KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI...
Click here to load reader
Transcript of KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI...
i
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
“KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI
DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT
PELABUHAN JAKARTA UTARA“
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh Sarjana Farmasi
Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2018
ii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Tanda tangan :
Tanggal : 29 Juni 2018
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI
DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT
PELABUHAN JAKARTA UTARA
Disetujui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Yardi, Ph. D., Apt. Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt
NIP. 1974112320080111014 NIP. 197404302005012003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt
NIP. 197404302005012003
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Program Studi : S-1 Farmasi
Judul Skripsi : Kajian Interaksi Obat Terhadap Outcomes Klinik Pasien Geriatri
Dengan Penyakit Hipertensi Di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program
Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Yardi, Ph.D., Apt ( )
Pembimbing II : Dr. Nurmeilis, M. Si, Apt ( )
Peguji I : Dr. M. Yanis Musdja., M. Sc ( )
Penguji II : Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Juni 2018
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Program studi : Strata-1 Farmasi
Judul Skripsi : Kajian Interaksi Obat Terhadap Pasien Geriatri Dengan Penyakit
Hipertensi Di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara
Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbilitas di
Indonesia. Pada pengobatan penyakit hipertensi untuk stadium lanjut banyak terjadi
komplikasi sehingga potensi terjadinya polifarmasi sangat besar yang menyebabkan
kemungkinan terjadinya interaksi obat-obat. Dalam penelitian ini dilakukan studi untuk
menegtahui potensial interaksi obat-obat yang bertujuan untuk mengetahui angka kejadian
interaksi obat. Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data di ambil dari Rekam
Medis pasien. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengumpulkan data
secara retrospektif. Data penggunaan obat antihipertensi dan data kunjungan rawat inap yang
diperoleh dari Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit. Semua data tersebut selanjutnya diolah
untuk mengetahui kuantitas penggunaan obat antihipertensi. Pengecekan dilakukan melalui
www.drugs.com dan www.medscape.com. Penelitian ini memaparkan persentase dari jenis
polifarmasi dan potensi interaksi obat-obat berdasarkan tingkatan yang telah ditetapkan. Dari
total 42 pasien hipertensi terdapat 219 kejadian interaksi dengan rincian, interaksi moderat
sebesar 132 (60%) interaksi, interaksi minor sebesar 53 (24%) interaksi dan interaksi major
sebesar 34 (16%) interaksi. Untuk obat yang digunakan dari hasil penelitian pada pasien
hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara periode Juni – Agustus 2016
adalah amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%;
candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol
2% dan propranolol 2%.
Kata Pengantar : antihipertensi, polifarmasi, interaksi obat
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Study Program : Strate-1 Pharmacy
Title : The Study Of Geriatric Patients Against Drug Interactions With
Diseases Of Hypertension At Harbor Hospital North Jakarta
Hypertension is one of the main causes of mortality and morbiliti in Indonesia.
Treatment of hypertensive disease in advanced stage for many complications so that the
potential occurrence of polypharmacy is huge which is causing the possibility of drug-drug
interactions. In this research study was conducted to find out the potential drug-drug
interactions that aims to find out the numbers of Genesis drug interactions. This study uses
secondary data, i.e. data taken from the patient's medical record. This research is descriptive
research by collecting data is retrospective. Antihipertensi drug use data and traffic data
obtained from inpatient Installation Medical Record hospital. All the data is further processed
to find out the quantity of drug use antihipertensi. Checking is done via www.drugs.com and
www.medscape.com. This research presents the percentage of polypharmacy and potential
drug-drug interactions based on a predetermined level. Of a total of 42 patients of
hypertension there are 219 occurrences of interaction with details, moderate interaction of
132 (60%) of minor interaction interaction, 53 (24%) of interaction and the interaction of the
major of 34 (16%) interaction.For a drug that is used from the results of research on
hypertension patients in the General Hospital North Jakarta Port period June – August 2016 is
amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%;
candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol
propranolol 2% and 2%.
Keywords : antihypertensive, polypharmacy, drug interactions
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KAJIAN
INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI
DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA”. Serta shalawat dan salam selalu
tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita
sebagai umatnya yang taat hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari
segala pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Yardi Ph.D, Apt selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt
selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam
penelitian ini juga kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan
kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.
2. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi dan Ibu Nelly
Suryani Ph.D., Apt selaku sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Segenap Bapak dan Ibu dosen program studi Farmasi yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
banyak motivasi dan bantuan.
5. Ibu Vidya Arlaini Anwar, S.Si, Apt, beserta seluruh pihak karyawan ruang administrasi
medik yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.
6. Kedua orang tua saya, papa tersayang Drs. Zulpan MH dan mama tercinta Erlina A.Ma
yang selalu memberikan kasih sayang dan doa yang tidak pernah henti serta dukungan
baik moril maupun materil. Tidak ada yang dapat membalas semua kebaikan dan
ketulusan cinta mama dan papa. Semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan,
perlindungan, dan kasih sayang kepada papa dan mama.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Adik saya Nugraha Ardinata Pratama dan orang terdekat saya Goldy Afrianto ST yang
selalu memberikan dukungan, motivasi dan semangat yang tiada henti dalam
menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah selalu memberikan kita kesehatan dan
senantiasa kebahagiaan selalu.
8. Seluruh teman - teman program studi Farmasi 2011, khususnya Okka Tiara, Fifi
Zuliyanti, Muneerah Datu, Sausan Doni, Arum Puspa Azizah yang telah membantu
penulis hingga skripsi ini selesai.
9. Ibu dan Bapak seluruh pegawai Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.
10. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan
dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Kesempurnaan adalah milikNya, begitu pun skripsi ini. Tidak sedikit hambatan yang
saya dapatkan dalam menyusun skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat untuk banyak pihak dan tentunya bermanfaat untuk ilmu pengetahuan.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu saya dalam penelitian ini.
Ciputat, 29 Juni 2018
Penulis,
Philia Permaiswari Pratiwi
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sebagai akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya
yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Philia Permaiswari Pratiwi
NIM : 1111102000008
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui/karya ilmiah saya, dengan judul :
KAJIAN INTERAKSI OBAT TERHADAP PASIEN GERIATRI DENGAN PENYAKIT
HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PELABUHAN JAKARTA UTARA
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library
Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan
persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Juni 2016
Yang menyatakan,
( Philia Permaiswari Pratiwi)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................................... v
ABSTRACT ............................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................................... xv
1. BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 4
1.4.1 Secara Teoritis ........................................................................................... 4
1.4.2 Secara Metodologi ..................................................................................... 4
1.4.3 Secara Aplikatif ........................................................................................ 4
2. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
2.1 Hipertensi .............................................................................................................. 5
2.1.1 Definisi ....................................................................................................... 5
2.1.2 Etiologi ....................................................................................................... 5
2.1.3 Epidemiologi ............................................................................................... 6
2.1.4 Faktor Pemicu ............................................................................................ 6 2.1.4.1 Faktor yang tidak dapat dikontrol ........................................................ 6
2.1.4.2 Faktor yang dapat dikontrol ................................................................. 7
2.1.5 Klasifikasi Hipertensi ................................................................................. 9
2.1.5.1 Hipertensi premier (essensial) .............................................................. 9
2.1.5.2 Hipertensi sekunder ........................................................................... 10
2.1.6 Gejala Hipertensi ..................................................................................... 10
2.1.7 Diagnosis Hipertensi ................................................................................ 11
2.1.8 Komplikasi Hipertensi ............................................................................. 12
2.1.9 Skrinning Hipertensi ................................................................................ 13
2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi ..................................................................... 14
2.1.10.1 Terapi Non Farmakologi ........................................................ 14
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.10.2 Terapi Farmakologi ................................................................ 16
2.1.10.2.1 Golongan Diuretik ............................................................. 16
2.1.10.2.2 Golongan ACEI ................................................................. 17
2.1.10.2.3 Golongan ARB ................................................................... 19
2.1.10.2.4 Golongan Beta-blocker ...................................................... 20
2.1.10.2.5 Golongan Antagonis Kalsium ............................................ 21
2.1.10.2.6 Golongan Penyekat Beta .................................................... 23
2.1.10.2.7 Golongan Penyekat Alfa .................................................... 25
2.1.10.2.8 Golongan Agonis α2 Sentral .............................................. 25
2.1.10.2.9 Golongan Reserpin ............................................................. 26
2.1.10.2.10 Golongan Direct Arterial Vasodilators ............................. 27
2.2 Geriatri ................................................................................................................ 27
2.3 Drug Related Problem (DRP) ............................................................................. 28
2.4 Drug Related Problem (DRP) terkait Interaksi Obat .......................................... 31
2.4.1 Definisi Interaksi Obat ............................................................................. 31
2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat ....................................................................... 31
2.4.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ........................................................... 36
2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit .......................................................................... 37
2.6 Rekam Medik ...................................................................................................... 41
3. BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL ............................ 42
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................................. 42
3.2 Definisi Operasional ........................................................................................... 43
4. BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................................ 45
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................................. 45
4.2 Desain Penelitian ................................................................................................. 45
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................... 45
4.3.1 Populasi .................................................................................................... 45
4.3.2 Sampel ...................................................................................................... 45
4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ................................................................................. 45
4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel ............................................................................ 45
4.4.2 Kriteria Ekslusi Sampel ........................................................................... 46
4.5 Prosedur Penelitian ............................................................................................. 46
4.5.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) .................................................. 46
4.5.2 Pengumpulan Data ................................................................................... 46
4.5.3 Pengolahan Data ...................................................................................... 46
4.5.4 Analisa Data ............................................................................................. 47
5. BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 48
5.1 Hasil ..................................................................................................................... 48
5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian .................................................. 48
5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antihipertensi ................................................... 48
5.1.3 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien ................................. 49
5.1.4 Gambaran IO Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat Keparahan ............ 50
5.1.5 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Antihiperetensi ....... 50
5.1.6 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Selain Hiperetensi ... 53
5.2 Pembahasan ......................................................................................................... 56
6. BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 61
6.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 61
6.2 Saran .................................................................................................................... 62
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 63
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1.10 Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hiperetnsi .............................. 16
Tabel 5.1 Karakterisik Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama
Perawatan, Jumlah Penyakit Penyerta, dan Jumlah Penggunaa Obat ........................... 48
Tabel 5.2 Persentase Penggunaan Obat Antihipertensi Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ............................ 49
Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien Hipertensi di Rumah Sakit
Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ...................................... 49
Tabel 5.4 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada
Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni –
Agustus 2016 .......................................................................................................................... 50
Tabel 5.5 Persentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien
Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus
2016 ........................................................................................................................................ 50
Tabel 5.6 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat
Inap di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 ............... 51
Tabel 5.7 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Non Antihipertensi di Instalasi
Rawat Inap di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juni – Agustus 2016 . 53
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1.10.2.2 Sistem renin - angiotensin dan sistem kalikrein – kinin ................... 18
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 ........................................................................................................................... 66
Lampiran 2 ............................................................................................................................ 68
Lampiran 3 ........................................................................................................................... 70
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR SINGKATAN
WHO : World Health Organisation
DRPs : Drug Related Problems
ISH : International Society of Hipertension
RS : Rumah Sakit
NHANES : National Health and Nutrition Examination Survey
IMT : Indeks Masa Tubuh
LDL : Low Densisty Lipoprotein
HDL : High Desity Lipoprotein
TDS : Tekanan Darah Sistolik
TTD : Tekanan Darah Diastolik
EKG : Elektrokardiogram
DASH : Dietary Approach to Stop Hypertension
TSH : Thyroid – stimulating hormon
DM : Diabetes Mellitus
GFR : Glomerular Filtration Rate
BPH : Benign Prostatic Hyperplasia
IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki
tekanan darah diatas normal yang ditandai dengan nilai sistolik lebih dari 140 mmHg dan
diastolik lebih dari 90 mmHg. Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi
masalah kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya tinggi. Hipertensi sering disebut
dengan pembunuh diam-diam (silent killer), karena penderita hipertensi mengalami kejadian
tanpa gejala (asymptomatic). Di Amerika, diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita
hipertensi. Apabila penyakit ini tidak terkontrol, maka menyerang target organ, dan dapat
menyebabkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian. Hipertensi yang tidak
mendapatkan terapi dan berlngsung lama dapat menyebabkan stroke, serangan jantung, gagal
jantung dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7
kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali
lebih besar terkena serangan jantung. Menurut WHO dan the International Society of
Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta
di antaranya meninggal dunia setiap tahunnya. Tujuh dari sepuluh penderita tersebut tidak
mendapatkan pegobatan secara adekuat.
Prevalensi hipertensi dunia menurut World Health Organisation (WHO) dalam World
Health Statistic (2012) mencapai 24,2 % pada laki-laki dan 29,8 % pada perempuan. Pada
orang yang berusia diatas 50 tahun, tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg lebih
berisiko terjadinya penyakit kardiovaskular bila dibandingkan dengan tekanan darah
diastolik, namun pada tahun 2008 terdapat sekitar 40% orang dewasa di seluruh dunia berusia
25 tahun ke atas didiagnosa mengalami hipertensi. Angka kejadian hipertensi begitu
meningkat, dari sekitar 600 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 1 milyar jiwa pada tahun 2008
(WHO,2013). Data statistik terbaru menyatakan bahwa terdapat 24,7% penduduk Asia
Tenggara dan 23,3% penduduk Indonesia berusia 18 tahun ke atas mengalami hipertensi
pada tahun 2014 (WHO,2015). Di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi hipertensi. Secara
keseluruhan prevalensi hipertensi di Indonesia tahun 2013 sebesar 26,5% (Riskesdas,
2013).
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hipertensi pada usia lanjut antara lain disebabkan oleh peningkatan kekakuan dinding
arteri, disfungsi endotel, penurunan refleks baroreseptor, dan peningkatan sensitivitas
natrium. Selain itu dengan peningkatan usia, terjadi penurunan respon α dan β adrenergik dan
penurunan fungsi EDRF (Apoeso, 2007; Stokes, 2009).
Secara keseluruhan hanya 30% pasien hipertensi usia lanjut yang tekanan darahnya dapat
dikontrol dengan monoterapi. Selebihnya diperlukan terapi kombinasi dua atau tiga
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (Mazza et al., 2011). Adanya perubahan
fisiologis, farmakokinetika, farmakodinamika, serta kecenderungan komplikasi penyakit dan
berkembangnya polifarmasi pada usia lanjut menyebabkan populasi ini rentan mengalami
masalah terkait penggunaan obat (drug related problems/DRPs) yang dapat memperberat
efek samping dan menurunkan efektifitas pengobatan (Fleg et al., 2011). Semakin banyak
jumlah obat yang diterima pasien akan meningkatkan resiko interaksi obat (Prest, 2003).
Drug Related Problems (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang melibatkan
terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien mencapai hasil yang
optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP adalah interaksi obat
(Parthasarathi, et al 2005). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Hasilnya dapat berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas
obat (Stockley, 2008). Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003). Beberapa laporan studi menyebutkan
proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi
pada pasien rawat inap dan 9,2% -sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan,
walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara
teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi. Menurut
beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan angka kejadian interaksi obat untuk
pasien hipertensi masih tinggi. Pada tahun pada tahun 2006 Fita Rahmawati, dkk mengkaji
kejadian interaksi obat di RS Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan angka
kejadian interkasi obat sebesar 59% pasien rawat inap, pada tahun 2010 Dhanang Prawira
Nugraha, dkk menganalisa kejadian interaksi obat pada pasien hipertensi geriatri yang
menjalani rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta terdapat 65,92% lembar resep
yang memiliki potensi interaksi obat, 51,27% lembar resep yang memiliki potensi interaksi
obat dan potensi interaksi obat paling banyak berada pada level signifikasi 4 (45,78%), pada
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012 Dwi Sri Handayani, dkk menganalisis karakteristik dan kejadian Drug Related
Problems pada pasien hipertensi di Puskesmas Temindung Samarinda menunjukkan angka
kejadian interaksi obat pada pasien hipertensi sebesar 7,5%, pada tahun 2015 Risna Agustina,
dkk menganalisis potensi interaksi obat resep pasien hipertensi di salah satu RS Pemerintah
di Kota Samarinda menunjukkan angka kejadian hipertensi sebanyak 183 interaksi dengan
rincian interaksi obat minor sebesar 66 (22,75%) interaksi, interaksi moderat sebesar 99
(34,13%) interaksi, dan interaksi mayor sebesar 18 (6,21%) interkasi, dan pada tahun 2016,
Tria Noviana mengevaluasi interaksi peenggunaan obat hipertensi di RS Bantul menunjukkan
angka kejadian 69 kasus (76,7%) dengan total kejadian interaksi obat sebanyak 286.
Banyaknya interaksi yang ditimbulkan pada pasien hipertensi, maka diperlukan tindakan
untuk mencegah timbulnya komplikasi dan penyakit lain.
Berdasarkan uraian diatas diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian Drug
Related Problems (DRP) dalam penanganan pasien hipertensi, serta meneliti korelasi antara
kejadian DRP terhadap outcomes (keberhasilan terapi) pasien. Kategori DRP yang diteliti
yaitu mengenai interaksi obat pada pasien hipertensi dengan/tanpa penyakit penyerta.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kasus penyakit hipertensi masih menjadi masalah yang serius dan terus meningkat, dengan
presentase kejadian sebesar 26,5% di Indonesia pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).
2. Dari beberapa penelitian frekuensi terjadinya efek samping pada kelompok usia lanjut lebih
tinggi dibandingkan populasi pada umumnya, selain itu pasien usia lanjut merupakan salah
satu pasien yang rentan terjadinya DRP terkait interaksi obat.
3. Pemantauan terapi obat sangat penting guna untuk mengetahui masalah yang mungkin akan
timbul dari suatu pengobatan, salah satu terkait pengaruh interaksi obat terhadap outcomes
pasien hipertensi di RS Pelabuhan Jakarta Utara.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui angka kejadian interaksi obat pada pasien geriatri dengan penyakit
hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Untuk mengetahui jenis kejadian interaksi obat pada pasien geriatri dengan penyakit
hipertensi di Instalasi Rawat Inap di RS Pelabuhan Jakarta Utara.
c. Untuk mengetahui pengaruh potensi interaksi obat terhadap outcome klinik pasien geriatri
dengan penyakit hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, serta
wawasan tentang pengaruh Drug Related Problem (DRP) ditinjau dari potensi terjadinya
intiraksi obat terhadap outcome klinik paisen geriatri dengan penyakit hipertensi.
1.4.2 Secara Metodologi
Metode penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan diharapkan dapat dijadikan
referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di RS Pelabuhan Jakarta
Utara.
1.4.3 Secara Aplikatif
Secara aplikatif penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan
ataupun kebijakan dalam peresepan obat hipertensi pada pasien geriatri di instalasi rawat inap
RS Pelabuhan Jakarta Utara dan dapat memberikan saran bagi dokter dan tenaga kefarmasian
dalam meningkatkan pemberian terapi optimal sehingga diperoleh terapi yang efektif, aman
dan efisien.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan
darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian / mortalitas. Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di
pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja
lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika
dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ
vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis
menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan atau belum pernah
didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk
tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Tekanan darah 140/90mmHg didasarkan pada dua
fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 menunjukkan fase darah yang sedang
dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukkan fase darah kembali ke jantung.
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim. National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES III) membuktikan bahwa 24% populasi orang
dewasa mengalami hipertensi. Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, dan banyak
banyak variabel lainnya. Hipertensi arteri yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh-
pembuluh darah di dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat mengakibatkan peningkatan
insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung, dan stroke. Penurunan tekanan darah
secara farmakologis yang efektif dapat mencegah kerusakan pembuluh-pembuluh darah dan
terbukti menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas.
2.1.2 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer).
Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Sampai saat ini
penyebab hipertensi premier tidak diketahui dengan pasti. Kelompok lain dari populasi
dengan presetase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder yaitu endogen maupun eksogen. Bila
penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan
keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin,
dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi
(Yogiantoro M, 2006).
2.1.3 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah
tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya.
Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi
pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa
terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data
NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit
degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya
umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan
darahnya normal adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi
sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi
pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun, laki-
laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun,
sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi
lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.
2.1.4 Faktor Pemicu
2.1.4.1 Faktor yang tidak dapat dikontrol
Usia
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, resiko terkena
hipertensi menjadi lebih besar. Sehingga, prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar 50% di atas usia 65 tahun. Kenaikan
prevalensi hipertensi pada lanjut usia di atas 65 tahun, digolongkan atas 2 jenis :
1. Kenaikan kombinasi tekanan sistolik (> 160 mmHg), sedangkan tekanan diastolik (> 90
mmHg).
2. Hanya kenaikan tekanan sistolik (> 160 mmHg), sedangkan tekanan diastolik normal (< 90
mmHg).
Pada lansia, hipertensi terutama ditemukan hanya beberapa kenaikan tekanan darah sistolik.
Diduga, tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya usia, disebabkan oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar, yang terutama menyebabkan peningkatan tekanan darah
sistolik tersebut.
Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih bayak yang
menderita hipertnsi dibandingkan dengan wanita, dengan resiko sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik, dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Diduga,
karena pria memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi
pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.
Genetik (keturunan)
Riwayat keluarga terdekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi
resiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik
ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang
menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam
dan renin membran sel.
2.1.4.2 Faktor yang dapat di kontrol
Kegemukan (obesitas)
Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh
beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorangyang berat badannya
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat
badan lebih (overweight). Studi yang menunjang, melaporkan bahwa distribusi lemak dalam
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tubuh itu sendiri. Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur deposit lemak terutama
bagian perut, digunakan pengukuran rasio lingkar pinggang/lingkar pinggul (waist to hip
ratio) yang ternyata merupakan prediktor penting dalam hubungannya dengan tekanan darah.
Patokan normal lingkar pinggang untuk pria yaitu <90 cm, dan wanita <80 cm.
Dislipidemia
Dislipidemia merupakan kelainan kadar lemak di dalam darah. Kelainan dapat berupa
kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, dan penurunan kolesterol HDL.
Penderita hipertensi biasanya juga mengalami dislipidemia. Yang biasanya ditemukan adalah
familial dyslipidemic hypertension yaitu seorang dengan dua orang atau lebih keluarga
dekatnya mempunyai profil lemak yang abnormal disertai gangguan hipertensi sebelum usia
60 tahun. Faktor genetik yang berperan ini, ditemukan pada sekitar 2% masyarakat umum,
dan 12% penderita hipertensi umumnya. Kebanyakan ornag dengan familial dyslipidemic
hypertension ini memiliki profil lemak yaitu tinggi kadar kolesterol total, rendah kolesterol
HDL, dan tinggi kadar trigliserida.
Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu, dan bila stres sudah hilang
tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak yang mengakibatkan stres
berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan. Terkadang, pada
orang-orang tertentu, kenaikan tekanan darah yang sesaat diduga dapat mengakibatkan
kerusakan sehingga menjadi hipertensi yang permanen, namun teori ini masih dipertanyakan.
Olahraga/aktivitas fisik
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah, dan bermanfaat bagi
penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu, dengan melakukan olahraga aerobik yang
teratur dapat menurunkan tekanan darah, tanpa perlu sampai berat badan turun.
Merokok
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang
masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluhdarah arteri, dan
mengakibatkan proses aterosklerosis, dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan
kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh
darah. Selain dapat meningkatkan tekanan darah, merokok juga meningkatkan denyut jantung
dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan
darah tinggi, semakin meningkatkan resiko kerusakan pembuluh darah arteri.
Konsumsi alkohol berlebihan
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan
kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan
dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara
tekanan darah dan asupan alkohol, dan di antaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan
darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap
harinya.
Di negara barat, seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol
yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan minum alkohol ini
menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini.
Pada studi lain, ditemukan bahwa tekanan darah di kalangan peminum alkohol berat (lebih
dari 3 gelar/hari), lebih tinggi dibandingkan dengan peminum alkohol ringan atau bukan
premium.
Konsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan dari luar sel
agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar
60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah, dengan
mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang,
ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat dengan asupan garam
sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi.
Menurut para ahli WHO Expert Committee on Prevention of Cardiovascular Disease,
sebaiknya mengkonsumsi garam tidak lebih dari 6 gram/hari yang setara dengan 110 mmol
natrium (2.400mg/hari).
Diet yang tidak seimbang
Konsumsi makanan yang tidak seimbang, banyak mengandung lemak disertai tinggi garam,
meningkatkan resiko terkena hipertensi. Konsumsi gula berlebihan berpengaruh terhadap
tekanan darah, sedangkan banyak mengkonsumsi serat dapat membantu menjaga tekanan
darah dalam batas normal.
2.1.5 Klasifikasi Hipertensi
2.1.5.1 Hipertensi premier (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial. Beberapa
mekanisme yang mungkin berperan untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
belum satupun teori yang menyatakan patogenesis hipertensi premier ini. Hipertensi ini
biasanya turun temurun dalam sautu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor
genetik berperan penting pada patogenesis hipertensi premier. Menurut data, gambaran
bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial.
2.1.5.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit kormobid
atau obat-obat tertentu yang dapat meingkatkan tekanan darah (lihat tabel). Pada banyak
kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun
tidak, dapat menyebabkan hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat
dilihat di tabel 1. Apabila penyebab penyakit sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap dalam penangan hipertensi sekunder.
2.1.6 Gejala Hipertensi
Pada umumnya, sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan khusus
dan tidak mengetahui dirinya sedang menderita hipertensi. Seorang penderita hipertensi
datang berobat ke dokter, didorong oleh keluhan-keluhan yang disebabkan oleh : kenaikan
tekanan darah itu sendiri yang mengganggu, ada kelainan pembuluh darah, atau karena
adanya penyakit lain yang menyebabkan tekanan darah tinggi.
Gejala-gejala umum yang kadang dirasakan sebelumnya oleh seorang penderita
hipertensi antara lain :
1. Sakit kepala, terutama sering pada waktu bangun tidur dan kemudian menghilang sendiri
setelah beberapa jam
2. Kemerahan pada wajah
3. Cepat capek
4. Lesu
5. Impotensi
Gejala-gejala yang mungkin timbul karena adanya kelainan pembuluh darah pada
seorang penderita hipertensi antara lain :
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Mimisan
2. Kencing darah (hematuria)
3. Penglihatan terganggu karena adanya gangguan retina
4. Nyeri dada (angina pektoris)
5. Lemah dan lesu yang sering karena adanya gangguan iskemia pada pembuluh darah otak
Sedangkan gejala-gejala yang mungkin timbul akibat adanya penyakit lain yang
menyebabkan hipertensi, antara lain pada sindrom Cushing yaitu peningkatan berat badan,
emosi yang labil serta gejala lain seperti kelemahan otot, sering buang air kecing dan ingin
minum terus pada kelainan pengaturan kelenjar adrenal di ginjal (hiperaldosteronisme
primer).
Pada hipertensi hebat, lama atau tidak diobati, gejala-gejala seperti sakit kepaladisertai
mual, muntah, sesak, gelisah, dan pandangan kabur terjadi karena adanya kerusakan pada
ginjal, jantung, otak, dan hati. Pada hipertensi ensefalopati kadang-kadang timbul rasa kantuk
sampai koma. Yang kemudian dibutuhkan penanganan dokter segera.
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala
khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah di amati antara lain yaitu : gejala
ringan seperti, pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah, tengkuk terasa pegal,
mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat ditengkuk, mudah
lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah dari hidung).
2.1.7 Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali
bila tekanan darah diastolik (TTD) ≥ 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) ≥ 210
mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sekitarnya 2 kunjungan lagi dalam
waktu 1 sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut).
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh rata-
rata tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg.
Pengukuran tekanan darah harus dilakukan dengan cara berikut. Penderita harus
duduk santai di kamar yang tenang sedikitnya 5 menit sebelum pengukuran dilakukan.
Mereka tidak boleh merokok atau minum kopi dalam waktu 30 menit sebelumnya.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengukuran dilakukan dengan sfigmomanometer air raksa yang cuff-nya cukup panjang
sehingga dapat menutup sedikitnya 80% dari lingkar lengan penderita. Penderita harus duduk
dengan lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung. Cuff dipompa sampai 20-
30 mmHg di atas tekanan darah diastolik dan kemudian tekanan diturunkan dengan keceptan
2-3mmHg per detik. Sebagai tekanan darah diastolik diambil Korotkoff fase V. Pengukuran
dilakukan minimal 2 kali selang sedikitnya 15 detik dan diambil nilai rata-ratanya. Bila 2
pengukuran pertama berbeda lebih dari 5 mmHg, harus dilakukan pengukuran lagi.
Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk digunakan untuk skrining awal. Untuk
evaluasi lengkap, juga diukur tekanan darah dalam posisi berbaring dan berdiri, yang terakhir
ini setelah berdiri dengan tenang sedikitnya 2 menit.
2.1.8 Komplikasi Hipertensi
Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan darah tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya
berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arteriosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala terkena stroke adalah sakit
kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang
mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut,
atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara
mendadak.
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang sudah menjadi arterosklerosis
tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Hipertensi kronik dan hipertensi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat
terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat
menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga
terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin,
2000). Gagal jantung dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan
kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga
tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik.
Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah kembali kejantung dengan cepat
mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki, dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan
di dalam paru-paru menyebabkan sesak nafas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki
bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh
susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma.
2.1.9 Skrinning Hipertensi
Berbagai pemeriksaan pada seorang penderita hipertensi yang dilakukan antara lain :
Pemeriksaan fisik
Setelah pemeriksaan tekanan darah, perlu dilakukan pemeriksaan denyut nadi, apakah
ditemukan gangguan dan kelainan dari irama serta besar-kecilnya nadi. Juga dinilaiapakah
ditemukan sesak napas (frekuensi pernapasan).
Pemeriksaan berat badan, tinggi badan untuk menilai status gizi penderita perlu dilakukan
apakah penderita termasuk kelebihan berat badan/obesitas. Kemudian dilakukan pemeriksaan
terhadap organ-organ lain seperti jantung, pembuluh darah, hati, otak, dan ginjal.
Kelainan suara jantung yang disebut suara jantung keempat yang merupakan perubahan
jantung paling dini karena hipertensi, dapat diperiksa dengan alat stetoskop.
Pembesaran jantung karena meningkatnya usaha yang diperlukan untuk memompa darah
dapat ditemukan dengan pemeriksaan EKG dan rontgen dada. Pada tahap awal kerusakan
hanya dapat dideteksi dengan ekokardiografi.
Kondisi pembuluh darah dapat diperiksa melalui retina, dapat ditentukan tingkat keseriusan
hipertensi.
Bila gejala-gejala hipertensi mengarah pada hipertensi ensefalopati seperti sakit kepala hebat
disertai kejang-kejang, disorientasi, pemeriksaan scan otak diperlukan untuk melihat adanya
perdarahan atau trombosis dengan kelainan menetap akibat kerusakan dalam otak.
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kerusakan ginjal dicari mula-mula melalui pemeriksaan urine. Untuk mendeteksi masalah
ginjal, dokter akan menanyakan riwayat kelainan ginjal sebelumnya. Kemudian dalam
pemeriksaan daerah perut sekitar ginjal akan dicari pembengkakan. Stetoskop di daerah perut
mencari suara bruit (suara yang disebabkan aliran darah melalui arteri ke ginjal).
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Semakin tinggi tekanan darah dan semakin muda usia penderita, maka mencari penyebabnya
lebih mudah dilakukan. Evaluasi meliputi rontgen dan pemeriksaan radioisotop pada ginjal,
rontgen dada dan pemeriksaan darah dan urine untuk hormon tertentu. Bila hipertensi
disebabkan penyakit lain seperti feokromositoma, aldosteronisme, sindrom cushing,
pemeriksaan hormon khusus dilakukan untuk memastikan penyebab hipertensi tersebut.
Pemeriksaan awal laboratorium yang biasa dilakukan untuk evaluasi hipertensi yang
pertama yaitu glukosa, protein, darah di urine, pemeriksaan analisis urine mikroskopik,
hematokrit, serum kalium, serum kreatin dan/atau urea nitrogen, gula puasa, kolesterol total
dan elektrokardiogram. Untuk selanjutnya pemeriksaan tergantung biaya dan faktor lain yaitu
thyroid-stimulating hormon (TSH), hitung sel darah putih, kolesterol HDL da LDL,
trigliserida, serum kalsium, fosfat dan foto rontgen dada (Harrison’s Principles of Internal Medicine,
2001).
2.1.10 Penatalaksanaan Hipertensi
Penanganan hipertensi secar garis besar menurut Lewis (2000) dibagi menjadi 2 jenis
yaitu nonfarmakologis dan farmakologis. Kondisi patologis hipertensi memerlukan
penanganan atau terapi. Terapi hipertensi dapat dikelompokkan dalam terapi
nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa
menggunakan agen obat dalam proses terapinya, sedangkan terapi farmakologis
menggunakan obatatau senyawa yang dalam kerjanya dapat mempengaruhi tekanan darah
pasien.
2.1.10.1 Terapi Non Farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi merupakan bagian ang penting dalam penanganan hipertensi. Semua
pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 6 sesuai
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien
dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah
ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan
DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet
rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien
dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi;
mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat
badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan
pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan
moril.
Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti
rasionalitas intervensi diet :
a. Hipertensi 2-3 kali lebih sering pada orang gemuk dibandingkan orang dengan berat badan
ideal
b. Lebih dari 60% pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)
c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4,5 kg) dapat menurunkan tekanan darah
secara perlahan pada orang gemuk
d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari hipertensi
dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan
selanjutnya ke penyakit kardiovaskular
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan tekanan darah
pada individu dengan hipertensi
f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan pasien
mengalami penurunan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur,
dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium
yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan
darah. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging,
berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah.
Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus
konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk
pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen
untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling
berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
Tabel 1. Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi
Modifikasi Rekomendasi Kira-kira penurunan tekanan darah,
range
Penurunan berat badan (BB) Pelihara berat badan normal (BMI
18,5-24,9)
5-20 mmHg/10-kg penurunan BB
Adopsi pola makan DASH Diet kaya dengan buah, sayur, dan
produk susu rendah lemak
8-14 mmHg
Diet rendah sodium Mengurangi diet sodium, tidak
lebih dari 100meq/L (2,4 g sodium
atau 6 g sodium klorida)
2-8 mmHg
Aktifitas fisik Regular aktifitas fisik aerobik
seperti jalan kaki 30 menit/hari,
beberapa hari/minggu
4-9 mmHg
Minum alkohol sedikit saja Limit minum alkohol tidak lebih
dari 2/hari (30 ml etanol mis. 720
ml beer, 300 ml wine) untuk laki-
laki dan 1/hari untuk perempuan
2-4 mmHg
2.1.10.2 Terapi Farmakologi
2.1.10.2.1 Golongan Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik
salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati
hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan
kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek
aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat
menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis
aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen
karena bukti mendukung indikasi khusus.
Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk
menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan
untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan.
Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari
untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis, diuretik
tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang
nyata.
Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan
lama efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu
paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja
hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan
mekanisme extrarenal.
Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan
obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan
air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan.
Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia,
hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik loop dapat
menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak serum dan glukosa tidak
begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek
menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi
seksual. Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek samping
ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari).
Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 – 25 mg/hari, dimana
efek samping metabolik akan sangat berkurang.
Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID,
atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone,
antagonis aldosteron yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis aldosteron,
kemampuannya menyebabkan hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya,
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan
gynecomastia pada ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi.
2.1.10.2.2 Golongan Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACEI)
ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien
dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih
sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke konsisten
dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project (CAPP). Pada studi dengan
lansia, ACEI sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta, dan pada studi yang lain
ACEI malah lebih efektif. Lagi pula, ACEI mempunyai peranan lain pada pasien dengan
hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan
terapi lini pertama pada kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik.
ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II
adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (lihat gambar 1).
Non-renin Renin
Non-ACE ACE
Gambar 1. Sistem renin-angiotensin dan sistem kallikrein-kinin
ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan
bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi juga bertanggung
jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI.
ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi
perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial.
JNC 7 mencantumkan 6 indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan banyak kegunaan
yang berdasarkan bukti (evidence-based) dari kelas obat ini. Beberapa studi menunjukkan
Angiotensinogen
Angiotensin 1
Angiotensi II
AT2 reseptor AT1 receptors
Inactive peptides
Bradykinin
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kalau ACEI mungkin lebih efektif dalam menurunkan resiko kardiovaskular dari pada obat
antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI superior daripada
CCB. Tetapi pada UKPDS, captopril ekivalen dengan atenolol dalam mencegah kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan DM tipe 2. ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan gagal jantung dan memperlambat progres penyakit ginjal kronis.
Golongan ACEI harus digunakan sebagai pengobatan lini pertama dalam terapi pada pasien-
pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi dengan penyekat beta, bukti
menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan resiko kardiovaskular pada angina stabil
kronis (EUROPA) dan pada pasien-pasien pasca infark miokard (HOPE). Akhirnya, data dari
PROGRESS menunjukkan berkurangnya resiko stroke yang kedua kali dengan kombiasi
ACEI dan diuretik tiazid.
Kebanyakan ACEI dapat diberikan 1 kali/hari kecuali kaptopril, waktu paruhnya
pendek , biasanya dua sampai tiga kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi
lewat urin, jadi penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang
parah. Penyerapan kaptopril berkurang 30 – 40 % bila diberikan bersama makanan.
ACEI dapat di toleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien tetapi tetap mempunyai
efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan kosentrasi kalium serum.
Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia dapat terjadi. Terlihat terutama pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis, atau diabetes melitus dan pada pasien yang juga
mendapat ARB, NSAID, supplemen kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum
kalium dan kreatinin dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan
dosis ACEI sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi yang
serius.
Angiedema adalah komplikasi yang serius dari terapi dengan ACEI. Sering ditemui
pada African-Amerian dan perokok. Gejala berupa bengkak pada bibir dan lidah dan
kemungkinan susah bernafas. Hentikan pemberian ACEI untuk semua pasien dengan
angioedema, tetapi edema laring dan gejala pulmonal kadanag-kadang terjadi dan
memerlukan terapi dengan epinefrin, kortikosteroid, antihistamin, dan/atau intubasi
emergensi untuk membantu respirasi.
Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien; dapat dijelaskan secara
farmakologi karena ACEI menghambat penguraian dari bradikinin. Batuk yang disebabkan
tidak menimbulkan penyakit tetapi sangat menganggu ke pasien. Bila ACEI diindikasikan
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk indikasi khusus gagal jantung, diabetes, atau penyakit ginjal kronis; pada pasien-pasien
dengan batuk kering, ACEI diganti dengan ARB. ACEI merupakan kontraindikasi absolut
untuk perempuan hamil dan pasien dengan riwayat angioedema.
ACEI harus dimulai dengan dosis rendah terutama pada pasien dengan deplesi natrium
dan volume, eksaserbasi gagal jantung, lansia, dan yang juga mendapat vasodilator dan
diuretik karena hipotensi akut dapat terjadi. Penting untuk memulai dengan ½ dosis normal
untuk pasien-pasien diatas dan dosis dinaikkan perlahan.
2.1.10.2.3 Golongan Penyekat Reseptor Angiotensin II (ARB)
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin
Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang
menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen
yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua
jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek
angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1
(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia:
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen
tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi,
perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan
ARB.
Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan organ target jangka
panjang pada pasien-pasien dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh ARB
telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan tekanan
darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis diatas dosis
rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis. Penambahan
diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI,
kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 x/hari. Tetapi
kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan
diperlukan dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah.
ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi
lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering
seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,
hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi
cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil.
2.1.10.2.4 Golongan Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter
yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor reseptor beta-1 pada
nodus sino-atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi
reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem
rennin angiotensin-aldosteron. Efek akhirnya adalah adalah peningkatan cardiac output,
peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan
retensi air.
Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga
terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai
cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi
tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan
riwayat asma dan bronkhospasma harus hati-hati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya
propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2.
Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas
simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat
aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada
saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan
karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol,
dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator.
Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam
air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa
kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu
paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan
angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
2.1.10.2.5 Golongan Antagonis Kalsium (CCB)
CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif,
terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi
penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti. Data
menunjukkan kalau dihidropiridine tidak memberikan perlindungan terhadap kejadian
jantung (cardiac events) dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat
beta) atau ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes,
ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi dengan CCB
nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi NORDIL menemukan
diltiazem ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan kejadian
kardiovaskular.
CCB dihidropiridin sangat efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi
(isolated systolic hypertension). JNC 7 tidak mencantumkan hipertensi sistolik terisolasi
berbeda dengan tipe hipertensi lainnya, dan diuretik tetap terapi lini pertama.
Bagaimanapun, CCB dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi tambahan
bila diuretik tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada pasien lansia
dengan tekanan darah sistolik meningkat.
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe
voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe
T). CCB yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi
koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine.
Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi
ada perbedaan pada efek farmakodinami yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan
diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular.
Verapamil menghasilkan efek negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggung jawab
terhadap kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada
pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil.
Nifedipin yang bekerja cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya
insiden efek samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan hipertensi. Efek
samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, gingival
hyperplasia, edema perifer, mood changes, dan gangguan gastrointestinal. Efek samping
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin
verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin.
Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan
hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi
juga dengan diltiazem tetapi lebih sedikit.
Verapamil dan juga diltiazem (lebih sedikit) dapat menyebabkan interaksi obat karena
kemampuannya menghambat sistem isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim. Akibatnya
dapat meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem
isoenzim ini seperti siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin, takrolimus, dan teofilin.
Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hati-hati dengan penyekat beta untuk
mengobati hipertensi karena meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila
CCB perlu di kombinasi dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan
meningkatkan resiko heart block.
2.1.10.2.6 Golongan Penyekat Beta
Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi. Sebelumnya
penyekat beta disarankan sebagi obat lini pertama bersama diuretik. Tetapi, pada
kebanyakan trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk
menurunkan tekanan darah. Beberapa studi telah menunjukkan berkurangnya resiko
kardiovaskular apabila penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma
koroner akut, atau pada angina stabil kronis. Walaupun pernah dikontraindikasikan pada
penyakit gagal jantung, banyak studi telah menunjukkan kalau karvedilol dan metoprolol
suksinat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sistolik yang sedang
diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol digunakan pada DM tipe 2 pada studi UKPDS
dan menunjukkan efek yang sebanding, walaupun tidak lebih baik dalam menurunkan
resiko kardiovaskular dibandingkan dengan captopril.
Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada,
tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama. Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari
penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek :
Kardioselektif (cardioselektivity)
ISA (intrinsic sympathomimetic activity)
Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)
Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 dari
pada reseptor beta-2 adalah kardioselektif.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adrenoreseptor beta-1 dan beta-2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi
pada organ-organ dan jaringan tertentu. Beta-1 reseptor lebih banyak pada jantung dan ginjal,
dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada paruparu, liver, pankreas, dan otot halus
arteri. Perangsangan reseptor beta-1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan
rennin. Perangsangan reseptor beta-2 menghasilkan bronchodilatatasi dan vasodilatasi.
Penyekat beta yang kardioselektif kecil kemungkinannya untuk mencetuskan spasme bronkus
dan vasokonstriksi. Juga, sekresi insulin dan glikogenolisis secara adrenergik dimediasi oleh
reseptor beta-2. Penghambatan reseptor beta-2 dapat menurunkan proses ini dan
menyebabkan hiperglikemi atau menimbulkan perbaikan hipoglikemi.
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang
kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma,
PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat
beta. Tetapi, kardioselektifitas adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih
tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas relatifnya untuk reseptor
beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada dosis
berapa kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada umumnya, penyekat
beta yang kardioselektif lebih disukai bila digunakan untuk mengobati hipertensi.
Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsic (ISA).
Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara
agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak menurunkan kejadian
kardiovaskular dibanding dengan penyekat beta yang lain. Malahan, obat-obat ini dapat
meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien dengan resiko penyakit koroner
yang tinggi. Jadi, ISA jarang diperlukan. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi
menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel jantung bila dosis cukup
besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan bila karakteristik antiaritmik dari penyekat beta
diperlukan.
Perbadaan farmakokinetik diantara penyekat beta berhubungan dengan first pass
metabolisme, waktu paruh, derajat kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi.
Propranolol dan metoprolol mengalami first-pass metabolism, jadi dosis yang diperlukan
untuk memblok reseptor beta akan bervariasi dari pasien ke pasien. Atenolol dan nadolol
mempunyai waktu paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal. Walaupun waktu paruh dari
penyekat beta lainnya jauh lebih singkat, pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam
serum tidak berhubungan dengan lama keja hipotensinya.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyekat beta bervariasi dalam sifat lipofiliknya atau penetrasinya ke susunan saraf
pusat. Semua penyekat beta melewati sawar darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi
lebih jauh dibanding yang hidrofilik. Propranolol yang paling lipofilik dan atenolol yang
sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi propranolol di otak lebih tinggi dibanding atenolol bila
dosis yang ekivalen diberikan. Hal ini mengakibatnya efek samping sistim saraf pusat (seperti
pusing dan mengantuk) dengan agen lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini
memberikan efek yang lebih untuk kondisi nonkardiovaskular seperti migraine, mencegah
sakit kepala, tremor essensial, dan tirotoksikosis.
Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat menyebabkan angina tidak stabil, infark
miokard, dan bahkan kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit koroner.
Pemberhentian tiba-tiba juga dapat menyebabkan rebound hypertension (naiknya tekanan
darah melebihi tekanan darah sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat beta
harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan selama 1 -2 minggu.
Seperti diuretic, penyekat beta menaikkan serum kolesterol dan glukosa, tetapi efek ini
transien dan secara klinis bermakna sedikit. Penyekat beta dapat menaikkan serum trigliserida
dan menurunkan kolesterol HDL sedikit. Penyekat beta dengan karakteristik memblok
penyekat alfa (karvedilol dan labatalol) tidak mempengaruhi kadar lemak.
2.1.10.2.7 Golongan Penyekat Alfa
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α1 selektif. Bekerja pada
pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,
menyebabkan vasodilasi dan menurunkan tekanan darah. Pada studi ALLHAT doxazosin
adalah salah satu obat yang digunakan, tetapi di stop lebih awal karena secondary end point
stroke, gagal jantung, dan kejadian kardiovaskular terlihat dengan pemberian doxazosin
dibanding chlorthalidone. Tidak ada perbedaan pada primary end point penyakit jantung
koroner fatal dan infark miokard nonfatal. Data ini menunjukkan kalau diuretik tiazid
superior dari doxazosin (dan barangkali α1-blocker lainnya) dalam mencegah kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi. Jadi penyekat alfa adalah obat alternatif
kombinasi dengan obat antihipertensi primer lainnya. Penyekat alfa1 memberikan
keuntungan pada laki-laki dengan BPH (benign prostatic hyperplasia). Obat ini memblok
reseptor postsinaptik alfa1 adrenergik ditempat kapsul prostat, menyebabkan relaksasi dan
berkurang hambatan keluarnya aliran urin.
Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa adalah fenomena dosis pertama
yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan bahkan sinkop 1 -3 jam
setelah dosis pertama. Efek samping dapat juga terjadi pada kenaikan dosis. Episode ini
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diikuti dengan hipotensi ortostatik dan dapat diatasi/dikurangi dengan meminum dosis
pertama dan kenaikan dosis berikutnya saat mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat
berlanjut terus dengan pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien
lansia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping
CNS seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi.
2.1.10.2.8 Golongan Agonis α2 Sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang
reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat
vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik,
bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut
jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktifitas plasma rennin, dan reflex
baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resistan, dan metildopa
adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan.
Penggunaan agonis α2 sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air,
paling menonjol dengan penggunaan metildopa. Penggunaan klonidin dosis kecil dapat
digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Tetapi, metildopa harus
diberikan bersama diuretik untuk mencegah tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi
dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan.
Seperti dengan penggunaan obat antihipertensi yang bekerja sentral lainnya, depresi
dapat terjadi. Kejadian hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi dari pada dengan obat
antihipertensi lainnya, jadi harus digunakan dengan hati-hati pada lansia. Klonidin
mempunyai kejadian efek samping antikolinergik yang cukup banyak seperti sedasi, mulut
kering, konstipasi, retensi urin, dan kabur penglihatan.
Penghentian agonis α2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound
hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin
sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau
anemia hemolitik, walaupun jarang terjadi. Kenaikan sementara serum transaminase liver
kadang-kadang terlihat dengan terapi metildopa tetapi secara klinis irrelevant kecuali bila
nilainya diatas tiga kali batas normal. Metildopa harus diberhentikan segera apabila
kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase liver menetap karena ini menunjukkan
onset dari hepatitis fulminan, bisa mengancam nyawa.
2.1.10.2.9 Golongan Reserpin
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung
saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,
dan berkurangnya curah jantung.
Reserpin mulai kerja dan waktu paruhnya lambat sehingga dosis pemberian satu kali
per hari. Tetapi, diperlukan 2 sampai 6 minggu sebalum efek antihipertensi maksimal
terlihat. Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan air yang cukup bermakna. Harus
di kombinasikan dengan diuretic (tiazid lebih disukai). Penghambatan aktifitas simpatetik
yang kuat oleh reserpin mengakibatkan meningkatnya aktifitas parasimpatetik. Terlihat dari
efek samping hidung tersumbat, meningkat sekresi asam lambung, diare, dan bradikardia
dapat terjadi. Depresi yang terjadi berupa kesedihan, hilang nafsu makan atau percaya diri,
hilang tenaga, disfungsi ereksi. Dengan dosis 0.05 dan 0.25 depresi minimal. Reserpin
digunakan sebagai terapi lini ke tiga pengobatan hipertensi.
2.1.10.2.10 Golongan Vasodilator Arteri Langsung (Direct Arterial Vasodilators)
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung
otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua
obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks
baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik,
sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya
terbentuk takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini
dapat diatasi dengan penggunaan penyekat beta bersamaan.
2.2 Geriatri
Geriatri berasal dari kata-kata geros (usia lanjut) dan iatreia (mengobati), geriatri
merupakan cabang Gerontologi ini dibagi mnenjadi tiga yaituBiology of aging, social
gerontology, dan geriatri medicine, yang mengupas problem klinik orang-orang lanjut usia
(Darmojo dan pranaka, 2001).
Menua (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untu memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan
struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasu infeksi)
dan kerusakan yang diderita (Darmojo dan Martono, 2006).
Prinsip dan tujuan terapi pada usia lanjut antara lain:
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a) Menghindari obat yang tidak perlu, misalnya pada pasien hipertensi yang belum begitu parah
mungkin bisa diberi tanpa obat yan telah terbukti efikasinya. Penggunaan obat golongan
sedative hipnotik sebaiknya dihindari.
b) Tujuan terapi dari pasien usia lanjut antara lain tidak hanya memperpanjang umurnya tetapi
juga mengubah kualitas hidupnya.
c) Terapi sebaiknya ditujukan pada penyebab penyakit, bukan terhadap gejala yang timbul.
d) Riwayat penggunaan obat, untuk memastikan bahwa pasien tidak alergi terhadap obat
tersebut.
e) Sejarah penyakit dan komplikasi yang ada.
f) Pemilihan obat, obat yang diberikan pada usia lanjut hendaknya sudah terbukti efikasinya dan
mungkin terjadinya Adverse Drug Reactions kecil atau tida ada.
g) Titrasi dosis (Walker dan Edwards, 2003).
2.3 Drug Related Problem
Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian tidak diinginkan yang menimpa
pasien yang berhubungan dengan terapi obat. Penelitian di Inggris menunjukkan adanya 8,8%
kejadian Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada 93% pasien. Data Minnesota
Pharmaceutical Care Project menunjukkan bahwa 17% dari masalah terapi obat yang telah
diidentifikasi dan dikatagorikan sebagai pasien menerima obat yang salah (Cipolle, dkk.,
1998).
Sebuah DRPs didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko
yang dialami oleh pasien, yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat (Strand et al.,
1990). Terjadinya DRPs dapat mencegah atau menunda pasien dari pencapaian terapi yang
diinginkan. Sebuah DRPs sebenarnya adalah peristiwa yang telah terjadi pada pasien,
sedangkan DRP potensial adalah suatu peristiwa yang mungkin sekali terjadi jika apoteker
tidak melakukan intervensi yang tepat (Rovert et al., 2004). DRPs adalah tantangan besar
untuk penyedia layanan kesehatan, terutama farmasis, karena dapat mempengaruhi
morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien.
Ada beberapa hal yang termasuk dalam kategori penyebab timbulnya permasalahan
yang berhubungan dengan DRPs (Cippole dkk, 2004).
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
i. Butuh tambahan obat (need for additional drug therapy)
Pasien mempunyai masalah medis yang membutuhkan terapi obat meliputi
kondisi penyakit meningkat sehingga membutuhkan obat baru, mengalami penyakit
kronis, terapi obat pencegahan untuk mengurangi risiko berkembangnya kondisi baru
dan pemberian pengobatan tambahan untuk mencapai sinergi dan efek tambahan.
Penyebab hal ini: 1. Kondisi baru membutuhkan terapi obat
2. Kondisi butuh kelanjutan terapi obat
3. Kondisi yang membutuhan kombinasi obat
4. Kondisi dengan resiko tertentu dan butuh obat
untuk mencegahnya
ii. Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
Hal ini terjadi jika pasien menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, terapi
dengan dosis toksis, kondisi pengobatan lebih tepat ditangani dengan terapi non-
farmakologi, terapi obat diberikan untuk menghindari efek merugikan dari
pengobatan yang lain dan penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol atau merokok,
polifarmasi yang sebaiknya terapi tunggal dan terapi efek samping akibat suatu obat
yang sebenarnya dapat digantikan dengan obat yang lebih aman.
iii. Salah obat (wrong drug)
Pasien mendapatkan terapi tidak tepat seperti obat bukan yang paling efektif dan
aman, pasien alergi atau kontraindikasi, sudah resisten terhadap infeksi, dan kondisi
pengobatan yang tidak dapat sembuh dengan produk obat.
iv. Dosis terlalu rendah (dosage too low)
Penyebab terjadinya ialah dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, interaksi obat mengurangi jumlah ketersediaan obat yang aktif, durasi
obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan, pemilihan obat,
dosis, rute pemberian dan sediaan obat tidak tepat.
v. Dosis terlalu tinggi (over dosage)
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hal ini terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan efek,
dosis obat dinaikkan cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat
pada pasien yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi.
vi. Ketidaktaatan pasien (uncomplience)
Jika pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error
(peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), tidak taat pada intruksi, pasien
tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, tidak mengambil obat karena tidak
memahami pemakaian obat, pasien tidak menggunakan obat karena tidak kepercayaan
dengan obat yang dianjurkan ( Strand. et al, 1998).
vii. Interaksi Obat (Adverse Drug Reaction)
Penyebabnya ialah pasien menerima produk yang menyebabkan reaksi alergi atau
idiosinkrasi, pengaturan dosis obat diganti terlalu cepat, bioavailabilitas atau efek obat
diubah oleh obat lain atau makanan dan interaksi obat.
Salah satu yang menjadi kriteria terjadinya DRPs Adverse Drug Reaction adalah
terjadinya interaksi obat.Tidak semua obat bermakna secara klinis. Beberapa interaksi obat
secara teoritis mungkin terjadi, sedangkan interaksi obat lain yang harus dihindari atau
memerlukan pemantauan yang cermat. Tatro (2001) menilai interaksi obat melalui peringkat
signifikasi, onset, tingkat keparahan efek interaksi dan dokumentasinya.
a) Peringkat Signifkansi
Peringkat signifikansi interaksi bervariasi dari derajat 1 sampai 5.Derajat 1 adalah
interaksi yang parah dan telah terdokumentasi dengan baik.Derajat 5 adalah interaksi
yang terdokumentasinya tidak lebih dari possible atau unlikely.
b) Onset
Onset adalah mulai efek kerja interaksi suatu obat yang terbagi dalam 2 kelompok
yaitu rapid dan delayed. Onset rapid ialah efek akan terjadi dalam kurun waktu 24 jam
setelah pemakaian obat yang berinteraksi, sehingga diperlukan tindakan segera. Onset
delayed ialah efek tidak akan terjadi sampai beberapa hari atau minggu setelah
pemakaian obat. Tidak memerlukan tindakan segera.
c) Tingkat keparahan efek interaksi
Berdasarkan tingkat keparahan efek interaksi suatu obat terbagi dalam 3 kelompok
yaitu major, moderate, dan minor.Tingkat keparahan major ialah efek yang terjadi
secara potensial mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan yang bersifat
menetap.Efek dapat menyebabkan perubahan status klinik dan penambahan pengobatan
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan tingkat keparahan moderate.Efek yang biasanya ringan tidak memerlukan
tambahan pengobatan merupakan tingkat keparahan minor.
d) Dokumentasi
Dokumentasi adalah derajat kepercayaan dari interaksi obat yang dapat
menyebabkan perubahan respon klinis.Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
terdokumentasinya suatu efek interaksi obat khususnya pada pasien
tertentu.Dokumentasi tidak menunjukkan besarnya insidensi atau frekuensi interaksi,
serta tidak tergantung pada keparahan efek interaksi. Dokumentasi terbagi dalam 5
kelompok yaitu established, probable, suspected, possible and unlikely. Dokumentasi
established ialah derajat kepecayaan yang telah dapat membuktikan interaksi terjadi
disertai suatu kontrol penelitian yang baik. Kelompok kedua yaitu probable ialah
sangat mungkin terjadi interaksi tetapi tidak ada bukti klinis. Yang ketiga yaitu
suspectedialah interaksi obat mungkin terjadi dan terdapat beberapa data yang baik,
tetapi membutuhkan studi penelitian lebih lanjut. Kelompok keempat yaitu possible
ialah interaksi obat dapat terjadi tetapi data masih sangat terbatas.Dan yang kelima
yaitu unlikely ialah derajat kepercayaan yang meragukan untuk terjadi interaksi obat
dan tidak ada perubahan efek klinis yang jelas.
2.4 Drug Related Problem (DRP) terkait Interaksi Obat
2.4.1 Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related
problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika
atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang
berinteraksi (Piscitelli, 2005).
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya
secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis
efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat
herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang
lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa
yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.
2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari
dua mekanisme berikut:
1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan
jaringan (interaksi farmakodinamik).
2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi
farmakokinetik).
a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit
(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan
atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam
(sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan
efek secara substansial).
c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang
sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat
antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-
obat imunosupresan.
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat
mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek
farmakologisnya (BNF 58, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat
i. Efek perubahan pH gastrointestinal
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat
terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh
nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang
terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh
lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley,
2008).
ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk
pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi
dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik.
Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh,
antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen
dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks
yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-
obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi
penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek
sebaliknya (Stockley, 2008).
iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat
ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein.
Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein
ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley,
2008).
v. Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan
sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).
b. Interaksi pada distribusi obat
i. Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi.
Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat
reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang
tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi
(Stockley, 2008).
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi
protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa
obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk
inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak,
yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).
c. Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam
urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut,
yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang
akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama.
Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau
kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,
ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan
di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama
metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau
hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II
melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal
sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi
oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
ii. Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan
peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya
bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan
laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
iii. Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang
sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga
terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering
dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis
dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan
serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting
secara klinis (Stockley, 2008).
iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim
sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari
populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling
terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas
rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki
isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam
metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien
berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas
dari gejala (Stockley, 2008).
v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini,
sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa
rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya
(Stockley, 2008).
d. Interaksi pada ekskresi obat
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian
besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke
dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian,
perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi,
meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat
bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi
ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid
menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion
organik (OATs) (Stockley, 2008).
iii. Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin
ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal
dapat berkurang (Stockley, 2008).
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek
farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan
efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan
dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik,
hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang
efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas,
depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang
bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu
pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan
vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin
dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan
antikoagulan (Stockley, 2008).
2.4.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko vs manfaat terapi
alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat,
efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan
sebagai:
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi
mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil
terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat
menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau
diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi,
berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen (Tatro, 2009).
Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang
mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan
hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. Hal ini juga tugas pada
profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi.
Profesional harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-
pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang
dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional
perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan,
terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).
2.5 Peran Apoteker di Rumah Sakit
Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi dibutuhkan tenaga apoteker yang
profesional. Peran apoteker atau farmasis dalam pelayanan kesehatan menurut WHO
mengistilahkan dengan 7 kriteria yaitu :
1. Care-Giver
Apoteker/farmasis harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan kesehatan
secara berkesimbungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan dasar dalam menentukan
pendidikan dan pelatihan.
2. Decision-Maker
Apoteker/farmasis menjalani pekerjaan berdasarkan pada kecukupan serta keefekifan dan
keefiesienan penggunaan sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur dan
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pelayanan. Kemampuan apoteker/farmasis harus diukur dan hasilnya dijadikan dasar dalam
menentukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.
3. Communicatory
Apoteker/farmasis harus menjalin hubungan dengan pasien atau profesi kesehatan
lainnya. Dimana apoteker memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Meliputi
komunikasi verbal dan non verbal, mendengar, serta kemampuan menulis dengan
menggunakan bahasa yang baik.
4. Leader
Apoteker/farmasis dituntut memliki kemampuan menjadi pemimpin karena harus dapat
mengambil keputusan yang efektif, kemampuan untuk mengomunikasikan serta kemampuan
mengelola hasil keputusan.
5. Manager
Apoteker/farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya informasi yang ada.
Didalam tim kesehatan seorang apoteker harus bisa bekerjasama dimana dapat dipimpin
maupun jadi pemimpin.
6. Life –Long Learner
Apoteker/farmasis harus selalu menggali ilmu sedalam-dalamnya. Hal ini untuk
meningkatkan keahlian dan keterampilan.
7. Teacher
Apoteker/farmasis memiliki tanggung jawab mendidik dan melatih generasi selanjutnya.
Partisipasi tidak hanya berbagi pengetahuan namun juga berbagi pengalaman (Putra ,2013).
Sedangkan menurut PP No 51 tahun 2009 ada dua peran penting apoteker. Pertama,
melaksanakan fungsi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya sesuai dengan
ketentuan dan sarana yang dimiliki. Kedua, melakukan penyimpanan obat dan perbekalan
kesehatan dengan baik sesuai dengan sifat bahan.
Fungsi apoteker di RS berdasarkan Kepmenkes 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu
sebagai pengelola perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan
alat kesehatan. Berikut penjelasan lengkapnya :
1. Fungsi Pengelolahan Perbekalan Farmasi
a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan RS merencanakan kebutuhan
perbekalan farmasi secara optimal. Contoh kegiatan fungsi apoteker sebagai
pengelolahan Farmasi antara lain :
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
di RS menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku.
2) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian.
3) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di RS.
b. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai
ketentuan yang berlaku.
2. Fungsi Pelayanan Kefarmasian Dalam Pengelolahan Obat dan Alat Kesehatan Fungsi
pelayanan kefarmasian diantaranya :
a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien contohnya melakukan pencampuran obat
suntik, penyiapan nutrisi parenteral, penanganan obat kanker, penentuan kadar obat
dalam darah, melakukan pencatatan setiap kegiatan.
b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan.
c. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan.
d. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga contohnya
melaporkan kegiatan.
3. Fungsi Pelayanan Klinik
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di RS pelayanan farmasi klinik yaitu “pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien
(patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin”. Pelayanan klinik
diantaranya :
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian
resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk
peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap
alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat.
Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah
terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus
melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan
persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) dapat terjadi pada pemindahan pasien
dari satu RS ke RS lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari RS ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar RS.
e. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat
dari apoteker kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker,
rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker.
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi
obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga
dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar RS baik atas permintaan pasien maupun
sesuai dengan program RS yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah
(home pharmacy care).
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping
obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Merupakan program evaluasi penggunaan obat mendapatkan gambaran keadaan saat ini
atas pola penggunaan obat.
j. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di IFRS untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian obat.
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter.
2.6 Rekam Medik
Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik dan
memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat
jalan.Rekam medik ini harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat
dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving) dan lengkap informasi.Rekam medik
adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari
sudut pandang medik.
Definsi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jenderal pelayanan medik
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada
seorang penderita selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal
(Siregar dan Lia, 2003).
Kegunaan dari rekam medik :
a) Digunakan sebagai dasar perencanaan berkelanjutan perawatan penderita.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi
pada perawatan penderita.
c) Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita dan
penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.
d) Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan
kepada pasien.
e) Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang
bertanggung jawab.
f) Menyediakan atau untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.
Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data rekam medik, bagian
keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita.
Bab 3
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Karakteristik Pasien :
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Penyakit Peserta
d. Jumlah Penggunaan Obat
Interaksi Obat
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Definisi Operasinal
No Nama Variabel Definisi
Operasional
Cara
Pengukuran
Skala Ukur Kategori
1. Karateristik
Pasien :
1.)
2.) Jenis kelamin
Usia
1. Kondisi fisik yang
menentukan status
seseorang laki-laki
atau perempuan
2.
3.
4. Lamanya hidup
seseorang dilihat
dari tanggal lahir
Membaca data
rekam medis
pasien
Membaca data
rekam medis
pasien
Nominal
Nominal
1 : Laki-laki
2 : Perempuan
1 : 60–74
tahun
Tidak
Terkendali Terkendali
Tekanan
Darah
Outcomes Terapi
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyakit
penyerta
Jumlah obat
5.
Keadaan klinis
dimana timbulnya
penyakit jantung
pada pasien
hipertensi
6.
7. Banyaknya obat
hipertensi dan obat
penyakit jantung
yang digunakan
pasien
Melihat data
rekam medis
pasien
Melihat data
rekam medis
pasien
Nominal
Nominal
2 : 75-90 tahun
3 : ≥ 90 tahun
1:<5 Penyakit
Penyerta
2:≥5 Penyakit
Penyerta
1 : < 5 obat
2 : ≥ 5 obat
2. 1.Obat
hipertensi :
a. Diuretika
b. Inhibitor
angiotensin
converting
enzim inhibitor
(ACEI)
c. Beta-blocker
d. Calcium
channel blocker
(CCB)
e. Penyekat beta
f. Penyekat alfa
g. Agonis α2
sentral
h. Reserpin
i. Vasodilator
arteri langsung
Obat yang
digunakan dalam
pengobatan
hipertensi baik itu
obat-obatan
kimiawi maupun
non kimiawi
Dengan
membaca data
rekam medis
pasien
Pasien
mendapat
pengobatan
hipertensi
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Interaksi obat
Keadaan yang
terjadi ketika
menggunakan 2
atau lebih jenis
obat.
Melihat
referensi pada
:
Drug
Intraction
Fact,
Drugs.com,
Medscape,
Cipolle dan
Drug
Information
Hanbook,
Stockley
4. Outcome pasien
hipertensi
Keberhasilan terapi
yang dinilai
berdasarkan
parameter target
Tekanan Darah
(sistolik <140
mmHg dan
diastolik <90
mmHg
Dengan
melihat rekam
medis pasien
Nominal 1:Tercapai
target tekanan
darah
2:Tidak
tercapai target
tekanan darah
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap RS Pelabuhan Jakarta Utara pada bulan
Juni – Agustus 2016.
4.2 Desain Penelitian
Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian cross sectional, yaitu pengumpulan
data variabel untuk mendapatkan gambaran terjadinya interaksi obat pada pasien geriatri
dengan penyakit hipertensi sebagai variabel terikat, dengan teknik pengambilan data dari
rekam medik pasien di RS Pelabuhan Jakarta utara pada periode bulan Juni – Agustus 2016.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri hipertensi yang dirawat inap
di RS Pelabuhan Jakarta Utara pada periode Juni – Agustus 2016.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang
memenuhi kriteria diambil sebagai penelitian.
4.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel
penelitian, memenuhi syarat sebagai sampel.
Kriteria inklusi untuk sampel kasus dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Pasien rawat inap bulan Juni – Agustus 2016 minimal menjalani perawatan 3 hari.
b. Pasien dengan diagnosa hipertensi dengan/tanpa penyakit penyerta.
c. Pasien geriatri dengan rentang usia yaitu
i. Lanjut usia (elderly) : 60 – 74 tahun
ii. Lanjut usia tua (old) : 75 – 90 tahun
iii. Usia sangat tua (very old) : 90 tahun
4.4.2 Kriteria Ekslusi Sampel
Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi tidak dapat diikut sertakan. Adapun yang termasuk kriteria ekslusi adalah
pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap dan hilang.
4.5 Prosedur Penelitian
4.5.1 Persiapan (Permohonan Izin Penelitian)
a. Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri Jakarta
kepada Kepala Instalasi RS Pelabuhan Jakarta Utara.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari RS Pelabuhan Jakarta Utara kepada
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam
Negeri Jakarta.
4.5.2 Pengumpulan data
a. Penelusuran data pasien geriatri dengan penyakit hipertensi di ruang rawat inap RS
Pelabuhan Jakarta Utara periode Juni – Agustus 2016.
b. Proses pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi.
c. Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam media diruang administrasi medis
berupa:
i. Nama dokter.
ii. Nomor rekam medis.
iii. Identitas pasien (nama, jenis kelamin, umur dan penyakit komplikasi).
iv. Tanggal perawatan.
v. Diagnosa.
vi. Data penggunaan obat (jenis, regimen dosis, dan aturan penggunaan).
4.5.3 Pengolahan data
1. Editing
Peneliti melakukan penilaian terhadap data mentah, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan kembali kebenaran data yang diperoleh dan mengeluarkan data yang tidak
memenuhi kriteria penelitian.
2. Coding
Peneliti melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti memasukkan data yang
diperoleh dari laboratorium dan rekam medis.
3. Entry data
Peneliti memasukkan data yang telah dilakukan proses coding ke dalam program
Microsoft Excel dalam bentuk table.
4. Cleaning data
Peneliti mleakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam sistem
komputer untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data.
4.5.4 Analisa Data
Dalam penelitian ini analisa data yang dilakukan menggunakan program Microsoft
Excel 2010 dan akan dianalisis dengan analisa univariat. Analisis univariat adalah analisis
yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel (terikat maupun bebas ) yang akan diteliti
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Adapun pengolahan data dengan menggunakan
analisis univariat ialah karakteristik pasien dengan kategori sebagai berikut :
a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Jumlah penggunaan obat
d. Penyakit penyerta
e. Profil penggunaan obat
f. Karakteristik interaksi obat.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Demografi pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin,usia, lama perawatan,
jenis penyakit penyerta, dan jumlah penggunaan obat. Jumlah pasien Hipertensi di Rumah
Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara pada bulan Juli – September 2016 adalah 67 pasien dan
kemudian dipilih 42 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Tabel 5.1 Karakteristik Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama Perawatan, Jumlah Penyakit
Penyerta, dan Jumlah Penggunaan Obat.
No. Karakteristik Subjek Jumlah Rekam Medik
(n=42)
Presentase
(%)
1. Jenis kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
18
24
43,0
57,0
2. Usia
a. Lanjut usia (erderly)
b. Lanjut usia tua (old)
c. Usia sangat tua (very old)
34
8
-
81,0
19,0
-
3. Jumlah penggunaaan obat
a. < 5 obat
b. ≥ 5 obat
2
40
5,0
95,5
4. Jumlah penyakit penyerta
a. Tanpa penyakit penyerta
b. 1 penyakit penyerta
8
34
19,0
81,0
Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh gambaran mengenai karakteristik umum subjek
penelitian. Gambaran umum karakteristik subjek dominan antara lain 57,0% perempuan; 81%
usia pasien 60-74tahun; 95% pasien menerima lebih dari ≥ 5 obat dan 8,0% pasien
mengalami 1 penyakit penyerta.
5.1.2 Profil Penggunaan Obat Antihipertensi
Presentase penggunaan obat antihipertensi di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta
Utara periode Juli – September 2016 yang diambil dari 42 rekam medik. Terdapat 85
penggunaan obat antihipertensi ditunjukkan pada Tabel 5.2
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 5.2 Persentase Penggunaan Obat Antihipertensi Pasien Rawat Inap Antihipertensi di Rumah Sakit
Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016
No. Nama Obat Jumlah
Penggunaan (n=85)
Presentase
(%)
1. Amlodipine 23 27,0
2. Furosemide 21 25,0
3. Spironolactone 8 9,0
4. Losartan 8 9,0
5. Bisoprolol 6 7,0
6. Candesartan 4 5,0
7. Ramipril 4 5,0
8. Captopril 3 4,0
9. Hidrochorotiazide 2 2,0
10. Irbesartan 2 2,0
11. Nebivolol 2 2,0
12. Propranolol 2 2,0
Berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan bahwa presentase tertinggi penggunaan obat
antihipertensi yakni amlodipine 27%; furosemide 25%; spironolactone 9%; losartan 9%;
bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%; captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan
2%; nebivolol 2% dan propranolol 2%.
5.1.3 Karakteristik Kejadian Interaksi Obat pada Pasien
Berdasarkan penelitian terhadap 42 rekam medik pada periode Juli – September 2014,
deperoleh jumlah interaksi obat sebanyak 90% dengan karakteristik kelompok lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun (81%), dan mendapat terapi ≥ 3 obat (95%). Gambaran umum kejadian
interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi kejadian interaksi obat pada pasien Hipertensi di RSU Pelabuhan Jakarta Utara periode Juli-
Spetember 2016.
No Karakteristik Subjek Berinteraksi Tidak Berinteraksi
Frekuensi
(n=38)
%
(n=90)
Frekuensi
(n=4)
%
(n=10)
1.
2.
Usia
a. Lanjut usia 60 – 74 tahun
b. Lanjut usia tua 75 – 90 tahun
Jumlah penggunaan obat
a. < 5 obat
b. > 5 obat
31
7
1
37
82
18
3
97
3
1
1
3
75
25
25
75
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1.4 Gambaran Interaksi Obat pada Pasien Berdasarkan Mekanisme dan Tingkat
Keparahan
Analisis terhadap 42 rekam medik menunjukkan hasil presentase potensi interaksi
obat antihipertensi yaitu 90%, dari 42 rekam medik ditemukan 38 rekam medik memiliki
potensi interaksi obat, yang terdiri dari 219 jenis kasus interaksi obat. Berdasarkan tingkat
keparahan, interaksi obat yang terjadi mayoritas mempunyai tingkat keparahan moderate
60%, tingkat keparahan major 24%, dan tingkat keparahan minor 16%. Data ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5.4 Persentase Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obar Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di RSU
Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016
No Jenis Interaksi Jumlah Kejadian %
1. Moderat 132 60
2. Minor 53 24
3. Major 34 16
Total 219
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jenis interaksi yang balik banyak terjadi adalah
interaksi farmakodinamik sebesar 71%, diikuti interaksi farmakokinetik 28%, serta interaksi
unknown sebesar 1%.
Tabel 5.5 Presentase Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di RSU
Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016
No Jenis Interaksi Jumlah Kejadian %
1. Farmakodinamik 155 71
2. Farmakokinetik 61 28
3. Unknown 3 1
Total 219
5.1.5 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Antihipertensi
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh obat hipertensi yang berinteraksi sesema
obat hipertensi yang paling banyak terjadi adalah furosemide dan ramipril yaitu sebanyak 4
kejadian (13 %).
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 5.6 Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat Inap RSU Pelabuhan
Jakarta Utara Periode Juli – Agustus 2016
No Nama Obat Pola Mekanisme
Interaksi
Tingkat
Keparahan
Interaksi
Mekanisme
Interaksi
Jumlah
Kejadian
IO
%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Spironolactone
+ losartan
Captopril +
spironolactone
Captopril +
losartan
Captopril +
HCT
Amlodipine +
HCT
Captopril +
amlodipine
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Major
Major
Major
Moderat
Minor
Minor
Menggunakan
spironolakton
bersama dengan
losartan dapat
meningkatkan
kadar pottasium
dalam darah.
(drugs.com)
Mengunakan
captopril bersama
spironolakton dapat
meningkatkan
kadar kalium dalam
darah
(hiperkalemia).
(drugs.com)
Menggunakan
captopril bersama
losartan dapat
meningkatkan
resiko efek
samping seperti
tekanan darah
rendah, gangguan
fungsi ginjal dan
kondisi yang
disebut
hiperkalemia
(pottasium darah
tinggi). (drugs.com)
Meskipun
captopril dengan
HCT sering
digabungkan
bersama, efeknya
mungkin aditif
pada penurunan
tekanan darah.
(drugs.com)
Efek antihipertensi
dari diuretik
amlodipine dan
thiazide adalah
aditif. (drugs.com)
Calcium channel
blockers dan
angiotensin
converting enzyme
3
2
2
2
2
3
10
6
6
6
6
10
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Amlodipine +
nebivolol
Amlodipine +
bisoprolol
Furosemide +
bisoprolol
Furosemide +
propranolol
Spironolactone
+ ramipril
Furosemide +
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
Major
Moderat
(ACE) inhibitor
mungkin memiliki
efek hipotensi
tambahan. (drugs.com) Nebivolol dan
amlodipine
memiliki efek
dalam menurunkan
tekanan darah dan
detak jantung.
(drugs.com)
Bisoprolol dan
amlodipine
memiliki efek
tambahan dalam
menurunkan
tekanan darah dan
detak jantung.
(drugs.com)
Menggunakan
furosemide dan
bisoprolol bersama-
sama dapat
menurunkan
tekanan darah dan
memperlambat
denyut jantung.
(drugs.com)
Menggunakan
propranolol dan
furosemide
bersama-sama
dapat menurunkan
tekanan darah dan
memperlambat
denyut jantung.
(drugs.com)
Penggunaan
ramipril bersama
spironolakton dapat
meningkatkan
kadar pottasium
dalam darah
(hiperkalemia),
terutama jika
mengalami
dehidrasi atau
memiliki penyakit
ginjal, diabetes,
gagal jantung, atau
orang dewasa yang
lebih tua.
(drugs.com)
Meskipun
3
1
3
2
3
4
10
3
10
6
10
13
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13.
ramipril
Spironolactone
+ candesartan
Farmakokinetika
Major
furosemide, gliserin
dan ramipril sering
dikombinasikan
bersamaan, efeknya
mungkin aditif
pada penurunan
tekanan darah.
(drugs.com)
Menggunakan
candesartan
bersama dengan
spironolactone
dapat meninkatkan
kadar potasium
dalam darah. Kadar
kalium yang tinggi
dapat berkembang
menjadi suatu
kondisi yang
dikenal
hiperkalemia, pada
kasus yang parah
dapat menyebabkan
gagal ginjal,
kelumpuhan total,
ritme jantung tidak
terartur dan
serangan jantung.
(drugs.com)
1
3
5.1.6 Gambaran Interaksi Obat Antihipertensi dan Obat Selain Hipertensi
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh obat hipertensi dan selain obat hipertensi
yang banyak digunakan adalah furosemide dan omeprazole yaitu sebnayak 6 kejadian atau
sebesar 16%.
Tabel 5.7 Interaksi Obat Hipertensi dengan Obat Non Hipertensi Pada Pasien Di Instalasi Rawat Inap RSU
Pelabuhan Jakarta Utara Periode Juli – September 2016
No. Nama Obat Pola
Mekanisme
Interaksi
Tingkat
Keparahan
Interaksi
Mekanisme Interaksi Jumlah
Kejadian
IO
%
1.
2.
Furosemide +
lansoprazole
Furosemide +
omeprazole
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Moderat
Moderat
Lansoprazole dan
furosemid dapat
menyebabkan
hypomagnesemia.
(drugs.com)
Omeprazole dan
furosemid dapat
menyebabkan
hypomagnesemia.
(drugs.com)
3
6
9
16
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Furosemide +
phenolphthalein
HCT +
phenolphthalein
HCT + glycerin
Irbesartan +
Pottasium
chloride
Amlodipine +
simvastatin
Cefditiron +
ranitidine
Bisoprolol +
amiodarone
Furosemide +
digoxin
Furosemide +
ceftrixone
Furosemide +
cefixime
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Moderat
Moderat
Moderat
Major
Major
Moderat
Moderat
Moderat
Minor
Moderat
Furosemide dan
phenolphthalein dapat
menigkatkan resiko
dehidrasi dan kelainan
elektrolit. (drugs.com)
HCT dan
phenolphthalein dapat
menigkatkan resiko
dehidrasi dan kelainan
elektrolit. (drugs.com)
HCT dan glycerin
dapat menigkatkan
resiko dehidrasi dan
kelainan elektrolit.
(drugs.com)
Penggunaan potassium
chloride bersama
irbesartan dapat
meningkatkan kadar
potassium dalam darah.
(drugs.com)
Penggunaan
simvastatin bersama
amlodipine dapat
meningkatkan resiko
efek samping obat.
(drugs.com)
Penggunaan cefditoren
bersama ranitidine
menurunkan
penyerapan dan tingkat
darah cefditoren dan
membuat obat kurang
efektif terhadap infeksi.
(drugs.com)
Menggunakan
amiodarone bersama
dengan bisoprolol dapat
menyebabkan
peningkatan efek
samping. (drugs.com)
Menggunakan
furosemide bersama
dengan digoxin dapat
meningkatkan efek dari
digoxin. (drugs.com)
Ceftriaxone dapat
menyebabkan masalah
ginjal, dan
menggunakannya
dengan furosemide
dapat meningkatkan
risiko itu. (drugs.com)
Cefixime jika
digunakan dengan
1
1
1
1
2
1
1
5
5
1
3
3
3
3
6
3
3
13
14
3
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13.
14.
15.
16.
Furosemide +
glimepiride
Bisoprolol +
digoxin
Propranolol +
digoxin
Furosemide +
laxadine
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Moderat
Moderat
Moderat
Moderat
furosemide dapat
menyebabkan masalah
ginjal. (drugs.com)
Menggunakan
ranitidine bersama
dengan glimepiride
dapat meningkatkan
efek dari glimepiride.
(drugs.com)
Menggunakan digoxin
bersama dengan
bisoprolol dapat
memperlambat detak
jantung dan
menyebabkan
peningkatan efek
samping. (drugs.com)
Menggunakan
propranolol bersama
digoxin dapat
memperlambat detak
jantung dan
menyebabkan
peningkatan efek
samping. (drugs.com)
Mengunakan
furosemide bersama
dengan obat apapun
yang memiliki efek
pencahar, terutama
dalam waktu lama
dapat meningkatkan
resiko dehidrasi dan
kelainan elektrolit.
(drugs.com)
1
2
2
2
3
6
6
6
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.2 Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan obat antihipertensi yang
meliputi jenis, dosis, dan frekuensi serta mengidentifikasi masalah terkait obat antihipertensi
ditinjau dari interaksi obat pada pasien dengan penyakit hipertensi yang dilakukan di Instalasi
Rawat Inap di RSUD Pelabuhan Jakarta Utara selama periode Juni – Agustus 2016. Pada
peneltitan ini diambil sampel sebanyak 42 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Pada penelitian ini, distribusi pasien dengan penyakit hipertensi berdasrkan jenis
kelamin lebih banyak dialami oleh pasien wanita, yaitu sebesar 28 pasien (57 %)
dibandingkan laki – laki sebesar 18 pasien (43%) (Tabel 5.1). Hal ini sesuai dengan data
bahwa angka kejadian Hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pasien pria.
Prevalensi hipertensi dunia menurut World Health Organisation (WHO) dalam World Health
Statistic (2012) mencapai 24,2 % pada laki-laki dan 29,8 % pada perempuan. Diduga bahwa
kemungkinan perempuan lebih mudah stress dibandingkan dengan pria. Stress berhubungan
dengan hipertensi melalui saraf simpatis yang meningkatkan tekanan darah. Hormon
epinefrin atau adrenalin akan dilepas pada keadaan tertekan. Adrenalin akan meningkatkan
tekanan darah melalui kontraksi arteri (vasokontriksi) dan peningkatan denyut jantung
dengan demikian orang akan mengalami peningkatan tekanan darah. Selain itu, wanita
berumur 40 tahun akan mengalami menopause yang menyebabkan hormon esterogen
menurun. Penurunan hormon esterogen dapat meningkatkan tekanan darah karena esterogen
berperan melawan hipertensi melalui penghambatan jalur vasokontriktor oleh sistem saraf
simpatik dan angiotensin.
Pasien geriatri dibagi menjadi 3 golongan menurut WHO yaitu, lanjut usia (60-74
tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun) dan usia sangat tua (90 tahun). Sedangkan di Indonesia,
menurut pasal 1 UU RI no.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan
bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 ke atas. Dalam
penelitian ini, pasien yang menderita hipertensi dengan kategori lanjut usia (elderly) 60-74
tahun sebanyak 34 pasien (81,0%), kemudian kategori lanjut usia tua (old) 75-90 tahun
sebanyak 8 pasien (19,0) (Tabel 5.1). Hal ini disebabkan oleh penurunan elastisitas arteri.
Penelitian Heryudarini menyatakan bahwa setiap peningkatan usia 1 tahun akan meningkatan
tekanan sistolik sebesar 0,493 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 0,189 mmHg.
Semakin tua seseorang maka arteri akan kehilangan elastisitasnya yang menyebabkan
kemampuan memompa darah berkurang sehingga tekanan darah meningkat. Pada pasien
lanjut usia, umumnya banyak disertai dengan penyakit penyerta yaitu 34 pasien (81%)
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengalami 1 penyakit penyerta sedangkan yang tidak mengalami penyakit penyerta sebanyak
8 pasien (19%) (Tabel 5.1).
Interaksi obat adalah berubahnya efek suatu obat karena adanya obat lain yang
diberikan bersamaan. Interaksi dapat terjadi secara farmakokinetik atau farmakodinamik.
Interaksi farmakokinetik mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi. Interaksi farmakodinamik mempengaruhi ikatan obat dan reseptornya. Interaksi
obat juga ada yang menguntungkan dan merugikan (Baxter,2008). Interaksi obat dapat terjadi
tetapi tidak selalu berakibat merugikan secara klinis. Secara teoritis interaksi obat tersebut
potensial terjadi namun kejadian klinis akibat interaksi obat tidak ditemukan.
Interaksi obat-obat banyak terjadi pada peresepan pasien hipertensi, hal ini mungkin
dikarenakan jenis obat yang digunakan pada pengobatan hipertensi beragam, sehingga
penggunaan kombinasi dari obat-obat tersebut tidak mudah untuk teridentifikasi, untuk
memudahkan dalam pengecekan interaksi antar obat-obat ada baiknya pada apotek rawat inap
instalasi di rumah sakit dilengkapi dengan softwer interaction checkers.
Pada penelitian ini 95% pasien hipertensi menggunkan lebih dari 3 obat, terapi yang
diberikan obat golongan Diuretik, Calcium Channel Bloclker (CCB), ACE Inhibito, Beta
Blocker, dan Angiotensi II (ARB). Pada penelitian ini yang paling banyak diberikan pada
pasien adalah amlodipine (27%), dimana amlodipine merupakan salah satu obat calcium
channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos arteriola
dan mengurangi resistensi pembuluh perifer (Oates & Brown, 2007). Mekanisme kerja
Calcium Channel Blocker adalah menghambat aliran masuk kalsium ke dalam sel-sel otot
polos arteri (Katzung, 2001).
Selanjutnya selain amlodipine dalam penelitian ini yang banyak digunakan adalah
furosemide, yaitu sebesar 25%. Furosemide cukup cepat diserap dari saluran pencernaan ;
bioavaibilitas telah dilaporkan 60% sampai 70% , tetapi penyerapan adalah variabel yang
tidak menentu. Waktu paruh furosemide pada keadaan normal sekitar 2 jam meskipun
berkepanjangan pada neonatus dan pada pasien dengan gangguan ginjal dan hati (Sweetman
et al., 2009).
Hasil analisa DRPs terhadap 42 pasien, diperoleh bahwa terdapat 38 pasien (90%) dan
sebanyak 4 pasien (10%) tidak mengalami interaksi obat. Berdasarkan hasil analisa terhadap
30 pasien yang berinteraksi (table 5.3).
Penyakit degeneratif seperti hipertensi biasanya selalu diikuti dengan komplikasi
penyakit pada organ lain seiring dengan lama perjalanan penyakit dan tingkat keparahannya,
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan banyaknya kasus polifarmasi dalam tiap lembar
resep.
Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi farmakokikentik dan farmakodinamik.
Interaksi farmakodinamik pada usia ≥ 60 tahun dapat menyebabkan respon reseptor obat dan
target organ berubah, sehingga sensitivitasnya terhadap efek obat menjadi lain, yang akan
berakibat pada besar dosis yang diresepkan. Interaksi obat menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan apabila secara klinis dapat meningkatkan toksisitas atau menurunkan efek terapi
dari obat tersebut, hal ini dapat diperkecil potensinya dengan cara menghindari penggunaan
polifarmasi yang tidak dibutuhkan.
Klasifikasi interaksi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu interaksi minor, moderat dan
mayor. Interaksi minor adalah interaksi yang masih dalam tolerir karena jika ditemukan
dalam lembar resep makan dalam terapi tidak diperlukan adanya perubahan, sedangkan
interaksi moderat adalah interaksi yang mungkin terjadi dalam terapi dan memerlukan
perhatian medis, dan pengertian dari interaksi mayor adalah interaksi antar obat yang dapat
menimbulkan konsekuensi klinis hingga kematian (Feinstein et al,2014). Berdasarkan hasil
penelitian, tingkat keparahan interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah pada interaksi
obat secara moderat, yaitu sebanyak 132 kejadian (60%). Interaksi yang paling banyak
terjadi sesama obat hipertensi yaitu furosemde dan ramipril dimana terjadi 4 kejadian atau
sebesar 16%, interaksi yang terajdi antara furosemide dan ramipril yaitu farmakodinamik
sinergis. Kombinasi (ACE Inhibitor) dan furosemide (Loop Diuretic) umumnya aman dan
efektif, tetapi “first dose hypotension” (pusing hingga pingsan) dapat terjadi. Pada semua
pasien yang mengkonsumsi diuretik, terapi dengan inhibitor ACE harus dimulai dengan
dengan dosis yang sangat rendah. Interaksi yang menyebabkan “first dose hypotension”
belum sepenuhnya dipahami. Interaksi antara furosemide dan ramipril juga dapat
menyebabkan hipokalemia. Penyebab hipokalemia akibat dari efek diuretik yang bekerja
memperbanyak pengeluaran kalium dan air (Stockley, 2008). Selanjutnya interaksi obat
terbanyak kedua adalah dengan tingkat keparahan minor yaitu 53 kejadian (24%), interaksi
obat ini mungkin menggangu atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang diinginkan. Yang terakhir interaksi
obat dengan tingkat keparahan major, yaitu 34 kejadian (16%), dengan obat yang paling
banyak berinteraksi adalah clopidogrel dan omeprazole. Mekanismenya adalah PPI dapat
menghambat bioaktivasi CYP450 2C19 yang dimediasi oleh klopidogrel yang berakibat
aktifitas enzim berkurang dan bahkan tidak ada. Dampaknya dapat meningkatkan resiko
serangan jantung, stroke, serta angina yang tidak stabil (Pezzalla, 2008). Interaksi obat
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan tingkat keparahan mayor diutamakan dengan dicegah dan diatasi karena efek
potensial membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen. Untuk meningkatkan
kualitas pengobatan pasien, sebaiknya penggunaan obat-obat yang memungkinkan terjadinya
interaksi mayor dan moderat harus dihindari dalam penggunaan secara bersamaan. Hal ini
dikarenakan kemungkinan terjadinya resiko interaksi lebih tinggi dibandingkan manfaat yang
diberikan, serta untuk meminimalisasi terjadinya interaksi obat yang tidak diinginkan
sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. Maka dapat disimpulkan potensi interaksi yang
terbanyak pada lembar resep pasien hipertensi adalah potensi interaksi klasifikasi moderate,
sehingga hal ini menuntut kewaspadaan dari tenaga kefarmasian dan dokter untuk mencegah
atau meminimalisir kejadian tersebut untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien.
Pasien hipertensi berusia lanjut seringkali menerima polifarmasi untuk terapi
hipertensi, komplikasi maupun penyakit penyerta. Hal ini meningkatkan resiko interaksi
antara obat hipertensi dengan obat hipertensi dan obat hipertensi dengan obat lainnya.
Praktek farmasi klinis juga dapat memastikan bahwa kejadian efek samping obat dapat
diminimalkan dengan menghindari obat dengan potensi efek samping pada kelompok-
kelompok pasien berisiko tinggi. Dengan demikian peran tenaga kefarmasian memiliki
peranan yang cukup besar dalam pengendalian, pencegahan, deteksi dan pelaporan efek
samping obat. Beberapa interaksi obat dapat berakibat sangat berbahaya pada pasien
hipertensi karena dapat berdampak pada nilai goal terapi tekanan darah yang diharapkan,
contohnya pada penggunaan amlodipine yang bersamaan dengan pentoxifylline akan
mengakibatkan meningkatnya tekanan darah dan menurunkan efek dari amlodipine. Interaksi
obat walaupun harus diwaspadai karena efek yang tidak dikehendaki tetapi ada beberapa
interaksi yang sengaja karena mekanisme yang sudah diketahui dan untuk mengoptimalkan
efektifitas dari proses pengobatan.
Dengan mengetahui mekanisme interaksi obat, farmasis dapat menentukan langkah
yang tepat dalam pengatasan masalah tersebut. Farmasis dapat menentukan apakah suatu
jenis interaksi obat dapat diatasi sendiri, ataukah memerlukan diskusi dengan klinisi/dokter.
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada terhadap pasien yang
memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi dengan obat lain terutama apabila
diketahui interaksi obat menunjukkan signifikansi level pertama.
Beberapa alternatif penatalaksanaan interaksi obat adalah menghindari kombinasi
obat dengan memilih obat pengganti yang tidak berinteraksi, penyesauaian dosis obat,
pemantauan pasien atau meneruskan pengobatan seperti sebelumnya jika kombinasi obat
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal atau bila interaksi tersebut
tidak bermakna secara klinis (Fradgley, 2003).
Untuk menghindari kemungkinan interaksi obat farmasis dapat secara aktif
memberikan informasi kepada pasien seperti cara penggunaan obat yang secara tepat. Melalui
pelayanan informasi obat farmasis memegang peranan besar dalam mencegah timbulnya
dampak negatif interaksi obat yang tidak hanya mempengaruhi kemanfaatan dan kemanjuran
obat namun lebih jauh dapat mempengaruhi rasa aman serta meningkatkan biaya yang harus
dikeluarkan pasien.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa terapi hipertensi pada pasien usia lanjut
sangatlah kompleks. Adanya perubahan fisiologis, farmakokinetika, dan farmakodinamika
seiring dengan proses penuaan ditambah lagi adanya macam-macam penyakit yang diderita
menyebabkan pasien usia lanjut seringkali mendapatkan terapi polifarmasi. Komplekssitas
penggunaan obat dengan perubahan fisiologis tubuh dari proses penuaan itu sendiri membuat
populasi ini rentan mengalami masalah terkait penggunaan obat. Ditinjau dari capaian target
tekanan darah, 90% pasien belum mencapai target, oleh karena itu diperlukan suatu
kolaborasi interprofesional yang melibatkan farmasis untuk mengoptimalkan yang
melibatkan farmasis untuk mengoptimalkan terapi yang diterima pasien dan mencegah drug
related problems.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Outcomes Klinik Pasien Geriatri Dengan
Penyakit Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara
Periode Juni-Agustus 2016 disimpulkan sebagai berikut :
1. Pasien hipertensi mayoritas berusia 60 -74 tahun, dan berjenis kelamin perempuan.
Pasien umumnya mengalamin 1 penyakit penyerta dan dari segi penggunaan obat
pasien mayoritas mendapatkan ≥ 5 obat.
2. Obat antihipertensi yang berinteraksi adalah amlodipine 27%; furosemide 25%;
spironolactone 9%; losartan 9%; bisoprolol 7%; candesartan 5%; ramipril 5%;
captopril 4%; hidrocholotiazide 2%; irbesartan 2%; nebivolol 2% dan propranolol
2%.
3. Persentase potensi interaksi obat antihipertensi pada periode Juni – Agustus 2016
adalah 90 %.
4. Obat antihipertensi yang paling sering berpotensi interaksi adalah amlodipine.
Mekanisme potensi interaksi obat antihipertensi yang tertinggi adalah
farmakodinamik dan tingkat keparahan potensi interaksi obat antihipertensi yang
tertinggi adalah moderate.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.2 Saran
1. Perlu adanya monitoring dan evaluasi penggunaan obat antihipertensi secara
sistematis yang dilaksanakan secara teratur untuk mengatasi DRP terkait interaksi
obat.
2. Perlu adanya kerjasama yang tepat antara dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan
lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada
pasien, sehingga didapatkan terapi yang tepat, efektif dan aman.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Pustaka
Appel LJ et al. Effects Of Comprehensive Lifestyle Modification On Blood Pressure Control: Main Results
Of The Premier Clinical Trial. JAMA 2003;289:2083-2093.
American Pharmacist Association . 2008. Drug Information Handbook 17th edition. Amerika : Lexi-Comp
ALLHAT Officers and Coordinators for the ALLHAT Coolaborative Research Group. Major Outcomes in high-
risk hypertensive patients randomized to angiotensin-converting enzyme inhibitor or calcium
channel blocker vs diuretic. The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart
Attack Trial. JAMA 2002;288:2981-2997.
Bales A. Hypertensive Crisis: How To Tell If It’s An Emergency or Urgency. Postgrad med 1999;105:119-
126.
Bakri, S., Suhardjono, J., dan Djafar., 2001, Hipertensi pada Keadaan - keadaan Khusus, dalam S Suyono,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-3, Universitas Indonesia, Jakarta, pp.483-487.
Chrysant SG. Fixed Low-Dose Drug Combination for the Treatment of Hypertension. Arch Fam Med
1998;7:370-376.
Anonim, 2004, Keputusan Menkes RI nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J.Fam Pract 2001;50:707-712.
Departemen Kesehatan, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi, Direktur Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Jakarta.
Diuretic versus alpha-blocker as first-step antihypertensive therapy: Final results from the
Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatments to Prevent Heart Attack Tria (ALLHAT).
Hypertension 2003;42:239-246.
Ernst, F. R. and A. J. Grizzle. (2001). Drug-Related Morbidity and Mortality: Updating the Cost-of-Illness
Model. J Am Pharm Assoc,Vol. 41, No. 2: 192-199.
Garcao, J. A. and J. Cabrita. (2002). Evaluation of a Pharmaceutical Care Program for Hypertensive
Patients in Rural Portugal. J Am Pharm Assoc, 42: 858–864.
Hardman, J. G., dan Limbird, L. E., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, pp.735-760.
Gunawan, dkk., 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.
Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And Control Of Hypertension In The
United States, 1998 – 2000. JAMA 2003;290:199-206.
He J et al. Long-Term Effects Of Weight Loss And Dietary Sodium Reduction On Incidence Of
Hypertension. Hypertension 2000;35:544-549.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Medscape.com. online april 2018
http://www.medscape.com/druginfo/drugintercheker.
Drugs Interaction Checker. Charner Multum, IncDenver, CO. http://www.drugs.com/. Diakses April 2018.
J Hypertens World Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines for the
Management of Hypertension, 1999.
Kamso S., Nutritional Aspects of Hypertension in the Indonesian El-derly, Ph.D. thesis University of
Indonesia, Jakarta, 2000.
Knapp HR., Nutritional Aspects of Hypertension. In : Ziegler EE, Filer LJ, eds. Present Knowledge in
Nutrition, Seventh edition, ILSI Press, Washington, 1996 : 438 – 444.
Moerdowo RM, Masalah Hipertensi, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1984.
Oparil S et al. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 2003;139:761-776.
Roger, V. L., et all. (2012). Heart Disease and Stroke Statistics-2012 Update: A Report From the American
Heart Association. Circulation, 125: 2-220.
Rahardjo JP., “Penatalaksanaan Hipertensi Terkini dan Peranannya Dalam Mencegah Penyakit Jantung
Koroner. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular”, Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Setiawati A., Bustami Z., Antihipertensi Dalam : Famakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi keempat, Gaya Baru, Jakarta, 2001.
UK Prospective Diabetes Study Group. Efficacy Of Atenolol And Captopril In Reducing Risk Of
Macrovascular And Microvascular Complications In Type 2 Diabetes:UKPDS 39. Br Med J
1998;317:713-720.
Vasan RS et al, Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of Cardiovascular Disease, NEJM
2001;345:1291-1297.
Wijk, B. L. G. V., O. H. Klungel, E. R. Heerdink and A. D. Boer. (2005). Rate and Determinants of 10-Year
Persistence with Antihypertensive Drugs. J Hypertens, 23 : 2101–2107.
World Health Organization (WHO) / International Society of Hypertension Statement on Management of
Hypertension. J Hypertens 2003;21:1983-1992
Wing LM et al. A Comparison Of Outcomes With Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors And Diuretics
For Hypertension In The Elderly. N Eng J Med 2003;348: 583-592.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PerMenKes) No.58. 2014. Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Sweetman, C Sean. Martindale the Complete Drug References, Thirty-Sixth Edition. London :
Pharmaceutical Press.
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yoe, Ben. 2012. MIMS (Master Index of Medical Specialities) Edisi Bahasa Indonesia, Volume 13. Jakarta :
PT Bhuana Ilmu Populer.
Dwi, Sri Handayani., Rolan, Rusli dan Arsyik, Ibrahim. 2015. Analisis Karakteristik dan Kejadian Drugs
Related Problems pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Temindung Samarinda. Jurnal Sains dan
Kesehatan Vol 1 No.2 hal 75-81.
Baxter, Karen. 2008. Stockley’s Drug Interaction. Pharmaceutical Press: London.
U.S Departement of Health and Human Service. 2003. JNC VII. National Institutes of Health.
WHO. 2012. World Health Statistic.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Surat Permohonan Data dan Izin Penelitian Dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi
Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Protokol Pengobatan Pasien Hipertensi di Rumah Sakit “X” Jakarta
RUMAH SAKIT X
JAKARTA
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
NAMA PENYAKIT: HIPERTENSI EMERGENSI
NO REVISI
01
HALAMAN:
1/2
PERIODE
2012 - 2014
KSM
ILMU PENYAKIT DALAM
1. Pengertian Situasi di mana diperlukan penurunan tekanan darah yang
segera dengan pbat anti hipertensi parenteral karena
adanya kerusakan organ target akut atau progesif.
2. Anamnesa Riwayat hipertensi dan penatalaksanaannya, kepatuhan
minum obat pasien, tekanan darah rata-rata, riwayat
pemakaian obat-obatan simptomatik dan steroid, riwayat
gangguan cerebral, jantung, penglihatan.
3. Pemeriksaan fisik Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut
nadi, bruit pada abdomen, adanya edema pada fundoskopi,
status neurologis.
4. Kriteria diagnosis 4.1 Tekanan Darah Sistolik ≥ 180 mmHg
4.2 Tekanan Darah Diastolik ≥ 120 mmHg
4.3 Disertai adanya keluhan target organ
5. Diagnosis Hipertensi Emergensi
6. Diagnosis Banding 6.1 Hipertensi Maligna Terakselerasi
6.2 Gangguan cerebrovaskuler, Encephalopaty
Hipertensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Pemeriksaan Penunjang 7.1 Darah Perifer Lengkap
7.2 Urine Lengkap
7.3 Ureum, Kreatinin
7.4 Glukosa Darah Sewaktu
7.5 Elektrolit
7.6 EKG
7.7 Pemeriksaan khusus sesuai indikasi
7.8 Rontgen Thorax
7.9 USG Abdomen bila diperlukan
7.10 CT scan bila diperlukan
7.11 MRI bila diperlukan
8. Terapi 8.1 Target sesuai MAP 25%
8.2 Atau diastolic ≤ 110 mmHg
8.3 Pada stroke MAP 20%
8.4 Diuretik
8.5 Vasokonstriktor
8.6 Nitrogliseride
8.7 Diltiazem
8.8 Klonidin
9. Lama Perawatan Tidak bisa ditentukan karena sudah mengenai target organ
10. Edukasi 10.1 Kurangi lemak, rendah garam
10.2 Minum obat teratur
10.3 Kontrol teratur
11. Prognosis Dubia
12. Kepustakaan 12.1 Pedoman Penyakit Dalam RSCM
12.2 Buku Ajar FKUI-RSCM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3
Data Interaksi Obat Pasien Hipertensi
Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara
Periode Juni – Agustus 2016
No Nama
Pasien
Obat Yang Berinteraksi Mekanisme Tingkat Keparahan Jumlah
IO
Keterangan
Major Minor Moderat
1. Simah Clopidogrel + Omeprazole Farmakodinamik √ 1 Penggunaan clopidogrel dan
omeprazole dapat mengurangi
keefektifan clopidogrel dalam
mencegah serangan jantung/stroke.
2. Suroto Spironolactone + losartan
Clopidogrel + omeprazole
Lansoprazole + furosemide
Omeprazole + furosemide
Atorvastatin + omeprazole
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
11 Menggunakan spironolakton
bersama dengan losartan dapat
meningkatkan kadar pottasium
dalam darah.
Penggunaan clopidogrel bersama
dengan omeprazole dapat
mengurangi keefektifan clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Penggunaan lansoprazole bersamaan
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau megnesium
rendah darah.
Penggunaan omeprazole bersamaan
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau megnesium
rendah darah.
Penggunaan atorvastatin bersamaan
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Atorvastatin + lansoprazole
Clopidogrel + lansoprazole
Atorvastatin + clopidogrel
Gliserin + granisetron
Phenolphthalein + granisetron
Furosemide + phenolphthalein
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
dengan omeprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
atorvastatin.
Penggunaan atorvastatin bersamaan
dengan lansoprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
atorvastatin.
Menggunkan clopidogrel bersama
lansoprazole dapat mengurangi
keefektifan clopidogrel dalam
mencegah serangan jantung atau
stroke.
Penggunaan atorvastatin dan
clopidogrel dapat mengurangi efek
clopidogrel.
Granisetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur
yang mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko akan
meningkat jika pasien memiliki
kadar magnesium atau kalium darah
rendah.
Granisetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur
yang mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko akan
meningkat jika pasien memiliki
kadar magnesium atau kalium darah
rendah.
Menggunakan furosemide bersama
dengan segala jenis obat yang
memiliki efek laksatif, terutama
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam jangka waktu lama, dapat
meningkatkan risiko dehidrasi dan
kelainan elektrolit. Dalam kasus
yang parah, dehidrasi dan kelainan
elektrolit dapat menyebabkan irama
jantung tidak teratur, kejang, dan
masalah ginjal.
3. Subtoni B.
Bakri
Captopril + spironolactone
Captopril + losartan
Spironolactone + losartan
Captopril + HCT
Ondansetron + phenolphthalein
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
13 Mengunakan captopril bersama
spironolakton dapat meningkatkan
kadar kalium dalam darah
(hiperkalemia).
Menggunakan captopril bersama
losartan dapat meningkatkan resiko
efek samping seperti tekanan darah
rendah, gangguan fungsi ginjal dan
kondisi yang disebut hiperkalemia
(pottasium darah tinggi).
Penggunaan spironolaktone bersama
losartan dapat meningkatkan kadar
pottasium dalam darah. Kadar
pottasium yang tinggi dapat
berkembang menjadi kondisi
hiperkalemia. .
Meskipun captopril dengan
hydrochlorothiazide dan gliserin
sering digabungkan bersama,
efeknya mungkin aditif pada
penurunan tekanan darah.
Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Phenolphthalein + HCT
Glyserin + ondansetron
Captopril + glycerin
HCT + glycerin
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
jika pasien memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Menggunakan hydrochlorothiazide
bersama-sama dengan segala jenis
obat yang memiliki efek laksatif
dalam jangka waktu lama, dapat
meningkatkan risiko dehidrasi dan
kelainan elektrolit. Dalam kasus
yang parah, dehidrasi dan kelainan
elektrolit dapat menyebabkan irama
jantung tidak teratur, kejang, dan
masalah ginjal.
Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
jika pasien memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Menggabungkan captopril dan
gliserin memiliki efek aditif untuk
menurunkan tekanan darah.
Menggunakan HCT bersama-sama
dengan obat yang memiliki efek
laksatif dalam jangka waktu lama,
dapat meningkatkan risiko dehidrasi
dan kelainan elektrolit. Dalam kasus
yang parah, dehidrasi dan kelainan
elektrolit dapat menyebabkan irama
jantung tidak teratur, kejang, dan
masalah ginjal.
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HCT + amlodipine
Captopril + amlodipine
Ranitidine + magnesium oxide
Captopril + magnesium oxide
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
√
√
√
√
Efek antihipertensi dari diuretik
amlodipine dan thiazide adalah
aditif.
Calcium channel blockers dan
angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor mungkin memiliki
efek hipotensi tambahan.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral. Mekanisme
ini terkait dengan penurunan
penyerapan lambung dan
bioavailabilitas karena efek penetral
asam.
Pemberian bersama antasid dapat
menurunkan bioavailabilitas oral
kaptopril dan penghambat
angiotensin converting enzyme
(ACE) lainnya karena pengosongan
lambung yang tertunda dan / atau
peningkatan pH lambung.
4. Siti Aminah Ondansetron + magnesium
hydroxide
Ranitidine + aluminum
hydroxide
Farmakokinetik
Farmakokinetik
√
√ 3 Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa. Risiko akan
meningkat jika pasien memiliki
kadar magnesium atau kalium darah
rendah
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ranitidine + magnesium
hidroxide
Farmakokinetik
√
plasma H2 blocker oral.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral.
5. H.
Samsudin
Candesartan + aspirin Farmakodinamik √ 1 Menggunakan candesartan bersama
aspirin dapat mengurangi efek
candesartan dalam menurunkan
tekanan darah. Obat ini juga dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.
6. Aras 0
7. Tjasiyem Pottasium chloride + irbesartan
Clopidogrel + omeprazole
Pentoxifylline + ISDN
Pentoxifylline + amlodipine
Pentoxifylline + irbesartan
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
8 Penggunaan potassium chloride
bersama irbesartan dapat
meningkatkan kadar potassium
dalam darah. Kadar potassium dalam
darah dapat berkembang menjadi
kondisi yang dikenal sebagai
hiperkalemia, yang pada kasus parah
dapat menyebabkan gagal ginjal,
kelumpuhan otot, irama jantung tidak
teratur, dan serangan jantung.
Penggunaan clopidogrel dan
omeprazole dapat mengurangi
keefektifan clopidogrel dalam
mencegah serangan jantung/stroke.
Pentoxifylline dapat meningkatkan
efek penurunan tekanan darah dari
ISDN.
Pentoxifylline dapat meningkatkan
efek penurunan tekanan darah dari
amlodipine.
Pentoxifylline dapat meningkatkan
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Clopidogrel + lansoprazole
Pentoxifylline + clopidogrel
ISDN + omeprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
tekanan darah yang menurunkan efek
irbesartan.
Penggunaan clopidogrel bersama
dengan lansoprazole dapat
mengurangi keefektifan clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Menggunakan pentoxifylline
bersama clopidogrel dapat
meningkatkan resiko pendarahan.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat nitrat oral. Efek
antiangina dapat berkurang, dan
iskemia miokard dapat diperberat.
8. Mardiah
Hamid
Clopidogrel + omeprazole
Simvastatin + amlodipin
Atorvastatin + clopidogrel
Clopidogrel + lansoprazole
Atorvastatin + lansoprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
10 Penggunaan obat clopidogrel
bersama dengan omeprazole dapat
mengurangi efektivitas clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Penggunaan simvastatin bersama
amlodipine dapat meningkatkan
resiko efek samping obat.
Penggunaan atorvastatin dan
clopidogrel secara bersama dapat
mengurangi efek dari clopidogrel.
Penggunaan clopidogrel bersama
lansoprazole secara bersamaan dapat
mengurangi efektivitas clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Menggunakan atorvastatin bersama
dengan lansoprazole dan omeprazole
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Simvastatin + atorvastatin
Simvastatin + omeprazole
Simvastatin + lansoprazole
Omeprazole + atorvastatin
ISDN + omeprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
dapat meningkatkan kadar darah dan
efek atorvastatin.
Menggunakan simvastatin bersama
dengan atorvastatin dapat
meningkatkan resiko kerusakan
saraf, yang merupakan potensi efek
samping.
Menggunakan simvastatin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
dari simvastatin.
Menggunakan simvastatin bersama
dengan lansoprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
dari simvastatin
Menggunakan atorvastatin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
atorvastatin.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat nitrat oral. Efek
antiangina dapat berkurang, dan
iskemia miokard dapat diperberat.
9. Sumiati Metformin + glimepiride Farmakodinamik √ 1 Pemberian glimepiride bersama
metformin dapat berpotensi resiko
hipoglikemia.
10. Bebena
F.W.
Carolina
Ranitidine + metformin
Farmakodinamik
√
4 Menggunakan metformin bersama
dengan ramitidine dapat
meningkatkan efek dari metformin
yang dapat menyebabkan kondisi
yang mengancam nyawa yang
disebut asidosis laktat.
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ranitidine + glimepiride
Metformin + glimepiride
Omeprazole + glimepiride
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
Penggunaan ranitidine bersama
dengan glimepiride dapat
meningkatkan efek glimepiride yang
dapat menyebabkan gula darah
pasien menjadi terlalu rendah.
Pemberian glimepiride bersama
metformin dapat berpotensi resiko
hipoglikemia.
Beberapa inhibitor pompa proton
benzimidazole dapat meningkatkan
konsentrasi sulfonylurea, dan efek
hipoglikemik dapat meningkat.
11. Dulman
Samidjar
Omeprazole + clopidogrel
Alprazolam + Fasorbid
Alprazolam + omeprazole
Alprazolam + losartan
Fasorbid + omeprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
5 Penggunaan clopidogrel bersama
dengan omeprazole dapat
mengurangi keefektifan clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Fasorbid dan alprazolam memiliki
efek tambahan dalam menurunkan
tekanan darah.
Omeprazole dapat meningkatkan
kadar darah dan efek dari
alprazolam.
Penggunaan alprazolam dan losartan
memiliki efek tambahan dalam
menurunkan tekanan darah.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat golongan nitrat oral,
berkurangnya efek antiangina dan
bertambahnya efek iskemia miokard.
12. Achmad
Selamet
Omeprazole + furosemide
Farmakokinetik
√
4 Menggunakan omeprazole bersama
dengan furosemide dapat
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metronidazole + simvastatin
Simvastatin + omeprazole
Metronidazole + ondansetron
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Menggunakan metronidazole
bersama dengan simvastatin dapat
meningkatkan risiko kerusakan saraf,
yang merupakan efek samping
potensial dari kedua obat tersebut.
Menggunakan simvastatin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
simvastatin.
Secara teoritis, pemberian bersama
dengan agen lain yang dapat
memperpanjang interval QT dapat
menghasilkan efek aditif dan
peningkatan risiko aritmia ventrikel
dan kematian mendadak.
13. Oenoes
Sahib
Ranitidine + metformin
Ranitidine + acetaminophen
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
2 Menggunakan metformin bersama
ranitidine dapat meningkatkan efek
dari metformin, yang dapat
menyebabkan kondisi yang
mengancam nyawa yang disebut
asidosis laktat.
Pada penelitian hewan menunjukkan
bahwa ranitidine dapat
mempotensiasi hepatotoksisitas
acetaminophen
14. Wirendro
Sumargo
0
15. Sudiyah Ranitidine + cefditiron
Farmakodinamik
√
3 Penggunaan cefditoren bersama
ranitidine dapat mengurangi asam
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Amlodipin + nobivolol
Ranitidine + parasetamol
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
lambung, ranitidine dapat
menurunkan penyerapan dan tingkat
darah cefditoren dan membuat obat
kurang efektif terhadap infeksi.
Nebivolol dan amlodipine memiliki
efek dalam menurunkan tekanan
darah dan detak jantung.
Ranitidine dapat mempotensiasi
hepatotoksisitas parasetamol.
16. Abd Rahim
Zainuddin
Ondansetron + tramadol
Amlodipine + diclofenac
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
2 Penggunaan ondansetron dan
tramadol secara bersama dapat
mengurangi efek dari tramadol.
Penggunaan amlodipine bersama
dengan diclofenac secara bersama
dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat.
17. Suhartinah Amiodaron + warfarin
Amiodaron + ondansetron
Amlodipine + simvastatin
Simvastatin + amiodarone
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
27 Menggunakan amiodaron bersama
dengan warfarin dapat menyebabkan
pasien mudah berdarah/pendarahan.
Menggunakan amiodaron bersama
dengan ondansetron dapat
meningkatkan risiko irama jantung
yang tidak teratur yang mungkin
serius dan berpotensi mengancam
jiwa.
Menggabungkan amlodipine dan
simvastatin secara signifikan dapat
meningkatkan tingkat darah
simvastatin, ini dapat meningkatkan
risiko efek samping.
Menggabungkan amiodarone dan
simvastatin secara signifikan dapat
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Warfarin + aspirin
Magnesium oxside + aspirin
Warfarin + vitamin B komplek
Ondansetron + phenolphthalein
Amiodarone + phenolphthalein
Warfarin + ranitidine
Gliserin + ondansetron
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
√
√
meningkatkan kadar darah
simvastatin, ini dapat meningkatkan
risiko efek samping.
Menggunakan warfarin bersama
dengan aspirin dapat menyebabkan
pasien lebih mudah berdarah.
Menggunakan magnesium oksida
bersama dengan aspirin dapat
menurunkan efek aspirin.
Suplemen vitamin yang mengandung
vitamin K dapat mengurangi
efektivitas warfarin.
Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
jika pasien memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Amiodarone dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
jika pasien memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Menggunakan warfarin bersama
dengan ranitidine dapat
menyebabkan pasien lebih mudah
berdarah.
Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Levodopa + simvastatin
Warfarin + suklarfat
Amiodarone + levodopa
Warfarin + ubiquinone
Amiodarone + glyserin
Aspirin + amlodipine
Levodopa + amlodipine
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmaokinetik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
√
√
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
jika pasien memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Menggunakan levodopa bersama
dengan simvastatin dapat
meningkatkan risiko kerusakan saraf,
yang merupakan efek samping
potensial dari kedua obat.
Menggunakan warfarin bersama
dengan sukralfat dapat mengurangi
efek warfarin.
Menggunakan amiodarone bersama
dengan levodopa dapat
meningkatkan risiko kerusakan saraf,
yang merupakan efek samping
potensial dari kedua obat.
Kombinasi warfarin dan ubiquinone
dapat mengurangi efek dari warfarin.
Amiodarone dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, risiko meningkat
jika Anda memiliki kadar
magnesium atau kalium darah
rendah.
Kombinasi aspirin dan amlodipine
dapat menyebabkan tekanan darah
akan meningkat.
Levodopa dan amlodipine memiliki
efek tambahan dalam menurunkan
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Amiodarone + bisoprolol
Levedopa + bisoprolol
Bisoprolol + amlodipine
Suklarfat + bisoprolol
Ranitidine + magnesium oxide
Aspirin + bisoprolol
Levedopa + magnesium oxide
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
√
tekanan darah.
Menggunakan amiodarone bersama
dengan bisoprolol dapat
menyebabkan peningkatan efek
samping.
Levodopa dan bisoprolol memiliki
efek tambahan dalam menurunkan
tekanan darah Anda.
Bisoprolol dan amlodipine memiliki
efek tambahan dalam menurunkan
tekanan darah dan detak jantung.
Pemberian secara bersamaan dengan
antasida aluminium dan magnesium
dapat menurunkan efek dari oral
beta-blocker.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral. Mekanisme
ini terkait dengan penurunan
penyerapan lambung dan
bioavailabilitas karena efek penetral
asam.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek dari antihipertensi
dari beta-blocker.
Antasida dan beberapa sediaan oral
aluminium, kalsium, atau magnesium
mengandung dapat meningkatkan
penyerapan levodopa. Mekanisme ini
terkait dengan peningkatan pH
lambung dan / atau penurunan waktu
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bisoprolol + magnesium oxide
Warfarin + simvastatin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
pengosongan lambung.
Pemberian bersamaan dengan
antasida aluminium dan magnesium
dapat menurunkan efek dari oral
beta-blocker.
Simvastatin dapat meningkatkan
respon antikoagulan terhadap
warfarin.
18. Nasrullah Aspirin + candesartan Farmakodinamik
√
1 Menggunakan candesartan bersama
dengan aspirin mengurangi efek
candesartan dalam menurunkan
tekanan darah, selain itu, kedua obat
ini dapat mempengaruhi fungsi
ginjal.
19. Sugeng
Warsono
Aspirin + digoxin
Furosemide + digoxin
Furosemide + omeprazole
Digoxin + omeprazole
Furosemide + aspirin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
7 Menggunakan aspirin bersama
dengan digoxin dapat meningkatkan
efek dari digoxin.
Menggunakan furosemide bersama
dengan digoxin dapat meningkatkan
efek dari digoxin.
Menggunakan omeprazole bersama
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Menggunakan digoxin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan efek digoxin.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
dapat menurunkan respon diuretik
dan natriuretik terhadap loop
diuretik.
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aspirin + omeprazole
Isosorbide dinitrate +
omeprazole
Farmakokinetik
Farmakodinamik
√
√
Pemberian bersama dengan inhibitor
pompa proton dapat menurunkan
bioavailabilitas oral aspirin dan
salisilat lainnya.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat nitrat oral. Efek
antiangina dapat berkurang, dan
iskemia miokard dapat meningkat.
20. Meatun Ceftriaxone + furosemid
Ranitidine + sodium bikarbonat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
2 Ceftriaxone dapat menyebabkan
masalah ginjal, dan
menggunakannya dengan furosemide
dapat meningkatkan risiko itu.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral. Mekanisme
ini terkait dengan penurunan
penyerapan lambung dan
bioavailabilitas karena efek penetral
asam.
21. Muharni Ceftriaxone + furosemide
Cefixime + furosemide
Ranitidine + glimepiride
Furosemide + glimepiride
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakikinetik
Farmakodinamik
√
√
√
√
4 Ceftriaxone jika digunakan dengan
furosemide dapat menyebabkan
masalah ginjal.
Cefixime jika digunakan dengan
furosemide dapat menyebabkan
masalah ginjal.
Menggunakan ranitidine bersama
dengan glimepiride dapat
meningkatkan efek dari glimepiride,
yang dapat menyebabkan gula darah
menjadi terlalu rendah.
Furosemide dapat mengganggu
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kontrol glukosa darah dan
mengurangi efektivitas glimepiride.
22. Rita
Rostika
Omeprazole + clopidogrel
Atorvastatin + omeprazole
Atorvastatin + clopidogrel
ISDN + omeprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
4 Menggunakan clopidogrel bersama
dengan omeprazole dapat
mengurangi efektivitas clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Menggunakan atorvastatin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
atorvastatin.
Menggunakan atorvastatin dan
clopidogrel dapat mengurangi efek
dari clopidogrel.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat nitrat oral. Efek
antiangina dapat berkurang, dan
iskemia miokard dapat diperberat.
23. Sulasmi Warfarin + clopidogrel
Warfarin + heparin + aspirin
Aspirin + clopidogrel
Warfarin + lansoprazole
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
20 Mengunakan warfarin bersama
clopidogrel dapat meningkatkan
resiko komplikasi pendarahan.
Mengunakan warfarin, heparin dan
aspirin secara bersamaan dapat
menyebabkan pasien berdarah
dengan mudah.
Menggunakan aspirin bersama
clopidogrel dapat menyebabkan
pendarahan yang tidak biasa, nyeri
perut bawah, kelemahan, dan
munculnya kotoran berwarna hitam.
Menggunakan warfarin bersama
dengan lansoprazole dapat
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Digoxin + bisoprolol
Furosemid + bisoprolol
Lansoprazole + digoxin
Aspirin + digoxin
Propranolol + digoxin
Clopidogrel + lansoprazole
Propranolol + furosemid
Lansoprazole + furosemid
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
√
√
√
meningkatkan resiko pendarahan
dalam kasus yang jarang terjadi.
Menggunakan digoxin bersama
dengan bisoprolol dapat
memperlambat detak jantung dan
menyebabkan peningkatan efek
samping.
Menggunakan furosemide dan
bisoprolol bersama-sama dapat
menurunkan tekanan darah dan
memperlambat denyut jantung.
Menggunakan lansoprazole bersama
digoxin dapat meningkatkan efek
digoxin.
Pengunaan aspirin dan digoxin dapat
meningkatkan kadar digoxin.
Menggunakan propranolol bersama
digoxin dapat memperlambat detak
jantung dan menyebabkan
peningkatan efek samping.
Menggunakan clopidogrel bersama
dengan lansoprazole dapat
mengurangi keefektifan clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Menggunakan propranolol dan
furosemid bersama-sama dapat
menurunkan tekanan darah dan
memperlambat denyut jantung.
Menggunakan lansoprazole
bersamaan dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemide + digoxin
Heparin + clopidogrel
Aspirin + lansoprazole
Aspirin + bisoprolol
Digoxin + heparin
Furosemide + aspirin
Propranolol + aspirin
Warfarin + propranolol
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
√
√
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Menggunakan furosemide dan
digoxin bersamaan dapat
meningkatkan efek dari digoxin.
Clopidogrel tidak mengubah efek
antikoagulan yang diinduksi heparin.
Pemberian bersama dengan inhibitor
pompa proton dapat menurunkan
bioavailabilitas oral aspirin dan
salisilat lainnya.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek antihipertensi dari
beta-blocker.
Pemberian digoxin bersama heparin
dapat meningkat pada pasien uremik
setelah pemberian heparin setelah
hemodialisa.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
dapat menurunkan respon diuretik
dan natriuretik terhadap loop
diuretik.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek antihipertensi dari
beta-blocker.
Beberapa beta-blocker oral dapat
meningkatkan tingkat serum
antikoagulan oral dan meningkatkan
efek antikoagulan.
24. Arief
Taufiq
Ramipril + spironolactone
Farmakokinetik
√
7 Penggunaan ramipril bersama
spironolakton dapat meningkatkan
kadar pottasium dalam darah
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemide + ramipril
Omeprazole + simvastatin
ISDN + ramipril
Magnesium oxide + aspirin
Furosemide + laxadine
Omeprazole + furosemid
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
√
(hiperkalemia), terutama jika
mengalami dehidrasi atau memiliki
penyakit ginjal, diabetes, gagal
jantung, atau orang dewasa yang
lebih tua.
Meskipun furosemide, gliserin dan
ramipril sering dikombinasikan
bersamaan, efeknya mungkin aditif
pada penurunan tekanan darah.
Penggunaan omeprazole secara
bersamaan dengan simvastatin dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
simvastatin. Hal ini dapat
meningkatkan resiko efek samping.
Pengunaan ISDN dan ramipril
bersama-sama dapat menurunkan
tekanan darah dan memperlambat
denyut jantung.
Menggunakan magnesium oksida
bersama aspirin dapat mengurangi
efek aspirin.
Mengunakan furosemide bersama
dengan obat apapun yang memiliki
efek pencahar, terutama dalam waktu
lama dapat meningkatkan resiko
dehidrasi dan kelainan elektrolit.
Penggunaan omeprazole bersamaan
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia atau magnesium
darah rendah.
25. Masrupi Ceftriaxone + furesemid Farmakodinamik √ 5 Menggunakan ceftriaxone dapat
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aspirin + digoxin
Furosemide + digoxin
Aspirin + clopidogrel
Furosemide + aspirin
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
menyebabkan masalah ginjal, dan
menggunakan dengan furosemide
dapat meningkatkan resiko tersebut.
Menggunakan aspirin bersamaan
dengan digoxin dapat meningkatkan
kadar digoxin.
Furosemide dan digoxin sering
digunakan bersamaan namun
mungkin memerlukan evaluasi kadar
digoxin, pottasium, dan magnesium
lebih sering.
Penggunaan aspirin dan clopidogrel
dapat menyebabkan pendarahan yang
tidak biasa, nyeri perut yang parah,
kelemahan, dan munculnya kotoran
berwarna hitam.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
dapat menurunkan respon diuretik
dan natriuretik terhadap loop
diuretik.
26. Achmad
Buhori
Ceftriaxone + furosemide
Lansoprazole + furosemide
Furosemid + ramipril
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
√
√
√
10 Menggunakan ceftriaxone dapat
menyebabkan masalah ginjal, dan
menggunakannya dengan furosemide
dapat meningkatkan resiko tersebut.
Menggunakan lansoprazole dengan
furosemide dapat menyebabkan
kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Furosemide dan ramipril jika
digunakan bersamaan efeknya
mungkin aditif pada penurunan
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemid + bisoprolol
Levofloxacin + ondansetron
Aspirin + ramipril
Aspirin + levofloxacin
Aspirin + bisoprolol
Aspirin + lansoprazole
Furosemide + aspirin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
√
tekanan darah.
Menggunakan furosemide dan
bisoprolol bersama-sama dapat
menurunkan tekanan darah dan
memperlambat denyut jantung.
Menggunakan levofloxacin
bersamaan dengan ondanstron dapat
meningkatkan resiko irama jantung
tidak teratur dan mungkin serius dan
berpotensi mengancam jiwa.
Pemberian aspirin dapat mengurangi
efek vasodilator dan hipotensi dari
ACE inhibitor.
Levofloxacin dapat menyebabkan
efek samping sistem saraf pusat
seperti tremor, gerakan otot tak
sadar, kecemasan, kebingungan,
depresi, halusinasi atau kejang, dan
menggabungkannya dengan obat lain
yang juga dapat mempengaruhi
sistem saraf pusat seperti aspirin
dapat meningkatkan risiko tersebut.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek antihipertensi dari
beta-blocker.
Pemberian bersama dengan inhibitor
pompa proton dapat menurunkan
bioavailabilitas oral aspirin dan
salisilat lainnya.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
dapat menurunkan respon dari
diuretik dan natriuretik terhadap loop
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diuretik.
27. Kartini 0
28. Elliwati Ondansetron + magnesium
oxide
Ranitidine + aluminum
hydroxide
Ranitidine + magnesium
hydroxide
√
√
√ 3 Ondansetron dapat menyebabkan
irama jantung yang tidak teratur yang
mungkin serius dan berpotensi
mengancam jiwa, meskipun itu
adalah efek samping yang relatif
jarang. Risiko meningkat jika
penderita memiliki kadar magnesium
atau kalium darah rendah.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral. Mekanisme
ini terkait dengan penurunan
penyerapan lambung dan
bioavailabilitas karena efek penetral
asam.
Antasida oral dan beberapa garam
aluminium, kalsium, dan magnesium
dapat menurunkan konsentrasi
plasma H2 blocker oral. Mekanisme
ini terkait dengan penurunan
penyerapan lambung dan
bioavailabilitas karena efek penetral
asam.
29. Fatmawati Captopril + naproxen
Farmakodinamik
√
4 Menggunakan captopril bersama
dengan naproxen dapat mengurangi
efek captopril dalam menurunkan
tekanan darah. Selain itu, obat-
obatan ini dapat mempengaruhi
fungsi ginjal.
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Naproxen + amlodipine
Captopril + amlodipine
Metronidazole + ondansetron
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√ Kombinasi dari naproxen dan
amlodipine dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat.
Calcium channel blockers dan
angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor memiliki efek
hipotensi tambahan.
Pemberian metronidazole dan
ondansetron bersama menghasilkan
efek aditif dan peningkatan risiko
aritmia ventrikel termasuk kematian
mendadak.
30. Tito Ramipril + spironolactone
Ceftriaxone + furosemide
Furosemid + ramipril
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
3 Menggunakan ramipril bersama
dengan spironolactone dapat
meningkatkan kadar kalium dalam
darah (hiperkalemia), terutama jika
mengalami dehidrasi atau memiliki
penyakit ginjal, diabetes dan gagal
jantung.
Antibiotik cephalosporin seperti
ceftriaxone dapat menyebabkan
masalah ginjal, dan
menggunakannya dengan furosemide
dapat meningkatkan risiko tersebut.
Meskipun furosemide dan ramipril
sering digabungkan bersama,
efeknya adalah aditif untuk
menurunkan tekanan darah.
31. Sarnu Spironolactone + candesartan
√ 1 Menggunakan candesartan bersama
dengan spironolactone dapat
meninkatkan kadar potasium dalam
darah. Kadar kalium yang tinggi
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat berkembang menjadi suatu
kondisi yang dikenal hiperkalemia,
pada kasus yang parah dapat
menyebabkan gagal ginjal,
kelumpuhan total, ritme jantung
tidak terartur dan serangan jantung.
32. Hartanto Captopril + spironolactone
Captopril + losartan
Spironolactone + losartan
√
√
√
6 Menggunakan captopril bersama
dengan spironolactone dapat
meningkatkan kadar kalium dalam
darah (hiperkalemia), terutama jika
Anda mengalami dehidrasi atau
memiliki penyakit ginjal, diabetes
dan gagal jantung.
Menggunakan captopril bersama
dengan losartan dapat meningkatkan
risiko efek samping seperti tekanan
darah rendah, gangguan fungsi
ginjal, dan kondisi yang disebut
hiperkalemia (kalium darah tinggi).
Dalam kasus yang parah,
hiperkalemia dapat menyebabkan
gagal ginjal, kelumpuhan otot, ritme
jantung yang tidak teratur, dan
serangan jantung.
Menggunakan spironolactone
bersama dengan losartan dapat
meningkatkan kadar potasium dalam
darah. Kadar kalium yang tinggi
dapat berkembang menjadi suatu
kondisi yang dikenal sebagai
hiperkalemia, yang pada kasus yang
parah dapat menyebabkan gagal
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Captopril + hydrochorothiazide
Captopril + amlodipine
Amlodipine +
hydrochorothiazide
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
ginjal, kelumpuhan otot, ritme
jantung yang tidak teratur, dan
serangan jantung.
Captopril dan hydrocholothiazide
jika digabungkan bersama, efeknya
aditif untuk menurunkan tekanan
darah.
Calcium channel blockers dan
angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor memiliki efek
hipotensi. Meskipun obat ini sering
digunakan secara aman, pemantauan
tekanan darah sistemik dianjurkan
selama pemberian obat ini secara
bersama.
Efek antihipertensi dari diuretik
amlodipine dan thiazide adalah
aditif.
33. Tomi Ondansetron + tramadol
Amlodipine + diclofenac
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
2 Penggunaan ondansetron dan
tramadol secara bersama dapat
mengurangi efek dari tramadol.
Penggunaan amlodipine bersama
dengan diclofenac secara bersama
dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat.
34. Supriyadi Ramipril + spironolactone
√
7 Penggunaan ramipril bersama
spironolakton dapat meningkatkan
kadar pottasium dalam darah
(hiperkalemia), terutama jika
mengalami dehidrasi atau memiliki
penyakit ginjal, diabetes, gagal
jantung, atau orang dewasa yang
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemide + ramipril
Omeprazole + simvastatin
ISDN + ramipril
Magnesium oxide + aspirin
Furosemide + laxadine
Omeprazole + furosemide
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
√
√
√
√
lebih tua.
Meskipun furosemide, gliserin dan
ramipril sering dikombinasikan
bersamaan, efeknya mungkin aditif
pada penurunan tekanan darah.
Penggunaan omeprazole secara
bersamaan dengan simvastatin dapat
meningkatkan kadar darah dan efek
simvastatin. Hal ini dapat
meningkatkan resiko efek samping.
Pengunaan ISDN dan ramipril
bersama-sama dapat menurunkan
tekanan darah dan memperlambat
denyut jantung.
Menggunakan magnesium oksida
bersama aspirin dapat mengurangi
efek aspirin.
Mengunakan furosemide bersama
dengan obat apapun yang memiliki
efek pencahar, terutama dalam waktu
lama dapat meningkatkan resiko
dehidrasi dan kelainan elektrolit.
Penggunaan omeprazole bersamaan
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia atau magnesium
darah rendah.
35. Anggi Warfarin + clopidogrel
Warfarin + heparin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
21 Mengunakan warfarin bersama
clopidogrel dapat meningkatkan
resiko komplikasi pendarahan.
Mengunakan warfarin dan heparin
secara bersamaan dapat
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Warfarin + aspirin
Aspirin + clopidogrel
Warfarin + lansoprazole
Digoxin + bisoprolol
Furosemide + bisoprolol
Lansoprazole + digoxin
Aspirin + digoxin
Propranolol + digoxin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
√
√
menyebabkan pasien berdarah
dengan mudah.
Mengunakan warfarin dan heparin
secara bersamaan dapat
menyebabkan pasien berdarah
dengan mudah.
Menggunakan aspirin bersama
clopidogrel dapat menyebabkan
pendarahan yang tidak biasa, nyeri
perut bawah, kelemahan, dan
munculnya kotoran berwarna hitam.
Menggunakan warfarin bersama
dengan lansoprazole dapat
meningkatkan resiko pendarahan
dalam kasus yang jarang terjadi.
Menggunakan digoxin bersama
dengan bisoprolol dapat
memperlambat detak jantung dan
menyebabkan peningkatan efek
samping.
Menggunakan furosemide dan
bisoprolol bersama-sama dapat
menurunkan tekanan darah dan
memperlambat denyut jantung.
Menggunakan lansoprazole bersama
digoxin dapat meningkatkan efek
digoxin.
Pengunaan aspirin dan digoxin dapat
meningkatkan kadar digoxin.
Menggunakan propranolol bersama
digoxin dapat memperlambat detak
jantung dan menyebabkan
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Clopidogrel + lansoprazole
Propranolol + furosemide
Lansoprazole + furosemide
Furosemide + digoxin
Heparin + clopidogrel
Aspirin + lansoprazole
Aspirin + bisoprolol
Digoxin + heparin
Furosemide + aspirin
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
√
√
√
peningkatan efek samping.
Menggunakan clopidogrel bersama
dengan lansoprazole dapat
mengurangi keefektifan clopidogrel
dalam mencegah serangan jantung
atau stroke.
Menggunakan propranolol dan
furosemide bersama-sama dapat
menurunkan tekanan darah dan
memperlambat denyut jantung.
Menggunakan lansoprazole
bersamaan dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Menggunakan furosemide dan
digoxin bersamaan dapat
meningkatkan efek dari digoxin.
Clopidogrel tidak mengubah efek
antikoagulan yang diinduksi heparin.
Pemberian bersama dengan inhibitor
pompa proton dapat menurunkan
bioavailabilitas oral aspirin dan
salisilat lainnya.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek antihipertensi dari
beta-blocker.
Pemberian digoxin bersama heparin
dapat meningkat pada pasien uremik
setelah pemberian heparin setelah
hemodialisa.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Propranolol + aspirin
Warfarin + propranolol
Farmakodinamik
√
√
dapat menurunkan respon diuretik
dan natriuretik terhadap loop
diuretik.
Dosis salisilat yang tinggi dapat
menurunkan efek antihipertensi dari
beta-blocker.
Beberapa beta-blocker oral dapat
meningkatkan tingkat serum
antikoagulan oral dan meningkatkan
efek antikoagulan.
36. Elizar Ranitidine + cefditiron
Amlodipine + nobivolol
Ranitidine + parasetamol
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
3 Penggunaan cefditoren bersama
ranitidine dapat mengurangi asam
lambung, ranitidine dapat
menurunkan penyerapan dan tingkat
darah cefditoren dan membuat obat
kurang efektif terhadap infeksi.
Nebivolol dan amlodipine memiliki
efek dalam menurunkan tekanan
darah dan detak jantung.
Ranitidine dapat mempotensiasi
hepatotoksisitas parasetamol.
37. Mislita 0
38. Sutasmini Candesartan + aspirin Farmakodinamik √ 1 Menggunakan candesartan bersama
aspirin dapat mengurangi efek
candesartan dalam menurunkan
tekanan darah. Obat ini juga dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.
39. Neneng Metformin + glimepiride √ 1 Pemberian glimepiride bersama
metformin dapat berpotensi resiko
hipoglikemia.
40. Siti
Maryam
Aspirin + digoxin
Farmakodinamik
√
7 Menggunakan aspirin bersama
dengan digoxin dapat meningkatkan
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Furosemide + digoxin
Furosemide + omeprazole
Digoxin + omeprazole
Furosemide + aspirin
Aspirin + omeprazole
Isosorbide dinitrate +
omeprazole
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
√
√
√
√
efek dari digoxin.
Menggunakan furosemide bersama
dengan digoxin dapat meningkatkan
efek dari digoxin.
Menggunakan omeprazole bersama
dengan furosemide dapat
menyebabkan kondisi yang disebut
hypomagnesemia, atau magnesium
darah rendah.
Menggunakan digoxin bersama
dengan omeprazole dapat
meningkatkan efek digoxin.
Salisilat dalam dosis anti-inflamasi
dapat menurunkan respon diuretik
dan natriuretik terhadap loop
diuretik.
Pemberian bersama dengan inhibitor
pompa proton dapat menurunkan
bioavailabilitas oral aspirin dan
salisilat lainnya.
Omeprazole dapat menghambat
masuknya obat nitrat oral. Efek
antiangina dapat berkurang, dan
iskemia miokard dapat meningkat.
41. Intan
Suryani
Ranitidine + cefditiron
Amlodipine + nobivolol
Farmakodinamik
Farmakodinamik
√
√
3 Penggunaan cefditoren bersama
ranitidine dapat mengurangi asam
lambung, ranitidine dapat
menurunkan penyerapan dan tingkat
darah cefditoren dan membuat obat
kurang efektif terhadap infeksi.
Nebivolol dan amlodipine memiliki
efek dalam menurunkan tekanan
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ranitidine + parasetamol
Farmakodina
mik
√
darah dan detak jantung. Pasien
mungkin akan mengalami sakit
kepala, pusing, pening, pingsan, dan
/ atau perubahan denyut nadi atau
detak jantung.
Ranitidine dapat mempotensiasi
hepatotoksisitas parasetamol.
42. Suparmi Ondansetron + tramadol
Amlodipine + diclofenac
Farmakodinamik
Farmakokinetik
√
√
2 Penggunaan ondansetron dan
tramadol secara bersama dapat
mengurangi efek dari tramadol.
Penggunaan amlodipine bersama
dengan diclofenac secara bersama
dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat.