JURNAL PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA...Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi...

186
JURNAL PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA BIRO HUKUM DAN KOMUNIKASI INFORMASI PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani VII 2017 Tahun VII ISSN : 2089 - 3612 Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara Dr. Adi Suryanto, M.Si. Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society Muhammad Yusuf Ateh Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Profesional Edy Sudaryanto Gerakan Indonesia Melayani suatu k balik bagi Birokrasi Profesional Herwan Parwiyanto Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Administrasi Dr. ARMINSYAH, SH.,M.Si. Prakk Reformasi Birokrasi Komarudin Birokrat Melayani Prima Kepada Publik Suwardi Membangun Model Kinerja Birokrasi Ronald Andrea Annas, Ak Mal Pelayanan Publik Dr. Muhammad Imanuddin Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi Pemerintahan Edys Riyanto

Transcript of JURNAL PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA...Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi...

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

BIRO HUKUM DAN KOMUNIKASI INFORMASI PUBLIKKEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DAN REFORMASI BIROKRASI

Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani

VII2017

Tahun VII

ISSN : 2089 - 3612

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil NegaraDr. Adi Suryanto, M.Si.

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society Muhammad Yusuf Ateh

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Profesional Edy Sudaryanto

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi Profesional Herwan Parwiyanto

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Administrasi Dr. ARMINSYAH, SH.,M.Si.

Praktik Reformasi Birokrasi Komarudin

Birokrat Melayani Prima Kepada Publik Suwardi

Membangun Model Kinerja Birokrasi Ronald Andrea Annas, Ak

Mal Pelayanan Publik Dr. Muhammad Imanuddin

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi Pemerintahan Edys Riyanto

Daftar isi

Gerakan Indonesia Melayani 3

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara 5Dr. Adi Suryanto, M.Si.

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society 18Muhammad Yusuf Ateh

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Profesional 40Edy Sudaryanto

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi Profesional 53Herwan Parwiyanto Prodi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Administrasi 64Dr. ARMINSYAH, SH.,M.Si.

Praktik Reformasi Birokrasi 79Komarudin

Birokrat Melayani Prima Kepada Publik 102Suwardi

Membangun Model Kinerja Birokrasi 123Ronald Andrea Annas, Ak

Mal Pelayanan Publik 135Dr. Muhammad Imanuddin

Perilaku K epemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi Pemerintahan 147Edys Riyanto

P E L I N D U N G : M e n t e r i PA N R B P E N A N G G U N G J AW A B : S e k r e t a r i s K e m e n t e r i a n PA N R B P E M I M P I N U M U M : K epala B i ro Hukum, K omunik as i , dan I n formas i Publ ik D E WA N R E D A K S I : Para

Deput i , S ta f Ahl i dan Staf K husus P E M I M P I N R E D A K S I : S u w a r d i S E K R E TA R I S R E D A K S I : W a h i d u l K a h h a r R E D A K T U R : Herman Sur yatman, Tauf ik R ahman, Ananta Antasar i , K omaruddin , Nunu Hami jaya

DESAINER GR AFIS: R i santo D I S T R I B U S I : Ahmad Antonia A D M I N I S T R A S I : Ros ik in , Nadia , Sabar Wibowo Alamat Redaksi: BIRO HUKUM, KOMUNIKASI & INFORMASI PUBLIK Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi Jl. Jend. Sudirman Kav. 69 Telp. dan Fax. (021)-7398372 Jakarta 12190

Edisi 7, Tahun VII 3

Gerakan Indonesia Melayani

Memasuki tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja 2014-2019 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengusung visi  terwujudnya Indonesia yang

berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dalam upaya memperbaiki dan membangun karakter bangsa Indonesia dengan melaksanakan revolusi mental yang mengacu pada nilai-nilai in-tegritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 6 Desember 2016 telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Melalui Inpres ini presiden menginstruksikan kepada jajaran pemerin-tahan dari pusat sampai daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melaksanakan Gerakan Nasional Revolusi Mental, meliputi 5 (lima) pro-gram Gerakan Nasional Revolusi Mental yang meliputi; Program Gerakan Indonesia melayani; Indonesia bersih, Indonesia tertib; Indonesia mandiri; Indonesia bersatu.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mendapat amanah untuk mengoordinasikan Program Gerakan Indonesia Melayani dan bertanggung jawab atas terwujudnya perilaku Sumber Daya Manusia Aparatur Sipil Negara yang melayani.

Edisi 7, Tahun VII4

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Program Gerakan Indonesia Melayani, yang difokuskan kepada 10 (sepuluh) program kegiatan yaitu ;a) peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia Aparatur Sipil Negara; b) peningkatan penegakan disiplin Aparatur Pemerintah dan Penegak Hukum;c) penyempurnaan standar pelayanan dan sistem pelayanan yang inovatif (e-government); d) penyempurnaan sistem manajemen kinerja (performance-based management system) Aparatur Sipil Negara; e) peningkatan perilaku pelayanan publik yang cepat, transparan, akuntabel, dan responsif; f) penyempurnaan peraturan perundang-undangan (deregulasi); g) penyederhanaan pelayanan birokrasi (debirokratisasi); h) peningkatan penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pelayanan publik; i) peningkatan penegakan hukum dan aturan di bidang pelayanan publik; dan j) penerapan sistem penghargaan dan sanksi beserta ketela-danan pimpinan.

Penerbitan jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kali ini mengupas lebih dalam dari berbagai sudut pandang, terkait konsep dasar implementasi reformasi birokrasi terkait program ‘GERAKAN INDONESIA MELAYANI” dengan mengetengahkan se-jumlah pemikiran analitik dari para pakar, akademisi, praktisi, pemerhati yang memiliki kepedulian memberikan sumbang pemikiran solutif tentang akselerasi reformasi birokrasi.

Melalui jurnal ini informasi yang didapat berisi kerangka pemikiran solutif dari analisis, kajian, pengamatan, studi kasus, terkait dengan tema utama, “Reformasi Birokrasi Menuju Terwujudnya Pemerintahan Berkelas Dunia Tahun 2025” dengan 10 (sepuluh) program kegiatan yang tertuang dalam gerakan Indonesia melayani.

Selamat membaca.

Redaksi.

Edisi 7, Tahun VII 5

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat:

Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental

Aparatur Sipil NegaraDr. Adi Suryanto, M.Si.

Kepala Lembaga Administrasi Negara RI

Abstrak

Untuk merombak konstruk kompetensi ASN agar menjadi konstruk kompetesi yang vertical- ly-fit dalam membangun Birokrasi Pelayan Publik yang Berorientasi Masyarakat (BPPBM) diperlukan suatu perubahan yang radikal dalam sistem pengembangan kompetensi ASN.Diperlukan suatu sistem pengembangan kompetensi yang me-mungkinan ASN mengalami value attack atau gempuran nilai yang diarahkan pada soft competence. McCall, Lombardo, dan Eichinger (1996) mengajukan model pengembangan kompetensi yang disebutnya model 10: 20: 70, yang dapat mewujudkan gempuran nilai tersebut. Namun intensitas gempuran nilai masih perlu ditingkatkan, terutama pelibatan atasan langsung dan manajemen sumber daya manusia pada instansi peserta pelatihan pada saat peserta memasuki fase 20: 70.

Kata Kunci : kompetensi, gempuran nilai, revolusi mental

A. PendahuluanPara founding fathers men di-

rikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tujuan un-tuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Seluruh misi negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, me-nempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari

Edisi 7, Tahun VII6

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

misi tersebut. NKRI didirikan untuk melindungi tumpah darah masyar-akat Indonesia, memajukan kese-jahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan mereka. Dalam konteks ini, NKRI adalah sebuah birokrasi pelayan publik untuk seluruh mas-yarakat Indonesia, bukan untuk kelompok tertentu saja.

Pengetahuan untuk mem-bangun Birokrasi Pelayan Publik Berorientasi Masyarakat (BPPBM) bukanlah sesuatu yang baru. Peng-etahuan ini sudah lama dan terse-bar banyak dalam berbagai disiplin ilmu mulai dari politik, administrasi publik, dan kebijakan publik. Bahkan, substansi atau konten BPPBM terse-but tersebar lebih luas lagi mengi-kuti sektor-sektor pelayanan pub-lik seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, perhubungan, pertanian, pertahanan, hukum, dan seterusnya. Di era digitial seperti sekarang ini, disiplin ilmu teknologi dan komunika-si juga sudah menjadi bagian integral dari pengetahuan pelayanan publik.

Fenomena di atas menun jukkan bahwa persoalan mem bangun BP-PBM bukan lagi persoalan teknis atau persoalan kurangnya pengetahuan

dalam memberikan pelayanan publik berkualitas. Pengetahuan tentang hal ini sudah banyak, bahkan termasuk inovasi pelayanan publik. Berbagai negara telah berhasil memanfaatkan pengetahuan tersebut dengan me-nerapkan secara konsisten sehingga menjadi BPPBM yang best practices. Tidak sedikit Aparatur Sipil Negara (ASN) melakukan benchmarking ke best practice ini, dan sesekali juga politisi melakukan hal yang sama, dengan tujuan untuk mereplikasin-ya. Pengetahuan untuk mereplikasi best practice pun sudah lengkap, dan tinggal diterapkan.

Tetapi sekali lagi, membangun BPPBM di Indonesia bukan persoalan teknis semata, melainkan masalah non-teknis, masalah adaptif, masalah ASN yang belum memiliki komitmen yang kuat untuk berubah. Masalah ini menjadikan pengetahuan dan inovasi dalam membangun BPPBM hanya tersimpan di buku teks dan dokumen. Mereka dipelajari, diba-has, didiskusikan, bahkan diperde-batkan, tetapi tak kunjung diterapkan secara konsisten. ASN belum mampu mewujudkan BPPBM dalam dunia

Edisi 7, Tahun VII 7

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

nyata sebagaimana harapan para founding fathers.

Artikel ini ditulis untuk mem-berikan argumentasi tentang ur-gensi menggunakan momentum Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) da lam menerapkan model pengembangan kompetensi yang terintegrasi. Model ini pada gili-rannya akan menambah intensitas pengembangan kompetensi, mem-fasilitasi terwujudnya value attack atau gempuran nilai, sehingga ASN dapat merevolusi mentalnya, da-lam rangka membangun BPPBM. Pengembangan kom petensi yang selama ini diyakini berlangsung terbatas pada tatap muka di kelas, sudah tidak memadai untuk melahir-kan ASN yang mentalnya berevolusi. Untuk menghasilkan ASN yang men-talnya sudah berevolusi dan menjadi manusia baru dalam memberikan pelayanan publik, pengembangan kompetensi di dalam kelas ha rus terintegrasi dengan pengembangan konpetensi di tempat kerja. Kedu-anya tidak boleh didikotomikan, melainkan saling komplementer, bahkan sinergis.

B. Tantangan Adaptif Da lam Membangun Birokrasi Pelayan Publik Berorientasi Masyarakat

Seharusnya kualitas pela yanan publik di Indonesia sudah meningkat dan setara dengan negara-negara maju. Waktu selama tujuh puluh dua tahun setelah kemerdekaan di tahun 1945, sudah lebih dari cukup untuk membangun BPPBM. Beberapa ne-gara lain tidak membutuhkan waktu selama itu. Singapura, Malaysia, dan mungkin juga Vietnam jelas tidak membutuhkan waktu yang lama. Ket-iga negara ini belakangan merdeka dibandingkan Indonesia. Namun, mereka efektif dalam mengguna-kan pengetahuan yang ada, untuk membangun BPPBM yang handal.

Pengetahuan teknis untuk membangun BPPBM yang modern juga bukan rahasia, sehingga tidak ada alasan kalau Indonesia tidak mampu memilikinya. Pengetahuan tersebut tersimpan dalam berbagai buku teks, dokumen, naskah, jurnal ilmiah, dan lain-lain, dan tersedia luas serta bebas diakses bahkan dimiliki oleh siapapun. Pengetahuan terse-but bersumber dari pemikir Birokrasi Pelayan Publik seperti Frederik W

Edisi 7, Tahun VII8

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Taylor (1967), Max Weber (1949), David Osborne dan Ted Gaebler (1992), Robert B Denhardt (2007 dan 2008), Tom Christensen (2007), dan lain-lain termasuk pakar konten masing-masing sektor pelayanan publik.

Di tengah melimpahnya peng-etahuan untuk membangun BPPBM, Indonesia malah mengalami defisit dalam pelayanan publik. Banyak pakar dan institusi yang telah mel-akukan kajian dan menghasilkan daftar panjang akan bukti masih rendahnya kualitas pelayanan pub-lik. Kementerian PAN dan RB juga menemukan sejumlah fakta yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik seperti lemahnya penegakan hukum, kualitas akuntabilitas instansi pemerintah masih rendah, Pener-apan e-government belum merata, masih rendahnya kompetensi dan belum sesuai dengan kebutuhan, rendahnya kinerja, sistem remu-nerasi belum layak dan berbasis kinerja, pengadaan barang dan jasa belum dapat diselenggarakan secara efisien, aparat pengawas internal pemerintah masih lemah, organisasi gemuk, fragmented, dan tumpeng

tindih, rendahnya komitmen pence-gahan dan pemberantasan korupsi, Integritas PNS yang masih rendah. Temuan ini menambah panjang daft-ar yang sudah ada.

Munculnya fakta di atas lebih disebabkan oleh faktor non teknis atau faktor manusia yang belum memiliki pola pikir, mindset, atau mental yang kuat untuk memban-gun BPPBM. Nilai-nilai positif yang terkandung dalam pengetahuan teknis tersebut belum terinternal-isasi dengan baik sehingga tidak cukup kuat untuk merevolusi men-tal ASN untuk berubah. Rhonald A Hefeits (2009) menyebut fenomena ini sebagai masalah adaptif, yaitu suatu bentuk kemampuan manusia untuk beradaptasi atau berubah. Diakui atau tidak, faktanya ASN be-lum memiliki kemampuan adaptif tersebut. Akibatnya, pengetahuan teknis yang tersedia menjadi mubazir karena mereka tidak memanfaatkan-nya dengan baik.

Penyebab enggannya ASN un-tuk berubah bervariasi mulai dari ketidaktahuan sampai pada ket-idakmauan. Jika dikaitkan, ketidak-mauan juga dapat disebabkan oleh

Edisi 7, Tahun VII 9

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

ketidaktahuan. ASN belum memiliki pengetahuan yang lengkap, yaitu suatu konstruk kompetensi yang komprehensif yang mengandung keseluruhan dimensi kompetensi mulai dari motif, karakter, potret diri, pengetahuan, dan keterampilan ini. Konstruk ini cukup kuat sehingga mampu membangun kesadaran dan komitmen untuk berubah, meskipun yang bersangkutan harus keluar dari comfort zone atau zona nyaman.

C. Urgensi Revolusi Mental Dalam Membangun Biro krasi Pelayan Publik Yang Beriorentasi Masyarakat

Hingga saat ini paling tidak ada tiga penjelasan yang mencoba memberi alasan mengapa ASN sulit untuk berubah, khususnya dalam membangun BPPBM. Pertama, se-cara historis Birokrasi Pelayan Pub-lik memiliki ikatan sejarah dengan birokrasi bentukan Belanda di era penjajahan dan birokrasi di era ker-ajaan sebelum kemerdekaan (Dwi-yanto, 2002). Kedua pengaruh ini memiliki kekuatan yang sama dalam membangun kultur penguasa pada ASN. Keduanya menempatkan rakyat

sebagai pihak yang harus mengab-di pada kekuasaan. Padahal, untuk membangun BPPBM, kulturnya ha-rus berbeda. Rakyatlah yang harus dilayani, dan ASNlah pelayannya.

Pengaruh yang kuat ini tanpa disadari membentuk karakter pada ASN, yang kemudian muncul dalam perilaku sehari-hari. Kata dan kali-mat yang diucapkan, atribut yang dikenakan, dan seragam yang dipa-kai, semuanya merupakan symbol kekuasaan, bukan pelayanan. Karak-ter inilah yang membuat ASN enggan menggunakan pengetahuan teknis membangun birokrasi pelayanan publik yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang harus dilayani. Karakter penguasa tidak kompatibel dengan nilai yang terkandung dalam pengetahuan teknis pelayan publik yang dianjurkan oleh pakar.

Kedua, penjelasan datang dari praksis manajemen perubahan dalam kaitannya dengan perilaku stakeholder dalam menyikapi suatu perubahan, khususnya untuk mem-perbaiki pelayanan publik. Dalam perspektif ini, perubahan selalu di-anggap sebagai penggantian sistem baru, atau penggusuran sistem lama.

Edisi 7, Tahun VII10

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

ASN yang pada sistem yang lama kepentingannya terakomodir dan berada pada comfort zone atau zona nyaman, hampir dapat dipastikan akan menemukan dirinya keluar dari zona nyoman. Kepentingan, previlage, dan keuntungan yang per-nah dinikmati dulu otomatis akan terhenti. Dalam perspektif manaje-men perubahan, ASN ini cenderung resisten. Bahkan akan melakukan perlawanan.

Menurut Hafeits (2009), ter-dapat tiga jenis kepentingan yang menyebabkan seseorang sulit berubah untuk mendukung suatu perubahan, yaitu: a) kepentingan untuk menyenangkan kerabatnya termasuk dirinya sendiri; b) kepentin-gan untuk menguntungkan teman atau kroninya, dan c) kepentingan untuk menyenanglan kelompoknya, atau komunitas tempatnya berafili-asi. Seseorang termasuk ASN akan melakukan perlawanan terhadap upaya membangun BPPBM apabila satu atau lebih kepentingan di atas tidak terakomodir dalam perubahan yang akan dilaksanakan.

Terakhir, sebagian pakar men-yalahkan birokrasi pelayanan publik

di Indonesia yang selama ini men-gadopsi pemikiran Max Weber (Dwiyanto, 2002). Seperti diketa-hui, Weber memberikan sejumlah karakteristik birokrasi yang rasional. Dengan mengedepankan unsur ra-sionalitas, birokrasi dirancang secara sangat scientific, ilmiah, atau rasional, sehingga menyerupai robot. Seluruh tugas ASN sudah dirancang secara spesifik, dibatasi secara rigid, dan harus fokus dalam menjalankan tu-gas yang telah digariskan. Tidak ada ruang sedikitpun untuk melakukan diskresi, inovasi, atau perubahan. Ketiga hal terakhir inilah yang menut-up peluang bagi ASN untuk berubah.

Ketiga penjelasan di atas menun-jukkan bahwa kendala utama dalam membangun BPPBM terletak pada manusia, bukan pada kurangnya pa-sokan pengetahuan teknis. Ketidak-mampuan adaptif atau berubah se-cara intrinsic terletak pada manusia. Konstruk atau bangunan kompetensi yang dimilikinya tidak berada pada kondisi well-shaped atau utuh. ASN mungkin telah memiliki pengetahuan teknis untuk membangun BPPBM yang selama ini diperolehnya dari berbagai program pengembangan

Edisi 7, Tahun VII 11

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

kompetensi, namun belum memiliki kompetensi lunak (soft competence) yang menopang kompetensi teknis. Pada dirinya terjadi split competence atau kompetensi terbelah: soft com-petence dan hard competence tidak menyatu.

Spencer dan Spencer (1993) mengajukan konstruk atau bangunan kompetensi pada manusia yang

mampu berkinerja unggul dalam suatu organisasi. Dalam konstruk ini, terdapat lima kompetensi yang secara vertikal harus fit atau selaras. Kelima kompetensi tersebut adalah motif atau niat, personal character, self-potrait, knowledge dan skill. Kelima kompetensi ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Bangunan Kompetensi

Untuk membangun BPPBM, gambar di atas dapat menjadi acuan dalam membangun strategi pengem-bangan kompetensi ASN. Gambar di atas menegaskan perlunya ASN memiliki konstruk kompetensi yang

secara vertikal fit, mulai dari motif hingga skill. Suatu kondisi konstruk yang sulit ditemukan pada ASN saat ini. Kelima unsur kompetensi terse-but belum semuanya fokus pada membangun BPPBM. Kompetensi

Edisi 7, Tahun VII12

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

knowledge dan skill bisa saja dimi-likinya, namun kompetensi motif, personal character dan self-portrait masih terdistorsi oleh kultur pen-garuh birokrasi Belanda dan kerajaan maupun kultur birokrasi Weberian.

Untuk merombak konstruk kompetensi ASN agar menjadi konstruk kompetensi yang vertical-ly-fit dalam membangun BPPBM, diperlukan suatu perubahan yang radikal dalam sistem pengemban-gan kompetensi ASN. Pada titik ini, Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) memiliki momentum yang sangat tepat. GNRM ini dapat men-jadi gerbong utama dalam merev-olusi mental seluruh ASN yang saat ini berjumlah sekitar 4,5 juta orang; menjadikan mereka sebagai ASN yang baru; senada dengan apa yang pernah diucapkan oleh Presiden per-tama RI Soekarno pada Pidato Ken-egaraan tanggal 17 Agustus 1957, yang mengatakan bahwa Revolusi Mental merupakan suatu gerakan untuk menggembleng manusia In-donesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berji-wa api yang menyala-nyala. GNRM

khususnya Gerakan Indonesia Me-layani terlebih dahulu harus meng-hasilkan ASN yang baru.

Ketiga nilai dalam GNRM yaitu integritas, ethos kerja, dan gotong royong, sejalan dengan nilai yang dibutuhkan dalam membangun BP-PBM. Nilai integritas akan mengan-tarkan ASN berhati putih, jujur, dan selalu menjaga dignity atau harkat dan martabatnya dalam bertindak. Nilai ethos kerja akan mendorong ASN untuk tidak hanya bekerja se-cara business as usual, tetapi moti-vasi berprestasi akan membuatnya selalu berpikir kreatif dan inovatif. Sedangkan nilai gotong royong akan membuat untuk berpikir holistik, bersinergi, dan selalu mengedepan-kan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan.

D. Model Pengembangan Kom-petensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat

Membentuk ASN yang memili-ki komitmen untuk berubah dan menjadi pendukung utama dalam membangun BPPBM bukan sesuatu yang mustahil. Negara-negara maju

Edisi 7, Tahun VII 13

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

sudah melakukannya dan berhasil. Penyebab utama mereka tidak mau berubah terletak pada soft compe-tence yang oleh Spencer dan Spencer disebut sebagai kompetensi yang tidak terlihat (invisible). Kompetensi ini meliputi motif, personal character dan self-potrait. Ketiga kompeten-si ini perlu mengalami value attack atau gempuran nilai sehingga cara pandang mereka terhadap BPPBM berubah seratus delapan puluh de-rajat. Mereka kemudian mengang-gap bahwa membangun BPPBM itu sangat penting dan mendesak.

Dengan gempuran nilai yang efektif, kompetensi motif, personal character, dan self portrait mere-ka akan berubah. Dalam bekerja, mereka memiliki motif yang sangat kuat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk menjadi penguasa, juga bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan. Mereka bekerja bukan ha-nya sekedar bekerja, apalagi mengi-si waktu sambil menunggu waktu pensiun atau terhindar dari label penganguuran. Begitupula, personal characternya berubah menjadi per-sonal character yang sesuai dengan

BPPBM. Mereka akan memiliki kar-akter yang sejalan dengan nilai-nilai revolusi mental yaitu integritas, ethos kerja, dan gotong royong. Kompe-tensi self-portrait akan mengantar-kan mereka mampu membangun potret diri sebagai sosok ASN pe-layan masyarakat, bukan penguasa. Perubahan pada ketiga kompetensi ini akan menjadi mereka ASN yang baru: analog dengan istilah Presiden Pertama RI Soekarno yaitu manusia Indonesia baru.

Perubahan pada soft compe-tence memainkan peranan penting dalam membangun ASN yang memi-liki komitmen untuk berubah. Tan-pa komitmen untuk berubah, maka upaya untuk membangun BPPBM sulit terwujud. Jika soft competence sudah berhasil, maka selebihnya ha-nyalah persoalan teknis semata, yaitu ASN memerlukan pengetahuan tech-nical know-how atau pengetahuan teknis. Mereka membutuhkan hard competence yang menurut Spencer dan Spencer (1993) kompetensi ini bersifat visible atau terlihat. Hard competence ini meliputi knowledge dan skill dalam membangun BPPBM. Knowledge dan skill ini merupakan

Edisi 7, Tahun VII14

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pengetahuan teknis yang selama ini sudah banyak tersebar dalam berbagai buku teks, jurnal, naskah ilmiah, dan berbagai dokumentasi lainnya. Jika soft competence terban-gun dengan baik, maka ASN dapat mencari hard competence ini secara mandiri. Komitmen untuk berubah sudah berasal dari diri ASN, sudah bersifat instrinsic.

Gempuran nilai pada soft compe-tence untuk mengubah cara pandang dan pengembangan hard compe-tence perlu dilakukan secara terpadu dan terintegrasi, dan karenanya me-merlukan model pengembangan kompetensi yang juga terpadu dan

terintegrasi. McCall, Lombardo, dan Eichinger (1996) mengajukan model pengembangan kompetensi yang disebutnya model 10: 20: 70, yang dapat mewujudkan gempuran nilai tersebut. Dengan model ini, pengem-bangan kompetensi diskenariokan berlangsung sebanyak 10 % di kelas, 20 % dalam bentuk coaching di tem-pat kerja, dan 70 % dalam bentuk action learning juga ditempat kerja. Secara diagram, model pengemban-gan kompetensi 10: 20: 70 ini dapat digambarkan pada gambar 2.

Model pengembangan kompe-tensi 10: 20: 70 ini mencoba mengin-tegrasikan pembelajaran di dalam

Gambar 2: Model Pengembangan Kompetensi 70: 20: 10

Edisi 7, Tahun VII 15

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

kelas dan di tempat kerja. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, model ini sejalan dengan apa yang disebut pelatihan terintegrasi. ASN tidak hanya belajar di kelas tetapi juga di tempat kerja, entah dengan pembimbingan atau coaching atau mandiri dalam bentuk action learning.

Dengan model pelatihan terin-tegrasi ini, bentuk pengembangan kompetensi tidak hanya klasikal dalam bentuk tatap muka di kelas, melainkan juga bentuk lainnya. Da-lam Undang-Undang Nomor 5 Ta-hun 2014, model pelatihan ini dapat berupa pembimbingan di tempat kerja, magang, bahkan pertukaran dengan pegawai swasta. Dengan model pengembangan kompeten-si seperti ini, dialog dengan coach dan mentor/atalasan langsung ten-tang motif, personal character, dan self-potrait bisa berlangsung penuh makna, dan pada gilirannya, secara subtle atau lembut akhirnya mem-bentuk nilai integritas, ethos kerja, dan gotong royong pada diri ASN.

ASN yang mengikuti model pela-tihan 10: 20: 70 ini pada awalnya akan berada di kelas selama 10 %

dari total pembelajaran yang dibu-tuhkan untuk membangun BPPBM. Mereka akan berada di kelas untuk mendapat sekilas tentang kompe-tensi motif, personal character, self portait, termasuk knowledge dan skill yang diperlukan dalam membangun BPPBM. Selanjutnya, 20 % mereka terus belajar menginternalisasi kom-petensi yang diperolehnya tersebut di tempat kerja. Dalam masa pem-bimbingan ini, proses dialog dengan coach atau pembimbing menjadi san-gat penting karena pada tahap inilah kelima kompetensi tersebut dibuat fit secara vertikal. Motif, personal character, self-portrait, knowledge dan skill secara vertical harus menopang terwujud dan berjalannya BPPBM. Selanjutnya, 70 % tersebut meru-pakan habituation atau pembiasaan atau pemahiran dalam menjalankan BPPBM. Pada masa 70 % ini, pembe-lajaran sudah bersifat mandiri dalam bentuk action learning. Monitoring penerapan kompetensi selanjutnya berada di tangan atasan langsung atau sistem manajemen kinerja mas-ing-masing instansi.

Edisi 7, Tahun VII16

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

E. PENUTUPBelum terwujudnya BPPBM di

Indonesia pada dasarnya bukan-lah disebabkan faktor teknis atau kurangnya pasokan pengetahuan teknis. Masalah ini lebih disebabkan oleh faktor non teknis, faktor adaptif, faktor ASN yang belum memiliki ke-mampuan untuk berubah, merevolu-si mentalnya untuk memiliki komit-men untuk berubah.

Mengatasi masalah ini, diper-lukan suatu sistem pengembangan kompetensi yang memungkinkan ASN mengalami value attack atau gempuran nilai yang diarahkan pada soft competence. Suatu sistem pengembangan kompetensi yang intensitas pembelajarannya tinggi, mengintegrasikan sistem pembe-lajaran di kelas dan tempat kerja, dengan komposisi 10: 20: 70; dimana peserta belajar sebesar 10 % di kelas, 20 % dibimbing, dan 70 % belajar mandiri dalam bentuk action learn-ing, learning by doing, experiencial learning, atau bekerja sambil belajar. Dengan gempuran nilai ini, ASN dap-at mengalami revolusi mental dan menjadi ASN baru. Dalam sistem ini, gempuran nilai terhadap soft competence tidak hanya dilakukan

oleh penyelenggara pelatihan saja, tetapi atasan langsung dan instansi ASN itu sendiri.

Sejak tahun 2014, Lembaga Ad-ministrasi Negara telah menerapkan sistem pengembangan kompetensi dengan model 10: 20: 70 ini pada Pelatihan Prajabatan atau Pelatihan Dasar, Pelatihan Kepemimpinan, dan mulai juga diterapkan pada pelatihan teknis serta pelatihan fungsional. Namun intensitas gempuran nilai masih perlu ditingkatkan, teruta-ma pelibatan atasan langsung dan manajemen sumber daya manusia pada instansi peserta pelatihan pada saat peserta memasuki fase 20: 70. Dua fase ini belum berkinerja optimal. Strategi peningkatan peli-batan atasan langsung dan instansi peserta pelatihan masih terus diu-payakan. Semoga artikel ini mampu menginsipirasi atasan langsung dan instansi atasan peserta pelatihan untuk juga turut bertanggungjawab dalam sistem pengembangan kom-petensi terintegrasi ini sehingga ASN dapat mengalami gempuran nilai yang efektif, yang pada gilirannya BPPBM dapat terwujud di instansi masing-masing.

Edisi 7, Tahun VII 17

Model Pengembangan Kompetensi Untuk Membangun Birokrasi Pelayan Publik Yang Berorientasi Masyarakat: Sebuah Strategi Pengembangan Kompetensi Untuk Merevolusi Mental Aparatur Sipil Negara

Dr. Adi Suryanto, M.Si.

DAFTAR PUSTAKA

Christensen, Tom, Per Lægreid, Paul G.Roness and Kjell Arne Rovik, 2007. Organization Theory and The public Sector. New York: Routledge

Denhardt, Robert B. 2008. Teories of Public Organization (fifth edition). Belmont: Thomson Wadworth

Denhardt, Janet V dan Robert B Denhardt. 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering New York: M.E. Sharpe.

Dwiyanto, Agus. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yo-gyakarta: Pusat Studi Kepend-udukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.

Hafeits, A Rhonald, Alexander Gra-show, Marty Linsky. 2009. The Practice of Adaptive Leadership: Tools and Tactics for Changing Your Organization and the World.

Harverad: Harvard Business School.

Morgan McCall, Michael M. Lombar-do and Robert A. Eichinger (1996). 10: 20: 70 Model of Training and Development. https://www.train-ingindustry.com/wiki/entries/the-702010-model-for-learning-and-development.aspx diakses pada tanggal 29 Juni 2017.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government (terjemahan). Reading: Addison Wesley.

Spencer, Lyle M and Signe M Spen-cer. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. Canada: John Wiley and Sons

Taylor , Frederick Winslow. 1967. The Principle of Scientific Management. New York: Norton & Company.

***

Edisi 7, Tahun VII18

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance

Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf AtehProgram Doktoral Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Pada beberapa dekade belakangan perhatian utama para ahli ditempatkan pada pemikiran bagaimana negara mampu memerintah masyarakatnya di tengah tengah tekanan yang terus meningkat dari masyarakat atau stakeholders lain terhadap negara. Di satu sisi Pemerintah seringkali memiliki berbagai keterbatasan yang membuatnya tidak dapat memenuhi tuntutan dn tekanan masyarakat tersebut. Mau tidak mau, pemerintah harus memilih dan mengupayakan jalan keluar terbaik sehingga keterbatasan itu tidak mengaburkan tanggung jawab pemerintah kepada masayrakatnya.

Artikel ini menyajikan perbandingan tiga model permasalahan tentang akuntabilitas yang dialami oleh negara-negara di dunia. Selanjutnya, artikel ini juga merefleksikan ketiga model permasalahan tersebut pada konteks Indonesia. Salah satu keterbatasan Pemerintah Indonesia untuk mengelola masyarakat yang kompleks adalah, terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah untuk mendefinisikan dan mengartikulasikan problem and need masyarakat Indonesia ke dalam berbagai program dan kegiatan pemerintah, serta terbatasnya anggaran negara untuk

Edisi 7, Tahun VII 19

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

membiayai program dan kegiatan tersebut.

Oleh karenanya, upaya utama yang didorong oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja/akuntabilitas berorientasi hasil melalui perbaikan sistem manajemen kinerja sektor publik sehingga tercipta tata kelola dan kelembagaan yang mampu menjawab kompleksitas dan keinginan masyarakat.

Kata Kunci : Keterbatasan kapasitas pemerintah, peningkatan beban kerja pemerintah, kompleksitas masyarakat, akuntabilitas, legitimasi, manajemen kinerja.

Latar BelakangDalam beberapa dekade

terakhir, masyarakat dunia telah mengalami dan menyaksikan sendiri mengenai perubahan penting dalam proses bagaimana negara mengatur masyarakatnya. Salah satu isu utama dalam proses perubahan tersebut adalah mengenai kapasitas negara untuk mengatur masyarakatnya dalam situasi lingkungan internal dan eksternal negara semakin mengelami kompleksitas. Belakangan konsep yang menyeruak ke permukaan ialah konsep “stateless” dimana negara berperan seminimal mungkin dalam mengatur masyarakat. Porsi peran negara berada dalam batas minimal. Para ahli menilai bahwa model system ini akan berimplikasi pada cara

negara mengatur masyarakatnya. Kalangan ahli melihat dalam waktu belakangan, masyarakat diatur dengan cara yang “lebih lembut” (Heisle, 1974; Kraemer, 1968).

Di wilayah Skandinavia, model konsep peran negara terhadap masyarakat lebih mengacu pada kondisi dimana negara tetap menjadi aktor penting, namun perannya telah bergeser untuk memobilisasi pemerintahan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dan bertujuan untuk memberikan pelayanan pada masyarakat melalui cara-cara yang menihilkan koordinasi dari pemerintahan pusat. Dalam kata lain, dalam upayanya menyediakan layanan pada masyarakat, negara

Edisi 7, Tahun VII20

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

tidak melulu bergantung pada peran pemerintah yang terlalu sentral.

Dibalik perdebatan mengenai besaran peran negara terhadap masyarakatnya, muncul pula perdebatan mengenai akuntabilitas dan legitimasi sektor publik. Berbicara mengenai akuntabilitas dan legitimasi di sektor publik, sejumlah upaya telah dilakukan untuk mereformasi struktur sebuah negara atau prosedur instansi pemerintah ketika menjalankan fungsinya. Tujuannya jelas, tidak lain untuk menciptakan akuntabilitas yang pada akhirnya berujung pada legitimasi di sektor publik.

Argumen yang menjadi dasar ketika membahas mengenai akuntabilitas dan permasalahan legitimasi berangkat dari logika politik dan kelembagaan yang cenderung bernafaskan karakteristik negara liberal-demokratis. Model pemerintahan liberal menyediakan satu konsepsi yang jelas mengenai keterkaitan kelembagaan antara para pemil ih, pejabat yang terpilih, dan kebijakan publik yang dihasilkan. Sementara nafas demokratis memberikan ruang bagi

masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya sebelum selanjutnya diakomodasikan dalam bentuk kebijakan publik yang dirumuskan oleh para pejabat terpilih.

Seperti telah di jelaskan sebelumnya, beberapa dekade belakangan perhatian utama para ahli ditempatkan pada pemikiran bagaimana negara mampu memerintah masyarakatnya di tengah-tengah tekanan yang terus meningkat dari masyarakat atau stakeholders lain terhadap negara. Dalam kata lain, sebenarnya negara-negara di dunia, tidak terlepas Indonesia mulai masuk pada masa dimana kesadaran politik masyarakat cenderung terus meningkat secara progresif. Di sisi lain, kemampuan pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat cenderung berjalan dalam frekuensi yang berbeda, dimana kemampuan pemerintah dapat dikatakan cenderung stagnan, bahkan dalam kondisi tertentu cenderung menurun.

In tens i tas kesen jangan antara harapan dan kemampuan belakangan kian dalam. Bagi banyak

Edisi 7, Tahun VII 21

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

kalangan, sulit bisa memperoleh hak-hak sahnya. Misalnya, hak mendapatkan nafkah, lapangan kerja, rasa aman, pendidikan, kesehatan, politik, aktualisasi, maupun hak penghargaan sosial. Dalam kondisi itulah pantas dicermati kemungkinan munculnya gejala deprivasi relatif di tengah masyarakat. Robert T. Gurr (1970) mengingatkan bahwa deprivasi relatif akan muncul ketika terjadi kesenjangan antara value expectation -nilai yang diharapkan bisa diperoleh- dan value capability -nilai senyatanya yang bisa dida-patkan.

Padahal, deprivasi relatif bisa menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk melibatkan diri dalam gerakan protes, bahkan gerakan sosial yang revolusioner. Gejala deprivasi relatif tersebut menjadi penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, meski mereka pernah menaruh harapan besar kepada pemerintah. Ketidakpercayaan itu berbalik melemah setelah melihat “the state of capacity” yang dimiliki birokrasi pemerintahan ternyata masih memprihatinkan.

Kembali kepada persoalan akuntabilitas pemerintah, paradigma manajemen sektor publik yang berkembang pada tahun 90-an didasarkan pada konsep yang c e n d e r u n g m e m i n i m a l k a n akuntabilitas. Sebagai contoh adalah otonomi manajerial dan akuntabilitas berbasis pasar sebagai wujud fungsi dari pilihan masyarakat yang diposisikan sebagai pelanggan pemerintah (Barberis, 1998; Hood, 1991; Peters, 2001a). Lepas dari permasalahan ini, jika dilihat dari sudut pandang idealistik, pada dasarnya akuntabilitas merupakan sebuah prasyarat untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Dalam pemerintahan yang demokratis, legit imasi mendapatkan porsi yang penting. Keputusan yang dibuat, kebijakan yang dirumuskan, tindakan dan aturan yang dijalankan oleh negara atau penyelenggara negara menjadi sah dan berlaku secara formal hanya ketika telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

Edisi 7, Tahun VII22

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Tinjauan LiteraturBerkaitan dengan akuntabilitas

dan legitimasi, Guy Pieters & John Pierre menguaraikan beberapa permasalahan yang mendera kedua konsepsi tersebut. Permasalahan yang melekat pada akuntabilitas dan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah berputar di seputar persoalan tingginya kompleksitas masyarakat yang berdampak pada peningkatan tuntutan masyarakat dan pada saat yang sama kemampuan pemerintah untuk mengelola dan memerintah masyarakatnya cenderung stagnan atau berkurang sehingga tidak dapat mengimbangi tuntutan yang muncul tersebut.

Padahal, di banyak negara keberhasilan pemerintahnya untuk menciptakan kesejahteraan bagi warganya bukan hanya isapan jempol belaka. Keberhasilan ekonomi menjadi hal yang lumrah terjadi di negara-negara industri maju. Namun demikian, Pemerintah di negara-negara ekonomi mau tidak jarang masih dicap sebagai pemerintahan yang gagal bahkan dalam kasus tertentu pemerintah

yang tidak legitimate. Berangkat dari permasalahan inilah governance atau tata kelola pemerintahan muncul sebagai solusi untuk pemecahan masalah tersebut. Problematika yang dimaksud akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini:

Overloaded GovernmentOverloaded government meru-

juk pada satu kondisi dimana pemerintah tidak mampu merespon atau menjawab semua permintaan, kebutuhan, dan ekspektasi yang berasal dari publik, kepentingan yang terorganisir, ataupun stakeholders lain yang berasal dari luar lingkaran pemerintah. Overload pada beban fungsi pemerintah pada akhirnya melemahkan legitimasi yang dimilki pemerintah. Sebab legitimasi negara tidak hanya ditopang oleh pengaturan hukum yang demokrasi dan politik yang responsif namun juga didukung oleh kemampuan pemerintah dalam menciptakan kepuasan publik.

Sementara itu, David Held (2006: 196) juga mengemukakan konsepsi mengenai overloaded government dan keterkaitannya dengan legitimasi

Edisi 7, Tahun VII 23

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

pemerintah. Dirinya menggunakan parameter negara liberal-demokratis untuk menjelaskan hubungan antara beban berlebih yang harus ditanggung pemerintah dan efeknya terhadap legitimasi. Held menyatakan bahwa kekuasaan merupakan alat yang efektif untuk melakukan tindakan politis dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara demokratis sangat tergantung pada legitimasi yang didapatkan negara tersebut.

Kenyataan di lapangan menun-jukkan fenomena dimana pada negara-negara liberal demokratis, kekuasaan yang dimiliki pemerintah perlahan-lahan mulai berkurang. Dampaknya, kapasitas negara untuk melakukan tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyar-akat juga berkurang karena otoritas dan legitimasi yang dimilikinya juga menurun. Overloaded government oleh Held dimaknai sebagai situasi ketidakseimbangan, yakni pada sisi tertentu terjadi peningkatan ekspek-tasi dari masyarakat, namun di sisi lain terjadi penurunan dari aspek kemampuan pemerintah untuk me-menuhi ekspektasi tersebut.

Sementara itu, konsep perfor-mance tidak hanya terbatas dalam lingkup pelayanan publik, lebih dari itu, konsep performance mengacu pada kemampuan negara untuk merespon dengan tepat tuntut-an yang berasal dari masyarakat, menyelesaikan konflik politik dan menciptakan kesepakatan untuk mencapai tujuan tertentu. Singkat-nya, kelebihan beban pemerintah dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, peningkatan jumlah tun-tutan dari masyarakat, atau kedua, memang menurunnya kapasitas ne-gara untuk menanggapi, merespon, dan menjawab tuntutan masyarakat. Ketiga, overload di pemerintahan juga dapat terjadi karena gagalnya gatekeepers menjaga tuntutan pada tingkat yang rendah untuk memu-ngkinkan sistem politik memproses tuntutan tersebut.

