Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

14
Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 13 Volume 2, No 1, Desember 2020 (13-26) e-ISSN 2716-0556 http://sttikat.ac.id/e-journal/index.php/magnumopus p-ISSN 2502-2156 JURNAL TEOLOGI DAN KEPEMIMPINAN KRISTEN Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus Hanny Setiawan 1 , Joseph Christ Santo 2 1, 2 Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup, Surakarta, Jawa Tengah 1 [email protected], 2 [email protected] Abstract Oneness Pentecostalism's theological position in the orthodoxy faith is arguable. Even though the general position has put the stream of pentecostal movement into heretical teaching, but their presence among mainstream denominations are common. Meaning, the oneness of people is mixed into the other denominations, and among local churches, they have treated just like the other denomination traditions. This article argues that Oneness is indeed a heretical sect. To support this thesis, the historical background for both the origin of the movement and the review of the current case of Joshua B. Tewuh and Bethel Church of Indonesia will be provided. This article's findings in the possible misinterpretation of W.H. Offiler position in Oneness will be described as important evidence between GBI and Bethel Temple traditions. The theological position of the Oneness, in addition, will be surveyed in detail to provide a framework of thought of its core doctrines. The survey will be focused on Christology position includes the similarity with other heretic teachings of modalism and Sebelius. In conclusion, this article will present the influence of historical and theological understanding of Oneness in pentecostal- affiliated Indonesian Churches. Keywords: christology; Jesus only; modalism; oneness; oneness pentecostalism; sabelianism; Trinity Abstrak Posisi teologis Oneness Pentecostalism dalam iman ortodoks menjadi perdebatan. Meskipun posisi umum ada yang menyatakan bahwa salah satu aliran pergerakan Pentakosta ini termasuk heretik (bidat), tapi kehadiran mereka di antara denominasi-denominasi arus utama tidak asing. Artinya, pengikut Oneness bercampur dengan denominasi lain, dan di antara gereja-gereja lokal mereka diperlakukan sebagai tradisi denominasi yang lain, seperti tidak ada bedanya. Artikel ini berargumen bahwa Oneness adalah sekte heretik. Untuk mendukung tesis ini, latar belakang sejarah dari asal pergerakan, dan kajian dari kasus terkini Joshua B. Tewuh dan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengenai isu ini akan dibicarakan. Penemuan-penemuan tentang ke- mungkinan misinterpretasi dari posisi W. H. Offiler akan ditunjukkan sebagai bukti-bukti yang menghubung-kan tradisi-tradisi antara GBI dan Bethel Temple. Posisi teologis dari Oneness akan diselidiki secara menyeluruh untuk memperlihatkan kerangka pemikiran dari doktrin-doktrin inti yang dipercaya. Penelitian juga melingkupi kesamaan Oneness dengan pemikiran heretik yang lain: modalisme dan sabelianisme. Sebagai kesimpulan, artikel ini menunjukkan pengaruh dari sejarah dan pengertian teologis tentang Oneness kepada gereja-gereja di Indonesia yang ber- afiliasi dengan aliran Pentakosta. Kata kunci: Jesus only; kristologi; pentakostalisme; pentakolisme keesaan; modalisme; sabelianisme; trinitas PENDAHULUAN Pentakolisme Keesaan atau Oneness Pentecolism yang lahir di tahun 1914 sebagai pecahan dari tubuh Sidang Jemaat Allah (Assembly of God) adalah salah satu pemahaman teologis yang tiba-tiba menjadi pembicaraan lagi di Indonesia. Perselisihan yang terjadi tentang doktrin Trinitas antara Sinode Gereja Bethel Indonesia yang mewakili salah satu denominasi Pentakosta terbesar di Indonesia dengan seorang peng-

Transcript of Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Page 1: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 13

Volume 2, No 1, Desember 2020 (13-26) e-ISSN 2716-0556 http://sttikat.ac.id/e-journal/index.php/magnumopus p-ISSN 2502-2156

JURNAL TEOLOGI DAN KEPEMIMPINAN KRISTEN

Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Hanny Setiawan1, Joseph Christ Santo2 1, 2Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup, Surakarta, Jawa Tengah [email protected], [email protected]

Abstract Oneness Pentecostalism's theological position in the orthodoxy faith is arguable. Even though the general position has put the stream of pentecostal movement into heretical teaching, but their presence among mainstream denominations are common. Meaning, the oneness of people is mixed into the other denominations, and among local churches, they have treated just like the other denomination traditions. This article argues that Oneness is indeed a heretical sect. To support this thesis, the historical background for both the origin of the movement and the review of the current case of Joshua B. Tewuh and Bethel Church of Indonesia will be provided. This article's findings in the possible misinterpretation of W.H. Offiler position in Oneness will be described as important evidence between GBI and Bethel Temple traditions. The theological position of the Oneness, in addition, will be surveyed in detail to provide a framework of thought of its core doctrines. The survey will be focused on Christology position includes the similarity with other heretic teachings of modalism and Sebelius. In conclusion, this article will present the influence of historical and theological understanding of Oneness in pentecostal-affiliated Indonesian Churches.

Keywords: christology; Jesus only; modalism; oneness; oneness pentecostalism; sabelianism;

Trinity

Abstrak Posisi teologis Oneness Pentecostalism dalam iman ortodoks menjadi perdebatan. Meskipun posisi umum ada yang menyatakan bahwa salah satu aliran pergerakan Pentakosta ini termasuk heretik (bidat), tapi kehadiran mereka di antara denominasi-denominasi arus utama tidak asing. Artinya, pengikut Oneness bercampur dengan denominasi lain, dan di antara gereja-gereja lokal mereka diperlakukan sebagai tradisi denominasi yang lain, seperti tidak ada bedanya. Artikel ini berargumen bahwa Oneness adalah sekte heretik. Untuk mendukung tesis ini, latar belakang sejarah dari asal pergerakan, dan kajian dari kasus terkini Joshua B. Tewuh dan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengenai isu ini akan dibicarakan. Penemuan-penemuan tentang ke-mungkinan misinterpretasi dari posisi W. H. Offiler akan ditunjukkan sebagai bukti-bukti yang menghubung-kan tradisi-tradisi antara GBI dan Bethel Temple. Posisi teologis dari Oneness akan diselidiki secara menyeluruh untuk memperlihatkan kerangka pemikiran dari doktrin-doktrin inti yang dipercaya. Penelitian juga melingkupi kesamaan Oneness dengan pemikiran heretik yang lain: modalisme dan sabelianisme. Sebagai kesimpulan, artikel ini menunjukkan pengaruh dari sejarah dan pengertian teologis tentang Oneness kepada gereja-gereja di Indonesia yang ber-afiliasi dengan aliran Pentakosta.

Kata kunci: Jesus only; kristologi; pentakostalisme; pentakolisme keesaan; modalisme; sabelianisme; trinitas

PENDAHULUAN Pentakolisme Keesaan atau Oneness Pentecolism yang lahir di tahun 1914 sebagai

pecahan dari tubuh Sidang Jemaat Allah (Assembly of God) adalah salah satu

pemahaman teologis yang tiba-tiba menjadi pembicaraan lagi di Indonesia. Perselisihan

yang terjadi tentang doktrin Trinitas antara Sinode Gereja Bethel Indonesia yang

mewakili salah satu denominasi Pentakosta terbesar di Indonesia dengan seorang peng-

Page 2: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 14

khotbah yang cukup viral menjadi sangat strategis untuk ditelusur akar permasalahan-

nya di Bethel Pentescotal Temple, Seattle, Washington, USA. Sebagai pecahan dari

Assembly of God, Bethel Pentecostal Temple diduga kuat berada pada posisi Oneness,

padahal Gereja Bethel Indonesia berakar dari Bethel Pentecostal Temple.

