KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

60
KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN KADAR KREATININ NORMAL LEVELS OF CYSTATIN-C SERUM IN DIABETES MELLITUS PATIENTS WITHOUT PROTEINURIA WITH NORMAL CREATININE MEGAWATI GAZALI PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

Page 1: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

1

KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN

KADAR KREATININ NORMAL

LEVELS OF CYSTATIN-C SERUM IN DIABETES MELLITUS PATIENTS WITHOUT PROTEINURIA

WITH NORMAL CREATININE

MEGAWATI GAZALI

PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

Page 2: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

2

KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN

KADAR KREATININ NORMAL

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Biomedik / Kimia Klinik

Disusun dan diajukan oleh

MEGAWATI GAZALI

Kepada

PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

Page 3: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

3

ii

Page 4: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

4

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Megawati Gazali

Nomor mahasiswa : P1505215006

Program Studi : Ilmu Biomedik / Kimia Klinik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan

tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,

saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut

Makassar,

Yang menyatakan

Megawati Gazali

iii

Page 5: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

5

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas Rahmat dan

HidayahNyalah sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya .

Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil

pengamatan penulis terhadap komplikasi diabetes melitus khususnya

komplikasi mikroangiopati yang dapat menyebabkan komplikasi pada

beberapa organ, salah satunya kepada ginjal. Nefropati diabetik dapat terjadi

pada penderita diabetes melitus, yang akhirnya mengarah ke penyakit gagal

ginjal kronik. Komplikasi dapat terus meningkat seiring dengan lamanya

penyakit dan kontrol glikemik yang buruk.. Untuk itu diperlukan pemeriksaan

yang dapat mendeteksi penyakit nefropati diabetik sejak dini. Penulis

bermaksud menyumbangkan saran tentang pemeriksaan yang sebaiknya

dilakukan yang dapat dijadikan petanda awal untuk mengetahui adanya

kejadian gangguan fungsi ginjal.

Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan

tesis ini, yang hanya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka tesis ini selesai

pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan

terimakasih yang tak terhingga kepada :

dr. Uleng Bahrun, Ph.D.,Sp.PK (K), sebagai Ketua Komisi Penasihat

Dr. dr. Tenri Esa, M.Si.,Sp.PK., sebagai anggota Komisi Penasehat

atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan

minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitian sampai

dengan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis haturkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada :

Dr. dr. Ilham Jaya Pattelongi, M.Kes.,

Dr. dr. Haerani Rasyid M.Kes.,Sp.PD-KGH.,Sp.GK.,

Dr. dr. Husaini Umar, Sp.PD.KEMD.,

sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat

membantu bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

iv

Page 6: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

6

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Hasanuddin selaku

bapak pimpinan dan Yahya, SKM, M.Kes selaku atasan langsung yang telah

memberikan izin bagi penulis dalam melanjutkan pendidikan.

Tak lupa terimakasih kepada suamiku tercinta H. Najamuddin,

S.Kep,Ns., dan anak-anakku tersayang Indah Libriana, Ridha Dwi Reski,

Anita Najwan dan Ahmad Rafi Ijlal yang selama ini dengan penuh pengertian

dan kesabaran mendukung penuh penulis menjalani pendidikan sampai

selesai. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam

penelitian ini : dr. Yop, Ruly, Sumitro, Hamri, Evy dan Umi yang telah

membantu dalam penelitian ini, juga buat teman-temanku angkatan Cytogenik

: Eby, Icha, Ika, Yanti, Yaumil, Rifki, Sultan dan Ode yang senantiasa memberi

suport dan dukungannya. Dan yang terakhir terimakasih juga disampaikan

kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Makassar, Agustus 2017

Megawati Gazali

v

Page 7: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

7

ABSTRAK

MEGAWATI GAZALI. Kadar Cystatin-C Serum pada Penderita Diabetes Melitus Tanpa Proteinuria dengan Kadar Kreatinin Normal (dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Tenri Esa).

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan serta berbagai organ seperti ginjal. Salah satu petanda kerusakan ginjal adalah Cystatin-C yang merupakan petanda baru yang cukup menjanjikan untuk menilai kegagalan fungsi ginjal lebih dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sampel sebanyak 49 orang yang dipilih secara purposif. Subyek penelitian adalah penderita diabetes melitus di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSPTN. Universitas Hasanuddin pada bulan Juli 2017.

Hasil penelitian menunjukkan, pada penderita DM tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal, sebagian besar sampel (91,8%) memiliki kadar cystatin-C yang tinggi (>1,09 mg/L). Kadar cystatin-C tinggi terutama ditemukan pada penderita dengan lama DM ≥5 tahun. Disimpulkan bahwa kadar cystatin-C serum sudah ditemukan tinggi walaupun kadar kreatinin masih dalam batas normal. Terdapat hubungan antara lama DM dengan kadar cystatin-C terutama pada kelompok lama DM ≥ 5 tahun, sehingga Cystatin-C dapat digunakan sebagai penanda awal untuk menilai gangguan fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal. Kata kunci : diabetes melitus, proteinuria, kreatinin, cystatin-C

vi

Page 8: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

8

ABSTRACT

MEGAWATI GAZALI. Levels of Cystatin C Serum In Diabetes Mellitus Patients Without Proteinuria with Normal Creatinine (supervised by Uleng Bahrun and Tenri Esa) Diabetic mellitus is a disease which causes of damage and dysfuntion of varios tissues and various organs such as the kidney. One of the markers of kidney demage is cystatin-C wich is a new promosing inpection to asses the kidney failure earlier. This study aimed to determine the ability of cystatin-C serum as an early indicator to determine the possibility of impaired renal function.

The research design was the Cross sectional design with the total sampels of 49 respondents chosen using the pupposive sampling technique. The respondents were the patients with diabetes mellitus in RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. The examination of the samples was conducted in clinical pathology laboratory of RSPTN. Hasanuddin Univercity in July, 2017. From the result was conducted on the samples with the still normal creatinine level (≤1.2 mg%) , most of the sample (91,8%) had the level of cystatin-C wich was more than the normal value (> 1,09 mg/dl) . High cystatin-C level are primarily found in patients with DM for ≥5 years. The result revealed correlation between DM period and cystatin-C level, especially in DM category for ≥ 5 years, so cystatin-C could be used as an early marker to assess the impaired renal function in patients with diabetes mellitus without proteinuria with normal creatinine.

Keywords: diabetes mellitus, proteinuria, creatinine, cystatin-C

vii

Page 9: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

9

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ……………………………………………………………… .. iv

ABSTRAK ………………………………………………………………… vi

ABSTRACT …………………………………………………………….... vii

DAFTAR ISI …………………………………………………………….... iiiv

DAFTAR TABEL ………………………………………….……………... xi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xiii

DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. ivx

I. PENDAHULUAN ……………………………….…………………… 1

A. Latar Belakang …………………………………………………… 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………….. 5

C. Tujuan Penelitian …………………………………………………. 6

D. Hipotesis Penelitian ………………………………………………. 6

E. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 8

A. Diabetes Melitus …………………………………………………… 8

1. Defenisi Diabetes Melitus …………………………………… 8

2. Epidemiologi Diabetes melitus ………………………………. 9

3. Diagnosisi Diabetes Melitus …………………………………… 10

4. Komplikas Diabetes Melitus …………………………………… 10

viii

Page 10: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

10

B. Proteinuria ……………………………………………………………. 17

1. Defenisi Proteinuria …………………………………………….. 17

2. Patofisiologi Proteinuria ………………………………………… 18

3. Cara pengukuran Proteinuria …..…………………………….. 19

C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)…………… 21

1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus ………………. 21

2. Pengukuran Laju Filtrasi Glomerulus ……………………….. 25

D. Kreatinin Serum …………………………………………………….... 28

1. Defenisi Kreatinin …………………………………..….……….. 28

2. Metabolisme Kreatinin ……………………………………..…… 29

3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum ………………………………… 31

4. Penggunaan kreatinin sebagai petanda

Laju Filtrasi Glomerulus ………………………………………... 31

E. Cystatin-C ………………….…………………………………..…..….. 35

1. Defenisi Cystatin-C …………………………………..……….... 35

2. Sejarah Cystatin-C ………………………………………..…….. 36

3. Fungsi fisiologis Cystatin-C ….…………………………..…… 37

4. Srtuktur Cystatin-C ……………………………………………… 38

5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C …………………….…. 38

6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C ……………………..…. 39

7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)…... 40

8. Metode PETIA (particle-enhanced turbidimetric immunoassay. 41

9. Metode PENIA (particle-enhanced immuno-nephelometry)….. 41

ix

Page 11: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

11

10. Pemeriksaan Cystatin-C Metode POCT ………………………. 42

F. Kerangka Teori ……………………………………………………….. 45

III. METODE PENELITIAN …………………………………………………… 46

A. Rancangan Penelitian ……………………………………………… 46

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………… 46

D. Populasi dan Sampel ………………………………………………. 47

D. Kriteria Sampel ………………………………………………………… 47

E. Besar Sampel Penelitian …………………………………………… 48

F. Bahan dan Alat Penelitian …………………………………………. 48

G. Prosedur Penelitian ………………………………………………… 49

H. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ………………………. 50

I. Pengumpulan Data ………………………………………………… 50

J. Analisa Data ………………………………………………………… 51

K. Persetujuan Etika Penelitian dan Tindakan Medik ……………… 51

L. Alur Penelitian ………………………………………………………… 52

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………… 51

A. Hasil Penelitian ……………………………………………………….. 51

B. Pembahasan …………………………………………………………. 56

C. Ringkasan Hasil Penelitian ………………………………………… 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………. 67

A. Kesimpulan ………………….…….…………………………………. 67

B. Saran ………………………………………………………………….. 67

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 68

x

Page 12: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

12

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

1. Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik ……………………… 21

2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik ………………………………………. 28

3. Data Karakteristik Sampel Penelitian ………………………………… 53

4. Distribusi Kadar cystatin-C Tinggi Pada Penderita DM

Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal ……………….. 54

5. Hubungan Lama DM Dengan Kadar Cystatin C Tinggi Pada

Penderita DM Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal… 55

xi

Page 13: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

13

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

1. Gaya yang Berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus……………. 23

2. Proses-proses Dasar di Ginjal ………………………………………. 24

3. Molekul Kreatinin …………………..……………………………….. 29

4. Molekul Cystatin C ……………………………………………………. 38

xii

Page 14: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

14

DAFTAR LAMPIRAN

Kode Etik Penelitian dan Tindakan Medik

Data primer hasil penelitian

Curiculum Vitae

xiii

Page 15: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

1

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti dan Keterangan

ADA

ADP

AKI

ATP

CKD-EPI

Da

dkk

DM

DMT1

DMT2

DTPA

eLFG

ELISA

et al.

GDM

IFD

IDD

IRR

kDa

KHNK

American Diabetes Association (ADA)

adenosin difosfat

Acute Kydney Injuri

adenosin trifosfat

Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration

Dalton

Dan kawan- kawan

Diabetes Melitus

Diabetes Melitus tipe 1

Diabetes Melitus tipe 2

diethylenetriamine pentaacetic acid

Estimasi laju filtrasi glomerulus

Enzyme Linked immunosorbentAssay

et alii, dan kawan-kawan

Gestational Diabetes Mellitus

International Diabetes Federation

Insulin Dependent Diabetes

Indonesia Renal Registry

kilo Dalton

Koma Hiperosmoler Non Ketotik

ivx

Page 16: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan

hiperglikemia dan defisiensi insulin atau resistensi insulin. Hiperglikemia

kronis dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan dan

berbagai organ seperti mata(retina), ginjal, saraf, jantung dan pembuluh

darah (Kosasih, 2008).

Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM

meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.

Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya

kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain meningkatnya

penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskuler seperti

retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti penyakit pembuluh darah

koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2015).

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR),

pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal

ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan

oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal

ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang

dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi, 2015).

1

Page 17: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

2

Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat

gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit

yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan

pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari laju

filtrasi glomerulus (LFG) dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di

klinik untuk menilai derajat gangguan fungsi ginjal dan untuk mengikuti

perjalanan penyakit ginjal (Lydia & Nugroho, 2015).

Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik,

dimana akan terjadi gangguan fungsi ginjal yang kemudian menjadi

kegagalan fungsi ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap

diabetes melitus (Rivandi & Yonata, 2015).

Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut

mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal

nefropati diabetik dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal, dan

mulai timbul setelah satu atau dua tahun menderita diabetes melitus. Namun

sebagian besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan fungsi ginjal

sebelum atau bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria (Fiseha,

2015).

Dalam praktek klinis pada umumnya menggunakan kadar kreatinin

serum sebagai penanda umum yang paling sering digunakan untuk melihat

kerusakan ginjal, namun kreatinin serum tampaknya dipengaruhi oleh

berbagai faktor misalnya usia, jenis kelamin, ras, massa otot, penggunaan

Page 18: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

3

obat, dan asupan daging, sehingga menjadi tidak sensitif untuk mendeteksi

awal gangguan ginjal diabetes (Fiseha, 2015).

Kreatinin serum paling sering digunakan karena mudah didapatkan.

Penggunaaan kadar serum kreatinin saja untuk menilai laju filtrasi

glomerulus tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, dan dapat

menyebabkan keterlambatan dalam mendeteksi penyakit ginjal kronik serta

pengklasifikasian derajat penyakit ginjal kronik. Rumus yang digunakan

untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal menggunakan kadar kreatinin serum

masih mempunyai kekurangan, terutama untuk pasien yang memiliki

permasalahan dengan jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).

Cystatin-C, merupakan sistein protease, adalah protein non glikosilasi

dengan berat molekul 13,36 kDa, yang diproduksi oleh hampir semua sel

berinti tubuh manusia. Cystatin-C mungkin meningkat pada pasien diabetes

bahkan sebelum munculnya mikroalbuminuria, dan dapat digunakan sebagai

marker berguna untuk mendeteksi nefropati pada tahap awal. (Kosasih,

2008;Fiseha, 2015).

Cyistatin-C merupakan penanda baru yang cukup menjanjikan untuk

menilai laju filtrasi glomerulus. Cystatin-C diproduksi secara stabil, dan tidak

terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis kelamin, usia, diet, dan status gizi.

Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat digunakan sebagai pemeriksaan

laju filtrasi glomerulus. (Lydia & Nugroho, 2015; Iwani, 2013)

Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen

Clausen dalam cairan serebrospinal, Butler dan Flynn pada tahun yang sama

Page 19: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

4

menemukannya pada urin. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun

1984. Cystatin-C dilaporkan pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun

1985 oleh Simonsen et al., yang mendapatkan kadar Cystatin-C serum

berkorelasi negatif kuat dengan laju filtrasi glomerulus (Yaswir, 2012)

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa cystatin-C mungkin

lebih akurat dalam mengidentifikasi pada gangguan fungsi ginjal yang ringan,

dibandingkan kreatinin serum.

Penelitian Villa et al (2005), pada 51 pasien ICU didapatkan bahwa

serum cystatin-C lebih akurat daripada serum kreatinin dalam mendeteksi

perubahan LFG pada pasien kritis. Demikian juga pada penelitian yang

dilakukan oleh Hari et al (2014), melakukan uji diagnostik terhadap laju filtrasi

glomerulus berdasarkan cystatin-C dan kreatinin dengan menggunakan

diethylenetriamine pentaacetic acid (DTPA) pada pasien gagal ginjak kronik,

mereka berkesimpulan bahwa cystatin-C memberikan performa yang lebih

baik dalam estimasi LFG daripada kreatinin. Pada penelitian yang dilakukan

oleh Kumaresan dan Giri (2011), mereka meneliti dari 106 pasien gagal ginjal

kronik dengan mengelompokkan 3 kelompok usia. Mereka membandingkan

pemeriksaan eLFG berdasarkan rumus formula Cockcroft-Gaul dan studi

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dengan cystatin-C serum

metode particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA). Dari hasil

pemeriksaan yang mereka lakukan disimpulkan cystatin-C serum

menunjukkan korelasi yang tinggi terhadap laju filtrasi glomerulus

dibandingkan dengan kreatinin, baik pada kelompok usia remaja maupun

Page 20: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

5

dewasa pada pasien gagal ginjal kronik. Pada penelitian yang dilakukan oleh

Jus dkk (2016), yang memeriksa 260 subjek berumur 40-70 tahun,

ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara MDRD dan cystatin-C

serum. Semakin tinggi nilai MDRD, maka nilai cystatin-C serum semakin

rendah.

Beberapa penelitian terakhir membandingkan kadar serum kreatinin

dan cystatin-C sebagai penanda untuk mendeteksi penurunan laju filtrasi

glomerulus dalam menilai gangguan fungsi ginjal. Dari penelitian tersebut

disimpulkan bahwa cystatin-C lebih akurat dibandingakan kreatinin.

Walaupun demikian, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk menyatakan

bahwa cystatin-C lebih akurat dalam mendeteksi perubahan fungsi ginjal

(Lydia & Nugroho, 2015).

Telah dikenal beberapa macam penanda laju filtrasi glomerulus yang

umum dipakai yaitu inulin, ureum dan kreatinin, sedangkan penanda baru

yang mulai dikenal adalah cystatin-C, yang dapat digunakan sebagai

penanda awal penurunan laju filtrasi glomerulus dalam menilai gangguan

fungsi ginjal.

.

Page 21: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah ditemukan kadar cystatin-C yang tinggi pada penderita diabetes

melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin serum normal.

2. Apakah ada hubungan antara lamanya penyakit diabetes melitus dengan

kadar cystatin-C serum.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk

menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.

2. Tujuan khusus

a. Diketahuinya gambaran yang abnormal kadar cystatin-C serum pada

penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin

normal

b. Diketahuinya hubungan lama DM dengan kadar cystatin-C pada

penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin

normal.

D. Hipotesis Penelitian

Ditemukan kadar cystatin-C serum yang tinggi pada penderita

diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal

Page 22: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

7

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang

pemeriksaan cystatin-C serum.

2. Manfaat Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi bidang

pelayanan terkait untuk menjadikan pemeriksaan cystatin-C serum

sebagai penanda awal pada pasien DM yang dicurigai mengalami

gangguan fungsi ginjal.

3. Manfaaat Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber

informasi tambahan dalam penelitian selanjutnya.

Page 23: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Defenisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan

hiperglikemia, disertai kelainan metabolik sebagai akibat defek sekresi

insulin (sel beta pankreas rusak/ insulitis), atau kerusakan faal insulin, atau

kedua-duanya. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan dan

disfungsi berbagai jaringan dan berbagai organ seperti mata(retina), ginjal,

saraf, jantung dan pembuluh darah (Kosasih, 2008).

Klasifikasikan DM berdasarkan American Diabetes Association

(ADA) 2003, menggantikan penggolongan tahun 1997

a. Diabetes Melitus tipe 1 (DMT1); dahulu disebut Insulin Dependent

Diabetes (IDD), dapat dibagi : 1). proses autoimun yang menyebabkan

kerusakan pankreas. 2). Idiopatik, tidak diketahui penyababnya, tidak

ada tanda-tanda autoimun.

b. Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2), dahulu disebut Non Insulin Dependen

Diabetes (NIDD), ini merupakan tipe yang terbanyak.

c. DM tipe lain dengan ragam penyebab; termasuk defek genetik fungsi sel

beta, defek genetik dalam kerja insulin, penyakit pankreas eksogen

seperti Fibrocalculous pancreopathy, karena obat (steroid), infeksi,

8

Page 24: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

9

diabetes imun yang tidak umum, sindrom genetik lain yang kadang

disertai diabetes

d. Diabetes pada kehamilan = Gestational Diabetes Mellitus (GDM)

(Kosasih, 2008).

2. Epidemiologi Diabetes Melitus

International Diabetes Federation (IFD) menyebutkan bahwa

prevalensi DM di dunia adalah 1,9 % dan telah menjadikan DM sebagai

penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka

kejadian DM di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi

kejadian DMT2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM. Hasil

riset kesehatan dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di

Indonesia membesar sampai 57%.

Tingginya prevalensi DM disebabkan oleh faktor risiko yang tidak

dapat berubah misalnya faktor genetik/ riwayat keluarga dengan DM, umur

dan ras. Faktor risiko yang bisa diubah misalnya obesitas, kurangnya

aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet yang tidak sehat. Faktor lain

misalnya konsumsi alkohol, stress, kebiasaan merokok, jenis kelamin,

konsumsi kopi dan kafein (Fatimah, 2015).

Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM

meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.

Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya

kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain

meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik

Page 25: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

10

mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti

penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah

(Waspadji, 2015).

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR),

pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal

ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan

oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal

ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang

dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi & Yonata,

2015).

3. Diagnosis Diabetes melitus

Dikatakan DM jika pada 2 kali pemeriksaan yang terpisah diperoleh

kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, dan kadar glukosa darah post

prandial ≥ 200 mg/dl (Kosasih, 2008).

4. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi

menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

Komplikasi akut yaitu; 1). Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah

seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering

terjadi pada penderita DMT1 yang dapat dialami 1-2 kali perminggu.

Page 26: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

11

Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak

mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat

mengalami kerusakan. 2). Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula

darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma

Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.

b. Komplikasi Kronis

Komplikasi kronik yaitu; 1). Komplikasi makrovaskuler, yang umum

berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan

darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK),

gagal jantung kongetif, dan stroke. 2). Komplikasi mikrovaskuler,

terutama terjadi pada penderita seperti nefropati, retinopati , neuropati,

dan amputasi.

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan

terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun

makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak

normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM.

Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terjadi pada endotel pembuluh

darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal,

semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel yang kemudian

pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskuler diabetes

(Waspadji, 2015).

Page 27: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

12

Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi serius diabetes

dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Penyandang dibetes melitus

semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa

dekade sebelumnya (Waspadji, 2015).

Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan

disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya

penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular.

Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian

terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya

glomeruloneklerosis (Waspadji, 2015).

Di Amerika Serikat, ND merupakan penyebab terbanyak penyakit

ginjal stadium akhir. Nefropati diabetik terjadi pada 20-35% pasien DMT1

dan pada 8-20% pasien DMT2, dalam waktu 5-20 tahun setelah awitan.

Risiko terjadinya ND akan meningkat seiring dengan lamanya perjalanan

penyakit, keberhasilan pengendalian metabolik, dan predisposisi genetik

terhadap hipertensi (Pardede, 2008).

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai

dengan adanya mikroalbuminuria, (> 30 mg/hari), jika tidak terkontrol akan

berkembang menjadi proteinuria secara klinis dan berlanjut dengan

penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan kejadian

gagal ginjal. Diperkirakan 30-40% penderita DMT2 akan menderita

nefropati diabetik dan suatu saat dapat berakhir dengan keadaan gagal

ginjal kronik (Rivandi & Yonata, 2015).

Page 28: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

13

Pada penderita DM terjadi hipertrofi ginjal dan hiperfiltrasi glomerulus.

Derajat hiperfiltrasi glomerulus setara dengan risiko terjadinya nefropati

diabetik yang signifikan secara klinis. Pada sekitar 40% pasien dengan

diabetes yang mengalami ND, manifestasi paling awal adalah peningkatan

albuminuria yang terdeteksi dengan radioimmunoassay sensitif.

Albuminuria dalam kisaran 30-299 mg/24 jam disebut mikroalbuminuria

(Jameson, 2014).

Faktor risiko terjadinya ND adalah hiperglikemia, hipertensi,

dislipidemia, merokok, riwayat ND dalam keluarga. Keadaan hiperglikemia

yang terjadi baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut

postprandial yang terjadi berulang kali menimbulkan dampak buruk

terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi

kronis dari DM (Jameson, 2014).

Pengenalan awal terhadap adanya perubahan pada ginjal

meningkatkan kesempatan untuk mencegah terjadinya progresi dari

insipiendiabetic nephropathy menjadi overtdiabetic nephropathy. Suatu tes

untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal harus dilakukan pada

saat diagnosis pasien DMT2. Mikroalbuminuria jarang terjadi dalam waktu

singkat pada pasien DMT1; oleh karena itu, skrining pada penderita DMT1

harus dimulai setelah 5 tahun diagnosis. Beberapa penelitian mengatakan

bahwa diabetes pada masa prepuberitas mungkin berperan penting pada

munculnya komplikasi mikrovaskuler; oleh karena itu penilaian klinis

berperan penting dalam menegakkan dianosis. Akibat adanya kesulitan

Page 29: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

14

dalam menentukan kapan terjadi pada DMT2, skrining harus dimulai saat

tegaknya diagnosis (Hendromartono, 2015).

Tahapan nefropati diabetik berdasarkan derajat penurunan fungsi dan

morfologi ginjal yaitu ;

1). Tahap I.

Pada tahap ini ditandai dengan pembesaran ginjal dan hiperfiltrasi

glomerulus, tanpa kelainan histologis pada glomerulus atau struktur

vaskular. Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas

normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum

nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel

dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.

Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan

fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.

2). Tahap II

Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM ditegakkan, saat perubahan

struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria

hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres atau

kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung

lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.

Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.

Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage).

Page 30: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

15

3). Tahap III

Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy saat

mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun

diagnosis DM ditegakkan. Secara histopatologis, juga telah jelas

penebalan membran basalis glomerulus. Laju filtrasi glomerulus masih

tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat.

Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih

mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.

4). Tahap IV

Ini merupakan tahapan saat dimana ND bermanifestasi secara klinis

dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan

darah sering meningkat tajam dan LFG menurun di bawah normal. Ini

terjadi setelah 15-20 tahun DM ditegakkan. Penyulit diabetes lainnya

sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil

lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal

hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak

darah dan tekanan darah.

5). Tahap V

Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah

sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan

memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun

cangkok ginjal (Lubis, 2015).

Page 31: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

16

Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat

gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit

yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan

pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari LFG

dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di klinik untuk menilai

derajat gangguan ginjal dan untuk mengikuti perjalanan penyakit ginjal

(Lydia & Nugroho, 2015).

Pada stadium dini penyakit ginjal diabetik, terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan laju LFG masih normal atau

meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan

keratinin serum. Pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan

keluhan tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual,

nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Pada LFG < 30%

pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti

anemia, peningkatan tekanan darah, mual dan sebagainya. Sedangkan

pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius antara

lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan

sampai pada stadium 5 atau disebut gagal ginjal (Alfonso, 2016).

Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut

mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal ND

dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal. Namun sebagian

Page 32: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

17

besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan ginjal sebelum atau

bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria. Pada orangtua misalnya,

disfungsi ginjal dengan normoalbuminuria dapat terjadi penurunan laju

filtrasi glomerulus, pada penderita diabetes diantara usia 60-79 tahun

didapatkan LFG< 30/min/1,73m2. (Fiseha, 2015)

B. Proteinuria

1. Defenisi Proteinuria

Proteinuria adalah adanya protein didalam urin manusia yang melebihi

nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam. Dalam keadaan normal,

protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200

mg/24 jam pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.

Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup

besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari,

hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama

yang berperan yaitu;

a. Filtrasi glomerulus

b. Reabsorbsi protein tubulus (Bawazier, 2015).

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan

adanya mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria

secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan

berakhir dengan keadaan gagal ginjal. Pemeriksaan untuk mencari

Page 33: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

18

mikroalbumuria seharusnya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM

ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya

mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang

beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa

keadaan dapat memberikan positif palsu, misalnya latihan jasmani, infeksi

saluran kemih, maupun cara menampung urin yang tidak tepat (Waspadji,

2015).

2. Patofisiologi Proteinuria

Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara, antara lain;

a. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan

filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin

b. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal

difiltrasi

c. Filtasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Moleculer Weight

Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus

d. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi

imunoglobulin A dalam respons untuk inflamasi (Bawazier, 2015).

Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tegantung

mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah

besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak

memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah

transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar

lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat

Page 34: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

19

kebocoran protein plasma kedalam urin (proteinuria glomerulus). Protein

yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali

oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150

mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari (Bawazier,

2015).

Proteinuria pada ND dapat bervariasi, berkisar dari 500 mg sampai

25 gr/24 jam. Setelah terjadi proteinuria >500 mg/24jam, fungsi ginjal akan

terus menurun, dengan 50% pasien mengalami gagal ginjal dalam 5-10

tahun. Hipertensi dapat memperkirakan pasien yang akan mengalami

nefropati diabetik, karena adanya hipertensi mempercepat laju penurunan

fungsi ginjal. Terdapat bukti kuat adanya manfaat kontrol glukosa darah

dan tekanan darah dapat memperlambat perkembangan ND. Pada pasien

dengan DMT1, kontrol intensif glukosa darah jelas mencegah terjadinya

atau berkembangnya ND. Bukti untuk pasien DMT2, meskipun kurang

meyakinkan, juga mendukung pentingnya kontrol intensif glukosa darah.

Pengendalian tekanan darah ke level ≤130/80 mmHg akan menurunkan

kejadian penyakit ginjal dan kardiovaskuer (Jameson, 2014).

3. Cara mengukur protein di dalam urin

Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat

bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar

albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH > 7,0 dan bila urin

sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi

proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Pemeriksaan dipstik urin standar

Page 35: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

20

mendeteksi albumin melalui reaksi kolorimeter antara albumin

tetrabromopenol biru yang menghasilkan gambaran hijau yang bergradasi

sesuai konsentrasi albumin dalam sampelnya. Tes ini tidak sensitif pada

protein yang non albumin. Sedangkan tes positif biasanya merefleksikan

proteinuria glomerulus. Sekarang ini, tes dipstik yang sangat sensitif

tersedia dipasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-

300 mg/hari) dan merupakan penanda awal dari penyakit glomerulus yang

terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.

Keuntungan tes protein dengan dipstik adalah tidak mahal dan dapat

tersedia dimanapun, dapat dipakai untuk diagnostik awal mengetahui

adanya resiko penurunan fungsi ginjal yang cepat. Walaupun tidak semua

tes dipstik dapat mengidentifikasi penurunan fungsi ginjal yang cepat. Pada

tingkat populasi pemeriksaan dipstik ini lebih cocok untuk skrining dalam

jumlah besar (Bawazier, 2015; Aulia & Lydia, 2015).

Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik dimulai dari angka +1

sampai +4 yang merefleksikan/setara dengan peningkatan progresi

konsentrasi albumin urin dalam satuan mg/dl. Pada nefropati diabetik,

mikroalbuminuria biasanya dideteksi jika ekskresi protein diatas 150

mg/hari, bahkan hal tersebut juga terdapat pada pasien dengan atau tanpa

diabetes yang mempunyai risiko kardiovaskuler.

Page 36: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

21

Tabel. 1 Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik

Protein urin dipstick Konsentrasi albumin urin

Negative Trace Antara 15 – 30 mg/dl

+1 Antara 30-100 mg/dl +2 Antara 100-300 mg/dl +3 Antara 300-1000 mg/dl +4 Lebih dari 1000 mg/dl

Sumber : Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, jilid II,edisi vi, 2015 dalam Proteiunria (Bawazier, 2015)

C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)

1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah gaya tekanan filtrasi yang

mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran

glomerulus yang sangat permeabel. Untuk melakukan filtrasi glomerulus,

harus terdapat gaya yang mendorong sebagian plasma di glomerulus

menembus lubang- lubang di membran glomerulus (Sherwood, 2014).

Fungsi glomerulus adalah untuk menghasilkan laju filtrasi glomerulus

yang adekuat, berarti volume cairan plasma diatur oleh epitel ginjal.

Permeabilitas selektif pada penyaring ini menjamin pembentukan filtrat

yang hampir bebas protein. Karena seluruh aliran darah yang ada di ginjal

harus melewati pembuluh darah glomerulus, resistensi pembuluh darah ini

juga ikut menentukan aliran plasma ginjal yang disebut renal plasma flow.

Tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi glomerulus: tekanan darah kapiler

Page 37: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

22

glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik

kapsula Bowman

Ketiga gaya yang ditimbulkan adalah :

a. Tekanan darah kapiler glomerulus

Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik)

yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada

akhirnya bergantung pada kontraksi jantung (sumber energi yang

menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang

ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah glomerulus yang

tinggi mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di

sepanjang kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang

menghasilkan filtrasi glomerulus.

b. Tekanan osmotik koloid plasma

Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak

seimbang protein-protein plasma dikedua sisi membran glomerulus. Karena

tidak dapat di filtrasi, protein plasma terdapat di kapiler glomerulus tetapi

tidak di kapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O lebih tinggi di

kapsula Bowman daripada di kapiler glomerulus. Gaya osmotik

menimbulkan tekanan yang melawan filtrasi glomerulus. Tekanan ini lebih

tinggi karena H2O yang difiltrasi keluar darah glomerulus jauh lebih banyak

sehingga konsentrasi plasma lebih tinggi daripada di tempat lain

Page 38: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

23

c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman

Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh

cairan dibagian awal tubulus. Tekanan ini cenderung mendorong cairan

keluar kapsula Bowman, melawan filtrasi cairan dari glomerulus menuju

kapsula Bowman (Sherwood, 2014).

