JURNAL PENELITIAN BIOLOGI Ketua Dewan Redaksi : Jamili Biowallacea Vol_1.No1_Hal_1... · Terbit dua...
Transcript of JURNAL PENELITIAN BIOLOGI Ketua Dewan Redaksi : Jamili Biowallacea Vol_1.No1_Hal_1... · Terbit dua...
Volume 1 Nomor 1. April 2014 ISSN : 2355-6404
JURNAL PENELITIAN BIOLOGI
Terbit dua kali dalam setahun yakni bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari
penelitian, gagasan konseptual, kajian, dan aplikasi teori dibidang biologi.
Ketua Dewan Redaksi :
Jamili
Sekretaris Redaksi :
Nur Arfa Yanti
Redaksi Pelaksana :
Analuddin
Muzuni
Suriana
Nurhayani
Sitti Wirdhana Ahmad Bakareng
Anggota Dewan Redaksi :
Yusuf Sabilu
Muhsin
Nasaruddin
Dwi Arinto Adi
Indrawati
Andi Septiana
Bendahara :
Rita Ningsih
Pembantu Umum :
Wa Ode Nanang Trisna Dewi
La Ode Adi Parman Rudia
Surat Keputusan DEKAN FMIPA Universitas Halu Oleo
No. 286/SK/J29.5/PP/2014
Dr. Jati Batoro, M.Si. (Universitas Brawijaya)
Dr. Tarsan Purnomo, M.Si. (Universitas Negeri Semarang)
Dr. Khaerul Amri, M.Si. (Universitas Hasanudin)
Dr. Alif T. Athoric, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)
Dr. Jumari, M. Si. (Universitas Diponegoro)
Dr. Agung Sri Widodo, S.Si., M.Si. (Universitas Diponegoro)
Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Biologi FMIPA, Lantai-1 FMIPA-Baru Jurusan Biologi
Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A Mokodompit Kampus Baru Universitas Haluoleo,
Anduonohu, 93232 Kendari. E-mail : [email protected]
BIO WALLACEA Diterbitkan Oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kendari.
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014 1
SCREENING BAKTERI AMILOLITIK DAN SELULOLITIK DARI LIMBAH SAGU
(Screening of Amylolytic and Cellulolytic Bacteria From Sago waste)
Nur Arfa Yanti1 dan Asmawati Munir
2
1 Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : [email protected] 2 Prodi Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Haluoleo, Kendari Sulawesi Tenggara
ABSTRACT
Screening of indigenous bacteria from sago waste based on amylolytic and cellulolytic activity
was done to obtain bacterial isolate having double activity, i.e. could to hydrolize of starch
(amylolytic) and cellulose (cellulolytic). Screening amylolytic and cellulolytic bacteria was
done based on amylolytic and cellulolytic activity on agar media. Determination of amylolytic
activity on starch agar media was based on the presence of clear zone around the bacterial
colony upon flooding with lugol’s iodine solution. Cellulolytic activity was determine based on
the presence of clear zone around the bacterial colony on Carboxy methyl cellulose (CMC)
agar upon flooding with congo red solution. Presence of a clear zone around the colony
indicated starch and cellulose hydrolysis. The diameters of clear zone produced on CMC and
starch agar were measured and used as an indication of the amylolytic and cellulolytic
activities of the bacteria. The results of the screening based on amylolytic and cellulolytic
activity showed that a number of 21 bacterial isolates that having both activities. LCA2 was the
bacterial isolate with the highest amylolytic and cellulolytic activity as revealed by the size of
clearing zone on both types of agar plates. The diameters of clear zone on starch and CMC
agar were 4,98 and 3,65 cm2, respectively. Therefore, LCA2 isolate was bacterial isolate that
potent for biconvertion sago hampas into value-added products.
Keywords : Bacteria, Amylolytic, Cellulolytic, Sago waste.
PENDAHULUAN
Ampas sagu yang merupakan
limbah padat dari pengolahan pati sagu,
pada dasarnya adalah serat empulur sisa
pemerasan pati sagu. Produksi pati dari
tiap pohon sagu berkisar antara 200-450 kg
sagu basah. Empulur sagu yang dihasilkan
sebanyak 321.180 ton/tahun mengandung
20–30 % tepung sagu dan 70–80 % ampas
sagu. Dengan demikian, setiap tahun total
ampas sagu yang dihasilkan berkisar antara
224.826 – 256.944 ton/tahun (Anonim,
1987).
Pengolahan sagu di Sulawesi
Tenggara yang merupakan salah satu
daerah penghasil pati sagu di Indonesia
berlangsung sepanjang tahun, sehingga
limbah yang dihasilkan semakin
menumpuk dan menyebabkan keasaman
pada tanah serta dapat mencemari air dan
menimbulkan bau tidak sedap (Awg-Adeni
dkk., 2010). Limbah sagu yang kaya
karbohidrat tersebut, hingga saat ini belum
dikelola/dimanfaatkan secara optimal
(Nurdin, 1995; Yanti dkk., 2006). Oleh
karena itu, pemanfaatan ampas sagu perlu
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 2
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
dimaksimalkan agar pencemaran
lingkungan oleh ampas sagu dapat
diminimalkan.
Ampas sagu berpotensi digunakan
sebagai substrat untuk pertumbuhan
bakteri sekaligus digunakan untuk
memproduksi berbagai macam produk
bermanfaat dan bernilai ekonomi seperti
gula-gula fermentasi, enzim, asam-asam
organik, dan etanol karena masih
mengandung bahan organik tinggi (Awg-
Adeni, dkk. 2010). Komposisi ampas sagu
didominasi oleh pati dan selulosa. Kadar
pati dan selulosa ampas sagu berturut-turut
adalah 41,7 – 65,0 % dan 14,8 % (Wina
dkk., 1986). Namun demikian, sebelum
ampas sagu dikonversi menjadi berbagai
macam produk, ampas sagu perlu
dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula
sederhana. Apun dkk. (2000) melaporkan
bahwa ampas sagu dapat dihidrolisis
menjadi gula reduksi dengan baik oleh
bakteri yang memiliki aktivitas ganda yaitu
amilolitik dan selulolitik untuk
mendegradasi komponen pati dan selulosa.
Oleh karena itu, penggunaan bakteri yang
memiliki aktivitas amilolitik dan selulolitik
dibutuhkan agar biokonversi ampas sagu
menjadi produk-produk bernilai ekonomi
dapat berlangsung dengan baik.
Langkah pertama yang penting
dilakukan untuk dapat mengkonversi
ampas sagu menjadi berbagai macam
produk bermanfaat dan bernilai ekonomi
adalah menemukan strain bakteri dari
habitat lokal (indigenous) yang dapat
memecah komponen amilum (bersifat
amilolitik) dan komponen selulosa
(bersifat selulolitik) dari ampas sagu
tersebut. Pada penelitian ini dilakukan
screening isolat bakteri indigenous
berasal dari limbah sagu yang memiliki
kemampuan amilolitik dan selulolitik
sehingga diperoleh isolat bakteri yang
berpotensi untuk dimanfaatkan dalam
biokonversi ampas sagu.
METODE, PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pati terlarut untuk uji
aktivitas amilolitik dan
Carboxymethylcellulosa (CMC) untuk uji
aktivitas selulolitik. Bahan kimia lain yang
digunakan adalah lugol yodium, Congo
red dan medium Nutrient Agar. Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi laminar air-flow, autoklaf dan
inkubator.
Dua puluh tiga isolat bakteri
indigenous yang diisolasi dari ampas sagu
dan limbah cair sagu di sekitar lokasi
pengolahan sagu di Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara discreening
berdasarkan kemampuannya
menghidrolisis pati (amilolitik) dan
selulosa (selulolitik).
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 3
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
a. Screening bakteri amilolitik pada
media padat
Aktivitas amilolitik pada media
padat dilakukan dengan menumbuhkan
isolat bakteri pada media NA pati dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam
kemudian ditetesi dengan larutan lugol
yodium (JKJ) pada permukaan medium.
Isolat bakteri yang mampu membentuk
zona jernih di sekeliling koloninya setelah
diteteskan larutan JKJ merupakan bakteri
amilolitik (Apun dkk., 2000). Aktivitas
amilolitik dideterminasi dengan mengukur
diameter koloni dan diameter zone jernih.
b. Screening bakteri selulolitik pada
media padat
Screening isolat bakteri
berdasarkan aktivitas selulolitik dilakukan
dengan menumbuhkan isolat bakteri pada
media minimal agar dengan
Carboxymethylcellulosa (CMC) sebagai
sumber Cnya (Apun dkk., 2000).
Hidrolisis selulosa dideteksi dengan
meneteskan larutan Congo red pada
permukaan media agar. Terbentuknya zone
jernih di sekeliling koloni bakteri
menunjukkan adanya aktivitas selulolitik.
c. Pengukuran aktivitas amilolitik dan
selulolitik pada media padat
Aktivitas amilolitik dan selulolitik
bakteri dihitung dengan menggunakan
rumus (De Lima dkk., 2005; Yanti dkk.,
2009) sebagai berikut :
S = 4
(dc
2 – dco
2)
Keterangan :
S = Aktivitas amilolitik/selulotik (cm2)
dc = Diameter zone jernih (cm)
dco = Diameter koloni (cm)
HASIL DAN DISKUSI
Screening bakteri amilolitik
Sebanyak 23 isolat bakteri yang
diisolasi dari ampas sagu dan limbah cair
sagu menunjukkan kemampuan
amilolitiknya pada media pati agar. Bakteri
tersebut menunjukkan zona jernih di
sekeliling koloninya setelah ditetesi larutan
JKJ pada media pati agar yang
mengindikasikan adanya hidrolisis pati
(Gambar 1).
Gambar 1. Determinasi aktivitas amilolitik
isolat bakteri. Keterangan : K :
Koloni bakteri, Zj : Zone jernih
Screening isolat bakteri berdasarkan
aktivitas selulolitik
Sebanyak 23 isolat bakteri
amilolitik yang diperoleh dari ampas sagu
dan limbah cair sagu discreening juga
berdasarkan kemampuan selulolitiknya.
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 4
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
Aktivitas selulolitik dari isolat bakteri uji
dilihat berdasarkan kemampuan
membentuk zone jernih di sekeliling
koloni bakteri yang ditumbuhkan pada
media selulosa agar (Gambar 2). Zone
jernih menunjukkan bahwa isolat bakteri
menggunakan selulosa pada media untuk
pertumbuhannya dan menyebabkan
selulosa di sekeliling koloni habis terpakai
sehingga terbentuk zone jernih tersebut
(Apun dkk., 2000).
A B
Gambar 2. Determinasi Aktivitas Selulolitik
Isolat Bakteri. Keterangan. A. Isolat
tanpa aktivitas selulolitik, B. Isolat
dengan aktivitas selulolitik, K :
koloni bakteri, Zj : Zone jernih
Screening bakteri amilolitik dan
selulolitik
Hasil screening bakteri amilolitik
dan selulolitik pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa ditemukan 4 isolat bakteri dari 25
isolat bakteri amilolitik yang tidak bersifat
selulolitik, dengan demikian hanya 21
isolat bakteri indigenous yang memiliki
kemampuan ganda yaitu bersifat amilolitik
dan selulolitik. Isolat bakteri amilolitik dan
selulolitik paling banyak diperoleh dari
ampas sagu yaitu 17 dari 18 isolat bakteri
(94 %), sedangkan dari limbah cair sagu
hanya ditemukan 3 dari 7 isolat bakteri (43
%). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ampas sagu merupakan sumber
isolat yang paling potensial untuk
memperoleh bakteri amilolitik dan
selulolitik. Ampas sagu menjadi sumber
isolat bakteri amilolitik dan selulolitik
terbaik dibandingkan limbah cair sagu
karena ampas sagu masih mengandung
amilum dan selulosa yang cukup tinggi
yaitu berturut-turut 41,7 % dan 22,9 %
(Wina dkk., 1986).
Aktivitas amilolitik 25 isolat
bakteri yang diisolasi dari ampas sagu dan
limbah cair sagu berkisar antara 1,88-6,24
Cm2
dan 21 isolat bakteri amilolitik
memiliki aktivitas selulolitik berkisar 0,13-
3,65 Cm2
(Tabel 1). Hasil penelitian pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas
amilolitik dari isolat-isolat bakteri
indigenous lebih tinggi dibandingkan
dengan aktivitas selulolitiknya. Hal ini
mungkin disebabkan karena pati lebih
mudah dihidrolisis dibandingkan selulosa.
Sugiyono (2008), menyatakan bahwa
selulosa lebih sulit dihidrolisis oleh
mikrobia dibandingkan pati sehingga
mikrobia dengan aktivitas amilolitik tinggi
lebih mudah ditemukan di alam
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 5
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
dibandingkan mikrobia beraktivitas
selulolitik tinggi.
Tabel. Hasil Screening isolat bakteri
berdasarkan aktivitas amilolitik dan
selulolitik
Berdasarkan hasil screening isolat
bakteri indigenous pada Tabel 1, diperoleh
bahwa isolat bakteri LCA2 mempunyai
aktivitas amilolitik dan selulolitik yang
tinggi. Aktivitas ganda dari isolat LCA2
ini lebih tinggi dibandingkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Apun dkk.
(2000) yang berhasil mengisolasi bakteri
Bacillus amylolyquefaciens UMAS 1002
dengan aktivitas amilolitik 1,7 Cm2
dan
aktivitas selulolitik 1,45 Cm2 dan isolat
bakteri tersebut mampu menghidrolisis
ampas sagu menjadi gula reduksi yang
tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
biokonversi ampas sagu. Hal ini
menunjukkan bahwa isolat bakteri LCA2
sangat berpotensi untuk dimanfaatkan
dalam biokonversi ampas sagu menjadi
produk bernilai ekonomi. Pemanfaatan
isolat bakteri dengan aktivitas ganda
seperti LCA2 dalam proses biokonversi
ampas sagu sangat menguntungkan karena
tidak perlu penambahan enzim amilase dan
selulase untuk menghidrolisis ampas sagu.
Awg-Adeni dkk., (2010)
menyatakan bahwa penggunaan bakteri
yang memiliki aktivitas amilolitik dan
selulolitik pada biokonversi ampas sagu
menjadi produk bermanfaat sangat efisien
dari segi waktu dan biaya karena tidak
memerlukan perlakuan pendahuluan untuk
menghidrolisis ampas sagu. Dengan
demikian, isolat LCA2 merupakan isolat
bakteri yang berpotensi digunakan untuk
mengkonversi ampas sagu menjadi produk
yang bernilai ekonomi sehingga masalah
pencemaran lingkungan oleh ampas sagu
dapat teratasi dan nilai jual ampas sagu
juga dapat ditingkatkan.
No. Sumber
Isolat Kode
Isolat Aktivitas
Amilolitik
(Cm2)
Aktivitas
Selulolitik
(Cm2)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Ampas
Sagu
Limbah
Cair
Sagu
ALA1 ALA7 ALA 8 ALA9 ALA13 ALA17 ALA18 ALD1 ALD2 ALD3 ALD5 ALD6 ALD12 ALD17 ALL3 ALL4 ALL5 ABA4
LCA2 LCA8 LCA9 LCD1 LCR5 LCR7 LCL4
4,57 6,24 4,41 2,81 4,01 4,24 1,38 4,32 4,52 4,09 4,28 4,97 4,66 4,61 4,67 4,17 1,88 4,39
4,98 6,14 4,62 5,12 4,31 5,19 4,98
1,57 2,35 2,11 1,85 1,61 1,34 1,67 1,81 2,90 2,38 1,77 0.50 1,81
0 1,25 1,30 0,93 3,09
3,65 0,87
0 0
0,13 2,38
0
Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 6
Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014
KESIMPULAN
1. Dua puluh satu isolat bakteri
indigenous yang diisolasi dari
limbah sagu memiliki aktivitas
amilolitik dan selulolitik.
2. Isolat bakteri LCA2 merupakan
isolat bakteri dengan aktivitas
amilolitik dan selulolitik yang
tinggi dan berpotensi digunakan
untuk biokonversi ampas sagu
menjadi produk-produk
bermanfaat.
SARAN
Penelitian lanjutan mengenai
aktivitas Isolat bakteri LCA2
menghidrolisis ampas sagu menjadi gula
reduksi perlu dilakukan untuk mengetahui
kemampuan isolat tersebut mengkonversi
ampas sagu menjadi produk fermentasi
yang bermanfaat dan bernilai ekonomi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Lembaga Penelitian Universitas
Haluoleo atas bantuan dana penelitian
melalui Program Hibah Kompetisi BLU-
Unhalu.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1987. Tanaman Sagu dan
Pengolahannya. Departemen
Pertanian Balai Informasi
Pertanian, Sulawesi Tenggara.
Apun, K., Jong, B.C. & Salleh, M.D.
2000. Screening and Isolation of a
Cellulolytic and Amylolitic
Bacillus from Sago Pith Waste.
Journal of General and Applied
Microbiology, 46 : 263-267.
Awg-Adeni, D. S., Abd-Aziz, S., Bujang,
K. & Hassan, M. A. 2010.
Bioconversion of sago residue into
value added products. African
Journal of Biotechnology, 9 (14) :.
2016-2021.
De Lima, S.M., Lima, M.A.G.A.,
Sarmento, S.M., Vinhas, G.M. &
De Almeida, Y.M.B. 2005. Starch
Selection for Biodegradable Blend
Preparation. Mercosur Congress on
Chemical Engineering. Rio de
Janeiro, Brasil. 14-18 Agustus
2005.
Nurdin, M. 1995. Pemanfaatan Ampas
Sagu Sebagai Substrat Pembuatan
Protein Sel Tunggal. Laporan Hasil
Penelitian, Lembaga Penelitian
Unhalu, Kendari.
Sugiyono, 2008. Kadar Protein dan Serat
Kasar Ampas Sagu (Metroxylon
sp.) Terfermentasi dengan Lama
Pemeraman yang Berbeda. Jurnal
Ilmiah Inkoma, 19 (1) : 11-23.
Wina, E., Anthony, J., Evansa & Lowry, J.
B. 1986. The Composition of Pith
from the Sago Palms Metroxylon
sagu and Arenga pinnata. J. Sci.
FoodAgric., 37 : 352-358
Yanti, N.A. & Muhiddin, N. 2006.
Aktivitas Amilolitik Isolat Bakteri
pada Limbah Sagu. Bionature. 7 (2)
: 35-39.
Yanti, N.A., Sembiring, L. & Margino, S.
2009. Bakteri Amilolitik yang
diisolasi dari Lokasi Pengolahan
Pati Sagu. Proceeding pada
Seminar Nasional Biologi, Ilmu
Lingkungan & Pembelajaran.
Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta, 4 Juli 2009.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014 7
IDENTIFIKASI MIKORIZA ANGGREK Spathoglottis plicata Blume. DAN
Phalaenopsis amabilis L.
(Identification Of Orchid Mycorrhiza Of Spathoglottis plicata Blume. And Phalaenopsis
amabilis L.)
Rita Ningsih
1, Dinarni
2, Dwi Febrianti
2
1 Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara
2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
Isolation and identification of mycorrhiza fungal that associated with Spathoglottis plicata
Blume and Phalaenopsis amabilis L. orchid root have been done. The descriptive research consist
of three steps that were isolation, purification and identification. Slice of roots were
inoculated on Potato Dextro Agar (PDA) media for 2 – 5 days. The fungal colony were
purified then identified based on colony and morphology characters. The observed parameter
were fungal colony, hypha and spore type. The result showed that there were 3 isolates found
from root of terrestrial orchid Spathoglottis plicata Blume i.e SA1.1 was Chaetoium
belonging to Ascomycetes class; SA2.2 was Beltrania belonging to Ascomycetes class too
and SA2.3 was Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class. Meanwhile the identification
result of mycorrhiza fungal from root of epiphytic orchid Phalaenopsis amabilis L. showed that 2
isolate i.e PA1.2 and PA1.3 both of them Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class.
Keywords : orchid mycorrhiza, Spathoglottis plicata Blume, Phalaenopsis amabilis L., orchid
root
PENDAHULUAN
Kehidupan makhluk hidup seperti
manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat
dilepaskan dari peranan mikroorganisme.
Salah satu contoh mikroorganisme adalah
jamur. Lebih dari 90% dari spesies
tanaman terrestrial berpembuluh memiliki
sebuah simbiosis yang saling
menguntungkan antara akar dan jamur
(mikoriza). Umumnya mikoriza yang
berasosiasi tersebut termasuk dalam tipe
endomikoriza.
Mikoriza merupakan suatu bentuk
simbiosis mutualistik antara jamur dan
akar tanaman (Brundrett et al., 1996). Ada
enam tipe asosiasi mikoriza, salah satunya
adalah Orchid Mycorrhiza. Tipe mikoriza
ini terdapat pada tanaman anggrek,
terutama banyak dijumpai pada kecambah
anggrek maupun tanaman anggrek dewasa
yang klorofilnya kurang baik. Jamur
dengan tipe ini membentuk struktur hifa
yang berupa lilitan padat (peloton). Semua
anggrek memerlukan infeksi jamur
mikoriza untuk melengkapi siklus
hidupnya.
Biji tanaman anggrek memiliki
sedikit sekali bahkan hampir tidak
memiliki endosperma, sehingga secara
alami beberapa spesies anggrek dapat
mengalami suatu mekanisme yang
menyebabkan tertundanya perkecambahan.
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 8
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
Keberadaan miselium mikoriza yang
kompatibel dapat membantu menginisiasi
dan meningkatkan perkecambahan anggrek
secara signifikan (Andersen & Rasmussen,
1996).
Sulawesi Tenggara merupakan
wilayah tropis yang berada pada garis
Wallace dengan keanekaragaman
tumbuhan yang melimpah salah satunya
adalah Hutan Wolasi di Kabupaten
Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Banyak tanaman yang
digunakan oleh masyarakat setempat
diantaranya tanaman anggrek. Anggrek
merupakan salah satu tumbuhan yang
memiliki keanekaragaman sangat tinggi
diantaranya anggrek Spathoglottis plicata
Blume. (anggrek tanah) dan Phalaenopsis
amabilis L. (anggrek epifit). Hal ini berarti
pula tingginya keanekaragaman jenis
jamur mikoriza anggrek. Di Papua telah
diteliti jamur mikoriza pada 10 jenis
anggrek tanah (Agustini et al., 2009).
Sedangkan identifikasi jamur mikoriza
pada anggrek epifit Phalaenopsis manii
pernah dilakukan oleh Saha dan Rao
(2006). Diketahui bahwa jamur yang
berasosiasi pada akar anggrek tersebut
berasal dari spesies Rhizoctonia dan
Tulasnella.
Berdasarkan uraian tersebut di atas
dan mengingat pentingnya prospek
pemanfaatan jamur mikoriza anggrek baik
sebagai sumber zat pemacu pertumbuhan
tanaman (plant growth promotion
microorganism), bahan baku obat
(antibiotik), khususnya sebagai pupuk
hayati (biofertilizer) maka, diperlukan
penelitian tentang identifikasi jamur
mikoriza yang bersimbiosis pada akar
anggrek tanah (Spathoglottis plicata
Blume.) dan anggrek epifit (Phalaenopsis
amabilis L.)
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam
penelitian ini adalah PDA (Potato Dextro
Agar) sebagai media pertumbuhan jamur
pada saat isolasi dan purifikasi. Bahan
lainnya yaitu laktofenol, etanol 70%,
sodium hipoklorit, alumunium foil dan
kertas saring. Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi laminar air-
flow, autoklaf, inkubator, hotplate &
magnetic stirrer.
Sampel dalam penelitian ini yaitu
akar anggrek yang berasal dari sekitar
Hutan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Akar diambil
dengan cara mencungkil tanaman anggrek
beserta akarnya yang melekat pada substrat
yaitu tanah untuk anggrek Spathoglottis
plicata Blume. dan kulit pohon tua untuk
anggrek Phalaenopsis amabilis L.
a. Isolasi Jamur
Langkah awal yang dilakukan
terhadap sampel adalah sterilisasi pada
permukaan akar. Permukaan akar dicuci
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 9
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
dengan air mengalir selama 10 menit,
kemudian direndam didalam etanol 70%
selama 3 menit, sodium hipoklorit
(NaOCl) 5,3% selama 5 menit, dan
terakhir dicuci secara aseptik dengan
akuades steril sebanyak 3X kemudian
dipotong melintang setebal 1 mm. (Ritchie,
1995; Lumyong et al., 2001; Park, 2003).
Potongan akar yang sudah kering
diletakkan dalam cawan petri yang berisi
media potato dextrose agar (PDA), lalu
diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu ruang
kamar. Koloni yang tumbuh disekitar
potongan akar, selanjutnya dipilih dan
ditumbuhkan kembali pada media PDA
untuk dipurifikasi.
b. Purifikasi dan Karakterisasi Koloni
Jamur
Mikoriza yang tumbuh setelah masa
inkubasi 2 - 5 hari, kemudian diisolasi dan
diberi tanda sesuai dengan ciri koloni
(warna, bentuk, permukaan, dan tepi)
selanjutnya tiap jenis isolat direisolasi
beberapa kali dengan menggunakan
metode gores untuk mendapatkan biakan
murni kemudian dikerjakan duplo masing-
masing satu untuk working culture dan
satu lagi ke agar miring untuk stok culture.
Selanjutnya dilakukan pengamatan
karakteristik koloni yang meliputi warna,
bentuk, permukaan, tepi.
c. Identifikasi Jamur
Jamur yang telah diisolasi dan
dimurnikan kemudian diidentifikasi
dengan mengamati beberapa karakter
morfologi secara makroskopis dan
mikroskopis berdasarkan panduan Barnet
dan Hunter (1972). Pengamatan
makroskopis meliputi warna dan
permukaan koloni, tekstur, zonasi, daerah
tumbuh, garis-garis radial dan konsentris,
warna balik koloni (reverse color), dan
tetes eksudat (exudate drops). Pengamatan
secara mikroskopis terhadap slide culture
yang dibuat berdasarkan (Lay, 1994)
meliputi ada tidaknya septa pada hifa,
pigmentasi hifa, hubungan ketam (clamp
connection), bentuk dan ornamentasi spora
(vegetatif dan generatif), serta bentuk dan
ornamentasi tangkai spora (Gandjar et al.,
1999).
d. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif yaitu memberikan gambaran
tentang karakteristik dari masing-masing
jenis isolat berdasarkan hasil karakterisasi
dan identifikasi dengan berpedoman pada
buku acuan Illustrated Genera of Imperfect
Fungi (Barnett and Hunter, 1972),
Terrestrial Orchids From Seed to
Mycotrophic Plant (Rasmussen, 1995),
Moulds, Their Isolation, Coltivation, and
Indentification (Malloch, D. 1981), jurnal-
jurnal hasil penelitian dan situs internet
(www. mycobank. Com). Selanjutnya
disusun klasifikasi sampai diperoleh genus
dari masing-masing jenis isolat sehingga
diperoleh gambaran atau keterangan
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 10
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
tentang jamur mikoriza yang terdapat pada
akar kedua jenis anggrek.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Jamur yang Berasosiasi dengan
Akar Anggrek
Hasil isolasi jamur yang berasal dari
akar anggrek tanah Spathoglottis plicata
Blume.dan anggrek bulan Phalaenopsis
amabilis L. selama 2 – 7 hari pada media
PDA sebanyak masing-masing 3 cawan
petri (ulangan) ditampilkan pada Gambar
1.
Gambar 1. Jamur hasil isolasi dari akar
anggrek tanah Spathoglottis plicata
Blume. (atas) dan akar anggrek bulan
Phalaenopsis amabilis L. (bawah).
Ket: S.A1,2,3: Spathoglottis plicata
akar 1,2,3; P.A1,2,3 : Phalaenopsis
amabilis akar 1,2,3.
Hasil isolasi pada cawan petri
menunjukkan selain jamur juga terdapat
khamir, hal ini disebabkan karena medium
tumbuh yaitu PDA tidak bersifat spesifik
untuk jamur. Pemilahan keduanya
dilakukan berdasarkan perbedaan antara
struktur morfologi koloni jamur dengan
struktur morfologi koloni khamir. Struktur
morfologi koloni jamur dilihat dari adanya
sekumpulan hifa yang berbentuk seperti
benang disebut miselium. Purifikasi jamur
selanjutnya dilakukan berdasarkan hal
tersebut dan hasilnya dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Jamur hasil purifikasi dari
akar anggrek tanah
Spathoglottis plicata
Blume. (atas) dan akar
anggrek bulan Phalaenopsis
amabilis L. (bawah).
Pada akar anggrek tanah ditemukan
sebanyak tiga isolat dari dua akar yang
berbeda yaitu satu isolat dari akar 1
potongan ke-1 (SA1.1) dan dua isolat dari
akar 2 potongan ke-2 dan ke-3 (SA2.2 dan
SA2.3). Adapun pada akar anggrek bulan
ditemukan sebanyak dua isolat dari cawan
yang sama yaitu akar 1 potongan ke-2 dan
ke-3 (PA1.2 dan PA1.3). Karakterisasi
morfologi koloni dan mikroskopik
dilakukan pada setiap isolat untuk
menentukkan identitasnya.
S
A
1.
1
S
A
2.
2
S
A
2.
3
P
A
1.
2
P
A
1.
3
SA1.1 SA2.2 SA2.3
PA1.1 PA1.3
S
.
A
1
S
.
A
2
S
.
A
3
P
.
A
1
P
.
A
2
P
.
A
3
S.A1 S.A2 S.A3
P.A1 P.A2 P.A3
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 11
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
a. Karakteristik dan Identitas Isolat SA1.1
Morfologi koloni isolat ini berwarna
putih baik diatas maupun di bawah
permukaan, media berwarna merah
dibagian tepi koloni dan tumbuh dengan
sangat cepat (Gambar 2). Pada pengamatan
secara mikroskopik tampak adanya hifa
atau miselium yang mempunyai septa
berwarna terang sampai coklat, dan
bercabang pada satu arah. Memiliki
ascomata bulat berwarna hitam dikelilingi
filamentous appendages lurus, dan spora
berupa sel tunggal berbentuk bulat
memanjang (oval) (Gambar 3.A). Hal ini
sesuai dengan karakteristik Chaetomium
yang dinyatakan oleh Von Arx et al.
(1986) dan Mungai et al. (2012)
Chaetomium adalah satu jamur
golongan Ascomycota dari keluarga
Chaetomiacea (Von Arx et al .1986).
Chaetomium juga dikenal sebagai jamur
tanah yang dapat tumbuh pada berbagai
substrat seperti sisa-sisa tanaman, serasah,
biji, tebu, terdiri atas beberapa spesies
yang menyukai substrat dengan kadar
selulosa tinggi (Von Arx et al. 1986;
Abdullah & Saleh, 2010). Sekitar koloni
biasanya berwarna merah yang
berhubungan dengan suatu pigmen merah
exudat. Koloni berwarna merah,
menunjukkan aktivitas degradasi lignin
yang membentuk zona berwarna merah
disekitar koloni karena adanya quinon
yang merupakan oksidasi guaicol akibat
aktivitas lactase atau peroksidase (Thorm
et al., 1996).
Von Arx et al . (1986) dan Issa et al.
(2013) menggolongkan Chaetomium
dalam family Chaetomiacea, dengan
klasifikasi sebagai berikut: Divisio
Ascomycota; Class Sordariomycetes; Ordo
Sordariales; Family Chaetomiaceae; Genus
Chaetomium.
b. Karakteristik dan Identitas Isolat
SA2.2
Morfologi koloni berwarna putih
baik diatas maupun di bawah permukaan,
bentuk serbuk, berwarna putih dibagian
tepi, dan tumbuh dengan sangat cepat.
Pada pengamatan secara mikroskopik
tampak adanya hifa atau miselium yang
mempunyai septa yaitu terdapat sekat
diantara hifa, berwarna yang sangat terang,
konidia soliter, berbentuk V bikonikal
(Gambar 3.B). Menurut literatur ciri
lainnya dari jamur tersebut yang
merupakan Beltrania sp. yaitu: seta coklat
sederhana berujung runcing; konidiofor
sederhana 138 x 3-6 µm, berwarna gelap
dengan dasar bentuk keeping radial dan
jarang bercabang, berujung tajam; konidia
berwarna coklat berbentuk V, simetris
bikonikal dibagian tengah berwarna agak
pucat menggulung secara spiral, tunggal
denticle; saprofit (Watanabe, 2002;
Kendrick, 2013; Abbas et al., 2010).
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 12
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
Gambar 3. Morfologi Mikroskopik Jamur
hasil purifikasi dari akar anggrek
tanah Spathoglottis plicata Blume.
A: Chaetomium (isolat SA1.1), B:
Beltrania (isolat SA2.2), C&D
Rhizoctonia (isolat SA2.3). a: hifa,
b: ascomata, c. rambut ascomata,
d. konidia, e. sel monilioid. A & C
perbesaran 200X, B & D
perbesaran 400X
Beltrania sp. Adalah jamur
mitosporik yang tersebar luas dan umum
ditemukan pada sisa daun atau tanaman
yang sudah mati didaerah tropis maupun
subtropis, termasuk dalam kelas
Ascomycetes. Informasi tentang jamur ini
masih sangat sedikit terutama tentang
toksisitas dan efeknya terhadap kesehatan.
Jamur ini ditemukan pula pada sisa-sisa
tanaman di habitat perairan. (Upadhyaya et
al., 2012), di bukit pasir (Panda et al.,
2010), hutan hujan (Crusius et al., 2006)
dan sebagainya. Menurut Barnet & Hunter
(1972) dan Jurema et al. (2004) klasifikasi
Beltrania adalah sebagai berikut : Divisi
Amastigomycota; Subdivisi
Deuteromycotina; Class Deuteromycet;
Ordo Moniliales; Family Dematiceae;
Genus Beltrania.
c. Karakteristik dan Identitas Isolat SA2.3,
PA1.2, dan PA1.3
Memiliki karakteristik morfologi
koloni berwarna putih diatas permukaan
dan dibawah permukaan, ditengah-tengah
koloni ada gumpalan putih basah,
berwarna putih dibagian tepi, dengan
pertumbuhan lambat. Pada pengamatan
secara mikroskopik tampak adanya hifa
atau miselium yang mempunyai septa yaitu
terdapat sekat diantara hifa, yang
mempunyai warna yang sangat terang,
sebagian hifa ujungnya menggulung,
terdapat sel monilioid yang tumbuh pada
bagian hifa (Gambar 3 C&D; Gambar 4
A&B). Ciri-ciri tersebut menggambarkan
jamur Rhizoctonia.
Beberapa karakteristik spesies
Rhizoctonia yang disampaikan oleh Sneh
et al. (1991), adalah jamur ini mempunyai
pigmen hifa berwarna cokelat; membentuk
percabangan di dekat sekat pada hifa
vegetatif yang muda; membentuk hifa dan
sekat yang pendek di dekat asal tempat
percabangan. Memiliki sel monilioid;
membentuk sklerosium; diameter hifa
lebih dari 5μm bagian ujung hifanya
menggulung rata-rata pertumbuhan cepat
dan patogenik tidak selalu dimiliki.
Adapun ciri-ciri morfologi utamanya
C
a
D
e
A
a
b
c
B
d
a
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 13
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
adalah tidak pernah terdapat :clamp
connection; konidium; dan rhizomorf.
Rhizoctonia merupakan suatu
kelompok besar jamur yang penting.
Alexopoulus & Mims. (1996),
menyebutkan bahwa anggota jamur ini
dapat berperan sebagai patogen, mikoriza,
dan saprofit. Genus Rhizoctonia juga
banyak ditemukan pada keluarga anggrek
(Andersen & Rasmussen, 1996).
Rhizoctonia sp. termasuk dalam
famili Agonomycetaceae, dikenal juga
sebagai mycelia sterilia, karena tidak
menghasilkan konidia juga tergolong
sebagai jamur imperfect ( kelas
Deuteromycetes) karena tidak mempunyai
fase reproduksi seksual. Menurut
Alexopoulus & Mims (1996), klasifikasi
Rhizoctonia adalah sebagai berikut: Divisi
Amastigomycota; Subdivisi
Deuteromycotina; Class Deuteromycetes;
Subclass Hyphomycetidae; Ordo Mycelia
Sterilia; Genus Rhizoctonia.
Gambar 4. Morfologi Mikroskopik Jamur
hasil purifikasi dari akar anggrek
bulan Phalaenopsis amabilis L.
A: Rhizoctonia (isolat PA1.2), B:
Rhizoctonia (isolat PA1.3) a:
hifa, b: sel monilioid. A & B
perbesaran 400X.
Pada penelitian ini ditemukan 3
genus jamur mikoriza pada akar anggrek
tanah Spathoglottis plicata Blume. Lebih
sedikit jika dibandingkan hasil penelitian
Currah et al. (1987) ada 6 spesies yaitu
Rhizoctoniu anaticula, Rhizoctonia repens,
Ceratobasidium obscurum,Leptodontidium
orchidicola, Trichocladium opacum,
Trichosporiella multisporum sp. Demikian
pula 17 jamur mikoriza dari 10 jenis
anggrek tanah telah ditemukan di hutan
Cycloops Jayapura, tiga diantaranya yaitu
Rhizoctonia sp., Tulasnella sp., dan
Ceratorhiza sp (Agustini et al., 2009).
Adapun keragaman jamur pada
anggrek epifit lebih rendah dibandingkan
anggrek tanah seperti halnya pada
penelitian ini hanya ditemukan satu genus
jamur dari akar anggrek Phalaenopsis
amabilis L. yaitu Rhizoctonia. Selaras
dengan penelitian Saha & Rao (2006) yang
hanya memperoleh 2 jenis jamur pada
anggrek Phalaenopsis mannii yaitu
Rhizoctonia repens dan IS-7 yang belum
teridentifikasi.
Perbedaan keragaman jenis jamur
pada kedua jenis anggrek tersebut
kemungkinan disebabkan karena
perbedaan habitat tumbuh, dimana anggrek
Phalaenopsis amabilis L. merupakan
anggrek epifit yang biasa tumbuh pada
permukaan kulit tanaman berkayu
sedangkan Spathoglottis plicata Blume.
a
b A
a
b
B
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 14
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
tumbuh di tanah yang mengandung
berbagai jenis mikroorganisme.
KESIMPULAN
Jamur mikoriza pada akar anggrek
tanah berhasil diisolasi sebanyak 3 genus
yaitu Chaetomium, Beltrania, dan
Rhizoctonia. Sedangkan pada akar anggrek
bulan (epifit) hanya satu genus yaitu
Rhizoctonia.
SARAN
Penelitian lanjutan mengenai
identifikasi secara molekuler sampai
tingkat spesies dan verifikasi tentang
hubungan simbiosis mutualis antara jamur-
jamur tersebut dengan akar anggrek
inangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S.Q., Iftikhar, T., Niaz, M., Sadaf,
N. 2010. New Fungal Records on
Eucalyptus Spp. From District
Faisalabad Pakistan. Pak. J. Bot.
42(5) : 3317 – 3321.
Abdullah, S.K and Saleh, Y.A. 2010.
Mycobiota Associated with
Sugarcane (Saccharum officinarum
L.) Cultivars in Iraq. Jordan Journal
of Biological Sciences 3(4) : 193 –
202.
Agustini, V., Supeni, S., Suharno. 2009.
Mycorrhizal Association of
Terrestrial Orchids of Cycloops
Nature Reserve Jayapura.
Biodiversitas 10 (4) : 175-180.
Alexopoulus dan Mims. 1996.
Introduktory Micology. New York :
John Wiley and Sonc, Inc.
Andersen, T.F .& H.N .Rasmussen.1996 .
The Mycorrhizal species of
Rhizoctonia .In :Sneh, B., S.Jabaji-Hare, S .Neate, & G .Dijst .Rhizoctonia Spesies :Taxonomy,
Molecular Biology, Ecology,
Pathology and Disease Control .
KAP.London .379-390 pp.
Barnett, H.L. and Hunter, B.B. 1972.
Illustrated Genera of imperfect fungi.
4th
ed .Prentice-Hall, Inc. USA.
Beihefte zur Nova Hedwigia 84: 1-
162.
Brundrett, M., N .Bougher, B .Dell, T .
Grove, & N .Malajczuk.1996 .
Working with Mycorrhizas in
Forestry and Agriculture .ACIAR
Monograph 32.374 +x p.
Crusius, I.H.S., Milanez, A.I., Trujem,
S.F.B., Zottarelli, C.L.A., Grandi,
R.A.P., Santos, M.L., Giustra, K.C.