Di negara-negara Eropa Barat, overloaded government tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi pada periode 1960-an dan 1970-an. Ek-spansi politik ke masyarakat menjadi pelatuk bagi peningkatan harapan masyarakat dalam menyediakan barang dan jasa. Para pemimpin

Edisi 7, Tahun VII24

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

negara-negara di dunia seperti Rea-gan dan Tatcher memberikan ruang yang besar bagi pasar untuk memilih jalan guna menyelesaikan permasa-lahan masyarakat atau pemenuhan kebutuhan masyarakat. Idealnya, melalui cara ini pemerintah dihara-pkan dapat meringankan diri dari tuntutan, tekanan, dan harapan masyarakat.

Dengan demikian, jika ditelisik secara lebih mendalam, pada dasarn-ya overloaded government tidak hanya disbabkan oleh faktor-faktor luar yakni tuntutan masyarakat, mel-ainkan juga dapat merupakan hasil yang sebenarnya tidak diinginkan dari keberhasilan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, sebab keberhasilan tersebut linear dengan adanya tuntutan lebih kepa-da pemerintah untuk terus memberi-kan dan menyediakan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang lebih baik.

Ungovernable SocietyBerbeda dengan overloaded

government yang muncul dari sisi pemerintah, ungovernability merupa-kan kondisi yang muncul di masyar-akat. Meskipun menunjukkan kondisi

yang berasal dari sisi masyarakat, namun overload dan ungovernabil-ity menggambarkan bahwa dalam realita terjadi ketidakseimbangan antara negara dan masyarakat da-lam hal kapasitas pemerintahan dan tuntutan masyarakat. Selanjutnya, melihat kondisi yang ada, komplek-sitas masyarakat kontemporer telah membuat tata kelola pemerintahan menjadi semakin sulit, baik dari segi jumlah tuntutan yang berasal dari masyarakat atau stakeholders mau-pun dari jumlah interkoneksi yang harus dikelola.

Pada hakekatnya, ungoverna-bility terutama terjadi karena tum-buhnya kompleksitas di masyarakat. Kondisi masyarakat yang begitu kom-pleks membuat negara sukar untuk mengatur dan mengelola masyar-akatnya. Medio 1960-an dan 1970-an gaya kebijakan pemerintah yang leb-ih intervensionis sebenarnya memili-ki dampak positif, kondisi perekono-mian dan masyarakat kala itu lebih mudah untuk diatur sebab negara memainkan peran dalam porsi yang cukup besar dalam pengaturan mas-yarakat. Pergeseran paradigma da-lam pengelolaan pemerintahan yang

Edisi 7, Tahun VII 25

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

terjadi pada medio 1980-an & 1990-an berdampak pada pengurangan titik kontak antara negara, pasar, atau masyarakat.

Masyarakat seakan diberikan ruang yang besar untuk mengem-bangkan perekonomian atau ke-hidupannya dengan logikanya sendiri. Implikasinya jelas, kondisi perekonomian dan kehidupan mas-yarakat lebih sukar untuk dipredik-si. Dalam dimensi politik, gaya tata kelola pemerintahan yang seperti ini juga memiliki andil yang cukup besar terhadap penurunan legitimasi. Di seluruh negara-negara Barat, ke-percayaan terhadap lembaga-politik menurun, antuasiasme untuk men-jadi anggota partai juga mengalami hal serupa.

Seperti halnya overloaded gov-ernment, ungovernability secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh negara itu sendiri. Kompleksitas masyarakat tentu saja tidak serta merta dinilai sebagai hasil laten dari kebijakan publik. Faktor negara memainkan peranan dalam menciptakan ungovernability ini. Jika kompleksitas masyarakat dito-pang oleh kapasitas yang baik dari

pemerintah dalam mengelola negara dan membuat kebijakan, maka akan muncul kondisi “balance” yang dapat meminimalisir terjadinya ungovern-able Society.

Tata Kelola (Governability) se-bagai Solusi

Problematika pemerintahan yang kelebihan beban dan masyar-akat yang sukar diatur telah menjadi kombinasi masalah yang dihadapi banyak negara. Perbaikan tata kelola pemerintahan mutlak dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak yang semakin besar dari permasalahan yang terjadi. Pendekatan teknis dan manajerial dinilai dapat secara efektif mengurangi atau bahkan menghilangkan kedua masalah tersebut. Penggunaan paradigma New Public Management kerapkali dituding sebagai salah satu faktor yang menciptakan overloaded gov-ernment dan ungovernability. Na-mun jika dilihat dari perspektif lain, penyebaran ide-ide atau nilai-nilai yang terjadi dengan NPM sebetulnya dapat dilihat sebagai sebuah reaksi atas kegagalan pemerintahan yang dirasakan masyarakat dan bentuk

Edisi 7, Tahun VII26

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

refleksi dari keinginan masyarakat terhadap pemerintahan yang lebih efisien (Pollit & Bouckaert, 2000).

Pengejawantahan nilai-nilai NPM seperti yang dilakukan oleh Reagan dan Tatcher, dimana mere-ka melakukan eliminasi terhadap kegiatan-kegiatan pemerintah, pri-vatisasi terhadap perusahaan yang dimiliki oleh negara dan berupaya mengurangi berbagai kewajiban in-stansi sektor publik pada awalnya dianggap dapat secara signifikan mengurangi beban yang harus di-tanggung oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, strategi ini kurang berhasil, sebab banyak program pe-merintah yang sukar untuk diakhiri.

Strategi lain yang dapat diguna-kan untuk mengatasi problematika overloaded government dan ungovern-ability adalah penerapan dan perbai-kan manajemen kinerja pemerintah. Manajemen kinerja sendiri merupa-kan salah satu instrumen utama ter-baru dari reformasi birokrasi. Melalui manajemen kinerja, anggaran dan alokasi sumber daya lainnya sangat tergantung pada penilaian kinerja (Bouckaert dan Halachmi, 1995). Lit-eratur mengenai manajemen kinerja

telah ada sejak beberapa dekade belakangan. Berkembangnya ilmu tentang organisasi, khususnya ketika pendekatan klasik teori organisasi mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pendekatan neo klasik dan modern.

Pendekatan klasik yang dicetus-kan oleh Frederick Winslow Taylor (1856-1915) memandang anggota organisasi atau pegawai adalah makhluk rasional yang mau untuk melaksanakan tugas yang diberikan sepanjang diberikan imbalan yang setimpal. Pendekatan ini dipandang tidak manusiawi karena menganggap manusia seperti robot yang tidak memiliki perasaan. Meskipun sebe-narnya memiliki sisi positif, namun pendekatan ini semakin ditinggalkan semenjak Elton Mayo mencetuskan pendekatan neoklasik dan Wood-ward (1965) mencetuskan pendeka-tan modern.

Sementara itu, menurut Arm-strong manajemen kinerja meru-pakan sebuah proses strategis dan terintegrasi yang dapat membawa organisasi pada kesuksesan den-gan mendorong peningkatan kiner-ja instansi pemerintah. Armstrong

Edisi 7, Tahun VII 27

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

menyebut bahwa kinerja dapat diar-tikan dengan pencapaian hasil (out-comes). Definisi kinerja Armstrong juga didukung oleh Bernadin, dkk (1995) yang mendefinisikan kinerja sebagai outcomes of work (hasil kerja) karena keterkaitan kontribusi mere-ka atas tujuan strategis organisasi, kepuasan masyarakat, dan pertum-buhan ekonomi.

Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, Over-loaded Government dan Ungoverna-bility juga dapat terpotret dari real-ita yang terjadi. Pemerintah hingga saat ini terbentur permasalahan meningkatnya tuntutan dari mas-yarakat, baik untuk pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan dasar, maupun urusan pemerinta-han lainnya. Dari aspek keuangan dan penganggaran negara misalnya, telah menjadi rahasia umum bahwa permasalahan krusial dalam pen-gelolaan penganggaran di Indonesia yakni keterbatasan kapasitas dan ruang fiskal pemerintah. Keterbat-asan ruang fiskal yang dimiliki pe-merintah salah satunya diakibatkan

penerimaan negara yang berasal dari pajak tidak pernah mencapai target.

Dalam UU APBN 2017 ditetap-kan pendapatan negara sebesar Rp 1.750,3 triliun dan Belanja Negara Rp 2.080,5 triliun, serta defisit Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Men-keu menjelaskan APBN dari tahun ke tahun masih memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk membiayai pem-bangunan. Ruang fiskal yang terbatas membuat pemerintah tidak memiliki fleksibilitas dalam mengelola ang-garan untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembangunan. Di saat yang sama, kebutuhan terhadap anggaran juga semakin meningkat akibat jumlah program/kegiatan yang semakin banyak guna mengimbangi tuntutan dari masyarakat.

Sebagai contoh, kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi. Infrastruktur yang memadai untuk menunjang aktiv-itas masyarakat perlu disediakan pemerintah sesegera mungkin. Namun tuntutan untuk pemban-gunan infrastruktur masih terbentur dengan permasalahan yang klasik,

Edisi 7, Tahun VII28

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

yakni keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki pemerintah. Meski tidak dapat dipungkiri pula porsi alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN 2017 meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2016. Tahun 2016 porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur berada di angka 15,2 persen dari total belan-ja APBN tahun 2016, di tahun 2017 angka itu naik menjadi 18,6 persen dari total belanja APBN 2017.

Di sisi lain, kapasitas pemerin-tah dalam mengelola anggaran juga masih rendah. Inefisiensi dan inefe-ktivitas dalam pengelolaan anggaran masih menjadi musuh terbesar bagi pemerintah Indonesia, baik di lev-el pusat maupun di level daerah. Alokasi anggaran untuk membiayai program dan kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan dan prioritas menjadi makanan sehari-hari yang mudah ditemui dalam tata kelola an-ggaran pemerintah. Akibatnya terjadi pemborosan anggaran. Postur an-ggaran, utamanya di daerah belum menunjukkan kondisi ideal. Secara umum, porsi belanja APBD masih banyak yang lebih besar untuk porsi belanja pegawai. Direktorat Jendral

(Ditjen) Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan mencatat, masih ada sebanyak 131 daerah yang menggunakan dana APBD-nya untuk belanja pegawai. Lebih lanjut, dari 131 daerah tersebut, rasio belanja pegawai daerah Ka-bupaten/Kota Rata-rata terhadap total belanja APDB, sebesar 43,59%. Bahkan masih terdapat beberapa daerah yang porsi belanja pegawai dalam APBD nya melebihi 60 persen, seperti ketiga daerah berikut :· Kabupaten Langkat 68,4%· Kota Pematang siantar 66,25%,

dan· Kota Tasik 66,07%

Kondisi yang tidak ideal dari porsi alokasi Belanja APBD terse-but juga diperparah dengan tidak efektif dan efisiennya penggunaan anggaran untuk membiayai program dan kegiatan yang dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetap-kan. Sehingga dapat dibayangkan, masyarakat hanya akan mendap-atkan “sisa” APBD hasil dari alokasi belanja pegawai, hal ini diperburuk pula dengan pengelolaan anggaran untuk pembangunan yang tidak efe-ktif dan efisien.

Edisi 7, Tahun VII 29

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

Fenomena ini sudah barang ten-tu akan memperburuk overloaded & ungovernability yang terjadi. Idealnya, jika anggaran terbatas seharusnya anggaran tersebut dapat dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumn-ya. Sehingga dapat menjawab tuntu-tan dan kebutuhan masyarakat, dan masyarakat dapat merasakan hasil pembangunan yang dialokasikan dari anggaran pemerintah. Namun yang terjadi di lapangan justru menun-jukkan hal sebaliknya. Penggunaan dan pengelolaan anggaran hanya berorientasi pada penyerapan. Pro-gram dan kegiatan yang dilaksanakan pun hanya bersifat business as usual, artinya tidak linear dengan tujuan yang telah direncanakan.

Beberapa waktu belakangan, perbaikan tata kelola pemerintahan di Indonesia, khususnya melalui per-wujudan akuntabilitas kinerja instan-si pemerintah mulai menyeruak ke permukaan. Penerapan prinsip-prin-sip akuntabilitas berorientasi pada hasil dalam pengelolaan anggaran mulai dilakukan oleh instansi pemer-intah, baik pusat maupun daerah.

Mendorong Akuntabilitas Kinerja dalam rangka menciptakan Governansi di Indonesia

Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk men-ciptakan tatakelola pemerintahan yang baik adalah dengan mendorong instansi sektor publik untuk mem-perbaiki akuntabilitas kinerjanya (performance accountability) men-jadi lebih berorientasi pada hasil/manfaat. Hal ini sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Un-dang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Un-dang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan yang Bersih dan Bebas KKN. Kedua undang-undang tersebut menyebutkan bahwa salah satu asas dalam penyelenggaraan negara adalah Akuntabilitas ber-orientasi hasil. Dalam ketentuan kedua undang-undang tersebut, Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil dimaknai sebagai “kemampuan pemerintah untuk mempertanggu-ngjawabkan penggunaan angagran negara untuk menciptakan sebe-sar-besarnya manfaat/hasil bagi rakyat”.

Edisi 7, Tahun VII30

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Asas akuntabilitas berorientasi hasil merupakan asas yang dianut oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris dalam mengelola keuangan negaranya. Asas ini lahir dan berkembang se-menjak New Public Management (NPM) yang digagas oleh para ahli seperti Osborne dan Gaebler (1992) dan Owen Hughes (1993). Asas terse-but mengarahkan pemerintah untuk menggunakan anggaran negara ber-dasarkan pada hasil (outcomes) yang ingin dicapai (Redburn et.al, 2008).

Sama halnya dengan konsep akuntabilitas publik yang didefinisi-kan oleh para ahli dan akademisi,

akuntabilitas berorientasi hasil juga mensyaratkan adanya kemampuan pemerintah untuk menjelaskan dan memberikan alasan atas manfaat keberadaanya (Bovens, 2005). Hanya saja, fokus penjelasan pemerintah lebih spesifik pada penyampaian informasi kinerja yang telah dica-pai (Fard, 2007). Sebagai ilustrasi, di bawah ini adalah perbedaan antara akuntabilitas kinerja dengan jenis akuntabilitas lainnya seperti akunt-abilitas etik, akuntabilitas hukum, akuntabilitas demokrasi, akunta-bilitas keuangan, dan akuntabilitas politik dalam konteks akuntabilitas publik.

Tabel 1.1 Dimensi dan Indikator Akuntabilitas Publik

Dimensi Penjelasan

Akuntabilitas Etika (Ethical Accountability)

· Melayani dan mengayomi masyarakat· Komitmen terhadap standar pelayanan· Menolak praktik kecurangan dan suap· Responsif atas keinginan masyarakat· Berlaku hormat dan menghargai masyarakat· Mengupayan penyelesaian masaha-masalah

masyarakat

Akuntabilitas Hukum (Legal Accountability)

· Efektivitas penegakan hukum dan aturan· Menyediakan informasi bagi masyarakat atas

berbagai produk hukum dan aturan

Edisi 7, Tahun VII 31

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

Dimensi Penjelasan

Akuntabilitas Demokratis (Democratic Accountabiliy)

· Partisipasi masyarakat dalam berorganisasi· Partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum

Financial Accountability

· Menyediakan informasi tentang informasi anggaran

· Menginformasikan tentang penghemanat keuangan yang dilakukan

Akuntabilitas Kinerja (Performance Accountability)

· Menyediakan informasi capaian kinerja kepada masyarakat

· Menyediakan informasi atas pelaksanaan program pemerintah

Akuntabilitas Politik

· Respon atas pertanyaan dari parlemen· Respon terhadap pertanyaan dari media

Sumber: Fard dan Rostamy (2007)

Fokus akuntabilitas kinerja/ akuntabilitas berorientasi hasil ada-lah penyampaian informasi kepada masyarakat atas capaian kinerja yang telah dihasilkan oleh pemerintah (Redburn, 2003). Bovens (2005) bahkan menyebutkan akuntabilitas juga seharusnya menyediakan ruang diskusi antara pemerintah dan mas-yarakat untuk mendiskusikan apakah pemerintah berkinerja dan sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Sering kali dalam pemerinta-han, bahkan dalam pemerintahan

Indonesia sendiri, belum tercipta kesepakatan diantara aktor pemer-intahan, informasi apa yang seharus-nya dilaporkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga seperti yang disampaikan Bovens (2005), ma-syarakat dapat memberikan penilai-an atas kesuksesan atau kegagalan pemerintah. Para ahli New Public Management menekankan bahwa yang harus nya diwujudkan pemerin-tah dan diinformasikan kepada ma-syarakat adalah Results (hasil) atas program dan kegiatan yang telah

Edisi 7, Tahun VII32

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

dilakukan pemerintah (Osborne, 1993; Hughes, 1995; Poister 2003; Armstrong, 2000).

Hal tersebut seperti yang dilaku-kan oleh Clinton-Gore dan Bush, yaitu menerapkan prinsip-prinsip result oriented government dengan menerapkan pengukuran kinerja yang jelas dan terukur atas results yang telah dirumuskan sebelum-nya (Redburn, 2003). Jika pemerin-tah tidak mengukur hasil, maka pemerintah tidak dapat mengukur kesuksesan atau kegagalan yang ia dapatkan. Ketika pemerintah tidak dapat menentukan kesuksesan atau kegagalan yang didapat, maka masyarakat tidak dapat memberi-kan reward maupun sanksi atas hal tersebut (Poister, 2005).

Di Indonesia, keberhasilan pe-merintah menjalankan pemerintah-an seringkali diukur oleh survey persepsi kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintah yang dilakukan oleh banyak lembaga survey. Per-masalahannya, seringkali ditemukan perbedaan hasil dan informasi atas hasil survei yang didapat oleh ma-sing-masing lembaga. Pada perten-gahan tahun 2016 ini misalnya, hasil

survey yang disampaikan oleh Sai-ful Mujani Research and Consultant (SMRC), Litbang Kompas, Lembaga Survei Indonesia, dan Edelman Trust Barometer atas survey kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemer-intahan Presiden Jokowi berbeda satu sama lain. Perbedaan hasil tersebut sering kali membingung-kan masyarakat, dan menciptakan pertanyaan, bagaimana sebenarnya kualitas penyelenggaraan pemerin-tahan? Berhasil atau gagal?

Sebenarnya, untuk menginfor-masikan kinerja kepada masyarakat, Pemerintah (sebagai sebuah entitas) dan instansi sektor publik (sebagai bagian dari entitas tersebut), dia-manatkan untuk menyusun laporan kinerja. Hal tersebut diatur oleh Per-aturan pemerintah Nomor 8 tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja. Di dalam ketentuan perundangan tersebut, Laporan Kinerja diartikan sebagai ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.

Edisi 7, Tahun VII 33

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

Namun demikian, menurut Menteri PAN RB, sampai dengan saat ini, laporan kinerja belum menjadi in-strumenn akuntabilitas. Masyarakat belum memahami betul keberadaan laporan kinerja pemerintah, dan di satu sisi kualitas laporan kinerja yang dihasilkan tidak mencermin-kan penginformasian results/kinerja, namun cenderung menceritakan cara menghabiskan anggaran (Hasil evaluasi kementerian PANRB, 2015).

Hal ini berkesusaian dengan yang disampaikan oleh Kepala BPKP kepada Presiden dalam Hasil reviu Laporan Kinerja Pemerintah Pusat yang dilakukannya. Kepala BPKP menyebutkan dalam laporannya bahwa dalam LKjPP, ukuran ke-berhasilan yang digunakan bukan ukuran hasil (outcomes) melainkan ukuran keluaran (output). Selain itu, LkjPP juga belum sepenuhnya men-gungkap analisis ketidaktercapaian target kinerja pemerintahan serta rencana tindak yang seharusnya dilakukan untuk mengantisipasi ket-idaktercapaian tersebut (Laporan Reviu LKjPP, 2016).

Bahkan laporan tersebut juga menyebutkan bahwa LKjPP belum

menginformasikan seluruh infor-masi capaian kinerja sasaran pokok pembangunan nasional yang sesuai dengan RPJMN 2015-2019 dan RKP tahun 2015. Dari 183 indikator kin-erja pada enam sasaran pokok pem-bangunan nasional, hanya terdapat 90 indikator kinerja (49,18%) yang menyuguhkan informasi kinerja, ada-pun sisanya yaitu 93 indikator kinerja (50,82%) tidak memiliki informasi kinerja atau tidak terjawab.

Atas temuan tersebut, Kemen-terian PAN RB memberikan jawaban bahwa, ketiadaan informasi kinerja atas 50,82% indikator kinerja pem-bangunan disebabkan oleh tidak ditemukannya indikator sasaran pembanguan tersebut pada renca-na strategis kementerian/lembaga. Dengan kata lain, ukuran yang telah ditetapkan pada tingkat nasional tidak diikuti oleh instansi pemerin-tah. Padahal seharusnya, ditetapkan-nya 183 indikator keberhasilan harus mampu seluruhnya dijawab, melalui cascading, aligning, atau streamlining ukuran keberhasilan itu kepada ke-menterian/lembaga (Poister, 2003).

Ketiadaan informasi atas 50,82% indikator kinerja menunjukkan

Edisi 7, Tahun VII34

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki kesepakatan yang berlaku secara nasional atas apa yang seha-rusnya menjadi kinerja pemerintah serta apa ukuran keberhasiannya. Dalam konteks anggaran berbasis kinerja, ketidakjelasan kinerja yang ingin dihasilkan dan ukuran kebe-rhasilannya mengindikasikan terja-dinya inefektivitas penggunaan an-ggaran (Redburn, 2003). Perbedaan tersebut juga mengindikasikan adan-ya ketidakselarasan proses dalam manajemen kinerja. Sebagaimana yang dikembangkan dalam berbagai teori manajemen kinerja. Osborne dan Gaebler (1992) dalam Poister (2005) menyebutkan “What gets

Measure Gets Done” artinya bahwa seharusnya yang diukur adalah yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Jika kita kaitkan dengan performance managemenet system, maka sehar-usnya tercipta keseragaman infor-masi atas apa yang menjadi standar kinerja (performance standards) apa yang menjadi ukuran kinerja (per-formance measurement), apa yang dilaksanakan, dan apa yang dilapor-kan (performance reporting). Pada gambar 1.1 adalah gambaran sistem manajemen kinerja.

Di Indonesia, sistem manaje-men kinerja sektor publik berna-ma Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan

Gambar 1.1 Sistem Manajemen KinerjaSumber: Turning Point’s Performance Management Collaborative

Edisi 7, Tahun VII 35

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sis-tem akun tabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Berdasarkan Perpres 29/2014 tersebut, penyelenggaraan SAKIP meliputi (1) rencana strategis; (2) perjanjian kinerja; (3) pengukuran kinerja; (4) pengelolaan data kinerja; (5) pelaporan kinerja; dan (6) reviu dan evaluasi kinerja. Keenam taha-pan SAKIP tersebut menggambar-kan siklus manajemen kinerja yang seharusnya dilakukan oleh instansi pemerintah guna meningkatkan akuntabilitas kinerjanya.

Dalam rangka mendorong penerapan sistem manajemen kin-erja pada instansi pemerintah, se-kaligus mengukur kemajuan instansi pemerintah mengimplementasikan manajemen kinerja, Kementerian PAN RB melakukan evaluasi atas im-plementasi SAKIP kepada seluruh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah setiap tahunnya. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat kenaikan rata-rata nilai akuntabilitas kinerja instansi pe-merintah selama tahun 2012-2015. Perkembangan tersebut dapat dili-hat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1.2 Perkembangan Nilai Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2012-2016

Sumber: Kementerian PAN RB, 2016

Edisi 7, Tahun VII36

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Hasil evaluasi tersebut menun-jukkan bahwa meskipun nilai akunt-abilitas kinerja khususnya pemerin-tah daerah masih rendah, namun menunjukkan tren yang meningkat. Peningkatan tren tersebut juga dap-at dilihat dari semakin banyaknya

instansi pemerintah yang mendap-atkan nilai kategori minimal “Baik” (Kategori B, BB, A, dan AA) diband-ingkan tahun 2015. Hal tersebut sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1.3 Perkembangan Kategori Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2012-2016

Sumber: Kementerian PAN RB, 2016

Menurut Kementerian PAN RB, kenaikan nilai tersebut menun-jukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan instansi pemerintah untuk mewujudkan akuntabilitas kin-erjanya. Instansi Pemerintah semak-in mengetahui 1). Apa masalah dan keburuhan masyarakat (problems and needs); 2). Bagaimana menja-di Pemerintah yang berorientasi

hasil (result oriented government), 3). Bagaimana menetapkan uku-ran keberhasilan atas pencapaian kinerja; 4). Bagaimana menetapkan target dengan baik; dan 5). Bagaima-na memilih program/kegiatan yang efektif mendukung pencapaian has-il; 6). Bagaimana menyusun lapo-ran kinerja yang memenuhi asas akuntabilitas; dan 7) bagaimana

Edisi 7, Tahun VII 37

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

menciptakan sistem manajemen kinerja yang mendorong terwujud-nya akuntabilitas kinerja yang berk-esinambungan?.

Di Indonesia, terdapat beber-apa Pemerintah Daerah yang telah menuai hasil dari perbaikan sistem manajemen kinerja dan akuntabilitas kinerjanya, salah satu diantaranya adalah Pemerintah Provinsi Daer-ah Istimewa Yoogyakarta. Pada tahun 2016, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berhasil meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan angga-ran dengan “menyeleksi” seluruh kegiatan pada RPJMD dan memper-tahankan kegiatan yang dianggap terkait langsung dengan penca-paian sasaran (oucomes). Hasilnya dari penyeleksian tersebut adalah berkurangnya jumlah kegiatan yang awalnya sebanyak 3200 kegiatan menjadi hanya 900 kegiatan. Mel-alui penyeleksian kegiatan terse-but, Pemerintah Provinsi DIY dapat memfokuskan penggunaan angga-ran kepada kegiatan-kegiatan yang dianggap efektif dan terkait langsung pada pencapaian outcomes atau hasil yang diinginkan oleh masyarakat.

Kesimpulan

Upaya Pemerintah Indonesia untuk menciptakan tata kelola dan kelembagaan yang baik melalui per-wujudan akuntabilitas kinerja oleh instansi pemerintah sedikit demi sedikit menuai hasil yang diharapkan. Semakin banyak instansi pemerintah yang memperbaiki sistem manaje-men kinerjanya untuk mewujudkan akuntabilitas kinerja. Pada beberapa pemerintah daerah, upaya mencip-takan akuntabilitas kinerja juga men-ciptakan keberhasilan dalam melaku-kan efisiensi anggaran. Pemerintah DIY, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kota Bandung, dan Pe-merintah Kabupaten Banyuwangi adalah contoh beberapa pemerintah daerah yang sudah menjadi contoh baik dalam perwujudan akuntabilitas kinerjanya.

Masih banyak tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah untuk ter-us meningkatkan perwujudan akun-tabilitas kinerja instansi pemerintah. Beberapa diantaranya adalah komit-men pimpinan instansi yang rendah, budaya akuntabilitas yang belum ter-cipta, adanya tumpang tindih sistem manajemen kinerja, serta kapasitas

Edisi 7, Tahun VII38

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

aparatur negara, khususnya apara-tur pemerintah daerah yang rendah. Namun demikian, berbagai tantan-gan tersebut seolah menemukan titik terang penyelesaian, khusus-nya ketika Presiden Joko Widodo pada beberapa kesempatan selalu

mengimbau kepada para menterinya untuk mendorong komitmen seluruh pejabat dan staf di lingkungan instan-si tempat ia menjabat untuk terus mendorong penciptaan akuntabilitas kinerja dan penciptaan anggaran berbasis kinerja.

DAFTAR PUSTAKA

Antara News. 3 November 2015. Menkeu: APBN Ideal dengan Ruang Fiskal Besar. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/527313/menkeu-apbn-ideal-dengan-ruang-fiskal-besar

Bouckaert, G. and A. Halachmi 1995, Public Productivity through Quali-ty and Productivity Management. Amsterdam: IOS Press.

Heisler, M. O. 1974. The European Policy Model, in Heisler (ed.), Poli-tics in Western Europe. New York: David McKay.

Held, David. 2006. Models Of Democ-racy. Stansford University Press

Hughes, Owen E. 2003. Public Man-agement and Administration. New York: Palgrave macmillan.

Kementerian Keuangan RI. 2016. Perekenomian Indonesia & APBN 2017. Diakses dari http://www.kemenkeu.go.id/apbn2017

Kementerian PAN RB. 2016. Reviu Laporan Kinerja Pemerintah Pusat. Diakses dari http://www.menpan.go.id/LkjPP2016

Kraemer, P. E. 1968. The Societal State. Amsterdam: Bloom.

Osborne, David. And Ted Gaebler. 1993. Reinventing Government: How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. New York: PLUME

Edisi 7, Tahun VII 39

Manajemen Kinerja Sektor Publik sebagai Katalisator Mewujudkan Performance Accountability di tengah Tantangan Overloaded Government dan Ungovernable Society

Muhammad Yusuf Ateh

Pierre, Jon. And B. Guy Peters. 2005. Governing Complex Societies: Tra-jectories and Scenarios. New York: Palgrace Macmillan.

Pollitt, C. and G. Bouckaert. 2000. Public Management Reform: A

Comparative Analysis. Oxford: Oxford University Press.

Poister, Theodore H. 2003. Measuring Performance in Public and Non-profit Organizations. San Francis-co: Jossey Bass, A Wiley Imprint.

****

Edisi 7, Tahun VII40

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Profesional

Oleh: Edy SudaryantoDosen IPDN dan Dosen STAN, Dosen Universitas Pakuan, Dosen STIE Kesatuan, Bogor.

Abstrak

Menurut Dirgantara 201 Joko Widodo “Jokowi” dari Koordinasi Pengendalian Internal Pemerintah yang menekankan pentingnya disiplin dalam etika kerja nasional dan pengendalian anggaran daerah, Presiden mengingatkan bupati untuk berhati-hati dalam menggunakan anggaran. Mengingat semakin banyaknya anggaran setiap tahunnya. Namun, ironisnya apa yang terjadi belakangan ini dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh lembaga penyidik, terutama oleh KPK dalam operasi penangkapan tangan (OTT). Sayangnya dalam operasi itu, mereka menangkap beberapa pejabat pemerintah seperti walikota, bupati, serta pejabat struktural lainnya termasuk APIP baik di pusat Inspektorat Inspektorat / Inspektorat LPNK atau di daerah ( Inspektorat Provinsi, Kabupaten / Kota). Hampir satu tahun sekali arahan Presiden hanya serimonial yang pelaksanaannya pada kenyataannya sangat berbeda dan bahkan APIP sebagai agen peruba-han untuk mencapai pemerintahan bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), terlibat Dalam konspirasi jahat ini sebagai koordinator melakukan tindak pidana korupsi. Kasus mendesak ini sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah untuk benar-benar cepat dan serius dalam menciptakan reformasi besar di institusi APIP, sehingga APIP dapat kembali ke tugas sebenarnya sebagai jaminan kualitas dalam pengelolaan dan pengembangan pemerintah, konsultan untuk mendapatkan transparansi dan Akuntabilitas terutama untuk

Edisi 7, Tahun VII 41

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

pengelolaan keuangan negara / regional, dan juga sebagai katalisator dan motor untuk mencapai pemerintahan bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) (Edy Sudaryanto, Jurnal Transformasi Pemerintahan, Volume 5 No. 2, Oktober 2013) . Oleh karena itu, perlu menetapkan dan menerbitkan undang-undang mengenai APIP yang mengatur institusi, sumber daya manusia, manajemen, hubungan antara institusi APIP dan akuntabilitasnya.

Kata kunci: Profesionalisme

I. PendahuluanKoran Kompas, hari Selasa,

tanggal 3 Mei 2016 memuat berita yang berjudul “RUU Pengawasan Internal Pemerintah Dimatangkan”, ini merupakan angin segar bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), begitu seriusnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) untuk menyelesaikan RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah bahkan menurut pernyataan Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur , dan Pengawasan Kemen PANRB (Bapak M Yusuf Ateh), instruksi Presiden untuk memprioritaskan penyelesaian RUU ini telah dipegang oleh Kemen PANRB.

Mendesak diterbitkannya RUU Pengawasan Internal Pemerintah ini penulis harapkan sejak lama sebagaimana tulisan penulis di International Journal of Science and Research (IJSR), Volume 3 yang terbit tanggal 9 September 2014 dengan judul ”Policy Effectivity of Government Internal Supervision Body (APIP) To Actualize Clean, and Free of Corruption, Collusion, and Nepotism Government in Indonesia dan terkahir tulisan penulis di jurnal Pelayanan Publik Kemen PANRB terbitan Edisi V Tahun V 2015 yang berjudul “Mewujudkan Auditor dan Pengawas (P2UPD) yang Profesional” dimana dalam tulisan-tulisan tersebut penulis tekankan peran strategis Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di era reformasi birokrasi seperti saat

Edisi 7, Tahun VII42

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

ini dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntanbel dan bebas KKN.

Penguatan pengawasan intern pemerintah di atas telah mendap-at perhatian Bapak Presiden hal ini sebagaimana arahan beliau pada Rakornas Pengawasan Intern Pe-merintahan tahun 2017, Presiden menekankan pentingnya disiplin, etos kerja nasional dan pengawa-san anggaran di daerah dan bahkan Presiden mengingatkan pula agar para kepala desa untuk berhati-hati dalam menggunakan anggaran yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya.

Arahan Presiden Jokowi yang belum genap setahun tersebut ironis dengan apa yang terjadi di lapangan dengan maraknya kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh instansi penyidik khususnya oleh KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) dimana dalam OTT tersebut menyeret oknum-oknum pejabat baik kepala daerah, kepala desa maupun pejabat struktural lainn-ya termasuk APIP apakah di Pusat (Inspektorat Jenderal Kementerian/Inspektorat LPNK) maupun di daerah

(Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota). Seakan-akan arahan Presiden tersebut hanya serimonial belaka yang implementasi di lapangan san-gat berbeda dan bahkan yang sehar-usnya APIP sebagai agen perubahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) justru terlibat dalam permufakatan jahat sebagai koordinator untuk melaku-kan tindak pidana korupsi.

Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk segera dan serius melakukan reformasi yang besar-be-saran di lembaga APIP agar APIP kembali kekittahnya yaitu sebagai penjamin kualitas (quality assurance) terhadap pengelolaan pemerintahan dan pembangunan di instansinya; sebagai konsultan (consultant) un-tuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas terutama pengelolaan keuangan negara/daerah serta se-bagai agen perubahan (catalyst) dan motor untuk mewujudkan pemerin-tahan yang bersih dan .bebas KKN (Edy Sudaryanto, Jurnal Transformasi Pemerintahan, volume 5 No. 2 , Ok-tober 2013). Untuk itu perlu segera di atur dan diterbitkan peraturan

Edisi 7, Tahun VII 43

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

perundang-undangan (UU) tentang APIP baik yang mengatur tentang kelembagaan, SDM, ketatalaksanaan, hubungan antar kelembagaan APIP maupun akuntabilitasnya.

II. Kajian Teori dan Normatif

1. Kajian TeoriTeori tentang welfare state dan

pengawasan sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto, pada prinsipnya fungsi pemerintahan suatu negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam upaya mencip-takan kesejahteraan tersebut, maka hakikat keberadaan pemerintahan suatu negara adalah memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Agar kualitas pelayanan tersebut dapat terus meningkat dan efektif mencip-takan kesejahteraan, maka kehad-iran pengawasan bagi pemerintahan adalah sebuah keniscayaan.

Masyarakat beranggapan bahwa pemerintahan harus berjalan secara baik dan benar. Masyarakat selalu mengamati kebijakan pemerintahan dengan rasa ketertarikan yang tingi, terutama apabila ditemukan peny-impangan atau indikasi penyimpan-gan dalam pelaksanaan kebijakan

pemerintah tersebut. Fokus perha-tian masyarakat dalam hal ini ada-lah sistem pemerintahan dan para aparatur dan pejabat pemerintahan. Peran parlemen sebagai lembaga legislatif, dalam prakteknya men-garah pada pengendalian terhadap aspek-aspek yang mendetail, dan menteri/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab secara akuntabel untuk melaksanakan kegiatan terse-but. Nampak bahwa bentuk pen-gendalian ini hanya berfokus pada satu masalah ke masalah lainnya. Secara ideal, manajemen risiko dan pengendalian internal seharusnya menjadi faktor kunci pada organisasi secara keseluruhan, walaupun dalam kenyataannya, saat ini faktor kunci masih berpusat pada penyelesaian masalah.

Untuk itu diperlukan suatu sis-tem pengawasan intern pemerintah yang tujuannya agar tercipta sistem pemerintahan yang baik (Good Gov-ernment Governance). Dengan tata kelola yang baik maka sebuah pe-merintahan dimungkinkan mem-berikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Edisi 7, Tahun VII44

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

2. Kajian NormatifPengawasan diperlukan sebagai

media pengendalian (controlling) dalam fungsi manajemen pemer-intahan. Fungsi pengawasan yang selama ini ada dalam praktek pemer-intah Indonesia dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) bagian yaitu:1). Pengawasan Legislatif, yang dilaku-kan oleh lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPRD; 2). .Pengawasan Masyar-akat, yang dilakukan oleh masyarakat secara umum dalam wadah Lemba-ga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, ataupun Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Pen-gawasan masyarakat umumnya bertitik tolak pada pengawasan atas pelayanan publik; 3). Pengawasan Fungsional (Eksternal dan Internal), menurut praktik di Indonesia pen-gawasan eksternal dilakukan oleh BPK-RI sesuai dengan UU 15 tahun 2004 dan UU 15 tahun 2006 dan Pengawasan internal dilakukan oleh APIP; Pengawasan oleh Diri Sendiri (Pengawasan Melekat/Waskat), yai-tu pengawasan oleh lembaga atau birokrasi yang bersangkutan.

Aturan tentang pengawasan fungsional internal dan pengawasan

terhadap diri sendiri yang telah ada yaitu PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemer-intah yang merupakan turunan dari UU No. 1 tahun 2004 tentang Per-bendaharaan Negara. Dalam pasal 47 ayat (2) dalam PP tersebut dinya-takan bahwa untuk memperkuat dan menunjang efektivitas sistem pen-gendalian intern dilakukan penga-wasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara. Dalam pasal 48 ayat (1) pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) di atas dilakukan oleh APIP yang teridiri dari: BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; Inspektorat Provinsi; dan Inspektorat Kabupaten/Kota (pasal. 49 ayat (1)). Selanjutnya dalam pasal 49 ayat (2) sampai dengan ayat (6) telah diatur kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing APIP di atas dan dalam pasal 56, APIP dalam melak-sanakan tugasnya harus independen dan obyektif serta dalam pasal 58 dinyatakan bahwa penyelengga-raan pengawasan intern terhadap

Edisi 7, Tahun VII 45

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

akuntabilitas keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden (yang sampai dengan saat ini belum di-terbitkan Peraturan Presidennya).

Namun pembagian kegiatan pengawasan intern pemerintah yang diemban oleh APIP di atas masih be-lum mampu menghilangkan fenom-ena tumpang tindih baik peran dan fungsi APIP.

III. Pembahasan

1. Sejarah Panjang Penyusunan RUU Sistem Pengawasan Na-sional (Siswasnas)

Sebenarnya sejak tahun 2004 Kementerian Negara PAN yang se-karang nomenklaturnya menjadi Kementerian PANRB telah memi-liki naskah akademik tentang RUU Siswasnas yang muatannya masih belum fokus tentang cakupan yang akan diatur dalam RUU tersebut dan baru tahun 2006 RUU terse-but disempurnakan yaitu dengan melalui kerjasama antara Kemenneg PAN dengan Universtas Gajah Mada (UGM). Dari kerjasama tersebut telah menelorkan naskah akademik dan draf RUU Siswasnas namun apa yang terjadi kedua produk yang salah

satunya hasil kerjasama tersebut tidak ditindaklanjuti karena belum ada political will dari pemerintah.

Tahun 2007 terjadi kefakuman untuk menyelesaikan RUU Siswasnas karena belum ada arahan dari pim-pinan dan baru tahun 2008 penyu-sunan RUU Siswasnas dilanjutkan kembali dengan cara dilakukan pelelangan umum dan telah dite-tapkan pemenangnya namun re-kanan/konsultan penyedia jasa sebagai pemenang lelang tersebut baru menyelesaikan pekerjaan persiapan (draf awal) sudah tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan dan mengundurkan diri untungnya negara belum membayar atas pekerjaan tersebut (tidak ada kerugian negara) namun atas wanprestasi konsultan, Kemenneg PAN telah memblack list konsultan tersebut.

Dengan terbengkalainya penyu-sunan RUU Siswasnas tersebut baru tahun 2009 Kemen PANRB melakukan kerjasama dengan Uni versitas Padjadjaran untuk menyelesaikan dan menyem pur-nakan RUU Siswasnas hasil kerjasama dengan UGM di atas. Dari hasil kerja

Edisi 7, Tahun VII46

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

sama tentunya setelah melalui proses diskusi (FGD) yang panjang dan seminar, judul dan cakupan RUU Siswasnas berubah, judul berubah menjadi RUU Pengendalian Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan (RUU PPAP) dan cakupannya hanya di lingkungan pengawasan intern pemerintah saja dan tidak termasuk dalam lingkup pengawasan eksternal, pengawasan legislatif maupun pengawasan masyarakat. Pertimbangan tim penyusun merubah judul dan cakupan yang diatur tidak lain karena waktu yang bersamaan Kemen PANRB juga mempersiapkan RUU Admistrasi Pemerintahan (RUU Adpem) yang bahkan sekarang telah keluar UUnya yaitu UU No. 30 tahun 2014. Harapan tim pada waktu itu tidak lain dengan adanya RUU PPAP dapat mengendalikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang diatur dalam RUU Adpem dan tidak sekedar mengawasi saja karena pengertian pengendalian lebih luas daripada pengawasan. Lagi-lagi produk kerjasama antara Kemen PANRB dengan Universitas Padjadjaran tidak

dilanjutkan penyebabnya tidak lain karena tidak adanya political will dari pemerintah dan baru tahun 2013 KemenPANRB telah mempersiapkan draf RUU yang bernama Sistem Pengawasan Internal Pemerintah.