W. H. Offiler adalah Pendeta Bethel Pentecostal Temple yang mengutus misionari

Van Klaveren dan Groesbeek ke Indonesia, yang dari pelayanan misi Groesbeek lahirlah

pelayanan F.G. Van Gessel di Cepu. Dari pelayanan F.G. Van Gessel akhirnya lahir bebe-

rapa denominasi besar seperti: Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Bethel

Injil Sepenuh (GBIS), dan Gereja Bethel Indonesia (GBI). Formula baptisan air yang

diajarkan F.G. Van Gessel, yang memiliki pola serupa dengan yang diajarkan kelompok

Oneness, adalah isu penting untuk mengerti akar posisi teologi sinode GBI dalam dok-

trin Tritunggal.

Offiler’s theology and practice of baptizing in the name of the Lord Jesus Christ survived the missionary journey to Indonesia and into the continuing practice of GBI. As Thomas (2008) describes it, the formula may vary slightly: “I baptize you in the Name of the Father, the Son and the Holy Spirit, which is the Lord Jesus Christ,” or simply, “the name of the Lord Jesus Christ,” without the Trinitarian name.1

David A. Reed mengakui bahwa isu baptisan dalam nama Yesus yang dipraktikkan GBI

adalah warisan dari Offiler yang mengimplikasikan Oneness.2 Hal ini muncul kembali

melalui apa yang disebut Sinode GBI dengan “Sabelianisme modern”, dengan posisi ber-

beda. Artinya, kalau GBI karena warisan Bethel Temple dulunya dicurigai melakukan

praktik Oneness, melalui surat resminya, GBI mempertahankan ortodoksi Tritunggal

untuk menjawab Pdt. Joshua yang menganut apa yang serupa dengan Oneness.

Formula Baptisan dalam Injil Matius, dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mt. 28:9) menegaskan Allah Tritunggal. Dalam Amanat Agung yang Tuhan Yesus sampaikan,teks asli tidak berbunyi “baptislah mereka dalam nama-Ku” seperti yang dinyatakan di atas. Teks asli bahasa Yunani berbunyi: βαπτιζοντες αὐτους εις τὸ ὄνομα τοῦ Πατρὸς και τοῦ Υἱοῦ και τοῦ῾Αγιου Πνευματος” (Baptizontes autous eis to onoma tou Patros kau tou Huio kai tou Hagiou Pneumatos; Mat. 28:19) yang secara harfiah berarti: membaptis mereka ke dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Tuhan Yesus sendiri dengan memberikan perintah untuk membaptis dalam namaBapa dan Anak dan Roh Kudus, sehingga apa yang disampaikan di atas oleh Sabelianisme modern tersebut jelas keliru.3

Mengerti akar sejarah dari Oneness Pentecostalism, dan pengajaran asli Offiler

adalah dua aspek penelitian artikel ini, untuk memperlihatkan fakta berdasarkan data-

data yang tersaji, bukan hanya dugaan-dugaan karena tradisi. The New International

Dictionary of Pentecostal Charismatic Movements menyatakan Oneness Pentecostalism

sebagai berikut:

A religious movement that emerged in 1914 within the Assemblies of God (AG) stream of the early American pentecostal revival, challenging the traditional Trinitarian doctrine and baptismal practice with a modalistic view of God, a doctrine of the name of Jesus, and an insistence upon rebaptism in the name of the Lord Jesus Christ. It took on organizational form in 1917 as a result of

1David A Reed, “From Bethel Temple, Seattle to Bethel Church of Indonesia:. Missionary Legacy of an

Independent,” in Global Pentecostal Movements: Migration, Mission, and Public Religion, ed. Michael Wilkinson (Leiden, Boston: Brill, 2012), 97.

2Ibid., 102. 3Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia, “Sikap Teologis GBI Terhadap Tritunggal” (Jakarta:

Gereja Bethel Indonesia, 2020), 11.

Page 3: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 15

expulsion from the AG. Originally called the “New Issue” or “Jesus Only,” by 1930 the movement’s self-designation was “JesusName,” “Apostolic,” or “Oneness” pentecostalism (OP).4

Deky Hidnas Yan Nggadas memberikan catatan bahwa meskipun paham Oneness

lahir di 1914, tetapi sejak 1911 Glenn Cook dan Frank Ewart adalah dua orang yang

berpengaruh untuk memulai mempraktikkan gagasan yang sebenarnya sudah muncul di

abad kedua, dan dikutuk Bapa-bapa Gereja.5 Frank dan Cook bukanlah pencetus dari

Oneness, tapi mereka, terutama Frank, sangat terpengaruh oleh R.E. McAlister penginjil

Kanada yang berkhotbah di sebuah retret di Arroyo Seco, LA, pada tahun 1913.6 Khotbah

McAlister merujuk kepada Kisah 19:5, “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka

memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus,” memperlihatkan bahwa bap-

tisan tidak harus dalam formulasi atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus seperti Matius

28:19. Argumen yang diberikan adalah Ketuhanan Yesus Kristus sudah mencakup Bapa,

Anak, dan Roh Kudus.7 McAlister dipengaruhi oleh pemikiran William Durham yang

memulai The New Issue yang membuat perpecahan doktrinal pertama dalam kegerakan

Pentakosta. Pemikiran Durham dalam “pekerjaan selesai di Kalvari” mengubah fokus

dari pemikiran bahwa pekerjaan Roh Kudus dalam konversi, santifikasi, dan baptisan

Roh Kudus kepada “simple Gospel” (Injil Sederhana) yang berfokus kepada kasih

karunia dalam pekerjaan penebusan Yesus. Kristologi Durham ini yang menjadi benih

“kristologi radikal” yang akhirnya memuridkan McAlister dan Frank Ewart.8

Fokus kedua dari artikel ini adalah teologi Offiller, pendeta senior Bethel Temple

Seattle. Terpecahnya Sidang Jemaat Allah sebagai akar dari pergerakan Pentakosta di

Azusa Street dengan kelompok Oneness tidak bisa lagi dihindarkan. Posisi teologi Offiler

terungkap dalam buku God and His Name yang ditulisnya pada tahun 1932. Pemikiran

Offiler yang dituangkan di buku ini menjadi sangat penting untuk melihat pengaruh

pemikirannya terhadap Grosbeek, Van Gessel, dan H.L. Senduk. Berikut kutipan penting

pernyataan Offiler secara literal dari buku tersebut:

Thus the “Fullness of the Godhead Bodily” is always revealed as the Father, the Son, and the Blessed Holy Ghost. Three in manifestation and redemptive operation; One in purpose, power, and love. Moreover, each of these entities which comprise the Godhead, have certain characteristics, manifestations, and ministries which never change. The Father is always the Father. The Son is always the Son, the Holy Spirit is always the Holy Spirit. And it is wonderful to know that these Three are One. (I John 5:7).9

Offiler mengunakan kata manifestation (manifestasi) selanjutnya interchangeable (da-

pat dipertukarkan) dengan personality (pribadi) dalam buku yang sama, “These, then,

are the changeless attributes and characteristics of the Godhead — separate and distinct

in personality — One in the Consummation of Redemption’s plan. Always Three in

manifestation! Always One in marvelous operation!”10

4Ed van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements,

ed. Stanley M. Burgess dan Eduard M. van der Maas (Grand Rapids: Zondervan, 2002), 936. 5Deky Hidnas Yan Nggadas, “Doktrin Tritunggal dan Oneness Pentecostalism,” Verbum Vertatis,

September 2018, https://dekynggadas.wordpress.com/2018/09/13/doktrin-tritunggal-dan-oneness-pentecostalism/.

