JURNAL FARMASETIK

9

Click here to load reader

description

NBFDHGFJ

Transcript of JURNAL FARMASETIK

Page 1: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

172

KAJIAN KOMPATIBILITAS SEDIAAN REKONSTITUSI PARENTERAL DAN

PENCAMPURAN SEDIAAN INTRAVENA PADA TIGA RUMAH SAKIT

PEMERINTAH DI SUMATERA BARAT

(Compatibility Study on Reconstituted Parenteral Dosage Form and Intravenous

Admixture at Public Hospitals in West Sumatra)

Henny Lucida1, Khairil Armal2, Harefa3, Muslim Suardi1, Puspa Pameswari1, Miranda

Yuneidi1, Allan Bara Yufi1 , Lahvem Alginda1, Lisa Bella Aprianda1

1 Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang 2 Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi

3 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Zein Painan

email: [email protected]

ABSTRACT

This paper reports observational prospective studies on the reconstitution and

admixture of the intravenous/parenteral dosage forms by nurses at three public hospitals in

West Sumatra namely DR. M. Djamil Hospital Padang, The National Stroke Hospital (RSSN)

Bukittinggi and Dr. M Zein Hospital Painan from October 2011 – January 2013. Procedures

observed were the reconstitution of antibiotic dried injections (meropenem, ceftriaxon and

cefotaxim) and the admixture of phenytoin sodium parenteral solution, regarding aseptic

technique, the type and volume of solvent or intravenous solution used in the admixtures.

These were then confirmed by laboratory experiments of the same procedures to assess

dosage form compatibility and concentration of drug dissolved.

Results showed that aseptic techniques had not been applied during the reconstitution

and admixture procedure of parenteral solution at all hospitals observed. Dried injection of

antibiotics were reconstituted with sterile aqueous solution on the trolley in The Internal

Medicine Ward of Dr. M Djamil and Dr. M. Zein Hospital respectively, while at the RSSN

(ICU) it was done in the nurse station. At two hospitals, the dried powdered antibiotics were

reconstituted with half recommended volume of solvent. Phenytoin sodium injection solution

was mixed with inappropriate solvent (Ringer Lactate). The use of inappropriate solvent type

and volume would potentially result in drug’s physical incompatibility such as precipitation

and concentration reduction. Laboratory data showed that reconstitution of Meropenem with

sterile aqueous solution at recommended volume obtained concentrations of 100.55%,

98.95% and 91.05% at time=0; 24 and 48 hours respectively at room temperature. If it was

reconstituted with half of that volume, the concentrations were 78.56%, 78.50% and 73.32%

at time=0; 24 and 48 hours respectively at room temperature. Dried injection of cefotaxim

reconstituted with recommended volume of solvent obtained the solute concentrations of

102.07%; 96.31% and 93.43% at time=0; 24 and 48 hours, followed by discoloration at room

temperature. If it was reconstituted with half of that volume, the concentration of drug in

solution was 88.35% at time=0; visually no precipitation but discoloration occurred during

storage at room temperature.

In conclusion, the reconstitution and admixture of the intravenous/parenteral dosage

forms at the hospitals have not fulfilled Good Preparation Practice (GPP) criteria and required

pharmacist’s supervision. Nurses should be trained about GPP and equipped with the

Standard Operation Procedure (SOP).

Keywords: antibiotics dried injection, reconstitution of parenteral dosage forms, intravenous

admixtures.

Page 2: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

173

PENDAHULUAN

Pencampuran intravena (intravenous

admixtures) merupakan suatu proses

pencampuran obat steril dengan larutan

intravena steril untuk menghasilkan suatu

sediaan steril yang bertujuan untuk

penggunaan intravena. Ruang lingkup dari

intravenous admixtures adalah pelarutan atau

rekonstitusi serbuk steril, penyiapan suntikan

intravena sederhana, dan penyiapan suntikan

intravena kompleks (Kastango, 2004). Sesuai

Standar Kompetensi Apoteker Indonesia,

apoteker bertanggung jawab untuk

memastikan bahwa pencampuran sediaan

steril di rumah sakit sesuai dengan Praktek

Penyiapan Obat yang Baik (Good

Preparation Practices, GPP) sehingga

terjamin sterilitas, kelarutan dan

kestabilannya. Bila terjadi ketidaktepatan

dalam pencampuran intravena, baik dari segi

prosedur aseptis, teknik pencampuran,

pelarutan, dan penyimpanannya dapat

menyebabkan pengendapan obat yang

beresiko menimbulkan penyumbatan pada

alat injeksi dan membahayakan pasien.

