JURNAL PSIKOLOGI Hubungan Antara Kecerdasan...
Transcript of JURNAL PSIKOLOGI Hubungan Antara Kecerdasan...
JURNAL PSIKOLOGI
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional (EQ) dengan Kinerja Perawat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan
Meta Nurita D.S
Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma Februari 2012
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pengendalian emosi bagi perawat khususnya perawat rawat inap, dikarenakan kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan pekerjaan serta kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan tempat pekerjaannya. Dengan kemampuan tersebut individu akan lebih mampu mengatasi berbagai masalah yang timbul selama dalam proses menuju manusia dewasa sehingga mereka akan lebih mampu mengatasi tantangan-tantangan emosional dalam kehidupan modern yang semakin kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dengan kinerja perawat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan, dengan subjek penelitian yang digunakan sebanyak 85 sampel. Adapun pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling. Untuk mengukur kecerdasan emosional dengan menggunakan skala yang didasarkan dari komponen-komponen kecerdasan emosional, sedangkan untuk mengukur kinerja perawat menggunakan hasil berupa data kinerja perawat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan. Hasil analisis validitas item dalam penelitian ini untuk skala kecerdasan emosional bergerak dari 0,362 sampai 0,861 dengan reliabilitas sebesar 0,965. Sedangkan untuk pengujian reliabilitas kinerja perawat, dilakukan dengan jalan atau mengkonsultasikan data dengan ahli dalam bentuk penilaian. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi pearson (1 –tailed) diketahui bahwa nilai koefisien korelasi antara kecerdasan emosional (EQ) dengan kinerja perawat menghasilkan nilai r sebesar 0.229 dengan p sebesar 0.046 (p<0,05). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan anatara kecerdasan emosional (EQ) dengan kinerja perawat. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki subjek, maka semakin tinggi pula tingkat kinerja perawatnya. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki subjek maka akan semakin rendah pula kinerja perawatnya. Adapun saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini agar para perawat dapat menentukan keberhasilan diri sendiri sehingga dapat meningkatkan kinerjanya.
Kata kunci : Kecerdasan Emosional (EQ), Kinerja, Kinerja Perawat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kinerja sumber daya manusia
yang baik merupakan hal terpenting
bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Bila sebuah perusahaan ingin
berkembang dengan pesat, perusahaan
tersebut haruslah memiliki sumber
daya manusia yang mampu
menampilkan kinerja yang baik.
Padahal kinerja seseorang dipengaruhi
oleh berbagai hal antara lain
keterampilan kognitif, kemampuan
teknis, dan kecerdasan emosional. Di
antara kemampuan-kemampuan
tersebut hanya kecerdasan emosional
yang tidak didapatkan dari bangku
pendidikan formal sehingga tidak
semua orang yang mempunyai
keterampilan kognitif dan kemampuan
teknis memiliki juga kecerdasan
emosional ini.
Berangkat dari pengamatan
Goleman (1999) bahwa orang yang
pandai atau berhasil dalam prestasi
akademik sewaktu pendidikan formal
ternyata banyak yang gagal mencapai
puncak prestasi sewaktu menempuh
karir profesional, penelitian Daniel
Goleman menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional ini adalah
kemampuan yang sangat dibutuhkan
dalam dunia kerja saat ini yaitu sekitar
75-96 persen. Sedangkan peran IQ
atau keterampilan kognitif dalam
keberhasilan di dunia kerja hanya
menempati posisi kedua sesudah
kecerdasan emosi dalam menentukan
peraihan prestasi puncak dalam
pekerjaan, yaitu sekitar 4-25 persen.
Kecerdasan emosional ini
sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang secara keseluruhan mulai
dari kehidupan dalam keluarga,
pekerjaan, sampai interaksi dengan
lingkungan sosialnya. Oleh karena itu
kecerdasan emosional berpengaruh
pada cara seseorang menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam kehidupan keluarga,
pekerjaan, maupun interaksi dengan
lingkungan sosialnya. Goleman (1995)
menyebutkan bahwa seseorang yang
mempunyai kecerdasan emosi yang
tinggi adalah mereka yang mampu
mengelola emosinya dengan baik.
Menurut Bar-On (dalam
Setiadi, 1999) kemampuan mengatur
perasaan dengan baik, mampu
memotivasi diri sendiri, berempati,
ketika menghadapi gejolak emosi dari
diri maupun dari orang lain. Manusia
juga harus dapat memecahkan suatu
masalah, fleksibel dalam situasi dan
kondisi yang kerap berubah (Setiadi,
1999). Hal ini merupakan kemampuan
yang seharusnya dimiliki oleh setiap
sumber daya manusia untuk dapat
berprestasi di bidang pekerjaannya.
Pada pekerjaan-pekerjaan
tertentu, sifat-sifat kepribadian
seseorang sangat berhubungan dengan
kesuksesan dalam bekerja. Hampir
semua interaksi antarmanusia yang
dimulai sejak kanak-kanak hingga
dewasa, individu selalu dianjurkan
untuk dapat mengontrol emosinya.
Konteks kesehatan adalah konteks
yang sangat dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi para pelakunya.
Pelaku dalam hal kesehatan yang
dimaksud adalah para eksekutif dalam
kesehatan, dokter, perawat dan petugas
administrasi kesehatan pasien dan
keluarga pasien. Pekerjaan seperti
perawat yang harus selalu berinteraksi
langsung dengan pasien, diperlukan
kemampuan mengenali emosi,
kemampuan mengelola emosi,
kemampuan memotivasi diri sendiri,
kemampuan mengenali emosi orang
lain dan kemampuan membina
hubungan dengan orang lain, sehingga
akan terjalin hubungan saling percaya
dan saling membantu antara perawat
dengan pasien, perawat dengan
keluarga, perawat dengan dokter,
perawat dengan tim kesehatan yang
lainnya.
Menurut Prawirosentono
(dalam Hermawan, 2003) bahwa
kinerja atau performance adalah hasil
kerja yang dapat dicapai seseorang
atau kelompok dalam suatu organisasi,
sesuai wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka upaya
untuk mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan
moral dan etika.
Menurut Karsinah (dalam
Wirawan, 1998) perawat adalah salah
satu unsur vital dalam rumah sakit,
perawat, dokter, dan pasien merupakan
satu kesatuan yang paling
membutuhkan dan tidak dapat
dipisahkan. Tanpa perawat tugas
dokter akan semakin berat dalam
menangani pasien. Tanpa perawat,
kesejahteraan pasien juga terabaikan
karena perawat adalah penjalin kontak
pertama dan terlama dengan pasien
mengingat pelayanan keperawatan
berlangsung terus menerus selama 24
jam sehari dan 7 hari dalam seminggu
untuk merawat dan melayani
masyarakat (Hamid, 2008).
Perawat dalam pekerjaan
sehari-hari hampir selalu melibatkan
perasaan dan emosi, sehingga setiap
memberikan perawatan kepada pasien
dituntut untuk memiliki kecerdasan
emosi yang tinggi. Seorang perawat
yang tidak mempunyai kecerdasan
emosi yang tinggi dapat ditandai
dengan sikap emosi yang tinggi, cepat
bertindak berdasarkan emosinya, dan
tidak sensitif dengan perasaan dan
kondisi orang lain. Pelayanan
keperawatan sangat memerlukan sosok
perawat yang memiliki kecerdasan
emosi yang tinggi untuk memenuhi
kebutuhan pasien yang mencakup
kebutuhan biologis, psikologis,
sosiologis dan spiritual (Rudyanto,
2010).
Masalah yang dihadapi
seseorang, termasuk yang dihadapi
seorang perawat, biasanya disertai oleh
emosi-emosi negatif. Perawat yang
secara cerdas emosional akan cepat
mendapatkan insight mengenai emosi
yang dialaminya dan dengan segera
dapat mengelola emosi yang muncul.
Keberhasilan mengelola emosi ini
akan membuat perawat yang
bersangkutan menjadi lebih fokus
dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya (Rudyanto, 2010).
Menurut Gillies (dalam
Armiyanti, 2001) pekerjaan yang
dilakukan di Rumah Sakit terutama di
perawatan intensif termasuk rawat inap
adalah pekerjaan yang membutuhkan
kemampuan yang tinggi untuk
merawat pasien. Scheier (dalam
Soejitno, 2002) mengungkapkan
bahwa perawat yang mengalami
tingkat stres paling tinggi adalah
perawat bagian rawat inap dan unit
gawat darurat. Tingkat stres yang
tinggi tersebut timbul karena keadaan
pekerjaan yang mengharuskan perawat
melakukan tindakan terhadap pasien
yang harus segera dibuat dan
dilakukan secara tepat dan cepat
karena tingkat kesibukan yang tinggi
dan keadaan gawat darurat
menyangkut kehidupan dan kematian
pasien dan diri mereka sendiri
(Sarafino, 2002).
Seorang perawat adalah profesi
yang diharapkan selalu care (peduli)
terhadap pasiennya (pasien yang tidak
hanya sebagai objek, tapi juga subjek
yang ikut menentukan keputusan akan
pengobatan atau terapi atau perawatan
terhadap dirinya dan terlibat secara
aktif). Seorang perawat memandang
seseorang pasien secara holistic atau
menyeluruh. Perawat tidak
memandang pasien hanya sebagai
individu yang sedang sakit secara fisik
atau bio, tetapi juga memperhatikan
kondisi mental atau psikis atau
kejiwaan, sosial, spiritual, dan kultural.
Oleh karena itu, untuk memberikan
asuhan keperawatan, seorang perawat
harus mengkaji aspek yang holistic
tersebut (bio, psiko, sosio, spiritual,
dan kultural). Asuhan yang dilakukan
perawat adalah memberikan
perawatan. Perawat sering pula
ditugaskan secara bergiliran di ruangan
lain dan dalam shift kerja yang
berbeda.
Selain harus memiliki sikap
telaten serta penuh perhatian, perawat
harus selalu bersedia menolong dengan
penuh semangat, maka diperlukan pula
kesediaan untuk selalu mengikuti
segala yang ada hubungannya dengan
masalah pelayanan kesehatan pada
umumnya. Menurut Perawat Klinik St
Carolus (dalam Ali, 1999) perawat
berfungsi untuk membantu individu,
keluarga dan masyarakat baik sehat
maupun sakit dalam melaksanakan
kegiatan yang menunjang kesehatan,
penyembuhan atau menghadapi
kematian. Jika perawat memiliki
intensi untuk memberikan pelayanan
kepada pasien dengan baik, maka hal
ini akan berdampak pada kinerjanya
yang tinggi. Sebaliknya, jika perawat
tidak memiliki intensi atau niat untuk
memberikan pelayanan kepada pasien,
maka kinerja yang mereka tampilkan
cenderung rendah. Kecerdasan
emosional ini jelas sangat dibutuhkan
oleh perawat sebab, perawat selalu
berhubungan dengan pasien yang latar
belakang budaya dan sifatnya berbeda.
Perbedaan ini menuntut perawat untuk
mengenali perasaan dirinya maupun
orang lain dalam hal ini pasien dan
keluarganya. Sehingga perawat secara
profesional akan bersikap asertif
(ketegasan, keberanian menyatakan
pendapat).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui gambaran mengenai
kinerja perawat. Di samping itu
penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara
kecerdasan emosional (EQ) dengan
kinerja perawat pada RSUP Fatmawati
Jakarta-Selatan.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
memiliki dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat untuk
perkembangan ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial tentang
kecerdasan emosional (EQ),
psikologi industri dan organisasi
tentang kinerja, dan biopsikologi
tentang perawat.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan
informasi serta gambaran kepada
perawat mengenai pentingnya
mengenali emosi diri sendiri dan
orang lain, mampu mengendalikan
emosi yang mempengaruhi
keharmonisan dengan lingkungan
dan dapat menentukan
keberhasilan diri sendiri sehingga
dapat meningkatkan kinerja yang
lebih baik serta berharap penelitian
ini dapat bermanfaat bagi peneliti
lain yang ingin lebih
mengembangkan mengenai
pembahasan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja Perawat
1. Pengertian Kinerja Perawat
Menurut definisi yang
diberikan Prawirosentono (dalam
Hermawan, 2003) yang
mengatakan bahwa kinerja atau
performance adalah hasil kerja
yang dapat dicapai seseorang atau
kelompok dalam suatu organisasi,
sesuai wewenang dan tanggung
jawab masing-masing dalam upaya
untuk mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak
melanggar hukum dan sesuai
dengan moral dan etika.
Hasibuan (1994) mengatakan
bahwa prestasi kerja adalah suatu
hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan pekerjaan
atas kecakapan, pengalaman,
kesungguhan dan waktu, dimana
prestasi kerja merupakan gabungan
dari 3 (tiga) faktor penting, yaitu:
kemampuan dan minat pekerja,
kemampuan member dan
menerima atas penjelasan delegasi
tugas, tingkat motivasi kerja.
Sedangkan Irawan (dalam
Hermawan, 2003) dalam buku
Analisi Kerja mendefinisikan kerja
sebagai hasil kerja seorang pekerja,
sebuah proses manajemen, atau
suatu organisasi keseluruhan,
dimana hasil kerja harus dapat
ditunjukkan bukti secara konkret
dan dapat diukur dengan tolak ukur
yang telah ditentukan.
Dari berbagai definisi yang
diuraikan sebelumnya dapat ditarik
beberapa kata kunci, yaitu hasil
kerja, pekerja, proses atau
organisasi, terbukti secara konkret,
dapat diukur, dibandingkan dengan
standar yang telah ditentukan.
Namun tidak semua kinerja mudah
diukur, mudah dibandingkan
dengan standar atau dibuktikan
secara konkret.
Selanjutnya Irawan (dalam
Hermawan, 2003) membagi kinerja
dalam organisasi menjadi 3 (tiga
macam), yaitu: kinerja organisasi,
kinerja proses (proses manajemen
administrasi) dan kinerja pegawai.
Ketiga macam kinerja itu tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Kinerja organisasi tergantung
pada kinerja proses dalam tiap-tiap
unit kerja, sedangkan kinerja
proses tergantung pada baik atau
tidaknya kinerja orang-orang yang
menggerakkan proses tersebut.
Heresy dan Blanchard (dalam
Hermawan, 2003) mendefinisikan
kinerja sebagai hasil-hasil yang
telah dicapai seseorang dengan
menggunakan media tertentu.
Pengertian ini menggambarkan
bahwa seorang pegawai tidak dapat
sukses mencapai kerjanya tanpa
bantuan suatu media berupa sarana
lainnya yang berpengaruh kepada
dirinya, baik ekstrinsik maupun
intrinsik.
Perawat atau nurse berasal
dari bahasa latin yaitu dari kata
Nutrix yang berarti merawat atau
memelihara. Menurut Harlley
(1997) menjelaskan pengertian
dasar seorang perawat yaitu
seseorang yang berperan dalam
merawat atau memelihara,
membantu dan melindungi
seseorang karena sakit, injury dan
proses penuaan. Perawat
profesional adalah perawat yang
bertanggung jawab dan
mempunyai wewenang
memberikan pelayanan
keperawatan secara mandiri dan
atau berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain sesuai dengan
kewenangannya (Departemen
Kesehatan R.I, 2002). Perawat
menurut Handerson (dalam Ali,
1999) adalah seseorang yang
membantu individu baik yang
sehat maupun yang sakit, dari lahir
hingga meninggal agar dapat
melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara mandiri, dengan
menggunakan kekuatan, kemauan,
atau pengetahuan yang dimiliki.
Berdasarkan uraian
sebelumnya, bahwa kinerja
perawat adalah hasil yang dicapai
oleh seseorang yang berperan
dalam merawat atau memelihara,
membantu dan melindungi kepada
individu yang sehat maupun yang
sakit untuk berkembang dan
mendorong kearah hidup yang
sehat sesuai wewenang dan
tanggung jawab masing-masing
sebagai upaya untuk mencapai
tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral
dan etika.
2. Hak dan Kewajiban Perawat
Dalam melakukan tugasnya,
seorang perawat mempunyai hak
dan kewajiban (Surat Keputusan
Dirjen Pelayanan Medik No.
00.03.2.6.951, 1997) diantaranya
yaitu:
a. Hak-hak perawat:
1) Memperoleh perlindungan
hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan
profesinya.
2) Mengembangkan diri
melalui kemampuan
spesialisasi sesuai latar
belakang pendidikannya.
3) Menolak keinginan
klien/pasien yang
bertentangan dengan
peraturan perundangan serta
standar profesi dan kode etik
profesi.
Berikut adalah kewajiban dari
seorang perawat, yaitu:
b. Kewajiban perawat:
1) Mematuhi semua peraturan
RS dengan hubungan hukum
antara perawat dan bidan
dengan pihak RS.
2) Mengadakan perjanjian
tertulis dengan pihak rumah
sakit
3) Memenuhi hal-hal yang
telah disepakati atau
perjanjian yang telah
dibuatnya.
4) Memberikan pelayanan atau
asuhan keperawatan atau
kebidanan sesuai dengan
standar profesi dan batas
kewenangannya atau
otonomi profesi.
3. Fungsi Perawat
Perawat menurut Phaneuf
(dalam Ali, 1999) memiliki tujuh
fungsi yaitu sebagai berikut:
a) Melaksanakan instruksi dokter.
b) Observasi gejala dan respon
pasien yang berhubungan
dengan penyakit dan
penyebabnya.
c) Memantau pasien, menyusun
dan memperbaiki rencana
keperawatan secara terus-
menerus berdasarkan pada
kondisi dan kemampuan pasien.
d) Supervisi semua pihak yang ikut
terlibat dalam keperawatan
pasien.
e) Mencatat dan melaporkan
keadaan pasien.
f) Melaksanakan prosedur dan
teknik keperawatan.
g) Memberikan pengarahan dan
penyuluhan untuk meningkatkan
kesehatan fisik dan mental.
4. Faktor-fakor Kinerja
Dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 10
tahun 1979 tentang Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
(DP3) Pegawai Negeri Sipil seperti
dikutip Suprihanto (1998),
disebutkan ada 7 faktor yang
digunakan untuk mengatur kinerja
seorang pegawai negeri sipil, yaitu:
a. Kesetiaan; mengandung muatan
kesetiaan, kesetiaan, dan
pengabdian kepada pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945,
negara dan pemerintah.
b. Prestasi kerja, adalah hasil kerja
yang dicapai oleh seorang
Pegawai Negeri sipil dalam
melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya.
c. Tanggung jawab, adalah
kesanggupan seorang Pegawai
Negeri Sipil menyelesaikan
pekerjaan yang diserahkan
kepadanya dengan sebaik-
baiknya dan tepat pada
waktunya serta berani memikul
resiko atas keputusan yang
diambilnya atau tindakan yang
dilakukannya.
d. Ketaatan, adalah kesanggupan
seseorang Pegawai Negeri Sipil
untuk mentaati segala peraturan
perundang-undangan dan
peraturan kedinasan yang
berlaku, mentaati perintah
kedinasan yang diberikan oleh
atasan yang berwenang, serta
kesanggupan tidak melanggar
larangan yang ditentukan.
e. Kejujuran, adalah ketulusan hati
seorang Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugas dan
kemampuan untuk tidak
menyalahgunakan wewenang
yang diberikan kepadanya.
f. Kerjasama, adalah kemampuan
seorang Pegawai Negeri Sipil
untuk bekerja bersama-sama
dengan orang lain dalam
menyelesaikan suatu tindakan
yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas pokok
tanpa menunggu perintah dari
atasan.
g. Kepemimpinan, adalah
kemampuan seorang Pegawai
Negeri Sipil untuk meyakinkan
orang lain sehingga dapat
dikerahkan secara maksimal
untuk melaksanakan tugas
pokok.
5. Penilaian Kinerja
Menurut Vroom (dalam
As’ad, 1995), tingkat sejauh mana
keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaannya
disebut “level of performance”.
Biasanya individu yang memiliki
level of performance tinggi disebut
sebagai individu yang memiliki
level of performance dibawah
standar dikatakan sebagai individu
yang tidak produktif atau memiliki
kinerja yang rendah.
Schermerhorn (1993)
menyatakan bahwa “performance
appraisal is a process of formally
evaluating performance and
providing feedback on which
performance adjustments can be
mode”. Penilaian kinerja
merupakan proses penilaian yang
dilakukan organisasi terhadap para
pegawai yang dapat memberikan
umpan balik, sehingga organisasi
dapat mengidentifikasi secara tegas
perbaikan atau penyesuaian yang
diperlukan dalam rangka perbaikan
kinerja pegawai.
Teknik penilaian kinerja yang
berorientasi pada masa lalu
diantaranya dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut
(Suprihanto, 1998):
1) Rating scales
Metode ini memerlukan penilai
untuk memberikan suatu
evaluasi yang subjektif
mengenai penampilan individu
pada skala dari rendah sampai
tinggi. Formulir dilengkapi
dengan mengecek tanggapan
yang paling tepat untuk setiap
penampilan. Tanggapan dapat
diberi nilai menarik untuk
memungkinkan dihitungnya
nilai rata-rata dan
diperbandingkan bagi setiap
pekerja.
2) Checklist
Metode penilaian dengan
checklist memerlukan penilai
untuk menseleksi pernyataan
yang menjelaskan karakteristik
karyawan. Penilaian biasanya
merupakan pengawas dekat.
Tetapi tanpa diketahui penilai,
bagian personalia dapat
memberi bobot pada daftar
yang berbeda. Bobot ini
memungkinkan penilai tersebut
dikualifikasikan sehingga nilai
secara keseluruhan dapat
ditentukan.
3) Critical incident method
Metode ini mengarahkan
pembuat perbandingan untuk
mencatat pernyataan yang
menggambarkan tingkah laku
karyawan baik dan buruk
dihubungkan dengan cara kerja
mereka. Pernyataan-pernyataan
tersebut biasanya disebut
kejadian kritis. Kejadian ini
biasanya dicatat oleh
supervisor atau penyelia selama
periode evaluasi untuk masing-
masing pekerja bawahan.
4) Performance test and
observation
Test ini mungkin variasi kertas
dan pensil (tertulis) atau suatu
demonstrasi keterampilan atau
keahlian yang sebenarnya. Tes
tersebut harus benar-benar dan
valid supaya berguna.
5) Field review method
Dalam metode ini seorang
wakil yang ahli dari
departemen personalia ke
lapangan dan membantu
supervisor mengenal khusus
tentang prestasi kerja
karyawan. Kemudian
menyiapkan suatu informasi
berdasarkan informasi tersebut.
Informasi selanjutnya dikirim
ke supervisor untuk
pengulasan, perubahan dan
berdiskusi dengan para pekerja
yang diperbandingkan.
6) Group evaluation method
Metode ini digunakan untuk
memutuskan pembayaran
kenaikan kompensasi,
menaikkan pangkat atau
jabatan dan mengatur
pemberian penghargaan
lainnya, karena metode ini
menghasilkan rangking dari
yang terbaik sampai yang
terburuk. Ada beberapa teknik
dalam metode ini, seperti
Rangking Method, Forced
Distribution Method, Point
Allocation Method dan Paired
Comparison.
6. Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kerja merupakan
salah satu tugas penting untuk
dilakukan oleh seorang manajer
atau pimpinan. Walaupun
demikian, pelaksanaan kinerja
yang objektif bukanlah tugas yang
sederhana. Penilaian harus
dihindarkan adanya “like dan
dislike” dari penilai, agar
objektifitas penilai dapat terjaga.
Kegiatan penilaian ini penting,
karena dapat digunakan untuk
memperbaiki keputusan-keputusan
personalia dalam memberikan
umpan balik kepada para karyawan
tentang kinerja mereka.
Handoko (1992)
mengemukakan manfaat penilaian
kinerja, diantaranya:
a. Perbaikan prestasi kerja atau
kinerja
Umpan balik pelaksanaan
kerja memungkinkan
karyawan, manajer dan
departemen personalia dapat
memperbaiki kegiatan-
kegiatan mereka untuk
meningkatkan prestasi.
b. Penyesuaian-penyesuaian
kompensasi
Evaluasi prestasi kerja
membantu para pengambil
keputusan dalam menentukan
kenaikan upah, pemberian
bonus, dan bentuk kompensasi
lainnya.
c. Keputusan-keputusan
penempatan
Promosi dan transfer biasanya
didasarkan atas prestasi kerja
atau kinerja masa lalu atau
antisipasinya.
d. Perencanaan kebutuhan
latihan dan pengembangan
Prestasi kerja atau kinerja
yang jelek mungkin
menunjukkan perlunya
latihan. Demikian pula
sebaliknya, kinerja yang baik
mungkin mencerminkan
potensi yang harus
dikembangkan.
e. Perencanaan dan
pengembangan karir
Umpan balik prestasi
mengarahkan keputusan-
keputusan karir, yaitu tentang
jalur karir tertentu yang harus
diteliti.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan
Emosional
Istilah kecerdasan emosional
pertama kali diucapkan oleh
psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John
Mayer dari University of New
Hampshire pada tahun 1990 untuk
menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting
bagi keberhasilan. Salovey dan
Mayer mula-mula mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai
himpunan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan
dan emosi baik pada diri sendiri
maupun pada orang lain (dalam
Saphiro, 1997).
Menurut Goleman (dalam
Melianawati, Prihanto, dan
Tjahjoanggoro, 2001) kecerdasan
emosional adalah kecakapan
emosional yang meliputi
kemampuan untuk mengendalikan
diri sendiri dan memiliki daya
tahan ketika menghadapi
rintangan, mampu mengendalikan
impuls dan tidak cepat merasa
puas, mampu mengatur suasana
hati dan mampu mengelola
kecemasan agar tidak mengganggu
kemampuan berpikir, mampu
berempati serta berharap. Di
samping itu individu juga mampu
membina hubungan yang baik
dengan orang lain dan mudah
mengenali emosi orang lain dan
penuh perhatian.
Cooper dan Sawaf (dalam
Melianawati, Prihanto, dan
Tjahjoanggoro, 2001) berpendapat
bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan
emosi sebagai sumber energy,
informasi, koneksi, dan pengaruh
yang manusiawi. Karena orang
yang sehat biasanya mampu
mengenal emosi yang dialaminya
dan dapat mengekspresikan sesuai
dengan aturan yang berlaku di
lingkungannya (Martani, dalam
Armiyanti, 2008).
Reuven Bar-On (dalam
Armiyanti, 2008) menyatakan
bahwa kecerdasaan emosional
adalah serangkaian kemampuan,
kompetensi, dan kecakapan non-
kognitif, yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk
berhasil mengatasi tuntutan dan
tekanan lingkungan. Sedangkan
menurut Patton (2000) kecerdasan
emosi adalah dasar-dasar
pembentukan emosi yang
mencakup keterampilan-
keterampilan seseorang untuk
mengadakan impuls-impuls dan
menyalurkan emosi yang kuat
secara efektif.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah dasar-dasar
pembentukan emosi yang
mencakup serangkain keterampilan
atau kemampuan kompetensi,
kecakapan non-kognitif seperti
kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan
emosi untuk dapat mengendalikan
diri sendiri dan memiliki daya
tahan ketika mengahadapi
rintangan, mampu mengendalikan
impuls dan tidak cepat puas serta
mampu mengatur suasana hati,
mengelola kecemasan agar tidak
mengganggu kemampuan berpikir.
2. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Kecerdasan
Emosional
Menurut Goleman (2009)
faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional meliputi :
1) Faktor yang bersifat bawaan
genetik
Faktor yang bersifat bawaan
genetik misalnya temperamen.
Ada 4 temperamen, yaitu
penakut, pemberani, periang,
pemurung. Anak yang penakut
dan pemurung mempunyai
sirkuit emosi yang lebih mudah
dibangkitkan dibandingkan
dengan sirkuit emosi yang
dimiliki anak pemberani dan
periang. Temperamen atau pola
emosi bawaan lai1nnya dapat
dirubah sampai tingkat tertentu
melalui pengalaman, terutama
pengalaman pada masa kanak-
kanak. Otak dapat dibentuk
melalui pengalaman untuk
dapat belajar membiasakan diri
secara tepat (anak diberi
kesempatan untuk menghadapi
sendiri masalah yang ada,
kemudian dibimbing
menangani kekecewaannya
sendiri dan mengendalikan
dorongan hatinya dan berlatih
empati.
2) Faktor yang berasal dari
lingkungan
Kehidupan keluarga
merupakan sekolah pertama
kita untuk mempelajari emosi,
dalam lingkungan yang akrab
ini kita belajar begaimana
merasakan perasaan kita sendiri
dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaan kita,
bagaimana berfikir tentang
perasaan ini dan pilihan-pilihan
apa yang kita miliki untuk
bereaksi, serta bagaimana
membaca dan mengungkap
harapan dan rasa takut.
Pembelajaran emosi bukan
hanya melalui hal-hal yang
diucapkan dan dilakukan oleh
orang tua secara langsung pada
anak-anaknya, melainkan juga
melalui contoh-contoh yang
mereka berikan sewaktu
menangani perassaan mereka
sendiri atau perasaan yang
biasa muncul antara suami dan
istri. Ada ratusan penelitian
yang memperhatikan bahwa
cara orang tua memperlakukan
anak-anaknya entah dengan
disiplin yang keras atau
pemahaman yang empatik,
entah dengan ketidakpedulian
atau kehangatan, dan
sebagainya berakibat
mendalam dan permanen bagi
kehidupan emosional anak.
3. Komponen-komponen
Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2009)
kecerdasan emosional terdiri dari
lima komponen utama yaitu :
1) Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri
merupakan suatu kemampuan
untuk mengenali perasaan
sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan ini merupakan
dasar dari kecerdasan
emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri
sebagai metamood, yakni
kesadaran seseorang akan
emosinya sendiri. Kesadaran
diri adalah waspada terhadap
suasana hati maupun pikiran
tentang suasana hati, bila
kurang wasapada maka
individu menjadi mudah larut
dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran
diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat
penting untuk mengendalikan
emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.
2) Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan
kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat
terungkap dengan tepat atau
selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri
individu. Menjaga agar emosi
yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci
menuju kesejahteraan emosi.
Emosi berlebihan yang
meningkat dengan intensitas
terlampau lama akan mengoyak
kestabilan kita. Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan,
kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat-
akibat yang ditimbulkannya
serta kemampuan utuk bangkit
dari perasaan-perasaan yang
menekan.
3) Memotivasi Diri
Kemampuan untuk bertahan
dan terus menerus berusaha
menemukan banyak cara demi
mencapai tujuan. Ciri-ciri
individu yang memiliki
kemampuan ini adalah
memiliki kepercayaan diri yang
tinggi, optimis dalam
mengahadapi keadaan yang
sulit, cukup terampil dan
fleksibel dalam menemukan
cara alternative agar sasaran
tercapai, serta cukup mampu
memecahkan tugas yang berat
menjadi tugas kecil yang
mudah dijalankan. Individu
yang memiliki keterampilan ini
cenderung jauh lebih produktif
dan efektif dalam hal apapun
yang mereka kerjakan.
4) Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali
emosi orang lain disebut juga
empati. Kemampuan seseorang
untuk mengenali orang lain
atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang.
Inidividu yang memiliki
kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-
sinyal sosial yang tersembunyi
yang mengisyaratkan apa-apa
yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu
menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan
orang lain dan lebih mampu
untuk mendengarkan orang
lain.
5) Membina Hubungan Dengan
Orang Lain
Mampu menangani emosi
orang lain merupakan inti dari
membina hubungan dengan
orang lain yang merupakan
salah satu aspek dari
kecerdasan emosi. Untuk
mengatasi emosi orang lain
dibutuhkan dua keterampilan
emosi yaitu menegemen diri
dan empati. Dengan landasan
ini, keterampilan berhubungan
dengan orang lain akan
menjadi matang. Kemampuan
seseorang seperti ini
memungkinkan seseorang
membentuk suatu hubungan
untuk menggerakkan dan
mengilhami orang lain,
membina kedekatan hubungan,
meyakinkan, mempengaruhi
dan membuat orang lain
merasa nyaman.
4. Ciri-ciri Individu Yang Memiliki
Kecerdasan Emosi Tinggi
Goleman (2009)
mengemukakan ciri-ciri individu yang
memiliki kecerdasan emosi tinggi,
yaitu :
a. Memiliki kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan
dapat bertahan dalam
menghadapi frustrasi.
b. Dapat mengendalikan
dorongan-dorongan hati
sehingga tidak melebih-
lebihkan suatu kesenangan.
c. Mampu mengatur suasana hati
dan dapat menjaganya agar
beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan
berpikir seseorang.
d. Mampu untuk berempati
terhadap orang lain dan tidak
lupa berdoa.
C. Hubungan Antara Kecerdasan
Emosional (EQ) dengan Kinerja
Perawat pada Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati
Jakarta-Selatan
Kecerdasan emosional
adalah kecakapan emosional yang
meliputi kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri dan
memiliki daya tahan ketika
menghadapi rintangan, mampu
mengendalikan impuls dan tidak cepat
merasa puas, mampu mengatur
suasana hati dan mampu mengelola
kecemasan agar tidak mengganggu
kemampuan berpikir, mampu
berempati serta berharap. Di samping
itu individu juga mampu membina
hubungan yang baik dengan orang lain
dan mudah mengenali emosi orang lain
dan penuh perhatian.
Seseorang yang mempunyai
kecerdasan emosional yang lebih
tinggi lebih memungkinkan untuk
sukses daripada mereka yang
mempunyai pengalaman relevan
ataupun IQ yang tinggi. Dengan kata
lain kecerdasan emosional merupakan
predictor yang lebih baik dalam
kesuksesan daripada pengalaman
relevan ataupun IQ yang tinggi.
Disadari bahwa kehidupan seseorang
tidak pernah statis melainkan selalu
dinamis dan diwarnai oleh tekanan dan
tantangan. Pada keadaan normal
seseorang yang memiliki IQ dan
kecerdasan emosional yang tinggi
mungkin dapat tetap bertahan dan
berprestasi. Namun ketika menghadapi
masalah, misalnya kegagalan dalam
mendapatkan nilai yang maksimal atau
kehilangan seseorang yang sangat
berarti, tidak semua orang dapat
bertahan dan mengaktualisasikan
dirinya kembali.
Hasibuan (1994) mengatakan
bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan atas
kecakapan, pengalaman, kesungguhan
dan waktu, dimana prestasi kerja
merupakan gabungan dari 3 (tiga)
faktor penting, yaitu: kemampuan dan
minat pekerja, kemampuan member
dan menerima atas penjelasan delegasi
tugas, tingkat motivasi kerja.
Schemerhorn (1993) menyatakan
bahwa penilaian kinerja merupakan
proses penilaian yang dilakukan
organisasi terhadap para pegawai yang
dapat memberikan umpan balik,
sehingga organisasi dapat
mengidentifikasi secara tegas
perbaikan atau penyesuaian yang
diperlukan dalam rangka perbaikan
kinerja pegawai.
Menurut Harlley (1997)
menjelaskan pengertian dasar seorang
perawat yaitu seseorang yang berperan
dalam merawat atau memelihara,
membantu dan melindungi seseorang
karena sakit, pencegahan cidera dan
proses penuaan. Namun dalam proses
menjalankan setiap kewajiban-
kewajibannya sebagai perawat terdapat
masalah yang dapat merintangi
seorang perawat dalam meraih
kesuksesan di dalam pekerjaannya.
Rintangan tersebut sangat beraneka
ragam, baik dari dalam diri perawat itu
sendiri seperti motivasi, dan kesehatan,
ataupun dari luar diri perawat seperti
masalah rumah tangga, ataupun
masalah keuangan.
Gunarsa dan Gunarsa (1995)
menyatakan keberhasilan seorang
perawat tergantung pada pemahaman
diri sendiri, kekuatan dan kelemahan
serta pengaruh orang lain, dengan
mempunyai ciri-ciri sebagai seorang
perawat adalah ramah, mudah kerja
sama, pandai menimbang perasaan,
dan pandai bergaul dengan
menunjukkan perilaku memberi
pertolongan dengan memberikan
layanan yang baik pada pasien.
D. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan
pustaka dari hasil penelitian
sebelumnya maka diajukan hipotesis
yaitu ada hubungan positif antara
kecerdasan emosional dengan kinerja
perawat pada Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan.
Semakin tinggi kecerdasan
emosional perawat, maka hal ini
akan berdampak pada kinerjanya
yang tinggi. Sebaliknya, semakin
rendah kecerdasan emosional
perawat, maka kinerja yang mereka
tampilkan juga cenderung rendah.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel-Variabel
Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang
akan diteliti adalah :
a. Variabel Bebas atau Prediktor :
Kecerdasan Emosional
b. Variabel Terikat atau Kriterium :
Kinerja Perawat
B. Definisi Operasional Variabel
Penelitian
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional
adalah dasar-dasar
pembentukan emosi yang
mencakup serangkain
keterampilan atau kemampuan
kompetensi, kecakapan non-
kognitif seperti kemampuan
merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya
dan kepekaan emosi untuk
dapat mengendalikan diri
sendiri dan memiliki daya
tahan ketika mengahadapi
rintangan, mampu
mengendalikan impuls dan
tidak cepat puas serta mampu
mengatur suasana hati,
mengelola kecemasan agar
tidak mengganggu kemampuan
berpikir. Item tersebut
diperoleh responden dari
dinamika kecerdasan
emosional yang dikembangkan
dari skala Kecerdasan
Emosional yang disusun
berdasarkan komponen
kecerdasan emosi dari
Goleman (2009) yaitu:
mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi
diri, mengenali emosi orang
lain, dan membina hubungan
dengan orang lain.
2. Kinerja Perawat
Kinerja perawat adalah
hasil yang dicapai oleh
seseorang yang berperan dalam
merawat atau memelihara,
membantu dan melindungi
kepada individu yang sehat
maupun yang sakit untuk
berkembang dan mendorong
kearah hidup yang sehat sesuai
wewenang dan tanggung jawab
masing-masing sebagai upaya
untuk mencapai tujuan
organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral dan
etika. Skala Kinerja Perawat
disusun berdasarkan Formulir
Penilaian Kinerja Perawat
RSUP. Fatmawati yang terdiri
dari: kemampuan profesional,
sikap atau perilaku, disiplin
kerja, dan kemampuan
managerial.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian
ini adalah keseluruhan perawat
Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta-Selatan yang
berjumlah 459 perawat rawat
inap.
2. Sampel
Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini
menggunakan teknik Purposive
Sampling. Adapun sampel pada
penelitian ini terdiri atas 85
perawat Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data
yang diperlukan dalam penelitian
ini digunakan kuesioner berbentuk
skala Likert yaitu Skala Kinerja
Perawat dan Skala Kecerdasan
Emosional.
1. Skala Kecerdasan Emosional
Skala kecerdasan
emosional disusun berdasarkan
komponen kecerdasan emosi
yaitu mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi
diri, mengenali emosi orang
lain, membina hubungan
dengan orang lain. Skala ini
disusun berdasarkan skala
Likert, item terdiri atas
pernyataan yang bersifat
favourable dan unfavourable,
dengan menggunakan kategori
respon tingkat kesesuaian yang
mempunyai variasi jawaban
sebagai berikut : sangat sesuai
(SS), sesuai (S), agak sesuai
(AS), agak tidak sesuai (ATS),
tidak sesuai (TS), sangat tidak
sesuai (STS).
2. Skala Kinerja Perawat
Skala kinerja perawat disusun
berdasarkan Formulir Penilaian
Kinerja Perawat RSUP Fatmawati
yang terdiri dari kemampuan
pprofessional, sikap atau perilaku,
disiplin kerja, dan kemampuan
managerial. Skala ini disusun
berdasarkan skala Likert dengan
menggunakan kategori respon
tingkat kesesuaian yang mempunyai
variasi jawaban sebagai berikut :
sangat baik, baik, cukup, dan
kurang.
E. Validitas dan Reliabilitas
Instrumen Pengumpulan Data
1. Validitas
Validitas tes menyangkut apa
yang diukur tes dan seberapa baik
tes tersebut dapat mengukur apa
yang harus diukur dari tes berikut.
Validitas tes memberi informasi
tentang apa yang bisa disimpulkan
dari skor-skor tes. Validitas secara
umum adalah mengukur apa yang
harus diukur. Validitas berasal dari
kata validity yang mempunyai arti
sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu instrumen
pengukur (tes) dalam melakukan
fungsi ukurnya (Azwar, 1997).
Menurut Azwar (1997), suatu item
dikatakan valid apabila nilai
koefisiennya (pada output SPSS,
dapat dilihat pada kolom Corrected
Item-Total Correlation ≥ 0,300.
2. Reliabilitas
Reliabilitas diterjemahkan dari
kata reliability. Pengukuran yang
memiliki reliabilitas yang tinggi
maksudnya adalah pengukuran yang
dapat menghasilkan data yang
reliabel. Reliabilitas adalah sejauh
mana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya. Hasil ukur dapat
dipercaya apabila dalam beberapa
kali pengukuran terhadap kelompok
subjek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama, jika aspek yang
diukur dalam diri subjek memang
belum berubah. Reliabilitas sangat
erat kaitannya dengan ketepatan dan
ketelitian pengukuran. Pengukuran
dikatakan stabil jika pengukuran
pada sebuah obyek dilakukan
berulang-ulang pada waktu yang
berbeda, menunjukkan hasil yang
sama, dikatakan ekivalen jika
pengukuran menunjukkan hasil
pengukuran yang sama jika
dilakukan peneliti lain atau
memakai contoh item lain, serta
dikatakan konsisten internal jika
item-item atau indikator yang
digunakan adalah konsisten satu
sama lain. Tinggi rendahnya
reliabilitas, secara empirik
ditunjukkan oleh suatu angka yang
disebut nilai koefisien reliabilitas.
Kesepakatan secara umum,
reliabilitas yang dianggap sudah
cukup memuaskan jika ≥ 0,700
(pada output SPSS, dapat dilihat
pada nilai Alpha) (Azwar, 2008).
F. Teknik Analisis Data
Pengolahan data dalam
penelitian ini adalah dengan
melakukan analisis deskriptif dan
korelasional. Menurut Maman
(dalam Ridwan, 2001) penelitian
korelasional adalah penelitian
dengan melakukan analisis
deskriptif untuk menganalisis data
mengenai gambaran kinerja
perawat. Selanjutnya untuk
menguji hipotesis dilakukan
analisis korelasional. Teknik
statistik yang dipakai untuk
menguji hipotesis dalam penelitian
ini adalah teknik korelasi product
moment dari Pearson dengan
menggunakan program SPSS versi
17.
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
Persiapan dalam penelitian ini
adalah persiapan alat ukur yang
meliputi penyusunan skala kecerdasan
emosinal yang dikembangkan
berdasarkan dinamika kecerdasan
emosional, sedangkan skala kinerja
perawat yang berdasarkan dinamika
kinerja perawat. Untuk mendapatkan
subjek penelitian seperti yang telah
direncanakan (bab III), peneliti
menyebarkan kuesioner kepada
perawat di lingkungan Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Selatan, dengan maksud untuk
mendapatkan subjek secara cepat,
dengan tetap berpedoman pada kriteria
subjek penelitian yang sudah
ditentukan sebelumnya.
B. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan try
out terpakai, hal ini dilakukan untuk
karakteristik pekerja atau responden,
serta untuk mendapatkan kesesuaian
data uji validitas dan reliabilitas
dengan uji hipotesis. Proses
pengambilan data penelitian
berlangsung pada tanggal 01 – 15
September 2011 bertempat di daerah
Jakarta Selatan. Untuk pengambilan
data penelitian, peneliti meminta
bantuan kepada staff Rumah Sakit
yang sudah diberi penjelasan
bagaimana cara untuk mengisi angket
tersebut, peneliti menyebarkan
sebanyak 85 angket semua kembali
dan terisi dengan lengkap. Pelaksanaan
pengumpulan data penelitian pada
umumnya berjalan dengan lancar.
Namun demikian terdapat beberapa
kendala seperti keengganan subjek
untuk mengisi angket dikarenakan
banyaknya jumlah item yang harus
diisi dan subjek sedang terburu-buru
sehingga tidak memiliki banyak waktu
untuk mengisinya.
C. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Validitas dan
Reliabilitas
a. Skala Kecerdasan
Emosional
(1) Uji Validitas
Uji validitas untuk
skala kecerdasan emosional
dalam penelitian ini
menggunakan teknik item –
total corelation yaitu
mengkorelasikan skor item
dengan skor total item
dengan korelasi product
moment Pearson dan
dibantu dengan program
SPSS versi 17. Untuk
ambang validitas item yang
digunakan dalam penelitian
ini menggunakan koefisien
validitas sebesar ≥ 0.300
Azwar (1997). Pada
kecerdasan emosional dari
50 item yang dianalisis
diperoleh 43 item yang
valid. Korelasi skor total
pada item-item valid
bergerak antara 0.362
sampai 0.861.
(2) Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui
konsistensi alat ukur, maka
digunakan uji reliabilitas.
Reliabilitas alat pengumpul
data dalam penelitian ini
diuji dengan Koefisien
Alpha Cronbach dengan
kesepakatan secara umum,
reliabilitas yang dianggap
sudah cukup memuaskan
jika > 0.700. Dari hasil uji
reliabilitas alat ukur
tersebut, diperoleh nilai
reliabilitas sebesar 0.965.
b. Skala Kinerja Perawat
(1) Uji Validitas
Uji validitas untuk
skala kinerja perawat dalam
penelitian ini menggunakan
teknik item – total
corelation yaitu
mengkorelasikan skor item
dengan skor total item
dengan korelasi product
moment Pearson dan
dibantu dengan program
SPSS versi 17. Untuk
ambang validitas item yang
digunakan dalam penelitian
ini menggunakan koefisien
validitas sebesar ≥ 0.300
Azwar (1997). Pada kinerja
perawat dari 16 item yang
dianalisis diperoleh 16 item
yang valid. Korelasi skor
total pada item-item valid
bergerak antara 0.599
sampai 0.944.
(2) Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui
konsistensi alat ukur, maka
digunakan uji reliabilitas.
Reliabilitas alat pengumpul
data dalam penelitian ini
diuji dengan Koefisien
Alpha Cronbach dengan
kesepakatan secara umum,
reliabilitas yang dianggap
sudah cukup memuaskan
jika > 0.700. Dari hasil uji
reliabilitas alat ukur
tersebut, diperoleh nilai
reliabilitas sebesar 0.974.
2. Deskripsi Subjek Penelitian
Pada subjek yang berjumlah 85
orang yang dilakukan dengan
pembagian berdasarkan beberapa
kelompok dari identitas diri yaitu
usia dan jenis kelamin
3. Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji hipotesis
dalam penelitian ini dilakukan dengan
teknik korelasi product moment
dengan program SPSS versi 17.
Berdasarkan analisis data yang
dilakukan diketahui bahwa koefisien
korelasi antara kecerdasan emosional
dan kebutuhan kinerja perawat
menghasilkan nilai r sebesar 0,229
dengan taraf signifikasi sebesar 0.046
(p < 0.05). Dari hasil tersebut, dapat
dilihat bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara kecerdasan
emosional dan kinerja perawat pada
perawat yang menjadi subjek
penelitian ini.
D. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji hipotesis : “terdapat hubungan
positif yang signifikan antara
kecerdasan emosional dengan kinerja
perawat pada Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan”.
Hasil analisis setelah dilakukan uji
product moment diketahui bahwa
hipotesis diterima, dengan nilai
koefisien korelasi menghasilkan nilai r
sebesar 0.229 dengan taraf signifikasi
sebesar 0.046 (p<0.05). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif yang signifikan antara
kecerdasan emosional dengan kinerja
perawat pada Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan, maka
semakin tinggi tingkat kecerdasan
emosional yang dimiliki subjek, maka
semakin tinggi pula tingkat kinerja
perawatnya. Sebaliknya jika semakin
rendah tingkat kecerdasan emosional
yang dimiliki subjek maka akan
semakin rendah pula tingkat kinerja
perawatnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Goleman (dalam Armiyanti, 2008)
bahwa ada banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dan
kegagalan seseorang dalam
menghadapi permasalahannya,
diantaranya adalah faktor kecerdasan
emosional. Kecerdasan bila tidak
disertai dengan pengolahan emosi
yang baik tidak akan menghasilkan
seorang yang sukses dalam hidupnya.
80% penopang kesuksesan seseorang
ditentutkan oleh faktor kecerdasan
emosional, hal ini disebabkan karena
kecerdasan akademik saja tidak
memberikan kesiapan untuk
menghadapi gejolak yang ditimbulkan
oleh kesulitan-kesulitan hidup.
Kecerdasan emosional adalah suatu
kemampuan untuk mengindra,
memahami dan menerapkan kekuatan
dan ketajaman emosi sebagai sumber
energi, informasi dan pengaruh.
Kemampuan ini dicirikan dengan
adanya kemampuan yang bersifat
kedalam diri sendiri dan keluar diri.
Subjek dalam penelitian ini terdiri
dari 8 subjek pria dengan persentase
9.41% dan 77 subjek wanita dengan
persentase 90.59%. Hasil perhitungan
deskripsi subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin diketahui rata-rata
kecerdasan emosional lebih tinggi
pada subjek wanita (R=197.38)
dibandingkan pada pria (R=178.12).
Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Leslie Brody dan Judith
Hall (dalam Goleman, 2007)
meringkas penelitian tentang
perbedaan-perbedaan emosi antara pria
dan wanita, menyebutkan bahwa
karena perempuan lebih cepat terampil
berbahasa dari pada laki-laki, maka
mereka lebih berpengalaman dalam
mengutarakan perasaannya dan lebih
cakap daripada laki-laki dalam
memanfaatkan kata-kata untuk
menjelajahi dan untuk menggantikan
reaksi-reaksi emosional seperti
perkelahian fisik.
Subjek dalam penelitian ini terdiri
dari 44 subjek berusia 21-30 tahun
dengan persentase 51.76%, 33 subjek
berusia 31-40 tahun dengan persentase
38.82% dan 8 subjek berusia 41-50
tahun dengan persentase 9.41%. Hasil
perhitungan deskripsi subjek penelitian
berdasarkan usia diketahui rata-rata
kecerdasan emosional lebih tinggi
pada subjek berusia 41-50 tahun
(R=198.87). sedangkan pada subjek
usia 21-30 tahun (R=195.77) dan
subjek 31-40 tahun (R=194.51).
Hal tersebut dikarenakan bila usia
subjek lebih tua akan mempengaruhi
pula perkembangan kecerdasan
emosionalnya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Fariselli, Ghini dan
Freedman (2006) bahwa orang yang
lebih tua mungkin lebih tinggi dalam
kecerdasan emosional, penemuan ini
menunjukkan kecerdasan emosional
adalah kemampuan berkembang, ada
kemungkinan bahwa pengalaman
hidup akumulasi berkontribusi pada
EQ.
Berdasarkan hasil perhitungan
perbandingan mean empirik dan mean
hipotetik pada penelitian ini juga
diketahui bahwa secara umum subjek
penelitian memiliki kecerdasan
emosional yang baik. Mean empirik
skala kecerdasan emosional yaitu
107.16 berada pada posisi tinggi yang
berarti secara umum subjek penelitian
memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi. Menurut Cherniss (2000)
mereka yang mempunyai kecerdasan
emosional yang lebih tinggi lebih
memungkinkan untuk sukses daripada
mereka yang mempunyai pengalaman
relevan ataupun IQ tinggi. Dengan
kata lain kecerdasan emosional
merupakan predictor yang lebih baik
dalam kesuksesan daripada
pengalaman relevan ataupun IQ yang
tinggi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan
positif yang signifikan antara
kecerdasan emosional (EQ) dengan
kinerja perawat pada Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta-
Selatan. Hal ini berarti semakin tinggi
tingkat kecerdasan emosional yang
dimiliki subjek, maka semakin tinggi
pula tingkat kinerja perawatnya.
Sebaliknya jika semakin rendah
tingkat kecerdasan emosional yang
dimiliki subjek maka akan semakin
rendah pula tingkat kinerja
perawatnya.
Berdasarkan hasil perhitungan
deskripsi subjek penelitian berdasarkan
jenis kelamin diketahui rata-rata
kecerdasan emosional lebih tinggi
pada subjek wanita yaitu 197.38,
dibandingkan pada subjek pria yaitu
178.12. Hasil perhitungan deskripsi
subjek berdasarkan usia diketahui
bahwa rata-rata kecerdasan emosional
pada subjek usia 41-50 tahun lebih
tinggi dibandingkan subjek usia 21-30
tahun dan 31-40 tahun yaitu sebesar
198.87.
Berdasarkan hasil perhitungan
perbandingan mean empirik dan mean
hipotetik pada penelitian ini juga
diketahui bahwa secara umum subjek
penelitian memiliki kecerdasan
emosional yang baik. Mean empirik
skala kecerdasan emosional yaitu
107.16 berada pada posisi tinggi yang
berarti secara umum subjek penelitian
memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi. Menurut Goleman (1999)
seseorang yang memiliki tingkat
kecerdasan emosi yang tinggi memiliki
lebih besar kemungkinan untuk merasa
bahagia dan berhasil dalam hidupnya,
dan ditandai juga dengan adanya
kemampuan untuk menguasai pikiran
dan emosinya yang dapat mendorong
produktivitas mereka.
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian
masih terdapat berbagai kelemahan
dan kekurangan, walaupun penulis
telah berupaya semaksimal mungkin
dengan berbagai usaha untuk membuat
hasil penelitian ini bisa menjadi
sempurna. Penulis menyadari bahwa
keterbatasan penelitian ini adalah
sampel penelitian yang digunakan
terbatas pada perawat Ruang Paviliun
Anggrek, Ruang Eksekutif atau VIP
lantai IV GPSE, dan Gedung Prof.
Sularto Ortopedi lantai I. Hal ini
dikarenakan alasan prosedural
sehingga hasilnya kurang mendapatkan
gambaran komprehensif.
C. Saran
Dari hasil penelitian yang
dilakukan maka peneliti akan
memberikan saran-saran untuk peneliti
selanjutnya. Adapun saran-saran
tersebut adalah :
1. Bagi Subjek Penelitian
Hendaknya bagi perawat dapat
membantu perawat lain
mendapatkan pengetahuan agar
lebih mampu mengenali emosi
diri sendiri dan orang lain, mampu
mengendalikan emosi yang
mempengaruhi keharmonisan
dengan lingkungan dan dapat
menentukan keberhasilan diri
sendiri sehingga dapat
meningkatkan kinerjanya.
2. Bagi Rumah Sakit
Dikarenakan penelitian ini
terbukti bahwa ada hubungan
antara kecerdasan emosional (EQ)
dengan kinerja perawat pada
Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta-Selatan maka
diharapkan para perawat
mempersiapkan diri sejak dini
dalam melatih kecerdasan emosi,
lebih mengenali dan mengelola
emosi diri, memotivasi, dan
meningkatkan relasi sosial agar
dapat memahami konsep atau
aspek-aspek tentang kecerdasan
emosional sebagai pola pikir yang
konstruktif dalam kehidupannya.
3. Bagi Peneliti selanjutnya
Diharapkan pada penelitian
selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian
dengan sampel yang lebih
beragam. Hasil penelitian ini
hanya mencakup ruang lingkup
yang terbatas, agar penelitian ini
dapat digeneralisasikan secara
luas, maka perlu melakukan
penelitian lebih lanjut dengan
lebih memperhatikan variabel-
variabel lain yang mungkin dapat
berpengaruh dalam penelitian ini,
seperti motivasi kerja, komunikasi
interpersonal, stress kerja, tipe
kepemimpinan demokratis, dan
lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Z. (1999). Dasar-dasar keperawatan professional. Jakarta: Widya Medika.
Armiyanti, E.O. (2008). Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kecenderungan perilaku delinkuen pada remaja. Psikovidya, Volume: 12. 1-10.
As’ad, M. (1995). Psikologi industri “Seri ilmu sumber daya manusia”. Edisi ke 4. Yogyakarta: Liberty.
Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Cherniss, C. (2000). The business case for emotional intelligence: Prepared for the consortium for research on emotional intelligence in organizations. Rutgers University.
Departemen Kesehatan R.I. (2002). Studi pengkajian pengembangan manajemen
kinerja klinik perawat dan bidan, Direktorat keperawatan dan keteknisian medik direktorat jendral pelayanan medik Depkes RI. Jakarta.
Fariselli, L., Ghini, M. dan Freedman, J. (2006). Emotional intelligence and age. http://www.6seconds.org/sei/wp-age.php (Diakses tanggal 31 Desember 2010).
Furtwenger, D. (2002). Penilaian kinerja. Yogyakarta: Andi.
Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi (working with emotional intelligence). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2009). Kecerdasan emosional : Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Terjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, J., & Claire, D.J. (2003). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional. Terjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa & Gunarsa. (1995). Psikologi perawatan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hadi, S. (2004). Metode research: Jilid 1. Yogyakarta: Andi.
Hamid, S.A. (2008). Asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.
Handoko, H.T. (1992). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta: BPFE.
Harlley. (1997). Keperawatan profesional. http://fahrizal89.wordpress.com (Diakses tanggal 04 Mei 2011).
Hasibuan, M.S.P. (1994). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Hermawan. (2003). Pengaruh kepemimpinan dan iklim organisasi terhadap kinerja penyusunan anggaran di biro keuangan dan perlengkapan departemen perindustrian dan perdagangan jakarta. Tesis (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Lanawati, S. (1999). Hubungan antara emotional intelligence (EI) dan intelligensi (IQ) dengan prestasi belajar siswa SMU Methodist di Jakarta. Tesis (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Lumenta, B. (1998). Perawat, citra, peran, dan fungsi: Tujuan fenomena sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Melianawati, F.X., Prihanto, S., & Tjahjoanggoro, A.J. (2001). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan. Anima, 17 (1). 57-62.
Molan (1998). Perilaku organisasi. Jakarta: Prentice Hall, Inc.
Niven, N. (2002). Psikologi kesehatan: Pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Patton, P. (2000). EQ: Pengembangan sukses lebih bermakna. Jakarta: Media Publishers.
Prabowo, H., & Suhendra, E.S. (2008). Diktat kursus SPSS. Jakarta : Universitas Gunadarma.
Ridwan, D. (2001). Tradisi baru penelitian agama Islam: tinjauan antardisiplin ilmu. Bandung: Yayasan Nusantara Cendikia.
Rudyanto, E. (2010). Hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku prososial pada perawat. Skripsi (tidak diterbitkan). Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Sarafino, E.P. (2002). Health psychology: Biopsychosocial interactions. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Schemerhorn, et. Al. (1993). Managing organizational behavior. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Setiadi, A. V. A. (1999). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan keberhasilan bermain game . Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya.
Shapiro, L. (1997). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Smet, B. (2004). Psikologi kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Soejitno, S. (2002). Reformasi perumahsakitan Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Srimulyo (1999). Industrial psychology. Sixth Edition. New Delhi: Prentice – Hall.
Suprihanto, J. (1998). Pengantar bisnis ”Dasar-dasar ekonomi perusahaan”. Yogyakarta: Liberty.
Swansburg, R.C. (1999). Introductory management and leadership for nurses. Canada: Jones and Barlett Publishers.
Surat Keputusan Dirjen Pelayanan Medik. (1997). Pedoman hak dan kewajiban pasien, dokter, dan rumah sakit. Jakarta.
Tjiptono (1997). Service, quality, and satisfaction. Yogyakarta: Andi Offset
Wirawan (1998). Kualitas pelayanan keperawatan. http://semayarsismd.blogspot.com (Diakses tanggal 04 Februari 2011).