2. Sentralisasi Sistem Pengawa-san Internal Pemerintah.

Reformasi di sektor publik telah melahirkan desentralisasi dan oto-nomi daerah. Semangat desentralis-asi menyimpan dua hal yang penting. Pertama, terbentuknya otonomi daerah atau daerah otonom. Kedua, penyerahan sejumlah wewenang dan fungsi pemerintahan kepada daerah otonom. Dalam konteks In-donesia, karena derasnya tuntutan reformasi dan bergolaknya daerah menuntut keadilan karena selama Orde Baru mereka menjadi ”sapi perah” pemerintahan pusat, maka kedua hal di atas diberikan “payung” yuridis atau legalitasnya, yakni den-gan terbitnya UU No. 23 tahun 2014 sebagai pengganti No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan otonomi daerah terse-but, pemerintah daerah bisa menjadi merdeka, memiliki kebebasan dan

Edisi 7, Tahun VII 47

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

berdaya untuk menentukan arah pembangunan di daerahnya. Kear-ifan-kearifan lokal bisa tumbuh dan bermunculan dengan baik melalui otonomi daerah dimana hal ini san-gat berguna bagi pembangunan di daerah tersebut. Tetapi reformasi yang melahirkan proses desentralis-asi dan otonomi daerah juga meng-hasilkan dampak negatif. Karena otonomi daerah itu pada awalnya dilahirkan melalui isu-isu politik, mis-alnya disintegrasi, bukannya proses rasionalisasi, konsekuensinya, de-sentralisasi telah melahirkan raja-ra-ja kecil di daerah, korupsi yang mera-jalela dan tata pemerintahan daerah yang amburadul. Dampak negatif tersebut dirasakan akan mendistor-si tujuan dari proses desentralisasi dan otonomi daerah tersebut, yakni pembangunan yang berkeadilan dan bisa mengangkat secara ekonomis kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, masyarakat yang terbebas dan sehat dari korupsi.

Untuk itu diperlukan reposisi lembaga pengawasan intern untuk menciptakan lembaga pengawasan yang efisien dan efektif dengan me-misahkan tugas dan fungsi secara

jelas ke dalam kategori auditor in-ternal dan eksternal (Mardiasmo, 2003). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan ba-gian dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang merupakan lembaga indepen-den dan merupakan supreme auditor se suai dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004.

Keberadaan auditor eksternal ditujukan untuk menilai keyakinan, kepatuhan dan kinerja sebuah entitas dari laporan yang dibuatnya. Auditor eksternal harus bersikap i n-dependen, objektif, dan profesional dalam menjalankan tugasnya, baik audit laporan keuangan dan audit kinerja, atau jenis audit lainnya. Se-dangkan auditor internal yang akan diatur dalam RUU SPIP ini berfungsi sebagai mitra bagi pimpinan entitas untuk mengendalikan entitas agar dapat bekerja efektif dan efisien ser-ta meyakinkan bahwa laporan yang

Edisi 7, Tahun VII48

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

dibuat telah memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Auditor internal tidak bertujuan untuk mencari kesalahan, namun memberikan saran serta arahan kepada manajemen, terutama da-lam rangka pencapaian good gov-ernance. Auditor internal berperan sebagai katalis dan konsultan yang meningkatkan efektifitas dan efisien-si manajemen dalam organisasi, auditor internal harus mengubah paradigmanya, bukan lagi sebagai penemu atau pencari masalah, tetapi solusi atas permasalahan yang ada.

Audit internal kuat, pengawasan eksternal lemah terbukti tidak efektif. Sebaliknya, pengawasan eksternal kuat, audit internal lemah pun juga memunculkan berbagai potensi masalah sebagaimana diuraikan di atas.

Untuk membangun good gov-ernment governance dalam rangka menuju clean government, penga-wasan eksternal harus kuat, dan fungsi audit internal pun harus kuat sehingga tercipta Check and Balance dan bahkan dalam pasal 9 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggungjawab Keuangan Negara yang dinyatakan bahwa: ”Dalam menyelenggarakan pemer-iksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemer-intah”. Penciptaan Check and Balance ini akan memelihara filosofi trust da-lam pemerintahan, sehingga dapat menghasilkan kesejahteraan sosial bagi penyelenggara administrasi pe-merintahan dan masyarakat.

Kalau kita baca dan telaah se-cara mendalam draf RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (RUU SPIP) yang dipersiapkan oleh Kemen PANRB dimana dalam pasal 4 huruf b muncul lembaga baru yang bernama Inspektorat Na-sional yang kedudukannya sebagai pejabat setingkat menteri (pasal 5 ayat (3)) yang persyaratannya ber-status sebagai Pegawai Negeri Sipil (pasal 6 ayat (2a)) serta Inspektorat Nasional tersebut mempunyai tu-gas: melaksanakan pengawasan terhadap akuntabilitas keuangan negara, kepatuhan, dan kinerja instansi atas kegiatan tertentu pe-merintah baik secara sendiri-sendiri

Edisi 7, Tahun VII 49

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

maupun secara keseluruhan instansi pemerintah atas kegiatan tertentu dan badan-badan lainnya (pasal 9 (ayat 1a)). Dari pengaturan pasal-pasal di atas terlihat jelas penga-turan sistem pengawasan internal pemerintah akan ditarik oleh pemer-intah pusat (sentralisasi) dan yang mungkin melandasi pemikiran ini tidak lain adalah gagalnya auditor internal pemerintah daerah (Ins-pektorat Provinsi/Kabupaten/Kota) yang masih belum mampu berfungsi sebagai penjamin kualitas (quality assurance), katalis, dan konsultan bagi pimpinan maupun pemerin-tahan daerahnya, hal ini dibuktikan masih banyaknya pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi. Pe-narikan kewenangan pengawasan internal pemerintah oleh pemerin-tah pusat ini kembali diera orba dulu dimana ada lembaga pengawasan intern pemerintah yang berperan sebagai wasit merangkap sebagai pemain dan ini menjadi paradok dengan semangat otonomi daer-ah, seakan-akan pemerintah pusat tidak percaya dengan kinerja inspek-torat daerah (Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota), diibaratkan seekor

binatang, pemerintah pusat melepas kepalanya tapi ekor binatang terse-but tetap dipegang gara-gara bina-tang tersebut makan makanan yang tidak seperti biasanya (beracun). Dan bahkan keanehan dan kejanggalan dari draf RUU SPIP tersebut Inspek-torat Nasional setingkat menteri, in-spekturnya berstatus sebagai PNS dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden. Ini menjadi pertan-yaan besar apakah ada di pemer-intahan kita, pengangkatan pejabat setingkat menteri yang harus diisi oleh seorang PNS?

IV. Kesimpulan dan Saran

1. KesimpulanUntuk membangun good gov-

ernment governance dalam rangka menuju clean government, pengawa-san eksternal harus kuat, dan fungsi pengawasan APIPpun harus kuat sehingga tercipta Check and Balance.

APIP tidak bertujuan untuk mencari kesalahan, namun mem-berikan saran serta arahan kepada manajemen, terutama dalam rangka pencapaian good governance. APIP berperan sebagai katalis dan kon-sultan yang meningkatkan efektifitas

Edisi 7, Tahun VII50

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

dan efisiensi manajemen dalam or-ganisasi, APIP juga harus mengubah paradigmanya, bukan lagi sebagai penemu atau pencari masalah, tetapi solusi atas permasalahan yang ada.

Penyusunan RUU SPIP tentun-ya harus memperhatikan peratur-an perUUan lain agar tidak terjadi benturan dan yang paling penting adalah political will dari pemerintah untuk menuntaskan RUU ini kalau kedua persyaratan ini tidak dilakukan penyusunan RUU SPIP hanya mem-buang anggaran (pemborosan uang negara), waktu dan tenaga.

Sebenarnya masih banyak pera-turan turunan Peraturan Pemerintah setingkat Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengawasan in-tern pemerintah yang sampai saat ini belum keluar Perpresnya, misalnya amanat pasal 58 PP No. 60 Tahun 2008.

2. SaranKemenPANRB untuk segera

menyelesaikan RUU SPIP namun

yang perlu diperhatikan dalam peny-usunan RUU tersebut adalah harus melihat dari kepentingan bangsa dan negara (kepentingan yang lebih luas) dan melepas ego sektoral tentunya dengan mengakomodir semua pe-rUUan yang ada. Mengedepankan perkuatan sumberdaya manusia (au-ditor/pengawas) yang ada di inspek-torat daerah dengan memperbaiki kebijakan yang mengatur tentang jabatan fungsional SDM yang ada di inspektorat daerah, mereposisi lembaga pengawasan intern pemer-intah yang ada dengan cara membagi tugas pemerintahan menjadi cluster, melibatkan dunia akademik khusus-nya yang membidangi pemerintahan daerah, melibatkan asosiasi Inspek-torat Provinsi/Kabupaten/Kota. Se-lain itu KemenPANRB hendaknya melakukan koordinasi dengan Ke-menkeu untuk segera menerbitkan peraturan turunan sebagai amanat PP No. 60 Tahun 2008 (misal pasal 58 PP No. 60 Tahun 2008)

Edisi 7, Tahun VII 51

Mewujudkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ProfesionalEdy Sudaryanto

Daftar Pustaka

1. Committee On Sponsoring Or-ganization,1992. Internal Control Framwork.

2. Dunn William N.,1988, Pengan-tar Analisis Kebijakan Publik (ter-jemahan), Gajah Mada University Press, Yogyakarta;

3. Draft Awal RUU SPIP, 20-09-2013

4. Effendi, Sofian.2005.”Sistem Pe-merintahan adalah Jati Diri Bang-sa”.Makalah diunduh darihttp://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/DIALOG-KEMBALI-KE-JATI-DIRI NEGARA-SEMI-PRESIDENSIAL.pdf;

5. Effendi, Muh Arief.2006.”Perkem-bangan Profesi Internal Audit Abad 21”.Makalah, diunduh dari http://images.agushakim.multy-ply.multiplycontent.com;

6. Government Internal Audit Stand-ards April 2009, HM Treasury; Internal Audit Guidenlines, De-partment of Local Government, New South Wales, 2008; Internal Audit Practice in France-2005,I-FACI,2005;

7. LAN RI, 2012, Bahan Ajar Kajian Paradigma, LAN RI, Jakarta;

8. LAN RI, 2012, Bahan Ajar Kajian Kebijakan Publik, LAN RI, Jakarta;

9. LAN RI, 2012, Bahan Ajar Kajian Manajemen Stratejik, LAN RI, Ja-karta;

10. LAN RI, 2012, Bahan Ajar Pandu-an Aktualisasi, LAN RI, Jakarta;

11. LAN RI, 2005, SANKRI, Edisi Revisi, LAN RI, Jakarta;

12. Materi Ceramah Diklat Pimpinan Tingkat II Angkatan XXXIII Tahun 2012

13. Mustopadidjaja, 2006, Manaje-men Proses Kebijkan Publik, LAN RI, Jakarta;

14. Mardiasmo, 2004.Akuntansi Se-ktor Publik.Yogyakarta:Penerbit Andi;

15. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

16. Peraturan Presiden Nomor 81 Ta-hun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2024;

Edisi 7, Tahun VII52

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

17. Peraturan Menteri Pendayagu-naan Aparatur Negara dan RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map 2010-2014;

18. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Dasar 1945;

19. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Nomor 17 Tahun 2003 ten-tang Keuangan Negara;

20. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Nomor 1 Tahun 2004 ten-tang Perbendaharaan Negara;

21. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Nomor 15 Tahun 2004 ten-tang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara;

22. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Nomor 32 Tahun 2004 ten-tang Pemerintahan Daerah;

23. Republik Indonesia, Undang-Un-dang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pe-merintahan Daerah;

24. Republik Indonesia, Peraturan Pe-merintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelengga-raan Pemerintahan Daerah;

25. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sitem Pengenda-lian Intern Pemerintah;

26. Senge Peter M,1990, The Fifth Discipline (The Art and Practice of The Learning Organization), Doubleday Dell Publishing Group;

27. Tjokroamidjojo Bintoro, 2004, Reformasi Nasional Penyeleng-garaan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani, LAN RI, Jakarta.

****

Edisi 7, Tahun VII 53

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi Profesional

Herwan ParwiyantoProdi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta

[email protected] ; [email protected]

Abstrak

Sumber daya birokrasi yang memenuhi syarat kualifikasi profe-sional dan kompetensi menentukan kinerja dari birokrasi secara opti-mal. Di sisi yang lain, birokrasi pemerintah mengalami situasi yang disebut dengan patologi birokrasi. Kemampuan membenahi suasana yang patologis juga menjadi tantangan tersendiri dalam mensukseskan Gerakan Indonesia Melayani. Jiwa profesionalisme harus di bangkitkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kualifikasi birokrasi Indone-sia. Dukungan Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi tonggak dukungan utama dalam mencapai target riil tersebut.

Kata Kunci : patologi birokrasi,profesionalisme, kompetensi

Latar Belakang.Menteri Pemberdayaan Apara-

tur Negara & Reformasi Birokrasi mendapatkan mandat khusus dari Presiden RI untuk mengawal Gera-kan Indonesia Melayani. Penugasan

tersebut tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, yang telah ditanda-tangani oleh Presiden Joiko Widodo pada 6 Desember 2016 yang lalu.

Edisi 7, Tahun VII54

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Sebagaimana telah disosialisaikan sebelumnya, Gerakan Nasional Revolusi Mental dimaksudkan un-tuk memperbaiki dan membangun karakter bangsa Indonesia dengan melaksanakan Revolusi Mental yang mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong untuk membangun budaya bangsa yang bermartabat, modern, maju, mak-mur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.

Selain itu, Menteri dan jaja-ran di Kementerian ditugasi untuk penyempurnaan standar pelayanan dan sistem pelayanan yang inova-tif (e-government), penyempurnaan sistem manajemen kinerja (perfor-mance-based management system) Aparatur Sipil Negara dan peningka-tan perilaku pelayanan publik yang cepat, transparan, akuntabel, dan re-sponsif. Gerakan Indonesia Melayani juga akan fokus kepada penyempur-naan peraturan perundang-undan-gan (deregulasi), penyederhanaan pelayanan birokrasi (debirokratisa-si), peningkatan penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang pe-layanan publik, peningkatan peneg-akan hukum dan aturan di bidang

pelayanan publik serta penerapan sistem penghargaan dan sanksi be-serta keteladanan pimpinan.

Pemerintah dalam kaitan imple-mentasi program oleh unsur Admin-istrasi Negara, memiliki kedudukan yang jelas & pasti dalam menjalankan wewenang serta unsur tindakan hu-kum. Pelaksanaan urusan pemer-intahan/birokrasi dilakukan antara lain dengan beberapa cara menurut Utrect (dalam Ridwan, 2006) sebagai berikut :· Bertindak sebagai pelaksana Ad-

ministrasi Negara.· Bertindak sebagai subjek hukum

(badan hukum).· Bertindak selaku pemerintah

bersama dengan subjek hukum lain bukan Administrasi Negara, tergabung dalam kerjasama di atur oleh aturan hukum.

Sumber daya birokrasi yang memenuhi syarat kualifikasi pro-fesional dan kompetensi menen-tukan kinerja dari birokrasi secara optimal. Di sisi yang lain, birokrasi pemerintah mengalami situasi yang di sebut dengan patologi birokrasi. Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul

Edisi 7, Tahun VII 55

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal. Patologi birokrasi muncul dikarenakan hubungan an-tar variabel  pada struktur birokra-si yang terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja birokrasi yang tidak linear. Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain:1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan

seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;

2. Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan

untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;

3. Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit-belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan mendesak;

4. Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan

Edisi 7, Tahun VII56

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran negara menjadi kurang tepat sasaran; dan

5. Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif-motif tertentu.

Berhadapan dengan kondisi fak-tual demikian, maka profesionalisme Administrasi Negara yang mewarnai Birokrasi Indonesia harus benar-be-nar dalam kondisi yang ideal/baik, seiring dengan tuntutan yang me-warnai dinamika birokrasi kekinian.

Meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara (ASN).

Keberadaan suatu organisasi sangat didukung adanya tiga pilar utama agar dapat berjalan dengan baik. Tiga pilar itu terdiri dari kebe-radaan SDM (dalam hal ini Aparatur Sipil Negara) yang baik, sistem pena-taan organisasi yang baik, serta pro-ses bisnis yang biasanya dianggap sebagai target capaian organisasi

dalam visi-misi. Tentunya, aspek SDM baik dari sisi kuantitas mau-pun kualitas dapat dilihat dari sisi knowledge, skill, dan attitude. Dari sini tentu dapat difahami bahwa capacity building adalah proses meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ket-erampilan, serta sikap dan perilaku. Harus disadari bahwa berkembang tidaknya suatu organisasi sangat di-pengaruhi adanya kepedulian dan kualitas SDM dalam menggerakkan organisasi. Dengan demikian, pros-es peningkatan kapasitas (capacity building) dan pembangunan karak-ter (caracter building) SDM menjadi hal yang mutlak dilakukan. Dalam proses ini tentu dapat dilakukan dengan beragam cara, baik melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) berbasis kompetensi, pembinaan pola karir yang jelas, tugas belajar, dan outbond atau pola permainan, yang kesemuanya itu untuk men-ingkatkan performa SDM organisasi dalam menjalankan tugasnya. Oleh karenanya, pengembangan kapasi-tas sangat terkait dengan kemam-puan SDM, kemampuan institusi, dan kemampuan sistem organisasi birokrasi.

Edisi 7, Tahun VII 57

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

Kemampuan membenahi sua-sana yang patologis juga menjadi tantangan tersendiri dalam mensuk-seskan Gerakan Indonesia Melayani. Perlu adanya reformasi administrasi secara global dan menyeluruh. Art-inya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan ha-nya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti up-grading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupa-kan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. 

Kemudian yang perlu diperha-tikan juga pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-keja-hatan, termasuk kejahatan dan pen-yakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera wa-laupun sering keluar masuk bui/pen-jara. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan

supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:1. Kepemimpinan yang adil dan kuat.2. Alat penegak hukum yang yang kuat

dan bersih dari kepentingan politik.3. Adanya pengawasan tidak berpihak

serta netral.Serta dengan menciptakan

sis tem administrasi negara yang menjaga akuntabilitas dan trans-pa ransi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat pa-ra birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang seha-rusnya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan e-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat di lapangan peme-rintahan.

Bagaimana melayani Warga Ne-gara dengan baik?

Tuntutan masyarakat akan menjadi kunci utama melakukan pelayanan. Seharusnya birokrasi adalah tindakan abdi negara yang

Edisi 7, Tahun VII58

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

melayani kepentingan publik. Birokrasi menjadi alat negara untuk memenuhi dan melayani kebutuhan publik. Untuk itu diperlukan birokrasi yang profesional dan memiliki sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi di bidang-nya. Namun pada kenyataannya, publik mempersepsikan birokasi kita belum ideal seperti itu. setelah reformasi 1998 terjadi perubahan besar dalam kultur tata kelola politik dan pemerintahan. Selama Orde baru, birokrasi yang menguasai politik. Namun setelah mundurnya presiden Soeharto, politik yang menguasai birokrasi. Banyak pihak yang merisaukan keadaan ini karena birokrasi tidak bekerja profesional melayani publik atau menjadi abdi negara yang sesungguhnya. Justru sering kali ditemui jika birorkasi lebih mengabdi kepada kepentingan politik yang sedang berkuasa.

Hal itu menjadi daya dorong untuk melakukan perubahan ter-hadap tatanan birokrasi melalui UU ASN. Perubahan dalam sistem, manajemen, rekrutmen dan budaya pegawai negeri sipil (PNS). Tujuan utamanya agar bioraksi terserbut

menjadi abdi negara dan bisa bekerja secara profesional. Dalam UU ASN ini mengedepankan independensi, kinerja dan profesionalisme aparatur sipil negara. Birokrasi bekerja ses-uai tuntunan undang-undang dan kepentingan Negara. Salah satunya jabatan aparatur sipil negara terdiri dari jabatan administratif, fungsional dan jabatan eksekutif senior. Istilah PNS diganti dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), selain itu seleksi ASN berdasarkan kompetensi dan ada sanksi pidana bagi yang melanggar-nya. UU ASN juga mengatur batas usia pensiun seorang pegawai negeri sipil (PNS). Pejabat administrasi PNS, batas usia pensiun yang semula 56 tahun diperpanjang menjadi 58 ta-hun sementara pejabat pimpinan tinggi (eselon I dan II) 60 tahun.

UU ASN membawa perubahan yang besar dalam birokrasi kita, mulai dari sistem perencanaan, pengadaan, pengembangan ka-rier, penggajian, serta sistem dan batas usia pensiun. Perubahan itu didasarkan pada sistem merit, yang mengedepankan prinsip profesion-alisme, kompetensi, kualifikasi, kin-erja, transparansi, objektivitas, serta

Edisi 7, Tahun VII 59

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

bebas dari intervensi politik dan KKN. Dengan ditetapkannya UU ASN men-jadi peluang bagi kita untuk mening-katkan Mutu Pelayanan Pemerintah. PNS bisa bekerja secara profesion-al sesuai dengan tanggungjawab dan tugasnya. Pada sisi yang lain birokrasi juga dituntut untuk terus meningkatkan kemampuannya lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. UU ASN ini menjadi fon-dasi penting dalam menata birokrasi Indonesia. Birokrasi yang melayani kepentingan publik.

Birokrasi Indonesia kedepan sudah seharusnya di rancang dengan tipe ideal, di tengah kema-jemukan faktual yang ada dalam ranah operasional pemerintahan. Administrasi Negara diharapkan memiliki peran yang nyata dalam rancangan yang ideal tersebut untuk diwujudnyatakan dalam Birokrasi Pemerintahan yang Ideal Indonesia yang khas dengan kemajemukannya tersebut. Restrukturisasi & reformasi sistem dalam Birokrasi Indonesia menjadi usaha mendesak, meng-ingat implikasi/dampak yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu ada upaya yang serius agar

pembaruan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan.

Patut menjadi perhatian banyak pihak bahwa birokrasi merupakan kekuatan yang besar, kegiatannya menyentuh hampir setiap sendi kehidupan warga negara. Maka ke-bijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sen-di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu birokrasi meru-pakan garis terdepan yang berhubu-ngan langsung dengan memberi pe-layanan umum kepada masyarakat.

Profesionalitas seorang birokrat tampak dari keahlian dan tanggu-ng jawab dalam pelaksanaan tugas. Pengetahuan dasar tentang kompl-eksitas dunia administrasi dan ke-majuan teknologi moderen mem-perlancar tugas birokrat. Gagasan awal dibentuknya birokrasi adalah untuk kepentingan pelayanan publik, yang sasaran akhirnya guna untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonum publicum) sebagai raison d’etre dari eksistensi sebuah negara. Dalam konteks Max Weber, birokrasi sebagai Hierarki Administratif yang Profesional.

Edisi 7, Tahun VII60

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Membangun Kualitas Perubahan Sosial Fungsi Birokrasi.

Perubahan yang direncanakan (Planned Change), usaha sistema-tik untuk mendesain ulang suatu organisasi dengan cara yang akan membantu melakukan adaptasi pada perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal atau mencapai sasaran baru. Perubahan yang me-mungkinkan dapat dilakukan beru-pa Pendekatan pada perubahan teknologi , Perubahan teknologi sebuah organisasi mencakup meng-ganti peralatan, proses rekayasa, teknik penelitian atau metode pro-duksi. Yang kedua berupa Pendeka-tan pada perubahan manusia, Pendekatan manusia mencoba mengubah tingkah laku karyawan dengan memfokuskan pada ketram-pilan, sikap, persepsi dan harapan mereka. Inilah yang akan diterapkan dalam membangun kualitas peruba-han sosial fungsi birokrasi Indonesia dengan upaya revolusi mentalnya.

Usaha jangka panjang diterap-kan dalam pengembangan organis-asi birokrasi juga di implementasi-kan, yang didukung manajemen puncak untuk memperbaiki proses

pemecahan masalah dan pemba-haruan organisasi. Terutama lewat diagnosis yang lebih efektif dan hasil kerja sama serta manajemen bu-daya organisasi dengan penekanan khusus pada tim kerja formal, budaya antar kelompok dengan bantuan seorang fasilitator konsultan dan menggunakan teori serta teknologi mengenai penerapan ilmu tingkah laku termasuk penelitian tindakan. Iklim kondusif dalam rangka menjadi-kan pemerintahan berkelas dunia pada 2025 perlu secara serius di siapkan di segala bidang pelayanan birokrasi.

Dalam pidato Guru Besarnya, Thoha (1999) mengemukakan bahwa penyelenggaraan birokrasi pemer-intah bisa berjalan dengan baik bila bekerja di bawah rezim demokratis di mana masyarakat bisa ikut men-gawasi. Sebaliknya, bila birokrasi di bawah rezim otoriter, maka masyar-akat kesulitan untuk mengendalikan birokrasi pemerintah. Sebagai me-sin utama pemerintahan, birokrasi mengikuti gaya kepemimpinan yang di kembangkan oleh kepala daerah. Di masa lalu, ketika pemimpin berwa-jah otoriter, maka para birokrat juga

Edisi 7, Tahun VII 61

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

meniru gaya pimpinannya tersebut. Akibatnya, orientasi pelayanan bukan kepada masyarakat tetapi merujuk kepada kebutuhan dan kepentingan atasan. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan pemerintahan tidak bisa melakukan kontrol apapun dalam situasi yang otoriter.

Gaya pelayanan dimana pem-impin menyapa masyarakat harus-nya menjadi karakter terkini para birokrat. Baik secara individual mau-pun secara organisasi birokrasi pe-merintahan. Para pemimpin dan staff satuan kerja baik di birokrasi pusat maupun daerah harus lebih rajin me-lihat kondisi di lapangan dan segera memutuskan kebijakan yang diperlu-kan untuk mengatasi permasalahan dan juga kebutuhan yang muncul di masyarakat. Sejalan dengan pan-dangan Weber tentang rasionalitas dalam organisasi birokrasi dimana di antara penandanya adalah kece-patan dan efisiensi (Ritzer, 2014). Satu hal yang tidak boleh ketinggalan adalah membangun keterbukaan birokrasi. Sebagai pelaksana sumber daya publik, maka sudah sewajarn-ya bila birokrasi mempertanggu-ngjawabkan sumber daya yang di

kelola. Status keuangan semacam “WTP” memang penting untuk di raih dan sebagai salah satu tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya publik. Namun, lebih dari itu, sta-tus administrasi semacam itu tidak boleh mengabaikan spirit dan esen-si akuntabilitas, yaitu benar-benar menggunakan sumber daya publik sesuai aturan dan bisa di kontrol oleh masyarakat yang di layani.

PenutupMemasuki era global birokrasi

pemerintahan yang berkelas dunia, maka birokrasi harus berbenah diri terutama para birokrat sebagai SDM di dalamnya. Jiwa profesionalisme harus di bangkitkan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kualifikasi birokrasi Indonesia. Gerakan Indo-nesia Melayani bukan semata hanya sebatas jargon dan simbolisasi, na-mun menjadi target ideal untuk di lakukan. Dukungan Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Apara-tur Sipil Negara menjadi tonggak dukungan utama dalam mencapai target riil tersebut. Kehadiran UU ASN ini menjadi daya dorong dalam mewujudkan Profesionalisme dalam

Edisi 7, Tahun VII62

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Birokrasi Pemerintah yang modern. Gaya kepemimpinan pro masyar-akat, bergulirnya spirit keterbukaan, perlahan-lahan menjadi program yang niscaya mendukung perubahan terencana yang revolusioner pada sistem Birokrasi Indonesia. Birokrasi kekinian telah berusaha memperli-hatkan diri sebagai birokrasi yang

bertanggung jawab secara kompre-hensif, profesional, dan responsif. Meski demikian partisipasi warga ne-gara dalam pengambilan keputusan tetap diperlukan untuk mengoreksi pilihan kebijakan yang di putuskan pemeritah dalam rangka memberi-kan pelayanan terbaik kepada warga negara/publik.

Daftar Referensi :

Dwiyanto, Agus. 2011. Mengemba-likan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta : PT Gramedia

Ridwan, HR. 2006. Hukum Admin-istrasi Negara. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Ritzer, G. 2014. Teori Sosiologi, Dari Klasik Sampai Perkembangan Ter-akhir Postmoderen. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.

Siagian, Sondang P. 1994.  Patologi Birokrasi  Analisis Identifikasi dan

Terapinya. Jakarta : Ghalia Indo-nesia

Thoha, Miftah. 1999. “Demokrasi da-lam Birokrasi Pemerintah : Peran Kontrol Rakyat & Netralitas Birokra-si“. Pidato Pengukuhan Guru Be-sar pada Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Universitas Gadjah Mada Jogjakarta pada tanggal 8 Mei 1999.

Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Edisi 7, Tahun VII 63

Gerakan Indonesia Melayani suatu titik balik bagi Birokrasi ProfesionalHerwan Parwiyanto

Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Zuber, Ahmad. 2017. Tantangan Birokrasi Progresif di Indonesia. Surakarta : CV Kekata Group.

http://herwanp.staff.fisip.uns.ac.id/2016/09/22/bahan-3-san-ri-an-b/

http://herwanp.staff.fisip.uns.ac.id/2017/03/13/bahan-3-han-2/

****

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Administrasi

Dr. Arminsyah, SH.,M.Si. *Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus

Abstrak

Prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa administrasi yang seringkali berbenturan dengan penanganan tindak pidana khususnya korupsi. Berdasarkan realitas objektif, tidaklah mengherankan jika pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini seringkali dihadapkan pada konflik tentang penilaian suatu kewenangan atau kebijakan (beleid) antara ranah Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana. Sebagai jalan keluar atau upaya untuk memadukan persepsi tafsir yang berbeda dalam penanganan perkara penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor: 4 Tahun 2015 tentang pedoman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang. Penggunaan kekuasaan atau kewenangan pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan negara harus tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan terhindar dari tindakan mela-mpaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan/atau bertindak sewenang-wenang.

Kata Kunci : sengketa administrasi,kewenangan,wewenang, adminisrasi pemeritah

* Bahan ini disampaikan sebagai Narasumber dalam Kegiatan Pembahasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan serta mekanisme TP4 bagi seluruh Aparatur Sipil Negara di lingkungan Pemerintah Daerah se-Provinsi Kepulauan Riau, Batam, tanggal 17 April 2017.

Edisi 7, Tahun VII 65

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

I. PendahuluanDewasa ini, konsepsi negara

kesejahteraan yang dianut oleh be-berapa negara di dunia, termasuk Indonesia seringkali mendapat kritik karena dianggap sebagai sistem pen-dekatan yang boros, tidak kompati-bel dengan pembangunan ekonomi, dan menimbulkan keter gantungan pada penerimanya (beneficiaries).1 Bahkan di Negara Amerika Seri-kat, istilah welfare state lebih sering dikonotasikan negatif sebagai illfare state. Hal tersebut sebagaimana di-nyatakan oleh Linda Gordon: In the last half-century, the American defi-nition of “welfare” has been reversed. A term that once meant prosperity, good health, good spirits and so-cial respect now implies poverty, bad health, despodency, and social disrespect.2

1 Edi Suharto, “Peta Dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indo-nesia?”. Makalah disampaikan pada Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Oto-nomi di Indonesia”, Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006. hlm.1.

2 Charles H. Zastrow, “Introduction to Social Work and Social Welfare”, Pacific Grove:

Pernyataan Linda Gordon dapat diartikan sebagai alarm bagi bangsa Indonesia untuk meneguhkan kem-bali konsep negara kesejahteraan dan perubahan paradigma bahwa negara kesejahteraan bukanlah se-kedar negara yang ditujukan untuk mengakomodir masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, melainkan ditujukan untuk mem-berikan perlindungan sosial bagi se-tiap individu sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak hidup dalam kekurangan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Paul Spicker yang menyatakan:3

“The welfare state is an attempt to break away from the stigma of the Poor Law. It was not designed for the poor; it was supposed to of-fer social protection for everyone, to prevent people from becoming poor...The best way to help the poor within the welfare state is not to target programmes more care-fully on the poor, but the converse: to ensure that there is a general framework of resources, services

Brooks/Cole, 2000. hlm.21

3 Paul Spicker, “Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths”, London: Catalyst Trust, 2002. hlm. 6 dan 37.

Edisi 7, Tahun VII66

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

and opprotunities which are ade-quate for people’s needs, and can be used by everyone. That is what welfare state was meant to do. That is what we have forgotten.”

Oleh karena itu, dalam rangka peneguhan dan peningkatan kese-jahteraan terhadap rakyat Indonesia, maka kehadiran negara melalui lem-baga dan pejabat negara yang men-jalankan tugas dan fungsinya secara profesional adalah merupakan suatu keniscayaan. Tidak hanya itu, untuk semakin meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, maka telah di-terbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administra-si Pemerintahan. Undang-undang tersebut juga memiliki arti strategis dalam menjamin terpenuhinya hak masyarakat Indonesia sebagai subjek dari negara yang berdemokrasi.

Mendasarkan pada hal terse-but, maka saya menyambut baik dan mengapresiasi penyelenggaraan ke-giatan ini yang membahas tentang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemer-intahan serta mekanisme kerja Tim Pengawal dan Pengamanan Pemer-intahan dan Pembangunan (TP4).

Melalui makalah singkat ini akan dis-ampaikan prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa administrasi yang seringkali berbenturan dengan penanganan tindak pidana khusus-nya korupsi.

II. Undang-Undang Nomor 30 Ta-hun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

Pada umumnya di dalam suatu negara terdapat berbagai jenis organ atau lembaga negara yang dengan sengaja dibentuk oleh negara terse-but untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan kebutuhan dari negara dan rakyat pada negara tersebut. Berdasarkan fungsinya, lembaga negara dapat dibagi men-jadi 3 (tiga), yakni:4

1. Alat kelengkapan negara yak-ni lembaga legara yang men-jalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara.

2. Lembaga Administratif yakni lem-baga negara yang menjalankan

4 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas Hukum-UII Press, 2004 dan Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.

Edisi 7, Tahun VII 67

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara.

3. Auxiliary organ/agency adalah lembaga negara penunjang atau badan penunjang yang berfung-si untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara.Untuk menjalankan lembaga ne-

gara tersebut, maka selanjutnya di-tunjuklah pejabat sehingga lembaga negara tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pejabat adalah orang yang menduduki jabatan pada institusi pemerintah serta mempunyai tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan dan negara.

Wewenang dan jabatan dalam perspektif hukum administrasi tidak dapat dipisahkan, dimana di dalam suatu jabatan publik tertentu senan-tiasa dilekati oleh suatu wewenang.5 Melalui wewenang tersebut, maka pejabat publik akan mampu mel-aksanakan tugas dan fungsinya melalui proses penyelenggaraan

5 Tatiek Sri Jamiati, Prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia, Surabaya: Disertasi, Universitas Airlangga, 2004, hlm.57.

pemerintahan yang dapat dilihat dalam bentuk kebijakan publik.

Penggunaan kekuasaan atau kewenangan pejabat tersebut dalam penyelenggaraan negara tentunya harus tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang terdiri dari kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpi-hakan, kecermatan, tidak menyalah-gunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.6 Keberadaan AUPB terse-but juga merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap rakyat dari kesewenang-wenangan pejabat dalam melakukan suatu tindakan ataupun perbuatan dalam penye-lenggaran pemerintahan.

Oleh karena itu, dalam menjaga konsistensi kualitas penyelengga-raan pemerintahan dan mencegah terjadinya mal-administrasi dari para penyelenggara negara, sehingga ter-wujud pemerintahan yang baik, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administra-si Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Peraturan tersebut

6 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemer-intahan.

Edisi 7, Tahun VII68

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

merupakan landasan hukum guna mendasari keputusan dan/atau tin-dakan pejabat pemerintahan un-tuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Merujuk pada rumusan UU Administrasi Pemerintahan, maka dapat diketahui bahwa terdapat pembedaan antara wewenang dan kewenangan. Wewenang diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyeleng-garaan pemerintahan. Sedangkan kewenangan didefinisikan sebagai kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak da-lam ranah hukum publik. Dengan kata lain, wewenang ditujukan pada pelaksana atau orang perseorangan, sedangkan kewenangan menunjuk pada institusi atau lembaga.

Hukum administrasi dapat dili-hat dalam 2 (dua) perspektif, yakni in-strumen yuridis yang memungkinkan pemerintah mengendalikan kehidu-pan masyarakat dan memungkinkan

masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian pemerintah tersebut. Oleh karena itu, ada 3 (tiga) unsur pokok dalam hukum administrasi yaitu pengendalian (sturen), partisi-pasi (peran serta), dan perlindungan bagi masyarakat.7

Ketiga unsur pokok tersebut menjadikan ada 3 (tiga) komponen utama yang harus diemban oleh hukum administrasi, yaitu:8

a. Hukum untuk penyelenggaraan pemerintahan (het recht voor het besturen door de overhead), yang mengatur tentang kekuasaan pemerintah (norma pemerintah).

b. Hukum oleh pemerintah (het recht voor dat uit dit bestuur on-staat), yang mengatur tentang organisasi publik (tindak pemer-intah).

c. Hukum terhadap pemerintah, yaitu hukum yang menyangkut perlindungan hukum bagi rakyat

7 Philipus M. Hadjon, “Kisi-kisi Hukum Admin-istrasi dalam Konteks Tindak Pidana Korupsi” dalam Philipus M. Hadjon, dkk, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. Pertama, 2011, hlm.5.

8 Philipus M. Hadjon, “Kebutuhan akan Hukum Administrasi” dalam Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit.,hlm.19.

Edisi 7, Tahun VII 69

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

terhadap tindakan pemerinta-han (het recht tegen het bestuur).Dalam UU Administrasi Pemer-

intahan telah diatur secara tegas tentang larangan bagi badan dan/atau pejabat pemerintah untuk men-yalahgunakan wewenang (vide Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan) yang meliputi larangan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan/atau bertindak se-wenang-wenang. Badan dan/atau pejabat pemerintah dikategorikan melampaui wewenang apabila kepu-tusan dan/atau tindakan yang dilaku-kan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan.

Sedangkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikate-gorikan mencampuradukkan we-wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Leb-ih lanjut, Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan dikategorikan ber-tindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan Pu-tusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ketentuan norma-norma terse-but hanya berupa patokan yang ha-rus dipatuhi oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Pengawa-san terhadap larangan penyalah-gunaan wewenang tersebut diatas dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dimana hasil pengawasan APIP dapat beru-pa (1) tidak terdapat kesalahan; (2) terdapat kesalahan administratif; atau (3) terdapat kesalahan admin-istratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Secara khusus, apabila hanya ditemukan kesala-han administratif saja tanpa diikuti unsur kerugian keuangan negara, maka dilakukan penyempurnaan administrasi dimaksud. Akan tetapi di sisi lain, apabila kesalahan admin-istrasi tersebut menimbulkan keru-gian keuangan negara maka harus dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10

Edisi 7, Tahun VII70

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

(sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.

III. Tindak Pidana Korupsi Dan Pelanggaran Administrasi

Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa keberadaan UU Ad-ministrasi Pemerintahan diharapkan akan menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepe-merintahan yang baik (good govern-ance) sekaligus sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.9 Akan tetapi di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa Undang-undang tersebut juga bisa menjadi pedang bermata dua karena para penyelenggara negara dapat berlindung di balik proses admin-istrasi apabila melakukan penyim-pangan yang berdimensi korupsi.

Penyimpangan yang berdimensi korupsi dimaksud adalah menyalah-gunakan kewenangan yang merupa-kan unsur penting dalam menen-tukan ada tidaknya tindak pidana korupsi, sebagaimana disebutkan

9 Penjelasan Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

dalam Pasal 3 Undang-Undang No-mor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Un-dang Nomor 20 Tahun 2001 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

“Setiap orang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, me-nyalahgunakan kewenangan, kesem-patan atau sarana yang ada padan-ya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipida-na dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau den-da paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Joseph Raz dalam bukunya yang berjudul “The Concept of a Legal System” menyatakan bahwa suatu norma dalam peraturan pe-rundang-undangan tidak mustahil akan dipahami secara berbeda-beda oleh para pembacanya (the readers). Permasalahan dalam memahami norma hukum juga biasa terjadi

Edisi 7, Tahun VII 71

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

di kalangan akademisi/ahli hukum maupun praktisi di Indonesia, seperti ketika memahami norma “penyalah-gunaan wewenang” dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.10

Setidaknya terdapat 2 (dua) persoalan yang dapat menimbulkan polemik terkait dengan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Adminis-trasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa:

(1) Pengadilan berwenang men-erima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalah-gunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.(2) Badan dan/atau Pejabat Pemer-

intahan dapat mengajukan per-mohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan” (cetak tebal, penulis).Kedua polemik tersebut,

meliputi: Pertama, apakah yang menjadi batasan atau parameter 10 H. Yulius, Menyelisik Makna Penyalahgu-

naan Wewenang Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Ditinjau Dari Optik Hermeneutika Hukum, Varia Peradilan, No.360, November 2015, hlm. 5.

peyalahgunaan wewenang termasuk dalam domain hukum administrasi ataukah masuk dalam ranah tindak pidana korupsi? Kedua, pengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ada tida-knya penyalahgunaan wewenang (kompetensi absolut), apakah Pen-gadilan Tata Usaha Negara ataukah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi?

Berdasarkan realitas objektif diatas, maka tidaklah mengherankan jika pemberantasan korupsi di Indo-nesia saat ini seringkali dihadapkan pada konflik tentang penilaian suatu kewenangan atau kebijakan (beleid) antara ranah Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana.11 Polemik tersebut terus berkem-bang karena adanya pemahaman yang keliru dari para pejabat baik di tingkat pusat maupun daerah, dimana proses penegakan hukum dianggap mengamputasi kebija-kan atau diskresi dan inovasi dari aparat pemerintah tersebut. Padahal upaya penegakan hukum bertujuan untuk mendukung kegiatan pem-bangunan sekaligus menciptakan

11 Indriyanto Seno Adjie, Korupsi dan Perma-salahannya, Jakarta: Daidit Media Press, 2012, hlm. 39.

Edisi 7, Tahun VII72

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Penyelenggara Negara yang bersih dan mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh serta penuh tanggung jawab.

