Jurnal PBI NOMMENSEN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA...SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK Juni Agus...
Transcript of Jurnal PBI NOMMENSEN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA...SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK Juni Agus...
ISSN 2685-578X
Volume 1, Nomor 1, Edisi Juli 2019
Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
(UHKBPNP)
Alamat Kantor:
Jl. Sangnauwaluh No. 4 Pematangsiantar (21132)
Jurnal PBI NOMMENSEN
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
VOLUME I, NOMOR I, EDISI JULI 2019 ISSN 2685-578X
PBI NOMMENSEN
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
DAFTAR ISI
KAJIAN STILISTIKA DALAM NOVEL “SEMUSIM DAN SEMUSIM LAGI” KARYA ANDINA
DWIFATMA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI
(Marlina Agkris Tambunan) hal 1 - 18
ANALISIS GENDER NOVEL “CINTA DI DALAM GELAS” KARYA ANDREA HIRATA
(TINJAUAN FEMINISME)
(Junifer Siregar) hal 19 - 28
PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI TERHADAP
KEMAMPUAN MENULIS PUISI OLEH SISWA KELAS VIII
SMP NEGERI 28 MEDAN T.P 2018/2019
(Martua Reynhat Sitanggang) hal 29 - 33
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BAHAN AJAR MENULIS TEKS PROSEDUR KOMPLEKS
BERBASIS PEMBELAJARAN LITERASI SISWA SMA
(Monalisa Frince S) hal 34 - 39
CERPEN KORAN SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
(Jumaria Sirait) hal 40 - 60
MAKNA NAMA KAMPUNG “HUTA” PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
MUARA KABUPATEN TAPANULI UTARA SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK
(Juni Agus Simaremare) hal 61 - 71
PEMAHAMAN UNSUR-UNSUR INTRINSIK CERPEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEMAMPUAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS XI SMA KAMPUS FKIP UNIVERSITAS
HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR
(Ronald Hasibuan) hal 72 - 80
GAMBARAN MASYARAKAT MODERN YANG TERDAPAT DALAM SUPERNOVA SATU,
KSATRIAM, DAN BINTANG JATUH MELALUI PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
(Berlian Romanus Turnip) hal 81 – 90
PENGGUNAAN METODE PENGAJARAN KOMUNIKATIF TERHADAP KEMAMPUAN
MENGEMUKAKAN PENDAPAT SISWA KELAS VI SD NEGERI NO. 173287 HUTABULU KEC.
SIBORONG-BORONG
(Tanggapan Cerdas Tampubolon) hal 91 - 105
JURNAL PBI
NOMMENSEN FKIP UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
PEMATANGSIANTAR
PEMATANGSIANT
AR EDISI
JULI 2019
ISSN 2685-578X 61
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
MAKNA NAMA KAMPUNG “HUTA” PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI
KECAMATAN MUARA KABUPATEN TAPANULI UTARA
SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK
Juni Agus Simaremare
Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
ABSTRAK
Setiap daerah memiliki nama, pemberian nama pada tiap daerah bukan hanya sebutan saja.
Daerah-daerah diberi nama oleh masyarakatnya berdasarkan situasi dan kondisi tiap-tiap
daerah. Masalah dalam penelitian ini adalah 1) Apa saja nama-nama daerah di Kecamatan
Muara Kabupaten Tapanuli Utara dan apa latar belakang pemberian nama daerah tersebut? 2)
Makna apa saja yang terkandung pada nama-nama daerah yang ada di Kecamatan Muara
Kabupaten Tapanuli Utara? Penelitian ini dilakukan untuk: 1) Mendeskripsikan nama-nama
daerah yang ada di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara serta latar belakang
pemberian nama daerah tersebut. 2) Mendeskripsikan makna nama daerah yang terkandung
pada penamaan daerah di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara. Metode yang
digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Penelitian Kualitatatif. Ada tiga metode dan
teknik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: metode penyediaan data, metode analisis
data, dan metode penyajian data. Pada metode penyediaan data digunakan metode simak dan
cakap. Teknik dasar yang digunakan dalam metode simak adalah teknik sadap dan lanjutannya
adalah Teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan teknik catat. Teknik dasar yang digunakan dalam
metode cakap adalah teknik pancing. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik cakap
semuka. Pada metode analisis data digunakan metode padan ekstralingual dan teknik
lanjutannya adalah teknik hubung banding. Pada metode penyajian data metode yang digunakan
adalah metode penyajian informal. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan nama-nama
daerah di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara di antaranya: Aritonang. Bariba Niaek,
Dolok Martumbur, Huta Ginjang, Papande, Sampuran, Huta Nagodang, Silando, Simatupang,
Sitanggor, Unte Mungkur. Adapun latar belakang penamaan dari nama-nama daerah di
Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara terbentuk atas penemu dan pembuat, keserupaan,
legenda dan mitos. Makna nama yang terkandung pada nama-nama daerah di Kecamatan
Muara Kabupaten Tapanuli Utara terdiri atas: makna situasional, terdapat pada nama. Makna
nama kenangan, terdapat pada nama daerah.
ISSN 2685-578X 62
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nama huta (kampung) memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Melalui nama huta dapat menunjukkan identitas huta (kampungnya), Semua benda di dunia ini
memiliki nama. Pemberian nama bertujuan untuk memudahkan seseorang mengenal identitas dari
benda tersebut. Nama merupakan media yang dihasilkan dari ide atau gagasan yang di dalamnya
mengandung makna. Makna yang dimaksud adalah makna yang terlahir dari budaya dalam
kehidupan suatu masyarakat, misalnya makna nama dikaitkan dengan makna alam, benda, tempat,
atau makna nama orang-orang hebat atau pintar.
Nama adalah kata untuk menyebut atau memanggil orang, tempat, barang, binatang, dan
sebagainya (KBBI, 2002:773). Nama juga sebagai bagian dari bahasa yang digunakan sebagai
penanda identitas dan juga memperlihatkan budaya (Sibarani, 2004:108). Hampir setiap nama yang
telah ada mencerminkan suatu budaya, misalnya nama diri mencerminkan budaya yang dimiliki oleh
diri tersebut. Dalam hal ini, budaya memiliki peran penting karena budaya suatu hasil yang
diciptakan oleh manusia. Menurut Koentjaraningrat (1985:80), kebudayaan merupakan keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang menjadi
milik manusia dengan belajar. Sementara itu, Liliweri (2003:10) mengatakan budaya merupakan satu
unit interpertasi, ingatan, dan yang ada di dalam diri manusia dan bukan sekadar dalam kata-kata,
budaya meliputi kepercayaan, nilai-nilai, dan norma.
Setiap nama memiliki makna. Pemberian nama tidak hanya untuk menamai orang, tetapi juga
daerah atau tempat. Daerah-daerah diberi nama oleh masyarakatnya. Pemberian nama tidak terlepas
dari ciri-ciri atau hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang daerah tersebut, seperti halnya dengan
nama-nama daerah di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Akan tetapi dalam kenyataanya
pada zaman sekarang banyak masyarakat tidak mengetahui asal-usul dan makna nama huta
(daerahnya), sehingga masyaraknya kehilangan identitasnya mengedai daerah tempat masyarakat
tersebut tinggal.
Berdasarkan uraian di atas, alasan yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang penamaan daerah di Kecamatan Muara adalah proses pemberian nama daerah tersebut.
Masyarakat memberi nama sesuai dengan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan alam dan
lingkungan daerah tersebut yang dipengaruhi oleh faktor kebudayaan berupa kepercayaan kepada
mitos.
ISSN 2685-578X 63
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
TINJAUAN PUSTAKA
Nama diri adalah kata yang digunakan untuk menyebut diri seseorang (Ali dalam Marnita,
2000). Nama diri itu berfungsi sebagai penanda identitas seseorang (Setjadrana dalam Marnita,
2000). Dilihat dari segi ilmu bahasa, nama diri merupakan sebutan lingual yang dapat disebut sebagai
tanda (Riyadi dalam Marnita, 2000).Tanda merupakan kombinasi dari konsep atau petanda dengan
bentuk (yang tertulis atau diucapkan) atau penanda (Saussure, 1988:147). Zoest (dalam Marnita,
2000) memandang nama diri sebagai teks yang dianggap sebagai tanda yang dibentuk oleh tanda-
tanda yang lain, di antaranya tanda konvensional yang disebut simbol. Jadi, nama diri sebagai
penanda identitas juga bisa disebut sebagai simbol dan memegang peranan penting dalam
komunikasi. Contoh, palupi “teladan” selain sebagai penanda identitas wanita juga sebagai simbol
keteladanan, dan sulistya “indah”, “tampan” selain penanda identitas diri juga sebagai simbol
keteladanan. Nama diri yang berfungsi sebagai penanda identitas (Riyadi, dalam Marnita, 2000)
identik dengan apa yang dinamakan Uhlenbeck (dalam Marnita, 2000) sebagai nama diri yang tidak
bermotivasi, sedangkan nama diri yang berfungsi sebagai simbol identik dengan nama diri yang
bermotivasi.
Sistem penamaan masing-masing daerah memiliki ciri tertentu dan akan senantiasa berubah
sesuai dengan perubahan sosial budaya masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau (lihat
Marnita, 2000:4) sistem penamaan diri untuk perempuan tidak sama dengan laki-laki. Mamangan
yang mengatakan “ketek banamo, gadang bagala” hanya berlaku untuk laki-laki. Artinya, laki-laki
setelah dewasa, umumnya setelah menikah, diberi gelar. Hal ini berarti nama baginya menjadi tiada
dan sehari-hari dia dipanggil dengan gelarnya. Nama dan gelar tidak sama untuk setiap daerah di
Minangkabau.
Nama diri dalam masyarakat Minangkabau ada yang bermotivasi dan ada yang tidak
bermotivasi. Marnita (2000:5) menjelaskan bahwa nama diri laki-laki yang bermotivasi biasanya
diambil dari nama-nama nabi, atau nama-nama tokoh perjuangan dan pemimpin Islam, nama- nama
yang bermakna baik dalam bahasa Arab, penggalan nama-nama bulan Arab, ataupun Latin. Nama
laki-laki yang bermotivasi biasanya terdiri dari dua atau lebih kata, seperti Muhammad Idris dan
Abdul Kadir (tambahan pula Amir Hakim Usman dan Muhammad Muri Yusuf), nama diri
perempuan yang bermotivasi biasanya memakai nama Arab/Islam seperti Siti Khadijah dan Siti
Salamah.
ISSN 2685-578X 64
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
LANDASAN TEORI
Teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah yang telah dirumuskan.
Teori-teori tersebut adalah teori penamaan yang dikemukakan oleh Chaer (1995:44-46). Teori
penamaan digunakan untuk mengetahui kategori nama daerah dalam bentuk penamaan. Latar
belakang penamaan yang dikemukakan oleh Danandjaja (2007:27). Latar belakang penamaan
digunakan untuk mengetahui asal usul nama daerah dan makna yang dikandung oleh nama daerah
tersebut.Teori yang berhubungan dengan semantik, yaitu jenis makna yang dikemukakan oleh
Chaer (2002). Jenis makna digunakan untuk makna nama daerah. selanjutnya pengertian
antropolinguistik yang dikemukakan Sibarani (2004:50) dan makna nama yang dikemukakan oleh
Sibarani (2004:114-118). Makna nama yang dimaksud adalah makna nama yang berhubungan
dengan antropolinguistik sebagaimana yang telah dikelompokan oleh Sibarani yaitu makna
futuratif, makna situasional, dan makna kenangan.
Letak Geografis Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara
Dilihat dari geografisnya, Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Uatara berada di
kawasan pantai Danau Toba Tapanuli Utara. Letak Astronomis, Geografis, Geologis, dan
Kultur Historis” menyatakan bahwa letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari
kenyataannya dipermukaan Bumi. Secara astronomis kecamatan Muara berada pada posisi 02 º
15’ - 02 º 22’ Lintang Utara dan 98 0 49’ - 980 58’ bujur Timur, dengan luas wilayah 79,75 Km²,
(http://bonapasogittapanuliutara. blogspot.com/2014/12/) Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli
Utara yang pusat pemerintahannya di Muara.
METODE PENELITIAN
Metode dan Teknik Penelitian
Metode dan teknik penelitian merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya memiliki
konsep yang berbeda, tetapi memiliki kaitan yang erat. Metode adalah cara yang dilaksanakan
untuk menganalisis objek, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto,
1993:9). Metode dan teknik disesuaikan dengan langkah kerjanya. Mahsun (2005),membagi
metode dan teknik menjadi tiga tahapan, yaitu penyediaan data, tahap analisis hasil data, dan
tahap penyajian hasil analisis data
Metode Penyediaan Data
Pada tahap penyediaan data, metode yang digunakan adalah metode simak dan cakap.
Metode simak tidak hanya menyimak bahasa secara lisan, melainkan juga tulisan (Mahsun,
2005:92). Hal ini sesuai dengan daftar nama-nama daerah yang ada di Kantor Camat Kecamatan
Sungai Beremas. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap, yaitu melakukan
ISSN 2685-578X 65
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
penyadapan terhadap penggunaan bahasa tertulis dari daftar nama-nama daerah. Teknik sadap ini
diikuti dengan teknik lanjutan berupa Teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan teknik catat. Teknik
simak libat cakap digunakan karena peneliti ikut bicara dalam bentuk wawancara untuk
mengetahui latar belakang penamaan daerah di Kec. Sungai Beremas. Teknik catat, peneliti
mencatat hasil wawancara dengan informan.
Selanjutnya, metode cakap dilakukan karena memang terjadi percakapan antara peneliti
dengan informan. Data penulis dapatkan dengan cara mewawancarai informan. Teknik dasar yang
digunakan adalah teknik pancing, teknik ini dilakukan dengan cara memancing informan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan objek penelitian. Teknik pancing ini dilakukan
secara langsung. Artinya peneliti mendatangi dan langsung bertanya kepada informan. Teknik
lanjutan yang digunakan adalah teknik cakap semuka. Teknik cakap semuka dilakukan dengan
percakapan langsung, tatap semuka secara langsung dengan informan.
Metode Analisis Data
Pada tahap analisis data, digunakan metode padan, yaitu metode padan ekstralingual.
Metode padan ekstralingual adalah metode yang alat penentunya berada di luar bahasa yang
bersangkutan (Mahsun,2005:120). Teknik dasarnya adalah hubung banding bersifat ekstralingual,
yaitu dengan menghubungkan penamaan itu dengan makna di luarnya. Teknik lanjutan adalah
teknik hubung banding. Dalam hal ini, peneliti menghubungkan antara makna dari nama-nama
tersebut sesuai dengan makna nama yang ada dan membandingkan makna nama dengan makna
yang ada dalam kamus.
Metode Penyajian Data
Pada tahap penyajian data, digunakan metode informal untuk penyajian hasil data.
Mahsun (2005:123) menjelaskan bahwa metode informal adalah metode penyajian hasil analisis
data yang perumusannya dengan menggunakan kata-kata.
PEMBAHASAN
Pengantar
Daerah merupakan suatu kawasan yang berkaitan dengan alam dan memiliki batas-batas
tertentu dengan daerah lain di sekitarnya. Sementara itu, daerah dalam (KBBI, 2002:228) adalah
bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam sekitarnya. Sebagai sebuah
kawasan, daerah biasanya diberi nama seperti Aritonang. Bariba Niaek, Batu Binumbun, Dolok
Martumbur, Huta Ginjang, Papande, Sampuran, Huta Nagodang,Silando, Simatupang,
Sitanggor, Unte Mungkur. Pemberian nama pada suatu daerah didasarkan atas beberapa alasan,
ISSN 2685-578X 66
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
di antaranya penemu atau pembuat, legenda dan mitos, serta keserupaan. Pada masing-masing
nama daerah, terdapat arti yang dapat dianalisis berdasarkan makna kamus atau makna yang
muncul berdasarkan latar belakang nama daerah tersebut. Selain itu, pada setiap nama-nama
daerah mengandung makna yang dikaitkan dengan suatu kepercayaan seperti sejarah legenda dan
mitos. Dalam hal ini, makna nama yang terkandung pada nama-nama daerah yang ada di
Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara akan dianalisis berdasarkan makna nama dalam
antropolinguistik. Berikut akan dijabarkan nama-nama daerah yang ada di Kecamatan Muara
Kabupaten Tapanuli Utara berserta, latar belakang penamaan, dan makna nama yang terkandung
pada nama-nama daerah tersebut
Nama-nama Huta di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara.
Nama-nama daerah yang penulis temukan adalah sebagai berikut: Aritonang. Bariba Niaek, Batu
Binumbun, Dolok Martumbur, Huta Ginjang, Papande, Sampuran, Huta Nagodang, Silando,
Simatupang, Sitanggor, Unte Mungkur.
Dari nama-nama daerah di atas, ada beberapa nama yang dijadikan sampel untuk
dianalisis, disebabkan oleh nama-nama daerah tersebut memiliki nilai-nilai budaya dan bahasa
dalam pembentukannya. Nama-nama daerah tersebut adalah sebagai berikut: Aritonang. Bariba
Niaek, Batu Binumbun, Dolok Martumbur, Huta Ginjang, Huta Lontung, Papande, Sampuran,
Huta Nagodang, Sibandang, Silali Toruan, Silando, Simatupang, Sitanggor, Unte Mungkur
Latar Belakang Penamaan Huta di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara
Latar belakang penamaan daerah disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya sejarah,
legenda, dan mitos. Dengan mengetahui latar belakang penamaan daerah di Kecamatan Sungai
Beremas Kabupaten Pasaman Barat, dapat diketahui makna nama yang terkandung pada nama-
nama daerah.
Latar Belakang Penamaan Huta Berdasarkan Penemu dan Pembuat
Chaer (1995:47) mengatakan banyak nama benda yang diberi nama berdasarkan nama
penemunya, nama pabrik pembuatnya atau nama dalam peristiwa sejarah. Nama yang demikian
disebut dengan istilah appelativa. Pemberian nama seperti ini termasuk ke dalam latar belakang
penamaan berdasarkan penemu dan pembuat.
Nama huta yang latar belakang penamaannya dari sejarah adalah huta sitanggor Berikut
penjelasannya.
ISSN 2685-578X 67
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
Aritonang
Nama Aritonang diambil dari nama marga yang datang ke tempat tersebut, marga
Aritonang adalah anak ke enam Si raja Lontung dari Sembilan bersaudara. Anak Aritonang dari
Raja Aritonang yaitu, Raja Ompungsunggu sebagai anak pertama, Raja Rajagukguk sebagai anak
kedua, dan Raja Simaremare Sebagai anak ketiga. Ketiga raja tersebut mayoritas tinggal di daerah
tersebut, hal tersebutlah yang melatar belakangi sehingga huta(desa) tersebut dinamakan
Aritonang. Selain marga aritonang mayoritas tinggal di daerah tersebut, masyarakat yang tinggal
di huta tersebut banyak yang menikah sesama Aritonang.
Bariba Niaek
Kata Bariba Niaek terdiri dari dua kata yaitu Bariba dan Aek, Bariba artinya sebelah atau
seberang sedangkan Aek artinya air. Huta/desa ini dinamakan Bariba ni Aek karena huta ini
dipisahkan oleh sungai/air dengan huta lain yaitu Silali Toruan.
Kata Bariba Niaek dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat
tinggal yang berada dipemisahan oleh dua Huta.
Dolok Martumbur
Kata Dolok Martumbur terdiri dari morfem yaitu Dolok yang berarti bukit sedangkan
Martumbur berarti bertunas. Daerah ini dikatakan Dolok Martumbur karena dulu di daerah ini
pohon pinus selalu bertambah dari tahun ke tahun. Tetapi sekarang pinus tersebut sudah punah
akibat kejahilan tangan manusia. Kata Dolok Martumbur dalam semantik termasuk ke dalam
kategori makna referensial yang dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya.
Acuan tersebut adalah tempat tersebut selalu ditumbuhi/bertunas pohon pinus.
Huta Ginjang
Kata Huta Ginjang terdiri dari dua kata yaitu Huta yang artinya kampung/desa, dan
ginjang artinya atas ( di atas), tinggi. Penamaan huta ini berawal dari situasi huta tersebut. Di
kecamatan Muara, Huta Ginjang merupakan huta/desa yang lokasinya di pegunungan yang tinggi
tepat di atas huta/desa sitanggor, karena ketinggian huta/desa tersebut maka dinamakan Huta
Ginjang. Kata Huta Ginjang dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat yang
letak posisinya di dataran tinggi.
Papande
Kata papande terdiri dari dua morfem, yaitu morfem terikat sebagai pa sedangkan
Papande merupakan morfem bebas. Kata Papande diambil dari nama Pande yang artinya pandai,
pintar, terampil, dalam hal ini huta Papande diberi nama papande karena masyarakat zaman
ISSN 2685-578X 68
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
dahulu yang tinggal di daerah tersebut banyak dihuni oleh orang-orang pintar juga supaya
masyarak di huta (daerah) tersebut harus pandai, pintar, dan terampil dalam menjalani hidup.
Kata Papande dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat
tinggal yang menuntut masyarakatnya berketrampilan.
Sampuran
Sampuran berarti campuran. Daerah ini disebut sampuran karena masyarakat yang
tinggal di huta ini dihuni oleh masyarakat yang beragam marga, baik marga dari pihak boru,
pihak bere, pihak ibebere, tulang, maupun orang asing yang tinggal ditempt tersebut
Kata Sampuran dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat yang
dihuni oleh beragam marga, bercampur marga.
Huta Nagodang
Huta merupakan daerah, kampung sedangkan nagodang merupakan banyak. Daerah ini
diberi nama huta nagodang karena di daerah ini banyak di dalamnya huta, huta yang terdapat di
daerah tersebut adalah, sosor balige, simaremare, ballan guru, lumban siagian, lumban aritonang,
sibuntuon, huta barisan, hutabolon, lumban hariara.
Kata Huta Nagodang dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah daerah yang
banyak huta di dalamnya.
Silando
Kata Silando diberi nama pada huta Silando, karena Silando merupakan daratan yang
sangat luas, dan menurut kamus bahasa Batak Toba Lando artinya dataran, tanah yang sangat
luas, kata silando terdiri dari dua morfem yaitu satu sebagai morfem terikat Si dan morfem bebas
Lando. Kata Silando dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang
dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tanah yang
luas Simatupang
Nama Simatupang diambil dari nama marga yang datang ke tempat tersebut, marga
Simatupang adalah anak ke lima Si raja Lontung dari Sembilan bersaudara. Anak Simatupang
yaitu, Sitogatorop sebagai anak pertama, Sianturi sebagai anak kedua, Siburian sebagai anak
ketiga. Ketiga raja tersebut mayoritas tinggal di daerah tersebut, hal tersebutlah yang melatar
belakangi sehingga huta(desa) tersebut dinamakan Simatupang. karena mayoritas yang tinggal di
daerah tersebut adalah marga Toga Simatupang, Sitogatorop, Sianturi, Siburian. Kata
Simatupang dalam semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang dikemukakan
ISSN 2685-578X 69
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
Chaer (2002), yaitu makna yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat tinggal yang
penduduknya mayoritas marga simatupang
Sitanggor
Kata Sitanggor terdiri dari dua morfem yaitu morfem si sebagai morfem terikat, dan
morfem tanggor sebagai morfem bebas yang berarti gema, gaung. Berdasarkan namanya daerah
ini dikatakan sitanggor karena daerah ini sangat jelas terdengar suara transportasi dari jarak yang
sangat, baik suara kapal/boat, mobil dan kendaraan yang lain. Kata Sitanggor dalam semantic
termasuk ke dalam kategori makna referensial yang dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna
yang ada acuannya.
Unte Mungkur
Kata Unte Mungkur merupakan sejenis jeruk, daerah ini beri nama unte mungkur, karena
zaman dahulu, di huta ini banyak tumbuh pohon jeruk (unte mungkur) Kata Unte Mungkur dalam
semantik termasuk ke dalam kategori makna referensial yang dikemukakan Chaer (2002), yaitu makna
yang ada acuannya. Acuan tersebut adalah tempat tinggal yang di tumbuhi banyak pohon jeruk.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap nama-nama daerah di Kecamatan Muara
Kabupaten Tapanuli Utara dapat disimpulkan antara lain:
1. Latar belakang penamaan dari nama-nama daerah di Kecamatan Muara Kabupaten
Tapanuli Utara antara lain terbentuk atas: penemu dan pembuat, keserupaan, legenda,
dan mitos.
2. Kategori makna dalam semantik yang terdapat pada penamaan daerah-daerah di
Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara, semua bermakna referensial,
disebabkan oleh dalam pemberian nama mengacu pada bentuk dan kondisi alam tiap-
tiap daerah.
3. Makna nama yang terkandung pada nama daerah di Kecamatan Muara Kabupaten
Tapanuli Utara terdiri atas dua jenis, yaitu makna nama situasional dan makna nama
kenangan. Makna nama situasional terdapat pada nama Aritonang. Bariba Niaek, Batu
Binumbun, Dolok Martumbur, Huta Ginjang, Huta Lontung, Papande, Sampuran,
Huta Nagodang, Sibandang, Silali Toruan, Silando, Simatupang, Sitanggor, Unte
Mungkur
4. Makna nama-nama daerah di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara hampir
semuanya dikaitkan dengan peristiwa yang berdasarkan situasi dan kondisi daerah.
Hal ini mencerminkan bahwa nama daerah bukan sekedar pennyebutan saja,
melainkan adanya peristiwa-peristiwa yang terdapat di setiap daerah.
ISSN 2685-578X 70
Jurnal PBI Nommensen, Vol.1, No.1, Edisi Juli
DAFTAR PUSTAKA
Bawa dan I Wayan Cika (penyunting). 2004. Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar:
University Undayana.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.Jakarta: PT Rineka Cipta.
. 2007. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja, James.2007. Folklor indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Djajasudarma, T. Fatimah.1993. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung:
Eresco
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistik Anthropology. Cambridge: Cambridge University press.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti.1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS.
Huki,Luci.2012. “Letak Astronomis, Geografis, Geologis, dan Kultur Historis”(
http://www.astronomis-geografis.net/index.php/artikel). Di akses pada tanggal 17 Januari
2014 pukul 09.00 WIB
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Manaf, Ngusman Abdul.2008. Semantik: Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia. Padang: Sukabina Offset.
Navis. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT
Pustaka Grafitipers.
Sibarani, Robert. 2004. Antropologi Linguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda
Sudaryanto. 1983. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Tantri, Francis. 2009. Ekonomi Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga. Jakarta: Depertemen Pendidikan Nasional.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2009. Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia. Jakarta:
Depertemen Pendidikan Nasional.
Wijana, I Dewa Putu, dan Rohmadi, Muhammad. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta:
Gema Pustaka.