Tempat dan lama penyimpanan juga

berpengaruh pada stabilitas obat. Obat yang

sudah direkonstitusi memiliki batas waktu

kestabilannya sehingga perlu diperhatikan

lama penyimpanannya.

Faktor ketidakstabilan di dalam air

menyebabkan sediaan injeksi antibiotika

turunan -laktam seperti golongan

sefalosporin dan meropenem tersedia dalam

bentuk serbuk yang harus direkonstitusi

dengan pelarut yang sesuai segera sebelum

digunakan. Proses rekonstitusi sediaan

antibiotika yang tidak sesuai GPP dapat

memicu ketidak efektifan terapi, bila

berlangsung terus menerus dan masiv dapat

menjadi salah satu pemicu terjadinya

resistensi bakteri terhadap antibiotika

tertentu. Resistensi bakteri penyebab infeksi

nosokomial telah menjadi masalah serius di

rumah sakit Indonesia dan perlu dikendalikan

(KEMENKES, 2011). Selain rekonstitusi

antibiotika, hal lain yang berpotensi

menimbulkan masalah adalah pencampuran

larutan injeksi obat dengan cairan intravena

steril sebelum diberikan kepada pasien. Salah

satunya adalah larutan injeksi fenitoin

natrium yang mengandung propilen glikol

untuk meningkatkan kelarutannya. Proses

pencampuran yang tidak tepat berpotensi

menyebabkan pengendapan sehingga kadar

obat terlarut berkurang dan menyebabkan

tidak optimalnya terapi sehingga dapat

menyebabkan penurunan kualitas hidup

pasien maupun mengancam jiwa.

Proses rekonstitusi dan pencampuran

sediaan intravena biasanya dilakukan oleh

perawat segera sebelum disuntikkan kepada

pasien. Proses ini perlu diawasi oleh farmasis

untuk menjamin bahwa prosedur yang

dilakukan telah sesuai GPP. Oleh karena itu,

kami tertarik untuk mengevaluasi cara

penyiapan larutan injeksi antibiotika dan

fenitoin natrium pada 3 rumah sakit

pemerintah yang berbeda. Tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui apakah prosedur

rekonstitusi dan pencampuran intravena telah

mengikuti GPP. Proses yang sama dilakukan

di laboratorium untuk membuktikan apakah

proses tersebut menghasilkan sediaan injeksi

yang memenuhi syarat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan gabungan

antara metoda observasi prospektif di rumah

sakit dan pembuktian di laboratorium. Alat

dan bahan yang digunakan di laboratorium

adalah: shaking incubator (Memmert),

Spektrofotometer UV-Vis (SHIMADZU

1700), sediaan steril meropenem generik

(Dexa Medica), sefotaksim generik (Dexa

Medica), fenitoin generik (PT. Ikapharmindo

Putramas), aqua pro injection, Ringer Laktat

dan NaCl 0,9% (PT. Widatra Bhakti).

Penelitian di rumah sakit

dilaksanakan selama masing-masing 3 bulan

mulai bulan Oktober 2011 sampai Januari

2013 bertempat di Bangsal Penyakit Dalam

dan Bangsal Syaraf Rumah Sakit DR. M.

Page 3: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

174

Djamil Padang, Ruang ICU RSSN

Bukittinggi dan Bangsal Penyakit Dalam

Rumah Sakit Dr. M. Zein Painan.

Pengamatan dilakukan terhadap prosedur

rekonstitusi injeksi kering meropenem,

seftriakson dan sefotaksim serta

pencampuran larutan injeksi fenitoin natrium

meliputi:

a. Lokasi rekonstitusi dan pencampuran

sediaan intravena

b. Prosedur aseptis

c. Jenis dan volume pelarut yang

digunakan masing-masing oleh 3

orang perawat yang berbeda. Hasil

pengamatan dicatat dan dibandingkan

dengan persyaratan di literature.

Prosedur yang dilakukan perawat

diulangi di laboratorium untuk

menganalisis apakah terjadi

pengendapan dan penetapan kadar zat

aktif terlarut.

Metoda analisis kuantitatif yang

dilakukan meliputi:

a. Penetapan metoda analisis dan validasi

metoda analisis meropenem, fenitoin

natrium dan sefotaksim (Patel, 2012;

Walash, 2011 dan Kumar, 2011)

Sejumlah tertentu zat aktif

dilarutkan di dalam sejumlah volume

aqua pro injection kemudian dikocok

hingga homogen. Larutan induk

kemudian diencerkan sehingga

konsentrasi menjadi 15 µg/mL lalu

diukur absorban dengan panjang

gelombang 200 – 400 nm untuk

penetapan panjang gelombang

maksimum Untuk validasi metoda

analisis, dilakukan pengenceran

bertingkat larutan induk zat aktif

sehingga menghasilkan suatu seri

larutan zat aktif. Absorban masing-

masing larutan ditentukan pada

panjang gelombang maksimum

masing-masing zat aktif. Linearitas

respon alat terhadap konsentrasi zat

aktif ditentukan melalui persamaan

regresi kurva kalibrasi. Nilai limit

deteksi dan limit kuantitasi dihitung

berdasarkan persamaan:

Limit deteksi (LOD) = 3,3 ×

SD/S

Limit quantitasi (LOQ) = 10 ×

SD/S

Dimana SD adalah simpangan

baku residual dan S adalah

kemiringan kurva.

b. Penetapan Kelarutan Masing-Masing

Obat dalam Pelarut yang sesuai

menurut literature (Trissel, 2009)

Masing-masing zat aktif

dilarutkan atau dicampurkan dengan

pelarut yang sesuai (meropenem dosis

1 g dilarutkan dengan 25 mL aqua

pro injection, fenitoin ampul dosis

100 mg dicampurkan dengan 50 mL

NaCl 0,9%, sefotaksim dosis 1 g

dilarutkan dengan 12 mL aqua pro

injection) kemudian diletakkan dalam

shaking incubator dengan perputaran

100 rpm pada suhu 250C selama 2

jam untuk mencapai kesetimbangan

sistem. Larutan diukur absorbannya

dengan spektrofotometer UV.

Penetapan kadar juga dilakukan pada

selang waktu 24 jam untuk melihat

stabilitas larutan.

c. Penetapan Kelarutan Masing-Masing

Obat dengan Jenis dan Volume

Pelarut yang Ditemukan di Rumah

Sakit.

Meropenem dosis 1 g

dilarutkan dengan 10 mL aqua pro

injection kemudian dikocok sampai

homogen. Larutan disaring dengan

kertas saring kemudian filtrat diambil

dan diukur absorbannya dengan

spektrofotometer UV. Penetapan

kadar juga dilakukan pada selang

waktu 24 jam untuk melihat stabilitas

larutan.

Fenitoin ampul dosis 100 mg

dicampurkan dengan 50 mL Ringer

Laktat. Larutan dikocok sampai

homogen dan diukur absorbannya

dengan spektrofotometer UV.

Penetapan kadar juga dilakukan pada

Page 4: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

175

selang waktu 24 jam untuk melihat

stabilitas larutan.

Sefotaksim dosis 1 g

dilarutkan dengan 2,5 mL aqua pro

injection kemudian dikocok sampai

homogen. Larutan disaring dengan

kertas saring kemudian filtrat diambil

dan diukur absorbannya dengan

spektrofotometer UV. Penetapan

kadar juga dilakukan pada selang

waktu 24 jam untuk melihat stabilitas

larutan.

HASIL DAN DISKUSI

Hasil Jumlah pasien yang menggunakan

antibiotik meropenem di bangsal penyakit

dalam RSUP DR. M. Djamil Padang dari

bulan Mei hingga Juli 2012 adalah 44 orang

(laki-laki 21 orang; perempuan 23 orang).

Meropenem merupakan antibiotika pilihan

terakhir apabila terapi dengan antibiotika

lainnya tidak efektif. Ketiga perawat yang

diamati melakukan prosedur yang sama

dalam proses pencampuran sediaan

intravena. Proses pencampuran dilakukan

diatas trolli pada ruangan perawatan pasien

tanpa mempertimbangkan kondisi aseptis.

Jenis dan volume pelarut yang digunakan

dapat dilihat pada Tabel I.

Dari penelitian yang dilakukan

selama kurang lebih tiga bulan (November

2012 - Januari 2013) di bangsal penyakit

dalam RSUD Dr. M. Zein Painan, jumlah

pasien yang menggunakan seftriakson adalah

44 orang (laki-laki 25 orang; perempuan 19

orang). Sedangkan jumlah pasien yang

menggunakan sefotaksim adalah 13 orang

(laki-laki 9 orang; perempuan 4 orang).

Antibiotik injeksi yang paling banyak

digunakan di bangsal penyakit dalam RSUD

Dr. M. Zein Painan adalah seftriakson

(77,19%) dan sefotaksim (29,82%)

disamping antibiotik injeksi lain seperti

levofloksasin (3,5%), ciprofloksasin (1,75%)

dan gentamisin (1,75%). Proses

pencampuran dilakukan diatas troli pada

ruang perawatan tanpa mempertimbangkan

teknik aseptis. Jenis dan volume pelarut yang

digunakan dapat dilihat pada Tabel I.

Hasil observasi yang dilakukan di

Ruang ICU RSSN Bukittinggi dari bulan Juli

– September 2012, jumlah pasien yang

menerima sediaan parenteral berupa injeksi

kering seftriakson dan sefitaksim yang

direkonstitusi adalah 21 orang. Sediaan

direkonstitusi di ruangan perawat tanpa

memperhatikan teknik aseptis; jenis dan

volume pelarut seperti pada Tabel I.

Dari pengamatan pencampuran

larutan injeksi fenitoin natrium di Bangsal

Syaraf Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang

terdapat ketidak tepatan jenis cairan

intravena pada beberapa kasus yaitu

penggunaan Ringer Laktat meskipun

sebagian besar telah menggunakan NaCl

0,9% sesuai persyaratan literature (Tabel I).

Untuk mengkonfirmasi apakah

prosedur pelarutan di rumah sakit telah

menghasilkan sediaan obat yang stabil

dengan dosis yang sesuai, maka perlu

dilakukan analisis kuantitatif zat aktif

terlarut. Hasil validasi metoda analisis secara

spektrofotometri UV-Visibel dapat dilihat

pada Tabel II.

Page 5: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

176

Tabel I. Data ketepatan volume pelarut untuk rekonstitusi meropenem sefotaksim dan

seftriakson di 3 rumah sakit yang diamati

Sediaan (dosis)

Jenis & volume pelarut

yang ditambahkan

Tempat

pencampuran

Teknik

aseptis Rumah

Sakit

Seharusnya

(Trissel,

2009))

Injeksi kering

meropenem

(1 gram)a

Aqua pi;10

mL

Aqua pi; 20

mL

Ruang

perawatan

pasien

-

Injeksi kering

meropenem

(0,5 gram)a

Aqua pi; 5

mL

Aqua pi;10

mL

Ruang

perawatan

pasien

-

Injeksi kering

seftriakson

(1 gram)b

Aqua pi; 10

mL

Aqua pi; 10

mL

Ruang

perawatan

pasien

-

Injeksi kering

sefotaksim

(1 gram)b

Aqua pi; 5

mL

Aqua pi; 5

mL

Ruang

perawatan

pasien

-

Injeksi kering

seftriakson (1 gram)c

Aqua pi; 5

mL

Aqua pi; 10

mL

Ruang

perawat

-

Injeksi kering

sefotaksim (1 gram)c

Aqua pi; 5

mL

Aqua pi; 5

mL

Ruang

perawat

-

Larutan injeksi fenitoin

natrium (100mg/2mL)d

Ringer

Laktat

NaCl 0,9%,

kadar

<5mg/mL

Ruang

perawatan

pasien

-

a : Bangsal Penyakit Dalam Rumah Sakit DR. M Djamil Padang

b : Bangsal Penyakit Dalam RSUD Dr M Zein Painan

c : Ruang ICU RSSN Bukittinggi

d : Bangsal Syaraf Rumah Sakit DR. M Djamil Padang

Tabel II. Hasil Validasi Metoda Analisis

No. Zat Aktif max (nm) Persamaan regressi LOD

(g/mL)

LOQ

(g/mL)

1. Meropenem 298,4 y=0,0253x – 0,0089;

(r = 0,9998)

0,29 0,97

2. Sefotaksim 233,6 y=0,0359x – 0,0052;

(r = 0,9993)

0,36 1,19

3. Fenitoin

natrium

218 y=0,0421x + 0,0313;

(r = 0,9997)

0,21 0,72

Hasil penetapan kadar meropenem,

sefotaksim dan fenitoin natrium bila

dilarutkan sesuai literature dan bila

dilarutkan menurut prosedur di rumah sakit

dapat dilihat pada Tabel III.

Page 6: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

177

Tabel III. Kadar zat aktif di dalam sediaan parenteral setelah direkonstitusi atau dicampur

No. Nama zat aktif Kadar zat aktif setelah rekonstitusi/pencampuran

(%)

Keterangan

Prosedur sesuai

literature

Prosedur di rumah sakit

1. Meropenem 100,55% (t=0)

98,95% (t=24 jam)

91,05% (t=48 jam)

78,56% (t=0)

78,50% (t=24 jam)

73,32% (t=48 jam)

2. Sefotaksim 102,07% (t=0)

96,31% (t=24 jam)

93,43% (t=48 jam)

88,35% (t=0) Terjadi

perubahan

warna setelah

disimpan

3. Fenitoin natrium 91,76% (t=0)

80,72% (t=24 jam)

76,00% (t=48 jam)

89,44% (t=0)

82,96% (t=24 jam)

76,72% (t=48 jam)

Terjadi

pengendapan

Reaksi inkompatibilitas yang terjadi

diantaranya adalah perubahan warna larutan

sefotaksim setelah direkonstitusi dan

terjadinya pengendapan fenitoin setelah

dicampur baik dengan NaCl 0,9% maupun

dengan Ringer laktat (Gambar 1) .

Gambar 1. Pengendapan fenitoin setelah pencampuran dengan NaCl 0,9% (kiri) dan Ringer

laktat (kanan)

Diskusi Hasil pengamatan pada semua rumah

sakit menunjukkan bahwa proses rekonstitusi

dan pencampuran sediaan parenteral belum

memperhatikan teknik aseptis untuk

mencegah kontaminasi mikroba selama

proses pelarutan/pencampuran berlangsung.

Terdapat 4 faktor yang menentukan apakah

sterilitas sediaan parenteral dapat dijaga

selama proses pencampuran yaitu ruangan

yang memiliki tingkat kontaminasi mikroba

minimal, bahan dan alat steril, perawat

terlatih dan penerapan teknik aseptis. Oleh

sebab itu melarutkan sediaan injeksi di atas

troli pada ruang perawatan bukan merupakan

pilihan yang tepat, karena di ruangan tersebut

lalu lintas manusia tidak terkontrol. Idealnya,

proses rekonstitusi dan pencampuran sediaan

injeksi antibiotika dilakukan di dalam

ruangan bersih dengan kontaminasi mikroba

minimal, sebaiknya di dalam ruang khusus

yang memiliki penyaring udara. Dalam

kondisi ruangan yang terbatas di rumah sakit,

bila pencampuran dilakukan di ruang

perawatan, sebaiknya perawat menggunakan

sarung tangan steril dan kapas yang dibasahi

etanol 70% untuk mengurangi kontaminasi

mikroba pada sediaan injeksi. Jarum dan

karet penutup vial diaseptiskan dengan kapas

yang dibasahi etanol 70% sebelum karet vial

ditusuk, karena kontaminan dari udara

tempat merekonstitusi sediaan dapat

Page 7: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

178

menempel pada penutup vial dan jarum

suntik (IV Reconstitution Video, 2010).

Jika dilihat dari cara merekonstitusi

sediaan ada beberapa perawat yang

mengocok vial dengan posisi jarum tetap

berada di dalam vial dan ada sebagian

dengan jarum dikeluarkan dari dalam vial.