Oleh karenanya, perlu untuk di-pahami bersama bahwa di dalam penyelenggaraan pemerintahan atau dalam rangka pelaksanaan pembangunan seringkali terjadi kondisi dimana terjadi kekoson-gan hukum, diperlukan adanya kepastian hukum, adanya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan da-lam keadaan tertentu serta untuk melancarkan penyelenggaraan pe-merintahan, pejabat pemerintahan yang berwenang dapat melakukan diskresi dengan tetap memperhati-kan persyaratan antara lain:12

- sesuai dengan tujuan diskresi yaitu melancarkan penyelengga-raan pemerintahan, mengisi ke-kosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna keman-faatan dan kepentingan umum;

- tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan ;

12 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

- sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);

- berdasarkan alasan-alasan yang benar dan objektif ;

- tidak menimbulkan konflik kepentingan ; dan

- dilakukan dengan iktikad baik.Untuk menentukan apakah

diskresi ataupun kebijakan pejabat publik merupakan domain tindak pidana korupsi, tentunya harus mencermati substansi perbuatannya sebagai landasan untuk mengungkap kebenaran materiil dalam perkara pidana.13 Dengan demikian di dalam penindakan terhadap diskresi atau-pun kebijakan pejabat publik yang termasuk dalam ranah korupsi, maka setidaknya harus memenuhi 2 (dua) syarat utama yakni unsur perbuatan pidana (actus reus) sebagai physical element dan unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea) sebagai mental element14 dalam bentuk kesengajaan

13 Asep N. Mulyana, Dimensi Koruptif Kebijakan (Pejabat) Publik: Pergeseran Paradigma Penegakan Hukum Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Medan: Madju, 2016, hlm.194.

14 Andhi Nirwanto, Asas Kekhususan Sistematis Bersyarat Dalam Hukum Pidana Adminis-trasi dan Tindak Pidana Korupsi, PT Alumni, Bandung, 2015, hlm. 263.

Edisi 7, Tahun VII 73

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

(opzet), baik dalam corak kesengajaan sebagai maksud/tujuan (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn) mau-pun kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis)15. Hal tersebut penting, mengingat dalam hukum pidana terdapat asas “actus non facit reum, nisi mens sit rea” (an act does not make a person legally guilty unless the mind is legally blame-worthy)16 yang dapat diartikan suatu perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali niat batinnya patut disalahkan.

Sebagai jalan keluar atau upaya untuk memadukan persepsi tafsir yang berbeda dalam penanganan perkara penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan, Mah-kamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma)

15 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hu-kum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal 172- 181

16 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertang-gungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Kencana, Jakarta, 2006, hal. 15 dan Inclaw, Actus Reus Mens Rea, https://inclaw.wordpress.com/2011/04/02/actus-reus-mens-rea/, diakses pada tanggal 18 Mei 2016.

Nomor: 4 Tahun 2015 tentang pe-doman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang. Perma tersebut merupakan respon agar aparat penegak hukum mau-pun pencari keadilan tidak terjadi silang pendapat, selain itu karena belum adanya hukum acara yang dapat mengakomodir berlakunya ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Adminstrasi Pemerintahan, padahal berdasarkan Pasal 89 Undang-Un-dang Adminstrasi Pemerintahan me-nentukan Undang-Undang tersebut berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.17

Hal-hal penting yang diatur da-lam Perma Nomor 4 Tahun 2015 yakni:1. Pihak pemohon adalah badan

dan/atau pejabat pemerintahan yang kepentingannya merasa di-rugikan oleh hasil pengawasan APIP.

2. PTUN baru berwenang mener-ima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak adanya penyalahgunaan wewenang sebelum adanya

17 H. Yulius, Op. Cit. hlm. 24

Edisi 7, Tahun VII74

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

proses pidana dan setelah ada-nya hasil pengawasan APIP.

3. Syarat-syarat formal yang harus ada dalam permohonan pemo-hon

4. Prosedur beracara permohonan.5. Jadwal sidang yang pasti.6. Putusan PTUN hanya menyata-

kan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang.18

Mendasarkan pada ketentuan diatas, maka dalam rangka meng-hindari silang pendapat terkait penyalahgunaan wewenang yang termasuk dalam ranah administrasi atau ranah pidana, maka dapat dipe-domani ketentuan Pasal 2 Perma Nomor 4 Tahun 2015, yang men-yatakan bahwa:- Pengadilan berwenang mener-

ima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan we-wenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerin-tahan sebelum adanya proses pidana.

- Pengadilan baru berwenang me-nerima, memeriksa dan memu-tus penilaian permohonan

18 Ibid

tersebut setelah adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah.

IV. Penyelesaian Sengketa Admi-nistrasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa di dalam penye-lenggaraan pemerintahan seringkali terdapat adanya oknum pejabat pe-merintahan yang menyalahgunakan kewenangannya. Terkait dengan hal tersebut, maka UU Administrasi Pe-merintahan telah mengatur meka-nisme penyelesaian terhadap pen-yalahgunaan wewenang tersebut. Dalam Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan dapat dilihat bahwa apabila terjadi suatu penyalahgu-naan wewenang, maka Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang tersebut.

Dalam hal pejabat pemerinta-han melakukan penyalahgunaan wewenang maka terhadap pejabat tersebut dikenakan sanksi admin-istratif berat, yang dapat berupa:

Edisi 7, Tahun VII 75

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;

b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;

c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipub-likasikan di media massa; atau

d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuan-gan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. Apabila penyalahgunaan we-

wenang tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka penjatuhan sanksi administrasi tersebut tidak menghilangkan ke-wajiban pejabat yang bersangkutan untuk mengganti kerugian negara tersebut. Begitu pula halnya apa-bila keputusan atau tindakan yang dibatalkan oleh pengadilan menim-bulkan kerugian, maka pejabat yang bersangkutan wajib membayar ganti kerugian tersebut.

Terkait dengan mekanisme pengembalian kerugian negara, maka dapat merujuk pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbenda-haraan Negara yang lebih dikenal sebagai Tuntutan Ganti Rugi (TGR).

Adapun mekanisme TGR, dapat diuraikan sebagai berikut:a. Kepala Kantor atau Kepala Satu-

an Kerja sebagai atasan langsung satuan kerja wajib melaporkan Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota dan diberitahukan kepada Badan Pe-meriksa Keuangan, paling lama 7 (tujuh) hari setelah diketahui adanya kerugian negara yang terjadi di satuan kerjanya.

b. Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada ben-dahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajib-annya, segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa keru-gian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia meng-ganti kerugian negara dimaksud.

c. Apabila surat keterangan tanggu-ng jawab mutlak tidak mungkin

Edisi 7, Tahun VII76

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

diperoleh atau tidak dapat men-jamin pengembalian kerugian negara Menteri/ Pimpinan Lem-baga/ Gubernur/ Bupati/ Wa-likota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian keru-gian sementara kepada yang bersangkutan.

d. Pengenaan ganti kerugian nega-ra/ daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemer-iksa Keuangan, sedangkan pen-genaan ganti kerugian negara/ daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh Menteri/ Pimpinan Lemba-ga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota.

V. PenutupBerdasarkan uraian tersebut

diatas maka dapat disimpulkan se-bagai berikut :1. Penggunaan kekuasaan atau

kewenangan pejabat pemerin-tahan dalam penyelenggaraan negara harus tetap memperha-tikan Asas-Asas Umum Pemerin-tahan yang Baik (AUPB) dan ter-hindar dari tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan

wewenang dan/atau bertindak sewenang-wenang.

2. Dalam menilai apakah suatu diskresi atau kebijakan pejabat publik merupakan domain tindak pidana korupsi, maka harus dic-ermati ada atau tidaknya unsur perbuatan pidana (actus reus) se-bagai physical element dan unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea) sebagai mental element da-lam bentuk kesengajaan (opzet) untuk melakukan tindak pidana.

3. Apabila pejabat pemerintahan menyalahgunakan wewenang maka pejabat tersebut dikena-kan sanksi administratif be-rat, dimana hal tersebut tidak menghapuskan kewajiban dari pejabat tersebut untuk meng-ganti kerugian keuangan negara ataupun kerugian lainnya yang timbul akibat keputusan ataupun tindakan dimaksud.

Demikian makalah ini dibuat, dengan harapan dapat bermanfaat bagi kita semua, sebagai langkah untuk menciptakan tata kelola pe-merintahan yang baik, bersih, dan mengabdi kepada masyarakat.

Edisi 7, Tahun VII 77

Prosedur Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa AdministrasiDr. Arminsyah, SH.,M.Si.

Daftar Pustaka

A. Buku

Andhi Nirwanto. Asas Kekhususan Sistematis Bersyarat Dalam Hu-kum Pidana Administrasi dan Tin-dak Pidana Korupsi. PT Alumni, Bandung, 2015.

Asep N. Mulyana. Dimensi Koruptif Kebijakan (Pejabat) Publik: Perg-eseran Paradigma Penegakan Hukum Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Med-an: Madju, 2016.

Bagir Manan. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.

___________. Teori dan Politik Kon-stitusi. Yogyakarta: Fakultas Hu-kum-UII Press, 2004

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tan-pa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pi-dana Tanpa Kesalahan, Prenada Kencana, Jakarta, 2006.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia

dan Penerapannya. Storia Grafi-ka, Jakarta, 2002.

Indriyanto Seno Adjie, Korupsi dan Permasalahannya, Jakarta: Daidit Media Press, 2012.

Philipus M. Hadjon, dkk. Hukum Ad-ministrasi dan Tindak Pidana Ko-rupsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Spicker, Paul. Poverty and the Wel-fare State: Dispelling the Myths. London: Catalyst Trust, 2002.

Zastrow, Charles H. Introduction to Social Work and Social Welfare. Pacific Grove: Brooks/Cole, 2000.

B. Sumber Lainnya

Edi Suharto, Peta Dan Dinamika Wel-fare State Di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia?”. Makalah disampaikan pada Sem-inar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan

Edisi 7, Tahun VII78

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia.

H. Yulius. Menyelisik Makna Peny-alahgunaan Wewenang Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Ditinjau Dari Op-tik Hermeneutika Hukum. Varia Peradilan, No.360, November 2015.

Inclaw. Actus Reus Mens Rea. https:// inc law.wordpress.com/2011/04/02/actus-reus-mens-rea/.

Tatiek Sri Jamiati. Prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia. Surabaya: Disertasi, Universitas Airlangga, 2004.

****

Edisi 7, Tahun VII 79

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

Praktik Reformasi BirokrasiOleh: Komarudin

Deputi Tata Laksana, Deputi Program PAN, dan Sahli Menpan Bidang Sistem Manajemen, 2001-2008.

Abstrak

Reformasi Birokrasi sudah dilaksanakan di lingkungan Ke-menterian/Lembaga/Pemerintah Daerah, meliputi aspek-aspek kelem-bagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia aparatur, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik. Terobosan ini diharapkan cepat mengubah pola pikir-sikap-tindak-ucap (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) aparat negara. Etika Penyelenggara Negara diharapkan menjadi rambu-rambu bagi setiap aparat negara untuk membangun Etika Kehidupan Berbangsa. Pelayanan publik sebagai ujung reformasi birokrasi ditandai terciptanya pelayanan publik prima dan bermuncu-lannya praktik-praktik terbaik inovasi pelayanan publik di lingkungan kementerian/lembaga/pemerintah daerah.

1. PendahuluanReformasi Birokrasi muncul

tahun 1998 dan mulai dibahas secara intensif pada tahun 2001-2005. Landasan hukumnya adalah UU 17/2007 tentang Rencana Pem-bangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, Bab IV.1.2.E.1.35, tentang Arah, Tahapan, dan Priori-tas Pembangunan Jangka Panjang

yang menegaskan, “pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkat-kan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemer-intahan yang baik, di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bi-dang-bidang lainnya.”

Edisi 7, Tahun VII80

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Selanjutnya Peraturan Pre-siden Nomor 81 Tahun 2010 me-netapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan ditindak-lanjuti dengan Peraturan Menteri Pndayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PANRB tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Men PANRB menindaklanjuti dengan menetap-kan 9 (Sembilan) Permen PANRB dan peraturan terkait lainnya.

Tap MPR RI Nomor VI/MPR/RI/2001 mengamanatkan kepada Presiden RI agar membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan teladan masyarakat.

Reformasi Birokrasi adalah perubahan signifikan pola pikir, pola sikap, pola tindak, pola ucap, dan budaya kerja; mind-set dan cul-ture-set) elemen-elemen birokrasi, yaitu kelembagaan, ketatalaksan-aan, sumber daya manusia apara-tur, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik. Pada tahun 2012, dilaksanakan terobosan Sembilan Program Percepatan Reformasi

Birokrasi, yaitu penataan struktur birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, sistem seleksi CPNS dan promosi PNS secara terbuka, profesionalisasi PNS, peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-government), efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS, peningkatan pelayanan publik, dan peningka-tan transparansi dan akuntabilitas aparatur.

Pelayanan Publik merupakan ujung dari pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi yang ditandai dengan pelayanan publik prima, merupakan salah satu dari 8 (delapan) area perubahan refor-masi birokrasi, yaitu organisasi, tata laksana, peraturan perundang-un-dangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) aparatur. Pelaksanaan pelayanan publik mengacu pada UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, dan Permen PANRB yang mengatur pelaksanaan pelayanan publik, serta

Edisi 7, Tahun VII 81

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

peraturan perundang-undangan ter-kait lainnya.

2. Pelaksanaan Reformasi Birokra-si Kelembagaan

Jumlah Kementerian tidak perlu memilih batas maksimum 34 (UU 39/2008 tentang Kementerian Nega-ra, Pasal 15, paling banyak 34, tetapi cukup 17). Swiss memiliki kurang dari 10 Kementerian, tetapi berprestasi dalam pengembangan ukmk/umkm kelas dunia. Kemen PANRB berhas-il mengurangi 3 jabatan eselon 1 (Kedeputian). Staf Ahli sebaiknya dibatasi maksimal 3 orang, karena sudah tersedia cukup banyak staf khusus setingkat pejabat eselon 1. Lahirnya lembaga baru dibatasi ha-nya untuk lembaga yang dianggap sangat penting. Penataan Lembaga Non Struktural (LNS) yang jumlahnya mencapai 100 dengan cara mem-bubarkan atau menggabungkan lem-baga, sudah/sedang dilakukan, tetapi hasilnya kurang menggembirakan. Penataan organisasi mengedepan-kan perampingan, kompetensi, dan strategi pembelajaran yang mudah beradaptasi terhadap perubahan.

KetatalaksanaanKetatalaksanaan adalah berba-

gai pengaturan yang terkait dengan mekanisme, sistem, prosedur, SOP, dan sistem manajemen, penghema-tan (kendaraan, bahan bakar, tele-pon, air bersih, listrik, AC, gas, penye-lenggaraan rapat, dan penggunaan ruang rapat di kantor), pengaturan tata naskah dinas (manual dan elek-tronik), dan kehumasan pemerintah. Sepanjang terdapat fasilitas, sarana dan prasarana ruang rapat (ruang diklat misalnya), dihindari penyeleng-garaan rapat di hotel. Administrasi perkantoran menerapkan teknologi informasi (e-government) sehingga berjalan cepat, tepat, dan akurat.

Pemimpin memberi contoh tindakan dan perbuatan yang bisa dijadikan contoh dan teladan bawah-an, antara lain hadir pada kegiatan upacara dan kegiatan olah raga. Ke-giatan olah raga pada hari Jum’at seharusnya dilaksanakan sejak pagi hari sehingga tidak mengganggu jam kerja. Setiap Kementerian/Lemba-ga/Pemerintah Daerah (K/L/Pemda) diharapkan mengurangi/tidak me-laksanakan kegiatan yang sifatnya seremonial. Kegiatan pelantikan

Edisi 7, Tahun VII82

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pejabat dan sejenisnya dilaksanakan menggunakan prinsip penghematan, efisiensi, dan efektivitas. Koordinasi dan sinkronisasi dengan LAN dan Kemendagri perlu ditingkatkan, dan diupayakan terobosan berbagai ke-bijakan.

Sumber Daya Manusia AparaturAcuan utama SDM Aparatur

adalah UU 5/2014 tentang ASN, PP yang diamanatkan sebagai perintah undang-undang ini, dan pengaturan terkait lainnya. Hal-hal yang diatur dalam UU 5/2014 tentang ASN, an-tara lain ASN, pegawai ASN, PNS, PPPK (Pegawai Pemerintah den-gan Perjanjian Kerja), manajemen ASN, sistem informasi ASN, jabatan pimpinan tinggi, pejabat pimpinan tinggi, jabatan administrasi, pejabat administrasi, jabatan fungsional, pejabat fungsional, pejabat yang berwenang, pejabat pembina kepeg-awaian, instansi pemerintah, instan-si pusat, instansi daerah, menteri, komisi ASN, LAN, BKN, dan sistem merit. Perlu dipahami asas, prinsip, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku; jenis, status, dan kedudu-kan; fungsi, tugas, dan peran; jabat-an ASN, hak dan kewajiban; syarat

kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan; kelembagaan, peran LAN, BKN, dan KASN dalam manajemen ASN.

Dalam manajemen ASN, dikenal pejabat pembina kepegawaian dan pejabat yang bewenang. Ada em-pat belas unsur Manajemen PNS, yaitu penyusunan dan penetapan kebutuhan; pengadaan; pangkat dan jabatan; pengembangan ka-rier; pola karier; promosi; mutasi; penilaian kinerja; penggajian dan tunjangan; penghargaan; disiplin; pemberhentian; jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan perlin-dungan. Karier, integritas, promosi, mutasi, penilaian kinerja, gaji dan kesejahteraan, penghargaan dan sanksi, pemberhentian, batas usia pensiun, jaminan (kesehatan, kecela-kaan kerja, kematian, dan bantuan hukum), manajemen PPPK, pengisian jabatan pimpinan tinggi dan pegawai ASN yang menjadi pejabat negara, organisasi dan sistem informasi ASN, dan penyelesaian sengketa. Menuju world class public service, harus terjadi perubahan mendasar dari improved

Edisi 7, Tahun VII 83

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

capacity of government institutions (2014); ke profesionalization of na-tional and sub-national public service (2019); dan dynamic public service (2024). Dari banyak kata-kata kunci ASN di atas, terdapat cukup banyak celah sumber kerawanan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Jiwa Korps PNS adalah rasa kes-atuan dan persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggung jawab, dedika-si disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam NKRI. Kode Etik PNS adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup se-hari-hari. Pembinaan jiwa korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah RI ber-dasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Prof. Eko Prasodjo (2008) me-negaskan bahwa reformasi birokrasi membutuhkan perubahan pola pikir (mind-set), budaya kerja (culture-set), dan etika aparatur negara, melalui internalisasi dan eksternalisasi. Koor-dinasi dengan BKN, LAN, dan Komisi

ASN (KASN) serta instansi terkait lain-nya perlu terus ditingkatkan.

Akuntabilitas AparaturAkuntabilitas kinerja aparatur

diarahkan untuk menciptakan kinerja instansi pemerintah yang berkual-itas tinggi, akuntabel, dan bebas KKN. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) harus makin efektif, sistem dan lingkungan kerja kondusif, berdasarkan peratur-an dan tertib administrasi, adanya sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu, dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instan-si Pemerintah (LAKIP) harus makin berkualitas. Proses kebijakan publik makin kuat dan pengukuran kinerja (indikator kinerja, capaian kinerja, dan evaluasi kinerja) makin berhasil dan mengikuti perubahan. Koordina-si dengan BPKP dan instansi terkait, harus terus ditingkatkan.

PengawasanPengendalian dan pengawa-

san terus ditertibkan, pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat perlu dilaksanakan kembali secara tera-tur dan berkelanjutan. Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi aparat

Edisi 7, Tahun VII84

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pengawasan, sistem informasi pen-gawasan, jumlah dan kualitas auditor profesional memadai, dan intensitas tindak lanjut pengawasan berlaku adil dan konsisten. Diharapkan agar perbuatan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan anggaran berkurang. Koordinasi dengan BPKP, Polri, Ke-jagung, dan KPK terus dimantapkan.

Pelayanan PublikKebijakan pelayanan publik

telah dilaksanakan sejak tahun 1998. Pada tahun 2004 mulai bermunculan praktik-praktik terbaik (best practic-es), antara lain Pemerintah Kabu-paten Jembrana, Pemerintah Kota Parepare dengan pelayanan SIN-TAP, Pemerintah Kabupaten Sragen dalam mengatasi kemiskinan, dan Peme rintah Kabupaten Karanganyar dalam memberikan pelayanan per-tanahan (Larasita). Perkembangan terakhir adalah adanya kebijakan ino vasi pelayanan publik dan kom-petisi inovasi pelayanan publik tahun 2014 dan tahun-tahun berikutnya. Peme rintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya meraih prestasi yang meyakinkan dalam kompetisi ini. Selama tiga tahun,

2014-2016 telah dihasilkan 3 x Top 99 serta Top 9 (2014), Top 25 (2015), dan Top 35 (2016) yang bisa dijadi-kan contoh replikasi dan pertukaran informasi dari best practices yang di-hasilkan.

Setiap instansi pemerintah didorong untuk belajar dari prak-tik-praktik terbaik dengan melaku-kan ATM (amati, tiru, dan modifikasi), pertukaran informasi, pembelajaran, dan replikasi. Replikasi inovasi pe-layanan publik melibatkan sosialisasi, diseminasi, coaching clinic, fasilitator, hasrat untuk ingin belajar dan ingin maju, dan publikasi yang memadai. Koordinasi Kemen PANRB dengan LAN, Kemendagri, Ombudsman RI, KPK, Pemda, dan instansi terkait dalam upaya memacu pelayanan publik prima dan inovasi pelayanan publik yang makin berkualitas, terus ditingkatkan dan dimantapkan.

Koordinasi Program PANUntuk menjaga keberlanjutan

program pendayagunaan aparatur negara, perlu dibangun koordinasi terarah dan terpadu Kemen PANRB dengan K/L/Pemda secara reguler terjawal dengan baik. Pertemuan ha-rus membahas program yang sudah,

Edisi 7, Tahun VII 85

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

sedang, dan akan dilaksanakan. Pe-mantauan dan evaluasi pelaksanaan program harus ditangani petugas khusus untuk selanjutnya meru-muskan program pendayagunaan aparatur negara pada masa yang akan datang.

Pertemuan pembahasan pro-gram pendayagunaan aparatur negara tingkat pusat dan daerah diusahakan melalui koordinasi dan pertemuan rutin 3 atau 6 bulanan (bukan tahunan) sesuai target, dan tidak bersifat seremonial, Pelaksa-naannya dilakukan melalui Forum Teknis PAN Daerah dan Forkom-panda. Pertemuan dilakukan ses-uai kebutuhan, paling sedikit dua hari pada sekali pertemuan Hari pertama kebijakan dan hari kedua pembahasan detail program PAN Pusat/Daerah.

Evaluasi Reformasi BirokrasiReformasi Birokrasi yang sudah

dilaksanakan oleh K/L/Pemda, harus dievaluasi terjadwal agar bisa dike-tahui keberhasilan/ketidakberhasi-lannya. Perbaikan yang dilakukan dengan cepat, akan memudahkan pekerjaan setiap elemen refor-masi birokrasi. Koordinasi dengan

Kemenkeu dan K/L/Pemda harus dilakukan terus menerus agar refor-masi birokrasi mencapai keberha-silan.

Budaya Kerja Aparatur NegaraSetiap pimpinan lembaga dan/

atau profesi wajib menegakkan eti-ka dan kode etik melalui pengem-bangan budaya kerja. Budaya kerja terdiri dari komponen struktural/kelembagaan yang meliputi budaya organisasi dan komponen substan-si yang meliputi norma-norma. Pengembangan budaya kerja dia-tur lebih lanjut dengan peraturan lembaga. Men PANRB telah mene-tapkan Permen PANRB Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pengembangan Budaya Kerja sebagai perubahan Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pengemban-gan Budaya Kerja Aparatur Negara.

Walaupun Kepmenpan 25/2002 telah diganti, 17 pasang nilai-nilai budaya kerja sebaiknya diketahui (dilaksanakan sesuai kepentingan), yaitu komitmen dan konsistensi, wewenang dan tanggung jawab, keikhlasan dan kejujuran, integri-tas dan profesionalitas, kreativitas dan kepekaan, kepemimpinan dan

Edisi 7, Tahun VII86

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

keteladanan, kebersamaan dan di-namika kelompok, ketepatan dan ke-cepatan, rasionalitas dan kecerdasan emosi, keteguhan dan ketegasan, disiplin dan keteraturan kerja, ke-beranian dan kearifan, dedikasi dan loyalitas, semangat dan motivasi, ket-ekunan dan kesabaran, keadilan dan keterbukaan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Etika Penyelenggara NegaraPerlu ditanamkan penegakan

norma etika, yatu kejujuran, ama-nah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, sosial dan budaya, politik, dengan menampilkan sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencin-tai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan keteladanan harus diwujudkan dalam perilaku para pe-mimpin baik formal maupun non-formal, mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari bu-daya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi.

Diperlukan penghayatan dan pengalaman agama yang benar, kemampuan adaptasi, ketahanan etika politik dan pemerintahan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keter-bukaan dan hak pelayanan kepada publik, pejabat harus siap mundur apabila merasa dirinya telah melang-gar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Hindari sikap, perilaku, tindakan dan ucapan penyelenggara negara yang kadang-kadang kurang etis dalam melaksanakan tugas ke-giatannya, misalnya sering terjadi penyelenggara negara membuat pernyataan tidak jujur, tidak benar, berbohong, melakukan kebohon-gan publik, tidak transparan, kurang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan tugas, tidak konsisten dalam pelaksanaan kebijakan atau hukum, cenderung mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan di atas kepentingan mas-yarakat dan negara, dan kurang adil

Edisi 7, Tahun VII 87

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

dalam pelayanan kepada masyar-akat.

Etika Penyelenggara Negara meliputi enam etika, yaitu etika so-sial budaya, etika politik dan peme-rintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang ber-keadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan. Paling sedikit ada lima etika PNS, yaitu Etika dalam berne-gara, berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama PNS.

Sesungguhnya demi meneg-akkan nilai dan norma etika telah dikeluarkan Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 yang mengamanatkan agar menyiapkan sarana dan pra-sarana, program aksi dan perun-dang-undangan bagi tumbuh dan tegaknya etika penyelenggara nega-ra. Kenyataannya, RUU tentang Etika Penyelenggara Negara/Penegakan Etika yang sudah disusun lebih dari sepuluh tahun, dihentikan oleh Presi-den RI pada tahun 2012.

3. RangkumanReformasi Birokrasi melipu-

ti kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia aparatur,

akuntabilitas, pengawasan, dan pe-layanan publik. Reformasi Birokrasi merupakan penerapan dan pengem-bangan mind-set (pola pikir, sikap, tindak, dan ucap) dan culture-set (budaya kerja), karakter, watak, jati diri, management beliefs, values, etika, dan kode etik. Reformasi Birokrasi merupakan kepatuhan terhadap prinsip/karakteristik tata pemerin-tahan yang baik (good governance), bersih dan berwibawa, pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Tap MPR RI Nomor VI/2002 mengamanatkan pemberantasan korupsi, penegakan dan kepastian hukum, dan reformasi birokrasi.

Tap MPR RI Nomor VI/MPR/RI/2001 mengamanatkan kepada Presiden RI agar membangun kultur birokrasi Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab, serta dapat menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan teladan masyarakat.

Kamus Umum Bahasa Indo-nesia mencatat bahwa reformasi adalah “perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama di suatu masyarakat atau ne-gara)”; reformis adalah orang yang

Edisi 7, Tahun VII88

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

menganjurkan adanya perbaikan di bidang politik, sosial atau agama tanpa kekerasan; birokrasi adalah (1) sistem pemerintahan yang dijalan-kan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; dan (2) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagaimana yang banyak liku-likunya); birokrat adalah penye-lenggara birokrasi; dan birokratris adalah pemerintahan yang bersifat birokrasi, cenderung lamban dan statis. Kata “radikal”, harap dibaca “signifikan.”

Aparat Negara harus terus me-nerus melakukan perubahan mind-set dan culture-set, perubahan dari penguasa menjadi pelayan, menda-hulukan peran bukan wewenang, tidak hanya berpikir output tetapi harus memikirkan outcome, terjadi perubahan kinerja, memunculkan praktik-praktik terbaik (best practices), manajemen pengetahuan (knowl-edge management), manajemen pe-rubahan (change management), dan mendorong quick wins.

Dengan reformasi birokrasi, kelembagaan ditandai ramping

struktur dan kaya/banyak fungsi, efisien dan efektif. PNS makin pro-fesional, netral dan sejahtera, mana-jemen kepegawaian makin modern, dan produktif. Mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja ketatalaksa-naan makin tertib, efisien, dan efektif. Kinerja instansi pemerintah makin berkualitas, akuntabel dan bebas KKN. Pengawasan makin terkoordi-nasi dengan baik, sistem pengenda-lian dan pengawasan makin tertib. Pelayanan publik makin berkualitas dan prima, cepat dan tepat, akurat, dan inovatif. PNS makin beretika, Etika Penyelenggara Negara terban-gun, dan PNS makin disiplin.

Budaya kerja makin produktif, inovatif, motivatif, efisien dan efek-tif. Mulailah menghindari korupsi dan menumbuhkan kejujuran dari dalam diri sendiri dan lingkungan kerja – membangun akhlak mulia/akhlakul karimah (kejujuran/siddiq, keteladanan/tabligh, terpercaya/amanah, profesional dan kreatif/fathonah, dan konsisten/istiqomah). Dengan etika penyelenggara negara, diharapkan agar sikap, tindakan, dan perilaku aparat penyelenggara nega-ra makin jujur, konsisten, profesional,

Edisi 7, Tahun VII 89

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

bermoral, dan bertanggung jawab, menjauhi kebohongan dan tindakan tidak patut, tidak santun, arogan, perbuatan tercela, mengabaikan ke-wenangan, tidak diskriminatif, tidak memihak, dan tidak mempengaruhi pembuatan keputusan.

UU 28/1999 tentang Penyeleng-garaan Negara yang bersih dan be-bas dari KKN dengan sangat jelas mengamanatkan penegakan tujuh asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. David Osborne dan Ted Gaebler (1992) menyarankan sepuluh karakteristik pembaharuan birokrasi (reinventing government), yaitu perlu dibangun pemerintah yang berorientasi pe-langgan, misi, tanggap, hasil, kom-petitif, wirausaha, desentralisasi, milik rakyat, katalis, dan berorientasi pasar. Osborne (2007) juga mengi-ngatkan agar menegakkan etika dan mind-set.

Diharapkan terjadi perubahan besar tata pemerintahan, pertaru-han dalam menjawab tantangan abad ke-21, penataan proses, pena-taan ulang birokrasi secara bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, perubahan paradigma, dan upaya

luar biasa (out of the box thinking), regulasi, dan modernisasi.

Jika reformasi birokrasi berhasil, maka akan mengurangi penyalah-gunaan, most improved bureaucracy, meningkatkan mutu pelayanan, me-lancarkan proses perumusan kebi-jakan, meningkatkan efisiensi (biaya, tenaga, dan waktu), dan menjadikan birokrasi makin antisipatif, proaktif, dan efektif. Jika gagal, akan terjadi pe-nurunan kepercayaan masyarakat, peningkatan penyalahgunaan, dan pelayanan publik tidak berkualitas. Visi reformasi birokrasi menjadi pe-merintahan kelas dunia, diupayakan melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen SDM, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, perubahan mind-set dan culture-set, mekanisme kontrol, dan penataan administrasi pemerintahan.

Tujuan reformasi birokrasi adalah membangun birokrasi pe-merintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, melayani publik, netral, se-jahtera, berdedikasi, dan memegang

Edisi 7, Tahun VII90

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

teguh nilai-nilai dasar dan kode etik. Quick wins adalah kegiatan yang ce-pat selesai dan menghasilkan output yang bermanfaat untuk pemangku kepentingan, diarahkan pada me-ningkatnya kapasitas dan akunta-bilitas kinerja birokrasi, terwujudnya pemerintahan yang bersih dan be-bas KKN, dan meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Kunci keberhasilan, ditentukan oleh komitmen nasional, pengge-rak, muatan, dan proses reformasi birokrasi (desentralisasi, serentak, bertahap, dan koordinasi). Peran pimpinan pada tiap tingkatan men-jadi kunci yang menentukan keber-hasilan reformasi birokrasi. Prinsip reformasi birokrasi meliputi outcome oriented, terukur, efisien, efektif, realistik, konsisten, sinergi, inovatif, kepatuhan, dan dimonitor.

4. Studi PustakaTata pemerintahan yang baik

sangat erat kaitannya dengan refor-masi birokrasi, penegakan hukum, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan perubahan mind-set dan culture-set agar menjadi penyeleng-garaana pemerintahan menjadi lebih

produktif, efisien, dan efektif. Pelak-sanaan otonomi daerah diharapkan mampu secara optimal memba ngun bangsa dan negara Indonesia se-cara terintegrasi, terencana, dan berkelanjutan. Pelaksanaan pemer-intahan sekarang telah bergeser dari ”pelaksana” (rowing) ke ”pengarah” (steering), menuju tata pemerintahan yang baik dan pembaharuan birokra-si dari government ke governance.

Birokrasi masa datang, harus mencegah penyimpangan dan per-buatan tercela, makin profesional, netral, sejahtera, bersih, efektif, efisien, produktif, transparan, akun-tabel, partisipatif, bermoral dan beretika, berbudaya kerja positif, berbasis pemanfaatan teknologi informasi, dan melayani masyarakat, dan berbasis kinerja. PNS masa da-tang “diharapkan” memiliki keyakinan dan percaya diri yang kuat, tidak ter-pengaruh oleh kekuatan politik yang berkuasa, menjadi abdi negara dan abdi masyarakat.

Pelayanan publik mengacu pada UU 25/2009 dan PP 96/2012 (berisi 5 substansi PP), sedangkan Perpres tentang mekanisme dan ketentuan pembayaran/pemberian ganti rugi

Edisi 7, Tahun VII 91

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

masih belum ditetapkan. Lima PP dimaksud, yaitu PP tentang Ruang Lingkup Pelayanan Publik, PP ten-tang Sistem Pelayanan Terpadu, PP tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan, PP tentang Pro-porsi Akses dan Kategori Kelompok Masyarakat dalam Pelayanan Ber-jenjang, dan PP tentang Tata Cara Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik. Beberapa peratur-an perundang-undangan yang ter-kait dengan pelayanan publik perlu dipelajari, antara lain PP 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Mini-mal (SPM), Perpres 27/2009 tentang Pelayanan Terpadu dalam bidang Penanaman Modal, Permendagri 24/2006 tentang Pedoman Penye-lenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Permendagri 6/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM, dan Permendagri 79/2007 tentang Pedoman Penyu-sunan Rencana Pencapaian SPM.

David Osborne (1992) mendo-rong pembaharuan birokrasi (rein-venting government) dan sepuluh tahun kemudian memperkenalkan The Five C’s Lever Strategy Approaches

(Lever/Strategy/Approaches) dalam membangun pemerintahan yang dipercaya. 1

1 David Osborne dan Ted Gaebler (1992) menyodorkan karakteristik pemerintahan yang efektif, yaitu: 1. Pemerintah katalitik (Catalytic - governments should “steer rather than row” and see that services are provided rather than always delivering them directly); 2. Pemerintah milik masyarakat (Communi-ty-empowering in ways that encourage local groups to solve their own problems rather than dictating bureaucratic solutions); 3. Pemerintah kompetitif (Competitive govern-ment, competitive rather than monpolistic by deregulating and privatizing those activ-ities that could be carried out by the private sector or non-governmental organizations more efficiently and effectively than public agencies); 4. Pemerintah berorientasi misi (Mission-driven rather than rule-bound, setting goals and allowing employees to find the best ways of meeting objectives); 5. Pemerintah berorientasi hasil (Results-ori-ented by funding effective outcomes rather than inputs); 6. Pemerintah berorientasi pelanggan (Customer-driven in meeting the needs of citizens rather than those of the bu-reaucracy); 7. Pemerintah berjiwa wirausaha (Enterprising in earning revenues rather than just spending tax resources); 8. Pemerintah yang tanggap/antisipatif (Anticipatory by investing in the prevention of problems rather than spending to solve problems after they occur); 9. Pemerintah yang terdesentralisasi (Decentralized - working through participation and teamwork among government agencies at different levels and with groups outside of government); dan 10. Pemerintah beror-ientasi pasar (Oriented in solving problems through market forces rather than larger government programmes). David Osborne (2007), menyodorkan pendekatan strategi 5C (Core, Consequences, Customer, Control, and

Edisi 7, Tahun VII92

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Untuk membangun birokrasi kelas dunia sesuai visi reformasi birokrasi, sebaiknya dipahami pe-mikiran Dennis A. Rondinelli dan Shabbir Cheema (2003) tentang pembaharuan birokrasi, desen-tralisasi, dan pelayanan publik. 2 Pakar United Nations Development Program, menyarankan peningka-tan pelayanan pemerintah kepada masyarakat melalui inovasi publik dan pembangunan pemerintahan abad 21. 3

Culture) - The Five C’s Lever Strategy Approach-es (Lever/Strategy/Approaches): 1. Purpose/The Core Strategy: Strategic Management, Clearing the Decks, and Uncoupling; 2. Incen-tives/The Consequences Strategy: Managed Competition, Enterprise Management, and Performance Management; 3. Accountability/The Customer Strategy: Customer Choice, Competitive Choice, and Customer Quality Assurance; 4. Power/The Control Strategy: Organizational Empowerment, Employee Em-powerment, and Community Empowerment; and 5. Culture/The Culture Strategy: Changing Habits, Touching Hearts, and Winning Minds.

2 Rondinelli and Cheema (2003), “reinventing government for the twenty-first century, strengthening the integrity, mobilizing re-sources, creating and applying knowledge, innovation, and technology, strengthening local governance capacity for participation, and government-private sector cooperation in service provision.”

3 Innovation are fundamental changes in the course of action of governments or other institutions in society that alter the status quo

Alex Brilliantes (2007) mencatat cukup banyak masalah dalam mem-berikan pelayanan publik yang baik. 4

in more than an incremental way. Innova-tions introduce new ideas or way of doing things that strongly depart from convention or than require new or unfamiliar forms of behaviour and interaction. Few innovation in government are pure invention, they are more often discoveries combining ideas that have been tried elsewhere, recast to meet new circumstances. Changes bringing about higher quality services or improvements in government agency performance are on form of innovation. Governance seeking to improve the quality of their services strengthen the capacities not only of national bureau-cracies, but of subnational regional and local administrative units as well. During the 21st century gvernments must be efficient, effective, participative, honest, transparent, professional, responsive, and collaborative if they are to achieve the goals of socially equitable economic growth and sustainable human development. Both rapid external economic and technological changes and growing internal demands from citizens for better services will make government rein-vention an imperative of good governance in the future.

4 Alex Brilliantes (2007) identified the prob-lemfacing service delivery and accessin de-veloping countries: unsatisfactory and often dysfunctional governance systemincluding rent seeking, corruption and malfeasance; lack of resources and inappropriate allocation of resources, inefficient revenue systems, and weak delivery of vital public services. Ground-work for good governance and service delivery access at local level covers policy framework for decentralization and devolution, phasing the implementation of dezentralization, no one size fits all,and development of fiscal ca-

Edisi 7, Tahun VII 93

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

Sebagai upaya solusi permasa-lahan yang telah diidentifikasi, Alex Brilliantes menyarankan:

In order to solve those problems, innovation breakthroughs are needed. These are the priority actions taken by those local leaders who really wish to build their regions through the im-provement of public service delivery for the welfare of their people. Best prac-tices is an example of success story of a number of regencies and municipal-ities in implementing decentralization especially in public service delivery. Steps that have been taken are revis-ing regulations hampering licencing process, establishing public-private partnership, sustainability, exemplary leadership, community empowerment, gender equity, and policy innovations that easily replicable in other regions.

pacities, human resources capacities, traing, and redefining role of national and local government. Bureaucratic structure which do not incorporate public service activities can be regarded as problematic. Likewise, public services process which does not con-sider effectiveness, efficiency, transparency, accountability, participation, and justice. Low salary, poor recruitment, and low competency of public service providers as well as public relations managers who do not accommodate people participation, complaints, standards, and citizens’ charter have added to the list.

Dalam penyelenggaraan pelaya-nan publik, pakar Universitas Indone-sia, Eko Prasodjo (mantan Wakil Men PANRB), menegaskan pentingnya Strategi dan Implementasi Mana-jemen Pelayanan Publik, dengan memperhatikan kultur, individual, dan organisasi. 5

Untuk membangun Pemerin-tah Indonesia menjadi Negara Be-sar, pakar Korea Myung Jae Moon menegaskan, “tata kelola pemerin-tahan yang baik dan bersih harus

5 Eko Prasodjo (2008): “Important factors of public service delivery are culture, individual, and organization-management” (culture: power culture, individual culture, service delivery culture, corruptive culture, money orientation, bribery, mismatch government and community needs, passive, depend on direction and order, unclear requirements, high cost, cost of uncertainty, and moral hazard; individual: leadership, credibility, structures, norms, values, regulation, char-acter, low competence, good work is no good, honesty and dishonesty, depend on the envi-ronment work, not implementing the human values, no professionalism, no motivation and innovation, relax, individual egoistic, and maximizing self interest; and organiza-tion and management: business process, standard operating procedure, civil service, regulation, public relations, coordination, public participation, centralized hierarchy, inefficiency and ineffectiveness, low salary, inappropriate recruitment, integrity pact, citizen charter, and complaint handling).

Edisi 7, Tahun VII94

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

transparan, akuntabel, partisipatif, inovatif, dan memanfaatkan teknolo-gi informasi.” 6

Dalam upaya menciptakan pelayanan publik prima, beberapa pertanyaan harus dijawab: apa yang harus dilakukan agar pelayanan 6 Myung Jae Moon (2007), menegaskan: IN-

DONESIA GREAT! HOW Can Make Indonesia GREAT? The answer is in INDONESIA: Identify-ing Right Problems (ipoleksosbudhankamip-tek); Nationality (NKRI, Nusantara, persatuan dan kesatuan bangsa); Dreaming Future and Designing Problem-Solving Mechanism (visi-misi, kebijakan-strategi yang jelas, wujud-kan menjadi kenyataan); Organizing Resourc-es (SDM, SDA, SD buatan, darat-laut-udara, lingkungan hidup); Networking Internal and External Actors/Stakeholders or Negotiating with Enemies, No Big Lone Star (pelayanan publik, koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, dan pemanfaatan teknologi informasi/e-government); Energizing People or Energizing Public Officials and Citizens (semangat, pemberdayaan, kebangsaan/nasionalisme, patriotisme, dan kemitraan); Strengthening Institutional Capacities (pem-bentukan dan pengembangan kapasitas, pen-didikan dan pelatihan, dan pembelajaran); Introducing Alternatives and Institualizing Sustainable System/Development (metoda, analisis SWOT, dan rekomendasi); and Act-ing Now ... Not Just Talking, But Indonesian Way (NATO/no action talk only dan OMDO/omong doang). Building Indonesia GREAT .... Nation-building by founding fathers, then state building by you ... Insight, Outsight, and Foresight. In terms of public service delivery, Myung Jae Moon suggests 3Cs (competition, collaboration, and competence) and 3Ps (participation, partnership, and performance).

excellent, siapa yang harus memulai, kapan dimulai, dan bagaimana cara memulai pelayanan (Sampara, 2007). Taufiq Effendy menegaskan, apa per-syaratannya, berapa biayanya, dan kapan pelayanan publik diselesai-kan. Pelayanan publik prima harus mengedepankan SERVICE, yaitu Self Awareness and Self Esteem, Empathy and Enthusiasm, Reform, Vision and Victory, Initiative and Impressive, Care and Competence, and Empowerment and Evolution. Birokrat melayani se-lalu berusaha memberikan kemu-dahan pelayanan (syarat, prosedur, waktu, biaya, produk), pelayanan in-formasi, pengawasan internal, kep-uasan pelanggan, dan penanganan pengaduan masyarakat.

Bambang Utomo (2008) men-gutip pengertian pelayanan prima se-bagai berikut, (a) excellent service (pe-layanan yang baik dan/atau terbaik) sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh in-stansi yang memberikan pelayanan sehingga mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan); dan (b) kepedulian kepada pelanggan den-gan memberikan layanan terbaik untuk memfasilitasi kemudahan

Edisi 7, Tahun VII 95

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

pemenuhan kebutuhan dan mewu-judkan kepuasan agar mereka selalu loyal kepada organisasi/perusahaan (mencakup kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, dan tanggung jawab). Excellent service dimaksud, didukung oleh birokrat melayani yang memiliki sifat mera-sa lebih baik (feeling better), menjadi lebih baik (getting better), dan tetap dalam keadaan lebih baik (staying better). Tujuh nilai utama excellent ser-vice perlu ditegakkan, yaitu „charity, competency, commitment, consistency, care, continuous, and communication.“

Penyelenggaraan pemerintah an harus bersih dan bebas KKN (ke-pastian hukum, tertib penyeleng-garaan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas), diterapkan pada penyelenggaraan pelayanan publik. Prinsip pelayanan dijadikan acuan dalam menciptakan pelayanan publik prima. Standar pe-layanan publik harus dibuat oleh penyelenggara bersama masyarakat pengguna layanan, sampai pada kes-epakatan penetapan dan dituangkan dalam maklumat pelayanan. Biaya/tarif pelayanan harus jelas, dibuat

dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan daya beli masya-rakat, nilai/harga barang dan jasa yang berlaku, rincian biaya yang jelas dan transparan, dan prosedur sesuai peraturan perundang-undangan.

Sistem informasi pelayanan pub-lik harus dibangun, sekurang-kurang-nya memuat jenis pelayanan, per-syaratan dan prosedur, standar pelayanan, maklumat pelayanan, mekanisme pemantauan kinerja, penanganan keluhan dan pengad-uan, pembiayaan, penyajian data dan informasi, dokumentasi dan kear-sipan. Aparat pelaksana pelayanan harus responsif terhadap berbagai hal yang menyangkut pelayanan pub-lik, memahami dan mengerti keingi-nan dan harapan pelanggan, penuh perhatian, menampung berbagai masukan, menindaklanjuti dengan cepat keluhan dan pengaduan, men-ingkatkan dan mendorong partisi-pasi dan peran serta masyarakat, dan memberikan penghargaan atas prestasi kinerja. Sistem informasi pelayanan publik merupakan bagian dari sistem manajemen pelayanan publik.

Edisi 7, Tahun VII96

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Aparat pelaksana pelayanan publik harus profesional, inovatif, meng gunakan sarana dan prasarana dengan baik, melayani cepat, tepat, akurat, murah, ramah, berkomu-nikasi dengan baik, memiliki penge-tahuan dan keterampilan mema-dai, mencermati berbagai produk layanan, meningkatkan kepuasan pelanggan, dan berkomitmen pada visi, misi, tujuan dan sasaran organi-sasi. Pelayanan publik prima harus ditunjukkan dengan adanya komu-nikasi dua arah, pemerintahan yang bersih, efektif, efisian dan produktif, kehidupan kemasyarakatan yang harmonis, dan pelayanan publik berorientasi kepentingan pelanggan.

Untuk itu diperlukan kepemim-pinan pelayanan publik dengan un-sur-unsur keadilan, pemerataan, melindungi masyarakat, menegakkan persatuan dan kesatuan, meningkat-kan kualitas, mewujudkan pelayanan berkualitas, mengembangkana kualitas SDM, melestarikan nilai-nilai sosial budaya, berkomunikasi dua arah, memperlakukan aparat pelaksana dengan baik, mematu-hi dan melaksanakan standar pe-layanan, dan meningkatkan kinerja pelayanan. Birokrasi dibangun dan

diarahkan menjadi birokrasi yang melayani dengan mengedepankan pelayanan prima.

Kebijakan pelayanan publik difokuskan pada enam area, yaitu peletakan arah kebijakan, penye-baran praktik-praktik terbaik (best practices, innovation berakthrough, out of the box thinking), penerapan standar pelayanan publik menuju standar internasional, pemberian penghargaan peningkatan kinerja, deregulasi dan debirokratisasi pe-layanan investasi, dan peningkatan partisipasi/peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Taufiq Effendy, 2008).

Inovasi pelayanan publik adalah terobosan jenis pelayanan publik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifika-si yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Gerakan “Satu In-stansi, Satu Inovasi” salah satunya diisi dengan Kompetisi Inovasi Pe-layanan Publik (KIPP). KIPP bertujuan melakukan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi antarinstansi pe-merintah. Di lingkungan pemerin-tah daerah, dikenal inovasi daerah yang memenuhi prinsip peningkatan

Edisi 7, Tahun VII 97

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

efisiensi, perbaikan efektivitas, per-baikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, berorientasi ke-pada kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, dan dapat diper-tanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepenntingan diri sendiri.

Inovasi pelayanan publik dapat dijadikan sarana untuk mendorong percepatan peningkatan kualitas pe-layanan dalam rangka mendukung gerakan reformasi birokrasi. Dalam memacu inovasi pelayanan publik, Imanuddin (2008) menegaskan per-lunya penciptaan, pengembangan, dan pelembagaan inovasi pelayanan publik, dengan melihat aspek-aspek pendorong dan penghambat serta internal dan eksternal organisasi, dan forum inovasi pelayanan publik pada K/L/Pemda. Pada skala interna-sional, inovasi pelayanan publik dan kompetisi inovasi pelayanan publik, dikaitkan dengan United Nation Public Service Award (UNPSA).

5. PenutupReformasi birokrasi dan pe-

layanan publik sudah menjadi komitmen pemerintah yang di-tuangkan dalam dokumen RPJPN

2005-2025, RPJMN 2010-2014, dan pem bangunan tahunan. Perpres 81/2010 tentang GDRB 2010-2025, Permen PANRB 20/2010 tentang RMRB 2010-2014, dan banyak Per-men PANRB sebagai pedoman tindak lanjut pelaksanaannya, menunjuk-kan besarnya perhatian pemerintah terhadap reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Selain memahami peraturan perundang-undangan di atas, perlu dicermati keterkaitan beberapa Undang-Undang, antara lain UU 39/2008 tentang Kemente-rian Negara, UU tentang ASN, UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Desa, UU tentang Pelayanan Publik, dan UU tentang Administrasi Pemerintahan.

Tujuan reformasi birokrasi adalah membangun birokrasi pe-merintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, melayani publik, netral, se-jahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik. Prinsip reformasi birokrasi meliputi outcome oriented, terukur, efisien, efektif, realistik, konsisten, sinergi, inovatif, kepatuhan, dan dimonitor.

Edisi 7, Tahun VII98

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Setiap aparat negara wajib mempelajari Undang-Undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik, mulai dari pemahaman tentang pe-layanan publik, penyelenggara, or-ganisasi penyelenggara, pelaksana, standar dan maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik, mediasi, ajudikasi, dan ombudsman. Selanjutnya berusaha memahami maksud, tujuan, ruang lingkup, hak, kewajiban, larangan, penyelengga-raan pelayanan, peran serta ma-syarakat, penyelesaian pengaduan masyarakat, dan sanksi. Bersamaan dengan itu, perlu dipelajari peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan lain yang terkait dengan pelayanan publik.

Pelayanan publik prima dihara-pkan merupakan ujung reformasi

birokrasi dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. K/L/Pemda yang belum berhasil meraih prestasi da-lam melakukan inovasi pelayanan publik, dapat menempuh salah satu cara, yaitu ATM (amati, tiru, dan modifikasi), melakukan proses pembelajaran dari best practices dan replikasi keberhasilan inovasi pe-layanan publik. Reformasi birokrasi dan pelayanan publik merupakan proses yang panjang, tidak dapat di-ciptakan dalam waktu singkat, karena membutuhkan perubahan mind-set dan culture-set seluruh penyeleng-gara negara, komitmen pimpinan, keseriusan, dan kesadaran yang ting-gi untuk menata kembali birokrasi dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Edisi 7, Tahun VII 99

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

Referensi

1. Dennis A. Rondinelli dan G. Shabbir Cheema, „Reinventing Government for the Twenty-First Century: State Capacity in a Globalizing Society,“ Kumarian Press Inc., New York, 2003.

2. Imanuddin, M., „Inovasi Pe-layanan Publik di Indonesia“, Disertasi, Program Doktor Ad-ministrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univer-sitas Diponegoro, Semarang, 2015.

3. Komarudin, „Decentralization: Improving Public Services in Indonesia“, International Confer-ence on „Decentralization and its Discontents: Recalibrating Public Service Delivery in Asia,“ The Hong Kong Institute of Educa-tion, Centre for Governance and Citizenship, Hongkong, 17-18 November 2011.

4. Komarudin, “Kompetisi Ino-vasi Pelayanan Publik Tahun 2014, Tahun 2015, dan Tahun 2016”, Jurnal Pendayagunaan

Aparatur Negara, Edisi VI Ta-hun VI/2016.

5. Komarudin, “Menelusuri Un-dang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Pub-lik”, Jurnal Negarawan, Kemen-terian Sekretariat Negara RI, Nomor 27/2013.

6. Komarudin, “Reformasi Birokrasi Aparatur Negara,” Jur-nal Negarawan, Kementerian Sekretariat Negara RI, Nomor 23/2012.

7. Komarudin, “Reformasi Birokra-si dan Pelayanan Publik”, Pe-nerbit Genesindo, Bandung, April 2014.

8. Komarudin, “Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik Prima”, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Ne-gara dan Reformasi Birokrasi, Nomor 1/2011.

Edisi 7, Tahun VII100

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

9. Myung Jae Moon, ”Building Great State Through Public Innovation, Performance Man-agement, and E-Government.” Seminar Sehari Pembangunan Korea-Indonesia, Bappenas, 16 Juli 2008.

10. Osborne, David dan Ted Gae-bler, “Reinventing Government: how the enterpreneurial spirit is transforming the public sector”, 1992.

11. Osborne, David, “Reinventing Government: What A Difference Strategy Makes?, The 7th Global Forum on Reinventing Govern-ment, Building Trust Govern-ment,” Wina, 26-29 Juni 2007.

12. Prasodjo, E., “Strategi dan Implementasi Manajemen Pelayanan Publik”, Diklat Pe-layanan Publik Kemenpan, 26 Februari 2007.

13. Prasodjo, E., Teguh Kurniawan, dan Azwar Hasan, “Reformasi Birokrasi Dalam Praktek”: Kasus di Kabupaten Jembrana,” Pusat

Kajian Pembangunan Adminis-trasi Daerah dan Kota, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Oktober 2004.

14. Sampara, L., „Konsep dan Strategi Pelayanan Prima“, Ke-menterian Dalam Negeri, Diklat Good Governance dan Pelaya-nan Publik, Kementerian PAN, Jakarta, 26 Februari 2008.

15. Shabbir Cheema, „Towards Effective Local Governance“, Regional Forum on Reinventing Government in Asia: Towards Transparent and Accountable Governance, Jakarta, 14-16 No-vember 2007.

16. Taufiq Effendy, „Reformasi Bi-rokrasi: Sebagai strategi untuk menciptakan kepemerintahan yang baik dan pelayanan publik yang berkualitas dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat,“ Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam

Edisi 7, Tahun VII 101

Praktik Reformasi BirokrasiKomarudin

Ilmu Hukum, UNDIP, Sema-rang, 27 Oktober 2008.

17. United Nations, „Public Admini-stration and Democratic Gover-nance: Governments Servicing Citizens“, 7th Global Forum on Reinventing Government:

Building Trust in Government,“ Wina, Austria, 26-29 Juni 2007.

18. Yunairi R., Abdul Hakim, dan Adi Sumono, „Kumpulan Prak-tik-praktik Baik Inovasi Daerah,“ Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refrmasi Birokrasi, Agustus 2013.

***

Edisi 7, Tahun VII102

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Birokrat Melayani Prima Kepada Publik

Oleh: SuwardiKabag komunikasi publik dan pelayanan informasi, Kemen PANRB.

Abstrak

Pelayanan Publik Prima yang merupakan ujung reformasi birokrasi dilaksanakan mengacu pada UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan peraturan perundang-undangan yang diperintahkan. Kebijakan dimulai dari penyediaan pelayanan publik yang berkualitas dilanjutkan dengan inovasi pelayanan publik dan kompetisi inovasi pelayanan publik yang merupakan bagian dari gerakan “Satu Instansi, Satu Inovasi”. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah berusaha membangun pelayanan prima dengan membentuk Media Center Kreatif.

1. PendahuluanBirokrat melayani publik melalui

layanan publik prima harus mengacu pada UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik (mengandung 5 substansi, yaitu: Ruang Lingkup

Pelayanan Publik, Sistem Pelayanan Terpadu, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan, Proporsi Akses dan Kategori Kelompok Masyarakat, dan Tata Cara Pengikutsertaan Masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik), dan pengaturan tindak lanjut terkait lainnya.

Edisi 7, Tahun VII 103

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

Dalam pelayanan publik menuju pelayanan prima, Menpan Taufiq Effendy (2006) menyampaikan per-tanyaan inti yang sederhana, yaitu apa persyaratannya, berapa biaya-nya, dan kapan pelayanan publik diselesaikan. Pelayanan publik prima, excellent service, harus mengedep-ankan SERVICE, yaitu Self Awareness and Self Esteem, Empathy and Ent-husiasm, Reform, Vision and Victory, Initiative and Impressive, Care and Competence, and Empowerment and Evolution. Birokrat melayani selalu berusaha memberikan kemudahan pelayanan (syarat, prosedur, waktu, biaya, produk), pelayanan informa-si, pengawasan internal, kepuasan pelanggan, dan penanganan penga-duan masyarakat. Tujuh nilai utama excellent service perlu ditegakkan, yaitu „charity, competency, commit-ment, consistency, care, continuous, and communication.“

Kebijakan pelayanan publik pada empat tahun terakhir di-fokuskan pada inovasi pelayanan publik dan kompetisi inovasi pe-layanan publik ada tingkat nasional dan jika memenuhi syarat, diajukan pada tingkat internasional melalui

United Nation Public Service Award (UNPSA). Untuk memacu pelayanan publik pada setiap elemen reformasi birokrasi, Kemen PANRB membentuk Media Center Kreatif, yaitu layanan informasi dan pengaduan berbasis kasih sayang.

2. Membangun Birokrat Melayani Publik

Pelayanan Publik merupakan salah satu area perubahan dalam Reformasi Birokrasi Aparatur Ne-gara (UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025). Penjabarannya dit-uangkan dalam Perpres 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. Selan-jutnya Perpres 81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (GDRB 2010-2025) me-negaskan bahwa GDRB 2010-2025 menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/Pemda) dalam melakukan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. GDRB berisi tujuan, arah kebijakan, visi dan misi, prinsip, sasaran, ukuran keberhasilan, strategi pelaksanaan, dan road map reformasi birokrasi.

Edisi 7, Tahun VII104

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Menteri Pendayagunaan Apara-tur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PANRB) menindaklanjuti Per-pres 81/2010 dengan menerbitkan Permen PANRB 20/2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB 2010-2014) dan berbagai pedoman teknis lainnya meliputi delapan area perubahan reformasi birokrasi, yaitu organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur.

Pelayanan publik sebagai salah satu area perubahan diharapkan dapat menghasilkan pelayanan pri-ma sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat, untuk mendukung pen-capaian tujuan reformasi birokrasi, yaitu birokrasi pemerintah yang pro-fesional dengan krakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedika-si, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur ne-gara. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik dan men-ciptakan pelayanan publik prima,

telah ditetapkan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik yang ditindaklanjuti PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Substansi PP ini berisi 5 perintah, yaitu Ruang Lingkup Pelayanan Pub-lik, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan, Sistem Pelayanan Ter-padu, Proporsi Akses dan Kategori Kelompok Masyarakat dalam Pe-layanan Berjenjang, dan Tata Cara Pengikutsertaan Masyarakat Dalam Pelayanan Publik. Pelaksanaan per-intah pembuatan Perpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembe-rian/Pembayaran Ganti Rugi, masih dalam proses pembahasan.

Target yang ingin dicapai dalam pelayanan publik adalah meningkat-nya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat (transparan, cepat, tepat, sederhana, aman, terjangkau, dan memiliki kepastian), meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memper-oleh standardisasi pelayanan inter-nasional, dan meningkatnya indeks kepuasan masyarakat (IKM) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Paling sedikit ada tiga masalah besar pelayanan publik. Pertama, pelayanan publik belum dapat

Edisi 7, Tahun VII 105

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

mengakomodasikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Kedua, penyelenggara pelayanan pub-lik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah (ke bawah) yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ket-at. Ketiga, kebijakan, strategi, dan

upaya penyelenggaraan pelayanan publik (belum mengacu/terkait den-gan substansi UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UU Pelayanan Publik). Tiga masalah besar ini mer-upakan bagian dari banyak permasa-lahan pelayanan publik yang dapat dibaca pada Tabel 1.

Tabel 1. Substansi UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik

No Substansi Uraian 1 Pengertian Pelayanan publik, penyelenggara, atasan satuan kerja

penyelenggara, organisasi penyelenggara pelayanan publik (oganisasi penyelenggara), pelaksana pelayanan publik (pelaksana), masyarakat, standar pelayanan publik (standar pelayanan), maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik (sistem informasi), mediasi, ajudikasi, dan Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman).

2 Maksud Memberikan kepastian hukum antara masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik.

3 Tujuan Hubungan yang jelas (hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan), pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4 Asas Kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan , ketepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

5 Ruang Lingkup Pelayanan barang publik, pelayanan jasa publik, dan pelayanan administratif.

6 Pembina Pimpinan K/L, Gubernur, dan Bupati Walikota. 7 Penanggung

JawabPimpinan Kesekretariatan Negara (Koordinasi, Evaluasi, dan Pelaporan).

Edisi 7, Tahun VII106

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

No Substansi Uraian 8 Menteri Merumuskan kebijakan nasional, memfasilitasi, memantau,

dan mengevaluasi serta mengumumkan kebijakan nasional, membuat peringkat kinerja, dan memberikan penghargaan.

9 Organisasi Penyelenggara/ Penyelenggara

Sekurang-kurangnya meliputi pelaksanaan pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelayanan konsultasi.

10 Sistem Pelayanan Terpadu

Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu.

11 Evaluasi Pelaksana Pelayanan Publik

Penyelenggara berkewajiban melaksanakan evaluasi (dan peningkatan kapasitas) terhadap kinerja pelaksana di lingkungan organisasi secara berkala dan berkelanjutan.

12 Pengelolaan Pelaksana Pelayanan Publik

Penyelenggara wajib menyeleksi dan promosi pelaksana secara transparan serta memberikan penghargaan dan hukuman.

13 Hubungan Penyelenggara

a. Dapat dilakukan kerja sama antarpenyelenggara.b. Kerja sama penyelenggara dengan pihak lain harus didukung kejelasan perjanjian, informasi, dan identitas.

14 Hak dan Kewajiban Penyelenggara

a. Hak dan Kewajiban Penyelenggara.b. Kewajiban dan Larangan bagi Pelaksana.c. Hak dan Kewajiban bagi Masyarakat.

15 Penyelenggaraan Pelayanan

a. Penyusunan standar pelayanan.b. Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi: dasar hukum; persyaratan; sistem, mekanisme, dan prosedur; jangka

waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasan internal; penanganan pengaduan, saran, dan masukan; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja pelaksana.

Edisi 7, Tahun VII 107

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

No Substansi Uraian16 Maklumat

PelayananPernyataan kesanggupan penyelenggara dalam melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan.

17 Sistem Informasi Pelayanan Publik

Menteri mengelola sistem informasi yang bersifat nasional. Penyelenggara berkewajiban mengelola sistem informasi yang terdiri atas sistem informsi elektronik dan nonelektronik, sekurang-kurangnya berisi: profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja.

18 Pengelolaan sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik

Merupakan kewajiban penyelenggara dan pelaksana.

19 Pelayanan Khusus

a. Pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu.

b. Pelayanan berjenjang: transparan, akuntabel, proporsi akses, dan kategori kelompok masyarakat tertentu.

20 Biaya/Tarif Pelayanan Publik

Tanggung jawab negara dan/atau masyarakat.

21 Perilaku pelaksana dalam pelayanan

Adil, tidak diskriminatif, cermat, santun, ramah, tegas, andal, cepat, tidak mempersulit, patuh, nilai-nilai akuntabilitas dan integritas, terbuka, menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, tidak memberikan informasi yang salah, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan, sesuai dengan kepantasan, dan tidak menyimpang dari prosedur.

22 Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pengawasan internal dan pengawasan eksternal.

23 Pengelolaan Pengaduan Masyarakat

Harus disediakan sarana pengaduan dan petugas pelaksana.

24 Penilaian Kinerja Secara berkala dan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan.

Edisi 7, Tahun VII108

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

No Substansi Uraian25 Peran Serta

MasyarakatSejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan, kerja sama, pembentukan lembaga pengawasan publik, dan pengaturan tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam pelayanan publik.

26 Penyelesaian Pengaduan

a. Oleh penyelenggara atasan satuan kerja penyelenggara dan Ombudsman.

b. Oleh Ombudsman melalui mediasi dan ajudikasi serta mengacu pada Peraturan Ombudsman.

c. Oleh penyelenggara pelayanan publik: pemeriksaan, tanggapan, respons, mediasi, menjaga kerahasiaan, serta ada mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi.

d. Terhadap pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilakukan gugatan melalui PTUN, pengadilan, dan Ombudsman.

27 Ketentuan Sanksi Sanksi teguran tertulis, pembebasan dari jabatan, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun, penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, pemberhentian tidak dengan hormat, pembekuan misi dan/atau izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah, dan pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah.

28 Ketentuan Peralihan

Penyesuaian peraturan perundang-undangan pelayanan publik paling lambat dilakukan selama dua tahun sejak diundangkan tanggal 18 Juli 2009.

29 Ketentuan Penutup

PP ruang lingkup pelayanan publik, PP sistem pelayanan terpadu, PP standar pelayanan, PP proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat, dan PP tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak UU ini diundangkan.Penyelenggara harus menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan paling lambat 6 (enam) bulan setelah PP pedoman penyusunan standar pelayanan diundangkan.Perpres tentang mekanisme dan ketentuan pemberian ganti rugi harus ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak UU ini diundangkan.

Edisi 7, Tahun VII 109

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

No Substansi Uraian29 Ketentuan

PenutupKewajiban negara menanggung beban pelayanan (yang merupakan tanggung jawab negara) harus dipenuhi selambat-lambatnya dimulai tahun anggaran 2011.UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, 18 Juli 2009.

30 5 PP dan 1 Perpres

a. 5 PP tentang: Ruang Lingkup Pelayanan Publik; Sistem Pelayanan Terpadu; Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan; Proporsi Akses dan Kategori Kelompok Masyarakat; dan Tata Cara Pengikutsertaan Masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Perpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembayaran/ Pemberian Ganti Rugi.

Pelayanan publik prima har-us bias menjawab isi amanat un-dang-undang ini. Men PANRB ber-tugas a) merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, b) memfasilitasi lembaga terkait un-tuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antar penyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang ada, dan c) mela-kukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Men PANRB wajib a) mengu-mumkan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koor-dinasi, b) membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala, dan c) memberikan penghargaan kepada penyelenggara sesuai dengan pera-turan perundang-undangan. Salah

satu solusinya adalah tindak lanjut oleh Kedeputian Pelayanan Publik dan pembentukan Media Center Kreatif yang memberikan pelayanan publik prima berbasis kasih sayang.

Beberapa isu terkait dengan pelayanan publik prima, antara lain SDM pelayanan yang berkualitas, tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana yang memadai, ketentuan pelayanan prima yang memudahkan pelanggan, Standar Pelayanan Mini-mal (SPM), pelayanan terpadu satu pintu dan satu atap, transparansi dan akuntabilitas, indeks kepuasan masyarakat, partisipasi masyarakat, penilaian kinerja, maklumat pe-layanan, penanganan pengaduan masyarakat, dan penghargaan.

Edisi 7, Tahun VII110

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

3. Inovasi Pelayanan Publik dan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik

Inovasi pelayanan publik ada-lah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifika-si yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi pe-layanan publik sendiri tidak meng-haruskan penemuan baru, tetapi dapat merupakan pendekatan baru yang bersifat kontekstual dalam arti inovasi tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan praktik inovasi, tetapi dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas pada inovasi yang ada.

KIPP adalah kegiataan seleksi, penilaian, dan pemberian penghar-gaan yang diberikan kepada inova-si pelayanan publik yang dilakukan oleh K/L/Pemda Provinsi/Kabupaten/Kota. KIPP merupakan ajang tertinggi dari Pemerintah c.q. Kemen PANRB atas pengakuan praktik inovasi dari jenis atau beberapa jenis pelayanan yang dilakukan di setiap K/L/Pemda.

Tujuan dan keluaran yang di-harapkan dari pemberian penghar-gaan adalah 1) mendiseminasikan, mentransfer, dan mereplikasi praktik inovasi dan praktik baik lainnya; 2) menumbuhkan sistem pembelaja-ran dan knowledge sharing; dan 3) mendorong perbaikan pelayanan publik secara berkelanjutan. Hasil kegiatan ini adalah 1) tersedianya mekanisme yang akuntabel untuk menjaring inovasi dan praktik baik; 2) meningkatnya jumlah inovasi yang dilakukan oleh birokrasi di lingkun-gan K/L/Pemda; 3) mendorong para pembina, penyelenggara, dan pelaksana pelayanan publik untuk mempercepat upaya peningkatan pelayanan publik; 4) memberikan inspirasi baru bagi para penyeleng-gara dan pelaksana pelayanan publik untuk terus menerus meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan 5) memperbaiki persepsi dan keper-cayaan masyarakat terhadap pelak-sanaan reformasi birokrasi melalui peningkatan pelayanan publik.

Dalam makalahnya berjudul “Ino vasi Pelayanan Publik: Per-cepatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”, 06 April 2016, Dr.

Edisi 7, Tahun VII 111

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

Muhammad Imanuddin, S.H., M.Si., Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Inovasi dan Sistem Informasi Pe-layanan Publik selaku admin sinovik, membahas inovasi pelayanan pub-lik dan kompetisi inovasi pelayanan publik. Pelayanan publik yang baik dan berkualitas merupakan hak war-ga negara sekaligus kewajiban kon-stitusional negara. Oleh karenanya pemerintah wajib hukumnya menye-lenggarakan pelayanan publik yang sebaik-baiknya kepada masya rakat. Jika dicermati, masih ada kecen-derungan penyelenggara pelayanan publik melakukan pelayanan publik seadanya sehingga pelayanan prima masih sekedar harapan. Oleh kare-nanya penyelenggaraan pelayanan publik saat ini dan ke depan dalam rangka mencapai World Class Gov-ernment pada tahun 2025 (Desain Reformasi Birokrasi, 2014), bukan menjadi pekerjaan yang biasa-biasa saja (business as usual), tetapi harus menjadi pekerjaan yang luar biasa (out of the box thinking) melalui ber-bagai terobosan baru.

Inovasi pelayanan publik ideal-nya harus tumbuh dari budaya or-ganisasi, karena diharapkan akan

berkembang dan berkelanjutan mendorong percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik. Untuk per-tama kali, Kementerian PANRB “me-maksa” agar inovasi pelayanan publik tersebut terus bergulir tumbuh se-bagai budaya organisasi melalui pen-erapan kebijakan “One Agency, One Innovation”, yaitu setiap Kementeri-an/Lembaga dan Pemerintah Daerah wajib untuk menciptakan minimal 1 (satu) Inovasi Pelayanan Publik setiap tahun yang sejalan dengan kewajiban memunculkan “Quick Wins” sebagai persyaratan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Kebijakan pelayanan publik yang dilaksanakan sejak era reformasi pembangunan 1998 terus berkem-bang sesuai kebutuhan. Inovasi pe-layanan publik dan kompetiai inovasi pelayanan publik (KIPP) sejak tahun 2014 berhasil menemukan lebih dari 300 (Top 90) dan 100 (Top 25). Peraih prestasi terbaik ini menjadi best prac-tices dan sarana pembelajaran dan replikasi. Apalagi setelah dikaitkan dengan kompetisi pada tingkat inter-nasional melalui United Nation Public Service Award (UNPSA), semangat

Edisi 7, Tahun VII112

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

K/L/Pemda dalam berinovasi dan berkompetisi makin tinggi.

Inovasi pelayanan publik mes-tinya menjangkau tujuan yang lebih luas, yaitu membuat percepatan pen-ingkatan kualitas pelayanan publik. Pengembangan inovasi pelayanan publik berupa replikasi dan transfer pengetahuan serta pelembagaan inovasi pelayanan publik menjadi

tahapan penting yang perlu dilaku-kan agar inovasi pelayanan publik dapat mendorong percepatan dan berkelanjutannya peningkatan kual-itas pelayanan publik. Untuk makin mengerti inovasi pelayanan publik, dapat dilihat kata-kata kunci inova-si pada Tabel 2 (rangkuman saran peraih Top 35 Tahun 2016.

Tabel 2. Kata-kata Kunci Inovasi Pelayanan Publik

No Kata-kata kunci Inovasi Pelayanan Publik 1 Komitmen, konsistensi, kesungguhan, dan keseriusan, good will

pimpinan, kepedulian, dan keberpihakan.

2 Inisiatif original, kreatif dan inovatif, diseminasi, modifikasi dan replikasi.

3 Prosedur yang jelas (SOP), ketatalaksanaan (proses bisnis) yang sederhana, transparan dan akuntabel, fleksibilitas pelaksanaan pekerjaan, dan rencana aksi yang mudah dilaksanakan.

4 Perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara, manajemen perubahan, manajemen pengetahuan, dan manajemen modern.

5 Komprehensif, tekad kuat, semangat tinggi, partisipatif, dan yakin masa depan bangsa cerah.

6 Kemitraan, sinergi, jejaring, dan memanfaatkan teknologi informasi.

7 Pelayanan publik berkualitas dan prima, cepat, tepat, murah, mudah, dan aktual (faster, cheaper, easie, dan newer), dan pelayanan dengan hati ikhlas, senyum, sapa, dan sopan.

8 Revitalisasi, transformasi, reformasi, percepatan reformasi, menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good public governance) dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), dan tata pemerintahan kelas dunia.

9 Berpikir luar biasa (out of the box thinking) bukan biasa-biasa saja (business as usual), spirit mendorong perubahan, inovasi, terobosan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Edisi 7, Tahun VII 113

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

No Kata-kata kunci Inovasi Pelayanan Publik 10 Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplifikasi

11 Diskusi, sosialisasi, diseminasi, menggunakan fasilitator, dan asal mau pasti bisa.

12 Berbasis pemerintahan kolaboratif, berbasis komunitas, dan responsif gender.

13 Menjadi “The only one” selain “The number one”, motivasi, kreativitas, inisiatif, produk lokal dan kearifan lokal, bukan sinterklas dan karitatif.

14 Proaktif, promotif, informatif, partisipatif, efisien dan efektif, produktif, dampak positif, berkelanjutan dan mudah direplikasi, e-learning, dan penyimpangan “positif”.

15 Sarana dan prasarana, fasilitas, serta infrastruktur yang memadai.

16 Petugas front office ramah dan sopan, transparan dan akuntabel.

17 Peningkatan disiplin, online, penataan kelembagaan, penyederhanaan ketatalaksanaan, pelayanan publik prima, pengawasan efektif, dan SDM berkualitas.

Rusfi Yunairi, pakar pelayanan publik (GTZ/GIZ), menegaskan bahwa transfer inovasi (replikasi) merupa-kan agenda post awarding of cham-pion. Transfer inovasi pelayanan publik merupakan proses pembe-lajaran berstruktur, di mana satu pihak belajar dari pihak lain tentang sebuah praktik inovasi yang sudah terbukti menjadi solusi efektif terh-adap permasalahan publik. “Using approaches already tested by others may have positive advantages.” Esensi transfer adalah adaptasi/modifikasi dan menginternalisasi sebuah ino-vasi pada lingkungan baru (ATM + I, yaitu Amati, Tiru, dan Modifikasi, serta Inovasi). Proses transfer terdiri

atas, pertama, rekognisi atau peng-hargaan inovasi (data base champion inovasi). Kedua, identifikasi program transfer (mempertemukan supply dan demand, serta lingkup dan metode transfer). Ketiga, adaptasi (penyesuaian aspek transfer pada konteks lokal secara politik, ekonomi, dan organisasi). Keempat, internal-isasi (perubahan organisasi, proses, dan SDM).

Tipe inovasi terdiri atas (1) insti-tusi (institutional innovation), fokus pada pembaruan institusi dan/atau pembentukan institusi baru; (2) or-ganisasi (organizational or manufac-turing innovation), fokus pada aspek manajemen organisasi publik seperti

Edisi 7, Tahun VII114

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

penerapan proses bisnis baru; (3) alih/pemindahan (delivery service pro-cess innovation), fokus pada pening-katan kualitas dalam memberikan pelayanan kepada publik; dan (4) konsepsi (conceptul or approaches innovation), fokus pada pendeka-tan baru dalam governance seperti penyusunan kebijakan partisipatif, kemitraan pemerintah dan masyar-akat, dan public engagement.

Aspek-aspek atau tipe transfer inovasi meliputi aspek teknis (techni-cal transfer), berupa transfer keahl-ian, teknologi, dan proses bisnis; informasi (informational transfer), berupa transfer dan pertukaran ide dan solusi; dan manajerial (manage-rial transfer), berupa transfer sistem, mekanisme pengambilan keputusan dan pengalokasian sumber daya (CityNet, UNDP and UNHCS, 1998).

Pihak-pihak utama dalam trans-fer inovasi terdiri atas instansi asal (instansi tempat inovasi dibangun/dikembangkan dan telah sukses diterapkan); instansi penerima (in-stansi yang melakukan adaptasi in-ovasi yang telah sukses diterapkan instansi/unit lain); dan fasilitator transfer (organisasi pihak ketiga yang

memfasilitasi proses pertukaran pengalaman antara instansi asal dan instansi penerima). Adapun kegiatan transfer inovasi meliputi field visit (studi lapangan/banding), peer to peer learning (simposium, seminar, workshop, dan gelar pelayanan pub-lik); dan technical assistance (bantuan pendampingan keahlian, coaching clinic, dan magang).

Beberapa pertanyaan kunci un-tuk memilih program transfer ino-vasi (supply side), antara lain (1) apa tipe atau kategori inovasi yang akan ditransfer?; (2) apakah inovasi dike-nal publik secara luas atau pernah mendapat penghargaan?; (3) apakah inovasi memiliki skala yang tepat un-tuk ditransfer?’; (4) apakah saat ini inovasi masih menunjukkan kinerja yang baik?; (5) apakah instansi asal memiliki komitmen untuk menjadi bagian dari program transfer inovasi; dan (6) apakah pemilihan inovasi yang akan ditransfer dilakukan den-gan cara penetapan atau terbuka? (“penetapan”, dapat menggunakan kriteria tertentu, misalnya inovasi sebagai bagian dari pelayanan dasar; inovasi dalam penerapan instrumen dan teknik reformasi birokrasi; sektor

Edisi 7, Tahun VII 115

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

dengan daya ungkit tinggi untuk me-ningkatkan performa pelayanan pub-lik; dan mendukung agenda khusus nasional; dan “terbuka”, penentuan program transfer inovasi dilakukan melalui proses fasilitasi untuk mem-pertemukan supply dan demand.

Adapun pertanyaan kunci ke-pada penerima program transfer inovasi, antara lain (1) apakah pro-gram transfer inovasi yang dipilih: (a) bernilai tinggi bagi publik dan menjadi kepedulian publik?; (b) akan mendapat dukungan secara politis dan regulasi lokal; dan (c) feasible se-cara administrasi dan pengelolaan?; dan (2) apakah penilaian terhadap kapasitas dan performa pelayanan sudah dilakukan? (minimal capaci-ty, marginal performance, moderate performance, best in class, and world class). Rusfi Yunairi mengakhiri pen-dapatnya, “Don’t re-invent the wheel”.

Kajian GIZ (Jerman) dengan Ke-mendagri merumuskan ada delapan langkah transfer inovasi pelayanan publik, yaitu persiapan (analisis ke-butuhan; pemetaan kondisi daerah dan best practices; pemetaan pe-mangku kepentingan (stakeholders) internal dan eksternal; dan jejaring

(networking) dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota contoh inovator pelayanan publik berpresta-si); dan pelaksanaan (pembentukan kelompok kerja (SK/surat tugas, pendanaan, sarana dan prasara-na); proses pembelajaran (learning process); dokumentasi proses pem-belajaran; dan pemantauan dan eval-uasi (monev). Proses pembelajaran meliputi kejelasan tujuan, sasaran, keluaran, jenis transfer, kerangka dan rencana kerja, studi banding dan magang, peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan, demonstra-si/percontohan, dan transfer inovasi pelayanan publik. Sangat penting, membangun kepedulian dan ke-percayaan masyarakat terhadap pemerintah (trust government).

Beberapa kata kunci terkait dengan replikasi inovasi pelayanan publik, antara lain transfer, amati, tiru, modifikasi, inovasi, best practices, sosialisasi, diseminasi, sustainability, leadership, tidak generik, unik/ke-unikan, leverage, informasi inovasi pelayanan publik kepada K/L/Pemda, dan BUMN, gerakan dan kampanye pelayanan publik, model replikasi, membumi, dan ada tindak lanjutnya.

Edisi 7, Tahun VII116

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

4. Media Center Kreatif, Layanan Informasi dan Pengaduan Ber-basis Kasih Sayang

Media Center Kreatif di Ke-men PANRB dibentuk untuk men-jawab tantangan penyediaan pe-layanan prima. Awalnya, media center kreatif ini mengangkat isu-isu komunikatif, responsif, edu-katif, arif, proaktif, dn integratif, berbasis teknologi dan budaya, merupakan layanan informasi dan pengaduan berbasis kasih sayang, berkembang menjadi “Media Center Kreatif, ‘ disingkat “Kreatif”. Layanan Informasi dan Pengadan Berbasis Kasih Sayang mengandung makna upaya membangun jati diri dan watak/karakter, serta revolusi mental Bangsa Indonesia (Herman Suryatman, 2016). Inovasi ini diha-rap kan menjadi Pusat Sumber Daya Reformasi Birokrasi Nasional, dan selanjutnya sebagai “corong diseminasi informasi reformasi birokrasi.”

Kesan birokrasi berbelit dan pelayanan tidak ramah, tidak bisa dihindari. Demikian juga di Kemen PANRB selama ini pelayanan lambat, data tersebar, respon pengaduan

lambat, dan pemenuhan kebutuhan data menunggu cukup lama. Dibutu-hkan “garda depan” CERDAS berupa penyedia informasi dan tindak lanjut pengaduan yang cepat, sebagai pintu gerbang informasi pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Solusinya adalah Media Center Kreatif. Media Center Kreatif merupakan inovasi Biro Hukum dan Informasi Publik (Hukip) untuk mewujudkan kuali-tas layanan pengaduan dan infor-masi Kementerian PANRB. Kreatif mengedepankan metode yang KREATIF (Komunikatif, Responsif, Proaktif, Integratif, dan Edukatif). Inovasi dibuat melalui pendekatan berbasis teknologi informasi dan budaya, serta penguatan pemangku kepentingan.

Kreatif merupakan layanan berbasis teknologi informasi dan budaya, jemput bola, terkait dengan aplikasi lainnya, LAPOR! dan e-mail HALOMENPAN, website PPID, tag-line “Datang dengan beribu masalah, Pulang dengan jutaan senyuman.” Pendekatan Kreatif adalah komu-nikatif, responsif, proaktif, integra-tif, edukatif, Sistem Informasi PAN (SIPAN), Sistem Informasi Survey

Edisi 7, Tahun VII 117

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

Kepuasan Masyarakat (SISUKMA), Sistem Informasi Ruang Rapat (SIR-ARA), Sistem Informasi Agenda Ke-giatan (SIGETA), Simulasi Computer Assisted Test (CAT) Online, dan e-mail: [email protected]. Layanan berbasis budaya adalah layanan ramah dengan prinsip 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, dan Santun), dan motto layanan “Datang dengan Beribu Persoalan, Pulang dengan Berjuta Senyuman” dan “Melayani dengan HATI, Sepenuh HATI, dengan HATI-HATI, dan tidak sesuka HATI.”

