Sig, 1,000 ,859
188
Lampiran 19c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap Laju pertumbuhan spesifik (%) DV spat P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
suhu 415,022 2 207,511 274,499 0,000** Salinitas 198,381 2 99,190 131,211 0,000** suhu * Salinitas 23,094 4 5,773 7,637 0,001** Galad 13,607 18 0,756 Total 5588,690 27
Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik DV spat pada berbagai tingkat suhu
Suhu N Alpha 0,05 (oC) 1 2 3 28 9 8,7067 32 9 13,5567 30 9 18,3100
Sig, 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik DV spat pada berbagai tingkat salinitas Salinitas N Alpha 0,05 1 2
30 ‰ 9 9,6933 32 ‰ 9 15,325634 ‰ 9 15,5544
Sig, 1,000 0,095
189
Lampiran 20a. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade pada berbagai tingkat suhu dan salinitas,
Faktor II Ulangan Salinitas (‰)
Faktir I (D) 30 (E) 32 (F) 34 Suhu (oC) : (A) 26 Rata-rata 28,07 25,98 25,18 STDEV 2,11 1,49 0,927811 (B) 28 Rata-rata 23,10 19,55 18,93 STDEV 0,85 1,30 0,81 (C) 30 Rata-rata 25,33 22,22 21,58 STDEV 1,47422 1,94058 1,654035
Lampiran 20b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap lama waktu (hari)
pencapaian stadia plantigrade pada suhu dan salinitas berbeda
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Sig,
Suhu 156,845 2 78,423 97,610 0,000** Salinitas 65,802 2 32,901 40,951 0,000** Suhu * Salinitas 2,013 4 0,503 0,626 0,650 Galad 14,462 18 0,803 Total 14932,123 27
Uji Tukey : Lama waktu pencapaian stadia pada berbagai tingkat suhu dan salinitas
190
Lampiran 21. Distribusi larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya Umur Tingkah laku larva (%) (hari) Stadia 200 lux 500 lux 800 lux
P T B P T B P T B 20 jam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
D- shape D- shape D- shape D- shape D- shape D- shape Umbo awal Umbo Umbo Umbo Umbo Umbo Umbo Umbo Umbo Umbo akhir Eye spot Eye spot Pediveliger Pediveliger Plantigrade
91,65 90,00 92,30 92,64 90,50 87,22 65,80 64,00 62,70 57,45 65,18 80,00 82,05 82,75 81,63 77,50 62,50 57,14 34,62 20,15 2,50
8,35 10,00 7,70 7,36 9,50 12,78 19,70 21,00 30,10 40,65 34,82 20,00 17,95 17,25 18,37 20,00 26,70 32,29 42,98 38,95 2,50
- - - - - -
14,50 15,00 7,20 3,50
- - - - -
2,50 10,80 10,57 22,40 40,90
95
78,00 73,16 67,24 68,75 67,20 61,86 31,20 23,68 23,50 31,94 32,50 28,10 31,13 29,05 26,28 25,88 21,37 17,70 12,59 7,86 4,78
19,40 14,34 28,96 31,25 32,80 35,24 50,30 53,72 54,50 57,26 57,00 59,50 56,12 57,35 58,50 58,72 61,43 62,30 65,05 69,14 69,72
2,60 12,50 4,70
- -
2,90 18,50 22,60 22,00 10,80 10,50 12,40 12,75 13,60 15,22 15,40 17,20 20,00 22,36 23,00 25,50
38,50 39,50 37,68 35,57 32,06 25,81 17,86 7,53 2,03 0,77
- - - - - - - - - - -
44,25 38,00 39,50 41,38 44,70 49,19 55,00 62,40 67,52 68,15 70,26 71,45 71,80 73,02 74,23 76,55 80,00 79,60 75,14 67,83 54,72
17,25 22,50 22,82 23,05 23,26 25,00 27,14 30,07 30,45 31,08 29,74 28,55 28,20 26,98 25,77 23,45 20,00 20,40 24,86 32,17 45,28
Keterangan: 1. P (Permukaan) : Bagian permukaan air dalam bak dari kedalaman 0 - 20cm 2. T (Tengah) : Bagian tengan air dalam bak dari kedalaman 21 - 40 cm 3. B (Bawah/dasar): Bagian bawah air dalam bak dari kedalaman 41 – 60 cm
191
Lampiran 22. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap sintasan larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya
Sumber
Keragaman Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Stadia (umur) 196,639 2 98,319 1096,736 0,000** Intensitas Cahaya 11142,765 3 3714,255 41431,905 0,000** Stadia * Cahaya 24,241 6 4,040 45,067 0,000** Galad 2,152 24 0,090 Total 229196,466 36
Uji Tukey : Sintasan larva dan tahap stadia larva pada berbagai tingkat intensitas
cahaya
192
Lampiran 23a. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya
Stadia/umur Ulangan Intensitas cahaya (lux) (A) 0 (B) 200 (C) 500 (D) 800 AP DV AP DV AP DV AP DV Stadia I 1 4,85 3,96 5,57 4,73 2,90 2,05 1,72 0,60 (D1 - D6) 2 5,37 4,52 5,13 4,22 1,67 0,77 1,12 0,15
3 4,33 3,43 4,60 3,74 2,30 1,44 0,46 0,02 Rata-rata 4,85 3,97 5,10 4,23 2,29 1,42 1,10 0,26 STDEV 0,52 0,54 0,48 0,49 0,61 0,64 0,63 0,30Stadia II 1 (D7 - D14) 2 8,19 7,20 7,92 6,95 5,69 4,71 3,36 2,40 3 7,65 6,72 8,43 7,44 5,10 4,14 2,15 1,20 Rata-rata 7,20 6,18 7,48 6,48 4,51 3,50 2,74 1,81 STDEV 7,68 6,70 7,94 6,96 5,10 4,12 2,75 1,80Stadia III 1 0,49 0,51 0,47 0,48 0,59 0,61 0,60 0,60(D15 - D20) 2 3 5,83 4,86 6,02 5,03 4,10 3,05 1,20 0,31 Rata-rata 7,04 6,05 6,60 5,62 3,30 2,35 1,91 1,00 STDEV 6,45 5,47 7,18 6,20 4,60 3,74 2,60 1,72
Lampiran 23b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik (%)
(AP) larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya
Sumber Keragaman
Juumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Sig,
Intensitas Cahaya 131,353 3 43,784 128,454 0,000** Stadia 38,651 2 19,325 56,697 0,000** Stadia * Cahaya 1,678 6 0,280 820 0,005** Galad 8,181 24 0,341 Total 957,063 36
Uji Tukey : laju pertumbuhan spesifik AP relative larva pada berbagai tingkat stadia
Intensitas N alpha = 0,05 1 2 3
800 lux 9 1,9178 500 lux 9 3,7967
0 lux 9 6,3233 200 lux 9 6,5478
Sig, 1,000 1,000 0,847
Stadia N alpha = 0,05 1 2 3
St, I 12 3,3350 St, III 12 4,7358 St, II 12 5,8683
Sig, 1,000 1,000 1,000
193
Lampiran 23c. Analisis varian dan uji Tukey terhadap laju pertumbuhan spesifik (%) relatif (DV) larva P. maxima pada berbagai tingkat intensitas cahaya
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F
Sig,
Intensitas Cahaya 128,635 3 42,878 130,643 0,000** Stadia 35,366 2 17,683 53,878 0,000** Stadia * Cahaya 1,649 6 0,275 ,838 0,003** Galad 7,877 24 0,328 Total 670,520 36
Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik (%) larva pada berbagai tingkat intensitas
cahaya
Intensitas N Alpha = 0,05 Cahaya (lux) 1 2 3
800 9 1,0233 500 9 2,8611 0 9 5,3767
200 9 5,6011Sig, 1,000 1,000 0,230
Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik (%) larva pada berbagai tingkat stadia
Stadia N Alpha = 0,05 1 2 3
St, I 12 2,4692 St, III 12 3,7833 St, II 12 4,8942
Sig, 1,000 1,000 1,000
194
Lampiranl 24a. Sintasan, laju pertumbuhan spesifik (Rata-rata ± SD) spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya,
Intensitas Ulangan Sintasan Laju Pertumbuhan (%) Cahaya (%) AP DV
(A) 0 lux 1 89,75 26,12 24,25 2 92,09 25,65 23,80 3 91,35 26,53 24,70 Rata-rata 91,06 26,10 24,25 STDEV 1,19 0,4403408 0,45 (B) 500 lux 1 97,03 28,97 27,19 2 96,85 28,50 26,72 3 94,70 28,02 26,20 Rata-rata 96,19 28,49667 26,70333 STDEV 1,29 0,475009 0,49521 (C) 1.000 lux 1 82,80 22,72 20,87 2 85,00 21,65 19,77 3 84,20 22,20 20,32 Rata-rata 84,00 22,19 20,32 STDEV 1,12 0,53507 0,55 (D) 1.500 lux 1 70,84 17,55 15,72 2 69,00 19,04 17,19 3 71,35 18,30 16,43 Rata-rata 70,40 18,29667 16,44667 STDEV 1,24 0,745006 0,735142 (E) 2.000 lux 1 50,75 13,70 11,74 2 53,51 12,79 10,89 3 51,90 14,50 12,57 Rata-rata 52,05 13,66333 11,73333 STDEV 1,38 0,855589 0,84002
195
Lampiranl 24b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan, laju pertumbuhan spesifik spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya
ANOVA : Sintasan spat pada berbgai tingkat intensitas cahaya
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Perlakuan 3797,821 4 949,455 608,529 0,000** Galad 15,602 10 1,560 Total 3813,424 14
Uji Tukey: Sintasan spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya
alpha = 0,05 Intensitas Cahaya (lux) N 1 2 3 4 5
2.000 3 52,0533 1.500 3 70,3967 1.000 3 84,0000
0 3 91,0633 500 3 96,1933
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 ANOVA : Laju pertumbuhan spesifik AP spat pada berbgai tingkat intensitas cahaya
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Perlakuan 425,860 4 106,465 267,111 0,000** Galad 3,986 10 0,399 Total 429,846 14
Uji Tukey: Laju pertumbuhan spesifik AP spat pada berbagai tingkat intensitas cahaya
alpha = 0,05 Intensitas Cahaya (lux) N 1 2 3 4 5
2.000 3 13,6633 1.500 3 18,2967 1.000 3 22,1900
0 3 26,1000 500 3 28,4967
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
196
ANOVA: Laju pertumbuhan spesifik DV spat pada berbagai intensitas cahaya
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Perlakuan 432,011 4 108,003 270,507 0,000** Galad 3,993 10 ,399 Total 436,004 14
Uji Tukey : Laju pertumbuhan spesifik DV spat pada berbagai intensitas cahaya
Intensitas N alpha = 0,05 Cahaya (lux) 1 2 3 4 5
2.000 3 11,7333 1.500 3 16,4467 1.000 3 20,3200
0 3 24,2500 500 3 26,7033
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
197
Lampiran 25a. Sintasan dan laju pertumbuhan spesifik spat pada kondisi lingkungan optimum
Perlakuan Ulangan Sintasan Laju Pertumbuhan (%) (%) (AP) (DV)
Stadia I (D1 - D6): A. Lingk Opt 1 88,45 4,68 3,82 2 90,20 3,85 2,93 3 89,70 5,51 4,65 Rata-rata 89,45 4,68 3,8 STDEV 0,90 0,83 0,860174 B.Kontrol 1 67,00 1,42 0,52 2 65,30 2,38 1,5 3 63,85 3,31 2,45 Rata-rata 65,38 2,37 1,49 STDEV 1,58 0,94504 0,965039 Stadia II (D7 - D14): A. Lingk Opt 1 71,22 8,24 7,2 2 68,90 7,43 6,37 3 70,50 6,56 5,5 Rata-rata 70,21 7,41 6,356667 STDEV 1,19 0,840179 0,850078 B. Kontrol 1 48,20 5,87 4,83 2 50,00 3,93 2,87 3 46,75 4,92 3,84 Rata-rata 48,32 4,906667 3,846667 STDEV 1,63 0,970069 0,980017
Stadia III(D15 - D20) A. Lingk Optimum 1 57,00 7,52 7,07 2 58,40 5,82 5,37 3 55,80 6,67 6,22 Rata-rata 57,07 6,67 6,22 STDEV 1,30 0,85 0,85 B. Kontrol 1 20,72 2,55 2 2 22,60 3,47 2,98 3 24,05 1,52 1,02 Rata-rata 22,46 2,513333 2 STDEV 1,67 0,975517 0,98 Spat (D25) : 1 32,50 6,68 6,55 A. Lingk Optimum 2 33,28 5,86 5,73 3 30,49 5,09 4,96 Rata-rata 32,09 5,876667 5,746667 STDEV 1,44 0,795131 0,795131 B. Kontrol 1 12,00 2,57 2,42 2 7,90 0,33 0,17 3 10,24 1,46 1,32 Rata-rata 10,05 1,453333 1,303333 STDEV 2,06 1,120015 1,125093
198
Lampiran 25b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan dan laju pertumbuhan spesifik spat pada kondisi lingkungan optimum
ANOVA : Sintasan larva - spat dalam konsisi lingkungan opimum
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Umur 10666,589 3 3555,530 335,782 0,000**Lingk Optimum 3948,305 1 3948,305 372,876 0,000**Galad 201,187 19 10,589 Total 73330,393 24
Uji Tukey
Alpha = 0,05 Umur N 1 2 3 4 Spat D35 6 21,0683
D20 6 39,7617 D14 6 59,2617 D6 6 77,4167 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
ANOVA: Laju pertumbuhan spesifik AP pada konsisi lingkungan opimum
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Stadia 26,433 3 8,811 8,820 0,000** Lingk Optimum 67,268 1 67,268 67,334 0,000** Galad 18,981 19 ,999 Total 595,447 24
Uji Tukey
Stadia
N Alpha = 0,05
1 2 3 4 I 6 3,1280 II 6 4,2500 III 6 5,1917
Spat 6 6,5830 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
199
ANOVA: Laju pertumbuhan spesifik DV pada konsisi lingkungan opimum
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Stadia 19,151 3 6,384 6,227 0,000**Lingkungan 68,175 1 68,175 66,505 0,000**Galad 19,477 19 1,025 Total 461,697 24
Uji Tukey
Alpha = 0,05 Umur
N 1 2 3 4
D6 6 2,6450 D14 6 4,1100 D20 6 5,1017 D35 6 6,4333 Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000
200
Lampiran 26. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan spat P. maxima pada lama waktu pemindahan dari lab ke tempat pemeliharaan di laut
ANOVA Sintasan
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig,
Umur 22479,813 5 4495,963 420,462 0,000** Waktu 15004,296 6 2500,716 233,867 0,000** Galad 1218,992 114 10,693 Total 461622,165 126
Uji Tukey Sintasan
Alpha 0,05 Umur Spat N 1 2 3 4 5 6 90 hr 21 40,5386 75 hr 21 47,5337 60 hr 21 52,3140 45 hr 21 58,8536 30 hr 21 67,1497 15 hr 21 81,2222 Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Uji Tukey Sintasan
Alpha 0,05 Waktu Pemindahan N 1 2 3 4
(A) 30 hr 18 36,4552 (B) 40 hr 18 48,5060 (C) 50 hr 18 57,5556 (D) 60 hr 18 60,7209 (E) 70 hr 18 65,7049 (F) 80 hr 18 68,1532 (G) 90 hr 18 68,4514
Sig, 1,000 1,000 0,065 0,162
201
Lampiran 27a. Pertumbuhan panjang antero-posterior (AP) dan dorso-ventral (DV) spat P. maxima (rata-rata ± SD) terhadap lama waktu pemindahan dari laboratorium ke laut.
Parameter Umur Waktu Pemindahan (hari) Amatan (hari) (A) 30 (B) 40 (C) 50 (D) 60 (E) 70 (F) 80 (G) 90
Pertumbuhan AP (mm)
0
2,58 ± 0,84
2,86 ± 1,22
3,24 ± 0,81
3,47 ± 0,91
3,75 ± 0,95
3,95 ± 1,03
4,14 ± 0,99
15
6,03 ± 0,46
6,48 ± 0,95
6,50 ± 0,88
6,19 ± 1,20
5,36 ± 1,08
5,29 ± 0,96
4,90 ± 1,05
30
9,49 ± 0,95
14,67 ± 1,51
14,73 ± 1,09
9,57 ± 1,27
8,55 ± 1,11
8,10 ± 1,15
7,95 ± 1,38
45
14,08 ±
0,87 19,15 ±
1,7719,37 ±
0,8614,08 ±1,02
12,75 ± 1,08
12,14 ± 1,03
11,40 ± 1,64
60
19,50 ±
1,50 24,69 ±
1,1425,41 ±
1,7919,27 ±
1,6117,03 ±
1,0816,56 ±
1,29 15,78 ±1,87
75
25,65 ±1,15
30,59 ± 1,41
30,83 ± 1,36
25,46 ± 1,36
20,72 ± 1,54
19,84 ± 1,35
18,39 ± 1,49
90
31,20 ±
1,03 36,18 ±
1,1936,68 ±
1,2930,75 ±
1,2024,55 ±
1,5723,90 ±
1,56 22,44 ±
1,47 Pertumbuhan DV (mm)
0
0,52 ± 0,06
0,65 ± 0,07
0,74 ± 0,10
0,75 ± 0,15
0,79 ± 0,18
0,81 ± 0,19
0,83 ± 0,25
15
2,33 ± 1,19
3,06 ± 0,92
3,65 ± 0,93
3,83 ± 1,07
2,02 ± 0,98
1,97 ± 1,06
1,75 ± 1,05
30
5,26 ± 0,95
9,62 ± 1,08
10,20 ± 0,98
6,65 ± 1,09
4,10 ± 1,16
4,08 ± 1,18
3,86 ± 1,05
45
10,21 ±
1,14 15,83 ±
1,0416,35 ±
1,0711,37 ±
0,938,33 ±
1,528,00 ±
1,00 7,83 ±
1,25
60
15,54 ±
1,11 20,72 ±
0,9321,02 ±
1,1515,93 ±
1,2813,59 ±
1,2513,45 ±
1,38 13,15 ±
1,06
75
20,63 ±
1,23 25,70 ±
1,0526,37 ±
0,9121,19 ±
1,8617,96 ±
1,0717,31 ±1,09
16,80 ±1,08
90
26,63 ±
1,20 32,20 ±
1,0532,46 ±
0,8026,97 ±
1,0121,70 ±
1,1721,19 ±
1,38 19,99 ±
1,19
202
Lampiran 27b. Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey terhadap pertumbuhan spat pada lama waktu pemindahan dari lab ke tempat pemeliharaan di laut
ANOVA: Pertumbuhan panjang antero-posterior (AP)
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig,
Umur 11676,295 6 1946,049 350,191 0,000** Waktu 1118,465 6 186,411 33,545 0,000** Galad 744,652 134 5,557 Total 48605,201 147
Uji Tukey
Umur N Alpha = 0,05 (hari) 1 2 3 4 5 6 7
0 21 3,4271 15 21 5,9024 30 21 10,4371 45 21 14,7100 60 21 19,7500 75 21 24,5005 90 21 29,3867
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey
Waktu Pemindahan
(hari) N
Alpha = 0,05
1 2 3 (G) 90 21 12,1448 (F) 80 21 12,9076 (E) 70 21 13,2438 (A) 30 21 15,5067 (D) 60 21 15,5438 (B) 40 21 19,2305 (C) 50 21 19,5367 Sig, 0,738 1,000 1,000
203
Lanjutan Lampiran 27b. ANOVA : Pertumbuhan panjang dorso-ventral (DV)
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat DB
Kuadrat Tengah F Hitung Sig,
Umur 11293,978 6 1882,330 512,952 0,000** Waktu 950,320 6 158,387 43,162 0,000** Galad 491,727 134 3,670 Total 33729,665 147
Uji Tukey : Perbedaan umur Umur N Alpha = 0,05 (hari) 1 2 3 4 5 6 7
1 21 0,6781 2 21 2,6586 3 21 6,2533 4 21 11,1333 5 21 16,2000 6 21 20,8514 7 21 25,8786
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Lama waktu pemindahan
Waktu N Alpha = 0,05 (hari) 1 2 3
7 21 9,1767 6 21 9,5433 5 21 9,7867 1 21 11,5624 4 21 12,3838 2 21 15,37333 21 15,8271
Sig, 0,946 0,807 0,988
204
Lampiran 28a. Hasil pengamatan beberapa parameter fisika dan kimia air pada lokasi pemeliharaan spat tiram mutiara P. maxima di Selat Kabra
No, Parameter Unit Hasil
Pengukuran Referensi
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
8. 9. 10.
Suhu Salinitas Arus pH DO Nitrat (NO3) Nitrit (NO2) Fosfat (PO4)
Amonia (NH3) Silikat
oC ‰
cm/det -
mg/L mg/L mg/L mg/L
mg/L mg/L
28 – 30 32 – 34 25 – 40
7,36 – 8,21 6,30 – 7,10 0,27 – 2,36 0,005 – 0,02 0,02 – 0,24
0,019 – 0,16 1,17 – 8,85
28-29 (Slamet dkk, 1998) 32-35 (Slamet dkk, 1998; Cahn, 1949) 25-30 (Balai Budidaya Laut, 2001; Winanto dkk, 1992), 6,75-8,6 (Mahadevan and Nagapanayar, 1987)5-9 (UNESCO/WHO/UNEP, 1992) Subur: 1-3 (Wardoyo, 1981) 0,01-0,03 (UNESCO/WHO/UNEP, 1992) 0,021 – > 0,2 (Wardoyo, 1981; UNESCO/WHO/UNEP, 1992), 0,02-0,32 (Summerfelt, 2007) -
Lampiran 28b. Jenis dan kelimpahan fitoplankton di lokasi penelitian perairan Selat
Kabra.
Jenis Waktu pengamatan (bulan) Σ Jenis KK
Mei Juni Juli Agust Sept Σ K (%) Diatom 55 47 46 34 56 238 Sub total Diatom 2302 1954 1937 1451 2361 10005 84,47Cyanophyceae 31 25 62 30 43 191 Sub total Cyanophyceae 125 100 249 120 171 765 6,46Chlorophyceae 11 5 0 9 19 44 Sub total Chlorophyceae 35 15 0 28 57 135 1,14Pyrophyceae 25 21 25 17 28 116 Sub total Pyrophyceae 204 172 203 134 227 940 7,93
Total Jenis 122 98 133 90 146 589 Total Kelimpahan 2666 2241 2389 1733 2816 11845 KK (%) 22,51 18,92 20,17 14,63 23,77
Keterangan : KK : Komposisi Kelimpahan (%) Σ : Total jenis/kelimpahan
205
Lampiran 29a. Sintasan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan Parameter Waktu Ulangan Kepadatan Spat (ekor/kolektor) Amatan (hari) (A) 500 (B) 1.000 (C) 1.500 (D) 2.000
Sintasan (%) 15 1 94,00 91,20 83,30 76,50
2 92,20 92,50 84,00 77,00 3 91,83 93,30 81,79 78,52 Rata-rata 92,68 92,33 83,03 77,34 STDEV 1,16 1,06 1,13 1,05 30 1 84,55 85,00 70,15 63,70 2 85,40 82,70 72,06 65,00 3 83,30 83,45 69,72 62,80 Rata-rata 84,42 83,72 70,64 63,83 STDEV 1,06 1,17 1,24 1,11 45 1 78,33 76,86 58,75 56,70 2 77,95 77,40 60,15 58,00 3 80,00 79,00 61,43 55,90 Rata-rata 78,76 77,75 60,11 56,87 STDEV 1,09 1,11 1,34 1,06 60 1 72,60 71,50 57,65 50,37 2 73,18 70,26 54,80 53,19 3 74,42 72,44 56,32 51,48 Rata-rata 73,40 71,40 56,26 51,68 STDEV 0,93 1,09 1,43 1,42 75 1 66,85 64,35 50,63 44,30 2 67,21 65,39 53,00 45,90 3 65,44 63,50 49,86 46,27 Rata-rata 66,50 64,41 51,16 45,49 STDEV 0,94 0,95 1,64 1,05 90 1 64,00 56,40 42,80 31,69 2 61,74 55,70 44,23 33,47 3 62,30 57,49 41,65 35,00 Rata-rata 62,68 56,53 42,89 33,39 STDEV 1,18 0,90 1,29 1,66
206
Lampiran 29b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap sintasan spat P. maxima pada berbagai tingkat kepadatan
ANOVA: Sintasan spat pada berbagai tingkat kepadatan
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig.
Umur 10741,503 5 2148,301 478,983 0,000** Waktu 5964,798 3 1988,266 443,302 0,000** Galad 282,563 63 4,485 Total 335899,126 72
Uji Tukey Umur N Alpha = 0,05 (hari) 1 2 3 4 5 6
90 12 48,8725 75 12 56,8917 60 12 63,1842 45 12 68,3725 30 12 75,6525 15 12 86,3450
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Kepadatan spat Kepadatan Spat N Alpha =0,05 (ekor/kolektor) 1 2 3 4
2000 18 54,7661 1500 18 60,6828 1000 18 74,3578 500 18 76,4056
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000
207
Lampiran 30a. Pertumbuhan spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai tingkat kepadatan
Parameter Umur Kepadatan spat (ekor/kolektor) amatan (hari) (A) 500 (B) 1.000 (C) 1.500 (D) 2.000
Panjang AP (mm) 0 3,20±0,72 3,20±0,80 3,20±0,81 3,20±0,80 15 8,17±1,04 7,63±1,26 6,50±1,50 6,00±1,00 30 13,39±1,09 12,50±1,38 10,70±1,95 9,53±1,06 45 18,77±1,08 17,23±1,12 14,93±1,27 12,28±1,54 60 24,52±0,90 22,20±1,71 19,27±1,22 16,73±0,99 75 30,48±1,37 27,10±1,02 23,77±1,55 18,30±1,21 90 36,50±1,38 32,17±1,75 28,13±1,81 21,40±2,1 Panjang DV (mm) 0 0,50±0,20 0,50±0,10 0,50±0,20 0,50±0,18 15 4,73±0,93 3,40±0,96 3,17±1,06 2,60±1,28 30 8,40±0,80 7,23±0,93 5,43±0,84 3,86±1,63 45 14,47±0,75 12,13±1,02 10,43±1,12 6,33±1,23 60 20,83±1,07 18,20±1,11 16,83±1,04 10,43±1,80 75 26,33±0,86 24,07±1,01 21,13±1,20 14,87±1,46 90 32,37±1,09 30,20±1,08 25,30±1,22 19,36±1,78
Lampiran 30b. Analisis varian dan uji Tukey terhadap pertumbuhan spat P. maxima
pada kepadatan pemeliharaan yang berbeda , ANOVA : Pertumbuhan AP spat pada berbagai tingkat kepadatan
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig,
Umur 6577,868 6 1096,311 212,600 0,000** Kepadatan 539,895 3 179,965 34,899 0,000** Galad 381,595 74 5,157 Total 29285,880 84
Uji Tukey : Pertumbuhan AP spat pada berbagai tingkat umur
Umur N Alpha =0,05 (hari) 1 2 3 4 5 6 7
0 12 3,2000 15 12 7,0833 30 12 11,5250 45 12 15,7917 60 12 20,6750 75 12 24,9083 90 12 29,5500
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
208
Uji Tukey : Pertumbuhan AP spat pada berbagai tingkat kepadatan Kepadatan Spat (ekor/kolektor)
N
Alpha = 0,05
1 2 3 4 2,000 21 12,4905 1,500 21 15,2143 1,000 21 17,4333 500 21 19,2810
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 ANOVA : Pertumbuhan DV spat pada berbagai tingkat kepadatan
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
DB
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sig,
Umur 6943,452 6 1157,242 246,595 0,000** Kepadatan 601,197 3 200,399 42,703 0,000** Galad 347,273 74 4,693 Total 20654,460 84
Uji Tukey : Pertumbuhan AP spat pada berbagai tingkat umur Umur N Alpha = 0,05 (hari) 1 2 3 4 5 6 7
0 12 0,5000 15 12 3,4750 30 12 6,2333 45 12 10,8417 60 12 16,5750 75 12 21,6000 90 12 27,0583
Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Uji Tukey : Pertumbuhan AP spat pada berbagai tingkat kepadatan
Alpha = 0,05 Kepadatan Spat (ekor/kolektor)
N 1 2 3 4
2,000 21 8,2810 1,500 21 11,8286 1,000 21 13,6762 500 21 15,5190 Sig, 1,000 1,000 1,000 1,000