6David K. Bernard, A History of Christian Doctrine Vol. 3 The Twentieth Century (Hazelwood: Word Aflame Press, 1999), 67.

7Ed van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements, 937.

8Ibid., 936. 9W. H. Offiler, God and His Name, 2nd ed. (Kirkland, WA: Bethel Fellowship International, 2011), 11. 10Ibid., 14.

Page 4: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 16

Meskipun tidak menolak ketiga pribadi Allah, Offiler dengan tegas menolak

penggunaan istilah Trinity atau Tritunggal (Trinitas). Hal in diterangkan Offiler sebagai

berikut:

The word “Trinity” is not in the Bible, and for that reason we are not going to use it, even though it is a very proper word to use in the explanation of the Threefold nature of God. The word Trinity simply means (the union of Three in One) and may be applied to either God or Man, for both are triune in their being. God as Father, Son, and Holy Spirit; and Man as Body, Soul, and Spirit. One is built in the image and likeness of the Other!11

Keunikan pemikiran Offiler ini memperlihatkan dia memiliki posisi ortodoksi dalam

ketritunggalan, tetapi dia memilih menggunakan istilah-istilah yang khusus.

Kemungkinan misinterpretasi posisi teologis Offiler ini tidak bisa dihindarkan karena

jarak, waktu, dan situasi.

Sejarah memperlihatkan pengertian teologis Oneness ini menyentuh gereja-gereja

Pentakosta di Indonesia terutama dari aliran Bethel Temple: GPdI, GBIS, dan GBI.

Meluruskan pengajaran Tritunggal dan Kristologi termasuk doktrin-doktrin ortodoksi

perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana sejarah

Oneness Pentacostalism dan teologi Oneness Pentacostalism.

METODE Penelitian dalam artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif studi pustaka (literature

study) untuk mengumpulkan data, dan juga membuat kerangka teori yang mendukung

tesis utama. Metode deskriptif historis dan kritik komparatif digunakan untuk memper-

oleh titik temu dari pandangan teologis mengenai Oneness Pentecostalism. Ada dua

variabel utama dalam penelitian ini, yaitu sejarah Oneness Pentecostalism dan teologi

Oneness Pentecostalism.

PEMBAHASAN Pembahasan dalam artikel ini disusun dalam empat sub-bahasan. Dimulai dari gam-

baran apa yang terjadi antara Joshua B. Tewuh, DBS dan Sinode GBI, sejarah dan posisi

teologis dari Oneness, teologi W. H. Offiler, dan tinjauan kesalahan-kesalahan utama

Oneness dilihat dari sudut pandang ortodoksi. Setiap sub-bahasan akan menjadi bagian

dari kesimpulan dari artikel ini.

Doktrin Kristologi sudah menjadi pembicaraan sejak awal kekristenan. Formulasi

ortodoksi Kristologi tidak lagi menjadi perdebatan di antara denominasi arus utama.

Tapi, bentuk-bentuk baru yang menjadi manifestasi pemikiran lama kerap terjadi, dan

Sabelianisme Modern adalah salah satu bentuk munculnya kembali dinamikia formulasi

Kristologi dan Trinitas. Dalam pernyataan teologisnya, sinode GBI (Gereja Bethel Indo-

nesia) dengan rinci menerangkan apakah itu Sabelianisme modern, dan memosisi-kan

kembali posisi doktrinal Tritunggal dan Kristologi GBI.12 Meskipun tidak disebut secara

eksplisit, dalam pernyataan sikap teologis GBI dikatakan bahwa “seorang peng-khotbah

yang cukup viral” mengaku mendapatkan pewahyuan baru dari Tuhan mengenai Tri-

tunggal, paragraf yang menyatakan lengkapnya sebagai berikut:

Seorang pengkhotbah di Indonesia yang cukup viral akhir-akhir ini menyatakan bahwa ia mendapatkan pewahyuan mengenai Tritunggal. Pewahyuan tersebut berisikan pemahaman mengenai Tritunggal bahwa Tritunggal merupakan akibat

11 Ibid., 15. 12 Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia, “Sikap Teologis GBI Terhadap Tritunggal,” 3.

Page 5: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 17

eisegesis terhadap Alkitab. Ia menyatakan doktrin Tritunggal bisa masuk kategori hoaks karena tidak ada dalam Alkitab; tidak ada dalil dalam Alkitab. Menurutnya, eksistensi Allah itu Roh dan karenanya hanya 1 (satu) pribadi.13

Sinode GBI yang sudah berdiri 6 Oktober 1970, saat ini sudah berkembang men-

jadi sinode Pentakostal yang besar dan berpengaruh di Indonesia. Meskipun demikan,

untuk menanggapi “seorang pengkotbah yang viral” sampai harus mengeluarkan per-

nyataan sikap teologis yang formal, dan akademis, fenomena ini terjadi karena pengaruh

dari sosia media. Dengan bermodalkan akun-akun sosial media seperti Facebook,

Youtube, Instagram, dan Twitter, seseorang bisa memperoleh konstituen yang signifi-

kan. Fenomena ini harus dicermati gereja-gereja modern, ranah pelayanan untuk mem-

pertanggungjawabkan iman (apologetika) saat ini bentuk dan urgensi sudah sangat

berubah. Kecepatan akses informasi saat ini sudah sangat tinggi, dan semua orang bisa

mengakses informasi yang sama tanpa bisa dicegah di Internet.

Surat 1 Petrus 3:15-16 menegaskan pentingnya setiap saat bersiap sedia untuk

memberikan pertanggungjawaban kepada setiap orang yang memintanya. Pernyataan si-

kap teologis Sinode GBI dapat disebut sebagai bentuk απολογια (apologia) modern. Hal

ini dapat dikatakan sebagai sebuah milestone yang membuat gereja-gereja semakin siap

sedia memberi jawab secara lebih intensif dan masif di era digital. Meskipun tidak ada

nama yang disudutkan, tetapi melalui sosial media jugalah konstituen umum mengeta-

hui nama pengkhotbah yang dirujuk. Berdasarkan surat pengunduran diri yang juga

viral secara daring, nama pengkhotbah itu adalah Joshua B. Tewuh, DBS. Tewuh

menyatakan mundur dari Sinode GBI karena tidak lagi memiliki pandangan teologis

yang sama dengan GBI. Secara khusus, Tewuh menyebutkan perbedaan pandangan

tentang “Bapa, Anak, dan Roh Kudus” sebagai Tiga Pribadi Ke-Allahan (Versi GBI) dan

Tiga Manifestasi Ke-Allah-an (Versi Joshua Tewuh).14 Inilah pemicu bangkitnya perten-

tangan Oneness dan Tritunggal di Indonesia. “Pertempuran” ini mengalami percepatan

eskalasi karena terjadi dalam budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan

percaya “Tauhid” (keesaan Tuhan), yang secara filosofis memiliki konstruksi teori yang

sama dengan Oneness. Kelompok Kristen Oneness disebutkan sebagai Kristen Tauhid.

