Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit Dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus

download Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit Dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus

of 83

Transcript of Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit Dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus

  • KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

    ENDANG MINDARWATI

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2 0 0 6

  • Judul Tesis : Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari Karagenan

    Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus

    Nama : Endang Mindarwati

    NIM : F051030041

    Disetujui

    Komisi Pembimbing

    Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief SN, DESS Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU Ketua Anggota

    Diketahui

    Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi PascaPanen

    Dr.Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

    Tanggal Ujian : 20 Maret 2006 Tanggal Lulus :

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Jawa Timur pada tanggal 6 April 1966 dari Ayah Imam Tegoeh dan Ibu Sulamah. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1989.

    Pada tahun 2003, penulis diterima di Program Studi Teknologi Pasca Panen pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Dana Anggaran Proyek Peningkatan Sumberdaya Manusia Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan Jakarta.

  • ABSTRAK

    ENDANG MINDARWATI. Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan HARI EKO IRIANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Di Indonesia, masih sangat jarang industri yang menghasilkan karagenan murni (refined carageenan) atau formula produk karagenan siap pakai yang dapat digunakan untuk industri pangan. Pembuatan karagenan menjadi edibel film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan karagenan. Sehingga diharapkan pemanfaatan rumput laut menjadi karagenan sebagai salah satu bahan dasar pembuat edibel film dapat memacu industri untuk menghasilkan karagenan. Mie instant merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang sangat disukai oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia. Kemasan bumbu mie instant yang digunakan selama ini adalah kemasan dari bahan sintetik yang tidak biodegradable yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu adanya ketentuan penggunaan bahan kemasan yang ramah lingkungan (ecolabelling) dari dunia internasional memacu untuk memikirkan penggunaan kemasan yang memenuhi kriteria tersebut. Penggunaan edibel film komposit dari karagenan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus merupakan salah satu alternatif yang perlu dicoba. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan karagenan sebagai bahan dasar pembuatan edible film dan tujuan khusus adalah (1) mendapatkan sifat fungsional dan formulasi pembuatan edible film komposit dari campuran hidrokoloid, protein dan lemak (2) mempelajari penggunaan edible film sebagai pengemas bumbu mie instant rebus ditinjau dari sifat-sifat organoleptik, kimia dan mikrobiologi produk yang dapat diterima konsumen. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa karagenan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan edibel film komposit. Tahapan teknik formulasi pembuatannya adalah sebagai berikut pembuatan larutan pembentuk film, pencampuran larutan film dengan gliserol dan beeswax, pemanasan dan pengadukan, penyaringan, penghilangan gas terlarut, pencetakan, pengeringan, pendinginan, pelepasan film dan penyimpanan. Penambahan konsentrasi karagenan dapat meningkatkan ketebalan, kuat tarik dan persen pemanjangan edibel film komposit. Ketebalan film yang dipersyaratkan maksimal 0,25 mm. Edibel film yang dihasilkan memiliki kelebihan dalam hal kekuatan tarik dan transparansi yang merupakan kriteria plastik dari beberapa kriteria yang dikehendaki produsen untuk dapat digunakan sebagai pengemas bumbu. Kombinasi perlakuan karagenan 2%, tapioka 0,7%, beeswax 0,3% menghasilkan edibel film yang mempunyai nilai laju transmisi uap air yang terendah 752,6 g/m2/hari,. selanjutnya diaplikasikan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus. Sebagai pembanding dibuat edibel film komposit dari karagenan komersial. Semakin lama penyimpanan, nilai skor kesukaan panelis terhadap penampakan, warna, kelarutan dan bau edibel film komposit dari karagenan (hasil ekstraksi maupun komersial) semakin menurun, namun sampai dengan hari ke-14 panelis masih menerima edibel film komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus.

  • Hak cipta milik Endang Mindarwati, tahun 2006

    Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

    Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

  • KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM

    KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

    ENDANG MINDARWATI

    Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pasca Panen

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2 0 0 6

  • PRAKATA

    Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari Karagenan sebagai Pengemas Bumbu Me Instant Rebus. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bpk. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief SN, DESS dan Bapak Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU selaku pembimbing atas segala bimbingan dan pengarahannya, Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr. selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan wawasan dan pengetahuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan yang telah memberikan izin belajar, beserta staf yang telah memberi dukungan baik moril maupun materiil. Bapak Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan fasilitas dan beaya penelitian. Bapak/Ibu Kepala Laboratorium dan Rekan-rekan di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Ibu Murdinah, Bapak Darmawan, Ibu Dina Fransiska, Bapak Said dan Rekan-rekan Mahasiswa dari IPB dan UNDIP yang banyak membantu selama penelitian, Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknologi Pasca Panen atas segala bantuan dan dukungannya. Uangkapan rasa terima kasih juga disampaikan kepada Suami Ir. Yuliadi, MM, Ayahanda (alm), Ibunda, Ananda Ardi serta seluruh keluarga tercinta, atas segala bantuan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

    Bogor, Maret 2006

    Endang Mindarwati

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL . vii

    DAFTAR GAMBAR viii

    DAFTAR LAMPIRAN.. x

    PENDAHULUAN ..... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3

    TINJAUAN PUSTAKA. 4 Klasifikasi dan Identifikasi Rumput Laut . 4 Edibel Film 5 Bahan-bahan Pembentuk Edibel Film ... 7 Karagenan.. 7 Struktur Molekul Karagenan 7 Sifat-sifat Karagenan 7 Kelarutan .. 8 Pembentukan Gel.. 9 Fungsi Karagenan . 10 Spesifikasi Mutu Karagenan.. 11 Tepung Tapioka.... 11 Lemak .. 13 Gliserol.. 14 Bumbu 15 BAHAN DAN METODE... 16

    Bahan dan Alat . 16 Metode Penelitian... 16

    Spesifikasi Mutu Karagenan. 16 Karakterisasi Sifat Fungsional dan Formulasi Pembuatan

    Edibel Film Komposit (Hidrokoloid - Lemak). 18 Penelitian Tahap Pertama.. 18

    Penelitian Tahap Kedua 20 Aplikasi Edibel Film Komposit Sebagai Pengemas

    Bumbu Mie Instant Rebus. 21 Pengamatan dan Pengukuran 21 Kadar Air.. .... 21 Kadar Abu ............ 22 Kadar Abu tak larut asam. 22 Viskositas . 23 Kekuatan Gel. 23 Titik Gel.. 23 Titik Leleh... 24 Ketebalan.... 24

  • Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan.. 24 Laju Transmisi Uap Air .. 25 Kadar Protein . 26 Kadar Lemak . 26 Uji Organoleptik . 26 Aktivitas Air .. 27 Total Mikroba ... 27 Total Kapang .. 27

    Rancangan Percobaan. 28 HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 29 Spesifikasi Mutu Karagenan ... 29 Pembuatan dan Penenentuan Konsentrasi Bahan Penyusun Edibel Film Komposit dari Karagenan ... 31 Karakterisasi dan Pemilihan Kombinasi Formula Edibel Film Komposit . 34 Perbandingan Edibel Film yang Dihasilkan dengan Edibel Film Hasil Penelitian Sebelumnya . 42 Aplikasi Edibel Film Komposit sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus 43 KESIMPULAN DAN SARAN .. 54 Kesimpulan .. 54 Saran . 55 DAFTAR PUSTAKA 56

    LAMPIRAN .. 61

  • DAFTAR TABEL

    Halaman

    1 Sifat-sifat karagenan 8

    2 Spesifikasi mutu karagenan . 11

    3 Komposisi kimia setiap 100 gr tapioka ... 12

    4 Spesifikasi mutu karagenan hasil ekstraksi.. 29

    5 Deskripsi edibel film komposit dari karagenan ekstraksi 34

    6 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan penelitian sebelumnya. 42

    7 Karakteristik edibel film komposit dari karagenan ekstraksi dalam penelitian dibandingkan dengan edibel film dari karagenan komersial 44

    8 Batas Aw minimal untuk pertumbuhan jasad renik penyebab kebusukan makanan 46

    9 Kadar abu, lemak dan protein edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dan karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus sebelum dan sesudah penyimpanan. 47

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1 Diagram alir ekstraksi karagenan modifikasi. 17

    2 Diagram alir pembuatan edibel film komposit .. 19

    3 Diagram alir pembuatan edibel film komposit .. 20

    4 Persen pemanjangan edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax . 35

    5 Kekuatan tarik edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.. 37

    6 Laju transmisi uap air edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax. 38

    7 Ketebalan edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax... 40

    8 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan kadar air edibel film (EF) komposit dari karagenan (krg) hasil ekstraksi (ekst) dan komersial (kms) yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus . 44

    9 Grafik hubungan lama penyimpanan dengan Aw edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus 46

    10 Grafik perubahan jumlah total mikroba edibel film komposit selama penyimpanan 49

    11 Grafik penerimaan panelis terhadap penampakan edibel film komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie

    instant rebus. 50

    12 Grafik penerimaan panelis terhadap warna edibel film komposit yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus. 51

    13 Grafik penerimaan panelis terhadap kelarutan edibel film komposit dalam mie instan rebus; 52

    14 Grafik penerimaan panelis terhadap bau edibel film komposit dalam mie instan rebus. 52

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1a Rekapitulasi data persen perpanjangan edibel film komposit. 61

    1b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan beeswax terhadap persen perpanjangan edibel film komposit. 61

    1c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan terhadap persen perpanjangan edibel film komposit 61

    2a Rekapitulasi data kekuatan tarik edibel film komposit... 62

    2b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan beeswax terhadap kekuatan tarik edibel film komposit.. 62

    2c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan terhadap persen kekuatan tarik edibel film komposit. 62

    3a Rekapitulasi data kekuatan tarik edibel film komposit... 63

    3b Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan beeswax terhadap laju transmisi uap aire edibel film komposit. 63

    3c Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 63

    4a Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi tapioka terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 64

    4b Hasil uji duncan pengaruh interaksi tapioka dan beeswax terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 64

    5a Hasil uji duncan pengaruh interaksi karagenan , tapioka dan beeswax terhadap laju transmisi uap air edibel film komposit... 65

    5b Rekapitulasi data ketebalan edibel film komposit... 65

    6a Analisa ragam pengaruh konsentrasi karagenan, tapioka dan beeswax terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66

    6b Hasil uji duncan pengaruh peningkatan konsentrasi karagenan terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66

    6c Hasil uji homogenitas pengaruh peningkatan konsentrasi beeswax terhadap ketebalan edibel film komposit.. 66

  • 7a Rekapitulasi data kadar air edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 67

    7b Rekapitulasi data Aw edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 67

    8a Rekapitulasi total mikroba edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 68

    8b Hasil uji organoleptik edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dibandingkan dengan karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant 68

    9a Gambar edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit dari karagenan komersial . 69

    9b Gambar edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian dibandingkan dengan edibel film komposit dari karagenan komersial yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie instant rebus.. 69

  • PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pembuatan Edibel Film Komposit dari Karagenan Sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus adalah karya saya sendiri dengan komisi pembimbing Bpk. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief,SN. DESS dan Bpk. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU. dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

    Bogor, Maret 2006

    Endang Mindarwati NIM F051030041

  • PENDAHULUAN

    Jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam dunia

    perdagangan yaitu kelas Rhodophyceae atau Phaeophyceae. Dari kelas

    Rhodophyceae jenis Eucheuma sp, Hypnea sp, Chondrus sp dan Gigartina sp

    merupakan rumput laut penghasil karagenan. Jenis lainnya seperti Gracilaria

    sp, Gelidium sp, sebagai penghasil agar dan Furcellaria sebagai penghasil

    furselaran. Sedangkan dari kelas Phaeophyceae dikenal jenis Ascophyllum sp,

    Laminaria sp, Macrocistis sp dan Sargasum sp sebagai penghasil algin (Istini.

    S dan A. Zatnika, 1991).

    Rumput laut dimanfaatkan secara luas, baik dalam bentuk bahan mentah

    seperti lalapan, sayuran, manisan, asinan, maupun dalam bentuk hasil olahan.

    Salah satu bentuk hasil olahan rumput laut yang paling potensial dan bernilai

    ekonomis tinggi yaitu polisakarida alga. Beberapa jenis polisakarida alga yang

    komersial sampai saat ini adalah agar, karagenan dan alginat (Satari, 1996).

    Karagenan merupakan getah yang bersumber dari rumput laut merah

    (Rhodophyceae) berupa polisakarida sulfat yang memiliki sifat-sifat

    hidrokoloid sehingga banyak digunakan dalam produk pangan dan industri.

    Selain digunakan sebagai penstabil, sifat-sifat fungsional lainnya dalam

    produk pangan adalah sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, pembentuk

    gel, pengental, koloid pelindung dan penggumpal. Beberapa marga rumput

    laut merah penghasil karagenan antara lain Chondrus, Eucheuma, dan

    Gigartina, namun pada umumnya untuk daerah tropis banyak dihasilkan oleh

    marga Eucheuma (Winarno, 1990)

    Pasar dunia untuk jenis rumput laut yang mengandung karagenan rata-

    rata mencapai 130.000 ton per tahun, sedangkan pasar karagenan mencapai

    15.000 20.000 ton/tahun. Pasar terbesar yaitu Eropa (35%), Asia Pasifik

    (25%), Amerika Utara (25%), dan Amerika Selatan (15%). Perusahaan-

    perusahaan yang mendominasi pasar rumput laut penghasil karagenan adalah

    FMC (Amerika), QPF (Denmark), dan France Setia (Perancis). Industri

    karagenan dunia mengalami pertumbuhan yang menggembirakan, khususnya

    produk yang konvensional dan SRC (Semi Refine Products), hal ini

    disebabkan karena banyaknya industri hilir yang membutuhkan seperti

  • 2

    industri daging dan dairy, khususnya di pasar Amerika Serikat (PPIP. Badan

    Agribisnis, 1996).

    Di Indonesia, masih sangat jarang industri yang menghasilkan

    karagenan murni (refined caragenan) atau formula produk karagenan siap

    pakai yang dapat digunakan untuk industri pangan. Pembuatan karagenan

    menjadi edibel film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

    pemanfaatan karagenan. Sehingga diharapkan pemanfaatan karagenan sebagai

    salah satu bahan dasar pembuat edibel film dapat memacu industri untuk

    menghasilkan karagenan.

    Edibel film merupakan suatu katagori spesifik dari pengemasan

    makanan yang didefinisikan sebagai type pengemasan seperti film, lembaran

    atau lapis tipis sebagai bagian integral dari produk pangan dan dapat dimakan

    bersama-sama dengan produk tersebut (Guilbert, S dan Gontard, N dalam

    Karbowiak T. 2005). Film digunakan dalam produk pangan untuk mencegah

    transfer massa antara produk pangan dengan lingkungan sekitar atau antara

    fase yang berbeda dari produk pangan campuran (seperti Aw yang berbeda

    dalam produk pangan yang sama) dan oleh karenanya untuk menghindari

    kerusakan mutu pangan karena perubahan physiko-kimia, tekstur atau reaksi

    kimia (oksidasi lemak, reaksi Maillard dan reaksi enzymatis). Sekat pelindung

    dapat diformulasikan untuk mencegah transfer uap air, udara, flavour atau

    lemak dan selanjutnya untuk memperbaiki mutu pangan dan meningkatkan

    masa simpannya.

    Bahan-bahan pembentuk film biasanya dapat berupa bahan itu sendiri

    atau dalam bentuk kombinasi. Protein dan polisakarida digunakan untuk

    memperbaiki sifat-sifat mekanis dan struktural film, sedangkan bahan

    hidrofobik (lemak, laks, emulsifier dan lain-lain) untuk memperbaiki sifat

    sebagai penahan terhadap uap air.

    Dalam produk pangan telah banyak digunakan karagenan sebagai edibel

    film, sebagai pengemas daging segar dan beku, ikan untuk mencegah

    dehidrasi, casing sosis atau ham, produk kering, makanan berlemak dan

    sebagainya, tetapi juga digunakan dalam pembuatan kapsul lunak dan

    khususnya kapsul non gelatin.

  • 3

    Pati dapat berinteraksi dengan bahan tambahan pangan atau komponen

    pangan. Sebagai hasil interaksi, mungkin dipengaruhi oleh sifat-sifat yang

    berbeda dari bahan tambahan pangan atau pati tersebut. Pati dapat berinteraksi

    dengan antimikroba seperti asam sorbat asam benzoat dan sifat alami

    interaksi ini bergantung baik pada konsentrasi maupun karakteristik kimia

    selama penyimpanan (Fama L et al. 2005).

    Edibel film telah banyak digunakan sebagai pengemas produk pangan.

    Pada penelitian ini, edibel film yang dihasilkan dicoba digunakan sebagai

    pengemas bumbu mie instant. Seperti kita ketahui bahwa mie instant

    merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang sangat disukai oleh

    sebagian besar masyarakat Indonesia. Kemasan bumbu mie instant yang

    digunakan selama ini adalah kemasan dari bahan sintetik yang tidak

    biodegradable yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu

    adanya ketentuan penggunaan bahan kemasan yang ramah lingkungan

    (ecolabelling) dari dunia internasional memacu untuk memikirkan

    penggunaan kemasan yang memenuhi kriteria tersebut.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan

    pemanfaatan karagenan sebagai bahan dasar pembuatan edibel film.

    Tujuan khusus yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

    1 Mendapatkan formulasi pembuatan dan sifat fungsional edibel film

    komposit dari campuran hidrokoloid dan lemak.

    2 Mempelajari penggunaan edibel film komposit sebagai pengemas

    bumbu mie instant rebus ditinjau dari sifat-sifat organoleptik produk yang

    dapat diterima konsumen.

  • 4

    TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Identifikasi Rumput Laut

    Alga merah jenis Eucheuma cottonii telah berubah nama menjadi

    Eucheuma alvarezii (Doty, 1985), karena karagenan yang dihasilkan adalah

    fraksi kappa karagenan maka jenis ini secara taksonomi dirubah namanya

    menjadi Kappaphycus alvarezii (Doty, 1986 dalam Atmadja, et al. 1996).

    Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia

    perdagangan nasional dan internasional.

    Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Doty (1986) yang dikutip

    Atmadja, et al (1996) adalah sebagai berikut :

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Rhodophyta

    Kelas : Rhodophyceae

    Ordo : Gigartinales

    Famili : Solieriaceae

    Species : Eucheuma alvarezii Doty

    Kappaphycus alvarezii Doty

    Ciri-ciri fisik dari Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii

    adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogineus (lunak

    seperti tulang rawan), warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.

    Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks.

    Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak

    bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-

    batang utama keluar saling berdekatan ke daerah asal (pangkal). Tumbuh

    melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang

    pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri-ciri

    khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja, et al. 1996).

    Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung

    seperti tanduk. Jaringan tengah terdiri dari filamen-filamen yang berwarna dan

    dikelilingi oleh sel-sel besar dan dilapisi oleh lapisan korteks dan lapisan

    epidermis.

  • 5

    Edibel Film

    Edibel film adalah suatu lapisan tipis dan kontinu, terbuat dari bahan-

    bahan yang dapat dimakan, dibentuk diatas komponen makanan (coating) atau

    diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai

    penghalang terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid dan

    zat terlarut) dan atau sebagai pembawa bahan makanan dan aditif serta untuk

    meningkatkan kemudahan penanganan makanan (Krochta, 1992).

    Donhowe dan Fennema (1994) membagi komponen utama penyusun

    edibel film ke dalam hidrokoloid, lemak dan komposit (campuran hidrokoloid

    dan lemak). Hidrokoloid dapat berupa protein, turunan selulosa, alginat,

    pektin, pati dan polisakarida lain. Sedangkan lemak yang umum digunakan

    antara lain lilin, asil gliserol dan asam lemak. Edibel film dengan komponen

    campuran (komposit) dapat berupa film emulsi lemak-hidrokoloid atau

    beberapa bilayer film dengan satu muka film hidrofilik dan muka lain film

    hidrofobik.

    Edibel dapat berperan sebagai lapisan yang dapat didegradasi oleh

    bakteri dan terbuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Film ini dapat

    mengganti film berbasis minyak bumi atau upaya untuk meningkatkan

    kepedulian lingkungan. Saat ini film yang dapat didegradasi berasal dari

    protein dan polisakarida (Parris et al, 1995).

    Perbedaan antara edibel film dengan edibel coating yaitu edibel film

    merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa

    lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan.

    Sedangkan edibel coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk

    langsung pada produk dan bahan pangan (Harris, 1999). Edibel film dan

    coating digunakan dalam produk obat-obatan, konfeksioneri, buah-buahan dan

    sayuran segar serta beberapa produk dari daging (Brandenburg, 1993).

    Menurut Gennadios (1990), keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari

    edibel film dibandingkan pengemas-pengemas tradisional non-edibel adalah :

    1 Dapat langsung dikonsumsi bersama produk yang dikemas sehingga tidak

    ada sampah kemasan. Jika film tidak dapat dikonsumsi masih dapat

    didegradasi oleh bakteri sehingga mengurangi polusi lingkungan.

  • 6

    2 Meningkatkan sifat-sifat organoleptik pangan karena ke dalamnya dapat

    ditambahkan flavor, pewarna, dan pemanis.

    3 Dapat digunakan sebagai suplemen gizi.

    4 Dapat diterapkan pada produk-produk yang berukuran kecil.

    5 Dapat diaplikasikan di dalam produk yang heterogen sebagai penyekat

    antara komponen makanan yang berbeda.

    6 Dapat berfungsi sebagai pembawa senyawa antimikroba dan antioksidan.

    7 Cocok digunakan untuk mikroenkapsulasi flavor pangan dan leaving

    agents. Edibel film dapat dipakai bersama-sama non edibel sebagai lapisan

    dalam untuk mencegah migrasi komponen kimia berbahan ke dalam

    makanan.

    Kittur et al (1998) menyatakan bahwa edibel coating juga edibel film

    telah digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan etilen) antara

    produk makanan dengan lingkungan sekitar atau antar komponen makanan,

    juga dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia

    produk makanan.

    Sifat penahan gas dan uap air dari edibel film dan coating dipengaruhi

    oleh komposisi, gelembung udara dan lubang dalam film (Pasca, 1986 dalam

    Park dan Chinnan, 1995). Pembentukan gelembung udara dan kemungkinan

    adanya lubang dipengaruhi oleh teknik preparasi dan komposisi kimia,

    termasuk konsentrasi dari pemlastis. Keberadaan gelembung udara dan lubang

    mempengaruhi karakteristik permeabilitas film (Park dan Chinnan, 1995).

    Aplikasi yang potensial dari edibel film dan coating dari biopolimer

    adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari

    buah dan sayuran, perpindahan kelembaban sedang, serta perpindahan zat

    terlarut pada pangan beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan

    edibel film yaitu kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang

    merupakan sifat hidrofilik dari edibel film. Kemampuan edibel film dan

    coating dalam menahan uap air dan oksigen dapat dimanfaatkan untuk

    meningkatkan kesegaran dari buah, sayuran, dan pangan lainnya (Park et al.,

    1996).

  • 7

    Bahan-bahan Pembentuk Edibel Film

    Karagenan

    Karagenan merupakan nama yang diberikan untuk keluarga

    polisakarida linear bersulfat yang diperoleh dari alga merah dan penting untuk

    pangan. Dalam bidang industri, karagenan berfungsi sebagai stabilisator

    (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, dan

    lain-lain. Karagenan dapat diperoleh dari hasil pengendapan dengan alkohol,

    pengeringan dengan alat (drum drying), dan dengan proses pembekuan. Jenis

    alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian hanya terbatas pada methanol,

    etanol dan isopropanol (Winarno, 1990).

    Berdasarkan kandungan sulfatnya, Doty (1987) membedakan

    karagenan menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat

    kurang dari 28% dan iota karagenan jika lebih dari 30%. Sedangkan Winarno

    (1990), membagi karagenan menjadi tiga fraksi berdasarkan unit penyusunnya

    yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan. Menurut Reen (1986) kappa

    karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, sedangkan

    iota karagenan dihasilkan dari Eucheuma spinosum.

    Struktur Molekul karagenan. Karagenan merupakan senyawa

    hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, dan kalsium

    sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer (Winarno, 1996).

    Sedangkan menurut Arifin (1994) yang dikutip dari Anonim (1991)

    menyatakan bahwa karagenan merupakan senyawa kompleks polisakarida

    yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa, baik

    yang mengandung sulfat maupun yang tidak mengandung sulfat, dengan

    ikatan -1,3-D galaktosa dan -1,4-3,6 anhidrogalaktosa secara bergantian.

    Sifat-sifat karagenan. Di pasaran, karagenan merupakan tepung yang

    berwarna kekuning-kuningan, mudah larut dalam air dan membentuk larutan

    kental atau gel. Menurut Suryaningrum (1988), sifat-sifat karagenan meliputi

    kelarutan, stabilitas pH, pembentukan gel dan viskositas. Sifat-sifat karagenan

    dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 8

    Tabel 1 Sifat-sifat Karagenan

    Kappa Iota Lambda Ester Sulfat 25-30 % 28 35 % 32 34 % 3,6-anhidrogalaktosa 28 38 % - 30 % Kelarutan Air Panas Larut pada

    suhu > 70 0C Larut pada suhu

    > 70 0C Larut

    Air dingin Larut Na+ Larut Na+ Larut dalam semua garam

    Susu Panas Larut Larut Larut Susu Dingin + Tspp Kental Kental Lebih Kental Larutan Gula Larut (panas) Susah larut Larut (panas) Larutan garam Tidak Larut Tidak Larut Larut (panas) Larutan organik Tidak Larut Tidak larut Tidak larut Gel Pengaruh kation Membentuk

    gel kuat dengan K+

    Gel sangat kuat Ca+

    Tidak membentuk gel

    Tipe gel Rapuh Elastis Tidak membentuk gel

    Stabilitas PH netral dan basa Stabil Stabil Stabil Asam (pH 3,5) Terhidrolisa Terhambat

    dengan panas Terhidrolisa

    Sumber : Glicksman (1983)

    Kelarutan. Air merupakan pelarut utama bagi karagenan. Kelarutan

    karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tipe karagenan,

    pengaruh ion, suhu, komponen organik larutan, dan pH (Towle, 1973).

    Karagenan dapat membentuk gel secara reversible artinya dapat

    membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan.

    Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknya struktur heliks rangkap

    yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Pada suhu rendah, struktur heliks rangkap

    membentuk jaringan polimer yang bercabang-cabang dan selanjutnya akan

    membentuk suatu kesatuan (Suryaningrum, 1988).

    Faktor terpenting dalam pengamatan kelarutan karagenan adalah sifat

    hidrofilik molekul yaitu pada kelompok ester-sulfat dan unit galaktopironosa.

    Sedangkan unit 3,6 anhidrogalaktosa bersifat hidrofobik. Kappa karagenan

    memiliki ester-sulfat dalam jumlah yang rendah, tetapi mengandung 3,6

  • 9

    anhidrogalaktosa yang bersifat hidrofobik seperti kalium. Keseimbangan

    antara ion-ion yang larut dengan yang tidak larut akan terganggu seperti

    terbentuknya gel. Kappa dan lambda karagenan larut dalam larutan gula jenuh

    dalam keadaan panas. Sedangkan iota karagenan lebih sukar larut jika

    dibandingkan dengan kedua karagenan tersebut, karena iota karagenan

    mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sinersis dan reversible sehingga

    lebih mudah larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Anonim,

    1977).

    Pembentukan Gel. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah

    suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer

    sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala

    ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan

    membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam

    dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel

    mungkin mengandung sampai 99,9% air. Gel mempunyai sifat seperti

    padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.

    Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi

    pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung

    gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Proses ini bersifat reversible artinya gel akan

    mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel

    kembali. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat akan

    mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan dan iota karagenan

    akan membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+ ,

    Rb+ dan Cs+. Kappa karagenan sensitif terhadap ion kalium dan akan

    membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman, 1983).

    Dalam aplikasi pangan ada lima kation yang paling umum digunakan yaitu

    natrium, kalium dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti ammonium

    dan barium.

    Kemampuan membentuk gel adalah sifat-sifat penting kappa

    karagenan. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis

    dan tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Hal lain yang dapat

  • 10

    mempengaruhi konsentrasi gel kappa karagenan yaitu letak gugus sulfat pada

    struktur molekulnya.

    Fungsi Karagenan. Karagenan sangat penting peranannya sebagai

    stabilisator (pengatur keseimbangan). thickener (bahan pengental), pembentuk

    gel, pengemulsi, koloid pelindung, penggumpal dan pencegah kristalisasi.

    Sifat ini sangat dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik,

    tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya.

    Penambahan karagenan 0,01 0,05 % pada es krim berfungsi sebagai

    stabilisator yang sangat baik. Sedangkan penambahan karagenan 0,02 0,03

    % pada susu cokelat dapat mencegah pengendapan cokelat dan pemisahan es

    krim serta peningkatan kekentalan lemak dan pengendapan kalsium (Winarno,

    1990).

    Di bidang industri kue dan roti, kombinasi karagenan dengan garam

    natrium, lambda karagenan dengan lesitin dapat meningkatkan mutu adonan.

    Dengan demikian dihasilkan kue dan roti bermutu tinggi.

    Bila dikombinasi dengan garam kalium, maka karagenan sangat efektif

    sebagai gel pengikat atau pelapis produk daging. Dalam jumlah yang relatif

    kecil, karagenan juga dipergunakan dalam produk makanan lainnya, misalnya

    macaroni, jam jelly, saribuah, bir dan lain-lain. (Winarno, 1990).

    Diluar industri pangan, karagenan juga digunakan dalam industri

    obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat serta pasta gigi. Selain sebagai pengemulsi

    dan penstabil, karagenan juga berfungsi sebagai pembentuk gel, pensuspensi,

    pengikat, protective (melindungi koloid), film former (mengikat suatu bahan),

    syneresis inhibitor (menghalangi terjadinya pelepasan air), dan flocculating

    agent (mengkilat dan mengikat bahan-bahan lain)(Anggadiredja et al. 1993)

  • 11

    Spesifikasi Mutu Karagenan. Di Indonesia belum ada standar mutu

    karagenan, tetapi secara internasional telah dikeluarkan spesifikasi mutu

    karagenan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri

    pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi

    kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut.

    Spesifikasi kemurnian karagenan yang dikeluarkan oleh FAO, FCC

    dan EEC dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2 Spesifikasi mutu karagenan

    Spesifikasi FAO FCC EEC

    Zat volatile (%)

    Sulfat (%)

    Viskositas pada larutan 1,5 %

    Abu (%)

    Abu tidak larut asam (%)

    Logam berat :

    Pb (ppm)

    As (ppm)

    Cu + Zn (ppm)

    Zn (ppm)

    Kehilangan karena pengeringan

    Maks 12

    15 40

    min 5 cps

    15 40

    -

    maks 10

    maks 3

    -

    -

    -

    Maks 12

    18 40

    min 5 cps

    maks 35

    maks 1

    maks 10

    maks 3

    -

    -

    -

    Maks 12

    15 40

    min 5 cps

    15 40

    maks 2

    maks 10

    maks 3

    maks 50

    maks 25

    -

    Sumber : A/S Kobenhavsn Pektifabrik, 1978

    Tepung Tapioka

    Tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami

    proses pencucian sempurna dan dilanjutkan dengan pengeringan. Pati

    merupakan komponen utama tapioka dan merupakan senyawa yang tidak

    mempunyai rasa dan bau, sehingga modifikasi citarasa tapioka mudah

    dilakukan. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran

    kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan

    karakteristik setiap jenis pati. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen

    utama yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti protein dan

    lemak (Banks dan Greenwood, 1975).

  • 12

    Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi

    sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut sifat

    birefringence. Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence ini akan

    hilang (Winarno, 1984).

    Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati

    akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu

    tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada

    kondisi semula (Belitz & Grosch, 1999).

    Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen

    intermolekuler. Ikatan hidrogen ini mempunyai peranan untuk

    mempertahankan struktur integritas granula. Adanya gugus hidroksil yang

    bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula

    pati. Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dan molekul pati, maka

    kemampuan untuk menyerap air semakin besar. Peningkatan kelarutan juga

    diikuti oleh peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya

    bebas bergerak diluar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat

    bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi (Greenwood, 1979).

    Komposisi kimia dalam setiap 100 g tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Komposisi kimia setiap 100 gr tapioka

    Komponen Jumlah Kalori (kal) 362

    Protein (g) 0.5 Lemak (g) 0.3

    Karbohidrat 86.9 Air (g) 12.0

    Sumber : Haryanto dan Pangloli (1993) dalam Budiantoro, 1997

    Menurut Grace (1977) dalam Budiantoro (1997), tapioka dapat

    digunakan di berbagai industri pangan seperti :

    a. Langsung dimakan sebagai makanan, custard dan bentuk makanan lainnya.

    b. Sebagai pengental (thickener) seperti soup, makanan bayi, saus dan lain-

    lain

    c. Sebagai pengisi (filler) untuk memadatkan kandungan soup, pil tablet, es

    krim dan lain-lain.

  • 13

    d. Sebagai bahan pengikat (binder) untuk menggabungkan massa dan

    mencegahnya dari penguapan selama pemasakan (sosis dan daging olahan).

    Tapioka harganya murah dan dapat memberikan dekstrin dengan

    kelarutan yang baik, cita rasa netral serta warna terang pada produk (Radley,

    1976).

    Lemak

    Film lemak sering digunakan sebagai penahan uap air. Penggunaan

    lemak dalam bentuk murni sebagai film terbatas sebab integritas dan daya

    tahannya yang kurang. Jenis lemak yang biasa digunakan adalah wax,

    asilgliserol dan asam lemak. (Krochta et al, 1994)

    Rumus molekul beeswax adalah C13H27CO2C26H53. Komposisinya

    terdiri dari 71 persen ester lilin, 1-1.25 persen alkohol bebas, 13.5 14.5

    persen asam lemak bebas, 10.4 13.6 persen hidrokarbon, dan 1-2 persen air

    (Donhowe dan Fennema, 1992).

    Beeswax memiliki tekstur keras, namun menjadi plastis dan dapat

    diremas dengan tangan yang hangat tanpa menyebabkan lengket, serta

    berbentuk butiran kecil yang tidak mengkristal bila dihancurkan. Beeswax

    memiliki titik lebur sekitar 64 0C. Disamping itu juga bersifat sulit larut dalam

    pelarut organic polar maupun non polar pada kondisi dingin, namun larut

    dengan sempurna jika dipanaskan pada titik didihnya (Elvers dan Hawkins,

    1996).

    Beeswax memiliki titik lebur sekitar 64 0C dengan komposisi bervariasi

    tergantung dari sumbernya. Demikian pula dengan warna, bervariasi mulai

    dari kuning, oranye sampai dengan cokelat. Beeswax kuning dapat

    dibleaching menjadi putih dengan bahan pengoksidasi seperti peroksida (Mark

    et al., 1984).

  • 14

    Gliserol

    Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus

    hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah

    C3H8O3 dengan nama kimia 1,2,3-propanatriol. Berat molekul gliserol 92.10,

    massa jenisnya 1.23 g/cm2, dan titik didihnya 204 0C (Winarno, 1992).

    Gliserol mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan viskositas larutan,

    mengikat air dan menurunkan Aw (Lindsay, 1985).

    Gliserol banyak terdapat di alam sebagai ester asam lemak pada lemak

    dan minyak. Gliserol dihasilkan sebagai produk samping dalam pembuatan

    sabun dan asam lemak dengan system saponifikasi atau hidrolisis. Gliserol

    efektif digunakan sebagai pemlastis pada hidrofilik film, seperti pektin,

    gelatin, alginat, pati dan modifikasi pati, maupun pada pembuatan edibel

    coating berbasis protein. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang

    lebih fleksibel dan halus. Selain itu gliserol dapat meningkatkan permeabilitas

    film terhadap gas, uap air dan gas terlarut. Gliserol dapat meningkatkan

    permeabilitas film tehadap uap air karena sifat gliserol yang hidrofilik.

    Adanya gugus polar (-OH) pada rantai pemlastis karena menghasilkan ikatan

    polimer-pemlastis menggantikan interaksi polimer-polimer dalam biopolimer

    film, dimana gugus polar dapat mengabsorpsi dan mengikat air. Ukuran

    molekul, susunan dan jumlah bilangan fungsional gugus hidroksil dari

    pemlastis dan juga kesesuaian pemlastis dengan biopolimer dapat berpengaruh

    terhadap interaksi polimer-pemlastis. (Gontard et al. 1993).

    Transmisi uap air melalui film hidrofilik tergantung pada difusitas dan

    kelarutan molekul air dalam matriks film (Gontard & Guilbert, 1994).

    Bertambahnya ruang antar rantai disebabkan masuknya molekul gliserol

    antara rantai polimer menyebabkan meningkatnya difusitas transmisi uap air

    melelui film sehingga mempercepat transmisi uap air. sifat hidrofilik yang

    tinggi pada molekul gliserol dimana mudah mengabsorpsi molekul air, juga

    berperan meningkatkan transmisi uap air (Lieberman & Gilber, 1973).

  • 15

    Bumbu

    Menurut Jenkins (1991) bumbu adalah nama umum produk yang

    diperoleh dari berbagai macam bagian tanaman seperti kulit kayu, kuncup,

    bunga, buah atau biji. Pada umumnya tanaman bumbu tumbuh dengan subur

    di iklim semi tropis dan tropis, hal ini mungkin disebabkan bumbu dapat

    dipertahankan mutunya pada iklim tersebut. FDA menggambarkan bumbu

    sebagai aroma substansi sayuran dalam bentuk utuh, hancuran atau serbuk

    yang digunakan terutama untuk memberi bumbu makanan dari pada untuk

    memberi nutrisi. Sifat aromatik bumbu yang tinggi berasal dari kandungan

    minyak esensial yang tinggi. Sedangkan menurut Somoatmadja (1985)

    rempah-rempah didefinisikan sebagai bahan asal tumbuh-tumbuhan yang

    biasanya dicampurkan kedalam berbagai masakan untuk memberi aroma dan

    membangkitkan selera makan.

    Fungsi rempah-rempah dalam makanan adalah untuk meningkatkan

    selera dan nafsu makan, disamping itu juga digunakan sebagai bahan

    pengawet dan fumigan. Dalam bidang farmasi, rempah-rempah sering

    digunakan sebagai bahan untuk mencampur obat-obatan serta untuk

    mengurangi rasa yang kurang sedap.

    Bumbu mie instant merupakan campuran dari beberapa rempah-rempah,

    penyedap rasa dan flavor sehingga diperoleh rasa yang diinginkan. Bumbu

    mie instant rasa daging ayam terdiri dari lada, pala dan bahan tambahan

    makanan meliputi MSG, garam dan flavor daging ayam.

    Walaupun cahaya membutuhkan waktu yang lama untuk dapat

    menyebabkan kerusakan bumbu, tetapi pada akhir-akhir ini study

    menunjukkan bahwa cahaya disamping panas atau transmisi flavour aroma

    adalah merupakan faktor pembatas masa simpan. Berdasarkan hal tersebut,

    produsen menghendaki beberapa kriteria plastik yang dapat digunakan

    sebagai pengemas bumbu yaitu barrier yang baik terhadap gas, uap air,

    transparan, kuat, kemampuan proses, dan beaya produksi (Jenkins, 1991).

  • 16

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember

    2005 di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan

    Perikanan, Slipi Jakarta dan di Laboratorium Organoleptik Balai Besar

    Pengembangan dan Pengendalilan Hasil Perikanan Jakarta.

    Bahan dan Alat

    Bahan baku rumput laut yang digunakan adalah jenis Eucheuma

    cottonii yang dipanen dari daerah Mataram dan Bali. Bahan Kimia yang

    digunakan untuk ekstraksi karagenan adalah Kaporit (CaOCl2), KOH, KCl,

    IPA. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan edibel film adalah

    tepung karagenan hasil ekstraksi, karagenan komersial, air destilata, tepung

    tapioka, beeswax, dan gliserol.

    Peralatan yang digunakan adalah timbangan, stirrer, micrometer, gelas

    piala, pipet, pengaduk, termometer, gelas ukur, hot plate, pisau, TLC spreader,

    alat pengujian Tensile Strength , alat pengujian Water Vapor Transmission

    Rate Bergelahr, alat pengujian organoleptik dan alat-alat lain untuk analisis.

    Metode Penelitian

    Spesifikasi Mutu Karagenan

    Ekstraksi karagenan dari rumput laut Eucheuma cottonii dilakukan

    dengan menggunakan metode ekstraksi rumput laut Suryaningrum (2003),

    yang bertujuan untuk mendapatkan karagenan yang akan digunakan sebagai

    bahan dasar pembuatan edibel film. Diagram alir proses ekstraksi tersebut

    dapat dilihat pada Gambar 1.

  • 17

    Rumput Laut Eucheuma cottonii kering

    Ekstraksi (KOH 3,5 %) 90 - 95 0C, 3 jam

    Penyaringan Vibrasi

    Dehidrasi dengan IPA (2:1)

    Pengeringan

    Penepungan

    Karagenan

    Perendaman (Koporit CaOCl2 1%),1 jam, pencucian

    Gambar 1 Diagram alir ekstraksi karagenan modifikasi (Suryaningrum, 2003).

    Karagenan yang dihasilkan dan karagenan komersial, kemudian

    dianalisis. beberapa parameter mutunya antara lain kadar air, kadar abu, kadar

    abu tak larut asam, kekuatan gel, viskositas, titik pembentukan gel dan titik

    pelelehan gel.

  • 18

    Karakterisasi Sifat Fungsional dan Formulasi Pembuatan

    Edibel Film Komposit (Hidrokoloid - Lemak)

    Penelitian Tahap Pertama

    Pada penelitian tahap ini dilakukan pembuatan edibel film komposit

    dengan bahan baku karagenan dengan 3 konsentrasi dan 3 kali ulangan.

    Karagenan merupakan bahan baku, karena penggunaannya dalam jumlah yang

    paling besar yaitu 55,56 s/d 78,95 %. Sedangkan tapioka 13,16 s/d 27,78 %

    dan beeswax 7,89 s/d 16,67 % dari total padatan.

    Air destilata sebanyak 100 ml disiapkan, 5 bagian dari 100 ml

    digunakan untuk pengenceran tapioka. Air destilata dipanaskan sampai suhu

    40 0C, ditambahkan karagenan dan dilakukan pengadukan dengan magnetik

    stirer. Setelah karagenan larut, pada suhu 60 0C ditambahkan tapioka yang

    sudah diencerkan dalam air destilata sambil diaduk selama 15 menit sehingga

    terbentuk suspensi yang homogen. Ditambahkan pemlastis yaitu gliserol pada

    saat suhu larutan mencapai 90 0C. Selanjutnya suhu diturunkan menjadi 50 0C

    dan terus dilakukan pengadukan selama 15 menit. Larutan dipanaskan lagi,

    setelah suhu mencapai 64 0C, ditambahkan beeswax. Setelah beeswax larut

    kemudian dilakukan penyaringan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang

    ada dalam larutan. Proses selanjutnya adalah penghilangan gas dengan cara

    dipanaskan sampai mendidih sambil dilakukan pengadukan selama 5 menit.

    Setelah itu larutan dituang dalam TLC spreader untuk selanjutnya dicetak di

    atas plat kaca berukuran 30 x 20 cm2 dengan ketebalan 2 mm. Pencetakan

    harus dilakukan pada saat larutan masih panas dan dilakukan secara cepat,

    mengingat karagenan yang bersifat cepat membentuk gel pada suhu rendah.

    Film yang sudah tercetak dibiarkan 10 menit pada suhu ruang untuk

    selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 50 0C selama 1 jam. Setelah itu,

    film dikeluarkan dari dalam oven dan dibiarkan pada suhu ruang selama 24

    jam kemudian film dilepas dari pelat kaca dengan cara pemotongan pada

    bagian tepi untuk memudahkan pelepasan film. Film yang telah dilepas segera

    disimpan dalam aluminium foil dan plastik berkelim untuk keperluan aplikasi

    dan analisa. Adapun bagan alirnya dapat dilihat pada Gambar 2.

  • 19

    100 ml air destilata

    Karagenan 1, 2, 3 %

    Homogenizing

    Pemanasan sampai mendidih sambil diaduk

    Penambahan gliserol 1 %

    Homogenizing 50 0C , 15 menit

    Pemanasan, suhu mencapai 64 0C

    Larutan Film

    Penyaringan

    Penuangan pada cetakan (30 x 20) cm2

    Pengeringan 50 0C, 1 jam

    Beeswax 0,3 %

    Tapioka 0,5 %

    Edibel Film Komposit

    Degassing (pemanasan sampaimendidih sambil terus diaduk)

    Pengeringan pada suhu ruang 24 jam

    Gambar 2 Diagram alir pembuatan edibel film komposit.

    Keterangan : prosentase bahan dari volume air destilata

  • 20

    Penelitian Tahap Kedua

    Formulasi pembuatan edibel film dari penelitian tahap pertama yang

    menghasilkan film yang terbaik (dilihat dari karakteristik fisik dan

    organoleptik) yaitu konsentrasi karagenan 2%. Selanjutnya digunakan sebagai

    acuan pembuatan edibel film komposit dengan rentang konsentrasi diperkecil

    dan 2 kali ulangan. Adapun bagan alirnya dapat dilihat pada Gambar 3.

    100 ml air destilata

    Karagenan 1,5 % ; 2,0 % ; 2,5 %Tapioka 0,3 % ; 0,5 %; 0,7 %

    Homogenizing

    Pemanasan sampai mendidih sambil diaduk

    Penambahan gliserol 1 %

    Homogenizing 50 0 C, 15 menit

    Pemanasan sampai suhu mencapai 64 0C

    Larutan film

    Penyaringan

    Beeswax 0,3 % ; 0,5 %

    Degassing (pemanasan sampai mendidih sambil terus diaduk)

    Penuangan pada cetakan (30 x 20) cm2

    Pengeringan 50 0C, 1 jam

    Pengeringan pada suhu ruang, 24 jam

    Edibel Film Komposit Gambar 3 Diagram alir pembuatan edibel film komposit.

  • 21

    Aplikasi Edibel Film Komposit sebagai Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus.

    Edibel film yang mempunyai nilai laju transmisi uap air yang terendah

    yang dihasilkan dari penelitian tahap kedua diaplikasikan sebagai pengemas

    bumbu mie instant rebus.

    Tahapan percobaan ini adalah sebagai berikut : edibel film dibuat dalam

    bentuk kantung dengan ukuran 3,5 x 6 cm2 dengan menggunakan Hana

    Impulse Sealer Model NI-450-10w skala 9 untuk edibel film karagenan

    ekstraksi dan skala 7 untuk edibel film komersial. Kemudian 3,5 gr bumbu

    mie instant rebus dimasukkan ke dalam edibel film yang telah berbentuk

    kantung (kemasan primer) dan dikemas dengan kemasan mie instant (kemasan

    sekunder). Selanjutnya disimpan dan dilakukan pengamatan pada hari ke 0, 2,

    7 dan 14 hari. Ukuran kantung dan berat bumbu mie instant rebus yang

    dimasukkan disesuaikan dengan ukuran kantung dan berat bumbu mie instant

    rebus yang ada di pasaran.

    Pengamatan dan pengukuran pada penelitian tahap ini meliputi

    pengukuran kadar air, Aw, kadar lemak, protein, abu, total mikroba, total

    kapang serta uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan (penampakan, warna,

    kelarutan dan bau) edibel film yang digunakan sebagai pengemas bumbu mie

    instant rebus.

    Pengamatan dan Pengukuran

    Kadar air (Food Chemical Codex, 1981)

    Sampel sebanyak 1 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam

    cawan porselin yang telah dikeringkan pada suhu 105 0C selama 20 menit atau

    sampai beratnya konstan. Cawan porselin yang berisi contoh dikeringkan pada

    suhu 105 0C selama 4 jam. Jika I1 adalah berat contoh dan I2 adalah berat

    contoh setelah dikeringkan, maka :

    I1 I2 % kadar air = -------------- x 100 %

    I1

  • 22

    Kadar abu (Food Chemical Codex, 1981)

    Sampel sebanyak kurang lebih 2 gram dimasukkan ke dalam cawan

    porselin yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, kemudian dipanaskan

    pada suhu 600 0C sampai bebas dari arang. Cawan beserta abu didinginkan

    dalam desikator kemudian ditimbang.

    A B % kadar abu = -------------- x 100 %

    Berat sampel

    Keterangan :

    A : berat (cawan + karagenan) setelah dipanaskan

    B : berat cawan

    Kadar Abu tak larut asam (Food Chemical Codex, 1981)

    Abu yang diperoleh (dalam pengukuran kadar abu) dipindahkan

    kedalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan HCl 10%,

    kemudian dipanaskan sampai mendidih dan tunggu dalam keadaan mendidih

    selama 5 menit. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring tidak

    berabu (ashless filter paper) kemudian abu yang tertahan pada kertas saring

    dibilas dengan aquades beberapa kali sampai cairan yang menetes keluar dari

    corong tidak bereaksi asam. Kertas saring tidak berabu tersebut dipindahkan

    kedalam cawan abu semula, masukkan ke dalam oven sampai kering

    selanjutnya diabukan dalam tungku pengabuan

    A - B C Kadar abu tak larut asam = -------------- x 100 %

    Berat sampel

    Keterangan :

    A : berat cawan + abu setelah dilarutkan dalam asam

    B : berat cawan

    C : berat abu kertas saring

  • 23

    Viskositas (Cottrel dan Kovack, 1980)

    Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan dilarutkan dalam 250 ml air

    destilata ke dalam beaker gelas telah diketahui bobotnya. Setelah sampel larut

    sempurna ditambah air destilata lagi sampai bobot total larutan 300 gram.

    Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Brookfield

    viscometer pada suhu kamar dengan menggunakan spindle nomor 2 dan

    kecepatan 30 rpm. Angka yan dibaca dikalikan dengan 10. Viskositas larutan

    dihitung dengan satuan centipoises (cPs).

    Kekuatan Gel (Marrine Colloids, 1977)

    Karagenan 0.8 gram, KCl 0.08 gram didispersikan ke dalam 39 ml air

    destilata dan dipanaskan ke dalam bak air mendidih dengan pengadukan

    secara teratur sampai suhu 80 0C, kemudian volume larutan ditepatkan

    menjadi 50 ml dengan air destilata. Larutan panas dimasukkan ke dalam

    cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 0C selama 2

    jam.

    Pengukuran dilakukan dengan menggunakan curd meter. Gel dalam

    cetakan dimasukkan ke dalam alat ukur (curd tension meter). Kondisi

    pengukurannya yaitu :

    1. Batang penekan nomor 5,6 dengan luas permukaan (S) 0,25 cm2 dan

    keliling (l) 1,76 cm

    2. Beban dan pegas masing-masing 100 gram

    3. Laju penetrasi batang penekan sebesar 0,35 cm/detik

    Setelah posisi batang penekan tepat di tengah permukaan gel, curd

    meter diaktifkan sampai dengan batang penekan menembus permukaan gel.

    Pembacaan dilakukan melalui grafik recorder.

    Titik Gel (Marrine colloids, 1977)

    Suhu pembentukan gel ditentukan dengan menggunakan termometer

    digital yang ketelitiannya 0,1 0C. Ke dalam Erlenmeyer dimasukkan 1,8 gr

    sample dan 0,18 gr KCl dan air destilata 80 ml, sample kemudian dipanaskan

    sampai larut dan berat akhir ditetapkan menjadi 90 gr sehingga diperoleh

  • 24

    larutan sample 2%. Larutan kemudian didinginkan sampai suhu 65 0C. Suhu

    pembentukan gel ditentukan dengan cara mengambil 15 ml larutan sample,

    kemudian dimasukkan kedalam tabung percobaan yang berukuran 16x200

    mm. Tabung percobaan kemudian dimasukkan kedalam water bath yang berisi

    air panas. Pada saat larutan bersuhu 60 0C sensor termometer dimasukkan ke

    dalam. Suhu media dalam water bath kemudian diturunkan dengan kecepatan

    pendinginan diatur hingga penurunan suhu 0,6 0C /menit. Pada saat suhu

    berkisar antara 40 0C sensor termometer diangkat-angkat secara periodik.

    Suhu pada saat terbentuk gel disebut suhu pembentukan gel dan suhu ini

    ditentukan tepat pada saat sensor dapat mengangkat gel ke dalam tabung

    percobaan.

    Titik leleh (Dea, 1982)

    Tabung reaksi yang berisi gel dengan konsentrasi 3% diletakkan dalam

    thermostatic bath dan dipanaskan dari suhu 20 0C dengan kecepatan

    pemanasan 1 0C setiap 15 menit. Ketika butir timah yang terendam di dalam

    tabung reaksi tenggelam ke dasar berarti gel telah meleleh. Suhu pada saat ini

    dicatat sebagai melting point.

    Ketebalan

    Ketebalan film diukur dengan Microcal Meshmer. Alat ini memiliki

    ketelitian sampai 0.001 mm. Pengukuran dilakukan pada 5 tempat yang

    berbeda kemudian hasilnya dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai ketebalan

    film rata-rata dalam satuan mm.

    Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan (ASTM, 1983)

    Kuat tarik dan persen pemanjangan diukur dengan menggunakan alat

    tensile Strength and Percen Elongation Tester Strograph-MI Toyoseiki.

    Sebelum dilakukan pengukuran film dikondisikan dahulu dalam suhu ruangan

    selama 24 jam. Alat diatur pada initial grip separation 10 cm, cross-head

    speed 50 mm/menit dan load cell 5 kg.

  • 25

    Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum dan persen

    pemanjangan dihitung pada saat film pecah atau robek.

    Kuat Tarik = F / A

    Keterangan : F = gaya kuat tarik (kgf)

    A = luas (cm2)

    Laju Transmisi Uap Air, Metode Cawan (ASTM, 1983)

    Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor

    transmission rate tester Bergerlahr metode cawan. Film yang akan diukur

    dikondisikan sebelumnya `pada ruangan yang bersuhu 25 + 2 0C dan RH 45 +

    5% selama 24 jam. Bahan penyerap uap air (desikan) diletakkan dalam cawan

    sedemikian rupa sehingga permukaan berjarak 3 mm dari film yang akan

    diuji. Tutup cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga permukaan bagian

    yang teralur menghadap keatas. Film diletakkan ke dalam tutup cawan, lalu

    cincin karet diletakkan untuk sealing ke dalam, ditutup sehingga cincin

    tersebut menekan film. Selanjutnya cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001

    g, kemudian diletakkan dalam humidity chamber, ditutup lalu kipas angin

    dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama dan

    ditentukan pertambahan berat cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan

    antara pertambahan berat mg) dan waktu (jam).

    Nilai laju transmisi uap air yang melewati film dihitung dengan rumus :

    WVTR = 4.8 x m2/t (g/m2/24 jam)

    Keterangan :

    m2 = pertambahan berat (mg per jam)

    t = waktu antar 2 penimbangan terakhir

  • 26

    Kadar Protein (AOAC, 1995)

    Sampel sebanyak 0,5 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml,

    lalu ditambahkan 2-3 gram katalis (1,2 gram Na2SO4 dan 1 gram CuSO4) dan

    2-3 ml H2SO4 pekat lalu dilakukan detruksi hingga larutan menjadi jernih..

    Kemudian sample dibiarkan dingin, lalu ditambahkan 35 ml air destilata dan

    10 ml NaOH 50%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam

    Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator lalu dititrasi dengan

    HCl 0,02N. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :

    % N = (HCl blanko)ml x N HCl x 14,007 x 100% mg sampel

    Kadar Lemak (Apriyantono et al, 1989)

    Dua gram sample dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke

    dalam labu soxlet (Labu lemak sebelumnya dikeringkan dalam oven

    kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang). Dimasukkan pelarut

    petroleum eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Labu berisi hasil

    reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0C. Setelah kering

    didinginkan dalam desikator, labu beserta lemaknya ditimbang sehingga berat

    lemak dapat diketahui. Kadar lemak dapat diketahui berdasarkan rumus :

    % lemak = berat lemak x 100 % berat sampel

    Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

    Uji organoleptik dilakukan dengan metode consumer preference test atau

    uji kesukaan konsumen (Soekarto, 1985), yaitu menggunakan panelis agak

    terlatih sebanyak 15 orang. Bahan disajikan secara acak dengan diberi nomor

    kode, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian pada salah satu

    criteria skala hedonik. Hasil pengamatan dinyatakan dengan 7 skala hedonik

    1 7 dengan urutan sebagai berikut : 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3

    (agak tidak suka), 4(agak suka), 5 (suka), 6 (sangat suka), 7 (amat sangat

    suka). . Parameter yang digunakan pada uji ini meliputi penampakan, warna,

    kekentalan dan bau.

  • 27

    Aktivitas Air (Aw) (AOAC, 1994)

    Alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas air adalah Aw sprint.

    Swiss Made Novasiana TH 500. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi

    dengan menggunakan larutan garam jenuh yang nilai Aw-nya sudah diketahui.

    Sampel dipotong kecil-kecil dan dmasukkan ke dalam cawan sensor. Penutup

    cawan sensor dikatupkan dan tombol start ditekan untuk memulai pengukuran.

    Beberapa saat kemudian pada layar monitor tertera kadar Aw sampel.

    Total Mikroba (Fardiaz, 1989)

    Contoh sebanyak 1 gr ditimbang dan dihancurkan, kemudian secara

    aseptis contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi pengencer 9

    ml. Setelah dikocok, diambil dengan pipet steril 1 ml untuk pengenceran

    berikutnya.

    Pemupukan dilakukan dengan metode agar tuang (pour plate), yaitu

    sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan sampai pada tingkat tertentu,

    diambil dengan pipet steril secara aseptis, dan dipindahkan ke dalam cawan

    petri. Media PCA cair dengan suhu kira-kira 45 0C dituang ke dalam petri.

    Setelah dingin diinkubasi selama 48 jam. Penetapan total mikroba berdasarkan

    pada metode Standard Plate Count.

    Kapang (Fardiaz, 1989)

    Contoh sebanyak 1 gr ditimbang dan dihancurkan, kemudian secara

    aseptis contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi pengencer 9

    ml. Setelah dikocok, diambil dengan pipet steril 1 ml untuk pengenceran

    berikutnya.

    Pemupukan dilakukan dengan metode agar tuang (pour plate), yaitu

    sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan sampai pada tingkat tertentu,

    diambil dengan pipet steril secara aseptis, dan dipindahkan ke dalam cawan

    petri. Media PDA cair dengan suhu kira-kira 45 0C ditambahkan 2 tetes asam

    tartrat kemudian dituang ke dalam petri. Setelah dingin diinkubasi selama 48

    jam kemudian diamati ada/tidaknya kapang.

  • 28

    Rancangan Percobaan

    Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan 3 perlakuan

    dan tiga kali ulangan. Faktor perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari :

    1 Konsentrasi Karagenan

    A1 = 1,5 %

    A2 = 2 %

    A3 = 2,5 %

    2 Konsentrasi Tepung Tapioka

    B1 = 0,3 %

    B2 = 0,5 %

    B3 = 0,7 %

    3 Konsentrasi Beeswax

    C1 = 0,3 %

    C2 = 0,5 %

    rumus matematikanya adalah sebagai berikut :

    Yijk = + Ai + Bj + Ck + ABij + ACik + BCjk + ABCijk + (ijk)

    dimana :

    Yijk = Nilai pengamatan dari perlakuan bersama taraf ke-I factor A, taraf

    ke-j faktor B, taraf ke-k faktor C, pada ulangan ke-1

    = Nilai tengah

    Ai = Pengaruh taraf ke-1 faktor A

    Bj = Pengaruh taraf ke-j faktor B

    Ck = Pengaruh taraf ke-k faktor C

    ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B

    ACik = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-k faktor C

    BCjk = Pengaruh interaksi taraf ke-j faktor B dengan taraf ke-k faktor C

    ABCijk = Pengaruh interaksi taraf ke-i fakktor A, taraf ke-j faktor B dan

    Taraf ke-k faktor C.

    (ijk) = Pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-1.

  • 29

    HASIL DAN PEMBAHASAN Spesifikasi Mutu Karagenan

    Dalam proses ekstraksi karagenan menggunakan alkali, karena alkali

    mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih

    sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-

    anhydro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Towle,

    1973). Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis

    karagenan (Guiseley et a.l, 1980). KOH dipilih karena efek kation terhadap

    kappa karagenan yang menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan

    alkali lain seperti NaOH dan Ca(OH)2.

    Pengendapan karagenan hasil ekstraksi yang telah mengalami filtrasi

    dapat dilakukan dengan alkohol (Glicksman, 1983). Alkohol yang dapat

    digunakan adalah methanol, etanol dan isopropil alkohol. Kebanyakan

    karagenan yang dipakai dalam pangan diisolasi dengan pengendapan selektif

    oleh isopropil alkohol karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental (Anonim,

    2000). Hanya satu kekurangan isopropil alkohol yaitu lebih mahal dibanding

    methanol dan etanol.

    Hasil analisis terhadap mutu karagenan yang diekstrak dari rumput

    laut Eucheuma cottonii dan karagenan komersial dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4 Spesifikasi mutu karagenan

    Parameter Karagenan Ekstraksi

    Karagenan Komersial

    Kadar Air (%)

    Kadar Abu (%)

    Kadar Abu tak larut asam (%)

    Kekuatan Gel (gram/cm2)

    Titik Pembentukan Gel (0C)

    Titik Leleh (0C)

    Viskositas (cPs)

    8,14

    27,17

    0,128

    475

    37,6

    63,4

    25

    18,9

    18,92

    0,0015

    30

    10,5

    20

    30

  • 30

    Karagenan komersial adalah karagenan yang telah distandardisasi oleh

    masing-masing produsen. Standardisasi biasanya dilakukan dengan

    mencampur berbagai jenis karagenan dan atau mencampur dengan sukrosa

    atau garam serta dextrose untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel

    dan pengental (Marcel, 1999).

    Titik jendal dan titik leleh karagenan berkaitan dengan kekuatan gel.

    Karagenan hasil ekstraksi mempunyai kekuatan gel yang tinggi, sehingga titik

    jendal dan titik lelehnya tinggi pula. Sedangkan karagenan komersial

    mempunyai kekuatan gel yang rendah, sehingga titik jendal dan titik lelehnya

    rendah. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan

    tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Kekuatan gel yang rendah

    dari karagenan komersial diduga karena perbedaan tipe karagenan, adanya

    bahan-bahan yang ditambahkan pada karagenan komersial sehingga

    mengurangi kemurnian karagenan tersebut.

    Kadar air karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian memenuhi standar

    yang ditetapkan oleh FAO, FCC maupun EEC yaitu maksimum 12 %.

    Sedangkan kadar air karagenan komersial yang digunakan dalam penelitian

    ini melebihi standar yang ditetapkan. Hal ini diduga, karagenan komersial

    sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama atau mungkin cara

    penyimpanan yang kurang baik, sehingga terjadi penyerapan uap air. Kadar

    abu karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian maupun karagenan komersial

    memenuhi kisaran yang ditetapkan yaitu 15 40 %. Demikian juga kadar abu

    tak larut asam, standar yang ditetapkan maks 2. Viskositas pada larutan 1,5%

    min 5 cps.

    Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara umum karagenan hasil ekstraksi

    dalam penelitian ini lebih baik dari pada karagenan komersial diduga karena

    karagenan komersial sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama serta

    adanya penambahan bahan-bahan tertentu pada karagenan komersial.

  • 31

    Pembuatan dan Penentuan Konsentrasi Bahan Penyusun

    Edibel Film Komposit dari Karagenan

    Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat larutan film edibel

    komposit dari karagenan adalah karagenan, tapioka, beeswax, gliserol dan air

    destilata. Penentuan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 %, beeswax 0,3 %

    dilakukan berdasarkan uji coba pendahuluan dan berdasarkan penelitian yang

    dilakukan oleh Nurrochmawati (2003) dan Harris (1998). Pembuatan edibel

    film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian ini dengan

    penggunaan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 % dan beeswax 0,3 %

    menghasilkan larutan film edibel dengan kekentalan yang sesuai untuk

    pembentukan film. Secara sensory larutan dengan penambahan karagenan

    kurang dari 1 % menghasilkan larutan yang sangat encer dan membentuk film

    yang sangat tipis sehingga sulit dilepas dari cetakan dan mudah robek.

    Sedangkan penggunaan karagenan lebih dari 3 % menghasilkan larutan yang

    kental dan membentuk film dengan ketebalan yang tidak merata.

    Pada proses pembuatan edibel film, mula-mula air destilata dipanaskan

    sampai suhu 40 0C, ditambahkan karagenan dan dilakukan pengadukan

    sampai larut. Pada suhu 60 0C kemudian ditambahkan tepung tapioka yang

    sudah dilarutkan dalam air destilata sambil diaduk selama 15 menit sampai

    homogen. Penambahan tapioka secara langsung dalam air panas,

    menyebabkan tapioka menggumpal sehingga larutan menjadi kurang

    homogen. Penambahan tapioka pada suhu 60 0C, hal ini disesuaikan dengan

    suhu gelatinisasi pati dimana pada suhu 60 sampai 85 0C ini air akan

    menembus lapisan luar granula pati dan granula mulai menggelembung.

    Granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume

    semula. Pada suhu kira-kira granula pati pecah dan isinya terdispersi merata

    keseluruh air sekelilingnya. (Gaman, PM dan Sherrington, KB. 1994).

    Penambahan tapioka pada suhu dibawah 60 0C film yang dihasilkan sangat

    tidak baik, lapisan permukaan tidak rata dan terbentuk garis-garis melingkar

    yang sangat jelas.

    Penambahan gliserol pada saat suhu larutan masih panas (+ 90 0C) dan

    selanjutnya suhu diturunkan sampai suhu 50 0C sambil dilakukan pengadukan

  • 32

    dan dibiarkan selama 15 menit. Dipanaskan lagi dan pada suhu 64 0C

    kemudian ditambahkan beeswax, sambil terus dilakukan pengadukan. Setelah

    beeswax larut, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk menghilangkan

    kotoran-kotoran. Pemanasan dilanjutkan sehingga suhu mencapai 90 0C dan

    dilakukan deggasing. Selanjutnya larutan dicetak dengan menggunakan TLC

    Spreader, setelah itu dilakukan pengeringan dalam oven 50 0C selama 1 jam

    dan selanjutnya dibiarkan dalam suhu ruangan selama 24 jam. Kemudian

    edibel film diangkat dari cetakan dan disimpan dalam kertas aluminium foil.

    Pencetakan edibel film dapat dilakukan dengan metode pencetakan

    dengan alat atau dengan penuangan. Pada pembuatan edibel film komposit ini,

    pencetakan dilakukan dengan cara penyebaran larutan diatas cetakan kaca

    dengan ketebalan terkontrol dengan menggunakan TLC spreader.

    Sifat edibel film yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis dan sifat

    bahan-bahan pembentuknya. Dalam pembuatan larutan film edibel ini

    digunakan air destilata sebagai pelarut. Penggunaan air destilata bertujuan

    untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh kotoran, logam atau zat

    terlarut lain yang dapat mengganggu pembentukan lapisan. Karagenan, tepung

    tapioca, beeswax adalah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat edibel

    film komposit dengan penambahan pemlastis yaitu gliserol.

    Menurut Krochta (1994), edibel film komposit diformulasikan untuk

    menggabungkan kelebihan-kelebihan edibel film dari lemak dan hidrokoloid

    dan mengurangi kelemahan-kelemahan dari masing-masing komponen

    tersebut. Ketika fungsi sebagai penahan uap air dikehendaki diperlukan

    komponen lemak, sementara komponen hidrokoloid memberikan daya tahan

    yang baik.

    Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid komersial dari rumput laut

    merah (Rhodophyceae) yang penting dalam produk pangan dan industri. Hal

    ini karena kemampuannya dalam mengubah sifat fungsional produk yang

    diinginkan. Beberapa sifat fungsional karagenan dalam produk pangan

    diantarannya adalah sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, penstabil,

    pengental, pembentuk gel, koloid pelindung dan penggumpal (Glicksman,

    1982). Karagenan mempunyai karakteristik khas yang tidak bisa digantikan

  • 33

    oleh gum lain, food grade, aman untuk dikonsumsi dan non toxic materials.

    Karagenan termasuk dalam 12 golongan bahan tambahan pangan yang

    diizinkan, karena sampai saat ini karagenan merupakan bahan tambahan

    pangan pengental yang penting dalam produk makanan olahan (Direktorat

    Jenderal Industri dan Pedagang Kecil Menengah, 2002). Pemilihan tepung

    tapioka sebagai bahan campuran adalah berdasarkan penelitian Harris (1999)

    yang menunjukkan bahwa edibel film dari tapioka mempunyai penampakan

    lebih baik dari pada edibel film dari pati aren dan sagu. Edibel film dari

    tapioka mempunyai karakteristik lebih baik terhadap Aw, ketebalan, derajat

    kejernihan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi gas O dan CO ,

    tetapi mempunyai laju transmisi uap air lebih tinggi.

    Gliserol merupakan bahan tambahan pangan yang bersifat humektan

    artinya bahan pangan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat

    mempertahankan kadar air dalam makanan. Gliserol berfungsi sebagai

    pemlastis akan mengurangi kerapatan dan gaya antar molekul pati-gliserol,

    sehingga film yang terbentuk lebih fleksibel dan halus. Tetapi gliserol yang

    berlebihan menyebabkan film lunak dan lengket sehingga sukar diangkat dari

    cetakan. Hal ini disebabkan gliserol bersifat mengikat air dan melunakkan

    permukaan. Penambahan gliserol pada edible film komposit dari karagenan

    lebih dari 2 ml membuat larutan cepat menjendal sehingga edibel film yang

    terbentuk kurang merata. Hal ini disebabkan penambahan gliserol akan

    meningkatkan viskositas larutan. Selain itu juga karena sifat karagenan yang

    mempunyai kekuatan gel yang tinggi. Untuk itu pada penelitian ini digunakan

    penambahan gliserol 1 ml dimaksudkan untuk mendapatkan edibel film yang

    tipis dan merata serta diharapkan akan menghasilkan edibel film dengan nilai

    laju tranmisi uap air dan Aw yang rendah.

    Beeswax fungsinya adalah untuk menahan laju transmisi uap air. Hal

    ini disebabkan karena pada waktu pengeringan, beeswax membentuk jaringan

    kristal sehingga dapat berfungsi sebagai penahan uap air. Menurut

    Deberaufort et al. (1993), laju transmisi uap air akan menurun dengan

    meningkatnya sifat hidrofobik. Kamper dan Fennema (1984), juga

    menyatakan bahwa lemak merupakan komponen yang paling efektif sebagai

  • 34

    penahan uap air. Penambahan beeswax dapat menurunkan aw karena

    beeswax bersifat hidrofobik sehingga mampu menurunkan konsentrasi uap air

    dalam film (Gontard et al. 1996).

    Secara sensory/organoleptik, mutu edibel film komposit dari karagenan

    dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5 Deskripsi edibel film komposit dari karagenan ekstraksi

    Konsentrasi karagenan,

    tapioka, beeswax

    Deskripsi

    1% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, sangat tipis,

    mudah robek, tidak elastis

    2% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, ketebalan cukup,

    elastis

    2,5% ; 0,5% ; 0,3 % buram, kurang rapi, tebal, kaku

    Dengan demikian komponen penyusun utama yang digunakan untuk

    pembuatan larutan film pada penelitian selanjutnya dicoba dengan

    penggunaan karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 % ; tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 %

    beeswax 0,3 dan 0,5 %

    Karakterisasi dan pemilihan Kombinasi Formula Edibel Film

    Pada tahap ini dilakukan pembuatan edibel film sebelum diaplikasikan

    pada produk dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik edibel film

    komposit terpilih. Adapun komponen penyusun utama yang digunakan adalah

    karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 %, tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 % ; beeswax 0,3 dan 0,5

    % dan gliserol 1 %. Teknik formulasi pembuatan edibel film komposit

    memiliki beberapa tahap diantaranya pembentukan suspensi pati (karagenan

    dan tapioka), pencampuran larutan pembentuk film yaitu suspensi pati,

    gliserol dan beeswax, pemanasan, penghilangan gas terlarut, penyaringan,

    pencetakan, pengeringan, pendinginan, pelepasan film dari cetakan dan

    penyimpanan film.

  • 35

    Pemilihan kombinasi formula edibel film komposit yang akan

    diaplikasikan pada produk didasarkan pada hasil analisis statistik.

    Persen Pemanjangan

    Persen Pemanjangan adalah perubahan panjang maksimum yang dialami

    edibel film pada saat mulai sobek (Krochta, 1992). Hasil pengukuran persen

    pemanjangan edibel film komposit dari karagenan berkisar antara 0,9%

    sampai dengan 4,8%. Rekapitulasi data persen pemanjangan dapat dilihat

    pada Lampiran 1a.

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    1,5%;

    0,3%

    1,5%;

    0,5%

    1,5%;

    0,7%

    2,0%;

    0,3%

    2,0%;

    0,5%

    2,0%;

    0,7%

    2,5%;

    0,3%

    2,5%;

    0,5%

    2,5%;

    0,7%

    Kombinasi Karagenan; Tapioka

    Pers

    en P

    erpa

    njan

    gan

    (%)

    Beeswax 0,3 %Beeswax 0,5 %

    Gambar 4 Persen pemanjangan edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.

    Dari gambar 4 terlihat bahwa persen pemanjangan tertinggi diperoleh

    dari perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,5 %.

    Penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan

    kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel

    yang dapat meningkatkan sifat mekanik (persen pemanjangan) dari edibel

    film. Menurut Carriedo (1994), gel yang dihasilkan dari karagenan dapat

    digunakan dalam pelapisan (coating) makanan. Untuk dapat menghasilkan

    edibel film yang baik dapat digunakan kombinasi karagenan dan locust bean

    gum karena mampu membentuk struktur double heliks yang mampu

  • 36

    meningkatkan elastisitas gel yang dihasilkan. Persentase pemanjangan edibel

    film dikatakan baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan jelek jika

    nilainya kurang dari 10% (Krochta dan Johnston, 1997 dalam Suryaningrum,

    2005). Pada konsentrasi karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan

    0,7% dapat menurunkan persen pemanjangan. Hal ini diduga karena

    meningkatnya prosentase padatan terhadap volume air. Hasil penelitian

    Poeloengasih dan Marseno (2003) mengenai edibel film dari protein biji

    kecipir menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka berpengaruh

    terhadap penurunan persen pemanjangan. Sedangkan menurut Suryaningrum,

    2005 pembuatan edibel film dari karagenan dengan perlakuan tanpa

    penambahan tapioka dan penambahan volume larutan pengencer

    menghasilkan persen pemanjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

    penambahan tapioka.

    Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi

    tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka ; karagenan beeswax;

    tapioka beeswax ; karagenan, tapioka dan beeswax tidak berpengaruh

    terhadap persen pemanjangan film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan

    tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % belum memberikan

    pengaruh terhadap persen pemanjangan film yang dihasilkan, karena

    konsentrasi tapioka dan beeswax yang ditambahkan dalam jumlah yang relatif

    kecil. Dari masing-masing perlakuan, hanya penambahan konsentrasi

    karagenan yang berpengaruh terhadap persen pemanjangan. Selanjutnya hasil

    uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penggunaan karagenan 1,5 %

    berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan

    yang digunakan, dimana penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih

    besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga

    memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan persen pemanjangan.

  • 37

    Kekuatan Tarik

    Kekuatan tarik adalah tekanan regangan maksimum yang dapat diterima

    film sampai film putus. Hasil pengukuran kekuatan tarik edibel film komposit

    dari karagenan berkisar antara 352,37 sampai dengan 990,48 kgf/cm2.

    Rekapitulasi data kekuatan tarik dapat dilihat pada Lampiran 2a.

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1,5%;

    0,3%

    1,5%;

    0,5%

    1,5%;

    0,7%

    2,0%;

    0,3%

    2,0%;

    0,5%

    2,0%;

    0,7%

    2,5%;

    0,3%

    2,5%;

    0,5%

    2,5%;

    0,7%

    Kombinasi Karagenan; Tapioka

    Keku

    atan

    Tar

    ik (k

    gf/c

    m2 )

    Beeswax 0,3 %Beeswax 0,5 %

    Gambar 5 Kekuatan tarik edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax. Dari Gambar 5 terlihat bahwa kekuatan tarik tertinggi diperoleh dari

    perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,3 %.

    Pada konsentrasi karagenan 1,5 dan 2% penambahan tapioka belum

    berpengaruh pada penurunan kekuatan tarik. Hal ini diduga pada kombinasi

    konsentrasi tersebut molekul karagenan dan tapioka mampu berikatan dengan

    baik, sehingga membentuk gel yang kuat sehingga kekuatan tarik meningkat.

    Hasil penelitian Nurrochmawati (2003) menunjukkan bahwa penambahan

    tepung tapioka berpengaruh terhadap penurunan kekuatan tarik, pada

    penelitian ini terjadi pada konsentrasi karagenan 2,5%. Pada konsentrasi

    karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan 0,7% dapat menurunkan

    kekuatan tarik. Hal ini diduga karena meningkatnya prosentase padatan

    terhadap volume air.

  • 38

    Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi

    tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka; karagenan beeswax;

    tapioka beeswax ; karagenan tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap

    kekuatan tarik film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ;

    0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % dari volume air destilata belum

    memberikan pengaruh terhadap kekuatan tarik film yang dihasilkan, karena

    jumlah tapioka dan beeswax yang ditambahkan relatif kecil. Dari masing-

    masing perlakuan, hanya penggunaan karagenan yang berpengaruh terhadap

    kekuatan tarik. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa

    penggunaan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini

    berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana penggunaan

    karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan

    mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat

    meningkatkan kekuatan tarik.

    Laju Transmisi Uap Air

    Hasil pengukuran laju transmisi uap air edibel film komposit dari

    karagenan berkisar antara 746,2 sampai dengan 1117,4 g/m2/hari. Rekapitulasi

    data laju transmisi uap air dapat dilihat pada Lampiran 3a.

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1,5%;

    0,3%

    1,5%;

    0,5%

    1,5%;

    0,7%

    2,0%;

    0,3%

    2,0%;

    0,5%

    2,0%;

    0,7%

    2,5%;

    0,3%

    2,5%;

    0,5%

    2,5%;

    0,7%

    Kombinasi Karagenan; Tapioka

    Laju

    Tra

    nsm

    isi U

    ap A

    ir (

    g/m

    2 /har

    i)

    Beeswax 0,3 %Beeswax 0,5 %

    Gambar 6 Laju transmisi uap air edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.

  • 39

    Lemak dalam hal ini beeswax merupakan komponen yang ditambahkan

    untuk memperbaiki sifat edibel film sebagai penahan uap air. Menurut

    Guilbert dan Biquet (1996) didalam Permanasari (1998) komponen lemak

    seperti wax, emulsifier dan asam lemak dalam edibel film komposit

    berpengaruh dalam menurunkan laju transmisi uap air karena sifat lemak yang

    memiliki polaritas rendah dan struktur kristal yang padat. Namun dari

    Gambar 6 terlihat bahwa