Jurnal Arsitektur Lansekap Vol.2 No.1, Desember 2008-01
-
Upload
vickyrizaldi -
Category
Documents
-
view
473 -
download
20
Transcript of Jurnal Arsitektur Lansekap Vol.2 No.1, Desember 2008-01
Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X
JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam
Landscape Changes and Global Warming ( Perubahan Lansekap dan Pemanasan Global)
Penerbit :
Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti
www.epi-ed.eu
FAO Climate Change Publication - 2009
FAO Climate Change Publication - 2009
www.plainair.com
Documenting Climate Change UNSCC - 2005 Top Plan Landscape – Rihan CC 53, TOP ARCH 2
SUSUNAN PERSONALIA REDAKSI JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam
Penerbit Jurusan Arsitektur Lansekap
Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti
Pelindung
Dekan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti
Penanggung Jawab
Ketua Jurusan Arsitektur Lansekap Ketua Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia
Mitra Bestari
Prof.Dr.Ir. Zoer’aini Djamal Irwan, Msi. Ir. Jusna M Amin, PhD.
Dr.Ir. Nizar Nasir Nasrullah, MS. Dr.Ir. Indra Tjahjani, MLA.
Dewan Redaksi
Dr.Ir. Titien Suryanti, MSi. Ir. Sumiantono Raharjo, MT. Ir. Quintarina Uniaty, MSA. Ir. Hendrati Pringgodigdo
Redaktur Pelaksana
Dr.Ir. Titien Suryanti, MSi. Ir. Ahmad S. Hamzah, MM.
Percetakan
UPT Penerbitan dan Percetakan, Universitas Trisakti
Alamat
Gedung K, Lantai VII – Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan – Universitas Trisakti
Jln. Kyai Tapa Grogol – Jakarta Barat Telp. 021 – 5663232 ext. 760/761
Fax. 021 – 5667525 E-mail: [email protected]
i JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X
1
Gambar Sampul diambil dari : 1). www.epi-ed.eu, 2). FAO Climate Change Publication – 2009, 3). FAO Climate Change Publication – 2009,
4). www.plaiair.com, 5). Documenting Climate Change UNSCC – 2005, 6). Top Plan Landscape, Rihan.CC –
TOP ARCH 53
ii JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X
Redaksi Jurnal Arsitektur Lansekap menerima artikel/makalah ilmiah yang berisi informasi maupun gagasan asli dan belum pernah dipublikasikan atau dimuat di media cetak lain. Informasi lengkap dapat diperoleh melaui alamat Penerbit/Redaksi, seperti tercantum dalam jurnal ini.
*)
JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP
Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam
Daftar Isi Susunan Personalia Redaksi Jurnal Arsitektur Lansekap
Editorial RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN REKLAMASI JAKARTA
INTERNATIONAL RESORT
Iwan Ismaun.
LANDSCAPE SUSTAINABILITY DAN PENGEMBANGAN PROSPEKTIF
LANSEKAP PERKOTAAN
Quintarina Uniaty.
PENELUSURAN PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN
MASALAH BANJIR DI JAKARTA
Silia Yuslim
PENANGGULANGAN LAHAN PASCA PEKERJAAN ENGINEERING
Landasan Konseptual Rencana dan Rancangan Lansekap
IB. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S. Hamzah
VISUAL ASSESSMENT AND FACTOR AFFECTING VISUAL RATING
OF MAN-MADE LANDSCAPE ELEMENTS IN WETLAND
Mohd. Kher, H., Noorizan, M., Awang Noor, A.G., Kamariah, D.
iii JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X
Editorial
Dunia saat ini, sedang menghadapi permasalahan besar menyongsong perubahan
iklim yang mulai dianggap sebagai bencana, terutama naiknya suhu bumi dan akan
terjadi pada abad ini. Sebuah kondisi yang dinilai sebagai ancaman global warming.
Bagaimana manusia dan masyarakat bumi menyikapi hal tersebut?. Kesiapan apa
yang harus dilakukan jika kita tidak ingin menuai bencana? Amukan badai yang
makin sering terjadi, iklim yang tidak terprediksi, kekeringan, banjir dalam skala
masif yang akan memporak-porandakan bentukan muka lahan bumi.
Dalam Arsitektur Lansekap, dikenal istilah unit lansekap dasar atau basic
landscape units yang terdiri dari pesisir pantai (coastal area), dataran rendah (plain
area) lembah dan perbukitan (ridge and valleys), pegunungan (mountain area) dan
kawasan danau (lake zones). Setiap unit lansekap memiliki identitas dan karakter
masing-masing, memiliki sisi-sisi yang rawan apabila tidak diperlakukan sesuai
dengan hukum alam yang ada, oleh karena permukaan lahan dan tanahnya memiliki
run-off corridors; memiliki kapasitas menahan air, kematangan, tekstur dan porositas.
Setiap upaya pembangunan pada unit lansekap dasar tanpa memperhatikan standar,
parameter dan dimensi alam dengan karakter dan sistem ekologi setempat
mengakibatkan kerusakan nilai fisik dan estetika, yang akan merubah outstanding
landscape quality yang ada.
Ancaman global warming, perlu disikapi dengan konsep dan pendekatan
pembangunan berwawasan lingkungan, dalam pengertian pembangunan harus
seimbang dan setara dengan tujuan konservasi, sebagai upaya menjauhkan diri dari
perilaku absural manusia yang akan merusak potensinya. Sebuah perencanaan
pembangunan kawasan hendaknya merupakan alat kendali terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kawasan; peraturan dan perundang-undangan serta ‘dialog publik’
perlu dibangun sebagai strategi dan penerapan mekanisme pengawasan pembangunan
(SR).
iv JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X
RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN REKLAMASI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT
Iwan Ismaun
Jurusan Arsitektur Lansekap – FALTL – Universitas Trisakti [email protected]
Abstract
Urban development in general focused more on economic dimension than ecologic dimension. Natural environment conversed into built environment without considering ecosystem principles. Development of urban physical structure head to maximum, while development of natural structure were minimum. In urban system open green space were hopped to becoming main proponent of areal system where its natural elements and structures were supposed to be a united system integrated with areal space system plan, on specified site, urban or regional area. The pattern of urban green open space’s network, function, and distribution will create a system known as Urban Green Open Space System, that will act as control tool to physical development. Jakarta International Resort Reclamation Area as part of urban development in Jakarta were built with ecological principles in order to maintain a balance environmental system in the development of built area. Keywords; green open space, ecology, reclamation I. PENDAHULUAN
Perkembangan kota Jakarta, sesuai
arahan tata ruang sangat dibatasi ke
arah selatan sebagai daerah resapan air.
Perkembangan arah barat dan timur
juga semakin terbatas, oleh karena itu
dalam upaya memenuhi lahan untuk
pembangunan, pemerintah daerah DKI
Jakarta berencana untuk membangun
kawasan reklamasi di pantai utara Ja
karta. Didalam pembangunan, terutama
pembangunan fisik, perubahan lahan
alami menjadi area terbangun tetap
harus mengedepankan prinsip-prinsip
ekologi yang saat ini lebih dikenal se
bagai pembangunan berwawasan ling
kungan. Dalam konsep struktur kawa
san berwawasan lingkungan, peruba
han penggunaan lahan didasarkan pada
Social Use Values, Market Values dan
Ecological Values (Urban Land Use
Planning, 2000). Pendekatan baru da
lam model manajemen perubahan tata
guna lahan perkotaan adalah untuk
mencoba mengintegrasikan vitalitas
dan aktivitas perkotaan dengan segala
aspeknya melalui kriteria ekologis; se
bagai sebuah sistem yang akan dapat
menjaga keberlangsungan ekosistem
kawasan pada saat kini dan masa da
tang. Pendekatan ini mengembangkan
sistem ekologi alam (the ecology of
natural system) dan penekanan pada
sistem ekologi masyarakat (the ecology
of community) khususnya pada kawas
1 JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
an perkotaan. Prinsip keanekaragaman
berkaitan dan sejalan dengan proporsi
serta desentralisasi dalam sistem ekolo
gi yang diharapkan dapat berperan
dalam konsep pembangunan kawasan.
Gambar 1.
Gambar 1. Tiga Pilar Utama dalam Manajemen
Perubahan Tata Guna Lahan
Undang-undang Republik Indonesia
No.26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mengisyaratkan tentang pemba
ngunan kota berwawasan lingkungan
dengan amanat perihal proporsi ruang
terbuka dan ruang terbangun, dimana
luas Ruang Terbuka Hijau minimal
30% dari total keseluruhan luas kota;
terdiri dari minimal 20% ruang terbuka
hijau publik dan 10% merupakan ruang
terbuka privat. Proporsi 30% merupa
kan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota, baik
keseimbangan sistem hidrologi dan sis
tem mikroklimat, maupun sistem ekolo
gis lain. Selanjutnya akan meningkat
kan ketersediaan udara bersih yang di
perlukan masyarakat, serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estetika kota.
Untuk lebih meningkatkan fungsi dan
proporsi ruang terbuka hijau, pemerin
tah, masyarakat, dan swasta didorong
untuk menanam tumbuhan di atas ba
ngunan gedung miliknya yang lebih di
kenal sebagai taman atap (green roof
dan green wall). Undang-undang RI
tentang Penataan Ruang telah mengako
modasikan pembangunan kawasan per
kotaan berwawasan lingkungan dengan
tetap mempertimbangkan kelestarian
lingkungan dan diharapkan menjadi
alat kendali bagi setiap pembangunan
fisik termasuk reklamasi pantai.
II. FUNGSI EKOLOGIS RUANG
TERBUKA HIJAU
Kawasan Reklamasi Jakarta Inter
national Resort (JIR) dengan luas
821,30 Ha merupakan bagian pengem
bangan tata ruang wilayah pantai utara
DKI Jakarta. Secara ekologis unsur
alam sebagai pembentuk ruang terbuka
hijau seperti vegetasi dan badan air
dapat meningkatkan kualitas lingku
ngan kawasan reklamasi, terutama
dalam memperbaiki iklim mikro atau
ameliorasi iklim, penyerapan polusi
udara (terutama karbon dioksida/CO2)
2 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
dan produksi oksigen (O2) yang sangat
diperlukan oleh manusia dalam per
napasan. Oleh karena itu keberadaan
vegetasi dan badan air di kawasan
reklamasi sebagai unsur ruang terbuka
hijau sangat berperan dalam mening
katkan kualitas lingkungan.
Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa, hijauan tanaman terutama
tanaman pohon mampu menjerat dan
menyerap bahan cemaran udara, baik
yang berupa gas maupun partikel.
Salah satu organ tanaman yang dapat
berfungsi untuk mengeliminer bahan
cemaran adalah daun. Daun merupakan
salah satu organ vegetatif tanaman
yang mempunyai fungsi penting,
karena pada daun terjadi suatu proses
perubahan energi cahaya matahari
menjadi energi kimia, sehingga semua
tanaman tergantung kepada daun, baik
secara langsung maupun tidak lang
sung. Peran vegetasi sebagai paru-paru
kota terwujud karena adanya zat hijau
daun yang sering disebut chlorophyl,
yang memungkinkan terjadinya foto
sintesa, yang persamaan reaksi kimia
nya dapat dituliskan sebagai berikut:
Dalam proses fotosintesa tersebut
gas karbon dioksida (CO2) diserap
oleh tanaman dan dari proses tersebut
dihasilkan oksigen (O2) yang me
rupakan unsur penentu bagi ke
langsungan hidup semua makhluk di
muka bumi, termasuk manusia. Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan,
bahwa pohon besar dengan tinggi
kurang lebih 25 meter dengan diameter
15 meter dapat memproduksi 1,7 kg
oksigen (O2) per jam setelah men
yerap 2,3 kg karbon dioksida (CO2)
(A.N. Rao dan Wee Yeow Chin, dalam
Singapore Trees, 1989).
Gambar 2 . Proses Fotosintesa Sumber: Wikipedia 2006 dan Singapore Trees 1989
Pohon tinggi 25 meter dengan dia
meter tajuk 15 meter, termasuk dalam
kategori pohon besar, dimana luas
hijau daun dapat mencapai 150 m2.
Hijau daun dengan clorophyll inilah
yang memungkinkan terjadinya proses
fotosintesa, untuk menghasilkan O2
dan menyerap CO2.
Badan air seperti danau, waduk,
situ, kolam dan badan air lainnya yang
tidak berarus mempunyai ekosistem
akuatik yang khas. Badan air yang
12 H2O + 6 CO2
C6H12O6 + 6 H2O + 6 O2 chlorofil
Energi cahaya matahari
CO2 (2,3 kg/Jam)
O2 (1,7 kg/Jam)
3 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
selalu mendapat cahaya matahari yaitu
“zona limne” dan tepian air yang
berhubungan dengan daratan yaitu
“zona litoral” dipenuhi oleh organisme
autotrof seperti fitoplankton, algae dan
tanaman air lainnya. Organisme ter
sebut dengan cahaya matahari selalu
melakukan proses fotosintesis dalam
hidupnya. Badan air seperti situ me
mainkan peranan penting dalam proses
perombakan bahan organik yang ber
asal dari lahan sekitarnya dan juga
pencemar udara yang masuk ke dalam
air. Lewat proses perombakan oleh
mikroorganisme, bahan pencemar ter
sebut berubah menjadi senyawa esen
sial seperti nitrogen (N) dan phospor
(P) yang dimanfaatkan fitoplankton
dalam perairan sebagai bahan untuk
perkembangannya. Selanjutnya fito
plankton akan memanfaatkan karbon
yang terbentuk atau masuk dari udara
untuk proses fotosintesis. Selain fito
plankton, beberapa jenis makrofita
dalam air juga turut membantu proses
fotosintesis yang berarti ikut me
nambah suplai oksigen dalam air.
Fitoplankton di dalam air berperan
sebagai produsen primer di perairan
situ atau badan-badan air yang tidak
berarus. Dalam proses biologisnya,
fitoplankton akan memanfaatkan kar
bon sebagai sumber energinya dan
melalui proses fotosintesis akan
dihasilkan oksigen. Oksigen akan ter
lepas ke dalam air dan ke udara. Oleh
karena itu badan air seperti situ, danau,
kolam merupakan ekosistem akuatik
yang dapat menjalankan proses-proses
ekologis terutama siklus karbon.
III. KEBUTUHAN OKSIGEN,
PENYERAPAN KARBON DIOKSI
DA DAN EKO - HIDROLOGI KA
WASAN REKLAMASI
Berdasarkan analisis konsultan,
ketiga area reklamasi (Golf Island,
Resort Island dan Marina Island) pada
kawasan JIR akan dihuni sekitar
681.570 jiwa apabila dikembangkan
dengan KLB 1.53. jumlah penduduk
setiap pulau dengan pengembangan
KLB 1.53 dapat dilihat pada tabel 1.
Dari data tersebut diperkirakan
kebutuhan oksigen (O2) bagi penghuni
ketiga pulau reklamasi.
Gambar 3. Ekosistem Akuatik Sumber: Environmental Science, Earth as living planet,
4th edition, 2003
4 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
Tabel 1. Pengembangan Reklamasi
dengan KLB 1,53
NAMA PULAU
LUAS PENG-HUNI TETAP
TENAGA
KERJA
JML (orang)
Pulau 2A (Golf
Island)
287,5 ha 18.498 246.422 264.920
Pulau 1 (Resort Island)
286,7 ha 16.059 195.357 211.416
Pulau 2B (Marina Island)
247,1 ha 14.922 190.249 205.171
821,3 ha 49.479 632.028 681.507
Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2007 3.1. Penghijauan untuk Memenuhi
Kebutuhan Oksigen (O2)
Manusia membutuhkan oksigen
(O2) untuk pernapasan demi keber
langsungan hidupnya. Setiap orang
membutuhkan oksigen 2,9 kg/hari atau
0,12 kg/jam. Kebutuhan oksigen ini
harus dapat dipenuhi oleh vegetasi
dengan berbagai jenis yang ada di
ruang terbuka hijau kawasan reklamasi
JIR.
Dari data jumlah penduduk tetap
dan penduduk bergerak yang ada di
setiap pulau maka dapat dihitung
kebutuhan oksigennya. Kebutuhan
oksigen untuk penduduk setiap pulau
maupun seluruh pulau dapat dilihat
pada tabel 2. Dengan asumsi jumlah
penghuni seluruh kawasan JIR 681.507
Tabel 2. Kebutuhan Oksigen (O2)
Pengembangan Reklamasi dengan KLB
1,53
NAMA PULAU/
BLOK LUAS
PDDK TETAP
TENA-GA
KERJA JML
Pulau 2A (Golf
Island)
287,5 ha
18.498 2. 219,76
kg
246.422 29.570,64 kg
264.920 31.790,40 kg
Pulau 1 (Resort Island)
286,7 ha
16.059 1.927,08
kg
195.357 23.442,84 kg
211.416 25.369,92 kg
Pulau 2B (Marina Island)
247,1 ha
14.922 1.790,64
kg
190.249 22.829,88 kg
205.171 24.620,52 kg
821,3 ha
49.479 5.937,48
kg
632.028 75.834,36 kg
681.507 81.780,84 kg
Sumber: Hasil Analisis, 2007
orang (KLB 1.53), maka dibutuhkan
oksigen sejumlah 81.780,84 kg/jam
atau 1.962.740,16 kg/hari. Kebutuhan
oksigen tersebut dapat dipenuhi dengan
penanaman tanaman penghujauan
sejumlah 48.106 pohon dengan
kategori besar (dapat memproduksi
1,7 kg O2/jam) atau 96.212 pohon
dengan kategori pohon sedang (dapat
memproduksi 0,850 kg O2/jam).
Khusus untuk Pulau 1 (International
Resort Island), dengan jumlah pendu
duk tetap dan bergerak 211.416 orang
dengan kebutuhan oksigen 25.369,92
kg/jam maka diperlukan 14.923 pohon
dengan kategori pohon besar atau
29.846 pohon dengan kategori pohon
sedang.
5 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
3.2. Penghijauan untuk Menyerap
Karbondioksida (CO2)
Jumlah kendaraan/moda angkutan
yang beroperasi di kawasan reklamasi
(KNI) berdasarkan bangkitan dan tarik
an perjalanan (tripgen) dengan KLB
1,53 jumlah kendaraan berbagai moda
angkutan yang beroperasi diperkirakan
berjumlah 48.890 unit, terdiri dari
internal 15.572 unit (31,85%) dan
eksternal 33.318 unit (68,15%). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Bangkitan dan Tarikan Perjalanan (Trip Gen) dengan Pengembangan KLB 1,53
NAMA PULAU
LUAS TRIP GEN
Internal
TRIP GEN
Eksternal JML
Pulau 2A
(Golf Island)
287,5 ha 6.058 12.959 19.071
Pulau 1 (Resort Island)
286,7 ha 4.827 10.328 15.155
Pulau 2B
(Marina Island)
247,1 ha 4.687 10.031 14.718
821,3 ha
15.572 (31,85%)
33.318 (68,15%)
48.890 (100%)
Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2007 Dari data tersebut dapat diperkirakan
produk karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan oleh kendaraan/moda ang
kutan yang harus dieliminir oleh vege
tasi (ruang terbuka hijau) di kawasan
reklamasi.
Penghijauan untuk menyerap kar
bon dioksida (CO2) dengan KLB
1,53
Dari berbagai referensi dapat
diasumsikan, bahwa rata-rata ken
daraan/moda angkutan dapat menge
luarkan 3,4 kg CO2 per kendaraan
(kontribusi pencemaran udara) dalam
proses pembakaran mesin kendaraan.
Dengan jumlah kendaraan/moda ang
kutan 48.890 unit maka CO2 yang
dihasilkan mencapai kurang lebih
166.266 kg. Jumlah ini harus dapat
dielimenir oleh RTH dengan unsur
vegetasinya untuk menciptakan ling
kungan yang bersih dan sehat. Untuk
menyerap karbon di oksida sejumlah
tersebut diperlukan vegetasi sejumlah
72.272 pohon dengan kategori pohon
besar (dapat menyerap 2,30 kg CO2
/jam). Atau dapat menanam pohon
penghijauan sejumlah 144.544 pohon
dengan kategori sedang (dapat
menyerap 1,150 kg CO2/jam).
Khusus untuk Pulau 1 (International
Resort Island) yang akan segera di
bangun diperlukan 22.043 pohon
besar, atau 44.806 pohon sedang untuk
menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh
kendaraan. Berikut contoh tanaman
pantai yang dapat menjalankan proses-
proses ekologis.