Gambar 1.Gaya yang berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood,2014. hal 546)

Gaya-gaya yang bekerja menembus membran glomerulus tidak

berada dalam keseimbangan. Gaya total yang mendorong filtrasi adalah

tekanan darah kapiler glomerulus pada 55 mm Hg. Jumlah dua gaya yang

melawan filtrasi adalah 45mm Hg. Perbedaan neto yang mendorong filtrasi

(10 mm Hg) disebut tekanan filtrasi neto. Tekanan yang ringan ini

mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran

Gaya–gaya yang berperan dalam filtrasi Glomerulus

Page 39: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

24

glomerulus yang sangat permeabel. Laju filtrasi glomerulus ini bergantung

tidak hanya pada tekanan filtrasi tetapi juga pada seberapa luas

permukaaan glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa

permeabel membran glomerulus (yaitu seberapa “bocor” lapisan ini)

(Sherwood, 2014).

Gambar 2. Proses-proses dasar di ginjal Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood L.,2014.Hal 543)

Laju filtrasi glomerulus merupakan produk dari rata-rata laju filtrasi

setiap nefron, unit filtrasi ginjal, dikalikan dengan jumlah nefron dikedua

ginjal. Untuk setiap nefron , filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma,

perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler.

(Lydia & Nugroho, 2015)

Nilai LFG bergantung pada jenis kelamin, usia, ukuran tubuh, aktivitas

fisik, diet, terapi farmakologi dan keadaan fisiologis tertentu seperti

kehamilan. Untuk wanita, laju filtrasi glomerulus yang normal adalah 120

ml/menit/1,73 m2, sedangkan untuk pria nilai normalnya adalah 130

Proses- proses dasar di ginjal

Page 40: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

25

ml/menit/1,73 m2. Penurunan LFG berbanding terbalik meningkatkan kadar

kreatinin di plasma (Silbernagl, 2006).

2. Pengukuran Laju Filtasi Glomerulus

Manfaat klinis pemeriksaan laju filtrasi glomerulus adalah; deteksi dini

kerusakan ginjal, pemantauan progresifitas penyakit, pemantauan

kecukupan terapi ginjal pengganti dan membantu mengoptimalkan terapi

dengan obat tertentu (Efendi, 2015).

Laju filtrasi glomerulus tidak dapat di ukur secara langsung, oleh

karena itu untuk menentukan nilai LFG dilakukan pengukuran terhadap

klirens urin dari suatu penanda filtrasi tertentu

a. Penanda Filtrasi Eksogen

Penetapan LFG dapat memakai penanda eksogen (inulin, iotalamat,

iosotalamat, 51Cr EDTA,99Tc DTPA). Zat eksogen untuk tes ini harus

mempunyai syarat ; bebas difiltrasi di glomerulus, tidak diabsorpsi oleh

tubulus, tidak disekresi oleh tubulus dan mempunyai kadar stabil dalam

darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan

tidak toksik (Effendi, 2015).

Inulin dan klirensnya merupakan baku emas untuk mengukur laju

filtrasi glomerulus. Metode yang digunakan untuk menilai klirens inulin

memerlukan infus inulin secara intra vena yang terus menerus serta

pengumpulan urin yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena

sulitnya teknik ini, dan juga pengukuran inulin membutuhkan pemeriksaan

kimia yang cukup rumit, maka klirens inulin tidak digunakan secara umum

Page 41: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

26

pada praktek klinis untuk menilai fungsi ginjal. Teknik ini biasanya

digunakan sebagai suatu alat penelitian. Selain itu, inulin juga mahal dan

sulit untuk didapatkan (Lydia & Nugroho, 2015).

b. Penanda filtrasi endogen

Terdapat beberapa jenis endogen yang dapat digunakan untuk

menilai laju filtrasi glomerulus antara lain urea, kreatinin dan sistatin-C.

Penanda endogen yang paling sering digunakan adalah kreatinin serum,

baik sendiri maupun dikombinasikan dengan urin 24 jam untuk menentukan

bersihan kreatinin. Beberapa faktor dapat mempengaruhi ketepatan

penggunaan kreatinin untuk uji fungsi ginjal, seperti ketelitian dalam

mengukur jumlah urin 24 jam, pengaruh massa otot terhadap produksi

kreatinin endogen, asupan daging, aktivitas fisik, adanya sekresi kreatinin

di tubulus ginjal, pengaruh obat-obatan, dan masalah analitik metode

pemeriksaan kreatinin. Berbagai kekurangan kreatinin membuat para ahli

mengembangkan penelitian untuk mencari penanda endogen yang lebih

akurat dalam mengukur LFG. Cystatin-C merupakan penanda baru yang

cukup menjanjikan untuk menilai LFG (Yaswir, 2012)

Estimasi laju filtrasi glomerulus diperlukan untuk mendeteksi, evaluasi

dan penatalaksanaa penyakit ginjal kronik. Penggunaaan kadar serum

kreatinin saja untuk menilai laju filttrasi glomerulus tidak menunjukkan hasil

yang memuaskan, dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam

mendeteksi penyakit ginjal kronik serta pengklasifikasian derajat penyakit

ginjal kronik. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal

Page 42: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

27

menggunakan kadar kreatinin serum masih mempunyai kekurangan,

terutama untuk pasien yang memiliki permasalahan dengan jumlah massa

otot (Lydia & Nugroho, 2015).

Dalam 1-2 tahun setelah munculnya gejala klinis diabetes, terjadi

perubahan morfologik di ginjal. Penebalan basal membran glomerulus

(BMG) adalah indikator yang peka untuk keberadaan diabetes, tetapi

kurang berkorelasi dengan ada tidaknya nefropati yang signifikan secara

klinis. Manusia dengan nefron yang normal tidak mengekskresikan lebih

dari 8-10 mg albumin perhari dalam urinnya. Jumlah albumin ini dan protein

lain dapat meningkat hingga hitungan gram jika terjadi cedera glomerulus.

(Jameson, 2014).

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain kerusakan ginjal (renal

ailure) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau

fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi

kelainan patologis, dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan

dalam komposisi darah dan urin. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan

ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2,

tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifikasi penyakit ginjal

kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat atau stage penyakit

dan dasar diagnosis etiologi (Rivandi, 2015).

Page 43: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

28

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dari National Kidney Foundation(Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (KDOQI)

STADIUM LFG mL/mnt per 1,73m2

0 >90a

1 ≥90b

2 60-89

3 30-59

4 15-29

5 ,15

aDengan faktor untuk PGK bDengan bukti kerusakan ginjal Sumber : dimodifikasi dari National Kidney Foundation, K/DOQI Clinical Practice Gidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:suppl1,2002. (Jameson, 2014)

D. Kreatinin Serum

1. Defenisi Kreatinin

Kreatinin adalah produk akhir nonprotein dari metabolisme kreatin dan

kreatinin fosfat, yang tampak di dalam serum dengan jumlah yang sesuai

dengan massa otot tubuh. Kreatinin sebagian besar dijumpai di otot rangka,

tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat

(Sacher, 2004; Kowalak, 2010).

Kreatinin merupakan suatu asam amino endogen yang memiliki berat

molekul 113-Da (Dalton). Kreatinin difiltrasi secara bebas diglomerulus dan

tidak direabsorbsi oleh tubulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan

lewat tubulus. Kreatinin plasma disintesis di otot skelet sehingga kadarnya

bergantung pada massa otot dan berat badan. Proses awal biosintesis

Page 44: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

29

kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan

glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro, kreatin diubah menjadi

kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Pada pembentukan kreatinin tidak

ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar kreatinin

diekskresi lewat ginjal (Alfonso, 2016).

Gambar 3 : Molekul kreatinin (C4H7N3O) Sumber. Sacher R.A., 2004. hal 292

2. Metabolisme Kreatinin

Dalam sintesis adenosin trifosfat (ATP) dari adenosin difosfat (ADP),

kreatinin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi ensim kreatin

kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga

dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin diubah

secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh

ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan oleh seseorang setara dengan

massa otot rangka yang dimilikinya. Pembentukan kreatinin harian

umumnya tetap, dengan pengecualian pada cedera fisik berat atau penyakit

degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot (Sacher, 2004).

Page 45: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

30

Kreatinin ditemukan pada semua cairan tubuh dan dibersihkan dari

sirkulasi dengan filtrasi glomerulus. Bersihan (klirens) suatu substansi dari

ginjal adalah jumlah substansi itu dibersihkan dari plasma oleh ginjal dalam

unit waktu. Pemeriksaan bersihan kreatinin merupakan cara sederhana

dan cukup reliabel untuk menilai laju filtrasi glomerulus (Imanuel, 2015).

Jika terjadi disfungsi renal maka kemampuan filtrasi kreatinin akan

berkurang dan kreatinin serum akan meningkat. Peningkatan kadar

kreatinin serum dua kali lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi

ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan kadar kreatinin serum tiga

kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal sebesar 75%. Ada beberapa

penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu dehidrasi,

kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada

ginjal, disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan

penyakit ginjal (Alfonso, 2016).

Kadar kreatinin darah meningkat apabila fungsi ginjal menurun.

Apabila penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara lambat terjadi

bersamaan dengan penurunan massa otot, konsentrasi kreatinin dalam

serum mungkin stabil, tetapi angka ekskresi (atau bersihan 24-jam) akan

lebih rendah daripada normal (Sacher, 2004).

3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum

Page 46: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

31

Kadar kreatinin diukur dengan metode kolorimetri menggunakan

spektrofotometer, fotometer atau analyzer kimiawi. Nilai rujukan serum

kreatinin 0,8-1,2 mg/dl pada laki-laki dewasa dan 0,6-0,9 mg/dl pada

perempuan dewasa, perempuan sedikit lebih rendah karena massa otot

yang lebih rendah daripada laki-laki (Kowalak, 2010).

Metode yang paling banyak digunakan untuk pemeriksaan kreatinin

adalah metode Jaffe (metode alkalin pikrat) yang didasarkan pada reaksi

kreatinin dan alkalin pikrat. Nilai normal kreatinin dengan metode Jaffe

adalah 0,2-1,4 mg/dl untuk laki-laki dewasa dan 0,1-1,2 mg/dl untuk

perempuan dewasa (Lydia & Nugroho, 2015).

Pengukuran kreatinin secara enzimatik lebih rendah dibandingkan

dengan metode Jaffe karena pengukuran secara enzimatik tidak mendekati

kromogen selain kreatinin (Lydia & Nugroho, 2015).

4. Penggunaan kreatinin sebagai penanda Laju Filtrasi Glomerulus

Penggunaan kreatinin sebagai penanda untuk mengukur LFG

memiliki beberapa keuntungan seperti pemeriksaannya mudah dan murah

didapatkan. Kreatinin dilepaskan ke sirkulasi secara konstan, zat ini tidak

terikat pada protein dan secara bebas difiltrasi melewati membran

glomerulus. Zat ini tidak direabsorbsi ditubulus dan hanya sebagian kecil

yang disekresikan lewat tubulus (Lydia & Nugroho, 2015).

Klirens kreatinin dapat diukur dengan pengukuran ekskresi kreatinin

dalam urin 24 jam dan pengukuran tunggal kadar kreatinin serum. Pada

pengukuran seperti ini, ekskresi kreatinin sekitar 20-25 mg/kg BB per hari

Page 47: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

32

untuk laki-laki dan 15-20 mg/kg BB per hari untuk wanita. Klirens kreatinin

secara sistematis over estimate laju filtrasi glomerulus karena adanya

sekresi kreatinin dari tubulus. Dahulu, jumlah kreatinin yang diekskresikan

dari tubulus relatif kecil yaitu sekitar 10%-15%, namun dengan adanya

pemeriksaan yang lebih akurat diperkirakan nilai yang dieksresikan tersebut

lebih besar. Pada keadaan nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah, jumlah

kreatinin yang diekskresikan oleh sekresi tubulus melebihi jumlah kreatinin

yang di filtrasi (Lydia & Nugroho, 2015).

Laju filtrasi glomerulus dapat diprediksi dari kadar kreatinin serum

menggunakan rumus yang memiliki variabel antara lain usia, jenis kelamin,

ras dan ukuran tubuh. Berbagai rumus telah dibuat untuk mengukur laju

filtrasi glomerulus seakurat mungkin, namun masih saja ditemui berbagai

keterbatasan terutama untuk pasien-pasien yang diamputasi, memiliki

ukuran tubuh yang lebih besar atau lebih kecil dari rata-rata, pasien dengan

muscle wasting syndrome ataupun pasien dengan diet daging yang tinggi

atau lebih rendah rendah dari rata-rata (Lydia & Nugroho, 2015).

Persamaan yang dianjurkan untuk memperkirakan laju filtrasi

glomerulus (LFG) dengan menggunakan konsentrasi kreatinin serum (Pcr),

usia, jenis kelamin, ras,dan berat badan

a. Persamaan Cockcroft-Gault

Rumus ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1973 dari data 249

laki-laki dengan klirens kreatinin berkisar antara 30-130 ml/ menit. Rumus

Cockroft-Gault mengestimasi klirens kreatinin berdasarkan usia, jenis

Page 48: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

33

kelamin, berat badan dan kadar serum kreatinin. Untuk wanita, formulasi ini

disesuaikan dengan asumsi kadar kreatinin pada wanita 15% lebih rendah

karena jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).

Perkiraan klirens kreatinin (mL/mnt)

= (140-usia x beratbadan,kg) 72 x Pcr (mg/dl) Kalikan dengan 0,85 untuk wanita

Ket : Pcr = kreatinin serum

Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002. (Jameson, 2014; Lydia.& Nugroho, 2015)

Keterbatasan yang dimiliki oleh rumus ini adalah; rumus ini kurang

akurat untuk LFG diatas 60 ml/menit, rumus ini lebih memperhitungkan

klirens kreatinin daripada laju filtrasi glomerulus sehingga dapat terjadi

overestimasi, pemeriksaan yang digunakan untuk mengukur kadar kreatinin

saat membuat rumus ini adalah dengan pemeriksaan lama, sehingga tidak

dapat dikalibrasi dengan metode pemeriksaan kreatinin terbaru (Lydia &

Nugroho, 2015).

b. Persamaan dari studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)

Rumus MDRD dikembangkan pada tahun 1999 dengan

menggunakan data dari 1628 pasien dengan penyakit ginjal kronik. Rumus

ini awalnya menggunakan enam variabel yang kemudian direvisi menjadi

empat variabel yaitu kadar serum kreatinin, usia, jenis kelamin dan ras.

Rumus ini telah divalidasi untuk pasien dengan penyakit ginjal diabetik,

resipien transplantasi ginjal serta untuk pasien dengan ras Afrika Amerika.

Page 49: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

34

Validitas rumus ini independen terhadap etiologi penyakit ginjal kronik.

Pada tahun 2004, the National Kydney Disease Education Program of the

National Institute of Diabetes and Digestive and Kydney Disease

merekomendasikan menggunakan rumus ini untuk memprediksi nilai laju

filtrasi glomerulus (Lydia & Nugroho, 2015).

Rumus yang digunakan :

Perkiraan LFG (mL/mnt per 1,73m2) = 1,86 x (Pcr)-1,154x(usia)-0,203

Kalikan dengan 0,742 untuk wanita

Kalikan dengan 1,21 untuk orang Amerika Afrika.

Ket : Pcr = kreatinin serum

Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002. (Jameson, 2014; Lydia & Nugroho, 2015)

c. Formula Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration

(CKD-EPI).