Dan pada saat mengocok vial/botol ada yang

mengocok dengan kencang dan tidak pada

posisi 90o sehingga ditemukan serbuk pada

tutup vial, dan pada beberapa kasus

ditemukan serbuk yang tidak larut pada

bagian bawah vial. Tetapi sebagian besar

kasus serbuk terlarut dengan sempurna.

Seharusnya pada saat pengocokan vial, jarum

dibiarkan di dalam vial, hal ini bertujuan

untuk mencegah menempelnya kontaminan

pada jarum suntik. Pengocokan sebaiknya

dilakukan pada posisi 900 karena pada posisi

ini kontak antara zat dengan pelarut lebih

besar dan zat dapat terlarut dengan baik.

Pengocokan tidak boleh dilakukan terlalu

kencang, karena dapat menyebabkan serbuk

tertinggal dibagian bawah tutup vial.

Proses rekonstitusi meropenem

dengan aqua pro injection dengan volume

separuh dari yang seharusnya

memperlihatkan konsentrasi meropenem

yang berbeda serta akan mempengaruhi

kesempurnaan kelarutannya di dalam sediaan

akhir. Meropenem agak sukar larut dalam air

dengan kelarutan 1:30-100 sehingga

meropenem belum dapat larut dengan

sempurna apabila 1 g dilarutkan dalam 10

mL air steril, begitu juga dengan 500 mg

yang dilarutkan dengan 5 mL air steril seperti

yang dilakukan di rumah sakit. Kelarutan

yang tidak sempurna akan mempengaruhi

kadar obat di dalam darah sehingga akan

mempengaruhi keefektifan obat dalam

menyembuhkan infeksi yang diderita oleh

pasien. Pada studi lain dinyatakan bahwa,

konsentrasi yang optimal meropenem adalah

50 mg/mL sehingga meropenem dapat

disimpan selama 8 jam pada suhu 25°C dan

48 jam pada suhu 4°C (Sweetman, 2009;

Astrazeneca, 2007). Jadi, volume pelarut

yang digunakan di rumah sakit tidak sesuai

dengan volume minimal yang disarankan

oleh literatur untuk menjamin obat dapat

terlarut dengan sempurna sebelum

diinjeksikan kepada pasien.

Sediaan injeksi seftriakson di RSUD

Dr. M. Zein Painan disiapkan dengan cara

melarutkan 1 g serbuk kering dalam vial

dengan 10 ml aqua pro injeksi (sesuai dengan

literatur dan instruksi pabrik). Untuk

pemberian 2 g tetap di larutkan masing-

masing 1 gram dan untuk pemberian 500 mg

tetap dilarutkan 1 gram dalam vial 10 ml

kemudian diambil 5 ml, dan sisanya hanya

dibuang saja. Untuk kasus seperti ini,

sebaiknya jika pasien yang mendapat dosis

500 mg lebih dari satu orang maka

penyiapannya dapat dilakukan secara

bergantian. Maksud secara bergantian adalah

10 ml diambil 5 ml untuk pasien A dan 5 ml

lagi untuk pasien B, begitu seterusnya untuk

pasien dengan regimen yang sama.

Cara rekonstitusi di atas sudah benar,

seftriakson 250 mg, 500 mg, 1 g, atau 2 g

masing-masing dapat direkonstitusi dengan

2,4; 4,8; 9,6; atau 19,2 ml larutan IV

kompatibel untuk mendapatkan larutan

dengan konsentrasi sekitar 100 mg/ml

(AHFS, 2011; Trissel, 2009). Seftriakson

yang direkonstitusi dengan aqua pro injeksi

yang menghasilkan konsentrasi 100 mg/ml

hanya boleh disimpan maksimum 6 jam pada

suhu < 250 C atau 24 jam dalam lemari es

(instruksi pabrik). Seftriakson yang

direkonstitusi dengan dekstrosa 5%, SWFI,

atau NaCl 0,9% dengan konsentrasi 100

mg/ml stabil selama 2 hari bila disimpan

pada suhu kamar (250 C) (Association

Pharmacist American, 2010).