Secara esensi dengan Oneness memiliki mutasi pemikiran sehingga berbeda dari

Sabelianisme. Lebih jauh konsep Oneness dari Joshua Tewuh bisa disebutkan sebagai

berikut: Bapa yang menjadi manusia; Di Surga tidak ada 3 takhta, sebab itu tidak ada 3

pribadi; Bukan hanya istilahnya, tapi konsep tritunggal juga tidak ada di Alkitab;

Tritunggal memprovokasi agama lain; Mengaku Alkitab sebagai dasar, bukan tritunggal;

Tidak percaya I Yoh 5:7 dapat digunakan sebagai dasar pemikiran tritunggal; Menolak

disamakan dengan Sabelian, dan Jesus Only; Hakikat Pencipta itu dua bukan tiga, yaitu

Roh dan Pribadi; Menolak Matius 28:19-20; Menolak disebut bidat.15

Sinode GBI dalam pernyataan menggunakan kata bidat, bukan perbedaan teologis.

Dalam pembelaannya juga menyebutkan bahwa Sabelianisme pun disebut bidat, yang

berakar pada Modalisme.

Sabelianisme merupakan bidat dalam Gereja Timur yang merupakan bentuk modalisme teologis. Sabelianisme adalah kepercayaan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah tiga mode atau aspek Allah yang berbeda, yang bertentangan dengan pandangan Tritunggal tentang tiga pribadi yang berbeda di dalam ketuhanan.16

13Ibid. 14Joshua Tewuh, Surat Pernyataan Pengunduran Diri dari Sinode GBI, 25 Agustus 2020. 15Ibid. 16 Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia, “Sikap Teologis GBI Terhadap Tritunggal,” 5.

Page 6: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 18

Dalam kesimpulan penutup, Sinode GBI tidak membuka diskusi teologis, tetapi

sebuah keputusan tegas yang menyatakan, “Dari penjabaran ringkas kekeliruan dalam

memahami Tritunggal, maka pandangan yang baru-baru ini mencuat yang dijelaskan di

atas adalah pandangan Sabelianisme modern yang sejak zaman Bapa-bapa Gereja

dinyatakan sebagai bidat.”17

Sejarah dan Teologi Oneness Pentecostalism Keluarnya Oneness dari Assembly of God (Sidang Jemaat Allah) bisa dikatakan sebagai

perpecahan besar dalam gerakan Pentakosta dari aliran Azusa Street (1905-1915). Tahun

1914 menandai pemisahan Oneness dari Asembly of God18, bisa dikatakan Oneness lahir

ketika gerakan Pentakosta modern masih sangat muda. Saat itu Pentakolisme pun

belum terbentuk seperti sekarang. Bukan hanya pergerakannya, tapi secara teologi

Pentakosta (Pentakolisme) berkembang dan bertumbuh dewasa. Disertasi Christopher

Adam Stephenson di Marquette University mengutip Amos Yong, teolog Pentakosta

modern, memperlihatkan bahwa teologi Pentakosta bukan hanya berkembang, tapi juga

sudah memberikan kontribusi kepada teologi global.

In Spirit-Word-Community (2002), Yong develops a theological method and hermeneutic, the internal logic that drives the whole of his theology. His basic contention is that theological method and theological hermeneutics are inherently related and that each is conducted best from a trinitarian perspective. Theo-logical reflection and interpretation involve the constant and inescapable inter-play of Spirit-Word-Community, in which each one conditions the other without taking priority over the other. In theprocess of developing a metaphysic, onto-logy, and epistemology, Yong expounds on the notion of foundational pneu-matology first articulated in Discerning the Spirit(s) and Beyond the Impasse and articulates his most detailed account of what he calls the “pneumatological imagination.” Spirit-Word-Community is the most elaborate conscious exercise in theological method and hermeneutics by a pentecostal to date.19

Pentakolisme mengalami metamorfisme pemikiran selama 100 tahun terakhir

beriringan dengan berkembangnya aliran kebangunan rohani (revival) yang menjadi

ciri gerakan Pentakosta. Meskipun demikian, harus diakui bahwa tradisi awal gerakan

Pentakosta lebih dekat kepada pengalaman dan pertemuan, daripada tradisi teologi,

akademis, dan rasional, seperti para reformis Martin Luther, atau John Calvin.

Doktrin awal Oneness tidak lahir dari sebuah perjumpaan mistik, supranatural,

atau pengalaman esktasi, tapi datang dari perjumpaan teologis dari tulisan-tulisan yang

berkembang dan bukan hanya semata dari kelompok Pentakosta, tapi juga dari tradisi

lainnya, seperti Presbiterian.

As the earliest Oneness leaders developed a distinctive doctrine of the name of Jesus, they were influenced heavily by the writings of such Higher Life advocates as Arno C. Gaebelein, A. J. Gordon, William Phillips Hall, Essek W.Kenyon, and A. B. Simpson, as well as the Presbyterian writer J. Monro Gibson20

Albert Benjamin (A.B.) Simpson pendiri dari The Christian and Missionary

Alliance (CMA) yang di Indonesia menjadi GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia)

17Ibid., 10. 18Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2008), 179. 19Christopher Adam Stephenson, “Pentecostal Theology According to the Theologians: An

Introduction to the Theological Methods of Pentecostal Systematic Theologians” (Marquette University, 2009), 146, https://epublications.marquette.edu/dissertations_mu/9/.

20Ed van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements, 937.

Page 7: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 19

disebutkan memiliki DNA Rohani “Jesus Only”. Istilah ini muncul, bukan dalam

pengertian Oneness, tapi dalam pengertian misi, dan panggilan hidup hanya kepada

Kristus.

After discovering a line in Walter Marshall’s Gospel Mystery of Salvation, “The first good work you will ever perform is to believe in the Lord Jesus Christ,” Simpson committed his life to “Jesus Only”—the anthem that also ignited an unquenchable passion in his heart to reach the lost.21

Dari pengertian Jesus Only, Simson mengembangkan Injil 4 Dimensi (Fourfold

Gospel) yang intinya adalah Yesus sebagai Juru Selamat (savior), Penyuci (sanctifier),

Penyembuh (healer), dan Yesus Raja Yang Akan Datang (coming king). Tetapi Simson

tidak bermaksud untuk mengatakan hanya ada 1 pribadi Yesus dalam Allah Tritunggal.

Misinterpretasi atau reinterpretasi pemikiran Simson bisa merupakan pemicu dari

pemikir awal Oneness , William Durham. Pemikiran Durham juga lebih berpusat kepada

Injil yang sederhana (simple gospel), dan karya penebusan Kristus.

Pemikiran awal Oneness lebih terpengaruh kepada Misi dari pada metafisika atau

pun ontologi seperti pada abad kedua dan tiga, ketika awal kekristenan membutuhkan

formulasi doktrin yang jelas melawan bidat, dan memperjelas posisi Kristen dari

Yudaisme. Dari data yang ada, bisa menjadi sebuah kesimpulan sementara, bahwa

kemungkinan yang paling objektif adalah Oneness lahir dari pemikiran misi yang akhir-

nya mempengaruhi doktrin Kristologi dan Tritunggal. Pengaruh pemikiran Oneness da-

lam doktrin secara langsung kepada Doktrin Tuhan, dan Keselamatan.22

Mengenai doktrin Allah dalam Oneness dapat disebutkan Yushak Soesilo sebagai

berikut:

Ajaran Oneness menegaskan bahwa sebutan “Bapa”, “Anak”, dan “Roh Kudus” hanyalah merupakan sebutan yang merefleksikan manifestasi Allah yang Maha Esa dalam oknum yang berbeda-beda di jagat ini. Ketika penganut Oneness berbicara mengenai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, mereka melihatnya sebagai perwujudan dari Allah yang Esa: Bapa, sebutan yang berkaitan dengan relasi sebagai orang tua; Anak Allah, sebagai inkarnasi Allah dalam daging melalui Yesus Kristus; Roh Kudus, sebutan terhadap aktivitas Allah dalam Roh. Dengan kata lain, Allah dimanifestasikan sebagai Bapa dalam penciptaan, Anak dalam penebusan, dan Roh Kudus dalam emanensi.23

Satu Pribadi yang bermanifestasi menjadi tiga, berbeda dengan tiga pribadi yang

berbeda dari rumusan ortodoksi tritunggal. Karena percaya hanya kepada 1 pribadi

Tuhan, yaitu Yesus saja, kristologi Oneness ini mempengaruhi bangunan sistematika

teologi secara keseluruhan. Berbeda dengan pentakosta klasik yang hanya menekankan

kepada kepenuhan Roh Kudus dengan tanda awal bahasa lidah yang tidak berbeda

dalam konsepsi tritunggal, dan kristologi ortodoksi. Permasalahan teologi Oneness juga

akhirnya terbawa kepada doktrin keselamatan (soteriologi). Posisi teologis Oneness ada-

lah keselamatan dalam Yesus Kristus yang bersyarat. Ini menjadi permasalahan besar

karena berlawanan dengan konsep Kasih tanpa syarat (unconditional love). Syarat

untuk diselamatkan menurut Oneness adalah pertobatan, baptisan air dalam nama

Yesus, dan baptisan Roh Kudus dengan tanda awal bahasa lidah. Syarat pertama per-

tobatan tidak menjadi permasalahan teologis. Tapi ketika baptisan dan bahasa lidah

menjadi syarat keselamatan, Oneness semakin keluar dari arus utama kekristenan.

21The Alliance. http://www.cmalliance.org/about/beliefs/jesus. Akses 22/9/2020. 22Yushak Soesilo, “Doktrin Oneness Pentacostalism,” Jurnal Antusias (2012). 23Ibid.

Page 8: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 20

Soteriologi Oneness ini lahir karena penekanan kepada Kis 2:38, bukan kepada Yoh 3:16

seperti ortodoksi.

Lukas mencatat di Kis 3:28, “Jawab Petrus kepada mereka: "Bertobatlah dan

hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus

untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.” Tiga

tahap keselamatan yang dipercaya Oneness terlihat di ayat ini.

The paradigmatic text for Christian initiation is not the familiar John 3:16, but Acts 2:38: “Repent, and be baptized every one of you in the name of Jesus Christ for the remission of sins, and ye shall receive the gift of the Holy Ghost” (KJV). This text forms the basis of a unique three-stage soteriology that blends a conversionist theology, the pentecostal doctrine of Spirit baptism, and the Oneness teaching of the name of Jesus.24

Dengan memberi syarat kepada keselamatan, biarpun tetap di dalam Yesus Kristus,

Onesess tidak mempercayai keunikan prinsip kasih karunia, sehingga Oneness terjebak

kepada pertobatan sebagai perbuatan baik.

Teologi Oneness yang berpusat kepada teologi nama Yesus (In the Name of Jesus)

melihat Kol 2:9 sebagai ayat utama, “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah

seluruh kepenuhan ke-Allahan.” Istilah Ke-Allah-an menggunakan kata Yunani θεοτης

(theotes) yang diterjemahkan Godhead. Dari alur berpikir ini Oneness mengambil ke-

simpulan bahwa Yesus adalah Bapa, Anak, sekaligus Roh Kudus. Aliran berpikir ini

berlanjut, bercampur dengan konsep Yudaisme, Oneness mengembangkan teologi Nama

Yesus atau In the Name of Jesus. Seperti dalam tradisi Yudaisme, nama Tuhan menya-

takan sifat dan karakter Ilahi, maka Nama Yesus mewakili seluruh kepenuhan Ke-Allah-

an.

The specifically Jewish characteristics of the Oneness doctrine of God are the belief that the name reveals God’s true nature, that God is without internal differentiation, and that God “dwells” in tabernacle, temple, and in particular in God’s revealed name. Oneness Christology extends this Jewish concept of divine “dwelling” in a name to the name Jesus, thereby making the name of Jesus a central christological affirmation of his deity rather than his humanity. When interpreted in terms of the two-nature theory of later centuries, OP reflects the Nestorian tendency to separate the two natures in Christ.25

David K. Bernard dalam buku the Oneness of God (1983) mengembangkan

Oneness dan menyerang konsep Tritunggal. Pada dasarnya, Bernard menyimpulkan

bahwa penganut Tritunggal tidak bisa menerangkan hubungan antara tiga peribadi, dan

itu adalah triteisme yang tersamar.26 Alhasil, Bernard justru memposisikan Tritunggal

sebagai heretik. Ini memperlihatkan bahwa perkembangan Oneness sebagai sekte ter-

sendiri sudah dewasa. Bukan hanya sekedar perbedaan teologis, tapi perbedaan dengan

ortodoksi alur utama sudah menjalar menjadi kanker dalam sistematika teologi yang

dipercaya.

Pemikiran W. H. Offiler

Pengaruh W. H. Offiler terhadap perkembangan Oneness di Indonesia dianggap

beberapa cendekiawan sangat besar, atau bahkan Offiler dianggap sebagai pusat penye-

baran. Meskipun, peneliti tidak sepenuhnya sependapat, tapi kemungkinan misinter-

pretasi dari apa yang diajarkan Offiler oleh para Misionari yang dikirim Bethel Temple

24Ed van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements, 943.

25Ibid., 941. 26David K. Bernard, Oneness of God (Hazelwood: Word Aflame Press, 1983), 288.

Page 9: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 21

tidak bisa disangkal. David A. Reed memperlihatkan tiga cendekiawan yang memosi-

sikan Offiler sebagai yang bertanggung jawab atas penyebaran Oneness di Indonesia:27

Cendekiawan pertama adalah Paul Lewis, Assemblies of God Educator, yang mem-

buat dua pernyataan dalam tulisannya tentang sejarah Pentakosta di Indonesia. Pernya-

taan yang pertama: Pembaptisan dalam nama Yesus mencerminkan titik perbedaan

dalam pengajaran Offiler di Bethel Temple dengan Pentakosta Tritunggal seperti Assem-

blies of God. Suatu jenis “Pentecostal Unitarianism” yang menjadi populer sekitar tahun

1915 mempengaruhi Offiler. Yang paling buruk, hal itu menyebabkan penyangkalan

terhadap Tritunggal. Desakan untuk menggunakan nama Yesus dalam formula baptisan

ini akhirnya menyebabkan perpisahan dari cara-cara kelompok Pentakosta yang baru

dibentuk. Pernyataan kedua: Di bawah pengaruh Offiler, ada kecenderungan untuk me-

nekankan keesaan Tuhan dengan mengorbankan Tritunggal dalam pengajaran gereja.

Misionaris dari jemaat Offiler's Seattle mengabadikan doktrin ini. Formula baptisan

yang diakhiri dengan kalimat “...itulah Tuhan Yesus Kristus,” mencerminkan kecende-

rungan Unitarian.

Tulisan Lewis sebenarnya memperlihatkan bahwa Offiler tetap berpegang kepada

Ortodoksi Tritunggal, hanya dia melihat bahwa Offiler mulai terpangaruh Pentakolisme

Unitarisme 1915, dan kemudian perkembangannya, 1925 Offiler lebih banyak mene-

kankan pengajaran Tritunggal di keesaan, bukan di perbedaan kepribadian Bapa, Putra,

Roh Kudus. Alhasil, misionari-misionari yang diutus Offiler (Grosbeek) menjadi “ter-

sangka” paling utama sebagai penyebar doktrin Oneness. Formula baptisan menjadi

bukti utama karena kalimat “...yang adalah Tuhan Yesus Kristus.” Kata tendency (kecen-

derungan) yang digunakan, memperlihatkan bahwa Lewis pun hanya menduga dengan

keterbatasan data, yaitu tulisan dari para misionari itu sendiri.

Gani Wiyono menyatakan yang sejalan dengan Lewis. Tapi David menyatakan

bahwa Gani terpengaruh tulisan Lewis. Jadi, pernyataan Gani memakai tulisan Lewis

sebagai basis tesis. Meskipun terkesan lebih yakin dalam posisinya, tapi pernyataannya

tidak sekuat pernyataan Lewis. Wiyono menarik kesimpulan yang sama tentang pan-

dangan “Keesaan” Offiler: “W.H. Offiler of Bethel Temple, sebagai pengirim misionaris

ke Hindia Belanda, misalnya, memperkenalkan apa yang disebut ajaran Keesaan dan

melarang kepemimpinan perempuan di gereja.” Pernyataan Gani mempertegas posisi

W.H. Offiler yang seakan-akan menjadi tokoh sentral dari penyebaran Oneness di

Indonesia. Konklusi Wiyono tampaknya terlalu berani, karena masih ada Groesbeek,

dan Van Gessel, bahkan H.L. Senduk yang secara empiris masih perlu diteliti lagi,

apakah benar Offiler menjadi bagian dari Oneness secara nyata, atau dia dianggap

sebagai bagian dari Oneness.

Russel Splitter seorang cendekiawan ternama dari Assembly of God mengatakan,

“After reviewing the history of the Oneness movement, he adds, ‘The teaching flourishes

in Indonesia and certain parts of African Pentecostalism and elsewhere in the Third

World.’”28 Splitter pun sebenarnya tidak secara jelas menyatakan Offiler adalah orang

yang bertanggung jawab atas berkembangnya Oneness di Indonesia, karena dia mem-

bandingkan dengan Pentakostalisme di Afrika dan negara ketiga lainnya. Splitter meli-

hat garis merah di negara ketiga, atau berkembang. Penulis berpendapat, bahwa temuan

Splitter bisa diartikan sebagai kurangnya pengajaran doktrinal di negara-negara ber-

27Reed, “From Bethel Temple, Seattle to Bethel Church of Indonesia:. Missionary Legacy of an

Independent,” 97. 28Michael Wilkinson, ed., Global Pentecostal Movements: Migration, Mission, and Public Religion

(Leiden, Boston: Brill, 2012), 109.

Page 10: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 22

kembang karena masih terbatasnya Sekolah Teologi Pentakosta waktu itu. Ini pun

sebuah sebuah interpretasi dari data yang memang masih sangat umum.

Para cendekiawan, penulis, ataupun pengajar yang memposisikan Offiler sebagai

pengajar Oneness di atas, semuanya adalah orang-orang Assembly of God yang notabene

memang sudah terpecah dengan Oneness, sehingga sangat sensitif dengan ajaran

Oneness. Sebab itu, subyektivitas cara melihat pengajaran Offiler dan Oneness pada

umumnya harus diperhitungkan dalam membuat kesimpulan yang lebih obyektif.

Melihat langsung pada tulisan (data primer) dari Offiler adalah penilitian yang

lebih obyektif daripada melihat dari Groesbeek, Van Gessel, H.L. Senduk, atau bahkan

sampai ke akar rumput gerakan Pentakosta sendiri. Meskipun mereka orang-orang pen-

ting yang memengaruhi kelahiran dan perkembangan Pentakosta secara pergerakan dan

teologis, tapi pengaruh-pengaruh yang lain masih belum dimasukkan dalam penelitian

yang ada. Argumen yang paling kuat saat ini adalah, ketiga denominasi besar yang

terpengaruhi mereka GPdI, GBIS, dan GBI tidak ada satupun yang secara formal

mengakui pengajaran Oneness dalam pernyataan iman mereka. Di sisi lain, GPSDI

(Gereja Pentakosta Serikat di Indonesia), sebagai sebuah perbandingan, secara terang-

terangan menyatakan diri sebagai Oneness.

Roh Kudus bukanlah pribadi ketiga dari Allah, tetapi adalah Roh Allah (sang Pencipta), Roh Kristus yang telah bangkit. Roh Kudus datang untuk berdiam di dalam hati dan tinggal dalam diri setiap orang yang percaya dan mentaati berita Injil, sebagai penolong, penghibur, penopang, dan penjaga.29

Tokoh sentral GPSDI bukan Offiler, Groesbeek, atau Van Gessel, tetapi George

White dari UPCI (United Pentecostal Church International) yang memang dari aliran

Oneness, Pentecostal Unitarianism yang di tahun 1948 masuk ke Indonesia. GBIS ber-

diri tahun 1952, dan GBI di tahun 1970. Oneness yang dipengaruhi gerakan misi berge-

rak bersamaan dengan Pentakosta klasik yang memang juga berdasarkan misi pergi ke

bangsa-bangsa. Indonesia pun mendapatkan pengaruh dari kedua kubu secara bersa-

maan.

Pemikiran Offiler paling obyektif selain dari buku God and His Names, dapat juga

dibaca dari buku God and His Bibles. Sekalipun gedung Bethel Temple Seattle yang

bersejarah sudah tidak lagi menjadi gedung gereja karena kesulitan keuangan di tahun

2002, saat ini buku-buku Offiler masih disimpan online oleh Bethel Fellowship

International30, yang kemungkinan dipelihara oleh misionari dari Bethel Temple sebe-

lumnya.31 Di buku God and His Bibles, disusun seperti pengakuan iman, di bagian awal,

Offiler memperlihatkan pemahamannya tentang Tritunggal adalah bagian dari kerangka

membangun sistematika teologinya.

In the beginning GOD." Gen. 1:1. The Creator. God is Triune.

God the Father, The Son, The Holy Spirit. Mat. 28:19. 1st Jon. 5:7.Den.32:6. Three fold in nature and being.

The tri-unity of God is revealed in the following scriptures. Gen.1:26. The visit of the Three Angels to Abraham. Gen. 18th and 19th Chapters. The Name of these

29 “Doktrin Gereja Pantekosta Serikat Internasional (United Pentecostal Church International –

UPCI)” (Media GSPDI, n.d.), http://gpsdi.blogspot.com/. 30 “About W. H. Offiler,” Bethel Fellowship International, last modified 2012, https://www.bfi-

online.org/w-h-offiler. 31 Reed, “From Bethel Temple, Seattle to Bethel Church of Indonesia:. Missionary Legacy of an

Independent,” 97.