2006. Microsporic Fungi in the
Atlantic Rainforest in Cubatao Sao
Paulo Brazil. Brazilian Journal of
Microbiology 37 : 267 – 275.
Currah, R.S. Sigler, R., Hambleton, S.
1987. New Records and New Taxa
Of Fungi From The Mycorrhizae Of
Terrestrial Orchids Of Alberta,
University Of Alberta Microfurzgus
Collectiorl and Herbariurrz,
Devorziarz Botanic Garden
Ed,norztor, Alta.,Canada t6g 2ei,
Can. J. Bot. 65: 2473-2482.
Gandjar, I., Samson R.A, K. van den
Tweel-Vermeulen, Oetari, A. and
Santoso, I. 1999. Pengenalan kapang
tropik umum. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Issa H., Alghamdi A., Aljishi A., Al-
Salem.,Chaetomium peritonitis in
an immunocompetent patient
simulating tuberculous peritonitis:
A case report and review of the
literature, April 2013,
Microbiology Research
International Vol. 1(1), pp. Hal. 1-
5.
Jurema do Socorro Azevedo Dias Eng.
Agr. MSc., Embrapa Amapá Lana
Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 15
Phalaenopsis amabilis L.
Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014
Patrícia dos Santos, Gilberto Ken-
Iti Yokomizo Eng. Agr. DSc. 2004.
O Fungo Beltrania sp. em
Pupunheirano Estado do Amapa,
Empresa Brasileira de Pesquisa
Agropecuária Centro de Pesquisa
Agroflorestal do Amapá Ministério
da Agricultura, Pecuária e
Abastecimento.Ministerio da
agricultura, pecuaria e
Abastecimento. Hal. 69
Kendrick, B. 2013. Analyse of
morphogenesis in the
hyphomycetes : New characters
derived from considering some
conidiophores and conidia as
condensed hyphal systems. Can. J.
Bot. 81 : 75 – 100.
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di
Laboratorium. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Lumyong S, Norkaew N, Ponputhachart D,
Lumyong P, dan Tomita F. 2001.
Isolation, Optimitation and
Characterization of Xylanase from
Endophytic fungi. Biotechnology for
Sustainable Utilization of Biological
Resources. The Tropic, 15.
Maloch, D., 1981. Mould; Their Isolation,
Cultivation and Identification.
University of Toronto, Canada. 2010.
A Comparative account of the
diversity and distribution of fungi in
tropical forest soils and sand dunes
of Orissa, India. J. Biodiversity 1(1) :
27 – 41.
Munngai P.G, Chukeatirote, E. Njogu, J.G.
Hyde, K.D. 2012. Coprophilous
Ascomycetes in Kenya: Chaetomium
Species from Wildlifes Dung.
Current Research in Enviromental
and Applied Mycology 2(20 : 113 –
128
Panda, T., Pani, P.K., Mishra, N.,
Mohanty, R.B.
Park, J.Y. 2003. Surface sterilization
method. Workshop on Isolation
Methods of Microbes. 37-38.
Biotechnology Center NITE & Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI,
Cibinong: 24-26 Juni 2003.
Rasmussen, H .N. 1995. Terrestrial
Orchids From Seed To Mycotrophic
Plant. Cambridge University Press.
Ritchie, B.J. 1995. International course on
identification of fungi of agricultural
importance : Plant Pathology
Techniques. International
Mycological Institute, Egham :7
Agustus-15 September 1995 .
Saha, D. and Rao, A.N. 2006. Studies on
Endophytic Mycorrhiza of Some
Selected Orchids of Arunachal
Pradesh-1. Isolation and
Identification. Bulletin of Arunachal
Forest Research 22 (1&2) : 9-16.
Sneh, B., Burpee, L., Ogoshi, A. 1991.
Identification of Rhizoctonia
Species. APS Press. St. Paul. MN.
Thorn, R.G, Reddy, C.A., Harris, D., and
Paul, E.A. Issolation of Saprophytic
Basidiomycetes from Soil. Appl.
Environ. Microbiol. 62 : 4.288 –
4.292 Upadhyaya, A., Singh, J., Tiwari, J., Gupta, S.
2012. Biodiversity of water borne
conidial fungi in Narmada River.
International Multidisciplinary
Research Journal. 2(9) : 20 – 22.
Von Arx, J.A. Guarro, J. and Figueras, M.J.
(1986). The ascomycete genus
Chaetomium. Beihefte zur Nova
Hedwigia 84: 1-162.
Watanabe, T. 2002. Soil and Seed Fungi :
Morphologies of Cultured Fungi and
Key to Species. 2nd
Edition. CRC
Press. London, New York,
Washington, D.C
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014 ISSN : 2355-6404 16
KEANEKARAGAMAN KUMBANG CERAMBYCIDAE (COLEOPTERA) DI
KAWASAN GUNUNG MEKONGGA DESA TINUKARI
KECAMATAN WAWO KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
(Diversity Of Cerambycidae Beetle (Coleoptera) In Mekongga Mount Area, In
Tinukari Village Wawo Sub District North Kolaka Regency In South East
Sulawesi Province)
Amirullah1, Citra Ariani
2, dan Suriana
1
1Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : [email protected]
Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 93232.
ABSTRACT
The aim of this research is to determine the distribution, diversity, evenness and
similarity of Cerambycidae bettle based on the total of species and individual at different
altitude in mount of Mekongga area in Tinukari village Wawo sub district, north Kolaka
regency in South East Sulawesi province. This research was used a survey method,
catching Cerambycidae bettle by using sweep net, light trap, malaise trap, artocarpus trap
and yellow pan trap by TCBG-LIPI mekongga team. Mounting and identification in
laboratory entomology, sector zoology, biology research center Tndonesian of science,
Cibinong Bogor, west java. The result show that there are 3 subfamilies of Cerambycidae
bettle; Laminae (54 species), Cerambycidae (21 species) and Prioninae (1 species). The
highest diversity index, was found at 0-500 asl (H'=3,389) and the evennes high category
was found at 1000-1500 asl (H'=1). The highest similarity index of species was found at
0-500 and 500-1000 asl (47,225%).
Key words : Cerambycidae Bettle, Diversity, Mekongga Mount.
19
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
PENDAHULUAN
Serangga merupakan kelompok
hewan dengan keragaman terbesar bila
dibandingkan dengan golongan hewan
lain yaitu hampir 75% dari total hewan
yang hidup di dunia (Listiani, 2008).
Serangga berhasil dalam
mempertahankan keberlangsungan
hidupnya pada habitat yang bervariasi,
kapasitas reproduksi yang tinggi,
kemampuan memakan jenis makanan
yang berbeda dan kemampuan
menyelamatkan diri dari musuhnya.
Serangga juga memegang peranan
yang sangat penting dalam suatu
ekosistem yakni sebagai herbivora,
predator, parasit, dekomposer maupun
sebagai penyerbuk dalam pembungaan
dan pembuahan (Latumahina dan
Anggraeni, 2010).
Kumbang (Coleoptera)
merupakan kelompok terbesar, sekitar
40% dari seluruh jenis serangga.
Anggotanya diperkirakan lebih dari
350.000 jenis yang sudah diketahui
namanya, 30.000 jenis ada di Amerika
Serikat dan Kanada (Borror et al.,
1996), di Australia 30.000 jenis
(Lawrence and Britton, 1994), dan
diperkirakan sekitar 10% dari jumlah
jenis kumbang dunia yang terdapat di
Indonesia. Khusus di Sulawesi,
diperkirakan terdapat 6000 jenis
kumbang setelah Hammond berhasil
mengoleksi 4500 jenis kumbang dari
hutan dataran rendah di Sulawesi Utara
(Shahabuddin dkk, 2005).
Kumbang sungut panjang
(Coleoptera, Cerambycidae) merupakan
kelompok serangga perombak kayu
yang mempunyai keanekaragaman yang
tinggi. Di Asia telah teridentifikasi
sekitar 35.000 spesies dan sekitar 10%
diduga terdapat di Tndonesia. Koleksi
kumbang sungut panjang yang
tersimpan di Laboratorium Entomologi,
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian
Biologi-LTPT, diperkirakan sekitar 1.200
spesies yang telah teridentifikasi
(Noerdjito dkk, 2011).
Kumbang Cerambycid
memainkan peran penting dalam
ekologi hutan karena membantu dalam
penguraian pohon yang mati. Kumbang
sungut panjang (Cerambycidae)
diketahui berperan sebagai perombak
bahan organik, terutama larvanya hidup
di dalam kayu yang sedang melapuk.
Susunan komunitas kumbang sungut
panjang yang ada di suatu kawasan
akan mencerminkan kondisinya
(Noerdjito et al., 2005).
17
20
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
Pegunungan Mekongga adalah
suatu pegunungan yang terletak di
Provinsi Sulawesi Tenggara tepatnya
di Kabupaten Kolaka Utara yang
memiliki hutan dengan ciri khas
tersendiri. Dari sisi biologis, hutan
tersebut mempunyai fungsi pokok
untuk mendukung kelangsungan
berbagai keanekaragaman hayati yang
ada di dalamnya (Budiman, 2008).
Hutan Mekongga telah diusulkan
menjadi kawasan hutan lindung sejak
tahun 2008, sehingga untuk
pengelolaannya diperlukan data
pendukung tentang berbagai aspek
ekologi, termasuk status flora dan
fauna yang ada di dalamnya. Data
dasar mengenai aspek biologi,
keanekaragaman dan komposisi jenis
biota terutama untuk jenis-jenis
endemik, rawan punah dan
mempunyai nilai ekonomi di kawasan
hutan tersebut sangat diperlukan.
Sejauh ini di pegunungan
Mekongga telah ditemukan adanya variasi
morfometri dan corak warna tubuh
beberapa spesies tawon (Suriana dkk.,
2011), sementara itu Wirawan (2012)
menemukan 22 spesies capung pada
ketinggian 1000-2000 m dari permukaan
laut (dpl) yang terdiri atas 6 famili dari tiga
subordo Anisoptera dan tiga dari subordo
Zygoptera. Tnformasi jenis kumbang
Cerambycidae di setiap ketinggian pada
kawasan Gunung Mekongga belum
dilakukan, oleh karena itu, dilakukan
penelitian tentang Keanekaragaman
Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) di
Kawasan Gunung Mekongga Desa
Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten
Kolaka Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dilakukan
pada bulan Agustus sampai Desember
2009, Juli sampai Desember 2010 dan
Juli 2011 oleh tim TCBG-LTPT.
Bertempat di Gunung Mekongga di
ketinggian 0-1500 mdpl di kawasan
Desa Tinukari Kecamatan Wawo
Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara. Identifikasi
dilaksanakan selama tiga bulan yaitu 26
Maret sampai dengan 28 Juni 2013
bertempat di Laboratorium Entomologi,
Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Cibinong Bogor, Jawa Barat. Alat dan
bahan yang digunakan Mikroskop
Binokuler, Loup, Jangka sorong, Kamera
Sony 16.2 MP, Killing bottle, Sweap net,
Malaise trap, Kertas label, Pinning block,
Pins insect, Plastozot, Oven, Kotak
penyimpanan,
18
21
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
Ju
mla
h s
pes
ies
Botol koleksi, Lem serangga, Kain
putih 2x3, Lampu mercury 150 watt,
Generator 1000 watt, Drower, Jarum
trap. Prosedur penelitian terdiri dari 4
tahap yaitu pengambilan spesimen,
pengawetan spesimen, identifikasi
pentul, Pinset runcing,
Mangkok kuning,
(Coleoptera), Buku
Desikator,
Serangga
identifikasi,
kumbang dan analisis data. Pengawetan
spesimen menggunakan alkohol.
Identifikasi dilakukan dengan melihat
Alkohol 70%, Air panas, Kamper/ ciri-ciri morfologi pada kepala/caput,
kapur barus, Silica gel,
Ethyl Acetat,
dada/thorax dan perut/abdomen. Data
Daun nangka, Garam,
Sabun cair.
disajikan dalam
bentuk gambar,
Pelaksanaan penelitian ini
menggunakan metode survei dengan
penangkapan kumbang Cerambycidae
diagram dan tabel jumlah spesies
kemudian dianalisis dengan
menggunakan aplikasi Primer 5 yaitu
menggunakan jaring penangkap, dengan menghitung indeks
perangkap lampu, malaise trap,
perangkap daun nangka dan yellow pan
keanekaragaman,
kesamaan.
kemerataan dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Spesies dan Jumlah Individu
Kumbang Cerambycidae dan
Hasil penelitian terhadap populasi
kumbang Cerambycidae ditiga
ketinggian lokasi penelitian, di kawasan
Distribusinya pada Berbagai
Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Ketinggian di Kawasan Gunung Mekongga
Utara, Sulawesi
Tenggara dapat
disajikan pada Histogram 1 dan 2.
50 42
40 30 30
20 14 8
10 1 0 0
3 4
0
0-500 500-1000 1000-1500
Ketinggian (mdpl)
Lamiinae Cerambycinae Prioninae
Gambar 1. Histogram Jumlah Spesies Kumbang Cerambycidae yang
ditemukan di kawasan Gunung Mekongga.
19
22
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
Ketinggian
(mdpl)
(H') Kategori
0 - 500 3,389 Tinggi
500 - 1000 3,296 Tinggi
1000 - 1500 1,946 Sedang
Ju
mla
h in
div
idu
250
200
150
100
50
220
36
2
72
10 0
3 4 0
0-500 500-1000 1000-1500
Ketinggian (mdpl)
subfamili Lamiinae subfamili Cerambycinae subfamili Prioninae
Histogram 1 dan 2 menunjukkan
jumlah spesies kumbang Cerambycid
yang ditemukan di Gunung Mekongga
beragam dengan jumlah jenis yang
bervariasi pada setiap ketinggian.
Pada hutan gunung Mekongga
ditemukan 347 individu dengan 76
spesies kumbang Cerambycid.
Kumbang Cerambycidae di area
hutan Gunung Mekongga pada
ketinggian yang berbeda memiliki
jumlah individu dan spesies yang
berbeda. Pada ketinggian 0-500 mdpl
ditemukan 57 spesies dengan total
individu 258, yang mendominasi adalah
Pterolophia sp.1 sebanyak 31
individu. Ketinggian 500-1000 mdpl
ditemukan 38 spesies dengan 82
individu, yang didominasi oleh Gnoma
sp.2 dengan 10 individu, dan
ketinggian 1000-1500 mdpl
merupakan habitat yang memiliki
jumlah spesies dan jumlah individu
yang paling rendah, disini ditemukan 7
spesies dengan 7 individu, tidak
ditemukan jenis yang mendominasi.
Dengan demikian dari ketiga habitat
tersebut, jumlah spesies dan jumlah
individu paling banyak ditemukan pada
ketinggian 0-500 mdpl.
B. Indeks Keanekaragaman
Kumbang Cerambycidae
(Coleoptera) yang ditemukan
pada Berbagai Ketinggian di
Kawasan Gunung Mekongga
Nilai keanekaragaman spesies
menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon dan Wiener (H') (Lien and
Yuan, 2003) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks keanekaragaman
spesies kumbang Cerambycidae yang
ditemukan pada berbagai ketinggian di
kawasan Gunung Mekongga
Gambar 2. Distribusi jumlah individu kumbang Cerambycidae yang
ditemukan di kawasan Gunung Mekongga
20
23
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
Hasil perhitungan indeks
keanekaragaman pada Tabel 1
menunjukkan ketinggian 0-500 mdpl
dan 500-1000 mdpl tergolong
kategori tinggi bila dibandingkan
dengan ketinggian 1000-1500 mdpl
menunjukkan kategori rendah.
Menurut Deshmukh (1992) dalam La
Hendri (2011), faktor yang menunjang
tinggi rendahnya indeks
keanekaragaman adalah kerapatan
jenis dalam komunitas, sehingga
dengan kondisi yang berubah pada
suatu komunitas akan mempengaruhi
jumlah jenis maupun jumlah individu
jenis tertentu.
Tingginya tingkat
keanekaragaman pada ketinggian 0-500
mdpl dan 500-1000 mdpl disebabkan
karena pada habitat tersebut terdapat
berbagai jenis sumber daya untuk
dimanfaatkan dengan kondisi
lingkungan yang dapat ditoleransi oleh
berbagai jenis kumbang Cerambycidae.
Tingginya keanekaragaman jenis ini
ditunjukkan dengan ditemukannya 347
individu dari 76 spesies. Ketinggian 0-
500 mdpl sebanyak 258 individu,
ketinggian 500-1000 mdpl sebanyak 82
individu dan ketinggian 1000-1500
mdpl mempunyai keanekaragaman
yang sedang dengan jumlah 7 individu.
Menurut Odum (1996) dalam La
Hendri (2011), semakin banyak jumlah
spesies maka semakin tinggi
keanekaragamannya. Sebaliknya, bila
nilainya kecil maka komunitas tersebut
didominasi oleh satu atau sedikit jenis.
C. Indeks Kemerataan Kumbang
Cerambycidae (Coleoptera) yang
ditemukan pada Berbagai Ketinggian
di Kawasan Gunung Mekongga
Indeks kemerataan spesies
memakai indeks kemerataan Shannon
(Mangguran, 2004). Berikut Tabel 2
yang menunjukkan indeks kemerataan
spesies kumbang Cerambycidae.
Tabel 2. Indeks kemerataan spesies
kumbang Cerambycidae yang
ditemukan pada berbagai ketinggian di
kawasan Gunung Mekongga
Ketinggian
(mdpl) (E) Kategori
0 - 500 0,8382 Tinggi 500 - 1000 0,9062 Tinggi 1000 - 1500 1 Tinggi
Hasil perhitungan indeks
kemerataan jenis pada kawasan
Gunung Mekongga menunjukkan
bahwa kumbang Cerambycidae pada
masing-masing habitat cukup merata.
Ketinggian 0-500 mdpl menunjukkan
nilai kemerataan 0,8382, ketinggian
500-1000 mdpl dengan nilai
kemerataan 0,9062 dan lokasi
penelitian dengan ketinggian 1000-
1500 mdpl dengan nilai kemerataan 1,
hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang
terdapat di lokasi penelitian tersebar
21
24
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
Ketinggian
(mdpl) 0- 500
500 -
t000 t000 -
t500
0 - 500
500 - 1000 47,2%
merata di seluruh kawasan. Menurut
Dendang (2009) bahwa ukuran
keseimbangan antara satu komunitas
dengan komunitas lainnya sangat
ditentukan oleh nilai Tndeks
kemerataan dan nilai ini dipengaruhi
oleh jumlah jenis yang terdapat dalam
satu komunitas. Perbedaan ketinggian
akan menyebabkan perbedaan iklim
(seperti suhu, kelembaban dan curah
hujan), pola penyebaran vegetasi dan
mempengaruhi kemerataan spesies
kumbang Cerambycidae.
D. Indeks Kesamaan Kumbang
Cerambycidae (Coleoptera) yang
ditemukan pada Berbagai
Ketinggian di Kawasan Gunung
Mekongga
Kesamaan spesies kumbang
Cerambycidae antar ketinggian tempat
menggunakan indeks kesamaan Bray-
Curtis. Data yang digunakan adalah
data spesies dan kelimpahan spesies
masing-masing ketinggian tempat
(Cheng, 2004). Indeks Kesamaan
Bray-Curtis dihitung menggunakan
program Primer (Plymouth Routines
Tn Multivariate Ecological Research).
Tabel 3. Indeks kesamaan spesies
kumbang Cerambycidae yang
ditemukan pada berbagai
ketinggian di kawasan Gunung
Mekongga
Tingkat kesamaan jenis diukur
dengan menggunakan perhitungan
indeks kesamaan jenis (Tndeks
Similaritas). Berdasarkan hasil
perhitungan indeks similaritas pada
Tabel 3 menunjukkan kumbang
Cerambycidae pada tiga lokasi kategori,
memiliki nilai indeks tertinggi yaitu
pada ketinggian 0-500 mdpl dan 500-
1000 mdpl yaitu sebesar 47,2%. Hal
tersebut menunjukkan adanya
kemiripan komunitas dalam hal jumlah
spesies pada kumbang Cerambycidae
antara ketinggian 0-500 mdpl dengan
500-1000 mdpl. Hal ini disebabkan
karena pada kedua ketinggian tersebut
terdapat kesamaan jenis habitat yang
berupa hutan alami yang didominasi
oleh pepohonan besar dan tanaman
perdu.
Nilai indeks kesamaan yang
lebih rendah terdapat pada ketinggian
500-1000 mdpl dengan 1000-1500
mdpl dengan nilai 6,4%. Ketinggian
tersebut memiliki kondisi lingkungan
yang cukup berbeda. Kondisi
lingkungan pada ketinggian 1000-1500
mdpl cukup ekstrim, karena kurangnya
vegetasi dan sumber makanan sehingga
kumbang Cerambycidae hanya sebagian
kecil yang mampu bertahan.
1000 - 1500 14,1% 6,4%
22
25
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
A. Simpulan
PENUTUP B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka penulis menyarankan :
Berdasarkan hasil penelitian dan
identifikasi yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Jumlah spesies dan individu
kumbang Cerambycidae
(Coleoptera) yang di temukan pada
ketinggian 0-500 mdpl di Kawasan
Gunung Mekongga lebih banyak
dibandingkan pada ketinggian 500-
1000 dan 1000-1500 mdpl.
2. Indeks keanekaragaman jenis
kumbang Cerambycidae kategori
tinggi di kawasan Gunung
Mekongga terdapat pada ketinggian
0-500 mdpl, sedangkan kategori
rendah terdapat pada ketinggian
1000-1500 mdpl.
3. Indeks kemerataan spesies
kumbang Cerambycidae pada
kawasan Gunung Mekongga dari
tiga ketinggian cukup merata.
4. Indeks kesamaan spesies kumbang
Cerambycidae yang terdapat di
kawasan Gunung Mekongga
memiliki nilai kesamaan spesies
yang tinggi terdapat pada
ketinggian 0-500 mdpl dengan 500-
1000 mdpl dan terendah pada
ketinggian 500-1000 mdpl dengan
1000-1500 mdpl.
5. Perlu adanya kajian diversitas
secara mendalam tentang hubungan
ketinggian dan faktor
lingkungannya terhadap spesies
kumbang Cerambycidae di
kawasan Gunung Mekongga.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang hubungan vegetasi
terhadap perkembangan populasi
kumbang Cerambycidae di
kawasan Gunung Mekongga.
DAFTAR PUSTAKA
Borror, D.J., Triplehorn C.A., and
Johnson. N.F., 1996, Pengenalan
Pelajaran Serangga Edisi Keenam,
Penerjemah: Partosoedjono, S. dan
Brotowidjoyo, M,D., Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
Budiman, U., 2008, Gambaran Umum
Pengetahuan Tentang
llegalogging Kayu Serta Dampak
Pada Pemanasan Global di
Pegunungan Mekongga,
Cakrabuana, Makassar.
Cheng, C., 2004, Statistical approaches
on discriminating spatial
variation of species diversity,
Bot. Bull Acad Sin, 45, 339-
346.
Dendang, B. 2009. Keragaman Kupu-
Kupu Di Resort Selabintana Taman
Nasional Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat. Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam, 6. 25-
36.
23
Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014
Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung
Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara
La Hendri., 2011, Keanekaragaman dan
Komposisi Jenis Semut di
Gunung Mekongga Desa
Tinukari Kecamatan Wolo
Kabupaten Kolaka Utara
Provinsi Sulawesi Tenggara,
Skripsi, Universitas Haluoleo,
Kendari.
Latumahina, F,S., dan Anggraeni, T., 2010,
Diversitas Coleoptera Dalam
Kawasan Hutan Lindung Sirimau
Kota Ambon, Seminar,
Yogyakarta, 24-25 Septembar
2010.
Lawrence, J.F., and Britton, E.B., 1994,
Australian Beetles, Melbourne
University Press.
Lien, V,V., and Yuan, D., 2003. The
differences of butterfly
(Lepidoptera, Papilionoidea)
communities in habitats with
various degrees of disturbance
and altitudes in tropical.
Biodiversity and Conservation,
12, 1099-1111.
Listiani, L., 2008, Pengaruh Pola
Perkawinan Poliandri
Kumbang Ulat Tepung
(Tenebrio molitor L.) Terhadap
Jumlah Larva Dan Jumlah
Kumbang Anaknya, Skripsi,
Tnstitut Pertanian Bogor,
Bogor.
Mangguran, A. E., 2004. Measuring
biological diversity. Malden:
Blackwell Publishing.
Noerdjito, W.A., H. Makihara & K
Matsumoto. 2005. Longicorn
beetle fauna (Coleoptera,
Cerambycidae) collected from
Friendship Forest at Sekaroh,
Lombok. Proc. Tnt. Workshop
on the Landscape Level
Rehabilitation of degraded
Tropical Forests, 22-
23 February, 2005.,
FFPRT, Tsukuba, Japan,
pp. 55-64.
Noerdjito, W.A., 2011, Evaluasi
Kondisi Hutan Berdasarkan
Keragaman Kumbang Sungut
Panjang (Coleoptera :
Cerambycidae) di Kawasan
Gunung Slamet. Berita Biologi
(dalam proses penerbitan).
Noerdjito, W.A., Aswari, P., Peggie,
D., 2011, Fauna Serangga
Gunung Ciremai, Lipi Press,
Bogor
Odum, E.P., 1993, Dasar-Dasar
Ekologi, Penerjemah:
Sarningan, T., dan Srigandono,
B., Gadjahmada University
Press, Yogyakarta.
Shahabuddin, Hidayat, P., Noerdjito,
W. A., Manuwoto, S., 2005,
Penelitian Biodiversitas
Serangga di lndonesia:
Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeidae) dan Peran
Ekosistemnya, Biodiversitas,
Vol. 6, No. 2, Hal. 141-146.
Suriana, M., Nurhayani., Ambardini,
S., Adi, D.A., 2011, Morfometri
dan Corak Warna Tubuh
Beberapa Spesies Tawon di
Kawasan Gunung Mekongga,
BLV, Universitas Haluoleo,
Kendari.
Wirawan, G.S., 2012, Jenis-jenis
Capung di Kawasan Gunung
Mekongga Pada Ketinggian
1000-2000 m dpl Desa Tinukari
Kecamatan Wawo Kabupaten
Kolaka Utara Sulawesi
Tenggara, Skripsi, Universitas
Haluoleo, Kendari.
24
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014 ISSN : 2355-6404 25
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
KARAKTERISASI FRAGMEN GEN 18S rRNA POKEA (Batissa violacea celebensis
Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA KECAMATAN SAMPARA KABUPATEN
KONAWE
(Characterization of 18S rRNA Gene Fragmen from Pokea (Batissa violacea celebensis
Martens, 1897) in the Pohara River Sampara District Konawe Regency)
Muzuni1,2*
, Dwi Arinto Adi1,2
, dan Satriani Syarif2
1Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari
2Laboratorium Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari
e-mail :[email protected]
ABSTRACT
This study aims to characterize sequences of 18S rRNA gene fragment from Pokea (Batissa
violacea celebensis Martens, 1897) and its role in differentiated Pokea with other Bivalvia.
The method used is a series of PCR (Polymerase Chain Reaction) reaction used to determine
the sequence of 18S rRNA gene fragments Pokea. Analysis of the data using program NCBI
(National Center for Biotechnology Information), Clustal X, Phydit (Phylogenetik editor), and
TreeViewX for characterization 18S rRNA gene sequence to construct a phylogenetik tree of
Pokea. The results showed that character of 18S rRNA gene fragments Pokea, namely: size
827 bp, including the family Corbicullidae because it has the closest kinship with Corbicula
fluminea, as well as having restriction enzyme sites XhoI, PstI, BamHI, and DraI.
Keywords: Morphology, characterization, 18S rRNA gene, Pokea (Batissa Violacea
celebensis Martens, 1897).
PENDAHULUAN
Provinsi Sulawesi Tenggara
memiliki beberapa sungai besar maupun
sungai kecil yang sangat potensial untuk
kebutuhan air bersih, irigasi, pembangkit
listrik, dan untuk berbagai kebutuhan
lainnya. Sungai Pohara merupakan salah
satu sungai yang terdapat di Sulawesi
Tenggara. Masyarakat yang bermukim di
daerah Sungai Pohara menggunakan
sungai tersebut sebagai sumber mata
pencaharian dan salah satunya adalah
menangkap kerang di sungai lalu
menjualnya (Nafsal, 2008).
Kerang (Bivalvia) adalah salah
satu jenis makanan yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat karena
mengandung gizi yang tinggi terutama
protein. Selain itu, kerang dapat pula
digunakan sebagai bahan perhiasan yang
mempunyai nilai ekonomis penting.
Cangkangnya, setelah melalui proses
tertentu, dapat dijadikan pupuk, makanan
tambahan unggas, dan pembuatan cat, serta
kapur (Nadia, 2011).
Bivalvia yang hidup di Sungai
Pohara berasal dari family Corbicullidae
dengan jenis Batissa violacea celebensis
Martens, 1897. Masyarakat setempat
mengenalnya dengan sebutan Pokea.
Berdasarkan informasi LIPI-Cibinong
dalam Bahtiar (2005) bahwa pokea ini
26
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
merupakan hewan endemik di Sulawesi
Tenggara sedangkan di sungai lain yang
ada di Sulawesi Tenggara belum ada
informasi ditemukannya organisme ini.
Penelitian mengenai karakter
morfologi dan fenotip pada Pokea (Batissa
violacea celebensis Martens, 1897) telah
banyak dilakukan (Bahtiar, 2005; Nafsal,
2008; Renel, 2001), namun untuk
mengidentifikasi suatu organisme
menggunakan teknik molekuler belum
banyak dilakukan. Beberapa teknik
molekuler telah dikembangkan untuk
melacak adanya urutan DNA spesifik dari
organisme tertentu, contohnya penggunaan
urutan gen 18S rRNA untuk menentukan
hubungan kekerabatan suatu organisme
dengan yang lain melalui pohon
filogenetik.
Gen 18S rRNA sering digunakan
untuk studi filogenetik karena mempunyai
daerah yang conserve (tidak berubah dari
satu organisme ke organisme yang lain).
Daerah conserve dan unik dapat digunakan
untuk pencirian organisme bersangkutan
sehingga menjadi urutan tanda tangan
(signature sequence). Data basa penyandi
gen 18S rRNA memungkinkan untuk
digunakan dalam mengkontruksi pohon
filogenetik yang menunjukkan nenek
moyang dan kekerabatan suatu organisme
(Suwanto, 2011). Penelitian secara
molekuler dapat menjadi pelengkap atau
alternatif untuk mengidentifikasi
organisme secara morfologi. Penelitian ini
dapat menjelaskan karakteristik fragmen
gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897) yang diperoleh
dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara. Karakteristik ini dapat dijadikan
sebagai pembeda dengan organisme yang
lain.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah micropipet, tip,
sentrifugator, vortex, set elektroforesis,
mesin PCR, waterbath, tabung eppendorff,
inkubator, timbangan analitik,
photoforesis, erlemeyer, hotplate,
spektrofotometer, spatula, alu dan mortar.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897) yang diambil
dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara, buffer CTAB, primer, master
mix, agarose, PCI (Phenol-Chlorofom-
Isoamyl Alcohol), pasir kuarsa, ethidium
bromide, TAE (Tris-acetic EDTA) 1X,
etanol 70 %, etanol absolut, aquadest,
RNAse, dan loading dye.
27
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Prosedur Kerja
Isolasi DNA
Ektraksi DNA Pokea (Batissa
violacea celebensis Martens,1897)
menggunakan metode CTAB (Cetyl
Trimetyl Ammonium Bromide) (Sambrook
et al., 1989). Sebelum dilakukan ekstraksi,
terlebih dahulu buffer lisis disiapkan
dengan kebutuhan sesuai jumlah sampel
yang akan diekstraksi. Sampel yang
diambil dari kaki Pokea terlebih dahulu
ditimbang sebanyak 0,1-0,2 gr dan
dipotong kecil-kecil, lalu digerus dengan
bantuan pasir kuarsa. Sampel dimasukkan
ke dalam eppendorff 1,5 ml dan
ditambahkan 600 μl buffer lisis. Sampel
diinkubasi selama 30 menit dengan suhu
65oC dan dibolak-balik setiap 5 menit.
Sampel kemudian dimasukkan ke dalam es
selama 5 menit lalu disentrifugasi pada
10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
diambil lalu dimasukkan ke dalam
eppendorff baru ukuran 1,5 ml dan
ditambahkan 1 x volume PCI (Phenol-
Chlorofom-Isoamyl Alcohol) yang
berfungsi memisahkan kontaminan seperti
protein dan senyawa - senyawa organik
dengan DNA.
Selanjutnya suspensi disentrifugasi
pada 10.000 rpm, suhu 40C selama 10
menit. Supernatan diambil dan
dipindahkan dalam eppendorff 1,5 ml lalu
ditambahkan dengan 0,1 volume sodium
asetat 3 M pH 5,2 kemudian ditambahkan
2 x volume etanol absolut lalu diinkubasi
selama 2 jam. Setelah 2 jam suspensi
kemudian disentrifugasi kembali selama 20
menit pada 10.000 rpm suhu 40C sehingga
pellet DNA diperoleh. Selanjutnya pellet
DNA dicuci dengan 0,5 ml ethanol 70 %,
lalu dikeringkan kemudian dilarutkan
dalam 20 μl H2O. Untuk menghilangkan
RNA, larutan ditambahkan 100 μg/μl
RNAse, lalu diinkubasi pada suhu 370C
selama 12 jam. Larutan DNA selanjutnya
disimpan pada suhu -40C.
Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
Kualitas DNA dapat diukur dengan
elektroforesis dan spektofotometer,
sedangkan kuantitas DNA diukur dengan
alat spektrofotometer. Elektroforesis DNA
hasil isolasi berfungsi untuk mengetahui
apakah DNA utuh atau terdegradasi.
Spektrofotometer pada panjang gelombang
260 nm dan 280 nm berfungsi untuk
mengetahui apakah DNA murni atau
terkontaminasi. Panjang gelombang yang
digunakan untuk mengetahui kandungan
DNA/RNA menggunakan spektrofotometri
UV adalah 260 nm, sedangkan untuk
mengetahui kandungan protein
menggunakan spektrofotometri UV dengan
panjang gelombang 280 nm.
Kualitas DNA ditetapkan
berdasarkan nilai rasio A260/A280 sekitar
1,8 - 2,0. Kuantitas DNA ditetapkan
28
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
berdasarkan asumsi bahwa 1 DO = 50
μg/ml DNA utas ganda dengan rumus:
Keterangan :
= Konsentrasi DNA
A260 = Absorbansi pada panjang
gelombang 260 nm
50 μg/ml = Konstanta untuk DNA
FP = Faktor pengenceran
Desain Primer
Primer spesifik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bagian dari
urutan 18S rRNA beberapa Bivalvia,
yakni: Anodonta cygnea (AM774476);
Psilunio littoralis (AF120536); Anodonta
sp. (AY579090); Lampsilis cardium
(AF120537); Elliptio complanata
(AF117738); Neotrigonia lamarckii
(AM774478). Urutan-urutan DNA tersebut
diperoleh dari bank data gen (Genebank).
Selanjutnya seluruh urutan tersebut
disejajarkan dengan menggunakan
Program BioEdit versi 7.0.9. Daerah yang
terkonservasi merupakan daerah spesifik
yang dimiliki oleh gen tersebut sehingga
dapat digunakan sebagai primer spesifik.
Primer yang digunakan dalam penelitian
ini adalah primer Anodr-F (5’-GAC ACG
GGG AGG TAG TGA CG-3’) dan primer
Anodr-R (5’-CCA CCC ACC GAA TCA
AGA AA-3’). Perkiraan jumlah urutan
fragmen gen 18S rRNA yang akan
terbentuk adalah 821 bp (base pair).
Reaksi Amplifikasi dan Elektroforesis
Persiapan PCR untuk amplifikasi
dilakukan dalam bak berisi es. Sebanyak
1,5 μl DNA contoh (konsentrasi 100
ng/μl), 1 μl primer forward (konsentrasi 10
μM), 1 μl primer reverse (konsentrasi 10
μM), 1,5 μl dH2O dan 5 μl master mix 2x
yang terdiri dari H2O, 10 x Stoffel Buffer,
dNTP, MgCl2, dan enzim Taq DNA
Polymerase, dimasukkan dalam eppendorff
ukuran 0,5 ml. Campuran kemudian
divortex dan disentrifugasi, lalu
dimasukkan ke dalam mesin PCR.
Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35
siklus yang terdiri dari 2 stage. Stage 1
dilakukan sebanyak 5 siklus yang terdiri
dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1
menit pada suhu 940C, annealing selama
30 menit pada suhu 600C, dan extension
selama 90 menit pada suhu 720C. Stage 2
dilakukan sebanyak 30 siklus yang terdiri
dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1
menit pada suhu 940C, annealing selama
30 menit pada suhu 550C, dan extension
selama 90 menit pada suhu 720C.
Hasil amplifikasi selanjutnya
dielektroforesis dengan agarose 1 % (0,3 g
agarose, 30 ml TAE 1x dan 7,5 μl etidium
bromida) pada voltase konstan 100 volt
dan 80 A selama 30 menit lalu
divisualisasikan di atas UV transiluminator
kemudian dilakukan pemotretan dengan
photoforesis.
[DNA] = A260 x 50 μg/ml x FP
29
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Pengurutan DNA
Pengurutan DNA hasil amplifikasi
menggunakan alat DNA sequencer ABI
Prism 377. Pengurutan dilakukan dengan
metode Sanger, menggunakan terminator
dye berupa fluorescent dye rhodamin
(PRISM reaction dyedoaxy terminator
cycle sequencing kit). Setelah
mendapatkan hasil pengurutan, urutan
kemudian disejajarkan dengan
menggunakan program NCBI blast.
Analisis Data
Identifikasi urutan nukleotida
dilakukan dengan beberapa analisis.
Analisis kesejajaran lokal (local
alignment) hasil pengurutan DNA dengan
data yang ada di GeneBank dilakukan
dengan program BLAST (Basic Local
Alignment Search Tools) yang disediakan
NCBI (National Center for Biotechnology
Information) melalui http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/blast (Muzuni et al.,
2010 ; Mursyidin et al., 2012). Data urutan
gen 18S rRNA disejajarkan dengan
program Clustal X (Hidayat et al., 2008).
Konstruksi pohon filogenetik dengan
metode neighbour-joining menggunakan
program Phydit (phylogenetik tree)
(Sembiring et al., 2008). Analisis situs
retriksi menggunakan program NEBcutter
2.0 (Muzuni et al., 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA Pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897)
Pada tahap ini sampel yang
digunakan terdiri dari 4 ulangan. Setelah
diisolasi DNA kemudian dielektroforesis
untuk mengetahui apakah isolasi berhasil
atau tidak. Keberhasilan proses isolasi
dilihat berdasarkan ada atau tidaknya pita
DNA hasil elektroforesis. Elektroforesis
juga berfungsi untuk mengetahui apakah
DNA hasil isolasi utuh atau terdegradasi.
Hasil elektroforesis memperlihatkan
pita DNA utuh (Gambar 1) hanya pada
ulangan 2 dan 4, sedangkan pada ulangan 1
dan 3 tidak terlihat. DNA utuh
terkonsentrasi pada ujung sedikit di bawah
sumur. Pemendekan yang ada di sepanjang
sumur bagian tengah menunjukkan DNA
yang mengalami degradasi. Degradasi
DNA dapat terjadi karena adanya DNA
yang terpotong-potong akibat pemipetan
sampel berulang-ulang atau penempatan
DNA dalam suhu kamar terlalu lama.
DNA mengalami degradasi juga bisa
disebabkan oleh karena DNA mengalami
pembekuan berulang-kali, pengenceran
atau kontaminasi nuklease selama proses
ekstraksi DNA (Lester, 2011).
30
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA. 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan 4 ulangan.
RNA yang telah terdegradasi
tampak pada bagian bawah sumur di setiap
ulangan. Untuk menghilangkan RNA,
sebelum pengukuran kualitas dan kuantitas
DNA sampel nomor 2 ditambahkan
RNAse sehingga dapat memberikan hasil
elektroforesis yang bersih dari RNA pada
proses elektroforesis selanjutnya.
Penambahan RNAse hanya diberikan pada
sampel nomor 2 karena hanya pada sampel
nomor 2 pita DNA utuh terlihat tebal dan
jelas.
Pengukuran Kualitas Dan Kuantitas
DNA
Pengukuran kualitas dan kuantitas
DNA diperlukan untuk mengetahui
kualitas DNA, sehingga dapat ditentukan
pengenceran yang diperlukan untuk proses
selanjutnya. Pengenceran DNA yaitu hasil
ekstraksi DNA yang didapatkan dicampur
aquabides. Perbandingan antara DNA dan
aquabides disesuaikan dengan besarnya
pengenceran. Pengenceran dilakukan agar
mendapatkan konsentrasi yang seragam
untuk digunakan dalam analisis PCR.
Kuantitas DNA didasarkan pada
nilai konsentrasi DNA, dimana konsentrasi
DNA didapatkan dengan rumus
konsentrasi DNA (μg/ml) = Absorbansi
(260) x Faktor konversi DNA (50 μg/ml) x
Faktor pengenceran (pembacaan 1 pada
260 nm setara dengan 50 μg/ml DNA untai
ganda). Tingkat kemurnian DNA yang
baik untuk digunakan dalam proses
amplifikasi dengan PCR, jika nilai rasio
yang didapatkan adalah 1,8-2,0
(Suharsono, 2005 ; Sambrook et al., 1989)
DNA utuh
DNA terdegradasi
RNA terdegradasi
31
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
M 1 2 3 4
Tabel 1. Hasil spektrofotometer pada sampel nomor 2
No Perlakuan
Sampel
Absorbansi pada panjang
gelombang () Konsentrasi
(μg /ml)
Kemurnian
(260/280) 260 280
1 Sampel
Pokea 0,274 0,142 2740 1,9291
Hasil spektrofotometer pada Tabel
1 menunjukkan kualitas DNA adalah
1,9291, hal ini mengindikasikan DNA
tergolong murni dan bisa digunakan pada
tahap selanjutnya yaitu amplifikasi DNA.
Konsentrasi DNA adalah 2740 μg/ml,
setelah perhitungan maka DNA diencerkan
dengan konsentrasi akhir 100 µg/ml
volume 20 μl, menggunakan 0,7299 μl dan
aquabides 19,270 μl untuk proses
amplifikasi PCR. Nilai dari volume akhir
pengenceran 20 µg/ml dipilih karena
dianggap jumlah yang sesuai agar DNA
stok yang digunakan tidak terlalu banyak
dan tidak terlalu sedikit sehingga dapat
menghemat stok DNA yang ada.
Amplifikasi DNA
Hasil PCR kemudian dielektroforesis
untuk melihat pita DNA yang terbentuk.
Pada tahap ini ada 4 ulangan dari 1 sampel
yang sama (nomor 2) dengan komposisi
DNA yang berbeda-beda. Ulangan 1
jumlah DNA yang digunakan sebanyak
0,5 μl, ulangan 2 jumlah DNA yang
digunakan sebanyak 1 μl, ulangan 3
jumlah DNA yang digunakan sebanyak 1,5
μl, dan ulangan 4 jumlah DNA yang
digunakan sebanyak 2 μl (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil PCR. M = Marker 1 kb
leader; 1, 2, 3 dan 4
menunjukkan 4 ulangan
Pada tahap ini digunakan banyak
ulangan dengan komposisi DNA yang
berbeda-beda untuk mencari komposisi
DNA yang tepat agar proses PCR
selanjutnya lebih maksimal. DNA dalam
proses PCR terdiri dari dua jenis yaitu: (1)
DNA target yang akan diamplifikasi
kembali, (2) DNA non target (Kennedy,
2011). Hasil visualisasi PCR menunjukkan
tidak terbentuk pita DNA pada ulangan 2,
sedangkan pada ulangan 1, 3 dan 4
terbentuk pita DNA yang mengindikasikan
komposisi PCR berhasil melipatgandakan
DNA. Ulangan 1 hanya menghasilkan
DNA target atau DNA yang diinginkan,
sedangkan pada ulangan 3 dan 4
2000 pb
1650 pb
1000 pb
850 pb
32
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
membentuk pita DNA non target dan DNA
target. Hal ini menunjukkan jumlah DNA
0,5 μl komposisi yang tepat untuk
mendapatkan hasil PCR yang maksimal.
DNA target berukuran sekitar 850
bp, hal ini sesuai dengan perkiraan jumlah
yang akan dihasilkan oleh primer forward
dan primer reverse. Sedangkan DNA non
target berukuran sekitar 12.000 bp yang
merupakan DNA genom. Komposisi DNA
1,5 μl dan 2 μl merupakan komposisi yang
menghasilkan DNA non target berupa
DNA genom, hal ini menunjukkan jumlah
tersebut bukan komposisi yang tepat untuk
mendapatkan hasil PCR yang maksimal
untuk Pokea (Batissa violacea celebensis
Martens, 1897).
Banyaknya DNA target yang
digunakan akan menentukan hasil akhir
dari proses amplifikasi. Jika DNA target
yang digunakan terlalu sedikit maka DNA
yang dihasilkan sedikit bahkan
kemungkinan tidak teramplifikasi,
sedangkan apabila terlalu banyak DNA
target maka akan diperoleh lebih banyak
DNA yang tidak diinginkan (Yuwono,
2006; Kennedy, 2011).
Pengurutan Fragmen DNA
Pengurutan fragmen gen 18S rRNA
dilakukan dari dua arah, arah ujung
forward dan ujung reverse menggunakan
primer Anodr-F dan Anodr-R. Primer
yang digunakan dalam penelitian ini
sengaja dirancang agar berukuran kecil
yaitu berukuran 20 nukleotida, karena
primer yang memiliki urutan yang pendek
lebih mudah diamplifikasi. Kespesifikan
primer tidak akan meningkat jika panjang
primer lebih dari 30 nukleotida. Primer
yang tidak spesifik dapat menyebabkan
teramplifikasinya daerah lain dalam genom
yang tidak dijadikan target atau sebaliknya
tidak ada daerah pada genom yang
teramplifikasi.
Hasil pengurutan fragmen gen 18S
rRNA menggunakan mesin sequencer
berupa dendogram yang memperlihatkan
grafik nukleotida. Nukleotida diwakili
warna yang berbeda-beda. Nukleotida G
diwakili oleh warna hitam, nukleotida C
diwakili oleh warna biru, nukleotida T
diwakili oleh warna merah dan nukleotida
A diwakili oleh warna hijau. Setelah diolah
menggunakan program Bioedit dapat
diketahui bahwa urutan gen 18S rRNA
yang diurutkan dari arah forward memiliki
688 nukleotida sedangkan dari arah
reverse memiliki 677 nukleotida (data
tidak ditunjukkan).
33
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Gambar 3. Urutan gen 18S rRNA parsial Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897).
Urutan fragmen gen 18S rRNA dari Pokea
masih harus diolah kembali menggunakan
analisis contig menggunakan program
Bioedit untuk mengetahui urutan DNA
yang terbaca dari dua arah (forward dan
reverse). Setelah diolah lebih lanjut,
diketahui bahwa fragmen gen 18S rRNA
Pokea berukuran 827 bp (Gambar 3).
Sebagai pembanding, gen 18S rRNA full
length berukuran sekitar 1.800 bp
(Itskovich et al., 2007 ; Soltis et al., 2001).
Fragmen gen 18S rRNA Pokea dalam
penelitian ini berada pada bagian tengah
gen 18S rRNA, yaitu daerah yang diapit
oleh primer Anodr-F dan Anodr-R yang
berukuran 827 bp.
Analisis Filogenetik Berdasarkan
Urutan Fragmen Gen 18S rRNA
Urutan fragmen gen 18S rRNA
Pokea (Batissa violacea celebensis
Martens, 1897) selanjutnya dianalisis
secara online menggunakan program
BLAST pada situs genebank NCBI.
Analisis yang dilakukan yakni
penyejajaran (alignment) dengan database
urutan gen 18S rRNA yang terdapat pada
GeneBank. Secara otomatis program
BLAST akan memproses penyejajaran
urutan gen 18S rRNA yang dimasukkan.
Analisis dengan menggunakan program ini
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
antara urutan basa yang didapatkan dengan
urutan yang terdapat dalam bank data gen.
Hasil blast menggunakan NCBI
tidak ditemukan adanya urutan gen 18S
rRNA yang memiliki presentase identitas
kemiripan hingga 100% dengan Pokea.
Beberapa urutan gen 18S rRNA yang
terdapat di NCBI mempunyai identitas
kemiripan hanya berkisar 93% sampai
dengan 99% (data tidak ditunjukkan). Hal
ini menunjukkan bahwa belum tersedianya
urutan fragmen gen 18S rRNA Pokea di
34
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
GeneBank. Persentase identitas kemiripan
teratas ditempati oleh Corbicula fluminea.
Hal ini menandakan Urutan gen 18S rRNA
Pokea apabila dilihat dari hasil blast
memiliki hubungan kekerabatan dengan
Corbicula fluminea.
Pengolahan data dilakukan
otomatis menggunakan software yang
berkaitan dengan pembuatan pohon
filogenetik. Pada penelitian ini digunakan
3 program yaitu NCBI, Clustal X, Phydit
(Phylogenetik editor), dan TreeViewX.
Metode yang digunakan untuk
mengkontruksi pohon filogenetik adalah
neighbour-joining dengan 1000x replikasi.
Berdasarkan Gambar 4, terlihat Pokea
berada pada clade X dengan 4 spesies
lainnya pada skala 0,1. Diantaranya
Corbicula fluminea, Hemidonax pictus,
Artica, dan Ruditapes variegatus. Clade ini
mempunyai nilai kepercayaan 100 % yang
menunjukkan Clade X ini adalah
kelompok yang stabil. Menurut Felsenstein
(1985) dalam Bahagiawati (2010) clade
yang memiliki nilai bootstrap atau nilai
kepercayaan 95% atau lebih dapat
dikatakan sebagai clade yang benar-benar
stabil.
Gambar 4. Pohon filogeni yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara Pokea (Batissa violacea
celebensis martens,1897) dengan spesies Bivalvia atas dasar urutan gen 18S rRNA.
Angka pada percabangan mengindikasikan nilai bootstrap (%) berdasarkan alogaritma
neighbour-joining dengan 1000x replikasi. Skala mengindikasikan subtitusi 1 per 10
nukleotida pada urutan gen.
35
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Pokea terlihat memiliki hubungan
kekerabatan paling dekat dengan
Corbicula fluminea dengan tingkat
kepercayaan 71 %. Hal ini menandakan
clade Batissa violacea celebensis belum
stabil dan masih bisa mengalami
perubahan dalam pengambilan sampel atau
replikasi menggunakan metode neighbour-
joining. Tingkat kepercayaan atau nilai
bootstrap ini bisa meningkat apabila
Batissa violacea celebensis Martens, 1897
dibandingkan dengan genus yang sama
yaitu genus Batissa dari spesies lain. Pokea
dan Corbicula fluminea dari segi
morfologi dan taksonomi memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat;
keduanya berada dalam famili yang sama
yaitu Corbicullidae namun berbeda genus.
Tabel 2. Hubungan similaritas dan
nukleotida difference dari
clade Batissa violacea
celebencis
Hubungan kekerabatan antara
Batissa violacea celebensis dan Corbicula
fluminea juga didukung dari hasil analisis
similaritas. Diantara kelima spesies
Bivalvia tersebut pada Tabel 3,
menunjukkan urutan nukleotida gen 18S
rRNA Batissa violacea celebensis
Martens,1897 dan Corbicula fluminea
memiliki kemiripan tertinggi dengan
indeks similaritas sebesar 99.27 % dengan
perbedaan 6 nukleotida dari 827 basa yang
diperbandingkan. Analisis ini
menggunakan software clustal X dan
Phydit (Phylogenetik editor).
Urutan fragmen gen 18S rRNA
Pokea setelah diamplifikasi berdasarkan
primer Anodr-F dan Anodr-R serta
dikonstruksi pohon filogenetiknya dapat
dijadikan pembeda dengan organisme yang
lain atau Bivalvia lain. Urutan fragmen gen
18S rRNA dapat digunakan untuk
membandingkan Pokea dengan Bivalvia
lain sampai tingkat genus, untuk
mengetahui hubungan kekerabatan Pokea
dengan organisme lain. Namun dalam
penelitian ini hanya dibandingkan sampai
ke tingkat famili, hal ini disebabkan belum
tersedianya urutan gen 18S rRNA Pokea
genus Batissa di dalam GeneBank. Hasil
analisis restriksi urutan fragmen gen 18S
rRNA Pokea menggunakan NEBcutter
dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan
hasil amplifikasi urutan fragmen gen 18S
rRNA Pokea setelah diamplifikasi
berdasarkan primer Anodr-F dan Anodr-R,
urutan gen ini dikenali oleh banyak enzim
restriksi, diantaranya yang biasa digunakan
Spesies Bvc Cf A Rv Hp
Batissa
violacea
celebencis
(Bvc)
--- 6/827 7/827 8/827 24/827
Corbicula
fluminea
(Cf)
99.27 --- 9/827 10/827 28/827
Artica (A) 99.15 98.91 --- 3/827 23/827
Ruditapes
variegates
(Rv)
99.03 98.79 99.64 --- 24/827
Hemidonax
pictus (Hp) 97.1 96.61 97.22 97.1 ---
36
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
di laboratorium adalah XhoI, PstI, BamHI,
dan DraI. Enzim-enzim ini merupakan
salah satu karakter yang dimiliki oleh
fragmen gen 18S rRNA pokea yang
berhasil diisolasi sehingga dapat digunakan
sebagai pembeda dengan bivalvia lain pada
daerah yang setara.
Gambar 5. Enzim restriksi umum pada fragmen gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897) yaitu: XhoI, PstI, BamHI, dan DraI (kotak) dengan
menggunakan program NEBcutter.
Gen 18S rRNA berperanan dalam
membedakan Pokea (Batissa violacea
celebensis Martens, 1897) dengan Bivalvia
lain. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa fragmen gen 18S
rRNA dapat juga digunakan untuk
membedakan pokea dengan bivalvia lain
(Gambar 4 dan 5). Fragmen yang
digunakan sebagai acuan pembeda adalah
fragmen gen 18S rRNA pokea yang
dibatasi oleh primer Anodr-F dan Anodr-R,
sedangkan fragmen bivalvia lain yang
digunakan sebagai pembanding adalah gen
18S rRNA bivalvia lain yang diperoleh
dari GeneBank yang sejajar dengan
fragmen gen 18S rRNA pokea. Oleh
karena fragmen gen 18S rRNA pokea
diperoleh dengan menggunakan metode
PCR, maka dapat dijelaskan bahwa metode
PCR dapat digunakan untuk memperoleh
fragmen DNA yang dapat membedakan
satu organisme dengan organisme lain.
37
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik fragmen gen 18S rRNA
Pokea adalah: memiliki ukuran 827 bp,
termasuk dalam family Corbicullidae
karena Pokea dan Corbicula fluminea
mempunyai hubungan kekerabatan
paling dekat dengan tingkat
kepercayaan 71% dan perbedaan 6
nukleotida dari 827 basa yang
diperbandingkan, serta mempunyai
situs enzim restriksi XhoI, PstI,
BamHI, dan DraI.
2. Gen 18S rRNA berperan dalam
membedakan spesies Pokea dengan
Bivalvia spesies lain.
Saran
Saran dalam penelitian ini adalah
dilakukan penelitian lanjutan dengan
mengkarakterisasi gen 18S rRNA Pokea
(Batissa violacea celebensis Martens,
1897) hingga ke tingkat spesies
menggunakan daerah ITS.
DAFTAR PUSTAKA
Bahagiawati, Utami, W., D., dan Buchori,
D. 2010. Pengelompokkan dan
Struktur Populasi Parasitoid Telur
Trichogrammatoidea armigera pada
Telur Helicoverpa armigera pada
Jagung Berdasarkan Karakter
Molekuler, J. Entomologi, 7(1):54-
65.
Bahtiar. 2005. Keberadaan Populasi Pokea
(Batissa Violacea Celebensis
Martens, 1897) pada Berbagai
Daerah yang Berbeda pada Sungai
Pohara Kecamatan Sampara
Kabupaten Konawe. Tesis Sekolah
Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Hidayat, T., Kusumawaty, D., Yati, D., D.,
Muchtar, A., dan Mariana, D. 2008.
Analisis Filogenetik Molekuler pada
Phyllanthus niruri L.
(Euphorbiaceae) menggunakan
Urutan Basa DNA Internal
Transcribed Spacer (ITS). Jurusan
Biologi Fakultas Matemateka dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Bandung.
Itskovich, V., Belikov, S., Efremova, S.,
Masuda, Y., Perez, T., Alivon, E.,
Borchiellini, C., and Boury, N.
2007. Phylogenetic Relationship
Between Freshwater and marine
Haplosclerida (Porifera,
Demospongiae) based on the Full
Length 18S rRNA and Partial COXI
Gene Sequences, Porifera
Researches Biodeversity, Rusia.
Kennedy, N. 2011. PCR Troubleshooting
and Optimization. Caister Academic
Press, USA.
Lester, J. 2011. Troubleshooting Poor
Quality Template,
http://www.bio.cam.ac.uk
/pflgroup/DNA_Facility/Quality.ht
ml, Diakses pada tanggal 01 Juni
2012.
Mursyidin, D., H. 2012. Kekerabatan
Filogenetik 15 Jenis Durian (Duri
spp.) Berdasarkan Analisis
Bioinformatik Gen 5.8S rRNA dan
ITS Region. BIOSCIENTIAE,
9(1):45-54.
Muzuni, Soepandi, D., Suharsono, U.
W., Suharsono. 2010. Isolasi dan
Pengklonan Fragmen cDNA Gen
Penyandi H+-ATPase Membran
Plasma dari Melastoma
malabathricum L. J. Agron.
Indonesia, 38(1): 67-74.
Nadia, L. A. R. 2011. Kumpulan Jurnal
Internasional : Bivalvia,
38
Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014
Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di
Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe
Gastropoda, dan Echinodermata.
Program Pasca Sarjana,
Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Nafsal, A. 2008. Distribusi dan Kepadatan
Kerang Pokea (Batissa Violacea
Celebensis Martens, 1897) Secara
Spasial dan Temporal di Perairan
Sungai Pohara Sulawesi Tenggara.
Skripsi, Universitas Halu Oleo,
Kendari.
Renel, K. 2001. Studi Kepadatan dan
Distribusi Kerang Pokea (Curbicula
spp) pada Desa Andadowi
Kecamatan Bondoala. Skripsi,
Universitas Halu Oleo, Kendari.
Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T.
1989. Molecular Cloning: a
laboratory manual. 2nd ed. Cold
Spring Harbor, NY.
Sembiring, L., Susilawati, L., dan
Suhartanti, D. 2008. Seleksi,
Karakterisasi, dan Identifikasi
Bakteri Pendegradasi 2-
(thiocyanomethylthio) benzothiazole
(TCMTB). Biota, 13(3): 126-131.
Soltis, E., D., Soltis, S., P., Doyle, J., J.
2001 Molecular Systematics of
Plants II; DNA Sequencing. Kluwer
Academic Publisher, New York.
Suharsono, S. 2005. Penuntun Praktikum
Pelatihan Teknik Pengklonan Gen
dan Pengurutan DNA. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB,
Bogor.
Suwanto, A. 2011. Keanekaragaman
Hayati Mikroorganisme. Jurusan
Biologi FMIPA IPB, Bogor.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi
Polymerase Chain Reaction, ANDI
OFFSET, Yogyakarta.
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014 ISSN : 2355-6404 39
PENGETAHUAN DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT TRADISIONAL
MASYARAKAT SUKU MORONENE DI DESA RAU-RAU SULAWESI TENGGARA
(Study and Utilization Of Traditional Medicine Plants By Morenene Ethnic In Rau-Rau
Village, Southeast Sulawesi)
Indrawati1,2*
, Yusuf Sabilu1,2
dan Alda Ompo2
1Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara
2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
Research on the Study and utilization of Traditional medicine plants by Moronene ethnic in
the Rau-Rau village Southeast Sulawesi were aims to: 1) inventory these kinds of medicinal
plants are utilized including the identification of scientific and local names, 2) study the
knowledge society in the utilization of plants as medicine, metods processing and the
efficacy, 3) study the knowledge kinds of disease and how to use of medicinal plants. With
methods survey exploration conducted interviews to expert treatment (sandro) and the
community. There are 51 spesies plant in 27 family growing in the backyard, in the gardens
and in the forests around the settlement. The organ medicinal plant species (leaves, stems,
bark, rhizome, tuber, fruit and SAP) are uses for tradisional medicines to cure about 36 kids
of diseases. Method of use will discussed in this paper.
Keywords: Medicine Plants, Rau-rau Village Sociaty Moronene
PENDAHULUAN
Keberadaan 370 suku asli di
Indonesia dengan keanekaragaman adat
dan budayanya turut memberikan
keuntungan bagi khasanah etnomedisin
dan budaya bangsa. Perbedaan adat dan
kebiasaan antar suku di Indonesia
merupakan kekayaan budaya bangsa yang
tak ternilai harganya. Kondisi yang
demikian juga dapat dicirikan dari
keragaman jenis tumbuhan yang
digunakan, ramuan obat tradisional dan
cara pengobatannya (Rosita, dkk., 2007).
Kekayaan pengetahuan masyarakat
terhadap tumbuhan obat berbeda antara
suku satu dengan suku lainnya. Untuk
suku di Sulawesi Tenggara misalnya
Tumbuhan yang sama bisa berbeda
pemanfaatannya di suku lain. Contohnya
hasil penelitian Windadri, dkk. (2006)
pada suku Muna misalnya pepaya, kapaya
(Carica papaya L.), padakawa (Ceiba
petandra, Gaert) sebagai obat pasca
persalinan,dan komba-komba (Ageratum
conyzoides L.) dimanfaatkan sebagai obat
luka. Hasil penelitian Rahayu, dkk. (2006)
pada Suku Wawonii, kepaya (carica
capaya L) dimanfaatkan sebgai obat
penurun panas dan ewo bonto (Ageratum
conyzoides L) sebagai obat penutup luka
oleh masyarakat setempat sebagai obat
tradisional seperti kawu-kawu (Ceiba
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 40 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
pentandra Gaertn.) dimanfaatkan sebagai
obat penurun panas. Sehingga penelitian
etnobotani suatu suku masyarakat di
Indonesia perlu digali.
Bombana merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara
yang memiliki potensi untuk dilakukan
penelitian mengenai tumbuhan obat karena
terdapat berbagai macam tumbuhan dan
masyarakat yang masih mempercayai
tradisi yang berasal dari nenek moyang.
Masyarakat pribumi yang mendiami
daerah ini adalah suku Moronene
sedangkan masyarakat pendatang meliputi,
suku Bugis, Muna, Jawa, dan Bali.
Berdasarkan arti kata “moronene” yaitu
pohon resam yang biasa tumbuh di daerah
subur, maka Etnis Moronene juga menetap
atau menyebar di daerah subur yang kaya
akan sumberdaya alam diantaranya
tumbuh-tumbuhan.
Desa Rau-Rau yang berada di
Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana
merupakan salah satu pusat penyebaran
dan kebudayaan dari Suku Moronene.
Secara sosial ekonomi maupun sosial
budaya masyarakat suku Moronene masih
mempraktekkan pengetahuan lokal secara
turun temurun demikianpula dalam bidang
pengobatan (Arafah, 2002).
Pemilihan Desa Rau-Rau sebagai
lokasi penelitian didasarkan pada
pertimbangan bahwa sebagian besar suku
Moronene yang tinggal di desa ini hidup
dari pertanian, masih memperaktekkan
pengobatan tradisional, kondisi demografi
dan geografis serta sosial ekonomi dan
budaya mewakili Suku Moronene di
Sulawesi Tenggara.
Penelitian mengenai pengetahuan
dan pemanfaatan tumbuhan obat pada
suatu suku terkhusus masyarakat pedesaan
perlu dilakukan karena dapat memberikan
sumbangan dalam pengungkapan potensi
sumberdaya tumbuhan sebagai bahan obat,
serta dapat menjadi dasar upaya
pelestarian jenis-jenis tumbuhan obat
potensial.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April 2012 dengan menggunakan
metode survey eksploratif. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara wawancara
langsung kepada ahli pengobatan
tradisional (sandro) dan masyarakat yang
masih memanfaatkan tumbuhan untuk
pengobatan. Eksplorasi dilakukan bersama
ahli pengobatan tradisional (sandro)
dengan menjelajahi tempat tumbuh jenis-
jenis tumbuhan obat, untuk selanjutnya
koleksi, dokumentasi dan membuat
herbarium. Penggalian informasi identitas
nama lokal, bagian organ yang
dimanfaatkan, pengetahuan cara
pengobatan/pengolahan dan khasiat setiap
jenis tumbuhan berdasarkan daftar
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 41 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
questioner. Data selanjutnya ditabulasi dan
dinarasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Dalam Memanfaatkan
Tumbuhan Obat Tradisional oleh
Suku Moronene di Desa Rau-Rau
Sulawesi Tenggara
Aspek etnobotani telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat suku
Moronene di desa Rau-rau. Masyarakat
Suku Moronene masih memiliki
kekayaan informasi tentang tumbuhan
obat tradisional. Dalam pengobatan
suatu penyakit dipercayakan pada ahli
pengobatan tumbuhan. Ada dua ahli
pengobatan di masyarakat ini yang
disebut : sanro dan tompuro. Sanro
adalah ahli pengobatan tumbuhan
tradisional khusus untuk manusia,
sedangkan tompuro khusus untuk
mengobati tanaman yang terkena
penyakit atau hama. Pengetahuan sanro
dan tompuro dalam mengobati suatu
penyakit diperoleh dari nenek moyang
mereka secara turun temurun dengan
pola pemakaian ramuan yang sederhana
dan terbatas di kalangan keluarga dekat
atau tetangga kampung terdekat.
Terdapat 3 macam Sanro sesuai
dengan keahliannya mengobati, yaitu:
1) dukun umum yang mengobati
berbagai macam penyakit, 2) dukun
patah tulang yang mengobati patah
tulang dan 3) dukun bersalin yang
membantu proses kelahiran dan
perawatan ibu dan bayinya. Mata
pencaharian utama dukun umum dan
patah tulang adalah bertani, sedangkan
dukun bersalin adalah ibu rumah
tangga. Berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat Suku Moronene,
proses kelahiran dilakukan dengan
pengobatan tradisional oleh dukun
bersalin bekerja sama dengan bidan
desa, begitu pula dalam perawatan
pasca persalinan. Sebelum berobat pada
sanro, masyarakat suku Moronene
terlebih dahulu bertanya kepada Kilala.
Kilala menentukan sanro yang baik
untuk melakukan pengobatan,
berdasarkan ilmu gaib (onitu) yang
dimilikinya. Setelah Kilala menentukan
tempat pengobatan yang baik, pasien
akan berobat pada sanro yang telah
ditunjukkan.
Dari hasil wawancara dengan
sanro ahli pengobatan penyakit untuk
menyembuhkan suatu penyakit
mempunyai syarat tertentu. Pengobatan
akan dilakukan apabila ada kepercayaan
dari kedua belah pihak yaitu antara
sanro dan pasien. Pasien yang akan
diobati harus mempercayai kemampuan
dari sanro yang akan mengobati. Jika
pasien tidak mempercayai kemampuan
sanro maka pengobatan yang dilakukan
tidak akan berhasil.
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 42 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
Kepercayaan tentang kegunaan
atau khasiat suatu jenis tumbuhan obat
tidak hanya didasarkan dari
pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan
dengan nilai-nilai religius. Persepsi
masyarakat suku Moronene tentang
sakit tergantung dari sudut pandang
masing-masing orang. Sakit adalah
keadaan yang tidak seimbang, sehingga
dapat mempengaruhi kegiatan sehari-
harinya. Penyebab penyakit bermacam-
macam, ada yang datang dari Sang
Pencipta dan ada yang berasal dari
makhluk halus/jahat serta dari
lingkungan masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu, para ahli pengobatan (sanro)
selalu mengandalkan pengobatannya
dengan memohon pertolongan kepada
Sang Pencipta.
Beberapa jenis tumbuhan obat
yang digunakan masyarakat suku
Moronene mempunyai kesamaan dalam
pemanfaatannya dengan suku lain,
seperti pemanfaatan air rebusan kulit
batang kaki kuda (Lannea
coromandelica (Houtt.) Merr.) sebagai
obat perawatan pasca persalinan
dimanfaatkan juga oleh masyarakat di
Wawonii di pulau Wawonii (Rahayu,
2006), air rebusan daun jambu biji
(Psidium guajava L.) sebagai obat diare
dimanfaatkan oleh masyarakat suku
Muna di Kabupaten Muna (Windadri,
2006) dan air rebusan daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai
penurun tekanan darah tinggi
dimanfaatkan oleh Masyarakat di
sekitar Kawasan Gunung Pangrango
(Rosita, 2007). Tumbuhan obat yang
khas digunakan oleh masyarakat suku
Moronene di Desa Rau-Rau yang tidak
digunakan oleh suku lain adalah ramuan
5 macam untuk mengobati muntah
darah yang terdiri dari tumbuhan kaki
kuda (Lannea coromandelica (Houtt.)
Merr.), Wilalo (Archidendron
fagifolium), Merica (Piper nigrum),
Asam (Tamarindus indica), dan garam.
Masyarakat Suku Moronene
masih memiliki kearifan lokal dalam
memanfaatkan tumbuhan seperti adanya
persyaratan dalam pengambilan
tumbuhan yang berkhasiat obat dan
banyaknya jumlah tumbuhan yang
digunakan. Persyaratan dalam
pengambilan tumbuhan obat adalah
dengan cara membaca sholawat hidup
yaitu bismillah dan jumlah bilangan
yang biasa digunakan adalah tujuh,
namun dapat pula digunakan bilangan
lain yang berjumlah ganjil.
B. Jenis Penyakit yang Umum Diderita
dan Tumbuhan yang Digunakan oleh
Suku Moronene di Desa Rau-Rau
Sulawesi Tenggara
Dari hasil penelitian, sanro dan
masyarakat di desa Rau-rau mengenal
36 jenis penyakit yang umum diderita
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 43 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
dan 51 jenis tumbuhan obat dari 27
famili. Data selengkapnya mengenai
jenis penyakit yang umum diderita dan
tumbuhan yang digunakan masyarakat
suku Moronene di Desa Rau-Rau
Kecamatan Rarowatu Kabupaten
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Penyakit yang Umum diderita dan Tumbuhan Obat yang digunakan oleh Suku
Moronene di Desa Rau-Rau Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana
No. Jenis Penyakit Tumbuh-Tumbuhan
Nama Jenis Famili 1. Amandel Curcuma domestica Val. Zingiberaceae
Andrographis paniculata Ness. Acanthaceae 2. Batuk Citrus aurantifolia Swingle Rutaceae
Tamarindus indica L. Fabaceae Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae
3. Bisul Capsicum annum L. Solanaceae 4. Darah tinggi Allium sativum L. Liliaceae
Apium graveolens L. Apiaceae Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae Coffea robusta L. Rubiaceae Cucumis sativus L. Cucurbitaceae Ocimun sanctum Lamiaceae Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae
5. Demam Momordica charantia Cucurbitaceae Carica papaya L. Caricaceae Jatropha curcas L. Euphorbiaceae
6. Diare Psidium guajava L. Myrtaceae Strobilanthes crispus Bl. Acanthaceae
7. Diabetes Oryza glutinosa Auct Poaceae Syzygium cumini (L.) Skeels. Myrtaceae Terminalia catappa Combretaceae
8. Gatal-gatal Graptophyllum pictum L. Griff Acanthaceae 9. Keputihan Piper betle L. Piperaceae
10. Kencing batu Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae 11. Keseleo Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae
Spesies A Cucurbitaceae 12. Luka baru Eupatorium odoratum L. Asteraceae
Musa sp. Musaceae Curcuma domestica Val. Zingiberaceae Eclipta alba Hassk. Asteraceae Cassia fistula L. Fabaceae
13. Maag Curcuma domestica Val. Zingiberaceae Morinda citrifolia Rubiaceae Musa sp. Musaceae
14. Mabuk perjalanan Moringa oleifera Lamk. Moringaceae 15. Memperlancar ASI Carica papaya L. Caricaceae
Ipomoea aquatica Convolvulaceae 16. Memperlancar haid Curcuma cease Zingiberaceae 17 Muntah darah Allium cepa L. Liliaceae
Archidendron fagifolium Fabaceae Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae Piper nigrum L. Piperaceae
Tabel 1.
Lanjutan
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 44 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
Tamarindus indica L. Fabaceae 18. Patah tulang Allium cepa L. Liliaceae
Areca catechu L. Arecaceae Cocos nucifera L. Arecaceae Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae
19. Penawar keracunan Makanan
Cocos nucifera L. Arecaceae
20. Penghilang rasa capek Cocos nucifera L. Curcuma cease
Arecaceae Zingiberaceae
21. Penurun lemak Euphorbia prunifolia Jacq. Euphorbiaceae 22. Penyakit dalam Leucaena leucocephala Fabaceae
Loranthus atropurpureus Blume. Loranthaceae Morinda citrifolia L. Rubiaceae Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae Persea americana Mill Lauraceae Zingeber purpureum Roxb. Zingiberaceae
23. Perawatan bayi Curcuma domestica Val. Zingiberaceae 24. Perawatan paska
Melahirkan Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae
25. Rematik Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae 26. Sakit gigi Jatropha curcas L. Euphorbiaceae 27. Sakit kepala Annona muricata L. Anonaceae 28. Sakit kulit Cassia alata L. Caesalpiniaceae 29. Sakit kuning Eupatorium odoratum L.F Asteraceae
30. Sakit mata Zingiber officinale Rosc. Zingiberaceae
Piper betle L. Piperaceae Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae Eclipta alba Hassk. Asteraceae
31. Sakit telinga Gmelina elliptica Sm. Verbenaceae 32. Sakit ulu hati Curcuma cease Zingiberaceae 33. Sarampa Cocos nucifera L. Arecaceae 34. Sembelit Cassia fistula L. Fabaceae 35. Stroke Pluchea indica Less. Asteraceae 36. Typus Legenaria leucantha Cucurbitaceae
C. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara
Penggunaan
Dari 51 jenis tumbuhan obat
yang digunakan dalam ramuan
pengobatan, beberapa diantaranya diramu
dengan tumbuhan lain dan mempunyai
manfaat ganda. Bagian tumbuhan yang
digunakan untuk obat berupa: daun,
batang, kulit batang, umbi, rimpang,
buah, biji dan getahnya. Data
selengkapnya mengenai jenis tumbuhan
obat dan cara penggunaannya oleh
masyarakat suku Moronene di Desa Rau
Rau Sulawesi Tenggara tersaji pada
Tabel 2.
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 45 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
Tabel 2. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara Penggunaanya oleh masyarakat suku Moronene di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
No.
Nama Tumbuhan Kegunaan
Indonesia Lokal Latin Bagian Dosis Cara Pengolahan Frekuensi Penyakit
1. Alpukat Apokat Persea americana Mill. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Penyakit dalam
2. Asam Sumbulawa Tamarindus indica L. Buah
Buah
1 genggam
1 genggam
Dilumerkan
Direbus
2 x sehari
2 x sehari
Batuk
Muntah darah
3. Bawang merah Bawang motaha Allium cepa L. Umbi 3 siung Digoreng 2 x sehari Patah tulang
4. Bawang putih Bawang mopila Allium sativum L. Umbi 3 siung Dibakar 2 x sehari Darah tinggi
5. Belimbing wuluh
Tangkule
Averrhoa bilimbi L.
Buah Daun
27 buah 1 genggam
Diperas Direbus
1 x sehari 2 x sehari
Kencing batu Darah tinggi
6. Beluntas - Pluchea indica Less. Daun 3 genggam Direbus 2 x sehari Stroke
7. Benalu - Loranthus atropurpureus
Blume. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam
8. Bengle Panini Zingeber purpureum Roxb. Rimpang 3 rimpang Direbus 1 x sehari Penyakit dalam
9. Cabe Saha Capsicum annum L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Bisul
10. Daun ungu Olondoro Graptophyllum pictum L. Griff Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Gatal-gatal
11. Glempangan Komba-komba Eupatorium odoratum L. Daun
Daun
1 genggam
7 lembar
Direbus
Diremas
1 x sehari
1 x sehari
Penyakit kuning
Luka baru
12. Jahe Loiya Zingiber officinale Roxb. Rimpang 3 jari/cm Diparut 1 x sehari Sakit mata
13. Jamblang Coppeng Syzygium cumini (L.) Skeels. Kulit batang 1 jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Diabetes
14. Jambu biji Dambu watu Psidium guajava L. Daun 1 genggam Direbus 3 x sehari Diare
15. Jarak pagar - Jatropha curcas L. Daun
Getah
7 lembar
3 tetes
Ditempel
Diteteskan
1 x sehari
2 x sehari
Demam
Sakit gigi
16. Jeruk nipis Lemo Citrus aurantifolia Swingle. Buah 3 buah Diperas 2 x sehari Batuk
17. Kangkung Tarenda Ipomoea aquatica
Daun dan
batang Secukupnya Dimasak 3 x sehari
Memperlancar
ASI
18. Kayu kuda Olodawa Lannea coromandelica
(Houtt.) Merr. Kulit batang
1 jengkal/7 cm
1 jengkal/7 cm
Direbus
Direbus
2 x sehari
2 x sehari
Muntah darah
Perawatan pasca
melahirkan
19. Kelapa kuning Ni’i mokuni Cocos nucifera L.
Air
Air
1 buah
1 buah
Tanpa pengolahan
Dibakar
1 x sehari
2 x sehari
Keracunan
makanan Sarampa
20. Kelor Koloro Moringa oleifera Lamk. Daun Secukupnya Dimasak 3 x sehari
Mabuk
perjalanan
45
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 46 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
Tabel 2. Lanjutan.
21. Kemangi Camangi Ocimun sanctum Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi
22. Ketan hitam Kinadai mo’ito Oryza glutinosa Auct. Biji 3 sendok Direndam 2 x sehari Diabetes
23. Ketapang - Terminalia catappa Kulit batang
1 jengkal/7 cm
Direbus 2 x sehari Diabetes
24. Ketepeng Gampu Cassia alata L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Sakit kulit
25. Kopi - Coffea robusta L. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Darah tinggi
26. Kumis kucing - Orthosiphon stamineus Benth.
Daun
Daun
1 genggam
1 genggam
Direbus
Direbus
2 x sehari
2 x sehari
Rematik,
Penyakit dalam
27. Kunyit Kuni Curcuma domestica Val.
Rimpang
Rimpang
Rimpang
Rimpang
3 rimpang
3 rimpang
1 rimpang
1 rimpang
Direbus
Direbus
Diperas
Diperas
2 x sehari
2 x sehari
1 x sehari
1 x sehari
Maag
Amandel
Luka baru,
perawatan bayi
28. Kunyit hitam Kuni morori Curcuma cease
Rimpang
Rimpang
Rimpang
3 rimpang
3 rimpang
3 rimpang
Direbus
Direbus
Diparut
2 x sehari
2 x sehari
1 x sehari
Sakit ulu hati
Pelancar haid
Penghilang rasa
capek
29. Labu putih Konduru Legenaria leucantha Buah 1 buah Diparut 2 x sehari Typus
30. Lada Marica Piper nigrum L. Buah 7 buah Direbus 2 x sehari Muntah darah
31. Mengkudu Kudu Morinda citrifolia L.
Batang
Buah
7 cm batang
1 buah
Direbus
Tanpa pengolahan
2 x sehari
2 x sehari
Maag
Penyakit dalam
32. Meniran - Phyllanthus niruri L. Daun dan
batang
1 genggam Direbus 1 x sehari Darah tinggi
33. Mentimun Bonte Cucumis sativus L. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 3 x sehari Darah tinggi
34. Pare Paria Momordica charantia L. Daun 7 lembar Direbus 3 x sehari Demam
35. Patikan emas - Euphorbia prunifolia Jacq. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penurun lemak
36. Patikan kebo Pati-pati Euphorbia hirta L.
Daun
Getah
1 genggam
1 tetes
Direbus
Diteteskan
1 x sehari
1 x sehari
Batuk
Sakit mata
37. Pecah beling - Strobilanthes crispus Bl. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Diare
38. Pepaya Kapaya Carica papaya L.
Daun
Buah
7 lembar
1 buah
Direbus
Dimasak
2 x sehari
3 x sehari
Demam
Pelancar ASI
39. Petai cina Lamtoro Leucaena leucocephala Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam
46
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 47 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
40. Pinang Fua Areca catechu L. Pelepah 1 pelepah Dibalut 1 x sehari Patah tulang
41. Pisang bugis Punti bugisi Musa sp. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 1 x sehari Maag
Getah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Luka baru
42 Sambiloto - Andrographis paniculata Ness. Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Amandel
43. Seledri Daun sop
Apium graveolens L.
Daun dan
batang 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi
44. Serei Padamalala Cymbopogon nardus (L)
Redle.
Batang
Batang
1 batang
1 batang
Digoreng
Dimemarkan
2 x sehari
2 x sehari
Patah tulang
Keseleo
45. Sirih Riri Piper betle L. Daun
Daun
7 lembar
7 lembar
Ditumbuk
Direbus
2 x sehari
2 x sehari
Sakit mata,
Keputihan
46. Sirsak Sirikaya Annona muricata L. Daun
Daun
7 lembar
7 lembar
Tanpa pengolahan
Tanpa pengolahan
-
-
Sakit kepala
Sakit ulu hati
47. Spesies A Eungkowulu - Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Keseleo 48. Tangkalasi Tangkalasi Gmelina elliptica Sm. Buah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Sakit telinga
49. Trengguli Onangki Cassia fistula L. Daun
Kulit batang
7 lembar
1jengkal/7cm
Direbus
Ditumbuk
1 x sehari
1 x sehari
Sembelit
Luka baru
50. Urang-aring Ewolembo Eclipta alba Hassk.
Daun Getah
7 lembar 3 tetes
Diremas Tanpa pengolahan
- 1 x sehari
Luka baru Sakit mata
51. - Wilalo Archidendron fagifolium Kulit batang 1jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Muntah darah
Tabel 2. Lanjutan
47
Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 48 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara
Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014
SIMPULAN
1. Terdapat 51 jenis dalam 27 familia
tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
obat tradisional oleh masyarakat suku
Moronene di Desa Rau-Rau
2. Bagian (organ) tumbuhan yang
digunakan sebagai obat tradisional
meliputi daun, batang, kulit batang,
buah, rimpang, umbi, dan getah.
3. Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukan
dengan beragam cara diantaranya
dengan cara direbus, ditumbuk, diperas,
direndam, dibakar, digoreng, digosok,
dilumerkan, diremas dan tanpa
pengolahan yang kemudian digunakan
baik secara tunggal maupun campuran.
4. Khasiat tumbuhan obat tradisional
untuk mengobati penyakit panas
(demam), sakit mata, sakit telinga, sakit
gigi, sakit uluhati, sakit kuning, luka
baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang,
sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk,
diabetes, muntah darah, perawatan
pasca melahirkan, kencing batu,
sembelit (susah buang air besar), maag,
penyakit dalam, penghilang rasa capek,
pelancar haid, penurun lemak, typus,
mabuk perjalanan, gatal-gatal, bisul,
stroke, perawatan bayi, penawar
keracunan makanan, memperlancar
ASI, sarampa, amandel, keputihan, dan
rematik.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah, N., 2002, Pengetahuan Lokal Suku
Moronene dalam Sistem Pertanian
di Sulawesi Tenggara.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream
/handle/123456789/7515/bab%204
_%202002nar.pdf. Di akses tanggal
7 Maret 2013.
Rahayu, M., Sunarti, S., dan
Prawiroatmodjo, S., 2004,
Tumbuhan Obat Tradisional Pulau
Wawonii Sulawesi Tenggara, Pusat
Penelitian Biologi - LIPI, Bogor.
Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, E.
R., dan Hernani. 2007. Penggalian
Iptek Etnomedisin di Gunung Gede
Pangrango. Buletin Littro, XVIII
(1): 13-28.
Steenis, V. G. J. J. C., 1997, Flora Untuk
Sekolah, Pradya Paramita, Jakarta.
Windadri, F. I. , Rahayu, M., Uji, T. dan
Rustiami, H., 2006, Pemanfaatan
Tumbuhan Sebagai Bahan Obat
oleh Masyarakat Lokal Suku Muna
di Kecamatan Wakorumba
Kabupaten Muna Sulawesi
Tengggara. Biodiversitas, VII (4):
333-339.
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014 ISSN : 2355-6404 49
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 51-64, April 2014
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, Desa Sumber
Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
(Dragonfly (Odonata) Stocktaking Around River and Moramo Swamp, Sumber Sari
Village, Moramo District, South Konawe Regency, Southeast Sulawesi )
Suriana1 , Dwi Arinto Adi
1 , dan Wa Ode Dian Hardiyanti
2
1Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara
2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research was to know the dragonfly (Odonata) spesies around River
and Moramo Swamp, Sumber Sari Village, Moramo District, South Konawe Regency, South-
East Sulawesi. Dragonfly captured on three site namely river, swamp I and swamp II/
Moramo swamp. This research used descriptive method. There are 28 species of dragonfly
which are include of 8 family namely Lindeniidae, Libellulidae, Megapodagrionidae,
Lestidae, Coenagrionidae, Calopterygidae, Chlorocyphidae and Plactynemididae. Suborder
Epiprocta found 13,33% family and 50% suborder Zygoptera of all families. There are 12
species in river, 15 species in swamp I and 13 species in swamp II/Moramo swamp. The
Calopterygidae, Megapodagrionidae and Platycnemididae only found in river, whereas
Lestidae (Lestes concinus Hagen) found in swamp only. The dragonfly spesies found in river
were diffirent from swamp I and swamp II/Moramo swamp.
Key word: Dragonfly, Odonata, Moramo Swamp, River,Stocktaking
PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia memiliki tujuh
kawasan biogeografi utama dan
keanekaragaman tipe-tipe habitat yang luar
biasa. Banyak pulau yang terisolasi selama
ribuan tahun, sehingga tingkat
endemisitasnya tinggi. Tiga lokasi utama
yang merupakan pusat kekayaan spesies di
Indonesia adalah Irian Jaya (tingkat
kekayaan spesies dan endemisme tinggi),
Kalimantan (tingkat kekayaan spesies
tinggi, endemisme sedang), dan Sulawesi
(tingkat kekayaan spesies sedang,
endemisme tinggi) (Sumargo et al., 2011).
Provinsi Sulawesi Tenggara
memiliki kawasan hutan yang luas dengan
keanekaragaman yang tinggi (BKSDA
Sultra, 2006). Salah satu kawasan hutan
lindung di Sulawesi Tenggara adalah
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa yang
terletak di Moramo. Suaka margasatwa
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 50 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Tanjung Peropa selain sebagai habitat flora
dan fauna juga memiliki fungsi pokok
dalam menjaga mutu kehidupan manusia
yaitu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan serta menjadi
wilayah pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
(Djawie, 2009).
Sungai dan Rawa Moramo
merupakan salah satu sungai dan rawa
yang terletak dalam Kawasan Suaka
Margawatwa Tanjung Peropa. Menurut
Djawie (2009) sungai-sungai yang
mengalir dari kawasan ini dimanfaatkan
oleh sekitar 13 desa di wilayah tersebut.
Rawa Moramo berdasarkan kondisinya
termasuk rawa air tawar. Menurut Whitten
et al. (1992) rawa air tawar terdapat pada
daerah yang kadang-kadang terjadi
penggenangan oleh air tawar yang kaya
akan mineral dengan pH 6 atau lebih dan
permukaan airnya naik turun sedemikian
rupa, sehingga terjadi pengeringan tanah
secara periodik. Rawa air tawar ditemukan
pada tanah alluvial di tepi sungai yang
mempunyai potensi untuk budidaya
pertanian yang tinggi.
Pengelolahan dan pemanfaatan
Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dapat
dioptimalkan dengan adanya data
pendukung tentang flora dan fauna serta
ekosistem yang ada didalamnya. Pada
umumnya data yang telah tersedia
mencakup vegetasi dan satwa/fauna yang
berukuran besar seperti mamalia dan
burung, sedangkan data dari kelompok
avertebrata seperti serangga belum ada.
Serangga yang terdapat di sekitar sungai
dan rawa Moramo, salah satu diantaranya
adalah capung (Odonata). Menurut
Hidayah (2008) capung termasuk salah
satu serangga yang memiliki
keanekaragaman yang tinggi. Jumlah
capung yang melimpah terutama terdapat
di kawasan tropis seperti Indonesia karena
di kawasan ini terdapat berbagai macam
habitat.
Capung (Odonata) merupakan
bagian penting dari rantai makanan
terutama pada habitat perairan. Capung
dapat juga disebut sebagai bioindikator air
bersih karena nimfa capung tidak akan
dapat hidup di air yang sudah tercemar
atau sungai yang tidak terdapat tumbuhan
di dalamnya. Perubahan populasi capung
merupakan tanda tahap awal pencemaran
air disamping tanda lain yang berupa
kekeruhan air dan melimpahnya ganggang
hijau. Oleh karena itu, pelestarian capung
harus disertai dengan melihara tempat
hidupnya (Susanti, 2007).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis capung (Odonata)
yang terdapat di sekitar sungai dan rawa
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 51 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan
Moramo Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan
pada bulan Januari sampai Juli 2013.
Bertempat di sekitar Sungai dan Rawa
Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan
Moramo Kabupaten Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Identifikasi
sampel dilakukan di Laboratorium Zoologi
FMIPA Universitas Haluoleo Kendari.
Alat dan bahan yang digunakan Jaring
serangga (sweep net), Kotak Serangga,
Pinset, GPS, Altimeter, Kamera Digital,
pH indikator, Lup, Aseton, Kapur Barus,
Plastik Ziplok, Kertas Label dan Buku
Identifikasi Capung Identification Guide to
the Australian Odonata oleh Theischinger
(2009). Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif dengan teknik observasi
lapangan menjelajahi daerah sekitar sungai
dan rawa dalam Kawasan Suaka
Margasatwa. Prosedur penelitian terdiri
dari 4 tahap yaitu pengambilan sampel,
pengawetan spesimen, identifikasi dan
analisis data. Pengambilan sampel
dilakukan dalam dua tahap yaitu pagi pada
pukul 08.00–12.00 WITA dan siang pada
pukul 14.00–17.00 WITA. Pengawetan
spesimen menggunakan aseton agar warna
dan tubuh spesimen tidak rusak.
Identifikasi dilakukan dengan melihat ciri-
ciri morfologi pada kepala/caput,
dada/thorax, dan perut/abdomen serta
venasi pada sayap capung. Data
dikumpulkan dan dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk table
dan gambar, serta tampilan data dalam
grafik akumulasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jenis capung (Odonata) yang
ditemukan disekitar sungai dan rawa
Moramo Desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten
Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Capung yang telah diidentifikasi
terdiri dari 28 jenis. Hasil inventarisasi
capung (Odonata) di sekitar sungai dan
rawa Moramo Desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten
Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
disajikan pada Tabel 1.
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 52 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Tabel 1. Jenis capung yang ditemukan di sekitar sungai dan rawa Moramo pada tiap lokasi
pengambilan sampel
No Famili Genus Spesies Lokasi ∑
indvidu I* II* III*
1 2 3 4 5 6 7 8
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Lindeniidae Ichtinogomphus UI. Spesies 1 1 2 - 3
Libellulidae Neurothemis UI. Spesies 2 - 2 - 2
UI. Spesies 3 - 11 4 15
Zyxoma UI. Spesies 4 - 4 3 7
- UI. Spesies 5 - - 1 1
- UI. Spesies 6 - 4 - 4
- UI. Spesies 7 - - 7 7
- UI. Spesies 8 - - 2 2
- UI. Spesies 9 4 - - 4
Diplacodes UI. Spesies 10 - - 1 1
Nannophya Nannophya
australis Brauer
- 3 3 6
UI. Spesies 11 - - 3 3
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Lestidae Lestes Lestes concinnus
Hagen
- 1 2 3
Megapodagrioni
dae
- UI. Spesies 12 2 - - 2
Calopterygidae - UI. Spesies 13 1 - - 1
- UI. Spesies 14 2 - - 2
Chlorocyphidae - UI. Spesies 15 1 - - 1
- UI. Spesies 16 4 1 2 7
- UI. Spesies 17 22 7 - 29
- UI. Spesies 18 8 1 - 9
Coenagrionidae Agriocnemis UI. Spesies 19 - - 18 18
- UI. Spesies 20 - 15 15 30
- UI. Spesies 21 - 6 3 9
Archibasis Archibasis
mimetes Tillyard
11 - - 11
Teinobasis Teinobasis
rufithorax Selys
- 45 - 45
Pseudagrion UI. Spesies 22 - 7 1 8
Platycnemididae Nosostica Nosostica solida
Hagen
6 - - 6
UI. Spesies 23 2 - - 2
Ket : UI (Unidenfite/tidak teridentifikasi)
I : Sungai,
II : Rawa I,
III : Rawa II/Rawa Moramo (Sumber : Diolah dari data hasil penelitian, 2013)
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 53 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Pada penelitian ini, 5 jenis
telah dapat diidentifikasi sampai pada
tingkat spesies, 9 jenis hanya dapat
diidentifikasi sampai pada tingkat genus
dan 14 jenis hanya dapat diidentifikasi
sampai pada tingkat famili. Hal tersebut
disebabkan literatur tentang jenis-jenis
capung di Indonesia masih sangat
terbatas. Sehingga digunakan kunci
identifikasi capung dari Australia
dengan pertimbangan kedekatan lokasi
dan sejarah geologi.
Berdasarkan tabel di atas, capung
yang ditemukan terdiri dari 2 subordo
(subordo Epiprocta dan subordo
Zygoptera), 8 famili dan 28 jenis.
Famili capung yang ditemukan secara
keseluruhan yaitu Famili Lindeniidae,
Libellulidae, Lestidae,
Megapodagrionidae, Calopterygidae,
Clorocyphidae, Coenagrionidae dan
Platycnemididae. Pada subordo
Epiprocta di temukan 2 famili dari 15
famili yang telah diketahui (13,33%)
dan subordo Zygoptera ditemukan 6
famili dari 12 famili yang telah
diketahui (50%). Pada Famili
Lindeniidae ditemukan 1 jenis, Famili
Libellulidae 11 jenis, Famili Lestidae 1
jenis, Famili Megapodagrionidae 1
jenis, Famili Calopterygidae 2 jenis,
Famili Clorocyphidae 4 jenis, Famili
Coenagrionidae 6 jenis dan Famili
Platycnemididae sebanyak 2 jenis.
Grafik akumulasi jumlah individu pada
setiap jenis capung yang dikoleksi
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik akumulasi jumlah individu setiap jenis capung yang dikoleksi
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 54 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Gambar 1 menunjukkan bahwa
jenis Teinobasis Rufithorax Selys
memiliki jumlah individu paling banyak
yaitu 45 individu, kemudian UI.Spesies
20 dengan 30 individu, UI.Spesies 17
dengan 29 individu, UI.Spesies 19
dengan 18 individu, UI.Spesies 3
dengan 15 individu, Archibasis mimetes
Tillyard dengan 11 individu dan spesies
lain dengan jumlah antara 1-10
individu.
B. Jenis Capung di Tiap Lokasi
Pengambilan Sampel
Tempat pengambilan sampel
terdiri atas tiga lokasi yaitu sungai,
rawa I, rawa II/rawa Moramo.
Beradasarkan hasil pengukuran faktor
abiotik lingkungan pada masing-masing
lokasi, di sungai memiliki pH rata-rata
7,5 dan suhu 32˚C, di rawa I memiliki
pH rata-rata 7,5 dan suhu 30,5˚C serta
di rawa II/rawa Moramo memiliki pH
rata-rata 8 dan suhu 30˚C.
Jenis capung berdasarkan lokasi
ditemukannya terbagi atas tiga
kelompok yaitu kelompok 1 merupakan
capung yang hanya ditemukan di
sungai, kelompok 2 merupakan capung
yang hanya ditemukan di rawa (rawa I
dan rawa II/rawa Moramo), kelompok 3
merupakan capung yang ditemukan di
sungai dan rawa (rawa I dan rawa
II/rawa Moramo). Setiap kelompok
disusun oleh jenis capung yang berbeda
sesuai dengan kondisi lokasi.
Jenis capung pada kelompok 1
yaitu UI.Spesies 9, UI.Spesies 12,
UI.Spesies 13, UI.Spesies 14,
UI.Spesies 15, UI.Spesies 23,
Archibasis mimetes Tillyard dan
Nosostica solida Hagen. Jenis capung
tersebut terdiri dari satu jenis yang
termasuk subordo Epiprocta dan 7 jenis
lainnya termasuk dalam subordo
Zygoptera. Capung yang banyak
ditemukan pada kelompok ini
merupakan capung jarum (subordo
Zygoptera) yang menyukai tempat-
tempat tertutup. Pada tingkat famili,
ditemukan tiga famili yang hanya ada di
sungai yaitu Famili Calopterygidae,
Megapodagrionidae dan
Platycnemididae.
Jenis capung pada kelompok 2
yaitu UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,
UI.Spesies 4, UI.Spesies 6, UI.Spesies
7, UI.Spesies 8, UI.Spesies 10,
UI.Spesies 11, Nannophya australis
Brauer, Lestes concinus Hagen,
UI.Spesies 19, UI.Spesies 20,
UI.Spesies 21, UI.Spesies 22 dan
Teinobasis rufithorax Selys. Jenis
capung tersebut terdiri dari 10 jenis
yang termasuk subordo Epiprocta dan 6
jenis termasuk dalam subordo
Zygoptera. Capung yang banyak
ditemukan pada kelompok ini
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 55 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
merupakan capung dari subordo
Epiprocta yang menyukai tempat-
tempat terbuka. Meskipun demikian,
pada kelompok ini juga ditemukan jenis
capung dari famili Lestidae (Lestes
concinus Hagen). Menurut Wirawan
(2012) capung dari famili Lestidae
dapat ditemukan di dekat sumber air
dengan perairan yang tenang untuk
berkembang biak.
Jenis capung pada kelompok 3
yaitu UI.Spesies 1, UI.Spesies 16,
UI.Spesies 17, dan UI.Spesies 18. Jenis
capung tersebut terdiri dari 1 jenis yang
termasuk subordo Epiprocta dan 3 jenis
termasuk dalam subordo Zygoptera
yaitu famili Clorocyphidae. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis-jenis capung
tersebut dapat hidup pada kondisi
habitat yang berbeda dengan perairan
yang tenang maupun mengalir deras
yaitu di sungai maupun di rawa.
1. Jenis capung yang terdapat di
sekitar Sungai (± 87 m dpl)
Daerah sekitar aliran sungai
memiliki komposisi vegetasi yang
umumnya terdiri atas semak-semak
dan pohon-pohon besar dengan tajuk
agak terbuka. Capung yang
ditemukan pada lokasi ini terdiri atas
12 jenis yaitu UI.Spesies 1,
UI.Spesies 9, UI.Spesies 12,
UI.Spesies 13, UI.Spesies 14,
UI.Spesies 15, UI.Spesies 16,
UI.Spesies 17, UI.Spesies 18,
Nosostica solida Hagen, Archibasis
mimetes Tillyard dan UI.Spesies 23.
Pada lokasi ini, capung besar
(subordo Epiprocta) jarang
ditemukan. Jenis capung yang
ditemukan terdiri dari 2 jenis yaitu
satu jenis dari famili Lindeniidae dan
satu jenis dari famili Libellulidae.
Capung besar ini terbang dengan
gesit dan hinggap pada tangkai
pohon mati di bagian tengah sungai
untuk mendapat sinar matahari.
Pada lokasi ini, ditemukan 10
jenis capung jarum (subordo
Zygoptera) yang terdiri atas 1 jenis
dari famili Megapodagrionidae, 2
jenis dari famili Calopterygidae, 4
jenis dari famili Clorocyphidae, 1
jenis dari famili Coenagrionidae dan
2 jenis dari famili Platycnemididae.
Noerdjito et al., (2010) menyatakan
bahwa capung jarum dari famili
Calopterygidae merupakan capung
yang dapat ditemukan di sekirat
aliran sungai, hinggap di semak-
semak yang terlindungi pohon dan
capung Famili Clorocyphidae
banyak ditemukan pada permukaan
sungai yang mengalir deras. Hasil
penelitian ini sejalan dengan
pernyataan Susanti (1998) bahwa
capung jarum biasanya memilih
wilayah hidup yang sempit dan
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 56 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
biasanya jarang menjelajah sampai
jauh.
2. Jenis capung yang terdapat di
sekitar Rawa I (± 325 m dpl)
Daerah sekitar rawa I
dikelilingi oleh vegetasi yang rapat
dan daerah tengah rawa yang
terbuka. Keberadaan tumbuhan air
pada habitat ini sangat kurang hanya
ada semak-semak atau rerumputan
dan bebatuan di daerah pinggir rawa.
Meskipun demikian, jenis capung
pada lokasi ini lebih banyak daripada
lokasi lainnya.
Capung yang ditemukan pada
lokasi ini terdiri atas 15 jenis yaitu
Teinobasis rufithorax Selys,
UI.Spesies 22, UI.Spesies 20,
UI.Spesies 21, Nannophya australis
Brauer, UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,
UI.Spesies 4, UI.Spesies 6,
UI.Spesies 7, UI.Spesies 16,
UI.Spesies 17, UI.Spesies 18, Lestes
concinus Hagen, dan UI.Spesies 1.
Jenis capung tersebut 7 jenis
diantaranya dari subordo Epiprocta
yang sangat menyukai tempat
terbuka sebagai habitatnya agar
dapat terbang dengan bebas. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Susanti
(1998) bahwa capung besar lebih
suka berdiam pada tempat-tempat
yang terbuka. Jenis capung lainnya
dari subordo Zygoptera yang
mendiami daerah pinggir rawa dan
berlindung di sekitar semak-
semak/rerumputan.
3. Jenis capung yang terdapat di
sekitar Rawa II/Rawa Moramo (±
360 m dpl)
Rawa II/rawa Moramo
merupakan lokasi yang sangat baik
sebagai habitat capung. Habitat
dengan vegetasi rapat di daerah
pinggir rawa cocok untuk capung
jarum yang menyukai tempat sempit.
Daerah tengah rawa yang luas dan
terbuka memungkinkan capung
besar untuk terbang, bahkan capung
jarum juga banyak ditemukan di
daerah tengah. Hal ini dikarenakan
banyaknya teratai yang tumbuh di
permukaan rawa dan tumbuhan
semak yang tumbuh pada pohon-
pohon mati pada pinggir rawa.
Hidayah (2008) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi aktivitas
capung adalah keberadaan air, cuaca
dan keberadaan tumbuhan air
sebagai tempat hinggap. Jenis
capung jarum yang banyak
ditemukan disekitar tumbuhan air
adalah UI.Spesies 22 (Pseudagrion
sp.) dan UI.Spesies 19 (Agriocnemis
sp.).
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 57 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Capung yang ditemukan pada
lokasi ini terdiri atas 13 jenis yaitu
UI.Spesies 3, UI.Spesies 4,
UI.Spesies 5, UI.Spesies 8,
UI.Spesies 10, Nannophya australis
Brauer, UI.Spesies 11, UI.Spesies
16, Lestes concinus Hagen,
UI.Spesies 19, UI.Spesies 20,
UI.Spesies 21, dan UI.Spesies 22.
Capung yang mendominasi lokasi ini
adalah jenis capung besar subordo
Epiprocta yang aktif terbang pada
daerah tengah rawa yang luas dan
terbuka. Namun beberapa jenis
capung besar ditemukan pada daerah
pinggir rawa yaitu Nannophya
australis Brauer, UI.Spesies 11
(Nannophya sp.) dan UI.Spesies 10
(Diplacodes sp.).
C. Deskripsi famili capung yang
ditemukan di sekitar Rawa
Moramo Desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten
Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara
Berdasarkan venasi sayap,
pembeda dari subordo Epiprocta
(dragonflies) dan subordo Zygoptera
(damselflies) adalah bentuk dari
discoidial cell sayap pada kedua
subordo capung tersebut
(Theischinger, 2009).
1. Subordo Epiprocta, infraordo
Anisoptera (Theischinger, 2009)
Subordo Epiprocta memiliki
discoidial cell yang membagi
menjadi triangle dan hypertriangel
berbeda kolom pada sayap depan dan
sayap belakang serta sering
menyilang oleh crossvein. Berikut
deskripsi dari famili Lindeniidae dan
Libellulidae yang diinventarisasi.
1.1. Famili Lindeniidae
(Theischinger, 2009)
Famili Lindeniidae genus
Ichtinogomphus yang ditemukan
pada capung hasil koleksi
memiliki mata dengan lebar
memisah diatas kepala. Pada
jantan, appendages superior
langsing dan runcing. Termasuk
dragonflies yang berukuran
besar, dengan panjang sayap
belakang lebih dari 33 mm.
Triangle sayap depan dan sayap
belakang disilang oleh
crossvein.
1.2. Famili Libellulidae
(Theischinger, 2009)
Famili Libellulidae yang
ditemukan pada capung hasil
koleksi memiliki mata menyatu
digaris tengah diatas kepala.
Triangle sayap belakang tidak
memanjang sepanjang poros
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 58 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
sayap. Tidak ada crossvein
dikolom median. Sisi dasar
triangle sayap belakang jauh
diluar arculus, terpisah dari sisi
dasar triangle sayap pada jarak
yang sama atau lebih
dibandingkan dengan panjang
arculus. Sayap belakang
memiliki panjang kurang dari 35
mm. Sector arculus memisah,
menutup crossvein pertama
diluar arculus, pada jantan tidak
memiliki auricle, sayap
belakang membulat didasar atau
sector arculus menyatu
diasalnya dan membentuk satu
tangkai pendek (terkecuali pada
sayap depan beberapa
Rhyothemis) warna sayap
bervariasi pada umumnya
dengan warna gelap, nodal atau
berwarna pada bagian distal.
2. Subordo Zygoptera (Theischinger,
2009)
Subordo Zygoptera memiliki
discoidial cell yang merupakan sel
bersisi empat sederhana yang kadang
menyilang oleh crossvein atau
membuka didasar, bentuknya yang
sama pada sayap depan dan sayap
belakang. Berikut deskripsi Famili
Lestidae, Megapodagrionidae,
Calopterygidae, Clorocyphidae
Coenagrionidae, dan
Platycnemididae yang
diinventarisasi.
2.1. Famili Lestidae
Famili lestidae yang ditemukan
pada capung hasil koleksi
memiliki discoidial cell yang
merupakan sel yang bersisi
empat sederhana, kadang
disilang oleh crossvein dan
kadang pula menbuka didasar.
Secara normal dua antenodal
crossvein, keduanya menyilang
pada kolom costal dan
subcostal. Anal vein panjang,
lurus atau zig-zag meluas diluar
subnodus. Arculus sayap depan
lengkap, sel discoidial menutup
didasar. Paling tidak ada satu
tambahan, beberapa vena
intercalate memanjang antara
cabang Rs pada bagian distal
sayap. Bagian depan sector
arculur (Rs) bercabang kurang
dari pertengahan jalan dari
arculus ke subnodus.
2.2. Famili Megapodagrionidae
Famili megapodagrionidae yang
ditemukan pada capung hasil
koleksi memiliki discoidial cell
yang merupakan sel yang bersisi
empat sederhana, kadang
disilang oleh crossvein dan
kadang pula menbuka didasar.
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 59 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Secara normal dua antenodal
crossvein, keduanya menyilang
pada kolom costal dan
subcostal. Anal vein panjang,
lurus atau zig-zag meluas diluar
subnodus. Arculus sayap depan
lengkap, sel discoidial menutup
didasar. Paling tidak ada satu
tambahan, beberapa vena
intercalate memanjang antara
cabang Rs pada bagian distal
sayap. Bagian depan sector
arculus Rs bercabang melewati
pertengahan jalan dari arculus
ke subnodus. CuP hampir lurus
di sel pertama di luar sel
discoidial.
2.3. Famili Calopterygidae
Famili Calopterygidae yang
ditemukan pada capung hasil
koleksi yaitu discoidial cell
yang merupakan sel yang bersisi
empat sederhana, kadang
disilang oleh crossvein dan
kadang pula membuka didasar.
Beberapa antenodal crossvein,
extra vena tidak menyilang pada
kedua kolom costal dan
subcostal. Memiliki banyak
antenodal crossvein pada kedua
kolom costal dan subcostal.
Abdomen lebih panjang
daripada sayap, tidak memiliki
pterostigma.
2.4. Famili Clorocyphidae
Famili Clorocyphidae yang
ditemukan pada capung hasil
koleksi yaitu discoidial cell
yang merupakan sel yang bersisi
empat sederhana, kadang
disilang oleh crossvein dan
kadang pula menbuka didasar.
Beberapa antenodal crossvein,
extra vena tidak menyilang pada
kedua kolom costal dan
subcostal. Memiliki banyak
antenodal crossvein pada kedua
kolom costal dan subcstal.
Abdomen lebih pendek daripada
sayap dan memiliki pterostigma.
2.5. Famili Coenagrionidae
Famili Coenagrionidae yang
ditemukan pada capung hasil
koleksi memiliki discoidial cell
yang merupakan sel yang bersisi
empat sederhana, kadang
disilang oleh crossvein dan
kadang pula membuka didasar.
Secara normal dua antenodal
crossvein, keduanya menyilang
pada kolom costal dan
subcostal. Anal vein panjang,
lurus atau zig-zag meluas diluar
subnodus. Arculus sayap depan
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 60 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
lengkap, sel discoidial menutup
didasar. Tidak ada vena
tambahan yang menbujur
diantara cabang Rs (R2, IR2,
R3, IR3, R4) dibagian distal
sayap.
2.6. Famili Platycnemididae
Famili Platycnemididae genus
Nosostica yang ditemukan pada
capung hasil koleksi memiliki
discoidial cell yang merupakan
sel yang bersisi empat
sederhana, kadang disilang oleh
crossvein dan kadang pula
membuka didasar. Secara
normal dua antenodal crossvein,
keduanya menyilang pada
kolom costal dan subcostal.
Anal vein vestigial atau tidak
ada, sehingga tidak ada vena
membujur diluar sel discoidial.
Anterior sector arculus
bercabang melewati pertengahan
jalan dari arculus ke subnodus,
kadang-kadang melewari
subnodus. Damselflies hitam
dengan bertanda krem, hijau,
biru atau orange, cuP sepanjang
dua sel atau kurang, umumnya
satu sel.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
identifikasi yang telah dilakukan, dapat
disimpukan bahwa :
1. Capung (Odonata) yang
diinventarisasi di sekitar Sungai dan
Rawa Moramo desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten
Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
sebanyak 28 terkelompok dalam 8
famili yaitu Lindeniidae,
Libellulidae, Lestidae,
Megapodagrionidae, Calopterygidae,
Clorocyphidae, Coenagrionidae dan
Platycnemididae.
2. Jumlah jenis capung yang ditemukan
pada masing-masing lokasi yaitu 12
jenis di sungai, 15 jenis di rawa I dan
13 jenis di rawa II/rawa Moramo.
3. Famili Calopterygidae,
Megapodagrionidae dan
Platycnemididae merupakan Famili
capung yang hanya ditemukan di
sungai sedangkan Lestidae (Lestes
concinus Hagen) hanya ditemukan di
rawa.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka penulis menyarankan
perlu ada penelitian lanjutan pengaruh
faktor-faktor abiotik lingkungan
terhadap populasi dan aktivitas capung
di sekitar sungai dan rawa Moramo.
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 61 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
DAFTAR PUSTAKA
Adearisandi, 2011, Siklus Hidup Capung,
Error! Hyperlink reference not
valid./, 8 Oktober 2012.
Adhitya, S., 2011, Mengenal Capung,
http//sukmana-adhitya.blogspot.
com/2011/05/mengenal-
capung.html, 16 Desember 2012.
Amir, M., Kahono, S., 2003, Serangga
taman nasional Gunung Halimun
Jawa bagian Barat, Biodiversity
Conservation project.
Amri, K., Sihombing, T., 2007, Mengenal
dan Mengendalikan Predator
Benih Ikan, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Ansori, I., 2006, Keanekaragaman Nimfa
Odonata (Dragonflies) di Beberapa
Persawahan Sekitar Bandung Jawa
Bara, Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
Aswari, P., 2010, Sekelumit
Perikehidupan Capung, Warta
Lahan Basah, Vol. 18, No. 1, Hal.
24-25.
BKSDA Sultra, 2006, Informasi Kawasan
Koservasi Provinsi Sulawesi
Tenggara, BKSDA Sultra,
Kendari.
_______, 2010, Informasi Kawasan
Koservasi Sulawesi Tenggara,
BKSDA Sultra, Kendari.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson,
N.F., 1996, Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi Keenam, Gadjah
Mada University Press,
Yogyakarta.
Djawie, S., 2009, Suaka Margasatwa
Tanjung Peropa: Melindungi
Kantung-Kantung Air Hingga
Masa Mendatang, Error!
Hyperlink reference not valid.,
22 November 2012.
Hidayah, N., 2008, Keanekaragaman Dan
Aktifitas Capung (Ordo:Odonata)
Di Kebun Raya Bogor, Skripsi,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Judawi, D., Priharyanto, D., Luther, G.C.,
Purnayasa, G.N.R., 2001, Musuh
Alami, Hama dan Penyakit
Tanaman Jambu Mete, Depatremen
Pertanian, Jakarta.
Mahajoeno, E., Efendi, M., Ardiansyah,
2001, Keanekaragaman Larva
Insekta Pada Sungai-sungai Kecil
di Hutan Jobolarangan,
Biodiversitas, Vol. 2, No. 2, Hal.
133.
Noerdjito, W.A., Ubaidillah, R., Sutrisno,
H., Peggie, D., Aswari, P., 2010,
Dampak Kegiatan Manusia
Terhadap Keanekaragaman dan
Pola Distribusi Serangga Di
Gunung Salak, Pusat Penelitian
Biologi LIPI, Bogor.
Noerdjito, W.A., 2012, Keragaman
Kumbang Sungut Panjang
(Coleoptera: Cerambycidae) di
Kebun Raya Bogor, Prosiding
seminar nasional, Perhimpunan
Entomologi Indonesia, Bogor.
Paulson, D., 2004, Families and Genera
Odonata, http://www.ups.edu.com
pdf, 19 September 2012.
Pramudhaningrat, K.Y., 2008, Capung,
Error! Hyperlink reference not
valid., 6 September 2011.
Rohman, A., 2012, Keanekaraman jenis
dan distribusi capung (Odanata) di
Kawasan Kars Gunung Sewu
Kecamatan Pracimantoro
Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah,
Skiripsi, Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta.
Simanjuntak, A. R., 2009, Inventarisasi
spesies capung (Odonata) di
Kawasan Cagar Alam Pegunungan
Wondiboi Distritik Rasiei
Kabupaten Teluk Wondama,
Skripsi, Universitas Negeri Papua,
Manokwari.
Sumargo, W., Nanggara, S. G.,
Nianggolan, F. A., Apriani, I.,
2011, Potret Keadaan Hutan
Indonesia Periode Tahun 2000-
2009, Forest Watch Indonesia,
Bogor.
Susanti, S., 1998, Seri Panduan
Lapangan” Mengenal capung”,
Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 62 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014
Pusat Penelitian Biologi LIPI,
Bogor.
_______, 2007, Mengenal Capung, Warta
Lahan Basah, Vol. 5, No. 2, Hal.
28-29.
Theischinger, G., 2009, Identification
Guide to the Australian Odonata,
National Library of Australia
Cataloguing, Australia.
Tol, J. V., 2000, The Odonata of Sulawesi
and Adjacant Island. Part 5. The
Genus Protosticta Selys
(Platystictidae), Tijdscrift vorr
Entomologie, Vol. 143, Hal. 221-
266.
_______, 2007, The Odonata of Sulawesi
and Adjacant Island. Part 5.
Libellago and Sclerocypa,
International Journal of
Odonatology, Vol. 10, No. 2, Hal.
221-266.
Whitten, A. J., Mustafa, M., Henderson.,
1992, Ekologi Sulawesi, Gadjah
Mada University Press,
Yogyakarta.
Wirawan, G. S., 2012, Jenis-jenis Capung
(Odonata) di Kawasan Gunung
Mekongga pada ketinggian 1000
Sampai 2000 m dpl desa Tunikari
kecamatan Wawo kabupaten
Kolaka Utara Sulawesi Tenggara,
Skripsi, Universitas Haluoleo,
Kendari.
Jurnal Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-62, April 2014 ISSN : 2355-6404
PEDOMAN PENULISAN
Bentuk Naskah
BioWallacea menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian, komunikasi pendek dan kajian
buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah hasil penelitian
maksimum 15 halaman termasuk Gambar dan Tabel. Short comunication dan kajian buku
maksimum 4 halaman. Naskah Belum pernah dan tidak akan diterbitkan dalam majalah atau
jurnal lain dan asli hasil karyanya.
Pengiriman Naskah
Penulis harus mengirimkan naskah dalam bentuk naskah tercetak (hard copy) tiga eksemplar
dan naskah lunak (soft copy) dalam bentuk CD atau melalui email (attachment). Setiap
naskah harus disertai alamat korespondensi lengkap. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi
BioWallacea : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi
Tridharma, Anduonohu Kendari 93232. E-mail : [email protected]
Format Naskah
1. Judul : Menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, maksimum 15 kata.
Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di bawah judul harus tertulis nama
lengkap para penulis (tidak disingkat), tanpa gelar, alamat penulis (instansi asal, alamat
dan alamat e-mail untuk korespondensi penulis). Jika para penulis memiliki alamat
berbeda, maka harus diberi tanda (mis. Angka 1 atau 2 dan masing-masing tanda diberi
nama instansi atau universitasnya. Abstrak : Maksimum 300 kata. Berisi inti naskah yang
memuat tujuan, hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah
dikerjakan. Nama organisme disertai nama ilmiahnya. Ditulis dalam dua bahasa yaitu
Inggris dan Indonesia. Pada bagian akhir abstrak disertai beberapa kata kunci (key words),
4-6 kata.
2. Pendahuluan : Berisi tentang teori, hasil penelitian dan atau berita-berita terkini yang
menjadi latar belakang mengapa penelitian dilakukan, rumusan permasalahan dan tujuan
penelitian. Metode Penelitian : Mendeskripsikan dan menjelaskan secara singkat, jelas,
rinci dan padat tentang bahan dan alat, sampel (kualifikasi), disain penelitian dan analisa
data, tahapan cara kerja, parameter dan cara pengukuran serta cara analisis data.
3. Hasil dan Pembahasan : Menyajikan hasil yang diperoleh secara singkat, ilustrasi
berupa tabel, gambar atau deskripsi kualitatif, kemudian dibahas sebab-akibatnya,
keterkaitan dengan teori dan hasil penelitian terdahulu yang mirip dan sejenis. Di sini
penulis diharapkan berani untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang diperoleh
dengan cara memperbandingkan dengan hipotesis, standar mutu dan/atau hasil penelitian
terdahulu yang sejenis dan mirip. Dampak penelitian yang dilakukan perlu juga diuraikan
diakhir pembahasan. Simpulan dan Saran : Simpulan dibuat singkat, jelas dan bersifat
kualitatif dan umum bukan sebagai rangkuman hasil. Simpulan yang ditarik
menggambarkan atau memberi jawaban atas permasalahan atau tujuan penelitian. Saran-
saran ditulis sebagai harapan peneliti untuk memperbaiki, mengembangkan, menerapkan,
dan menyempurnakan penelitian yang dilakukan. Ucapan Terima Kasih (Jika ada) :
Ditujukan kepada instansi dan/atau orang yang berjasa besar terhadap penelitian yang
dilakukan. Dibuat dalam 1 alinea maksimum 50 kata.
4. Daftar pustaka : Daftar pustaka sesuai acuan pustaka yang digunakan. Acuan pustaka
yang digunakan minimal 10 tahun terakhir. Daftar Pustaka disusun menurut abjad, diketik
1 spasi, dengan tata cara penulisan sebagai berikut :
Barret, D.M., Lasalo, S. and Hosahalli, R. 2005. Processing Fruits. CRC Press, London.
Yanti, N. A., Margino, S. dan Sembiring, L. 2010. Optimasi Produksi Poli-β-
hidroksibutirat (PHB) oleh Bacillus sp. PSA10. Biota, 15 (3) : 331-339.