Strategi Inovasi Kreatif dilakukan melalui konsolidasi, koordinasi, dan sosialisasi. Pembentukan Tim Pokja Kreatif, rapat pemantapan rancan-gan aksi, perbaikan dan penyempur-naan, tahapan teknis, dan pemben-tukan karakter dan jati diri petugas layanan. Pengembangan Kreatif dilakukan dengan studi banding ke instansi pemerintah dan swasta/BUMN yang telah berprestasi. Sebe-lum inovasi, permohonan informasi dan pengaduan lambat direspon karena menggunakan sistem manu-al. Setelah inovasi, layanan berbasis teknologi, respon cepat, dan petugas ramah penuh kasih sayang. Sebelum

ada Kreatif, pelayanan informasi dan pengaduan di Kemen PANRB tidak pasti, sulit mendapatkan petugas pelayanan, pelayanan tidak terpusat dan tersebar di semua kedeputian, arsip kurang teratur, dan terkesan tidak membangun pelayanan pub-lik yang berkualitas. Sesudah ada Kreatif, publik mudah berhubungan melalui teknologi informasi (website dan email), layanan cepat dan ramah, berkualitas dan prima. Kreatif telah menjadi icon layanan berkualitas, layanan informasi dan pengaduan masyarakat tanpa istirahat, berbasis teknologi informasi dan budaya, dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

Keluaran nyata meliputi ruang pelayanan yang nyaman, tersedia SOP layanan informasi dan poenga-dian berbasis kasih sayang yang jelas, terbentuk berbagai aplikasi, kepua-san masyarakat meningkat, SISUKMA untuk meningkatkan kepuasan mas-yarakat, pelayanan informasi cepat, dan penanganan pengaduan tepat, terkoneksi dengan media partner (Sindonews.com, Liputan6.com dan Jpnn.com). Sekarang tersedia bahan kampanye reformasi birokrasi yang kreatif dan inovatif (album “reformasi

Edisi 7, Tahun VII118

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

birokrasi”), visualisasi animatif (video company profile Kemen PANRB) dan road map reformasi birokrasi, buku saku ASN, serta video informasi sem-bilan program percepatan reformasi birokrasi. Petugas layanan ramah (afektif), cerdas (kognitif) dan ceka-tan (motorik) dalam memberikan layanan informasi dan pengaduan. Berbagai prestasi dan penghargaan yang telah diraih seperti “10 Besar Kementerian dengan pengelolaan informasi publik terbaik,” Anugerah dari MURI, dan portal menpan.go.id paling populer untuk kategori portal instansi pemerintah. Aparatur nega-ra dan masyarakat tenang, nyaman, puas, lebih mudah dan cepat men-gakses informasi dan menyampai-kan pengaduan. Terintegrasi dan terdokumentasinya layanan infor-masi dan pengaduan. Telah terjadi perubahan paradigma layanan pub-lik, dari manual ke digital, dan dari formal, statis, dan normatif, menjadi layanan kolaboratif menjadi kunci keberhasilan inovasi ini. Kolaborasi digitalisasi dan humanisasi, kombi-nasi rasionalitas dan spiritualitas, dan memperhitungkan tingkat keba-hagiaan pihak penerima pelayanan

menjadi faktor utama peningkatan kualitas layanan publik.

Manfaat nyata Kreatif yaitu kemudahan memperoleh informa-si, respon pengaduan cepat, pintu masuk/keluar informasi Kemen PAN-RB, layanan aman dan nyaman, per-contohan bagi instansi pemerintah. Kreatif telah terbentuk sebagai pusat layanan informasi dan pengaduan yang berkualitas dan prima, men-dukung penciptaan pemerintahan berkelas dunia. Pembelajaran: citra dan reputasi positif Kemen PANRB, berbasis teknologi informasi dan budaya, pelayanan sepenuh hati, peningkatan kepercayaan publik, perubahan pola pikir dan budaya kerja. Keberlanjutan Kreatif terjamin berkat komitmen kuat pimpinan dan layanan cepat, ramah, dan sepenuh hati. Prestasi yang diraih Kreatif ada-lah peringkat 10 (2014) dan pering-kat 9 (2015) penilaian KIP. Kreatif menjadi acuan layanan informasi yang dapat direplikasi oleh instansi pemerintah lain, Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM), disesuaikan den-gan kebutuhan instansi masing-mas-ing. Dibutuhkan penguatan regulasi, pelatihan teknologi informasi, studi

Edisi 7, Tahun VII 119

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

banding DN/LN, layanan berkelan-jutan, dan mewujudkan citra dan reputasi positif Kemen PANRB.

Pada dasarnya MC KREATIF (Komunikatif, Responsif, Proaktif, Integratif, dan Edukatif). mengand-ung tiga hal. Pertama, pelayanan publik prima yang diberikan Biro Hukum dan Informasi Publik/Ke-men PANRB kepada masyarakat umum (publik) tentang kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan reformas birokrasi. Pelayanan publik prima, excellent service, harus mengedepankan SERVICE, yaitu Self Awareness and Self Esteem, Empathy and Enthusiasm, Reform, Vision and Victory, Initiative and Impressive, Care and Competence, and Empowerment and Evolution. Petugas pelayanan memiliki sifat merasa lebih baik (fee-ling better), menjadi lebih baik (getting better), dan tetap dalam keadaan le-bih baik (staying better). Tujuh nilai utama excellent service perlu ditegak-kan, yaitu „charity, competency, com-mitment, consistency, care, continuous, and communication.“

Kedua, pelayanan prima infor-masi (kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan reformasi

birokrasi) menyangkut persyaratan, prosedur, biaya jika ada, infrastruk-tur/sarana dan prasarana pelayanan, dan kepastian waktu penyelesaian pelayanan publik. Dalam mem-bangun pelayanan publik menuju pelayanan prima, Menpan Taufiq Effendy (2006) menyampaikan per-tanyaan inti yang sederhana, yaitu apa persyaratannya, berapa biay-anya, dan kapan pelayanan publik diselesaikan.

Ketiga, pelayanan prima tindak lanjut pengaduan masyarakat. Men PANRB telah menetapkan peraturan tentang tata cara dan tindak lanjut pengaduan masyarakat. Pengaturan meliputi pengertian, ruang lingkup, prinsip penanganan pengaduan masyarakat, pencatatan, pene-laahan, penyaluran, pengarsipan, pembuktian pengaduan masyara-kat (konfirmasi, klarifikasi, peneli-tian, pemeriksaan, dan pelaporan hasil penelitian/pemeriksaan), tindak lanjut dan pemantauan pengadu-an masyarakat, pemanfaatan hasil penanganan, koordinasi, peman-tauan dan evaluasi, pengendalian dan sanksi. UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa penanganan

Edisi 7, Tahun VII120

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pengaduan masyarakat, dapat dil-akukan oleh penyelenggara atasan satuan kerja penyelenggara dan Om-budsman; oleh Ombudsman melalui mediasi dan ajudikasi serta mengacu pada Peraturan Ombudsman; oleh penyelenggara pelayanan publik: pemeriksaan, tanggapan, respons, mediasi, menjaga kerahasiaan, ser-ta ada mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi; dan terhadap pelanggaran hukum dalam penye-lenggaraan pelayanan publik dapat dilakukan gugatan melalui PTUN, pengadilan, dan Ombudsman.

Birokrat melayani selalu beru-saha memberikan kemudahan pe-layanan (persyaratan, prosedur, waktu, biaya, produk, dan kepas-tian waktu penyelesaian pelayanan), pelayanan informasi, pengawasan internal, kepuasan pelanggan, trans-paransi, akuntabilitas, dan penan-ganan pengaduan masyarakat. UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan perlu dibuat sistem in-formasi pelayanan publik dan harus

disediakan saana pengaduan dan petugas pelaksana untuk mengelola pengaduan masyarakat

5. PenutupKemen PANRB telah berhasil

membentuk Media Center Kreatif sebagai unit kerja layanan informa-si dan pengaduan berbasis kasih sayang, memberikan pelayanan prima. Pemahaman petugas pe-layanan tentang UU 25/2009 ten-tang Pelayanan Publik dan PP serta peraturan tindak lanjutnya, dan reformasi birokrasi, terus ditingkat-kan. Inovasi pelayanan publik dan kompetisi inovasi pelayanan pub-lik sejak tahun 2014, telah berhasil mendorong komitmen, konsisten-si, dan keberlanjutan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah untuk membuat inovasi pelayanan publik dan mengikuti kompetisi inovasi pelayanan publik. Salah satu cara menjaga keberlanjutannya dilakukan dengan melakukan pembelajaran dan replikasi.

Edisi 7, Tahun VII 121

Birokrat Melayani Prima Kepada PublikSuwardi

Referensi

1. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Top 99,” Inovasi Pe-layanan Publik Indonesia 2016, Maret 2016.

2. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Top 35,” Inovasi Pe-layanan Publik Indonesia 2016, Agustus 2016.

3. Komarudin, “Kompetii Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2014, Tahun 2015, dan Tahun 2016”, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Edisi VI Tahun VI-2016.

4. Muhammad Imanuddin, “Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia”, Disertasi Program Doktor Admin-istrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Dipo-negoro, Semarang, 2015.

5. Muhammad Imanuddin, “Inova-si Pelayanan Publik: Percepatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”, SiNovik, 6 April 2016.

6. Taufiq Effendy, “Reformasi Birokra-si: Sebagai strategi untuk men-ciptakan kepemerintahan yang baik dan pelayanan public yang berkualitas dalam rangka mewu-judkan kesejahteraamn rakyat.” Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 27 Oktober 2008.

7. Muhammad Imanuddin, “Inova-si Pelayanan Publik: Percepatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”, SiNovik, 6 April 2016.

8 Suryatman, “Media Center Kreatif”, Top 99, Inovasi Pelayanan Publik Indonesia 2016, Kementerian Pen-dayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Maret 2016.

Edisi 7, Tahun VII122

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

9 Suwardi, “Jati Diri Bangsa Indo-nesia Menuju Bangsa Modern,” Jurnal Pendayagunaan Aparatarur Negara, Edisi VI Tahun VI/2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Maret 2016.

10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksa-naan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

***

Edisi 7, Tahun VII 123

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

Membangun Model Kinerja BirokrasiOleh: Ronald Andrea Annas, Ak

Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan I

Abstraksi

Mewujudkan pemerintahan yang berorientasi pada hasil (result oriented government) merupakan bagian dari realisasi prinsip akunta-bilitas dalam penggunaan anggaran. Karena berfokus pada hasil, maka pemilihan kegiatan/aktivitas yang paling terkait dengan pencapaian outcome menjadi hal yang kritis dan strategis. Tidak boleh ada satu rupiah pun dibelanjakan untuk membiayai kegiatan/aktivitas yang tidak memiliki dampak pada pencapaian outcome. Di Indonesia, hasil evaluasi akuntabilitas kinerja yang dilakukan Kementerian PAN RB menunjukkan bahwa sebagian besar instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah belum menetapkan sasaran yang berorientasi pada hasil/kinerja (outcome). Selain itu, instansi pemerintah juga dihadap-kan pada ketidakmampuan untuk mengurai program logic model dari setiap pilihan kegiatan/aktivitas. Akibatnya, seringkali kegiatan/aktivitas yang dilakukan tidak efektif mengawal pencapaian sasaran. Instansi Pemerintah cenderung linier dan tidak komprehensif dalam menetapkan kegiatan/aktivitas yang tepat untuk mencapai sasaran..

Tulisan ini dibuat untuk memberikan gambaran tentang model kinerja birokrasi Indonesia yang berdasarkan pada program logic model yang baik. Simpulan yang diangkat adalah, selain harus berorientasi pada outcome, instansi pemerintah juga harus menitikberatkan adanya

Edisi 7, Tahun VII124

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

initial outcome dan intermediate outcome sebagai rangkaian sekuens dalam program logic model.

A. PendahuluanMeningkatnya tuntutan mas-

yarakat atas kualitas pelayanan pub-lik mendorong Pemerintah untuk terus berupaya memperbaiki tata kelola pemerintahan. Upaya terse-but antara lain ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ne-gara yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pe-merintah. Salah satu isu pokok yang digagas pada ketiga aturan perun-dangan tersebut adalah perlunya instansi pemerintah mewujudkan akuntabilitas penggunaan angga-ran melalui penciptaan hasil/kinerja (results) yang berdampak langsung terhadap masyarakat.

Atas dasar hal itu, menunjuk-kan kinerja pemerintah kepada masyarakat adalah sebuah hal yang diperlukan. Masyarakat per-lu melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pemerintah mampu

berkinerja sesuai dengan harapan mereka. Bagi Pemerintah, menun-jukkan kinerja adalah hal yang sangat penting, sebagaimana yang disebut-kan Osborne dan Gaebler dalam Reinventing Government (1992) “if you can show results, you can win pub-lic support”, jika pemerintah dapat menunjukkan hasil, maka pemer-intah akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dukungan masyar-akat adalah hal yang sangat pent-ing, khususnya untuk menciptakan hubungan masyarakat-pemerintah yang kondusif.

B. Pemerintah yang Berorientasi Hasil

Bagi masyarakat, kinerja pe-merintah adalah hal yang penting karena merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mengelo-la uang pajak yang telah dipungut dari mereka. Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa salah satu kekhawatiran yang dimiliki oleh para pembayar pajak adalah ketika pemerintah tidak dapat menggu-nakan uang hasil pungutan pajak

Edisi 7, Tahun VII 125

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

yang dibayarkan mereka kepada negara dengan baik. Mereka kha-watir bahwa uang tersebut tidak dialokasikan untuk pembangunan berbagai kepentingan publik, namun untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah yang tidak bermanfaat.

Sebuah pemerintahan yang ber-orientasi pada hasil wajib mengeta-hui outcome apa yang seharusnya ia hasilkan serta apa ukuran/indikator yang tepat untuk mengukur keter-capaian outcome tersebut.

Namun demikian, menghasilkan kinerja bukanlah sebuah proses yang mudah bagi pemerintah. Faktanya, pemerintah dihadapkan pada kon-disi terbatasnya sumber-sumber anggaran dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat yang se-makin berkembang. Oleh karenanya, penggunaan anggaran seefektif dan seefisien mungkin harus diwujudkan oleh pemerintah. Pemerintah har-us fokus kepada hasil/kinerja dan memilih kegiatan yang hanya terkait dengan pencapaian hasil/kinerjanya, dengan menyandarkan penggunaan anggarannya pada prinsip value for money yang ditunjukkan dengan membiayai hasil (outcome) bukan

masukan (input). Prinsip tersebut hanya dapat dilaksanakan ketika in-stansi pemerintah menerapkan par-adigma baru pemerintahan, “Funding Outcome not Input.” (Osborne dan Gaebler, 1992: 159).

Di Indonesia, instansi pemerin-tah, khususnya pemerintah daerah, belum terbiasa untuk merencanakan outcome. Birokrasi gaya lama sering-kali terjebak dengan berbagai ruti-nitas kerja dan serangkaian prose-dur yang rumit dan bertele-tele. Birokrasi seakan lupa bahwa alasan keberadaannya adalah untuk men-ciptakan manfaat bagi masyarakat.

Terdapat dua kondisi yang menyebabkan instansi pemerin-tah tidak menetapkan outcome se-bagai sasarannya. Pertama, Mereka bukannya tidak mau merencanakan outcome, tapi tidak paham outcome dan output. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar instansi pemerintah di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan rendahnya kapasitas dan kompetensi aparaturnya. Hal terse-but ditunjukkan dengan miskonsep-si para birokrat atas outcome dan output. Mereka menganggap bahwa sasaran yang direncanakan dalam

Edisi 7, Tahun VII126

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

berbagai dokumen perencanannya telah berorientasi pada outcome. Padahal kenyatannya, saaran terse-but sebatas output atau produk dari pada sebuah kegiatan.

Kedua, Mereka enggan meren-canakan Outcome. Sebagian besar instansi pemerintah bukannya tidak memahami perbedaan outcome dan output. Mereka mengetahui out-come apa yang seharusnya diwujud-kan, namun tidak memilih outcome karena merasa telah nyaman berada di comfort zone dan cukup hanya den-gan mengulang kegiatan-kegiatan yang selama ini biasa dikerjakan. Mereka seakan tidak menyadari bah-wa mengulang berbagai kegiatan/aktivitas yang sama setiap tahunnya tanpa mengukur hasil (outcome) dari kegiatan/aktivitas tersebut menga-rahkan mereka pada pemborosan/inefisiensi terhadap anggaran.

Praktik tersebut masih banyak kita temui pada sebagian besar in-stansi pemerintah di Indonesia. Ke-tika para birokrat diberikan pertan-yaan tentang hasil/kinerja (outcome) apa yang seharusnya dihasilkan, se-bagian besarnya tidak mampu men-jawab. Namun ketika pertanyaannya

diubah menjadi “apa saja program, kegiatan, dan aktivitas yang dilakukan oleh instansi tempat anda bekerja?” maka sebagian besarnya mampu menjawab hal tersebut.

C. Membuat Kerangka KinerjaBerbagai literatur menyebut-

kan bahwa selain harus mampu merencanakan outcome, sebuah pemerintahan yang berorientasi pada hasil juga harus mampu memi-lih serangkaian kegiatan/aktivitas yang mendukung pencapaian out-come tersebut (SEIU, 2010); (Poister, 2003); (Osborne dan Gaebler, 1992). sebuah instansi pemerintah harus mampu memilih aktivitas mana yang paling sesuai dan berdampak langsung pada pencapaian hasil/manfaat (outcome).

Dalam praktiknya, pemilihan kegiatan/aktivitas seringkali tidak didasari pada pola berpikir logis (program logic model) yang baik1. Hal tersebut seringkali terjadi pada

1 Program logic model adalah kerangka logis pada perencanaan sebuah program/kegia-tan/aktivitas yang menunjukkan interaksi berbagai komponen yang diinginkan, serta produk/jasa (output) yang dihasilkan dalam kerangka mencapai hasil yang diinginkan (desired result) (Poister, 2003: 35).

Edisi 7, Tahun VII 127

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

dua kondisi umum. Pertama, instansi pemerintah tidak merinci program logic model yang ada sehingga ter-buru-buru mengambil simpulan hubungan antara output dan out-come, dan kedua mereka mengang-gap program logic model adalah hal yang linier.

Pada kondisi umum pertama, instansi pemerintah seringkali hanya sekedar memahami bahwa untuk menghasilkan outcome diperlukan output. Instansi pemerintah sering-kali tidak memahami bahwa proses mendapatkan outcome diperlukan serangkaian logika, sebagaimana yang dituliskan Poister “Frequently, these outcomes themselves occur in

sequence, running from initial out-comes to intermediate and longer-term outcomes.” (Poister, 2003: 36)

Berdasarkan gambar di atas ter-lihat bahwa untuk mencapai ultimate outcome (longer term outcome), ter-dapat beberapa sekuens logika ‘jika – maka’ yang mungkin akan terjadi setelah output, sebagaimana yang digambarkan dengan initial outcome dan intermediate outcome. Initial outcome dan intermediate outcome merupakan jembatan (bridge) logika yang merupakan ‘jika’ yang diperlu-kan untuk mencapai ‘maka’ dalam bentuk desired outcome.

Instansi pemerintah seringkali mensimplifikasi logika sehingga

Gambar 1. Generic Program Logic ModelSumber: Measuring Performance in Non Profit Organization,

(Theodore H. Poister; 2003)

Edisi 7, Tahun VII128

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

seolah-olah output yang mereka produksi serta merta akan menda-tangkan outcome yang mereka ing-inkan (desired outcome/longer term outcome). Akibat kondisi tersebut, instansi pemerintah seringkali tidak menetapkan initial outcome dan in-termediate outcome sebagai kondisi yang seharusnya dikawal oleh pe-jabat pada level pertengahan. Pada-hal, peran keduanya sebagai bridg-ing/channeling antara output dengan outcome akan menentukan keterca-paian outcome yang diinginkan dan

mempengaruhi efektivitas program/kegiatan/aktivitas untuk mencapai outcome yang diinginkan.

Di Amerika Serikat, pengawalan program logic model dilakukan mel-alui performance cascading. Setiap level jabatan (terdapat sekitar 7-10 level jabatan), mengawal keterca-paian setiap sekuens dari program logic model. Salah satu contohnya adalah terlihat pada unit pengendali krisis pada rumah sakit setempat sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Program Logic Model pada Unit Stabilisasi Krisis, RS Pemerintah Amerika Serikat

Edisi 7, Tahun VII 129

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

Pada kondisi umum kedua, instansi pemerintah seringkali ter-jebak pada logika yang linier bah-wa untuk mencapai ‘maka’ hanya diperlukan sebuah ‘jika’. Mereka menganggap bahwa setiap output akan menghasilkan masing-masing satu outcome. Hal tersebut seringkali membuat pilihan kegiatan/aktivitas menjadi terbatas, tidak variatif, dan itu-itu saja.

Dalam logika yang umum, san-gat sering terjadi diperlukan lebih dari satu ‘jika’ untuk menghasilkan sebuah ‘maka’ sebagaimana yang disebutkan oleh Poister, hubungan antara output-outcome tidak lini-er, namun cenderung beragam dan bervariasi. Biasanya satu outcome dihasilkan dari beberapa output. Sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Logic Model Program Penempatan Kerja pada Department of Labor, Amerika Serikat.

Edisi 7, Tahun VII130

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Pada sebuah logic model yang kompleks, bisa terdapat berlapis-la-pis intermediate outcome yang ber-hubungan melalui logika ‘jika – maka’ secara jamak untuk menghasilkan sebuah ultimate outcome. Logic model seperti ini akan menghasilkan sebuah cascading (kerangka) kinerja.

D. Contoh Kerangka Kinerja

Berikut adalah contoh mem-bangun kerangka kinerja dengan ul-timate outcome ‘Terwujudnya Akunt-abilitas Kinerja di Lingkungan Instansi Pemerintah’. Untuk memudahkan

ilustrasi, kerangka kinerja tidak disa-jikan dalam bentuk formulasi kalimat outcome tetapi hanya dalam bentuk kata kunci outcome.

Langkah Pertama: Menetapkan hasil akhir yang ingin dicapai

Dalam contoh ini hasil akhir yang ingin dicapai adalah ‘Akuntabilitas Kinerja yang Baik’

Langkah Kedua: Menetapkan hasil antara dalam bentuk immediate dan intermediate outcome

Edisi 7, Tahun VII 131

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

Untuk menghasilkan sebuah ‘maka’ berupa ‘Akuntabilitas Kinerja yang Baik’, setidaknya diperlukan 4 variabel komposit yang masing-mas-ing berfungsi sebagai ‘jika’, yaitu: (i) ‘Perencanaan Kinerja yang Baik’, (ii) ‘Pengukuran Kinerja yang Baik’. (iii) ‘Pelaporan Kinerja yang Baik’, dan (iv) Evaluasi Kinerja yang Baik’. Keempat jika tersebut merupakan intermediate outcome pertama yang selanjutnya bisa diturunkan menjadi intermediate outcome selanjutnya.

Apabila ‘Perencanaan Kinerja yang Baik’ adalah sebuah ‘maka’, diperlukan lagi beberapa variable yang berfungsi sebagai ‘jika’, yaitu: (i) Dipenuhinya dokumen-dokumen perencanaan yang dibutuhkan, (ii) Kualitas masing-masing doku-men-dokumen perencanaan, dan (iii) Integrasi dan keselarasan antar dokumen-dokumen perencanaan. Ketiga variable tersebut dilengkapi dengan variable ke empat (iv) yang menekankan pada implementasi perencanaan kinerja sebagai alat manajemen dalam mengambil keputusan. Variable pertama bisa dianggap sebagai sebuah immediate outcome menuju outcome-outcome

selanjutnya dalam bentuk variable (ii), (iii), dan (iv).

Pola yang sama berlaku pada ‘Pengukuran Kinerja yang Baik’, ‘Pelaporan Kinerja yang Baik’, dan Evaluasi Kinerja yang Baik’

Dari gambar di atas terlihat bahwa untuk menuju ultimate out-come ‘Akuntabilitas Kinerja yang Baik’ memerlukan jembatan berupa im-mediate dan intermediate outcome yang cukup kompleks. Apabila out-come tersebut langsung dihadapkan dengan output yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan berdasarkan tugas dan fungsi, maka terdapat lompatan logika yang tidak logis bahwa out-come ‘Akuntabilitas Kinerja yang Baik’ dapat diwujudkan langsung oleh output-output dari kegiatan.

Hal yang perlu diingat dalam membuat sebuah kerangka kinerja adalah keterhubungannya dengan isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi. Dengan demikian, un-tuk sebuah ultimate outcome yang sama bisa tersusun berbagai variasi kerangka kinerja dari organisasi yang berbeda karena adanya isu strategis yang berbeda pada masing-masing organisasi

Edisi 7, Tahun VII132

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Langkah Ketiga: Menetapkan indicator kinerja yang dilengka-pi dengan target untuk setiap hasil, baik hasil akhir maupun hasil antara

Untuk setiap hasil akhir maupun hasil antara yang tersusun menjadi kerangka kinerja, ditetapkan satu atau lebih indicator kinerja untuk mengukur keberhasilan/kegagalan pencapain kinerja masing-masing. Ilustrasi di atas tidak mencantumkan indicator kinerja. Namun sebagai contoh, untuk kondisi immediate outcome ‘Dipenuhinya dokumen-do-kumen perencanaan yang dibutuh-kan’, dapat digunakan indicator sep-erti ‘persentase instansi pemerintah yang menyusun RPJMD/Renstra K/L’ dan ‘persentase instansi pemerintah yang menyusun dokumen Perjanjian Kinerja’.

Untuk setiap indicator kinerja, ditetapkan target yang ingin dicapai untuk suatu periode tertentu.

Langkah Keempat: Menetapkan strategi yang harus dilakukan untuk mencapai hasil baik hasil akhir maupun hasil antara

Setelah kerangka kinerja terse-but terbentuk, bisa ditetapkan

strategi-strategi dalam bentuk ke-bijakan dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk menginter-vensi outcome-outcome yang ingin dihasilkan. Dalam ilustrasi di atas, secara kelompok besar diperlukan adanya (i) Perumusan Kebijakan Akuntabilitas Kinerja, yang dilanjut-kan dengan serangkaian (ii) Sosial-isasi, Bimbingan Teknis, Konsultasi, dan Pendampingan, (iii) Pemantauan atas kemajuan akuntabilitas kinerja, dan (iv) Evaluasi atas implementasi akuntabilitas kinerja.

Langkah Kelima: Menghubung-kan kerangka/struktur kinerja dengan struktur organisasi

Setelah kerangka/struktur kiner-ja lengkap, selanjutnya adalah mel-akukan konfirmasi dengan struktur kinerja yang ada. Masing-masing struktur kinerja pada setiap level akan mengenali bagian dari struk-tur kinerja yang menjadi tanggung jawabnya, baik secara individual maupun secara bersama-sama den-gan unit kinerja laian dalam struktur organisasi tersebut.

Adakalanya struktur organ-isasi yang sudah ada tidak cocok betul dengan struktur kinerja yang

Edisi 7, Tahun VII 133

Membangun Model Kinerja BirokrasiRonald Andrea Annas, Ak

dibuat. Hal tersebut bisa terjadi apa-bila pada saat membuat struktur organisasi kurang memperhatikan kinerja yang seharusnya diemban. Dalam keadaan seperti ini diperlukan sebuah diskresi untuk mengatasi ketidaktepatan struktur organisasi dengan struktur kinerja melalui pen-delegasian tanggung jawab kepada unit tertentu. Dalam bentuk yang lebih kongkrit, struktur kinerja yang sudah baik akan berujung pada re-strukturisasi organisasi.

Sebagai tambahan, kerangka kinerja di atas bisa dilengkapi dengan

kerangka kinerja pada aspek internal business process dan learning and growth organisasi.

Sebagai contoh, untuk meng-hasilkan sebuah ‘maka’ dalam bentuk ‘Evaluasi AKIP yang Baik’ diperlukan beberapa jika, yaitu (i) Evaluator yang Baik, dan (ii) Proses Evaluasi yang Baik.

Untuk mencapai hal tersebut, ditetapkan strategi-strategi dalam bentuk kebijakan dan kegiatan-ke-giatan antara lain (i) Capacity building para evaluator, dan (ii) Penyusunan

Edisi 7, Tahun VII134

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

SOP evaluasi untuk menjaga kualitas proses evaluasi.

D. Penutup

Masyarakat menuntut Peme-rintah untuk akuntabel terhadap kinerjanya. Menghasilkan kinerja yang berorientasi kepada outcome memerlukan cascading / kerangka kinerja dalam bentuk immediate dan intermediate outcome dalam ben-tuk yang tidak selalu linier sebagai jembatan bagi sebuah output untuk

bisa sampai kepada outcome yang diinginkan. Membuat sebuah logika bahwa untuk menghasilkan outcome cukup memerlukan output semata akan menghadirkan kerangka berfikir yang tidak logis. Dengan keberadaan immediate dan intermediate outcome sebagai bagian dari scenario menu-ju ultimate outcome akan dengan sendirinya menjadi pengawal yang secara bersama-sama menggiring output-output tersebut menuju out-come yang diharapkan.

***

Edisi 7, Tahun VII 135

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan danPengelolaan Sistem Informasi Pelayanan Publik

Abstrak

Gagasan Mall Pelayanan Publik Menteri PANRB sebenarnya terinspirasi konsep pelayanan publik yang terintegrasi semua pelayanan publik dan pelayanan bisnis dalam satu gedung dengan sebutan Public Service Hall (PSH) di ke Georgia dan Azerbaijan. PSH didirikan dengan mengintegrasikan dan mengkombinasikan unit-unit pelayanan, tersedia lebih 400 jenis pelayanan kepada masyarakat. Konsep ini merupakan Penerapan konsep OSS dengan platform teknologi unified database dalam sistem pelayanan publik. Saat ini melalui Menteri PANRB gagasan itu sedang diimplementa sikan melalui percontohan di Batam, DKI Jakarta, Surabaya dan Makassar

Mal Pelayanan Publik saat ini menjadi isu yang menarik sebagai gagasan penyempurnaan dan perbaikan pelayanan. Menteri PANRB, Asman Abnur yang menggagas perlunya Mal Pelayanan Publik. Ketika beliau ditanya mengenai gagasannya itu, apa Mal Pelayanan Publik. Beliau dengan ilustrasi

sederhana menyampaikan, bahwa apa yang anda didapatkan ketika berbelanja ke Mal. Semua keperluan anda dapatkan dan anda tidak perlu ke mana-mana lagi. Itulah yang dikonsepkan oleh Beliau, manakala kita berkunjung ke Mal Pelayanan Publik, maka semua layanan publik kita dapatkan di sana, termasuk

Edisi 7, Tahun VII136

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

hal-hal yang menjunjangnya seperti pelayanan bisnis dan bahkan hiburan dan kuliner.

Gagasan yang tampaknya se-derhana ini dilaporkan oleh Menteri PANRB kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Presiden yang saat sedang gandung dengan pelayanan yang lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih nyaman bagi masyarakat pengguna layanan, terutama bagi investor. Presiden sangat merespon positif dengan gagasan Mal Pelayanan Publik dan

bahkan Presiden memerintahkan Menteri PANRB untuk segera me-realisasikan gagasan tersebut. Hal ini tentu tidak di sia-siakan oleh Menteri PANRB untuk segera merealisikannya.

Gagasan Mal Pelayanan Publik Menteri PANRB sebenarnya terinspirasi oleh laporan Deputi Bidang Pelayanan Publik, Prof. Dr. Diah Natalisa, MBA, tatkala yang bersangkutan ditugaskan melakukan kunjungan kerja ke Georgia dan Azer baijan pada akhir tahun 2016

2

Public Service Hall di Georgia

Georgia merupakan sebuah Negara yang tidak luas sekitar 69.700 km2 dan penduduk yang hanya berkisar 3, 7 juta jiwa (2017). Negara ini lepas dari Uni Sovyet tahun 1991. Di awal kemerdekaannya dari Uni Sovyet, Georgia menemui masa-masa yang amat sulit, yaitu buruknya pelayanan publik dan korupsi meraja lela di setiap sudut Negara. Misalnya untuk mendapatkan paspor, sesuai dengan peraturan warga negara harus membayar 35 GEL atau sekitar 100 US $. Namun dalam praktek, warga negara harus mengeluarkan 3 kali lipat, yaitu 300 US $. Pengeluaran itu diperuntukan masing-masing untuk Operator 10 $, Kepala Unit 20 $, Kepala Polisi District 10 US $, Kepala Kantor dan Kantor Pusat sebanyak 60 US $.

Gambar 1 System Korupsi Paspor Imigrasi

Demikian juga dalam manajemen pelayanan yang buruk yang digambarkan dengan sistem yang korup, terbatas dalam pendanaan, kantor pelayanan yang kumuh, tidak ada komputerisasi, staf yang tidak termotivasi, dan berbelit-belitnya prosedur.

Sadar akan keterbatasan negara dari aspek sumberdaya alam, Georgia mencoba menampilkan negaranya sebagai negara yang ramah terhadap investasi dan kemudahan dalam pelayanann publik. Semuanya mereka ubah menjadi pelayanan yang menyenangkan dan bebas korupsi. Mereka membuat Public Service Hall sebuah gedung pelayanan yang terintegrasi. The main concept of Public Service Hall is to deliver public and private services in one space.

Edisi 7, Tahun VII 137

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

Gambar 2

Gedung Public Service Tbilisi

yang lalu. Dalam laporannya tersebut Deputi Bidang Pelayanan Publik menyampaikan konsep pelayanan publik yang terintegrasi semua pelayanan publik dan pelayanan bisnis dalam satu gedung dengan sebutan Public Service Hall. Dengan terintegrasinya pelayanan tersebut, masyarakat pengguna layanan sangat diuntungkan dengan pelayanan lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih nyaman. Pelayanan yang terintegrasi ini menorehkan prestasi easy of doing business Georgia dan Azerbaijan menjadi lebih baik. Dalam laporannya tersebut Deputi Bidang Pelayanan Publik menyampaikan

juga keadaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang dibentuk hampir di setiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang belum memberikan hasil yang maksimal, karena belum terpadu satu sama lain, sedangkan persyaratan suatu invetasi harus memenuhi persyaratan baik yang dilakukan Kementer ian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sekaligus.

Public Service Hall di GeorgiaGeorgia merupakan sebuah

Negara yang tidak luas sekitar 69.700 km2 dan penduduk yang hanya berkisar 3, 7 juta jiwa (2017). Negara

Edisi 7, Tahun VII138

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Gambar 3

Model Ruangan Pelayanan Public Service Hall di Tbilisi

ini lepas dari Uni Sovyet tahun 1991. Di awal kemerdekaannya dari Uni Sovyet, Georgia menemui masa-masa yang amat sulit, yaitu buruknya pelayanan publik dan korupsi meraja lela di setiap sudut Negara. Misalnya untuk mendapatkan paspor, sesuai dengan peraturan warga negara harus membayar 35 GEL atau sekitar 100 US $. Namun dalam praktek, warga negara harus mengeluarkan 3 kali lipat, yaitu 300 US $. Pengeluaran itu diperuntukan masing-masing untuk Operator 10 $, Kepala Unit 20 $, Kepala Polisi District 10 US

$, Kepala Kantor dan Kantor Pusat sebanyak 60 US $.

Demikian juga dalam mana-jemen pelayanan yang buruk yang digambarkan dengan sistem yang korup, terbatas dalam pendanaan, kantor pelayanan yang kumuh, tidak ada komputerisasi, staf yang tidak termotivasi, dan berbelit-belitnya prosedur.

Sadar akan keterbatasan negara dari aspek sumberdaya alam, Georgia mencoba menampilkan negaranya sebagai negara yang ramah terhadap investasi dan kemudahan dalam pelayanann publik. Semuanya

Edisi 7, Tahun VII 139

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

mereka ubah menjadi pelayanan yang menyenangkan dan bebas korupsi. Mereka membuat Public Service Hall sebuah gedung pela-yanan yang terintegrasi. The main concept of Public Service Hall is to deliver public and private services in one space.

Public Service Hall (PSH) di Georgia merupakan milik satuan kerja Kementerian Kehakiman Georgia. Dalam PSH tersebut terdapat beberapa pelayanan penting, khususnya terkait dengan pelayanan investasi, seperti pelayanan pada National Bureau of Enforcement yang melayani percepatan pelaksanaan putusan pengadilan, diantaranya terkait dengan enforecing contract dan resolving insolvency. Selanjutnya ada juga pelayanan pada National Agency of Public Registry yang melayani (Property registry, Business Registry,adress registry, mortage registry, Tax Lies Registry, Pledge Rregistry, Registry of Political party, Registry of Municipalities, dan Cadastral Data. Ada juga Data Exchange Agency yang melayani

Integrated process system dalam pengelolaan data.

Salah satu PSH yang berada di Tbilisi, Ibukota Georgia, melayani 400 jenis pelayanan. Semua jenis pelayanan yang berupa surat atau dokumen dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 15 menit. Dalam PSH juga dilakukan pelayanan pernikahan semua agama. Pendek kata semua pelayanan publik ada dalam satu Gedung. Kunci pelayanan yang cepat adalah adanya Data Exchange Agency yang melayani Integrated process system dalam pengelolaan data, sehingga mereka mempunyai data tunggal kependudukan yang memu-dahkan pelayanan pada semua jenis layanan.

PSH didirikan dengan mengin-tegrasikan dan mengkombinasikan unit-unit pelayanan, tersedia lebih 400 jenis pelayanan kepada masya-rakat. Konsep ini merupakan Pene-rapan konsep OSS dengan platform teknologi unified database dalam sistem pelayanan publik. Dengan konsep ini terjadi Pengurangan form isian yang berdampak pada pengurangan waktu layanan dan SDM pelaksana. PSH ini juga

Edisi 7, Tahun VII140

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

keberadaannya merata dilakukan di seluruh negeri dengan standar pelayanan yang sama, seperti di Kota Batumi, MTSKheta, Mvareli, Telavi, dan Gori

Prestasi luar biasa yang ditampilkan dengan Public Service Hall ini yang mampu mendongkrak negara dari tidak ramah dengan investasi menjadi negara yang ramah investasi. Dalam EoDB tahun 2017, Georgia tercatat ranking ke 16, sedangkan Indonesia masih di ranking ke-91.

Asan Xidmat di AzerbaijanAzerbaijan adalah negara

tetangga Georgia yang beribukota di Baku. Dengan latar belakang yang sama, dulunya pernah men-jadi bagian dari Uni Sovyet, Azer-baijan sejak merdeka tahun 1991 melakukan restorasi negerinya menjadi negara yang modern di bawah Pemimpin Haidar Aliyev. Azerbaijan boleh dikatakan mereka “belajar” dari Georgia bagaimana memberikan pelayanan terbaik bagi warga negaranya.

Untuk mengakselerasi kemajuan pelayanan publik di negaranya, maka

dalam struktur Pemerintahan di negaranya, Azerbaijan membentuk State Agency of Public Service and Social Innovation under the President Azerbaijan. Lembaga setingkat Kementerian ini menjadi motor penggerak kemajuan pelayanan publik sekaligus melakukan inovasi pelayanan publik yang berkelanjutan untuk percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik. Lem-baga seperti ini bisa menjadi model bagi Indonesia yang ingin mengembangkan inovasi pelayanan publik secara berkelanjutan sebagai upaya percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Untuk mengimple men tasi-kannya, mereka mempunyai Gedung Pelayanan Terpadu yang terintegrasi namanya “Asan Xidmat” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “pelayanan yang mudah”. Sama dengan PSH di Georgia, Asan Xidmat juga menterpadukan seluruh jenis pelayanan publik dan pelayanan bisnis dalam satu gedung.

Leason learnt yang diambil dari Asan Xidmat adanya lembaga State Agency of Public Service and Social Innovation under the President

Edisi 7, Tahun VII 141

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

Azerbaijan. sebagai motor penggerak mengembangkan 4 (empat) metoda pelayanan, yaitu direct service, Self service, e-service dan mobile service atau kombinasi dari ke-4 metoda layanan tersebut.

Direct service adalah pelayanan langsung dimana pengguna layanan datang ke tempat pelayanan untuk mendapatkan pelayanan. Pelayanan langsung tersebut biasanya dilayani oleh front office kemudian diproses di back office. Dalam waktu yang ditentukan produk layanan dise le-saikan. Hal ini banyak dilakukan di banyak PTSP di Indonesia.

Self service adalah pengguna layanan melakukan sendiri pela-yanan dengan menggunakan mesin layanan. Pengguna layanan tinggal datang ke tempat yang ditentukan dimana terdapat mesin layanan seperti mesin ATM. Pengguna layanan tinggal memencet tombol dengan kode tertentu dan dalam waktu singkat layanan selesai.

Di Indonesia hal ini sudah mulai dilakukan, seperti denda tilang atau Pembayaran STNK langsung mendapatkan STNK seperti inovasi pelayanan publik yang dikembangkan

Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur.

E-service adalah pelayanan yang berbasis elektronik dan inter net serta bisa juga melalui smart phone. E-Service ini biasa digunakan untuk pelayanan yang produk layanannya surat atau doku men. Pengguna layanan dapat mengajukan permohonan layanan dari mana saja sejauh terjangkau oleh sarana elektronik internet. Pengguna layanan tinggal meng-upload syarat-syarat yang diminta, kemudian membayar tarif dengan menggunakan e-banking. Selanjutnya kita dapat menerima produk layanan tersebut dengan cara men download dimana surat atau dokumen tersebut sudah menggunakan tanda tangan elektronik. Di Indonesia pelayanan ini sudah berkembang, seperti Pelayanan badan hukum dari kementerian Hukum dan HAM atau pelayanan perizinan pada sejumlah PTSP di Kabupaten/Kota.

Mobile service adalah pelayanan yang bergerak mendekati konsu men. Pelayanan ini biasanya menggu-nakan kendaraan tertentu dimana mendekati mayoritas konsumen

Edisi 7, Tahun VII142

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

6

berada. Kemudahan ini sudah banyak dikembangkan di Indonesia, seperti SIM Keliling, pelayanan pajak, pelayanan pertanahan dan lain-lain.

State Agency of Public Service and Social Innovation under the President Azerbaijan melakukan identifikasi terhadap Kunci sukses dari pelayanan tersebut ada 7 (tujuh) kunci yang menjadi faktor sukses seluruh metoda pelayanan tersebut. Ke-7 kunci tersebut adalah: customer orientation, IT Infrastructur, New infastructur, Simplified procerures,Human Resurces System, Branding, dan Quality Management.

Gambar 4

Pelayanan Publik harus berorintasi kepada kebutuhan pengguna layanan. Dengan orientasi demikian, kebutuhan pengguna layanan menjadi basis dan arah pelayanan yang harus dilakukan dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengguna layanan. Untuk dapat memberikan kebutuhan pengguna layanan tersebut maka berbagai sarana/prasarana harus dilakukan pembenahan, mulai dari infrastruktur teknologi, infrastruktur gedung, dan pembenahan sumberdaya manusia. Selanjutnya harus mempunyai branding dan didukung oleh standar kualitas manajemen.

Mal Pelayanan Publik di Indonesia

Gagasan pembentukan Mal Pelayanan Publik yang dilontarkan Menteri PANRB bukan sekedar mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh PSH Georgia atau Asan Xidmat

berada. Kemudahan ini sudah banyak dikembangkan di Indonesia, seperti SIM Keliling, pelayanan pajak, pelayanan pertanahan dan lain-lain.

State Agency of Public Service and Social Innovation under the President Azerbaijan melakukan identifikasi terhadap Kunci sukses dari pelayanan tersebut ada 7 (tujuh) kunci yang menjadi faktor sukses seluruh metoda pelayanan tersebut. Ke-7 kunci tersebut adalah:

customer orientation, IT Infrastructur, New infastructur , S impl i f ied procerures,Human Resurces System, Branding, dan Quality Management.

Pelayanan Publik harus bero-rintasi kepada kebutuhan pengguna layanan. Dengan orientasi demikian, kebutuhan pengguna layanan menjadi basis dan arah pelayanan yang harus dilakukan dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengguna layanan. Untuk

Edisi 7, Tahun VII 143

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

dapat memberikan kebutuhan pengguna layanan tersebut maka berbagai sarana/prasarana harus dilakukan pembenahan, mulai dari infrastruktur teknologi, infrastruktur gedung, dan pembenahan sum-berdaya manusia. Selanjutnya harus mempunyai branding dan didukung oleh standar kualitas manajemen.

Mal Pelayanan Publik di Indonesia

Gagasan pembentukan Mal Pelayanan Publik yang dilontarkan Menteri PANRB bukan sekedar mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh PSH Georgia atau Asan Xidmat Azerbaijan, tetapi juga mengupayakan pelaksanaan pelayanan kewenangan Kementerian/Lembaga di Daerah bisa disatukan dalam satu gedung. Hal ini bukan perkara mudah di tengah ego sektoral yang masih menjadi persoalan dalam birokrasi Indonesia. Keengganan untuk mau bergabung menjadi kesediaan secara suka rela memerlukan upaya dan seni dalam melakukan pendekatan, baik dari sisi Kementerian/ Lembaga maupun dengan Daerah yang menjadi ketempatan Mal Pelayanan Publik.

Gagasan ini menjadi lebih mudah apabila pembentukan Mal Pelayanan Publik merupakan revitalisasi dan perluasan fungsi PTSP yang selama ini berjalan di Daerah. Mal Pelayanan Publik dalam praktek adalah di Indonesia yang sekarang ini berjalan adalah mengintegrasikan pelayanan Kementerian/Lembaga dan pelayanan bisnis dengan PTSP di daerah dalam satu gedung. Untuk itu percontohan diterapkan di Daerah yang umumnya memiliki infrastruktur yang lebih memadai. Percontohan itu dilakukan di Batam, DKI Jakarta, Surabaya, dan Denpasar.

PTSP Kota Batam menempati lantai 2 Gedung Sumatera, demikian juga untuk pelayanan Kementerian/Lembaga yang tergabung dalam pelayanan Badan Pengelolala Batam terdapat di Gedung yang sama lantai 3. Oleh karena itu maka Mal Pelayanan Publik Batam pada dasarnya memberikan konektivitas antara kedua entitas pelayanan menjadi kesatuan pelayanan. Persoalan klasik selama ini antara Pemerintah Kota Batam dan BP Batam dalam hal pelaksanaan

Edisi 7, Tahun VII144

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

8

Menjadi pertanyaan berikutnya apakah bentuk kelembagaan Mal Pelayanan Publik. Dalam pemikiran saya bentuk Kelembagaan Mal Pelayanan Publik adalah hibridasi dari yang ada dengan menerapkan prinsip-prinsip PTSP dan PTSA. Prinsip PTSP dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan dorongan dari Kepala Daerahnya, sedangkan prinsip PTSP dilakukan oleh pelayanan Kementerian/Lembaga yang bergabung dengan satu koordinasi di bawah Pemerintah Daerah setempat.

Sebenarnya yang lebih menarik untuk Mal Pelayanan Publik ini adalah adanya perubahan dan perbaikan sistem pelayanan yang selama ini dikenal dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA). PTSP diyakini sebagai bentuk perubahan atau perbaikan dari PTSA. Mal Pelayanan Publik dipandang sebagai bentuk hibridasi antara PTSP dan PTSA serta pelayanan lintas kewenangan yang berada dalam satu gedung. Dengan demikian Mal Pelayanan Publik dapat dikatakan sebagai model baru pelayanan publik.

Berbagai hal yang perlu disempurnakan dalam Mal Pelayanan PUblik. Seperti penyatuan front office untuk pelayanan yang sejenis dan manajemen pengunjung, sehingga pelayanan menjadi nyaman dan menyenangkan. Struktur pelayanan harus dilakukan sedemikian rupa antara pelayanan mandiri, pelayanan cepat, pelayanan yang memerlukan waktu, manajemen ruang tunggu dan sebagainya yang memungkinkan aliran pengunjung berjalan dengan baik. Berikut ini struktur pelayanan yang diusulkan:

Gambar 5

Strukutur Pelayanan Mal Pelayanan Publik

kewenangan dapat direduksi dengan berdirinya Mal Pelayanan Publik.

PTSP DKI Jakarta secara terus menerus dan berkelanjutan menyem purnakan sistem pela-yanannya, bahkan meraka menu-runkannya dalam bentuk unit di tingkat kelurahan. Penyerahan kewe-nangan dari Dinas teknis kepada PTSP DKI Jakarta saat ini sudah tidak lagi menjadi persoalan. DKI Jakarta saat ini menjadi paling advance dalam persiapan Pembentukan Mal Pelayanan Publik Jakarta. Dengan menyediakan Gedung Berlantai 17 di

daerah kuningan, rencananya pada pertengahan Oktober 2017 akan diresmikan Mal Pelayanan Publik Jakarta. Beberapa Kementerian/Lembaga, seperti Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, dan BKPM menyatakan kesediannnya bergabung dalam Mal Pelayanan Publik Jakarta.

Sejak awal atas Gagasan Walikota Surabaya, Tri Risma Harini, Pelayanan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dan Pelayanan UPTSA Perizinan Surabaya, dan Dinas Penanaman Modal dan PTSP

Edisi 7, Tahun VII 145

Mal Pelayanan PublikDr. Muhammad Imanuddin

menempati Gedung Siola, sebuah pusat pertokoan di Jalan Tunjungan Surabaya. Bu Risma nampaknya tidak perlu bersusah payah dengan infrastruktur yang tersedia itu. Tinggal beberapa instansi yang akan bergabung seperti Kepolisian, Imigrasi, BPJS, PDAM, dan Perbankan mendapat tempat untuk menjadi kesatuan pelayanan dalam Mal Pelayanan Publik Surabaya.

Menjadi pertanyaan berikutnya apakah bentuk kelembagaan Mal Pelayanan Publik. Dalam pemikiran saya bentuk Kelembagaan Mal Pela yanan Publik adalah hibri dasi dari yang ada dengan menerap-kan prinsip-prinsip PTSP dan PTSA. Prinsip PTSP dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan dorongan dari Kepala Daerahnya, sedangkan prinsip PTSP dilakukan oleh pelayanan Kementerian/Lem-baga yang bergabung dengan satu koordinasi di bawah Pemerintah Daerah setempat.

Sebenarnya yang lebih menarik untuk Mal Pelayanan Publik ini adalah adanya perubahan dan perbaikan sistem pelayanan yang selama ini dikenal dengan Pelayanan Terpadu

Satu Pintu (PTSP) dan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA). PTSP diyakini sebagai bentuk perubahan atau perbaikan dari PTSA. Mal Pela-yanan Publik dipandang sebagai bentuk hibridasi antara PTSP dan PTSA serta pelayanan lintas kewenangan yang berada dalam satu gedung. Dengan demikian Mal Pelayanan Publik dapat dikatakan sebagai model baru pelayanan publik.

Berbagai hal yang perlu disem-purnakan dalam Mal Pelayanan PUblik. Seperti penyatuan front office untuk pelayanan yang sejenis dan manajemen pengunjung, sehingga pelayanan menjadi nyaman dan menyenangkan. Struktur pelayanan harus dilakukan sedemikian rupa antara pelayanan mandiri, pelayanan cepat, pelayanan yang memerlukan waktu, manajemen ruang tunggu dan sebagainya yang memungkinkan aliran pengunjung berjalan dengan baik. Berikut ini struktur pelayanan yang diusulkan pada gambar 5.

Dengan struktur demikian dan diatur oleh Customer Trafic Management akan diatur sedemikian rupa mulai dari pintu masuk dan

Edisi 7, Tahun VII146

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

jalur-jalur yang dipergunakan dalam pemberian pelayanan. Hal ini akan lebih baik lagi apabila pengaturan ini dipandu dengan menggunakan teknologi informasi.

Tantangan Indonesia ke DepanMal Pelayanan Publik menjadi

model baru pelayanan terpadu dan terintegrasi. Model PTSP yang saat ini dikatakan sebagai pelayanan terpadu yang memjudahkan peng-guna pelayanan memperoleh keba-haruan dengan adanya Mal Pela-yanan Publik.

Saat ini melalui Menteri PANRB gagasan itu sedang diimple men-tasikan melalui percon tohan di Batam, DKI Jakarta, Surabaya dan Makassar. Ada dua hal yang menjadi

tantangan. Gagasan ini harus berani untuk secara terbuka mendapat pengujian antar instansi pemerintah dengan masyarakat , terutama pakar dari perguruan tinggi, sehingga konsep ini benar-benar matang dan mendapat dukungan semua pihak.

Kedua, gagasan ini harus mendapat keabsahan secara hukum. Model seperti Mal Pelayanan Publik ini setidak-tidaknya mendapat payung hukum setingkat Peraturan Presiden sehingga menjadi pegangan dan dasar hukum bagi setiap instansi yang akan mengembangkan Mal Pelayanan Publik dan terhindarkan dari persoalan hukum serta dipero-lehnnya dukungan anggaran khu-susnya bagi Daerah.

****

Edisi 7, Tahun VII 147

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi Pemerintahan

Edys Riyanto([email protected])

Program Doktor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Abstrak

Inovasi pemerintahan dibanyak daerah sudah menunjukkan bukti keberhasilan yang secara umum berdampak terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Meskipun demikian pengembangan inovasi pemerintahan, tetap memiliki beberapa permasalahan dalam pengembangannya karena faktor kepemimpinan, budaya organisasi dan partisipasi masyakat. Kondisi ini menarik untuk mengkaji terhadap konsep inovasi pemerintahan dalam ranah pemerintah daerah, yaitu dengan mereposisinya pada tataran tiga kondisi, yaitu perilaku kepemimpinan, budaya organisasi, dan inovasi pemerintahan.

Penelitian ini menggunakan metode campuran yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif mengambil sampel sebanyak 393 responden diambil dari populasi 21.444 Pegawai Negeri Sipil yang tersebar di Satuan Kerja Pegawai Daerah Kota Bandung. Analisis data pada penelitian kuantitatif menggunakan analisis Structural Equation Models (SEM) dan koefisien regresi ganda. Model penelitian dikembangkan berdasarkan teori perilaku kepemimpinan dari Yukl, teori budaya organisasi dari Stephen P. Robbins, teori inovasi pemerintahan menggunakan teori SECI Model dari Nonaka. Analisis penelitian kualitatif menggunakan deskriptif analisis.

Hasil uji hipotesis membuktikan bahwa semua variabel laten eksogen perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi, memiliki pengaruh terhadap variabel laten endogen yaitu inovasi pemerintahan, baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Pengaruh positif yang diperoleh dari hasil pengujian hipotesis dan analisis kualitatif dalam

Edisi 7, Tahun VII148

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

penelitian ini bermakna bahwa apabila perilaku kepemimpinan yang berorientasi tugas, hubungan dan perubahan ditingkatkan maka akan berpengaruh dan menggerakan proses inovasi pemerintahan secara berkelanjutan. Begitu juga apabila budaya organisasi dikembangkan maka akan berpengaruh dan menggerakan proses inovasi pemerintahan secara berkelanjutan. Dalam penelitian ini juga dikembangkan konsep baru inovasi pemerintahan bisa berjalan dan berkelanjutan. Berdasarkan kesimpulan tersebut perlu dikembangkan konsep perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mempengaruhi dan menggerakkan proses inovasi pemerintahan.

Kata Kunci : Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Inovasi Pemerintahan.

I. PendahuluanPentingnya inovasi pada

pemerintahan lokal di Indonesia mulai menjadi perhatian sejak terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Inovasi bagi organisasi sektor publik memiliki makna penting dalam pengembangannya, seperti inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari Mulgan dan Albury (2003)1 yang mengatakan: “Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public services to improve performance and increase public value; respond to

1 Mulgan, G. & Albury, D, Innovation in the Public Sector, Working Paper Version 1.9, October, Strategy Unit, UK Cabinet Office, 2003, hal. 2.

the expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service efficiency and minimise costs.”

Pendapat Mulgan dan Albury di atas memiliki makna, bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya.

Inovasi sektor publik yang dilakukan oleh pemerintah menurut Farazmand2 merupakan sesuatu

2 Ali Farazmand, Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, Praeger

Edisi 7, Tahun VII 149

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

yang sangat penting, seperti diungkap dalam salah satu bukunya berjudul: Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, tentang arti penting suatu inovasi sebagai berikut:

“Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and become a target of critism and failure. Sound governance demands continuous innovations in policy and governance processes, structures and values system. Policy innovations in governance are essential to the adaptation and adjustment to the rapidly changing environment of the world under globalization.”

Pandangan Farazmand di atas, dapat dipahami bahwa inovasi merupakan faktor kunci untuk sound governance3. Faktor

Publisher, 88 Post Road West, New York, 2004, hal. 20.

3 Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik dari good gov-ernance, yaitu memberikan makna “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan kerag-

inovasi, baik inovasi aspek kebijakan maupun inovasi aspek administrasi adalah pusat dari sound governance. Tanpa inovasi, pemerintahan akan terjebak dalam kerusakan dan ketidakefektifan, pemerintah akan kehilangan kemampuan untuk memerintah dan selalu menjadi sasaran dari krisis dan kegagalan. Oleh karena itu, sound governance membutuhkan inovasi yang berlangsung secara terus menerus dalam kebijakan dan proses, struktur dan sistem nilai pemerintahan. Inovasi kebijakan (policy innovations) adalah dasar beradaptasi dan menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang cepat akibat globalisasi.

Dengan demikian, inovasi di pemerintah daerah merupakan keharusan dalam upaya mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dan daerahnya. Selain itu, kompetisi kota-kota dunia menjadi

aman. Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. (https://prezi.com/zxboggdhka0u/oktavia-ridha-cakti-125030100111122/).

Edisi 7, Tahun VII150

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

alasan pentingnya inovasi. Zhang4 dalam awal tulisannya sebagai editor mengajukan pertanyaan: Why City Competitiveness?, yang dijawabnya dengan suatu argumen: “competitiveness is at the top of the economic agenda”.

Di Indonesia praktek ino-vasi penyelenggaraan biro krasi pemerintahan banyak dikem-bangkan. Daerah otonom yang sukses seringkali menjadi rujukan bagi beberapa daerah otonom lainnya, sebagai best practices penerapan inovasi pemerintahan seperti Provinsi Gorontalo dibawah kepemimpinan Fadel Muhammad (2001-2006 dan 2006-2009), Kabupaten Sragen dibawah kepemimpinan Untung Wiyono (2001-2006 dan 2006-2011), Kota Tarakan bawah kepemimpinan Jusuf SK (1999-2004 dan 2004-2009); Kabupaten Jembrana dibawah kepemimpinan Prof. I Gede Winasa (2000-2005 dan 2005-2010), Kota Jogyakarta dibawah kepemimpinan Herry Zudianto (2001-2006 dan 4 Ming Zhang, ed, Competitiveness and growth

in Brazilian cities: local policies and actions for Innovation, The International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, DC, 2010, hal. 1.

2006-2011) Kota Surakarta dibawah kepemimpinan Joko Widodo (2005-2010 dan 2010-2012), pada tahun 2012 Joko Widodo mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta dan memenangkannya. Pada tahun 2014 ia mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia dan memenangkan dan Kota Surabaya dibawah kepemimpinan Tri Rismaharini (2010-2015) serta memenangkan kembali Walikota Surabaya pada Pilkada 9 Desember 2015.

Bagi pemerintah daerah pada umumnya, fenomena Provinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Jembrana, Kota Surakarta dan Kota Surabaya adalah pelajaran yang sangat bernilai, karena pada daerah-daerah tersebut, kapasitas pemer intah daerah da lam melakukan inovasi pemerintahan di daerahnya tampak berkorelasi positif dengan dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah masing-masing. Adapun bentuk dukungan masyarakat yang paling nyata adalah terpilihnya kembali pemangku jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode

Edisi 7, Tahun VII 151

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

kedua dalam kepemimpinannya, dan hal ini merupakan refleksi dari kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun disisi lain juga, diakhir pemerintahannya menyisakan persoalan hukum bagi Untung Wiyono dan Prof. I Gede Winasa.

Kepemimpinan dalam kerangka tersebut merupakan faktor yang signifikan dalam melakukan rangkaian inovasi pemerintahan dalam melaksanakan pelayanan publik (public services). Hasil riset di 217 negara bagian di Amerika Serikat dan Kanada oleh Borin dalam Achmad Nurmandi5, Borin menyimpulkan bahwa faktor kepemimpinan yang baru telah menjadi salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pemerintah daerah dalam membangun inovasi pemerintahan. Riset Borin tersebut sejalan dengan pemikiran Morris yang mengatakan bahwa tidak ada inovasi tanpa kepemimpinan. Demikian juga hasil penelitian tentang inovasi di Jembrana dari

5 Ahmad Nurmandi, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Volume 10, Nomor 2, (November 2006).

Sadu Wasistiono yang menyimpulkan bahwa para pemimpin dengan gaya kepemimpinannya memainkan peran penting dalam memulai inovasi.

Inovasi pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kinerja aparatur pemerintah. Kinerja aparatur/organisasi ini dipengaruhi oleh budaya organisas i . Ca iden berpendapat bahwa ada faktor yang kuat pengaruhnya terhadap kinerja reformasi, faktor tersebut yaitu budaya. Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi.

Fakta empirik yang dilansir di atas, tampak menunjukkan bah-wa pengembangan inovasi peme-rintahan di banyak daerah sudah me-nun jukkan bukti keberhasilan yang secara umum berdampak terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik.

Edisi 7, Tahun VII152

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Meskipun demikian pengembangan inovasi pemerintahan, tetap memiliki beberapa permasalahan dalam pengembangannya.

Peneliti memperhatikan berbagai persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang meliputi banyak dimensi, tampak bahwa pengembangan inovasi pemerintahan daerah ma-sih dilanda persoalan yang cukup kompleks. Kompleksitas per-soalan pengembangan inovasi pemerintahan yang bersumber dari beberapa pandangan di atas, dapat diklasifikasi dalam beberapa aspek yakni: (1) belum adanya political will dan lemahnya komitmen kepemimpinan yang mendorong tumbuhnya inovasi termasuk ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap figur pemimpin tertentu; (2) adanya budaya organisasi yang resisten terhadap inovasi yang tercipta dalam setiap organisasi publik; (3) proses inovasi yang tidak berjalan efektif, termasuk strategi pelibatan stakeholders lain yang belum terlaksana dan terkadang terjadi benturan nilai-ni la i dalam pengembangan

maupun proses inovasi; (4) lemahnya kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan untuk melakukan inovasi; (5) lemahnya legalitas yang menjadi payung hukum terhadap praktek inovasi; dan (6) keberlanjutan program inovasi seringkali tidak terjadi yang merupakan masalah selanjutnya; serta (7) belum adanya keterpaduan kebijakan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dan nasional.

Inovasi pemerintahan yang menjadi obyek penelitian ini adalah proses inovasi pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandung dibawah kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil dalam kurun waktu 2013-2016. Perbedaan signifikan dari dua rezim dalam memimpin Kota Bandung dapat dilihat dari gaya dan perilaku kepemimpinan, pada kepemimpinan sebelumnya lebih bergaya dan berperilaku birokratis yang formal dan prosedural. Kepemimpinan Walikota pada periode tersebut berakhir dengan tidak baik terlihat dari 10 tahun vonis hukuman penjara. Sementara Kepemimpinan Walikota Ridwan Kamil menekankan

Edisi 7, Tahun VII 153

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

gaya dan perilaku kepemimpinan birokrasi yang enterpreneur, sehingga lebih kreatif dan inovatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandung.

Sementara menurut Nonaka (1995) inovasi merupakan proses berfikir, maka proses inovasi dapat dijelaskan dengan Management Knowledge model SECI. Model SECI terdiri dari Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi, dan Proses Penciptaan Pengetahuan Internalisasi Organisasi. Agar inovasi pemerintahan dapat berjalan efektif maka sebaik melalui proses inovasi dengan model SECI yaitu sosialisasi inovasi, eksternalisasi inovasi, kombinasi inovasi dan internalisasi inovasi. Dengan spiralisasi dari model SECI Nonaka tersebut maka proses inovasi pemerintahan akan berjalan efektif dan berkelanjutan. Kondisi ini membawa penulis untuk melakukan suatu kajian mendalam terhadap konsep proses inovasi pemerintahan dalam ranah pemerintah daerah, yaitu dengan mereposisinya pada tataran tiga kondisi, yaitu kepemimpinan, budaya organisasi, dan inovasi pemerintahan.

Peneliti membatasi masalah yaitu pada bagimana perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya dengan keterbatasan yang ada maka masalah yang disajikan obyek penelitian dibatasi pada:1. Fokus penelitian yaitu pengaruh

perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap pro-ses inovasi pemerintahan di Kota Bandung (Studi Kepemimpinan Walikota Ridwal Kamil Tahun 2013-2016), baik secara parsial maupun secara bersama-sama.

2. Lokus penelitian yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari setiap strata golongan yang tersebar pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan Kota Bandung, Walikota Ban-dung, tokoh masyarakat dan warga Kota Bandung yang se-cara representatif mewakili masyarakat Kota Bandung. Rumusan masalah dalam

tulisan ini yang berdasarkan hasil

Edisi 7, Tahun VII154

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

penelitian ini, dirumuskan masalah sebagai berikut:1. Seberapa besar pengaruh peri-

laku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung?

2. Seberapa besar pengaruh bu-daya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung?

3. Seberapa besar pengaruh peri-laku kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung?

4. Bagaimana model proses ino vasi pemerintahan yang dipengaruhi dan digerakkan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi?

A. Perilaku KepemimpinanYukl6 berpendapat bahwa,

perilaku kepemimpinan spesifik akan melibatkan campuran dari tiga perhatian atau tujuan untuk kepemimpinan efektif sebagai berikut:

6 Gary Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi, Edisi Kelima. Jakarta, PT. Indeks, 2010, hal. 69.

Each of the three meta-categories has a different primary purpose, and theyare all relevant for effective leadership. Task-oriented behavior is primarily concerned with accomplishing the task in an efficient and reliable way. Relations-oriented behavior is primarily concerned with increasing mutual trust, cooperation, job satisfaction, and identification with the organization. Change-oriented behavior is primarily concerned with understanding the environment, finding innovative ways to adapt to it, and implementing major changes in strategies, products, or processes.

Perilaku kepemimpinan dari Yukl di atas menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan berorientasi tugas lebih menekankan pada pencapain tugas secara efektif dan penggunaan sumber daya yang efisien. Perilaku kepemimpinan berorientasi hubungan lebih mengedepankan membangun hubungan dan membangun kerja tim dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan perilaku kepemimpinan berorientasi perubahan lebih menekankan

Edisi 7, Tahun VII 155

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

pada komitmen perubahan untuk meningkatkan kinerja dan hasil yang lebih baik.

B. Budaya Organisasi Ancok berpendapat bahwa

pemikiran Robbins (2001) yang mengemukan tujuh komponen dapat dijadikan acuan untuk mengukur budaya organisasi7. Robbins mengemukakan tujuh karakteristik primer atau utama yang digunakan secara bersama untuk memahami hakikat dari suatu budaya organisasi. Ketujuh karakteristik primer tersebut meliputi:1) Inovasi dan pengambilan resiko

(innovation and risk taking). Sejauhmana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko agar terwujud visi organisasi.

2) Perhatian terhadap detail (attention to detail). Sejauhmana para karyawan diharapkan memper l ihatkan pres is i (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail.

7 Djamludin Ancok, Psikologi Kepemimpinan & Inovasi, Erlangga, Jakarta, 2012, hal.146.

3) Orientasi pada hasil (outcome orientation ) . Sejauhmana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.

4) Orientasi orang (people orien-tation). Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.

5) Orientasi pada tim (team orien-tation). Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu.

6) Agresivitas (aggresiveness). Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai santai.

7) Kemantapan (stability). Sejauh-mana kegiatan organisasi mene-kankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.

C. Inovasi PemerintahanAncok8 memberikan pe-

ngertian inovasi adalah suatu proses memikirkan dan mengimple-mentasikan pemikiran tersebut,

8 Djamaludin Ancok, op. cit., hal. 35.

Edisi 7, Tahun VII156

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, proses bisnis, cara baru, kebijakan, dan lain sebagainya. Para pakar di bidang inovasi (Zaltman, et.al., 1973, Axtell, et.al. 2000) dalam Ancok9 beranggapan bahwa perilaku inovatif terdiri dari dua tahapan, yakni tahapan pemunculan gagasan (initiation) dan tahapan implementasi gagasan (implementation). Sejalan dengan itu, Govindarajan and Trimbel10 mengatakan Here is an improved equation for inovation: inovation = ideas + execution. Pendapan Govindarajan and Trimbel tersebut memberikan makna bahwa inovasi adalah gagasan atau ide ditambah eksekusi. Eksekusi berarti motivasi, proses, dan pemimpin. Ini juga berarti bahwa para pemimpin dan kepemimpinan sangat penting untuk memulai dan meningkatkan inovasi.

Apabila pengertian inovasi dihubungkan dengan pemerintahan 9 Djamaludin Ancok, op. cit., hal. 35.

10 Vijay Govindarajan, and Chris Trimble, The Other Side of innovation, Harvard Business Review Press, Boston, Massachusetts, 2010, hal. 3.

maka inovasi pemerintahan adalah suatu proses berpikir dan mengimplementasikan pemikiran tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, cara baru, kebijakan, dan lain sebagainya dalam pemerintahan kemudian disebarkan untuk memecahkan masalah pemerintahan dan erat kaitannya dengan tugas dan fungsi pemerintahan guna mencapai tujuan pemerintahan.

Inovasi merupakan proses berfikir, maka proses inisiasi inovasi dapat dijelaskan dengan Management Knowledge model SECI dari Nonaka (1995) dalam Nonaka, Toyama and Hirata11. Model SECI terdiri dari Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi, dan Proses Penciptaan Pengetahuan Internalisasi Organisasi. Menurut model SECI ditampilkan di bawah, sebagai berikut:

11 Ikujiro Nonaka, Ryoko Toyama, and Toru Hirata, Managing Flow – A Pro-cess Theory of Knowledge-Based Firm, Palgrave, MacMillan, 2008, hal. 19.

Edisi 7, Tahun VII 157

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

Gambar

Spiralization of SECI Model

Berdasarkan uraian rujukan teori inovasi, dimana inovasi sebagai proses berpikir dan apabila dihubungkan dalam konteks inovasi pemerintahan maka proses inovasi pemerintahan dapat dijelaskan dengan Management Knowledge Model SECI dari Nonaka. Model SECI tersebut dalam proses inovasi pemerintahan menjadi Sosialisai

Inovasi, Eksternalisasi Inovasi, Kombinasi Inovasi dan Internalisasi Inovasi.

II. Metodologi PenelitianMetodologi penelitian yang

digunakan yaitu metode campuran yaitu metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian kuantitatif dalam analisis data

Edisi 7, Tahun VII158

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

menggunakan Structural Equation Model (Analisis SEM) dengan software Linear Structural RELationship (LISREL) dan analisis koefisien korelasi ganda. Sedangkan metode penelitian kualitatif menggunakan teknik analisis data deskriptif analisis. Analisis metode campuran penulis menggunakan strategi triangulasi konkuren.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan terhadap Proses Inovasi Pemerintahan

Berdasarkan hasil pengujian statistik melalui SEM menunjukkan besarnya pengaruh secara parsial diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dan tingkat signifikansinya, untuk lebih jelas dapat ditampilkan pada tabel 1

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen menunjukkan pengaruh yang positif. Hasil model persarnaan struktural pengaruh diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dapat dijelaskan bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh variabel perilaku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan yang diperoleh sebesar 0,52.

Hasil Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pada masing-masing dimensi dari Variabel Laten Eksogen Perilaku Kepemimpinan dapat dilihat pada tabel 2.

Output CFA pada variabel laten eksogen perilaku kepemimpinan me-nunjukkan bahwa dimensi Berori entasi Tugas merupakan dimensi yang paling dominan kontribusi keeratan hubungan variabel manifes dengan variabel

8

dengan Management Knowledge Model SECI dari Nonaka. Model SECI tersebut dalam proses inovasi

pemerintahan menjadi Sosialisai Inovasi, Eksternalisasi Inovasi, Kombinasi Inovasi dan Internalisasi

Inovasi.

II. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan yaitu metode campuran yaitu metode penelitian kuantitatif

dan kualitatif. Metode penelitian kuantitatif dalam analisis data menggunakan Structural Equation Model

(Analisis SEM) dengan software Linear Structural RELationship (LISREL) dan analisis koefisien

korelasi ganda. Sedangkan metode penelitian kualitatif menggunakan teknik analisis data deskriptif

analisis. Analisis metode campuran penulis menggunakan strategi triangulasi konkuren.

III. Hasil dan Pembahasan

A. Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan terhadap Proses Inovasi Pemerintahan

Berdasarkan hasil pengujian statistik melalui SEM menunjukkan besarnya pengaruh secara

parsial diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dan tingkat signifikansinya, untuk

lebih jelas dapat ditampilkan dengan tabel sebagai berikut:

Tabel 1 Hasil Model Persamaan Struktural Pengaruh Perilaku Kepemimpinan

terhadap Proses Inovasi Pemerintahan

Variabel Laten Eksogen Variabel Laten Endogen

Besarnya Pengaruh

Perilaku Kepemimpinan (PK) Inovasi

Pemerintahan (IP)

0,52

Sumber: Output Lisrel hasil olahan data, 2016

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh diantara

variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen menunjukkan pengaruh yang positif. Hasil model

persarnaan struktural pengaruh diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dapat

dijelaskan bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh variabel perilaku kepemimpinan terhadap

proses inovasi pemerintahan yang diperoleh sebesar 0,52.

Hasil Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pada masing-masing dimensi dari Variabel Laten

Eksogen Perilaku Kepemimpinan adalah berikut:

Edisi 7, Tahun VII 159

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

laten eksogen. Dominasi kontribusi mencapai 0,626 terjadi dalam proses pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengujian hipotesis pertama menun-jukkan bahwa perilaku kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa diantara perilaku kepemimpinan yang diposisikan sebagai variabel antecedent dengan proses inovasi pemerintahan yang diposisikan sebagai variabel konsekuensi terjalin suatu mekanisme hubungan kausalitas. Hubungan ini secara empirik bermakna bahwa apabila perilaku kepemimpinan ditingkatkan atau meningkat maka peningkatan tersebut secara simultan diikuti dengan peningkatan pengaruh dan bergeraknya proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung.

Oleh sebab itu, peningkatan efek tifitas proses inovasi pemerin-tahan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efektivitas kepemim-pin an melalui perilaku kepemimpinan yang berlangsung di antara unsur-unsur pimpinan dan staf SKPD. Dalam konteks ini, perilaku kepemimpinan adalah konsep dan perilaku kepemimpinan spesifik yang melibatkan campuran dari tiga tujuan yaitu berorientasi tugas, hubungan dan perubahan dalam kerangka interaksi sosial yang saling mempengaruhi untuk meng-hasilkan kepemimpinan efektif yang mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan guna men-capai tujuan organisasi dalam rangka mewujudkan Kota Bandung Juara dan Bermartabat.

Dengan pandangan ini, maka pe ningkatan efektivitas perilaku kepemimpinan untuk mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi

9

Tabel 2 Output CFA Variabel Laten Eksogen Perilaku Kepemimpinan

No Observed Variable R2 1. Berorientasi Tugas 0,626 2. Berorientasi Hubungan 0,600 3. Berorientasi Perubahan 0,585

Sumber: Diolah dari hasil penelitian, 2016.

Output CFA pada variabel laten eksogen perilaku kepemimpinan menunjukkan bahwa dimensi

Berorientasi Tugas merupakan dimensi yang paling dominan kontribusi keeratan hubungan variabel

manifes dengan variabel laten eksogen. Dominasi kontribusi mencapai 0,626 terjadi dalam proses

pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa perilaku

kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Adanya

pengaruh tersebut menunjukkan bahwa diantara perilaku kepemimpinan yang diposisikan sebagai

variabel antecedent dengan proses inovasi pemerintahan yang diposisikan sebagai variabel konsekuensi

terjalin suatu mekanisme hubungan kausalitas. Hubungan ini secara empirik bermakna bahwa apabila

perilaku kepemimpinan ditingkatkan atau meningkat maka peningkatan tersebut secara simultan diikuti

dengan peningkatan pengaruh dan bergeraknya proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung.

Oleh sebab itu, peningkatan efektifitas proses inovasi pemerintahan dapat ditingkatkan dengan

meningkatkan efektivitas kepemimpinan melalui perilaku kepemimpinan yang berlangsung di antara

unsur-unsur pimpinan dan staf SKPD. Dalam konteks ini, perilaku kepemimpinan adalah konsep dan

perilaku kepemimpinan spesifik yang melibatkan campuran dari tiga tujuan yaitu berorientasi tugas,

hubungan dan perubahan dalam kerangka interaksi sosial yang saling mempengaruhi untuk menghasilkan

kepemimpinan efektif yang mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan guna mencapai

tujuan organisasi dalam rangka mewujudkan Kota Bandung Juara dan Bermartabat.

Dengan pandangan ini, maka peningkatan efektivitas perilaku kepemimpinan untuk

mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan dapat dilakukan oleh unsur-unsur

pimpinan SKPD dengan mengembangkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi tugas, berorientasi

hubungan dan berorientasi perubahan. Secara lebih detail peran unsur-unsur pimpinan SKPD ini dapat

dilakukan dengan mengaktualisasikan 9 indikator perilaku kepemimpinan.

Hasil analisis faktor dari SEM menunjukkan bahwa dimensi Berorientasi Tugas menjadi dimensi

yang paling dominan kontribusinya dalam pembentukan besarnya pengaruh perilaku kepemimpinan

terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung dalam menghasilkan berbagai kebijakan dan

program inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Dimensi Berorientasi Tugas mencakup indikator-

indikator : (1) Kejelasan pemimpin memberikan tugas kepada perorangan atau kelompok, (2) Kejelasan

Edisi 7, Tahun VII160

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pemerintahan dapat dilakukan oleh unsur-unsur pimpinan SKPD dengan mengembangkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan berorientasi perubahan. Secara lebih detail peran unsur-unsur pimpinan SKPD ini dapat dilakukan dengan mengaktualisasikan 9 indikator perilaku kepemimpinan.

Hasil analisis faktor dari SEM menunjukkan bahwa dimensi Ber-orientasi Tugas menjadi dimensi yang paling dominan kontribusinya dalam pembentukan besarnya pengaruh per-ilaku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung dalam menghasilkan berbagai kebijakan dan program inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Dimensi Berorientasi Tugas mencakup indikator-indikator : (1) Kejelasan pemimpin memberi-kan tugas kepada perorangan atau kelompok, (2) Kejelasan standar operasional prosedur (SOP) dalam pelaksanaan tugas, (3) Penekanan pentingnya produktivitas dalam pelaksanaan tugas.

Berdasarkan analisis hasil pen-gujian data kuantitatif tersebut, bagi seorang pemimpin hal yang pertama hendaknya berperilaku

kepemimpinan berorientasi tugas. Hal ini penting dimana seorang pemimpin harus memahami tu-gas dan kewajiban yang dipikulnya sehingga bisa memahami segala masalah yang dihadapinya dan segera mencari solusi penyelesainya. Apabila seorang pemimpin seperti halnya Walikota telah memahami tugas dan tanggung jawabnya serta mampu mengatasi segala masalah yang harus diselesaikan maka salah satu faktor efektivitas pemimpin akan terwujud.

Seorang pemimpin tidak hanya mampu menyelesaikan tugas-tugasnya namun pemimpin hen daknya berperilaku kepe-mimpinan berorientasi hubungan. Sebuah jaringan atau networking di era serba ketergantungan ini menjadi faktor yang dominan. Sehingga perilaku kepemimpinan berorientasi hubungan perlu dimiliki bagi seorang pemimpin publik untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan memiliki hubungan yang baik dari seorang pemimpin seperti halnya Walikota dengan berbagai elemen maka akan memudahkan dalam merealisasikam

Edisi 7, Tahun VII 161

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

program-program dari Pemkot bagi kesejahteraan masyarakat.

Walikota sebagai seorang pemimpin ternyata tidak cukup dengan perilaku kepemimpinan beorientasi tugas dan hubungan, namun hendaknya dimiliki perilaku kepemimpinan berorientasi peru-bahan. Walikota yang berori entasi perubahan didalam kepemim-pinannya maka akan melakukan berbagai inovasi dalam setiap menyelesaikan permasalahan pemerintahan agar terwujudnya pelayanan publik yang prima. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa perilaku kepemimpinan spesifik dan efektif akan melibatkan campuran dari tiga perhatian atau tujuan berikut secara berturut-turut yaitu berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan berorientasi peru-bahan.

Hasil pengujian data kuantita-tif di atas didukung hasil metode kualitatif. Perilaku kepemimpinan dengan dimensi berorientasi tugas menjadi perilaku kepemimpinan yang dominan dikolaborasi dengan dimensi berorientasi hubungan dan berorientasi perubahan dilakukan

oleh Ridwan Kamil dalam mempe-ngaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan.

Wali Kota Ridwan Kamil me-ngatakan bahwa saya belajar dari Bung Karno, jadi pemimpin itu harus berani punya teori sendiri, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia dan apa yang kita pimpin ini juga menunggu terobosan-terobosan, terobosan-terobosan. Maka dalam memimpin Kota Bandung Ridwan Kamil membuat teori namanya segi tiga membangun Bandung yaitu inovasi, disentralisasi dan kolaborasi.

Ridwan Kamil mengatakan bah-wa kememimpinan yang diterapkan yaitu Kepemimpinan Ing Madya Mangun Karso porsinya lebih banyak porsinya 60%, ditengah pasukan bukan di depan pasukan jadi ba-nyak dilapangan makanya saya naik sepeda, banyak blusukan. Kedua saya menggunakan teknologi smart city mengunci perilaku buruk. Lebih lanjut Ridwan Kamil mengatakan bahwa Kota Bandung mempunyai 300 Apps manajemen kota, target saya 1000 karena Singapura punya 1600 Apps. Kalau ada yang bertanya seberapa banyak Apps manajemen

Edisi 7, Tahun VII162

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

itu? Ridwan Kamil mengatakan ya sebanyak problem kalau problemnya 1000 ya Apps nya 1000.

Perilaku kepemimpinan Ridwan Kamil selain fokus pada orientasi tugasnya, juga berorientasi pada hubungan. Wali Kota Ridwan Kamil senantiasa menjalin hubungan dan komunikasi dengan segenap komponen masyarakat baik secara tatap muka langsung maupun dengan menggunakan sarana media massa termasuk media sosial.

Sedangkan perilaku kepe-mimpinan Ridwan Kamil dalam berorientasi perubahan sudah tidak diragukan lagi. Langkah-langkah perubahan dengan inovasi pemerintahan yang dilakukan Ridwan Kamil telah banyak merubah wajah dan penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandung. Ridwan Kamil membagi 4 inovasi pemerintahan yang dikembangkan yaitu inovasi sosial, inovasi tekhnologi, inovasi regulasi dan inovasi ekonomi.

Kepemimpinan Ridwan Kamil mendapat penilaian dari beberapa elemen masyarakat baik itu tokoh politik, tokoh agama, akademisi, praktisi media, usahawan, mahasiswa

dan pelajar. Para informan memiliki kesamaan pendapat tentang perilaku kepemimpinan Ridwan Kamil yang berorientasi tugas, mengatakan bahwa Wali Kota Bandung telah menjadi ikon figur kepala daerah fenomenal, muda, cerdas, berani berpikir dan bertindak out of the box, keluar dari mainstream dan segudang gagasan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain termasuk bawahannya. Kelebihan Ridwan Kamil ini sekaligus juga kelemahannya karena staf dan bawahannya dari semua eselon sulit diajak lari.

Sementara berkaitan dengan perilaku kepemimpinan Ridwan Kamil yang berorientasi hubungan, para informan berpendapat bahwa hubungannya dengan pihak luar Pemkot dan Indonesia sangat baik. Meski menuai banyak kritik tentang seringnya kepergian Ridwan Kamil ke luar negeri, tetapi diakui banyak hasil yang dibawa melalui program CSR.

Sedangkan perilaku kepe-mimpinan Ridwan Kamil yang berorientasi perubahan, para informan berpendapat bahwa

Edisi 7, Tahun VII 163

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

adanya perubahan luar biasa di bidang infrastruktur, public utilities dan estetika kota. Semuanya berdampak pada perubahan luar biasa bagi wajah kota yang pada akhirnya menambah kecintaan warga pada kota Bandung dan indeks kebahagiaan warga menjadi naik.

B. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Proses Inovasi Pemerintahan

Berdasarkan hasil pengujian statistik melalui SEM menunjukkan besarnya pengaruh secara parsial diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dan tingkat signifikansinya, untuk lebih jelas dapat ditampilkan pada tabel 3.

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil model

persamaan struktural pengaruh diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen menunjukkan pengaruh yang positif. Hasil model persarmaan struktural pengaruh di antara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen dapat dijelaskan bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh variabel budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan yang diperoleh sebesar 0,54.

Hasil Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pada masing-masing dimensi dari Variabel Laten Eksogen Budaya Organisasi pada tabel 4.

Output CFA pada variabel laten eksogen budaya organisasi menunjukkan bahwa Orientasi pada manusia merupakan dimensi yang paling dominan kontribusi keeratan hubungan variabel-variabel

12

Tabel 3 Hasil Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya Organisasi

terhadap Inovasi Pemerintahan

Variabel Laten Eksogen

Variabel Laten Endogen

Besarnya Pengaruh

Budaya Organisasi (BO)

Inovasi Pemerintahan (IP)

0,54

Sumber: Output Lisrel hasil olahan data, 2016

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh

diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen menunjukkan pengaruh yang positif.

Hasil model persarmaan struktural pengaruh di antara variabel laten eksogen terhadap variabel laten

endogen dapat dijelaskan bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh variabel budaya organisasi

terhadap proses inovasi pemerintahan yang diperoleh sebesar 0,54.

Hasil Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pada masing-masing dimensi dari Variabel Laten

Eksogen Budaya Organisasi adalah berikut:

Tabel 4 Output CFA Variabel Laten Eksogen Budaya Organisasi

No Observed Variable R2 1. Inovasi dan pengambilan resiko 0,602 2. Perhatian terhadap detail 0,601 3. Orientasi pada hasil 0,622 4. Orientasi pada manusia 0,623 5. Orientasi pada tim 0,606 6. Agresivitas 0,622 7. Kemantapan 0,602

Sumber: Diolah dari hasil penelitian, 2016.

Output CFA pada variabel laten eksogen budaya organisasi menunjukkan bahwa Orientasi pada

manusia merupakan dimensi yang paling dominan kontribusi keeratan hubungan variabel-variabel

manifes dengan variabel laten eksogen. Dominasi kontribusi yang mencapai 0,623 terjadi dalam proses

pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen. Dimensi

Orientasi pada hasil dan Agresivitas memiliki perbedaan nilai yang sangat tipis yaitu 0,622 dengan

dimensi Orientasi pada manusia dalam pembentukan pengaruh. Jadi bisa dikatakan bahwa pada variabel

laten eksogen budaya organisasi ada 3 dimensi yaitu Orientasi pada manusia, Orientasi pada hasil dan

Agresivitas yang memberikan kontribusi dalam proses pembentukan besarnya pengaruh variabel laten

eksogen terhadap variabel laten endogen.

Edisi 7, Tahun VII164

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

manifes dengan variabel laten eksogen. Dominasi kontribusi yang mencapai 0,623 terjadi dalam proses pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen. Dimensi Orientasi pada hasil dan Agresivitas memiliki perbedaan nilai yang sangat tipis yaitu 0,622 dengan dimensi Orientasi pada manusia dalam pembentukan pengaruh. Jadi bisa dikatakan bahwa pada variabel laten eksogen budaya organisasi ada 3 dimensi yaitu Orientasi pada manusia, Orientasi pada hasil dan Agresivitas yang memberikan kontribusi dalam proses pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen.

Hasil pengukuran dan pengujian hipotesis kedua menunjukkan

bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Adanya pengaruh tersebut menunjukkan bahwa diantara budaya organisasi yang diposisikan sebagai variabel antecedent dengan proses inovasi pemerintahan yang diposisikan sebagai variabel konsekuensi ter jal in suatu mekanisme hubungan kausalitas. Hubungan ini bermakna bahwa apabila budaya organisasi ditingkatkan atau meningkat maka peningkatan tersebut secara stimulan diikuti dengan peningkatan pengaruh dan bergeraknya proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Dengan demikian secara empirik dapat dinyatakan bahwa budaya organisasi merupakan faktor yang

12

Tabel 3 Hasil Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya Organisasi

terhadap Inovasi Pemerintahan

Variabel Laten Eksogen

Variabel Laten Endogen

Besarnya Pengaruh

Budaya Organisasi (BO)

Inovasi Pemerintahan (IP)

0,54

Sumber: Output Lisrel hasil olahan data, 2016

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh

diantara variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen menunjukkan pengaruh yang positif.

Hasil model persarmaan struktural pengaruh di antara variabel laten eksogen terhadap variabel laten

endogen dapat dijelaskan bahwa hasil model persamaan struktural pengaruh variabel budaya organisasi

terhadap proses inovasi pemerintahan yang diperoleh sebesar 0,54.

Hasil Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pada masing-masing dimensi dari Variabel Laten

Eksogen Budaya Organisasi adalah berikut:

Tabel 4 Output CFA Variabel Laten Eksogen Budaya Organisasi

No Observed Variable R2 1. Inovasi dan pengambilan resiko 0,602 2. Perhatian terhadap detail 0,601 3. Orientasi pada hasil 0,622 4. Orientasi pada manusia 0,623 5. Orientasi pada tim 0,606 6. Agresivitas 0,622 7. Kemantapan 0,602

Sumber: Diolah dari hasil penelitian, 2016.

Output CFA pada variabel laten eksogen budaya organisasi menunjukkan bahwa Orientasi pada

manusia merupakan dimensi yang paling dominan kontribusi keeratan hubungan variabel-variabel

manifes dengan variabel laten eksogen. Dominasi kontribusi yang mencapai 0,623 terjadi dalam proses

pembentukan besarnya pengaruh variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen. Dimensi

Orientasi pada hasil dan Agresivitas memiliki perbedaan nilai yang sangat tipis yaitu 0,622 dengan

dimensi Orientasi pada manusia dalam pembentukan pengaruh. Jadi bisa dikatakan bahwa pada variabel

laten eksogen budaya organisasi ada 3 dimensi yaitu Orientasi pada manusia, Orientasi pada hasil dan

Agresivitas yang memberikan kontribusi dalam proses pembentukan besarnya pengaruh variabel laten

eksogen terhadap variabel laten endogen.

Edisi 7, Tahun VII 165

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

mempengaruhi dan menggerakkan proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Oleh sebab itu, proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung dapat digerakan dengan membangun nilai-nilai budaya organisasi yang inovatif berlangsung di antara unsur-unsur pimpinan dan staf SKPD. Dalam konteks ini, budaya organisasi dipandang sebagai suatu pola dasar dan sistem nilai yang berkembang dalam penyelenggaraan birokrasi Pemerintahan Kota Bandung yang diakui secara sah sebagai cara yang benar melalui dimensi inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi pada hasil, orientasi pada manusia, orientasi pada tim, agresivitas, dan kemantapan guna menggerakan proses inovasi pemerintahan dalam rangka efektivitas dan tujuan pemerintahan.

Dengan pandangan ini, maka peningkatan nilai-nilai budaya organisasi untuk menggerakan inovasi pemerintahan dapat dilakukan oleh seluruh unsur pimpinan dan staf SKPD dengan melakukan Inovasi dan pengambilan

resiko, Perhatian terhadap detail, Orientasi pada hasil, Orientasi pada manusia, Orientasi pada tim, Agresivitas, dan Kemantapan. Secara lebih detail Inovasi dan pengambilan resiko, Perhatian terhadap detail, Orientasi pada hasil, Orientasi pada manusia, Orientasi pada tim, Agresivitas, dan Kemantapan ini dapat dilakukan dengan mengaktualisasikan 21 indikator budaya organisasi.

Berdasarkan penerapan Analisis SEM dapat dinyatakan bahwa besarnya pengaruh budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan Kota Bandung ditentukan oleh 21 indikator atau variabel manifes yang terdiri atas : (1) Dorongan Pemimpin dalam berinovasi, (2) Kebebasan mengembangkan kreativitas, (3) Keberanian Pemimpin dalam mengambil resiko, (4) Ketersediaan prosedur kerja organisasi, (5) Perlu dimiliki kecermatan dalam menyelesaikan setiap pekerjaan, (6) Kejelasan tujuan organisasi dan dipahami anggota organisasi, (7) Pencapaian hasil memperhatikan tahapan-tahapan kerja secara

Edisi 7, Tahun VII166

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

sistematis, (8) Reward and punishment terhadap anggota organisasi, (9) Ketersediaan target dalam pencapaian kerja, (10) Pengambilan keputusan memperhitungkan dampak terhadap anggota organisasi, (11) Dorongan pemimpin dalam mengembangkan kualitas anggota organisasi, (12) Keterbukaan dalam pengembangan karier secara sehat, (13) Kemampuan membangun kerja tim yang baik, (14) Kejelasan pembangian tugas diantara anggota tim, (15) Hasil ditentukan oleh kerja tim, (16) Penekanan agresifitas dari anggota organisasi (17) Pemotivasian pemimpin kepada anggota organisasi untuk selalu berprestasi, (18) Iklim kompetitif yang sehat dalam organisasi, (19) Pemupukan solidaritas anggota organisasi dalam mencapai tujuan, (20) Menjaga iklim organisasi yang sehat dan menekan konflik, dan (21) Penekanan stabilitas di dalam organisasi.

Hasil analisis faktor menun-jukkan bahwa Orientasi pada manusia menjadi dimensi yang paling dominan kontribusinya dalam pembentukan besarnya pengaruh

budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Orientasi pada manusia mencakup indikator-indikator: (1) Pengambilan keputusan memperhitungkan dampak terhadap anggota organisasi, (2) Dorongan pemimpin dalam mengembangkan kualitas anggota organisasi, (3) Keterbukaan dalam pengembangan karier secara sehat.

Dimensi orientasi pada manusia menjadi hal yang utama dalam budaya organisasi, ternyata orientasi pada hasil dan agresivitas merupakan dimensi yang menonjol dikembangkan dan diterapkan dalam budaya organisasi di Pemkot Bandung. Dimensi orientasi pada hasil memiliki indikator-indikator antara lain (1) Pencapaian hasil memperhatikan tahapan-tahapan kerja secara sistematis sebesar 0,81, (2) Reward and punishment terhadap anggota organisasi sebesar 0,78 dan (3) Ketersediaan target dalam pencapaian kerja sebesar 0,78. Hasil ini menunjukan bahwa dimensi oerientasi pada hasil dari budaya organisasi yang dikembangkan dan diterapkan Pemkot Bandung

Edisi 7, Tahun VII 167

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

mendorong tercapainya output yang maksimal melalui tahapan-tahapan kerja yang sistematis dengan adanya target-target yang akan dicapai dan adanya perhatian kepada anggota organisasi dengan memberikan reward dan punishment. Apabila berhasil meraih prestasi kerja maka anggota organisasi tersebut akan mendapatkan kesempatan pendidikan dan promosi jabatan. Namun apabila anggota oprganisasi atau ASN Pemkot Bandung melakukan berbagai kesalahan dan menyalahi prosedur maka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan kesalahannya baik berupa pencopotan jabatan atau distafkan.

Sedangkan dimensi Agre si vitas mencakup validitas (1) Penekanan agresifitas dari anggota organisasi (2) Pemotivasian pemimpin kepada anggota organisasi untuk selalu berprestasi, (3) Iklim kompetitif yang sehat dalam organisasi. Ketiga indikator dari dimensi agresivitas tersebut memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0,79. Pada dimensi ini juga terlihat faktor kepemimpinan dari Ridwan Kamil yang banyak berpengaruh terhadap

pengembangan dan penerapan dimensi agresivitas. Dimensi agresivitas ini masih berkaitan erat dengan faktor manusia dimana adanya dorongan bagi anggota organisasi untuk memiliki agresivitas, selalu berprestasi dan memberikan iklim kompetitif yang sehat dalam organisasi.

Ketiga dimensi yaitu orientasi pada manusia, orientasi pada hasil dan agresivitas sebagai dimensi yang memiliki kontribusi yang besar pada pengaruh budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan. Penulis berpendapat bahwa ketiga dimensi itu dapat dianalogikan sebagai pengembangan dan penerapan pada faktor manusia dan sistem dalam sebuah organisasi.

Sedangkan dimensi ter lemah yang memberikan kon tribusi dalam pembentukan besarnya pengaruh budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung yaitu perhatian terhadap detail. Dimensi perhatian terhadap detail mencakup indikator-indikator : (1) Ketersediaan prosedur kerja organisasi, (2) Perlu dimiliki kecermatan dalam menyelesaikan

Edisi 7, Tahun VII168

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

setiap pekerjaan, (3) Kejelasan tujuan organisasi dan dipahami anggota organisasi.

Hasil pengujian data kuantitatif di atas sejalan dengan hasil penilitian kualitatif sehingga hasil metode kuantitatif didukung hasil metode kualitatif. Ridwan Kamil dalam mengelola birokrasi pemerintah di Kota Bandung dalam rangka membangun budaya organisasi senantiasa mengembangkan proses pengambilan keputusan memperhitungkan dampak terhadap anggota organisasi, memberi dorongan dalam mengembangkan kualitas kepada para pegawai untuk menjalani pendidikan didalam atau diluar negeri, dan memberikan keterbukaan dalam pengembangan karier secara sehat dengan mengembangkan iklim kompetitif yang sehat.

Selain itu Ridwan Kamil mengembangkan budaya organisasi dengan memberikan reward and punishment terhadap pegawai Pemkot Bandung, memberikan motivasi kepada para pegawai Pemkot Bandung arti pentingnya agresifitas dalam bekerja dan

mencapai prestasi yang maksimal, mendorong dalam pencapaian hasil memperhatikan tahapan-tahapan kerja secara sistematis, dan senantiasa memberikan target-target yang harus dicapai agar hasil kerja dapat terukur.

Ridwan Kamil mengem bangkan budaya pegawai melek teknologi untuk menuju birokrasi berbasis teknologi agar terwujud efektifitas dan efisiensi serta mengunci perilaku pegawai yang korup. Wali Kota Ridwan Kamil mengatakan telah menggunakan teknologi smart city mengunci perilaku buruk sehingga di Bandung ini warga bisa masuk ke sebuah website memberi lapor camat ini merah atau hijau. Rakyat bisa mengontrol diam-diam tanpa mereka tahu kita sebut e-demokrasi, aspirasi ataupun penilaian dilakukan diam-diam sehingga masuk ke saya, sehingga saya tau mana kelurahan yang banyak komplain, mana kecamatan yang banyak pujian dengan begini birokrasi berubah karena mereka tahu mereka diawasi.

Ridwan Kamil mengungkap-kan penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan aksesibilitas

Edisi 7, Tahun VII 169

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

warga bandung terhadap teknologi untuk mengevaluasi dan mengawasi government. Dengan cara ini kinerja birokrasi Pemkot Bandung diakhir tahun 2015 mendapat rangking 1 nasional dan satu-satunya kota yang nilainya 80. Pelayanan publik dari ombusman rapor merah sekarang rangkin 4 (empat). Dalam bidang Open Government untuk Pemkot Bandung dari rangking belasan sekarang rangking 3 (tiga). Klaim Kota Bandung juara 1 juara 3 atau juara 4 menurut Ridwan Kamil diuji dengan survey, Bandung selalu melakukan survey 4 bulan sekali dan hasilnya korelatif jadi sekarang public trust, approval rating Pemkot Bandung 80 persen. Jadi nilai 80 kinerja dengan level of trust 80 menjadi sinkron, akan beda kalau nilai kinerja tinggi sedang nilai trustnya rendah.

Dengan berkembangnya tekonologi informasi dan tele-komunikasi menurut Ridwan Kamil, orang hidupnya nyaman dengan smartphone untuk mengecek macet, pesan makanan dan sebagainya. Dengan bantuan teknologi ter-sebut, maka Pemkot Bandung me nyederhanakan birokrasi,

itulah yang dimaksud dengan pengembangan smart city. Ridwan Kamil berkeyakinan hal ini menjadi masa depan birokrasi harus going to technology, dimana menggeser teknologi ini untuk manajemen. Jadi smart city ini dapat mengefektifkan dan mengefisienkan birokrasi serta mereformasi pelayanan publik.

Sementara informan lainnya yaitu para informan memberikan pendapat yang hampir sama bahwa budaya organisasi di Kota Bandung banyak berubah semenjak Ridwan Kamil menjadi Wali Kota. Para informan tersebut juga mengatakan bahwa budaya organisasi turut serta mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Para informan mencotohkan adanya perubahan budaya organisasi seperti dalam hal pelayanan publik bisa lebih cepat, namun demikian masih ada beberapa kekurangan yang ada seperti dalam hal penanggulangan masalah kemacetan, sampah, PKL, banjir dan lain-lain.

Budaya Organisasi yang dikembangkan di Pemkot Bandung relevan dengan pendapat yang

Edisi 7, Tahun VII170

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

dikemukan Schein12, makna budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok tertentu untuk mengatasi masalah dalam hal adaptasi faktor eksternal dan integrasi faktor internal, yang telah terbukti dengan cukup sahih/baik, karena itu pola dasar tersebut diwariskan kepada anggota-anggota organisasi yang baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, memahami serta merasakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dengan budaya organisasi yang dikembangkan di Kota Bandung berupaya memecahkan masalah pemerintahan melalui inovasi-inovasi pemerintahan. Sehingga budaya organisasi yang ada mampu mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan.

Hasil analisis kuantitatif maupun kualitatif menunjukan bahwa budaya organisasi di Kota Bandung telah

12 Organization culture is a pattern of shared basic assumptions that a group has learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems.

menjalankan fungsinya, hal ini sejalan dengan pendapat Robbins. Fungsi budaya organisasi yang kemukakan oleh Ndraha pada dasarnya adalah pengembangan fungsi organisasi dari Robbins. Ndraha lebih melihat fungsi budaya organisai lebih konprehensif. Fungsi budaya organisasi merupakan sebagai pembeda, identitas, komitmen, pemersatu dan pembentuk sikap dari perilaku para anggota organisasi.

Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa Budaya Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Inovasi Pemerintahan di Kota Bandung. Pernyataan tersebut mendukung beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Caiden, Peters, Farazmand, Abueva dan Robbins.

Caiden (1969) mengatakan bahwa ada faktor yang kuat pengaruhnya terhadap kinerja reformasi, demikian pula Peters (1994) dan Farazmand (2002). Faktor dimaksud adalah budaya. Budaya memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja reformasi, karena reformasi sangat terkait dengan kepercayaan, nilai-nilai dan sikap

Edisi 7, Tahun VII 171

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

yang diadaptasi dan dikembangkan dalam birokrasi (Abueva, 1970). Salah satu budaya organisasi yang sangat penting bagi reformasi birokrasi adalah berkembangnya inovasi dalam instansi pemerintah.

C. Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Proses Inovasi PemerintahanHasil pengukuran koefisien

korelasi ganda menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin diantara variabel perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan variabel proses inovasi pemerintahan Kota Bandung sebesar 0,587, yang diinterpretasikan memiliki tingkat hubungan kuat karena terletak antara 0,50 sampai dengan 0,75. (Tabel intrepretasi nilai r) serta hubungan positif dan signifikan karena nilai korelasi 0,587 lebih besar dari r tabel atau 0,587 > 0,098.

Berdasarkan hasil peng hitungan statistik Koefisien Determinasi (R2) atau R square diketahui bahwa Koefisien Deter minasi ganda diantara varia bel perilaku kepemimpinan dan

variabel budaya organisasi secara bersama-sama dengan variabel proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung sebesar 0,345. Artinya, 34,5% keragaman proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung yang menghasilkan kebijakan dan program inovasi pemerintahan dapat dijelaskan dari variabel perilaku kepemimpinan dan variabel budaya organisasi secara bersama-sama, dan atau besaran kontribusi variabel perilaku kepemimpinan dan variabel budaya organisasi secara bersama-sama terhadap variabel proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung sebesar 34,5%, sisanya sebesar 65,5% merupakan kontribusi faktor-faktor lain terhadap variabel proses inovasi pemerintahan Kota di Bandung namun tidak diteliti.

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa hasil persamaan koefisien regresi ganda pengaruh perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung yaitu Ŷ=9,687 + 0,404X1 + 0,221X2. Hasil pengukuran persamaan koefisien regresi ganda menunjukkan

Edisi 7, Tahun VII172

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

bahwa pengaruh variabel perilaku kepemimpinan terhadap variabel proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung sebesar (b1) = 0,404 dan pengaruh variabel budaya organisasi terhadap variabel proses inovasi pemerintahan Kota Bandung sebesar (b2) = 0,221.

Hasil penghitungan persamaan regresi ganda itu diketahui bahwa kontribusi pengaruh variabel perilaku kepemimpinan lebih besar dari kontribusi pengaruh variabel budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Interpretasi persamaan koefisien regresi ganda adalah jika perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan proses inovasi pemerintahan Kota Bandung, diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam penelitian

ini, maka setiap perubahan skor perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama sebesar satu kali satuan dapat diestimasikan skor proses inovasi pemerintahan Kota Bandung akan berubah sebesar 0,404 kali satuan dan 0,221 kali satuan pada arah yang sama pada konstanta 9,687.

Hasil pengujian kuantitatif di atas, setelah melakukan penelitian secara kualitatif dengan melakukan wawancara kepada para informan diperoleh kesimpulan menguatkan hasil temuan pengujian kuantitatif. Informasi dari Ridwan Kamil menunjukan fakta-fakta yang menguatkan adanya pengaruh perilaku kepemimpinan lebih dominan dibanding budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung.

17

Caiden (1969) mengatakan bahwa ada faktor yang kuat pengaruhnya terhadap kinerja reformasi,

demikian pula Peters (1994) dan Farazmand (2002). Faktor dimaksud adalah budaya. Budaya

memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja reformasi, karena reformasi sangat terkait dengan

kepercayaan, nilai-nilai dan sikap yang diadaptasi dan dikembangkan dalam birokrasi (Abueva, 1970).

Salah satu budaya organisasi yang sangat penting bagi reformasi birokrasi adalah berkembangnya inovasi

dalam instansi pemerintah.

C. Analisis Pengaruh Perilaku Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Proses Inovasi

Pemerintahan

Hasil pengukuran koefisien korelasi ganda menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin diantara

variabel perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan variabel proses

inovasi pemerintahan Kota Bandung sebesar 0,587, yang diinterpretasikan memiliki tingkat hubungan

kuat karena terletak antara 0,50 sampai dengan 0,75. (Tabel intrepretasi nilai r) serta hubungan positif dan

signifikan karena nilai korelasi 0,587 lebih besar dari r tabel atau 0,587 > 0,098.

Berdasarkan hasil penghitungan statistik Koefisien Determinasi (R2) atau R square diketahui

bahwa Koefisien Determinasi ganda diantara variabel perilaku kepemimpinan dan variabel budaya

organisasi secara bersama-sama dengan variabel proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung sebesar

0,345. Artinya, 34,5% keragaman proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung yang menghasilkan

kebijakan dan program inovasi pemerintahan dapat dijelaskan dari variabel perilaku kepemimpinan dan

variabel budaya organisasi secara bersama-sama, dan atau besaran kontribusi variabel perilaku

kepemimpinan dan variabel budaya organisasi secara bersama-sama terhadap variabel proses inovasi

pemerintahan di Kota Bandung sebesar 34,5%, sisanya sebesar 65,5% merupakan kontribusi faktor-

faktor lain terhadap variabel proses inovasi pemerintahan Kota di Bandung namun tidak diteliti.

Tabel 5 Hasil Pengukuran Koefisien Regresi Ganda Perilaku Kepemimpinan dan

Budaya Organisasi terhadap Proses Inovasi Pemerintahan

Sumber: Diolah dari hasil penelitian 2016.

Berdasarkan tabel 5 di atas diketahui bahwa hasil persamaan koefisien regresi ganda pengaruh

perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap proses inovasi

pemerintahan di Kota Bandung yaitu Ŷ=9,687 + 0,404X1 + 0,221X2. Hasil pengukuran persamaan

Edisi 7, Tahun VII 173

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

Ridwan Kamil mengatakan bahwa gagasan inovasi sering muncul dari dirinya. Ridwan Kamil terbiasa dengan metode Desain Tinking terhadap masalah dimana berpikir untuk mencari solusi yang tidak linier. Metode ini ditularkan kepada bawahannya sehingga melatih birokrasi dan dicoba dikolaborasi dengan orang-orang non birokrasi, supaya saling mempengaruhi gitu dan mendapat hasil yang optimal.

Namun demikian Ridwan Kamil berusaha untuk membuka kesempatan bawahannya atau masyarakat Kota Bandung untuk memberikan gagasan bagi penyelesaian berbagai masalah yang ada di Kota bandung. Ridwan Kamil mengatakan bahwa setiap gagasan tidak selalu datang dari Wali Kota. Ridwan Kamil membuat lomba gagasan melalui web www.iuran.id coba, hal ini lakukan untuk membuka ruang-ruang inovasi yang idenya bagus, diaplikasikan dan apresiasi. Jadi menurut Ridwan Kamil, cara ini melatih dan mendidik baik birokrasi maupun masyarakat melalui Desain Tinking.

Inovasi pemerintahan yang merupakan proses berpikir, Ridwan Kamil berupaya untuk melakukan proses sosialisasi inovasi melalui menciptakan pengetahuan atau teori dan terus mentransfernya kepada pegawai Pemkot Bandung. Setelah tahap sosialisasi ini dilanjutkan dengan eksternalisasi yaitu dimana adanya kegiatan adanya dialog, menterjemahkan kedalam sebuah konsep atau prototipe. Dari Eksternalisasi melalui proses dialog tersebut mendapat berbagai masukan sehingga melakukan proses kombinasi dengan menjabarkan konsep, mengintegrasikan konsep, menemukan hubungan antar konsep dan membuat sistem. Proses selanjutnya yaitu internalisasi dimana melakukan percobaan, simulasi, aksi dan refleksi. Proses spiralisasi Model SECI dalam proses inovasi pemerintahan terus berlanjut yang dipengaruhi dan digerakan perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi sehingga menghasilkan inovasi pemerintahan guna memecahkan masalah-masalah pemerintahan di Kota Bandung.

Edisi 7, Tahun VII174

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Sementara para informan lainnya yaitu Ketua DPRD, Ketua MUI Kota Bandung, Akademisi, Praktisi Media, Pedagang, Mahasiswa dan Pelajar memberikan pendapat yang hampir sama bahwa kepemimpinan Ridwan Kamil telah berhasil mem-bangun budaya baru di Pemkot Bandung. Ridwan Kamil menjadi aktor sentral dalam terbentuknya perubahan budaya organisasi di Kota Bandung. Para informan tersebut juga mengatakan bahwa perilaku kepemimpinan Ridwan Kamil dan budaya organisasi secara bersama-sama mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung.

Dengan demikian, maka sangat jelas bahwa perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan serta meng-gerakan proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Pernyataan ter-sebut mendukung pandangan yang dikemukakan oleh Schein, Pearce and Robinson, Hickman and Silva, Kotter & Heskett, Nurfarhati, Yaqin, Moelyono, Cash and Fischer, Baron and Greenberg dan Nani Imaniyati.

Govindarajan and Trimbel (2010:3) mengatakan Here is an improved equation for inovation: inovation = ideas + execution. Pendapat Govindarajan and Trimbel tersebut memberikan makna bahwa inovasi adalah gagasan atau ide ditambah eksekusi. Dengan kata lain bahwa inovasi adalah gagasan yang diimplementasikan.

Hal lain yang perlu diper hatikan dalam proses inovasi pemerintahan oleh seorang pemimpin yaitu local wisdom (kearifan lokal). Pendekatan local wisdom dapat dilakukan dengan mendasarkan pada kajian sosiologi dan antropologi dari masyarakat. Dengan memperhatikan local wisdom maka inovasi pemerintahan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan lebih tepat sasaran dan bisa diterima ditengah masyarakat serta meningkatkan pelayanan publik.

Kepemimpinan dan budaya organisasi keduanya berhubungan dan bisa saling berpengaruh (Schein, 1991; Pearce and Robinson, 2000). Kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin berpengaruh terhadap penentuan strategi dan kinerja karyawan. Begitu pula budaya

Edisi 7, Tahun VII 175

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

organisasi yang diciptakan oleh pemimpin akan berpengaruh terhadap penerapan strategi dan keberhasilannya serta terhadap kinerja karyawan (Hickman and Silva,1986; Kotter & Heskett, 1992; Nurfarhati, 1999; Yaqin, 2003; Moelyono, 2003).

Inovasi pemerintahan meru-pakan hasil dari kinerja aparatur pemerintahan. Kinerja yang sering disebut dengan performance juga disebut result (Cash and Fischer, 1987) yang berarti apa yang telah dihasilkan oleh individu karyawan. Kinerja pada individu juga disebut dengan job performance, work outcome, task performance (Baron and Greenberg, 1990).

Hasil penelitian ini dapat di-jadikan konsep dan strategi dalam proses inovasi pemerintahan. Dalilnya adalah bahwa perilaku kepemimpinan dan budaya or-ga nisasi berpengaruh dan meng-gerakan proses inovasi peme-rintahan. Dalil merujuk pada konsep pemahaman berikut:

Perilaku Kepemimpinan adalah konsep dan perilaku kepemimpinan spesifik yang melibatkan campuran

dari tiga tujuan yaitu berorientasi tugas, hubungan dan perubahan sebagai suatu interaksi sosial yang saling mempengaruhi untuk menghasilkan kepemimpinan efektif dalam rangka mewujudkan Kota Bandung Juara dan Bermartabat, (Edys, 2016).

Budaya Organisasi dipan-dang sebagai suatu pola dasar dan sistem nilai yang berkembang dalam penyelenggaraan birokrasi Pemerintahan Kota Bandung yang diakui secara sah sebagai cara yang benar melalui dimensi inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi pada hasil, orientasi pada manusia, orientasi pada tim, agresivitas, dan kemantapan guna efektivitas dan mencapai tujuan organisasi, (Edys, 2016).

Inovasi Pemerintahan suatu proses berpikir dan mengim-plementasikan pemikiran tersebut, sehingga menghasilkan hal baru berbentuk produk, jasa, cara baru, kebijakan, dan lain sebagainya dalam pemerintahan melalui proses sosialisasi inovasi, eksternalisasi inovasi, kombinasi inovasi dan

Edisi 7, Tahun VII176

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

internalisasi inovasi kemudian disebarkan untuk memecahkan masalah pemerintahan dan erat kaitannya dengan tugas dan fungsi pemerintahan guna mencapai tujuan pemerintahan. (Edys, 2016).

D. Model Proses Inovasi Peme-rintahan

Spiralisasi Model SECI Nonaka tersebut merupakan proses yang dimulai dengan sosialisasi individu, pindah ke eksternalisasi dalam kelompok, kombinasi dalam organisasi, dan kemudian kembali ke internalisasi pada individu. Hal yang penting adalah bahwa individu, grups, dan organisasi merupakan mengubah sendiri dalam proses menciptakan pengetahuan karena mereka sendiri adalah koleksi proses.

Dalam Model SECI sebagai model proses tersebut terdapatnya individu baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota kelompok, adanya kelompok dan adanya organisasi yang mewadahinya yang berinteraksi satu sama lain dalam sebuah proses yang secara terus menerus. Proses yang terjadi

dalam Model SECI ada unsur-unsur yang mempengaruhi dan menggerakan dalam kegiatan sosisalisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi.

Berdasarkan uraian rujukan teori inovasi, dimana inovasi sebagai proses berpikir dan apabila dihubungkan dalam konteks inovasi pemerintahan maka proses inovasi pemerintahan dapat dijelaskan dengan Management Knowledge Model SECI dari Nonaka. Model SECI tersebut dalam proses inovasi pemerintahan menjadi sosialisai inovasi, eksternalisasi inovasi, kombinasi inovasi dan internalisasi inovasi. Dengan demikian variabel Inovasi Pemerintahan menggunakan dimensi Model SECI dari Nonaka (1995) sebagai sub variable/dimensi, antara lain meliputi: sosialisai inovasi, eksternalisasi inovasi, kombinasi inovasi dan internalisasi inovasi.

Penulis berpendapat bah wa Management Knowledge Model SECI dari Nonaka dapat digu-nakan sebagai model dalam memecahkan masalah proses inovasi pemerintahan yang berjalan dengan efektif dan berkelanjutan.

Edisi 7, Tahun VII 177

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

Penulis melakukan penelitian adanya variabel kepemimpinan dan budaya organisasi sebagai variabel yang mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan. Sehingga penulis dapat mengasilkan modifikasi Model SECI menjadi model proses inovasi pemerintahan yang dipengaruhi dan digerakkan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi (SECI Model

Modification with Leadership and Organization Culture).

Model SECI yang dimodifikasi dengan kepemimpinan dan budaya organisasi ini berdasarkan hasil pengukuran statistik persamaan regresi diketahui bahwa terdapat berpengaruh positif dan signifikan dari variabel perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota

21

Nonaka (1995) sebagai sub variable/dimensi, antara lain meliputi: sosialisai inovasi, eksternalisasi

inovasi, kombinasi inovasi dan internalisasi inovasi.

Penulis berpendapat bahwa Management Knowledge Model SECI dari Nonaka dapat digunakan

sebagai model dalam memecahkan masalah proses inovasi pemerintahan yang berjalan dengan efektif dan

berkelanjutan. Penulis melakukan penelitian adanya variabel kepemimpinan dan budaya organisasi

sebagai variabel yang mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan. Sehingga penulis

dapat mengasilkan modifikasi Model SECI menjadi model proses inovasi pemerintahan yang dipengaruhi

dan digerakkan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi (SECI Model Modification with Leadership

and Organization Culture).

Gambar 2 SECI Model Modification With Leadership and Organization Culture

(Edys Riyanto)

Model SECI yang dimodifikasi dengan kepemimpinan dan budaya organisasi ini berdasarkan

hasil pengukuran statistik persamaan regresi diketahui bahwa terdapat berpengaruh positif dan signifikan

dari variabel perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota

Bandung yaitu Ŷ=9,687 + 0,404X1 + 0,221X2. Pengukuran persamaan di atas ternyata menunjukan bahwa

kontribusi pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung lebih

besar dibandingkan dengan kontribusi pengaruh budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan

di Kota Bandung, yaitu X1 à Y = 0,404 > X2 à Y = 0,221.

Analisis penulis dari data tersebut di atas menunjukan pengaruh perilaku kepemimpinan dan

budaya organisasi secara bersama-sama terhadap proses inovasi pemerintahan namun masih ada faktor

Edisi 7, Tahun VII178

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Bandung yaitu Ŷ=9,687 + 0,404X1 + 0,221X2. Pengukuran persamaan di atas ternyata menunjukan bahwa kontribusi pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung lebih besar dibandingkan dengan kontribusi pengaruh budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung, yaitu X1 à Y = 0,404 > X2 à Y = 0,221.

Analisis penulis dari data tersebut di atas menunjukan pengaruh perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap proses inovasi pemerintahan namun masih ada faktor lain juga yang tidak diteliti oleh penulis. Menurut pengamatan penulis faktor lain tersebut yaitu kolaborasi dalam inovasi pemerintahan dan factor-faktor lainnya.

Penulis juga berpendapat bahwa diantara perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi dengan proses inovasi pemerintahan terjalin suatu mekanisme hubungan kausalitas (sebab-akibat). Hubungan kausalitas ini menurut penulis bisa diasumsikan dengan makna bahwa

apabila perilaku kepemimpinan diefektifkan dan budaya organisasi dikembangkan secara bersama-sama maka secara stimultan mempengaruhi dan menggerakan proses inovasi pemerintahan.

IV. Kesimpulan Berdasarkan deskripsi dan

analisis penelitian disertasi, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:a. Perilaku kepemimpinan ber-

pengaruh positif dan sig-nifikan serta menggerakan pro ses inovasi pemerintahan di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat sebesar 0,52 (52%), besarnya pengaruh diten-tukan oleh perilaku kepe-mimpinan berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan berorientasi perubahan. Ber-dasarkan hasil analisis SEM LISREL menunjukan Output Confirmatory Faktor Analysis Variabel Laten Eksogen Perilaku Kepemimpinan, diperoleh hasil dominasi kontribusi berorientasi tugas sebesar 0,626, berorientasi hubungan sebesar 0,60 dan Berorientasi

Edisi 7, Tahun VII 179

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

perubahan sebesar 0,585. Hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa berorientasi tugas menjadi dimensi yang paling dominan kontribusinya da-lam pembentukan besar nya pengaruh perilaku kepemim-pinan terhadap Inovasi Peme-rintahan di Kota Bandung. Hasil analisis kuantitatif ter-se but dikuatkan oleh hasil analisis kualitatif menunjukan kesamaan hasil. Dengan demi-kian dapat dikatakan bahwa perilaku kepemimpinan dalam penyenggaran pemerintahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan meng gerakan proses inovasi pemerintahan. Tidak ada inovasi tanpa kepemimpinan.

b. Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan serta menggerakan proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat sebesar 0,54 (54%), besarnya pengaruh ditentukan oleh inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi pada hasil, orientasi pada manusia, orientasi pada tim, agresivitas,

dan kemantapan. Berdasarkan hasil analisis SEM LISREL menunjukan Output Confirmatory Faktor Analysis Variabel Laten Budaya Organisasi, diperoleh hasil dominasi kontribusi Inovasi dan pengambilan resiko sebesar 0,602, Perhatian terhadap detail sebesar 0,601, Orientasi pada hasil sebesar 0,622, Orientasi pada manusia sebesar 0,623, Orientasi pada tim sebesar 0,606, Agresivitas sebesar 0,622, dan Kemantapan sebesar 0,602. Hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa Orientasi pada manusia menjadi dimensi yang paling dominan kontribusinya dalam pembentukan besarnya pengaruh Budaya Organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung. Hasil analisis kuantitatif tersebut dikuatkan oleh hasil analisis kualitatif menunjukan hasil yang sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya organisasi dalam penyenggaran birokrasi pemerintahan meru-pakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan

Edisi 7, Tahun VII180

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

menggerakan proses inovasi pemerintahan.

c. Berdasarkan hasil pengukuran statistik persamaan regresi diketahui bahwa Perilaku Kepe-mimpinan dan Budaya organisasi berpengaruh positif dan signi-fikan serta menggerakan pro-ses inovasi pemerintahan di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat sebesar 0,345 (34,5%). Hasil regresi ganda pengaruh perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung yaitu Ŷ=9,687 + 0,404X1 + 0,221X2. Berdasarkan hasil pengukuran persamaan regresi ganda diketahui ternyata kontribusi pengaruh perilaku kepemimpinan terhadap proses inovasi pemerintahan di Kota Bandung lebih besar daripada kontribusi pengaruh budaya organisasi terhadap inovasi pemerintahan di Kota Bandung, yaitu X1 à Y = 0,404 > X2 à Y = 0,221. Pengaruh perilaku kepemimpinan dan budaya organisasi secara bersama-sama terhadap proses inovasi pemerintahan menunjukkan

bahwa diantara perilaku kepe-mimpinan dan budaya orga-nisasi dengan proses inovasi pemerintahan terjalin suatu mekanisme hubungan kausalitas (sebab-akibat).

d. Modifikasi Model SECI men-jadi model proses ino vasi pemerintahan yang dipe-ngaruhi dan digerakkan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi. Inovasi pemerintahan akan berjalan dan berkelanjutan apabila dalam prosesnya menggunakan Model SECI dari Nonaka dengan dipengaruhi dan digerakan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi.

V. SaranBerdasarkan kesimpulan yang

diperoleh dari hasil penelitian dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:a. Pengembangan teori Perilaku

Kepemimpinan dari Yukl, perilaku kepemimpinan yang berdimensi berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan berorientasi perubahan akan menghasilkan kepemimpinan yang efektif apabila ketiga

Edisi 7, Tahun VII 181

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

dimensi itu dijadikan landasan perilaku dari pemimpin. Hal yang paling utama perilaku yang harus dijalankan berturut-turut yaitu perilaku kepemimpinan berorientasi tugas, berorientasi hubungan dan berorientasi perubahan.

b. Pengembangan Model SECI dari Nonaka sebagai model untuk mengembangkan ino-vasi pemerintahan. Spriralisasi

Model SECI Nonaka ini dikem-bangkan dengan kepe mim-pinan dan budaya sebagai yang mempengaruhi dan meng gerakan proses inovasi pemerintahan. Jadi agar inovasi pemerintahan agar berjalan dan berkelanjutan maka hendaknya melalui proses Model SECI yang dipengaruhi dan digerakan oleh kepemimpinan dan budaya organisasi.

Referensi

Ancok, Djamaludin. 2012, Psikologi kepemimpinan & inovasi, Jakarta, Erlangga.

Creswell W. John. 2002. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches (Pendekatan Kualita-tif & Kuantitatif). Alihbahasa: Nur Khabibah.: KIK Press, Jakarta.

Farazmand, Ali (Ed.). 2004. Sound Governance: Policy and Administra-tive Innovations, London: Praeger.

________, 2004. Sound Governance: Policy and Administrative Innova-tions, Praeger Publisher, 88 Post Road West, New York.

Govindarajan, Vijay and Chris Trim-ble; 2010. The Other Side of inno-vation, Harvard Business Review Press, Boston, Massachusetts.

Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Anali-sis Multivariate Dengan Program SPSS. Cetakan Keempat. Sema-rang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Mulgan, G. & Albury, D, 2003. Inno-vation in the Public Sector, Work-ing Paper Version 1.9, October, Strategy Unit, UK Cabinet Office.

Nonaka, Ikujiro and Hirotaka Take-uchi. 1995. The Knowledge- Creating

Edisi 7, Tahun VII182

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Company. How Japanese Compa-nies Create the Dynamics of Inno-vation, Oxford University Press, New York.

Nonaka, Ikujiro; Ryoko Toyama, and Toru Hirata. 2008. Man-aging Flow – A Process Theory of Knowledge-Based Firm, Palgrave, MacMillan.

Nurmandi, Ahmad Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Volume 10, Nomor 2, (November 2006).

Orange, Graham. et al,. 2007. Local Government and Social or Innova-tion Values. Transforming Govern-ment: People, Process and Policy. Vol. 1 No. 3, pp. 242-254.

Parnaa, Ott and Tunzelmann, Nick von, 2007. Innovation in The Public Sector: Key features influencing the development and implemen-tation of technologically innova-tive public sector services in the UK, Denmark, Finland and Esto-nia, Information Polity, 12 (2007) 109–125 109.

Pekkarinen, Satu., Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011. Clashes as Potential for In-novation in Public Service Sector Reform. International Journal of Public Sector Management: Vol. 24 No. 6, pp. 507-532.

Robbins P, Stephen, 2007. Perilaku Organisasi, Edisi-12 Bahasa Indo-nesia, Jakarta, Salemba Empat.

Schein, Edgar H, Copyright 1985. Organizational Culture and Leader-ship, First Edition, San Fransisco, Jossey-Bass Publisher Inc.

_________,1991. Organizational Culture and Leadership, Second Edition, San Fransisco, Jossey-Bass Pub-lishers.

_________, Copyright 2004. Organi-zational Culture and Leadership, Third Edition, San Fransisco, Jos-sey-Bass A Wiley Imprint.

Wasistiono, Sadu, 2014, Judul Pene-litian Institutionalize of Innovations (Case Study Innovations in Jembra-na Regency under Regent I. Gede Winasa year 2000-2010), Natinal Government Institute (IPDN) In-donesia.

Edisi 7, Tahun VII 183

Perilaku Kepemimpinan, Budaya Organisasi Dan Inovasi PemerintahanEdys Riyanto

Yukl, Gary, 2010, Kepemimpinan dalam Organisasi, Edisi Kelima. Jakarta, PT. Indeks.

Zhang, Ming, ed, 2010. Competi-tiveness and growth in Brazilian

cities: local policies and actions for Innovation, The Internation-al Bank for Reconstruction and Development, The World Bank, Washington, DC.

****

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARAREFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA