Jurnal Sosio Humaniora Vol.4 No.5 ,. Mei 2013 ISSN :...
Transcript of Jurnal Sosio Humaniora Vol.4 No.5 ,. Mei 2013 ISSN :...
Jurnal Sosio Humaniora Vol.4 No.5 ,. Mei 2013 ISSN : 2087-1899
ii
Jurnal Sosio Humaniora
PENANGGUNGJAWAB Kepala LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ketua Umum :
Dr. Ir. Ch Wariyah, MP
Sekretaris : Awan Santosa, SE., M.Sc
Dewan Redaksi :
Dr. Kamsih Astuti, MA Dr. Hermayawati, M.Pd
Penyunting Pelaksana : Tutut Dwi Astuti, SE., M.Si Dra Indra Ratna KW, M.Si
Restu Arini, S,Pd Sumiyarsih, SE., M.Si
Pelaksana Administrasi :
Gandung Sunardi Hartini
Alamat Redaksi/Sirkulasi : LPPM Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Jl. Wates Km 10 Yogyakarta Tlpn (0274) 6498212 Pesawat 133 Fax (0274) 6498213
E-Mail : [email protected]
Jurnal yang memuat ringkasan hasil penelitian ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mercu Buana Yogyakarta, terbit dua kali setiap tahun. Redaksi menerima naskah hasil penelitian, yang belum pernah dipublikasikan baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Naskah harus ditulis sesuai dengan format di Jurnal Sosio Humaniora dan harus diterima oleh redaksi paling lambat dua bulan sebelum terbit.
Jurnal Sosio Humaniora Vol.4 No.5 ,. Mei 2013 ISSN : 2087-1899
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNya, Jurnal Sosio
Humaniora Volume 4, No. 5, Mei 2013 dapat kami terbitkan. Redaksi mengucapkan terima
kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada para penulis yang telah
mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ini.
Pada jurnal Sosio Humaniora edisi Mei 2013, disajikan beberapa hasil penelitian di
bidang Psikologi dan Ekonomi. Di bidang Psikologi artikel yang diterbitkan berisi tentang
peranan keluarga dalam menumbuhkan kemandirian anak dan peranan ibu dalam
mendukung ekonomi keluarga, sedangkan di bidang ekonomi berisi tentang studi
demokratisasi perusahaan dan evaluasi profitabilitas perusahaan yang terdaftar di BEI.
Redaksi berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat diimplementasikan untuk
kepentingan masyarakat.
Redaksi menyadari bahwa masih terdapat hal-hal yang belum sempurna dalam
penyajian artikel dalam jurnal yang kami terbitkan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan, agar penerbitan mendatang menjadi semakin baik.
Yogyakarta, Mei 2013 Redaksi
Jurnal Sosio Humaniora Vol.4 No.5 ,. Mei 2013 ISSN : 2087-1899
iv
DAFTAR ISI Hal
Kata Pengantar .......................................................................................................................iii Daftar Isi ..................................................................................................................................iv KETERLIBATAN AYAH DALAM MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK PENGIDAP DIABETES MELITUS .....................................................................................1-28 Dwi Shinta Lutfitasari Sri Muliati Abdullah KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA PADA IBU YANG BEKERJA DITINJAU DARI DUKUNGAN SUAMI .............................................................................29-39 Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto MODEL DEMOKRATISASI PERUSAHAAN : STUDI KASUS DI NEGARA SKANDINAVIA ..................................................................40-61 Awan Santosa dan Sumiyarsih HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DENGAN KEPUASAN KERJA PADA POLISI WANITA DI POLRES KULON PROGO ..........................................................................................62-73 Evy Siska Yuliana, Reny Yuniasanti EVALUASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROFITABILITAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI ............................74-85 Rina Dwiarti, SE, M.Si PEDOMAN PENULISAN NASKAH ......................................................................................86
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
1
KETERLIBATAN AYAH DALAM MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK PENGIDAP DIABETES MELITUS
Dwi Shinta Lutfitasari Sri Muliati Abdullah
Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana Yogyakarta
PATERNAL INVOLVEMENT IN ORDER TO DEVELOP THE AUTONOMY OF CHILDREN WITH DIABETIC MELLITUS
Abstract
The aim of this research was to explore paternal involvement in order to develop the autonomy of children with diabetic mellitus. The participant of this study were 3 fathers who have children with diabetic mellitus approximately 12 years old. The method of this study was study case and the data was collected by interview and observation. This question of this study was how father’s involvement could develop children’s autonomy. More over, data was analysed by data reduction, data display, and draw and verify conclusion. The result illustrated that participants had involvement to develop children’s autonomy. Participants encourage children’s autonomy development and the encouragement gave positive effect of children’s life. Key words : paternal involvement, children’s autonomy, diabetic mellitus.
PENDAHULUAN
Ayah sebagai salah satu elemen
orang tua memiliki peran yang signifikan
dalam perkembangan dan pendidikan
anak. Menurut Supriyadi (2006), peran
ayah dalam keluarga antara lain adalah
sebagai sumber kekuasaan, sebagai
kepala keluarga, tokoh identifikasi,
sebagai penghubung dengan dunia luar,
sebagai pelindung terhadap ancaman-
ancaman dari luar, dan sebagai pendidik
yang rasional.
Pada saat ini tampak ada
kebingungan pada kebanyakan keluarga
dalam hal mendidik anak. Salah satu
penyebab terjadinya kebingungan adalah
dunia kerja yang menuntut lebih banyak
waktu dari pekerjanya, sehingga tampak
seorang ayah yang sibuk bekerja, hanya
pulang untuk tidur dan jarang bertatap
muka dengan anak-anaknya. Ayah juga
semakin tidak mudah menjalankan
fungsinya dalam mendidik anak karena
banyak isteri yang bekerja. Istri yang
berkarir di luar rumah membuat mereka
mandiri dan tidak perlu banyak tergantung
pada suami, sehingga anak yang melihat
ibunya dapat berfungsi penuh tanpa
keterlibatan ayah akan memandang
ayahnya sebagai ayah yang lemah dan
kurang berharga. Ayah menjadi
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
2
kehilangan wibawa dan penghargaan di
mata anak-anaknya. Kemudian, ayah
yang merasa tidak dihargai akan menjadi
tidak nyaman di rumah dan akan
menenggelamkan dirinya dalam dunia
kerja (Elia, 2000).
Selain itu, keinginan supaya ayah
berperan dalam pendidikan anak tampak
tidak mudah diwujudkan karena proses
untuk menjadi seorang ayah yang terlibat
secara aktif bukanlah hal yang mudah.
Berbeda dengan wanita yang secara
sosial budaya telah disiapkan untuk
menjadi ibu yang mengasuh anak. Kultur
masyarakat memberi ayah peran yang
lebih besar dalam mencari nafkah,
sehingga lebih banyak waktu, tenaga dan
pikiran digunakan untuk memenuhinya.
Seorang ayah memiliki tugas utama
bekerja dan hanya memiliki sedikit waktu
di rumah, maka bertemu dengan waktu
singkat namun selalu meninggalkan kesan
yang positif akan lebih bermanfaat bagi
anak dari pada selama seharian bersama,
namun disertai banyak bicara akan dapat
membawa hasil yang tidak optimal.
Menurut Sukardi (1987), kuantitas waktu
bersama dengan anak bukan ketentuan
yang mutlak dalam membina, namun
kualitas dan intensitas lebih menentukan
pembinaan dan hubungan dengan anak.
Gambaran tentang kecilnya
perhatian terhadap peran ayah dalam
keluarga dapat dilihat dari hasil survei
yang dilakukan oleh Majalah Ayahbunda
(dalam Elina, 2000). Hasilnya adalah 61 %
responden menyatakan bahwa ayah
sebaiknya menjadi pencari nafkah utama,
62% responden menyatakan bahwa hanya
terlibat dalam urusan rumah tangga
apabila terpaksa, dan 33% menyatakan
bahwa ayah tidak perlu meluangkan waktu
tiap hari untuk anak. Berdasarkan hasil
survey tersebut menunjukkan bahwa ayah
telah kehilangan perannya secara
signifikan dalam pendidikan anak.
Pada dasarnya cara dan sikap
ayah berbeda dengan ibu dalam
mengembangkan kemampuan anak.
Menurut Soetjiningsih (1995), karakterisitik
dari cinta ayah adalah berdasarkan
prinsip-prinsip dan harapan-harapan.
Cintanya sabar dan toleran, tidak
mengancam dan otoriter. Cinta ayah dapat
memberi anak yang sedang tumbuh suatu
peningkatan rasa kemampuan dirinya.
Cinta ayah memiliki sifat mengembangkan
kepribadian, menanamkan disiplin,
memberikan arah dan dorongan serta
bimbingan supaya anak berani dalam
menghadapi tantangan kehidupan. Dapat
dikatakan bahwa ayah lebih bijaksana
daripada ibu dalam membimbing anak.
Ayah cenderung memberi
kebebasan anak, membiarkan anak
mengenal lingkungan yang lebih luas dan
memberi semangat, sementara ibu
cenderung lebih hati-hati, lebih teliti, dan
membatasi ruang gerak anak. Sikap ayah
ini bertujuan mengembangkan sikap
mandiri pada anak, karena sejak awal
ayah menginginkan anaknya dapat
melakukan sendiri tanpa memiliki
ketergantungan kepada orang lain. Oleh
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
3
karena itu, sosok ayah dengan
karakteristiknya memiliki peran penting
dalam perkembangan anak. Salah
satunya adalah mengembangkan
kemandirian anak, karena kemandirian
akan dapat berkembang dengan baik
apabila anak memiliki kesempatan dan
ruang yang cukup untuk berkreasi sesuai
dengan kemampuan dan rasa percaya
diri, tanpa ada ketakutan serta tekanan.
Hal ini dapat terpenuhi dengan
keterlibatan ayah di dalam tahap-tahap
perkembangannya (Dagun, 2002).
Ketidakmandirian atau
kecenderungan untuk bergantung pada
orang lain akan dapat menimbulkan
kebiasaan bergantung kepada siapa saja
yang dapat dicapai, baik orang dewasa
maupun anak lain. Anak menjadi sangat
mudah dipengaruhi dan dikuasai oleh
orang lain. Bahkan lebih buruk lagi,
mereka kelak akan takut untuk tidak
bergantung kepada orang lain karena
tidak pernah belajar mandiri dalam situasi
yang serupa pada masa mudanya.
Apabila anak bergantung pada orang lain
sampai berlarut-larut melewati saat teman-
teman seusianya telah mandiri, dapat
membahayakan penyesuaian pribadi dan
sosial. Anak akan merasa lebih rendah
dari teman sebaya karena tidak semandiri
temannya (Hurlock, 1999). Oleh karena
itu, kemandirian penting ditumbuhkan
sejak anak berusia dini. Menurut Wall
(dalam Dhamayanti dan Yuniarti, 2006),
apabila pada masa anak-anak tidak
memiliki dasar kemandirian yang kuat,
maka kemandirian tidak akan tercapai
secara penuh atau sedikit yang tercapai
ketika berada pada akhir remaja.
Kemandirian penting
ditumbuhkan pada semua anak, baik anak
yang sehat maupun yang mengidap
penyakit. Menurut Hurlock (1999),
ketergantungan yang berlebihan biasanya
muncul pada anak yang menderita
penyakit kronis. Salah satu penyakit kronis
yang saat ini serangannya meningkat
pada usia anak-anak adalah diabetes
melitus. Diabetes terjadi apabila tubuh
tidak menghasilkan insulin yang cukup
untuk mempertahankan kadar gula darah
normal atau jika sel tidak memberikan
respon yang tepat terhadap insulin
(Brunner & Suddarth, 2001). Diabetes
Melitus terbagi kedalam dua tipe: pertama,
diabetes yang tergantung insulin yaitu
pengidap menghasilkan sedikit insulin
atau tidak menghasilkan insulin, disebut
tipe I. Kedua, diabetes yang tidak
tergantung pada insulin, yaitu pankreas
tetap menghasilkan insulin yang kadarnya
terkadang lebih tinggi dari biasanya,
sehingga terjadi gangguan pengiriman
gula ke sel tubuh. Diabetes jenis ini
disebut tipe II. (Guyton & Hall, 1997).
Menurut Vitahealth (2006),
diabetes Tipe I biasanya ditemukan pada
penderita yang mulai mengalami pada
waktu anak-anak dan remaja. Kemudian
diketahui bahwa dari usia berapapun
dapat mengalami Diabetes Tpe I,
meskipun mayoritas ditemukan pada usia
30 tahun ke bawah. Diabetes Tipe II
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
4
umumnya dialami oleh orang berusia 40
tahun ke atas. Selanjutnya diketahui juga
bahwa anak-anak banyak yang menderita
Diabetes Tipe II.
Di Indonesia diestimasikan anak
yang didiagnosa mengidap diabetes
melitus sebesar 0,3 per 100.000 anak per
tahunnya. Indonesia memiliki populasi
anak sejumlah 80 juta anak, diperkirakan
terdapat 240 kasus baru diabetes melitus
pada per tahunnya. Data anak pengidap
diabetes pada tahun 2008 mengalami
peningkatan, yaitu mencapai 17 per
100.000 anak pertahunnya
(www.idionline.org, 2009)
Kemandirian diperlukan pada
anak pengidap diabetes karena mereka
memiliki pengelolaan hidup dalam
perawatan diri yang kompleks. Menurut
Sherifali, (2009) anak yang hidup dengan
diabetes melitus atau yang mengidap
diabetes melitus memiliki peraturan
kompleks yang terlalu rumit untuk dikelola
sendiri, sehingga membuat anak memiliki
ketergantungan yang tinggi pada orang
tua. Anak dituntut untuk melaksanakan
berbagai aturan yang berkaitan dengan
pengaturan makan, penyuntikan insulin
setiap hari, dan pengontrolan kadar gula
dalam darah supaya metabolisme dapat
terkendali dengan baik (Soeharjono dkk,
2002).
Pada anak usia tertentu hal
tersebut masih sulit untuk dilaksanakan
karena berbagai aspek perkembangan
belum berkembang secara optimal.
Misalnya dalam penyuntikan insulin dalam
tubuh, pada anak usia 3 tahun yang
perkembangan motoriknya belum dikuasai
secara penuh, maka penyuntikan
dilakukan oleh orang tua. Hurlock (1999)
menyatakan bahwa tahap perkembangan
kemandirian anak usia 6-12 tahun adalah
mencapai kemandirian pribadi, maka anak
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
pribadi secara mandiri. Misal anak sudah
dapat membersihkan diri dan menyiapkan
kebutuhan sekolah secara mandiri, serta
anak sudah dapat dibimbing untuk
menggunakan suntikan insulin sendiri.
Oleh karena itu, anak di usia 6 tahun ke
atas seharusnya tidak perlu dibantu dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
cukup dengan bimbingan dan arahan.
Santrock (2002)
mengklasifikasikan anak berdasarkan
usia; usia 0-3 tahun, yaitu masa bayi; usia
3-5 tahun, yaitu masa awal anak-anak
atau tahun-tahun prasekolah; dan 6 tahun
sampai pubertas (11/12 tahun), yaitu
masa pertengahan dan akhir anak-anak
atau tahun-tahun sekolah. Berdasarkan
yang telah diuraikan dapat disimpulkan
bahwa diabetes melitus pada anak adalah
sekelompok kelainan heterogen ditandai
dengan kenaikan kadar glukosa dalam
darah yang terjadi pada anak usia 0-11/12
tahun. Oleh karena itu, yang disebut anak
pengidap diabetes melitus dalam
penelitian ini adalah anak berusia 6-12
tahun yang mengidap diabetes melitus,
baik Diabetes Tipe I maupun Diabetes
Tipe II.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
5
Menurut Dhamayanti dan Yuniarti
(2006), kemandirian merupakan salah
satu faktor kepribadian yang dapat
membawa seseorang siap menghadapi
tantangan dan hambatan. Kemandirian
dapat diartikan sebagai suatu keadaan
individu yang merasa tidak tergantung
kepada siapa saja, serta bertanggung
jawab. Misal: anak pergi ke kamar mandi
sendiri, makan tanpa harus disuapi, dan
lain-lain. Apabila anak masih
membutuhkan orang lain dalam
melakukan hal itu, dikatakan bahwa anak
belum mandiri. Santrock (2002)
menyatakan bahwa anak yang mandiri
adalah anak yang mampu melakukan apa
yang dapat dilakukan sesuai dengan
kemampuan atau sesuai dengan tahap
perkembangannya.
Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan kemandirian anak pengidap
diabetes melitus dalam penelitian ini
adalah kemampuan anak usia 6-12 tahun,
yaitu pada masa pertengahan dan akhir
anak-anak yang diharapkan dapat
memenuhi perawatan diri dan kebutuhan-
kebutuhan sehari-harinya dengan penuh
tanggung jawab, tidak tergantung pada
orang lain, siap menghadapi tantangan
dan hambatan atau mampu
menyelesaikan permasalahannya sendiri
yang disesuaikan dengan kemampuan
anak dan tahap perkembangannya.
Kemandirian pada anak bukanlah
ketrampilan yang dapat muncul secara
tiba-tiba. Anak perlu bimbingan dan
pengajaran untuk mengetahui bagaimana
harus membantu dirinya sendiri. Begitu
juga dengan kemandirian anak pengidap
diabetes melitus dalam memenuhi
kebutuhannya tidak dapat muncul secara
tiba-tiba, namun perlu bimbingan terlebih
dahulu. Menurut Tedjasapoetra (dalam
www.BeingMom.com, 2008), faktor yang
dapat mempengaruhi kemandirian anak
adalah karena faktor bawaan, pola asuh,
kondisi fisik, dan urutan kelahiran anak.
Nuryoto (1993) menyatakan bahwa
kemandirian dipengaruhi oleh tahap
perkembangan, peran jenis, kecerdasan,
lingkungan tempat tinggal, sosial ekonomi
keluarga, dan perlakuan orang tua
terhadap anak.
Menurut Nuryoto (1993), anak
akan berkembang pribadinya menuju
kemandirian apabila orang tua mampu
memberikan perhatian, keakraban, dan
kehangatan pada diri anak. Allen, dkk
(2006) menyatakan bahwa sikap akrab,
dan hangat adalah sebagian dari untuk
mengetahui keterlibatan ayah dalam
pengasuhan anak. Hal ini menunjukkan
bahwa ayah memiliki peran penting dalam
perkembangan kemandirian anak
pengidap diabetes melitus.
Berikut adalah penelitian yang
telah dilakukan untuk mengetahui tingkat
keterlibatan ayah, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Hovey (2003) tentang
kebutuhan pengasuhan ayah pada anak
dengan kondisi kronis. Hasilnya adalah
ada perbedaan yang signifikan antara
konsentrasi pengasuhan ayah pada anak
dalam kondisi kronis dengan konsentrasi
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
6
ayah pada anak kondisi sehat. Ayah
dengan anak dalam kondisi kronis
membutuhkan bimbingan profesional
terlebih dahulu, perkembangan informasi
dan dukungan sebelum merawat dan
mendidik anak. Penelitian ini menunjukkan
bahwa ayah yang memiliki anak dalam
kondisi kronis memiliki perhatian dan
keterlibatan yang lebih tinggi dalam
pengasuhan terhadap anaknya dibanding
yang memiliki anak dalam kondisi sehat.
Pada kenyataannya, keterlibatan
ayah tidak demikian adanya. Ada
permasalahan yang membuat keterlibatan
ayah dalam pengasuhan anak tampak
tidak mudah diwujudkan. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan peneliti pada
bulan April 2009, terhadap keluarga yang
memiliki anak pengidap diabetes melitus
namun tidak terdapat sosok ayah. Peneliti
menemukan ketidakmandirian anak ketika
tidak ada kehadirian ayah dalam
kehidupan sehari-harinya.
Ketidakmandirian yang ditemukan antara
lain: anak tidak berani bertanggung jawab
terhadap kegiatan sekolah, yaitu anak
tidak mau bersekolah lagi setelah
mengidap diabetes melitus; anak cepat
sekali merasa capek sehingga
pemenuhan kebutuhannya banyak di
bantu oleh ibu atau bibinya. Anak juga
kurang disiplin dan enggan dalam
melakukan pengobatan atau penggunaan
insulin dari luar. Peristiwa ini menunjukkan
tidak adanya keterlibatan ayah dalam
pengasuhan anak. Anak tidak memiliki
ayah karena ibu tidak melangsungkan
pernikahan. Melihat banyaknya dampak
negatif dari ketidakhadiran ayah tersebut
dapat menunjukkan bahwa penting akan
adanya keterlibatan ayah dalam
pengasuhan anak anak pengidap diabetes
melitus.
Menurut Lamb (dalam
www.goverment.gov, 2008), keterlibatan
ayah merupakan suatu tingkatan interaksi
ayah dengan anaknya. Keterlibatan ayah
juga mengandung pengertian laki-laki
dewasa yang memiliki bagian dari
perkembangannya untuk istri dan rekan
dalam hubungan pengasuhan, dan yang
terpenting untuk anak dalam
perkembangan sosial, kognitif dan emosi
(Allen dkk, 2002). Tinkew (2006)
menambahkan bahwa telah diakui ayah
memiliki kontribusi penting dalam
perkembangan sosial, emosional, dan
kognitif anak-anak mereka.
Keterlibatan ayah dalam
perkembangan kemandirian anak
pengidap diabetes melitus dapat berupa
dengan meluangkan waktu bersama anak
melalui kegiatan bermain, membaca, dan
berbagi makanan; kualitas hubungan
antara ayah dan anak yang dijalin dengan
kepekaan, kedekatan, persahabatan,
dukungan, dan sebagainya; serta dari
penanaman nilai-nilai kebaikan pada
peran yang dijalankan ayah (Allen dkk,
2002). Ketika ayah meluangkan waktu
bersama anak dapat digunakan dengan
bermain bersama. Permainan ayah
cenderung melibatkan fisik dan lebih
memberikan kebebasan pada anak untuk
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
7
mencoba hal-hal baru, sehingga anak
lebih dapat mengembangkan minatnya
dan bertanggung jawab, sehingga mandiri
dalam menyelesaikan permasalahan
permainannya. Kualitas hubungan yang
baik yaitu adanya kepekaan, sikap hangat,
akrab dan bersahabat dapat menciptakan
komunikasi antara ayah dengan anak.
Dari komunikasi tersebut, ayah dengan
anak dapat bertukar informasi kegiatan
masing-masing, sehingga ayah secara
tidak langsung memantau perkembangan
anak, yaitu memantau perilaku
ketidakmandiriannya dan dapat
memberikan saran penyelesaiannya. Ayah
sewaktu memantau dan menghabiskan
waktu bersama anak dapat menanamkan
nilai-nilai kebaikan pada anak, terutama
menanamkan menjadi pribadi yang
mandiri. Seperti yang disampaikan Allen
dkk (2002), bahwa ayah dapat menanam
kebaikan dalam peran-perannya, yaitu
dengan gaya pengasuhan autoritatif.
Berdasarkan uraian tersebut,
mengingat pentingnya keterlibatan ayah
dalam mengembangkan kemandirian pada
usia anak-anak, dan mempertimbangkan
kondisi anak pengidap diabetes melitus
yang memiliki peraturan hidup kompleks.
Maka peneliti tertarik untuk meneliti
keterlibatan ayah dalam menumbuhkan
kemandirian anak pengidap diabetes
melitus.
Permasalahan Bagaimana gambaran keterlibatan
ayah dalam menumbuhkan kemandirian
anak pengidap diabetes melitus?
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran keterlibatan pada
ayah yang memiliki anak pengidap
diabetes melitus dalam menumbuhkan
kemandiriannya. Peneliti bermaksud
memahami lebih jauh tentang pengaruh
keterlibatan ayah terhadap kemandirian
anak dalam membantu anak mengatasi
tantangan dan penyesuaian diri.
Pembatasan Istilah dan Pertanyaan Penelitian
Keterlibatan ayah didefinisikan
sebagai gambaran tingkatan dari interaksi
laki-laki dewasa sebagai seorang ayah
yang turut mengambil peran sama dengan
ibu dalam mengelola perkembangan anak
dan membuat dirinya ada untuk anak
meskipun tidak berhubungan secara
langsung, serta bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan anak mereka.
Keterlibatan ayah diungkap melalui
wawancara dengan panduan pendapat
Allen dkk (2002) yang berupa :
meluangkan waktu bersama anak, kualitas
hubungan ayah dengan anak, dan
menanamkan kebaikan dalam peran-
perannya.
Pertanyaan inti dalam penelitian ini
adalah : “Bagaimana gambaran
keterlibatan ayah dalam menumbuhkan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
8
kemandirian pada anak pengidap Diabetic
Melitus?”. Selain pertanyaan inti (central
question), juga diberikan sub question
yang terbagi menjadi 2, yaitu issue dan
topical question.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Mulyana (2001)
mengemukakan bahwa studi kasus
merupakan uraian dan penjelasan yang
komprehensif mengenai berbagai aspek
seseorang, suatu kelompok, suatu
organisasi (komunitas), suatu program,
atau suatu situasi tertentu.
Partisipan penelitian adalah
seorang ayah yang memiliki anak
pengidap diabetes melitus, dengan usia
anak 6-12 tahun. Subyek berdomisili di
daerah Yogyakarta. Subjek berjumlah tiga
orang.
Instrumen penelitian. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan
teknik wawancara mendalam dan
observasi. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian adalah pedoman
wawancara, surat pernyataan yang
menyatakan kesediaan subyek untuk
diwawancara (informed consent), alat tulis,
dan MP3.
Prosedur penelitian. Peneliti
mencari subyek yang sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan melalui
instansi kesehatan, pendidikan dan
sejumlah kenalan. Peneliti menyiapkan
pedoman wawancara kemudian
menghubungi calon subyek yang sesuai
dengan karakteristik penelitian. Peneliti
membuat janji terlebih dahulu dengan
calon subyek untuk melakukan
wawancara. Pada waktu yang sudah
disepakati, peneliti bertemu subyek dan
membangun raport terlebih dahulu supaya
subyek merasa nyaman dan dapat
memberikan data yang sebenar-benarnya.
Peneliti menjelaskan kepada setiap
subyek bahwa identitas dan hasil
wawancara akan dijamin kerahasiaannya.
Setelah setuju untuk diwawancara, subyek
diminta mengisi informed consent.
Pada saat wawancara, peneliti
mencatat waktu dan tempat wawancara,
serta hal-hal yang diniliai penting untuk
kelengkapan data. Setelah mendapatkan
data hasil wawancara, peneliti melakukan
pengolahan data dengan membuat
transkrip verbatim serta melakukan
analisis dan refleksi. Sesuai dengan
kesepakatan dengan subyek, wawancara
dilakukan di rumah subyek. Seluruh hasil
wawancara menjadi data rahasia sesuai
dengan kode etik yang berlaku dalam
psikologi. Nama subyek disamarkan
dalam pembahsan mengenai hasil
penelitian.
Metode dan Analisa Data
Penelitian ini menggunakan
analisis data dengan pengorganisasian
terhadap data-data yang diperoleh di
lapangan melalui wawancara dan
observasi terhadap partisipan dan
lingkungan pendukungnya, kemudian
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
9
mencatatnya ke dalam tabel, selanjutnya
peneliti menjelaskan arti dari perilaku yang
terekam.
Strategi verifikasi yang digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah
kredibilitas, reliabilitas, dan objektivitas.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Karakteristik subyek
Bp. Sy Bp. Wg Bp. Sr
Usia 42 43 29
Pendidikan Perguruan
Tinggi
SLTA SD
Pekerjaan Wiraswast
a
Buruh
tidak
tetap
Buruh
Jumlah
anak
2 2 2
Nama anak
pengidap
DM
An. Lt An. DP An. Ai
Usia anak 11 11 10
Hasil wawancara
a. Partisipan Bp. Sy Bp. Sy berusia 40 tahun, bekerja
sebagai wiraswasta dan menempuh
pendidikan terakhir di pergruan tinggi. Bp.
SY memiliki dua anak. Anak kedua
mengidap DM Tipe I, berinisial An. Lt (11
tahun).
Diawal mengetahui anaknya mengidap
DM, Bp. Sy membawa ke dokter untuk
berkonsultasi dalam penanganan
selanjutnya. dan selanjutnya Bp. Sy
melakukan pengawasan saja terhadap
pemenuhan kebutuhan kesehatan anak.
Bp. Sy menggunakan saat-saat
bermain dan makan bersama anak
menjadi waktu untuk menumbuhkan
kemandirinnya. Bp. Sy memilihkan
permainan yang bersifat edukatif untuk
mengasah kemandirian anak dalam
menyelesaikan permasalahan. Bp. Sy
melakukan ini setiap hari bersama anak.
Kegiatan bersama yang dilakukan
ditujukan untuk membantu pola pikir anak
bahwa orang-orang disekelilingnya peduli
dan membantunya dalam kemandirian.
Anak menyukai kegiatan yang dilakukan
bersama Bp. Sy.
Bp. Sy sebenarnya tidak memiliki
banyak waktu luang karena digunakan
untuk bekerja. Bp. Sy memanfaatkan
waktu pagi dan sepulang kerja untuk
bersama anak. Anak bersifat proaktif.
Berani mengajak Bp. Sy untuk bermain.
Anak juga langsung menyampaikan
keinginannya kepada Bp. Sy dan
langsung ditanggapi atau dipenuhi. Anak
sangat disiplin terhadap yang dijanjikan
Bp. Sy, karena kedisiplinan telah
ditanamkan sejak kecil.
Bp. Sy menyadari bahwa setiap
uasaha ada kegagalan dan keberhasilan.
Ketika anak mengalami kegagalan, Bp. Sy
akan membantu anak dengan menemani,
mendampingi dan menyemangati kembali.
Namun penyelesaian permasalahan
diserahkan ke anak. Dan ketika anak
memperoleh keberhasilan, maka Bp. Sy
akan memberikan pujian yang sewajarnya.
Menurut Bp. Sy, anaknya adalah anak
yang pantang menyerah dalam
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
10
menghadapi permasalahan. Hal itu dilihat
dari kesukaan anak menyelesaikan
permainan puzzle.
Bp. Sy menerapkan kemandirian pada
anaknya sebagaimana mendidik
kemandirian anak normal. Sehingga
pekerjaan yang sudah dapat dikerjakan
sendiri oleh anak, maka Bp. Sy tidak
membolehkan anak dibantu, pekerjaan
tersebut harus diselesaikan sendiri.
Bp. Sy membolehkan anak melakukan
kegiatan yang menguras energi, misal
latihan karate, bersepeda dan berlari-
larian. Namun, Bp. Sy tetap membatasi
kegiatan yang berlebihan. Bp. Sy
melakukan pengontrolan dan disiplin
dalam menjalankan aktivitas, supaya anak
dapat mengerjakan secara terus-menerus.
Anggota keluarga yang lain semula
khawatir terhadap ondisi anak. Namun
sekarang keluarga percaya bahwa anak
mampu menghadapi kondisinya.
b. Partisipan Bp. Wg Bp. Wg berusia 42 tahun, bekerja
sebagai buruh tidak tetap dan pendidikan
terakhirnya adalah tingkat SLTA. Bp. Wg
memiliki 2 anak dan anak kedua An. DP
(11 tahun) mengidap DM kurang lebih
sejak usia 5 tahun.
Setelah mengetahui anaknya
mengidap DM, Bp. Wg memberi
pengertian kepada anak langkah dalam
menjalani kehidupan ke depan. Yaitu
tentang pola makan, aturan makan, gejala-
gejala sakit yang perlu diwasadai dan
sebagainya dijelaskan Bp. Wg kepada
anak. Selanjutnya, Bp. Wg sekedar
mengawasi kehidupan sehari-harinya.
Bp. Wg mempercayai anak mampu
menyelesaikan permasalahannya sendiri,
sehingga tidak secara khusus memberikan
pendidikan penyelesaian permasalahan.
Bp. Wg tidak memiliki jam kerja yang
tetap. Sehingga tidak menyediakan waktu
khusus untuk dapat bersama dengan anak
terutama dalam menumbuhkan
kemandirian. Bp. Wg mendidik dan
melatihkan kemandirian pada anak sambil
lalu. Namun, apabila ada waktu kosong
terkadang Bp. Wg mengajak anak jalan-
jalan. Hal ini menurut Bp. Wg dapat
menambah rasa percaya diri, wawasan
dan membaiknya kesehatan.
Anak ketika membutuhkan sesuatu
langsung menyampaikan keinginannya.
Bp. Wg akan memenuhi keinginan yang itu
merupakan kebutuhan utama.
Bp. Wg menyarankan pada anak
untuk segera minta tolong bila merasakan
sakit. Namun, Bp. Wg tidak menyarankan
anak meminta tolong soal pemenuhan
materi. Dan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, Bp. Wg melatih anak mandiri
dengan memberikan pengertian tentang
pentingnya anak yang mandiri.
Bp. Wg menerima ketika anak
mengalami kegagalan. Setelah itu, Bp. Wg
menumbuhkan semangat baru pada anak,
menyemangati dan menumbuhkan
kebesaran jiwa supaya anak lebih percaya
diri. Dan ketika anak memperoleh
keberhasilan, Bp. Wg menambahkan
semangat pada diri anak. Bp. Wg tidak
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
11
memaksakan anak mempertahankan
keberhasilannya karena memahami
kondisi anak.
Bp. Wg membolehkan anak
beraktifitas yang menguras tenaga. Bp.
Wg berpesan kepada anak supaya
mengatur kekuatannya ketika beraktifitas
supaya memiliki sisa tenaga yang baik dan
tidak mengganggu kadar gula. Teman-
temannya memahami kondisi anak dengan
baik. Temannya juga mengetahui apa saja
yang menjadi larangan anak. Sehingga
interaksi mereka baik-baik saja. Anggota
keluarga yang juga memahami kondisi
anak. Sehingga turut membantu dalam
mengasuh, turut membantu menjaga
kestabilan kadar gula anak.
Bp. Wg melihat anaknya mengalami
ketidakpercayaan diri ketika menghadapi
permasalahan. Anak cenderung meminta
bantuan orang lain untuk
menyelesaikannya. Dan anak memiliki
tanggapan yang positif ketika bersama Bp.
Wg. Anak menunjukkan semangat yang
tinggi dalam menyongsong masa depan.
c. Partisipan Bp. Sr
Bp. Sr berusia 29 tahun. Pendidikan
terakhir adalah tingkat Sekolah Dasar dan
sekarang bekerja sebagai buruh. Anak
pertama Bp. Sr yang berinisial An. (10
tahun) mengidap DM Tipe I sejak dua
bulan yang lalu.
Setelah mengetahui anaknya
mengidap DM, Bp. Sr melakukan
pengawasan terhadap makanan yang
dikonsumsi anak. Sampai sekarang Bp.
SR melakukannya, terutama pengawasan
makanan ringan dan aktifitas bermain.
Setelah anak mengidap DM, Bp. Sr
sering mengajak An. Ai jalan-jalan ke
pantai untuk menikmati udara pagi dan
bermain. Bp. Sr merasakan manfaat dari
kegiatan yang dilakukan bersama dengan
anak. Selain dapat membuat hubungan
mereka menjadi lebih dekat, kegiatan
tersebut juga bermanfaat untuk
kesehatan. Anak menjadi lebih cerah
wajahnya setelah sering diajak jalan-jalan.
Anak merasa senang bila bepergian
dengn Bp. Sr daripada dengan ibunya.
Anak cenderung lebih dahulu mengajak
untuk ke pantai.
Bp. Sr banyak menghabiskan
waktunya untuk bekerja dan sedikit
memiliki waktu luang. Ketika Bp. Sr
memiliki waktu luang akan digunakan
untuk menonton TV bersama anak.
Sewaktu menonton, Bp. SR melakukan
pengawasan kegiatan yang dilakukan di
ruang tersebut, yaitu jam tidur anak.
Apabila sudah waktu tidur, anak
diingatkan untuk menyudahi menonton,
dan anak mematuhinya.
Bp. Sr mengingatkan dengan halus
kepada anak terhadap larangan-larangan
dia sebagai anak pengidap DM. Larangan-
larangan tersebut merupakan
permasalahan utama bagi anak. Anak
juga mematuhi larangan tersebut.
Ketika anak menginginkan sesuatu,
maka ia langsung menyampaikan kepada
Bp. Sr dan langsung ditanggapi. Apabila
keinginannya berupa makan makanan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
12
yang merupakan larangannya, maka Bp.
SR langsung melarang dan menegaskan
efek makanan tersebut. Namun, apabila
keinginannya berupa kegiatan yang cukup
menguras tenaga, maka Bp. Sr hanya
mengingatkan supaya berhati-hati. Bp. Sr
tidak melarang anak melakukan kegiatan
yang menguras tenaga, namun
membolehkan dan memberi batasan
waktu supaya tenaga tidak terkuras.
Karena apabila tenaga terkuras, maka
kadar gula dapat naik. Selain itu, Bp. Sr
memberi kebebasan pada anak untuk
mengeksplorasi lingkungan, karena hal itu
dianggap dapat menumbuhkan
kemandirian anak.
Ibu dan anggota keluarga yang lain
cenderung melayani anak, karena melihat
kondisi anak yang mengalami DM. Bp. Sr
tidak sepakat dengan istri dan ibunya yang
memanjakan anak. Bp. Sr tetap bersikap
tegas dalam kemandirian anak.
Bp. Sr belum dapat menerima
kegagalan anak, ketika anak
melaksanakan tanggung jawabnya maka
Bp. SR menyikapinya dengan kemarahan.
Namun, setelah itu Bp. Sr menyesalinya.
Bp. Sr merasa senang dan mengucapkan
terimaksih sewaktu anak mampu
melaksanakan tanggung jawabnya.
Bp. Sr selalu mengingatkan anak
supaya dapat melakukan sendiri apa yang
sudah dapat dilakukannya sendiri. Misal
mengambil minum sendiri, minum obat
sendiri dan sebagainya. Bp. Sr hanya
memperbolehkan anak dibantu untuk ha-
hal tertentu, misalnya mengatur nilai gizi
makannya, karena anak belum dapat
mengendalikan nafsu makan maka boleh
dibantu dalam mengaturnya.
Teman-teman An. Ai yang berada
dilingkungan bersikap dan berinteraksi
biasa terhadapnya. Namun, teman-teman
disekolah sering mengejek dan
membedakan dengan teman lainnya.
Bp. Sr melihat kesedihan di wajah
anak dalam menghadapi kondisinya ini.
Banyak perubahan dalam pola
kehidupannya, terutama pola makan.
Hasil Observasi a. Partsipan Bp. Sy
Berdasarkan observasi, diperoleh
data data bahwa Bp. Sy sangat antusias
saat diwawancara. Hal ini diketahui dari
wajahnya yang nampak ceria, senyum
selalu tersungging dan intonasi suara
yang tenang, tegas, mantap dan penuh
semangat. Bp. Sy nampak bangga
memiliki anak An. Lt, ditunjukkan dengan
pandangan Bp. Sy yang teduh pada
anakketika wawancara dan perilakunya
yang merangkul anak ketika ikut
bergabung dalam wawancara. Bp. Sy
bangga mencerikan tiap tahap
kegiatannya bersama anak dan tiap tahap
perkembangan anak. Hal ini terlihat dari
cerita yang yang runtut dan intonasi
tenang, menceritakan dengan detail dan
memeragakan apa yang biasa anak
lakukan.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
13
b. Partisipan Bp. Wg Bp. Wg secara performance nampak
ramah meskipun dengan penampilan
sederhana. Hal ini nampak dari raut wajah
yang selalu senyum, ceria, bahkan sampai
tertawa, dan peneliti datang disambut
dengan ramah. Namun, Bp. Wg juga bisa
serius, ditunjukan pada saat memberikan
informasi pandangan menjadi sayu,
suaranya tenang, dan tegas. Bp. Wg
semangat menceritakan kegiatan bersama
anak dan kondisinya. Hal ini ditunjukkan
dengan intonasi yang penuh semangat
dan semangat memeragakan cerita
dengan menggerak-gerakkan tangan. Bp.
Wg menunjukkan keseriusan informasi
yang diberikan dengan menunjukkan
intonasi suara yang tenang, tegas, dan
penuh semangat, serta pandangan yang
mantap kepada peneliti. Bp. Wg juga
nampak sebagai orang yang telaten
dengan melihat di sekeliling rumah
dipenuhi dengan tanaman dan hewan
yang perlu perawatan khusus. Observasi
pada Bp. Wg memakan waktu yang paling
lama diantara partisipan lainnya. Hal ini
karena partisipan semangat memberi
informasi dari pertanyaan-pertanyan
peneliti.
c. Partisispan Bp. Sr
Bp. Sr memberikan informasi dengan
serius, ditunjukkan dengan tidak banyak
melakukan perubahan gerakan tubuh,
intonasi suara yang tenang, dan emosi
yang cenderung datar. Saat mengungkap
informasi kondisi anak, Bp. Sr
mengungkapkan dengan serius juga. Hal
ini ditunjukkan dengan tenang
menceritakan kegiatan yang dilakukan
bersama dengan tenang dan mata
nampak memerah serta pandangan
menunduk. Bp. Sr semangat dalam
menceritakan kemandirian anak,
ditunjukkan dengan intonasi suara mantap
dan memandang peniliti dengan mantap
juga, bahkan sampai menunjukkan
temapat-tempat yang biasa digunakan
untuk mengahabiskan waktu bersama. Bp.
Sr juga tersenyum sewaktu
menceritakannya. Bp. Sr terlihat sangat
dekat dan sayang dengan anak, karena
sewaktu observasi, anak menangis dan
Bp. Sr turut menenangkan anak dengan
memeluk dan menenangkan dengan kata-
kata bujukan.
PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh bahwa
secara umum semua partisipan
menunjukkan adanya keterlibatan.
Menurut Allen, dkk (2002), keterlibatan
ayah mengandung pengertian bagi laki-
laki yang selayaknya memiliki bagian dari
perkembangan kedewasaannya untuk istri
dan rekan mereka dalam hubungan
pengasuhan, dan yang terpenting untuk
anak mereka dalam perkembangan sosial,
kognitif dan emosi. Keterlibatan ayah
dapat diukur dengan melihat bagaimana
meluangkan waktu, kualitas hubungan
antara ayah dan anak, dan bagaimana
ayah dapat menanamkan nilai-nilai
kebaikan dalam menjalankan peran-
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
14
perannya. Berikut gambaran setiap aspek
keterlibatan ayah dari partisipan :
Pertama adalah aspek
meluangkan waktu, yang termasuk dalam
meluangkan waktu adalah:
1. Frekuensi
Frekuensi diungkap dengan
kegiatan-kegiatan yang berkualitas
menumbuhkan kemandirian anak dan
frekuensi para partisipan melakukannya.
Menurut Dagun (2002), apabila ayah
setiap pekan terlibat dalam salah satu
kegiatan anak, maka akan terjadi
hubungan yang positif antara ayah dengan
anak. Apabila anak mempunyai banyak
kesempatan untuk mengamati dan meniru
sikap yang ayah, maka dapat membantu
perkembangan kemampuan anak
menyelesaikan masalah. Partisipan Bp. Sy
dan Bp Sr yang memiliki kegiatan khusus
dengan anak dan memiliki frekuensi yang
rutin. Berikut gambaran kegiatan dan
waktunya:
“Yaa…. hampir setiap hari. Setelah
belajar dia ngajak bermain puzzle, atau
dikomputer…dikomputer juga ada
puzzle, atau main di luar, kita di luar
juga ada game, time zone. Yang dia
senengi juga yang bersifat edukatif.”
(Bp. SY, T27, B03, Th2010, baris ke
50)
“biasanya ke Trisik, selang berapa lama
trus pulang, mandi dan maen. Yaa di
Trisik cari udara segar, jalan-jalan. Dia
mandi sendiri, tapi masih disuruh,” (Bp.
SR, T04, B07, Th2010, baris ke 25)
“yaa setelah pulang dari rumah sakit,
sampe sekarang sering saya bawa ke
sana” (Bp. SR, T04, B07, Th2010, baris
ke 30)
Ib. St menguatkan penyampaian
Bp. Sr dengan lebih menjelaskan waktu
yang digunakan bersama, demikian
penyampaiannya:
“kalau ke pantai itu dua hari sekali,,
yang pasti seminggu tiga kali,, ya kalau
nyuci itu ya tiap kali ke sumur dia
ikut,”(Ib. St, T11, B07, Th2010, baris ke
75)
Partisipan Bp. Wg tidak
meluangkan waktu khusus untuk
menumbuhkan kemandirian anak. Namun,
Bp. Wg ketika memiliki waktu senggang
akan mengajak anak pada suasana lain,
dengan tujuan untuk menumbuhkan
kepercayaan diri pada anak, seperti yang
disampaikan Bp. Wg berikut:
“itu nggak ada mbak, ngak ada
kegiatan khusus, ya sambil lalulah,
misal ada waktu senggang, waktu
kosong, yaa kita cari suasana lain.
jalan-jalan ke sungai atau di pingir
sawah. atau ke pantai, yaa untuk
menumbuhkan jiwanya. itukan jiwa
anak harus ditumbuhkan, harus diberi
supaya tumbuh kepercayaan dirinya.
Biar PD gitu mbak,” (Bp. Wg, T19, B06,
Th2010, baris ke 35)
“Waduh mbak... Mungkin bisa setahun
sekali,, wakkkwakkk. ya kalau dirata-
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
15
rata bisa setahun sekali.” (Bp. Wg, T19,
B06, Th2010, baris ke 40)
2. Timbal balik hubungan
Menurut Dagun (2002), anak yang
memiliki hubungan timbal balik dengan
ayah akan lebih mampu menghadapi
situasi asing. Timbal balik hubungan telah
terungkap dari partisipan Bp. Sy dan Bp.
Sr, seperti yang disampaikan berikut:
“Dia aktif, ee.. dia yang meminta, atau
yang menginginkan, saya mengikuti.”
(Bp. SY, T27, B03, Th2010, baris ke
60)
“dia manut, tidak mbantah, malah
adeknya yang mbantah, missal nonton
TV lama trus diingatkan, ya dia manut,
kalo adeknya mbantah. Disuruh minum
apapun, bahkan sangat pahit, dia juga
mau.” (Bp. SR, T04, B07, Th2010, baris
ke 45)
Pada partisipan Bp. Wg tidak
muncul timbal balik hubungan, karena
partisipan tidak secara khusus
meluangkan waktu bersama anak.
“Waduh...wong buruh itu nggak ada
waktu luang mbak... soal anak itu
sudah saya serahkan pada ibunya..”
(Bp. Wg, T19, B06, Th2010, baris ke
45)
3. Kehadiran Ayah
Keterlibatan ayah mengasuh anak
sejak kecil dapat memperlihatkan
kehadiran ayah memiliki dampak yang
mendalam. Hubungannya yang dekat
dapat mempengaruhi anak diterima dalam
pergaulan dengan teman sebayanya
(Dagun, 2002). Menurut penelitian Walter
Misched (dalam Dagun, 2002)
ketidakhadiran ayah dapat menyebabkan
anak menjadi lamban dalam menanggapi
keinginan dan kebutuhannya. Kehadiran
ayah disela-sela kesibukannya untuk anak
ditunjukkan oleh partisipan Bp. Sy dan Bp.
Sr, seperti yang dikemukakan masing-
masing partisipan berikut:
“Saya bisa ketemu dia malam hari,
eee….dan pagi hari, mulai dia mandi
sampai mengantar dia sekolah, setelah
itu ketemu lagi malam, karna saya
sering pulang malam. Malam, jam
belajar dia belajar dulu, setelah belajar
kita main. Yah…kita melakukan
bersama.” (Bp. SY, T27, B03, Th2010,
baris ke 55)
“yaa diam saja, sambil ngawasi dia
nonton TV, atau nanti disuruh tidur
kalau sudah masuk waktu tidur. Dia itu
betah melek, kalau nggak diketati yaa
tidak tidur.” (Bp. SR, T04, B07, Th2010,
baris ke 40)
4. Kebermanfaatan kegiatan
Keterlibatan ayah dalam kehidupan
anak memiliki pengaruh yang lain selain
dalam kemandirian. Ayah dapat
berpengaruh pada cara pandang anak
menyelesaikan permasalahan dan
menggunakan lingkungan sebagai media
belajar. Seperti yang diungkapakan oleh
Prasetyo dkk (dalam Kurnianingsih, 2008)
bahwa gambaran atau bentuk pola asuh
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
16
dari ayah contohnya adalah bertindak atau
berperan sebagai teman dalam bermain,
menciptakan suasana bersaing untuk
memacu keinginan dan kemampuan anak
saat bermain, mengembangkan
kemampuan berpikir logika anak,
mengajak anak mengeksplorasi langsung
terhadap lingkungan dan membiarkan
anak mengadakan eksperimen terhadap
kegiatan eksplorasinya, dan mengasah
kemampuan anak.
Semua partisipan dapat melihat
manfaat dari kegiatan yang telah
dilakukan bersama anak. Manfaat yang
dirasakan setiap partisipan berbeda. Bp.
Sy melihat kegiatannya bermanfaat dalam
membentuk pola pikir anak dan membantu
anak dapat menyelesaikan permasalahan,
Bp. Wg melihat manfaat dari kegiatan
yang dilakukan bersama anak adalah
pengembangan wawasan anak. Partisipan
Bp. Sr melihat hubungannya dengan anak
semakin dekat dan Bp. Sr merasa lebih
memperhatikan kondisi anak. Selain itu,
Bp. Wg dan Bp. Sy melihat ada manfaat
pada kesehatan anak dari kegiatan
mereka. Demikian para partisipan
mengungkapkan manfaat kegitan mereka:
“Yang jelas….eee membantu pola pikir
dia, dia punya keluarga, punya ayah
dan ibu, punya kakak… kebersamaan
itulah yang sangat membantu dia,
sehingga dia merasa dia tidak sendiri,,,
banyak orang di lingkungan dia yang
membantunya,,, sehingga dia bisa
mandiri lebih baik.” (Bp. SY, T27, B03,
Th2010, baris ke 80)
“ya bagus, dia jadi punya pandangan
lain, yang seharusnya dia belum tahu
jadi sudah tahu, dia merasa ,,, gimana
ya,,, ya ada kebanggan tersendiri “Aku
wis ngerti Samas” ya itu contohya,,
“Saya sudah ke Parangtritis dua kali” ya
itu bisa jadi kebanggan tersendiri. Misal
ke Bonbin, wis ada kebanggaan kalau
sudah pernah ke Gembira Loka, misal
kalau belum banyak tanda tanya, yang
namanya Bonbin Gembiro Loka itu
seperti apa? Ada apanya di situ?
Katanya ada gajah, gajahnya berapa?
Katanya ada kolam, kolamnya sperti
apa? Tapi kalau dia sudah pernah ke
situ,,, tahu persis ya dia punya
kepuasan tersendirilah, seperti apa
yang dikatakan orang-orang,, ya seperti
itulah,,,” (Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 65)
“Ya setelah itu kami jadi lebih
dekat,,,,”(Bp. SR, T04, B07, Th2010,
baris ke 60)
Bp. Sr menambahkan:
“,. Kalau dibiarkan dia bisa lakukan
sendiri, dia tahu dengan sendirinya,,,
kalau diingatkan atau dikekang dia
malah nangis” (Bp. SR, T04, B07,
Th2010, baris ke 115)
Partisipan Bp. Wg dan Bp. Sr juga
mendapatkan manfaat pada
perkembangan kesehatan anak dari
kegiatan yang telah mereka lakukan. Bp.
Wg melihat kegiatan mereka dapat
menstabilkan kadar gula, meskipun
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
17
presentasenya kecil. Bp Sr melihat
perubahan pada fisik anak setelah mereka
beraktifitas. Badan anak menjadi lebih
cerah, tidak pucat seperti sebelumnya.
Berikut penyampaian dari Bp. Wg dan Bp.
Sr:
“mana saraf yang berpengaruh,,
meskipun itu kecil pengaruhnya, 0,01%
mungkin. itu saraf mana yang menuju
ke pankraes itu. Dibilang ada di telapak
kaki. Karna saraf di telapak kaki ya
kalau jalan-jalan nggak perlu pake
sandal gitu,, kan otomatis sarafnya
kena.” (Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 60)
“yaa kalau setelah jalan-jalan di
pantai,,, banyak perkembangannya, di
kesehatannya. Waktu belum di bawa ke
sana, Nampak lemes, pucat. Trus
disana itu ya lari-lari dipinggirnya, ya
saya suruh mandi di air, saya
tungguin.” (Bp. SR, T04, B07, Th2010,
baris ke 55)
Kedua, aspek kualitas hubungan.
Menurut Allen dkk (2002), ayah disebut
terlibat jika kualitas hubungan ayah
dengan anak digambarkan dengan peka,
hangat, dekat, bersahabat, mendukung,
akrab, mengasuh, penuh kasih sayang,
memberikan harapan, menghibur, dan
menerima. Berikut merupakan gambaran
aspek kualitas hubungan dari partisipan:
1. Peka
Ayah yang memiliki kepekaan
dalam menanggapi dan mendorong
perkembangan anak, tampak anak dapat
berkembang baik baik (NICHHD, 2002).
Kepekaan ayah nampak pada ketiga
partisipan. Semua partisipan mengetahui
berbagai macam kebutuhan anak
pengidap diabetes melitus, ini sesuai
dengan pernyataan Bp. Sy dan Bp. Wg:
“Terutama dia harus dikontrol untuk
makan gula, terutama yang
mengandung glukosa,, karna dia tipe I
atau tipe A,,, ini,,, harus ditambah
dengan insulin dari luar, ee .. aa.. salah
satu caranya dengan disuntik. Dia
disuntik insulin sehari 2x, batas
kerjanya e e e batas kerjanya insulin 12
jam, jadi selama 24 jam 2x
penyuntikan” (Bp. SY, T27, B03,
Th2010, baris ke 30 dan 35)
“Porsi makan ya di atur, dikira-kira. ada
saran dari bagian gizi. Ada
panduannya, kalau yang bisa dimakan
ini ini, makannya kalau pagi sekian,
siang sekian, sore sekian, snacknya
ada jam 9 pagi, jam 3 sore,. Kalau dia
minum teh manis mang ngedrop mbak,
sampai 70-60, dia setengah nggak
sadar itu mbak. Normalnya 120.” (Bp.
Wg, T19, B06, Th2010, 20)
Pada partisispan Bp. Sr tidak
diungkapkan secara detail. Hal ini karena
anak baru mengalami diabetes melitus
selama 2 bulan, sehingga Bp. Sr masih
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
18
kurang berpengalaman dan kurang
informasi. Demikian penuturan Bp. Sr:
“yaa kebutuhannya dari biasanya
berbeda banyak,. Biasanya kita makan
bersama itu ikut apa yang boleh
dimakan dia, missal dia bolehnya
makan kentang,,, ya kami makan
kentang, kalau dia minum air putih yaa
kami minum air putih.” (Bp. SR, T04,
B07, Th2010, baris ke 70)
2. Bersahabat, hangat, dan akrab
Sikap bersahabat, hangat, dan
akrab diungkap dengan kemampuan anak
menyampaikan langsung kebutuhannya
kepada ayah dan dapat menunjukkan
komunikasi yang baik. Menurut Dagun
(2002), pada situasi intim, saat itu ayah
dekat dengan anak dan memperoleh
banyak hal dari anaknya. Hal ini telah ada
pada ketiga partisipan, baik Bp. Sy, bp.
Wg, maupun Bp. Sr. pada ketiga
partisipan, anak mampu menyampaikan
kebutuhannya langsung kepada ayah
tanpa melalui perantara orang lain. Seperti
yang dikemukakan berikut:
“Kalau dia punya keluhan, ee untuk fisik
terutama, kalau sakit dia akan
memberitahu yang sakit yang mana,
apa keluhannya, dan biasanya kalau
menyangkut kesehatan, dia kita bawa
ke dokter. Kalau keluhannya sebuah
keinginan,, bersifat sebuah
permintaan,, yaa,,kita janjikan,, kalau
itu baik,, ya kita janjikan,, tepat waktu,,.
Dia sangat disiplin untuk sebuah janji.
Kita menjanjikan hari senin, jam dua,
jamnya pun harus disebutkan…jam 7
malam missal,, karna jam setengah 7
dia siap-siap menunggu jam 7.” (Bp.
SY, T27, B03, Th2010, baris ke 70)
“dia punya kesadaran sendiri untuk
menyampaikan ke kami. Nggak usah
diminta dia sudah bilang. Saya sakit,
perut saya sakit. dia sudah tau mbak,
kebutuhan itu pokok atau nggak.kalau
kebutuhan pokok ya seperti pulpen,
buku, buku paket, buku tulis, atau bayar
iuran sekolah,,, itukan kebutuhan
pokok, ya itu bilang,, tapi bilangnya ya
gak sekarang, bilangnya 3 atau 4 hari
sebelumnya,,. “ya kalau kebutuhan
seperti ingin baju baru atau sendal, dia
lihat-lihat dulu. Kalau Bapaknya baru
bekerja seminggu utuh, ya gitulah,,
itupun kalau dia nggak tahu langsung
bapaknya pegang uang ya dia nggak
berani minta.” (Bp. Wg, T19, B06,
Th2010, baris ke 80 dan 85)
“Ya kadang dia langsung minta yang
mengandung gula, saya bilang “gak
usah dek, makan apanya yang ada,
biar lekas sembuh”.” (Bp. SR, T04,
B07, Th2010, baris ke 75)
3. Mengasuh, kasih sayang
Menurut Hellen (dalam Dagun,
2002), ayah lebih mampu dan efektif
dalam mengasuh anak. Semua partisipan
mendidik anak mandiri dalam memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, tidak
menyarankan meminta bantuan orang
lain. Berikut penyampaiannya:
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
19
“Dalam pendidikan, dia kita usahakan
mendidik seperti anak normal, supaya
dia bisa berkomunikasi dan berinteraksi
dengan lingkungan, dan Alhamdulillah
,,, ee sekarang dia bisa berkomunikasi,
bermain,,, dengan kita juga bisa
berkomunikasi dan berinteraksi,,,.” (Bp.
SY, T27, B03, Th2010, baris ke 90)
“ya itu di latih mbak. yaa,, dek opo-opo
kok diladeni orang tua. Kalau semua
diladeni nanti sangu ke sokolah peke
laden?. Misal pagi-pagi sudah ngladeni
yo natar sangune laden bukan uang,
kalau ditinggal bekerjakan bisa untuk
uang saku. dan kalau butuh apa ya bisa
buat beli.” (Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 90 )
“…, kadang kalau sama saya, ya saya
suruh ambil sendiri. Soalnya kalau
sama ibunya pasti nangis, sama saya
gak, takut mungkin. Kalau minta sama
ibunya, gak dibolehkan, ya dia nangis.
Kalau sama saya, gak boleh ya gak
boleh. ” (Bp. SR, T04, B07, Th2010,
baris ke 85)
Pada wilayah kesehatan para
partisipan berbeda perilaku dalam
mendidik anak. Partisipan Bp. Sy
cenderung mendorong anak mandiri
dalam menggunakan alat kesehatannya,
seperti yang disampaikan berikut:
“Kalo sekarang dia sudah melakukan
sendiri. Sudah bisa nyuntik sendiri. Kita
tinggal mengontrol, berapa ampul yang
diberikan tiap 12 jam sekali.” (Bp. SY,
T27, B03, Th2010, baris ke 35)
Berbeda dengan Bp. Sy, Partisipan
Bp. Wg tidak mendukung anak
menggunakan alat kesehatannya:
“Kalau itu saya belum berani,, untuk
anak dapat menggunakan alat sendiri.
Karna dia belum bisa merasakan
sepenuhnya. Kalau anak-anak yang
usia sebelum 15 tahu, ia belum bisa
mengatur sepenuhnya, saya belum
berani. Mungkin kalau dia sudah
berusia 15 tahunan baru saya mulai, ya
untuk kedewasaanya sudah
mencukupilah...” (Bp. Wg, T19, B06,
Th2010, baris ke 55 )
4. Menghibur, menerima, mendukung,
dan memberi harapan
Ayah sebagai pembimbing,
membantu anak mencapai potensi secara
penuh, termasuk menerima kesalahan-
kesalahan seperti halnya menerima
kesuksesan-kesuksesan dan senyuman.
Para pembimbing tahu bahwa kegagalan-
kegagalan kecil merupakan awal dari
kesuksesan besar, karena itu pembimbing
akan terus mendorong anak untuk tetap
mencoba (NICHHD, 2002). Kemampuan
menghibur, menerima, mendukung, dan
memberi harapan pada kondisi anak yang
mengalami kegagalan maupun mengalami
keberhasilan dalam menjalankan
tanggung jawabnya ditunjukkan oleh
partisipan Bp. SY dan Bp. Wg. Masing-
masing mengungkapkan sebagai berikut:
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
20
“Kalau dia berhasil kita memuji,,, eee
kita juga gak mau memujinya terlalu
berlebihan,, dan dia gagalpun kita akan
membantunya,,, dan dia tidak akan
menyerah pada kegagalan… itu satu
kelebihan positif dari dia. Kita
membantu dia dalam mengulang ketika
tidak bisa, dan kita menemani,, tapi
konteks berfikir kita serahkan ke dia.
Seperti PR,,, kita mendampingi, kita
tidak membantu buat PR tetapi
mendampingi,,,, kita membantu
sebagai orang tua sepserti Tut Wuru
Handayani,,, hanya membantu
mendorong,,, menyemangati,,,, atau
menemani,,, tetapi kemauan no 1 dari
dia,, harus tumbuh dari dia…” (Bp. SY,
T27, B03, Th2010, baris ke 95 dan 100)
“Anak itu gagal biasa mbak, wkkwkk,
sama seperti yang lainnya. ya saya
mengerti mbak misal ia gagal dalam
prestasi. ya anak itukan punya target
sendiri. Misal sekarang ia ikut lomba,
harapannya dapat hadiah, ya kalau
sekolah kalau gaka dapat ranking 1
atau 2 ya dapat ranking yang tidak buat
malulah, bisa 4, 5, atau 6. Ya entah
karena apa mungkin dia lepas dari
target, nyampe rumah dia laporan “Pak,
nilainya jelek,,,”, “Sekarang jelek nggak
pa-pa, orang itu ya nggak mesti sehat
terus, kadang ya sakit, ya kalau
sekarang adek belum pinter ya belajar
lagi. sekarang ngak pa-pa. nanti
kenaikan kelas yang penting naik dulu”
ya biar dia itu hatinya nggak jadi kecil
mbak,, nggak minder,, ya misal kalau
dapat ranking baik, ya dipertahankan
dek, nggak bilang harus
dipertahankan,, itu harus dipertahankan
titik, gitu,, saya tidak,, Ya kalau kamu
bisa pertahankan ya pertahankan dek,
kalau nggak ya nggak pa-pa, yang jelas
kamu sudah punya pengalaman punya
ranking bagus.” (Bp. Wg, T19, B06,
Th2010, baris ke 100).
Partisipan Bp. Sr menunjukkan
sikap menerima ketika anak mendapat
keberhasilan, seperti yang disampaikan
berikut:
“yaaa bagaimana ya,, ya saya
seneng,,, senengnya dengan ngucap
terimakasih.. disiini tu saling ngucapin
terimaksih sudah biasa, missal kakanya
minta tolong adeknya ngambilkan
minum,, ya kakany trus bilang makasih
ya dek,,” (Bp. SR, T04, B07, Th2010,
95)
Ketiga, aspek keterlibatan menurut
Allen dkk (2002) adalah menanamkan
nilai-nilai kebaikan. Sesuai dengan
penelitian, maka nilai-nilai yang
ditanamkan adalah nilai-nilai kemandirian.
Aspek dijabarkan sebagai berikut beserta
hasil dari partisipan:
1. Musyawarah
Komunikasi dialogis dengan anak
yang bersifat terbuka, jujur, dan tulus
dapat menumbuhkan kedisiplinan dan
kemandirian pada anak (Rahayu, 2009).
Kemampuan musyawarah telah digali,
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
21
namun tidak dilakukan oleh para
partisipan penelitian dalam menanamkan
kemandirian pada anak.
2. Mendorong kemandirian
Menurut Dagun (2002), ayah
memiliki sikap lain yaitu memberi
kebebasan pada untuk untuk mencapai
sikap mandiri pada anak. Ayah semenjak
awal menginginkan anak dapat melakukan
sendiri tanpa ketergantungan pada orang
lain. Sikap mendorong kemandirian
terdapat pada ketiga partisipan. Berikut
adalah penyampaian dari partisipan Bp.
Sy dan Bp. Wg:
“Di dalam minta tolong, selama dia
masih bisa mengerjakan dia kerjakan
sendiri…mandi,,, selama dia bisa
sendiri ya sendiri,,, makan,,, selama dia
bisa sendiri ya lakukan sendiri.. kita
membiarkan dan tidak membantu.
Pada prinsipnya dia tidak berbeda
dengan anak normal lainnya,,,.” (Bp.
SY, T27, B03, Th2010, baris ke 110)
“O,, sekarang gini mbak,, kalau saya
yang namanya minta tolong bantuan
orang lain, prinsip saya itu saya bagi
jadi bermacam jenis,, ya kalau itu
dalam hal kesehatan,,, yo yang jelas
mengenai fisiknya,, kesehatan anak ya
memang saya anjurkan minta tolong,
tapi kalau soal materi,,saya kasih saran
jangan sampe,,jangan sampe minta-
minta dengan orang lain, apalagi itu
bukan saudara. …..,. Tapi kalau
hutang, suatu saat ada yang bilang,
woo duitku dipinjam ini.. ya kalau saya
dengar akan dibayar kalau sudah ada
duit. Saya beri pengertian seperti itu
mbak. Ya pinjam itu ada tanggung
jawab mengembalikan sepenuhnya,. ya
seperti itulah kalau masalah minta
tolong.” (Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 115).
Demikian juga pada partisipan Bp.
SR, menunjukkan sikap yang sama,
seperti yang disampaikan berikut ini:
“yaa mau saya itu gak usah dimanja,,
boleh manja tapi yaa lihat-lihat,, ya
kalau semua di manja nantinya malah
repot,, semua-semua nyuruh orang tua.
Mau saya kalau dia sudah bisa yaa dia
ambil sendiri, bukan terus sebentar-
bentar diambilkan, disuapi, ya jadinya
manja itu. Kalau saya ya saya biarkan,
tapi kalau ibunya yaa diambilkan,” (Bp.
SR, T04, B07, Th2010, baris ke 105)
3. Batasan kemandirian
Menurut Dagun (2002), ayah
memiliki sikap berbeda terhadap anak
perempuan, ayah lebih berhati-hati dan
ragu-ragu, sehingga memberikan batasan
pada anak perempuan. Memberikan
batasan kemandirian ditunjukkan oleh
ketiga partisipan. Memberikan batasan
yang disampaikan para partisipan selain
karena anaknya perempuan tetapai juga
karena anak memiliki tenaga yang lemah.
Masing-masing partisipan memberikan
uraian sebagai berikut:
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
22
“dia cukup energy,,, eee tapi untuk
olahraga yang terlalu berat, kebetulan
dia suka karate, ini memang kita
batasi,,, batasi,,, kalau berjalan sejauh
5 kilo ya kita batasi,,, tapi untuk sehari-
hari dia tetap, seperti latihan karate,,,
olahraga,,, maen-maen,,, naik sepeda,,,
lari-lari,,, ya dia normal saja… ya
seperti anak normal lainnya.. yaa
seperti mbak lihat sendiri…ini
kelihatan,, dia aktif.. dan dia gak akan
diam meskipun ada waktunya dia
drop,,,” (Bp. SY, T27, B03, Th2010,
baris ke 115)
“,,kita harus hati-hati, seefisien mungkin
masalah tenaga, energi. misa ya mbak,
dia harus mengelilingi lapangan 5 X.
untuk dinilai, dia butuh waktu cepat,.
kalau anakku nggak usah cepat-cepat,
5X itu yang harusnya selesai 5 menit,
ya kamu tengah-tengah, kalau
antaranya 5-10 menit ya kamu ambil 7-
8 menit, jadi tenagamu masih, masih
ada sisa.” (Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 120)
“Tapi kalau dibiarkan,,, missal hati-hati
dek,,, ya kalau sudah seperempat jam
misalnya, dia disuruh berhenti, mau,.
Tapi kalau langsung dibilang “gak
boleh…”, langsung emosinya tinggi,
kadar gulanya tinggi,” (Bp. SR, T04,
B07, Th2010, baris ke 110)
4. Disiplin
Menurut Aline (2006), ayah disiplin
dalam peran mengajarkan anak
berperilaku benar dan sehat. Sikap disiplin
ayah terhadap anak hanya ditunjukkan
oleh partisipan Bp. Sy, demikian
ungkapnya:
“Yaa setiap hari kita control,,, kita
menjalankan setiap hari kedisiplinan,,,
ya bangun pagi, kita cek dia bangun
pagi,, ya mandi, sarapan, berangkat
sekolah,,,, kita memberi batas dengan
waktu. Jam sekian mandi harus selesai,
jam sekian harus berangkat sekolah,,
trus belajar,,, jam sekian sampai sekian
harus belajar,,,. Kita mengontrol itu…”
(Bp. SY, T27, B03, Th2010, baris ke
125)
Keterangan dari partisipan tersebut
menunjukkan bahwa mereka memiliki
kemampuan dalam ketiga aspek
keterlibatan ayah, meskipun terdapat
aspek yang tidak terpenuhi secara utuh,
namun sudah cukup mewakili. Aspek
tersebut adalah melungkan waktu, kualitas
hubungan dan menanamkan nilai-nilai
kebaikan dalam kemandirian. Hal tersebut
merupaka suatu indikasi bahwa
keterlibatan ayah dalam menumbuhkan
kemandirian anak pengidap diabetes
mellitus sangat penting. Didukung oleh
fakta-fakta yang menunjukkan bahwa
semua partisipan telah terlibat dalam
menumbuhkan kemandirian anak
pengidap diabetes mellitus.
Secara umum, ditemukan bahwa
ketiga partisipan memiliki keterlibatan
dalam menumbuhkan kemandirian di
wilayah pemenuhan kebutuhan sehari-
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
23
harinya. Namun, pada wilayah
kemandirian kesehatan, setiap partisipan
berbeda dalam penanganan. Partisipan
Bp. Sy cenderung memberi kepercayaan
terhadap anak untuk menggunakan alat
kesehatannya. Partisipan Bp. Wg belum
mempercayakan anak menggunakan alat
kesehatan, dan Bp. Sr lebih banyak
menggunakan obat tradisional yang cukup
rumit menyajikannya, sehingga anak tidak
dapat mandiri menyajikannya. Meskipun
demikian, pernyataan ketiga partisipan
kompak dalam menanggapi keluhan sakit
anak. Demikian penyampaian dari para
partisipan:
“Kalo sekarang dia sudah melakukan
sendiri. Sudah bisa nyuntik sendiri. Kita
tinggal mengontrol, berapa ampul yang
diberikan tiap 12 jam sekali.” (Bp. SY,
T27, B03, Th2010, baris ke 35)
“Kalau itu saya belum berani,, untuk
anak dapat menggunakan alat sendiri.
Karna dia belum bisa merasakan
sepenuhnya. Kalau anak-anak yang
usia sebelum 15 tahu, ia belum bisa
mengatur sepenuhnya, saya belum
berani.”(Bp. Wg, T19, B06, Th2010,
baris ke 55)
“Disuruh minum apapun, bahkan
sangat pahit, dia juga mau. Soalnya ini
saya selingi obat jawa, biar biaya tidak
terlalu tinggi.” (Bp. SR, T04, B07,
Th2010, baris ke 45)
Berdasarkan hasil wawancara,
perilaku anggota keluarga lain turut
mempengaruhi kemandirian anak.
Anggota keluarga lain yang terlalu
mengkhawatirkan kondisi anak dapat
menghambat pertumbuhan kemandirian
anak. Menurut Park (dalam Soeharjono,
2002), pengidap Diabetes Melitus yang
serumah dengan keluarga sering terjadi:
(a) pengidap dilindungi secara berlebihan
oleh nenek, (b) nenek monolak
pengendalian Diabetes melitus secara
medis dan memaksa menggunakan obat
tradisional, (c) nenek menyalahkan ibu
atau ayah pengidap, dan (d) terjadi konflik
antara mertua dan menantu. Hal tersebut
dialami oleh partisipan Bp. Wg dan Bp. Sr:
“ya sudah pada mengerti,,, bisa
momonglah,,, ya kalau ada yang nggak
bisa diterima, mending mengalah,, tapi
ya kalau pada emosi naik,, ya ramelah,
waeeewaeee,,, wkkkwkkk” (Bp. Wg,
T19, B06, Th2010, baris ke 130)
“ya kalau ke ai,, ibu saya itu ya
memanjakan seperti ibunya,. Apa-apa
kalau nangis terus digendong, trus
nanti diajak keliling atau naik sepeda
supaya dia diam,.” (Bp. SR, T04, B07,
Th2010, baris ke 120)
Keterlibatan ayah berdasarkan
penelitian ini merupakan hal yang
dinantikan oleh anak. Menurut Noer
(2009), terdapat bahasa secara tidak
langsung tersampaikan ketika ayah
menemani anak bermain dan berperan
sebagai teman bermain sekaligus
pelindung bagi anak. Permainan yang
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
24
dipilih ayah dapat melatih keberanian dan
kemandirian selama ayah tidak memaksa
dan terlalu mengatur permainan tersebut.
Biasanya permainan yang dipilih ayah
adalah permainan fisik atau aktivitas luar
ruangan. Anak menyukai aktivitas-aktivitas
yang dilakukan bersama ayah. Hal ini
dialami oleh partisipan Bp. Sy dan Bp. Sr:
“menurut saya dia seneng,,, Kalau saya
pulang telat dia menunggu,, kalau dia
menginginkan sesuatu, seperti mau
main puzzle, maka hanya sama saya,.
Karena mama dan kakanya gak begitu
seneng permainan puzzle,,. Nah,,,
mulai dari siang dia sudah
menjadwalkan,, atau dari sore setelah
saya baru pulang janjian nanti selsesai
belajar main puzzle,,,” (Bp. SY, T27,
B03, Th2010, baris ke 140)
“dia seneng, kalau lagi dipantai, kalau
bajunya belum basah, belum mau
diajak pulang,. Kalau waktu pergi ke
pantai sama ibunya Cuma dari atas
saja, trus diajak pulang ya dia mau,,
takut mungkin. Lebih seneng ke pantai
sama saya.” (Bp. SR, T04, B07,
Th2010, baris ke 145).
Berdasarkan pembahasan dan
hasil analisis data, usaha keterlibata yang
telah dilakukan oleh ayah adalah
meluangkan waktu untuk bermain
bersama, menonton TV bersama,
menyelesaikan tugas rumah bersama.
Ayah-anak juga membuat hubungan
merekan hangat, akrab, bersahabat,
sehingga ketika menyampaikan keinginan
masing-masing lebih mudah karena sudah
terjalin hubungan yang baik, termasuk
disini adalah keinginan ayah untuk anak
menjadi pribadi yang mandiri. Selain itu
ayah membuat dirinya peka terhadap
kebutuhan anak sehingga lebih mudah
untuk menyampaikan nilai-nilai kemadirian
dengan mengetahui kondisi anak.
Ayahpun dengan ringan menerima
kegagalan tanggung jawab anak dan
menerima keberhasilannya dengan
senang hati, sehingga anak dapat tumbuh
mandiri di lingkungan yang menerimanya
apa adanya. Usaha keterlibatan lainnya
adalah dengan menanamkan kemandirian
dengan menerapkan pola asuh autoritatif,
yaitu ayah mendorong kemandirian anak,
namun tetap memberikan batasan sebagai
pengendali perilaku anak.
Adanya keterlibatan ayah
tersebut membawa banyak dampak positif
bagi anak. Selain berkembangnya
kemandirian anak (meliputi mandiri
menyelesaikan permasalahan, tanggung
jawab dan proaktif), dampak positif lainnya
adalah peningkatan taraf kesehatan dan
penambahan wawasan bagi anak.
Pada keterlibatan ayah, terdapat
beberapa perbedaan keterlibatan. Aspek
pertama, perbedaan ada pada frekuensi
ayah meluangkan waktu bersama anak,
kehadiran ayah, dan manfaat kegiatan
yang dilakukan ayah bersama anak. Pada
aspek kedua, perbedaan terdapat pada
bagian mengasuh, kasih sayang,
menghibur, menerima, mendukung dan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
25
memberi harapan. Aspek ketiga, terdapat
perbedaan dalam menanamkan
kedisiplinan pada anak. Pada perbedaan-
perbedaan ini, peneliti mengambil perilaku
keterlibatan yang sebagian besar
dilakukan oleh partisipan sebagai
gambaran keterlibatan ayah dalam
menumbuhkan kemandirian anak
pengidap diabetes melitus.
Oleh karena itu, nampak bahwa
ayah telah terlibat dalam menumbuhkan
kemandirian anak yang mengidap
diabetes melitus, meskipun masih terdapat
aspek yang belum terpenuhi secara utuh.
Perilaku keterlibatan yang telah terpenuhi
adalah pada aspek meluangkan waktu
dan kualitas hubungan ayah-anak,
sedangkan yang belum terpenuhi adalah
perilaku menanamkan nilai-nilai melalui
peran-peran ayah. Anggota keluarga yang
lain turut mempengaruhi keterlibatan ayah
dalam pengasuhan anak. Keterlibatan
ayah dalam pengasuhan anak juga
membawa banyak dampak positif bagi
anak.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan
pembahasan yang telah dilakukan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa gambaran
keterlibatan ayah mampu menumbuhkan
kemandirian pada anak pengidap diabetes
melitus dan mampu membangun aspek-
aspek positif dalam diri anak. Keterlibatan
ayah dapat dilihat dari berbagai aspek,
yakni dengan meluangkan waktu, melihat
kualitas hubungan, dan menanamkan
nilai-nilai kebaikan, dalam hal ini adalah
nilai-nilai kebaikan kemandirian.
Pada aspek meluangkan waktu,
para partisipan merupakan pekerja keras
yang sedikit memiliki waktu luang. Namun,
ayah mampu meluangkan waktu disela-
sela kesibukan mencari nafkah untuk
dapat bersama anak dengan frekuensi
yang rutin. Ayah mengambil waktu
sebelum berangkat bekerja atau sepulang
bekerja untuk dapat bersama dengan
anak. Ayah mampu mengisi waktunya
yang singkat bersama anak dengan
kegiatan yang bermanfaat untuk
kemandirian, kesehatan, kecerdasan, dan
hubungan sosial anak, serta bermanfaat
meningkatkan hubungan antara keduanya.
Ayah juga mampu membuat saat-saat
bersamanya menjadi menyenangkan,
bukan lagi hal yang menakutkan meskipun
tetap dengan sikap tegas yang dimiliki
ayah.
Aspek kualitas hubungan,
menggambarkan bahwa ayah dari anak
pengidap diabetes cukup peka terhadap
kebutuhan secara kesehatan maupun
kebutuhan sehari-harinya. Hubungan yang
dibangun ayah membuat mereka
bersahabat, hangat dan akrab, sehingga
anak mampu dengan leluasa
menyampaikan segala sesuatu kepada
ayah. Hal ini juga membuat anak langsung
mematuhi nasehat-nasehat dari ayah.
Ayah mampu menerima kegagalan anak
sebagaimana menerima keberhasilannya.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
26
Ayah juga memotivasi anak menjadi lebih
baik dalam keadaan gagal maupun
berhasil melaksanakan tanggung
jawabnya, dan ayah akan menghibur anak
ketika mengalami kegagalan.
Aspek menanamkan nilai-nilai,
terutama nilai kemandirian. Hal ini tidak
terpenuhi secara keseluruhan. Ayah tidak
terlibat musyawarah dengan anak dalam
menyampaikan pesan kemandirian. Ayah
juga tidak disiplin dalam menanamkan
kemandirian pada anaknya yang
mengidap Diabetes Melitus. Namun ayah
tetap mendorong kemampuan
kemandirian dengan memberi kebebasan
anak beraktivitas dan tetap memberi
batasan sebagai pengendalian perilaku
serta supaya tidak terlalu membahayakan
kondisi anak.
Ayah mendukung tumbuhnya
kemandirian anak meskipun dalam kondisi
mengidap diabetes mellitus. Namun,
anggota keluarga yang lain tidak
mendukung konsep pendidikan ayah yang
mengutamakan kemandirian anak dalam
memenuhi kebutuhan.
Kegiatan yang melibatkan ayah
dengan anak dalam pengasuhan dapat
bermanfaat bagi anak untuk menambah
wawasan, mengembangkan pola pikir
penyelesaian masalah, berani
menghadapi tantangan, lebih percaya diri,
bertanggung jawab, dan menerima realita.
Dengan demikian, keterlibatan ayah
merupakan hal penting dalam
menumbuhkan kemandirian anak,
meskipun anak mengalami diabetes
mellitus. Sehingga ketika anak
berhadapan dengan suatu perubahan,
tekanan atau tantangan akan dapat
mengatasi dan melewatinya, karena anak
yakin ada sosok tegar dan tegas
dibelakangnya yang selalu ada untuknya.
Saran Berdasarkan hasil analisis
penelitian dan pembahasan, serta
kesimpulan yang telah dilakukan, maka
peneliti mengajukan saran sebagai
berikut:
1. Kepada ayah yang telah terlibat
dalam pengasuhan anak, hendak
tetap dijaga atau lebih ditingkatkan
pada setiap aspeknya. Sehingga
mampu meningkatkan kemampuan
anak diberbagai aspek
perkembangannya
2. Kepada anggota keluarga lainnya,
diharapkan memberikan dukungan
terhadap pengasuhan ayah dan
memberikan saran yang membangun
untuk keterlibatan ayah. Sehingga
anak dapat berkembang lebih optimal.
3. Kepada masyarakat, diharapkan
memberikan dukungan sosial
terhadap keterlibatan ayah dalam
pengasuhan dan perkembangan
anak. Diharapkan juga untuk tidak
membedakan hubungan sosial anak
pengidap diabetes mellitus dengan
anak sehat lainnya karena anak
membutuhkan dukungan secara
psikologis dari orang-orang disekitar
untuk dapat menerima kondisinya
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
27
yang tidak dapat sembuh dan bangkit
menghadapi tantangan hidup.
4. Kepada peneliti selanjutnya:
a. Diharapkan melakukan wawancara
yang lebih mendalam
berhubungan dengan keterlibatan
ayah, yaitu melihat keterlibatan
ayah dari tingkat pendidikan,
usia, dan tingkat sosioekonomi.
b. Diharapkan melakukan penelitian
tentang keterlibatan ayah dalam
aspek-aspek psikologis
c. Diharapkan juga melakukan
penelitian pada ayah yang
memiliki anak pengidap sakit
yang lain, misal asma, paru-paru
(flek), autis, dan lain-lain.
d. Apabila menggunakan metode
kualitatif, diharapkan sewaktu
mewawancara partisipan utama
tidak didampingi oleh significant
person. Wawancara antara
partisipan utama dengan
significant person sebaiknya
dilakukan pada waktu yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Allen, dkk. 2002. The Effect of Father
Involvement: A Summary of The
Research Evidence. Newsletter of
The Father Involvement Initiative –
Ontano Network. Vol. 1
Brunner dan Suddarth. 2001.