Page 11: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 23

heavenly visitors was — THE LORD, i.e. The Godhead Bodily. Ex. 3:6. The God of Abraham. The God of Isaac. The God of Jacob.

The Threeness of the Godhead is demanded by the Law. The perfection of Testimony is in the mouth of Three! If Jehovah was not Threefold in His nature and Being He could not fulfill His own commandment.32

Pernyataan-pernyataan Offiler tersebut memperlihatkan tanpa keraguan posisi

ortodoksi dia dalam doktrin Tritunggal. Bahkan lebih jauh, Offiler mengembangkan

prinsip Tritunggal ini dengan melihat ayat-ayat dalam Alkitab yang berkonsep sama.

Hal ini memperlihatkan bahwa Offfiler sangat terpengaruh dengan konsep Tritunggal.

The tri-unity of the Godhead is also shown in each created type. The Sun, the Moon, and the Stars. Gen. 1:14. The Ark of Noah. Gen. 6:14. Abraham, Isaac, and Jacob. Gen. 12 to 30. Three coverings of Tabernacle. Ex. 36:14.19. Cherubim of Glory and the Bloodstained Mercy seat. Ex.25:10-22. The contents of the Ark of the Covenant: The Tables of the Law, The Father’s Law. The golden pot of Manna. Aaron's Rod thatbudded. Heb. 9:4. The Vail with its inwrought Cherubim of Glory. Ex. 26:31. Urim - High Priest - Thummim. Ex. 28:30. The Rod - The Rock - The Living Waters. Ex. 17:1-6. Three Measures of Meal. Gen. 18:6. Threefold anointing of the Blood: On the Ear. The Thumb of the Right Hand. Great toe of the Right Foot. Lev. 14:14. Threefold anointing with the Oil upon the Blood. Lev. 14:17. The Voice - The Lamb of God, Jesus - The Dove. Lk. 3:21-22. Three Measures of Meal. Mat. 13:33. The Three Loaves. Lk. 11:5. Three Witnesses in Heaven. 1Jn. 5:7. Three Witnesses in Earth. 1Jn. 5:8. In the Name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost. Mat. 28:19.

Penelitian lebih jauh tentang Offiler, Bethel Temple dan misionari-misionari yang

dilahirkan dari kebangunan rohani di Seattle perlu dilakukan lebih detail. Data-data

yang lebih banyak dibutuhkan untuk memperlihatkan gambaran yang lebih utuh dari

sebuah gereja lokal, otonom, yang dilayani orang biasa bisa sampai mempengaruhi

bangsa-bangsa sedemikian rupa. Tuduhan-tuduhan teologis, terutama soal Oneness,

kalaupun itu benar ada, harus mulai ditempatkan di posisi yang benar sehingga kesim-

pulan yang objektif bisa memperlihatkan fakta yang sebenarnya.

Kesalahan-Kesalahan Utama Teologi Oneness Perbedaan teologi Oneness dengan ortodoksi terdapat pada lima area: tritunggal,

kristologi, pneumatologi, soteriologi, eskatologi. Di bidang-bidang lain seperti antropo-

logi, bibliologi, ekklesiologi, missiologi, dan detail-detail yang lain, hampir tidak ada

perbedaan dengan teologi arus utama atau ortodoksi.

Doktrin tritunggal ortodoksi sudah diformulakan dalam Pengakuan Iman Rasuli,

dan juga diterima di Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Tiga Pribadi yang berbeda,

tapi satu substansi, dan hakikat ilahi (Mat. 29:19-20, 2Kor. 13:13, 1Yoh. 5:7). Modalisme

dan Sabelianisme adalah dua pemikiran yang sudah dikategorikan bidat di zaman bapa-

bapa gereja, yang tidak mempercayai formulasi Allah tritunggal. Modalisme percaya

bahwa Tuhan itu satu, dan berubah sesuai misi tertentu. Allah itu menjadi bapa pada

awal penciptaan, menjadi Yesus dalam karya penebusan, dan sekarang menjadi Roh

Kudus. Sementara Sabelius memiliki semangat yang sama dengan modalisme monar-

kianisme. Oneness pun pada dasarnya adalah modalisme dan sabelianisme, dengan sedi-

kit perbedaan bahwa dalam diri Yesuslah semua manifestasi Bapa, Anak, dan Roh Kudus

sempurna. Bapa adalah Yesus (sebagai logos), Yesus adalah Anak (inkarnasi), Yesus ada-

32 W. H. Offiler, God and His Bible or the Harmony of Divine Revelation (Seattle: Bethel Temple,

1946).

Page 12: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 24

lah Roh Kudus (Roh Yang Menghidupkan) adalah formulasi dari Oneness, sehingga juga

disebut Jesus Only.

Doktrin Kristologi Oneness tidak mempercayai Yesus Pribadi kedua Allah tri-

tunggal, Yesus pra-inkarnasi adalah Bapa, Yesus inkarnasi lebih mirip Nestorianisme

(memiliki dua pribadi yang berbeda) seperti multiple personality (kepribadian maje-

muk), jadi tidak percaya adanya kesatuan hipostatis antara keilahian dan kemanusiaan

Kristus. Tetapi Oneness tetap percaya kematian dan kebangkitan Kristus seperti

ortodoksi. Kepercayaan terhadap kenaikan Tuhan Yesus ke surga tidak seperti ortodoksi

karena mempercayai Yesus adalah Roh Kudus.

Doktrin pneumatologi Oneness bisa dikatakan tidak ada, karena Yesus adalah Roh

Kudus. Oneness tidak percaya Roh Kudus itu ada. Hal ini sangat bertentangan dengan

ortodoksi, dan tidak bisa diterima hanya sebagai perbedaan sederhana. Ketika Roh

Kudus tidak dipercaya ada, maka semua karya-Nya tidak lagi dipercaya juga. Ambiguitas

teologi Oneness memang tidak bisa dihindarkan, karena titik awal kristologi yang

bermasalah.

Doktrin soteriologi Oneness juga tidak kalah bermasalah. Dengan menekankan

keselamatan yang bersyarat dengan baptisan dalam nama Yesus serta baptis ulang, juga

baptisan Roh Kudus disertai bahasa lidah bukan sebagai tanda kepenuhan Roh Kudus

(atau Roh Yesus) tapi lebih sebagai tanda sudah diselamatkan. Jadi logika Oneness

adalah sebagai berikut kalau seseorang belum berbahasa lidah belum ada Yesus dalam

hidup orang tersebut, sehingga tidak mungkin diselamatkan.

Pada akhirnya, kekisruhan Oneness terjadi dalam doktrin eskatologi. Kalau Yesus

adalah Roh Kudus, atau Roh Yesus, dan kita sudah dipenuhkan Roh-Nya, berbahasa li-

dah, bagaimana dengan kedatangan Yesus kali yang kedua? Oneness tidak begitu memi-

kirkan konsistensi dan kelogisan konstruksi beriman, sehingga posisi eskatologi Oneness

tetap sama memegang Pentakosta klasik, yaitu tentang pengangkatan (I Tes 5:2). Hadje

Cresencio Sadje dalam tulisannya menyatakan:

The oneness Pentecostals perceive eschatology as one of the central “Apostolic” teachings, to some extent, shapes theirsocial behaviour and public engagement. Although oneness Pentecostal eschatology, takes different forms, the popular form is rapture theology---“a thief in the night” (1Thessalonians 5:2 ESV).33

Dari keseluruhan pembahasan teologis, maka dengan memakai kacamata teks

2 Korintus 11:4, Oneness bisa dikatakan mempercayai Yesus yang lain, Roh yang lain,

bahkan Injil yang lain: “Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan

Yesus yang lain ... roh yang lain ... atau Injil yang lain ....” Ketritunggalan adalah esensi

Allah Alkitab yang tidak bisa dipisahkan dari pribadi Bapa, Yesus Kristus dan Roh

Kudus. Apabila Ketritunggalan ini berubah, maka semua iman yang dipercaya harus

diubah karena Tuhan tidak pernah, dan tidak bisa berubah. Sinode GBI menyimpulkan

dengan sangat bagus posisi Tritunggal dalam iman Kristen.

KESIMPULAN Perbedaan antara Ortodoksi dan Oneness Pentakolisme tidak bisa dilepaskan dari sifat

dari gerakan Pentakosta yang sangat subjektif, dan menekankan kepada pengalaman,

dan perjumpaan. Mempelajari sejarah dan tradisi dalam menganalis teologi Pentakosta

adalah sebuah keniscayaan. Kasus antara Joshua Tewuh, dan sinode GBI membuka

33 Hadje Cresencio Sadje, “Tarrying with a Thief in the Night: Interrogating the Eschatology of the

(Oneness) Pentecostal Theology in the Philippines,” in The European Society for Intercultural Theology and Interreligious Studies (ESITIS) (Sarajevo, Bosnia & Hercegovina, 2019).

Page 13: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, Vol 2, No 1 (Desember 2020)

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 25

pintu diskusi tentang Oneness dan Sabelianise modern yang terjadi dunia digital.

Pernyataan sikap teologis Sinode GBI adalah sebuah usaha apologetika yang memang

wajar untuk dilakukan apabila dipandang dari pentingnya isu yang dilontarkan Joshua,

dan juga ramifikasi yang terjadi karena kemajuan teknologi digital yang membuat

penyebaran informasi yang cepat dan masif.

Pendekatan historis membawa kepada akar dari lahirnya Oneness, juga menggali

kembali akar tradisi GBI melalui pemikiran W.H. Offiler yang adalah pendeta utama

Bethel Temple, Seattle. Dari sejarah, dapat dilihat ambiguitas yang terjadi bahkan dari

awal lahirnya Oneness yang lebih menekankan kepada misi daripada doktrin. Sehingga

istilah “Jesus Only” pun menjadi ambigu antara sebuah panggilan, atau sebuah

pernyataan doktrinal di awalnya. Sekarang, setelah satu abad, istilah-istilah tertentu

telah menjadi miliki teologi dan tradisi tertentu. Demikiran juga dengan Oneness dan

Jesus Only telah memiliki makna lebih dari kata-kata itu sendiri, tapi telah menjadi

kelompok atau sekte tertentu yang memiliki kepercayaan yang khusus, kelompok yang

mendukung, bahkan secara turun menurun telah diwariskan sehingga untuk berubah

hampir tidak memungkinkan, kecuali dibubarkan.

Secara teologis, persamaan antara Ortodoks dan Oneness Pentakolisme–kalaupun

bisa dikatakan persamaan–adalah tentang karya Yesus Kristus di kayu salib. Di luar itu,

Pribadi Yesus yang dipercaya kedua kubu adalah pribadi yang berbeda. Sinode GBI me-

negaskan bahwa Allah adalah sosok yang tidak berubah. Dengan demikian Tritunggal

adalah hakikat Allah yang bersifat permanen dari kekal hingga kekal. Jika Allah

berubah, maka Ia bukan Allah dan dalil tersebut menjadi gagal.

Sinode GBI sebagai perwakilan dari ortodoks Pentakolisme sudah benar dalam

bersikap dengan menyatakan bahwa Oneness atau Sabilianisme modern dalam kasus

yang ada adalah bidat. Meskipun demikian perlu secara berhati-hati menerapkan label

bidat ini kepada kelompok gereja-gereja aliran Pentakosa di Indonesia yang berakar dari

Offiler dan sejarah Bethel Temple beserta para misionarinya. Teologi Pentakosta yang

terus berkembang telah mampu menyelesaikan banyak permasalahan teologis dalam tu-

buh pergerakan, pelayanan, dan gereja-gereja di Pentakosta dalam 100 tahun terakhir.

Ajaran Oneness adalah sebuah tantangan khusus dalam Pentakolisme yang ternyata

masih sangat relevan di era ini untuk dicarikan jalan keluar teologis. Artinya, sebuah

dialog dengan saudara-saudara Oneness harus mulai diupayakan untuk bisa memberi-

kan pengertian ortodoksi yang Alkitabiah.

REFERENSI Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2008. Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia. “Sikap Teologis GBI Terhadap

Tritunggal.” Jakarta: Gereja Bethel Indonesia, 2020. Bernard, David K. A History of Christian Doctrine Vol. 3 The Twentieth Century.

Hazelwood: Word Aflame Press, 1999. ———. Oneness of God. Hazelwood: Word Aflame Press, 1983. Ed van der Maas. The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic

Movements. Diedit oleh Stanley M. Burgess dan Eduard M. van der Maas. Grand Rapids: Zondervan, 2002.

Nggadas, Deky Hidnas Yan. “Doktrin Tritunggal dan Oneness Pentecostalism.” Verbum Vertatis, September 2018. https://dekynggadas.wordpress.com/2018/09/13/doktrin-tritunggal-dan-oneness-pentecostalism/.

Offiler, W. H. God and His Bible or the Harmony of Divine Revelation. Seattle: Bethel Temple, 1946.

Page 14: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

H. Setiawan, J. C. Santo: Kajian Historis Teologis Oneness Pentecostalism: Studi Kasus

Copyright© 2020; MAGNUM OPUS, e-ISSN 2716-0556, p-ISSN 2502-2156 | 26

———. God and His Name. 2nd ed. Kirkland, WA: Bethel Fellowship International, 2011. Reed, David A. “From Bethel Temple, Seattle to Bethel Church of Indonesia:. Missionary

Legacy of an Independent.” In Global Pentecostal Movements: Migration, Mission, and Public Religion, diedit oleh Michael Wilkinson, 93–115. Leiden, Boston: Brill, 2012.

Sadje, Hadje Cresencio. “Tarrying with a Thief in the Night: Interrogating the Eschatology of the (Oneness) Pentecostal Theology in the Philippines.” In The European Society for Intercultural Theology and Interreligious Studies (ESITIS). Sarajevo, Bosnia & Hercegovina, 2019.

Soesilo, Yushak. “Doktrin Oneness Pentacostalism.” Jurnal Antusias (2012). Stephenson, Christopher Adam. “Pentecostal Theology According to the Theologians: An

Introduction to the Theological Methods of Pentecostal Systematic Theologians.” Marquette University, 2009. https://epublications.marquette.edu/dissertations_mu/9/.

Wilkinson, Michael, ed. Global Pentecostal Movements: Migration, Mission, and Public Religion. Leiden, Boston: Brill, 2012.

“About W. H. Offiler.” Bethel Fellowship International. Last modified 2012. https://www.bfi-online.org/w-h-offiler.

“Doktrin Gereja Pantekosta Serikat Internasional (United Pentecostal Church International – UPCI).” Media GSPDI, n.d. http://gpsdi.blogspot.com/.