JURNAL - UAJY Repositorye-journal.uajy.ac.id/10710/1/JURNAL.pdf · 2) Tinjauan Umum tentang...

13

Transcript of JURNAL - UAJY Repositorye-journal.uajy.ac.id/10710/1/JURNAL.pdf · 2) Tinjauan Umum tentang...

JURNAL

KEJAHATAN SPIONASE YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT DIPLOMATIK(STUDI KASUS PENYADAPAN OLEH PEJABAT DIPLOMATIK AUSTRALIA

TERHADAP PEJABAT PEMERINTAH INDONESIA)

Penulis : A1bertus Ardian PrastowoFakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakal1Jl

[email protected]

AbstractThe title of this thesis is Espionage Delinquency Committed by Diplomatic Agent (Case Study ofRlegal Interception Committed by Australia Ambassador towards Officials Government ofIndonesia). The legal issue ofthis thesis is the fact that diplomatic agent often involves criminaloffences in the receiving state; one ofthem is espionage act. Then the purpose ofthis thesis is tofind out the legal consequences ofespionage delinquency committed by diplomatic agent related tothe case ofDlegal Interception Committed by Australia Ambassador towards Officials Governmentof Indonesia. The method of this research is literature research. Automatically, the kind of thisresearch is normative law research which is a research focused on positive law norms. The resultof this research are. the receiving state can declare persona non grata to diplomatic agent whocommitting espionage act, but in certain case, the receiving state can request·the sending state towaive the immunity and inviolability ofdiplomatic agent. In the case ofIndonesia and Australia,the Indonesia government takes some responses, these are: sending protest note to Australiaambassador, recalling Indonesia ambassador in Canberra and reviewing bilateral treaty andcooperation between Indonesia andAustralia, which it can be qualifiedas countermeasure.

Keywords: Espionage Delinquency, Diplomatic Agent, Illegal Interception.

1. PendahuluanLatar Belakang

Misi diplomatik sebenarnya sudah adajauh sebelum PBB didirikan denganmendasarkan pada hukum kebiasaaninternasional (international customary rules)yang mengaturmengenai hukum diplomatik.Dalam perkembangannya, kodiftkasipengaturan hukum misi diplomatik terwujuddalam Konvensi Wina 1961 tentangHubungan Diplomatik. Dalam Pasal 3Konvensi Wina 1961 tentang HubunganDiplomatik, diatur mengenai tugas dan fungsimisi diplomatik, antara lain:a. mewakili negara pengirim di negara

penerima;b. melindungi kepentingan negara pengirim

dan warga negaranya di negara penerimadengan memperhatikan batasan-batasanyang diperbolehkan oleh hukuminternasional;

c. melakukan negosiasi dengan pemerintahdari negara penerima;

d. memastikan secara sah petkembangan dinegara penerima dan ··melaporkan haltersebut kepada pemerintah negarapengirim;

e. mengembangkan hubungan persahabatanantara negara pengirim dan negarapenerima serta membangun kerjasamaekonomi, kebudayaan, dan ilmupengetahuan.

Dengan mengetahui tugas dan· fungsimisi diplomatik tersebut, karakteristik datimisi diplomatik adalah mengemban misi suci(sancti habentur legati), yaitu mewakilikepentingan negara pengirim di negarapenerima. .Dalam mengemban misi. sucitersebut, misi diplomatik perlu mendapatdukungan perlindungan hukum berupa. hak­hak kekebalan dan keistimewaan.

1

Hak kekebalan dan keistimewaan inilahyang seringkali kemudian digunakan secaratidak tepat. Salah satu bentuk tindakanpenyalahgunakan hak kekebalan dankeistimewaan tersebut adalah tindakanspionase. Salah satu bentuk tindakan spionaseyang memanfaatkan teknologi dan saranakomunikasi adalah tindakan penyadapan.

Praktik penyadapan sebenarnya telahmenjadi bagian hukum kebiasaaninternasional .meskipun tidak ada satupunnegara yang ingin' mengakui secara terbukabahwa mereka telah melakukan hal tersebut.Permasalahan hukum terjadi jika yangmelakukan penyadapan adalah pejabatdiplomatik dari suatu negara pengirim.Berdasarkan Konvensi Wina 1961, pejabatdiplomatik memiliki kekebalan hukumsehingga aparat penegak hukum dari negarapenerima tidak dapat melakukan proseshukum secara serta-merta kepada pejabatdiplomatik. Hal ini sudah ditegaskan dalamPasal 29 Konvensi Wina 1961.

Padahal ketentuan Pasal 31 dan Pasal47 UU lTE menghendaki adanya penegakanhukum terhadap pelaku tindak kejahatanpenyadapan. Hal ini menunjukkan bahwaterdapat pertentangan hukum antara ketentuanyang terdapat dalam Konvensi Wina 1961tentang Hubungan Diplomatik denganketentuan yang terdapat dalam Undang­Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik.

Adanya pertentangan antar ketentuanhukum tersebut, tentu menjadi sebuahpermasalahan hukum, sebagaimana kasuspenyadapan yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik Australia terhadap beberapapejabat pemerintab Indonesia yang terjadipada taboo 2013.Romosan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalahtersebut, maka permasalahan yang dapatdiajukan, yaitu:Bagaimanakah konsekuensi hukum ataskejahatan spionase yangdilakukan olehpejabat diplomatik dikaitkan dengan kasuspenyadapan yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik Australia terhadap beberapapejabat pemerintab Indonesia?Tujoan

Berdasarkan nunusan masalah di atas,tujuan dari penelitian ini adalah ':lIltuk:

2

a. mengetabui konsekuensi hukum kejahatanspionase yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik;

b. memenuhi salah satu syarat demimemperoleh gelar sarjana hukum.

Tinjaoan Postakaa. Konsep Kejahatan Spionase

1) Konsep Kejahatan dalam HukumIntemasional

Dalam h~m intemasional,konsep kejahatap. intemasional atauinternational crime dibedakan dengankonsep international delinquency.Perbedaan tersebut tampak dari definisidan karakteristik antara internationalcrime dan international delinquency.Menurut Eddy O.S. Hiariej, kejahataninternasional didefinisikan sebagaitindakan yang oleh konvensiintemasional atau hukum kebiasaanintemasional dinyatakan sebagaikejahatan di bawah hukumintemasional atau kejahatan terhadapmasyarakat intemasional1• yangpenuntuan dan penghukumannyaberdasarkan asas aut dedere autf""eredan asas aut dedere autjudicare .

Berbeda dari international crime,international delinquency didefmisikansebagai pelanggaran intemasional,yaitu kesalahan-kesalahan yangdituduhkan telah dilakukan oleh suatunegara berupa pelanggaran beberapakewajiban yang dibebankan terhadapnegara tersebut berdasarkan hukumintemasional dan bukan pelanggaranterhadap kewajiban kontraktual3•

1 Eddy 0.8. Hiariej, 2009, Pengantar HukumPidana Internasional, Cetakan Pertama, PenerbitErlangga, Jakarta, hlm. 46, 54.

2 Asas aut dedere aut punere berarti terhadappelaku· tindak pidana. intemasional dapat dipidanaoleh negara tempat locus delicti terjadi dalambatas teritorial negara tersebut atau diserabkanatau diekstradisi kepada negara peminta yangmemiliki yurisdiksi untuk .mengadili pelakutersebut. Asas aut dedere aut judicare berartisetiap negara berkewajiban untuk menuntut danmengadili pelaku tindak pidana internasional danberkewajiban untuk melakukan kerjasama dengannegara lain di dalam. menangkap, menahan, danmenuntut serta mengadili pelaku tindak pidanaintemasional.

3 J.G. Starke, Bambang Iriana Djajaatmadja,(terjm.), 1999, Pengantar Hukum Internasional I

2) Tinjauan Umum tentang SpionaseMenurut Y. Wahyu Saronto,

spionase termasuk ke dalam tahappenjejakan dalam kegiatan clandestine.Tahap penjejakan merupakan kegiatanpengamatan terhadap sasaran yangberupa orang atau berupa fisik, yangdilakukan sooara clandestine oleh orangatau dengan sarana teknik untukmemperoleh informasi mengenaiidentitas, kegiatan, serta kontak-kontakyang dilakukan oleh sasaran4

Sebagaimana definisi tahap penjajakantersebut, penjajakan dapat dilakukansecara teknik, yaitu denganmenggunakan alat elektronik tertentu,salah satunya adalah dengan melakukanpenyadapan.

Penyadapan merupakan salahsatu bentuk kejabatan yang telab diaturdalam instrumen hukum intemasionalmaupun instrumen hukum nasional.Instrumen hukum intemasional yangdimaksud Budapest Convention 2001on Cybercrime, sedangkan instrumenhukum nasional yang dimaksud adalahUndang-Undang Nomor 11 Taboo2008 tentang Informasi dan TransaksiElektronik (UU ITE). Dalam Pasal 3Konvensi Budapest 2001 tentangCybercrime diatur mengenai definisipenyadapan sebagai illegalinterception, yaitu:

The interception without right,made by technical means, ofnon­public transmissions of computerdata to, from, or within acomputer system, includingelectromagnetic emissions from acomputer system carrying suchcomputer data.

Defmisi serupa juga terdapat dalamPenjelasan PasaI31 ayat (1) UU ITE.

b. Tinjauan Umum tentang PejabatDiplomatik1) Pengertian dan Fungsi Pejabat

DiplomatikMenurut ketentuan Pasal 1 huruf

e Konvensi Wina 1961, yang dimaksud

Edisi Kesepuluh, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika,Jakarta, him. 403-404.

4 Y. Wahyu Saronto, 2012, Intelijen, Cetakanketujuh, PT. Cahaya BerUan Lestari Offset,Bandung, him. 51, 56-57~

3

dengan pejabat diplomatik (diplomaticagent) adalah kepala misi diplomatikdan/atau anggota staf diplomatik darisuatu misi diplomatik. Berdasarkanketentuan Pasal 3 Konvensi Wina 1961,seorang pejabat diplomatik mejalankanfungsi, sebagai berik.ut:a) mewakili negara pengirim (sending

state) di negara penerima (receivingstate);

b) melindungi ,kepentingan negarapengirim dan warga negaranya dinegara penerima denganmemperhatikan batasan-batasanyang diperbolehkan oleh hukumintemasional;

c) melakukan negoslasl denganpemerintah dati negara penerima;

d) memastikan secara sabperkembangan di negarapenerimadan melaporkan hal tersebut kepadapemerintah negara pengirim;

e) mengembangkan hubunganpersahabatan antara negara pengirimdan negara penerima sertamembangun kerjasama ekonomi,kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

2) Macam dan Dasar Pemberian HakKekebalan dan KeistimewaanDiplomatik

Menurut Sumaryo Suryokusumo,kekebalan dan keistimewaan bagiperwakilan asing pada hakikatnya dapatdigolongkan dalam tiga kategori, yaitu:a) Pertama, kekebalan tersebut

meIiputi tidak diganggu-gugatnyapara diplomat termasuk tempattinggal serta miliknya, seperti yangtercantum di dalam ketentuan Pasal­pasal29, 30, dan 41, sertakekebalanmereka dati yurisdiksi baikadministrasi, perdata maupunpidana (pasal 31).

b) Kedua, keistimewaan ataukelonggaran yang diberikan kepadapara diplomat, yaitu dibebaskannyakewajiban mereka :untuk membayarpajak, bea cukai, jaminan sosial danpeorangan ·(ketentuan Pasal-pasal33, 34, 35, dan 36).

c) Ketiga, kekebalan dan keistimewaanyang diberikan pada· perwakilandiplomatik bukan saja menyangkuttidak diganggu-gugatnya gedungperwakilan asing di suatu negara

envoy in a manner befitting hisrepresentative character7

c) Functional Neccesity TheoryMenurut teori ini, kekebalan

dan keistimewaan diberikan kepadapara diplomat karena mereka tidakdapat menjalankan fungsinyadengan baik jika mereka tidakmendapat kekebalan dankeistimewaan tersebut. Walaupundemikian, ter4apat satu hal yangperlu digarisbawahi, yaitu

the purpose of such privilegesand immunities is not to benefitindividuals but, to ensure theefficient performance. of thefunctions of diplomaticmissions as representingstates8

Di samping ketiga· teori di atas,pemberian kekebalan dan keistimewaandiplomatik juga didasarkan pada prinspresiprositas antar negara. Prinsip inimutlak diperlukan dalam rangka:a) mengembangkan hubungan

persahabatan antar negara tanpamempertimbangkan sistemketatanegaraan, sistem sosial yangberbeda satu sama lain;

b) menjamin terlaksananya tugas parapejabat diplomatik secara efisiendan bukan untuk kepentinganindividu9

Ibid, him. 81.Ibid.,hlm. 82.Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., him. 55.

2. MetodeJeRis·PeRelitian

Jenis penelitian hukum yangdipergunakan adalah jenis penelitian hukumnormatif. Jenis penelitian hukum normatifadalah jenis penelitian yang bertitik fokuspada hukum positif berupa peraturanperundang-undangan. Data yangdipergunakan adalah data sekunder- yangterdiri atas bahan hukum primer dan bahanhokum sekunder.Bahan hukum primer diperoleh dari hukumpositif Indonesia yang berupa peraturanperundang-undangan yang berlaku sertabahan-bahan hukum yang berhubungandengan obyek· penelitian yakni Undang­Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor

tennasuk arsip dan kebebasanberkomunikasi, tetapi jugapembebasan dari .segala perpajakandari negara penerima (ketentuanPasal-pasal 22, 23, 24, 26, dan 27)5.

Landasan hukum yang menjadialasan perlunya pemberian hak-hakkeistimewaan dan kekebalan kepadapejabat diplomatik, dapat dibedakanmenjadi tiga, yaitu:a) Exterritoriality Theory

Menurut teori ini, seluruhgedung perwakilan dan perabotyang ada di dalamnya tennasuktempat kediaman pejabat diplomatikdianggap ada di luar wilayah negarapenerima dan dianggap perluasanwilayah dari negara pengirim.Walaupun demikian, teori inimengandung kelemahan, sebagaiberikut:

the fiction of "exterritoriality"fails to provide an adequatebasis because the extent ofexemption that wouldflow fromthis doctrine has never beenaccepted in practice, as boththe premises ofthe mission andthe diplomatic agent comewithin the jurisdiction of thereceiving state for certainpurposes6

b) Representative Character TheoryMenurut teori ini, seorang

pejabat diplomatik yang mewakilisebuah negara yang berdaulat tidakmemperlihatkan kesetiaan padanegara di mana ia ditugaskan dankarena hal itu, dia tidak dapatditundukkan pada hokum danyurisdiksi dari negara penerima. B.Sen juga menambahkan bahwa

any insult to the ambassador isconsidered a slight upon thepersonal dignity of thesovereign whose envoy he isand consequently the receivingstate is obliged to treat the

5 Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum DiplomatikTeori dan Kasus, Cetakan I, Penerbit Alumni,Bandung, him. 69-70.

6 B. S~ 1979, A Diplomat's Jlandbook of 7

International Law and Practice, Second Edition, 8

Martinus Nijho~ London, him. 80-81. 9

4

11 Taboo 2008 tentang Informasi danTransaksi Elektronik, Konvensi Wina 1961tentang Hubungan Diplomatik, KonvensiWina 1969 tentang Hukum PerjanjianIntemasional, Konvensi Budapest 2011tentang Cybercrime, Konvensi tentangResponsibility ofStates for InternationallyWrongfull Acts, Agreement between TheRepublic of Indonesia and Australia onThe Framework for Security Cooperation(The Lombok Treaty), JointUnderstanding on A Code of Conductbetween The Republic of Indonesia andAustralia in Implementation of TheAgreement between The Republic ofIndonesia and Australia on TheFramework for Security Cooperation.Bahan hukum sekunder Berupa pendapathukum tentang obyek penelitian yangdiperoleh dari fakta hukum, asas hukum,literatur, jumal, hasil penelitian, surat kabardan internet. Selain ito, pendapat hukum jugadiperoleh dari narasumber, yaitu Kepala SeksiHukum Politik dan Keamanan, Sub DirektoratPerjanjian, Politik, Keamanan danKewilayahan, Kementrian Luar NegeriRepublik Indonesia.

3. Basil dan Pembahasana. Konsekuensi Hukum atas Kejahatan

Spionase yang Dilakukan oleh PejabatDiplomatik

Sebagaimana ketentuan Pasal 31Konvensi Wina 1961, seorang pejabatdiplomatik menikmati hak kekebalan atasyurisdiksi negara penerima, khususnyayurisdiksi hukum pidana. Walaupoodemikian, kekebalan atas yurisdiksihukum pidana tidak dapat diartikansebagai kekebalan secara penuh atastindak pidana, khususnya tindakanspionase yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik. Hal tersebut dibuktikandengan adanya pengatuan di dalamKonvensi Wina 1961 yang mengaturmengenai konsekuensi hukum ataskejahatan, khususnya kejahatan spionase,yang dilakukan pejabat diplomatik. Bentukkonsekuensi hukum tersebut adalahwaiverof diplomatic immunity dan persona nongrata.1) Waiver ofDiplomatic Immunity

5

Dalam Konvensi Wina 1961,pengaturan mengenai penanggalankekebalan seorang pejabat diplomatikterdapat dalam ketentuan Pasal 32.Dengan penanggalan hak kekebalandiplomatik, seorang pejabat diplomatikyang terbukti melakukan pelanggaranhukum di negara penerima dapat diadilidan dihukum di pengadilan negarapenerima. Dalam kenyataannya,permintaan penqpggalan hak kekebalandiplomatik jarang terjadi karenamemang tidak ada kemauan dari negarapenerimalO

• Rene VArk jugamenambahkan sebagai berikut:

History knows 010 veryfew caseswhen sending states have agreedto waive the immunity ·of ·theirdiplomatic agents. The sendingstate more likely prefers to recallthe diplomat or dismiss him fromits service in such casesll.

Apabila pemerintah negarapengirim bersedia menanggalkan hakkekebalan yang dimiliki oleh pejabatdiplomatiknya, penanggalan hakkekebalan itu terjadi beberapa waktusetelah pejabat diplomatik tersebutmeninggalkan wilayab negara penerimadan pemerintah negara pengirimlahyang akan mengadili pejabatdiplomatik tersebut dan mengakhirikarier diplomatnya12

• Hal ini mengingatbahwa bagaimanapun juga negarapengirim akan berusahamempertahankan yurisdiksi penuh ataspejabat diplomatiknya

Dalam ketentuan Pasal 32Konvensi Wina 1961 tersebut tidakdiatur mengenai standar atau alasankhusus bagi negara penerima untukmengajukan penanggalan hakkekebalan diplomatik. Walaupundemkian, biasanya permohonan

lOG. Sri Nurhartanto, 2009, Kekebalan YurisdiksiHulcum Pidana, Hulcum Perdata, dan HulcumAcara Para Diplomatdi PeradilanNegaraPenerima, Jurnal Hukum Pro Justitia, April 2009,Volume 27 No.1, Universitas KatolikParahyangan, him. 87.

11 D ..n..en6. Vark, 2003, Personal Inviolability andDiplomatic Immunity in Respect ofSerious CrimeJuridica International, VllII2003, University ofTartu, him. 118.

12 G. Sri Nurhartanto, 2009, Op. Cit., -him. 89.

penanggalan hak kekebalan diplomatikdilakukan apabila pejabat diplomatikasing melakukan kejahatan serius diwilayah negara penerima sehinggasecara jelas melanggar kewajibannyauntuk mematuhi hukum negarapenerima. Berdasarkan hal tersebut,seorang pejabat diplomatik yangmelakukan kegiatan spionasesebenarnya pantas ditanggalkan hakkekebalan diplomatiknya.

2) Persona non'GrataPersona non grata merupakan

nota diplomatik yang berisi pemyataanpenolakan atau ketidaksetujuan datinegara penerima terhadap pejabatdiplomatik dari negara pengirim.Dengan dinyatakan persona non grata,negara pengirim berkewajiban untukmemanggil pulang (recall) pejabatdiplomatik yang bersangkutan ataumengakhiri fungsi misi diplomatikyang dijalankan oleh pejabatdiplomatik tersebut. Seorang pejabatdiplomatik yang dinyatakan personanon grata biasanya tidak serta Mertadiusir dari wilayah negara penerima.Dalam berbagai kasus, pejabatdiplomatik harns diberikan waktu yanglayak untuk meninggalkan wilayahnegara penerima dan selama waktutersebut, pejabat diplomatik yangbers8ngkutan tetap menikmati hak-hakkekebalan dan keistimewaan.

Hak dari setiap negara untukmenyatakan pejabat diplomatik sebagaipersona non grata merupakan dasarpenegakan hukum diplomatik. Ketikahak kekebalan dan keistimewaandiplomatik disalahgunakan olehseorang pejabat diplomatik, negarapenerima biasanya akan mengambiljalan untuk menyatakan pejabatdiplomatik tersebut sebagai personanon grata. Dengan kata lain,

the ability to declare an agentpersona non grata, together withthe possibility to merely severediplomatic· and consular relationsis a thus a "means of defenseagainst, or sanction for, illicitactivities by members of

6

diplomatic and consularmission ,,13.

Melihat karakteristik deklarasipersona non grata sebagai sootu sanksi,setiap negara hams berhati-hati dancermat dalam menggunakan saranatersebut. Hal ini juga mengingat sifatkontroversial dati deklarasi personanon grata. Sifat kontroversial·· tersebuttercermin dalam pengaturan ketentuanPasal4 ayat (2) ~onvensi Wina 1961,di mana negara penerima tidak wajibmemberikan alasan pemyataan personanon grata.

Hal ini tentu akan menyebabkantimbulnya penyalahgunakan .personanon grata karena suatu negarapenerima memiliki diskresi yang penuhdalam mengambil keputusan tersebut,bahkan pertimbangan kepentinganpolitik pun dapat dijadikan sebagaidasar keputusan deklarasi persona nongrata. Sebagaimana dikatakan olehJean d' Aspremont:

Needless to say, such a practicemay occur without abuse ofArticle9 by the receiving state, or theperception ofabuse .in the eyes ofthe sending state - but may alsooriginate from the politicalmotivations ofthe sending state14

b. Konsekuensi Hukum atas TindakanPenyadapan yang Dilakukan oleh PejabatDiplomatik Australia terpadap PejabatPemerintah Indonesia

Dalam kasus penyadapan yangdilakukan oleh pejabat diplomatikAustralia terhadap beberapa pejabatpemerintah Indonesia, pemerintahIndonesia sarna sekali tidak melakukanpenanggalan hak kekebalan ataupunmenyatakan deklarasi persona non gratakepada pejabat .diplomatik Australia. Halini disebabkan karena Indonesia memilikihubungan yang baik dengan Australia.Dari. faktor sejarah, Australia merupakansalah satu negara yang mendukungIndonesia dalam menyelesaikan masalahIrian Barat melalui komisi tiga negara

13 Jean d' Aspremont, 2008, Persona Non Grata,Max Planck Encyclopedia of International Law,2009" University of Manchester-School of Law.,hlm.7.

14 Ibid, hlm. 4-5.

yang dibentuk PBB, yaitu UNTEA.A~stralia juga merupakan salah satunegara yang mengawali pengakuanterhadap kemerdekaan Indonesia. Darifaldor politik, Presiden Republik Indonesiasaat itu, Susilo Bambang Yudoyono,memiliki kebijakan luar negeri, yaitu zeroenemy, thousand friends dengan caramenjalin hubungan baik dengan negaramanapun.

Hal tersebut bukan berartimembebaskan pihak Australia datikonsekuensi hukum yang hams diterimaoleh pejabat diplomatik Australia ataupunpemerintah Australia. Sebagai reaksi atastindakan penyadapan tersebut, pemerintahIndonesia melakukan beberapa kebijakanantara lain, pemanggilan kembali pejabatdiplomatik Indonesia yang berada diCannbera atau biasa disebut denga istilahrecall, pengiriman nota protes yangdialamatkan kepada pejabat diplomatikAustralia dan pemerintah Australia sertamelakukan peninjauan kembali segalaperjanjian dan kerjasama bilateral antaraIndonesia dengan Australia.1) Recall

Dalam hukum diplomatik, recalldapat diartikan secara positif ataupusecara negatif. Recall dapat diartikanpositif ketika proses recall tersebutdimaksudkan oleh negara pengirimuntuk· meminta keterangan dari pejabatdiplomatik di negara penerimamengenai berbagai keadaan danpembangungan di negara penerima.Recall juga dapat diartikan positifapabila pemanggilan tersebutdisebabkan karena jangka waktu misidiplomatik dati pejabat diplomatiktelah berakhir dan kemudian akandigantikan dengan pejabat diplomatikyang lain.

Sebaliknya, recall dapatdiartikan secara negatif apabila prosesrecall tersebut merupakan konsekuensidati Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina1961. Oalam hal ini, seorang pejabatdiplomatik di recall karena dinyatakansebagai persona non grata oleh negarapenerima sehingga negara pengirimbarns segera menarik mundur danmengakhiri misi diplomatik datipejabat diplomatik yang befsangkutan.Recall juga dapat diartikan negatif

7

apabila recall dimaksudkan sebagaisuatu sikap ketidaksenangan bahkantindakan permnsuhan terhadapkebijakan atau sikap negara penerima.Hal inilah yang dilakukan olehpemerintah Indonesia atas sikappemerintah Australia.

Tindakan recall yang dilakukanoleh pemerintah Indonesia tentumempunyai dampak hukum dan politis.Dari aspek huku1Jl, tindakan recalltersebut menunjukkan bahwapemerintah Indonesia herniat untukmenghentikan sementara hubungan luarnegeri antara kedua negara. Dati aspekpolitIc, tindakan recall yang dilakukanoleh pemerintah Indonesia merupakantindakan balasan (retorsi) atas tindakanpenyadapan yang dilakukan olehpejabat diplomatik Australia. Hal inimengingat prinsip resiprositas yangmerupakan prinsip hukum yang palingesensial dalam hukum diplomatik.

2) Nota ProtesApabila ternyata terjadi

pelanggaran hukum yang sifatnya tidakberat yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik asing, biasanya pemerintahnegara penerima akan menyampaikanprotes kepada duta besar perwakilanasing tersebut dan adakalanya dutabesar perwakilan asing itu dipanggil kekementerian luar negeri untukmendapatkan nota diplomatik yangberisi suatu frotes atau dikenal sebagainota protesl . Nota protes merupakanbentuk komunikasi resmi secara tertulisberisi pernyataan protes dan tuntutandati negara penerima kepada negarapengirim yang bi8sanya dikirim olehmenteri luar negeri dati negarapenerima kepada kepala misidiplomatik asing atau pejabat tinggipemerintahan dati negara pengirim.Secara umum, nota· protes merupakansalah satu bentuk dati diplomaticcorrespondence. Diplomaticcorrespondence adalah

the art of communicating amongstates and putting into writtenform important information,discussions or agreements

IS G. Sri Nurhartanto, 2009, Op. Cit., him. 90.

essential to the conduct offoreignrelations16

Nota protes dapat dibedakan "menjadi dua macam, yaitu first personnote dan third person note. Dalamkasus penyadapan yang dilakukan olehpejabat diplomatik Australia kepadabeberapa pejabat pemerintab Indonesia,nota protes yang dikeluarkan olehpemerintab Indonesia terdiri dari duamacam, yaitu first person note danthirdperson"note.

Nota protes yang dikirim olehMenteri Luar Negeri RepublikIndonesia kepada Menteri Luar NegeriAustralia merupakan first person note.Hal itu dapat dilihat dari karakteristikfirst person note yang ditandatanganioleh menteri luar negeri dari negarapengirim, dalam hal ini adalah NegaraIndonesia dan ditujukan kepada menteriluar negeri dari negara penerima, dalamhal ini adalah Negara Australia

Cara yang kedua adalah notaprotes dikirim oleh Inspektorat JendralKementrian Luar Negeri RepublikIndonesia kepada Kedutaan BesarNegara Australia di Indonesia.Karakteristik third person note tampakpada nota protes yang tidak dikeluarkanlangung oleh menteri luar negeri,melainkan dikeluarkan oleh pejabatyang telah diberi kuasa penuh untukitu, dalam hal ini adalah InspekturJendral Kementrian Luar NegeriRepublik Indonesia.

3) Peninjauan Ulang Perjanjian danKerjasama Bilateral Indonesia-Australia

Istilah peninjauan ulangperjanjian dan kerjasama bilateralsebenarnya merupakan istilah populeryang digunakan oleh masyarakat padaumumnya. Dalam hukum, istilahtersebut sama sekali "tidak dikenal,bahkan tidak ada satupun ketentuan didalam Konvensi Wina 1969 tentangHukum Perjanjian Intemasional,menyebutkan istilah tersebut.

16 Ye. V. Borisova, 2013, DiplomaticCorrespondence, "The University of WorldEconomy and Diplomacy, Tashkent, Republic ofUzbekistan, hlm. 3.

8

Walaupun demikian, apabila kitamelakukan analisis dan identiftkasi,tindakan peninjauan ulang perjanjiandan kerjasama bilateral tersebutsebenarnya dapat dikualifikasi sebagaitindakan countermeasure yang terdapatdi Pasal 49-53 Konvensi tentangResponsibility of States forInternationally Wrongfull Acts. Haltersebut didasarkan pada unsur-unsurdari tindakan cpuntermeasure yangsesuai dengan karakteristik daritindakan peninjauan ulang perjanjiandan kerjasama "bilateral. Kesesuaiantersebut dapat dicermati dari hal-halberikut:a) Sebagaimana tindakan peninjauan

ulang perjanjian dan kerjasamabilateral, countermeasuremerupakan konsekuensi daripelanggaran yang dilakukan olehAustralia dan dimaksudkan untukmendesak pemerintab Australia agarmenghentikan pelanggaran yangterjadi serta melakukan pemulihan.Hal tersebut secara tegas dinyatakandalam ketentuan Pasal 49 ayat (1)Konvensi tentang Responsibility ofStates for Internationally WrongfullActs, yang berbunyi:

An injured State may only takecountermeasures against aState which is responsible foran internationally wrongful actin order to induce that State tocomply with its obligationsunderpart two.

Dalam kasus ini, pihak pemerintabAustralia memang tidak melakukanpemulihan dalam bentuk apapunsebagaimana diatur dalam Konvensitentang Responsibility of States forInternationally Wrongfull Acts.Walaupun demikian, pihakpemerintab Australia menunjukkansikap yang kooperatif denganmenghentikan tindakan penyadapandan berjanji untuk tidak mengulangihal tersebut. Sikap tersebutdibuktikan dengan dibuat danditandatanganinya suatu kode etikantara kedua negara. Kode etiktersebut dituangkan dalam JointUnderstanding on A Code ofConduct between The, Republic of

Indonesia and Australia inImplementation of The Agreementbetween The Republic of Indonesiaand Australia on The Frameworkfor Security Cooperation. Dalamkode etik tersebut, kedua negarasepakat untuk melaksanakan duahal, yaitu:(1)para pihak tidak akan

menggunakan setiap intelijenmereka, termasuk kapasitaspenyadapan atau sumber-sumberdaya lainnya yang merugikankepentingan dari para pihak;

(2)para pihak akan mendorongkerjasama di bidang intelijenantara lembaga-Iembaga danbadan-badan yang relevan sesuaidengan hukum dan peraturanperundang-undangan darimasing-masing negara.

b) Sebagaimana tindakan peninjauanulang perjanjian dan kerjasamabilateral, countermeasuremerupakan tindakan sementara. Halini ditegaskan dalam ketentuanPasal 49 ayat (2) Konvensi tentangResponsibility of States forIntemationally Wrongfull Acts.Konsekuensi dari tindakancountermeasure yang bersifatsementara adalah countermeasurehams dihentikan dan pelaksanaanperjanjian intemasional harusdilanjutkan kembali jika responsiblestate telah menghentikanpelanggaran dan melakukanpemulihan. Hal tersebut juga diatursecara tegas di ketentuan Pasal 49ayat (3) jOe ketentuan Pasal 53Konvensi tentang Responsibility ofStates for Intemotionally WrongfullActs. Dalam kasus ini, tindakanpeninjauan ulang perjanjian dankerjasama bilateral dihentikansetelah terlaksananya JointUnderstanding on A Code ofConduct between The Republic ofIndonesia and Australia inImplementation of The Agreementbetween The Republic of Indonesiaand Australia on The Frameworkfor Security Cooperation secaraefekti.t: di mana perjanjian tersebutmerupakan' bentuk sikap dari

9

pemerintah Australia untukmenghentikan tindakan penyadapandan untuk tidak mengulangitindakan tersebut di kemudian hari.

c) Sebagaimana tindakan peninjauanulang perjanjian dan kerjasamabilateral, countermeasuredimaksudkan sebagai tindakanuntuk menghentikan secarasementara beberapa perjanjian dankerjasama biJateral antara injuredstate dengan responsible state. Haltersebut ditegaskan dalam ketentuanPasal 49 ayat (2) Konvensi tentangResponsibility of States forInternationally Wrongfull Actsyang berbunyi:

Countermeasures are· limitedto the non-performance ... ofintemational obligations ofthe State taking the measurestowards the responsible State.

Dalam kasus ini, perjanjian dankerjasama bilateral antaraIndonesia-Australia yang dihentikanuntuk sementara waktu adalahAgreement between The Republic ofIndonesia and Australia on TheFramework for SecurityCooperation dan Perudingan BaliProcess untuk menangani masalahpenyelundupan imigran gelap.

d) Tindakan peninjauan ulangperjanjian dan kerja.sama bilateralbukan merupakan tindakan yangberdiri sendiri, melainkan diikutidengan enam langkah penyelesaiandamai. Enam langkah penyelesaiandamai tersebut serupa dengantindakan prosedural yang harnsditempuh sebelum melakukancountermeasure, sebagaimana diaturdalam ketentuan Pasal 52 ayat (1)Konvensi tentang Responsibility ofStates for Internationally WrongfullActs. Sebelum melakukancountermeasure, cpemerintah telahterlebih dahulu memanggil pejabatdiplomatikAustralia di Jakarta danmenyerabkan nota protes kepadapejabat diplomatik yangbersangkutan. Hal ini tentu sesuaidengan ketentuan Pasal 52 ayat (1)huruf a Konvensi tentangResponsibility of States for

Internationally Wrongfull Acts.Setelah ·itu, pemerintah Indonesiamelakukan perundingan denganMenteri Luar Negeri Australia saatitu, Julie Bishop mengenai langkah­langkah penyelesaian atas tindakanpenyadapan yang dilakukan olehpihak Australia. Pada saat yangsama, pemerintah Indonesia jugamemberitahukan kepada pemerintahAustralia mengenai kebijakanpeninjauan ulang perjanjian dnakerjasama bilateral yang dilakukanoleh pemerintah Indonesia. Hal initentu sesuai dengan ketentuan Pasal52 ayat (1) huruf b Konvensitentang Responsibility of States forInternationally Wrongfull Acts.

4. KesimpalanBerdasarkan pembahasan yang telab

dilakukan, dapat disimpulkan bahwakejahatan spionase yang dilakukan olehpejabat diplomatik merupakan pelanggaranterhadap ketentuan-ketentuan dalam hukumdiplomatik, khususnya Konvensi Wina 1961tentang Hubungan Diplomatik. Ketikaseorang pejabat diplomatik melakukankejahtan spionase, hukuman yang OOpatdiberikan oleh negara penerima adalabmenyatakan deklarasi persona non gratakepada pejabat diplomatik yang bersangkutan.Hal ini mengingat bahwa seorang pejabatdiplomatik memiliki hak kekebalan dankeistimewaan diplomatik sehingga pejabatdiplomatik tersebut kebal terhadap yurisdiksinegara penerima. Dalam hal tertentu, hakkekebalan dan keistimewaan diplomatik dapatditanggalkan dengan cam negara penerimameminta kepada negara pengirim untukmenanggalkan hak kekebalan dankeistimewaan pejabat diplomatik tersebut.

Apabila dikaitkan dengan kasuspenyadapan yang dilakukan oleh pejabatdiplomatik Australia terhadap beberapapejabat pemerintah Indonesia, PemerintahIndonesia mengajukan protes keras kepadapemerintah Australia dengan mengirimkannota protes kepada Duta Besar Australia.Tindakan tersebut kemudian dilanjutkandengan pemanggilan kembali Duta BesarIndonesia di Cannbera (recall). Selainmengajukan protes keras dan melakukanrecall, pemerintah Indonesia juga melakukantindakan peninjauan. kembali terhadap semua

10

pelJanJlan dan kerjasama bilateral antaraIndonesia-Australia, di mana tindakantersebut dapat dikualifikasikan sebagaitindakan countermeasure.

5. ReferensiBaka:

B. Sen, 1979, A Diplomat's Handbook ofInternational Law and Practice,Second Editioq. Martinus NijhQrt:London.

Eddy O.S. Hiariej, 2009, Pengantar HukumPidana Internasional, CetakanPertama, Penerbit Erlangga, Jakarta.

International Law Commisio~ 2012,. UnitedNation Legislative Series Materials onThe Responsibility of States forInternationally Wrongfull Acts, UnitedNation, New York.

J.G. Starke, Bambang Iriana Djajaatmadja,(terjm.), 1999, Pengantar HukumInternasional I Edisi Kesepuluh,Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta.

Rene Viirk, 2003, Personal Inviolability andDiplomatic Immunity in Respect ofSerious Crime, Juridica International,VIW2003, University ofTartu.

Sumaryo Suryokusumo, 1995, HukumDiplomatik Teori dan' Kasus, Cetakan I,Penerbit Alumni, Bandung.

Y. Wahyu Saronto, 2012, Intelijen, Cetakanketujuh, PT. Cahaya Berlian LestariOffset, Bandung.

Jamal:

G. Sri Nurhartanto, 2009, KekebalanYurisdiksiHukum Pidana, HukumPerdata, dan Hukum Acara ParaDiplomat di Peradilan NegaraPenerima, JurnalHukum Pro Justitia,April 2009, Volume 27 No.1,Universitas Katolik Parahyangan.

Jean d' Aspremont, 2008, Persona NonGrata, Max Planck Encyclopedia ofInternational Law, 2009, University of'Manchester-School of Law., him. 7.

Ye. V. Borisova,~Q13, DiplomaticCo"espondeilce, ... 'T.tleUniyersity of

World ~•. ; .•~•....•..•·Diplomacy,Tasbkent, R.epublic ofUZbekistan.

Konvensi dan Perat1lnm Perundang­Dndangan:

Konvensi Wina 1961 tentang HubunganDiplomatik.

Konvensi Wina 1969 tentang HukumPerjanjian IntemasionaI antara Negaradan Organisasi Internasional atau antarOrganisasi Intemasional.

Konvensi Budapest 2011 tentang Cybercrime.

Konvensi tentang Responsibility ofStates forIntemationally Wrongfull Acts.

11

Agreement between The Republic ofIndonesia and Australia on TheFramework for Security Cooperation(The Lombok Treaty).

Joint Understanding on A Code of Conductbetween The Republic ofIndonesia andAustralia in Implementation of TheAgreement between The Republic ofIndonesia and Australia on TheFrameworkfor Seq;qity Cooperation.

Undang-Undang Nomor 11 Taboo 2008tentang Informasi dan TransaksiElektronik.

Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007tentang Pengesahan Perjanjian AntaraRepublik Indonesia Dan AustraliaTentang Kerangka Kerja SarnaKearnanan.