Keperawatan Medikal-Bedah.
Jakarta: EGC
Dagun, S.M. 2002. Psikologi Keluarga.
Jakarta: Asdi Mahasatya
Dhamayanti, A.A, dan Kwratarini Wahyu
Yuniarti. 2006. Kemandirian Anak
Usia 2,5-4 Tahun Ditinjau dari Tipe
Keluarga dan Tipe Prasekolah.
Jurnal Sosiosains. Hal: 17. Diakses
tanggal 23 Mei 2009
Elia, Heman. 2002. Peran Ayah dalam
Mendidik Anak. Jurnal Teologi dan
Pelayanan. Vol. 1 No. 1 hal: 105-
113.
http://www.idionline.org/artikel/194 .
Diakses tanggal 27 April 2009
Hurlock. (1999). Perkembangan Anak Jilid
1. Jakarta: Erlangga
Kurnianingsih. 2008. Perbedaan
Kecemasan Antara Ayah dan Ibu
dalam Mengasuh Anak Autis.
Skripsi (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fak. Psikologi
Universitas Mercu Buana
Yogyakarta
Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi
Kedokteran. Jakarta: EGC
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
28
National Institute of Child Health and
Human Development (NICHHD).
2004. Adventures in Parenting,
Bagaimana Sukses Berperan
Sebagai Orang Tua Yang Baik.
Yogyakarta: Alenia
Nuryoto, S. 1993. Kemandirian Remaja
Ditinjau dari Tahap
Perkembangan, Jenis Kelamin dan
Peran Jenis. Jurnal Psikologi. No.
2: 48-58
Sherifali, D., D. Cilliska dan Linda O’Mara.
2009. Exploring Parenting Styles on
Children Living With Type 1 Diabetes
Mellitus. Journal of Parenting
Childern With Diabetes. Diakses
tanggal 18 April 2009
Santrock, J.W. 2002. Life-Span
Development Perkembangan Masa
Hidup Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Soeharjono, dkk. 2002. Diabetes Melitus
Tergantung Insulin (DM-TI): Aspek
Psikologik Penderita dan Keluarga.
Anima Indinesian Psychological
Journal. Vol. 17, No. 2, 161-169
Sherifali, D., D. Cilliska dan Linda O’Mara.
2009. Exploring Parenting Styles on
Children Living With Type 1 Diabetes
Mellitus. Journal of Parenting
Childern With Diabetes. Diakses
tanggal 18 April 2009
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang
Anak. Jakarta: EGC
Supriyadi. 2006. Peranan Orang Tua
Terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Anak. Journal
Penelitian Sosial. Edisi 185. vol 4: 45
Tinkew, J. B, Kristin A. Moore dan Jennifer
C. 2006.The Father-Child
Relationship, Parenting Styles, and
Adolescent Risk Behaviours in Intact
Families. Journal of Family Issues,
27; 850. Diakses Tanggal 18 April
2008
Vitahealth. 2006. Diabetes. Jakarta:
Gramedia
www.BeingMom.org. 2008. Membentuk
Kemandirian Anak II. Diakses
tanggal 24 April 2009
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
29
KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA PADA IBU YANG BEKERJA DITINJAU DARI DUKUNGAN SUAMI
Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto
Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Email : [email protected]
ABSTRACT This study aimed to examine the relationship with husband support and work-family
conflict on working mothers. The hypothesis of this study is there a relationship with husband support and work-family conflict on working mothers. Characteristics of research subjects in this study: (1) subjects lived together with her husband and had children under the age of 12 years who lived with the subject, (2) working full time. Data collection tool used in this study: work-family conflict scale and the scale of husband support . Techniques of analysis in this research using partial correlation techniques. The results showed association with the husband support and work-family confict on working mothers. Keywords: husband support, work-family conflict
A. PENDAHULUAN
Selama satu tahun terakhir,
peningkatan jumlah penduduk yang
bekerja didominasi oleh wanita.
Peningkatan penduduk wanita yang
bekerja sebesar 3,26 juta orang
sedangkan peningkatan penduduk pria
yang bekerja hanya sebesar 1,21 juta
orang. Tingginya peningkatan penduduk
wanita yang bekerja diduga karena
dorongan ekonomi, yaitu tuntutan keluarga
untuk menambah penghasilan, disamping
semakin terbukanya kesempatan bekerja
pada kaum perempuan (Badan Pusat
Statistik, 2008). Peningkatan pendidikan
telah juga mengakibatkan peningkatan
perempuan memasuki pasar tenaga kerja
Apabila istri ikut membantu mencari
naskah di sektor publik tetapi beban
domestik tidak berkurang maka
tanggungjawab istri menjadi berganda.
Kondisi peran ganda tetap menjadi isu
wanita sebagai istri, ibu dan pekerja.
Berkaitan dengan peran yang
dijalani, wanita yang bekerja dengan
pasangan yang juga bekerja lebih
mengalami konflik peran daripada pria
karena pria dan wanita mempunyai peran
yang berbeda dalam keluarga (Duxbury &
Higgins, 1991; Gutek & Searle, 1991).
Keluarga menjadi sentral bagi wanita
sedangkan pekerjaan menjadi sentral bagi
pria, dengan demikian pria lebih fokus
pada pekerjaan sehingga pria tidak
mempunyai waktu untuk membantu
pekerjaan rumah tangga pasangannya
(Ford, dkk.2007), serta tidak meluangkan
waktu untuk merawat anak (Hill, 2005).
Hal ini didukung penelitian Ahmad (2005),
metaanalisis yang dilakukan Ford dkk.
(2007) dan Kossek & Ozeki (1998) bahwa
wanita mengalami konflik dari pekerjaan-
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
30
keluarga karena pekerjaan pria dalam
keluarga lebih fleksibel sedangkan
pekerjaan wanita lebih bersifat rutinitas
contohnya tanggungjawab terhadap anak
terutama usia anak dibawah 12 tahun.
Keberadaan anak akan menimbulkan
konflik pekerjaan-keluarga (Kinnunen,
dkk., 2006).
Jenis pekerjaan yang menimbulkan
konflik pekerjaan-keluarga adalah jenis
pekerjaan melibatkan tanggungjawab
terhadap orang lain ( Dierdorff & Ellington,
2008). Pekerjaan yang role overload dan
melibatkan tangungjawab yang tinggi
terhadap pekerjaan akan meningkatkan
konflik pekerjaan-keluarga (Aryee, 1992).
Pekerja yang bekerja di bidang manajerial
dan profesional dilaporkan lebih
mengalami konflik pekerjaan-keluarga
daripada pekerja yang bekerja di bidang
non manajerial dan non profesional. Hal ini
disebabkan karena pekerja yang bekerja
di bidang manajerial dan profesional
mempunyai jam kerja yang lebih panjang
atau bekerja sampai larut malam dan
mengadakan perjalanan dinas (Ahmad,
2005), pekerja akan banyak
menghabiskan waktu di kantor sehingga
jarang terlibat dalam aktivitas keluarga
(Hill dkk., 2004).
Berdasarkan uraian di atas maka
peneliti melakukan studi pendahuluan
pada 40 ibu yang bekerja sebagai tenaga
profesional untuk mengetahui konflik
pekerjaan-keluarga. Berdasarkan studi
pendahuluan tersebut diperoleh gambaran
bahwa ternyata pekerja-pekerja
merasakan adanya konflik di dalam
menjalankan peran sebagai pekerja
terhadap pelaksanaan peran dalam
keluarga yaitu sebagai ibu dan istri dan
juga merasakan adanya konflik
pelaksanaan peran dalam keluarga
terhadap pelaksanaan peran sebagai
pekerja. Hal itu ditunjukkan antara lain :
pekerja membawa pekerjaan kantor ke
rumah, hal ini akan menyebabkan ibu
mengalami keterbatasan waktu untuk
keluarga. Konflik kelurga dan pekerjaan
terjadi karena tanggungjawab dalam
keluarga menghambat aktivitas kerja
misalnya ibu harus membatalkan rapat
penting karena anak sakit.
Beberapa penelitian menunjukkan
konflik pekerjaan-keluarga yang dialami
pekerja akan menimbulkan dampak yang
negatif. Dampak negatif konflik pekerjaan-
keluarga pada pekerja wanita ditemukan
mengalami distres (Noor, 2002; Noor,
2004; Noor, 2001), kepuasan kerja yang
rendah (Erdwins dkk., 2001; Kim & Ling,
2001; Noor, 2002; Noor, 2004). Pekerja
wanita ini juga mengalami ketidakpuasan
perkawinan dan ketidakpuasan hidup (
Kim & Ling, 2001).
Berbagai penelitian menunjukkan
faktor yang mempengaruhi konflik
pekerjaaan-keluarga. Konflik pekerjaaan-
keluarga dapat dipengaruhi adanya
dukungan sosial: dukungan keluarga
(Aycan & Eskin, 2005; Kim & Ling, 2001),
dukungan dari suami yang berupa
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
31
bantuan tenaga, nasihat, dan memahami
kondisi istri akan mengurangi konflik
pekerjaan-keluarga yang dialami istri.
Hasil metaanalisa yang dilakukan Ford,
dkk. (2007) menunjukkan ada pengaruh
dukungan pasangan terhadap konflik
pekerjaan-keluarga
Dari hasil paparan di atas maka
menurut peneliti, penelitian tentang konflik
pekerjaan-keluarga perlu dilakukan untuk
mengkaji lebih lanjut tentang konflik
pekerjaan-keluarga terutama pada ibu
yang bekerja. Serta mengkaji lebih lanjut
faktor yang mempengaruhi konflik
pekerjaan-keluarga. Penelitian diharapkan
dapat bermanfaat untuk memberi
gambaran tentang konflik pekerjaan-
keluarga pada pekerja wanita yang
menikah serta memberikan sumbangan
bagi pengembangan teori psikologi
perkembangan.
Berdasarkan uraian di atas maka
penelitian ini mengajukan rumusan
masalah : apakah ada hubungan antara
dukungan suami dengan konflik
pekerjaan-keluarga pada ibu yang
bekerja?
Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji hubungan antara dukungan
suami dengan konflik pekerjaan-keluarga
pada ibu yang bekerja. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat
secara teoritis sebagai kajian teoritis untuk
melihat hubungan antara dukungan suami
dengan konflik pekerjaan-keluarga pada
ibu yang bekerja karena tanpa mengetahui
dengan baik proses yang terjadi dalam
hubungan pekerjaan-keluarga akan sulit
untuk membantu ibu yang bekerja
mengalami keseimbangan antara
pekerjaan dan keluarga.
Secara umum, menurut Huang,
dkk. (2004) dan Noor (2004) konflik
pekerjaan dan keluarga mempunyai dua
demensi : pertama, konflik pekerjaan-
keluarga : pemenuhan peran dalam
pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan
pemenuhan peran dalam keluarga. Kedua,
konflik keluarga-pekerjaan: pemenuhan
peran dalam keluarga dapat menimbulkan
kesulitan pemenuhan peran dalam
pekerjaan. Konflik pekerjaan dan keluarga
disebabkan karena ada faktor dalam
pekerjaan yang menyebabkan masalah
dalam keluarga sedangkan konflik
keluarga dan pekerjaan disebabkan
karena ada faktor dalam keluarga yang
menyebabkan masalah dalam pekerjaan
(Hammer,dkk,2005). Konflik pekerjaan
dan keluarga biasanya terjadi ketika
aktivitas pekerjaan mempengaruhi
tanggungjawab rumah tangga sebaliknya
konflik kelurga dan pekerjaan terjadi
karena tanggungjawab dalam keluarga
menghambat aktivitas kerja.
Aspek-aspek konflik pekerjaan dan
keluarga menurut Baltes dan Heydens-
Gahir (2003) terdiri dari (1) keterbatasan
waktu yang dimiliki oleh seseorang, waktu
yang dipergunakan untuk pekerjaan
seringkali berakibat terbatasnya waktu
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
32
untuk keluarga dan sebaliknya, misalnya
tanggung jawab di tempat kerja yang
dijadwalkan akan membuat secara fisik
tidak mungkin bagi seorang karyawan
untuk tinggal di rumah untuk merawat
anak yang sakit (2) ketegangan dalam
suatu peran yang akhirnya mempengaruhi
kinerja peran yang lain, contoh stres di
tempat kerja mungkin akan membuat lebih
sulit untuk duduk dengan sabar
menghadapi seorang anak dengan
pekerjaan rumah (3) kesulitan perubahan
perilaku dari peran satu ke peran yang
lain, contoh ibu di tempat kerja dituntut
untuk tegas tetapi ibu harus berubah
perilaku menjadi seseorang yang lemah
lembut ketika menghadapi anak-anak.
Konflik pekerjaan-keluarga dapat
ditinjau dari teori konflik peran dan teori
gender. Dalam melakukan perannya
seseorang dituntut untuk berperilaku
sosial sesuai dengan harapan dan norma.
Peran-peran yang dijalankan seseorang
dapat menimbulkan konflik : konflik peran
(Goode dalam Hinterlong, dkk, 2007).
Konflik terjadi karena pada saat
bersamaan seseorang akan memainkan
beberapa peran sekaligus sehingga waktu
dan tenaga harus dibagi untuk
menjalankan peran-peran tersebut
(Shelton, 2006). Peran konflik dapat
timbul ketika salah satu tugas-peran yang
berkaitan mengganggu keluarga atau
kehidupan pribadi (Greenhaus & Beutell,
1985).
Teori gender dipakai untuk
menjelaskan penelitian tentang konflik
pekerjaan terhadap keluarga karena
antara pria dan wanita mengalami
pengalaman yang berbeda tentang
masalah pekerjaan dan keluarga
(Greenhaus dan Powell, 2006). Beberapa
penelitian yang mendasarkan pada teori
gender antara lain penelitian Kinnunen,
dkk. (2006) yang menemukan bahwa pria
mengalami konflik pekerjaan terhadap
keluarga sedangkan wanita mengalami
konflik keluarga terhadap pekerjaan.
Konflik pekerjaaan-keluarga dapat
dipengaruhi adanya dukungan sosial:
dukungan keluarga (Aycan & Eskin, 2005;
Kim & Ling, 2001), dukungan dari suami
yang berupa bantuan tenaga, nasihat, dan
memahami kondisi istri akan mengurangi
konflik pekerjaan-keluarga yang dialami
istri. Hasil metaanalisa yang dilakukan
Ford, dkk. (2007) menunjukkan ada
pengaruh dukungan pasangan terhadap
konflik pekerjaan-keluarga
Pengertian dukungan sosial
menurut Winnubst dan Schabracq dalam
Schabracq, dkk. (1996) adalah pemberian
informasi, pemberian bantuan atau materi
yang didapat dari hubungan sosial yang
akrab atau keberadaan orang lain
membuat seseorang merasa diperhatikan
dan dicintai sehingga membantu
keberhasilan seseorang menyelesaikan
masalahnya. Menurut Winnubst dan
Schabracq dalam Schabracq, dkk. (1996),
ada 4 demensi dukungan sosial yaitu (1)
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
33
dukungan emosional : seseorang
membutuhkan empati,cinta, kepercayaan,
yang di dalamnya terdapat pengertian dan
rasa percaya, (2) dukungan informatif :
dukungan yang berupa informasi, nasihat,
dan petunjuk yang diberikan untuk
menambah pengetahuan seseorang
dalam mencari jalan keluar pemecahan
masalah, (3) dukungan instrumental
pemberian dukungan yang berupa materi,
pemberian kesempatan dan peluang, (4)
penilaian positif: pemberian penghargaan,
umpan balik mengenai hasil atau prestasi
dan kritik yang membangun.
Dukungan yang diterima dari
suami penting artinya bagi istri untuk
mengelola konflik pekerjaan-keluarga,
dukungan emosi dan instrumental yang
diperoleh dari pasangan akan mengurangi
konflik yang dialami ibu (Aycan dan Eskin,
2005). Dukungan emosional mengacu
pada tampilan perilaku simpatik dan
kepedulian seperti mengambil minat pada
pekerjaan pasangan, kesediaan untuk
mendengarkan, dan memberikan nasihat
(Kim dan Ling 2001). Dukungan
instrumental adalah penyediaan bantuan
yang sebenarnya untuk membantu dalam
keberhasilan tugas, yang meliputi
membantu dalam pekerjaan rumah tangga
dan pengasuhan anak. Dukungan
instrumental dapat mengurangi tekanan
sebagai orang tua yang menyebabkan
konflik kerja-keluarga.
Berdasarkan tinjauan teoritis,
diusulkan hipotesis. Hipotesis penelitian ini
adalah ada hubungan negatif antara
dukungan suami dengan konflik
pekerjaan-keluarga pada ibu yang bekerja.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini melibatkan sejumlah v
ariabel sebagai berikut :
a. Konflik keluarga-pekerjaan
sebagai variabel kriteria
Konflik keluarga-pekerjaan
adalah peran yang dijalankan
dalam keluarga mempesulit
menjalankan peran dalam
pekerjaan. Dimensi dari konflik
pekerjaan-keluarga adalah
keterbatasan waktu, ketegangan
dalam suatu peran dan kesulitan
perubahan perilaku dari peran
satu ke peran yang lain (Baltes
dan Heydens-Gahir, 2003)
b. Dukungan suami Dukungan suami
sebagai variabel prediktor
Dukungan suami adalah
pemberian dukungan dari
pasangan yang dirasakan ibu
yang bekerja berupa dukungan
emosi, instrumental, informasi dan
penilaian positif. Dukungan ini
diungkap dengan skala dukungan
pasangan yang disusun menurut
Winnubst & Schabracq dalam
Schabracq,dkk (1996), ada 4
dimensi yaitu (1) dukungan
emosional: dukungan yang
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
34
berupa empati, cinta,
kepercayaan, yang di dalamnya
terdapat pengertian dan rasa
percaya, (2) dukungan informatif :
dukungan yang berupa informasi,
nasihat, dan petunjuk yang
diberikan untuk menambah
pengetahuan seseorang dalam
mencari jalan keluar pemecahan
masalah.(3) dukungan
instrumental : pemberian
dukungan yang berupa materi,
pemberian kesempatan dan
peluang, (4) penilaian positif:
pemberian penghargaan, umpan
balik mengenai hasil atau prestasi
dan kritik yang membangun.
Skala konflik pekerjaan-
keluarga dan skala dukungan
suami diuji cobakan pada 38 ibu
yang bekerja di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta pada
tanggal 5 Agustus 2013 sampai
dengan 15 Agustus 2013. Hasil
dari pengujian terhadap validitas
dan reliabilitas Skala konflik
pekerjaan-keluarga menghasilkan
16 aitem yang valid dari 18 aitem
yang diuji cobakan,. Koefisien
validitas bergerak antara 0,316
sampai dengan 0,789 sedangkan
untuk pengujian reliabilitas
menggunakan reliabilitas alpha,
menunjukkan koefisien reliabilitas
sebesar 0,921. Hasil dari
pengujian terhadap validitas dan
reliabilitas Skala dukungan suami
menghasilkan 21 aitem yang valid
dari 22 aitem yang diuji cobakan,.
Koefisien validitas bergerak
antara 0,327 sampai dengan
0,632 sedangkan untuk pengujian
reliabilitas menggunakan
reliabilitas alpha, menunjukkan
koefisien reliabilitas sebesar
0,896.
Karakteristik subyek
penelitian dalam penelitian ini
adalah ibu yang bekerja, berusia
21;0-40;0 (masa dewasa),
menikah dan tinggal bersama
dengan suami, mempunyai anak
yang tinggal bersama dengan
subyek. Jumlah subyek dalam
penelitian ini adalah 95 subyek.
Pengujian hubungan
antara dukungan suami dengan
konflik pekerjaan-keluarga pada
ibu yang bekerja lebih lanjut akan
dikaji dalam pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan
metode analisis korelasi product
moment.
C. HASIL PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis korelasi
product moment, diperoleh koefisien
korelasi antara variabel bebas yaitu
dukungan suami dengan variabel
tergantung yaitu konflik pekerjaan-
keluarga sebesar rxy = -0, 227 ( p < 0,05 ).
Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
35
dalam penelitian ini diterima. Artinya
semakin tinggi dukungan suami maka
akan diikuti pula dengan semakin
rendahnya konflik pekerjaan-keluarga.
Koefisien determinasi yang diperoleh
sebesar = 0, 052, artinya dukungan
suami mempengaruhi konflik pekerjaan-
keluarga sebesar 5,2 % sedangkan
sisanya 94,8 % dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian
ini.
Berdasarkan hasil analisis data
dapat dinyatakan bahwa terdapat
hubungan negatif antara dukungan suami
dengan konflik pekerjaan-keluarga pada
ibu yang bekerja. Artinya, semakin tinggi
dukungan suami maka semakin rendah
pula konflik pekerjaan-keluarga pada ibu
yang bekerja, sebaliknya semakin rendah
dukungan suami maka konflik pekerjaan-
keluarga pada ibu yang bekerja juga
semakin tinggi. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa dukungan suami
merupakan salah satu faktor yang dapat
menurunkan konflik pekerjaan-keluarga
pada ibu yang bekerja.
Wanita dapat mempunyai berbagai
peran pada saat yang bersamaan: ibu,
istri, dan pekerja. Kombinasi antarperan
tersebut dapat menimbulkan konflik
pekerjaan-keluarga yaitu konflik dari
peran di pekerjaan ke peran di keluarga
dan sebaliknya.
Konsep konflik pekerjaan-keluarga
mengacu pada konsep peran ganda.
Orang dapat mempunyai berbagai peran
pada saat yang bersamaan : sebagai
ayah/ibu, suami/istri, sekaligus pekerja
(Voydanoff, 2002). Konflik pekerjaan dan
keluarga merupakan konflik antar peran,
konflik timbul apabila peran didalam
pekerjaan dan peran didalam keluarga
saling menuntut untuk dipenuhi, pemenuhi
peran yang satu akan mempersulit
pemenuhan peran yang lain ( Aycan dan
Eskin, 2005; Noor, 2002). Menurut Aycan
dan Eskin (2005), faktor dalam pekerjaan
akan mempengaruhi kehidupan keluarga
(konflik antara pekerjaan-keluarga) dan
sebaliknya faktor dalam keluarga akan
mempengaruhi pekerjaan (konflik
keluarga-pekerjaan). menurut Huang, dkk.
(2004) dan Noor (2004) konflik pekerjaan
dan keluarga mempunyai dua demensi:
pertama, konflik pekerjaan-keluarga :
pemenuhan peran dalam pekerjaan dapat
menimbulkan kesulitan pemenuhan peran
dalam keluarga. Kedua, konflik keluarga-
pekerjaan: pemenuhan peran dalam
keluarga dapat menimbulkan kesulitan
pemenuhan peran dalam pekerjaan.
Konflik pekerjaan dan keluarga
disebabkan karena ada faktor dalam
pekerjaan yang menyebabkan masalah
dalam keluarga sedangkan konflik
keluarga dan pekerjaan disebabkan
karena ada faktor dalam keluarga yang
menyebabkan masalah dalam pekerjaan
(Hammer,dkk,2005).
Penelitian ini mendasarkan pada
teori role conflict dan teori gender. Teori
role conflict ini menyatakan bahwa
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
36
beberapa peran yang dilakukan seseorang
akan menghasilkan hal yang negatif. Teori
ini mendasarkan pada pandangan bahwa
keterlibatan pada berbagai peran akan
menimbulkan konflik. Teori gender dipakai
untuk menjelaskan penelitian tentang
konflik pekerjaan terhadap keluarga
karena penelitian ini ingin melihat konflik
pekerjaan terhadap keluarga yang dialami
oleh ibu yang bekerja.
Berbagai penelitian menunjukkan
faktor yang mempengaruhi konflik
pekerjaaan-keluarga. Konflik pekerjaaan-
keluarga dapat dipengaruhi adanya
dukungan dari suami yang berupa
bantuan tenaga, nasihat, dan memahami
kondisi istri akan mengurangi konflik
pekerjaan-keluarga yang dialami istri
(Aycan & Eskin, 2005; Kim & Ling, 2001).
Hasil penelitian Erdwins, dkk (2001), ada
hubungan dukungan dari suami dengan
konflik pekerjaan-keluarga. Hasil
metaanalisa yang dilakukan Ford, dkk.
(2007) menunjukkan ada pengaruh
dukungan suami terhadap konflik
pekerjaan-keluarga.
Dukungan dari suami yang berupa
bantuan tenaga, nasihat, dan memahami
kondisi istri akan mengurangi konflik
pekerjaan-keluarga yang dialami istri (Kim
& Ling, 2001). Hasil penelitian Erdwins,
dkk (2001), ada hubungan dukungan dari
pasangan dan supervisor dengan konflik
pekerjaan-keluarga.
D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan pada penelitian dapat
disimpulkan ada hubungan antara
dukungan suami dengan konflik
pekerjaan-keluarga pada ibu yang bekerja.
Hal tersebut menunjukkan konflik
pekerjaan-keluarga pada ibu yang bekerja
dapat diturunkan dengan adanya
dukungan suami.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A. 2005. Work-family conflict
among dual-earner couples:
Comparisons by gender and
profession. Jurnal Psikologi
Malaysia, 19, 1-12.
Aycan, Z. & Eskin, M. (2005). Relative
contributions of childcare, spousal
support, and organizational support
in reducing work-family conflict for
men and women: The case of
Turkey. Sex Roles, 53(7/8), 453-471.
Aryee, S. 1992. Antecedents and
outcomes of work-family conflict
among professional women:
evidence from Singapore. Human
Relations. 45. 8, 813-837.
Badan Pusat Statististik. (2006). Keadaan
angkatan kerja di Indonesia. Jakarta:
CV Petratama Persada
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
37
Badan Pusat Statististik. (2008). Keadaan
angkatan kerja di Indonesia. Jakarta:
CV Petratama Persada
Baltes,B.B. dan Heydens-Gahir H.A.2003.
Reduction of Work-Family Conflict
Through Use of Selection,
Optization, and Compensation
Behaviors. Journal of Applied
Psychology. 88.6.1005-1018
Dierdorff, E.C. & Ellington, K.J. 2008. It’s
the nature of the work: Examining
behavior-based sources of work-
family conflict across occupations.
Journal of Applied Psychology. 93
(4), 883-892.
Erdwins.C.J, Buffardi.L.C, Casper.W.J.,
dan O`Brien.A.S. 2001.The
Relationship of Women`s Role Strain
to Social Support, Role Satisfaction
and Self-Efficacy. Family Relations.
50. 3. 230-238.
Ford, M. T. Heinen, B. A. & Langkamer, K.
L. 2007. Work and Family
Satisfaction and Conflict : A Meta-
Analysis of Cross-Domain Relations.
Journal of AppliedPsychology. 92
(1), 57-80.
Frye, K. N. & Breaugh, J. A. (2004).
Family-friedly policies, supervisor
support, Work-family conflict, family-
work conflict, and satisfaction : A
Test of conceptual model. Journal of
Business and Psychology, 19 (2),
197-219.
Grandey.A.A.,Cordeiro.B.L., dan
Crouter,A.C.2005.A Longitudinal and
Multi-source test of The Work-Family
Conflict and Job Satisfaction
Relationship. Journal of
Occupational and Organizational
Psychology. . 78.305-323.
Greenhaus, J. H. & Powell,G. N. (2006).
When work and family are allies : A
theory of work-family enrichment.
Academy of Management Review,
31 (1), 72-92.
Greenberger, E. & O'Neil, R. 1994.
Explaining Role Strain: Intrapersonal
Determiners, Situational Constraints,
or Dynamic Interaction? Journal of
Marriage and Family. 56, 1. 115-118
Hammer.L.B.,Neal,M.B.,Newson,J.T.,
BrockwoodK.J., dan
Colton,C.L.2005. A Longitudinal
Study of The Effects of Dual –Earner
Cuoples Utilization of Family-Friedly
Workplace Supports on Work and
Family Outcomes. Journal of Applied
Psychology.90.4.799-810.
Hill, E. J. (2005). Work-family facilition and
conflict, working fathers and
mothers, work-family stressors and
support. Journal of Family Issues,
26, 793-819.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
38
Huang,Y.H., Hammer.L.B, Neal.M.B., dan
Perrin,N.A.2004. The Relationship
Between Work-to-Family Conflict and
Family-to-Work Conflict: A
Longitudinal Study. Journal of Family
and Economic Issues.25.1.79-100.
Hinterlong, J. E., Morrow-Howell, N., &
Rozario, P. A. (2007). Productive
engagement and late life physical
and mental health. Research on
Aging, 29 (4), 348-370.
Judge T.A., dan Colquitt,J.A.2004.
Organizational Justice and Stress:
The Mediating Role of Work-Family
Conflict. Journal of Applied
Psychology.89.3.395-404.
Kim, J. L. S. & Ling. C. S. (2001). Work-
family conflict of women
entrepreneurs in singapore. Women
in Management Review, 16, (5/6),
204-221.
Kinnunen, U., Feldt, T., Geurts, S. &
Pulkkinen, L. (2006). Types of work-
family interface: well-being
correlates of negative and positive
spillover between work and family.
Scandinavian Journal of Psychology,
47, 149-162
Kossek, E. E. & Ozeki, C. 1998. Work-
family conflict, policies, and the job-
life satisfaction relationship: A
Review and directions for
organizational behavior-human
resources research. Journal of
Applied Psychology. 83 (2), 139-149.
Levy, P. E. (2003).
Industrial/Organizational psychology:
Understanding the workplace. New
York: Houghton Mifflin Company.
Major.V.S., Klein,K.J., dan
Ehrhart.M.G.2002. Work Time, Work
Interference With Family, and
Psychological Distress. . Journal of
Applied Psychology.87.3.427-436.
Matthews, L. S., Conger, R. D. &
Wickrama, K. A. S. 1996. Work-
Family Conflict and Marital
Quality:Mediating Processes. Social
Psychology Quarterly. 59. 1. 62-79
Mauno, S., Kinnunen,U. dan Pyyko, M.
2005. Does Work-Family Conflict
Mediate The Relationship between
Work-Family Culture and self-
reported Distress? Evidence from
Five Finish Organizations. Journal of
Occupational and Organizational
Psychology.78.509-530.
Noor, M. N. (2001). Work hours,work-
family conflict, and distress: The
moderating effect of spouse support.
Jurnal Psikologi Malaysia, 15, 39-58.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
39
Noor,M.N.2002. Work-Family Conflict,
Locus of Control, and Women`s
Well-Being: Tests of Altenative
Pathways. The Journal of Social
Psychology. 142.5.645-662.
Noor,M.N.2004. Work-Family Conflict,
Work-Family-Role Salience, and
Women`s Well-Being. The Journal of
Social Psychology. 144.4.389-405. .
Parasuraman,S. dan Simmers,C.A.2001.
Type of Employment, Work-family
Conflict and Well-being: A
Comparative Study. Journal of
Organizational Behavior.22.551-568
Santrock, J.W. (2002). Life-span
Development. McGraw-Hill College
Schabracq, M. J. & Winnubst, J. A. M.
(1996). Social Support, Stress and
Organization: Towards Optimal
Matching dalam M. J. Schabracq,
Jacques A.M. Winnubst, Cary L.
Cooper. Handbook of work and
health psychology. New York : John
Wiley.
Schultz, D. P, & Schultz, S. E. (1994).
Psychology and work today: An
introduction to industrial and
organization psychology. New York:
Macmillan .
Shelton.L.M.2006. Female Entrepreneurs,
Work-family Conflict, and Venture
Performance:New Insgihts into the
Work-family Interface. Journal of
Small Business
Management.44.2.285-297
Tiedje, L. B., Wortman, C. B., Downey, G.,
Emmons, C., Biernat, M. & Lang, E.
(1990). Women with multiple roles :
Role-compatibility perceptions,
satisfaction, and mental health. .
Journal of Marriage and the
Family,52, 63-72.
Voydanoff, P.(2002). Linkages between
the work-family interface and work,
family and individual outcomes: An
integrative model. Journal of Family
Issues, 23, 138-164.
Voydanoff, P. (2004). The Effects of work
demands and resources on work-to-
family conflict and facilitation. Journal
of Marriage and the Famiy, 66, 398-
412.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
40
MODEL DEMOKRATISASI PERUSAHAAN : STUDI KASUS DI NEGARA SKANDINAVIA
Awan Santosa dan Sumiyarsih
Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email : [email protected]
Abstract The purpose of this study is to identify models of democratization companies in the
Scandinavian countries, what is the purpose and the factors behind its implementation, as well as its association with the industry structure and the labor market
This study found that the model commonly used in Scandinavian countries in implementing democratization is a pattern company stock to employees, which can be done through the provision, purchase, option, ESOP, and SARs. The purpose of the democratization of the company in the Scandinavian countries is recruitment and retention, increase cash flow, Motivation and Performance, Cultural Development Group, Providing for the stock market founders, and the anticipation of expropriation Tool Keyword: economic democracy, employee share ownership
a. Latar Belakang
Demokrasi ekonomi, yang memiliki
ciri produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua, di bawah pimpinan atau
kepemilikan anggota-anggota masyarakat,
sebenarnya di Indonesia sudah diakui dan
dirumuskan sebagai amanat konstitusi
(Pasal 33 UUD 1945). Dalam lingkup
mikro-perusahaan, tujuannya adalah untuk
meningkatkan partisipasi pekerja dalam
ketiga mode ekonomi tersebut. Hal ini
berupa pembagian hasil-hasil produksi
yang lebih adil dan pemberian
kesempatan yang luas kepada pekerja
(karyawan) untuk ikut memiliki
perusahaan. Dalam arti khusus, realisasi
amanat konstitusi tersebut ditempuh
dengan melakukan “Demokratisasi
Perusahaan”.
Realitas menunjukkan bahwa
Model produksi kapitalis masih berlaku, di
mana terdapat dikotomi antara buruh dan
majikan, yang cenderung makin
meningkatkan konsentrasi kekayaan dan
akumulasi keuntungan (profit) pada
segelintir pemilik modal. Dalam Model ini,
pekerja dianggap sebagai faktor produksi
yang kompensasinya hanya sebatas
dinilai melalui biaya operasional dalam
proses produksi (sebagai biaya tenaga
kerja langsung dan biaya tenaga kerja
tidak langsung). Apresiasi yang berlebihan
terhadap modal, dan sebaliknya terhadap
pekerja sebagai seorang manusia,
berpotensi mengukuhkan ketimpangan
ekonomi (pendapatan) yang menjadi asal-
mula terjadinya krisis hubungan industrial
dan konflik sosial.
Pekerja semestinya diperlakukan
sebagai mitra perusahaan yang perlu
diperhatikan ekspresi politik dan
ekonominya. Pekerja bukan sekedar faktor
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
41
produksi, melainkan “aktor produksi” yang
jelas berperan vital dalam menciptakan
nilai bagi perusahaan. Oleh karena itu
peningkatan partisipasi finansial pekerja
melalui pengembangan Model-Model bagi
hasil (profit sharing) dan kepemilikan
saham oleh pekerja (employee share-
ownership), seperti yang umum berlaku di
negara-negara maju (khususnya negara
Skandinavia) menjadi makin penting. Hal
ini tidak sebatas sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
mengikis ketimpangan yang ada,
melainkan juga sebagai upaya untuk
meningkatkan kepuasan kerja, loyalitas
pekerja (staff), dan kinerja keuangan
perusahaan.
Mode produksi perusahaan
umumnya berwujud relasi dikotomik
antara buruh (konsumen) dengan pemilik
modal. Keadaan perusahaan di negeri kita
pun tidak jauh dari sifat demikian.
Koperasi, dengan relasi produksi
demokratisnya, masih menjadi
perusahaan marjinal yang peranannya
kian dikerdilkan. Perusahaan yang
mempraktekkan relasi produksi serupa
melalui pola kepemilikan saham oleh
pekerja (employee share ownership
program/ESOP) atau konsumen, seperti
pada pola Grameen Bank di atas, pun
seolah masih seperti buih di lautan, tidak
signifikan.
Stakeholder perusahaan perlu
diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola
transformasi kepemilikan saham oleh
pekerja yang sangat mungkin diterapkan.
Di samping itu, juga tersedia cukup
potensi (sumber finansial) untuk
merealisasikannya. Alternatif pelepasan
saham kepada pekerja di antaranya
adalah berupa pemberian gratis,
pembelian langsung, hak opsi saham, dan
pola khas lainnya. Khusus dalam bentuk
(pola) pembelian saham, mekanisme
pembayarannya dapat saja melalui
lembaga yang ditunjuk pekerja (Trustee),
potong gaji langsung, intermediasi
perbankan, atau mekanisme lain yang
disepakati bersama.
Berpijak pada kerangka pemikiran
di atas, maka perlu upaya-upaya serius
dan sistematis untuk mendorong
penyelenggaraan Demokratisasi
Perusahaan (perusahaan). Sebagai tahap
awal, perlu dilakukan upaya penggalian
kondisi aktual (existing condition) dan
manfaat penerapan demokrasi ekonomi
dalam wujud Model bagi hasil (profit
sharing) dan kepemilikan saham oleh
pekerja (employee share-ownership), yang
selanjutnya diikuti dengan upaya untuk
mengkaji kemungkinan perluasan
penerapannya di setiap tingkatan. Upaya
ini terkait dengan agenda khusus untuk
mengkaji realisasi kebijakan Pemerintah
Republik Indonesia yang memiliki
komitmen dalam penyelenggaraan
ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi).
Untuk itulah kami memandang perlunya
Penelitian Demokratisasi Perusahaan
pada perusahaan di negara-negara
Skandinavia.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
42
b. Rumusan Masalah Beberapa pertanyaan mendasar
yang menjadi acuan perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana model-model
demokratisasi perusahaan (tempat
kerja) untuk meningkatkan
partisipasi pekerja pada
perusahaan di negara-negara
Skandinavia?
2. Apa orientasi dan tujuan
demokratisasi perusahaan (tempat
kerja) di negara-negara
Skandinavia?
3. Faktor-faktor apakah yang
mendorong perusahaan di negara-
negara Snadinavia untuk
menerapkan (tidak menerapkan)
demokrasi ekonomi di tempat
kerja?
4. Bagaimana keterkaitan (hubungan)
antara struktur industri dengan
pelaksanaan demokratisasi
perusahaan di negara-negara
Skandinavia?
c. Tujuan Penelitian
Penelitian Demokrasi Ekonomi di
Tempat Kerja pada Perusahaan di negara-
negara Skandinavia ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi model-model
demokratisasi perusahaan (tempat
kerja) untuk meningkatkan
partisipasi pekerja pada
perusahaan di negara-negara
Skandinavia
2. Mengidentifikasi orientasi dan
tujuan demokratisasi perusahaan
(tempat kerja) di negara-negara
Skandinavia
3. Mengidentifikasi faktor-faktor
apakah yang mendorong
perusahaan di negara-negara
Snadinavia untuk menerapkan
(tidak menerapkan) demokrasi
ekonomi di tempat kerja
4. Mengidentifikasi keterkaitan
(hubungan) antara struktur industri
dengan pelaksanaan
demokratisasi perusahaan di
negara-negara Skandinavia
d. Kerangka Teoritik
1. Teori Demokrasi Organisasi
Walaupun terdapat perbedaan
pengertian antara demokrasi ekonomi dan
demokrasi industrial, namun terdapat
hubungan di antara keduanya. Ini tidak
hanya karena kepemilikan merupakan
kunci dari pengawasan organisasi
produksi dan divisi pekerja, tetapi juga
karena kemungkinan yang nyata bahwa
kedua bentuk demokrasi di tempat kerja
itu saling memajukan satu sama lain.
Sebagai konsekuensinya, dalam teori
demokrasi partisipasi kepemilikan dan
pengambilan keputusan dalam sebuah
perusahaan dapat dibentuk.
Teori demokrasi organisasi yang
dikembangkan di sini mengacu pada
pendekatan “favourable conjuncture”.
Pendekatan ini memuat penghambat dari
faktor-faktor utama yang
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
43
memperhitungkan peningkatan demokrasi
ekonomi dan industrial. Untuk lebih
mudahnya, pendekatan ini menampilkan
trend perubahan perusahaan jangka
panjang, namun juga menampilkan
sebuah Model sejarah yang tidak kontinyu.
Berikut ini merupakan derajat
partisipasi oleh anggota perusahaan yang
dirumuskan oleh Abell (1985: 51):
Demokrasi ekonomi murni
(kepemilikan oleh seluruh
anggota perusahaan)
Pembagian modal
Modal pekerja dan semua skema
profit sharing bagi pekerja
perusahaan
100%
Derajat partisipasi Kepemilikan oleh anggota perusahaan
Modal manajerial dan pembagian
laba bagi eksekutif
Perusahaan Perusahaan dewan Worker board Manajemen 100%
Klasik Manajerial pekerja representation Sendiri
Sumber : Abell (1985: 51)
Ramsay dan Haworth
mengemukakan dua pendekatan dalam
pengembangan demokrasi organisasional,
yaitu pendekatan siklus dan pendekatan
kebersamaan yang diharapkan :
a. Pendekatan Siklus
Menurut sudut
pandang ini, ide mengenai
perubahan jangka panjang
dalam masyarakat modern
yang meningkat secara
konsisten pada demokrasi
organisasi masih
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
44
diperdebatkan. Untuk
pendekatan siklus, era terkini
tidak menguntungkan bagi
kemajuan demokrasi
organisasi.
b. Pendekatan Kebersamaan
Kondusif (Favourable Conjunctures)
Favourable
conjuncture merupakan
dugaan dari suatu hal tidak
seimbang tetapi dapat
mempercepat penerapan
Model yang sangat
tergantung pada variasi dan
situasi antar negara-negara
tertentu. Favourable
cojuncture juga memerlukan
pengenalan bentuk spesifik
dari partisipasi yang dapat
naik dan turun dalam periode
bebeda. Adapun yang
mempengaruhi siklus itu
adalah:
1) Periode resesi
2) Perusahaan mengalami
penurunan sektor
industri
3) Depresi atau
pembatasan
perekonomian suatu
wilayah
4) Posisi negara dunia
ketiga yang berada
pada level terendah
pembangunan.
c. Sudut Pandang Untuk
Melakukan Analisis Atas Partisipasi Keuangan Oleh
Pekerja Ada dua model sudut
pandang dalam
membicarakan masalah bagi
hasil dan pemilikan modal
oleh pekerja, yaitu (Poole,
1986: 25):
1) Model strukturalis
Model ini lebih
menekankan bahwa
keputusan penerapan
Model partisipasi
keuangan oleh pekerja
merupakan hasil dari aksi
(kebijakan) pemerintah
dan kondisi (infrastruktur)
perekonomian yang ada.
Jadi, kekuatan seorang
pekerja atau anggota
organisasi sangatlah
kecil. Model ini
memperlihatkan suatu
kondisi di mana
perkembangan partisipasi
keuangan oleh pekerja
sangat tidak dipengaruhi
oleh keputusan yang
manusiawi.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
45
Aturan pemerintah dan
legislatif
Mandataris
Fasilitator
Tarif yang bervariasi dan
Model perwujudan skema
bagi hasil dan kepemilikan
saham oleh pekerja
Infrastruktur perekonomian
Pembagian penghasilan
publik v.s perusahaan
swasta
Ukuran dan rasio modal
pekerja
Segmentasi pekerja dan
pasar tenaga kerja
Macam-macam tingkat
pertumbuhan perusahaan
Peningkatan perusahaan
sektor keuangan dan
menurunnya perusahaan
manufaktur
Teknologi baru
2) Model aksi
Model ini berdasarkan dalil dan
fokus dari sebuah pilihan dari orang yang
paling berpengaruh dalam organisasi.
Model ini mengakui pengaruh inisiatif
pemerintah dan infrastruktur
perekonomian sebatas sebagai fasilitator
ataupun penghambat, namun tidak secara
langsung berpengaruh di dalamnya.
Manajer adalah orang penting dari
pengambilan keputusan mengenai skema
pembagian laba dan keterlibatan
karyawan dalam keuangan perusahaan.
Tapi keputusannya sangatlah dipengaruhi
oleh:
a) Ideologi dan nilai-nilai
pribadinya mengenai
isu ini
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
46
b) Elemen iklim
hubungan industrial
lainnya.
c) Kekuatan dan strategi
dari kelompok
terorganisir lainnya.
Aturan
pemerinta
h dan
legislatif
Ideologi dan nilai
pekerja dan manajer
Iklim hubungan
industrial di
perusahaan
Infrastrukt
ur
ekonomi
Pilihan strategi
menajerial dan gaya
dalam hubungan
industrial
Model konsultatif
Macam-macam tarif
dan Model
perwujudan skema
pembagian laba dan
kepemilikan saham
oleh pekerja
Ideologi
dan nilai
pekerja
dan
karyawan
Kekuatan dan
strategi
kelompok
terorganisir lainnya
Asosiasi pekerja
Perilaku
karyawan
d. Metode Penelitian
1. Data, Objek, dan Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif
dengan pendekatan ilmu ekonomi
dalam melihat kepustakaan (data
sekunder) berupa pelaksanaan
demokrasi ekonomi di tempat kerja
di negara-negara Sandinavia.
Jenis data yang digunakan adalah
data sekunder yang didapat dari
kepustakaan, web-site, jurnal dan
dilihat dari tujuannya penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh
deskripsi dan gambaran mengenai
pelaksanaan demokrasi ekonomi di
tempat kerja di negara-negara
Skandinavia dilihat dari realitas
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
47
penerapan, manfaat penerapan
dalam memperbaiki kondisi dan
kesejahteraan pekerja perusahaan,
manfaat penerapan dalam
mendorong kemajuan industri
(perusahaan), serta faktor-faktor
yang mempengaruhi perusahaan
dalam menerapkan (tidak
menerapkan) demokrasi ekonomi
di tempat kerja. Studi banding
secara komprehensip dilakukan
untuk dapat mengidentifikasi
karasteristik pelaksanaan
demolrasi di tempat kerja di
masing-masing negara.
2. Analisis Data Metode analisis yang dilakukan
studi banding (comparative study)
dengan melakukan kajian
kepustakaan mengenai penerapan
demokrasi ekonomi di tempat
kerja, dari data-data sekunder
tersebut diharapkan dapat
diidentifikasikan dan dianalisis.
Dari masing-masing tahapan
identifikasi dan analisis tersebut
akan dapat diklasifikasikan:
a. Realitas penerapan demokrasi
ekonomi di tempat kerja
Indikator:
(1) Bagaimana derajat
partisipasi kepemilikan oleh
pekerja (demokrasi modal)?
Metode Analisis
Kerangka Pemikiran Dasar Teori
Studi Banding Implementasi Penerapan Demokratisasi Perusahaan
Identifikasi dan Analisis
Rekomendasi Kebijakan Demokratisasi Perusahaan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
48
(2) Bagaimana Model
pengambilan keputusannya
sebagai bentuk demokrasi
organisasional?
(3) Bagaimana strategi
sehingga demokrasi
ekonomi di tempat kerja
dapat terwujud?
a) regulasi pemerintah
b) aksi pekerja
c) kesadaran pihak
manajemen
b. Manfaat penerapan dalam
memperbaiki kondisi dan
kesejahteraan pekerja
perusahaan
Indikator kondisi kesejahteraan
pekerja:
(1) Income per kapita buruh
(2) Daya beli buruh
(3) Tingkat pendidikan
(4) Kesehatan
c. Manfaat penerapan dalam
mendorong kemajuan industri
(perusahaan)
Indikator kemajuan industri
(perusahaan):
(1) Makro
a) Pertumbuhan jumlah
industri
b) Pertumbuhan jumlah
pekerja
(2) Mikro
a) Peningkatan laba
b) Omset/market share
c) Inovasi/kemajuan
teknologi
d) Aset
d. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perusahaan
dalam menerapkan (tidak
menerapkan) demokrasi
ekonomi di tempat kerja.
(1) Apakah karena peran
pemerintah dan legislatif
lewat regulasi?
(2) Apakah karena peran
pekerja?
(3) Apakah karena peran
manajemen?
e. Hasil dan Pembahasan
Model-model Demokratisasi Perusahaan
Dalam studi di Negara Skandinavia
(diantaranya Denmark, Norwegia, dan
Swedia), terdapat beberapa pendekatan
yang tersedia bagi perusahaan dalam
rangka demokratisasi perusahaan, yang
pada umumnya dilakukan melalui program
kepemilikan saham oleh pekerja.
Penggunaan masing-masing model dan
pendekatan didasari oleh kebutuhan dari
masing-masing perusahaan dan setiap
pendekatan tersebut memiliki ketentuan
yang khusus.
a. Pemberian Saham (Stock Grants)
Pendekatan paling sederhana
adalah suatu perusahaan dapat
menghibahkan saham perusahaan
kepada karyawan-karyawan yang
terpilih. Seringkali, hal ini dilakukan
sebagai suatu bentuk kompensasi
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
49
bonus sebagai penghargaan kepada
karyawan atas kinerja yang tinggi,
untuk mengenalkan pentingnya
seorang karyawan kunci, atau sistem
penggajian baru di suatu organisasi.
Hibah ini dapat berupa tanpa
pembatasan (“non restricted”) atau
dengan pembatasan (“restricted”).
Pemberian saham tanpa
pembatasan adalah suatu pemberian
penghargaan berupa saham,
biasanya diberikan kepada karyawan
kunci untuk mencapai tujuan
keuangan atau tujuan strategis.
Penghargaan ini mirip dengan
suatu bonus kas tradisional tetapi
penghargaannya dalam bentuk
saham. Pemberian saham dengan
pembatasan adalah suatu
penghargaan yang terikat dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi
karyawan. Pembatasan yang paling
umum adalah suatu jadwal tunggu
berdasarkan waktu, yang
mengharuskan karyawan untuk tetap
di perusahaan selama suatu jangka
waktu tertentu sebelum seluruh
kepemilikan atas seluruh sahamnya
ditransfer. Pengunduran diri atau
pemutusan hubungan kerja
karyawan sebelum memenuhi
ketentuan tersebut akan berakibat
pada hilangnya hak atas pemberian
saham yang belum terlewati masa
tunggunya dan akan dikembalikan ke
perusahaan.
Kelebihan model stock grant
adalah:
Dengan dibubuhkannya
ketentuan vesting, stock
grant dapat menjadi suatu
alat retensi karyawan yang
efektif;
Sederhana untuk
diimplementasikan dan
mudah difahami oleh
karyawan;
Memberikan suatu cara
bagi perusahaan untuk
membayar insentif yang
terkait dengan kinerja tanpa
menggunakan sumber daya
kas;
Memberikan karyawan
suatu partisipasi modal di
perusahaan.
Kekurangan model stock grant
adalah:
Memberikan hak suara
kepada karyawan;
Karyawan tidak merasakan
nilai kepemilikan yang
sebenarnya karena tidak
menginvestasikan kas
pribadi,;
Dapat diharuskan
menyebabkan masalah
arus kas bagi karyawan
sebagai akibat dari pajak
penerimaan stock grant;
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
50
Mengakibatkan pengakuan
beban kompensasi bagi
perusahaan.
b. Program Pembelian Saham Oleh Karyawan (Direct
Employee Stock Purchase
Plans) Program pembelian saham
oleh karyawan memungkinkan
karyawan membeli saham
perusahaan dengan
persyaratan yang
menguntungkan. Keputusan
karyawan untuk membeli
saham yang tersedia untuknya
adalah sukarela.
Dengan program ini karyawan
dapat membayar sahamnya
melalui pemotongan gaji.
Karena karyawan diharuskan
membayar di muka atas saham
yang mereka beli.
Program ini tidak menghasilkan
tingkat partisipasi yang tinggi
karena biasanya kurang dari
25% dari karyawan yang
memenuhi syarat. Program ini
juga tidak akan merubah
ekuitas perusahaan dalam
jumlah besar kepada tenaga
kerjanya bila dibandingan
dengan program kepemilikan
saham yang lain. Karena
karyawan menginvestasikan
uangnya sendiri ketika mereka
memperoleh saham melalui
suatu direct purchase plan,
perusahaan harus memastikan
bahwa saham yang ditawarkan
termasuk dalam kualifikasi
untuk pengecualian dari
ketentuan registrasi
(pernyataan pendaftaran).
Pengecualian tersebut secara
umum tersedia untuk penjualan
yang dibatasi kepada
karyawan.
Kelebihan dan Kekurangan
Pembelian Saham adalah
sebagai berikut :
Kelebihan dari model direct
purchase plan :
Dapat meningkatkan modal
perusahaan;
Relatif sederhana untuk
dilaksanakan dan mudah
bagi karyawan untuk
memahaminya;
Dapat mengembangkan
jiwa investasi para
karyawan.
Kekurangan dari model direct
purchase plan:
Biaya investasi dapat
menghambat karyawan
untuk berpartisipasi;
Ketentuan Pernyataan
Pendaftaran mungkin
merupakan suatu pokok
persoalan bagi perusahaan
tertutup;
Program ini mengharuskan
dibentuknya struktur
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
51
administrasi untuk
mengumpulkan dana,
membeli saham dan
mengawasi ketaatan
dengan peraturan yang
sesuai.
c. Program Opsi Saham (Stock Option Plans)
Dalam program opsi saham,
suatu perusahaan memberikan
kepada karyawan secara
perorangan hak, kontraktual
(atau opsi) untuk membeli
suatu jumlah tertentu atas
saham perusahaan sepanjang
periode waktu tertentu,
membayar dengan harga yang
ditetapkan pada saat tanggal
pemberian. Periode waktu
tertentu tersebut biasanya
antara 5 (lima) sampai 10
(sepuluh) tahun dimulai pada
tanggal pemberian dan
harganya biasanya sama
dengan harga pasar wajar
saham pada saat pemberian.
Konsep dibalik opsi ini adalah
bahwa jika harga saham
perusahaan meningkat dalam
tahun-tahun setelah
pemberian, karyawan
mendapatkan keunungan
dengan membeli saham pada
harga lebih rendah yaitu harta
yang berlaku pada waktu
pemberian dan kemudian
menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi, setelah harga
meningkat. Nilai suatu opsi
saham bagi karyawan sifatnya
terkait pada kinerja perusahaan
di masa yang akan datang.
Perusahaan dapat mengaitkan
pemberian opsi kepada kinerja
kelompok atau individual dalam
berbagai cara. Sebagaimana
dengan bonus kas, perusahaan
bebas untuk memutuskan
kepada siapa mereka akan
memberikan opsi dan berapa
banyaknya opsi yang akan
mereka berikan kepada
masing-masing individu. Pada
masa lalu, perusahaan
biasanya membatasi
pemberian opsi saham hanya
kepada manajemen, dan pada
beberapa perusahaan,
program opsi saham masih
menggunakan cara tersebut.
Namun sekarang terdapat
kecenderungan perusahaan-
perusahaan memberikan opsi
saham kepada seluruh
karyawan. Opsi dapat menjadi
suatu motivator yang lebih
efektif dibandingkan suatu
bonus kas, karena tidak seperti
kas, opsi terus menerus
berlaku sebagai suatu insentif
yang baik bagi karyawan
setelah mereka diberikan opsi,
karena nilai sebenarnya akan
ditentukan dengan kinerja
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
52
perusahaan di masa yang akan
datang.
Pertimbangan utama
pemberian opsi saham kepada
karyawan adalah perusahaan
“bebas” dari segi pelaporan
keuangan. Suatu perusahaan
harus mengakui beban
kompensasi atas nilai estimasi
opsi hanya dalam situasi
tertentu. Ini termasuk jenis opsi
dengan jumlah saham atau
harga pelaksanaan tidak
diketahui atau kontinjen
dengan kejadian yang akan
datang.
Kelebihan dari model opsi
saham:
Opsi saham mengaitkan
imbalan kepada karyawan
dengan keberhasilan yang
akan datang karena opsi
tersebut hanya menjadi
bernilai jika harga saham
perusahaan meningkat;
Opsi dapat menjadi alat
yang efektif untuk
mempertahankan karyawan
karena adanya waktu
tunggu;
Dari sudut pandang
akuntansi, opsi secara
umum tidak
dipertimbangkan sebagai
beban pada buku
perusahaan.
Kekurangan model opsi
saham:
Sulit dimengerti oleh
karyawan karena
kompleksitasnya;
Kas keluar yang diperlukan
pada saat pelaksanaan,
dapat dipandang sebagai
suatu hal yang negatif oleh
karyawan;
Jika harga saham turun di
bawah harga pelaksanaan,
opsi tersebut tidak
memberikan insentif
keuangan bagi karyawan.
d. Employee Stock Ownership Plans (ESOPs) ESOPs merupakan suatu jenis
program pensiun yang
dirancang untuk menerima
kontribusi perusahaan pada
suatu pengelola dana yang
akan melakukan investasi pada
saham perusahaan untuk
kepentingan karyawan.
ESOPs non leveraged
dirancang untuk investasi
terutama dalam saham
perusahaan yang
mendukungnya. Dengan suatu
ESOPs non leveraged,
perusahaan membuat suatu
kontribusi kepada suatu akun
Trust setiap tahun atas nama
masing-masing karyawan,
kebanyakan perusahaan akan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
53
mengkontribusi ke suatu
program pensiun.
e. Phantom Stock and Stock Appreciation Rights (SARs)
Selain pendekatan-pendekatan
di atas, terdapat beberapa
pendekatan lain untuk
membagi ekuitas dengan para
karyawan yang secara teknis
tidak mengakibatkan transfer
kepemilikan saham kepada
para karyawan. Sering kali
disebut sebagai “synthetic
equity” programs (program
ekuitas sintetis). Program jenis
ini dapat dipakai apabila
transfer aktual atas kepemilikan
ekuitas kepada karyawan
adalah tidak memungkinkan
atau tidak diinginkan.
Stock Appreciation Rights
(SARs) dan Phantom Stock
adalah penangguhan
kompensasi yang khusus dan
alat kompensasi insentif yang
dirancang untuk memberikan
karyawan keuntungan
ekonomis atas kepemilikan
saham tanpa disertai terjadinya
transfer saham sesungguhnya.
SARs merupakan sebuah
hibah kepada seorang
karyawan yang
memberikannya hak pada
suatu waktu tertentu di masa
yang akan datang untuk
menerima penghargaan berupa
kas sebesar kenaikan dalam
nilai dari sejumlah tertentu
bagian saham perusahaan.
Phantom Shares merupakan
bagian-bagian dari nilai yang
berkaitan dengan jumlah
ekuivalen saham.
Sebagaimana dengan SARs,
nilai dari suatu penghargaan
Phantom Stock biasanya
dibayar kepada karyawan
dengan kas, meskipun
penghargaan tersebut dapat
juga dalam bentuk saham.
Pertimbangan yang dapat
mendukung penggunaan jenis
program ini dibandingkan
program ekuitas yang
sesungguhnya adalah
ketentuan pernyataan
pendaftaran (securities
registration requirement),
perlakuan akuntansi dan pajak,
dan fleksibilitas yang berkaitan
dengan penghargaan untuk
aspek khusus dari usaha
perusahaan (seperti suatu
divisi yang tidak secara
terpisah berbentuk badan
hukum). SARs dan Phantom
Stock populer bagi perusahaan
milik keluarga dimana keluarga
tidak menginginkan untuk
melepaskan kepemilikan
sahamnya.
Program-program ini juga
dapat digunakan untuk
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
54
memberikan ekuitas seperti
insentif yang dikaitkan dengan
kinerja dari suatu divisi
perusahaan atau anak
perusahaan. dan juga dapat
digunakan untuk memberikan
penghargaan kepada karyawan
asing yang dikarenakan
kompleksitas hukum dan
administrasi dari hukum negara
asalnya membuatnya sulit
untuk diberikan penghargaan
berupa surat berharga.
Kelebihan SARs and Phantom
Stock :
Dengan ketentuan jadwal
waktu tunggu, SARs dan
Phantom Stock dapat
memberikan metode yang
efektif untuk
mempertahankan
karyawan;
SARs dan Phantom Stock
tidak mendilusi kendali
suara dan hak-hak
kepemilikan lainnya dari
pemilik yang ada;
Pernyataan pendaftaran
tidak berlaku untuk jenis
program ini jika
pembayarannya dibuat
hanya dengan kas.
Kekurangan SARs and
Phantom Stock:
Menyebabkan suatu
potensi penurunan kas
yang signifikan bagi
perusahaan ketika nilai dari
penghargaan dibayarkan;
Mungkin lebih sulit untuk
mencapai tingkat motivasi
yang tinggi karyawan pada
perusahaan pada saat
pemberian. Dan harus
disesuaikan secara periodik
(tidak boleh kurang dari
satu tahun) untuk
menggambarkan
perubahan dalam harga
penghargaan;
Karyawan dikenakan pajak
pada tarif penghasilan
biasa atas total nilai
penghargaan.
Tujuan Pelaksanaan Demokratisasi Perusahaan
Perekrutan dan Retensi. Persaingan pasar tenaga
kerja meningkat untuk tenaga
terampil dan karyawan yang
cakap. Ketika berusaha
merekrut karyawan potensial,
kemampuan untuk
menjanjikan mereka suatu
penyertaan modal dapat
menjadi suatu sarana.
Peluang keuangan berupa
kepemilikan modal akan
menarik bagi sebagian besar
orang cerdas dan berbakat
yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Selain itu,
mempertahankan karyawan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
55
yang ada juga akan lebih
mudah jika mereka memiliki
penyertaan modal.
Peningkatan arus kas. Kompensasi ekuitas
seringkali dapat mengganti
sebagian kompensasi kas.
Program-program seperti
stock grant dan program opsi
saham dapat membuat suatu
perusahaan bersaing dalam
pasar tenaga kerja tanpa
harus membayar gaji yang
tinggi. 401 (k) plan, suatu
bentuk program dana
pensiun di Amerika, yang
menawarkan kontribusi yang
sesuai (matching
contribution) dalam saham
perusahaan dapat menjadi
suatu program tabungan
pensiun yang menarik, juga
tanpa memerlukan kontribusi
kas sebagaimana dalam
program pensiun lainnya.
Sebuah program pembelian
saham oleh karyawan dapat
secara nyata meningkatkan
arus kas perusahaan, pada
saat karyawan membayar
kas atas saham yang mereka
terima.
Motivasi dan Kinerja. Ekuitas hanya akan bernilai
jika kinerja perusahaan
membuatnya bernilai. Oleh
karena itu, karyawan yang
memiliki kepentingan modal
signifikan dalam
perusahaannya akan memiliki
insentif yang kuat untuk
mencurahkan karya
terbaiknya dalam
memaksimalkan kinerja
perusahaan dan nilai saham.
Dengan demikian,
kepemilikan saham oleh
karyawan menyelaraskan
kepentingkan karyawan
dengan para pemegang
saham. Selain itu, hal ini
akan memperlakukan
karyawan secara adil ketika
mereka diberi penghargaan
ekuitas dengan proporsi
sesuai dengan kontribusi
mereka kepada kinerja
perusahaan.
Pengembangan Budaya Kelompok.
Perusahaan-perusahaan
dengan pengalaman
kepemilikan karyawan jangka
panjang telah menemukan
bahwa hal tersebut
memberikan dasar yang kuat
dalam membangun budaya
kerja yang kuat. Apabila
dikembangkan dengan tepat,
kepemilikan saham oleh
karyawan dapat
meningkatkan jiwa
kebersamaan dan kerja tim,
dimana seluruh karyawan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
56
bekerjasama memfokuskan
pada tujuan kinerja
perusahaan. Karyawan
menjadi lebih peka terhadap
kebutuhan perusahaan dan
mulai berpikir dan bertindak
seperti seorang pemilik.
Memberikan pasar bagi saham pendiri.
program kepemilikan saham
oleh pekerja dapat
memberikan pasar yang
menarik bagi saham dari
perusahaan tertutup.
Alat antisipasi
pengambil-alihan. Perusahaan-perusahaan
yang mempertahankan diri
dari pengambilalihan secara
tidak bersahabat,
menggunakan program
kepemilikan saham oleh
pekerja untuk hal itu. Dalam
hal penawaran
pengambilalihan telah
dilakukan, penggunaan
program kepemilikan saham
oleh pekerja sebagai alat
bela diri menjadi agak
terlambat. Namun, apabila
program kepemilikan saham
oleh pekerja telah
dilaksanakan sebelum
dimulainya usaha
pengambilalihan, program
kepemilikan saham oleh
pekerja menjadi alat yang
efektif untuk
mempertahankan diri.
Aspek-aspek yang
Mempengaruhi Pelaksanaan Demokratisasi Perusahaan
a. Peraturan Sebagian besar negara telah
mempunyai perangkat hukum
yang khusus mengatur
tentang kepemilikan saham
oleh karyawan. Ketentuan
hukum memberi kepastian
kepada perusahaan dalam
melaksanakan program
kepemilikan saham oleh
karyawan. Bagi karyawan,
dengan adanya perangkat
hukum tersebut memberikan
perlindungan atas hak
mereka. Selain itu, dengan
perangkat hukum lainnya
(perpajakan dan sekuritas)
memberikan kepastian bagi
perusahaan dan karyawan
tentang manfaat dari program
ini dan memberikan acuan
dalam penyusunan program
khususnya tentang
kesesuaian dengan
ketentuan kewajiban
melakukan Pernyataan
Pendaftaran mengingat
terdapat beberapa
pengecualian kewajiban
tersebut.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
57
b. Model
Secara garis besar model
atau sarana dari
keikutsertaan karyawan
dalam suatu perusahaan ada
3 (tiga), yaitu kepemilikan
karyawan melalui pembelian
saham perusahaan secara
langsung (direct purchase
plan), pemberian opsi atas
saham perusahaan kepada
karyawan untuk membeli
sejumlah saham (stock option
plans) dan program
pengelolaan dana (trust)
yang dirancang untuk
investasi terutama dalam
saham perusahaan (ESOPs).
c. Sumber Saham
Sumber saham yang
diterbitkan dalam program
kepemilikan saham oleh
karyawan berhubungan
dengan tujuan dari program
tersebut apakah untuk
kompensasi atau
peningkatan dana modal.
Sumber saham yang
digunakan untuk program
kepemilikan saham oleh
karyawan dapat berasal dari
saham pendiri, saham baru,
treasury stock, atau saham
yang telah beredar.
d. Perlakuan di bidang Pajak Ada dua macam perlakuan
pajak terhadap program ini,
yakini pengenaan pajak
tanpa kemudahan dan
pengenaan pajak dengan
kemudahan. Kemudahan di
bidang pajak dapat berupa
penangguhan, pengurangan,
maupun pembebasan pajak.
Kemudahan di bidang pajak
merupakan salah satu
pendorong meningkatnya
pelaksanaan kepemilikan
saham oleh karyawan.
e. Hak Suara
Hak suara atas saham dalam
program kepemilikan saham
oleh karyawan tergantung
dari model yang dilaksanakan
oleh perusahaan tersebut.
Hak suara dapat diwakilkan
pada Trustee, masih
dipegang oleh pihak penjual.,
ataupun berada di tangan
karyawan sebagai pemilik
saham.
f. Sumber Dana
Sebagian besar ketentuan di
negara-negara yang
mengatur kepemilikan saham
karyawan memperbolehkan
pemberian bantuan kepada
karyawan. Dalam hal ini,
karyawan diberikan pinjaman
baik secara langsung
ataupun melalui kontribusi
pembagian keuntungan yang
diberikan oleh perusahaan.
Ada pula mekanisme yang
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
58
menetapkan bahwa
perusahaan tidak
memberikan potongan atas
harga saham.
g. Pengurusan Pengurus atau pengelola
saham yang dialokasikan
kepada karyawan dapat
diberikan kepada Trust,
badan hukum lain, atau jasa
komite.
h. Keterbukaan Informasi Keterbukaan informasi
merupakan hal yang penting
bagi karyawan, pemegang
saham, maupun pihak lain
yang terlibat dalam program
program kepemilikan saham
oleh pekerja. Hal ini terkait
dengan tingkat pemahaman
peserta akan program yang
digulirkan perusahaan,
sehingga memudahkan
mereka untuk berpartisipasi.
Keterbukaan informasi dapat
dibuat melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS),
brosur, info memo, maupun
pernyataan pendaftaran yang
dilampiri legal opinion.
i. Harga Pelaksanaan
Harga pelaksanaan
merupakan salah satu faktor
yang paling menentukan bagi
karyawan apakah akan
mengeksekusi atau tidak opsi
yang dimilikinya. Jika harga
pelaksanaan menguntungkan
(di bawah harga pasar wajar
untuk perusahaan terbuka),
maka kemungkinan besar
karyawan akan melakukan
eksekusi. Nilai harga
pelaksanaan ada beberapa
macam, antara lain harga
pasar wajar saat pemberian,
rata-rata harga 5 hari
perdagangan, rata-rata harga
25 hari bursa, nilai nominal,
maupun harga pelaksanaan
yang ditentukan oleh
keputusan direksi.
j. Persetujuan Pelaksanaan
Program Pemegang saham
merupakan salah satu pihak
yang paling concern atas
dilaksanakannya program
kepemilikan saham oleh
karyawan, karena program
tersebut dapat menimbulkan
potensi dilusi atas
kepemilikan sahamnya di
perusahaan. Oleh karena itu,
persetujuan para pemegang
saham atas pelaksanaan
program tersebut biasanya
harus diperoleh terlebih
dahulu. Persetujuan ini dapat
berupa RUPS maupun RUPS
Luar Biasa (RUPSLB).
k. Pelaporan Keuangan
Sisi pelaporan keuangan
juga merupakan faktor
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
59
pendorong bagi perusahaan
dalam melakukan suatu
program kepemilikan saham
oleh karyawan. Ada yang
dibebaskan dari pelaporan,
ada juga yang diwajibkan
melaporkan dalam Laporan
Keuangan. Hal ini tergantung
pada Standar Akuntansi
Keuangan masing-masing
negara.
f. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan
1. Model-model demokratisasi
perusahaan di Negara Skandinavia
dilakukan melalui pola-pola
kepemilikan saham oleh pekerja
dengan skema utamanya meliputi:
Pemberian saham, Program
pembelian saham oleh karyawan
(ESOP), Program opsi saham,
Employee stock ownership plan,
Phantom Stock and Stock
Appreciation Rights (SARs)
2. Tujuan pelaksanaan demokratisasi
perusahaan di negara Skandinavia
adalah: Perekrutan dan Retensi,
Peningkatan arus kas, Motivasi
dan Kinerja, Pengembangan
Budaya Kelompok, Memberikan
pasar bagi saham pendiri, Alat
antisipasi pengambil-alihan
3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Demokratisasi
Perusahaan adalah: Peraturan,
Model Sumber Saham, Perlakuan
di bidang Pajak, Hak Suara,
Sumber Dana, Pengurusan,
Keterbukaan Informasi, Harga
Pelaksanaan, Persetujuan
Pelaksanaan Program, dan
Pelaporan Keuangan
4. Hubungan Antara Struktur Industri
dan Demokratisasi Perusahaan
adalah:
a. Perbedaan antara perusahaan
publik dan swasta
b. Ukuran dan rasio modal
pekerja
c. Segmentasi pekerja dan pasar
tenaga kerja
d. Perbedaan tingkat
pertumbuhan antarsektor
dalam perekonomian
e. Turunnya sektor manufaktur
dan berkembangnya sektor
jasa, terutama jasa keuangan
f. Dampak kemajuan teknologi
dan kebutuhan sumber daya
manusia yang menjalankannya.
B. Rekomendasi 1. Perusahaan Indonesia perlu lebih
serius mengkaji pola-pola
demokratisasi ekonomi di tempat
kerja, di antaranya melalui
penerapan pola profit sharing dan
kepemilikan saham oleh pekerja
dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan pekerja. Hal ini juga
dilakukan untuk membangun iklim
dan kondisi ketenagakerjaan yang
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
60
mendukung dan mengingat
beragam manfaat yang diperoleh
dari penerapan pola tersebut
termasuk kaitannya dengan
pengembangan perusahaan yang
mestinya dikelola secara
demokratis.
2. Perusahaan Indonesia perlu lebih
meningkatkan pemahaman pekerja
terhadap kondisi perusahaan dan
penerapan pola PS dan ESOP
yang diterapkan melalui media-
media sosialisasi, komunikasi, dan
inf ormasi yang efektif. Perusahaan
juga perlu meningkatkan
keterlibatan pekerja dalam proses
pengambilan keputusan sehingga
kebijakan yang diambil dapat lebih
mengakomodasi aspirasi pekerja
dan mengurangi resiko resistensi
mereka.
3. Perusahaan Indonesia dapat
memanfaatkan diterapkan pola PS
dan ESOP untuk membangun citra
positif di mata publik sebagai
perusahaan yang demokratis dan
memenuhi hak-hak pekerja. Hal ini
penting di tengah persaingan yang
makin menonjolkan inovasi
berbasis pengetahuan.
4. Kesadaran kolektif perlu dibangun
untuk meyakinkan publik di
Indonesia dan Indonesia pada
umumnya bahwa kepemilikan
saham oleh pekerja mengandung
setidaknya lima peran (misi)
strategis. Pertama, realisasi
amanat konstitusi utamanya Pasal
33 UUD 1945. Kedua, cara untuk
merombak ketimpangan relasi
(struktur) produksi dan alokasi
dalam perusahaan. Ketiga, upaya
untuk mempertahankan
perusahaan dari pengambil-alihan
oleh korporasi (investor) luar
negeri. Keempat, cara optimalisasi
sumber keuangan (permodalan)
domestik. Kelima, sebagai solusi
bagi peningkatan motivasi,
tanggungjawab, dan produktivitas
pekerja dan perusahaan secara
keseluruhan.
5. Stakeholder perusahaan Indonesia
perlu diyakinkan bahwa terdapat
berbagai pola transformasi
kepemilikan saham oleh pekerja
yang sangat mungkin diterapkan.
Di samping itu, juga tersedia cukup
potensi (sumber finansial) untuk
merealisasikannya. Alternatif
pelepasan saham kepada pekerja
di antaranya adalah berupa
pemberian gratis, pembelian
langsung, hak opsi saham, dan
pola khas lainnya. Khusus dalam
bentuk (pola) pembelian saham,
mekanisme pembayarannya dapat
saja melalui lembaga yang ditunjuk
pekerja (Trustee), potong gaji
langsung, intermediasi perbankan,
atau mekanisme lain yang
disepakati bersama.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
61
DAFTAR PUSTAKA Abell, P, (1985), Industrial Democracy :
has it a future? The West
European Eperience, Journal of
General Management 10:50-62
Arief, Sritua, (2000), Ekonomi Kerakyatan
: Mengenang Bung Hatta,
Surakarta, UMS-Press
Baswir, Revrisond, (2005), Ekonomi
Kerakyatan : Ekonomi Rakyat dan
Koperasi Sebagai Soko Guru
Perekonomian, makalah dalam
KEEP 2005 di FE-UGM,
Yogyakarta
Blanchflower, D.G., and Oswald, A.J.,
(1987), “Profit-sharing-can it
work?”, Oxford Economic Papers
39: 1-19
D’Art, Daryl, (1992), Economic Democracy
and Financial Participation : A
Comparative Study, New York,
Routledge
Dahl, Robert A., (1992), Demokrasi
Ekonomi : Sebuah Pengantar,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Gurdon, M.A., (1985), “Equity Participation
by Employees : the Growing
Debate in West Germany”,
Industrial Relations 24: 13-29
Mattews, D., (1988), “The British
Experience of Profit Sharing :
1880-1980”, Economic History
Review
Mubyarto, (2005), Ekonomi Terjajah,
Yogyakarta, Aditya Media
Poole, Michael, (1989), The Origins of
Economic Democracy : Profit-
sharing and employee-
shareholding schemes, London
and New York, Rourledge
Ramsay, H, dan Haworth, N., (1984)
“Worker capiatlists? Profit sharing,
capital sharing, and juridicial forms
of socialism, Economic and
Industrial Democracy 5: 295-324
Schweickart, David, Economic Democracy
: A Worthy Socialism That Would
Really Work : Science and Society,
Spring 1992, v56 n1, pp. 9-38
Smith, G.R., (1986), Profit Sharing and
Share Ownership in Britain,
Employment Gazette 94: 380-385
Smith, J.W, (1999), Economic Democracy
: The Political Struggle of The
Twenty-First Century, New York,
M.E. Sharpe
Woodworth, Warner P, (2002), Economic
Democracy: Essay and Research
on Workers’ Empowerment,
Pittsburgh, Sledgehammer.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
62
HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DENGAN KEPUASAN KERJA PADA POLISI WANITA
DI POLRES KULON PROGO
Evy Siska Yuliana, Reny Yuniasanti Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
ABSTRACT
Work - family conflict arises because of the imbalance between the role of a worker with a role as a member of the family . Policewomen are not satisfied in any time away from work more often a task , ask leave even ditching thus affecting its performance . This study aims to determine the relationship between work - family conflict with job satisfaction there is a police woman . Hypotheses to be proposed in this study is that there is a negative relationship between work - family conflict with job satisfaction in police woman . Subjects in this study were female police officers in the Police Kulon Progo Yogyakarta , as many as 32 people . Methods of data collection in this study using the scale of work - family conflict and job satisfaction scale . This research analysis methods of analysis using Pearson product moment . The results of the analysis of data obtained correlation coefficient ( rxy ) of -0.308 with a significance level ( p < 0.05 ) , this means that the higher the work - family conflict , the lower the job satisfaction in women police ; conversely the lower the family - work conflict , the more high job satisfaction in female officers . Thus the hypothesis of this study is acceptable . Work - family conflict variables in this study has the effective contribution of 9.5 % to the job satisfaction of female police officers at the police station in Kulon Progo .
Keywords : work - family conflict , job satisfaction , the police woman .
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan
zaman, perkembangan industri di
Indonesia telah menyerap banyak tenaga
kerja, termasuk tenaga kerja wanita.Tidak
sedikit wanita yang memasuki dunia kerja
yang bersifat non-tradisional seperti buruh
pabrik, anggota polisi, sopir, dan tukang
ojek (Rini, 2002).Faktor yang turut
berpengaruh terhadap pergeseran nilai
tentang peranan wanita sebagai seorang
pekerja adalah adanya tuntutan ekonomi
yang semakin meningkat serta luasnya
kesempatan bagi wanita untuk mencapai
jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(Siagian, 2000).
Di Indonesia, keterlibatan wanita
dalam pekerjaan non-tradisional atau
peran publik, khususnya anggota polisi,
ditunjukan oleh data pada tahun 2012
yakni jumlah polisi wanita sebanyak
13.200 orang atau 3,6% dari 398.000
jumlah polisi di Indonesia (Tempo,
2013).Hal ini menunjukkan bahwa wanita
mampu menyetarakan perannya seperti
kaum pria, dengan hak dan kewajiban
sama yang diperoleh kaum pria dalam
pekerjaannya.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
63
Handayani (2007) menjelaskan
bahwa keberadaan polisi dalam suatu
negara sangat dibutuhkan karena tanpa
polisi, hukum yang ada hanya berupa
ayat-ayat saja. Melihat tugas polisi yang
sangat menentukan tersebut, maka polisi
sebagai penegak hukum dituntut untuk
dapat berbuat terbaik dalam pelaksanaan
tugasnya. Polwan dituntut untuk memiliki
tingkat kepuasan kerja yang tinggi, maka
hal yang seharusnya dimiliki oleh polwan
agar memiliki sikap positif terhadap
pekerjaannya, polwan harus mengacu
pada aturan-aturan yang ada dalam
instansinya (Gitoyo, 2012).
Spector (dalam Luthan, 2005)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
sikap yang menggambarkan bagaimana
perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya secara keseluruhan maupun
terhadap berbagai aspek yaitu: gaji,
kesempatan untuk maju, mutu
pengawasan, rekan kerja, dan pekerjaan
itu sendiri sehingga mempengaruhi
pekerjaannya. Di area realitas, fakta yang
terjadi berlawanan dengan kondisi yang
diharapkan. Kenyataan adanya indikasi
ketidakpuasan kerja yang terjadi pada
anggota polisi wanita, dalam hal ini
anggota polisi wanita di Polres Kulon
Progo yang masih mengeluh karena para
anggota polisi wanita kurang merasakan
kepuasan dalam bekerja. Hal tersebut
diperoleh penulis dari hasil wawancara
dengan 5 anggota polisi wanita di Polres
Kulon Progo pada bulan september 2013.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut,
ditemukan bahwa sebagian besar anggota
polisi terutama pada polwan memiliki
aspek-aspek ketidakpuasan kerja yang
didasarkan pada teori Spector (dalam
Munandar,2011) sebagai berikut: sering
tidak menyelesaikan tugas, kurang puas
terhadap pendapatan yang diterima
karena tuntutan sebagai polwan
diwajibkan untuk berpenampilan menarik
ketika sedang bertugas, kurang
penghargaan terhadap dirinya dari atasan
atau rekan kerja terhadap hasil kerjanya,
kurangnya kerjasama antar anggota
kelompok, sering bolos pada jam kerja,
sering merasa bosan dan stres karena
kurangnya pelatihan atau pengembangan
karir yang diberikan oleh atasan untuk
meningkatkan kemampuan, dalam proses
promosi atau kenaikan pangkat untuk
anggota polisi pun dirasa berat.
Profesi polwan dianggap peneliti
memiliki beban yang lebih berat
dibandingkan dengan pekerjaan lain.
Berbeda dengan profesi karyawan bank,
guru maupun PNS yang memiliki waktu
kerja yang cenderung statis, polwan harus
selalu siap sedia dimanapun polwan
berada, karena seketika ada panggilan
dari komandan untuk bertugas maka
harus dilaksanakan tanpa peduli waktu
dan tempat. Dalam hal ini polwan dituntut
memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan anggota polisi lainnya. Hal
tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden
No. 9 Tahun 2000 (dalam UU Kepolisian,
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
64
2010) menjelaskan bahwa: setiap anggota
polisi dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat senantiasa
memberikan pelayanan terbaik, bersikap
hormat kepada siapapun, dan tidak
mengenal waktu istirahat selama 24 jam,
atau tidak mengenal hari libur. Menurut
Sutanto (2004) Setiap anggota polwan
diharapkan dapat menjadi teladan dengan
menjalankan aturan-aturan yang berlaku
menjaga ketentraman dan penegakkan
hukum sesuai dengan tugasnya, Polwan
sudah seharusnya bekerja secara
profesional, dalam pekerjaan polwan
dituntut mempunyai moral yang baik,
menjaga citra dan selalu mengembangkan
diri sesuai dengan perubahan lingkungan.
Agar dapat memenuhi tuntutan tugas
seperti itu diperlukan kondisi mental
polwan yang sehat salah satunya adalah
dengan menjaga kepuasan kerja mereka.
Spector (dalam Pratama, 2009)
memaparkan bahwa faktor-faktor yang
menentukan kepuasan kerja dibagi
menjadi 2 kategori besar, yaitu: (1)
Lingkungan kerja serta faktor-faktor yang
berkaitan dengan pekerjaan dan memiliki
pengaruh penting pada kepuasan kerja,
seperti: (a) Karakteristik pekerjaan,(b)
Ketidakleluasaan dalam organisasi
(Organisational Constraints), (c) Work-
family conflict (konflik kerja-keluarga, (d)
Stres Kerja, (e)Beban kerja, (2) Faktor
individu yang dibawa oleh seseorang ke
perkerjaanya, seperti: (a) jenis kelamin,(b)
Usia,(c) Pendidikan.
Adapun salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kepuasan kerja
ialah maka konflik pekerjaan-
keluarga.Wanita dengan peran ganda
yaitu wanita yang memiliki peran sebagai
wanita pekerja secara fisik dan psikis, baik
di sector pemerintah, swasta maupun
wiraswasta dengan tujuan mendatangkan
suatu kemajuan dalam karirnya, sekaligus
berperan juga sebagai ibu dan atau istri
yang bertanggung jawab mengurus rumah
tangga (Anoraga, 2005).Rivai & Mulyadi
(2010) mendefinisikan konflik peran
sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara
harapan-harapan yang disosialisasikan
dengan beberapa posisi yang dimiliki
seseorang (konflik antarperan). Konflik
pekerjaan-keluarga timbul karena adanya
ketidakseimbangan antara peran sebagai
pekerja dengan peran sebagai anggota
keluarga. Keluarga dapat diartikan
sebagai suatu kesatuan keluarga yang
kecil, yang terdiri dari seorang ayah, ibu
dan anak-anak. Konflik kerja-keluarga
dapat menyebabkan rendahnya kualitas
hubungan suami istri, munculnya masalah
dalam hubungan antara ibu dan anak,
serta timbulnya gangguan tingkah laku
pada anak. Selain itu konflik kerja-
keluarga juga dapat menjadi pemicu
timbulnya sikap yang negatif terhadap
organisasi (Ammiriel dkk, 2007).
Dalam menghadapi konflik
diperlukan keputusan yang bijaksana,
apabila mungkin secara kompromistis
(Walgito, 2011).Ammiriel dkk (2007)
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
65
menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-
keluarga berkorelasi negatif dengan
kepuasan kerja, yaitu pekerja yang
mengalami konflik tingkat tinggi cenderung
memiliki tingkat kepuasan kerja yang
rendah.Menurut Gitoyo (2012) Polisi
wanita yang tidak puas akan lebih sering
izin meninggalkan tugas, minta cuti,
bahkan membolos sehingga
mempengaruhi kinerja organisasi
kepolisian.
Menurut Ammiriel dkk (2007)
konflik pekerjaan-keluarga merupakan
salah satu faktor internal yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja seseorang.
Konflik keluarga-pekerjaan timbul karena
adanya ketidakseimbangan antara peran
sebagai pekerja dengan peran sebagai
anggota keluarga, keluarga dapat diartikan
sebagai suatu kesatuan keluarga yang
kecil, yang terdiri dari seorang ayah, ibu
dan anak-anak (Lathifah, 2008). konflik
kerja-keluarga dapat menyebabkan
rendahnya kualitas hubungan suami istri,
munculnya masalah dalam hubungan
antara ibu dan anak, serta timbulnya
gangguan tingkah laku pada anak. Selain
itu konflik kerja-keluarga juga dapat
menjadi pemicu timbulnya sikap yang
negatif terhadap organisasi (Amiriel &
Yuwono, 2007).
Dalam menghadapi konflik
diperlukan keputusan yang bijaksana,
apabila mungkin secara kompromistis
(Walgito, 2011). Spector (dalam Helena,
2009) menyebutkan bahwa konflik
keluarga-pekerjaan berkorelasi negatif
dengan kepuasan kerja, yaitu pekerja
yang mengalami konflik tingkat tinggi
cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja
yang rendah. Polisi wanita yang tidak puas
akan lebih sering izin meninggalkan tugas,
minta cuti, bahkan membolos sehingga
mempengaruhi kinerja organisasi
kepolisian.
Dalam penelitian yang dilakukan
Amiriel & Yuwono (2007) mengenai konflik
kerja-keluarga dengan kepuasan kerja
pada karyawati berperan jenis androgini,
didapati bahwa konflik kerja-keluarga
berkorelasi negatif secara signifikan
dengan kepuasan kerja, dan dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi konflik
antara keluarga dengan pekerjaan maka
akan semakin rendah kepuasan kerja
yang dipersepsi oleh para karyawati
ataupun sebaliknya, semakin rendah
tingkat konflik antara keluarga pekerjaan
maka akan semakin tinggi kepuasan kerja
yang dipersepsi oleh para karyawati.
Searah dengan penelitian ini,
dalam penelitian yang dilakukan Soeharto
(2010) mengenai konflik pekerjaan-
keluarga dengan kepuasan kerja:
metaanalisis, didapati bahwa ada
hubungan negative konflik pekerjaan-
keluarga dan konflik keluarga-
pekerjaan/WFC dengan kepuasan kerja
pada semua karakteristik.
Menurut Ammiriel & Yuwono
(2007) menyebutan bahwa dalam hal ini
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
66
konflik keluarga-pekerjaan merupakan
salah satu faktor internal yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja seseorang.
Hal ini terjadi karena karyawati yang
mengalami konflik antara keluarga dengan
pekerjaannya akan berpengaruh terhadap
kepuasan kerjanya. Helena (2008)
menyatakan bahwa, anggota polisi wanita
dituntut bagaimana menyikapi konflik
keluarga-pekerjaan dengan pekerjaannya
supaya dapat merasa puas dengan
pekerjaannya yang diemban tanpa
meninggalkan pekerjaannya sebagai
anggota polisi. Hal ini terjadi karena
karyawati yang mengalami konflik antara
keluarga dengan pekerjaannya akan
berpengaruh terhadap kepuasan kerjanya.
Sutanto (2004) menyatakan bahwa,
anggota polisi wanita dituntut dapat
menyikapi konflik pekerjaan-keluarga
dengan pekerjaannya supaya dapat
merasa puas dengan pekerjaannya yang
menjadi tanggung jawabnya tanpa
meninggalkan pekerjaannya sebagai
anggota polisi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti
ingin melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui adanya hubungan
antara konflik pekerjaan-keluarga dengan
kepuasan kerja pada polisi wanita.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh
secara teoritis diharapkan dapat memberi
sumbangan dalam pengembangan ilmu
psikologi, khususnya psikologi industri dan
organisasi; Manfaat praktis adalah
memberi informasi mengenai hubungan
antara konflik pekerjaan-keluarga dengan
kepuasan kerja yang dialami oleh polisi
wanita, sehingga polisi wanita dapat
memiliki kepuasan kerja yang tinggi
dengan mengantisipasi munculnya konflik
pekerjaan-keluarga.Dalam penelelitian ini
hipotesis yang diajukan adalah ada
hubungan negatif antara konflik pekerjaan-
keluarga dengan kepuasan kerja pada
polisi wanita.
Metode
Variabel tergantung dalam
penelitian ini adalah kepuasan kerja,
sedangkan variabel bebasnya konflik
pekerjaan-keluarga. Kepuasan kerja
dioperasionalkan sebagai sikap yang
menggambarkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaan, situasi dan kondisi
kerja di lingkungan pekerjaannya yang
merupakan hasil interaksi antara individu
dengan lingkungan kerjanya, seperti gaji,
kesempatan untuk maju, mutu
pengawasan, rekan kerja dan pekerjaan
itu sendiri serta diikuti dengan adanya
perasaan bangga dan bahagia atas
kemampuan yang dimiliki dalam
melaksanakan tugas dalam pekerjaannya
sampai tuntas dengan prestasi yang
dicapai.Kepuasan kerja diukur
menggunakan Skala Kepuasan Kerja.
Konflik pekerjaan-keluarga
dioperasionalkan sebagai kondisi dimana
seseorang mengalami suatu konflik antar
peran yang terjadi apabila tekanan dari
peran seseorang di pekerjaan tidak sesuai
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
67
dengan tekanan dari peran yang ia jalani
di keluarga sehingga pemenuhan tuntutan
pada satu peran menyulitkan pemenuhan
tuntutan pada peran lainnya,tuntutan
suatu pekerjaan berhubungan dengan
tekanan yang berasal dari beban
pekerjaan yang melebihi kemampuan dan
akibatnya waktu untuk penyelesaian
pekerjaan menjadi terbatas dan akhirnya
mendorong seorang pekerja menjadi
terburu-buru.Konflik pekerjaan keluarga
dikur menggunakan Skala Konflik
Pekerjaan-Keluarga. Skala dibuat dengan
pilihan majemuk yang terdiri dari empat
alternatif jawaban, yaitu: sangat setuju
(SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan
sangat tidak setuju (STS). Skor untuk
aitem yang bersifat favorebel bergerak
dari 4 untuk jawaban sangat setuju (SS), 3
untuk setuju (S), 2 untuk tidak setuju (TS),
dan 1 untuk sangat tidak setuju (STS).
Sedangkan untuk aitem unfavorabel, skor
bergerak mulai angka 1 untuk sangat
setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk
tidak setuju (TS), dan 4 untuk sangat tidak
setuju (STS).
Uji coba alat dilakukan pada 30
anggota Polisi Wanita di Polres Bantul
Yogyakarta pada 2 Desember 2013
sampai dengan 9 Desember 2013.
Berdasarkan hasil uji coba terhadap 50
aitem pada skala kepuasan kerja didapat
30 aitem yang valid dan 20 aitem tidak
valid. Validitas aitem berkisar antara 0,320
sampai dengan 0,669 dengan asumsi
aitem yang tidak valid adalah aitem
dibawah 0,30. Berdasarkan analisis
diperoleh koefisien reliabilitas sebesar
0,917 artinya perbedaan (variasi) yang
tampak pada skor skala tersebut mampu
mencerminkan 91,7% dari variasi yang
terjadi pada skor murni kelompok subjek
bersangkutan, sedangkan 8,3% skor
tersebut menampakan variasi kesalahan.
Dengan demikian reliabilitas dapat
dikatakan tinggi.
Berdasarkan hasil uji coba
terhadap 42 aitem pada skala konflik
keluarga-pekerjaan didapat 24 aitem valid
dan 18 aitem yang tidak valid. Validitas
aitem berkisar antara 0,304 samapi
dengan 0,774 dengan asumsi aitem yang
tidak valid adalah aitem dibawah 0,30.
Berdasarkan analisis diperoleh
koefisien reliabilitas sebesar 0,898 artinya
perbedaan (variasi) yang tampak pada
skor skala tersebut mampu mencerminkan
89,8% dari variasi yang terjadi pada skor
murni kelompok subjek bersangkutan,
sedangkan 10,2% skor tersebut
menampakan variasi kesalahan. Dengan
demikian reliabilitas dapat dikatakan
tinggi.
Subjek penelitian ini berjumlah 32
subjek ditentukan dengan kriteria: polisi
wanita yang berdinas aktif, telah menikah
dan memiliki anak, usia diatas 24 tahun
dan berpendidikan terakhir SMA sederajat.
Metode yang digunakan untuk
menganalisis data penelitian dan menguji
hipotesis adalah korelasi Product Moment
dari Pearson.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
68
Hasil dan Diskusi Hasil uji normalitas sebaran data
kepuasan kerja diperoleh nilai KS-Z =
0,109 dengan taraf signifikansi 0,200
(p>0,05), berarti sebaran data kepuasan
kerja normal. Hasil uji normalitas sebaran
data konflik pekerjaan-keluarga diperoleh
nilai KS-Z = 0,134 dengan taraf
signifikansi 0,149 (p>0,05) yang berarti
sebaran data konflik pekerjaan-keluarga
normal. Hasil uji linieritas konflik
pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja
diperoleh koefisien linieritas (F) sebesar
10,358 dengan taraf signifikansi 0,008
(p<0,05), berarti konflik pekerjaan-
keluarga dan kepuasan kerja pada polisi
wanita memiliki hubungan yang linier.
Berdasarkan hasil analisis korelasi
product moment diperoleh koefisien
korelasi (rxy) antara konflik pekerjaan-
keluarga dengan kepuasan kerja sebesar -
0,308 dengan taraf signifikansi 0,043
(p<0,05). Hasil ini menunjukan bahwa ada
hubungan negatif antara konflik keluarga-
pekerjaan dengan kepuasan kerja pada
polisi wanita.Hasil kategorisasi kepuasan
kerja menunjukan bahwa tidak ada subjek
yang memiliki tingkat kepuasan kerja
tinggi, yang memiliki kepuasan kerja
sedang sebanyak 17 orang (53,125%).
Subjek penelitian yang memiliki kepuasan
kerja rendah sebanyak 15 orang
(46,875%); sedangkan kategorisasi
variabel konflik pekerjaan-keluarga
menunjukan bahwa subjek penelitian yang
memiliki konflik pekerjaan-keluarga tinggi
sebanyak 1 orang (3,125%), yang memiliki
konflik pekerjaan-keluarga sedang
sebanyak 28 orang (87,5%), dan yang
memiliki konflik pekerjaan-keluarga
sebanyak 3 orang (9,375%).
Gitoyo (2012) menjelaskan bahwa
polisi wanita harus bisa totalitas dalam
bekerja,polisi wanita di tuntut untuk selalu
siap apabila ada panggilan dari
komandannya tanpa mengenal waktu.Dan
dalam teori discreapancy disebut dengan
discreapancy negatif, karena kenyataan
yang terjadi pada polisi wanita jauh
berbeda dengan yang diinginkan yaitu
waktu antara bekerja dengan mengurus
rumah tangganya.Kepuasan kerja
merupakan salah satu ukuran dari kualitas
kehidupan seseorang yang bekerja atau
berkarir dalam sebuah organisasi
termasuk polisi wanita yang bekerja pada
organisasi Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI). Spector (dalam Luthan, 2005)
menjelaskan faktor lingkungan kerja
seperti karakteristik pekerjaan,
ketidakleluasaan dalam organisasi, work-
family conflict dan beban kerja merupakan
hal yang penting yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja pada
seseorang.
Amiriel dkk (2007) menjelaskan
bahwa konflik pekerjaan-keluarga (work-
familyconflict) merupakan salah satu faktor
internal yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja seseorang. Hal ini terjadi
karena ketika seorang wanita pekerja
mengalami konflik antara keluarga dengan
pekerjaannya maka akan berpengaruh
terhadap kepuasan kerjanya, polwan
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
69
dituntut bagaimana menyikapi konflik
pekerjaan-keluarga dengan pekerjaannya
agar dapat merasa puas dengan
pekerjaannya yang diemban tanpa
meninggalkan pekerjaanlain yang menjadi
tanggung jawabnya. Kemudian ketika
seorang wanita yang bekerja atau berkarir
seperti halnya seorang polisi wanita
kemudian mengalami work-family conflict
maka polwan akan berusaha mengubah
situasi yang dihadapinya atau secara fisik
akan meninggalkan pekerjaan, misalnya
saja tidak masuk kerja, datang terlambat
atau keluar dari pekerjaan.
Menurut Greenhaus dan Beutell
(dalam Pratama,2009) untuk mengetahui
konflik keluarga-pekerjaan mengacu pada
tiga aspek yaitu pertama Time-Based
Conflict yang merupakan tuntutan waktu
pada satu peran mempengaruhi
keterlibatan di peran yang lainnya.
Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung
dari alokasi waktu kerja dan kegiatan
keluarga yang dipilih berdasarkan pilihan
dan nilai yang dimiliki individu. Sesuai
dengan teori discreapancy menjelaskan
bahwa orang akan merasa puas bila tidak
ada perbedaan antara yang diinginkan
dengan persepsinya atas kenyataan
karena batas minimum yang diinginkan
telah terpenuhi. Menurut Gitoyo (2012)
polwan dituntut untuk menaati peraturan
yang ada dalam organisasi Kepolisian,
salah satunya tentang jam kerja yang
harus dipenuhi oleh masing-masing
polwan, dan waktu yang dibutuhkan dalam
pekerjaannya tidak sedikit, ketika ada
kegiatan seperti operasi ketupat
menjelang Lebaran dan operasi lilin ketika
menjelang Natal hampir seluruh personel
kepolisian tanpa terkecuali di terjunkan
langsung untuk mengatur lalu lintas dalam
waktu 24 jam. Dalam hal ini polwan
memiliki tuntutan dari keluarga baik suami,
anak, ataupun orangtua yang merasa
tidak nyaman karena sebagaian besar
waktu dihabiskan di kantor, sehingga ada
tuntutan untuk meluangkan waktu secara
lebih berkualitas di dalam lingkungan
keluarga, hal tersebut memicu adanya
stres yang akan berpengaruh pada kinerja
polwan dan berdampak pada kepuasan
kerja pada anggota polisi terutama
polwan.
Kedua Strain-Based Conflict, yaitu
stres yang ditimbulkan dari salah satu
peran yang mempengaruhi peran yang
lain sehingga mempengaruhi kualitas
hidup secara keseluruhan. Menurut Locke
(dalam As’ad, 2003) kepuasan kerja
seseorang bergantung pada discreapancy
antara hal yang diinginkan dengan apa
yang menurut perasaannya atau
persepsinya telah diperoleh atau dicapai
melalui pekerjaan. Dalam hal ini polwan
harus menjalankan peran dan tuntutannya
masing-masing, ketika peran dan
tuntutannya masing-masing saling
bertentangan atau tidak sesuai maka
disebut dengan discreapancy negatif yang
akan menimbulkan ketidakpuasan
terhadap pekerjaan.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
70
Ketiga Behavior-Based Conflict
yaitu tingkah laku yang efektif untuk satu
peran tapi tidak efektif untuk digunakan
untuk peran yang lain. Dalam hal ini
polwan diharuskan untuk bisa
membedakan sikap tegas ketika berada di
kantor dengan sikap tegas ketika berada
di rumah, sikap tegas yang dilakukan
dikantor di gambarkan dengan cara
polwan menaati peraturan yang berlaku di
kantor, serta selalu diberi sangsi atau
hukuman ketika melanggar peraturan
tersebut sesuai dengan peraturan atau
undang-undang yang berlaku, Sedangkan
ketika berada di rumah sikap tegas
ditunjukan dengan mengajarkan hal-hal
yang baik untuk anak-anaknya seperti
mengajarkan tentang norma yang berlaku
di lingkungannya, antara lain: sebagai istri
yang patuh terhadap suami, lemah lembut
dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini
sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh (Geurts & Demerouti,
2003) aspek Behavior-Based Conflict
disebabkan terbawanya sikap atau cara
memperlakukan diri pada anggota
keluarga dari kebiasaan, budaya dan
perilaku yang dihadapi di organisasi
lingkungan kerja ke lingkungan keluarga.
Hal ini akan berdampak pada dua sisi
kehidupan, yaitu kehidupan pribadi dan
kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan
karyawan yang akan mempengaruhi pada
kepuasan kerjanya.
Beberapa aspek di atas akan
saling berinteraksi, sehingga konflik
keluarga-pekerjaan pada anggota polwan
muncul. Jika hal di atas muncul maka
akan berdampak pada konflik keluarga-
pekerjaan yang tinggi, sebaliknya apabila
polwan hal diatas tidak muncul maka
konflik keluarga-pekerjaan rendah. Ketika
polwan mengalami konflik keluarga-
pekerjaan maka polwan akan berusaha
mengubah situasi yang dihadapinya atau
secara fisik akan meninggalkan pekerjaan,
misalnya saja tidak masuk kerja, datang
terlambat atau keluar dari pekerjaan.
Pekerjaan dirasakan sebagai kondisi yang
penuh tekanan dimana kondisi ini yang
akan mempengaruhi tingkat kepuasan
dalam pekerjaan. Sehingga tingkat konflik
keluarga-pekerjaan juga dapat
mempengaruhi tingkat kepuasan kerjanya
(Hammer & Thompso, dalam Amiriel,
2007).
Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Soeharto (2010) menjelaskan bahwa
pekerja yang mengalami konflik
pekerjaan-keluarga tinggi akan mengalami
ketidakpuasan terhadap pekerjaan
daripada pekerja yang mengalami konflik
pekerjaan-keluarga rendah, dan konflik
pekerjaan-keluarga akan lebih
mempengaruhi kepuasan kerja pada
wanita dari pada pria. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Amiriel dkk (2007) mengenai konflik kerja-
keluarga dengan kepuasan kerja pada
karyawati berperan jenis androgini, yang
menunjukan ada hubungan negatif antara
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
71
konflik kerja-keluarga dengan kepuasan
kerja.
Menurut Spector (dalam Luthan,
2005) imbalan/gaji, kesempatan untuk
maju, mutu pengawasan, pekerjaan itu
sendiri dan rekan kerja merupakan
komponen utama sebuah kepuasan kerja,
sehingga tinggi rendahnya konflik
pekerjaan-keluarga dapat dilihat dari
aspek-aspek tersebut.Konflik pekerjaan-
keluaga terhadap kepuasan kerja sedang
berarti bahwa peranan imbalan/gaji,
kesempatan untuk maju, mutu
pengawasan, pekerjaan itu sendiri dan
rekan kerja yang diperoleh di tempat kerja
masih kurang mendapatkan tanggapan
yang positif dari polisi wanita.
Hasil analisis korelasi
menginformasikan bobot sumbangan
variabel konflik pekerjaan-keluarga
anggota polwan Polres Kulon Progo
terhadap kepuasan kerja sebesar 9,5%.
Hal tersebut memberikan penjelasan
bahwa sumbangan variabel konflik
pekerjaan-keluarga cukup berpengaruh
terhadap kepuasan kerja. Sumbangan
konflik pekerjaan-keluarga terhadap
kepuasan kerja pada polwan sebesar
9,5% dan memberikan penjelasan bahwa
masih terdapat 90,5% faktor lain yang
turut mempengaruhi kepuasan kerja.
Menurut Spector(dalam Luthan, 2005)
menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat
diperoleh oleh lingkungan kerja,
Ketidakleluasaan dalam organisasi, beban
kerja, jenis kelamin, usia serta pendidikan.
Berdasarkan pembahasan diatas
mengenai hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan negatif
antara konflik pekerjaan-keluarga dengan
kepuasan kerja pada polisi wanita di
Polres Kulon Progo.Hal tersebut
menunjukan bahwa semakin tinggi konflik
pekerjaan-keluarga maka cenderung
semakin rendah kepuasan kerja pada
polisi wanita di Polres Kulon Progo,
sebaliknya semakin rendah konflik
pekerjaan-keluarga maka cenderung
semakin tinggi kepuasan kerja pada polisi
wanita di Polres Kulon Progo. Kepuasan
kerja tidak mutlak dipengaruhi oleh konflik
pekerjaan-keluarga karena masih ada
variabel lain yang mempengaruhi
kepuasan kerja.
Saran Berdasarkan hasil penelitian
disimpulkan bahwa ada hubungan negatif
antara konflik pekerjaan-keluarga dengan
kepuasan kerja pada polisi wanita.
Bertumpu pada kesimpulan hasil
penelitian, saran yangdiajukan:
1. Bagi anggota polisi wanita
Penelitian ini memperlihatkan
bahwa konflik keluarga-pekerjaan
mempunyai pengaruh dalam kepuasan
kerja, dan dari hasil penelitian didapat
bahwa masih ada subjek yang memiliki
tingkat kepuasan yang rendah.Diharapkan
bagi anggota polisi wanita agar mampu
menunjukan sikap positif terhadap
pekerjaannya, sehingga mampu bekerja
dengan baik serta merasa puas dengan
pekerjaannya.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
72
2. Bagi organisasi
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh informasi bahwa anggota
polwan Polres Kulon Progo Yogyakarta
merasakan kepuasan kerja yang
sedang.Hal tersebut dapat digunakan oleh
organisasi untuk meningkatkan kepuasan
kerja anggota Polri terutama polwan
supaya kepuasan kerja anggota yang
tinggi dengan mempertimbangkan konflik
keluarga-pekerjaan dengan memberikan
penyuluhan serta pelatihan mengenai
mengatasi dan membagi waktu untuk
bekerja dan mengurus rumah tangga.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Konflik keluarga-pekerjaan
memiliki sumbangan efektif sebesar 9,5%
terhadap kepuasan kerja dan 90,5%
dipengaruhi oleh variabel lain. Bagi
peneliti selanjutnya diharapkan
menggunakan variabel lainnya sebagai
variabel bebas yang mempengaruhi
kepuasan kerja pada polisi wanita, karena
masih banyak variabel lainya yang turut
berpengaruh antara lain lingkungan kerja,
Ketidakleluasaan dalam organisasi, stress
kerja, beban kerja, jenis kelamin, usia
serta pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Ammiriel, P.K.,Purwanto, .Y., & Yuwono,
S. (2007). Hubungan Work-Family
Conflict dengan Kepuasan Kerja
pada Karyawati berperan Jenis
Kelamin Androgini di PT. Tiga
Putera Abadi Perkasa Cabang
Purbalingga.Indigenous Jurnal
Ilmiah Berskala Psikologi. 9(2), 1-13.
Anoraga, P. (2005). Psikologi Kerja.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fratiwi, W. (2010). Work-Family Conclict
Ditinjau dari Tuntutan Pekerjaan
pada Perempuan Berperan Ganda
Di Kecamatan Bengkalis,
Kabupaten Bengkalis. Skripsi (tidak
diterbitkan). Yogyakarta :
Universitas Islam Indonesia.
Geurts, S. A. E., & Demerouti, E. (2003).
Work/non-work interface: Areview of
theories and findings. In M. J.
Schabracq, J. A. M. Winnubst, & C.
L. Cooper (Eds.), The handbook of
work and health psychology (pp.
279–312). New York: Wiley.
Gitoyo, Yohanes. (2012). Mengenal
Sejarah Polisi Wanita (Polwan) di
Indonesia. http://www.http://pustaka
digital indonesia. blogspot.
com/2012/09/ mengenal-sejarah-
polisi-wanita-polwan.html. (askes 27
September 2013 10.30 WIB).
Handayani, Astuti. (2007). Hubungan
antara Self Esteem dengan
Kepuasan Kerja pada Polisi. Skripsi
(tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Universitas Wangsa Manggala.
Helena. (2009). Hubungan antara Stres
Kerja dan work-family conflict
dengan Kepuasan Kerja pada Polisi
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
73
Wanita. Skripsi (tidak diterbitkan).
Jakarta: Universitas Indonesia.
Lathifah, I. (2008). Pengaruh Konflik
Pekerjaan Keluarga terhadap
Turnover Intentions dengan
Kepuasan Kerja sebagai Variabel
Intervening. Tesis (tidak
diterbitkan). Semarang: Fakultas
Psikologi, Universitas Diponegoro.
Luthan, F., (2005).Organizational
Behavior.Mc Graw-Hill Book Co-
Singapure, Singapura.
Munandar, A.S. (2010). Psikologi Industri
dan Organisasi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Pratama. (2009). Hubungan Konflik Kerja
Keluarga dengan Kepuasan Kerja
pada Wanita Bekerja. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Rini.J.F. (2002). Konsep Diri. http:/www.e-
psikologi.com/dewasa/160502.htm.
diakses melalui www.e-
Psikologi.com. Pada tanggal 14
Februari 2014.
Rivai & Mulyadi.(2010). Kepemimpinan
dan Perilaku Organisasi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Siagian,S.P (2000). Teori Pengembangan
Organisasi. Jakarta: Bumiaksara.
Soeharto T.N.E.D. (2010). Konflik
Pekerjaan-Keluarga dengan
Kepuasan Kerja: Metaanalisis.
Jurnal Psikologi.37(1), 189-194.
Sutanto. (2004). Buku Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI
di Lapangan. KNRI.
Undang-undang RI No. 2 Tahun 2002 dan
Peraturan Pemerintah RI Tahun
2010 tentang Kepolisian. (2010).
Bandung: Citra Umba
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
74
EVALUASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROFITABILITAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI
Rina Dwiarti, SE, M.Si Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Abstract This research has two objectives. The first objective is to analyze the impact of five
fundamental factors (current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, inventory turnover ratio, and total assets turnover ratio) to return on equity (ROE). The second one is to analyze whether the impact of five fundamental factor to ROE are consistent between 2010 and 2011. The sample was taken by using purposive sampling method. the taken sample consist of 43 firms.
The result of the partial test in 2010 indicates that the total assets turnover ratio has significant effect on ROE, but current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, and inventory turnover ratio do not. While, the result on simultaneous test indicates that the current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, inventory turnover ratio, and total assets turnover ratio were not significant effect on ROE.
The result of the partial test in 2011 also indicates that the total assets turnover ratio has significant effect on ROE, but current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, and inventory turnover ratio do not. While, the result on simultaneous test indicates that the current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, inventory turnover ratio, and total assets turnover ratio were significant effect on ROE.
The result on the chow test indicated that the effect of five fundamental factors on ROE are not significantly different between 2010 and 2011.
.
Keywords : return on equity , current ratio, debt to equity ratio, price earning ratio, inventory
turnover ratio, and total assets turnover ratio
PENDAHULUAN
Perusahaan dalam menjaga
kelangsungan hidup jangka panjang harus
mampu menghasilkan laba. Laba
perusahaan yang tinggi akan
meningkatkan kemungkinan
kesejahteraan yang tinggi bagi para
pemilik (pemegang saham), karena
besarnya deviden atau pengembalian
investasi untuk pemilik sangat tergantung
dari besarnya laba yang dicapai
perusahaan. Di sisi lain, laba perusahaan
yang tinggi juga akan meningkatkan
kemungkinan pertumbuhan usaha
perusahaan, karena meningkatnya atau
besarnya laba di tahan sebagai salah satu
sumber modal juga tergantung pada
besarnya laba yang dicapai perusahaan.
Hal ini menjadikan informasi mengenai
kemampuan perusahaan menghasilkan
laba menjadi sangat penting bagi banyak
fihak, antara lain pemegang saham dan
manajemen. Dalam analisis rasio
keuangan, profitabilitas merupakan rasio
keuangan yang digunakan untuk
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
75
mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Profitabilitas merupakan angka
rasio, sehingga lebih baik digunakan
menganalisis kemampuan menghasilkan
laba dibandingkan hanya menggunakan
angka laba secara langsung. Menurut
(Prastowo & Juliaty, 2002), rasio
keuangan mengungkapkan hubungan
matematik antara suatu jumlah dengan
jumlah lainnya atau perbandingan antara
satu pos dengan pos lainnya. Rasio
merupakan teknik analisis laporan
keuangan yang paling banyak digunakan.
Rasio merupakan alat analisis yang dapat
memberikan jalan keluar dan
menggambarkan simptom (gejala-gejala
yang tampak) suatu keadaan. Jika
diterjemahkan secara tepat, rasio
keuangan juga dapat menunjukan area-
area yang memerlukan penelitian dan
penanganan yang lebih mendalam.
Analisis rasio dapat menyingkap
hubungan dan sekaligus menjadi dasar
pembandingan yang menunjukan kondisi
atau kecenderungan yang tidak dapat
dideteksi bila kita hanya melihat
komponen-komponen ratio itu sendiri.
Pada penelitian ini profitabilitas
dapat diukur dengan return on equity.
Return on equity (ROE) adalah suatu
rasio yang digunakan untuk mengukur
besarnya tingkat pendapatan (income)
yang tersedia bagi para pemilik
perusahaan (baik pemegang saham biasa
maupun pemegang saham preferen) atas
modal yang mereka investasikan di dalam
perusahaan. Secara umum, semakin
tinggi rasio ini menunjukkan semakin
tingginya pula tingkat penghasilan yang
diperoleh para pemegang saham pemilik
perusahaan (www.ilmu-ekonomi.com).
Return on equity sebuah
perusahaan maupun kelompok
perusahaan mengalami perubahan
meningkat dan menurun, hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
baik internal maupun eksternal. Sehingga
menjadi penting untuk mempelajari faktor-
faktor yang mempengaruhi profitabilitas
(return on equity) pada suatu perusahaan
maupun kelompok perusahaan. Dalam
penelitian ini akan dilakukan identifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi return
on equity pada tahun 2010 dan 2011 pada
kelompok perusahaan yang bergerak di
bidang manufaktur, dan selanjutnya akan
membandingkan pengaruh dari faktor-
faktor tersebut terhadap return on equity
antara tahun 2010 dengan 2011,
sehingga akan diketahui apakah ada
kesamaan atau perbedaan pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap return on
equity antar kedua waktu pengamatan
tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan batasan permasalahan
sebagai berikut : 1) Variabel dependen
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah profitabilitas yang diukur dengan
return on equity. Dan variabel
independennya adalah adalah : current
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
76
ratio, debt to equity ratio, price earning
ratio, inventory turnover, dan total assets
turnover ratio, 2) Perusahaan-perusahaan
yang diteliti adalah perusahaan yang
masuk dalam industri manufaktur dan
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2010 -2011.
KAJIAN TEORI
A. Mengukur kinerja perusahaan menggunakan analisis rasio
Menurut Atmaja (2008), rasio
keuangan didesain untuk memperlihatkan
hubungan antara item-item pada laporan
keuangan (neraca dan laporan Rugi-
Laba). Rasio dapat digolongkan menjadi
lima golongan, yaitu sebagai berikut
(Atmaja, 2001) :
a. Leverage ratio : memperlihatkan
berapa hutang yang digunakan
perusahaan. Contoh : debt ratio
b. Liquidity ratio : mengukur kemampuan
perusahaan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban jatuh tempo.
Contoh : current ratio.
c. Efficiency atau turnover atau asset
management ratio : mengukur
seberapa efektif perusahaan
mengelola aktivanya. Contoh : Total
assets turnover ratio
d. Profitability ratio : mengukur
kemampuan perusahaan
menghasilkan laba. Contoh : return on
assets, return on equity, dan net profit
margin
e. Market-value ratio : memperlihatkan
bagaimana perusahaan dinilai oleh
investor di pasar modal. Contoh : Price
earning ratio
Analisis rasio keuangan pada
dasarnya dapat dilakukan dengan dua
macam cara pembandingan yaitu
(Riyanto, 2008) :
a. Membandingkan rasio sekarang
(present ratio) dengan rasio-rasio dari
waktu-waktu yang lalu (rasio historis)
atau dengan rasio-rasio yang
diperkirakan untuk waktu-waktu yang
akan datang dari perusahaan yang
sama.
b. Membandingkan rasio-rasio dari suatu
perusahaan dengan rasio-rasio
semacam dari perusahaan lain yang
sejenis atau rasio industri untuk waktu
yang sama.
Demikian juga menurut Atmaja
(2008), bahwa rasio keuangan yang
dihitung dari laporan keuangan
perusahaan pada satu tahun saja tidak
akan memberikan informasi yang
memadai. Untuk memperoleh informasi
yang lebih banyak, kita dapat
membandingkan rasio keuangan
perusahaan dengan rasio keuangan
industri (comparative analysis) dan
membandingkan rasio keuangan
perusahaan dari waktu ke waktu (trend
analysis). Pada penelitian ini akan
dilakukan dengan membandingkan kinerja
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
77
keuangan antara dua titik waktu pada
suatu industri atau kelompok perusahaan.
B. Profitabilitas
Profitabilitas adalah hasil bersih
dari serangkaian kebijakan dan
keputusan. Rasio profitabilitas adalah
ukuran untuk mengetahui seberapa jauh
efektivitas manajemen dalam mengelola
perusahaannya. Efektivitas manajemen
meliputi kegiatan fungsional manajemen,
seperti keuangan, pemasaran,
sumberdaya manusia, dan operasional.
sejalan dengan itu, rasio-rasio
profitabilitas itu akan menunjukkan hasil
akhir dan sejumlah kebijaksanaan dan
keputusan manajemen. Rasio profitabilitas
bertujuan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba, baik
dalam hubungannya dengan penjualan,
aset, maupun terhadap modal sendiri.
Dengan demikian, rasio profitabilitas akan
mengukur efektivitas manajemen secara
keseluruhan sebagaimana ditunjukkan
dalam keuntungan atau laba yang
diperoleh dari penjualan dan investasi
(www.ilmu-ekonomi.com).
Rasio profitabilitas digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba (Atmaja, 2001).
Sedangkan menurut Riyanto (2008) rasio
profitabilitas yaitu rasio-rasio yang
menunjukan hasil akhir dari sejumlah
kebijaksanaan dan keputusan-keputusan.
Dalam penelitian ini rasio profitabilitas
diukur dengan Return on equity. Return
on equity adalah perbandingan laba
setelah pajak dengan modal sendiri
(Atmaja, 2001). Adapun variabel-variabel
yang akan diteliti sebagai variabel bebas
yang diduga mempengaruhi return on
equity adalah :
1. current ratio, adalah kemampuan
untuk membayar hutang yang
harus segera dipenuhi dengan
aktiva lancar, adapun secara
matematis rumus untuk
menghitung current ratio adalah
(Riyanto,2008) :
current ratio = aktiva lancar
Hutang lancar
2. debt to equity ratio, adalah rasio
yang mencerminkan bagian dari
setiap rupiah modal sendiri yang
dijadikan jaminan untuk
keseluruhan hutang, adapun
secara matematis rumus untuk
menghitung debt to equity ratio
adalah (Riyanto,2008) :
debt to equity ratio
= hutang lancar +hutangjangka panjang jumlah modal sendiri
3. price earning ratio adalah rasio
yang mengambarkan rasio
perbandingan antara harga saham
terhadap earning perusahaan
(Tandelilin,2001). Secara
matematis rumus untuk
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
78
menghitung PER (price earning
ratio ) adalah :
PER =Harga per lembar saham Earnings per lembar saham
4. inventory turnover, adalah rasio
yang mengukur kemampuan dana
yang tertanam dalam inventory
berputar dalam suatu periode
tertentu atau likuiditas dari
inventory. Adapun secara
matematis rumus untuk
menghitung inventory turnover
ratio adalah (Riyanto,2008) :
inventory turnover
= Harga pokok penjualan inventory rata-rata
5. total assets turnover ratio, adalah
kemampuan dana yang tertanam
dalam keseluruhan aktiva berputar
dalam suatu periode tertentu atau
kemampuan modal yang
diinvestasikan untuk menghasilkan
revenue, adapun secara matematis
rumus untuk menghitung total
assets turnover ratio adalah
(Riyanto,2008) :
total assets turnover ratio
= penjualan netto jumlah aktiva
Profitabilitas perusahaan-
perusahaan manufaktur setiap waktu
mengalami perkembangan baik
dipengaruhi oleh faktor internal maupun
eksternal, dan dimungkinkan struktur dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya
mengalami perubahan antar waktu.
Berdasar hal ini maka dalam penelitian ini
hipotesisnya adalah :
1. Diduga current ratio, debt to equity
ratio, price earning ratio, inventory
turnover, dan total assets turnover
ratio mempengaruhi return on
equty secara signifikan pada
perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI pada tahun 2010.
2. Diduga current ratio, debt to equity
ratio, price earning ratio, inventory
turnover, dan total assets turnover
ratio mempengaruhi return on
equty secara signifikan pada
perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI pada tahun 2011.
3. Diduga terdapat perbedaan yang
signifikan pengaruh dari faktor-
faktor yang diteliti yaitu : current
ratio, debt to equity ratio, price
earning ratio, inventory turnover,
dan total assets turnover ratio
terhadap return on equity antara
tahun 2010 dengan tahun 2011 ?
METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah perusahaan-perusahaan yang
termasuk dalam industri manufaktur dan
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Pemilihan sampel pada penelitian
ini dengan menggunakan metode
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
79
purposive sampling, dengan kriteria yang
digunakan sebagai berikut :
a. Perusahaan termasuk dalam
industri manufaktur dan terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada
periode 2010-2011
b. Laporan keuangan perusahaan
tersedia lengkap pada dua tahun
pengamatan tersebut.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini
diperoleh dari Indonesian Capital Market
Directory serta sumber-sumber lain yang
mendukung. Dalam penelitian ini jenis
data yang digunakan adalah data
sekunder, dan data yang digunakan
adalah laporan keuangan tahunan
perusahaan-perusahaan dalam industri
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Penelitian ini menggunakan variabel
dependen dan variabel independen
sebagai berikut :
a. Variabel dependen adalah profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba
(Atmaja, 2001). Dalam penelitian ini
akan diukur dengan Return on equity.
Return on equity adalah kemampuan
perusahaan dalam menghasilan laba
dibandingkan dengan modal sendiri
yang digunakan
Rumus return on equity = Earning
after tax/modal sendiri
b.Variabel independen
pada penelitian ini variabel
independennya terdiri atas :
1. Current ratio adalah kemampuan
aktiva lancar membayar hutang lancar
Rumus current ratio = aktiva
lancar/hutang lancar.
2. Debt to equity ratio adalah
proporsi total hutang pada total
modal sendiri.
Rumus debt to equity ratio = total
hutang/total modal sendiri
3. Price earning ratio adalah
perbandingan antara harga saham
terhadap earning perusahaan
(Tandelilin,2001). Secara
matematis rumus untuk
menghitung PER (price earning
ratio ) adalah : Harga per lembar
saham/Earning per lembar saham
4. Total assets turnover ratio adalah
perputaran total aktiva dalam satu
periode.
Rumus total assets turnover ratio =
penjualan/ jumlah aktiva
5. Inventory turnover adalah
perputaran inventory dalam satu
periode.
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
80
Rumus total inventory turnover ratio
= penjualan/ jumlah inventory
D. Alat analisis
Penelitian ini menggunakan teknik
stastistik, meliputi :
a. Persamaan regresi
Data kinerja keuangan
perusahaan-perusahaan
manufaktur dianalisis dengan
persamaan regresi cross-sectional.
Dalam penelitian ini dilakukan uji T
dan Uji F. Uji T digunakan untuk
mengetahui apakah secara parsial
variabel dependen dipengaruhi
atau tidak oleh variabel
independen. Uji F dimaksudkan
untuk mengetahui secara serentak
apakah variabel independen
mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.
Analisis akan dilengkapi dengan
membahas koefisien determinasi
yang digunakan untuk mengetahui
besarnya pengaruh variabel
independen terhadap variabel
dependen secara bersama-sama.
Pengujian hipotesis dilakukan
setelah model regresi bebas dari
gejala-gejala asumsi klasik
(autokorelasi, multikolinearitas dan
heteroskedastisitas).
b. Uji Chow
Menurut Ghozali (2001), Uji Chow
bertujuan untuk menguji apakah
terdapat stabilitas struktural (test of
structural stability). Untuk
penelitian ini, uji chow digunakan
untuk menguji apakah terdapat
stabilitas struktural pada
persamaan regresi dua periode
yang berbeda tersebut. Stabilitas
disini berarti tidak terdapat
perbedaan koefisien faktor-faktor
keuangan yang mempengaruhi
profitabilitas pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia untuk tahun 2010
dan 2011.
HASIL ANALISIS DATA
A. Pengujian hipotesis pertama
Analisis regresi berganda
dilakukan setelah mendapatkan hasil olah
data bahwa model regresi dengan data
tahun 2010 bebas dari gejala-gejala
asumsi klasik. Analisis regresi berganda
digunakan untuk menguji apakah secara
statistik masing-masing variabel
independen yaitu current ratio, debt to
equity ratio, price earning ratio, inventory
turnover, dan total assets turnover ratio
berpengaruh terhadap variabel dependen
(return on equity). Hasil uji regresi linier
berganda tahun 2010 dapat disajikan
pada tabel di bawah ini :
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
81
Tabel 1 : Hasil Uji Regresi Linier Berganda tahun 2010
Variabel Koefisien Regresi Thitung Signifikansi
current ratio -1,845 -0,963 0,342
debt to equity ratio -2,488 -0,775 0,443
Inventory turnover ratio -0,656 -0,699 0,489
total assets turnover ratio 13,236 2,444 0,019
price earning ratio -0,032 -0,258 0,798
Konstanta 17,115
Adjusted R2 0,065
Fhitung 1,586
Signifikansi F 0,188
Variabel Dependen : Return on equity Sumber : Data diolah
Analisis koefisien regresi
menunjukkan bahwa pada tahun 2010
terdapat empat variabel yang
berpengaruh negatif terhadap return on
equity yaitu : current ratio, debt to equity
ratio , inventory turnover¸ dan price
earning ratio. Sedangkan untuk variabel
total assets turnover ratio memiliki
pengaruh positif terhadap return on equity.
Adapun hasil uji t pada tabel
diatas menunjukkan bahwa :
1. current ratio tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap return
on equity. Hal ini ditunjukkan dari
nilai signifikasi dari t hitung current
ratio yaitu sebesar 0,342 adalah
lebih besar dari α (0,05)
2. debt to equity ratio tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung debt to equity ratio yaitu
sebesar 0,443 adalah lebih besar
dari α (0,05),
3. inventory turnover tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung inventory turnover yaitu
sebesar 0,489 adalah lebih besar
dari α (0,05),
4. total assets turnover ratio
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung total assets turnover ratio
yaitu sebesar 0,019 adalah lebih
kecil dari α (0,05).
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
82
5. Dan price earning ratio tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal
ini ditunjukkan dari nilai
signifikasi dari t hitung price
earning ratio yaitu sebesar
0,798 adalah lebih besar dari α
(0,05)
Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel :
current ratio, debt to equity ratio, inventory
turnover dan price earning ratio secara
parsial tidak berpengaruh signifikan
terhadap return on equity. Adapun
variabel total assets turnover ratio
menunjukkan memiliki pengaruh
signifikan terhadap return on equity.
Hasil F-test pada tahun 2010
menunjukan bahwa kelima variabel
secara serentak tidak berpengaruh
signifikan terhadap return on equity. Hal
ini ditunjukkan dari nilai signifikasi dari F
hitung yaitu sebesar 0,188 adalah lebih
besar dari α (0,05). Dan berdasarkan
koefisien determinasi kelima variabel
tersebut menunjukan hanya mampu
menjelaskan variabel return on equity
sebesar 6,5 %, sedang 93,5% dijelaskan
oleh variabel lainnya.
B. pengujian hipotesis kedua
Analisis regresi berganda
dilakukan setelah mendapatkan hasil olah
data bahwa model regresi dengan data
tahun 2011 bebas dari gejala-gejala
asumsi klasik. Hasil uji regresi linier
berganda dengan menggunakan data
tahun 2011 dapat disajikan pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2 : Hasil Uji Regresi Linier Berganda tahun 2011
Variabel Koefisien Regresi Thitung Signifikansi
current ratio 0,281 0,100 0,921
debt to equity ratio 3,489 1,019 0,315
Inventory turnover ratio 0,483 0,528 0,600
total assets turnover ratio 20,666 3,777 0,001
price earning ratio -0,064 -1,179 0,246
Konstanta -9,172
Adjusted R2 0,309
Fhitung 4,762
Signifikansi F 0,002
Variabel Dependen : Return on equity Sumber : Data diolah
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
83
Analisis koefisien regresi
menunjukkan bahwa pada tahun 2011
terdapat empat variabel yang
berpengaruh positif terhadap return on
equity yaitu : current ratio, debt to equity
ratio, inventory turnover dan total assets
turnover ratio. Dan hanya price earning
ratio yang berpengaruh negatif terhadap
return on equity.
Adapun hasil uji t pada tabel
diatas menunjukkan bahwa :
1. current ratio tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap return
on equity. Hal ini ditunjukkan dari
nilai signifikasi dari t hitung current
ratio yaitu sebesar 0,921 adalah
lebih besar dari α (0,05)
2. debt to equity ratio tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung debt to equity ratio yaitu
sebesar 0,315 adalah lebih besar
dari α (0,05),
3. inventory turnover tidak
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung inventory turnover yaitu
sebesar 0,600 adalah lebih besar
dari α (0,05),
4. total assets turnover ratio
berpengaruh secara signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari
t hitung total assets turnover ratio
yaitu sebesar 0,001 adalah lebih
kecil dari α (0,05).
5. Dan variabel price earning ratio
tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap return on
equity. Hal ini ditunjukkan dari nilai
signifikasi dari t hitung price
earning ratio yaitu sebesar 0,246
adalah lebih besar dari α (0,05)
Jadi secara parsial hanya variabel total
assets turnover ratio yang berpengaruh
signifikan terhadap return on equity,
sedangkan variabel lainnya current ratio,
debt to equity ratio, inventory turnover
dan price earning ratio tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap return on
equity.
Hasil F-test pada tahun 2011
menunjukan bahwa kelima variabel
secara serentak berpengaruh signifikan
terhadap return on equity. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikasi dari F
hitung yaitu sebesar 0,002 adalah lebih
kecil dari α (0,05). Kelima variabel tersebut
mampu menjelaskan return on equity
sebesar 30,9 %, sedang 69,1% dijelaskan
oleh variabel lainnya.
c. Pengujian hipotesis ketiga Pengujian hipotesis ketiga
dilakukan dengan Uji Chow. Uji Chow ini
bertujuan untuk menguji apakah terdapat
stabilitas struktural pada persamaan
regresi dua tahun yang berbeda tersebut
(tahun 2010 dengan tahun 2011).
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
84
Stabilitas disini berarti tidak terdapat
perbedaan koefisien variabel-variabel
yang mempengaruhi return on equity.
Perhitungan uji Chow menunjukan hasil
bahwa persamaan regresi dengan return
on equity sebagai variabel dependen,
diperoleh nilai F hitung sebesar 0,87,
sedang nilai F tabel adalah 2,45 pada α
sebesar 5%, sehingga Ho diterima karena
F hitung lebih kecil dari F tabel. Hal ini
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada struktural
persamaan regresi antara tahun 2010
dengan tahun 2011, atau tidak terdapat
perbedaan pengaruh dari faktor-faktor
yang diteliti yaitu : current ratio, debt to
equity ratio, price earning ratio, inventory
turnover, dan total assets turnover ratio
terhadap return on equity antara tahun
2010 dengan tahun 2011.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pada tahun 2010 secara parsial
variabel total assets turnover ratio
berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap return on
equity, sedangkan empat variabel
lainnya yang yaitu : current ratio,
debt to equity ratio, inventory
turnover, dan price earning ratio
tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap return on
equity. Dan secara simultan
kelima variabel tidak berpengaruh
signifikan terhadap return on
equity. Kelima variabel tersebut
juga hanya mampu menjelaskan
return on equity sebesar 6,5 %,
sedang 93,5% dijelaskan oleh
variabel lainnya.
2. Pada tahun 2011 secara parsial
variabel total assets turnover ratio
berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap return on
equity, sedangkan empat variabel
lainnya yang yaitu : current ratio,
debt to equity ratio, inventory
turnover, dan price earning ratio
tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap return on
equity. Adapun secara simultan,
kelima variabel berpengaruh
signifikan terhadap return on
equity. Kelima variabel tersebut
mampu menjelaskan return on
equity sebesar 30,9 %, sedang
69,1% dijelaskan oleh variabel
lainnya
3. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada struktural
persamaan regresi antara tahun
2010 dengan tahun 2011, atau
tidak terdapat perbedaan pengaruh
yang signifikan dari faktor-faktor
yang diteliti yaitu : current ratio,
debt to equity ratio, price earning
ratio, inventory turnover, dan total
assets turnover ratio terhadap
return on equity antara tahun 2010
dengan tahun 2011
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
85
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, L. Setia, 2001, “Manajemen
Keuangan”, Edisi kedua, Andi
Offset Yogyakarta
Brigham & Gapenski, 2001,” Intermediate
Financial Management”, 7th
Edition, Dryden Press Hacourt
Brance College Publishers.
Cooper,Donald,R., and Schindler,
Pamela,S.,2001, “Bussiness
Research Method”, 7th Edition,
Mcgraw-Hill International
Editions.
Gujarati, Damodar, 1999, “Ekonometrika
Dasar”, Erlangga. Jakarta
Ghozali, Iman, 2001. “Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program
SPSS”, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
Semarang, Semarang
Husnan, Suad, 1998, “Manajemen
Keuangan : Teori dan
Penerapan”, Edisi 4, BPFE-UGM
Yogyakarta, Yogyakarta
Kuncoro, Mudrajad, 2001, “Metode
Kuantitatif : Teori dan Aplikasi
untuk Bisnis dan Ekonomi”, Edisi
Pertama, UPP AMP YKPN,
Yogyakarta.
Riyanto, Bambang, 2008,” Dasar-dasar
Pembelanjaan Perusahaan”,
Edisi keempat cetakan
kedelapan, BPFE-UGM
Yogyakarta , Yogyakarta
Prastowo, Dwi, & Juliaty, 2002, ”Analisis
Laporan Keuangan”, UPP AMP
YKPN, Yogyakarta
www.ilmu-ekonomi.com/profitabitas
perusahaan/6 mei 2012
Jurnal Sosio Humaniora Vol. 4 No 5., Mei 2013 ISSN : 2087-1899
86
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Naskah yang diterima merupakan
hasil penelitian, naskah ditulis dalam
bahasa Indonesia, diketik dengan
computer program MS. Word, front Arial
size 11. Jarak antar baris 2 spasi
maksimal 15 halaman termasuk garfik,
gambar dan tabel. Naskah diserahkan
dalam bentuk print-out dan CD; dibuat
dengan jarak tepi cukup untuk koreksi.
Gambar (gambar garis maupun
foto) dan tabel diberi nomor urut sesuai
dengan letaknya. Masing-masing diberi
keterangan singkat dengan nomor urut
dan dituliskan diluar bidang gambar yang
akan dicetak.
Nama ilmiah dicetak miring atau
diberi garis bawah. Rumus persamaan
ilmu pasti, simbol dan lambang semiotik
ditulis dengan jelas.
Susunan urutan naskah ditulis
sebagai berikut :
1. Judul dalam bahasa Indonesia.
2. Nama penulis tanpa gelar diikuti
alamat instansi.
3. Abstract dalam bahasa Inggris,
tidak lebih 250 kata.
4. Materi dan Metode.
5. Hasil dan Pembahasan.
6. Kesimpulan.
7. Ucapan terima kasih kalau ada.
8. Daftar pustaka ditulis
menggunakan sistem nama, tahun
dan disusun secara abjad
Beberapa contoh :
Buku : Mayer, A.M. and A.P. Mayber. 1989. The
Germation of Seeds. Pergamon
Press. 270 p.
Artikel dalam buku : Abdulbaki, A.A. And J.D. Anderson. 1972.
Physiological and Biochemical
Deteration of Seeds. P. 283-309. In.
T.T.Kozlowski (Ed) Seed Biology
Vol. 3. Acad. Press. New York.
Artikel dalam majalah atau jurnal : Harrison, S.K., C.S. Wiliams, and L.M.
Wax. 1985. Interference and Control
of Giant Foxtail (Setaria faberi,
Herrm) in Soybean (Glicine max).
Weed Science 33: 203-208.
Prosiding : Kobayasshi,J. Genetic engineering of
Insect Viruses: Recobinant
baculoviruses. P. 37-39. in: Triharso,
S. Somowiyarjo, K.H. Nitimulyo, and
B. Sarjono (eds.), Biotechnology for
Agricultural Viruses. Mada University
Press. Yogyakarta.
Redaksi berhak menyusun naskah
agar sesuai dengan peraturan pemuatan
naskah atau mengembalikanya untuk
diperbaiki, atau menolak naskah yang
bersangkutan.
Naskah yang dimuat dikenakan
biaya percetakan sebesar Rp 100.000,-
dan penulis menerima 1 eks hasil cetakan