jurnal RS
-
Upload
alif-hastriananda -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of jurnal RS
![Page 1: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/1.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 1/14
BAB I
I. JUDUL JURNAL
Judul jurnal penelitian adalah mengenai “Prevalensi dan Gejala
Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma”.
II. PENELITI
Jurnal penelitian ini telah diteliti oleh Puji Astuti, Faisal Yunus,
Budhi Antariksa, Ratnawati.
III.TEMPAT PENELITIANPenelitian ini diadakan di Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
IV.TAHUN PENELITIAN
Jurnal penelitian “Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep
Apnea (OSA) pada Pasien Asma” ini baru resmi dan di terima pada
bulan Juli 2011.
V. TAHUN PUBLIKASI
Jurnal “Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea
(OSA) pada Pasien Asma” diteliti oleh Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi
Antariksa, Ratnawati dipublikasikan pada bulan Juli 2011.
VI.LATAR BELAKANG
Penelitian observasional pada penyakit respirasi menunjukkan
penurunan qualitas tidur pasien asma yang mungkin disebabkan oleh
gejala malam asma. Diperkirakan bahwa OSA berkaitan dengan
hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma. Pada
penelitian observasional ini semua pasien asma yang datang ke
poliklinik asma RS Persahabatan antara Mei 2009 sampai Febuari 2010
dan bersedia mengikuti penelitian dilakukan pemeriksaan spirometri
dan uji provokasi bronkus (larutan NaCl 4,5%). Evaluasi OSA dilakukan
dengan kuesioner Berlin dan polisomnografi. Pemeriksaan laringoskopi
dilakukan untuk mengevaluasi kelainan anatomis sebagai faktor
risiko/komorbid OSA. Diagnosis OSA didapatkan pada 20 dari 101
subjek (19,8%) dengan kuesioner Berlin dan 9,8% dengan
polisomnografi. Gejala OSA yang terbanyak ditemukan adalah
mendengkur diikuti kelelahan saat bangun tidur dan mengantuk di
siang hari. Dibandingkan non-OSA, pasien OSA memiliki IMT yang lebih
1
![Page 2: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/2.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 2/14
tinggi (28,54kg/m2 vs 21,48kg/m2; p<0,05), lingkar leher lebih (37,90
cm vs 33,6 cm; p=0,01 OR=2,8 IK= 1,28-6,01), penurunan VEP1
(56,70%pred vs 59,51%pred). Pada pasien asma dengan komorbid OSA
terdapat 18 subjek (90%) yang memiliki kelainan anatomis seperti
deviasi septum, sinusitis, adenoid, hipertrofi konka, dan uvula panjang.Disimpulkan bahwa prevalensi OSA pada pasien asma lebih tinggi
daripada populasi umum. Risiko OSA berhubungan dengan indeks
massa tubuh dan lingkar leher. Gejala utama OSA adalah mendengkur.
VII. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah penelitian
observasional pada penyakit respirasi menunjukkan penurunan
qualitas tidur pasien asma yang mungkin disebabkan oleh gejala
malam asma. Diperkirakan bahwa OSA berkaitan dengan
hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma.
2
![Page 3: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/3.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 3/14
BAB II
I. HASIL PENELITIAN
Karakteristik Umum Pasien
Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1
sedangkan hasil pemeriksaan pada tabel 2. Sebanyak 21 subjek
(20,8%) memiliki rinitis alergi dan empat subjek (3,9%) memiliki GERD
sebagai komorbid asma. Berdasarkan anamnesis dan wawancara
dengan pasien serta pasangannya didapatkan dua pasien (1,98%)
dengan keluhan gangguan seksual. Penelitian ini juga mendapatkan
keluhan mendengkur pada 28 pasien (27,7%) pasien asma.
Pada 101 pasien asma yang diberikan kuesioner Berlin, 20
pasien (19,8%) mempunyai risiko OSA. Berdasarkan polisomnografi
pasien asma yang mempunyai OSA nilai AHI 5 atau lebih berjumlah 10
3
![Page 4: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/4.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 4/14
![Page 5: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/5.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 5/14
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko OSA
Berdasarkan IMT, pasien yang mempunyai faktor risiko OSA
paling banyak adalah kelompok berat badan lebih (overweight)sebanyak senbilan pasien (45,0%). Pasien yang tidak mempunyai
faktor risiko OSA paling banyak pada kelompok berat badan normal
(normoweight) yaitu 54 pasien (66,7%). Faktor risiko lain yang
mempengaruhi OSA yaitu VEP1. Pasien yang mempunyai risiko OSA
memiliki rerata 57,2% prediksi sedangkan pada penelitian yang tidak
mempunyai OSA nilainya lebih tinggi yaitu 59,5% rerta. Lingkar leher
pada pasien yang mempunyai risiko OSA adalah
37,9 cm sedangkan pada pasien yang tidak mempunyai OSA 33,6 cm.
Penderita hipertensi berjumlah tiga (15,8%) pada pasien yang
mempunyai risiko OSA sedangkan yang tidak mempunyai risiko OSA 14(17,3%) pasien. Pada faktor risiko yang bermakna secara statistik,
dilakukan uji lebih lanjut untuk melihat kemaknaan. Diantara berat
badan, IMT, lingkar leher dan rinitis sebagai factor komorbid maka
lingkar leher (OR 2,8 CI 1,28-6,01) dan rhinitis (OR 74,73 CI 8,72-642,5)
yang secara signifikan dan konstan sebagai faktor risiko OSA.
Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok (THT) pada Pasien yang
Mempunyai Risiko OSA
Dari hasil pemeriksaan laringoskop yang dilakukan oleh dokter
spesialis THT, pada pasien yang mempunyai risiko OSA didapatkan 18
pasien (90%) mempunyai rinitis dan 18 pasien (90%) juga dengan
mempunyai kelainan anatomi. Beberapa kelainan anatomi yang paling
sering didapatkan pada pemeriksaan laringoskop yaitu deviasi septum,
adenoid, hipertrofi konka dan uvula yang panjang.
5
![Page 6: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/6.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 6/14
Hubungan Antara Derajat Inflamasi dan Derajat OSA
Pada pasien yang mempunyai risiko OSA dilakukan analisis
untuk mencari hubungan antara derajat OSA dengan nilai VEP1 dan uji
provokasi bronkus. Uji provokasi bronkus ini dianggap menggambarkan
derajat inflamasi pada pasien asma yang mempunyai risiko OSA. Pada
penelitian ini secara statistik tidak didapatkan hubungan yang
signifikan antara derajat OSA dengan derajat inflamasi (diwakili uji
provokasi bronkus). Hubungan antara derajat OSA dengan nilai VEP1
pada pasien yang mempunyai risiko OSA secara statistik juga tidak
bermakna.
II. KELEBIHAN PENELITIAN
Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menjelaskan dengan
detail tentang factor, penyebab, dan penjelasan secara lengkap
tentang “Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA)
pada Pasien Asma”. Jadi kita dapat mengetahui dan dapat memahami
lebih mudah tentang bahaya dari Prevalensi dan Gejala Klinis
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma.
III. KEKURANGAN PENELITIAN
Kekurangan pada penelitian ini adalah adanya penilaian bentuk
tabel, dan analisis yang kurang lengkap dalam Prevalensi dan Gejala
Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma dari keparahan
dan luasnya masalahnya dari tanda dan gejala penyakit tersebut.
IV.PEMBAHASAN
Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting
dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara di seluruh dunia. Prevalensi asma bervariasi di setiap
negara dan cenderung meningkat pada negara berkembang. Penyakit
ini dapat timbul pada semua usia terutama pada usia muda dan tidak
tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Asma menduduki urutan ke-
5 dari 10 penyebab kesakitan di Indonesia bersama bronkhitis kronik
dan emfisema menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986.
Data SKRT 1992 menunjukkan asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia (5,6%). Prevalensi asma
di seluruh Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 13/1000. Proyek
Pneumobile Indonesia dan Respiratory Symptoms Questionnaire of
6
![Page 7: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/7.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 7/14
Institute of Respiratory Medicine New South Wales tahun 1993
mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7% yang terdiri dari laki-laki
9,2% dan perempuan 6,6%.
Banyak pasien asma merasakan gejala pada malam hari dan
kualitas tidur yang menurun. Beberapa penelitian pada populasi umummenemukan bahwa pasien asma mempunyai penu-runan kualitas tidur
dibanding bukan asma, sedangkan kejadian mengantuk pada siang
hari meningkat. Bergeron et. al. dalam Jonson C et al mengemukakan
bahwa inflamasi jalan napas dan sistemik menyebabkan mengantuk
pada siang hari dan berhubungan dengan obstructive sleep apnea
(OSA). Gejala malam dan penurunan fungsi paru merupakan bagian
dari gejala klinis asma. Hampir 75% pasien asma terbangun akibat
gejala malam paling sedikit satu kali perminggu dan 40%
merasakan gejala malam tiap hari. Penelitian juga menun-jukkan
bahwa gejala malam seperti batuk dan sesak, serta keterbatasan aliranudara dan hiperesponsif jalan napas dipengaruhi variasi sirkadian dari
inflamasi dan fisiologi jalan napas. Peningkatan obstruksi jalan napas
merupakan hal yang mendasari perkembangan gejala malam. Hal itu
terlihat lebih jelas pada pasien asma yang mempunyai gejala malam
berat dan terbukti pada penurunan fungsi paru yang berat.
Gangguan napas saat tidur menggambarkan abnormalitas
respirasi selama tidur berupa keluhan dengkuran ringan sampai OSA
yang mengancam jiwa. Karakteristiknya adalah obstruksi jalan napas
yang menyebabkan episode hipoksia arteri berulang dan arousal
sebagai hasil peningkatan upaya respirasi. Kejadian OSA umumnyaterdapat pada usia dewasa sekitar 40-50 tahun, walaupun terkadang
dapat terjadi pada anak-anak dan remaja. Prevalensi OSA pada
beberapa penelitian adalah 1-4% populasi umum. Pada pasien OSA
dengan kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea,hipopnea
dan penurunan saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan
yang tidak mendengkur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi OSA pada pasien asma intermiten sampai persisten berat
yang dating berkunjung ke RS Persahabatan dengan menggunakan
kuesioner Berlin yang dilanjutkan dengan pemeriksaan polisomnografi,
mengetahui gejala OSA pada pasien asma berdasarkan kuesionerBerlin, mendapatkan gambaran gejala klinis OSA dengan kuesioner
Berlin, mengetahui faktor risiko OSA dengan kuesioner Berlin, dan
mengetahui apakah ada hubungan nilai VEP1 dan derajat inflamasi
dibandingkan dengan derajat OSA.
Metode
Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di
Rumah Sakit Persahabatan dan Laboratorium Gangguan Tidur Rumah
Sakit Persahabatan bulan Mei 2009 - September 2010. Kriteria
penerimaan adalah laki-laki atau perempuan berusia lebih dari 17
7
![Page 8: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/8.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 8/14
tahun, memiliki asma intermiten sampai persisten berat, setuju
mengikuti penelitian, menjalani uji provokasi bronkus, pemeriksaan
laringoskopi dan pemeriksaan polisomnografi bila kuesioner Berlin
positif. Kriteria penolakan adalah apabila pasien mengalami sesak
akibat penyakit lain selain asma (PPOK, SOPT), memiliki penyakit parulain atau pernah menjalani torakotomi, atau sedang hamil. Rekrutmen
subjek penelitian dilakukan secara konsekutif sampai jumlah subjek
terpenuhi. Derajat kepercayaan yang diinginkan pada penelitian ini
sebesar 95% (1,96) dengan presisi 10%. Berdasarkan perhitungan
didapatkan jumlah n minimal sebesar 92. Perkiraan drop out adalah
10% atau 9 subjek sehingga besar sampel yang diperlukan 101 subjek.
Data numerik setiap variabel dihitung nilai rata-rata dan standar
deviasi (simpang baku).Analisis data bivariat diuji dengan chi-square
namun bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji Fisher.
Mann-Whitney. Seluruh subjek menjalani anamnesis,pemeriksaan fisik, foto rontgen toraks, dan pemeriksaan faal paru
(spirometri) dengan MIR-SPIROLAB II. Pasien yang memenuhi kriteria
diberi penjelasan tujuan penelitian serta rencana penelitian secara
keseluruhan. Bila pasien bersedia menjadi subjek penelitian,
melakukan uji provokasi bronkus, dan pemeriksaan polisomnografi,
serta mempunyai risiko OSA (berdasarkan kuesioner Berlin), maka
diminta pernyataan secara tertulis. Selanjutnya subjek dikonsulkan ke
bagian THT untuk melihat kelainan anatomi sebagai komorbid asma
dan faktor risiko OSA. Pada subjek juga dilakukan uji provokasi bronkus
dengan larutan garam hipertonik 4,5%, dan pemeriksaanpolisomnografi menggunakan folismnografi Weinnman di Laboratorium
Tidur RS Persahabatan selama minimal 6 jam.
Diskusi
Penelitian dilakukan terhadap 101 pasien asma yang berkunjung
ke RS Persahabatan pada bulan Mei 2009 sampai dengan September
2010. Pasien diberikan Kuesioner Berlin yang sudah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia sehingga mudah dipahami serta
menggunakan istilah medis yang mudah dimengerti. Kuesioner ini
mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan positive predictive value yangbaik. Penelitian di Amerika dan Eropa mendapatkan sensitivitas 0,86;
spesifisitas 0,77; positive predictive value 0,89 dan likelihood ratio
3,79.6 Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama terdapat
pertanyaan apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa
sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Pada bagian kedua
ditanyakan tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasa
lelah dan pernahkah tertidur di kendaraan. Bagian ketiga ditanyakan
tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur dan jenis
kelamin yang dikalkulasikan menjadi IMT. Dikatakan positif yaitu
mempunyai risiko OSA bila mempunyai nilai 2 atau lebih.
8
![Page 9: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/9.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 9/14
Prevalensi OSA
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi OSA berdasarkan
Kuesioner Berlin sebesar 19,8% sedangkan berdasarkan polisomnografi
yang merupakan standar emas, pemeriksaan OSA (nilai AHI >5) adalah9,9%. Berdasarkan kuesioner Berlin ditemukan prevalensi pasien asma
perempuan yang mempunyai OSA 8,9% sedangkan berdasarkan
polisomnonografi 4,0%. Prevalensi pasien asma laki-laki yang
mempunyai OSA berdasarkan kuesioner Berlin 10,9% dan 5,9%
berdasarkan polisomnografi. Prevalensi ini lebih tinggi dari populasi
umum yang mempunyai prevalensi perempuan 2% dan laki-laki 4%.5
Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki tetapi ternyata laki-laki mempunyai prevalensi
lebih tinggi di-banding perempuan. Penelitian yang dilakukan Aucley et
al. di klinik asma MetroHealth Medical Center di Cleveland menemukanprevalensi asma berdasarkan kuesioner Berlin yaitu 39,5%, lebih tinggi
dibanding populasi umum.6 Penelitian yang dilakukan oleh Lucy et al
dikutip dari Teodoreslu M et al. pada 516 anak laki-laki dan 458 anak
perempuan yang terdiri dari pasien asma maupun bukan asma. Pada
penelitian ini menndapatkan prevalensi mendengkur yang merupakan
gejala OSA sebanyak 10,5% dan didapatkan hubungan yang signifikan
antara mendengkur, batuk pada malam hari yang meningkat pada
pasien asma dibanding bukan asma. Penelitian Mary et al.22,23 yang
melibatkan Tucson Epidemiologic Study of Obstructive Airway Disease
mendapatkan 41,4% gangguan tidur (mengantuk pada siang hari) dangejala ini berhubungan serta merupakan bagian dari bronkitis kronik
dan asma. Prevalensi ini bervariasi pada tiap penelitian dan negara
karena tidak tersedia dan mahalnya biaya polisomnografi. Berbagai
parameter seperti Kuesioner Berlin, Epsworth Sleepiness Scale (ESS)
dipakai sebagai parameter diagnosis. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Young et al.29 yang melibatkan
Wisconsin Cohort Study dimana prevalensi OSA (index AHI >5) pada
laki-laki 24% sedangkan pada perempuan lebih rendah yaitu 9%.
Penelitian ini juga sesuai dengan kepustakaan bahwa laki-laki
mempunyai kecenderungan mendengkur (yang merupakan gejalaOSA) lebih tinggi dibanding perempuan karena faktor hormonal.
Penelitian lain di Pennsylvania yang melibatkan 1745 subjek dengan
melakukan pemeriksaan polisomnografi didapatkan prevalensi OSA
pada laki-laki lebih tinggi yaitu 17% sedangkan pada perempuan hanya
7%.6 Penelitian kohort dengan pemeriksaan polisomnografi oleh Duran
et al. dalam Pack AI.24 di Spanyol pada 400 orang dengan AHI <15
ditemukan prevalensi OSA pada laki-laki 14% sedangkan perempuan
juga lebih rendah yaitu 7%, Walaupun jumlah awal subjek lebih banyak
perempuan.
9
![Page 10: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/10.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 10/14
Gejala OSA
Penelitian Aucley et al.6 di Poliklinik Asma dan Poliklinik Penyakit
Dalam MetroHealth Medical Center dengan kuesioner Berlin
mendapatkan pada pasien asma ditemukan gejala mendengkur 18,5%,
gejala kelelahan dan mengantuk pada siang hari yang digabungmenjadi satu 46,1%, dan terlihat tidak bernapas pada saat tidur 11,8%.
Penelitian yang dilakukan oleh Hoffstein pada 625 pasien yang
dilakukan polisomnografi menyimpulkan bahwa mendengkur
berhubungan dengan OSA karena mendengkur berhubungan dengan
penurunan saturasi oksigen pada malam hari yang diperlihatkan pada
pemeriksaan polisomnografi. Pasien asma sering mengeluhkan gejala
mengantuk pada siang hari yang merupakan akibat langsung dari
asma pada kualitas tidur malam hari. Gejala ini juga merupakan gejala
OSA. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapat pada penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Teodorescu dkk. pada 115 pasien asmadengan kuesioner ESS dan Sleep Apnea scale score within Sleep
Disorders Questionnaire (SA-SDQ) mendapatkan gejala mengantuk
pada siang hari 55% yang berhubungan dengan SA-SDQ (p<0,0001)
dan hampir semua pasien 86% mengeluhkan gejala mendengkur.
Penelitian yang dilakukan oleh Janson et al.dikutip dari Ciftsi di Eropa
pada 2202 pasien mendapatkan 459 pasien asma dan gejala
mengantuk pada siang hari didapatkan lebih banyak pada pasien asma
(50%). Gejala OSA yang lain yaitu gangguan seksual pada pasien asma
mempunyai risiko OSA 2 (10%). Sesuai kepustakaan, gangguan seksual
sering terjadi pada pasien OSA dengan gangguan tidur sehinggamenyebabkan rasa kantuk, gangguan konsentrasi dan penampilan di
siang hari, iritabilitas, depresi dan gangguan seksual.
Faktor-faktor Risiko OSA
Secara statistik pada penelitian ini berat badan dan IMT
merupakan faktor risiko OSA. Faktor risiko yang ditemukan bermakna
pada penelitian ini yaitu lingkar leher. Faktor lain sebagai komorbid
pada asma yaitu rinitis, pada penelitian ini didapatkan pasien asma
yang mempunyai risiko OSA mempunyai rinitis 18 (90%) pasien
sedangkan yang tidak mempunyai risiko OSA didapatkan rinitis padatiga (3,7%) pasien dengan nilai p<0,001 dan OR 74,9 (CI 95% 8,7-
642,5). Pada penelitian ini pasien yang mempunyai risiko OSA
diperiksa dengan laringoskop sehingga diketahui terdapat rinitis dalam
pemeriksaan sedangkan pasien yang tidak mempunyai risiko OSA tidak
diperiksa laringoskop dan diagnosis rinitis hanya berdasarkan rekam
medis sehingga penelitian ini mempunyai OR yang tinggi untuk rinitis.
Berdasarkan kepustakaan, berat badan yang berlebih akan berakibat
pada proses bernapas melalui perubahan secara geometri pada
struktur saluran napas atas, penurunan fungsi (meningkatkan risiko
kolaps), gangguan hubungan respiratory drive dan load compensation
10
![Page 11: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/11.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 11/14
dan obesitas akan relatif menurunkan residual kapasitas dan
meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh.35-37 Penelitian oleh Smith et
al. yang dikutip dari Flamol KM et al.37 pada pasien obesitas selama 5
bulan, didapatkan penurunan berat badan 9% akan menurunkan
periode apnea sebesar 47% (dari 55 menjadi 29 kejadian/jam).Penelitian secara cross sectional dari Wisconsin Sleep Cohort Study
pada 690 pasien laki-laki dan perempuan selama 4 tahun yang
dianalisis secara regresi logistik mendapatkan bahwa pada pasien yang
awalnya mempunyai AHI <15 kenaikan 10% berat badan akan
meningkatkan AHI sampai 6 (CI 95% 2-17).38 Lingkar leher
meningkatkan risiko OSA karena terjadi deposit lemak pada
anterolateral saluran napas yang menyebabkan lumen saluran napas
menyempit. Pada penelitian ini VEP1 tidak ditemukan berbeda
bermakna secara statistik antara kelompok yang mempunyai risiko
OSA dengan yang tidak. Penelitian Auckley et al. pada pasien asmadengan kuesioner Berlin juga melihat VEP1 dengan spirometri.
Didapatkan bahwa tidak ada hubungan VEP1 secara statistik antara
yang mempunyai risiko OSA dan tidak. Penelitian Lafond et al.
menyatakan tidak ada hubungan tidak didapatkan hubungan antara
nilai VEP1 dengan hipereaktivitas bronkus pada asma persisten ringan
dan asma persisten sedang. Penelitian Linn et al.dikutip dari Bonekat
HW et al.40 mendapatkan bahwa OSA berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus dan nilai VEP1 pada asma
persisten berat dan difficult asthma. Penelitian Wisconsin Cohort Study
mendapatkan bahwa nilai AHI >15 berkorelasi positif denganhipertensi (OR 2,9 CI 95% 1,46-5,64). Pada penelitian ini hanya
terdapat 2 pasien yang mempunyai nilai AHI di atas 15 sehingga tidak
terdapat hubungan antara OSA dengan hipertensi. Pada penelitian ini
juga dilakukan pemeriksaan laringoskop untuk melihat kelainan
anatomi pada pasien yang mempunyai risiko OSA. Kelainan anatomi
paling banyak yaitu deviasi septum diikuti sinusitis, adenoid, hipertrofi
konka dan uvula yang panjang. Hal tersebut sesuai kepustakaan bahwa
kelainan anatomi saluran napas atas seperti nasal congestion, polip
hidung, deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka dan hipertofi tonsil.
V. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitiannya yaitu bahwa penyakit asma ini dapat
timbul pada semua usia terutama pada usia muda dan tidak
tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Asma menduduki urutan ke-
5 dari 10 penyebab kesakitan di Indonesia bersama bronkhitis kronik
dan emfisema. Banyak pasien asma merasakan gejala pada malam
hari dan kualitas tidur yang menurun. Beberapa penelitian pada
populasi umum menemukan bahwa pasien asma mempunyai penu-
runan kualitas tidur dibanding bukan asma, sedangkan kejadian
mengantuk pada siang hari meningkat. Bergeron et. al. dalam Jonson C
11
![Page 12: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/12.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 12/14
et al mengemukakan bahwa inflamasi jalan napas dan sistemik
menyebabkan mengantuk pada siang hari dan berhubungan dengan
obstructive sleep apnea (OSA).
VI.IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN
Implikasi atau aplikasi dalam keperawatannya yaitu:
Gangguan napas saat tidur menggambarkan abnormalitas
respirasi selama tidur berupa keluhan dengkuran ringan sampai OSA
yang mengancam jiwa. Karakteristiknya adalah obstruksi jalan napas
yang menyebabkan episode hipoksia arteri berulang dan arousal
sebagai hasil peningkatan upaya respirasi. Kejadian OSA umumnya
terdapat pada usia dewasa sekitar 40-50 tahun, walaupun terkadang
dapat terjadi pada anak-anak dan remaja. Prevalensi OSA pada
beberapa penelitian adalah 1-4% populasi umum. Pada pasien OSAdengan kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea
dan penurunan saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan
yang tidak mendengkur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi OSA pada pasien asma intermiten sampai persisten berat
yang datang berkunjung ke RS Persahabatan dengan menggunakan
kuesioner Berlin yang dilanjutkan dengan pemeriksaan polisomnografi,
mengetahui gejala OSA pada pasien asma berdasarkan kuesioner
Berlin, mendapatkan gambaran gejala klinis OSA dengan kuesioner
Berlin, mengetahui faktor risiko OSA dengan kuesioner Berlin, dan
mengetahui apakah ada hubungan nilai VEP1 dan derajat inflamasi
dibandingkan dengan derajat OSA.
Seluruh subjek menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
rontgen toraks, dan pemeriksaan faal paru (spirometri) dengan MIR-
SPIROLAB II. Pasien yang memenuhi kriteria diberi penjelasan tujuan
penelitian serta rencana penelitian secara keseluruhan. Bila pasien
bersedia menjadi subjek penelitian, melakukan uji provokasi bronkus,
dan pemeriksaan polisomnografi, serta mempunyai risiko OSA
(berdasarkan kuesioner Berlin), maka diminta pernyataan secara
tertulis. Selanjutnya subjek dikonsulkan ke bagian THT untuk melihat
kelainan anatomi sebagai komorbid asma dan faktor risiko OSA. Pada
subjek juga dilakukan uji provokasi bronkus dengan larutan garam
hipertonik 4,5%, dan pemeriksaan polisomnografi menggunakan
folismnografi Weinnman di Laboratorium Tidur RS Persahabatan
selama minimal 6 jam.
12
![Page 13: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/13.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 13/14
BAB III
I. KESIMPULAN
Pasien asma mempunyai prevalensi OSA lebih tinggi dibanding
populasi umum, baik dengan kuesioner Berlin maupun polisomnografi.
Pasien asma laki-laki mempunyai prevalensi OSA lebih tinggi dibanding
perempuan. Faktor risiko yang mempengaruhi OSA adalah berat
badan, IMT, dan lingkar leher sedangkan rinitis me-rupakan komorbid.
Nilai VEP1 bukan faktor risiko OSA pada asma. Gejala OSA yang
didapat berdasarkan kuesioner Berlin paling tinggi yaitu keluhan
mendengkur, diikuti kelelahan pada saat bangun tidur atau siang hari,
mengantuk atau tertidur di kendaraan dan seseorang melihat tidak
13
![Page 14: jurnal RS](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022021118/577d1d0c1a28ab4e1e8b7fb3/html5/thumbnails/14.jpg)
7/31/2019 jurnal RS
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-rs 14/14
bernapas saat tidur. Kelainan THT pada pasien yang mempunyai risiko
OSA adalah rinitis, sinusitis,deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka
dan uvula yang panjang.
Penelitian observasional pada penyakit respirasi menunjukkan
penurunan qualitas tidur pasien asma yang mungkin disebabkan olehgejala malam asma. Diperkirakan bahwa OSA berkaitan dengan
hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma.
Stres oksidatif akibat rokok serta inflamasi pada paru
memperberat dan mempercepat progresivitas kelainan kardiovaskular
seperti aterosklerosis, penyakit jantung koroner, serta dapat
mencetuskan sindrom koroner akut. Peran inflamasi sistemik pada
hipertensi pulmoner masih belum jelas. Terapi PPOK tidak cukup hanya
dengan usaha mengatasi proses di paru saja melainkan perlu
ditambahkan dengan evaluasi dan tatalaksana komorbiditas yang ada
terutama pada sistem kardiovaskular.Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting
dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di
berbagai negara di seluruh dunia. Prevalensi asma bervariasi di setiap
negara dan cenderung meningkat pada negara berkembang. Penyakit
ini dapat timbul pada semua usia terutama pada usia muda dan tidak
tergantung tingkat sosioekonomi tertentu.
II. SARAN
Dengan adanya pengetahuan melalui penelitian ini. Sebagai
seorang perawat dapat mengetahui banyak hal mengenaiperkembangan “Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea
(OSA) pada Pasien Asma” sekarang dan diharapkan sebagai tenaga
kesehatan perawat dapat mengaplikasikannya di dalam pekerjaan
sebagai seorang perawat Memberikan Ilmu pengetahuan mengenai
faktor resiko, dampak penyakit pada jurnal yang diberikan.
Karena seorang perawat itu mempunyai peranan penting dalam
proses merawat pasien dengan baik, dan dapat sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti P, Yunus F, Antariksa B, Ratnawati. Prevalensi dan Gejala Klinis
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma. Jakarta. J Indon
Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011
14