Rumus baru CKD-EPI dibuat berdasarkan data subjek yang banyak

dari studi dengan karakteristik populasi yang beragam, pasien dengan atau

tanpa penyakit ginjal kronik, diabetes dan pasien transplantasi. Rumus ini

masih menggunakan empat variabel MDRD tetapi menggunakan model

hubungan antara LFG dan kreatinin serum yang berbeda. Model yang

berbeda ini secara sebagian memperbaiki underestimate LFG pada nilai

yang lebih tinggi yang didapatkan pada rumus MDRD. Sehingga rumus

CKD-EPI sama akuratnya dengan rumus MDRD pada LFG dibawah 60

ml/menit/1,73 m2 dan lebih akurat pada nilai LFG yang lebih tinggi. Rumus

Page 50: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

35

ini dapat memberikan estimasi LFG pada seluruh kisaran nilai LFG tanpa

bias yang bermakna. Beberapa penulis berpendapat bahwa rumus CKD-

EPI sebaiknya digunakan di klinik untuk menggantikan rumus MDRD (Lydia

dan Nugroho, 2015).

Rumus yang digunakan :

eLFG = 141 x min(kreatinin/k,1)a x max(kreatinin/k,1)1,209 x 0,993umur x

1,018 (jika perempuan) x 1,159 (jika ras Afrika-Amerika).

Dimana k=0,7 pada wanita, k=0,9 pada pria,

a= -0,329 pada wanita, a= -0,441 pada pria,

min= minimum kreatinin/k atau 1, max= maksimun kreatinin/ atau 1.

(Imanuel, 2015)

E. Cystatin-C

1. Defenisi Cystatin-C

Cystatin-C adalah sistein protease yang diproduksi oleh hampir

semua sel tubuh manusia. Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat

digunakan sebagai pemeriksaan LFG. Cystatin-C merupakan protein non

glikosilasi dengan berat molekul 13,36 kDa, terdiri dari dua ikatan disulfida,

120 asam amino, disintesis sebagai sebuah preprotein (menunjukkan

fungsi ekstraseluler) dengan 26–residusignal peptida dan merupakan

produk gen –K base yang ditemukan pada kromoson 20 yang dikodekan

oleh gen CST3 tipehousekeeping. Preprotein ini memiliki isoelektrikpoint

Page 51: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

36

9,3 sedangkan bentuk yang lainnya ditemukan di urin (Kosasih, 2008; Iwani,

2013).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa Cystatin-C mungkin

lebih sensitif dalam mengidentifikasi pengurangan ringan pada gangguan

fungsi ginjal yang ringan, dibandingkan kreatinin serum. Cystatin-C

diproduksi secara stabil, dan tidak terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis

kelamin, usia, diet, dan status gizi (Iwani , 2013).

2. Sejarah Cystatin-C

Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen

Clausen dalam cairan serebrospinal manusia dinamakan γ trace (γ-

CSF/cerebrospinal fluid), Butler dan Flynn pada tahun yang sama

menemukannya pada urin. Tahun 1981 Barrett memperkenalkan

penamaan cystatin yang termasuk kedalam kelompok inhibitor protease

sistein. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun 1984.

Cystatin-C diduga sebagai penanda baru LFG pada tahun 1979,

ketika didapatkan kadar plasma cystatin-C meningkat 13 kali lebih tinggi

pada pasien hemodialisis dibandingkan orang sehat. Cystatin-C dilaporkan

pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun 1985 oleh Simonsen et al.,

yang mendapatkan bahwa kadar Cystatin-C serum berkorelasi negatif kuat

dengan LFG (Yaswir, 2012).

3. Fungsi fisiologis Cystatin-C

Page 52: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

37

Cystatin-C termasuk kedalam kelompok kedua dari superfamily

cystatin. Ada 11 macam super family cystatin dan cystatin-C merupakan

inhibitor terpenting protease sistein. Protease sistein adalah enzim

proteolitik yang ditemukan dalam lisosom sel. Fungsi protease sistein

penting dalam metabolisme normal sel, menjadi dasar untuk pergantian

protein intraseluler, degradasi kolagen, dan memecah prekursor protein.

Cystatin-C berfungsi sebagai pengatur aktivitas proteolitik dari

protease sistein yang disekresikan atau bocor dari lisosom sel yang mati

atau sel yang rusak. Keseimbangan antara protease sistein dan inhibitornya

sangat penting dalam pengaturan aktivitas proteolitik pada kondisi fisiologis

normal, maupun dalam degradasi protein patologis dan penyakit

keganasan (Yaswir, 2012). Kadar cystatin-C dalam serum menggambarkan

LFG yang mendekati penanda LFG endogen ideal. (Hartati, 2016).

Cystatin-C saat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum

kreatinin untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus. Setelah difiltrasi,

cystatin-C direabsorbsi seluruhnya dan dikatabolisme oleh sel epitel

tubulus. Oleh karena itu, ditemukan cystatin-C didalam urin dapat

digunakan sebagai penanda kerusakan dari sel epitel tubulus proksimal

ginjal. Pembentukan cystatin-C tidak terlalu bervariasi antara satu individu

ke individu lainnya bila dibandingkan dengan kreatinin. Laju produksi

cystatin-C tidak dipengaruhi oleh faktor massa otot, jenis kelamin dan juga

ras. Dari beberapa penelitian didapatkan inflamasi, jaringan lemak, penyakit

Page 53: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

38

tiroid, keganasan tertentu dan penggunaan kortikostiroid dapat

meningkatkan kadar cystatin-C (Lydia & Nugroho, 2015).

4. Srtuktur Cystatin-C

Cystatin-C adalah suatu asam amino dengan 13,36 kDa, dengan

umus molekul C22H40N8O5, inhibitor cysteine proteinase yang dapat

difiltrasi secara bebas di glomerulus. Seluruh sel berinti memproduksi

substansi ini dan laju produksinya relatif konstan dari usia 4 bulan hingga

70 tahun. Zat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum kreatinin

untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus.

Gambar.3 : Molekul Cystatin-C (C22H40N8O5) Sumber : dikutip dari Yaswir, 2012

5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C

Cystatin-C disintesis secara konstan oleh semua sel berinti, dan

ditemukan dengan kadar yang tinggi diberbagai cairan tubuh manusia,

dengan waktu paruh 2 jam, kemudian diekskresikan hanya melalui ginjal.

Produksi cystatin-C tidak dipengaruhi oleh inflamasi, massa otot, jenis

kelamin, usia, dan ras, serta komposisi tubuh. Kadar cystatin-C tertinggi

Page 54: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

39

pada usia 1 hari, kemudian dengan cepat menurun selama 4 bulan pertama

yang ditafsirkan sebagai akibat proses pematangan ginjal. Setelah usia 1

tahun maka kadar cystatin-C menjadi sama dengan usia dewasa. Kadar

cystatin-C pada bayi prematur secara bermakna lebih meningkat

dibandingkan dengan dewasa, dimana didapatkan kadar cystatin-C antara

1,10-2,06 mg/L. Cystatin-C direabsorpsi oleh tubulus proximal dan tidak

disekresi, tetapi mengalami katabolisme hampir lengkap (99%) oleh sel

tubulus proksimal sehingga tidak ada yang kembali ke darah. Dengan

demikian kadar Cystatin-C dalam darah mengambarkan LFG dan dapat

dikatakan mendekati penanda LFG endogen yang ideal (Yaswir, 2012).

6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C

Pemeriksaan imunologi pertama untuk mengukur cystatin-C

ditemukan oleh Loberg dan Grubb pada tahun 1979 dengan metode

enzyme-amplified single radial immunodiffusion. Metode ini mempunyai

batas deteksi 30 μg/L. Metode lainnya untuk mendeteksi cystatin-C

ditemukan beberapa tahun kemudian, berdasarkan radio, flourescent, dan

enzymatic immunoassay. Metode awal pemeriksaan cystatin-C ini

termasuk radial immunodifusi dan enzim immunoassay, membutuhkan

waktu yang lama, dan presisinya rendah. Metode terakhir yang ditemukan

adalah automated homogeneous immunoassay menggunakan latex atau

partikel polystyrene yang dilapisi dengan antibodi cystatin-C spesifik.

Ada dua versi berbeda untuk metode latex immunoassay, pertama

berdasarkan metode particle-enhanced turbidimetric immunoassay

Page 55: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

40

(PETIA) yang ditemukan oleh Kyhse-Anderson et al. pada tahun 1994, dan

metode kedua berdasarkan nefelometri (particle-enhanced nephelometric

immunoassay (PENIA) yang diperkenalkan oleh Dade Behring GmBh tahun

1997. Metode kedua presisinya lebih baik dari metode pertama dan interval

referensinya dilaporkan lebih konsisten, sehingga metode PENIA

merupakan metode terbaik untuk pemeriksaan cystatin-C. Heparin dan

EDTA dapat mempengaruhi pemeriksaan cystatin-C sehingga pemeriksaan

lebih baik mengunakan serum daripada plasma. Pengaruh EDTA terhadap

pemeriksaan cystatin-C belum jelas, tetapi diduga berperan dalam reaksi

imunoagregasi. Pengaruh heparin juga belum dapat dijelaskan. Nilai normal

cytatin-C menurut NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory

Standards) adalah 0,54-1,21 mg/L, yang didapatkan dengan metode

nefelometri. (Yaswir, 2012)

7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)

Prinsip pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif secara

sandwich enzyme immunoassay. Antibodi monoklonal spesifik untuk

cystatin-C sebelumnya dilapisi ke microplate. Standar dan sampel dipipet

ke dalam well, jika terdapat cystatin-C maka akan diikat oleh antibodi.

Setelah pencucian substansi yang tidak berikatan, sebuah enzim pengikat

antibodi monoklonal spesifik/ enzyme-linked monoclonal antibody spesifk

untuk cystatin-C ditambahkan ke dalam well. Kemudian dilakukan lagi

pencucian untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan,

lalu larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan warna yang terbentuk

Page 56: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

41

secara proporsional menunjukkan jumlah cystatin-C yang berikatan pada

tahap awal. Pembentukan warna dihentikan dan intensitas warna diperiksa

(Yaswir, 2012).

8. Metode PETIA (particle-enhanced turbidimetric immunoassay)

Prinsip Pemeriksaan ; cystatin-C yang didapatkan dari sampel serum

atau plasma dicampur dengan anti cystatin-C yang didapatkan dari

immunopartikel. Kompleks partikel yang terbentuk akan menyerap cahaya,

dan dengan turbidimetri penyerapan cahaya berhubungan dengan kadar

cystatin-C melalui interpolasi pada sebuah kurva kalibrasi standar yang

ditetapkan.

Sampel yang digunakan adalah serum atau plasma EDTA/heparin,

dianjurkan menggunakan sampel segar. Sampel serum atau plasma stabil

selama 14 hari pada temperatur ruangan (8-25 °C), selama 21 hari pada

suhu2-8°C, dan 3 bulan bila disimpan pada suhu -20°C. (Yaswir, 2012)

9. Metode PENIA (particle-enhanced immuno-nephelometry)

Prinsip Pemeriksaan ; partikel polystyrene yang dilapisi dengan

antibodi cystatin-C, akan beraglutinasi ketika dicampur dengan sampel

yang mengandung cystatin-C. Intensitas dari cahaya yang dipancarkan/

scattered light diperiksa menggunakan immunonefelometri dan tergantung

pada kadar cystatin-C dalam sampel. Dapat digunakan sampel serum,

plasmaEDTA dan heparin (Yaswir, 2012).

10. Pemeriksaan cystatin-C metode POCT

Page 57: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

42

Tes ini menggunakan metode POCT (Point Of CareTest). Dengan

menggunakan alat One Step Test for CysC- FIA8000, Quantitative

Immunoassay Analyzer, yang diukur dengan mengunakan serum dengan

nilai rujukan 0,51-1,09 mg/L. Prinsip kerja dari pemeriksaan ini ; Uji ini

menggunakan anti-human cystatin-C, antibodi monoklonal pada konjugat

dengan koloid emas dan anti-human cystatin-C antibodi monoklonal yang

lain yang dilapisi pada kartu test. Setelah sampel dimasukan pada strip tes,

label emas anti-human cystatin-C antibodi monoklonal berikatan dengan

cystatin-C pada sampel dan membentuk penanda kompleks antigen-

antibodi. Kompleks ini berpindah ke zona kartu deteksi test . Kemudian

penanda kompleks antigen –antibodi ditangkap pada garis tes oleh anti-

human cystatin-C antibodi monoklonal yg lain yang menampakkan satu

garis merah keunguan pada garis tes. Semakin tinggi intensitas warna pada

garis tes, menunjukan jumlah proporsi cystatin-C pada sampel. Prosedur

pemeriksaan dengan cara mencampurkan sampel (serum 10 µl) pada

konjugat yang tersedia pada kit, campur secara homogen lalu dipipet

sebanyak 120 µl pada kartu tes (dengan pipet yg telah tersedia), diamkan

selama 3 menit, kemudian masukan kartu tes pada FIA8000 kuantitif

immunoassay analyzer, konsentrasi cystatin-C pada sampel akan diukur

dan ditampilkan pada layar. Nilai akan terbaca dan tersimpan dalam

FIA8000 dan dapat di download. Hasilnya dapat dengan mudah dimasukan

dalam system informasi laboratorium atau rumah sakit.

Page 58: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

43

Penelitian tentang cystatin-C diantaranya; Penelitian Villa et al. (2005)

pada 51 pasien ICU didapatkan bahwa serum cystatin-C lebih akurat

daripada serum kreatinin dalam mendeteksi perubahan LFG pada pasien

kritis. Demikian juga pada penelitian Li Q. at.al (2010), mereka meneliti

terhadap 71 pasien gagal ginjal akut, dan mereka menyimpulkan bahwa

cystatin-C lebih sensitif dari pada serum kreatinin dalam mendeteksi pada

pasien Acute Kydney Injuri (AKI).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hari et al (2014), melakukan uji

diagnostik terhadapa laju filtrasi glomerulus berdasarkan cystatin-C dan

kreatinin dengan menggunakan diethylenetriamine pentaacetic acid

(DTPA) pada pasien gagal ginjak kronik, mereka berkesimpulan bahwa

cystatin-C memberikan performa yang lebih akurat dari estimasi LFG

berdasarkan kreatinin.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumaresan dan Giri (2011),

mereka meneliti dari 106 pasien gagal ginjal kronok dengan

mengelompokkan 3 kelompok usia. Mereka membandingkan pemeriksaan

eLFG berdasarkan rumus formula Cockcroft-Gaul dan MDRD dengan

cystatin-C serum metode PENIA. Dari hasil pemeriksaan yang mereka

lakukan disimpulkan cystatin-C serum menunjukkan korelasi yang tinggi

terhadapa LFG dibandingkan dengan kreatinin, baik pada kelompok remaja

maupun dewasa pada pasien gagal ginjal kronik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jus dkk (2016), yang memeriksa

260 subjek berumur 40-70 tahun, ditemukan bahwa terdapat korelasi

Page 59: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

44

negatif antara MDRD dan cystatin-C serum. Semakin tinggi nilai MDRD,

maka nilai cystatin-C serum semakin rendah.

Berdasarkan penelitian Inker et al (2012), bahwa perkiraan laju filtrasi

glomerulus menggunakan persamaan kreatinin atau cystatin-C ataupun

kombinasi keduanya sangat penting sebagai penanda penyakit gagal ginjal

kronik. Sampai saat ini di Indonesia masih belum mempunyai rumus

estimasi laju filtrasi glomerulus yang berasal dari penelitian yang dilakukan

di Indonesia sendiri, sehingga hasil korelasi yang didapat masih berpotensi

untuk memperlihatkan korelasi yang lebih tinggi.

Beberapa penelitian terakhir membandingkan kadar serum kreatinin

dan cystatin-C sebagai prediktor fungsi ginjal. Dari penelitian tersebut

disimpulkan bahwa cystatin-C lebih akurat dibandingakan kreatinin.

Walaupun demikian, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk

menyatakan bahwa cystatin-C lebih akurat dalam mendeteksi perubahan

fungsi ginjal (Lydia dan Nugroho, 2015).

F. Kerangka Teori

Diabetes Melitus

Mikroangiopati Makroangiopati

Page 60: KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES ... - Unhas

45

Keterangan Diteliti Tidak diteliti

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Makroalbuminuria

Neuropati Diabetik

Nefropati Diabetik

Retinopati Diabetik

Proteinuria (+)

Cystatin C

serum

Normo/Mikroalbuminuria

Gangguan Nefron

Hiperfiltrasi glomerulus

Kreatinin

serum

Peny. Arteri Koroner

Peny. Arteri Perifer

Proteinuria (-)