Sediaan injeksi sefotaksim disiapkan

dengan melarutkan 1 g serbuk kering

sefotaksim dalam vial dengan 5 ml aqua pro

injeksi (sesuai dengan literatur dan instruksi

pabrik), dan untuk pemberian 2 g tetap

dilarutkan 1 gram dalam 5 ml aqua pro

injection sebanyak dua kali. Sefotaksim 500

mg, 1 g, 2 g masing-masing dapat

direkonstitusi dengan 10 ml aqua pro injeksi

untuk mendapatkan larutan dengan

konsentrasi sekitar 50, 95, dan 180 mg/ml

(AHFS, 2011; Trissel, 2009).

Pemberian injeksi antibiotika hasil

rekonstitusi sudah tepat pasien karena pada

Page 8: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

179

saat penyiapan semua sediaan dilabel terlebih

dahulu dengan menuliskan nama pasien,

nama obat dan ruangan tempat pasien

dirawat. Sediaan disiapkan kurang lebih satu

jam sebelum jam pemberian, setelah sediaan

direkonstitusi langsung diberikan kepada

pasien, dan waktu pemberian nya sudah sama

setiap hari nya yaitu setiap jam 12 siang

untuk pemberian satu kali sehari, setiap jam

12 siang dan 12 malam untuk pemberian dua

kali sehari.

Pencampuran larutan injeksi fenitoin

(ampul) dengan NaCl 0,9% ataupun Ringer

Laktat menghasilkan larutan yang tidak stabil

dan tidak kompatibel sehingga menimbulkan

endapan berupa kristal fenitoin. Dari

pengamatan di rumah sakit tidak dapat

diketahui dengan pasti apakah terjadi

endapan kristal fenitoin saat pencampuran

larutan fenitoin, baik dengan NaCl 0,9%

ataupun dengan Ringer Laktat. Namun

diketahui dari pengalaman dan pengamatan

sebelumnya bahwa setiap sediaan fenitoin

yang diproduksi dari pabrik yang berbeda

dan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat yang

diproduksi dari pabrik yang berbeda akan

menghasilkan stabilitas dan kompatibilitas

larutan yang berbeda pula. Sediaan fenitoin

yang dipakai di RSUP. DR. M. Djamil

Padang sendiri merupakan produksi

MersiFarma dan Ikapharmindo sedangkan

NaCl 0,9% dan Ringer Laktat diproduksi

Widatra dan Bibrown.

Tobias dan Kellick mengamati secara

mikroskopis larutan 10 mg natrium fenitoin

dalam 1–50 mL NaCl 0,9% dan mereka

menemukan bentuk kristal fenitoin dalam

semua konsentrasi larutan yang mereka buat.

Namun mereka tidak menemukan kristal saat

pemberian infus intravena. Frank mengulang

kembali penelitian yang mereka lakukan dan

memperoleh hasil yang sama. Lain halnya

dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh

Chan, yang mencatat bahwa campuran dari

100 mg fenitoin dalam 25 – 50 mL NaCl

0,9% menghasilkan bentuk mikrokristal

dengan segera, terjadi dalam rentang waktu

10–15 menit (Lawrence, 2007).

Baumann et al. meneliti pencampuran

natrium fenitoin dengan konsentrasi 1 g/L

dalam dekstrosa 5%; NaCl 0,9%; campuran

dekstrosa 5% dan NaCl 0,9%; dan dalam

Ringer Laktat. Pada waktu yang berbeda

sampel disaring dengan saringan 0,22 µm.

Pada filtrat yang dihasilkan oleh larutan

NaCl 0,9% dan Ringer Laktat tidak terjadi

pengkristalan dalam waktu 4 jam dan terjadi

pengkristalan 0,8% dalam waktu 8 jam.

Bentuk kristal tidak terlihat hingga 6–9 jam

setelah pencampuran. Sebaliknya, pada

larutan dekstrosa 5% dan campuran dekstrosa

5% dan NaCl 0,9%, terlihat pengkristalan 1–

8 jam. Bentuk kristal terlihat dalam hitungan

menit (Lawrence, 2007).

Data analisis kadar zat terlarut dalam

sediaan antibiotika hasil rekonstitusi

menunjukkan hasil yang memenuhi syarat

bila jenis dan volume pelarut sesuai yang

tertera di etiket atau literature. Namun bila

dilarutkan dengan volume pelarut separuhnya

menghasilkan kadar obat yang tidak

memenuhi syarat (< 90%), sehingga tidak

sesuai dengan dosis yang seharusnya

diinjeksikan kepada pasien. Fenomena ini

dapat menyebabkan tidak efektifnya terapi

atau memperpanjang lama rawatan pasien.

Analisa kompatibilitas menunjukkan

terjadi pengendapan fenitoin setelah

pencampuran dengan NaCl 0,9% atau Ringer

Laktat. Pelarut yang disarankan untuk

pencampuran injeksi fenitoin natrium adalah

NaCl 0,9% (Trissel, 2009). Pengendapan

terjadi diduga disebabkan berkurangnya

kelarutan fenitoin natrium di dalam pelarut

campur. Pengalaman farmasis di rumah sakit

menunjukkan bahwa pencampuran dengan

larutan NaCl 0,9% dengan merk tertentu

dapat menghasilkan injeksi fenitoin natrium

tanpa pengendapan. Disamping itu,

inkompatibilitas lainnya adalah berkurangnya

kadar obat terlarut selama penyimpanan pada

suhu kamar. Oleh sebab itu sangat disarankan

larutan injeksi antibiotika segera diberikan

kepada pasien setelah direkonstitusi. Bila

harus disimpan, disarankan di dalam lemari

pendingin.

Page 9: JURNAL FARMASETIK

Prosiding Seminar Nasional dan Workshop “Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik IV” tahun 2014

180

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa prosedur

rekonstitusi dan pencampuran sediaan

parenteral di rumah sakit belum memenuhi

kriteria Good Preparation Practice (GPP)

dan perlu diawasi oleh farmasis. Perawat

perlu dibekali dengan pelatihan dan prosedur

operasi standar rekonstitusi dan pencampuran

sediaan parenteral.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan

kepada pimpinan dan perawat terkait di

RSUP DR. M. Djamil Padang, Rumah Sakit

Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi dan

RSUD Dr. M Zein Painan yang telah

memberikan izin dan membantu

terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Association Pharmacist American. 2009-

2010. Drug Information Handbook 18th

edition. USA: Lexi-Comp.

Astrazeneca. 2007. Product monograph of

Merrem. Ontario: Astrazeneca Canada

Inc.

American Society of Health-System

Pharmacists Customer Service

Department. 2011. AHFS Drug

Information Essentials. American

Society of Health-System Pharmacists

Customer Service Department, inc.

7272 Wisconsin Avenue Bethesda.

Kastango, E.S., Bradshaw, B.D. 2004. USP

chapter 79: Establishing a practice

standard for compounding sterile

preparations in pharmacy. Am J

Health-Syst Pharm, 6, 1928-1938.

KEMENKES RI. 2011. Pedoman Pelayanan

Kefarmasian Untuk Terapi

Antibiotik.Jakarta: KEMENKES RI.

Kumar, C.H.A., Kumar, T.A., Gurupadayya,

B.M., Sloka, S.N., M.B Rahul Reddy.

2010. Novel spectrophotometric

determination of Valacyclovir and

Cefotaxime using 1, 2 napthaquinone-

4-sulfonic acid sodium in bulk and

pharmaceutical dosage form. Scholars

Research Library, 4, 278-287.

Lawrence. 2007. United states

pharmacopoeia thirtieth edition. USA:

The United States Pharmacopeial

Convention

Patel, N. 2012. Method development and

validation for the simultaneous

estimation of meropenem and

sulbactam sodium. Current Pharma

Research, 2, 480-486.

Sweetman, C Sean. 2009. Martindale The

Complete Drug Reference 36th Edition.

London: Chicago Pharmaceutical

Press.

Trissel, Lawrence A. 2009. Handbook on

Injectable Drugs ed 15th. American

Society of Health System Pharmacists.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale. (36th

edition). London: Pharmaceutical

Press.

Walash, M.I., Rizk, M.S, Sheribah, Z.A,

Salim, M.M. 2011. Derivative

spectrophotometric analysis of

benzophenone (as an impurity) in

phenytoin. Chemical Central journal,

5, 85.