6 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
Gambar 4. Tanaman Pantai yang dapat menjalankan
proses-proses Ekologis.
3.3. Pembangunan Badan Air Pada
Kawasan Reklamasi
Sesuai perencanaan kawasan
reklamasi JIR, pada setiap pulau ter
dapat kolam yang berfungsi sebagai pe
nampungan air untuk menjaga Sali
nitas, sistem drainase, menjaga iklim
mikro dan fungsi ekologis lainnya.
Dengan curah hujan tertinggi harian
317 mm dan rata-rata tahunan 1.700
mm (data BMG 2007), maka volume
curah hujan yang dapat ditampung di
kawasan reklamasi seperti terlihat pada
tabel berikut:
Tabel 4. Volume air hujan berdasarkan
curah hujan harian tertinggi 317 mm
(awal Januari 2008) NAMA
PULAU LUAS
VOLUME AIR
HUJAN
Pulau 2A
(Golf
Island)
287,5 ha 91.353,06 m3
Pulau 1
(Resort
Island)
286,7 ha 91.169,20 m3
Pulau 2B
(Marina
Island)
247,1 ha 77.760,10 m3
821,3 ha 260.282,36 m3
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Tabel 5. Volume air hujan berdasarkan
curah hujan rata-rata tahunan 1.700
mm
NAMA
PULAU LUAS
VOLUME AIR
HUJAN
Pulau 2A
(Golf
Island)
287,5 ha 489.906 m3
Pulau 1
(Resort
Island)
286,7 ha 488.920 m3
Pulau 2B
(Marina
Island)
247,1 ha 417.010 m3
821,3 ha 1.395.836 m3
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa kontribusi air hujan di kawasan
reklamasi selama satu tahun dengan cu
rah hujan rata-rata tahunan 1.700 mm
untuk fungsi eko-hidrologis sebanyak
1.395.836 m3.
Barringtonia sp. Bruquiera sp.
Hibiscus tiliacius
7 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
IV. KESIMPULAN
Sesuai dengan rencana tata guna
lahan reklamasi KNI, maka kebutuhan
tanaman/vegetasi untuk pemenuhan
oksigen (O2) dan penyerapan karbon
dioksida (CO2) akan didistribusikan
pada lahan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) baik yang bersifat publik
maupun privat yang berada di atas
tanah (landed). Ruang terbuka hijau
dibangun dapat berupa taman-taman
lingkungan, halaman bangunan, jalur
hijau jalan, jalur hijau tepi air, hijau
bangunan dan lahan hijau lainnya.
Catatan: dengan adanya rencana JIR Sumber: Konsultan, 2007
Disamping itu untuk menghijaukan
pantai Muara Angke (bagi pening
kakan kualitas lingkungan pantai)
dengan penambahan hutan bakau
sepanjang 1.790 m dengan ketebalan
100 m (luas 17,90 hektar), dapat
mengkontribusi pohon dengan kategori
sedang sejumlah 19.888 pohon (diper
lukan lahan 9m2/ph).
Adanya badan-badan air seperti ko lam
retensi dan saluran drainase pada
kawasan reklamasi, dapat dipergu
nakan sebagai penampungan curah
hujan yang berfungsi untuk menjaga
salinitas dan men ciptakan iklim mikro
kawasan reklamasi. Disamping itu
badan-badan air tersebut dapat ber
fungsi sebagai eko-hidrologi kawasan
reklamasi.
V. SARAN
Dengan adanya keterbatasan luas
lahan reklamasi, maka perlu diper
timbangkan beberapa alternatif distri
busi penghijauan di kawasan KNI
sebagai media penanaman. Alternatif
lain dalam pemenuhan penghijauan
untuk fungsi penyerapan karbon
dioksida (CO2) dan kebutuhan oksigen
(O2), selain penanaman pada lahan
peruntukan Ruang Terbuka Hijau se
bagai Hijau Alami yang berada diatas
tanah (landed), juga dapat dikembang
kan Hijau Kanopi seperti Taman Atap
(Roof Garden /Eco-roof), Taman
Gantug (Hanging Garden), Peng
hijauan di Atas Tanggul dan Peng
hijauan Vertikal (Green Wall/ Verti
cal Landscape / Verti culture).
8 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
Dengan disribusi Ruang Terbuka
Hijau dan Penghijauan berdasarkan
kajian ekologis, diharapkan kawasan
reklamasi Jakarta International Resort
dapat menjadi kawasan lingkungan
binaan yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan (sustainable built
environment).
Gambar 5. MASTER PLAN KAWASAN REKLAMSI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT Sumber: Jakarta Konsultindo, 2007
Gambar 6. PERSPEKTIF KAWASAN REKLAMSI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT Sumber: Jakarta Konsultindo, 2007
9 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
DAFTAR PUSTAKA
A.N. Rao & Wee Yeow Chin, 1989,
Singapore Trees. Singapore
Institute of Biology.
Botkin & Keller, 2003, Environmental
Science, Earth as living planet,
4th edition. John Wiley &Sons.
Girardet, Herbert, 1992, Cities; New
Direction for Sustainable Urban
Living. Anchor Book Doubleday.
Grove, AB&RW, Creswell, 1983, City
Landscape, Butterworth, Lon
don.
Leitman, Josef, 1999, Sustaining
Cities, Environmental Planning
and Management in Urban
Design, Mc.Graw Hill Book
Company.
Mc.Harg, Ian.L, 1992, Design With
Nature, John Willey & Sons, Inc.
Simonds, John Ormsbee, 1994,
Garden Cities 21, Creating A
Livable Urban Environment,
Mc. Graw Hill Book Company.
Stren, Richard (ed), 1992, Sustainable
Cities; Urbanization and The
Enviroment in International
Perspective. Westview Press.
Undang Undang Republik Indonesia,
Nomor 26 Tahun 2007, tentang
Penataan Ruang, Departemen
Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Penataan Ruang.
10 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun
LANDSCAPE SUSTAINABILITY DALAM
PENGEMBANGAN KAWASAN LANSEKAP PROSPEKTIF KOTA
Quintarina Uniaty Jurusan Arsitektur Lansekap – FALTL – Universitas Trisakti
Abstract
The trend world wide is towards urbanization. By the year 2000, more than half of the world’s population is expected to live in urban areas. Of this, the greater part, nearly two-thirds will be found in developing countries. Many cities in developing world are experiencing environmental problem which often lack direction at the strategic level to address them. At the most obvious, a sustainable city will imply ecological sustainability. Stated otherwise, it will imply working with the natural environment; that seeing nature as a system, planning and design in accordance with its proccesses and cycles. The sustainable city, at the second level, implies economic sustainability; the issues of how to achieve production that will have a low impact on the environment, and low energy use-in one sense they are the same issues that arise in ecological sustainability. A third level of understanding of the sustainable city would typically focus on cultural sustainability, in the face of an increasingly global civilization; that local culture and diversity have to be sustained. Landscape is strength of a concept lies in the way in which it focuses on the interaction between people and nature. Landscape is both a way of viewing the environment which is more than objectively scientific, and a means of describing the world about natural and the human aspects. The notion of landscape has certain distinctive characteristics ;
• It contains both natural and cultural values and features, and focuses on the relationship between these;
• It is both physical and metaphysical, with social, cultural and artistic association. While landscape is how we see the world, it must more than mere scenery and appearance.
• While we can experience landscape only in the present, it is the sum of all past changes to the environment it is where past and present meet.
• Landscape is universal – it exists throughout each country • Landscape gives identity to place, and hence diversity to the setting places of our
lives To develop an urban lanscape prospective we need to build ‘sustainable-city concept’ in approaching landscape sustainability and will support in strategy for sustainable development that ensuring a better quality of life for everyone, now and future generations to come. Key Words; Sutainable Development, Sustainable City, Landscape Sustainability, Prospective Landscape, Urban Landscape Design.
11 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
*)
I. PENDAHULUAN
Prospektif lansekap perkotaan me
rupakan basis potensi bagi kawasan
yang ingin membangun dirinya sebagai
sebuah pembangunan kawasan berba
sis lingkungan dan berkelanjutan. Bebe
rapa pemikiran dan konsep pemba
ngunan merupakan pertimbangan bagi
keberhasilannya.
Sustainable Development adalah
pembangunan yang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi
yang akan datang didalam memenuhi
kebutuhan mereka (WCED - Piagam
Brundtland, 1987). Sustainable Deve
lopment merupakan perkembangan
yang melahirkan pelayanan terhadap
lingkungan, sosial dan ekonomi tanpa
membahayakan keberadaan sistem
alam, sosial dan lingkungan terbangun
sebagai tempat hidup dan bergantung.
Sustainable Development bertujuan
meningkatkan kualitas hidup manusia
dalam segala aspek dengan tidak mem
boroskan sumberdaya alam yang tidak
terbarukan serta tidak melampaui
kapasitas dan daya dukung lingkungan.
Sosialisasi pembangunannya harus me
lalui mekanisme pengawasan masyara
kat yang dilakukan secara vertikal dan
horizontal, sehingga dapat menjadi
satu kesatuan sustainable management
yang akan menghasilkan kepercayaan
masyarakat dan hasil pembangunan
yang efektif dan efisien.
Dokumen Caring for the Earth
dalam Strategy for Sustanable Living,
1991 sebagai usulan dari UNEP,
IUNC, WWF, menyebutkan; bahwa
antara pembangunan dan konservasi
sumber daya alam haruslah seimbang.
Konservasi bukan dimaksudkan seba
gai penghambat, tetapi merupakan
pendukung utama dari pembangunan.
Konservasi akan menjamin kebutuhan
masa datang, untuk memastikan pem
bangunan dapat berlanjut. Dengan
demikian suatu kawasan perlu menjaga
keseimbangan perkembangannya me
lalui nilai-nilai dan fungsinya dengan
baik. Makna sustainable harus me
menuhi prasyarat utama terhadap kon
disi surplus atau minimal sama; antara
total natual capital stock sebagai total
resources masa yang akan datang.
Dengan demikian pemahaman
sustainable (Stern, 1992 dalam
Srinivas, 1997) harus berpijak pada
tiga aspek utama, yaitu; sistem eko
logi, ekonomi dan sosial.
Sistem perkotaan terpadu adalah
perkotaan yang mampu membangun
sinergi antara elemen terbangun, ling
kungan dan sosial, yang akan menjadi
tolak ukur keberhasilan perkembangan
kota masa depan. (Srinivas,1997)
12 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Permasalahan ruang kota dapat
dilihat dari komponen pembentuknya,
yaitu ; komponen lingkungan sosial
(socio-environment), komponen lingku
ngan alam (natural environment) dan
komponen lingkungan buatan (built
environment).
II. PENDEKATAN KEPADA
KONSEP SUSTAINABLE CITY
Kota adalah wadah aktifitas ma
nusia dimana mereka merupakan kon
sumen terbesar terhadap sumber daya
alam. Perkembangan pembangunan ber
kelanjutan merupakan hal yang esen
sial bagi kota-kota di dunia, demikian
pula bagi kota-kota di Indonesia. Kare
na aktifitas manusia tidak dapat selalu
memanfaatkan sumber daya alamnya
tanpa upaya penyelamatannya untuk
generasi penerus.
Pembangunan berkelanjutan didasar
kan pada dua konsep terkait, yaitu ;
• Konsep kebutuhan (the concept of
needs) ; menciptakan kondisi yang
menjaga tetap terpenuhinya kebu
tuhan hidup yang memadai bagi
masyarakat.
• Konsep keterbatasan (the concept
of limits) ; memperhatikan dan men
jaga kapasitas lingkungan untuk da
pat memenuhi kebutuhan masa kini
dan masa yang akan datang.
Dalam wacana lingkungan, ‘sus
tainable’ sering digunakan sebagai
istilah umum untuk merujuk pada
istilah ‘ecologically sustainable’ atau
‘environmentally sustainable’. Pada
pertengahan abad kedua puluh manusia
mulai memahami sepenuhnya bahwa
keberlangsungan keberadaan manusia
bergantung pada jaringan proses-
Gambar.1 Diagram Elemen sustainable development
13 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
ECONOMY
ENVIRONMENT
SOCIETY
Human Well Being
Environmental Sustainability Ecosystem integrity Carrying capacity Biodiversity
Economic Sustainability Growth Development Productivity Trickle-down
Social Sustainability
Cultural identity Empowerment
Accessibility Stability
Equity
Sumber; Jenks, M., Birton. E., William, K, 1996
proses alam. Kapasitas sistem ini untuk
mendukung kehidupan terbatas dan
sangat mungkin untuk dikurangi oleh
tuntutan-tuntutan yang ada.
Aktivitas manusia dapat dianggap
‘ecologically sustainable’, jika akti
vitas-aktivitas tersebut tidak mengu
rangi kapasitas sistem alam untuk men
dukung kehidupan. Aktivitas tersebut
dianggap ‘ecologically unsustainable’,
jika ia tidak dapat dilanjutkan dalam
jangka panjang tanpa membahayakan
sistem-sistem yang memungkinkan ada
nya kehidupan. Istilah ‘carrying capa
city’ telah digunakan dalam ekologi un
tuk merujuk jumlah maksimum spesies
yang dapat didukung oleh sebuah kawa
san dalam jangka waktu tertentu.
Sustainable City mengakomodasi
prinsip-prinsip pembangunan ber
kelanjutan yang mengutamakan integ
rasi pembangunan terhadap lingkungan
alam, ekonomi dan sosial. Dalam
lingkup urban sustainability; pemaham
an sustainable city dapat digambarkan
seperti diagram berikut dibawah ini:
III. LANDSCAPE SUSTAINABILITY
Aplikasi konsep sustainability ke
dalam pembangunan kota disebutkan
sebagai berikut ; sebuah keberlanjutan
memiliki implikasi penting pada ben
tuk perkotaan, basis material kehidup
an perkotaan, dan pada hubungan
sosial masyarakat yang harus dieks
presikan sebagai ukuran praktis dalam
perencanaan. Ukuran ini haruslah
menegaskan efisiensi penggunaan
ruang perkotaan, mengurangi peng
gunaan sumber daya material dan
energi, meningkatkan kenyamanan hi
Gambar 2. Diagram Pendekatan Urban Sustainability dan Ruang Lingkup Pemahaman Sustainable City
14 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
SUSTAINABLE CITY
Ecological sustainability Melihat alam sebagai sebuah sistem, serta merencanakan dan merancang sesuai dengan daur dan prosesnya
Economic sustainability Mewujudkan produksi dengan tingkat penggunaan energi rendah dan dampak yang relatif rendah terhadap lingkungan
Cultural sustainability Merupakan bagian dari sejarah dan identitas manusia yang harus dijaga oleh manusia sendiri.
Sumber: Foo, A.F. & Yuen, Belinda, 1999
dup masyarakat, dan mengatur proses-
proses administratif dan perencanaan
yang dapat bersinggungan secara sen
sitif dan komprehensif dengan adanya
kompleksitas ekologis dan sosial
ekonomi.
Karakteristik lansekap sebuah kawa
san terdiri dari aspek-aspek yang kasat
mata (tangible) dan tidak kasat mata
(intangible). Aspek-aspek ini secara
individual ataupun kolektif memberi
karakter historis pada lansekap dan
membantu pemahaman akan arti pen
ting nilai kebudayaan. Karakteristik lan
sekap sangat beragam, dari pola ber
skala besar hingga hal-hal yang ber
hubungan dengan detil dan material pa
da sebuah kawasan. Di bawah ini ada
lah komponen dalam karakteristik lan
sekap (Page, Robert. R, Cathy Gilbert,
Susan A. Dolan, 1998, p; 53) ya itu ;
• Sistem dan ciri alam (Natural
Systems and Features); ciri-ciri
alam yang mempengaruhi perkem
bangan lansekap dan bentukan
yang dihasilkan alam pada kawa
san (geomorfologi, geologi, hidro
logi, ekologi, iklim, vegetasi se
tempat).
• Organisasi keruangan (Spatial
Organization); pengaturan elemen
elemen pencipta bidang dasar, bi
dang vertikal dan bidang atap yang
membentuk dan menegaskan sis
tem keruangan dalam skala tapak
maupun kawasan.
• Penggunaan lahan (Land Use); or
ganisasi, bentuk dan bentukan lan
sekap terkait dengan penggunaan
lahan.
• Tradisi budaya (Cultural Tradi
tions); kegiatan kegiatan yang mem
pengaruhi penggunaan dan pola
pembagian lahan, bentuk bangun
an, dan penggunaan material.
• Penataan kluster (Cluster Arrange
ment); lokasi bangunan dan struk
tur lain dalam kawasan.
• Sirkulasi (Circulation); ruang-ru
ang, fitur-fitur, dan material-materi
al yang membentuk sistem per
gerakan.
• Topografi (Topography); konfigura
si tiga dimensi permukaan lansekap
yang dicirikan oleh struktur yang
terbentuk dan orientasinya.
• Vegetasi (Vegetation); tanaman-
tanaman asli atau baru berupa po
hon, semak, tanaman rambat, rum
put, dan tanaman herbal.
• Bangunan dan struktur (Buildings
and Structures); konstruksi tiga
dimensi seperti bangunan umum, ja
lan, rumah, jembatan.
• View dan vista (Views and Vistas);
fitur-fitur alami atau buatan yang
15 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
dapat menciptakan kontrol pandang
an.
• Fitur-fitur air buatan (Constructed
Water Features); fitur buatan dan
elemen-elemen air untuk tujuan
fungsional dan estetika.
• Fitur-fitur berskala kecil (Small
Scale Features); kombinasi fungsi
dan estetik dengan elemen-elemen
detil yang memberikan keanekara
gaman.
• Kawasan arkeologis (Archeological
Sites); kawasan yang di dalamnya
terdapat sisa peninggalan masa
lampau bernilai historis.
Gambar 3. Diagram Dimensi sustainable development
IV. KASUS : LANSEKAP
PROSPEKTIF KOTA
SAWAHLUNTO, POTENSI DAN
PERMASALAHAN
Permasalahan lingkungan global
yang terjadi secara umum adalah me
nurunnya daya dukung lingkungan
akibat peningkatan aktifitas manusia
dengan eksploitasi sumberdaya alam
dan akibat-akibat yang ditimbulkan
nya. Permasalahan yang kemudian
muncul adalah makin meningkatnya
frekuensi dan cakupan bencana, ling
kungan kumuh, menurunnya kualitas
lingkungan ; banjir, kekeringan, pence
maran udara, air dan tanah.
Kota-kota di Indonesia pada umum
nya merupakan warisan sejarah Islam
16 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability)
Pembangunan berjalan selaras dengan proses-proses ekologis Biodiversity/Keberagaman makhluk hidup
Konservasi dan perlindungan sumber daya alam
Keberlanjutan Ekonomi
Pembangunan efisien dan kompetitif secara
ekonomi.
Pembangunan juga memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang.
Keberlanjutan Sosial
Pembangunan meningkatkan kontrol
individu terhadap kehidupan mereka masing-masing.
Hasil pembangunan
didistribusikan secara merata.
Keberlanjutan Kultural
Pembangunan selaras dengan konsep budaya
setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Sumber: Benson, John F and Maggie H Roe, 2000
dan pendudukan Belanda. Kota-kota
kolonial umumnya berkembang dari
kombinasi antara kota administratif
dan perdagangan. Sebagai warisan seja
rah kolonial Sawahlunto memiliki ciri
khusus, bukan hanya karena kebera
daannya, tetapi juga dari sejarah kota,
pertumbuhan bentuk serta fisik kota
nya. Pemerintahan Belanda memba
ngun Sawahlunto sebagai kota dengan
kegiatan ekonomi melalui pembangun
an tambang batubara Ombilin, jaringan
kereta api dan pelabuhan Teluk Bayur.
Produksi tambang batubara meningkat
hingga tahun 1985.
Alam memiliki keterbatasan daya
tampung dan daya dukung terhadap
beban dari setiap akibat dalam berba
gai aspek. Terutama kota dan pemuki
man yang seluruh kegiatannya sangat
bergantung pada sumberdaya alam.
Melalui potensi kesejarahan dan
fisik kota serta keunikan budaya
masyarakat yang berkembang, diharap
kan Sawahlunto dapat dikembangkan
sebagai kota pariwisata, sebagai antisi
pasi bagi alternatif pembangunan per
ekonomian kota dari ketergantungan
nya pada pertambangan batubara.
Perubahan iklim akan merubah sifat
alam dan perilaku manusia. Kearifan lo
kal yang dimiliki Sawahlunto sebagai
sebuah kota yang mewarisi sejarah
kota dengan tatanan fisik; perpaduan
antara peninggalan sejarah pendudukan
Belanda dimasa lalu dengan arsitektur
tradisional Sumatera Barat didukung
oleh lingkungan alam yang spesifik.
Sebagai sebuah kota orang rantai; po
tensi budaya kota merupakan aset nasi
onal yang perlu mendapat perhatian
dalam upaya konservasi dan preserva
si kota dalam pengembangan urban
heritage, cultural heritage dan land
scape heritage (warisan kesejarahan
kota, budaya dan lansekap).
Untuk keberhasilan pembangunan
kotanya diharapkan disusun pedoman
rancangan kota Sawahlunto yang
mengedepankan aspek lingkungan da
lam konsep sustainable city, dimana
lansekap prospektif kawasan kota perlu
diangkat sebagai potensi kawasan un
tuk dikembangkan sesuai dengan
karakteristiknya.
Sebagai kota tambang tertua di
Indonesia Sawahlunto memiliki pening
galan sejarah yang menarik didukung
oleh fisik kota dan sosial budaya yang
beragam. Namun karena menurunnya
kapasitas produksi tambang batubara,
dikhawatirkan Sawahlunto akan menja
di kota mati. Lokasi bekas galian tam
bang dipastikan akan menjadi problem
lingkungan yang sangat serius dalam
waktu dekat. Perlu disadari dan disepa
kati bahwa antara pembangunan dan
koservasi sumberdaya alam harus meru
17 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
pakan keseimbangan sistem, dimana
konservasi akan mendukung pemba
ngunan dan menjamin kebutuhan masa
datang.
Perlu dilakukan perubahan men
dasar dalam sistem perencanaan, yaitu
perencanaan berwasasan lingkungan de
ngan konsep pembangunan berkelan
jutan, yang memperhatikan; 1) unit ana
lisis mencakup satu kesatuan region, 2)
perhitungan neraca lingkungan sebagai
alokasi pemanfaatan sumberdaya, 3)
perhatian terhadap daya dukung dan
daya tampung lingkungan, 4) alokasi
ruang yang sesuai antara jenis kegiatan
dan karakteristik ruang serta karakteris
tik lokal sebagai local values 5) penyu
sunan detail tata ruang dan pedoman
rancang bangun untuk operasionalisasi
rencana umum, 6) konsistensi antar
tingkatan rencana kota, 7) keterlibatan
pemangku kepentingan dalam setiap
penyusunan rencana tata ruang,
Dibawah ini dikemukakan kondisi
fisik kota Sawahlunto yang mewakili
potensi dan permasalahan kawasan
kotanya.
Gambar 4. Lansekap kota Sawahlunto
(sumber : dokumen pribadi, 2008)
Lansekap kota Sawahlunto berada
pada cekungan diantara perbukitan.
Panorama yang merupakan natural
scenery.
Gambar 5. Pemandangan alam perbukitan
(sumber : dokumen pribadi, 2008)
Pemandangan alam perbukitan me
rupakan potensi visual yang belum di
manfaatkan secara optimal.
Gambar 6. Komposisi alam, budaya dan
arsitektur (sumber : dokumen pribadi, 2008)
Pengelolaan sumber daya alam
kota yang perlu ditingkatkan. Arsitek
tur lokal keberadaannya semakin pu
nah memerlukan upaya pelestarian. Po
tensi alam, nilai-nilai kesejarahan kawa
san yang merupakan genius loci dan
lansekap prospektif bagi pengembang
an fisik kawasan kota sebagai sebuah
setting places yang tidak terlupakan.
Gambar 7. Arsitektur kolonial dan
arsitektur lokal (sumber : dokumen pribadi, 2008)
18 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Arsitektur kolonial dan arsitektur
lokal menyatu dalam satu setting
places; sebuah potensi dan aset kota
yang unik membentuk citra kota; perlu
dilakukan revitalisasi, preservasi, reha
bilitasi terhadap aset fisik dan ling
kungan alam kota. Pengembalian ben
tuk dan keberadaan arsitektur lokal
sebagai kekayaan dan nilai lokal perlu
dibangun kembali dipadu-padankan
dengan lingkungan fisik yang ada.
Gambar 8. Unsur unsur kota (sumber : dokumen pribadi, 2008)
Unsur unsur kota membentuk
setting places dan image yang spesifik
yang perlu dikelola dengan pertimbang
an terhadap orientasi kota dan penga
laman keruangan yang tercipta dari
atraksi perkotaannya dalam bentuk
serial vision. Perlu peninjauan kemba
li terhadap pemugaran peninggalan ba
ngunan dan aset arsitektural yang telah
dilakukan.
Gambar 9. Bangunan yang menonjol dan
fasad yang atraktif (sumber : dokumen pribadi, 2008)
Menara masjid sebagai landmark
kawasan perlu lebih ditonjolkan, de
ngan pengembangan konsep skyline
dan pembingkaian membentuk vista.
Fungsi masjid sebagai tempat ibadah
dapat dikembangkan menjadi pusat ke
giatan masyarakat atau Islamic Centre
yang multifungsi. Salah satu detail
atraktif fasad bangunan peninggalan
kolonial sebagai atraksi sejarah kota.
Gambar 10. kekayaan seni dan budaya
(sumber : dokumen pribadi, 2008)
19 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Percampuran etnik, seni dan bu
daya merupakan salah satu atraksi
dalam living museum kota; kekayaan
percampuran budaya lokal yang perlu
dipertahankan dan dikelola dalam
bentuk atraksi budaya pada kegiatan
pariwisata.
Gambar 11. Bekas galian tambang
(sumber : dokumen pribadi, 2008)
Lokasi bekas galian tambang,
kawasan Kandi. Kondisi lahan yang se
makin kritis, cepat atau lambat akan
menjadi problem bagi kawasan dan
lingkungan kota. Sistem reboisasi yang
telah dilakukan membuktikan ketidak
tepatan pada sistem penghutanan dan
penentuan jenis tanaman penghijauan,
sehingga upaya pelestarian lingkungan
dan konservasi lahan dan air menjadi
tidak efektif. Diperlukan Studi Kelayak
an dan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, perencanaan kawasan ber
basis lingkungan dengan konsep sus
tainability.
Gambar 12. Banjir dikawasan Kandi
(sumber : dokumen pribadi, 2008)
Debit air yang terus meningkat pada
musim hujan, erosi dan pengikisan ta
nah, sedimentasi dan banjir di kawasan
Kandi dikhawatirkan akan menjadi per
masalahan yang semakin meluas dan
mempengaruhi sistem lingkungan kota
dan kawasan.
Gambar 13. Bangunan di pinggir sungai (sumber : dokumen pribadi, 2008)
Pembangunan di tepi sungai tidak
mengindahkan garis sempadan, me
merlukan penataan kembali sebagai
upaya antisipasi dampak lingkungan.
Pedoman Rancang Kota dan Urban
Landscape Guidelines perlu dilaksana
kan sebagai bentuk antisipasi permasa
lahan fisik kota.
Gambar 14. Bekas pabrik pengolahan batu bara. (sumber : dokumen pribadi, 2008
20 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Lahan bekas pengolahan dan indus
tri batubara dapat difungsikan sebagai
tempat wisata dan/atau rekreasi dengan
pemanfaatan sebagai tempat rekreasi
dan museum dengan konsentrasi pada
ruang terbuka hijau. Aspek pembelaja
ran kepada masyarakat akan sejarah
kota dan pemahaman akan pentingnya
lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Lahan bekas pabrik dan indutri
yang terbengkalai merupakan salah
satu potensi bagi lansekap prospektif
dalam arti dapat dimanfaatkan bagi
pembangunan untuk park-park/taman
kota, sebagai antisipasi kondisi iklim
mikro dan perbaikan sistem lahan dan
tata air kawasan kota. Upaya
peningkatan prosentase lahan hijau
akan meningkatkan kenyamanan dan
keindahan kota.
Perlu dilakukan Studi dan kajian
terhadap substansi permasalahan ling
kungan untuk membangun dan me
nentukan strategi Lansekap regional ba
gi penanganan masalah kawasan kota.
Ketidaksesuaian antara faktor-faktor
pembangunan; ekonomi, sosial budaya
dan pelestarian lingkungan dikhawatir
kan akan mempengaruhi keberlanjutan
pembangunan kota.
Dalam Urban Landscape Design;
doperlukan harmonisasi urban land
scape heritage antara man-made
scenery dan natural scenery dalam
pembentukan harmonisasi living
culture. Berbagai pertimbangan yang
telah dibahas merupakan bagian
integral dari kriteria bagi kesatuan
perencanaan-perancangan kota.
Penyusunan perancangan kota mem
butuhkan teknik pengintegrasian krite
ria-kriteria yang telah dijelaskan seba
gai solusi pemecahan untuk menghasil
kan konsep sustainability (keberlan
jutan sungan); yaitu hidup selaras
dengan batasan alam melalui
pertimbangan-pertimbangan bahwa
lingkungan terbangun tidak hanya
berorientasi pada aspek ekonomi dan
struktur fisik, melainkan dalam
terbentuknya aspek edukasi tentang
kepedulian dan pemahaman pelestarian
lingkungan.
Gambar 15. Lahan bekas pabrik dan industri (sumber : dokumen pribadi, 2008)
21 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
FALSAFAH DAN STRATEGI
PERENCANAAN-PERANCANGAN
Dalam Perda No.2 tahun 2001
tercantum visi kota Sawahlunto untuk
dapat mewujudkan diri menjadi Kota
Wisata Tambang Berbudaya tahun
2020.
Upaya revitalisasi kawasan perlu
dicanangkan dengan tujuan; 1) pening
katan vitalitas kota melalui pening
katan kualitas lingkungan, 2) pertim
bangan aspek sosial budaya dan karak
teristik kawasan, 3) Meningkatkan per
tumbuhan perekonomian kota, 4) meng
hidupkan kembali aktivitas yang per
nah ada serta rekstruturisasi aktivitas
ekonomi kota.
Perencanaan Lansekap prospektif pa
da kawasan kota tua, bekas tambang
batu bara, daerah aliran sungai, pen
gembangan Ruang Terbuka Hijau dan
seluruh komponen kota secara teliti
dan seksama akan melahirkan kondisi
kota yang diharapkan. Falsafah pe
rancangan kota perlu dibangun dalam
pendekatan konsep preservasi dan kon
servasi meliputi ; nilai-nilai heritage,
kekayaan sosial-budaya, estetika
lingkungan, konteks kota, perkotaan
dan kawasan regional, sumberdaya
lansekap, keanekaragaman arsitek
tural, ‘genius loci-the sense of place’,
untuk pengembangan pariwisata yang
menekankan pada pembangunan eko-
wisata (eco-tourism development).
Conservation:
Land – (lahan)
Water – (perairan)
Historic – (kesejarahan)
Landscape Design Guidelines LDGL
Cultural Heritage
Landscape Heritage
Urban Heritage
Kota Tua/Kota Lama Down town
SKENARIO RENCANA INDUK LANSEKAP
KAWASAN
Kawasan DAS Daerah Aliran Sungai
Kawasan Sumber Daya Air
LANSEKAP PROSPEKTIF
ECO - TOURISM
Urban Landscape Design Guidelines ULDGL
KOTA KONSERVASI The living museum
Gambar 16. Diagram Falsafah Perencanaan Lansekap Prospektif
22 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Tatanan budaya dan sosial masyarakat
yang berkaitan dengan upaya pe
lestarian lingkungan kota dan alamnya
merupakan aset yang perlu dijaga
untuk keberlangsungan pembangunan
kota, agar senantiasa tercapai keseim
bangan kebutuhan manusia dalam me
manfaatkan kapasitas lingkugan kota
nya; seperti nilai sosial budaya, potensi
alam dan lingkungan serta meminimal
kan dampak penggunaan material dan
energi.
Dukungan terhadap pengembangan
lansekap prospektif adalah penyusun
an perencanaan lansekap wilayah kota
Sawahlunto; sebagai panduan rancang
kota yang didukung oleh Urban Land
scape dan Urban Landscape Design
Guidelines.
Dengan itikad dan pelaksanaan
pembangunan berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan Sawahlunto dapat
mengajukan dirinya untuk dinobatkan
se bagai Kota Konservasi. Dengan
demi kian the living museum Sawah
lunto akan mencapai target sebagai
Kota Wisata Tambang Berbudaya
ditahun 2020.
Keberlangsungan pembangunan ko
ta didukung oleh konsep sustainability
akan melahirkan kearifan lokal sebagai
warisan bangsa yang perlu secara me
nerus dipertahankan, meliputi; keutuh
an dan kelangsungan kualitas alam dan
Sasaran Strategi Ekonomi
Sasaran Strategi Lansekap Regional
Tema Pedoman Perencanaan Regional
Managemen sumber daya berkelanjutan
Buangan mineral non-energi
Meningkatkan aset dan potensi lingkungan kawasan
Perlindungan dan perbaikan aset-aset lingkungan
Lingkungan alami Tepian Sungai, Bangunan
Tua/Bersejarah, Ruang Terbuka hijau perkotaan
Meningkatkan dan memelihara wilayah yang dilalaikan
Reklamasi dan penggunaan kembali lahan terlantar
Lahan yang tidak stabil, terlantar dan terkontaminasi
Meningkatkan dan memelihara kualitas air
Peningkatan kualitas lingkungan (air, udara, tanah)
Kualitas udara dan air ; Lansekap di pinggiran kota
Meningkatkan citra kawasan dengan promosi dan pemasaran aset-aset
kota
Membangun citra positif kawasan
Membangun sektor pariwisata dan rekreasi
Meningkatkan kesempatan untuk berwisata dan berekreasi
Wisata , Rekreasi dan olah raga Ruang hijau perkotaan
Gambar 17. Diagram Sasaran Strategi Lansekap Regional
23 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
lingkungan, keberlangsungan vitalitas
living culture, kehidupan perekonomi
an, dan terpeliharanya harmonisasi an
tara pemanfaatan ruang dalam kota ter
hadap aktifitas masyarakat yang mem
bentuk setting places dalam kota serta
infra struktur pendukungnya.
Lansekap kawasan tidak akan
dinilai hanya melalui nilai politis, tam
pilan estetika atau nilai ekonominya sa
ja, tetapi terhadap potensi ekologis
yang tidak terpisahkan dengan keber
lanjutan aliran energi pada setiap ta
pak, distrik, ekosistem atau bioma.
Sebagai parameter dan dukungan ke
berhasilan perencanaan dan perancang
an kota berwawasan lingkungan diper
lukan dukungan konsep sustainable
landscape melalui strategi lingkup
regional, distrik maupun kawasan atau
tapak terbatas untuk memperhitungkan,
merencanakan dan merancang kawasan
berdasar perhitungan keseimbangan
energi dan daur energi kawasan.
Upaya Konservasi dan Revitalisasi
kawasan tidak dapat hanya menitik
beratkan pada preservasi dan rehabi
litasi fisik bangunan saja, melainkan
perlu dilaksanakan secara sistem da
lam satu kesatuan sinergi dalam kebija
kan preservasi dan konservasi terhadap
alam, fisik kota dan sosial budayanya.
Sehingga tujuan visi dan misi sebuah
kota bagi peningkatan kualitas dan
keberlangsungan kehidupan dan peng
hidupan kota sebagai wadah aktifitas
masyarakat dapat dicapai dan dapat
mendukung stabilitas perekonomian
kota.
PENUTUP
Penerapan the green park system de
velopment (pembangunan sistem park
dan kawasan hijau) sebagai salah satu
pendekatan utama perancangan per
kotaan, mengisyaratkan kepada kita
perlunya pembangunan kembali
kawasan hijau dalam bentuk hutan,
kawasan lindung (wilderness areas,
protected areas, national park areas),
ruang-ruang terbuka hijau binaan
(urban park areas, recreational areas
dan urban development open spaces)
sebagai sistem pengkondisian dan
antisipasi kawasan agar dapat mening
katkan daya dukung dan daya tam
pung lingkungannya dalam hal keseim
bangan sistem tata lingkungan, lahan
dan ketersediaan sumber daya alam.
Landasan faktor-faktornya adalah
pada ketersediaan dan keberlangsung
an sumber daya air, faktor hutan, lahan
produksi, faktor tepian, ruang-ruang
terbuka, faktor tuntunan agama mau
pun budaya; sebagai sebuah pemikiran
bijak yang memerlukan dukungan pe
nuh dalam kebijakan politik nasional,
24 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
sehingga manfaatnya dapat dibangun
secara sistemik dan menerus.
Dengan demikian penekanan aspek
dalam perencanaan-perancangan kota
perlu menitikberatkan pada hal-hal
berikut ;
• Aspek lingkungan atau environ
mental aspect yang di dukung oleh
pemikiran terhadap sistem ekologi,
restorasi sistem alam, penggunaan
sumberdaya alam secara efisien,
mengurangi polusi, limbah dan ben
cana.
• Aspek pemanfaatan lahan yang
kompak dan efisien serta kebijakan
batasan pertumbuhan kawasan,
• Aspek ‘employment atau economy’
yang berkelanjutan, baik pada sek
tor formal dan informal yang meng
utamakan; restorasi ekonomi,
human-centered economy dan eko
nomi berorientasi lokal,
• Aspek engagement atau partisipasi
dan keterlibatan warga kota dan
stakeholders, serta sistem dan meka
nisasi pengawasan pembangunan
oleh masyarakat,
• Aspek equity, yaitu persamaan hak,
kesetaraan dan keadilan.
• Prinsip energy conservation, terha
dap pemanfaatan sumber daya
alam terbarukan, penggunaan ener
gi, termasuk industri, transportasi
dan kebutuhan fasilitas umum,
• ‘Development Ethics’ atau etika
pembangunan yang berwawasan
lingkungan, dan preservasi nilai-
nilai serta budaya lokal,
• Pengembangan estetika dan kein
dahan baik alam maupun kawasan
terbangun,
• ‘Enforcement’ atau penegakan hu
kum, dukungan peraturan dan per
undang-undangan,
• ‘Enjoyment’ atau kenikmatan atau
kenyamanan hidup dan kenyama
nan lingkungan hidup.
Kesembilan aspek tersebut men
cerminkan pendekatan baru bagi ter
ciptanya eco-societies dalam prinsip
sustainability, melalui pembentukan
civil society dan good governance yang
akan melibatkan peran masyarakat dan
pelaku pembangunan (stakeholders)
yang partisipatif.
Dukungan intensif dari perilaku
hijau melahirkan Urban Landscape
Guidelines (Pedoman Lansekap Perko
taan) yang diharapkan dapat menjadi
alat kendali bagi pembangunan kawas
an kota. Pengembangan kawasan pro
duktif dan prospektif lansekap terhadap
kota kota lain di Indonesia dapat men
jadi acuan bijak bagi perencanaan-pe
25 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
rancangan kota, dalam sistem dan me
kanisme pengawasan pembangunan
yang seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Battle Guy and Christopher Mc.
Carthy, 2001, Sustainable Eco
systems and the Built Envi
ronment, Wiley Academy,John
Wiley and Sons Ltd., New
York.
Benson, John. F, and Maggie H Roe,
2000, Landscape and Sustaina
bility, Spon Press, London.
Chapman, David, 1996, Creating
Neighbourhoods and Places in
the Built Environment, E &
FN Spon, London.
Cohen, Nahoum, 1999, Urban Conser
vation, the MIT Press, Cam
bridge.
Erman, Erwisa, 2005, Membaranya
Batubara, Konflik Kelas dan
Etnik; Ombilin Sawahlunto Su
matera Barat (1892-1996)
Foo, A.F., Belinda Yuen, Oct. 1992,
Sustainable Cities Editorial,
Environment and Urbaniza
tion, Vol.4, p.3.
Foo, A.F, Belinda Yuen, 1999, Sustai
nable Cities in the 21st Cen
tury, Faculty of Architecture,
Building&Real Estate, National
University of Singapore, Singa
pore University Press.
Hall, Peter and Ulrich Pfeiffer, 2000,
Urban Future 21, A Global
Agenda For Twenty First Cen
tury Cities, Federal Minis try of
Transport, Building and Hou
sing, E&FN Spon, New York.
Jack Todd, Nancy and John Todd,
1994, From Eco-Cities to Li
ving Machines, Principles of
Ecological Design, North At
lantic Book, Berkeley, Califor
nia.
Jenks, M. Burton, E. William, K.,
1996, The Compact City; A
Sustainable Form? SPON
Press, London UK.
Katz, Peter, 1994, The New Urbanism
Toward an Architecture Com
munity, McGraw-Hill Inc,
New York.
Leccese, Michael and Kathleen Mc.
Cormick. Editor, 2000, Charter
of The New Urbanism, Cong
ress for The New Urbanism,
Mc. Graw Hill, London.
Leilman, Josef, 1999, Sustaining Ci
ties, Environmental Planning
and Management in Urban
Design, Mc. Graw Hill Book
Company, New York.
Page, Robert. R, Cathy A. Gilbert,
Susan A. Dolan , 1998. A
26 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
Guide To Cultural Landscape
Reports; Contents, Process
and Techniques, U.S. Depart
ment of Interior National Park
Service, Cultural Resource Ste
wardship and Partnerships;
Park Historic Structures and
Cultural Landscapes Program,
Washington, DC
Parfect, Michael and Gordon Power,
1997. Planning for Urban
Quality, Urban Design in
Towns and Cities, Routledge,
London and New York.
Srinivas, Hari, 1997, Information
System in Urban Environ
mental Management, Interna
tional Seminar, Groningen.
Uniaty, Quintarina, 2008, INTEN
SIVE GREENERY SYSTEM;
Telaah Teoritik terhadap Pena
taan Ruang Kawasan Jakarta-
Bogor-Depok-Tangerang- Be
kasi-Puncak-Cianjur; Sebuah
Pendekatan Penataan Kawas
an Yang Berkelanjutan, Work
shop Asosiasi Profesi “Telaah
Kritis Terhadap Peraturan Presi
den No. 54 tahun 2008, tentang
Penataan Ruang Kawasan JA
BODETABEK-BOPUNJUR,
IAP-Dept PU, Hotel Borobudur
Jakarta
Uniaty, Quintarina, 2009, Eco City
and Urban Sustainability, The
International Symposium of
Green City ; The Future Chal
lenge, Department of Land
scape Architecture, Faculty of
Agriculture, Bogor Agriculture
University.
27 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty
PENELUSURAN PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN
MASALAH BANJIR DI JAKARTA
Silia Yuslim Dosen Arsitektur Lansekap
Jurusan Arsitektur Lansekap, FALTL-Usakti
Abstract Water is very important for life. The existence of water in the earth should be always kept in balance because there is air cycling. Now, when everything is using modern technology, Jakarta as a big city is facing into a chronic problem related to the availability of water. In rainy season, we are surplus water, which causes flood. Based on the flood in the year of 1996, 2002 and 2007 in Jakarta, there are 2 main factors which caused the flood. First, the natural condition of Jakarta which has declivity position and has passed by 13 rivers with the bad treatment from the communities who live around the rivers. They do not have totality awareness to take care the balanced environment and it makes Jakarta become worst. By doing the integrated concept of zone structuring and totality processing of water resources starting from upper to lower course as one river, one plan and one integrated process with external control mechanism followed by clear action and cooperation between related department also participation from the communities, we hope Jakarta could be free from flood in the future. Key word : The flood, cause, and solution
PENDAHULUAN
Air memiliki arti penting bagi ke
hidupan makhluk hidup di bumi.
Siklus air menyebabkan keberadaan air
di bumi selalu tersedia. Keberlangsung
an siklus air secara berkesinambungan
menjaga ketersediaan air di bumi. Na
mun, adanya campur tangan manusia
yang tidak bertanggung jawab dalam
mengelola lingkungan menyebabkan
keberlangsungan siklus air terganggu.
Pesatnya pembangunan di perkotaan
menyebabkan kota menjadi hutan
beton. Luasan lahan terbangun yang re
latif tinggi menghambat terjadinya pe
resapan air yang merupakan salah satu
tahapan dalam siklus air. Akibatnya,
saat musim hujan, terutama jika curah
hujannya besar, terjadilah banjir dan
ketika musim kemarau air bersih sulit
diperoleh.
Wilayah Jakarta yang sebagian be
sar merupakan hutan beton (kedap air)
tidak dapat meresapkan air. Akibatnya,
air hujan yang jatuh menjadi aliran per
mukaan (runoff). Keadaan ini semakin
diperparah jika daerah di sekitar Jakar
ta, seperti Bogor dan Depok, juga se
dang hujan deras. Air kiriman dari Bo
gor dan sekitarnya dengan volume air
28 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
mencapai jutaan kubik mengalir
melalui beberapa sungai masuk wila
yah Jakarta. Sistem drainase yang ada
tidak mampu menampung volume air
yang menyerbu Jakarta. Keadaan ini ju
ga disebabkan karena sistem drainase
yang buruk; masih banyak drainase
yang tidak berfungsi. Keberadaan ban
jir kanal barat dan banjir kanal timur
yang sudah dimulai pembangunannya
juga tidak mampu menampung (Sindo
Pagi 13 Februari 2007) berakibat banjir
besar tidak tehindarkan.
Menurut data BMG (Badan Meteo
rologi dan Geofisika) curah hujan ter
tinggi pada saat banjir tahun 1996 ada
lah 113 mm dan 210 mm pada tahun
2002, sedangkan curah hujan tertinggi
pada saat Jakarta dilanda banjir awal
Februari 2007 ini mencapai 339 mm,
tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir.
Banjir siklus lima tahunan sebagai aki
bat dari curah hujan yang semakin me
ningkat dan akibat yang ditimbulkan
nya dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 1.Perkembangan Wilayah Terendam Banjir di Jakarta dengan Curah Hujan Kumularif pada Bulan Terjadinya Banjir
No Waktu Curah Hujan/
tahun (mm)
Akibat Bencana Banjir
Ketinggian Banjir Wilayah terendam
1.
Feb. 1996 : 5 hr terakhit
10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir
221,4 285.7 341.7 442.1
40-100 cm
40%
2.
Jan. 2002 5 hr terakhit
10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir
232,9 361.7 572.7 668
40-120 cm
50%
3.
Feb. 2007 5 hr terakhit
10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir
327 401.5 427 427
50-500 cm
70%
Sumber: BMG : Banjir 2007 Bukan Terbesar, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/09/brk
29 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Dengan intensitas hujan tersebut
banjir besar melanda Jakarta awal Feb
ruari 2007. Banjir ini menenggelam
kan hampir 70% kota Jakarta dan kota
kota di sekitarnya seperti Bekasi,
Tangerang, Depok dan Bogor, ter
genang banjir dengan beragam
ketinggian dari 50 sentimeter sampai 5
meter (Kompas, 9 Februari 2007)
dengan wilayah yang meliputi kawasan
pemukiman, perkantoran, kawasan per
dagangan dan jasa, serta sarana dan pra
sarananya ; Jakarta porak poranda dan
lumpuh total.
Dengan kata lain, banjir banyak
mendatangkan kerugian bagi warga
yang sangat meresahkan warga dan
pemerintah.
Banjir besar yang menimpa Ibu kota
Jakarta sebenarnya telah terjadi sejak
tahun tahun 1996, awal tahun 2002,
dan awal Februari 2007. Hal tersebut
merupakan permasalahan yang selalu
berulang secara periodik, sehingga
diperlukan upaya pemikiran yang
mendasar untuk menghasilkan suatu
pemecahan efektif.
Diharapkan bencana banjir besar
yang pernah melanda Jakarta dapat
dihindari atau minimal dapat di
kurangi. Dengan demikian, kecemasan
warga dan pemerintah dapat teratasi.
ISI
Penyebab Banjir Di Jakarta
Banjir di Jakarta terjadi karena
kondisi yang tidak seimbang, yaitu
ketidakseimbangan antara volume
curah hujan yang menyerap ke dalam
tanah dan volume curah hujan yang
menjadi run-off, volume runoff jauh
lebih besar dibandingkan yang menye
rap ke dalam tanah. Sebagian
penyebab terjadinya kondisi tersebut
bersifat alamiah dan sebagian lagi
merupakan dampak aktifitas manusia,
yang kedua nya saling berhubungan.
Jakarta berada di bagian utara dari
pulau Jawa dengan kondisi landai dan
merupakan tempat bermuaranya 13
sungai. Pulau Jawa yang memiliki ka
rakteristik lahan dengan pegunungan
di bagian tengah, memanjang dari
Timur ke Barat dan landai pada bagian
Selatan dan Utara serta jarak antara
puncak gunung menuju ke arah Utara
/Selatan relatif pendek menyebakan air
yang mengalir akan cepat sampai ke
bawah (Budihardjo,1997). Keadaan
yang cukup curam dengan aliran
sungai yang pendek, tingginya curah
hujan serta solum tanah yang dalam
tapi tidak stabil, menyebabkan usaha
pertanian di daerah aliran sungai
bagian hulu berlangsung secara
ekstensif, tapi tidak mapan. Ini meng
30 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
akibatkan tanah di sekitar aliran sungai
mengalami tingkat erosi yang cukup
tinggi, yang menyebabkan pelumpuran
pada sungai (Puslitbang pengairan,
1984). Keberadaan Jakarta yang landai
dengan ketigabelas sungainya menye
babkan terjadinya pendangkalan pada
hilir sungai akibat dari pelumpuran.
Hal tersebut menyebabkan debit air
yang dapat di tampungnya menjadi
berkurang, dan akhirnya terjadilah
banjir.
Dampak aktifitas manusia yang juga
sangat berperan dalam mengakibatkan
terjadinya banjir, salah satunya adalah
kebijakan Tata Ruang Kota yang ku
rang mengakomodasi aspek ekologi.
Peruntukan lahan lebih diutamakan
untuk kegiatan yang bernilai ekonomi
dan produktif, seperti peruntukan,
kawasan komersial, jasa, & CBD, ka
wasan real-estate, kawasan perkantoran
dan kawasan industri.
Ruang terbuka hijau seperti taman-
taman, jalur hijau dan kawasan alami
dianggap tidak produktif dan tidak
bernilai ekonomi menjadi terabaikan.
Kebijakan ekonomi sering melupakan
pertimbangan ekologi, sehingga
banyak ruang terbuka hijau beralih
fungsi.
Banjir merupakan hal berhubungan
dengan siklus hidrologi. Keberadaan
ruang terbuka hijau sebagai lahan-
lahan alami untuk meresapkan air
hujan telah banyak dirubah menjadi
lahan terbangun, diantaranya, menjadi
perumahan, perkantoran, dan mall-
mall yang kini menjamur di wilayah
DKI Jakarta.
Jika melihat perkembangan pem
bangunan Jakarta dari tahun ke tahun
(1973-2005), terlihat bahwa perkem
bangan keberadaan ruang terbuka
hijau sebagai daerah alami yang dapat
menjalankan fungsi-fungsi ekologis,
termasuk hidro-orologis, telah berubah
menjadi kawasan terbangun yang
kedap air. Dengan luasan wilayah
661,62 km2, lahan terbangun
sebanyak 608,61 km2. Hanya 8,01 %
sisa wilayah Jakarta tidak tertutup
bangunan. (Kompas, 9 Februari)
Menurut Walhi, luas ruang terbuka
hijau kota Jakarta secara keseluruhan
cenderung menurun dari tahun ke
tahun dan dapat terlihat pada tabel 2.
Ber dasarkan RTRW, target RTH di
Jakarta di tahun 2010 adalah 13,94%
(Kom pas, 21 April 2007). Padahal
luas minimal RTH Kota yang telah
disepakati dalam KTT Bumi di
Johannesburg (Rio+10) adalah 30%
dari luas kota.
31 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Tabel 2. Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta
No Tahun Keberadaan
Tata Ruang Jakarta Lahan Terbangun (%) RTH (%)
1. 1985 71,24 28,76
2. 1995 75,12 24,88
3. 2005 80,62 9,38
Sumber : Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tahun 2007
Pranata untuk pengendalian pem
bangunan yang belum kuat, menyebab
kan fungsi-fungsi metropolitan me
lakukan ‘invasi’ ke daerah sekitarnya
untuk memenuhi berbagai kepentingan.
Tata ruang yang terjadi merupakan
suatu gambaran yang murni dari ke
kuatan sosial dan ekonomi yang me
nentukan tata ruang atas kepentingan
masing-masing, yang sering disertai de
ngan benturan-benturan (Poerbo, 1989)
Adanya pembangunan pada area di
sepanjang pantai yang memanfaatkan
hutan bakau menjadi vila, restoran dan
hotel, serta menjadi suatu pemukiman
dengan segala fasilitasnya, seperti sa
lah satu contohnya Pantai Indah Kapuk
yang mengakibatkan berkurangnya da
ya retensi air (tempat penampungan air
sebelum ke laut), menyebabkan be
ralihnya fungsi kawasan pesisir dan ter
ancam punahnya ekosistem pesisir. Hal
ini menambah buruk keadaan, karena
“tempat parkir air” sementara yang se
makin berkurang menyebabkan air
mencari tempat lain untuk “parkir”
yang celakanya merupakan hunian,
jalan atau tempat bisnis.
Akibat adanya kebutuhan air yang
cukup tinggi, menyebabkan terjadinya
pemakaian air tanah yang berlebihan di
Jakarta. Menurut Salim(1990), terdapat
lebih dari 2500 buah sumur bor yang
memompa sebanyak 3,1 m per-detik
air dari lapisan tanah tertekan yang
berada antara 40-250 m. Selain itu, air
tanah dangkal yang terdapat pada
kedalaman kurang dari 40 m juga telah
banyak dimanfaatkan untuk mencukupi
kebutuhan air penduduk setempat, de
ngan jumlah yang di taksir 3,6 m per
detik. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa potensi air di Jakarta memiliki
debit air aman yakni banyaknya air
yang diperkenankan untuk diambil
tanpa menimbulkan dampak yang
32 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
merugikan adalah di bawah 3,6 m per
detik. Keadaan ini menyebabkan
(Hehanussa, 1980):
• Terjadinya penyusupan air laut pada
lapisan tanah akifer yang terdapat di
kedalaman kurang dari 100 m
• Terjadinya penurunan muka tanah,
karena pada lapisan akifer yang ter
dapat pada kedalaman 100-250 m
penyusupan air laut tidak terjadi,
sehingga menyebabkan berkurang
nya tekanan pada lapisan tersebut
yang diikuti oleh pemampatan
Hal tersebut tidak dapat diabaikan.
Keamblesan yang sebenarnya merupa
kan peristiwa alamiah menjadi di
percepat dengan adanya kenyataan
terlalu banyaknya pemakaian air tanah
sementara laju peresapan air kedalam
tanah banyak berkurang sebagai efek
dari pembangunan. (Kompas, 19 April
1996). Keamblesan ini lebih lanjut
menyebabkan letak Jakarta semakin
rendah terhadap permukaan air sungai
dan laut, akibatnya bahaya banjir men
jadi semakin tinggi.
Dampak perbuatan manusia yang
lain dan juga sangat berperan dalam
mengakibatkan terjadinya banjir adalah
pengambilan pasir dan batu dari alur
sungai dengan menggunakan alat-alat
berat, menimbulkan kerusakan di
sepanjang alur. Akibatnya kikisan arus
sungai, pelumpuran dan pendangkalan
di bagian hilir menimbulkan banjir
(Salim, 1990).
Menurut Notohadiprawiro (1989),
air erat hubungannya dengan konser
vasi dan pembangunan sumber daya
hutan. Ketika hujan turun, air akan ter
tahan oleh akar-akar pohon, menyubur
kan hutan dan melindungi tanahnya
dari erosi. Rusaknya lahan konservasi
yang merupakan daerah resapan air
karena pesatnya pembangunan, seperti
yang terjadi di bagian hulu DAS
sungai Ciliwung yaitu daerah Puncak,
menyebabkan ke seimbangan ekologis
terganggu atau mengakibatkan banjir
dan longsor. Hal ini diperburuk oleh
adanya pembuangan limbah industri
dan limbah rumah tangga ke sungai.
Akibatnya, daerah hilir akan mendapat
efek akumulatif berupa sedimen, sam
pah dan polusi. Pada waktu debit air
besar, pendangkalan yang telah terjadi
secara alamiah akibat keberadaan kota
Jakarta dan didukung oleh ulah masya
rakat yang tidak bertanggung jawab
semakin memperburuk keadaan se
hingga banjir tidak terhindarkan lagi.
Kenyataan lain adalah banjir di
Jakarta juga disebabkan karena belum
adanya sistem jaringan yang memadai.
Jaringan tersebut meliputi jalan, drai
nase, maupun pembuangan air limbah.
Menurut hasil penelitian Pusat
33 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Penelitian Pengem bangan Wilayah
dan Kota (P3WK) ITB, perbandingan
perkembangan kota dengan sistem
jaringan yang ada tidak seimbang.
Untuk ukuran kota besar seperti
Jakarta, sistem jaringan jalan, drai
nase, maupun air limbah seharusnya
mencapai 20 %, tapi sekarang sistem ja
ringan yang dimiliki Jakarta hanya 5 %
(Republika, 12 Februari 1996).
Hal lain yang juga harus diper
timbangkan adalah dampak dari pema
nasan global yang menyebabkan terjadi
nya perubahan iklim, antara lain tidak
menentunya musim kemarau dan peng
hujan, perubahan curah hujan dan me
ningkatnya intensitas badai. Di Asia
Tengara peningkatan curah hujan yang
tinggi telah terjadi. (Kompas, 14 Febru
ari 1996). Pengaruhnya telah dialami
Jakarta dan mengakibatkan banjir yang
lebih dahsyat pada awal tahun 2007.
Kondisi Jakarta dengan berumpuk per
masalahan, menjadikan Jakarta tak ter
elakan dari bencana banjir yang mulai
menjadi tardisi.
Upaya Penanggulangan Bencana
Banjir
Dalam rangka mengantisipasi ben
cana banjir khususnya di Kota Jakarta,
ada beberapa upaya penanggulangan
yang dapat dilakukan; yang langsung
dapat dikerjakan dan dikenal dengan
sebutan upaya penanggulangan jangka
pendek serta upaya penanggulangan
jangka panjang.
Upaya penanggulangan jangka
pendek. pertama adalah dengan mem
perdalam dan memperlebar muara-mu
ara sungai yang ada serta mengeruk su
ngai/waduk, membuat atau memper
tinggi tanggul dan memperbaiki pintu
air yang ada. Hasil kerukan tersebut
dapat dimanfaatkan dalam program re
klamasi, seperti yang pernah dikemuka
kan oleh Presiden. (Kompas, 15 Febru
ari 1996). Upaya ini sebagian besar te
lah dilakukan, tapi ternyata laju penge
rukan lebih rendah daripada laju pen
dangkalan, sehingga dilakukanlah pe
ninggian tanggul. Akibatnya Jakarta se
makin berada dibawah sungai dan
bahayanya telah dirasakan bersama pa
da saat banjir yang terjadi di awal ta
hun 2007 ini, di mana hampir seluruh
wilayah kota Jakarta tergenang air
dengan kedalaman lebih dari satu me
ter untuk beberapa hari lamanya. Upa
ya lain yang dapat dilakukan adalah
pembangunan Banjir Kanal Timur.
Pembangunan dapat dipercepat agar se
gera berfungsi menampung dan mem
percepat aliran air menuju ke laut, di
samping dilakukan perbaikan jaringan
drainase disertai pengawasan pemeliha
raannya.
34 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Sebagai upaya penanggulangan jang
ka pendek yang kedua adalah mewajib
kan setiap bangunan rumah tangga me
miliki sumur resapan. Ketentuan ini
harus dimasukkan kedalam persyaratan
IMB yang akan dikeluarkan. Adapun
sumur resapan ialah suatu sistem
resapan buatan yang dapat menampung
air hujan, baik dari permukaan tanah
maupun air hujan yang disalurkan
melalui atap bangunan. Fungsi sumur
resapan tersebut, sebagai wadah untuk
menahan air hujan dalam waktu yang
cukup lama, sehingga laju infiltrasi
dapat ditingkatkan. Dengan laju infil
trasi tinggi tidak hanya akan me
ningkatkan jumlah air tanah yang ter
simpan di dalam tanah, tapi juga
mengurangi besarnya resiko banjir dan
erosi yang diakibatkan oleh ‘run-off ‘
(Hakim,1986). Bentuknya dapat beru
pa sumur, kolam dengan resapan, salur
an resapan dan sejenisnya. Menurut
BBLH (1994), pembangunan sumur
resapan rumah tangga, antara lain juga
untuk mengatasi masalah ketidakseim
bangan antara penggunaan air tanah
dan masuknya air hujan kedalam tanah
di kota-kota besar seperti kota Jakarta
khususnya, dan di pesisir pulau Jawa
pada umumnya.
Dalam memasyarakatkan peraturan
ini, pemerintah sangat mengharapkan
kesadaran masyarakat untuk melak
sanakannya; sehingga pembuatan su
mur resapan tidak hanya ada secara
tergambar di IMB tetapi dilaksanakan
dengan baik. Untuk itu, perlu adanya
informasi mengenai keuntungan dan
arti penting keberadaan sumur resapan
bagi mereka dan lingkungan.
Disamping itu, sebagai alternatif
jangka pendek lainnya pemerintah juga
mengharapkan partisipasi masyarakat
dalam menjaga keutuhan lingkungan
sekitarnya maupun dalam menjaga
kebersihan lingkungan. Wujudnya da
pat berupa kerja bakti dari warga misal
nya membersihkan selokan dari sum
batan sampah yang dilaksanakan seca
ra gotong-royong maupun pembentuk
an kesadaran masing-masing warga
akan pentingnya lingkungan bersih.
Pembangunann kesadaran ini dapat di
lakukan dalam bentuk penyuluhan, per
aturan setempat dilaksanakan secara
displin dan tegas.
Untuk upaya penanggulangan ben
cana banjir jangka panjang dapat di
lakukan dengan mulai melaksanakan
pembenahan terhadap penataan ruang
secara terpadu antar kota terkait seba
gai suatu kesatuan ekosistem. Dalam
penataan ruang, berbagai jenis ruang
terbuka hijau dengan berbagai fungsi
dan manfaatnya, harus diintegrasikan
dengan rencana tata ruang kota, tata
ruang wilayah dan rencana tata ruang
35 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
regional sebagai satu kesatuan sistem
(Regional Park System). Dengan demi
kian akan tampak jelas keterkaitan
antara kota dengan wilayah yang lebih
luas disekitarnya (hinterland). Dengan
demikian pendekatan tata ruang berwa
wasan lingkungan dan berkelanjutan
seharusnya tidak didasarkan batas-ba
tas administratif suatu daerah tetapi
didasarkan pada batas-batas ekologis.
Inilah yang disebut “tata ruang yang
berbasis ekosistem” (Ismaun, 2006).
Wilayah DKI Jakarta yang secara fi
sik berada di cekungan artois Jakarta
dialiri 13 sungai yang berhulu di
wilayah Bogor Jawa Barat; secara
ekologis merupakan satu kesatuan sis
tem daerah aliran sungai. Oleh sebab
itu, penataan ruang daerah hulu yang
merupakan kewenangan pemerintah da
erah Bogor, Jawa Barat harus dapat
terintegrasi dengan penataan ruang
wilayah DKI Jakar ta (RTRW 2010),
sehingga dapat dihasilkan suatu keten
tuan ratio taman yang diperuntukan
bagi lahan hijau dan ratio pembangun
an yang harus dipatuhi bersama (Kom
pas, 11 Februari 2007). Dengan adanya
koordinasi dan pengawasan terhadap
kebijakan tata ruang antar wilayah se
cara terpadu diharapkan dapat membe
rikan manfaat bagi masing-masing
daerah.
Kebijakan tata ruang yang ditujukan
untuk peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan masyarakat juga tidak
terlepas dari pandangan terhadap pro
ses-proses alam sebagai nilai (value),
karena setiap lahan mempunyai nilai
intrinsiknya masing-masing. Daerah
cekungan yang selalu tergenang air le
bih cocok untuk situ atau danau yang
berfungsi untuk retensi air dan dapat
digunakan untuk area rekreasi. Daerah
dengan jenis tanah dengan berper
meabilitas tinggi, sesuai untuk daerah
hijau, karena dapat meresapkan air
hujan secara optimum untuk mengisi
air tanah. Keadaan ini juga dapat
ditingkatkan dengan mengoptimalkan
keberadaan ruang terbuka hijau, me
lalui penataan dengan penerapan kom
posisi tanaman secara berstrata. Ini
dimaksudkan agar kondisi ruang ter
buka hijau yang ada di Jakarta, yang
luasnya masih jauh dari luas ruang
terbuka yang diharapkan, yaitu 30%
dari luas DKI Jakarta, dapat berfungsi
secara optimal. Dengan demikian, pro
ses inflitrasi air dapat dilakukan secara
optimal dan run-off dapat dikurangi.
Salah satu konsep pembangunan
lingkungan binaan yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan adalah
dengan “Pendekatan PCD”(PCD-App
roach)-(Simonds,1994).
36 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Pendekatan ini perlu dilakukan baik
dalam skala regional/wilayah, skala
lokal/ kota, maupun skala tapak, kare
na dalam sistem ekologi wilayah
maupun lokal saling berkait memben
tuk suatu ekosistem. Pada pendekatan
ini, menurut Ismaun, 2006, perlu suatu
suatu studi yang mendalam (landscape
assessment) terhadap kawasan yang
harus dilindungi (Preservation), kawas
an yang harus di konservasi (Conser
vation) dan kawasan yang boleh di
bangun (potential Development); me
lalui penetapan daerah atau kawasan
agar dapat menjalankan fungsi-fungsi
ekologis, dan diharapkan dapat terca
pai keseimbangan lingkungan. Dengan
demikian, wilayah-wilayah yang secara
geografis menjadi satu kesatuan eko
logi diintegrasikan dalam satu kebija
kan tata ruang terpadu, untuk memini
malkan dampak yang melanda Jakarta
maupun daerah lainnya dan
menghindari bencana alam seperti
banjir.
PENUTUP
Berdasarkan kenyataan bahwa
Jakarta masih dilanda banjir yang
cukup besar pada awal tahun 2007 ini,
maka permasalahan kompleks yang
dihadapi sekarang dalam mengan
tisipasi bencana banjir di Jakarta, men
jadi bertambah berat dan harus dita
ngani secara serius. Beberapa upaya
penanggulangan banjir yang diungkap
kan berikut jangka waktu pelaksanaan,
selain membutuhkan biaya yang cukup
tinggi juga membutuhkan adanya koor
dinasi secara terpadu antar lembaga
terkait. Melalui penerapan konsep pe
ngembangan penataan wilayah secara
terpadu dan pengelolaan sumber daya
air secara utuh mulai dari hulu sampai
ke hilir sebagai satu sungai, satu
rencana dan satu pengeloaan terpadu
dengan mekanisme ‘external control’
yang disertai dengan tindakan tegas,
dan kerjasama antar instansi terkait
dengan masyarakat, pelaksanaan upaya
penanggulangan banjir diharapkan
dapat memberikan manfaat secara
nyata bagi masyarakat luas, sehingga
kerja keras dan biaya yang dikeluarkan
tidak sia-sia. Dengan demikian
masyarakat kota Jakarta tidak perlu
mengalami penderitaan yang lebih
parah lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Bina Lingkungan Hidup. Program
Sumur Resapan Sebagai Upaya
Penegasan Defisit Air Tanah.
BBLH : 1994.
BMG : Banjir 2007 Bukan Terbesar,
dalam
http://www.tempointeraktif.com/
hg/nasional/2007/02/09/brk
37 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
Budihardjo, Eko. Arsitektur, pemba
ngunan dan konservasi. Jakarta,
Djembatan, 1997.
Hakim, Nurhajati, dkk. Dasar-dasar
Ilmu Tanah. Lampung, Badan Pe
nerbit Unila L : 1986.
Hehanussa. Pengaruh Kedudukan
Muka Hidrostatika terhadap Pen
yusupan Air Laut ke dalam Ce
kungan Artois Jakarta. Ban dung,
Riset LIPI :1980
Har/Inn. Daerah Hulu segera diper
baiki. Kompas, 11 Februari 2007.
Ito. Jakarta Dilanda Banjir Lebih
Hebat Lagi. Republika, 12 Feb
ruari 1996.
Ism. Drainase Harus Terintegrasi.
Sindo Pagi, 13 Februari 2007.
Ismaun, Iwan. “Pendekatan PCD
dalam Sistem Ruang Terbuka
Hijau Metropolitan”, dalam Se
minar Peluang dan Tantangan
Pengelolaan Megalopolis dalam
Perspektif Publik. FALTL-
Usakti, 11 Juli 2006.
Ksp. Warga Jakarta Diwajibkan
Membuat Sumur Resapan.
Kompas, 19 April 1996.
Manan, M.Effendy. Klimatologi
Pertanian Dasar. Bagian Klima
tologi, Dep.Ilmu Pengetahuan
Alam, Fakultas Petanian-IPB :
1980.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. Tanah
dan Lingkungan. Dikti. Dep.
Pendidikan dan Kebudayaan :
1989.
Poerbo, Hassan. Lingkungan Binaan
untuk Rakyat. Jakarta, Djem
batan. 1989.
Puslitbang Pengairan. Monitoring Sedi
mentasi dan erosi Sungai-
sungai di Pulau Jawa dan Bali.
Laporan Teknik No.170/LA-
14/1984. Jakarta : 1984 Rie.
Presiden:“Kembalikan Daerah
Puncak” Kompas, 15 Februari
1996.
Salim, Emil. Kualitas Lingkungan di
Indonesia. Kantor Menteri
Negara Kependudukan dan Ling
kungan Hidup. Jakarta : 1990.
Simonds, John Ormsbee. Garden
Cities 21 Creating a Livable Ur
ban Environment. McGraw-Hill
Company. 1994
Soemarwoto, Otta. Banjir Jakarta.
Kom pas, 14 Februari 1996.
Syukri, Ahmad. Air, Hutan dan
Wilayah Pesisir. Kompas 19
April 1996.
Utami, Ruth Hesti. Ruang Terbuka
Hijau Tersingkir, Jakarta pun
Banjir. Kompas, 21 April 2007
Walhi. Forum Pembaca Kompas :
Banjir Ja karta 2007. Kompas, 9
Februari 2007
38 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim
PENANGGULANGAN LAHAN PASCA PEKERJAAN ENGINEERING:
LANDASAN KONSEPTUAL RENCANA DAN RANCANGAN LANSEKAP
I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S. Hamzah
Lembaga Bina Lansekap dan Lingkungan Universitas Trisakti
Abstract
The collide between engineering developers and environmental developers has been a dillema for a long time. Environmentalists protest on the developing of roads across forest area or conservation area due to their lack of respect on environmental aspects. Environment became the victims of concrete structures and asphalt construction cross along the line, consume the areas and green hills existed. Those actions cause new threats on the area; like erosion and landslide, while the preventive actions haven’t done yet. Sad as it is, but it happen as a fact. Everyone did nothing but watching while it happen, but if we willing to be wiser as the actors of the development itself, this issue can be prevented before the development concept was proposed. Researches on environmental impact need to be done earlier so that the development concepts will refer to environmental and sustainable principles instead of environmental destruction concepts. “Natural and Engineering in Harmony” is something that we should establish , without having to give a higher value on one of them, but more on giving the ideal value to both. So that the harmony of nature and engineering can be accomplished and each aspect could give more positive values to the natural and sustainable development.
Keywords: rehabilitation, sustainable development, succession, green construction
PENDAHULUAN
Seiring dengan strategi dan ke
bijakan Pembangunan Berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan, maka
disadari bahwa setiap pembangunan
yang ada dituntut untuk lebih memiliki
konsep-konsep yang mengedepankan
sisi ekologis. Issue dunia mengenai
“Global Warming” mungkin merupa
kan tindakan manusia yang mulai sadar
terhadap bahaya yang akan ditimbul
kan terhadap dirinya dan lingkungan
hidupnya.
Perilaku pembangunan yang di
lakukan secara sadar oleh manusia se
bagai pelaku pembangunan seringkali
tidak mengindahkan sisi-sisi ataupun
aspek-aspek ekologis. Secara sadar tin
dakan-tindakan ini mereka lakukan de
mi kepentingan ekonomi semata. Ke
pentingan lingkungan seringkali tera
baikan akibat pemahaman-pemahaman
yang salah dan sempit dalam meng
artikan hubungan pembangunan ekono
mi dan lingkungan. Sebagian besar
menggangap bahwa pembangunan
39 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
identik dengan perusakan lahan,
sebaliknya mempertahankan lingku
ngan identik dengan tidak adanya
pembangunan yang nyata.
Hal ini menjadi suatu dilema ber
kepanjangan, sebagai contoh adalah
pelaku pembangunan di bidang engin
eering yang berbenturan dengan pelaku
pembangunan di bidanglingkungan.
Pembangunan Jalan yang melewati
Kawasan Hutan ataupun Kawasan
Konservasi sebagai satu contoh kasus,
seringkali mendapat banyak protes
karena pembangunan tersebut dinilai
tidak mengindahkan aspek lingkungan.
Lingkungan akan menjadi korban oleh
terbangunnya struktur beton dan
asphalt yang melintas sepanjang jalur,
memakan lahan-lahan dan bukit-bukit
hijau yang ada. Bahaya-bahaya baru
akan timbul seperti erosi dan lo ngsor,
sementara tindakan-tindakan pence
gahan belum juga usai dilaksana kan.
Memang menyedihkan tetapi ini sudah
ada yang terjadi, saat ini semua nya
bisa hanya menyaksikan, dan bila
mana kita mau lebih bijaksana sebagai
pelaku pembangunan, seharusnya per
masalahan ini sebelumnya dapat dianu
lir, disaat konsep pembangunan jalan
ini akan diajukan Sebaiknya pelaku
pembangunan terlebih dahulu meng
adakan kajian-kajian yang dalam
mengenai dampak yang akan timbul
terhadap lingkungan hidup, sehingga
konsep pembangunan yang mengacu
pada prinsip-prinsip berwawasan ling
kungan dan berkelanjutan-lah yang di
hasilkan, bukan konsep perusakan ling
kungan yang muncul.
Telah banyak terdapat terori-teori
dan konsep engineering penuh dengan
contoh-contoh praktis ataupun kasus
mengenai bagaimana memperta
hankan dan menanggulagi lahan pasca
pekerjaan engineering dan banyak pula
riset akademis yang relevan dalam
pengoperasian konsep tersebut.
Dibawah ini dikemukakan sebuah
hasil studi yang bertujuan untuk mem
buat beberapa kontribusi pada rencana
lansekap yang konseptual. Pertama
studi ini mencoba untuk menyediakan
ulasan awal dari hasil temuan dan
analisa kedalam suatu rumusan yang
mencakup pola, sistem dan konsepsi
lansekap yang tepat dan efektif dalam
bentuk definisi dan karakteristik. Ke
dua, studi ini mencoba untuk meng
optimalkan konsep perbaikan pada bu
kaan-bukaan lahan dari dampak pemba
ngunan struktur-struktur jalan dan jem
batan melalui penyediaan media untuk
percepatan suksesi vegetasi.
Ketiga, studi ini mencoba untuk
menyusun arahan konseptual Rencana
dan Panduan Rancangan Lansekap
Koridor jalan.
40 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Natural and Engineering in Harmony
Pendekatan Natural and Engi
neering in Harmony, merupakan sebu
ah konsep dasar yang perlu dikaji dan
dipelajari lebih dalam. Alam dan engi
neering merupakan suatu keharmoni
san yang harus kita bina tanpa kita
harus memberikan nilai yang mana le
bih tinggi dari keduanya, tetapi bagai
mana kita memberikan nilai yang ideal
terhadap keduanya, sehingga keharmo
nisan keduanya dapat berjalan dan
masing-masing aspek tersebut dapat
memberikan nilai tambah yang positif
terhadap konsep pembangunan berwa
wasan lingkungan dan berkelanjutan.
Dalam kasus Sumatera Barat–Riau,
tuntutan akan kelancaran jalur distri
busi ekonomi di wilayah-wilayah stra
tegis seperti halnya jalur ekonomi
menjadi sangatlah penting. Jalur trans
portasi darat menjadi jantung dari
keberhasilan suatu pembangunan wila
yah dan kota, dimana dalam studi ini
wilayah Sumatera Barat sebagai Pro
dusen, sedangkan wilayah Provinsi
Riau sebagai konsumen produk-produk
Agro-Pertanian Tanaman Pangan. Sela
yaknya jalur-jalur transportasi ekonomi
ini harus selalu diperbarui mengikuti
tingkat perkembangan dan kebutuhan
ekonomi di kedua wilayah tersebut,
sehingga keberadaan jalur penghu
bung; Jembatan Kelok 9 yang tengah
dibangun saat ini akan sangat penting
untuk kelancaran jalur distribusi ekono
mi pada kedua wilayah tersebut seba
gai salah satu contoh keberhasilan
yang telah dihasilkan oleh pelaku pem
bangunan bangsa ini.
Secara Arsitektur dan Engineering
Jembatan ini merupakan suatu maha
karya spektakuler anak bangsa yang
manakjubkan, mungkin saja akan
mengalahkan karya sebelumnya yaitu
jalan kelok 9 yang dibangun oleh Peme
rintah Kolonial Belanda tahun 1932.
Dari segi engineering dan Arsitekutral
keberadaan jembatan ini mungkin akan
menjadi suatu icon baru, dari segi trans
portasi dan ekonomi keberadaan jemba
tan kelok 9 ini akan sangat membantu
kelancaran jalur distribusi ekonomi di
kedua wilayah tersebut. Sedangkan da
ri segi lingkungan, pembangunan jem
batan kelok 9 ini akan menjadi tolok
ukur keberhasilan pelaku pembangun
an dalam mengharmonisasikan alam
dan engineering. Keberadaan jembatan
yang tepat berada pada kawasan suaka
alam menjadikan pembangunan pro
yek tersebut harus sangatlah hati-hati,
bila terjadi kesalahan akan berakibat
sangat fatal terhadap lingkungan.
Pendekatan Natural and Engi
neering in Harmony merupakan landa
san konseptual lansekap yang perlu di
41 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
ajukan dalam penanggulangan dan per
baikan lahan pasca pekerjaan enji
nering guna mempertahankan lingku
ngan kawasan konservasi alam ter
sebut.
Perbaikan Lahan
Perbaikan terhadap bukaan-bukaan
lahan dari dampak pembangunan struk
tur konstruksi jembatan kelok 9 men
jadi sangat penting karena keberadaan
proyek ini di dalam bagian kawasan
konservasi suaka alam Air Putih.
Perbaikan lahan ini diupayakan
semaksimal mungkin agar keaslian dan
fungsi kawasan konservasi tetap terja
ga. Upaya-upaya perbaikan yang te
ngah dilakukan antara lain dengan pe
ningkatan kualitas visual, perbaikan te
bing-tebing lereng/lahan dan perbaikan
vegetasi pada bukaan-bukaan lahan.
Permasalahannya adalah bagaimana
mengembalikan lahan yang sudah ru
sak akibat suatu kegiatan pembangun
an fisik struktur kontstruksi kepada ben
tukan aslinya sangatlah sulit yang me
merlukan waktu cukup lama. Apalagi
kerusakan lahan tersebut memiliki ting
kat kerusakan kritis dan berada pada
kawasan konservasi.
Kondisi lahan yang berbukit yang
memiliki tingkat kemiringan lereng
yang curam (>40%) akan sangat men
yulitkan dalam proses perbaikan, untuk
itu perlu diambil langkah-langkah yang
tepat sehingga kondisi lahan yang
kritis tersebut dapat segera diperbaiki
dan teratasi secara fungsi maupun
visual. Langkah-langkah ataupun ta
hap-tahapan tersebut berupa kerangka
konseptual rencana dan panduan ra
ncangan. Tetapi hal yang perlu disepa
kati sebelum masuk kedalam tahapan-
tahapan tersebut hendaknya perlu
adanya pemahaman-pemahaman me
ngenai teori-teori dan pergertian-
pergertian yang berhubungan erat deng
an perbaikan lahan. Sehingga kerangka
perbaikan lahan yang akan diajukan
semaksimal mungkin dapat dihasilkan
secara tepat dan nyata (layak kerap).
Gambar 1. Suasana Lahan saat pembangunan konstruksi jembatan kelok – 9. Terlihat lahan-
lahan yang rusak dan kritis Sumber : Hasil Survey Lapangan,2008
Peningkatan Visual
Menurut Zainuddin Noor (1997),
kualitas visual merupakan persepsi se
seorang terhadap suatu rangsangan ya
ng dilihatnya berdasarkan interaksi ma
ta dan emosional serta intelegensia dan
42 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
skemata yang dimilikinya, sehingga
manusia dapat menetapkan/menilai vi
sual tersebut baik atau buruk. Terdapat
perbedaan dalam pandangan visual dari
masing-masing individu manusia,
sehingga hal yang dilihat dan di
usulkan dalam perbaikan visual adalah
kepada satuan visual yang normatif
dalam setiap pandangan. Seperti
halnya orang menikmati suatu
panorama alam pedesaan, dimana hal
utama yang akan diingat setiap orang
adalah hamparan padi yang hijau di
sawah.
Dalam konteks koridor Kelok – 9,
rangsangan yang diterima sangatlah
variatif akibat pergerakan dan beragam
objek dalam satuan waktu yang ter
batas. Namun obyek-obyek dominan
saja yang akan tertangkap dan mem
bentuk kesan yang kuat, sedangkan
bukaan-bukaan lahan berupa pemang
kasan tebing lereng yang terjadi; secara
pandangan (Visual) ketika orang melin
tas didaerah ini akan sangat meng
gangu. Kesan ektrim dari bukaan le
reng tersebut dengan kemiringan le
reng > 90% akan sangat menggangu
pandangan, menjadikan orang berfikir
bahwa lereng-lereng tersebut akan run
tuh menimpanya.
Hal yang penting dalam pena
nganan kualitas visual adalah bagai
mana terciptanya serial visual dan
gerak (serial vision and motion) harus
direncanakan dan dirancang sebagai
suatu rangkaian panorama dari satu
titik ke titik lainya. Sejalan dengan hal
tersebut, maka pengembangan koridor
jalan; khususnya daerah tepian jalan
perlu dirancang secara rinci sama
seperti segi-segi jalan raya umumnya.
Gambar 2. Implementasi Rancangan Lansekap Koridor Kelok – 9 Sumber : Hasil Rancangan, 2008
43 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Pertimbangan akan suatu keindah
an mutlak menjadi perhatian, dan un
tuk kepentingan tersebut seringkali per
lu melakukan pengorbanan biaya dan
jarak tempuh untuk memperolehnya.
Perbaikan Tebing-tebing kritis pada
Lereng
Menurut Abramson, L.W., Lee,
T.S., Sharma, S., and Boyce, G.M.,
(1996); kestabilan lahan berlereng ber
variasi sepanjang waktu. Hal ini dise
babkan antara lain karena adanya mu
sim hujan dan kering sehingga terdapat
perubahan musiman dari permukaan
air tanah atau terjadi perubahan keku
atan geser material yang diakibatkan
proses pelapukan. Penurunan kestabi
lan lereng dapat juga terjadi secara dras
tis apabila terjadi perubahan yang tiba-
tiba, seperti hujan lebat dengan inten
sitas yang tinggi, erosi pada lereng atau
pembebanan pada permukaan lereng.
Kondisi kestabilan lereng berda
sarkan tahapannya dapat dibagi men
jadi tiga, yaitu :
• Sangat stabil; pada tahap ini lereng
mempunyai tahanan yang cukup be
sar untuk mengatasi gaya-gaya yang
menyebabkan lereng menjadi tidak
stabil.
• Cukup stabil; pada kondisi lereng-
lereng yang mempunyai kekuatan
tahanan sedikit lebih besar daripada
gaya-gaya yang menyebabkan lereng
menjadi tidak stabil, serta kemungki
nan untuk terjadi keruntuhan lereng
pada suatu waktu apabila gaya-gaya
yang menyebabkan terjadinya long
soran mencapai suatu nilai tertentu.
• Tidak stabil; lereng dinyatakan ber
ada dalam kondisi tidak stabil apabila
terdapat pergerakan secara kontinu.
Pembagian ketiga tahapan kondisi
kestabilan tersebut sangat berguna da
lam mempelajari penyebab-penyebab
ketidakstabilan lereng dan membagi
nya menjadi 2(dua) berdasarkan fungsi
nya yaitu :
• Faktor-faktor penyebab pendahuluan
yaitu faktor-faktor yang dapat me
nyebabkan lereng menjadi rentan ter
hadap longsoran sehingga merubah
kondisi kestabilan lereng dari aman
menjadi cukup aman.
• Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu
faktor-faktor yang memicu sehingga
terjadi pergerakan pada lereng atau
lereng mengalami longsoran. Faktor
pemicu akan menurunkan kestabilan
lereng dari cukup aman menjadi
tidak stabil.
Hal yang penting dalam pena
nganan perbaikan tebing-tebing yang
terbuka pada lereng adalah bagaimana
mengetahui kestabilan lereng, sehingga
perbaikan yang diusulkan merupakan
44 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
suatu kerangka konseptual yang tepat,
dimana lahan-lahan tersebut akan tetap
stabil, dan bahaya-bahaya erosi permu
kaan dan longsor dapat diminimalkan
serta penanganan terhadap bukaan-
bukaan lahan tersebut cepat dilakukan.
Pergerakan formasi bebatuan alam
akibat gravitasi tidak selalu ber
langsung secara tiba-tiba. Pergerakan
batuan tersebut terkadang hanya ber
langsung sebesar satu atau dua centi
meter pertahun. Pergeseran gerakan
dari formasi bebatuan atau lapisan ta
nah yang terlepas biasa disebut creep.
Indikasi terjadinya gerakan pergeseran
tersebut dapat diamati dari perubahan
tata letak elemen-elemen yang berada
diatasnya.
Wujud pembatas yang memisahkan
lapisan bebatuan yang lebih muda dari
lapisan yang lebih tua meng ekspose
gejala erosi, gejala ini sering dikenal
denga sebutan unconformity.
Sebuah lapisan sedimen biasanya
terlapisi oleh lapisan terbaru, partikel
partikel saling menekan akibat be
ratnya beban yang ada diatasnya, ter
kadang lapisan mineral seperti quarst
atau calcite, mengisi rongga-rongga
diantara partikel. Apabila hal ini ter
jadi, maka lapisan sedimentasi tersebut
merekat dengan kuat antar sesamanya.
Formasi bebatuan terbentuk ketika
sebuah lapisan sedimen menjadi solid
dan terwujudlah sebuah cedimentary
rock.
Gambar 3. Rekomendasi rekayasa tebing dan
lereng dengan terasering Sumber : Abramson, L.W., Lee, T.S., Sharma, S., and
Boyce, G.M., (1996);
Perbaikan Vegetasi
Vegetasi secara fungsional dapat di
rekomendasikan sebagai pelapis muka
lahan gundul akibat dari bukaan lahan
yang ditimbulkan, baik itu sebagai sua
tu cara bagi kepentingan teknis dalam
menjaga kestabilan lahan, ekologi ling
kungan maupun penampilan visual
yang dapat diberikan oleh tanaman.
Tanaman pada dasarnya terbagi atas
beberapa kelompok besar, yaitu pohon,
semak dan perdu serta tanaman
penutup tanah dan rumput (ground
cover). Secara fungsi vegetasi, strata ta
naman paling bawah yang akan banyak
berfungsi sebagai dasar perbaikan vege
tasi dan dapat mengantisipasi erosi,
selain fungsi teknis dan estestis; dima
na vegetasi berupa pohon akan banyak
berfungsi sebagai pembentuk ruang
lansekap.
45 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Fungsi vegetasi menjadi penting da
lam proses perbaikan terhadap bukaan-
bukaan lahan pada objek studi, karena
fungsi vegetasi diharapkan dapat mem
bantu menjaga kestabilan lereng. Tek
nologi rekayasa lansekap pada bukaan-
bukaan ruang dengan percepatan suk
seksi vegetasi merupakan hal yang
tepat, dimana percepatan sukseksi ini
secara prinsip akan menggunakan
tanaman lokal yang terdapat dalam
kawasan suaka alam, sehingga diharap
kan vegetasi yang ditanam akan mem
punyai kemampuan tumbuh kuat dan
cepat, sedangkan secara konservasi;
sukseksi vegetasi akan dapat menjaga
keaslian vegetasi kawasan suaka alam
tersebut.
Penentuan Titik-Titik Kritis Lahan
Klasifikasi tingkat kerusakan lahan
perlu dilakukan dan dipelajari sehing
ga dapat segera di diatasi dan secara
maksimal di perbaiki.
Berdasarkan survey dan pengamat
an lapangan pada obyek studi; faktor
kemiringan lereng yang cukup terjal
diatas > 50%. Merujuk dari laporan
Revisi Studi Amdal pembangunan jem
batan kelok - 9, terjadi sedikit long
soran walaupun keadaan lereng tetap
stabil dan tidak ada dampak pelaksa
naan kegiatan terhadap aspek geologi
setempat.
Hal yang perlu dianalisis adalah
bagaimana kekuatan lapisan tanah ba
gian atas lereng. Jika dilihat dan diper
hatikan, lapisan tanah tersebut rawan
terhadap erosi, sehingga diperlukan
adanya penanganan aliran air permuka
an agar aliran tersebut dapat diarahkan
dan erosi permukaan dapat dimini
malkan.
a
b Gambar 4. Bukaan Tebing yang rawan
terhadap erosi Sumber : Hasil Survey,2009
Bukaan-bukaan lahan dan pember
sihan lahan yang diperuntukan bagi
konstruksi jembatan telah menimbul
kan gangguan terhadap kestabilan
tanah dan vegetasi. Walaupun pada
saat pembukaan lahan dampak tersebut
telah dicoba untuk diminimalisasir, na
mun kerusakan tidak bisa dihindarkan.
46 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Hal yang perlu diusulkan dalam hal
pengatasan masalah kerusakan lahan
ini adalah percepatan sukseksi ve
getasi, sehingga ketika bukaan-bukaan
lahan bisa tertutup dengan tanaman,
kestabilan lahan dapat sedikit ber
tambah. Namun perlu diperhatikan bah
wa vegetasi yang direkomendasikan
harus tanaman lokal setempat, me
ngingat kawasan ini merupakan kawa
san suaka alam.
Rekayasa Lansekap akan sedikit me
ngalami kesulitan, dilihat dari ke
miringan lahan dan jenis batuan yang
keras. Hal pertama yang harus segera
diatasi dan direkomendasikan adalah
penyempurnaan kemiringan dengan
melakukan terasering pada lereng, di
mana lereng-lereng yang terjal sedikit
dilandaikan, sehingga aliran air per
mukaan dapat diatur, dan tanaman-ta
naman dapat berpijak lebih kuat dalam
pertumbuhan akarnya.
Pendekatan Perancangan Lansekap
Berbagai pendekatan dapat di
lakukan dalam perancangan landasan
konseptual dan panduan rancangan lan
sekap koridor jembatan kelok - 9, baik
melalui pertimbangan teknis, sosial
ekonomi, ekologis, maupun estetis, di
mana hal tersebut merupakan pendekat
an perancangan yang dilakukan secara
komprehensif.
Terkadang untuk mendapatkan ke
nyamanan yang lebih baik, dikorban
kan jarak dan biaya yang lebih besar.
Kenyataan tersebut telah ditunjukkan
dari sejak awal konsep pembangunan
jembatan kelok-9, dimana kenyaman
an pemakai jalan dan konsep arsitek
tural dan struktur yang berwawasan
lingkungan telah menjadi perhatian pen
ting. Kesadaran ini telah mendorong
para perancang jalan untuk tidak hanya
berpikir secara teknis melainkan juga
mengedepankan pertimbangan estetis
dan ekologis, sekalipun bahasan ten
tang ini masih sangat terbatas. Dalam
kedudukan tersebut maka pertimbang
an terhadap koridor yang menyenang
kan perlu dijadikan perhatian lebih sek
sama, baik dalam pemilihan alinyemen
menarik atau menjaga keberadaan land
scape scenery unggulan.
Kesan pada koridor jalan dapat
terjadi akibat rangsangan yang di tim
bulkan dari apa yang tertangkap atau
tervisualisasi. Dalam kaitan ini rang
sangan elemen dominan merupakan
faktor yang paling berpengaruh. Objek
yang terlihat akan diolah dan berin
teraksi antara pikiran, emosi dan ting
kat intelektual dan melahirkan kesan
yang kemudian dapat disimpulkan baik
atau buruk. Melandasi pengertian terse
47 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
but, maka pendekatan visual dijadikan
acuan dalam studi ini, karena kualitas
visual yang buruk, monoton dan men
jemukan dan lebih cepat memicu kele
lahan. Kondisi yang tidak mengun
tungkan tersebut memungkinkan terja
dinya kelengahan dan menurunkan
tingkat kewaspadaan serta tidak jarang
menimbulkan hypnosis travelling dan
dapat mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas yang tidak diharapkan.
Menyadari bahwasanya jalan
merupakan ruang pergerakan yang di
namis dan selalu berubah, maka kori
dor jalan merupakan rangkaian ruang
dari satu titik ke titik lainnya atau me
rupakan rangkaian visual dan mem
bentuk kesan dinamis. Dalam upaya
menampilkan visual setting yang dapat
mengantarkan pengemudi dan penum
pangnya mencapai tujuan secara aman,
lancar, dan menyenangkan, diperlukan
kajian visual yang dapat meningkatkan
kualitas visual yang signifikan ter
hadap setiap koridor jalan. Oleh kare
nanya pemahaman berbagai teori yang
berkait dengan aspek visual menjadi
penting. Bertumpu pada teori vision
and motion pendekatan rancangan ini
di lakukan, dimana karakter alinyemen
dan karakter visual dari suatu segmen
dijadikan pertimbangan dalam menilai
elemen dan fasilitas yang terdapat pada
koridor jalan tersebut.
Konsep perancangan secara umum
dilakukan melalui upaya memberikan
kemungkinan visual yang terbaik dan
termudah bagi pengemudi untuk me
ngenali tanda, alinyemen jalan dan
kondisi atau situasi yang ada disekitar
jalan. Untuk menjawab kebutuhan dan
tuntutan tersebut, maka diperlukan se
suatu yang dapat membangkitkan kesa
daran secara terus menerus dari ruang
terbentuk pada internal view ataupun
external view. Obyek-obyek menarik
atau ruang terbuka berpanorama indah
seyogyanya dapat dijadikan sarana
penggugah kesadaran, karena variasi
yang terbentuk memungkinkan penge
mudi menjadi lebih siap dan lebih
waspada dalam menghadapi berbagai
kemung kinan yang akan terjadi.
Mengacu pada konsep natural and
engineering in harmony, dimana alam
dan engineering adalah suatu harmoni
yang harus kita bina tanpa harus mem
berikan nilai yang mana lebih tinggi
dari keduanya, melainkan bagaimana
kita memberikan nilai yang harmonis
terhadap keduanya, sehingga keharmo
nisasian keduanya dapat berjalan dan
masing-masing aspek tersebut dapat
memberikan value yang tinggi terha
dap konsep pembangunan berwa wasan
lingkungan dan berkelanjutan. Imple
mentasinya pada setiap ruas jalan dan
segmen jalan harus dijabarkan lebih
48 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
rinci dengan memperhatikan alinye
men, elemen dan karakter dominan
dari ruang yang terbentuk. Upaya pene
rapan konsep dapat dilakukan dengan
menggunakan elemen alamiah, binaan
ataupun variasi dari keduanya, yang
terpenting adalah nilai obyek tersebut
secara kuantitatif maupun kualitatif
dapat menggugah kesan yang melihat
nya.
Konseptual Rencana Lansekap
Dalam rangka pengembangan pro
duk, maka hal yang akan didahulukan
dalam konsep rencana adalah perbaik
an terhadap bukaan lahan terbangun
yang timbul saat ini sehingga perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut :
a. Model Perbaikan Lahan
Perbaikan lahan terhadap bukaan-
bukaan lahan akan diatasi dengan rang
kaian model rekayasa lansekap se
bagai berikut :
• Terasering
Model terasering di rekomendasi
kan untuk lahan-lahan yang mem
punyai tingkat kemiringan yang
ektrim yaitu >50 %. Model ini
dimaksudkan mengatasi bahaya ero
si atau pun longsoran dari atas agar
tidak langsung jatuh ke jalan. Se
lain itu model terasering juga da
pat meningkatkan kestabilan. Diha
rapkan dengan model terasering
ini, kecuraman lereng dapat lebih
dapat dikurangi, dimana pada per
mukaan terasering yang datar akan
dibuat cekungan-cekungan dengan
penambahan media tanah, sehingga
vegetasi dapat lebih mudah ber
kembang dan lebih stabil terhadap
tekanan. Diantara cekungan terse
but akan dibuat selokan yang
berfungsi mengalirkan air permuka
an. Dengan metoda ini diharapkan
erosi dan longsoran permukaan
dapat diminimalkan.
Gambar 5. Konsep Perbaikan Bukaan-bukaan pada lahan dengan upaya penyelesaian tebing dan pertahanan/penguatan lereng, membentuk lereng menjadi trap-trap, dimana kecuraman
yang ada coba dilandaikan dari segi keamanan lereng akan menjadi lebih stabil. Sumber Gambar : Zainuddin Noor (1997)
• Pengaliran aliran Permukaan
Pengaliran aliran air pada per
mukaan tanah dilakukan dengan
membuat selokan pada daerah trap-
Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal jenis Semak dan ground cover dengan konsep Jaring Jala
Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal dari jenis semak dan perdu, dan mencegah longsoran jatuh kejalan
Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal dari jenis Pohon dan Perdu, lahan dibuat cekungan sehingga media tanah dapat ditempatkan
Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal
49 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
trap pada terasering. Dimaksudkan
supaya air tidak terlalu banyak ma
suk kedalam rongga struktur tanah
dan batuan, sehingga kejenuhan
struktur dibawah tidak terbentuk.
Gambar 6. Perbaikan Bukaan-bukaan pada lahan dengan upaya penyelesaian tebing dan
pertahanan/penguatan lereng, membentuk selokan-selokan untuk mengalirkan aliran air
permukaan. Sumber Gambar : Zainuddin Noor (1997)
• Jaring Jala
Model Jaring Jala direkomendasi
kan untuk lahan-lahan yang mem
punyai tingkat kemiringan yang
ektrim >50 %. Model ini dimak
sudkan untuk menjaga sukseksi
percepatan vegetasi, dengan meng
unakan bahan sejenis nilon ataupun
serat sejenis pertumbuhan akar ta
naman dan tegakan-tegakan vege
tasi sejenis semak dan ground co
ver pada lereng akan lebih stabil ter
hadap arus dan aliran air permu
kaan. Jaring jala memiliki daya ke
kuatan terhadap pelapukan untuk
waktu yang cukup lama, diper
kirakan ketika akar-akar tanaman
telah kuat, jaring jala ini baru akan
hancur. Pengunaan jaring jala ini
dinilai lebih bersahabat dengan ling
kungan dalam kata arti lebih ramah
lingkungan.
Selokan-selokan yang dibentuk, berfungsi untuk mengalirkan aliran air permukaan.
Gambar 7. Masterplan Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9
Sumber : Hasil Rancangan, 2008
50 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Implementasi Rancangan Lansekap
Bentuk implementasi rancangan
lansekap yang dibangun bertumpu
pada potensi alam, karena kawasan
obyek studi adalah bagian dari
kawasan suaka alam, dengan demikian
implementasinya akan diarahkan
kepada kerharmonisan antara alam dan
engineering. Rancangan arsitek tural
berfungsi sebagai faktor pe nunjang
sedangkan nilai alam dan pelestarian
merupakan faktor utama yang akan
dipertahankan.
Ilustrasi akan disajikan dalam
bentuk-bentuk sketsa suasana, sehing
ga implementasi ide dan gagasan lebih
mudah dipahami dan ditangkap untuk
pengembangan rancangan kedepan.
Berdasarkan pembagian zonasi, ka
wasan akan dikembangkan berdasar
kan ;
• Zona penyangga; zona ini berada
diluar kawasan suaka alam Air
Putih, yang berbatasan dengan
kawasan suaka alam, dimana
pengembangannya direncanakan
sebagai publik area. Fungsi
kegiatannya adalah sebagai rest
area, dan sebagai zona penerima
dan pusat informasi. Pengembangan
zona tidak terlepas dari kegiatan
zona inti, sehingga keberadaan zona
inti secara fungsi konservasi tetap
terjaga. Orientasi pendekatan
rencana yang diusulkan didukung
oleh konsep Community Based
Conservation.
Gambar 8. Implementasi Desain Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9
Sumber : Hasil Rancangan, 2008
51 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
• Zona Inti; zona ini berada di dalam
kawasan suaka alam Air Putih,
merupakan kawasan objek studi,
dimana pengembangan zona
diarahkan sebagai area terbatas.
Fungsi kegiatannya adalah sebagai
rekreasi alam, dengan pembagian
area meliputi; Laboratorium Alam,
Museum Alam, Guest House,
Menara Pengamatan/Pandang, Stu
dio Alam, Gerai Cindera Mata,
Canopy Trail (jembatan gantung),
Area Service.
KESIMPULAN
• Interprestasi Lansekap sebagai
Kekayaan menjadi interprestasi
yang dinilai tepat karena objek studi
memiliki suatu nilai yang tinggi
secara ekologi/lingkungan dalam
kawasan suaka alam. Nilai yang
tinggi terlihat dari panorama alam,
tipologi lansekapnya, dan konsep
pendekatan engineering yang
dibangun.
• Melalui pendekatan Natural and
Engineering in Harmony;
Sehingga keharmonisan keduanya
dapat berjalan dan masing-masing
aspek tersebut dapat memberikan
values yang tinggi terhadap
konsep pembangunan wawasan
lingkungan dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Baud-Bovy, M. and F. Lawson. 1977.
Tourism and Recreation
Development. A Handbook of
Physical Planning. Boston:
CBI. Publishing Company.
Departemen Kehutanan. 1994. Surat
Keputusan Menteri Kehutan
an Nomor 446 tahun 1994
tentang Tata Cara Permohon
an, Pemberian dan Pencabut
an Ijin Pengusahaan Pari
wisata Alam di Zona Peman
faatan Taman Nasional dan
Blok Pemanfaatan Taman wi
sata Alam dan Taman Hutan
Raya.
Departemen Kehutanan. 1994. Surat
Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 167 tahun
1994 tentang Sarana dan
Prasara Pengusahaan
52 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
Gambar 9. Implementasi Rancangan Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9
Sumber : Hasil Rancangan, 2008
Pariwisata Alam di Kawasan
Pelestarian Alam.
Direktorat Jenderal PHPA. 1996. Surat
Keputusan DJ PHP A Nomor
129 tahun 1996 tentang Pola
Pengelolaan Kawasan Suaka
Alam, Kawasan Pelestarian
Alam, Taman Buru, dan Hutan
Lindung.
Gold, S.M. 1980. Recreation Planning
and Design. New York:
McGraw-Hill Book Company.
Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning :
Basics, Concepts, and Cases.
Third Edition. Washington DC:
Taylor and Francis.
Hendler, B. 1989. Caring for the Land:
Environmental Principles for
Site Design and Review.
American Society of Planning
Official.
McHarg, I.L. 1969. Design with Nature.
New York: Natural History
Press. Pemerintah Indonesia.
1990. Undang-Undang Nomor 5
talmn 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Pemerintah Indonesia. 1994. Peraturan
Pemerintah Nomor 18 tahun
1994 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan Taman Nasional
dan Blok Pemanfaatan Taman
Wisata Alam dan Taman
Hutan Raya.
Pemerintah Indonesia. 1997. Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup.
Sekartjakrarini, S. 2001. Perencanaan
Ekoturisme. Workshop oleh
CRMP-NRM. Balikpapan,
27-28 Nopember 2001.
Simonds, J.O. 1961. Landf}cape
Architecture. An Ecological
Approach to Environmental
Planning. New York:
McGraw-Hill Book Company.
United States Department of the
Interior. 1993. Guiding
Principles of Sustainable
Design. National Pa'rk
Service. Denver Service
Center.
World Tourism Organization dan
United Nations Environment
Programme. 1992. Guide
lines: Development of Natio
nal Parks and Protected
Areas for Tourism. WTO/
UNEP Joint Publication.
53 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah
VISUAL ASSESSMENT AND FACTORS AFFECTING VISUAL RATINGS OF HUMAN-MADE LANDSCAPE ELEMENTS IN
WETLAND
MOHD KHER, H., NOORIZAN, M., AWANG NOOR, A.G., AND KAMARIAH, D.
Department of Landscape Architecture, Faculty of Design And Architecture, Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor, Malaysia. Email:
[email protected] . Tel./Fax: 603-89464092.
Abstract
Visual quality of landscape is becoming an important element in eco-friendly design for nature-based tourism areas in Malaysia. However, the majority of the human-made landscape elements of nature-based tourism areas such as buildings do not harmonize with the natural environment and are considered as not eco-friendly in design. A study was conducted in Paya Indah Wetlands aimed to determine factors that affect visual rating of human-made landscape and to determine visual rating of human-made landscape at the study site. This study used selected photographs of the human-made landscape elements in Paya Indah Wetlands representing different types of buildings, park furniture, parking features, pedestrian facilities, drainage and signage. The scoring scheme for visual quality and landscape features was valued using the six basic design elements, namely, form, line, colour, texture, shape and space. Data were gathered from 100 experts using a structured questionnaire with surrogated photos, distributed equally among landscape architects and architects. The results of regression analysis revealed that the visual rating was affected significantly by the respondents’ age, sector of employment and professional memberships in certified bodies. From the result, it showed that more than 60% of the respondents give visual ratings to the human-made landscape elements in Paya Indah Wetlands ranging from scores of 1 to 3 (means from 1.51 to 3.2). INTRODUCTION Human-made landscape in wetlands
refers to the structure incorporated into
the landscape such as building, park
furniture, boardwalk, pavement, park
ing features, drainage, signage and
others. These types of structures form
an integral part of creating and in
creasing the functionality of outdoor
space in wetland development areas.
Human-made landscape in wetlands
can also be interpreted as the elements
designed and built by humans to fulfil
the landscape functions and for beauty.
The purpose of human-made landscape
is to support the human needs where
the natural landscape cannot give the
effects and to give complimentary
effects to enhance the beauty of natural
landscape. It provides comfort and
ease to those who prefer a more leisure
ly journey through the wetlands.
54 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Figure 1. Signage and wakaf as examples of human-made landscape in wetland area
Zube (1993) says that Albert Good
defines harmonious relationships in
natural park developments as the sub
ordination of a structure to the envi
ronment and having buildings blended
in with the landscape. His definition
is based on the use of local materials
and a scale and form that appear fitting
to the existing landscape context.
Materials used for human-made land
scape in wetlands must reflect regional
materials and be sympathetic with tradi
tional forms and the existing land
scape.
To have the harmonious design, the
visible construction materials must
relate to the surrounding landscape. It
also should be a continuity of form,
materials, colours and details among
the structures within the wetland area.
Understanding the nature of the wet
land is vital to the landscape and visual
quality. This should include a consi
deration of alternatives and a clear
description of the components of the
development that will affect the land
scape. All stages of the development
project should be addressed: site pre
paration, construction, operation and
decommissioning. These writers’ be
lieved that by understanding the nature
and going through the design process
especially at the early stage of design
(in terms of identifying the patterns
found in the existing landscape) will
help designers in producing eco-
friendly and harmonious designs.
Wakaf
Signage
55 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Techniques for assessing landscape
attractiveness are becoming increasing
ly important in environmental plan
ning. They are a manifestation of the
growing need to monitor landscape
deterioration, to help preserve natural
beauty, to learn about our cultural
perceptions, and to satisfy an ever-
increasing body of environmental laws
(Kane,1981). Without great expec
tations or justification we have often
acted to preserve, protect, and even
create beautiful and unique landscapes.
Numerous national parks, green belts,
parklands, wilderness areas and scenic
preserves have already been set aside.
But this is not enough because such
preservation has been, for the most
part, largely unplanned and irrational
(Kane, 1981). For these reasons, we
as human beings who live in the fragile
planet are responsible for managing
and changing any unplanned and
irrational framework (without thinking
about negative effects on surrounding
areas and the development itself) with
a more structured one for our better
life. A structured development would
lead to sustainable development that
more stressed on environment, social
and economy effects that enhance
better life to human and other living
things (plants, wildlife, etc.)
From the literature review, some
research indicated several variables
hypothesized to influence landscape
preferences. The variables that have
been identified are professional
training (Zube, 1973; Zube et al., 1975;
Daniel and Boster, 1976; Buhyoff et
al., 1978), familiarity of the respondent
either with the actual sites under
evaluation or similar sites (Beckett,
1974; Jackson et al., 1978; Buhyoff et
al., 1978; Nieman, 1980; Wellman and
Buhyoff, 1980), socio-economic such
as age and sex (Brush, 1976;Clamp,
1976; Penning-Rowsell et al., 1977;
Macia, 1979). Hence, the objective of
the study was to assess the influence of
various socio-economic variables, age,
education, sector of work, experience
and professional memberships, on
landscape assessment. To summarise,
the objectives of the study were;
(a) To determine factors that affect
visual rating of human-made land
scape; and
(b) To determine visual rating of
human-made landscape at the study
site.
56 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Figure 2. Part of view could be seen in
beautiful Paya Indah Wetland area
RESEARCH METHODOLOGY
ADOPTED
Numerous methods have been
devised by the researchers on the
subjective assessments of landscape
quality. The Macaulay Institute (2003)
has split assessment into three cate
gories:
(i) descriptive inventories that
include ecological and formal aesthetic
models, (ii) public preference models,
such as psychological and phenomeno
logical model, and (iii) quantitative
holistic techniques which use a mixture
of subjective and objective methods
and include psychophysical and
surrogate component models. What
ever method is used, the goal is to
protect and minimise the negative
visual impact of development on the
landscape and environment.
The method used in this study was a
descriptive inventory through an
adaptation of BLM’s VRM system
using surrogate pictures. Experts,
mainly landscape architects, mostly
applied this method. It is practical to
carry out this method in terms of time
and budget constraints. This method
was also efficient for evaluating the
visual quality of landscape features
(natural and human-made) where
quality is assumed as inherent in the
land. Experts were selected as the
respondents in this study as there was a
lack of documented information on this
area and a lack of knowledge on
potential impacts especially in cases
where there was disagreement on the
visual values of natural resources. The
use of experts was because they could
produce evaluations of complex land
scape with a high levelof accuracy by
relying on their professional judgment
to rate the relevant criteria (Amir and
Gidalizon, 1990).
View at the Nypha Lake
View at the jetty area
57 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
SURVEY METHOD
The instrument used in the study
was a structured questionnaire. The
questionnaire consisted of three
sections: background of the study, the
socio-demography and landscape
evaluation. The second section covered
socio-demography of the respondents
which included gender, age, ethnicity,
and occupation, sector category of
employer, education level, income,
experience and membership of any
professional body. The third section
pertained to human-made landscape
evaluation and consisted of three parts.
The first part was an instruction to the
evaluators on how to do the evaluation
process together with the explanation
about the scores and the variables. The
second part was the score boxes for the
evaluators to fill in the visual rating
scores according to the human-made
landscape element types and variables
(form, line, colour, texture, shape and
space). The last part was for the
evaluators to give any comment
regarding the study. To enable the
evaluators to evaluate the human-made
landscape elements, each of the
evaluators was given a set of
photographs. The photos were taken
from the study site during field work
under existing conditions. These
photos were categorized into six types,
namely, buildings (administration
building, toni’s bistro, rumah melayu,
commercial percinct, chalets and the
albatross), park furniture (gazebo,
shelter, benches, rubbish bin, wakaf),
parking features (rubbish collector,
lighting pole, guard house, covered
parking), pedestrian facilities
(boardwalk, jetty, covered walkway,
pedestrian path), drainages (parking
drainage, building drainage) and
signage’s (direction, information,
location and road signage). They were
taken from four different views. Each
photo was printed in size of 7cm x
5cm. All the photos were mounted on
A4 size paper and compiled according
to their types as an attachment together
with the questionnaire. The sample
size of the respondents was based on
the formula of Tabachnick and Fidell
(1996) in which N>50+8m, where m is
the number of independent variables
tested in the regression model (the 6
variables were: AGE, GEN, EDU,
SEC, EXP, and PROF). In the first
selection, the total number of
respondents willing to participate was
98. However, at the end of the survey,
another 2 respondents volunteered to
become respondents, making the total
number to 100 respondents.
Statistically, the sample size was
58 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
considered to be expert representative
because it had 19% number of experts
in the professional body (more than
10% minimum was required for data
analysis). The respondents were
selected “judgemental” through a
company list of Institute Landscape
Architect Malaysia (ILAM) and
Malaysian Architect Association
(PAM). They were called and asked
whether they were willing to become
respondents for this survey. When
they agreed, explanations were given
to them personally and then the
evaluation forms together with photos
to evaluate also were given. The
respondents self administered the
evaluation process. The evaluation
forms together with the photos were
collected after two days to give enough
time for evaluators to do their
evaluation. The evaluation procedures
that were used in the study are as
follows:
i. The entire process was limited to
the human-made landscape
elements in the Paya Indah
Wetland corridor.
ii. The human-made landscape
elements of buildings, park
furniture, parking features,
pedestrian facilities, drainages and
signage’s were identified and
categorized according to their types
and functions.
iii. The photos were taken using a
digital camera between 10.00 am
and 2.30 pm on clear days from
four different angles.
iv. Only clear photos were selected for
evaluation. All the selected photos
were mounted on A4 size paper
and compiled according to their
categories.
v. Each image was assessed using six
basic design elements (form, line,
colour, texture, shape and space as
shown in Table 1. The experts were
trained to observe and judge spe
cific landscape attributes based on
the principles of art, design,
resource management and ecology.
vi. Based on the photo showing the
human-made landscape elements of
Paya Indah Wetlands, evaluators
were asked to evaluate and give a
score in the score forms according
to their types and descriptions
based on the variables in Table 1.
vii. Evaluators were asked to do the
evaluation sincerely and in
dependently based on their
professionalism without any ex
ternal interference when giving the
score for each photo.
59 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
viii. After the evaluation, Visual
Rating (VR) was calculated as
follows:
ijVR = ijBT + ijPF + ijPFe + ijPA +
ijDR + ijSG where :
VR = Visual rating for a personal and
subjective assessment of aesthetic
satisfaction derived from a land scape
type
BT = Total scores of building types,
BTij = ∑==
6,6
1,1 jiija
PF = Total scores of park furniture,
PFij = ∑==
6,5
1,1 jiija
PFe = Total scores of parking features,
PFeij = ∑==
6,4
1,1 jiija
PA = Total scores of pedestrian
facilities, PAij = ∑==
6,4
1,1 jiija
DR = Total scores of drainage, DRij =
∑==
6,2
1,1 jiija
SG = Total scores of signage, SGij =
∑==
6,4
1,1 jiija
i = Elements of man-made landscape, i
= 1,….,6
j = Basic design elements, j = 1,….,6
The data gathered are analysed
manually as well as using SPSS
package. To determine the factors
affecting visual rating, the following
regression model was used:
VR =
f ( ,AGE ,GEN ,EDU ,SEC ,EXP
PROF ).
The functional relationship of the
above model is defined as follows:
iVR = α + 1β iAGE + 2β iGEN
+ 3β iEDU + 4β iSEC + 5β iEXP +
6β iPROF + iε where :
α , 1β ,...., 6β are parameters, ε is
normally distributed random errors
with mean zero and common variance
(i.e., iε ∼ iid, N (0, σ2) and i is index
for observation.
where:
VR = Total scores of visual rating,
AGE = Age of respondents in year,
GEN = Dummy for gender: 1 = Male,
0 = Female,
EDU = Dummy for respondents’
qualification: 1 = Bachelor, 0 =
Graduate (MS & PhD).
SEC = Dummy for respondents’
working sector: 1 = Government,
0 = Private
EXP = Experience of the respondents
in year.
PROF = Dummy for respondents’
memberships in professional bodies:
1 = Yes, 0 = No.
60 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Table 1: Explanation of Variable and Rating Score
Variable Score Criteria
Form 5 form blends with the environment and has a spirit of place (genius loci)
4 form reflects regional and existing landscape context
3 form partially fits the existing landscape context
2 form slightly respects the natural character of landscape
1 form does not respect the natural character of landscape
Line 5 utilizes natural lines of forces
4 major lines of force recognize some effort to mitigate contrast
3 lines partially utilize natural lines of force
2 lines slightly break natural lines of force
1 break natural lines of force causing tension and starkly contrasting boundaries
Colour 5 complements nature and existing landscape
landscape 4 in harmony with the surrounding, deliberately simple and natural
3 colours blend with the surroundings but moderately complement existing
2 colours are not in sharp contrast to natural landscape colours
1 does not complement nature
Texture 5 pleasing, comfortable feeling and touch
4 blends with the existing landscape
3 moderate feeling and touch through human’s view
2 deliberately pleasing and blends with the existing landscape
1 too contrasting with the surrounding
Shape 5
follows natural forms and is concerned with the variation of lines and
edges of planes and volumes
4 moderate, follows natural forms and is partially concerned with the
variation of lines and edges of planes and volumes
3 deliberately follows natural forms and relates to existing landscape
2 is slightly concerned with the natural forms of landscape
1 does not concern with the natural forms of landscape
Space 5 the structural composition is parallel to the line of vision that evokes a landscape
4 object’s background gives a visual sense of space
3 the structural composition is partially parallel to the line of the density and gradient
of background textures
2 Object’s background slightly gives a visual sense of space
1 The structural composition does not concern with the sense of space and landscape
background
61 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
The estimated regression model is:
iVR∧
= ∧
α + 1
∧
β iAGE + 2
∧
β iGEN +
3
∧
β iEDU + 4
∧
β iSEC + 5
∧
β iEXP +
6
∧
β iPROF
where, ,∧
α ,1
∧
β ..., 6
∧
β are parameters to
be estimated. It is expected that ∧
α >0,
1
∧
β <0 as the older the respondents, the
lower the rating. It was expected that
GEN = 1 (Male), iVR = α + 2β (1),
give higher rating ( iVR = α + 2β )
compare GEN = 0 (Female), iVR = α
+ 2β (0), give lower rating ( iVR =α ).
It was also expected that EDU = 1
(Bachelor), iVR = α + 3β (1),
bachelor respondents give higher rating
( iVR = α + 3β ), and EDU = 0
(Graduate), iVR = α + 3β (0),
graduate respondents give lower rating
( iVR =α ). Also expected that SEC =
1(Government), iVR =α + 4β (1),
give higher rating ( iVR = α + 4β ),
compare SEC = 0 (Private), iVR =α +
4β (0), private give lower rating
( iVR =α ). However, it was expected
that 5
∧
β < 0 as the more experience the
respondents had, the lower the rating.
Lastly, it was expected that PROF =
1(Yes), iVR =α + 6β (1), those
respondents joined the professional bo
dies gave higher rating ( iVR =α
+ 6β ), and PROF = 0 (No), iVR =α +
6β (0), those respondents who were
not members of the professional bodies
gave lower rating ( iVR =α ). The
model was estimated using the
Ordinary Least Square (OLS)
technique. OLS were used in order to
minimize the sum of the square of
differences between the actual value of
each case and predicted value. It could
also show the best estimator possible
under a set of fairly restrictive assump
tions (Studenmund, 1997).
RESULTS
A) Visual rating for human-made
landscape elements
The results of the visual rating of
the human-made landscape elements
for Paya Indah Wetlands by the res
pondents are shown in Table 2.
62 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Table 2: Visual Rating (VR) of Man-Made Landscape Elements
Item % Respondents (n)
1 2 3 4
Mean
Building Types (BT) -
1
15
51
33
3.2
Park Furniture (PF) 6
2
34
46
12
2.7
Parking Features (PFe) 56
-
37
7
-
1.51
Pedestrian Facilities (PA) 10
3
28
43
16
2.74
Drainage (DR) 30
1
37
26
6
2.11
Signage (SG) 48
-
40
8
4
1.68
Note: Mean = ij
x∑
N
From Table 2, the results show that
more than 60% of the respondents give
visual ratings to human-made land
scape elements in Paya Indah ranging
from scores of 1 to 3 (means from 1.51
to 3.2). Score 1 means ‘not harmo
nious at all’ to 5 which means
‘harmonious and blend with the
environment’. The results show that
the visual quality of building types
(administration building, Toni bistro,
Rumah Melayu, commercial precinct,
chalets and the albatross) is moderate
(mainly score 3, mean = 3.2). Parking
features (rubbish collectors, lighting
poles, covered parking and guard
house) and signages (direction signage,
information signage, location signage
and road signage) were rated the
lowest (mainly score 1, means =1.51
and 1.68 respectively) which revealed
that the designs of these two elements
are not harmonious with the surround
ing environment of the wetlands.
63 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk.
Figure 3. Human-made landscapes in Paya Indah Wetlands
have been rated as moderate in visual quality.
This study revealed that on the
whole the human-made landscape
elements were moderately comple
menting and harmoniously blended
with wetland environment. However,
some of the elements such as parking
features and signage were considered
as not harmonious with the surround
ing environment. The average mean
rating of below 3.2 shows that the
respondents tend to consider the visual
quality to be of moderate or poor
quality. Based on their professional
background, the respondents preferred
three human-made landscape elements;
(i) building types (administration
building, toni’s bistro, Rumah Melayu,
commercial precinct, chalets and The
Albatross), (ii) park furniture (gazebo,
shelter, benches, wakaf and rubbish
bins) and (iii) pedestrian facilities
(boardwalk, jetty, covered walkway
and pedestrian path) as partially
appropriate for the existing landscape
context in terms of form. These three
elements were rated as partially
utilizing natural lines of forces, for
example, association of roof lines and
vegetation lines. In terms of colour
application for those three elements,
the evaluators thought that these
elements blended with the surrounding
but only moderately complementary.
These three elements tend to be rated
as inducing moderate feeling and
touch. This is probably due to the way
they are used in the existing park
environment of Paya Indah Wetlands.
The results also revealed that
parking features (rubbish collectors,
lighting poles, covered parking, and
guard house) and signage had poor
visual quality. Evaluators unanimous
ly agreed that the form of these
elements did not suit the natural land
scape. Furthermore, their structure
broke the natural lines of force causing
stark contrasting boundaries. The
Shelter Chalet Toni’s Bistro
64 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
colour application for these elements
did not complement with the wetland
nature and the texture was too
contrasting with the surrounding
environment. They also rated the shape
of parking features and signage as not
harmonious with the natural forms of
the landscape. The low rating of these
two elements was based on space and
location as the respondents believed
that the composition of these facilities
did not blend with the sense of space
and landscape.
Figure 4. Parking features of Paya Indah Wetlands have been rated as poor visual quality.
For the overall results, the mean VR
which is below 3.2 revealed that the
basic design elements were not
creatively manipulated by the
designers to improve the visual quality
during the design process. The designs
that were not well integrated into this
park were the elements that had been
rated the lowest: form, colour, texture
and space. Probably, the designers did
not go to the field before designing and
they did not use the form, colour,
texture and space according to the site
condition. Zube (1993) mentioned that
the facilities designed for a park should
concern form, colour, materials, and
concerns for issues such as landscape
degradation, preservation of the natural
process, and protection of biological
diversity if we wanted to increase the
visual quality of the park. The Paya
Indah management should make more
efforts to increase the visual quality of
this wetland especially concerning
elements that have low scores such as
park furniture and signage through
upgrading of activities or replacement
of furniture. They have to rethink
about the basic design elements and the
architectural character of the park
facilities especially for future develop
ment.
Covered parking Lighting poles Rubbish collector
65 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
B) Factors Affecting Visual Rating
Regression analysis was performed
using SPSS programme to determine
factors that affecting the visual rating
of human-made landscape elements in
Paya Indah Wetlands. The descriptive
statistics of the variables used in the
analysis are given in Table 3. From
the table, the mean scores of the visual
rating were 385.77 while the minimum
visual rating scores were 223, and the
maximum score were 577.
The estimated coefficients and
corresponding t-values are presented in
Table 4. From the table, the R square
value was 0.20, indicating that only
twenty percents of the variation of the
visual rating scores were explained by
the independent variables. Eighty
percents of the variation in visual
rating scores might be influenced by
other factors that were not accounted
for in the model. R square also might
be influenced by dummy variables that
were used in the regression model (too
many dummy variables) and also types
of measures of the variables. The
regression coefficients indicated that
not all the signs of the coefficients
were present as expected. From Table
4, the estimated sign coefficients for
AGE and EDU were positive, while
GEN, SEC, EXP and PROF
coefficients were negative. The value
of F (3.95) means that the regression
model as a whole was significant at 5%
level.
Table 3: Descriptive Statistics of Variables Used in the Analysis Variables N Mean Standard
Deviation
Minimum Maximum
VR 100 385.77 76.68 223 577
AGE 100 33.30 5.72 25 56
GEN 100 - 0.49 0 1
EDU 100 - 0.40 0 1
SEC 100 - 0.50 0 1
EXP 100 8.12 5.62 2 31
PROF 100 - 0.48 0 1
Notes: - VR = visual rating
- AGE = age
- GEN = gender
- EDU = education
- SEC = sector of employer
- EXP = experience
- PROF = professional memberships
66 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Table 4 also reveals that the visual
rating was affected significantly by the
age of the respondents (AGE), the
sector of employers (SEC) and
professional membership (PROF).
AGE significantly affected the visual
rating and indicating that the older the
respondents, the higher the visual
rating. The increase in age, made the
respondents understand more the
design foundation and become more
aware of the environment. SEC
significantly affected the visual ratings
at the level of 5% where the visual
ratings were rated lower by the
government respondents: SEC =
1(Government), iVR =α + 4β (1) =
223.29 + (-)0.30 = 223.29 – 0.30 =
222.99 compared to SEC = 0 (Private),
iVR =α + 4β (0) =α = 223.29.
PROF also significantly affected the
visual ratings where those respondents
who joined the professional bodies
gave lower ratings: PROF = 1(Yes)
=α + 4β (1) = 223.29 + (-) 0.26 =
223.29 – 0.26 = 223.03 compared to
those who did not join any professional
body.
Table 4: Results of the Regression Analysis Variable Parameter Coefficient Standard Error t-value
(Constant) ∧
α 223.29 74.80 2.99**
AGE 1
∧
β 0.54 2.75 2.66**
GEN 2
∧
β -0.13 15.09 -1.39 ns
EDU 3
∧
β 0.13 20.62 1.17 ns
SEC 4
∧
β -0.30 15.66 -2.92**
EXP 5
∧
β -0.35 2.88 -1.66 ns
PROF 6
∧
β -0.26 16.84 -2.42**
Observation 100
R2 0.20
F 3.95
Notes: ns - Not significant at the 5% level ** - Significant at the 5% level - AGE = age
- GEN = gende
- EDU = education - SEC = sector of employer - EXP = experience - PROF = professional memberships
67 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Based on the regression results
presented above, age was found to be
significant because as age increased,
the visual rating score was higher ( iVR
= α + 1β iAGE = 223.29 + 0.54 =
223.83). This result shows that the
visual rating increases when the age of
a respondent increases. Age is seen to
be having a great influence on the
evaluation. This is due to with age, the
respondents have a stronger philoso
phy, understanding designs better, and
know the application of basic design
elements to harmoniously blend with
nature. Their evaluation is according
to their experience on past works and
familiarity in assessing landscape
visual quality. Based on the regression
results, if the respondents’ number was
added, the visual rating scores in this
study should increase to 0.54 according
to the age of respondents.
This results are similar with the
study results done by Asakawa, et al.
(2004), where they found in their study
relating to perceptions of urban stream
corridors within the greenway system
of Sapporo, Japan, that the age factor
was significant for the factors tested
(recreational use, participation, nature
and scenery, sanitary management, and
water safety). They found that younger
people’s scores for participation were
lower, while the scores increased with
age.
Regarding to the sector category of
a respondent’s employer, it was found
that the government sector tended to
give a lower rating while the private
sector gave a higher rating (SEC =
1(Government), iVR =α + 4β (1) =
223.29 + (-0.30)(1) = 222.99, SEC =
0(Private), iVR =α + 4β (0) = 223.29
+ (-0.30)(0) = 223.29). This result
shows that the government sector has
great influenced on the rating scores in
this study. There was a decrease in the
visual rating scores to 0.30 by the
government respondents. Thus, the
type of employment of the respondents
has affected the evaluation because the
two groups have their own characteris
tics and interpretation in assessing
landscape visual quality. The gover
nment and private sectors have
different views when they want to
develop tourism projects. This is true
when landscape is considered
differently as an image, a construct of
the mind or feeling (Arriaza, M., et al.,
2004).
Furthermore, the regression results
also indicate that professional
memberships of the respondents can
affect the visual rating. Based on the
regression results, it was shown that
68 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
the respondents who were registered
with professional bodies gave a lower
rating than those who are not registered
with any (PROF = 1(Yes), iVR =α +
6β (1) = 223.29 + (-0.26)(1) = 223.03,
PROF = 0(No), iVR =α + 6β (0) =
223.29). From the regression results, it
is clearly seen that those who are
motivated to join professional bodies
have influenced the rating scores in the
study due to their environmental
awareness. Their visual rating scores
were reduced to 0.26 for the
respondents registered with
professional bodies. The code of
professional conduct has influenced
their members to exert every effort
towards the preservation and protection
of natural resources. Those who are
registered with professional bodies are
more aware of visual quality.
This finding is similar to the results
found by Dearden (1984) where he
revealed that members of Sierra Club
(members of an environmental lobby
group) had significantly higher
preference for wilderness scenes
compared to groups of professional
(planners) and park users who were not
member of environmental clubs.
The results reveal that if we want to
prevent the degradation of visual
quality in our natural environment, the
factors of age, sector of employer and
memberships of professional bodies of
a designer must be taken into
consideration during the early stage of
design. This consideration is to ensure
that visual quality, landscape
degradation, and preservation of
natural resources are included in the
development of a project.
CONCLUSION
The survey for the park reveals that
the respondents seem to consider that
the human-made landscape elements in
the park do not suit the site. The
respondents gave a slightly lower
visual rating for these elements
(parking features, drainage and
signage). They tended to give moderate
quality for most of the elements
(building types, pedestrian facilities
and park furniture). Some of them
gave poor quality to parking features
and signage. They rated the visual
quality of those elements in the range
of score 1 to score 3. Clearly the
designers had not manipulated
successfully the form, line, colour,
texture, shape and space of the
buildings, park furniture, parking
features, pedestrian facilities, drainage
and signage in order to produce a good
69 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
visual quality. They also were not
concerned with the natural enviro
nment; instead they ignored the “sense
of place” of the site.
This study reveals that the
perception of the landscape differs
from one person to another and has
been affected by socio-demography.
The respondents with difference socio-
demographic characteristics have
shown the differences in visual rating.
The factors are age, education
background, sector of a respondent’s
employer, and respondents’ member
ships with professional bodies. The
degree of specialization of the
respondents whether in landscape
architecture or architecture has influen
ced their rating. Even though they
have the same foundation in basic
design, they have different preferences
on certain architecture characteristics.
Therefore, the field of study of
landscape architecture or architecture
must be taken into consideration in the
development of natural areas. The
place where the respondents work,
government or private sector, has also
influenced their visual rating.
Therefore, the park management
should have good relationships with
the professionals in building the
environment especially landscape
architects and architects from both the
private and government sectors. This
is important in order to get better
advice in developing the park. They
should also set objectives toward a
more eco-friendly design for the park.
Respondents’ memberships with certifi
ed professional bodies should also be
considered in appointing the designers
to design the park. Likely those pro
fessionals who are motivated to join
professional bodies have better
awareness of the environment and will
positively affect the design product
since the regression analysis reveals
that age does influence the visual
rating assessment. The older the
respondent, the higher is the visual
rating. Thus, the older professionals
are needed in designing the park
together with young professionals in
order to get better “design fit” for eco-
friendly designs. This study shows
that visual quality of the human-made
landscape elements in the park plays
important role in providing good visual
quality. Based on the results, the
human-made landscape elements in
this park were rated as moderate. The
management should establish and
coordinate a design team before
developing the proposed area. Efforts
should be made to develop design
themes and provides guidelines for
environmental friendly designs in order
70 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
to develop a park of high visual
quality.
The visual quality of Paya Indah
Wetlands depends on their flora and
fauna, is supported by facilities that are
harmoniously blended with the existing
landscape. Currently, the visual quality
of this area has become degraded due
to unsuitable facilities and the area is
considered as not eco-friendly in
design. The rating of visual quality for
Paya Indah Wetlands is in the range of
score 1 to score 3 (score 1 means not
harmoniously at all to score 5 which is
harmoniously blending with the
environment). The used of form, line,
colour, texture, shape and space have
not been applied successfully by the
designers to produce a good visual
quality. Factors significantly influ
encing the visual rating in this study
are respondents’ age, sector of
employment and professional member
ship. The differences in the visual
rating are with regards to education,
employer and professional member
ship.
Finally, further research is needed
to indicate whether different pro
fessional teams such as planners and
engineers have different perceptions
and procedures in assessing the visual
quality of the wetland landscapes. The
same methodology can be applied to
other areas in order to assess the scenic
beauty of landscapes. The information
obtained by the model can enrich the
decision-making process in order to
evaluate competing sites for the
location of park accommodation that is
of high environmental concern and
eco-friendly. This study reveals that it
is better to have a design team in built-
environment so as to establish the
know-how process successfully.
Guidelines should be established for
the sake of healthy life and sustainable
development. Visual quality
evaluation of the landscape is impor
tant for reducing landscape degra
dation, preserving the natural re
sources, and protecting the biological
diversity.
REFERENCES
Amir, S. and Gidalizon, E. (1990).
Expert-based Method for the
Evaluation of Visual Absorption
Capacity of the Landscape.
Journal of Environmental
Management, 30, 251-263.
Arriaza, M., Ortega, J.F.C., Madueno,
J.A.C and Aviles, P.R.. (2004).
Assessing the Visual Quality of
Rural Landscapes. Landscape
71 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
and Urban Planning 69 (2004)
115-125.
Asakawa, S., Yoshida, K., and Yabe,
K. (2004). Perceptions of Urban
Stream Corridors Within the
Greenway System of Sapporo,
Japan. Landscape and Urban
Planning Journal, 68 (167-182).
Beckett, P.H.T. (1974). Interaction
Between Knowledge And
Aesthetic Appreciation. Land
scape Res., 1:5-7.
Bell, S. (1993). Elements of Visual
Design in the Landscape. E &
FN Spon, London.
Brush, R.O. (1976). Perceived
Quality of Scenic And
Recreational Environments. In:
K.H. Craik and E.H. Zube
(Editors), Environmental Quality.
Plenum Press, New York, pp. 47-
58.
Buhyoff, G.J., Wellman, J.O., Harvey,
H. and Fraser, R.A. (1978).
Landscape Architects’
Interpretation of People’s Land
scape Preferences. J. Environ.
Manage., 6: 255-262.
Bureau of Land Management (1980).
Visual Resources Management
Program. U.S.Department of
Interior, Washington D.C.
Clamp, P., (1976). Evaluating English
Landscapes – Some Recent
Developments. Environ. Plann.
A, 8:79-92
Daniel, T.C. and Boster, R.S. (1976).
Measuring Scenic Beauty: The
SBE Method. USDA For. Serv.,
Rocky Mount. For. Range Exp.
Stn., Fort Collins, CO.
Dearden, P. (1984). Factors
Influencing Landscape Prefe
rences: An Empirical Inves
tigation. Landscape Planning,
11, 293-306.
Jackson, R.H., Hudman, L.E. and
England, J.L. (1978).
Assessment of the Environmental
Impact of High Voltage Power
Tranmission Lines. J. Environ.
Manage., 6: 153-170.
Kane, P.S. (1981). Assessing
Landscape Attractiveness: A
Comparative Test of Two New
Methods. Applied
Geography, 1, 77-96.
Macia, A. (1979). Visual Perception
of Landscape: Sex and
Personality Differences. In:G.H.
Elsner and R.C. Smardon
(Editors), Our National Land
scape. Pacific Southwest Forest
and Range Experiment Station,
Berkeley, pp. 279-285.
Mohd Kher, H. (2005). Unpublished
MSc. Thesis “Visual Assessment
of the Quality of Landscape
72 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Design In Paya Indah Wetlands,
Malaysia. Universiti Putra
Malaysia, Malaysia.
Nieman, T.J. (1980). The Visual
Environment of the New York
Coastal Zone: User Preferences
and Perceptions. Coastal Zone
Manage., J., 8: 45-61.
Penning-Rowsell, E., Gullett, G.H.,
Searle, G.H. and Witham, S.A.
(1977). Public Evaluation of
Landscape Quality. Plann. Res.
Group Rep. 13, Middlesex
Polytechnic, Enfield, England.
Studenmund. (1997). Using
Econometrics: A practical guide
(Third Edition). Addison-Wesley
Educational Publishers, the
United States of America.
Tabachnick and Fidell. (1996). Using
Multivariante Statistics (3rd
edition). HarperCollins. New
York
Wellman, J.D. and Buhyoff, G.J.
(1980). Effects of Regional
Familiarity on landscape Prefe
rences. J. Environ. Manage., 11:
105-110.
Zube, E.H. (1993). The Search for
Harmony in Park Development.
Visual Quality of Built
Environments in National Parks.
Department of Geography and
Regional Development, Univer
sity of Arizona, Tucson, the
United States of America.
Zube, E.H. (1973). Rating The
Everyday Rural Landscape of the
Northeastern U.S. Landscape
Arch., 63: 370-376.
Zube, E.H., Pitt, D.G. and Anderson,
T.W. (1975). Perception and
Prediction of Scenic Resource
Values of the Northeast. In: E.H.
Zube, R.O. Brush and J.G. Fabos
(Editors), Landscape Assess
ment: Values, Perceptions and
Resources. Dowden, Hutchinson
and Ross, Stroudsburg, pp. 151-
168.
73 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk
Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Ilmiah Arsitektur Lansekap
1. Kriteria Naskah
• Naskah harus asli dan belum per
nah dipublikasikan di media lain.
• Naskah dapat berupa hasil
penelitian, studi kepustakaan yang
bersifat obyektif, sistematis, ana
litis dan deskriptif, atau karya lain
yang bersifat ilmiah yang layak di
publikasikan.
2. Struktur Penulisan
• Sistematika penulisan sesuai deng
an bidang ilmu masing-masing. Ter
diri dari: Judul, Abstrak, Penda
huluan (berisi latar belakang, per
masalahan, tujuan, ruang lingkup,
teori dan metodologi), Isi (tinjauan
pustaka, data dan pembahasan),
Penutup (kesimpulan dan saran)
dan Daftar Pustaka.
3. Tata Tulis
• Abstrak ditulis dalam Bahasa Ing
gris, menggunakan font Times
New Roman 11, spasi 1, dan jum
lah maksimal 500 kata.
• Naskah ditulis dengan program
MS-Word, menggunakan font
Times New Roman 12, spasi 1½,
awal paragraf menjorok ke dalam
0,5 cm dan jumlah halaman antara
10 s/d 15 lembar ukuran kuarto
(termasuk gambar, tabel, ilustrasi
dan daftar pustaka).
• Format penulisan terdiri dari 2
(dua) kolom dengan jarak antar
kolom 0,5 cm, margin kiri dan
bawah kertas 3 cm, dan margin
kanan dan atas kertas 2,5 cm.
• Naskah ditulis dengan menggu
nakan Bahasa Indonesia yang baku,
baik dan benar, dengan kalimat-
kalimat yang sederhana, lugas,
komunikatif (mudah dimengerti)
dan tidak rancu.
• Jika menggunakan bahasa asing,
penggunaannya dengan tanda petik
atau dalam kurung setelah
diterjemahkan. Diperkenankan
menggunakan kata serapan setelah
di Indonesiakan.
• Judul harus singkat dengan kata-
kata atau fraksa kunci yang
mencerminkan isi tulisan, namun
tidak lebih dari 12 (dua belas) kata.
• Abstrak ditulis dalam Bahasa
Inggris untuk makalah yang ditulis
dalam Bahasa Indonesia, begitu
pula sebaliknya.
• Pencantuman sumber kutipan dila
kukan langsung pada tulisan yang
74 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal
dikutip dengan menuliskan nama,
tahun serta halaman.
• Daftar pustaka disusun tanpa no
mor dan berurutan berdasarkan ab
jad dari nama pengarang. Teknis
penulisan terdiri dari nama penga
rang, tahun penerbitan, judul, pener
bit dan kota penerbitan. Cara lain
dengan menulis nama pengarang,
judul, penerbit, kota penerbit dan
tahun penerbitan. Nama pengarang
ditulis tanpa gelar.
• Sumber Tulisan.
• Judul gambar dan Sumber-
sumbernya.
4. Lain-lain
• Naskah diserahkan pada redaksi
berupa hard copy naskah lengkap
sebanyak 2 (dua) eksemplar dan
soft copy dalam bentuk CD.
• Isi tulisan bukan tanggung jawab
redaksi. Redaksi berhak mengedit
redaksional penulisan, tanpa mengu
bah arti.
• Redaksi berhak menolak naskah
yang dianggap tidak layak untuk di
terbitkan.
• Tidak dilakukan surat menyurat ke
cuali melalui email atau pos jika
pengiriman tulisan yang disertai
dengan perangko; akan dikembali
kan pada penulis jika tidak meme
nuhi persyaratan atau perlu
diperbaiki lagi.
• Keterangan lebih lengkap dapat
menghubungi redaksi jurnal
Arsitektur Lansekap, pada alamat
yang terlera pada sampul jurnal.
75 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal