KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas
Transcript of KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas
1
KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN
KADAR KREATININ NORMAL
LEVELS OF CYSTATIN-C SERUM IN DIABETES MELLITUS PATIENTS WITHOUT PROTEINURIA
WITH NORMAL CREATININE
MEGAWATI GAZALI
PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
2
KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES
MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN
KADAR KREATININ NORMAL
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Biomedik / Kimia Klinik
Disusun dan diajukan oleh
MEGAWATI GAZALI
Kepada
PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
3
ii
4
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Megawati Gazali
Nomor mahasiswa : P1505215006
Program Studi : Ilmu Biomedik / Kimia Klinik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut
Makassar,
Yang menyatakan
Megawati Gazali
iii
5
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas Rahmat dan
HidayahNyalah sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya .
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil
pengamatan penulis terhadap komplikasi diabetes melitus khususnya
komplikasi mikroangiopati yang dapat menyebabkan komplikasi pada
beberapa organ, salah satunya kepada ginjal. Nefropati diabetik dapat terjadi
pada penderita diabetes melitus, yang akhirnya mengarah ke penyakit gagal
ginjal kronik. Komplikasi dapat terus meningkat seiring dengan lamanya
penyakit dan kontrol glikemik yang buruk.. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
yang dapat mendeteksi penyakit nefropati diabetik sejak dini. Penulis
bermaksud menyumbangkan saran tentang pemeriksaan yang sebaiknya
dilakukan yang dapat dijadikan petanda awal untuk mengetahui adanya
kejadian gangguan fungsi ginjal.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini, yang hanya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka tesis ini selesai
pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan
terimakasih yang tak terhingga kepada :
dr. Uleng Bahrun, Ph.D.,Sp.PK (K), sebagai Ketua Komisi Penasihat
Dr. dr. Tenri Esa, M.Si.,Sp.PK., sebagai anggota Komisi Penasehat
atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan
minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitian sampai
dengan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis haturkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Dr. dr. Ilham Jaya Pattelongi, M.Kes.,
Dr. dr. Haerani Rasyid M.Kes.,Sp.PD-KGH.,Sp.GK.,
Dr. dr. Husaini Umar, Sp.PD.KEMD.,
sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat
membantu bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
iv
6
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Hasanuddin selaku
bapak pimpinan dan Yahya, SKM, M.Kes selaku atasan langsung yang telah
memberikan izin bagi penulis dalam melanjutkan pendidikan.
Tak lupa terimakasih kepada suamiku tercinta H. Najamuddin,
S.Kep,Ns., dan anak-anakku tersayang Indah Libriana, Ridha Dwi Reski,
Anita Najwan dan Ahmad Rafi Ijlal yang selama ini dengan penuh pengertian
dan kesabaran mendukung penuh penulis menjalani pendidikan sampai
selesai. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam
penelitian ini : dr. Yop, Ruly, Sumitro, Hamri, Evy dan Umi yang telah
membantu dalam penelitian ini, juga buat teman-temanku angkatan Cytogenik
: Eby, Icha, Ika, Yanti, Yaumil, Rifki, Sultan dan Ode yang senantiasa memberi
suport dan dukungannya. Dan yang terakhir terimakasih juga disampaikan
kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar, Agustus 2017
Megawati Gazali
v
7
ABSTRAK
MEGAWATI GAZALI. Kadar Cystatin-C Serum pada Penderita Diabetes Melitus Tanpa Proteinuria dengan Kadar Kreatinin Normal (dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Tenri Esa).
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan serta berbagai organ seperti ginjal. Salah satu petanda kerusakan ginjal adalah Cystatin-C yang merupakan petanda baru yang cukup menjanjikan untuk menilai kegagalan fungsi ginjal lebih dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sampel sebanyak 49 orang yang dipilih secara purposif. Subyek penelitian adalah penderita diabetes melitus di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSPTN. Universitas Hasanuddin pada bulan Juli 2017.
Hasil penelitian menunjukkan, pada penderita DM tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal, sebagian besar sampel (91,8%) memiliki kadar cystatin-C yang tinggi (>1,09 mg/L). Kadar cystatin-C tinggi terutama ditemukan pada penderita dengan lama DM ≥5 tahun. Disimpulkan bahwa kadar cystatin-C serum sudah ditemukan tinggi walaupun kadar kreatinin masih dalam batas normal. Terdapat hubungan antara lama DM dengan kadar cystatin-C terutama pada kelompok lama DM ≥ 5 tahun, sehingga Cystatin-C dapat digunakan sebagai penanda awal untuk menilai gangguan fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal. Kata kunci : diabetes melitus, proteinuria, kreatinin, cystatin-C
vi
8
ABSTRACT
MEGAWATI GAZALI. Levels of Cystatin C Serum In Diabetes Mellitus Patients Without Proteinuria with Normal Creatinine (supervised by Uleng Bahrun and Tenri Esa) Diabetic mellitus is a disease which causes of damage and dysfuntion of varios tissues and various organs such as the kidney. One of the markers of kidney demage is cystatin-C wich is a new promosing inpection to asses the kidney failure earlier. This study aimed to determine the ability of cystatin-C serum as an early indicator to determine the possibility of impaired renal function.
The research design was the Cross sectional design with the total sampels of 49 respondents chosen using the pupposive sampling technique. The respondents were the patients with diabetes mellitus in RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. The examination of the samples was conducted in clinical pathology laboratory of RSPTN. Hasanuddin Univercity in July, 2017. From the result was conducted on the samples with the still normal creatinine level (≤1.2 mg%) , most of the sample (91,8%) had the level of cystatin-C wich was more than the normal value (> 1,09 mg/dl) . High cystatin-C level are primarily found in patients with DM for ≥5 years. The result revealed correlation between DM period and cystatin-C level, especially in DM category for ≥ 5 years, so cystatin-C could be used as an early marker to assess the impaired renal function in patients with diabetes mellitus without proteinuria with normal creatinine.
Keywords: diabetes mellitus, proteinuria, creatinine, cystatin-C
vii
9
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ……………………………………………………………… .. iv
ABSTRAK ………………………………………………………………… vi
ABSTRACT …………………………………………………………….... vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….... iiiv
DAFTAR TABEL ………………………………………….……………... xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xiii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. ivx
I. PENDAHULUAN ……………………………….…………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….. 5
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 6
D. Hipotesis Penelitian ………………………………………………. 6
E. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 8
A. Diabetes Melitus …………………………………………………… 8
1. Defenisi Diabetes Melitus …………………………………… 8
2. Epidemiologi Diabetes melitus ………………………………. 9
3. Diagnosisi Diabetes Melitus …………………………………… 10
4. Komplikas Diabetes Melitus …………………………………… 10
viii
10
B. Proteinuria ……………………………………………………………. 17
1. Defenisi Proteinuria …………………………………………….. 17
2. Patofisiologi Proteinuria ………………………………………… 18
3. Cara pengukuran Proteinuria …..…………………………….. 19
C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)…………… 21
1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus ………………. 21
2. Pengukuran Laju Filtrasi Glomerulus ……………………….. 25
D. Kreatinin Serum …………………………………………………….... 28
1. Defenisi Kreatinin …………………………………..….……….. 28
2. Metabolisme Kreatinin ……………………………………..…… 29
3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum ………………………………… 31
4. Penggunaan kreatinin sebagai petanda
Laju Filtrasi Glomerulus ………………………………………... 31
E. Cystatin-C ………………….…………………………………..…..….. 35
1. Defenisi Cystatin-C …………………………………..……….... 35
2. Sejarah Cystatin-C ………………………………………..…….. 36
3. Fungsi fisiologis Cystatin-C ….…………………………..…… 37
4. Srtuktur Cystatin-C ……………………………………………… 38
5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C …………………….…. 38
6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C ……………………..…. 39
7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)…... 40
8. Metode PETIA (particle-enhanced turbidimetric immunoassay. 41
9. Metode PENIA (particle-enhanced immuno-nephelometry)….. 41
ix
11
10. Pemeriksaan Cystatin-C Metode POCT ………………………. 42
F. Kerangka Teori ……………………………………………………….. 45
III. METODE PENELITIAN …………………………………………………… 46
A. Rancangan Penelitian ……………………………………………… 46
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………… 46
D. Populasi dan Sampel ………………………………………………. 47
D. Kriteria Sampel ………………………………………………………… 47
E. Besar Sampel Penelitian …………………………………………… 48
F. Bahan dan Alat Penelitian …………………………………………. 48
G. Prosedur Penelitian ………………………………………………… 49
H. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ………………………. 50
I. Pengumpulan Data ………………………………………………… 50
J. Analisa Data ………………………………………………………… 51
K. Persetujuan Etika Penelitian dan Tindakan Medik ……………… 51
L. Alur Penelitian ………………………………………………………… 52
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………… 51
A. Hasil Penelitian ……………………………………………………….. 51
B. Pembahasan …………………………………………………………. 56
C. Ringkasan Hasil Penelitian ………………………………………… 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 67
A. Kesimpulan ………………….…….…………………………………. 67
B. Saran ………………………………………………………………….. 67
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 68
x
12
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik ……………………… 21
2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik ………………………………………. 28
3. Data Karakteristik Sampel Penelitian ………………………………… 53
4. Distribusi Kadar cystatin-C Tinggi Pada Penderita DM
Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal ……………….. 54
5. Hubungan Lama DM Dengan Kadar Cystatin C Tinggi Pada
Penderita DM Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal… 55
xi
13
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Gaya yang Berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus……………. 23
2. Proses-proses Dasar di Ginjal ………………………………………. 24
3. Molekul Kreatinin …………………..……………………………….. 29
4. Molekul Cystatin C ……………………………………………………. 38
xii
14
DAFTAR LAMPIRAN
Kode Etik Penelitian dan Tindakan Medik
Data primer hasil penelitian
Curiculum Vitae
xiii
1
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
ADA
ADP
AKI
ATP
CKD-EPI
Da
dkk
DM
DMT1
DMT2
DTPA
eLFG
ELISA
et al.
GDM
IFD
IDD
IRR
kDa
KHNK
American Diabetes Association (ADA)
adenosin difosfat
Acute Kydney Injuri
adenosin trifosfat
Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration
Dalton
Dan kawan- kawan
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes Melitus tipe 2
diethylenetriamine pentaacetic acid
Estimasi laju filtrasi glomerulus
Enzyme Linked immunosorbentAssay
et alii, dan kawan-kawan
Gestational Diabetes Mellitus
International Diabetes Federation
Insulin Dependent Diabetes
Indonesia Renal Registry
kilo Dalton
Koma Hiperosmoler Non Ketotik
ivx
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan
hiperglikemia dan defisiensi insulin atau resistensi insulin. Hiperglikemia
kronis dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan dan
berbagai organ seperti mata(retina), ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah (Kosasih, 2008).
Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM
meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.
Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain meningkatnya
penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskuler seperti
retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti penyakit pembuluh darah
koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2015).
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR),
pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal
ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan
oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang
dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi, 2015).
1
2
Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat
gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit
yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan
pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari laju
filtrasi glomerulus (LFG) dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di
klinik untuk menilai derajat gangguan fungsi ginjal dan untuk mengikuti
perjalanan penyakit ginjal (Lydia & Nugroho, 2015).
Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik,
dimana akan terjadi gangguan fungsi ginjal yang kemudian menjadi
kegagalan fungsi ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap
diabetes melitus (Rivandi & Yonata, 2015).
Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut
mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal
nefropati diabetik dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal, dan
mulai timbul setelah satu atau dua tahun menderita diabetes melitus. Namun
sebagian besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan fungsi ginjal
sebelum atau bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria (Fiseha,
2015).
Dalam praktek klinis pada umumnya menggunakan kadar kreatinin
serum sebagai penanda umum yang paling sering digunakan untuk melihat
kerusakan ginjal, namun kreatinin serum tampaknya dipengaruhi oleh
berbagai faktor misalnya usia, jenis kelamin, ras, massa otot, penggunaan
3
obat, dan asupan daging, sehingga menjadi tidak sensitif untuk mendeteksi
awal gangguan ginjal diabetes (Fiseha, 2015).
Kreatinin serum paling sering digunakan karena mudah didapatkan.
Penggunaaan kadar serum kreatinin saja untuk menilai laju filtrasi
glomerulus tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, dan dapat
menyebabkan keterlambatan dalam mendeteksi penyakit ginjal kronik serta
pengklasifikasian derajat penyakit ginjal kronik. Rumus yang digunakan
untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal menggunakan kadar kreatinin serum
masih mempunyai kekurangan, terutama untuk pasien yang memiliki
permasalahan dengan jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Cystatin-C, merupakan sistein protease, adalah protein non glikosilasi
dengan berat molekul 13,36 kDa, yang diproduksi oleh hampir semua sel
berinti tubuh manusia. Cystatin-C mungkin meningkat pada pasien diabetes
bahkan sebelum munculnya mikroalbuminuria, dan dapat digunakan sebagai
marker berguna untuk mendeteksi nefropati pada tahap awal. (Kosasih,
2008;Fiseha, 2015).
Cyistatin-C merupakan penanda baru yang cukup menjanjikan untuk
menilai laju filtrasi glomerulus. Cystatin-C diproduksi secara stabil, dan tidak
terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis kelamin, usia, diet, dan status gizi.
Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat digunakan sebagai pemeriksaan
laju filtrasi glomerulus. (Lydia & Nugroho, 2015; Iwani, 2013)
Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen
Clausen dalam cairan serebrospinal, Butler dan Flynn pada tahun yang sama
4
menemukannya pada urin. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun
1984. Cystatin-C dilaporkan pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun
1985 oleh Simonsen et al., yang mendapatkan kadar Cystatin-C serum
berkorelasi negatif kuat dengan laju filtrasi glomerulus (Yaswir, 2012)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa cystatin-C mungkin
lebih akurat dalam mengidentifikasi pada gangguan fungsi ginjal yang ringan,
dibandingkan kreatinin serum.
Penelitian Villa et al (2005), pada 51 pasien ICU didapatkan bahwa
serum cystatin-C lebih akurat daripada serum kreatinin dalam mendeteksi
perubahan LFG pada pasien kritis. Demikian juga pada penelitian yang
dilakukan oleh Hari et al (2014), melakukan uji diagnostik terhadap laju filtrasi
glomerulus berdasarkan cystatin-C dan kreatinin dengan menggunakan
diethylenetriamine pentaacetic acid (DTPA) pada pasien gagal ginjak kronik,
mereka berkesimpulan bahwa cystatin-C memberikan performa yang lebih
baik dalam estimasi LFG daripada kreatinin. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Kumaresan dan Giri (2011), mereka meneliti dari 106 pasien gagal ginjal
kronik dengan mengelompokkan 3 kelompok usia. Mereka membandingkan
pemeriksaan eLFG berdasarkan rumus formula Cockcroft-Gaul dan studi
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dengan cystatin-C serum
metode particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA). Dari hasil
pemeriksaan yang mereka lakukan disimpulkan cystatin-C serum
menunjukkan korelasi yang tinggi terhadap laju filtrasi glomerulus
dibandingkan dengan kreatinin, baik pada kelompok usia remaja maupun
5
dewasa pada pasien gagal ginjal kronik. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Jus dkk (2016), yang memeriksa 260 subjek berumur 40-70 tahun,
ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara MDRD dan cystatin-C
serum. Semakin tinggi nilai MDRD, maka nilai cystatin-C serum semakin
rendah.
Beberapa penelitian terakhir membandingkan kadar serum kreatinin
dan cystatin-C sebagai penanda untuk mendeteksi penurunan laju filtrasi
glomerulus dalam menilai gangguan fungsi ginjal. Dari penelitian tersebut
disimpulkan bahwa cystatin-C lebih akurat dibandingakan kreatinin.
Walaupun demikian, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk menyatakan
bahwa cystatin-C lebih akurat dalam mendeteksi perubahan fungsi ginjal
(Lydia & Nugroho, 2015).
Telah dikenal beberapa macam penanda laju filtrasi glomerulus yang
umum dipakai yaitu inulin, ureum dan kreatinin, sedangkan penanda baru
yang mulai dikenal adalah cystatin-C, yang dapat digunakan sebagai
penanda awal penurunan laju filtrasi glomerulus dalam menilai gangguan
fungsi ginjal.
.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah ditemukan kadar cystatin-C yang tinggi pada penderita diabetes
melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin serum normal.
2. Apakah ada hubungan antara lamanya penyakit diabetes melitus dengan
kadar cystatin-C serum.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk
menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya gambaran yang abnormal kadar cystatin-C serum pada
penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin
normal
b. Diketahuinya hubungan lama DM dengan kadar cystatin-C pada
penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin
normal.
D. Hipotesis Penelitian
Ditemukan kadar cystatin-C serum yang tinggi pada penderita
diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal
7
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
pemeriksaan cystatin-C serum.
2. Manfaat Pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi bidang
pelayanan terkait untuk menjadikan pemeriksaan cystatin-C serum
sebagai penanda awal pada pasien DM yang dicurigai mengalami
gangguan fungsi ginjal.
3. Manfaaat Pengembangan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi tambahan dalam penelitian selanjutnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Defenisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia, disertai kelainan metabolik sebagai akibat defek sekresi
insulin (sel beta pankreas rusak/ insulitis), atau kerusakan faal insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan dan
disfungsi berbagai jaringan dan berbagai organ seperti mata(retina), ginjal,
saraf, jantung dan pembuluh darah (Kosasih, 2008).
Klasifikasikan DM berdasarkan American Diabetes Association
(ADA) 2003, menggantikan penggolongan tahun 1997
a. Diabetes Melitus tipe 1 (DMT1); dahulu disebut Insulin Dependent
Diabetes (IDD), dapat dibagi : 1). proses autoimun yang menyebabkan
kerusakan pankreas. 2). Idiopatik, tidak diketahui penyababnya, tidak
ada tanda-tanda autoimun.
b. Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2), dahulu disebut Non Insulin Dependen
Diabetes (NIDD), ini merupakan tipe yang terbanyak.
c. DM tipe lain dengan ragam penyebab; termasuk defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik dalam kerja insulin, penyakit pankreas eksogen
seperti Fibrocalculous pancreopathy, karena obat (steroid), infeksi,
8
9
diabetes imun yang tidak umum, sindrom genetik lain yang kadang
disertai diabetes
d. Diabetes pada kehamilan = Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
(Kosasih, 2008).
2. Epidemiologi Diabetes Melitus
International Diabetes Federation (IFD) menyebutkan bahwa
prevalensi DM di dunia adalah 1,9 % dan telah menjadikan DM sebagai
penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka
kejadian DM di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi
kejadian DMT2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM. Hasil
riset kesehatan dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di
Indonesia membesar sampai 57%.
Tingginya prevalensi DM disebabkan oleh faktor risiko yang tidak
dapat berubah misalnya faktor genetik/ riwayat keluarga dengan DM, umur
dan ras. Faktor risiko yang bisa diubah misalnya obesitas, kurangnya
aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet yang tidak sehat. Faktor lain
misalnya konsumsi alkohol, stress, kebiasaan merokok, jenis kelamin,
konsumsi kopi dan kafein (Fatimah, 2015).
Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM
meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.
Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain
meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik
10
mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah
(Waspadji, 2015).
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR),
pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal
ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan
oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang
dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi & Yonata,
2015).
3. Diagnosis Diabetes melitus
Dikatakan DM jika pada 2 kali pemeriksaan yang terpisah diperoleh
kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, dan kadar glukosa darah post
prandial ≥ 200 mg/dl (Kosasih, 2008).
4. Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut yaitu; 1). Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah
seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering
terjadi pada penderita DMT1 yang dapat dialami 1-2 kali perminggu.
11
Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan. 2). Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula
darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma
Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yaitu; 1). Komplikasi makrovaskuler, yang umum
berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan
darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK),
gagal jantung kongetif, dan stroke. 2). Komplikasi mikrovaskuler,
terutama terjadi pada penderita seperti nefropati, retinopati , neuropati,
dan amputasi.
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak
normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM.
Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terjadi pada endotel pembuluh
darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal,
semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel yang kemudian
pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskuler diabetes
(Waspadji, 2015).
12
Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi serius diabetes
dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Penyandang dibetes melitus
semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa
dekade sebelumnya (Waspadji, 2015).
Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan
disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya
penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular.
Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian
terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya
glomeruloneklerosis (Waspadji, 2015).
Di Amerika Serikat, ND merupakan penyebab terbanyak penyakit
ginjal stadium akhir. Nefropati diabetik terjadi pada 20-35% pasien DMT1
dan pada 8-20% pasien DMT2, dalam waktu 5-20 tahun setelah awitan.
Risiko terjadinya ND akan meningkat seiring dengan lamanya perjalanan
penyakit, keberhasilan pengendalian metabolik, dan predisposisi genetik
terhadap hipertensi (Pardede, 2008).
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai
dengan adanya mikroalbuminuria, (> 30 mg/hari), jika tidak terkontrol akan
berkembang menjadi proteinuria secara klinis dan berlanjut dengan
penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan kejadian
gagal ginjal. Diperkirakan 30-40% penderita DMT2 akan menderita
nefropati diabetik dan suatu saat dapat berakhir dengan keadaan gagal
ginjal kronik (Rivandi & Yonata, 2015).
13
Pada penderita DM terjadi hipertrofi ginjal dan hiperfiltrasi glomerulus.
Derajat hiperfiltrasi glomerulus setara dengan risiko terjadinya nefropati
diabetik yang signifikan secara klinis. Pada sekitar 40% pasien dengan
diabetes yang mengalami ND, manifestasi paling awal adalah peningkatan
albuminuria yang terdeteksi dengan radioimmunoassay sensitif.
Albuminuria dalam kisaran 30-299 mg/24 jam disebut mikroalbuminuria
(Jameson, 2014).
Faktor risiko terjadinya ND adalah hiperglikemia, hipertensi,
dislipidemia, merokok, riwayat ND dalam keluarga. Keadaan hiperglikemia
yang terjadi baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut
postprandial yang terjadi berulang kali menimbulkan dampak buruk
terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi
kronis dari DM (Jameson, 2014).
Pengenalan awal terhadap adanya perubahan pada ginjal
meningkatkan kesempatan untuk mencegah terjadinya progresi dari
insipiendiabetic nephropathy menjadi overtdiabetic nephropathy. Suatu tes
untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal harus dilakukan pada
saat diagnosis pasien DMT2. Mikroalbuminuria jarang terjadi dalam waktu
singkat pada pasien DMT1; oleh karena itu, skrining pada penderita DMT1
harus dimulai setelah 5 tahun diagnosis. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa diabetes pada masa prepuberitas mungkin berperan penting pada
munculnya komplikasi mikrovaskuler; oleh karena itu penilaian klinis
berperan penting dalam menegakkan dianosis. Akibat adanya kesulitan
14
dalam menentukan kapan terjadi pada DMT2, skrining harus dimulai saat
tegaknya diagnosis (Hendromartono, 2015).
Tahapan nefropati diabetik berdasarkan derajat penurunan fungsi dan
morfologi ginjal yaitu ;
1). Tahap I.
Pada tahap ini ditandai dengan pembesaran ginjal dan hiperfiltrasi
glomerulus, tanpa kelainan histologis pada glomerulus atau struktur
vaskular. Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas
normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum
nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel
dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan
fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2). Tahap II
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM ditegakkan, saat perubahan
struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria
hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres atau
kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung
lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.
Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage).
15
3). Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy saat
mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun
diagnosis DM ditegakkan. Secara histopatologis, juga telah jelas
penebalan membran basalis glomerulus. Laju filtrasi glomerulus masih
tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih
mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4). Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana ND bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan
darah sering meningkat tajam dan LFG menurun di bawah normal. Ini
terjadi setelah 15-20 tahun DM ditegakkan. Penyulit diabetes lainnya
sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil
lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal
hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak
darah dan tekanan darah.
5). Tahap V
Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah
sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun
cangkok ginjal (Lubis, 2015).
16
Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat
gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit
yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan
pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari LFG
dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di klinik untuk menilai
derajat gangguan ginjal dan untuk mengikuti perjalanan penyakit ginjal
(Lydia & Nugroho, 2015).
Pada stadium dini penyakit ginjal diabetik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan laju LFG masih normal atau
meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
keratinin serum. Pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Pada LFG < 30%
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, mual dan sebagainya. Sedangkan
pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium 5 atau disebut gagal ginjal (Alfonso, 2016).
Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut
mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal ND
dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal. Namun sebagian
17
besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan ginjal sebelum atau
bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria. Pada orangtua misalnya,
disfungsi ginjal dengan normoalbuminuria dapat terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus, pada penderita diabetes diantara usia 60-79 tahun
didapatkan LFG< 30/min/1,73m2. (Fiseha, 2015)
B. Proteinuria
1. Defenisi Proteinuria
Proteinuria adalah adanya protein didalam urin manusia yang melebihi
nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam. Dalam keadaan normal,
protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200
mg/24 jam pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup
besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari,
hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama
yang berperan yaitu;
a. Filtrasi glomerulus
b. Reabsorbsi protein tubulus (Bawazier, 2015).
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan
adanya mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria
secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal. Pemeriksaan untuk mencari
18
mikroalbumuria seharusnya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM
ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya
mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang
beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa
keadaan dapat memberikan positif palsu, misalnya latihan jasmani, infeksi
saluran kemih, maupun cara menampung urin yang tidak tepat (Waspadji,
2015).
2. Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara, antara lain;
a. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan
filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin
b. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal
difiltrasi
c. Filtasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Moleculer Weight
Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus
d. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi
imunoglobulin A dalam respons untuk inflamasi (Bawazier, 2015).
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tegantung
mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah
besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak
memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah
transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar
lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat
19
kebocoran protein plasma kedalam urin (proteinuria glomerulus). Protein
yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali
oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150
mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari (Bawazier,
2015).
Proteinuria pada ND dapat bervariasi, berkisar dari 500 mg sampai
25 gr/24 jam. Setelah terjadi proteinuria >500 mg/24jam, fungsi ginjal akan
terus menurun, dengan 50% pasien mengalami gagal ginjal dalam 5-10
tahun. Hipertensi dapat memperkirakan pasien yang akan mengalami
nefropati diabetik, karena adanya hipertensi mempercepat laju penurunan
fungsi ginjal. Terdapat bukti kuat adanya manfaat kontrol glukosa darah
dan tekanan darah dapat memperlambat perkembangan ND. Pada pasien
dengan DMT1, kontrol intensif glukosa darah jelas mencegah terjadinya
atau berkembangnya ND. Bukti untuk pasien DMT2, meskipun kurang
meyakinkan, juga mendukung pentingnya kontrol intensif glukosa darah.
Pengendalian tekanan darah ke level ≤130/80 mmHg akan menurunkan
kejadian penyakit ginjal dan kardiovaskuer (Jameson, 2014).
3. Cara mengukur protein di dalam urin
Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat
bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar
albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH > 7,0 dan bila urin
sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi
proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Pemeriksaan dipstik urin standar
20
mendeteksi albumin melalui reaksi kolorimeter antara albumin
tetrabromopenol biru yang menghasilkan gambaran hijau yang bergradasi
sesuai konsentrasi albumin dalam sampelnya. Tes ini tidak sensitif pada
protein yang non albumin. Sedangkan tes positif biasanya merefleksikan
proteinuria glomerulus. Sekarang ini, tes dipstik yang sangat sensitif
tersedia dipasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-
300 mg/hari) dan merupakan penanda awal dari penyakit glomerulus yang
terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
Keuntungan tes protein dengan dipstik adalah tidak mahal dan dapat
tersedia dimanapun, dapat dipakai untuk diagnostik awal mengetahui
adanya resiko penurunan fungsi ginjal yang cepat. Walaupun tidak semua
tes dipstik dapat mengidentifikasi penurunan fungsi ginjal yang cepat. Pada
tingkat populasi pemeriksaan dipstik ini lebih cocok untuk skrining dalam
jumlah besar (Bawazier, 2015; Aulia & Lydia, 2015).
Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik dimulai dari angka +1
sampai +4 yang merefleksikan/setara dengan peningkatan progresi
konsentrasi albumin urin dalam satuan mg/dl. Pada nefropati diabetik,
mikroalbuminuria biasanya dideteksi jika ekskresi protein diatas 150
mg/hari, bahkan hal tersebut juga terdapat pada pasien dengan atau tanpa
diabetes yang mempunyai risiko kardiovaskuler.
21
Tabel. 1 Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik
Protein urin dipstick Konsentrasi albumin urin
Negative Trace Antara 15 – 30 mg/dl
+1 Antara 30-100 mg/dl +2 Antara 100-300 mg/dl +3 Antara 300-1000 mg/dl +4 Lebih dari 1000 mg/dl
Sumber : Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, jilid II,edisi vi, 2015 dalam Proteiunria (Bawazier, 2015)
C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)
1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah gaya tekanan filtrasi yang
mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran
glomerulus yang sangat permeabel. Untuk melakukan filtrasi glomerulus,
harus terdapat gaya yang mendorong sebagian plasma di glomerulus
menembus lubang- lubang di membran glomerulus (Sherwood, 2014).
Fungsi glomerulus adalah untuk menghasilkan laju filtrasi glomerulus
yang adekuat, berarti volume cairan plasma diatur oleh epitel ginjal.
Permeabilitas selektif pada penyaring ini menjamin pembentukan filtrat
yang hampir bebas protein. Karena seluruh aliran darah yang ada di ginjal
harus melewati pembuluh darah glomerulus, resistensi pembuluh darah ini
juga ikut menentukan aliran plasma ginjal yang disebut renal plasma flow.
Tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi glomerulus: tekanan darah kapiler
22
glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsula Bowman
Ketiga gaya yang ditimbulkan adalah :
a. Tekanan darah kapiler glomerulus
Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik)
yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada
akhirnya bergantung pada kontraksi jantung (sumber energi yang
menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang
ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah glomerulus yang
tinggi mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di
sepanjang kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang
menghasilkan filtrasi glomerulus.
b. Tekanan osmotik koloid plasma
Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak
seimbang protein-protein plasma dikedua sisi membran glomerulus. Karena
tidak dapat di filtrasi, protein plasma terdapat di kapiler glomerulus tetapi
tidak di kapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O lebih tinggi di
kapsula Bowman daripada di kapiler glomerulus. Gaya osmotik
menimbulkan tekanan yang melawan filtrasi glomerulus. Tekanan ini lebih
tinggi karena H2O yang difiltrasi keluar darah glomerulus jauh lebih banyak
sehingga konsentrasi plasma lebih tinggi daripada di tempat lain
23
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman
Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh
cairan dibagian awal tubulus. Tekanan ini cenderung mendorong cairan
keluar kapsula Bowman, melawan filtrasi cairan dari glomerulus menuju
kapsula Bowman (Sherwood, 2014).
Gambar 1.Gaya yang berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood,2014. hal 546)
Gaya-gaya yang bekerja menembus membran glomerulus tidak
berada dalam keseimbangan. Gaya total yang mendorong filtrasi adalah
tekanan darah kapiler glomerulus pada 55 mm Hg. Jumlah dua gaya yang
melawan filtrasi adalah 45mm Hg. Perbedaan neto yang mendorong filtrasi
(10 mm Hg) disebut tekanan filtrasi neto. Tekanan yang ringan ini
mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran
Gaya–gaya yang berperan dalam filtrasi Glomerulus
24
glomerulus yang sangat permeabel. Laju filtrasi glomerulus ini bergantung
tidak hanya pada tekanan filtrasi tetapi juga pada seberapa luas
permukaaan glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa
permeabel membran glomerulus (yaitu seberapa “bocor” lapisan ini)
(Sherwood, 2014).
Gambar 2. Proses-proses dasar di ginjal Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood L.,2014.Hal 543)
Laju filtrasi glomerulus merupakan produk dari rata-rata laju filtrasi
setiap nefron, unit filtrasi ginjal, dikalikan dengan jumlah nefron dikedua
ginjal. Untuk setiap nefron , filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma,
perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler.
(Lydia & Nugroho, 2015)
Nilai LFG bergantung pada jenis kelamin, usia, ukuran tubuh, aktivitas
fisik, diet, terapi farmakologi dan keadaan fisiologis tertentu seperti
kehamilan. Untuk wanita, laju filtrasi glomerulus yang normal adalah 120
ml/menit/1,73 m2, sedangkan untuk pria nilai normalnya adalah 130
Proses- proses dasar di ginjal
25
ml/menit/1,73 m2. Penurunan LFG berbanding terbalik meningkatkan kadar
kreatinin di plasma (Silbernagl, 2006).
2. Pengukuran Laju Filtasi Glomerulus
Manfaat klinis pemeriksaan laju filtrasi glomerulus adalah; deteksi dini
kerusakan ginjal, pemantauan progresifitas penyakit, pemantauan
kecukupan terapi ginjal pengganti dan membantu mengoptimalkan terapi
dengan obat tertentu (Efendi, 2015).
Laju filtrasi glomerulus tidak dapat di ukur secara langsung, oleh
karena itu untuk menentukan nilai LFG dilakukan pengukuran terhadap
klirens urin dari suatu penanda filtrasi tertentu
a. Penanda Filtrasi Eksogen
Penetapan LFG dapat memakai penanda eksogen (inulin, iotalamat,
iosotalamat, 51Cr EDTA,99Tc DTPA). Zat eksogen untuk tes ini harus
mempunyai syarat ; bebas difiltrasi di glomerulus, tidak diabsorpsi oleh
tubulus, tidak disekresi oleh tubulus dan mempunyai kadar stabil dalam
darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan
tidak toksik (Effendi, 2015).
Inulin dan klirensnya merupakan baku emas untuk mengukur laju
filtrasi glomerulus. Metode yang digunakan untuk menilai klirens inulin
memerlukan infus inulin secara intra vena yang terus menerus serta
pengumpulan urin yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena
sulitnya teknik ini, dan juga pengukuran inulin membutuhkan pemeriksaan
kimia yang cukup rumit, maka klirens inulin tidak digunakan secara umum
26
pada praktek klinis untuk menilai fungsi ginjal. Teknik ini biasanya
digunakan sebagai suatu alat penelitian. Selain itu, inulin juga mahal dan
sulit untuk didapatkan (Lydia & Nugroho, 2015).
b. Penanda filtrasi endogen
Terdapat beberapa jenis endogen yang dapat digunakan untuk
menilai laju filtrasi glomerulus antara lain urea, kreatinin dan sistatin-C.
Penanda endogen yang paling sering digunakan adalah kreatinin serum,
baik sendiri maupun dikombinasikan dengan urin 24 jam untuk menentukan
bersihan kreatinin. Beberapa faktor dapat mempengaruhi ketepatan
penggunaan kreatinin untuk uji fungsi ginjal, seperti ketelitian dalam
mengukur jumlah urin 24 jam, pengaruh massa otot terhadap produksi
kreatinin endogen, asupan daging, aktivitas fisik, adanya sekresi kreatinin
di tubulus ginjal, pengaruh obat-obatan, dan masalah analitik metode
pemeriksaan kreatinin. Berbagai kekurangan kreatinin membuat para ahli
mengembangkan penelitian untuk mencari penanda endogen yang lebih
akurat dalam mengukur LFG. Cystatin-C merupakan penanda baru yang
cukup menjanjikan untuk menilai LFG (Yaswir, 2012)
Estimasi laju filtrasi glomerulus diperlukan untuk mendeteksi, evaluasi
dan penatalaksanaa penyakit ginjal kronik. Penggunaaan kadar serum
kreatinin saja untuk menilai laju filttrasi glomerulus tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan, dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam
mendeteksi penyakit ginjal kronik serta pengklasifikasian derajat penyakit
ginjal kronik. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal
27
menggunakan kadar kreatinin serum masih mempunyai kekurangan,
terutama untuk pasien yang memiliki permasalahan dengan jumlah massa
otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Dalam 1-2 tahun setelah munculnya gejala klinis diabetes, terjadi
perubahan morfologik di ginjal. Penebalan basal membran glomerulus
(BMG) adalah indikator yang peka untuk keberadaan diabetes, tetapi
kurang berkorelasi dengan ada tidaknya nefropati yang signifikan secara
klinis. Manusia dengan nefron yang normal tidak mengekskresikan lebih
dari 8-10 mg albumin perhari dalam urinnya. Jumlah albumin ini dan protein
lain dapat meningkat hingga hitungan gram jika terjadi cedera glomerulus.
(Jameson, 2014).
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain kerusakan ginjal (renal
ailure) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi
kelainan patologis, dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah dan urin. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2,
tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifikasi penyakit ginjal
kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat atau stage penyakit
dan dasar diagnosis etiologi (Rivandi, 2015).
28
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dari National Kidney Foundation(Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
STADIUM LFG mL/mnt per 1,73m2
0 >90a
1 ≥90b
2 60-89
3 30-59
4 15-29
5 ,15
aDengan faktor untuk PGK bDengan bukti kerusakan ginjal Sumber : dimodifikasi dari National Kidney Foundation, K/DOQI Clinical Practice Gidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:suppl1,2002. (Jameson, 2014)
D. Kreatinin Serum
1. Defenisi Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir nonprotein dari metabolisme kreatin dan
kreatinin fosfat, yang tampak di dalam serum dengan jumlah yang sesuai
dengan massa otot tubuh. Kreatinin sebagian besar dijumpai di otot rangka,
tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat
(Sacher, 2004; Kowalak, 2010).
Kreatinin merupakan suatu asam amino endogen yang memiliki berat
molekul 113-Da (Dalton). Kreatinin difiltrasi secara bebas diglomerulus dan
tidak direabsorbsi oleh tubulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan
lewat tubulus. Kreatinin plasma disintesis di otot skelet sehingga kadarnya
bergantung pada massa otot dan berat badan. Proses awal biosintesis
29
kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan
glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro, kreatin diubah menjadi
kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Pada pembentukan kreatinin tidak
ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar kreatinin
diekskresi lewat ginjal (Alfonso, 2016).
Gambar 3 : Molekul kreatinin (C4H7N3O) Sumber. Sacher R.A., 2004. hal 292
2. Metabolisme Kreatinin
Dalam sintesis adenosin trifosfat (ATP) dari adenosin difosfat (ADP),
kreatinin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi ensim kreatin
kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga
dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin diubah
secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh
ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan oleh seseorang setara dengan
massa otot rangka yang dimilikinya. Pembentukan kreatinin harian
umumnya tetap, dengan pengecualian pada cedera fisik berat atau penyakit
degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot (Sacher, 2004).
30
Kreatinin ditemukan pada semua cairan tubuh dan dibersihkan dari
sirkulasi dengan filtrasi glomerulus. Bersihan (klirens) suatu substansi dari
ginjal adalah jumlah substansi itu dibersihkan dari plasma oleh ginjal dalam
unit waktu. Pemeriksaan bersihan kreatinin merupakan cara sederhana
dan cukup reliabel untuk menilai laju filtrasi glomerulus (Imanuel, 2015).
Jika terjadi disfungsi renal maka kemampuan filtrasi kreatinin akan
berkurang dan kreatinin serum akan meningkat. Peningkatan kadar
kreatinin serum dua kali lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi
ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan kadar kreatinin serum tiga
kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal sebesar 75%. Ada beberapa
penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu dehidrasi,
kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada
ginjal, disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan
penyakit ginjal (Alfonso, 2016).
Kadar kreatinin darah meningkat apabila fungsi ginjal menurun.
Apabila penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara lambat terjadi
bersamaan dengan penurunan massa otot, konsentrasi kreatinin dalam
serum mungkin stabil, tetapi angka ekskresi (atau bersihan 24-jam) akan
lebih rendah daripada normal (Sacher, 2004).
3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum
31
Kadar kreatinin diukur dengan metode kolorimetri menggunakan
spektrofotometer, fotometer atau analyzer kimiawi. Nilai rujukan serum
kreatinin 0,8-1,2 mg/dl pada laki-laki dewasa dan 0,6-0,9 mg/dl pada
perempuan dewasa, perempuan sedikit lebih rendah karena massa otot
yang lebih rendah daripada laki-laki (Kowalak, 2010).
Metode yang paling banyak digunakan untuk pemeriksaan kreatinin
adalah metode Jaffe (metode alkalin pikrat) yang didasarkan pada reaksi
kreatinin dan alkalin pikrat. Nilai normal kreatinin dengan metode Jaffe
adalah 0,2-1,4 mg/dl untuk laki-laki dewasa dan 0,1-1,2 mg/dl untuk
perempuan dewasa (Lydia & Nugroho, 2015).
Pengukuran kreatinin secara enzimatik lebih rendah dibandingkan
dengan metode Jaffe karena pengukuran secara enzimatik tidak mendekati
kromogen selain kreatinin (Lydia & Nugroho, 2015).
4. Penggunaan kreatinin sebagai penanda Laju Filtrasi Glomerulus
Penggunaan kreatinin sebagai penanda untuk mengukur LFG
memiliki beberapa keuntungan seperti pemeriksaannya mudah dan murah
didapatkan. Kreatinin dilepaskan ke sirkulasi secara konstan, zat ini tidak
terikat pada protein dan secara bebas difiltrasi melewati membran
glomerulus. Zat ini tidak direabsorbsi ditubulus dan hanya sebagian kecil
yang disekresikan lewat tubulus (Lydia & Nugroho, 2015).
Klirens kreatinin dapat diukur dengan pengukuran ekskresi kreatinin
dalam urin 24 jam dan pengukuran tunggal kadar kreatinin serum. Pada
pengukuran seperti ini, ekskresi kreatinin sekitar 20-25 mg/kg BB per hari
32
untuk laki-laki dan 15-20 mg/kg BB per hari untuk wanita. Klirens kreatinin
secara sistematis over estimate laju filtrasi glomerulus karena adanya
sekresi kreatinin dari tubulus. Dahulu, jumlah kreatinin yang diekskresikan
dari tubulus relatif kecil yaitu sekitar 10%-15%, namun dengan adanya
pemeriksaan yang lebih akurat diperkirakan nilai yang dieksresikan tersebut
lebih besar. Pada keadaan nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah, jumlah
kreatinin yang diekskresikan oleh sekresi tubulus melebihi jumlah kreatinin
yang di filtrasi (Lydia & Nugroho, 2015).
Laju filtrasi glomerulus dapat diprediksi dari kadar kreatinin serum
menggunakan rumus yang memiliki variabel antara lain usia, jenis kelamin,
ras dan ukuran tubuh. Berbagai rumus telah dibuat untuk mengukur laju
filtrasi glomerulus seakurat mungkin, namun masih saja ditemui berbagai
keterbatasan terutama untuk pasien-pasien yang diamputasi, memiliki
ukuran tubuh yang lebih besar atau lebih kecil dari rata-rata, pasien dengan
muscle wasting syndrome ataupun pasien dengan diet daging yang tinggi
atau lebih rendah rendah dari rata-rata (Lydia & Nugroho, 2015).
Persamaan yang dianjurkan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan menggunakan konsentrasi kreatinin serum (Pcr),
usia, jenis kelamin, ras,dan berat badan
a. Persamaan Cockcroft-Gault
Rumus ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1973 dari data 249
laki-laki dengan klirens kreatinin berkisar antara 30-130 ml/ menit. Rumus
Cockroft-Gault mengestimasi klirens kreatinin berdasarkan usia, jenis
33
kelamin, berat badan dan kadar serum kreatinin. Untuk wanita, formulasi ini
disesuaikan dengan asumsi kadar kreatinin pada wanita 15% lebih rendah
karena jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Perkiraan klirens kreatinin (mL/mnt)
= (140-usia x beratbadan,kg) 72 x Pcr (mg/dl) Kalikan dengan 0,85 untuk wanita
Ket : Pcr = kreatinin serum
Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002. (Jameson, 2014; Lydia.& Nugroho, 2015)
Keterbatasan yang dimiliki oleh rumus ini adalah; rumus ini kurang
akurat untuk LFG diatas 60 ml/menit, rumus ini lebih memperhitungkan
klirens kreatinin daripada laju filtrasi glomerulus sehingga dapat terjadi
overestimasi, pemeriksaan yang digunakan untuk mengukur kadar kreatinin
saat membuat rumus ini adalah dengan pemeriksaan lama, sehingga tidak
dapat dikalibrasi dengan metode pemeriksaan kreatinin terbaru (Lydia &
Nugroho, 2015).
b. Persamaan dari studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
Rumus MDRD dikembangkan pada tahun 1999 dengan
menggunakan data dari 1628 pasien dengan penyakit ginjal kronik. Rumus
ini awalnya menggunakan enam variabel yang kemudian direvisi menjadi
empat variabel yaitu kadar serum kreatinin, usia, jenis kelamin dan ras.
Rumus ini telah divalidasi untuk pasien dengan penyakit ginjal diabetik,
resipien transplantasi ginjal serta untuk pasien dengan ras Afrika Amerika.
34
Validitas rumus ini independen terhadap etiologi penyakit ginjal kronik.
Pada tahun 2004, the National Kydney Disease Education Program of the
National Institute of Diabetes and Digestive and Kydney Disease
merekomendasikan menggunakan rumus ini untuk memprediksi nilai laju
filtrasi glomerulus (Lydia & Nugroho, 2015).
Rumus yang digunakan :
Perkiraan LFG (mL/mnt per 1,73m2) = 1,86 x (Pcr)-1,154x(usia)-0,203
Kalikan dengan 0,742 untuk wanita
Kalikan dengan 1,21 untuk orang Amerika Afrika.
Ket : Pcr = kreatinin serum
Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002. (Jameson, 2014; Lydia & Nugroho, 2015)
c. Formula Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration
(CKD-EPI).
Rumus baru CKD-EPI dibuat berdasarkan data subjek yang banyak
dari studi dengan karakteristik populasi yang beragam, pasien dengan atau
tanpa penyakit ginjal kronik, diabetes dan pasien transplantasi. Rumus ini
masih menggunakan empat variabel MDRD tetapi menggunakan model
hubungan antara LFG dan kreatinin serum yang berbeda. Model yang
berbeda ini secara sebagian memperbaiki underestimate LFG pada nilai
yang lebih tinggi yang didapatkan pada rumus MDRD. Sehingga rumus
CKD-EPI sama akuratnya dengan rumus MDRD pada LFG dibawah 60
ml/menit/1,73 m2 dan lebih akurat pada nilai LFG yang lebih tinggi. Rumus
35
ini dapat memberikan estimasi LFG pada seluruh kisaran nilai LFG tanpa
bias yang bermakna. Beberapa penulis berpendapat bahwa rumus CKD-
EPI sebaiknya digunakan di klinik untuk menggantikan rumus MDRD (Lydia
dan Nugroho, 2015).
Rumus yang digunakan :
eLFG = 141 x min(kreatinin/k,1)a x max(kreatinin/k,1)1,209 x 0,993umur x
1,018 (jika perempuan) x 1,159 (jika ras Afrika-Amerika).
Dimana k=0,7 pada wanita, k=0,9 pada pria,
a= -0,329 pada wanita, a= -0,441 pada pria,
min= minimum kreatinin/k atau 1, max= maksimun kreatinin/ atau 1.
(Imanuel, 2015)
E. Cystatin-C
1. Defenisi Cystatin-C
Cystatin-C adalah sistein protease yang diproduksi oleh hampir
semua sel tubuh manusia. Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat
digunakan sebagai pemeriksaan LFG. Cystatin-C merupakan protein non
glikosilasi dengan berat molekul 13,36 kDa, terdiri dari dua ikatan disulfida,
120 asam amino, disintesis sebagai sebuah preprotein (menunjukkan
fungsi ekstraseluler) dengan 26–residusignal peptida dan merupakan
produk gen –K base yang ditemukan pada kromoson 20 yang dikodekan
oleh gen CST3 tipehousekeeping. Preprotein ini memiliki isoelektrikpoint
36
9,3 sedangkan bentuk yang lainnya ditemukan di urin (Kosasih, 2008; Iwani,
2013).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa Cystatin-C mungkin
lebih sensitif dalam mengidentifikasi pengurangan ringan pada gangguan
fungsi ginjal yang ringan, dibandingkan kreatinin serum. Cystatin-C
diproduksi secara stabil, dan tidak terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis
kelamin, usia, diet, dan status gizi (Iwani , 2013).
2. Sejarah Cystatin-C
Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen
Clausen dalam cairan serebrospinal manusia dinamakan γ trace (γ-
CSF/cerebrospinal fluid), Butler dan Flynn pada tahun yang sama
menemukannya pada urin. Tahun 1981 Barrett memperkenalkan
penamaan cystatin yang termasuk kedalam kelompok inhibitor protease
sistein. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun 1984.
Cystatin-C diduga sebagai penanda baru LFG pada tahun 1979,
ketika didapatkan kadar plasma cystatin-C meningkat 13 kali lebih tinggi
pada pasien hemodialisis dibandingkan orang sehat. Cystatin-C dilaporkan
pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun 1985 oleh Simonsen et al.,
yang mendapatkan bahwa kadar Cystatin-C serum berkorelasi negatif kuat
dengan LFG (Yaswir, 2012).
3. Fungsi fisiologis Cystatin-C
37
Cystatin-C termasuk kedalam kelompok kedua dari superfamily
cystatin. Ada 11 macam super family cystatin dan cystatin-C merupakan
inhibitor terpenting protease sistein. Protease sistein adalah enzim
proteolitik yang ditemukan dalam lisosom sel. Fungsi protease sistein
penting dalam metabolisme normal sel, menjadi dasar untuk pergantian
protein intraseluler, degradasi kolagen, dan memecah prekursor protein.
Cystatin-C berfungsi sebagai pengatur aktivitas proteolitik dari
protease sistein yang disekresikan atau bocor dari lisosom sel yang mati
atau sel yang rusak. Keseimbangan antara protease sistein dan inhibitornya
sangat penting dalam pengaturan aktivitas proteolitik pada kondisi fisiologis
normal, maupun dalam degradasi protein patologis dan penyakit
keganasan (Yaswir, 2012). Kadar cystatin-C dalam serum menggambarkan
LFG yang mendekati penanda LFG endogen ideal. (Hartati, 2016).
Cystatin-C saat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum
kreatinin untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus. Setelah difiltrasi,
cystatin-C direabsorbsi seluruhnya dan dikatabolisme oleh sel epitel
tubulus. Oleh karena itu, ditemukan cystatin-C didalam urin dapat
digunakan sebagai penanda kerusakan dari sel epitel tubulus proksimal
ginjal. Pembentukan cystatin-C tidak terlalu bervariasi antara satu individu
ke individu lainnya bila dibandingkan dengan kreatinin. Laju produksi
cystatin-C tidak dipengaruhi oleh faktor massa otot, jenis kelamin dan juga
ras. Dari beberapa penelitian didapatkan inflamasi, jaringan lemak, penyakit
38
tiroid, keganasan tertentu dan penggunaan kortikostiroid dapat
meningkatkan kadar cystatin-C (Lydia & Nugroho, 2015).
4. Srtuktur Cystatin-C
Cystatin-C adalah suatu asam amino dengan 13,36 kDa, dengan
umus molekul C22H40N8O5, inhibitor cysteine proteinase yang dapat
difiltrasi secara bebas di glomerulus. Seluruh sel berinti memproduksi
substansi ini dan laju produksinya relatif konstan dari usia 4 bulan hingga
70 tahun. Zat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum kreatinin
untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus.
Gambar.3 : Molekul Cystatin-C (C22H40N8O5) Sumber : dikutip dari Yaswir, 2012
5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C
Cystatin-C disintesis secara konstan oleh semua sel berinti, dan
ditemukan dengan kadar yang tinggi diberbagai cairan tubuh manusia,
dengan waktu paruh 2 jam, kemudian diekskresikan hanya melalui ginjal.
Produksi cystatin-C tidak dipengaruhi oleh inflamasi, massa otot, jenis
kelamin, usia, dan ras, serta komposisi tubuh. Kadar cystatin-C tertinggi
39
pada usia 1 hari, kemudian dengan cepat menurun selama 4 bulan pertama
yang ditafsirkan sebagai akibat proses pematangan ginjal. Setelah usia 1
tahun maka kadar cystatin-C menjadi sama dengan usia dewasa. Kadar
cystatin-C pada bayi prematur secara bermakna lebih meningkat
dibandingkan dengan dewasa, dimana didapatkan kadar cystatin-C antara
1,10-2,06 mg/L. Cystatin-C direabsorpsi oleh tubulus proximal dan tidak
disekresi, tetapi mengalami katabolisme hampir lengkap (99%) oleh sel
tubulus proksimal sehingga tidak ada yang kembali ke darah. Dengan
demikian kadar Cystatin-C dalam darah mengambarkan LFG dan dapat
dikatakan mendekati penanda LFG endogen yang ideal (Yaswir, 2012).
6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C
Pemeriksaan imunologi pertama untuk mengukur cystatin-C
ditemukan oleh Loberg dan Grubb pada tahun 1979 dengan metode
enzyme-amplified single radial immunodiffusion. Metode ini mempunyai
batas deteksi 30 μg/L. Metode lainnya untuk mendeteksi cystatin-C
ditemukan beberapa tahun kemudian, berdasarkan radio, flourescent, dan
enzymatic immunoassay. Metode awal pemeriksaan cystatin-C ini
termasuk radial immunodifusi dan enzim immunoassay, membutuhkan
waktu yang lama, dan presisinya rendah. Metode terakhir yang ditemukan
adalah automated homogeneous immunoassay menggunakan latex atau
partikel polystyrene yang dilapisi dengan antibodi cystatin-C spesifik.
Ada dua versi berbeda untuk metode latex immunoassay, pertama
berdasarkan metode particle-enhanced turbidimetric immunoassay
40
(PETIA) yang ditemukan oleh Kyhse-Anderson et al. pada tahun 1994, dan
metode kedua berdasarkan nefelometri (particle-enhanced nephelometric
immunoassay (PENIA) yang diperkenalkan oleh Dade Behring GmBh tahun
1997. Metode kedua presisinya lebih baik dari metode pertama dan interval
referensinya dilaporkan lebih konsisten, sehingga metode PENIA
merupakan metode terbaik untuk pemeriksaan cystatin-C. Heparin dan
EDTA dapat mempengaruhi pemeriksaan cystatin-C sehingga pemeriksaan
lebih baik mengunakan serum daripada plasma. Pengaruh EDTA terhadap
pemeriksaan cystatin-C belum jelas, tetapi diduga berperan dalam reaksi
imunoagregasi. Pengaruh heparin juga belum dapat dijelaskan. Nilai normal
cytatin-C menurut NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory
Standards) adalah 0,54-1,21 mg/L, yang didapatkan dengan metode
nefelometri. (Yaswir, 2012)
7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)
Prinsip pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif secara
sandwich enzyme immunoassay. Antibodi monoklonal spesifik untuk
cystatin-C sebelumnya dilapisi ke microplate. Standar dan sampel dipipet
ke dalam well, jika terdapat cystatin-C maka akan diikat oleh antibodi.
Setelah pencucian substansi yang tidak berikatan, sebuah enzim pengikat
antibodi monoklonal spesifik/ enzyme-linked monoclonal antibody spesifk
untuk cystatin-C ditambahkan ke dalam well. Kemudian dilakukan lagi
pencucian untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan,
lalu larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan warna yang terbentuk
41
secara proporsional menunjukkan jumlah cystatin-C yang berikatan pada
tahap awal. Pembentukan warna dihentikan dan intensitas warna diperiksa
(Yaswir, 2012).
8. Metode PETIA (particle-enhanced turbidimetric immunoassay)
Prinsip Pemeriksaan ; cystatin-C yang didapatkan dari sampel serum
atau plasma dicampur dengan anti cystatin-C yang didapatkan dari
immunopartikel. Kompleks partikel yang terbentuk akan menyerap cahaya,
dan dengan turbidimetri penyerapan cahaya berhubungan dengan kadar
cystatin-C melalui interpolasi pada sebuah kurva kalibrasi standar yang
ditetapkan.
Sampel yang digunakan adalah serum atau plasma EDTA/heparin,
dianjurkan menggunakan sampel segar. Sampel serum atau plasma stabil
selama 14 hari pada temperatur ruangan (8-25 °C), selama 21 hari pada
suhu2-8°C, dan 3 bulan bila disimpan pada suhu -20°C. (Yaswir, 2012)
9. Metode PENIA (particle-enhanced immuno-nephelometry)
Prinsip Pemeriksaan ; partikel polystyrene yang dilapisi dengan
antibodi cystatin-C, akan beraglutinasi ketika dicampur dengan sampel
yang mengandung cystatin-C. Intensitas dari cahaya yang dipancarkan/
scattered light diperiksa menggunakan immunonefelometri dan tergantung
pada kadar cystatin-C dalam sampel. Dapat digunakan sampel serum,
plasmaEDTA dan heparin (Yaswir, 2012).
10. Pemeriksaan cystatin-C metode POCT
42
Tes ini menggunakan metode POCT (Point Of CareTest). Dengan
menggunakan alat One Step Test for CysC- FIA8000, Quantitative
Immunoassay Analyzer, yang diukur dengan mengunakan serum dengan
nilai rujukan 0,51-1,09 mg/L. Prinsip kerja dari pemeriksaan ini ; Uji ini
menggunakan anti-human cystatin-C, antibodi monoklonal pada konjugat
dengan koloid emas dan anti-human cystatin-C antibodi monoklonal yang
lain yang dilapisi pada kartu test. Setelah sampel dimasukan pada strip tes,
label emas anti-human cystatin-C antibodi monoklonal berikatan dengan
cystatin-C pada sampel dan membentuk penanda kompleks antigen-
antibodi. Kompleks ini berpindah ke zona kartu deteksi test . Kemudian
penanda kompleks antigen –antibodi ditangkap pada garis tes oleh anti-
human cystatin-C antibodi monoklonal yg lain yang menampakkan satu
garis merah keunguan pada garis tes. Semakin tinggi intensitas warna pada
garis tes, menunjukan jumlah proporsi cystatin-C pada sampel. Prosedur
pemeriksaan dengan cara mencampurkan sampel (serum 10 µl) pada
konjugat yang tersedia pada kit, campur secara homogen lalu dipipet
sebanyak 120 µl pada kartu tes (dengan pipet yg telah tersedia), diamkan
selama 3 menit, kemudian masukan kartu tes pada FIA8000 kuantitif
immunoassay analyzer, konsentrasi cystatin-C pada sampel akan diukur
dan ditampilkan pada layar. Nilai akan terbaca dan tersimpan dalam
FIA8000 dan dapat di download. Hasilnya dapat dengan mudah dimasukan
dalam system informasi laboratorium atau rumah sakit.
43
Penelitian tentang cystatin-C diantaranya; Penelitian Villa et al. (2005)
pada 51 pasien ICU didapatkan bahwa serum cystatin-C lebih akurat
daripada serum kreatinin dalam mendeteksi perubahan LFG pada pasien
kritis. Demikian juga pada penelitian Li Q. at.al (2010), mereka meneliti
terhadap 71 pasien gagal ginjal akut, dan mereka menyimpulkan bahwa
cystatin-C lebih sensitif dari pada serum kreatinin dalam mendeteksi pada
pasien Acute Kydney Injuri (AKI).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hari et al (2014), melakukan uji
diagnostik terhadapa laju filtrasi glomerulus berdasarkan cystatin-C dan
kreatinin dengan menggunakan diethylenetriamine pentaacetic acid
(DTPA) pada pasien gagal ginjak kronik, mereka berkesimpulan bahwa
cystatin-C memberikan performa yang lebih akurat dari estimasi LFG
berdasarkan kreatinin.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumaresan dan Giri (2011),
mereka meneliti dari 106 pasien gagal ginjal kronok dengan
mengelompokkan 3 kelompok usia. Mereka membandingkan pemeriksaan
eLFG berdasarkan rumus formula Cockcroft-Gaul dan MDRD dengan
cystatin-C serum metode PENIA. Dari hasil pemeriksaan yang mereka
lakukan disimpulkan cystatin-C serum menunjukkan korelasi yang tinggi
terhadapa LFG dibandingkan dengan kreatinin, baik pada kelompok remaja
maupun dewasa pada pasien gagal ginjal kronik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jus dkk (2016), yang memeriksa
260 subjek berumur 40-70 tahun, ditemukan bahwa terdapat korelasi
44
negatif antara MDRD dan cystatin-C serum. Semakin tinggi nilai MDRD,
maka nilai cystatin-C serum semakin rendah.
Berdasarkan penelitian Inker et al (2012), bahwa perkiraan laju filtrasi
glomerulus menggunakan persamaan kreatinin atau cystatin-C ataupun
kombinasi keduanya sangat penting sebagai penanda penyakit gagal ginjal
kronik. Sampai saat ini di Indonesia masih belum mempunyai rumus
estimasi laju filtrasi glomerulus yang berasal dari penelitian yang dilakukan
di Indonesia sendiri, sehingga hasil korelasi yang didapat masih berpotensi
untuk memperlihatkan korelasi yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian terakhir membandingkan kadar serum kreatinin
dan cystatin-C sebagai prediktor fungsi ginjal. Dari penelitian tersebut
disimpulkan bahwa cystatin-C lebih akurat dibandingakan kreatinin.
Walaupun demikian, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk
menyatakan bahwa cystatin-C lebih akurat dalam mendeteksi perubahan
fungsi ginjal (Lydia dan Nugroho, 2015).
F. Kerangka Teori
Diabetes Melitus
Mikroangiopati Makroangiopati
45
Keterangan Diteliti Tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Makroalbuminuria
Neuropati Diabetik
Nefropati Diabetik
Retinopati Diabetik
Proteinuria (+)
Cystatin C
serum
Normo/Mikroalbuminuria
Gangguan Nefron
Hiperfiltrasi glomerulus
Kreatinin
serum
Peny. Arteri Koroner
Peny. Arteri Perifer
Proteinuria (-)