Jurnal Anestesiologi Indonesia
Transcript of Jurnal Anestesiologi Indonesia
JAIJurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II Nomor 03, November 2010
Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif(PERDATIN) Jawa Tengah
Sejawat terhormat,
Sehubungan dengan adanya keputusan Kongres
Nasional IX IDSAI pada bulan Juli 2010 di Medan
mengenai perubahan nama dari IDSAI menjadi
PERDATIN, maka Pelindung Jurnal Anestesiologi
Indonesia turut berubah menjadi PERDATIN Jawa
Tengah.
Pada nomor ini Jurnal Anestesiologi Indonesia
(JAI) memuat penelitian klinik. Diantaranya
adalah mengenai penggunaan MgSO4 terhadap
derajat nyeri; pemberian natrium laktat hipertonik
dan kombinasi lidokain dan epinefrin pada blok
subarakhnoid. Granisetron, salah satu golongan
SSRI diteliti efeknya terhadap pencegahan
muntah pasca operasi.
Dua tinjauan pustaka mengenai ventilasi dan
monitoring kardiovaskuler intensif pada anak
diharapkan menambah wawasan kita dibidang
torakoanestesi dan terapi intensif. Semoga
bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
hendaknya mencantumkan artikel tersebut
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah
Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Dr.dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.
JAI
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal. Tutus Nurastadila, Ery Leksana, Uripno Budiono
Natrium laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus HES-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID.
125
I Nyoman Panji, Heru Dwi Jatmiko, Aria Dian Primatika Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah
Pasca Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu mengurangi mual muntah paska operasi yang sama efektifnya dengan kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg.
136
Husni Riadi Nasution, Ery Leksana, Doso Sutiyono Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca Operasi
Pemberian MgSO4 tidak mengurangi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi.
146
Rezka Dian Trisnanto, Uripno Budiono, Widya Istanto Nurcahyo
Lama Analgesia Lidokain 2% Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80 mg dan epinefrin 0,05 mg menghasilkan waktu regresi analgesia dan blokade motorik yang lebih panjang dibandingkan penggunaan lidokain.
154
TINJAUAN PUSTAKA Aditya Kisara, Hari Hendriarto Satoto, Johan Arifin Ventilasi Satu Paru
Pembedahan di daerah thoraks menghadirkan masalah fisiologis untuk ahli anestesi sehingga membutuhkan pertimbangan khusus. Salah satu diantaranya adalah ventilasi satu paru. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ventilasi satu paru.
160
Dicky Hartawan, Danu Soesilowati, Uripno Budiono Ventilasi Mekanik Noninvasif
Ventilasi mekanik dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif.
169
Aprilina Rusmaladewi, Ery Leksana, Widya Istanto Nurcahyo 180 Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care
Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular.
125
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENELITIAN
Natrium Laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien
Sectio Caesaria
Tutus Nurastadila*, Ery Leksana*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Backgrounds: Fluid therapy is an important part of peri-operative patient management.
An adequate plasma volume is important to maintain cardiac output and tissue perfusion.
In pregnant women, there is retention of sodium and potassium during pregnancy, but the
whole concentration of these serum electrolytes decreases because of water retention
which results in hemodilution. Until now, volume of hemorrhage is replaced based on the
amount of blood loss, without considering the acid-base balance. Considering the acid-
base balance will help post operative patient management.
Objectives: to prove that hypertonic sodium lactate solution is better than Haes-sterile 6%
in maintaining Stewart acid base balance in sectio caesarean.
Methods: This is an experimental study. It is a 2nd
phase clinical study to know the efficacy
of hypertonic sodium lactate solution and Haes-sterile 6% on strong ions difference (SID)
based on Stewart method. There are 48 samples, divided into two groups. LH groups are
patients with 250 ml hypertonic sodium lactate solution and Haes group are patients with
500 ml Haes-sterile 6%, during sectio caesarean. Venous blood is taken wore and after
surgery. The noted variables used for statistical analysis which are included in the
objectives of the study are the concentration of serum electrolyte. These variables are
tested using independent t-test and paired t-test, with the significance level a = 0,05.
Result: SID in hypertonic sodium lactate group before and after sectio caesarean surgery
increased significantly, p=0,000 (p <0,05). SID in Haes group before and after sectio
caesarean surgery decreased significantly, p=0,000 (p < 0,05).
Conclusion: The use of hypertonic sodium lactate solution can maintain post operative
SID up to its normal value, compared with the use of Haes-sterile 6% which is decreasing
SID.
Keywords: Hypertonic sodium lactate, Haes-sterile 6%, strong ions difference (SID)
126
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ABSTRAK
Latar belakang: Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada
masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk mempertahankan curah
jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Pada wanita hamil terjadi penumpukan natrium
dan kalium selama kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan konsentrasi elektrolit-
elektrolit tersebut menurun karena terjadi retensi cairan yang menyebabkan hemodilusi.
Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar
tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Dengan memperhatikan keseimbangan
asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien paska operasi.
Tujuan: Untuk membuktikan bahwa cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibanding
cairan haes-steril 6% dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa Stewart dalam
tindakan operasi sectio caesaria.
Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 bertujuan untuk
mengetahui efektifitas pemberian cairan sodium laktat hipertonik dan infus haes-steril 6%
terhadap strong ions difference (SID) yang berdasarkan metode Stewart. Sampel
berjumlah 48 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok LH mendapat sodium laktat
hipertonik 250 ml dan kelompok Haes mendapat Haes-steril 6% 500 ml, selama operasi
sectio caesaria. Darah vena diambil sebelum operasi dan setelah operasi. Data-data yang
dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar
elektrolit. Uji statistik menggunakan independent t-test dan paired t-test, dengan derajat
kemaknaan a = 0,05.
Hasil: SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sebelum dan sesudah operasi sectio
caesaria mengalami kenaikan yang bermakna p=0,000 (p <0,05). SID pada kelompok
Haes sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami penurunan yang bermakna
p=0,000 (p < 0,05).
Simpulan : Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska
operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus Haes-steril 6%
yang mengalami penurunan nilai SID.
Kata kunci: Sodium laktat hipertonik, Haes-steril 6%, strong ions difference (SID)
PENDAHULUAN
Penderita yang dirawat di rumah sakit
memerlukan perawatan yang paripurna,
baik dari segi pengobatan maupun
pembedahan. Bila diperlukan, perawatan
yang baik maupun dukungan pemberian
cairan yang memadai melalui parenteral
sangat membantu dalam proses
penyembuhan atau memperpendek masa
perawatan di rumah sakit. Tatalaksana
cairan merupakan bagian penting
penanganan pasien pada masa perioperatif.
Volume plasma yang adekuat penting
untuk mempertahankan curah jantung dan
perfusi jaringan. Strategi tatalaksana cairan
127
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
telah mengalami beberapa pergeseran
selama 50 tahun belakangan ini. Sebelum
tahun 60-an, restriksi cairan intraoperatif
banyak dipraktekkan.
Pada awal tahun 1960-an ditunjukkan
bahwa trauma dan pembedahan mayor
disertai dengan kebutuhan cairan yang
secara bermakna melampaui laju rumatan
cairan yang biasa. Sebagai konsekuensinya
pemberian cairan menjadi kurang
restriktif. Satu dekade kemudian, pilihan
cairan menjadi subyek debat yang intensif,
dan berlangsung hingga saat ini. Lebih
belakangan lagi, tatalaksana cairan yang
diarahkan pada suatu sasaran ternyata
memperlihatkan keuntungan pada kasus-
kasus pembedahan.1
Pada wanita hamil terjadi peningkatan isi
plasma sekitar 45% yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan janin dan
melindungi ibu dan kehilangan darah pada
waktu persalinan. Terjadi juga
penumpukan natrium dan kalium selama
kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan
konsentrasi elektrolit-elektrolit tersebut
menurun karena retensi cairan yang
menyebabkan hemodilusi.2,3
Pada saat
cukup bulan, kandungan air dari janin,
plasenta dan cairan amnion berjumlah
sekitar 3,5 liter. Terjadi edema pada
pergelangan kaki dan tungkai bawah,
terjadi pada sebagian besar wanita hamil.
Pengumpulan cairan ini sekitar 1 liter
disebabkan oleh meningkatnya tekanan
vena di bagian yang lebih rendah dari
uterus akibat sumbatan parsial pada vena
kava oleh uterus. Penurunan tekanan
osmotik koloid interstisial juga
menimbulkan edema pada akhir
kehamilan.4
Pasien yang menjalani pembedahan terbagi
dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
pada dua hal yaitu hemodinamik dan
perkiraan volume darah (estimated blood
volume / EBV). Pada pasien sectio caesaria
tanpa penyulit terjadi perdarahan sekitar
400-500 ml (± 15% dari EBV) dapat
diganti dengan cairan koloid sesuai dengan
darah yang hilang.5 Selama ini, volume
perdarahan yang terjadi diganti
berdasarkan jumlah yang keluar tanpa
memperhatikan keseimbangan asam-basa.
Dengan memperhatikan keseimbangan
asam-basa, akan sangat membantu dalam
mengelola pasien paska operasi.
Keseimbangan asam-basa merupakan
keseimbangan antar komponen elektrolit
cairan tubuh yang dinilai dengan
menggunakan persamaan dari Stewart.
Dimana menurut Stewart pH darah
merupakan variabel dependen yang
ditentukan oleh PaCO2, konsentrasi weak
acid (asam lemah) dan strong ions
difference (SID). Strong ions yang
terpenting adalah K+, Na+, dan Cl
-
Penilaian didasarkan pada hasil
pemeriksaan laboratorium BGA, albumin,
dan elektrolit (Na+, K
+, Cl
- , Mg
++, PO4)
preoperatif dan postoperatif. Penelitian
yang dilakukan selama ini hanya berkisar
pada masalah perbandingan antara cairan
kristaloid atau koloid terhadap
keseimbangan asam-basa Hendersen-
Hasselbalch, akan tetapi belum dilakukan
penelitian yang lebih spesifik dengan
menggunakan metode Stewart. Padahal
pemberian cairan pada pasien operatif
memerlukan penggantian cairan yang
cepat, dengan harapan dapat
mempertahankan kadar 02 dalam jaringan
secara adekuat.6
128
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Penilaian keseimbangan asam-basa dengan
metode Stewart memiliki kelebihan
dibandingkan metode Hendersen-
Hasselbalch, dimana kelebihan Stewart
terletak pada konsistensi penilaian pada
faktor kompensasi tubuh dalam
mempertahankan keseimbangan asam-
basa. Faktor kompensasi yang tidak
didapatkan pada Hendersen-Hasselbalch
adalah faktor yang menilai proses
pertukaran cairan tubuh yang dipengaruhi
oleh tekanan onkotik. Penentu tekanan
onkotik tersebut adalah albumin.6
Penelitian ini khusus dilakukan pada
pasien yang menjalani operasi dengan
perkiraan perdarahan kurang dan 15%
EBV, karena dievaluasi berkaitan dengan
penggantian volume perdarahan. Pada
operasi dengan perdarahan lebih dan 15%
EBV, dianjurkan penggantian cairan
dengan darah. Selama penggantian cairan
tersebut terjadi perubahan metabolik dalam
tubuh, antara lain keseimbangan antar
elektrolit.5
Kasus-kasus dengan perdarahan kurang
dan 15% EBV banyak ditemukan pada
operasi sectio caesaria, laparotomi tanpa
reseksi usus, bedah urologi, pasien trauma
ortopedi tertutup, trauma kepala/epidural
hematoma (EDH), dan operasi-operasi lain
dengan perdarahan yang dapat
dikendalikan. Selama ini, penggantian
cairan pada pasien operasi dengan
perdarahan kurang dan 15% EBV dengan
anestesi regional lebih banyak
menggunakan cairan koloid.7
Pemberian infus sodium laktat hipertonik
akan meningkatkan osmolaritas plasma
karena mempunyai kandungan sodium
yang tinggi dan menyebabkan cairan
berpindah dan intrasel ke ekstrasel,8
meningkatkan isi intravaskuler dan
intersisial dengan demikian dapat
meningkatkan hemodinamik. Dengan
pemberian cairan ini sebenarnya kita
menambahkan natrium lebih banyak
dibandingkan klorida, sehingga akan
menaikkan SID, pH dan mencegah
asidosis hiperkloremik, sedangkan laktat
sebagai substrat energi alternatif bagi sel
yang siap pakai dan mudah
dimetabolisme.9 Sodium laktat hipertonik
tidak membuat reaksi alergi dibandingkan
dengan plasma ekspander yang lain dan
tidak mempunyai resiko penyebaran
sumber infeksi seperti human plasma.10
Cairan sodium laktat hipertonik dengan
konsentrasi 1,8%-7,5% telah diteliti
penggunaannya pada pasien perdarahan,11
sakit jantung,12
syok hipovolemik, dan
paska operasi.13
Hasil penelitian Zhu, dkk membuktikan
bahwa pemberian sodium laktat hipertonik
bermanfaat dalam meningkatkan fungsi
jantung paska luka bakar dan tidak hanya
mempengaruhi lipid-peroxidation di dalam
organ jantung tetapi juga meningkatkan
aktifitas organ jantung.14
Bruegger, dkk membandingkan antara
pemberian infus sodium laktat hipertonik
dengan hydroxyethyl starch (Haes) dalam
cairan NaCI, kedua cairan tersebut
menurunkan kadar asam lemah plasma,
SID dan pH (7,28-7,30). Penurunan
bikarbonat juga sama dan proporsional
untuk berbagai tingkat dilusi. Hal tersebut
menyebabkan asidosis metabolik
terkoreksi untuk kedua grup setelah
pembedahan.15
129
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Berdasarkan penelitian Jarvela, dkk
pemberian 1,6 ml/kg 7,5% salin hipertonik
lebih efektif dibanding 13 ml/kg NaC1
0,9% dalam mencegah perubahan
hemodinamik pada pasien dengan
American Society of Anesthesiologist
(ASA) I-II yang dilakukan tindakan
arthroscopy lutut atau operasi orthopedi
anggota badan bawah. Efek merugikan
seperti hipernatremia, hiperosmolalitas,
dan hipokalemia dapat dicegah.16
Berdasarkan hasil penelitian Markus, dkk
didapatkan kesimpulan bahwa pada
pemberian cairan 6% hydroxyethyl starch
pada pasien dengan Acute Normovolemic
Hemodilution (ANH), didapatkan volume
darah yang cukup akan tetapi terjadi
penurunan konsentrasi albumin dan pH.17
Pada suatu penelitian yang dilakukan Witt,
dkk didapatkan bahwa pemberian Haes
menyebabkan peningkatan konsentrasi
plasma klorida yang signifikan (P<0,01)
penurunan SID (P<0,01), anion gap turun
signifikan (P<0,01), sedangkan Base
Excess (BE) dan pH tidak berubah secara
signifikan.18
Adanya hipotensi maternal (sistolik kurang
dan 100 mmHg atau turun lebih dari 30
mmHg dari tekanan darah awal) pada
spinal anestesi untuk sectio caesaria ini
disebabkan karena blokade simpatis dan
diperbesar oleh penekanan aorta dan vena
kava bawah oleh uterus pada posisi
terlentang. Untuk mencegah hal tersebut
diberikan 1000-1500 ml cairan Ringer
Laktat (RL) 15-30 menit sebelum spinal
anestesi.19
Pemilihan keseimbangan asam-basa
Stewart didasarkan pada kenyataan yang
terjadi di Intensive Care Unit (ICU)
RSDK, bahwa terapi cairan yang
didasarkan pada Handersson-Hasselbalch
tidak lebih baik daripada Stewart. Bukti
dan keseimbangan tersebut diniiai dari
hasil pemeriksaan laboratorium BGA,
elektrolit, albumin, dan kondisi obyektif
dari pasien. Apabila kita bekerja di suatu
rumah sakit tanpa pendukung pemeriksaan
BGA, hanya dengan pemeriksaan elektrolit
(Na, K, C1) kita bisa mengetahui status
keseimbangan asam basa pasien
berdasarkan SID. Berdasarkan kenyataan
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
yang membandingkan antara cairan
sodium laktat hipertonik dengan 6%
hydroxyethyl starch (Haes-steril 6%).
Dimana cairan sodium laktat hipertonik
dalam hal biaya lebih murah dibandingkan
dengan haes-steril 6%. Pemeriksaan yang
akan dilakukan adalah penghitungan SID
yang bersumber dari hasil pemeriksaan
elektrolit, sedangkan albumin dan pCO2
tidak diperiksa dikarenakan SID lebih
mewakili status keseimbangan asam-basa
Stewart.5
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan bahwa cairan sodium laktat
hipertonik lebih baik dibanding cairan
Haes-steril 6% dalam mempertahankan
SID dalam tindakan operasi sectio
caesaria.
Apabila terbukti bahwa SID cairan sodium
laktat hipertonik lebih baik dibandingkan
Haes-steril 6%, maka pemanfaatan cairan
sodium laktat hipertonik selama tindakan
operasi dapat mengurangi kejadian
ketidakseimbangan elektrolit. Hasil
130
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
penelitian dapat dijadikan sumbangan teori
dalam mengungkapkan pengaruh
pemberian cairan sodium laktat hipertonik
dan cairan Haes-steril 6% terhadap
keseimbangan asam-basa. Dapat dijadikan
dasar penelitian lebih lanjut, dengan
berlandaskan teori keseimbangan asam-
basa dan Stewart.
METODE
Jenis penelitian ini termasuk eksperimental
berupa uji klinik tahap 2 dengan tujuan
untuk mengetahui efektivitas pemberian
infus sodium laktat hipertonik dan infus
Haes-steril 6% terhadap SID yang
didasarkan pada metode Stewart.
Pengukuran dilakukan awal sebelum
diberikan perlakuan dan setelah perlakuan.
Skema penelitian dapat digambarkan
sebagai berikut:
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah
Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang,
dimulai dari bulan Juli sampai bulan
September 2009.
Populasi penelitian adalah semua penderita
yang akan menjalani pembedahan elektif
ataupun cito sectio caesaria dengan
perkiraan perdarahan kurang dari atau
sama dengan 15% EBV dengan teknik
anestesi regional. Pasien Sectio caesaria
dengan umur antara 20 — 35 tahun dengan
regional anestesi, status fisik ASA I — II,
berat badan normal, lama operasi 60-120
menit, jumlah perdarahan < 15% EBV,
tidak ada gangguan fungsi hati, tidak ada
gangguan fungsi paru, tidak ada gangguan
fungsi ginjal, tidak ada penyakit
kardiovaskuler, tidak ada gangguan
elektrolit (natrium, kalium, khlorida), tidak
terdapat permasalahan yang timbul yang
akibat oleh anestesi regional, seperti alergi,
spinal tinggi ataupun total spinal. Adanya
perdarahan masif lebih dari 500 ml.
Dilakukan tindakan anestesi umum karena
anestesi regional gagal.
Cara pemilihan sampel dilakukan dengan
cara consecutive sampling terhadap semua
penderita yang dipersiapkan untuk operasi
elektif, usia 20-35 tahun, ASA I-II, posisi
terlentang, di mana semua penderita yang
memenuhi kriteria dimasukkan dalam
sampel sampai jumlah yang diperlukan
terpenuhi, bersedia menjadi sukarelawan.
tingkat kesalahan tipe II ). Persamaan
untuk jumlah sampelnya adalah :
Berdasarkan jumlah sampel, maka
penderita dikelompokkan ke dalam 2
kelompok penelitian, yaitu :
Kelompok A (perlakuan-1) : penderita
dengan diberikan infus sodium laktat
hipertonik Kelompok B (perlakuan-2) :
penderita dengan diberikan infus Haes-
steril 6%.
Seleksi penderita dilakukan pada saat
kunjungan pra operasi, penderita yang
memenuhi kriteria ditentukan sebagai
sampel. Penelitian dilakukan terhadap 48
131
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
penderita yang sebelumnya telah
rnendapatkan penjelasan dan setuju
mengikuti semua prosedur penelitian. Saat
di ruangan dilakukan pengukuran tekanan
darah, laju jantung dan laju nafas. Semua
penderita dipuasakan 6 jam dan tidak
diberikan obat premedikasi.
Untuk menghindari ketidakseimbangan
antara dua kelompok subyek, dilakukan
cara randomisasi blok yang bertujuan
membuat tiap kelompok mempunyai
jumlah subyek yang seimbang. Data diolah
dan dianalisis dengan komputer
menggunakan program SPSS 15.0 dan
dinyatakan dalam nilai rerata ± simpang
baku ( mean ± SD ). Uji statistik
menggunakan t-test dan derajat kemaknaan
p<0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel.
HASIL
Telah dilakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian cairan sodium laktat
hipertonik dibandingkan Haes-steril 6%
terhadap strong ions difference pada 48
orang penderita yang menjalani operasi
sectio caesaria dengan status fisik ASA I
dan II setelah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu kelompok
penderita dengan diberikan infus sodium
laktat hipertonik (LH) dan kelompok
penderita dengan diberikan infus Haes-
steril 6% (Haes) dimana masing-masing 24
orang tiap kelompok.
Tabel 1. Karakteristik penderita
Hasilnya didapatkan data yang homogen
(perbedaan yang tidak bermakna, p > 0,05)
dari semua variabel yaitu umur, tinggi
badan, berat badan tekanan darah sistolik,
tekanan darah diastolik sebelum dilakukan
perlakuan.
Dari Tabel 2 diatas dapat kita lihat bahwa,
rerata nilai SID sebelum operasi tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok sodium laktat hipertonik dan
kelompok Haes-steril 6% (p>0,05).
Sedangkan rerata SID setelah operasi
antara kelompok sodium laktat hipertonik
dan Haes-steril 6% terdapat perbedaan
yang bermakna (p < 0,05).
Tabel 2.Rerata SID pada kelompok LH dan
Haes pra dan paska sectio caesaria
Tabel 3.Rerata SID pada kelompok LH pra dan
paska sectio caesaria
132
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Dari Tabel 3 dapat kita lihat bahwa SID
pada kelompok sodium laktat hipertonik
sebelum dan sesudah operasi sectio
caesaria mengalami kenaikan yang
bermakna (p <0,05).
Dan Tabel 4 diatas dapat kita lihat bahwa
SID pada kelompok Haes sebelum dan
sesudah operasi sectio caesaria mengalami
penurunan yang bermakna (p < 0,05).
Grafik 1. Rerata SID pada kelompok Haes pra dan
paska sectio caesaria
Pada waktu pra operasi sectio caesaria
nilai rata-rata SID pada kelompok LH
(34,08) relatif sama dengan kelompok
Haes (32,88). Setelah dilakukan operasi
sectio caesaria (paska operasi) terjadi
kenaikan SID pada kelompok LH (38,58)
lebih tinggi dibandingkan kelompok Haes
(29,29) dimana kelompok Haes mengalami
penurunan SID paska operasi
dibandingkan sebelumnya.
PEMBAHASAN
Pemberian cairan pengganti selama
tindakan operasi memang menjadi suatu
hal yang kontroversial dalam menentukan
keefektifan dan efisiensi dalam
penggantian cairan. Keduanya dianggap
merupakan cairan yang paling baik
didasarkan kandungannya. Berdasarkan
interpretasi karakteristik subyek kedua
kelompok penelitian antara kelompok
sodium laktat hipertonik dangan Haes-
steril 6% yaitu umur, tinggi badan, berat
badan tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolik sebelum dilakukan
perlakuan tidak didapatkan adanya
perbedaan yang bermakna, sehingga kedua
kelompok tersebut layak untuk
dibandingkan.
Nilai SID sebelum operasi antara
kelompok sodium laktat hipertonik dan
Haes-steril 6% tidak ada perbedaan yang
bermakna (p>0,05), sehingga kedua
kelompok sebanding dan layak untuk
dibandingkan. Sedangkan nilai SID setelah
operasi pada kelompok sodium laktat
hipertonik dan Haes-steril 6% terdapat
perbedaan yang bermakna (p<0,05)
diartikan bahwa sodium laktat hipertonik
lebih baik di dalam mempertahankan SID
dibandingkan Haes-steril 6%. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Miller dan kawan-
kawan bahwa selama pemberian sodium
laktat hipertonik terjadi peningkatan SID
mendekati nilai normal akibat kenaikan
natrium, hal tersebut berperan dalam
penurunan ion hidrogen, sehingga
keseimbangan asam basa dipertahankan
lebih baik.20
Tabel 4.Rerata SID pada kelompok Haes pra dan
paska sectio caesaria
133
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Berdasarkan Tabel 3 nilai SID pada
kelompok sodium laktat hipertonik
sesudah operasi mengalami kenaikan yang
bermakna (p<0,05) dan cenderung ke arah
SID normal (36-40) ini diartikan bahwa
sodium laktat hipertonik baik dalam
mempertahankan SID. Pada Tabel 4, SID
pada kelompok Haes sesudah operasi
mengalami penurunan yang bermakna
(p<0,05) ini berarti bahwa pemberian Haes
sebelum operasi kurang baik dalam
mempertahankan SID selama operasi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Will
bahwa pemberian Haes pada pasien anak
dengan pembedahan akan mengalami
penurunan SID yang bermakna.18
Diperkuat lagi oleh pendapat Markus
bahwa pemberian Haes pada pasien
dengan acute normovolemic hemodilution
(ANH) mengalami penurunan SID tiga
kali lebih besar dibandingkan pemberian
konsentrasi plasma albumin dimana akan
membuat asidosis metabolik.17
Sodium laktat hipertonik dapat digunakan
untuk mengisi volum intravaskuler yang
kekurangan cairan dalam waktu singkat
dan dalam jumlah kecil. Sodium
merupakan elektrolit paling penting
sebagai mekanisme transport aktif sodium-
potassium (Na+-K
+) pump. Na
+ akan
bergerak dari ekstrasel ke intrasel dan
dalam waktu yang bersamaan K+ akan
keluar dan intrasel. Masuknya cairan ke
dalam vaskuler setelah pemberian sodium
laktat hipertonik akan meningkatkan
tonisitas secara tiba-tiba. Cairan akan
berpindah dari intrasel ke dalam
kompartemen ekstraseluler. Cairan
intertisial juga bergerak ke dalam
kompartemen intravaskuler akibat
perbedaan osmotik. Penambahan Na+ lebih
banyak dibandingkan CI- yang akan
meningkatkan SID ataupun pH. Selain itu
laktat merupakan anion yang sangat baik
metabolismenya, meskipun pasien dalam
kondisi yang jelek. Laktat merupakan
metabolit fisik dan berperan sebagai
substrat energi yang dioksidasi secara aktif
pada mitokondria sel seluruh tubuh.
Khususnya pada pada otak, ginjal, jantung
dan otot mempunyai aktifitas yang
tinggi.20,21,22,23
Menurut asam basa Stewart bahwa status
asam basa cairan tubuh ditentukan oleh
beberapa variabel independen. Di dalam
plasma darah, variabel independen tersebut
adalah pCO2, SID, dan konsentrasi total
asam lemah nonvolatil (albumin dan
fosfat). Dari keterangan diatas terlihat
bahwa SID merupakan variabel
independen yang terpenting dalam
pengaturan asam-basa antarmembran. ion-
ion kuat dapat melewati membran dan
bergerak mengikuti atau melawan
perbedaan konsentrasi.22
SIMPULAN
Pemberian cairan infus sodium laktat
hipertonik dan infus Haes-steril 6% yang
diberikan selama operasi sectio caesaria,
kemudian dilakukan penilaian terhadap
strong ions difference (SID) menunjukkan
hasil bahwa: pemberian infus sodium
laktat hipertonik lebih baik dibandingkan
Haes-steril 6% dikarenakan nilai SID
sodium laktat hipertonik lebih tinggi
dibandingkan nilai SID Haes-steril 6%.
Pemberian infus sodium laktat hipertonik
dapat mempertahankan SID paska operasi
dimana SID meningkat menuju nilai
134
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
normal dibandingkan infus Haes-steril 6%
yang mengalami penurunan nilai SID.
Penelitian ini dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam memilih cairan infus
yang diberikan pada pasien-pasien yang
akan menjalani operasi besar dengan
perdarahan kurang dan 15% Estimate
Blood Volume (EBV), dimana cairan
sodium laktat hipertonik dapat
mempertahankan strong ions difference
dan keseimbangan asam-basa Stewart.
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk melakukan penilaian terhadap
parameter asam-basa Stewart yang lain
seperti penilaian terhadap kadar albumin
dan BGA (pCO2) karena untuk menilai
secara keseluruhan bangsa Steward untuk
kepentingan terapi, juga harus
mempertimbangkan parameter lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunatrio S. Tatalaksana Cairan Intraoperatif
dan Pilihan Cairan. Naskah Lengkap KONAS
IDSAI Makasar 2004: 56-73.
2. American College of Obstetricians an
Gynecologists (ACOG) Committee on
Obstetrics: Maternal and Fetal Medicine.
Utility of Umbilical Cord Blood Acid Base
Assesment. Washington DC; 1991.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Obstetric Anesthesia. In: Clinical
Anesthesiology. 4th ed. United States of
America: Lange Medical Books/ Mc Graw-
Hill Medical Publishing Edition; 2006: 890-
919.
4. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gaut NF.
Williams Obstetrics Alih bahasa: Suyono J,
Hartono A. Edisi 18. EGC. Jakarta, 1995: 511-
26.
5. Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam
Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD IDSAI
Jateng. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK
Undip. Semarang; 2006.
6. Mustafa I, George YWH, Fauzi D.
Keseimbangan Asam Basa: Patofisiologi,
diagnosis dan terapi. ICU Pusat Jantung
Nasional RS Harapan Kita Jakarta.
7. Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media
Aesculapius Jakarta 2000.
8. Onarheim H. Fluid Shifts Following 7%
Hypertonic Sodium Saline (2400 mosm/L)
infusion. Shock 1995;3: 350-4.
9. Tollofsrud S, Noddeland H. Hypertonic Saline
and Dextran after Coronary Artery Surgery
Mobilises Fluid Excess and Improves
Cardiorespiratory Functions. Acta
Anaesthesiol Scand 1998;42:154-61.
10. Vissar MJ, Perry CA, Holcroft JW. Analysis of
Potential Risks Associated with 7,5% Sodium
Chloride Resucitation of Traumatic Shock.
Arch Surg 1990;125:1309-15.
11. Bitterman H, Triolo J, Lefer AM. Use of
Hypertonic Saline in The Treatment of
Hemorrhagic Shock. Circ Shock 1987;21:271-
83 Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM.
Acute Hemodynamic Effects of Hypertonic
(7,5%) Saline Infusion in Patients with
Cardiogenic Shock Due to Right Ventricular
Infarction. Circ Shock 1992; 37: 220-5.
12. Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM. Acute
Hemodynamic Effects of Hypertonic (7,5%)
Saline Infusion in Patients with Cardiogenic
Shock Due to Right Ventricular Infarction. Circ
Shock 1992; 37: 220-5.
13. Cross JS, Gruper DP, Burchard KW.
Hypertonic Saline Fluid Therapy Following
Surgery; a prospective study. J Trauma 1989;
29: 817-25.
14. Zhu S, Liu S, Ge S. Effect of Resuscitation
with Hypertonic Sodium Lactate Dextran 70
on Cardiac Function in Severely Burned Dogs.
Zhonghua Zheng Xing Shaoshang Wai Ke Za
Zhi.1995;11: (6):430-2.
15. Bruegger D, Bauer A, Rehm M, Niklas M,
Jacob M, Iribeck M et all. Effect of Hypertonic
Saline Dextran on Acid-Base Balance in
Patients Undergoing Surgery of Abdominal
Aortic Aneurysm. Crit Care Med. 2005 Mar;
33(3):556-63.
16. Jarvela K, Honkonen SE, Jarvella T, Koobi T,
Kaukinen S. The Comparison of Hypertonic
Saline (7,5%) and Normal Saline (0,9%) for
Initial Fluid Administration before Spinal
Anesthesia. Departments of Anesthesia and
Intensive Care. Tampere University Hospital.
Tampere Finland. Anesth Analg 2000;
91:1461-5.
17. Markus R, Victoria 0, Stefan S, Uwe K, Heinz
B, Udilo F. Acid Base Changes caused by 5%
Albumin Versus 6% Hydroxyethyl Starch
Solution in Patients undergoing Acute
Normovolemic Hemodilution: A Randomized
Prospective Study. Anesthesiology 2000;
93(5): 1174-83.
18. Witt L, Osthaus WA, Jutcher B, Heimbucher
C, Sumpelmann R. Alteration of Anion Gap
and Strong Ion Difference caused by
135
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Hydroxyethyl Starch 6% (130/0,42) and
gelatin 4% in Children. J Paed Anaesth 2008
Oct; 18(10):934-9.
19. Bisri T. Anestesi pada bedah caesar. Dalam:
Obstetri anestesi. Ed 1. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr.
Hasan Sadikin; 1997.44.
20. Miller B, Lindinger M, fattor J, Jacobs K.
Hematological and Acid-Base Change in Men
During Prolong Exercise with and without
Sodium Lactate Infusion.
URL.http//www.Anesthesia-analgesia.org/lgi/c
ontent/ful1/102/6/1836.
21. Lang K, Boldt J, Suttner S, Haisch E. Colloid
versus Crystalloid and Tissue Oxygen Tension
in Patients undergoing Major Abdominal
Surgery. Anesthesia Analgesia Journal 2001;
93: 405-9.
22. Leksana E. Hypertonic Sodium Lactate
Solution. CPD IDSAI Jateng. Anestesi dan
Terapi Intensif FK Undip. Semarang; 2006.
23. Chiolero RL,Revelly JP, Laverne X et all.
Effect of cardiogenic shock on lactate and
glucose metabolism after heart surgery. Crit
Care Med. 2000;28:3784-91.
136
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENELITIAN
Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual
Muntah Paska Laparatomi
I Nyoman Panji*, Heru Dwi Jatmiko*, Aria Dian Primatika*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Backgroud: Post-operative Nausea and Vomitus (PONV) is commonly unsatisfy experienced
by patient after surgical procedures with general anesthesia. Laparatomy is one among high
risk groups for PONV.
Objective: The aim of this study to compare the efficacy between granisetron 1 mg and
combination metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg in preventing PONV after
laparatomy.
Methods: This research was a clinical trial stage 1 in 48 patients undergoing laparatomy
surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6 hours fasting period before
induction of anesthesia. Pasien randomly divided in to two group. Group I treatment with
granisetron that given 30 to 60 minutes before end operation. Group II treatment with
metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg, that dexamethasone given before induction
of anesthesia and metoclopramide administration 30 to 60 minutes before end operation. All
patient were observe the nausea and vomiting 24 hours post operative.
Results: There was no significant difference for patient characterictics data distribution
between two group before treatment. There was no significant difference to decrease nausea
and vomiting after laparatomy between two groups. Patient who had received intravenous 1
mg granisetron incidence nausea-vomiting was 83,3 % while patient who had received the
combination 10 mg metoklopramid and 8 mg dexamethasone incidence nausea—vomiting
was 75%.
Conclusion: There was no antiemetics which fully effective to exceed post operative nausea
and vomitus. Combination 10 mg metoclopramide and 8 mg dexamethasone has similar effect
like 1 mg granisetron on prevent Post-operative Nausea and Vomitus but higher adverse
effects.
Key words: nausea, vomiting, granisetron, metoclopramide, dexamethasone, laparatomy
137
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara granisetron 1 mg
dan kombinasi metoklopramid 10 mg dengan deksametason 8 mg dalam mencegah mual
muntah paska laparatomi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian tahap I pada 48 penderita yang menjalani
laparatomi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 6 jam sebelum dilakukan
induksi anestesi. Pasien secara random dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I diberikan
granisetron 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Dan kelompok II diberikan
deksametason sebelum induksi anestesi dan metoklopramid 30 sampai 60 menit sebelum
operasi selesai. Semua pasien diamati kejadian mual muntah paska operasi selama 24 jam.
Hasil: Didapatkan perbedaan tidak bermakna pada distribusi karakteristik pasien antara
kedua kelompok sebelum perlakuan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang
tidak bermakna kejadian mual muntah paska laparatomi pada kedua kelompok. Dimana
pasien yang diberikan granisetron 1 mg didapatkan kejadian mual muntah sebesar 83,3 %
sedangkan pasien yang diberikan kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg
didapatkan angka kejadian mual muntah sebesar 75%.
Simpulan: Tidak ada antiemetik yang mampu sepenuhnya mencegah mual muntah paska
operasi. Pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg mampu
mengurangi resiko mual muntah paska operasi yang hampir sama efektifnya dengan
granisetron 1 mg dengan efek samping lebih banyak.
Kata kunci: mual, muntah, granisetron, metoklopramid, deksametason, laparatomi
PENDAHULUAN
Mual dan muntah dapat merupakan
manifestasi berbagai kondisi termasuk
diantaranya adalah efek samping suatu
pengobatan, gangguan sistemik atau
infeksi, kehamilan, disfungsi vestibuler,
peningkatan tekanan sistem saraf pusat,
peritonitis, gangguan hepatobilier, paska
radiasi atau kemoterapi, serta gangguan
pada usus berupa obstruksi, dismotilitas
atau infeksi.1,2
Mual dan muntah paska operasi (PONV)
adalah salah satu keluhan paling umum
setelah anestesi dan operasi.3 Mual dan
muntah dapat lebih menyulitkan terutama
pada operasi minor atau operasi rawat
jalan.4
Hal ini karena mual dan muntah
dapat menimbulkan berbagai komplikasi
yang luas.5,6
Secara fisik mual dan muntah
paska operasi dapat menimbulkan keluhan
berkeringat, nyeri perut, lemah dan
mengurangi kenyamanan pasien. Risiko
terhadap tindakan pembedahannya berupa
terbukanya kembali luka operasi,
perdarahan sampai penyembuhan luka
yang terhambat.7,8
Dan segi anestesi dapat
meningkatkan risiko aspirasi isi lambung
ke dalam paru-paru, gangguan cairan dan
elektrolit.9,10,11
Hal ini menimbulkan
implikasi bagi rumah sakit berupa
pemanjangan masa perawatan dan
perawatan rumah sakit yang tidak terduga
serta peningkatan biaya perawatan
terutama bagi pasien rawat jalan.12
138
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Granisetron merupakan antagonis reseptor
serotonin yang bersifat lebih selektif dan
masa kerja lama dibanding antagonis
reseptor serotonin yang lain.13,14
Waktu
paruh eliminasi granisetron adalah 2,5 kali
lebih lama dan ondansetron sehingga
frekuensi pemberian hams dikurangi.13
Granisetron efektif untuk mencegah mual
muntah selama 24 jam pada sekali
pemberian. Harga yang mahal membatasi
penggunaan granisetron dalam aplikasi
klinis.15,16,17
Fujii Y dan Tanaka H membandingkan
pemberian dosis granisetron untuk
pengelolaan PONV pada wanita yang
menjalani operasi payudara antara dosis
10, 20, 40 dan 80 pg/kgBB. Dan penelitian
ini didapatkan bahwa dosis efektif minimal
untuk profilaksis dan granisetron adalah 20
pg/kgBB. Peningkatan dosis sampai 80
pg/kgBB tidak memberikan keuntungan
bermakna.18
Sedangkan metoklopramid adalah obat
golongan antidopaminergik yang juga
sering dipakai dalam mengatasi mual
muntah.19
Terhadap PONV metoklopramid
memberikan hasil yang berbeda-beda.7,19,20
Oleh sebagian peneliti metoklopramid
dosis tunggal pada dosis standar dianggap
tidak efektif pada PONV.7,19
Meskipun
secara meta-analisis pemberian
metoklopramid 10 mg intravena hanya
memiliki efek yang yang sedikit, namun
mekanisme kerjanya yang komplek
(terikat dengan reseptor dopamin,
serotonin dan histamin) maka
metoklopramid masih menjadi obat yang
menarik untuk mencegah PONV.7
Wallenborn J menyatakan tidak ada obat
antiemetik tunggal yang mampu
memberikan penyelesaian mual muntah
paska operasi secara menyeluruh.
Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi
tidak memungkinkan karena menimbulkan
banyak efek samping dan dapat melampaui
batas keamanan, sehingga memungkinkan
pemberian kombinasi obat-obat
antiemetik.7 Akhir-akhir ini kombinasi
obat dengan mekanisme dan tempat kerja
berbeda digunakan untuk mencapai efek
antiemetik yang maksimal untuk melawan
PONV.19
Kombinasi obat ini
menguntungkan karena memiliki efek
yang saling menguatkan.7
Deksametason adalah obat golongan
kortikosteroid yang telah diketahui
memiliki efek antiemetik paska operasi. 21,22,23,24
Secara umum dosis deksametason
yang efektif untuk mencegah PONV
berkisar 8-10 mg.25,26
Pemberian
deksametason sebelum operasi jauh lebih
efektif dibandingkan pemberian sesudah
operasi dalam angka kejadian PONV.27
Karena efektifitas, keamanan dan biaya
yang relatif murah maka deksametason
direkomendasikan sebagai pilihan pertama
untuk kombinasi dengan antiemetik
lain.11,28
Pemberian secara kombinasi
metoklopramid dengan deksametason
terbukti lebih efektif menurunkan kejadian
PONV.29,30
Penambahan deksametason
pada metoklopramid dosis tinggi tidak
diragukan lagi efektifitas dan mampu
mencegah PONV. Pemberian
metoklopramid dosis 25 mg memberikan
efek yang sama dengan metoklopramid 50
mg namun dapat mengurangi efek samping
139
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
obat yang merugikan. Metoklopramid 25
mg iv efektif dalam mencegah PONV
terutama fase early emesis pada awal
penelitian (< 12 jam), sedangkan pada
dosis 50 mg metoklopramid mampu secara
efektif mengurangi PONV sampai fase late
emesis pada akhir pengamatan (> 12 jam).7
Tetapi penambahan metoklopramid 10 mg
dengan antiemetik yang lain jarang
memperlihatkan keuntungan tambahan.
Bahkan penelitian lain menyatakan bahwa
penambahan deksametason pada 10 mg
metoklopramid dianggap tidak terlalu
efektif dan hanya memiliki efek yang
bersifat sebagian.7 Kombinasi ondansetron
4 mg dan deksametason 8 mg memiliki
efek profilaksis yang lebih baik
dibandingkan kombinasi metoklopramid
10 mg dan deksametason 8 mg pada pasien
yang menjalani laparaskopi ginekologi.31,32
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh pemberian metoklopramid 10
mg + deksametason 8 mg dalam mencegah
mual muntah paska laparatomi.
METODE
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah
Sentral RSUP dr Kariadi Semarang.
Dilaksanakan dalam waktu 20-30 minggu.
Desain penelitian menggunakan cara
eksperimental murni post test only control
group design dengan melakukan evaluasi
terjadinya komplikasi dini berupa mual
muntah paska operasi.
Penelitian dilakukan terhadap pasien yang
dipersiapkan operasi laparatomi secara
elektif dengan anestesi umum di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Pusat
Dokter Kariadi Semarang. Pasien yang
memenuhi kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya, ditetapkan sebagai sampel
penelitian sampai jumlahnya terpenuhi.
Sebagai kriteria inklusi yaitu laki-laki,
umur 18-60 tahun, status fisik ASA I atau
II dengan berat badan normal, tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan anestesi
umum dan pemberian obat granisetron,
metoklopramid dan deksametason.
Sedangkan kriteria eksklusi yaitu riwayat
PONV sebelumnya, gangguan
pengosongan lambung, lama operasi
kurang dari 1 jam.
Semua pasien mendapatkan perlakuan
yang sama yaitu dilakukan anestesi umum
dan diberikan granisetron, metoklopramid
+ deksametason sesuai dengan
kelompoknya. Dilakukan seleksi penderita
pada saat kunjungan pra anestesi dan
penderita yang memenuhi kriteria
dimasukkan sebagai sampel penelitian.
Penelitian dilakukan terhadap 48 penderita
yang sebelumnya telah mendapatkan
penjelasan dan setuju mengikuti semua
prosedur penelitian serta menandatangani
informed consent. Semua penderita
dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi.
Dilakukan pemasangan infus dengan
kateter intravena 18 G dan diberikan
cairan pengganti puasa sebanyak 6 x 2
cc/kg BB selama 1 jam sebelum operasi.
Setelah sampai di ruang operasi dilakukan
pemeriksaan tanda vital dan dipasang alat
monitor tensimeter, EKG dan pulse
oxymetric. Sekitar 3-5 menit sebelum
dilakukan anestesi pada kelompok I
diberikan normal salin sebanyak 2 cc dan
pada kelompok II diberikan deksametason
sebanyak 2 cc atau 8 mg.
140
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Induksi anestesi dilakukan dengan
menggunakan propofol 2 mg/kgBB dan
fentanil 1 µg/kgBB serta vecuronium 0,1
mg/kg BB untuk fasilitas intubasi.
Selanjutnya untuk pemeliharaan dilakukan
dengan pemberian Isoflurane, N20, 02 dan
dilakukan ventilasi secara kontrol kurang
lebih 12 kali permenit dengan volume tidal
8-10 cc/kgBB.
Kurang lebih 30 sampai 60 menit sebelum
operasi selesai diberikan antiemetik sesuai
kelompoknya. Yaitu pada kelompok I
diberikan granisetron 1 mg dan kelompok
II diberikan metoklopramid 10 mg. Setelah
operasi selesai dilakukan reverse dengan
sulfas atropin 0,01 mg/kgBB dan
neostigmin 0,04 mg/kgBB. Sebelum dan
sesudah operasi perubahan hemodinamik
pasien harus dicatat dengan mengukur
tekanan darah sistolik (TDS), tekanan
darah diastolic (TDD), tekanan arteri rata-
rata (TAR) dan laju jantung. Diberikan
cukup cairan, sesuai beratnya operasi dan
banyaknya perdarahan. Semua pasien
dilakukan evaluasi mual muntah dan
tekanan darah paska operasi baik selama di
ruang operasi, di ruang pemulihan dan di
ruang perawatan (setelah 3, 6, 12 dan 24
jam operasi selesai). Dalam melakukan
pemindahan pasien dari ruang operasi ke
ruang pemulihan atau ruang perawatan,
harus dilakukan secara hati-hati dengan
meminimalkan terjadinya gerakan atau
guncangan.
Bila terjadi mual muntah dengan penilaian
PONV atau lebih, maka diberikan
antiemetik dari golongan yang lain yaitu
droperidol 0,625 mg secara intravena.12
HASIL
Telah dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh pemberian
granisetron 1 mg dibanding dengan
kombinasi metoklopramid 10
mg+deksametason 8 mg dalam mencegah
mual muntah paska laparatomi dengan
anestesi umum pada 48 orang penderita
yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok I
(Granisetron) dan II
(Metoklopramid+Deksametason). Uji data
numerik yang meliputi umur, berat badan,
tinggi badan, lama operasi dan lama
anestesi menggunakan uji independent t
test dengan derajat kemaknaan p<0,05.
Sedangkan uji statistik status ASA dengan
menggunakan Mann-Whitney
Penelitian yang dilakukan ini untuk
membandingkan pengaruh antara
Granisetron dengan Metoklopramid +
Deksametason dalam mencegah mual
muntah paska operasi laparatomi dengan
anestesi umum. Penderita secara random
dibagi menjadi dua kelompok (Kelompok I
dan II) yang masing-masing terdiri dan 24
orang penderita. Karakteristik data
masing-masing kelompok diperiksa
sebelum diberikan perlakuan. Selanjutnya
dilakukan pengamatan efek mual muntah
paska operasi dan efek samping yang
terjadi pada setiap subyek penelitian.
141
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
Variabel Kelompok
Granisetron
(n=24)
Kelompok
Metoklopramid
+Deksametason
(n=24)
Uji Statistik p
1.Umur (tahun) 44,29 ± 11,30 45,54 ± 9,25 Uji-t 0,677
2.BMI 22,29 ± 3,11 23,13 ± 2,80 Uji-t 0,329
3.Berat badan (kg) 60,87 ± 9,75 62,08 ± 9,12 Uji-t 0,660
4.Tinggi badan (cm) 165,08 ± 4,46 163,63 ± 5,74 Uji-t 0,331
5.Status ASA (n dan %) Mann-Whitney 0,510
ASA I 16 (66,7%) 11 (45,8%)
ASA II 8 (33,3%) 13 (54,2%)
6.Lama anestesi (menit) 157,79±71,88 145,83±49,38 Uji-t 0,505
7.Lama operasi (menit) 140,21±74,69 132,50±46,23 Uji-t 0,669
Tabel 2.Karakteristik klinis hemodinamik pasien sebelum operasi
Variabel Pre Operasi Uji statistik p
Kelompok
Granisetron
(n=24)
Kelompok
Metoklopramid
+Deksametason
(n=240)
Sistolik (mmHg) 129,38 ±
13,26
126,50 ± 11,81 Independent t-test 0,432
Diastolik (mmHg) 81,50 ±7,50 78,54 ± 6,70 Independent t-test 0,156
Tekanan arteri rerata 97,75±9,38 95,17± 8,29 Independent t-test 0,317
Laju Jantung (x/menit) 90,58 ±8,62 90,63 ±10,27 Independent t-test 0,988
Laju nafas (x/menit) 18,34±3,41 17,87±2,88 Independent t-test 0,657
Suhu 36,34±0,41 36,87 ±0,88 Independent t-test 0,764
Tabel 3.Efek samping pemberian obat pada kedua kelompok
Efek samping Kelompok
Granisetron
(n=24)
Kelompok
Metoklopramid
+Deksametason
(n=24)
Uji Statistik p
Tanpa efek
samping
20 13 Mann-
Whitney
0,00
6
Ada efek samping
-Dyspepsia 1 2
-Mengantuk 2 5
-Konstipasi 0 3
-pusing 1 1
142
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PEMBAHASAN
Dari data karakteristik penderita yang
meliputi umur, berat badan, tinggi badan,
indek masa tubuh, status ASA pre anestesi,
lama anestesi dan lamanya operasi, kita
dapat melihat bahwa terdapat perbedaan
yang tidak bermakna dan kedua kelompok
perlakuan. Variabel-variabel tersebut
diatas telah dikendalikan dengan teknik
randomisasi. Sehingga pengaruh umur,
status berat badan, lama anestesi dan lama
operasi tidak banyak mempengaruhi pada
penelitian ini.33,34
Dengan demikian kedua
kelompok dapat dikatakan homogen dan
layak untuk diperbandingkan.
Hasil pengukuran tanda vital sebelum
operasi yang meliputi tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan
arteri rerata, laju jantung, laju pernapasan
dan suhu badan pada kelompok I dan II
terdapat perbedaan yang tidak bermakna.
Perubahan tekanan darah juga relatif stabil
selama pengamatan setelah operasi.
maupun walaupun terjadi sedikit
peningkatan segera setelah operasi.
Sehingga kedua kelompok tidak
mengalami perbedaan tekanan darah
bermakna yang akan mempengaruhi
terjadinya PONV.
Mual muntah paska operasi pada
penelitian ini tetap terjadi, meskipun
seluruh sampel telah diberikan antiemetik.
Hal ini membuktikan bahwa laparatomi
dengan anestesi umum termasuk berisiko
sangat tinggi terjadi PONV dengan faktor
risiko utama menurut Adfel sebesar 4.31,32
Faktor risiko ini berasal dari jenis
operasinya sendiri, pemakaian agen
inhalasi, N20 dan pemakaian analgetik
opioid selama operasi.33
Semakin banyak
faktor risiko maka kemungkinan terjadi
PONV akan semakin besar. PONV terjadi
pada 10-20% pasien tanpa risiko atau
dengan faktor risiko PONV rendah dan
dapat meningkat setinggi 40-80% pada
pasien dengan 2 faktor risiko atau
lebih.34,35
Peneliti lain menyatakan bahwa
pasien tanpa faktor risiko, dengan 1, 2, 3, 4
faktor risiko akan menimbulkan kejadian
PONV sebesar 10%, 21%, 39%, 61%,
79% dan seterusnya.35
Meskipun terjadi
kemajuan dalam anestesi, tidak ada
pemberian antiemetik yang mampu
memberikan pemecahan menyeluruh
PONV.7 Pada penelitian ini PONV terjadi
pada 4 dan 24 orang (16,6%) kelompok I
yang diberikan granisetron 1 mg.
Sedangkan pada kelompok II yang
diberikan kombinasi
Metoklopramid+Deksametason didapatkan
PONV sebanyak 6 dari 24 orang (25%).
143
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Mual muntah yang terjadi pada kedua
kelompok semuanya bersifat ringan
dengan penilaian pada skala 5 (5-point
rating scale) sebesar 1, yaitu mual terjadi
kurang dari 10 menit dan atau muntah
hanya terjadi sekali yang tidak
membutuhkan pengobatan. Ada
kemungkinan hal ini karena efektifitas
obat antiemetik yang diberikan. Ini sesuai
dengan Ladjevic yang hanya menemukan
episode mual pada 21 pasien kistektomi
yang mendapatkan dosis rendah
granisetron (1 mg) dan mampu mengontrol
PONV sampai 93,33%.36
Sedangkan
Mikawa K dkk mendapatkan Granisetron
20 ug/kgBB mampu mengontrol PONV
sebesar 75% pasien dibanding plasebo
yang hanya mengontrol PONV sebesar
18% pada pasien paska operasi
ginekologi.18
Meskipun ada sebagian
peneliti yang meragukan manfaat
penambahan deksametason pada
metoklopramid dosis yang lazim,
pemberian kombinasi metoklopramid 10
mg dan deksametason 8 mg mampu
menurunkan angka kejadian PONV pada
pasien yang dilakukan laparaskopi
kolesitektomi menjadi hanya sebesar 13%
dibanding 23% hanya dengan
deksametason 8 mg, 45% hanya dengan
metoklopramid 10 mg dan 60% pada
pasien yang mendapatkan plasebo.28
Hal
ini pula yang mungkin menjadikan alasan
bahwa pemberian 10 mg metoklopramid
pada deksametason masih menjadi standar
pencegahan untuk PONV di Jerman.37
Hasil hampir sama ini juga sesuai dengan
yang disampaikan Gallardo bahwa
pemberian granisetron dibanding
kombinasi metoklopramid dan
deksametason pada pasien kemoterapi
dengan ciplastin, memiliki efektifitas yang
hampir sama, yaitu mampu mengontrol
PONV sampai 66% pada kelompok
granisetron dan 73,7% pada kelompok
kombinasi metoklopramid dan
deksametason.38
Sedangkan waktu terjadinya mual muntah
bervariasi pada kedua kelompok. Pada
kelompok I (diberikan Granisetron) 3
orang terjadi pada antara 3-6 jam paska
operasi dan 1 orang terjadi antara jam 6-12
paska operasi. Sedangkan pada kelompok
II (pemberian kombinasi Metoklopramid
dan Deksametason) 3 orang terjadi pada 0-
3 jam paska operasi dan 3 orang lainnya
terjadi antara jam 6-12 paska operasi. Hal
ini tidak sesuai dengan hasil penelitan
sebelumnya yang menyatakan bahwa
penambahan deksametason pada
metoklopramid dosis tinggi efektif untuk
delayed emesis, sedangkan pada dosis
lebih rendah akan efektif pada early
emesis.7,39
Pada penelitian ini PONV
terjadi pada awal pengamatan (< 12 jam).
Hal ini masih dapat terjadi karena proses
pemindahan pasien, mobilisasi dan
pemberian obat atau intake yang terlalu
cepat atau yang lain.
SIMPULAN
Operasi laparatomi dengan anestesi umum
termasuk operasi yang beresiko tinggi
untuk terjadinya mual muntah paska
operasi, sehingga perlu diberikan
antiemetik.
Ada perbedaan tidak bermakna antara
pemberian kombinasi metoklopramid 10
mg + deksametason 8 mg dengan
pemberian granisetron 1 mg dalam
144
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
mencegah mual muntah paska laparatomi
dengan anestesi umum.
Dan kedua kelompok tersebut, tidak ada
obat antiemetik yang sepenuhnya mampu
mencegah terjadinya mual dan muntah
paska laparatomi dengan anestesi umum.
Kombinasi metoklopramid 10
mg+deksametason 8 mg dapat dipakai
sebagai alternatif selain granisetron 1 mg,
untuk mencegah mual muntah paska
laparatomi pada anestesi umum dengan
biaya yang relatif lebih rendah.
Pemberian obat antiemetik untuk
mencegah PONV hendaknya tetap harus
diikuti dengan pengelolaan pasien secara
multimodal untuk mengurangi risiko
terjadinya PONV .
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nausea
and Vomiting. In: Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York : Lange Medical Books/Mc
Graw-Hill Companies, 2006: p 1004-8.
2. Wilks DH. Postoperative Nausea and
Vomiting. In : Decision Making in
Anesthesiology. 3th ed. Philadelphia : Mosby,
2000: p 596-7.
3. Gupta V, Wakloo R, Lahori VU, Mahajan
MK, Gupta SD. Propylactic Antiemetic
Therapy with Ondasetron, Granisetron and
Metoclopramide in Patiens Undergoing
Laparoscopic Cholecystectomy Under General
Anesthesia. The Internet Journal of
Anesthesiology, 2007.
4. Saeeda Islam. Post Operative Nausea and
Vomiting (PONV) : A Riview Article. Indian
Journal of Anesthesia, 2004 : p 253-8.
5. Ku CM, BC Ong. Postoperative Nausea and
Vomiting: a Review of Current Literature.
Department of Anaesthesia and Surgical
Intensive Care Singapore General Hospital
Outram Road Singapore, 2003: p 366-74.
6. Ting PH. Post-operative Nausea and Vomiting
(PONY) : An overview. 2004, Avaible from
URL :
wwvv.anesthesiologyinfo.com/articles/042520
4.php-27k.
7. Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, Behrends
K, Rohrbach A, Krause U, et al. Prevention of
postoperative nausea and vomiting by
metoclopramide combined with
dexamethasone: randomised double blind
multicentre trial. British Medical Journal,
2006; 333: p 324-41.
8. Gan TJ, Meyer T, Apfel CC, Chung F, Davis
PJ, Eubanks S, et al. Concensus for Managing
Postoperative Nausea and Vomiting.
Anesthesia & Analgesia, 2003; 97: 62-71.
9. Tjay TH, Raharja K. Obat-obat Penting.
Jakarta : Gramedia, 2003: p 263-8.
10. Smith G, Aronson JK. Oxford Textbook of
Pharmacology and Drug Therapy. 2002; p
275-8.
11. Stoelting RK. Pharmacology and Phisiology in
Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams Wilkins, 2006; 444-8.
12. Dewoto HR, Louisa M. Serotonin dan Obat
Serotoninergik dan Obat Antiserotoninergik
dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007 : p 288-98.
13. Kytril Injection. Avaible from URL :
http://www.rxlist.com/cgi/generic/ kytril-inj-
wcp.htm.H
14. Hanaoka K, Toyooka H, Kugimiya T, Ohashi.
Efficacy of Prophylactic Intravenous
Granisetron in Post Operative Emesis in
Adults. Journal Anaesthesia, 2004; 18: p 58-
65.
15. Dua N, Bhatnagar S, Mishra S, Singhal AK.
Granisetron and Ondansetron for Prevention of
Nausea and Vomiting in Patiens under going
Modified Radikal Mastektomi. Anaesthesia
Intensive Care, 2004; 32: 76-4.
16. Fujii Y, Tanaka H. Efficacy of Granisetron for
the Treatment of Post Operative Nausea and
Vomiting in Woman undergoing Breast
Surgery, 2006.
17. Janicki PK. A Meta Analysis of the Efficacy
and Safety of Granisetron 0,1 mg for Post
Operative Nausea and Vomiting. The Internet
Journal of Anesthesiology, 2007.
18. Mikawa K, Takao Y, Nishina K, Shiga M,
Maekawa M, Obara H. Optimal dose of
Granisetron for Prophylaksis against
Postoperative Emesis After Gynecological
Surgery. Department of Anesthesiology Kobe
University School of Medicine Japan.
Anesthesia & Analgesia, 2008; 100: 27-30.
19. Goodle F. Metoclopramide helps reduce
postoperative nausea and vomiting. British
Medical Journal, 2006; 333: p 100-1.
20. Wells BG, Dipiro JT, Shwinghammer TL,
145
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
21. Hamilton CW. Pharmacotherapy. 5th Ed.
Philadelphia: McGraw-Hill, 2003, p 247-52.
22. Fujii Y, Nakayama M. Dexamethasone for
Reduction of Nausea, Vomiting and Analgesic
Use after Gynecological Laparascopy surgery.
International Journal of Gynecology and
Obstetrics, 2008; 100: p 27-30.
23. Jaafarpour M, Khani A, Dyrekvan A,
Khajavikhan J, Saadipour K. The Effect of
Dexamethason on Nausea, Vomiting and Pain
in Parturients undergoing Caesarean Delivery.
Journal of Clinical and Diagnostic Research,
2008; 2: p 854-8.
24. Lee Y, Lai H, Lin P, Huang S & Lin Y.
Dexamethasone Prevents Postoperative
Nausea and Vomiting more Effectively in
Woman with Morning Sickness. Canadian of
Journal Anesthesiology, 2003; 50: p 232-7.
25. Wang JJ, Ho ST, Liu HS, Ho CM.
Prophylactic Antiemetic Effect of
Dexamethasone in Women Undergoing
Ambulatory Laparoscopic Surgery. British
Journal of Anaesthesia, 2000; 84: p 459-62.
26. Huang J, Sheih J, Tang C, Tzeng J, Chu K &
Wang J. Low-dose Dexamethasone
Effectivelly Prevent Postoperative Nausea and
Vomiting after Ambulatory Laparoscopic
Surgery. Canadian of Journal Anesthesia,
2001; 48: p 973-7.
27. Kang KL, Hsu CC, Chia YY. The Effective-
dose of Dexamethasone for Antiemetic after
Mayor Gynecological Surgery. Anesthesia &
Analgesia, 1999; 89: p 1316.
28. Wang JJ, Ho ST, Tseng JI, Tang CS. The
Effect of Timing of Dexamethasone
Administration on its Efficacy as a
Prophylactic Antiemetic for Post Operative
Nausea and Vomiting. Anesthesia &
Analgesia, 2000; 91: p 136-9.
29. Habib AS, Gan TJ. Evidence-based
management of post operative nausea and
vomiting : a review. Canadian Journal of
Anesthesiology, 2004; 5: p 326-41.
30. Nesek AV, Grizelj SE, Rasic Z. Comparison of
Dexamethasone, Metoclopramide and Their
Combination in the Prevent of PONV after
Laparascopy Cholecystectomy. Department of
Anesthesiology Zagreb Croatia, 2007.
31. Prevention of Postoperative Nausea and
Vomiting by Metoclopramide Combined with
Dexamethasone: Randomized Double Blind
Multicentre Trial. The American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2006; 108: p
1295.
32. Shora AN, Gurcoo SA, Farooqi AK, Qazi MS,
Mehraj-ud-Din. Comparative Evaluation of
Ondansetron used alone and in combination
with Dexamethasone in Prevention of Post
Operative Nausea and Vomiting. The Internet
Journal of Anesthesiology, 2008.
33. Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarrough
AW. Postoperative nausea and vomiting in
diagnostics gynecological laparascopic
prosedures : comparison of the eficacy of the
combination of dexamethasone and
metoclopramide with that of dexamethasone
and ondansetron. J Postgrad Med, 2003; 49: p
302-6.
34. White PF, Sacan 0, Chamnong NN, Tiffany
Sun T, Matthew R. Eng MR. The Relationship
between Patient Risk Factors and Early Versus
Late Postoperative Emetic Symptoms.
Anaesthesia & Analgesia, 2008; 107: p 459-
63.
35. Sweeny BP. Why does smoking protect
against PONY?. British Journal of
Anaesthesia, 2002; 89: p 810-3.
36. Joo T, Kovac AL, Lubarsky DA, Philips BK.
PONV: Current Management Strategies. 2005.
Avaible from
http://cme.medscape.com/viewarticle/
522094_2.
37. Apfel CC, Kranke P, Katz MH, Goepfert C,
Papenfuss T, Rauch S, et al. Volatile
anaesthetics may be main cause of early but
not delaying vomiting : a randomized
controlled trial of factorial design. British
Journal Anesthesia, 2002; 88: p 659-68.
38. Schouneck R, Hergenroder JS, Eberhart LH.
Anaesthetic prosedures and use of antiemetics
in ambulatory anaesthesia. Anaesthesia
Intensive Med, 2002; 43: p 695-9.
39. Carlisle JB. Preventing postoperative nausea
and vomiting : prevention in context. British
Medical Journal, 2006; 333: p 448-9.
146
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENELITIAN
Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca
Operasi
Husni Riadi Nasution*, Ery Leksana*, Doso Sutiyono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Over 70% of patients experiencing pain after surgery, and 80% of this patient
suffered severe pain for the Hospital care. The magnesium as NMDA antagonists in theory
can blokade the making process of central sensitization. Giving magnesium is expected to
reduce the degree of preoperative pain and opioid requirements after surgery.
Methods: This study was an experimental study post test only controlled randomized
design. Twenty -six patients underwent the elective oncology surgery using general
inhalation anesthesia in the hospital dr. Kariadi Semarang, met the inclusion and exclusion
criteria were divided into two group. Vital signs recorded pre surgery. MgSO4 group (I) were
given MgSO4 50 mg / kg in 250 ml saline before incision, the control group (II) were given
250 mL NaCl 0.9%. premedication midazolam 0.07 mg / kg iv, 10 mg iv metoclopramid,
sulfas atropine 0.01 mg / kg. induction tiopental 5 mg / kg, atrakurium 0.5 mg / kg, fentanyl 2
mcg / kg, then intubation. Maintenance of anesthesia N2O: O2 = 50%: 50%, enfluran 0.8% -
1.5%, atracurium intermittent. After the operation complete patient were extubated , and
observed in the recovery room. When pain scores or Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm is
given meperidine 0.5 mg / kg iv. Vital signs recorded post-surgery, every 4 hours for 24
hours. In the ward were given analgesics meperidine 0.5 mg / kg if VAS > 3 cm. Total
meperidine requirement and the side effects occurred were recorded. Statistics Test for VAS
used T-Test, while the need for opioids used Mann-Whitney.
Result: The degree of pain and the needs of both groups significantly different (p>0,05)
Thinning MgSO4 administration significantly affected the degree of pain and opioid
requirements aftersurgery.
Conclusion: MgSO4 admission do not significant influence pain scale an opioid needs during
postoperative period.
Keywords: MgSO4, VAS, opioid, postoperative pain, NMDA antagonist.
147
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ABSTRAK
Latar belakang: Lebih dari 70% pasien paska operasi mengalami nyeri, dan 80% dari
pasien ini mengalami nyeri yang berat selama perawatan di rumah sakit. Magnesium yang
bersifat sebagai antagonis NMDA secara teori dapat meblokade proses sensitisasi sentral.
Pemberian magnesium preoperatif diharapkan dapat mengurangi derajat nyeri dan
kebutuhan opioid paska operasi.
Metode: merupakan jenis penelitian eksperimental randomized post test only controlled
group design. Dua puluh enam pasien yang menjalani operasi elektif bedah onkologi dengan
anestesi umum inhalasi di RS dr. Kariadi Semarang, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dibagi dalam dua kelompok. Dicatat tanda vital pra bedah. Kelompok MgSO4 (I) diberi
MgSO4 50 mg/kgBB dalam NaCl 250 mL sebelum insisi, kelompok kontrol (II) diberi NaCl
0,9% 250 mL. Premedikasi dengan midazolam 0,07 mg/kgBB iv, metoclopramid 10 mg iv,
sulfas atropin 0,01 mg/kgBB. Induksi dengan Tiopental 5 mg/kgBB, atrakurium 0,5 mg/kgBB,
fentanil 2 mcg/kgBB, lalu dilakukan intubasi. Rumatan anestesi dengan N2O:O2=50%:50%,
enfluran 0,8% - 1,5%, atrakurium intermiten. Selesai operasi pasien diekstubasi, dilakukan
observasi di ruang pemulihan. Bila skor nyeri atau nilai Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm
diberikan meperidin 0,5 mg/kgBB iv. Dicatat tanda vital paska bedah, setiap 4 jam selama
24 jam. Di bangsal diberi analgetik meperidin 0,5 mg/kgBB bila VAS > 3 cm. Dicatat jumlah
total kebutuhan meperidin. Efek samping yang terjadi dicatat. Uji statistik untuk VAS
digunakan T-Test, sedangkan kebutuhan opioid dengan Mann-Whitney.
Hasil: Derajat nyeri dan kebutuhan antara kedua kelompok berbeda tidak bermakna
(p>0,05)
Kesimpulan: pemberian MgSO4 tidak signifikan mempengaruhi derajat nyeri dan kebutuhan
opioid paska operasi.
Kata Kunci: MgSO4, VAS, opioid, derajat nyeri setelah operasi, antagonis NMDA
148
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
LATAR BELAKANG
Intensitas dan frekuensi timbulnya nyeri
paska operasi tergantung sifatnya,
tempatnya, serta luasnya daerah operasi.1
Meskipun ada kemajuan dalam
pemahaman mekanisme nyeri, namun
pengelolaan nyeri paska operasi yang tidak
adekuat tetap menjadi pemikiran dan
merupakan hal penting yang harus
dipahami.1,2
Sebuah literatur mengindikasikan lebih
dari 70% pasien paska operasi mengalami
nyeri, dan 80% dari pasien ini merasakan
nyeri yang berat selama perawatan di
rumah sakit.1,3
Dilaporkan pada sebuah
studi terbaru, lebih kurang 70% pasien
tetap mengalami nyeri sedang dan berat
pada periode perioperatif.1,4
Selama pembedahan berlangsung, terjadi
kerusakan jaringan tubuh yang
menimbulkan stimulus noksius dan respon
inflamasi pada jaringan tersebut yang juga
bertanggung jawab terhadap munculnya
stimulus noksious. Kedua proses yang
terjadi selama dan paska pembedahan akan
mengakibatkan sensitisasi susunan saraf
sensorik.5,6
Sensitisasi yang terjadi paska operasi
selain akan menjadi sumber stres paska
operasi yang berimplikasi terhadap
teraktifasinya saraf otonom simpatis
dengan segala konsekuensinya, juga
merupakan sumber penderitaan paska
operasi. Oleh karena itu pengelolaan nyeri
paska operasi seyogyanya ditujukan ke
arah pencegahan atau meminimalkan
terjadinya proses sensitisasi perifer dan
sentral.5,6
Penatalaksanaan nyeri paska operasi yang
adekuat merupakan salah satu faktor
penting yang menentukan kapan pasien
dapat dipindahkan dari kamar operasi dan
faktor utama yang mempengaruhi
kemampuan pasien untuk menjalani hidup
dengan normal paska operasi.7,8
Opioid
telah lama digunakan sebagai analgetik
perioperatif. Namun penggunaan opioid
perioperatif yang berlebihan dapat
menimbulkan efek samping, antara lain
depresi pernapasan, mengantuk dan sedasi,
mual dan muntah, gatal-gatal, retensi
urine, ileus, dan konstipasi yang akan
mengakibatkan pasien lebih lama tinggal
di rumah sakit.7,9
Joint Commision on Accreditation of
Healthcare Organizations menyebutkan
penggunaan opioid yang berlebihan dapat
mengurangi kepuasan pasien.7 Oleh
karenanya seorang ahli anestesi harus lebih
meningkatkan lagi penggunaan teknik
analgesia non-opioid sebagai ajuvan
pengelolaan nyeri perioperatif untuk
mengurangi efek samping opioid.7
Teknik multimodal atau “balanced-
analgesic” dengan menggunakan dosis
kecil opioid dikombinasikan dengan non
opioid, seperti anestesi lokal, paracetamol,
NSAID, golongan NMDA (seperti
ketamin, dextromethorphan, magnesium)
semakin berkembang penggunaannya
untuk mencegah nyeri paska operasi.7,10
Magnesium (MgSO4) relatif mudah
diperoleh dan harganya murah. Sifatnya
sebagai antagonis reseptor NMDA
menjadi dasar pertimbangan
penggunaannya sebagai ajuvan analgetik
perioperatif.11-15
Antagonis reseptor
149
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
NMDA akan menghambat sensitisasi
susunan saraf pusat karena proses
stimulasi nosisepsi di perifer, dan
meniadakan reaksi hipersensitifitas.11-16
Levaux et al. (2003) menggunakan
magnesium bolus 50 mg/kgBB pada
operasi tulang belakang lumbal,
menyimpulkan pemberian magnesium
efektif untuk mengurangi nyeri paska
operasi dan mengurangi kebutuhan opioid
paska operasi.17
McCartney et al. (2004) melakukan
evaluasi beberapa penelitian yang
menggunakan antagonis reseptor NMDA,
salah satunya adalah magnesium. Dari
empat penelitian yang dievaluasi dengan
menggunakan magnesium dengan dosis
bolus antara 29-50 mg/kgBB dan
semuanya dilanjutkan tambahan
magnesium intraoperatif melalui infus.
Dan hasil yang diperoleh disimpulkan
penggunaan magnesium tidak efektif
untuk mengurangi nyeri paska operasi.18
Christopher et al. (2007) melakukan
evaluasi beberapa penelitian yang
menggunakan magnesium sebagai ajuvan
analgetik perioperatif dan menyimpulkan
dari penelitian-penelitian tersebut tidak
memberikan hasil yang meyakinkan
mengenai keuntungan pemberian
magnesium untuk mengurangi nyeri paska
operasi dan kebutuhan analgetik
tambahan.19
Dan hasil penelitian yang ada dilaporkan
tidak didapatkan efek samping yang cukup
serius akibat dari pemberian magnesium
bolus hingga dosis 50 mg/kgBB
intravena.17-28
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan desain penelitian
―randomized post test only controlled
group design‖. Kelompok penelitian
dibagi menjadi dua kelompok sebagai
berikut : kelompok I mendapat MgSO4 50
mg/kgBB dalam 250 ml NaCl 0,9%
selama 15 menit segera sebelum induksi,
lalu kelompok II mendapat NaCl 0,9% 250
ml iv selama 15 menit segera sebelum
induksi.
Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit
Umum Pusat dr. Kariadi Semarang. Waktu
penelitian selama 12 minggu. Kriteria
inklusi dari penelitian ini adalah : usia 14 –
65 tahun, status fisik ASA I – II, menjalani
operasi pada bedah onkologi, lama operasi
1 – 4 jam, tidak ada kontraindikasi obat
anestesi yang digunakan, serta bersedia
mengikuti penelitian. Disamping ini juga
ada beberapa kriteria ekslusi seperti :
alergi terhadap obat-obat penelitian,
diabetes, menderita kelainan neurologis,
AV Blok, penyakit hepar, ginjal,
menggunakan obat golongan Ca-Channel
Blocker, dan keadaan hipermagnesemia.
Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah
populasi, maka dalam penelitian ini
pemilihan sampel dilakukan dengan
consecutive random sampling, dimana
setiap penderita yang memenuhi kriteria
yang telah disebutkan diatas dimasukkan
dalam sampel penelitian sampai jumlah
yang diperlukan terpenuhi.
150
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
HASIL
Setelah disetujui oleh komite
―CLEARANCE‖ Etika Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Divisi Diklit RSUP dr. Kariadi Semarang,
penelitian segera dilaksanakan. Subyek
penelitian ini pasien yang menjalani
operasi elektif di bidang bedah onkologi
dengan anestesia umum di Instalasi Bedah
Sentral Rumah Sakit dr. Kariadi
Semarang. Jumlah subyek penelitian 26
orang pasien status fisik ASA I, yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 13 orang
pasien kelompok perlakuan mendapat
MgSO4 50 mg/kgBB dalam 250 mL NaCl
0,9% dan 13 orang kelompok kontrol yang
mendapat 250 mL NaCl 0,9%.
Tabel 1. Data Demografi Pasien
kelompok Kelompok p
variabel MgSO4 Kontrol
(n=13) (n=13)
Umur (tahun) 38,92±10,67 44,0±6,32 0,1471
Berat Badan 55,85±9,81 58,77±9,56 0,4491
Jenis Kelamin
Laki - laki 2 (15,4%) 5 (28,5%)
Perempuan 11 (84,6%) 8 (61,5%) 0,336
2
Jenis Operasi
(n dan %)
Eksisi 4 (30,8%) 4 (30,8%)
Mastektomi 3 (23,1%) 1 (7,7%) 0,687
2
Ismobektomi 3 (23,1%) 4 (30,8%)
Wide Eksisi 2 (15,4%) 3 (23,1%)
Adenetomi 0 1 (7,7%)
Total
Tiroidektomi 1 (7,7%) 0
Ket : 1 = Independent t-test
2 = Mann-Whitney test
Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan baku,
kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p>0,05)
p<0,05 = ada perbedaan bermakna
p>0,05 = perbedaan tidak bermakna
Tabel 2. Tanda Vital Preoperatif
kelompok Kelompok P
variabel MgSO4 Kontrol
(n=13) (n=13)
Tekanan
Darah
Sistolik 130,00±16,30 44,0±6,32 0,196
Tekanan
Darah
Diastolik 81,85±12,30 58,77±9,56 0,0751
Tekanan
Arteri
Rerata 99,00±14,35 91,31±9,89 0,1251
Denyut
Jantung 90,00±9,56 89,31±14,01 0,8841
Laju
Nafas 19,38±1,26 18,77±1,01 0,1532
Ket : 1 = Independent t-test
2 = Mann-Whitney test
Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan
baku, kedua kelompok berbeda tidak bermakna
(p>0,05)
Subyek penelitian terdiri dari 7 laki-laki
dan 19 perempuan. Pada kelompok
MgSO4 subyek laki-laki sejumlah 2 dan
perempuan sejumlah 11, sedangkan pada
kelompok kontrol subyek laki-laki ada 5
dan perempuan ada 8 pasien. Rerata
kelompok umur MgSO4 adalah 38,92
tahun (+/-10,67) sedangkan kelompok
151
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
kontrol 44,08 tahun (+/- 6,32). Selisih
umur ini tidak menyebabkan perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok
(p=0,147).
Data berat badan pasien stelah diuji beda
tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok
(p=0,449).
PEMBAHASAN
Pengelolaan nyeri paska operasi saat ini
didasari oleh pendekatan multimodal, dan
meskipun opioid tetap merupakan obat
terpilih, penggunaannya sering
dikombinasikan dengan golongan
analgetik lain seperti parasetamol,
inhibitor siklooksigenase (COX-inhibitor),
atau NSAID. Dan juga dapat
dikombinasikan dengan ko-analgesik atau
ajuvan seperti klonidin dan antagonis
NMDA (ketamin, atau MgSO4).17
kombinasi yang rasional bertujuan untuk
mendapatkan efek sinergistik dari masing-
masing obat analgetik, atau antara
analgetik dengan ajuvan.
Pada penelitian ini, MgSO4 diberikan
intravena dengan dosis bolus 50 mg/kgBB
dalam larutan NaCL 250 mL tanpa
dilanjutkan dengan pemberian tambahan
melalui infus. Levaux et al (2002) dan
Usmani et al (2007) menggunakan dosis
bolus 50 mg/kgBB untuk menghindari
efek samping yang tidak diinginkan.17,28
Sedangkan dosis yang lebih rendah dari
50 mg/kgBB dilaporkan tidak
memperbaiki kualitas analgesia paska
operasi.17,25
Dan pemberian MgSO4 hanya
sebelum operasi dimulai, berdasarkan
pemikiran bahwa antagonis NMDA
seharusnya diberikan sebelum simulasi
nosisepsi timbul agar dapat menghambat
proses sensitisasi sentral.17,26
Didapatkan rerata nilai VAS antara
kelompok MgSO4 dengan kontrol terdapat
perbedaan pada 16, 20, 24 jam paska
operasi. Namun secara keseluruhan nilai
VAS mulai dari saat pemulihan hingga 24
jam paska operasi antara kedua kelompok
secara statistik menunjukkan perbedaan
yang tidak bermakna (p>0,05). Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Tramer et al (2007), pada pemberian
MgSO4 dosis tunggal 4 gram intravena
tidak mempengaruhi derajat nyeri paska
operasi.22
Hasil ini berbeda dengan Levaux
et al (2002), dimana nilai VAS antara
kelompok MgSO4 dengan kelompok
kontrol terdapat perbedaan yang
signifikan.17
Hal ini mungkin dipengaruhi
karena adanya perbedaan waktu lamanya
pemberian bolus MgSO4. Pada penelitian
ini MgSO4 diberikan dalam waktu 15
menit, sedangkan Levaux memberikannya
dalam 30 menit. Adanya perbedaan lama
waktu pemberian ini diduga menjadi
penyebab perbedaan hasil yang diperoleh.
Waktu 15 menit diduga tidak mencukupi
untuk MgSO4 mencapai efek yang
maksimal.
Attygalle dkk (1997) melaporkan
pemberian MgSO4 bolus 5 gram intravena
yang dilanjutkan dengan pemberian
melalui infus 2-3 gram/jam diperlukan
untuk mempertahankan efek terapi
magnesium antara 2-4 mmol/L.40
Sedangkan pada penelitian ini didapatkan
kadar magnesium serum rata-rata paska
operasi 1,22 mmol/L.
152
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Kebutuhan opioid paska operasi antara
kelompok MgSO4 dengan kelompok
kontrol juga menunjukkan perbedaan yang
tidak bermakna. Rata-rata jumlah opioid
yang diberikan dalam 24 jam sama antara
kelompok MgSO4 dengan kelompok
kontrol, yakni 50 +/- 0,00 (p>0,05). Ko et
al (2001) juga melaporkan pemberian
magnesium tidak mengurangi kebutuhan
analgetik paska operasi. Kemudian
pemberian opioid pada saat induksi pada
kedua kelompok bertujuan untuk
mencegah gejolak hemodinamik akibat
intubasi. Opioid juga dapat memblokade
sensitisasi sentral. Namun opioid
disebutkan dapat mengurangi sensitivitas
reseptor NMDA terhadap magnesium
melalui mekanisme fosforilasi C-protein
kinase.40
Hipotensi (TDS>70 mmHg) akibat
pemberian MgSO4 dilaporkan oleh Levaux
et al (2002) atau Tramer et al (2007).
Hipotensi ini timbul karena vasodilatasi
pembuluh darah akibat blokade kanal
kalsium oleh MgSO4.17,22
Pada penelitian
ini tidak didapatkan hipotensi. Penggantian
cairan selama puasa yang diberikan
sebelum perlakuan mungkin
mempengaruhi kejadian hipotensi akibat
pemberian MgSO4. Perubahan
hemodinamik dan respirasi pada penelitian
ini tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara kelompok MgSO4 dan
kelompok kontrol.
SIMPULAN
Pemberian MgSO4 dosis bolus 50
mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan
mempengaruhi derajat nyeri (nilai VAS)
pada pasien paska operasi. Kemudian
pemberian MgSO4 dosis bolus 50
mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan
mempengaruhi kebutuhan opioid paska
operasi.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan waktu yang efektif
dalam pemberian MgSO4 sebagai ajuvan
analgesia. Kemudian juga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terhadap antagonis
reseptor NMDA lain, baik sebagai obat
tunggal maupun kombinasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Srinivas P,Gan JT. Perioperatif Pain
Management. CNS Drug 2007, 21 (3): 186-
211.
2. Dollin SJ, Cashman JN, Bland JM.
Effectiveness of acute postoperative pain
management : I Evidence from published data.
Br J Anaesth 2002 Sept ; 89 (3): 409-23.
3. Warfield CAMD, Khan CHMD. Acute pain
management: programs in U.S. hospitals and
experiences and attitude among U.S. adults.
Anesthesiology 1995 Nov ; 83 (5): 1090-4.
4. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS.
Postoperative pain experiences: results from a
national survey suggest postoperative pain
continues to be undermanaged. Anesth Analog
2003 ; 97 (2): 534-40.
5. Tanra H. Nyeri Paska Bedah Implikasi
Sensitisasi Perifer dan Sentral. Symposium
Pain Management Annual Meeting of
Obstetric Anesthesia 2004: 195-199.
6. Cousin MJ. Post Operative Pain: Implication
of Peripheral and Central Sensitization. Papers
WFSA Distance Learning. Cited at
http://www.wfsa.ox.ac.uk.
7. White PF. The Changing Role of Non-Opioid
Analgesic Techniques in The Management of
Postoperative Pain. Anesth Analog 2005; 101:
S5-S22.
8. Chung F, Ritchie E, Su J. Postoperative Pain in
Ambulatory Surgery. Anesth Analg 1997; 85:
808-16.
9. White PF. The Role of Non-Opioid Analgesic
Techniques in the Management of Pain After
Ambulatory Surgery. Anesth Analg 2002; 94:
577-85.
10. Pierre B. Non-Opioid Strategies for Acute Pain
Management. Can J Anesth 2007; 54: 481-85.
11. White PF. The Changing Role of Non-Opioid
Analgesic Techniques in The Management of
153
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Postoperative Pain. Anesth Analg 2005; 101:
S5-S22.
12. James MF. Clinical Use of Magnesium in
Anesthesia. Anesth Analg 1992; 74(6): 129-36.
13. Fawcett FJ, Haxby AJ, Male DA. Magnesium:
Physiology and Pharmacology. BrJ Anesth
1999; 83(2): 302-20.
14. Hollman MW, Liu HT, Liu WH, Hoenemann
CW, Durieux ME. Modulation of NMDA
Receptor Function by Ketamine and
Magnesium: Part I. Anesth Analg 2001; 92:
1173-1181.
15. Laurent D, Jean CG. The Therapeutic Use of
Magnesium in Anesthesiology, Intensive Care
and Emergency Medicine. Can J of Anesth
2003; 50: 732-46.
16. Andrei BP, Tomohiro Y, Hiroshi B, Koki S.
The Role of N-Methyl-D-Aspartate (NMDA)
Receptors in Pain: A Review. Anesth Analg
2003; 97: 1108-16.
17. Levaux C, Bonhomme V, Dewandre PY,
Brichant JF, Hans P. Effect of Intraoperative
Magnesium Sulphate on Pain Relief and
Patient Comfort After Mayor Lumbar
Orthopaedic Surgery. Anesthesia 2003; 58:
131-35.
18. McCartney CJ, Sinha A, Katz J. A Qualitative
Systemic Review of The Role of N-Methyl-D-
Aspartate Receptor Antagonist in Preventive
Analgesia. Anesth Analg 2004: 98: 1385-400.
19. Christopher L, Lionel D, Christopher C,
Martin RT. Magnesium as an Adjuvant to
Postoperative Analgesia: A Systemic Review
of Randomized Trials. Anesth Analg 2007;
104: 1532-39.
20. Stubner SS, Wettmann G, Hahn, Rossaint R.
Magnesium as Part of Balanced General
Anesthesia with Propofol, Remifentanyl and
Mivacurium: a Double Blind, Randomized
Prospective Study in 50 Patients. Eropean J of
Anesthesiology 2000; 18(11); 723-29.
21. Seyhan TO, Tugrul M, Sungur MO. Effect
Pain Relief in Gynaecological Surgery. Br J
Anesth 2006; 96: 247-52.
22. Tramer MR, Glynn CJ. An Evaluation Single
Dose of Magnesium to Supplement Analgesia
after Ambulatory Surgery: Randomized
Controlled Trial. Anesth Analg 2007 Jun;
104(6): 1374.
23. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.
Role of Magnesium Sulphate in Postoperative
Analgesia. Anesthesiology 1996; 84: 340-7.
24. Koinig H, Wallner T, Marhofer P, Magnesium
Sulphate Reduces Intra and Postoperative
Analgesic Requirements. Anesthesia and
Analgesia 1998; 87: 206-10.
25. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith
OH. Perioperative Magnesium Infusion and
Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica
Scandinavica 1997; 41: 1023-7.
26. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,
Magnesium Sulphate does not Reduces
Postoperative Analgesic Requierments.
Anesthesiology 2001; 95: 640-6.
27. Bhatia A, Kashyap L. Pawar DK, Trikha A.
Effect of Intraoperative Magnesium Infussion
on Perioperative Analgesia in Open
Cholecystectomy. J Clin Anesth 2004; 16:
262-5.
28. Usmani H, Quadir A, Alam M, Rohtagi A,
Ahmed. Evaluation of Perioperative
Magnesium Sulphate Infussion on
Postoperative Pain and Analgesic
Requierments in Patients Undergoing Upper
Abdominal Surgery. J Anesth Clin
Pharmacology 2007; 23(3): 255-58.
29. Blumstein HA, Moore D. Visual Analog Pain
Scores do not Define Desire for Analgesia in
Patient with Acute Pain. Acad Emerg Med
2003; 10: 3: 211-214.
30. Bodian CA, Gordon F, Saberra H, Eisenkraft
JB, Yaakov B. The Visual Analog Scale for
Pain: Clinical Significance in Postoperative
Patients. Anesthesiology 2001; 95: 1356-61.
31. Cousin MJ, Power I, Smith G. 1996 Labat
Lecture: Pain a Persistent problem. Reg.
Anesth and Pain Med. 2000; 25(1): 6-21.
32. Perkowski SZ. Understanding and Controlling
Postoperative Pain. Cited at
http://www.vetmedpub.com
33. Nelson DL. Neuroanatomy of Pain. Cited at
http://www.postoperative.co
34. Woolf CJ, Costigan M. Transcriptional and
Posttranslational Plasticity and The Generation
of Inflammatory Pain. Proc. Natl. Acad. Sci.
Vol 96: 7723-30. 1999.
35. Song SO, Carr DB. Pain and Memory. Pain
Clinical Updates, Vol VII(1). IASP. 1999.
36. Woolf CJ, Chong MS. Pre-emtptive Analgesia,
Treating Postoperative Pain by Preventing The
Establishment of Central Sensitization. Anesth
Analg 1993; 77: 362 – 74.
37. Wulf H, Schug SA, Alvin R. Postoperative
Pain Management; How Can We Make
Progress? In Acute Pain. 1998; 1(4): 32-44.
38. David BB. NMDA Reeptor Blockade: From
The Laboratory to Clinical Application.
Anesth Analg. 2009; 91: 1042-1093.
39. Allan G, Smith DS. New Concepts in Acute
Pain Therapy : Preemptive Analgesia.
American Family Physician. 2001; 63(10):
1979-84.
40. Sina G, Martin RT. Do We Need Preemptive
Analgesia for the Treatment of Postoperative
Pain? Best Practical Clinical Anesthesiology
2007; 21(1): 51-63
154
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENELITIAN
Lama Analgesia Lidokain 2% 80 mg Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan
Epinefrin pada Blok Subarakhnoid
Rezka Dian Trisnanto*, Uripno Budiono*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Subarachnoid block using isobaric lidocaine, has been applied on many
variable clinic surgeries. In the country, lidocaine 2% 80 mg is preferable because of its cost
The disadvantage of using lidocaine 2% 80 cc is short duration, 45 - 60 minutes, despite
many surgeries take more than 1 hour, despite many surgeries take more than 1 hour.
Objective: to prove whether addition of epinephrine 0.02 mg on subarachnoiod block with
lidocaine 2% 80 cc able to make longer time of analgesia.
Methods: It is a experimental study with quota sampling design on the 52 patients, which are
undergoing surgery. In the room, blood pressure (BP), heart rate (HR), respiratory rate (RR)
were measured. All of the patients were fasting 6 hour and no premedications. In the Central
Operating Theatre / COT ("Instalasi Bedah Sentral / IBS") vein access 18 G was inserted and
colloid 7.5 cc/KgBW given as preload. The patients were divided randomly into 2 groups,
lidocaine group and lidocaine - epinephrine group. Motoric block evaluation was performed
on the same time with level of analgesia evaluation by using Bromage's criteria. Blood
pressure, MAP, heart rate, respiratory rate were measured before and after subarachnoid
block, in the first 10 minutes of surgery, measurement every minute, 20th
minute and every 10
minute, 20th
minute and then every 10 minute until there was no motoric block.
Uncooperative patient and who need additional analgesia during surgery, was excluded.
Using Mann - Whitney and p < 0.05. Data were gathered in tables.
Results: There was no difference for patients characteristics and surgery distribution among
2 groups. Regression time of 2 segments on the lidocaine -epinephrine group was longer
significantly than iidocaine group (p = 0.000). The onset of sensoric block on lidocaine was
shorter significantly than lidocaine -epinephrine group (p = 0.025). Duration of motoric
block on lidocaine -epinephrine group was longer significantly than lidocaine group (p =
0.000). There was no significant difference on maximal level in two groups. There was no
difference significantly on BP, MAP, HR after preload. There was difference significantly on
HR at 1st and 2
nd during subarachnoid block given between two group. Side effect
distribution had difference significantly.
Conclusion: Regression time of 2 segments on iidocaine - epinephrine group was longer
significantly than lidocaine group.
Keywords : subarachnoid block, lidocaine 2% 80 mg, epinephrine 0.02 mg
155
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ABSTRAK
Latar belakang: Blok subarakhnoid menggunakan lidokain isobarik, banyak digunakan pada
operas! untuk pasien dengan berbagai kondisi klinik. Di daerah banyak digunakan lidokain
2% 80 mg dikarenakan harganya yang relatif murah. Kerugian dari penggunaan lidokain
2% 80 mg adalah durasi yang singkat, yaitu antara 45 - 60 menit, padahal banyak tindakan
pembedahan yang durasinya lebih dari 1 jam.
Tujuan: Membuktikan apakah penambahan epinefrin 0,02 mg pada blok subarakhnoid
dengan lidokain 2% 80 mg dapat memperpanjang lama analgesia.
Metode : Merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 52 pasien
yang menjalani operasi di daerah region abdominal dengan blok subarakhnoid. Saat di
ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung, dan laju nafas. Semua penderita
dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Penilaian blok motorik dilakukan
pada saat yang sama dengan penilaian level analgesi dengan menggunakan criteria dari
Bromage. Penilaian tekanan darah, TAR, laju jantung dan laju nafas dilakukan sebelum dan
sesudah blok subarakhnoid selama 10 menit pertama pembedahan dilakukan tiap menit,
menit ke 15,20 selanjutnya setiap 10 menit sampai hilangnya blok motorik. Pasien tidak
kooperatif dan membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan dikeluarkan dari
penelitian. Uji statistik menggunakan Mann - Whitney dan derajat kemaknaan p < 0,05.
Penyajian data dalam bentuk tabel.
Hasil: Karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kedua kelompok tidak berbeda.
Waktu regresi dua segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama dibandingkan kelompok
lidokain (p=0,000). Mula kerja blok sensorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan
dengan kelompok lidokain - epinefrin (pK),002). Mula kerja blok motorik kelompok lidokain
lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (/7=:0,025). Lama kerja blok
motorik kelompok lidokain - epinefrin lebih panjang dibandingkan dengan kelompok lidokain
(p=0,000). Level maksimal blok sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua
kelompok. TDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak
terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan
bermakna antara kedua kelompok (p=0,013). TDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok
subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung
terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok
subarakhnoid pada kedua kelompok. Distribusi efek samping terdapat perbedaan bermakna
antara
Kesimpulan: Waktu regresi 2 segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama secara
bermakna dibandingkan kelompok lidokain.
Kata kunci: Blok subarakhnoid, lidokain 2% 80 mg, epinefrin 0,02 mg.
156
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENDAHULUAN
Blok subarakhnoid dengan obat anestesi
lokal digunakan untuk analgesia
pembedahan perut bagian bawah,
ekstremitas bagian bawah dan daerah
perineum.1
Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK)
Semarang sebagai salah satu rumah sakit
pusat rujukan yang melayani pasien
peserta Asuransi Kesehatan (Askes)
Umum maupun Askes Keluarga Miskin
(Askeskin) harus mengacu pada peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh PT. Askes.
Menurut Formularium Rumah Sakit
Program Askeskin Tahun 2007 yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Nomor :
417/MENKES/SK/IV/2007, lidokain 2% 2
ml merupakan satu-satunya obat anestesi
lokal yang digunakan untuk blok
subarakhnoid.2
Salah satu kekurangan dari lidokain adalah
lama analgesia (duration of action) yang
berkisar antara 60 - 75 menit, sehingga
hanya cocok untuk pembedahan yang
durasinya singkat, sehingga perlu
diupayakan usaha untuk memperpanjang
lama analgesia, antara lain dengan
memberikan penambahan epinefrin,
klonidin, opioid (morfin, petidin dan
fentanyl) pada obat tersebut. Dimana
epinefrin, klonidin, opioid yang terdapat
didalam Formularium Rumah Sakit
Program Askeskin Tahun 2007.2
Epinefrin sudah lama dikombinasi dengan
obat anestesi lokal untuk memperpanjang
lama analgesi.1,3,8
Preparat kombinasi
lidokain dan epinefrin yang selama ini
sudah tersedia adalah lidokain 2% 2 ml (40
mg)+epinefrin 1 : 80.000 (lidokain cum
epinefrin).
Penelitian-penelitian penggunaan lidokain
dan epinefrin telah banyak dilakukan
dengan hasil yang berbeda-beda,
diantaranya Chambers dengan Lidokain 75
mg+Epinefrin 0,1 mg hasilnya bermakna,9
Spivey Lidokain 62,5 mg + Epinefrin 1 :
160.000 hasilnya tidak bermakna.10
Penambahan epinefrin selama ini aman,
karena lidokain bersifat vasodilatasi
sementara epinefrin bersifat vasokonstriksi
(antagonis fisiologis). Sehingga tidak akan
terjadi gejala sisa berupa defisit neurologis
akibat iskemi pada medula spinalis.10
Untuk itu akan diteliti, apakah terdapat
perbedaan lama analgesi blok
subarakhnoid dengan menggunakan
lidokain 2% 80 mg dibandingkan dengan
lidokain 2% 80 mg cum epinefrin 1 :
160.000. Di RSDK penelitian lama
analgesi dengan menggunakan lidokain
dan epinefrin belum pernah dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah
membuktikan bahwa lidokain 2% 80 mg
cum epinefrin 1 : 160.000 dapat
memperpanjang lama analgesia blok
subarakhnoid.
METODE
Jenis penelitian ini termasuk eksperimental
berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan
secara acak tersamar ganda dengan tujuan
untuk mengetahui efikasi penambahan
epinefrin 1 : 160.000 pada blok
subarakhnoid dengan lidokain 2 % x 80
mg terhadap lama analgesia.
157
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Populasi penelitian adalah semua penderita
yang akan menjalani pembedahan elektif
yang memungkinkan digunakan teknik
anestesi blok subarakhnoid di RS. dr.
Kariadi Semarang.
Cara pemilihan sampel dilakukan dengan
cara Quota Sampling terhadap semua
penderita yang dipersiapkan untuk operasi
elektif, dimana semua penderita yang
memenuhi kriteria dimasukkan dalam
sampel sampai jumlah yang diperlukan
terpenuhi dan bersedia menjadi
sukarelawan.
Kriteria inklusi penelitian adalah
pembedahan elektif regio abdomen dengan
blok subarachnoid, usia 20-65 tahun,
ASA I-II, berat badan 50-60 kg, tinggi
badan 150-170 cm, bersedia sebagai
sukarelawan, lama operasi diperkirakan
sekitar 1 jam. Sedangkan kriteria eksklusi
yaitu pasien tidak kooperatif, pasien
membutuhkan analgetik tambahan selama
pembedahan,terdapat kontra indikasi untuk
dilakukan blok subarakhnoid, posisi pasien
tidak dengan posisi kepala lebih rendah
(head down/trendelenburg position)
selama / pada saat pembedahan.
HASIL
Telah dilakukan penelitian terhadap 52
orang penderita yang dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok A (kontrol) 26
orang penderita yang mendapat blok
subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg
dan kelompok B (perlakuan) yang
mendapat blok subarakhnoid dengan
lidokain 2% 80 mg ditambahepinefrin 1 :
160.000.
Uji statistik disini untuk membandingkan 2
kelompok. Untuk data nominal yang
meliputi variabel tingkat pendidikan, status
ASA, jenis operasi, jenis kelamin dan efek
samping menggunakan uji t. Untuk data
numerik yang meliputi variabel umur,
tinggi badan, berat badan, tekanan darah
sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan
arteri rata-rata, laju jantung, laju nafas,
blok sensorik, blok motorik, dan lama
analgesi menggunakan uji Mann-Whitney.
Untuk karakteristik penderita dan
distribusi operasi antara kedua kelompok
tidak berbeda. Waktu regresi dua segmen
pada kelompok lidokain-epinefrin lebih
lama secara bermakna dibandingkan
kelompok lidokain (p=0,000). Mula kerja
blok sensorik pada kelompok lidokain
lebih cepat secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok lidokain-epinefrin
(p=0,002). Mula kerja blok motorik pada
kelompok lidokain lebih cepat secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok
lidokain - epinefrin (p=0,025). Lama kerja
blok motorik pada kelompok lidokain -
epinefrin lebih cepat secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok lidokain
(p=0,000). Level maksimal blok sensorik
tidak terdapat perbedaan bermakna pada
kedua kelompok. IDS, TDD, TAR, laju
nafas pada keadaan hemodinamik setelah
preload tidak terdapat perbedaan
bermakna pada kedua kelompok. Pada laju
jantung terdapat perbedaan bermakna
antara kedua kelompok (p=0,013). IDS,
TDD, TAR, laju nafas selama blok
subarakhnoid tidak terdapat perbedaan
bermakna pada kedua kelompok. Laju
jantung terdapat perbedaan bermakna pada
menit pertama dan menit kedua selama
blok subarakhnoid pada kedua kelompok
158
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
penelitian. Distribusi efek samping
terdapat perbedaan bermakna antara kedua
kelompok (p=0,025).
PEMBAHASAN
Analgesi yang timbul pada pemberian obat
anestesi lokal pada blok oid melalui
mekanisme masuknya ion natrium dari
ekstrasel ke intrasel spesific sodium
channel (SSC) sehingga tidak terjadi
potensial aksi. epinefrin dipakai sebagai
penambah anestesi lokal pada blok
subarakhnoid untuk memperpanjang lama
analgesia. Efek epinefrin pada medula
spinalis karena epinefrin menstimulasi
adrenoceptor alpha di cornu dorsalis
medula spinalis sehingga menimbulkan
efek antinosiseptif, yang terjadi melalui
descending inhibitory pathway dimana ini
berperan dalam modulasi proses sensorik.
Penambahan epinefrin pada lidokain akan
memperpanjang durasi sampai dengan
50%. Tetapi, epinefrin tidak mempunyai
efek signifikan bila ditambahkan pada
bupivakain, dikarenakan ikatan protein
bupivakain lebih lemah dibandingkan
ikatan protein lidokain. Jadi efek yang
didapat bervariasi dan pergantung pada
macam obat anestetik lokal yang dipakai.
Pada penelitian ini tidak terdapat
perbedaan bermakna tentang karakteristik
penderita dan distribusi operasi antara
kelompok lidokain dengan kelompok
lidokain-epinefrin. Terdapat perbedaan
bermakna antara mula kerja blok sensorik
kelompok lidokain (3,250±0,6677 menit)
dibandingkan dengan kelompok lidokai-
epinefrin (3,82310,6617 menit). Juga
didapatkan perbedaan bermakna antara
mula kerja blok motorik kelompok
lidokain (3,625±0,3952/ menit)
dibandingkan dengan kelompok lidokain -
epinefrin (3,961 ±0,6232 menit). Pada
lama kerja blok motorik didapatkan
perbedaan bermakna antara kelompok
lidokain (59,58±5,707 menit)
dibandingkan dengan kelompok lidokain-
epinefrin (74,92+7,397 menit).
Waktu regresi 2 segmen pada kelompok
lidokain-epinefrin (77,08±9,740 menit)
lebih lama secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok lidokain (61,38+5,315
menit). Pada level maksimal blok sensorik
tidak didapatkan perbedaan bermakna
antara kelompok lidokain (6,8110,849)
dengan kelompok lidokain-epinefrin
(7,12±0,952). Hasil penelitian ini
menunjukkan TDS, TDD, TAR, laju nafas
pada keadaan hemodinamik setelah
preload tidak terdapat perbedaan
bermakna pada kedua kelompok. Pada laju
jantung terdapat perbedaan bermakna
antara kedua kelompok, dimana kelompok
lidokain (81,85±3,414) dan kelompok
lidokain-epinefrin (83,96±4,162).
Penelitian ini menunjukkan TDS, TDD,
TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid
tidak terdapat perbedaan bermakna pada
kedua kelompok. Laju jantung terdapat
perbedaan bermakna pada menit pertama
dan menit kedua selama blok subarakhnoid
pada kedua kelompok penelitiaan.
Oleh karena adanya efek vasokonstriktor
dari epinefrin, maka terjadi penurunan
absorpsi dan akan meningkatkan neuronal
uptake, dimana meningkatkan pula
kualitas analgesia, memperpanjang durasi
dan mengurangi efek samping lidokain
159
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
yang bersifat blok simpatis seperti
bradikardi dan hipotensi. Gejala awal dari
kejadian hipotensi salah satunya adalah
mual sampai dengan muntah. Oleh karena
itu pada penambahan epinefrin akan
mengurangi efek samping berupa fluktuasi
hemodinamik selama terjadinya blok
subarakhnoid.
SIMPULAN
Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada
blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80
mg memperpanjang lama analgesia
(74,92±7,397 menit), penambahan
epinefrin 1 : 160.000 pada blok
subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg
dapat mengurangi kejadian bradikardi,
hipotensi yang merupakan salah satu efek
samping dari blok subarakhnoid.
Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada
blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80
mg merupakan salah satu alternatif untuk
memperpanjang lama analgesia. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
jumlah sampel yang lebih banyak dan
dengan dosis yang berbeda - beda.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA.
Spinal analgesia : intradural ; Extradural
in : Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA>
ed. Synopsis of Anaesthesia. 10th ed.
Singapore : PG Publishing, 1988 : 662-3.
2. Departemen Kesehatan RI. Formularium
rumah sakit program askeskin. Pedoman
buku pedoman pelaksanaan jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat
miskin (Askeskin). Depkes RI, 2007 :2 -
13.
3. Veering B. Local Anesthetics. In : Brown
DL, ed. Regional anesthesia and analgesia.
Philadelphia: WB Saunders Company,
1996 : 188 - 97.
4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Local anesthetics. In : Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical
anesthesiology, 3rd
ed. New York :
McGraw-Hill; 2002; 233-41.
5. Stocking RK, Hillier SC. Local
anesthetics. In : Stoelting RK, Hillier SC,
eds. Pharmacology & physiology in
anesthetic practice, 4th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 ;
179-207.
6. Me Donald JS, Mandalfino DA.
Subarachnoid blok. In : Bonica JJ,
McDonald Jsl Principles and Practice
Analgesia and Anesthesia. 2nd. Balltimore
: Williams & Wilkins, 1995 : 471. Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds.
Clinical anesthesiology, 3rd
ed. New York
: McGraw-Hill ; 2002; 253-82.
7. Brown DL. Spinal, epidural and caudal
anesthesia. In : Miller RD, ed. Miller's
anesthesia. 6th
. Pennsylvania : Elsevier -
Curchill Livingstone, 2005 :1661-2.
8. Stevens RA. Neuraxial blocks. In : Brown
DL, ed. Regional anesthesia and analgesia.
Philadelphia : WB Saunders Company,
1996 .319 -56.
9. Chambers WA, Littlewood DG, Logan
MR and Scott DB.Effect of added
epinefrin on spinal anesthesia, with
lidocaine, Anesth. Analg. 1981 : 60 :417-
20.
10. Spivey DL. Epinefrine does not prolong
lidocaine spinal anesthesia in term
parturients Anesthi. Analgesia 1985.
160
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
Ventilasi Satu Paru
Aditya Kisara*, Hari Hendriarto Satoto*, Johan Arifin*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
One lung ventilation is to provide mechanical ventilation in a selected one of the lungs and
block the airway of the other lung. One lung ventilation is indicated to improve surgical
access, protects lung ventilation and intensive care. During one lung ventilation, mixing of
oxygenated blood that is not the collapse of the lung with oxygenated blood from the
dependent lung terventilasi widen PA-a O2 gradient.
In vitro studies showed that inhalation anesthetic agents directly reduce the action of hypoxic
pulmonary vasocontriction and theoretically lead to increased blood flow to the lungs is not
ventilated thereby increasing pulmonary shunt and PaO2 became decrease and often cause
hipoksemi. Three techniques are performed: (1) placement of a double lumen bronchial
tubes, (2) the use of a single lumen tracheal tube in his contact with the bronchial inhibitor,
or (3) the use of single lumen bronchial tubes. High tidal volume used to maintain arterial
oxygenation decrease in tidal volume, combined with the use of positive end-expiratory
pressure (PEEP), can minimize the occurrence of parenchymal injury.
ABSTRAK
Ventilasi satu paru adalah memberikan ventilasi mekanik pada salah satu paru yang dipilih
dan menghalangi jalan napas dari paru lainnya. Ventilasi satu paru diindikasikan untuk
meningkatkan akses bedah, melindungi paru dan perawatan intensif ventilasi. Selama
ventilasi satu paru, percampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps
dengan darah teroksigenasi dari paru dependen yang terventilasi memperlebar gradien O2
PA-a.
Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa agen anestesi inhalasi secara langsung
mereduksi aksi dari hypoxic pulmonar vasocontriction dan secara teori menyebabkan
meningkatnya aliran darah ke paru yang tidak terventilasi sehingga meningkatkan shunt
pulmoner dan akhirnya PaO2 menjadi turun dan sering menyebabkan hipoksemi. Tiga teknik
yang dilakukan: (1) penempatan sebuah tabung bronkial lumen ganda, (2) penggunaan
tabung trakeal lumen tunggal pada penghubungnya dengan penghambat bronkial, atau (3)
penggunaan lumen tunggal tabung bronkial. Volume tidal yang tinggi digunakan untuk
mempertahankan oksigenasi arteri Penurunan volume tidal, dikombinasi dengan
penggunaan akhir ekspirasi tekanan positif (PEEP), dapat meminimalkan terjadinya cedera
parenkim.
161
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
PENDAHULUAN
Pembedahan thoraks menghadirkan satu
set masalah fisiologis untuk ahli anestesi
yang membutuhkan pertimbangan khusus.
Hal ini termasuk pengaturan kembali
keadaan fisiologi seorang pasien dengan
membaringkan pasien pada salah satu sisi
lebih rendah (posisi lateral dekubitus),
membuka dada (open pneumothoraks), dan
terkadang ventilasi satu paru.
Selama ventilasi satu paru, salah satu paru
sengaja tidak diventilasi. Volume tidal
diberikan ke salah satu paru yang
diventilasi. Teknik ini membuat operator
mudah melihat infra struktur intra thorak
sehingga memberikan kondisi yang
optimal untuk pembedahan.
Namun, prosedur ini telah
dikaitkan dengan penurunan oksigen arteri,
terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit paru-paru. Hal ini
di karenakan tehnik ini menyebabkan
berkurangnya luas permukaan alveli yang
digunakan untuk pertukaran gas
dan menyebabkan hilangnya
regulasi otonom pernapasan yang normal.
Oleh karena itu, mempertahankan kadar
oksigen yang cukup dan eliminasi
karbondioksida adalah tantangan terbesar
dalam pengelolaan ventilasi satu paru-
paru. Pengelolaan ventilasi satu-paru terus
menjadi tantangan dalam praktek
Definisi
Ventilasi satu paru adalah memberikan
ventilasi mekanik pada salah satu paru
yang dipilih dan menghalangi jalan napas
dari paru lainnya. Hal ini bertujuan untuk
memberikan kondisi yang optimal
sehingga mempermudah pembedahan.1,2
Indikasi
1.Meningkatkan akses bedah.1,2
Hal ini membuat ahli bedah jauh lebih
mudah untuk melakukan operasi paru-
paru, atau operasi gaster dan esofagus.
Dengan teknik ventilasi satu paru akan
membuat reseksi tumor lebih mudah
dilakukan. Beberapa operasi lain juga
pasti membutuhkan teknik ventilasi satu
paru, misalnya : operasi thoracoscopic.
2.Perlindungan paru- paru.1,2
Tehnik satu paru dapat berguna untuk
melindungi paru-paru yang sehat terhadap
kontaminasi darah atau abces dari paru –
paru yang sakit selama operasi.
3.Perawatan Intensif ventilasi.1,2
Diperlukan jika pasien memiliki
penyakit paru-paru tunggal sehingga paru-
paru yang normal tidak mendapatkan
tekanan yang tinggi yang mungkin
diperlukan untuk paru-paru yang sakit. Hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan
dua ventilator, misal pada perawatan
setelah transplantasi satu paru.
Patofisiologi ventilasi satu paru
Kolaps paru yang disengaja pada sisi
pembedahan memudahkan prosedur
operasi namun dengan manajemen anestesi
yang sulit. Karena paru yang kolaps harus
tetap diperfusi dan sengaja tidak
diventilasi, maka akan terjadi shunt
intrapulmoner kanan-ke-kiri (20%-30%).
Selama ventilasi satu paru, percampuran
darah yang tidak teroksigenasi dari paru
atas yang kolaps dengan darah
162
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
teroksigenasi dari paru dependen yang
terventilasi memperlebar gradien O2 PA-a
(alveolar-ke-arterial) dan sering
menyebabkan hipoksemi. Untungnya,
aliran darah ke paru yang tidak terventilasi
menurun akibat hipoxia pulmonal
vasoconstrictrion (HPV) dan kompresi
pembedahan pada paru atas.1,2,3
Faktor-faktor yang diketahui menghambat
HPV dan hal yang memperburuk shunt
kanan-ke-kiri termasuk (1) tekanan arteri
pulmonel yang sangat tinggi atau sangat
rendah; (2) hipokapnia; (3) PO2 vena yang
tinggi atau sangat rendah; (4) vasodilatator
seperti nitrogliserin, nitroprusid, agonis β-
adrenergik (termasuk dobutamin dan
salbutamol), dan calsium channel blocker;
(5) infeksi pulmoner; dan (6) anestesi
inhalasi.1,3,4
Faktor-faktor yang menurunkan aliran
darah terhadap paru yang berventilasi bisa
terganggu; mereka membalik efek HPV
dengan meningkatkan aliran darah secara
tidak langsung terhadap paru yang kolaps.
Faktor-faktor tersebut diantaranya (1)
tekanan jalan nafas rata-rata yang tinggi
pada paru terventilasi karena high positive
end-expiratory pressure (PEEP),
hiperventilasi, atau tekanan puncak
inspirasi yang tinggi; (2) FIO2 rendah,
yang menghasilkan vasokonstriksi
pulmoner hipoksia pada paru yang
terventilasi; (3) vasokonstriktor yang
memiliki efek besar terhadap pembuluh
darah normal dibandingkan terhadap yang
hipoksia; dan (4) PEEP intrinsik yang
timbul akibat waktu ekspirasi
inadekuat.1,3,4
Eliminasi CO2 biasanya tidak disebabkan
oleh ventilasi satu paru sehingga ventilasi
tiap menit tidak berubah dan retensi CO2
yang sudah ada sebelumnya tidak tampak
ketika kedua paru berventilasi; tegangan
CO2 arterial biasanya tidak mengalami
perubahan yang cukup besar.3,4
Efek Anestesi pada Ventilasi Satu Paru
Penelitian secara in vitro memperlihatkan
bahwa agen anestesi inhalasi secara
langsung mereduksi aksi dari hypoxic
pulmonar vasocontriction dan secara teori
menyebabkan meningkatnya aliran darah
ke paru yang tidak terventilasi sehingga
meningkatkan shunt pulmoner dan
akhirnya PaO2 menjadi turun.Bjertnaer
dan kawan-kawan menggunakan
scintigraphy skin untuk menganalisis
efek dari eter, halotan, thiopental dan
fentanil pada HPV dan dipastikan
bahwa eter dan halotan, bila digunakan
dalam konsentrasi klinis dapat
menghambat HPV, sedangkan
agen intravena (thiopental dan fentanil)
tidak menghambat. Baru-baru ini, Groh
dan kawan- kawan menyelidiki pengaruh
isofluran pada vasokonstriksi hipoksia
dengan mengukur aliran darah
paru kelinci. Isofluran menyebabkan
meningkatnya perfusi pada paru yang tidak
terventilasi dengan cara menghambat
terjadinya HPV.5,6
Efek propofol pada PaO2, fraksi shunt,
perfusi paru dan output jantung telah
dianalisis dibandingkan dengan efek agen
anestesi inhalasi yang telah dipelajari
sebelumnya, dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai PaO2,
perfusi paru-paru dan cardiac output lebih
163
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
tinggi ketika propofol digunakan, dan
bahwa fraksi shunt secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan memakai
agen inhalasi.5,7
Gambar 1. kurva compliance paru-paru7
Penggunaan obat pelumpuh otot akan
menyebabkan menurunnya kapasitas
residu fungsional (FRC) dikarenakan
lumpuhnya otot diafragma. Gambar 1
menunjukkan komplians paru-paru saat
pasien sadar dan pasien yang dibius.
Ketika pasien dibius, paru-paru bagian atas
bergerak ke posisi yang lebih rendah
seperti posisi paru- paru dependen pada
pasien sadar. dan paru-paru bagian bawah
bergerak ke bawah kurva melewati titik
belok. Paru-paru non-dependent menjadi
lebih mudah untuk diventilasi dari paru-
paru dependent. Ketika dada dibuka, paru-
paru atas menjadi lebih mudah untuk
diventilasi karena tidak ada pembatasan
oleh dinding dada. Suplai darah masih
sangat ditentukan oleh gravitasi. V / Q
mismatch sekarang terjadi. Hal ini akan
menjadi lebih buruk ketika paru-paru atas
telah kolaps karena tidak ada ventilasi
pada paru-paru tersebut namun masih
didapatkan perfusi pada paru tersebut.
Namun tubuh memiliki mekanisme
perlindungan yang mengalihkan aliran
darah pada paru-paru yang kolaps menuju
paru-paru yang berventilasi.5,7,8
Mekanisme perlindungan ini yang terjadi
ketika kadar PO2 alveolar 4-8 kPa.
Mekanisme ini dapat dihambat sampai
batas tertentu oleh vasodilator, termasuk
semua gas anestesi dan agen
induksi. Namun telah terbukti bahwa HPV
tidak dihambat oleh nilai MAC kurang
dari 1%. Satu MAC dari isoflurane hanya
menghambat HPV sebesar 20% sehingga
tidak menjadi masalah besar secara klinis
dan tidak ada alasan untuk tidak
menggunakan agen inhalasi.
Penyakit paru itu sendiri mungkin telah
mengubah fisiologi paru-paru. Sebuah
tumor besar sudah dapat menghalangi
ventilasi dan sehingga kolapsnya paru
tidak menyebabkan berkurangnya
oksigenasi pasien.7,8
Teknik Ventilasi Satu Paru
Ventilasi satu paru dapat digunakan untuk
mengisolasi atau untuk memudahkan
pengelolaan ventilasi pada keadaan
tertentu. Tiga teknik yang dilakukan: (1)
penempatan sebuah tabung bronkial lumen
ganda, (2) penggunaan tabung trakeal
lumen tunggal pada penghubungnya
dengan penghambat bronkial, atau (3)
penggunaan lumen tunggal tabung
bronkial. Tabung lumen ganda adalah
yang sering digunakan.8,9
Pertimbangan Anatomis
Trakea orang dewasa panjangnya berkisar
11-13 cm. Dimulai dari kartilago cricoid
(C6) hingga bifurkasio di belakang sendi
sternomanubrium (T5). Perbedaan utama
164
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
antara bronkus utama kanan dan kiri
adalah sebagai berikut: (1) bronkus kanan
lebih lebar menyimpang jauh dari trakea
dengan sudut 250, sedangkan bronkus kiri
menyimpang dengan sudut 45 (2) bronkus
kanan memiliki tiga cabang yaitu cabang
lobus atas, tengah dan bawah, sedangkan
bronkus kiri hanya dibagi menjadi cabang
lobus atas dan bawah, dan (3) orificium
bronkus lobus kanan atas ira-kira 1-2,5 cm
dari karina, sedangkan lobus kiri atas
adalah sekitar 5 cm dari karina.
Gambar 2. Anatomi trakeo bronchial
ET Bronchial Lumen Ganda
Keuntungan dasar dari tabung bronkial
lumen ganda ini adalah relatif lebih mudah
ditempatkan, dan kemampuannya untuk
memberi ventilasi salah satu atau kedua
paru, dan kemampuannya dalam
menghisap salah satu atau kedua paru.
Tabel 1. jenis – jenis tabung lumen ganda
Nama Intubasi
bronkus
Kait
carina
Bentuk
lumen
Carlens Kiri Ya Oval
White Kanan Ya Oval
Robert
Shaw
Kanan atau
kiri
Tidak Bentuk D
Semua tabung bronkial lumen ganda
memiliki karakteristik sama sebagai
berikut:
Sebuah lumen bronkial panjang yang bisa
memasuki baik bronkus utama kanan
maupun kiri dan lumen trakea pendek
lainnya pada trakea bawah
Sebuah lekukan lunak yang memudahkan
jalan masuk ke dalam setiap bronkus
Sebuah cuff bronkial
Sebuah trakeal cuff
Ventilasi dapat diberikan pada satu paru
saja dengan cara menjepitkan lumen trakea
atau bronkus dengan cuff yang sudah
dikembangkan; pembukaan port dari
konektornya menyebabkan paru ipsilateral
kolaps. Akibat perbedaan anatomi bronkus
pada kedua sisi, maka tabung didesain
khusus untuk bronkus kanan atau kiri.
Tabung lumen ganda yang sering
digunakan adalah tipe Robert-Shaw.
Terdapat uuran 35, 37, 39 dan 41 F
(diameter internal sekitar 5.0, 5.5, 6.0, dan
6,5 mm). Sebuah tabung 39F digunakan
umumnya untuk pria sedangkan 37F untuk
kebanyakan wanita. Tabung bronkial sisi
kanan harus memiliki celah untuk
memberi ventilasi lobus kanan atas .
Variasi anatomis antara satu individu
165
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
dengan yang lain dalam hal jarak antara
karina kanan dengan orifisium lobus kanan
sering menyebabkan kesulitan dalam
memberi ventilasi lobus tersebut dengan
tabung sisi-kanan. Tabung sisi-kanan
didesain untuk thorakotomi kiri,
sedangkan tabung sisi kiri didesain untuk
thorakotomi sisi kanan. Kebanyakan ahli
anestesi, menggunakan tabung sisi kiri
tanpa memperhatikan sisi yang akan
dioperasi.; untuk operasi pada sisi kiri,
tabung bisa ditarik ke dalam trakea
sebelum diklem ke bronkus kiri, bila perlu.
Gambar 3. Letak ET double lumen9
ET Lumen Tunggal dengan sebuah
Penghambat Bronkial
Penghambat bronchial adalah alat yang
dapat digelembungkan yang mengelilingi
atau melalui tabung tracheal lumen tunggal
untuk menutup orificium bronchial. Tuba
trakeal dengan sebuah tambahan kanal di
sampingnya untuk menghambat bronchial
yang dapat beretraksi, dijual secara
komersial (tuba univent; vitaid; Lewiston,
NY). Tuba tersebut diberikan penghambat
yang beretraksi penuh; kurva alaminya
seperti itu yang memutar tuba dengan
kurva konkav ke kanan yang secara khusus
mengarahkan penghambat bronkus ke
bronkus kanan. Dengan memutar tuba
dengan kurva konkav ke kiri biasanya
mengarahkan penghambat ke bronkus kiri.
Penghambat bronchial harus di masukkan,
diposisikan, dan dikembangkan dengan
pengamatan langsung melalui suatu
bronkoskop yang fleksibel.
Gambar 4. ET lumen tunggal dengan penghambat
bronchial
3.ET Bronkial Lumen Tunggal
Tuba bronchial lumen tunggal saat ini
jarang digunakan. Tuba Gordon-Green
merupakan sebuah lumen tunggal sisi
166
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
kanan yang dapat digunakan untuk
torakotomi kiri; tuba ini memiliki cuff
trakeal dan bronchial seperti hook karina.
Mengembangnya cuff bronchial
mengisolasi dan menyebabkan ventilasi
hanya pada paru kanan. Bila cuff bronchial
dikempiskan dan cuff trakeal
dikembangkan, kedua paru dapat
diventilasi. Suatu celah yang jauh lebih
besar pada cuff bronchial (dibandingkan
dengan tuba lumen ganda sisi kanan)
menyebabkan nilai keberhasilan yang
tinggi untuk membuka ventilasi lubus
superior dekstra. Kerugian yang utama
dari tuba Gordon-Green adalah merusak
hook karina dan ketidakmampuan
menghisap paru kiri. Biasanya, tuba
trakeal lumen tunggal yang tidak dipotong
digunakan sebagai tuba bronchial pada
situasi emergensi (perdarahan pulmo
unilateral). Tuba biasanya dapat di
masukkan secara buta ke bronkus kanan
bila sumber perdarahannya adalah paru
kiri; sayangnya, lobus superior dekstra
tidak dapat diventilasi . Memasukkan tuba
secara buta ke bronkus kiri lebih sulit
(memasukkan tuba yang memiliki
konveksitas di posterior sambil memutar
kepala ke kanan) dan seharusnya dipandu
dengan bronkoskopi, bila memungkinkan.
Pelaksanaan teknik ventilasi satu paru
Selama ventilasi satu paru,
direkomendasikan bahwa paru dependent
diventilasi dengan volume tidal (VT) yang
mirip dengan yang digunakan saat
ventilasi kedua paru-paru. Volume tidal
yang tinggi digunakan untuk
mempertahankan oksigenasi arteri . Katz
et al, telah menunjukkan bahwa tingkat
volume tidal (VT) 8 sampai 15 ml/ kg
tidak secara signifikan mempengaruhi baik
shunt paru atau PaO2. Peneliti lain
melaporkan bahwa tingkat volume tidal (
VT ) kurang dari 8ml/kg menghasilkan
penurunan kapasitas fungsional residu,
sehingga menyebabkan atelektasis pada
paru-paru dependen sehingga
menyebabkan gangguan pertukaran gas.10
Namun perlu diperhatikan tentang efek
buruk pemberian volume tidal tinggi pada
pasien yang menjalani ventilasi satu paru.
Penelitian terbaru telah menunjukkan
bahwa penggunaan ventilasi mekanis saja
sudah dapat dapat memulai atau
memperburuk cedera paru. Volume tidal
tinggi mungkin dapat mengembangkan
alveoli secara normal atau mencederai
alveoli, sehingga menyebabkan cedera
langsung ke parenkim paru-paru.
Konsekuensi utama dari pemberian
volume tidal yang tinggi adalah cedera
seluler disebabkan oleh hyperdistension
alveoli yang mengakibatkan rupture
membran alveolar-kapiler, perubahan
fungsi sel, keluarnya sel-sel proinflamasi
sitokin, perubahan transportasi ion dan
penurunan sekresi surfaktan. Meskipun
sebagian besar pasien yang menjalani
ventilasi satu paru tidak memiliki riwayat
penyakit paru-paru, pemberian volume
tidal yang tinggi dapat menyebabkan
parenkim paru cedera.10
Penurunan volume tidal, dikombinasi
dengan penggunaan akhir ekspirasi
tekanan positif (PEEP), dapat
meminimalkan perubahan ini .Selain
penggunaan Volume tidal tinggi,
digunakan FiO2 sebesar 1,0 untuk
menjaga oksigen arteri. Konsentrasi
oksigen akan menyebabkan vasodilatasi di
167
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
paru-paru dependen, sehingga
meningkatkan kapasitas untuk
mengakomodasi aliran darah yang berasal
dari paru-paru nondependent. Capan et
al.menunjukkan bahwa penggunaan FiO2
sebesar 1,0 mengakibatkan shunt fraksi
dari 25% sampai 30% dan nilai PaO2
antara150 mmHg dan 210 mmHg selama
ventilasi satu paru Baru-baru ini, bahwa
terdapat perbedaan peningkatan oksigen
alveolar arterial, terlepas dari Bardoczky et
al, menganalisa efek dari pemberian
konsentrasi oksigen yang berbeda
dikombinasikan dengan posisi pasien di
dorsal decubitus atau lateral dekubitus dan
menyimpulkan nilai-nilai FiO2 yang
digunakan. Namun, dengan FiO2 sebesar
1,0, terjadi penurunan PaO2 yang lebih
kecil dan karena itu tidak menyebabkan
hipoksemia. Perlu dicatat bahwa
penurunan PaO2 lebih besar terjadi pada
pasien dalam posisi dorsal dekubitus
dibandingkan pada posisi dekubitus lateral
.10
Tetapi disisi lain FiO2 tinggi dapat
menyebabkan beberapa komplikasi, seperti
penyerapan atelektasis, perubahan dalam
kapasitas vital, respiratory rate, pH, PaO2
dan kapasitas difusi karbon monoksida di
paru. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan fraksi shunt .Selama ventilasi
satu paru, terutama ketika dalam posisi
dekubitus lateral, fungsional kapasitas
residual paru-paru dependen berkurang
karena faktor yang berhubungan dengan
induksi umum anestesi, seperti kompresi
isi perut dan mediastinum.9,10
Pemakaian PEEP ke paru-paru dependen
mencegah kolaps alveolar dan
meningkatkan kapasitas fungsional residu,
sehingga meningkatkan ratio ventilation
perfusion dan komplians paru-paru
.Namun, keberhasilan PEEP tergantung
pada tingkat yang digunakan PEEP tingkat
tinggi mungkin memiliki efek merusak
pada oksigenasi arteri. Hal ini disebabkan
kompresi dari intra-alveolar kapiler yang
disebabkan oleh peningkatan volume paru,
sehingga resistensi pembuluh darah paru
meningkat dan curah jantung
menurun.8,9,10
Ada banyak kontroversi dalam literature
tentang keuntungan menggunakan PEEP
dalam mengendalikan PaO2 selama
ventilasi satu paru. Cohen et
al. menunjukkan bahwa penerapan tingkat
PEEP dari 10 cmH2O untuk pasien dengan
PaO2 rendah meningkatkan kapasitas
fungsional residu, sehingga mengurangi
resistensi vaskular paru, meningkatkan
rasio ventilasi-perfusi dan meningkatkan
PaO2. Di sisi lain, Capan
dkk. memberikan bukti oksigenasi yang
tidak membaik dalam penggunaan PEEP .
Baru-baru ini, Inomata dkk..memberikan
penjelasan untuk mengenai administrasi
PEEP selama ventilasi satu paru. Mereka
memastikan bahwa ada peningkatan
resistensi jalan napas dan, sebagai
hasilnya, pada pasien akan timbul auto-
PEEP. Pada pasien yang tidak memiliki
riwayat penyakit paru- paru
sebelumnya,didapatkan nilai oksigenasi
arteri, shunt fraksi dan denyut jantung
yang memuaskan saat digunakan tingkat
PEEP yang sama dengan tingkat auto-
PEEP pasien. Oleh karena itu, dalam
rangka untuk menerapkan tingkat PEEP
yang ideal, direkomendasikan untuk
menentukan tingkat auto-PEEP.8,10
168
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
DAFTAR PUSTAKA 1. Helena F,Walter A, Physiopathology and
Clinical Management of One
Ventilation.[home page on the internet]. c2004
[cited 2011 nov 20]. Avalaible from:
http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12
v30n6.pdf
2. Blieux PD, Ali J, Summer WR, Levitzky MG,
editors. Respiratory failure :Pulmonary
pathophysiology. 2th edition. New Orleans:
The McGraw Hill companies. 2005; p. 232-48.
3. Kozian T,Fredu F,Maripu E,et.al, One lung
Ventilation Induces hypoperfusion and
alveolar damage in ventilated lung: an
experimental study.[Home page on the
Internet]. c2008 [cited 2011 Nov 20] Avalaible
from:
http://www.anestesiologiafsfb.com/subreunion
es/onelung/Hypoxemia
4. Hoftman N,Canales C, Leduc M, Mahgu A,
Positive end expiratory during one lung
ventilation: an selecting ideal patients and
ventilator setting with the aim of improving
arterial oxygenation. [Home page on Internet].
c2011 [cited 2011 Nov 20].
Avalaible from:
http://www.annals.in/article.asp?issn=0971-
9784;
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Anaesthesia for thoracotomy. In: Clinical
anesthesiology. 4th ed. New York: Mc Graw-
Hill companies, 2006
6. Meredith LF, Body SC, Physiology of one
lung ventilation. [Home page on the Internet].
c1997 [cited 2011 Nov 20]. Avalaible from:
http://scv.sagepub.com/content/1/3/236
7. Slinger P, Management of one lung
ventilation. [Home page on the internet].
c2011[cited 2011 Nov 21]. Avalaible from:
http://www.thoracic-anesthesia.com/?p=21
8. Miller RD, Ericcson L, et.al. Anesthesia for
thoracic Surgery. In :Miller’s anaesthesia. 7th
ed, New York ,2011.
9. KarzaiW,Scharkopz, Hipoxia during One lung
ventilation: predicting ,prevention, and
treatment, anesthesiology. [Home page on
internet].c2009 [cited 2011 Nov 2001].
Avalaible
from:http://journals.lww.com/anesthesiology/F
ulltext/2009
10. Brodsky JB, Approaches to hypoxemia during
single lung ventilation, Anaesthesiology. [
Home page on internet]. c2009 [cited 2011
Nov 21]. Avalaible from:
http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12
v30n6.pdf
169
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
Ventilasi Mekanik Noninvasif
Dicky Hartawan*, Danu Soesilowati*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Mechanical ventilation can be invasive and noninvasive manner. Noninvasive ventilation as
an alternative to avoid the risks posed to the use of invasive ventilation, reducing the costand
length of treatment in intensive care. Noninvasive ventilation is divided into two negative
pressure ventilation and positivepressure ventilation. Noninvasive positivepressure
ventilation requires the interface such as a facemask, nasal shield, mouthpieces, nasal pillow
and helmet. Ventilators are used to control a ventilator volume, pressure, BiPAP and CPAP
ABSTRAK
Ventilasi mekanis dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi
noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada
penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif.
Ventilasi noninvasif terbagi 2 yaitu ventilasi tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif.
Ventilasi noninvasif tekanan positif memerlukan alat penghubung seperti sungkup muka,
sungkup nasal, keping mulut, nasal pillow dan helmet. Ventilator yang digunakan dapat
berupa ventilator kontrol volume, tekanan, BIPAP dan CPAP.
PENDAHULUAN
Ventilasi noninvasif merupakan teknik
ventilasi mekanis tanpa menggunakan pipa
trakea (endotracheal tube) pada jalan
napas. Sejarah pemakaian ventilasi
noninvasif dimulai pada tahun 1930-an
dengan teknik negative pressure
ventilation (NPV) berupa body ventilator.
John Dalziel pada tahun 1938
memperkenalkan bodyventilator dalam
bentuk tank type untuk penderita polio
yang terdiri atas ruang padat berisi udara
dengan posisi penderita duduk didalamnya
tetapi kepala di luar.1,2
Philip Drinker
mengembangkan bentuk body ventilator
lain dengan kekuatan listrikyang disebut
iron lung pada tahun 1928. Rocking bed
dikembangkan oleh Wright pada tahun
1940 saat terjadi epidemi polio.
Intermittent abdominal pressure respirator
atau lebih dikenal dengan pneumobelt
ditemukan pada tahun 1950 dengan alat ini
mulai dikenal metode noninvasive positive
pressure ventilation (NPPV) yang
digunakan secara intermiten atau terus-
menerus.2-5
170
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Penggunaan ventilasi mekanis invasif
mempunyai efektivitas yang berbeda
dengan ventilasi noninvasif. Tindakan
intubasi trakea pada ventilasi invasif
memiliki risiko komplikasi yang lebih
besar seperti cidera jalan napas atas,
paralisis pitasuara, stenosis trakea,
tracheomalacia, sinusitis dan ventilator
associated pneumonia (VAP). Dewasa ini
penggunaan ventilasi noninvasif semakin
berkembang dan membuat penderita
merasa lebih aman, nyaman, biaya
perawatan lebih murah serta waktu
perawatan lebih singkat dibandingkan
pemakaian ventilasi invasif.5 Indikasi
ventilasi noninvasif adalah penyakit paru
kronik yang berat, hipoventilasi nokturnal
yang berhubungan dengan disfungsi saraf
otot, gagal napas akut seperti keadaan
eksaserbasi penderita penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), gagal napas
hipoksemik akibat acute respiratory
distress syndrome (ARDS), pneumonia
pada pasien dengan atau tanpa
immunocompromised, trauma, edemaparu
kardiogenik dan penderita yang sulit
dilakukan penyapihan (weaning) dari
ventilasi invasif. Keberhasilan ventilasi
noninvasif ditentukan oleh pemilihan dan
pemakaian alat penghubung (interface),
tenaga kesehatan terlatih dan pengawasan
yang baik.3,4,6
Pemahaman mengenai
ventilasi noninvasif diperlukan mengingat
penggunaan dan manfaatnya yang semakin
berkembang pada saat ini.
FUNGSI PARU SEBAGAI SISTEM
RESPIRASI
Respirasi yang berlangsung terus-menerus
selama 24 jam merupakan proses yang
diatur oleh sistem terdiri atas sensor, pusat
dan efektor napas. Sensor napas membawa
input aferen ke pusat napas di medula
oblongata. Dua jenis sensor napas yaitu
mekanoreseptor berada di paru sedangkan
kemoreseptor terdapat di sentral dan
perifer berupa badan aorta (aortic body)
dan karotis (carotid body). Keduanya
memberikan respons terhadap perubahan
tekanan parsial oksigen (PaO2),
karbondioksida (PaCO2) dan pH. Pusat
napas akan memberikan perintah keefektor
napas yaitu otot napas, diafragma dan otot
bantu napas.7
Proses masuknya oksigen (O2) ke dalam
tubuh dan keluarnya karbondioksida(CO2)
dari dalam tubuh terjadi akibat kerja
mekanis otot bantu napas, perubahan
tekanan intrapleura dan intrapulmoner.
Saat inspirasi diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi muskulus
sternokleidomastoideus, interkostalis
eksternus, serratus, skalenus sehingga
volume rongga toraks membesar.
Peningkatan volume ini menyebabkan
tekanan intrapleura menurun menjadi lebih
negatif dari -4 mmHg menjadi -8 mmHg
dan tekanan intrapulmoner dari 0 mmHg
menjadi -2 mmHg, tekanan alveolar juga
menjadi lebih rendah (-1 mmHg) daripada
tekanan atmosfir (0mmHg). Perbedaan
tekanan intrapleura dan tekanan
intrapulmoner menyebabkan udara masuk
ke alveoli.8 Saat ekspirasi otot mengalami
relaksasi, volume rongga toraks menurun
sehingga tekanan intrapleura kembali
menjadi kurang negatif (-4mmHg), volume
alveolar menurun karena daya rekoil
alveolar, tekanan alveolar kembali naik
menyamai tekanan atmosfir dan udara
keluar alveoli.8 Proses masukdan
keluarnya udara ke jalan napas disebut
171
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ventilasi. Peningkatan PaCO2, penurunan
pH dan PaO2 akan merangsang
kemoreseptor di pusat napas untuk
meningkatkan ventilasi. Ventilasi yang
tidak berjalan normal memerlukan bantuan
berupa ventilasi invasif maupun
noninvasif. Ventilator adalah alat yang
mampumengambil alih proses pertukaran
gas di paru saat ventilasi tidak berlangsung
normal.7,8
VENTILASI MEKANIK
NONINVASIF
Penggunaan ventilasi mekanik invasif
memerlukan tindakan intubasi endotrakea
atau trakeostomi pada keadaan gagal napas
akut mengancam jiwa. Efektivitas ventilasi
invasif lebih tinggi daripada ventilasi
noninvasif namun dapat memberikan
berbagai komplikasi berat berupa risiko
trauma jalan napas, pneumonia
nosokomial, VAP, memperpanjang masa
perawatan di ruang intensif akibat
kesulitan penyapihan (weaning). Penderita
yang diintubasi mempunyai risiko sebesar
1% tiap
hari untuk terjadinya VAP. Penelitian
selama 3 minggu di Perancis pada 42
ruang rawat intensif mendapatkan
kejadian pneumonia nosokomial sebesar
10% pada ventilasi noninvasif dan 19%
pada intubasi endotrakea, angka kematian
lebih rendah pada ventilasi noninvasif
(22%) dibandingkan dengan intubasi
endotrakea(40%).9 Teknik ventilasi
noninvasif saat ini mulai digunakan secara
luas pada keadaan gagal napas akut karena
mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan ventilasi invasif
seperti tidak memerlukan pemakaian obat
penenang,memungkinkan penderita untuk
tetap berkomunikasi dengan petugas
kesehatan dan fungsi menelan serta batuk
masih dapat dipertahankan secara
alamiah.1 Ventilasimekanik noninvasif
terdiri atas dua bagian yaitu ventilasi
tekanan negatif danventilasi tekanan
positif.9
Ventilasi tekanan negatif
Prinsip ventilasi tekanan negatif adalah
memberikan tekanan pada dinding toraks
dan abdomen untuk mencapai tekanan di
bawah tekanan atmosfir saat inspirasi.
Tekanan ini menyebabkan rongga toraks
mengembang dan terjadi penurunan
tekanan di pleura dan alveolar sehingga
menimbulkan perbedaan tekanan yang
memungkinkan udara masuk ke alveoli.
Saat ekspirasi, tekanan dinding toraks
kembali sama dengan tekanan atmosfir dan
ekspirasi terjadi secara pasif dengan daya
elastik rekoil paru. Ventilator tekanan
negatif mempunyai duakomponen utama
yaitu keadaan kedap udara (airtight) dibuat
melalui ruang yang menutupi rongga
toraks dan abdomen secara ketat serta
pompa untuk menimbulkan perbedaan
tekanan di dalam ruang tersebut.10
Jenis
ventilator tekanan negatif antaralain tank
ventilator (Iron lung), shell ventilator
(chest cuirras), wrap ventilator
(pneumobelt) dan rocking bed. (gambar
1).9-11
Kondisi tertentu seperti penyakit
neuromuskular, kelainan dinding dada,
hipoventilasi sentral dan paralisis
diafragma, penggunaan ventilasi tekanan
negatif lebih banyak memberikan
manfaat.10,12
Manfaat lain ventilasi tekanan
172
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
negatif biladibandingkan dengan ventilasi
tekanan positif yang menggunakan
sungkup muka (mask) adalah penderita
masih dapat berbicara, batuk, menelan dan
makan selama penggunaan ventilator.
Jalan napas yang bebas pada ventilasi
tekanan negatif memungkinkan untuk
dilakukan penghisapan jalan napas dan
tindakan diagnostik maupun terapi dengan
menggunakan bronkoskop serat optik.9
Ventilasi tekanan positif
Noninvasive positive pressure ventilation
(NPPV) atau ventilasi tekanan positif
merupakan ventilasi noninvasif yang lebih
efektif dan nyaman dibandingkan dengan
cara ventilasi noninvasif lainnya dan lebih
banyak digunakan selama dekade
terakhir.9 Ventilasi tekanan positif
menggunakan sungkup atau alat
pengubung (interface) untuk
menghantarkan udara dari ventilator
tekanan positif melalui hidungatau mulut
sehingga udara masuk jalan napas. Prinsip
ventilasi tekanan positifadalah
memberikan udara dengan tekanan positif
atau diatas tekanan atmosfir secara
intermiten ke dalam jalan napas,
meningkatkan tekanan transpulmoner
sehingga terjadi pengembangan paru.
Proses ekspirasi terjadi secara pasif karena
daya rekoil paru dan bantuan otot bantu
napas. Penggunaan ventilasi tekanan
positif tergantung dari sistem ventilator
yang digunakan dan dirancang secara
efektif supaya penderita merasa nyaman
saat memakai sungkup dan kebocoran
udaradapat dikurangi.9,10
Ventilasi tekanan positif dapat digunakan
pada keadaan gagal napas akut maupun
kronik. Definisi gagal napas menurut
British Thoracic Society (BTS) adalah
terjadinya kegagalan proses pertukaran gas
secara adekuat ditandai dengan tekanan
gas darah arteri yang abnormal. Gagal
napas tipe 1 (hipoksemik) bilaPaO2 < 8
kPa (60 mmHg) dengan PaCO2 normal
atau rendah. Gagal napas tipe
2(hiperkapnik) terjadi bila PaO2 < 8 kPa
(60 mmHg) dengan PaCO2 > 6 kPa
(45mmHg). Gagal napas dapat akut, acute
on chronic dan kronik. Pembagian keadaan
ini penting untuk menentukan terapi
terutama pada gagal napas tipe 2. 3,12
Gambar 1. Ventilasi tekanan negatif, iron lung (kiri), rocking bed (kanan)
Dikutip dari (11)
173
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Gagal napas hiperkapnik akut terjadi bila
penderita mempunyai gangguan napas
minimal yang mengawali keadaan tersebut
dengan analisis gas darah menunjukkan
PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan
bikarbonat normal. Gagal napas
hiperkapnik kronik apabila terdapat
penyakit paru kronik, PaCO2 tinggi, pH
normal dan bikarbonat meningkat. Gagal
napas hiperkapnik acute on chronic apabila
terjadi perburukan tiba-tiba pada seseorang
yang sudah mengalami gagal napas
hiperkapnik sebelumnya, ditandai dengan
PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan
bikarbonat yang meningkat. Indikasi
penggunaan ventilasi noninvasif tekanan
positif dapat dilihat pada tabel 1 dan
kontraindikasinya pada tabel 2.3
Tabel 1. Indikasi NPPV
Indikasi
PPOK eksaserbasi dengan asidosis respiratorik
(pH<7,35)
Gagal napas hiperkapnik sekunder akibat kelainan
dinding dada (skoliosis,torakoplasti) atau Penyakit
neuromuskular
Edema paru kardiogenik yang tidak respons
terhadap CPAP
Proses weaning dari intubasi trakea
Dikutip dari (3)
Beberapa keadaan yang tidak
memungkinkan untuk penggunaan
ventilasi noninvasif antara lain gangguan
kesadaran, hipoksemia berat, sekret jalan
napas yang banyak dan keadaan lainnya
seperti terlihat pada tabel 2.3,4
Keuntungan
penggunaan ventilasi noninvasif antara
lain mengurangi tindakan intubasi atau
pemasangan endotracheal tube, waktu
perawatan lebih singkat dan berkurangnya
angka kematian pada penderita gagal
napas akut.3 Keuntungan lain ventilasi
noninvasif adalah mekanisme pertahanan
jalan napas tetap utuh dan fungsi menelan
tetap dapat dipertahankan.14
Perlu
dipahami bahwa ventilasi noninvasif
bukanlah sebagai terapi pengganti intubasi
trakea atau ventilasi invasif apabila secara
jelas terbukti bahwa ventilasi invasif
merupakan pilihan terapi untuk penderita.3
Tabel 2. Kontra indikasi NPPV
Kontra indikasi
Trauma atau luka bakar pada wajah
Pembedahan pada wajah, jalan napas atas, atau
saluran cerna bagian atas
Sumbatan jalan napas atas
Tidak mampu melindungi jalan napas
Hipoksemia yang mengancam jiwa
Hemodinamik tidak stabil
Penyakit penyerta yang berat
Gangguan kesadaran
Kejang/ gelisah
Muntah
Sumbatan usus besar
Sekret jalan napas berlebihan
Gambaran konsolidasi pada foto toraks
Pneumotoraks yang belum diatasi
Dikutip dari (3)
Alat penghubung (interface) NPPV
Enam tipe sungkup atau alat penghubung
NPPV yang dapat digunakan padagagal
napas akut yaitu sungkup muka penuh (full
face mask), total face mask,sungkup nasal,
keping mulut (mouthpiece) bantalan
hidung (nasal pillow) atau plugs dan
helmet.14
Sungkup muka yang paling
sering digunakan dan keuntungannya
biladibandingkan dengan sungkup nasal
adalah kemampuan untuk mencapai
tekanan jalan napas lebih tinggi, respirasi
melalui mulut, kebocoran udara lebih kecil
dan memerlukan kerjasama penderita yang
174
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
minimal. Kekurangannya adalah perasaan
kurang nyaman, penderita tidak dapat
berbicara, makan atau minum
selamaventilasi dan terdapat kemungkinan
aspirasi bila penderita muntah.14-16
Navalesi dkk melaporkan bahwa sungkup
nasal lebih ditoleransi daripada sungkup
muka dan bantalan nasal pada penderita
hiperkapnik kronik stabil. Kwok dkk
melaporkan penderita gagal napas akut
akibat edema paru kardiogenik lebih dapat
mentoleransi sungkup muka sementara
Wilson dkk mendapatkan bahwasungkup
nasal maupun sungkup muka sama
efektifnya dalam proses ventilasi.
14,17Bentuk sungkup nasal, sungkup muka
dan bantalan nasal dapat dilihat pada
gambar 2. Sungkup nasal (kiri) hanya
menutupi bagian hidung, nasal pillow
(tengah) dansungkup muka (kanan)
menutupi hidung dan mulut.10
Ventilator untuk pemberian NPPV
Noninvasive Positive Pressure Ventilation
(NPPV) dapat digunakan dengan berbagai
jenis ventilator yang tersedia. Pada
keadaan kronik, ventilator volume maupun
tekanan dapat digunakan. Ventilator
tekanan lebih dianjurkan untuk keadaan
akut karena dapat diatur besar aliran.
Beberapa jenis ventilator yaitu volume
ventilators, pressure ventilators, Bilevel
positive airway pressure (BiPAP) atau
Continous positive airway pressure
(CPAP) seperti terlihat pada tabel 3.3,9-11,18
Tipe Noninvasive positive pressure ventilation
Volume mechanical ventilation
Pressure mechanical
Bilevel positive airway pressure
Continous positive airway pressure
Volume tidal 250-500 ml ( 4-8ml/kg tekanan bervariasi)
Ventilation Tekanan 8-20 cm H2O
Tekanan akhir ekspirasi 0-6 cm H2O
Volume bervariasi
Tekanan inspirasi 6-14 cm H2O
Tekanan akhir ekspirasi 3-5 cm H2O
Volume bervariasi
Tekanan konstan 5-12 cm H2O
Volume bervariasi
Tabel 3. Tipe NPPV
Dikutip dari (10)
Gambar 2. Sungkup pada NPP
Dikutip dari (10)
175
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
MODE VENTILASI NON INVASIF
Ventilasi Mekanik Kontrol (Control
Mechanical Ventilation/ CMV)
Ventilasi mekanik tipe kontrol/ control
mechanival ventilation (CMV), support
ventilasi seluruhnya diberikan dan tidak
ada usaha dari pasien. Tekanan inflasi,tidal
volume, frekuensi dan waktu tiap
bernapas diset atau ditentukan. Kontrol
tekanan menghasilkan volume tidal tidak
tergantung resistensi aliran, keterbatasan
aliran udara compliance paru dan dinding
dada. Kontrol volume, tidal volume diset
dan hasil tekanan yang dibutuhkan untuk
menghantarkan volume ini ditentukan oleh
compliance sirkuit dan mekanik toraks.8,9
Assist / Control ventilation
Bentuk ini terlihat sejumlah pernapasan
yang dikendalikan permenit yang akan
dihantarkan pada pasien tanpa usaha
napas, sama seperti CMV, pernapasan
yang diberikan ditentukan oleh setting
volume atau tekanan dan lama ekspirasi
atau inspirasi. Pasien dapat bernapas tanpa
dihalangi mesin tetapi mesin memberikan
pernapasan yang terkendali. Pencegahan
inflasi yang berlebihan dilakukan melalui
bernapas tambahan, ventilator diprogram
untuk gagal menghantarkan melalui
variable periode lock out/ kunci. Pada
keadaan frekuensi napas yang meningkat,
periode kunci harus diperpendek.
Pernapasan pencetus dari pasien yang
lebih lambat dari pernapasan berikutnya
dari mesin sehingga disebut sinkronisasi
antara pernapasan pasien sendiri dan dari
mesin (SIMV).8,10
Assisted Spontaneous Breathing
(Pernapasan spontan yang dibantu)
Pernapasan spontan yang dibantu pada
pasien dengan usaha napas dicetuskan saat
ventilator on atau off. Bentuk ini biasanya
meliputi setting tekanansering disebut
pressure support. Jika pasien gagal untuk
membuat usaha napas,tidak ada
pernapasan kendali dari mesin yang
terjadi.8
Continous positive airway pressure
(CPAP)
Continous positive airway pressure
digunakan pada pasien dengan gagal
napas akut untuk mengoreksi hipoksemia.
Hal ini yang mendasari pemberian oksigen
inspirasi kandungan tinggi, meningkatkan
rerata saluran napas dan akan memperbaiki
ventilasi untuk mencegah daerah paru
menjadi kolaps. Continous positive airway
pressure akan menguras kerja otot
inspirasi sehingga kerja inspirasi
berkurang walaupun secara konvensional
CPAP tidak dipertimbangkan sebagai
support ventilasi dan indikasi utama adalah
untuk mengoreksi hipoksemia. Aliran
generator pada CPAP akan
mempertahankan tekanan yang diinginkan
melaui siklus pernapasan. Pada terapi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) generator
dapat memberikan aliran rendah yang
cukup sebagai ventilasi semenit dan aliran
puncak inspirasi rendah. Keunggulan
CPAP dapat meningkatkan kapasitas
residu fungsional,membuka alveoli kolaps
atau dengan ventilasi alveoli yang
menurun, menurunkan pirau intrapulmoner
176
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
serta memperbaiki oksigenasi. Efek pada
gangguan jantungadalah menurunkan
tekanan transmural ventrikel kiri,
menurunkan beban akhir dan
meningkatkan curah jantung sehingga
CPAP dapat digunakan pada
penderitaedema paru akut. Pasien PPOK
yang mengalami distress mengalami
peningkatan ventilasi semenit, frekuensi
tinggi dan waktu inspirasi pendek mungkin
akan menyebabkan aliran puncak inspirasi
lebih dari 60 l/m, aliran yang tinggi
inidibutuhkan untuk mencegah penurunan
tekanan yang digunakan. Beberapa
modeCPAP dapat menghantarkan aliran
adekuat. Generator CPAP tipe ini
membutuhkan suplai oksigen tekanan
tinggi. Masker CPAP biasanya
mendapatkan tekanan udara melalui satu
katup ekskalasi.8,9
Bi-level pressure support
Pressure support dan CPAP sering
digunakan sebagai kombinasi Bi-level
Pressure Support (BiPAP). Ventilasi
dihasilkan oleh tekanan inspirasi positif
saluran napas/ inspiratory positive airway
pressure (iPAP) sedangkan expiratory
positive airway pressure (EPAP)
menerima paru tidak terventilasi dan
mengimbangi PEEP intrinsik, EPAP juga
menyediakan gas yang mengalami
ekshalasi keluar melalui lubang
pembuangan.3,4
Proportional Assist Ventilation (PAV)
Proportional Assist Ventilation merupakan
teknik alternative yang memberikan
baikaliran udara maupun volume yang
secara independen dapat disesuaikan. Hal
ini untuk memperbaiki kenyamanan pasien
dan memperbaiki compliance.9,10
INDIKASI PENGGUNAAN
VENTILASI NONINVASIF
Penelitian terhadap penggunaan ventilasi
noninvasif serta keberhasilannyatelah
banyak dilakukan. Keadaan gagal napas
akut seperti pada PPOK eksaserbasi,
edema paru kardiogenik, keadaan
immunocompromised direkomendasikan
untukmenggunakan ventilasi non invasif
sebagai pilihan terapi.3,1
Manfaat
penggunaanventilasi noninvasif pada
asma, pascareseksi paru, penderita yang
menolak intubasi, ARDS dan pneumonia
berat kurang terbukti dari penelitian.
Penggunaan NPPV pada kondisi gagal
napas kronik akibat penyakit
neuromuskular, kelainan dinding dada,
memperlihatkan perbaikan gejala,
pertukaran gas dan kualiti hidup. Pada
OSA biasanya terjadi hipoventilasi
alveolar sehingga dapat digunakan
intermitten positive airway pressure
(iPAP), CPAP dan BiPAP. Pada penyakit
neuromuscular gagal napas yang terjadi
terlihat pada gerakan otot bantu napas
sehingga terjadihiperkapnia. 9
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Ventilasi noninvasif menjadi pilihan terapi
utama dalam penatalaksanaan PPOK
eksaserbasi berdasarkan berbagai
penelitian.3,4
Berkurangnya tindakan
intubasi, lama perawatan dan angka
kematian dengan pemakaian ventilasi
noninvasif pada penderita PPOK
didapatkan dari penelitian meta
analisis.4,19-21
177
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Keberhasilan ventilasi noninvasif pada
PPOK eksaserbasi dapat diprediksi
apabilaterdapat keadaan asidosis ringan,
tidak ada penyakit penyerta, pemasangan
sungkup adekuat, perbaikan pH dan
berkurangnya frekuensi napas
selamapemakaian ventilasi noninvasif.4
Penggunaan ventilasi noninvasif pada 236
penderita PPOK eksaserbasi di Inggris
menurunkan tindakan intubasi dari 27%
menjadi 15% dan menurunkan angka
kematian dari 20% menjadi 10%.4 Plant
dkk dikutip dari 18 mendapatkan
penurunan tindakan intubasi, angka
kematian serta perbaikan pH darah,
frekuensi napas dan keluhan sesak napas
pada penderita PPOK yang mendapat
ventilasi noninvasif. Penelitian Todisco
dkk pada penderita gagal napas kronik
yang mengalami eksaserbasi,
menggabungkan penggunaan iron lung
(ventilasi tekanan negatif) dengan NPPV
pada 152 penderita mendapatkan angka
keberhasilan sebesar 81,6% mengurangi
tindakan intubasi dan trakeostomi (13,8%)
serta mempersingkat masa perawatan.22
Asma
Ventilasi noninvasif tidak
direkomendasikan untuk digunakan secara
rutin pada penderita asma karena
kurangnya penelitian tentang hal tersebut.
Penelitian dalam jumlah besar masih
diperlukan untuk mendukung penggunaan
ventilasi noninvasif pada keadaan status
asmatikus. Penderita asma yang mendapat
terapi ventilasi noninvasif harus diawasi
ketat dan apabila tidak didapatkan
perbaikan dalam 1-2 jam pertama, maka
segera dilakukan intubasi mengingat
perburukan yangcepat sangat mungkin
terjadi.3,4,19
Edema paru kardiogenik
Penggunaan ventilasi noninvasif pada
keadaan ini didukung oleh banyak
penelitian. Keuntungan yang didapatkan
adalah peningkatan kapasitas residu
fungsional, terbukanya alveoli yang
kolaps, peningkatan compliance paru dan
berkurangnya kerja otot pernapasan.
Peningkatan tekanan intratoraks juga akan
memperbaiki kerja jantung karena
berkurangnya beban ventrikel sebelum dan
sesudah kontraksi. Penelitian meta analisis
menemukan bahwa terdapat penurunan
tindakan intubasi dan angka kematian
pada penderita dengan menggunakan
ventilasi noninvasif.3,4,19,25
Gagal napas pada penderita immune
compromised.
Penderita yang mendapat transplantasi
organ atau sumsum tulang yang
menggunakan ventilasi noninvasif
menunjukkan penurunan tindakan
intubasi,angka kematian di ruang intensif
dan berkurangnya lama perawatan.24,25
Hasil yang sama juga didapatkan pada
penderita acquired immune deficiency
syndrome (AIDS) diperkirakan karena
ventilasi noninvasif mengurangi terjadinya
risiko infeksi akibat tindakan intubasi
termasuk VAP, infeksi nosokomial lainnya
dan syok sepsis.19
Proses weaning di ruang rawat intensif
Penggunaan ventilasi noninvasif
direkomendasikan BTS untuk proses
weaning pada penderita yang mendapat
178
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ventilasi invasif dan digunakan bila proses
weaning dengan cara konvensional tidak
berhasil.3,4
Lima puluh penderita PPOK
yang diintubasi dan setelah 48 jam
diterapi dengan ventilasi noninvasif
menunjukkan perbaikan dalam proses
weaning setelah 60 hari, berkurangnya
lama pemakaianventilasi mekanis dan
singkatnya perawatan di ruang intensif bila
dibandingkandengan kontrol.18,19,24
Pengawasan
Pengawasan secara ketat terutama pada
periode awal pemakaian merupakan salah
satu kunci keberhasilan pada ventilasi
noninvasif. Hasil yang diharapkan pada
ventilasi noninvasif antara lain didapatkan
perbaikan keluhan sesak napas, pertukaran
gas, berkurangnya usaha napas,
memperkecil komplikasi,mempertahankan
kenyamanan penderita dan menghindari
intubasi.9 Faktor penderita, pemeriksaan
fisis, parameter ventilator, analisis gas
darah dan lokasi ventilator merupakan
faktor-faktor yang perlu diperhatikan
seperti terlihat pada tabel4.19
Tabel 4. Pengawasan ventilasi noninvasif
Pengawasan
Subjektif
penderita
Pemeriksaan Fisik
Ventilator
Kenyamanan terhadap
sungkup, toleransi terhadap
seting ventilator, distress
pernapasan
Frekuensi pernapasan, tanda
vital,penggunaan otot bantu
pernapasan
Kebocoran udara, bantuan
tekanan yang adekuat, PEEP
yang adekuat, volume tidal
(5-7ml/kg), sinkronisasi
Pertukaran gas
Lokasi
pasien-ventilator
Oksimetri, analisis gas
darah awal dan 1-2 jam
berikutnya sesuai indikasi
Ruang rawat intensif atau
ruang rawat biasa
Dikutip dari (19)
DAFTAR PUSTAKA
1. Mehta S, Hill N. Noninvasive ventilation. Am J
Respir Crit Care Med2001;163:540-77.
2. Hill N. Noninvasive mechanical ventilation. In:
Bone R editor. Pulmonary andcritical care
medicine. 5th ed. Chicago: Mosby-Year book,
Inc;1997.p.1-21.
3. British Thoracic Society standars of care
committee. Noninvasive ventilation inacute
respiratory failure. Thorax 2003;57:192-211.
4. Elliot MW. Non-invasive ventilation for acute
respiratory disease. British MedicalBulletin
2004;72:83-97.
5. Antonaglia V, Pascotto S, Piller F. Advanced
Modalities in Negative-PressureVentilation. In:
Lucangelo U editor. Respiratory system and
artificial ventilation.New York: Springer;
2008.p.221-35.
6. Tobin MJ. Critical care medicine in AJRCCM
2003. Am J Respir Crit Care Med2004; 169:239-
53.
7. Santos FB, Nagato LKS, Zin WA. Control of
brething. In: Lucangelo U editor.Respiratory
system and artificial ventilation. New York:
Springer;2008.p.3-20.
8. Levitzky MG. Mechanics of breathing. In:
Pulmonary physiology. 6th ed. NewYork:
McGraw-Hill;2003.p.11-25.
9. Corrado A, Gorini M. Negative pressure
ventilation. In: Tobin MJ editor.Principles and
practice of mechanical ventilation. 2nd ed. New
York: McGraw- Hill;2006.p.421-19.
10. Hillberg RE, Johnson DC. Noninvasive
ventilation. N Engl J Med 2007;337:1746-52.
11. Hill N, Kramer N. Type of noninvasive
nocturnal ventilatory support inneuromuscular
and chest wall disease. [cited 2008 March 8 ].
Available
from:http://cmbi.bmju.edu.cn/uptodate/pictures/p
ulm_pix/rocking_.gif.
12. Fauroux B, Lofaso F. Non-invasive mechanical
ventilation: when to start for whatbenefit?
Thorax 2005;60:979-80.
13. Butler V. Noninvasive ventilation in audit
accross the North Central LondonCritical Care
179
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Network. Intensive and Critical Care Nursing
2005;21:243-56.
14. Nava S, Ceriana P. Patient-ventilator interaction
during noninvasive positivepressure ventilation.
Respir Care Clin 2005;11:281-93.
15. Roy B, Cordova FC, Travaline M. Full face
mask for noninvasive
positivepressureventilayion in patients with
acute respiratory failure. J Am OsteopathAssoc
2007; 107:148-56.
16. Costa R, Navalesi P, Antonelli M. Physiologic
evaluation of different levels ofassistance during
nononvasive ventilation delivered through
helmet. Chest2005;128:2984-90.
17. Willson GN, Piper AJ, Norman M. Nasal versus
full face mask for noninvasiveventilation in
chronic respiratory failure. Eur Respir J
2004;23:605-9.
18. Liesching T, Kwok H, Hill NS. Acute
application of noninvasive positive
pressureventilation. Chest 2003;124:699-713.
19. Hill NS, Brennan J, Garpestad E, Nava S.
Noninvasive ventilation in acuterespiratory
failure. Crit Care Med 2007;35:2402-7.
20. Lightowler J, Wedicha JA, Elliot MW.
Noninvasive positive pressure ventilation totreat
respiratory failure resulting from exacerbation of
COPD. BMJ2003;326:185-7.
21. Crummy F, Buchan C, Miller B. The use of
noninvasive mechanical ventilation inCOPD
with severe hypercapnic acidosis. Respiratory
Med 2007;101:53-61.
22. Todisco M, Baglioni S, Aslami A. Treatment of
acute exacerbation of chronicrespiratory failure,
integrated use of negative pressure ventilation
andnoninvasive positive pressure ventilation.
Chest 2004:125;2217-23.
23. Penuelas O, Vivar FF, Esteban A. Noninvasive
positive pressure ventilation inacute respiratory
failure. CMAJ 2007;177:1211-8.
24. Antonelli M, Conti G, Bufi M, et al:
Noninvasive ventilation for treatment of
acuterespiratory failure in patients undergoing
solid organ transplantation: Arandomized trial.
JAMA 2000;283:235-41.
25. Hilbert G, Gruson D, Vargas F, et al:
Noninvasive ventilation in immunosuppressed
patients with pulmonary infiltrates and acute
respiratoryfailure. N Engl J Med 2001; 344:481-
7
180
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
TINJAUAN PUSTAKA
Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care
Aprilina Rusmaladewi*, Ery Leksana*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Anesthesia plays an important role on the development of the Pediatric Intensive care
because anestesiologist knowledge and skills in managing the airway and breathing,
circulation and vascular access monitoring. Pediatric Anesthesia is also a leader in the
management of childhood respiratory and intensive care. Anesthesia knowledge and skills in
acute and emergency in the operating room and the skills to provide basic life support to
make a lot of anesthetic to be a leader in the PICU.
ABSTRAK
Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care
karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan
pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga menjadi leader
pada pengelolaan pernafasan pada anak dan intensive care. Ilmu pengetahuan anestesi dan
keterampilan pada keadaan akut dan emergensi di dalam ruang operasi dan keterampilan
dalam memberikan bantuan hidup dasar menjadikan anestesi menjadi leader di banyak
PICU.
PENDAHULUAN
Perioperatif care yang optimal pada bayi
dan anak – anak membutuhkan tenaga dan
peralatan medis yang optimal. Pediatric
Intensive Care menawarkan keadaan yang
vital yang merupakan komponen penting
untuk pemeliharaan kesehatan bayi dan
anak – anak.
Pediatric Intensive Care adalah bagian
dari ilmu yang mempunyai fokus pada
clinical care, ilmu dan penelitian serta
penanganan kesehatan bagi bayi, anak dan
dewasa muda yang mempunyai
penyakit yang berpotensial mengancam
nyawa. Tujuan dari Inten sive care ini
adalah memperbaiki keadaan umumanak
yang memiliki penyakit yang mengancam
nyawa dengan rasa nyeri yang minimal,
kecemasan dan komplikasi serta
menawarkan rasa nyaman pada pasien dan
keluarga.1
Pertama kalinya Pediatric Intensive Care
(PICU) didirikan di sebuah rumah sakit
untuk anak pada tahun 1955 di Eropa dan
pada tahun 1967 di Amerika Utara. Di
kebanyakan PICU tenaga medis dan
perawat memberikan pelayanan yang full
time, dimana tenaga medis sering disebut
sebagai Pediatric Intensivists dan
181
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
subspesialisasinya disebut sebagai
Pediatric Critical Care Medicine.1
ANESTESI PEDIATRI
Anestesi memegang peranan penting
terhadap perkembangan Pediatric Intensive
care semenjak epidemik penyakit polio
sekitar tahun 1950 sampai 1980 karena
ilmu pengetahuan dan keterampilan
anestesiologist dalam mengelola jalan
nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi
dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga
menjadi leader pada pengelolaan
pernafasan pada anak dan intensive care.
Ilmu pengetahuan anestesi dan
keterampilan pada keadaan akut dan
emergensi di dalam ruang operasi dan
keterampilan dalam memberikan bantuan
hidup dasar menjadikan anestesi menjadi
leader di banyak PICU. 2
PERBEDAAN FUNDAMENTAL
ANTARA ANAK-ANAK dan DEWASA
Selama perkembangan anak – anak
menjadi dewasa terdapat beberapa prinsip
yang mendasar yang harus diketahui
tenaga medis sebagai clinician sehingga
dapat menjadi pedoman dalam
membedakan anak yang normal dengan
anak yang sedang sakit. 3
Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi
Karena besarnya produksi CO2 pada anak
maka peningkatan volume semenit
dibutuhkan untuk mendapatkan keadaa
normocarbia, sehingga akan terjadi
peningkatan frekuensi nafas dengan tidal
volume yang konstan atau peningkatan
tidal volume dengan frekuensi nafas yang
konstant. Sistem pernafasan pada anak
juga mempunyai kompliance paru yang
rendah karena kurangnya sistem konduksi
dan jumlah total alveoli yang masih rendah
sehingga FRC juga masih rendah. pada
anak anak jika mereka memilih sistem
pernafasan dengan tidal volume yang besar
mereka membutuhkan stabilisasi otot –
otot intercostal sehingga membutuhkan
energi yang besar sehingga pada bayi dan
anak – anak mereka memilih sistem
pernafasan dengan frekuensi nafas yang
tinggi dibandingkan dengan tidal volume
yang meningkat karena mengurangi
jumlah energi yang akan dikeluarkan.3
Anatomi dan Fisiologi Sistem
Cardiovaskular
Neonatal mempunyai cardiac output 2 – 3
kali lebih besar daripada dewasa atau
sekitar 180 – 240 ml/kgBb/menit.
Konsumsi Oksigen dapat digunakan untuk
memperkirakan Cardiac Output
menggunakan Fick Principle : Q
(dl/minute) = Vo2 (mL/menit)
(a-v) Do2 (mL/dL)
Dimana : (a-v) Do2 adalah konstan
(5mL/dL), dan oksigen uptake
proportional dengan dengan cardiac output
( 3xkg3/4 untuk anak – anak) 3
Massa Otot jantung pada bayi baru lahir
dan anak – anak lebih kecil dibanding
dewasa, dimana fungsi ventrikel belum
sempurna. Baroreseptor , seperti fungsi
miokard berkembang setelah lahir.
Sensitifitas dari baroreseptor carotid
seperti peningkatan tekanan arteri mulai
berkembang saat trimester 3 kehamilan
dan satu bulan setelah kelahiran. Setelah
lahir sensitifitas baroreseptor meningkat
182
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
sampai usia 6 minggu dimana perubahan
terbesar terjadi pada usia 2 minggu. 3
Anatomi dan fisiologi fungsi renal
Kebutuhan cairan pada bayi dan anak –
anak lebih besar dibanding dewasa karena
pada bayi dan anak – anak terjadi
peningkatan kebutuhan kalori, produksi
panas, volume dan luas permukaan tubuh
dibandingkan massa tubuhnya.
Berkembangnya fungsi renal terjadi mulai
usia beberapa minggu sampai 1 bulan
kehidupan sementara Glomerular filtration
rate (GFR) meningkat segera setelah
lahir.3
Sistem Gastrointestinal dan
Perkembangannya
Terdapat perbedaan antara anak dan
dewasa baik secara anatomi maupun
fungsinya terutama pada esofagus. Bagian
distal esofagus pada bayi tidak berfungsi
untuk peristaltik seperti dewasa. Sekitar
40% dari bayi baru lahir mudah
mengalami regurgitasi sampai usia
beberapa bulan. Esofagus juga berukuran
lebih pendek dan dapet menjadi
inkompeten selama terjadi distensi
lambung sering terjadi saat bayi menangis
maupun saat induksi anestesi
menggunakan masker. Perkembangan
yang abnormal dari traktus gastrointestinal
seperti atresia esofagus dengan fistula
tracheoesofagus, atresia atau stenosis
intestinal, duplikasi atau diverticulitis, atau
defek abdominal seperti gastroschisis atau
omfalocel dan malrotasi dapat
mempengaruhi fungsi normal lambung dan
fungsi esofagus.
Hepar berkembang dengan cepat dan
menempati tempat terbesar di rongga
abdominal. Glukoneogenesis dan sintesis
protein mulai berkembang pada usia
kehamilan 3 bulan, namun simpanan
glikogen lebih sedikit dibanding dengan
dewasa sehingga anak lebih rentan
terhadap hipoglikemia terutama anak
dengan gizi yang kurang atau dengan
gangguan metabolisme karbohidrat.3
Susunan Syaraf Pusat
Otak merupakan organ utama yang
berperan dalam perkembangan sistem
syaraf pusat. Selama usia bayi dan anak –
anak otak terus berkembang. Pada hewan
uji yaitu tikus, perkembangan otak secara
cepat terjadi pada usia 0-6, 8-12 dan 17 –
23 hari setelah lahir sedangkan
perkembangan secara lambat terjadi pada
usia 6-8, 12-17, dan setelah usia 23 hari.
hal ini hampir sama dengan perkembangan
pada manusia dimana perkembangan
mencapai puncaknya pada usia 11 – 15
tahun.3
Disfungsi akut miokard yang berat
merupakan faktor utama yang
menyebabkan mortalitas dan morbiditas
pada anak yang membutuhkan perawatan
yang intensif. Berbeda dengan dewasa,
henti jantung pada anak – anak jarang
terjadi dan biasanya tidak hanya berasal
dari jantung sebagai penyebab utamanya
namun juga dapat berasal dari gagal nafas
atau syok.4
FISIOLOGI KARDIOVASKULAR
Struktur Dasar Jantung dan Fungsi
Jantung manusia berfungsi untuk
memompa darah ke paru dan sirkulasi
sistemik. Jantung terdiri dari dua atrium
yang menerima darah balik dan dua
183
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
ventrikel yang memompa darah dan katub
yang berfungsi untuk mencegah aliran
darah balik dan sistem konduksi yang
menyalurkan impuls listrik yang
menjalankan kerja jantung. Impuls listrik
ini disebarkan dan dirubah menjadi
aktivitas mekanis melalui interaksi
biochemical yang mencakup beberapa ion
seperti Na+, Ca
++ dan K
-.
3,5
Elektrofisiologi
Ritme jantung dan kontraksi yang teratur
diatur oleh impuls elektrik. Setiap
potensial aksi ini dimulai dari nodus SA
yang merupakan kumpulan sel miocard
yang ada atrium kanan. Sel – sel tersebut
secara aktif memberikan impuls listrik
(depolarisasi). Impuls tersebut kemudian
disebarkan ke seluruh atrium melalui sel
ke sel sampai depolarisasi mencapai nodus
AV yang berada di atrium kanan. Karena
atrium dan ventrikel terpisah oleh jaringan
fibrous pada katub trikuspid dan katub
mitral maka impuls hanya disalurkan
melalui nodus AV dan dilanjutkan oleh
bundel HIS dan serabut Purkinje pada
ventrikel. 5
Potensial Aksi dan Istirahat
Pada saat istirahat sel myosit jantung
mempunyai tekanan listrik yang negatif
dibanding dengan extraseluler. Hal ini
dihasilkan oleh aktivitas ion chanel dan
transportasi melalui membran sel dan
kemampuan dari myosit untuk
menyalurkan impuls listrik. 5
Otonomik Jantung
Otonomik jantung adalah kemampuan
intrinsik cardiomiosit untuk
berdepolarisasi secara spontan dan
menghantarkan potensial aksi yang
meliputi pacemaker, nodus SA dan nodus
AV. Sel HIS dan serabut Purkinje serata
ventrikular myocard juga secara spontan
berdepolarisasi. Jika terdapat gangguan
fungsi jantung maka sistem otonomik
tersebut dapat mengalami penurunan
konduksi yang menghasilkan
keterlambatan konduksi dan depolarisasi. 5
FUNGSI JANTUNG
Fungsi dari sistem kardiovaskular adalah
untuk memberikan oksigen dan substansi
metabolik untuk memenuhi kebutuhan
jaringan. Fungsi kardiovaskular dapat
dinilai seperti fungsi kontraktilitas, fungsi
pompa jantung, dan delivery oksigen.
Penilaian fungsi jantung mungkin dapat
tanpa disertai informasi yang memadai
tentang penyakit yang dihadapi. Sebagai
contoh pengukuran cardiac output
biasanya tanpa disertai dengan informasi
mengenai kontraktilitas jantung. Pasien
dengan cardiomiopati yang berat
mempunyai cardiac output yang terbatas
tanpa gejala-gejala syok cardiogenik
seperti asidosis atau oligouria namun
mempunyai gangguan kontraktilitas dan
184
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
fungsi pompa jantung yang berat,
sedangkan pasien dengan syok septik
dapat mengalami peningkatan cardiac
output namun output yang dihasilkan
masih belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme yang
menunjukkan adanya fungsi
cardiovaskular yang kurang adekuat.1
Cardiac output merupakan interaksi antara
ventrikel kiri dan kanan serta sirkulasi
arteri dan vena. Pasien dewasa biasanya
mempunyai disfungsi ventrikel kiri yang
disebabkan karena iskemik sedangkan
anak – anak biasanya mengalami disfungsi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh
hipertensi pulmoner atau penyakit jantung
bawaan. 1,6
Hal – Hal yang Mempengaruhi Fungsi
Jantung
Fungsi pompa jantung ditentukan oleh
banyak faktor seperti preload, afterload,
kontraktilitas, pengisian diastolik dan heart
rate. Cardiac output merupakan produk
dari stroke volume dan heart rate.
Meskipun fungsi pompa jantung sangat
menentukan cardiac ouput namun interaksi
dari sistem syaraf juga sangat menentukan. 5,6
Preload
Preload merupakan keadaan awal dari otot
sebelum kontraksi dimulai. Preload lebih
akurat dalam menggambarkan hubungan
antara tekanan dengan perubahan volume
pada jantung. Hukum Frank – Starling
menegaskan bahwa preload meningkat
maka stroke volume dan kapabilitas
tekanan juga meningkat.
Preload menggambarkan status
intravaskular pasien, dimana status volume
secara klinis dilakukan dengan mengukur
Central Venous Pressure (CVP) dimana
hasilnya ekuivalent dengan tekanan end-
diastolik ventrikel kanan. Dengan
menganggap ventrikel compliane normal
(hubungan tekanan-volume) dan tidak
terdapatnya srenosis trikuspid (mitral)
maka CVP dapat digunakan untuk
mengukur preload. Namun pada keadaan
tertentu CVP tidak dapat digunakan untuk
menggambarkan preload, seperti pada
keadaan dimana compliance ventrikel
buruk akibat disfungsi diastolik atau
pericarditis konstriktif maka CVP
kemungkinan didapatkan hasil CVP yang
rendah. 5,7
Afterload
Afterload menggambarkan tekanan
dinding ventrikel selama kontraksi. Secara
klinis afterload dianggap sebagai Systemic
Vascular Resistance (SVR) yang
ditentukan oleh resistensi arteriolar. Sesuai
dengan hukum LaPlace, tekanan dinding
berhubungan dengan tekanan ventrikel dan
diameter ventrikel. Pada otot lurik,
afterload adalah beban yang masih dapat
ditahan setelah adanya stimulasi. Sebuah
otot lurik yang terstimulasi akan
berkontraksi secara isometrik sama
berkembang kekuatan untuk mengatasi
pemendekan massa. Jika sebuah otot siap
siap berkontraksi, tekanan yang
berkembang sebelum pemendekan
merupakan afterload. Jika preload
dipertahankan konstan, maka peningkatan
afterload akan mengurangi heart rate dan
memperbanyak pemendekan otot. 5,7
185
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Kontraktilitas
Kontraktilitas merupakan kemampuan
intrinsik dari otot jantung untuk
menghasilkan tenaga dimana kontraktilitas
ini bersifat independent terhadap preload
dan afterload. Kontraktilitas jantung
berdasar pada panjang serat otot dan
kemampuan serat otot untuk berkontraksi.
Kontraktilitas seperti afterload merupakan
salah satu faktor yang penting dalam
menentukan konsumsi oksigen jantung.
Faktor yang mepengaruhi kontraktilitas
adalah latihan, stimulasi adrenergik, agen
– agen vasoaktif (katekolamin, inhibitor
phosphodiesterase) dan dapat menurun
pada kondisi yang mendepresi inotropik
seperti disfungsi sistolik. Pada cardiac
output yang rendah (cardiomyopati) dapat
diberikan obat – obatan untuk
memperbaiki keadaan jantung seperti
dobutamin, epinefrin dosis rendah,
milrinon atau digoksin untuk mengurangi
kontraktilitas. 5,7
Variabel Hemodinamik Anak – Anak
Menurut Usia 11
KEGAWATAN JANTUNG PADA
ANAK–ANAK DAN
PENANGANANNYA
Fungsi dan Disfungsi Diastolik
Abnormal fungsi diastolik merupakan
disfungsi jantung yang paling sering
terjadi di ICU. Pasien – pasien yang
mengalami sakit kritis dapat mengalami
penurunan cardiac output yang disebabkan
karena adanya disfungsi diastolik seperti
pada pasien postoperasi Tetralogy of
Fallot.
Diastolik memiliki 4 fase yaitu :
Fase relaksasi isovolemik
merupakan suatu proses dimana tekanan
intraventrikular turun dengan cepat tanpa
terjadinya peningkatan volume ventrikel.
Fase pengisian cepat
Sebagian ventrikel kiri terisi dengan cepat
pada jantung normal setelah katub
atrioventrikular terbuka.
Diastasis atau pengisian lambat
Diastasis adalah periode antara pengisian
cepat dan sistolik atrium dimana biasanya
terjadi sedikit pengisian pada ventrikel.
Sistolik atrium atau pengisian fase lambat
Sistolik atrium atau pengisian fase lambat
memberikan 15% pada pengisian ventrikel
pada akhir diastolik. Sistolik atrium
memberikan kontribusi yang besar saat
pengisian ventrikel pada disfungsi sistolik
/ disfungsi diastolik maupun kombinasi
keduanya. 1
Heart Rate dan Sinkronisasi Jantung
Denyut jantung merupakan faktor penting
pada cardiac output terutama pada
neonatus dimana mekanisme untuk
meningkatkan cardiac output terbatas.
186
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Ketika stroke volume bertahan konstan
maka cardiac output sangat bergantung
dari heart rate, dimana peningkatan heart
rate akan meningkatan kekuatan kontraksi
ventrikel.
Patofisiologi Gangguan Fungsi Jantung
Kronis
Gagal jantung merupakan suatu sindrom
disfungsi jantung yang mengakibatkan
kongesti sirkulasi dan respon
neuroendokrin. Gagal jantung dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi miokard
primer, overload cairan atau overload
tekanan pada jantung. Permasalahan utama
adalah ketidakmampuan miokard untuk
menghasilkan tenaga untuk melawan
beban yang diberikan. Peningkatan cairan
intravaskular disebabkan karena adanya
aktivasi dari sistem Renin Angiotensin
Aldosteron (RAA). 1
Aktivasi dari sistem neurohormonal
maladaptif menyebabkan terjadinya
trauma miokard. Remodelling secara
kronis menyebabkan hipertrofi
cardiomiocyt, hiperplasi fibroblast yang
dapat mepengaruhi kontraktilitas dan
mengakibatkan gagal jantung kronis.
Gagal jantung pada anak – anak
berbeda dengan dewasa pada etiologi dan
patofisiologinya dimana perbedaan utama
berdasar pada perbedaan antara miokard
yang immatur dan matur. Pada jantung
yang immatur dibanding dengan dewasa
mengandung banyak collagen yang
membutuhkan tekanan yang tinggi untuk
menghasilkan cardiac output yang adekuat.
Jantung immatur juga berbeda dengan
dewasa pada komposisi aktin – myosin
dan juga troponin. Jantung immatur juga
menggunakan glukosa lebih banyak
daripada asam lemak untuk menghasilkan
ATP.
Gagal jantung kronis pada anak –
anak biasanya disebabkan karena
cardiomyopati (postinfeksi, genetik,
metabolik atau tidak diketahui
penyebabnya) atau penyakit jantung
bawaan. Sebanyak 20% anak – anak lahir
dengan penyakit jantung bawaan yang
dapat berkembang menjadi gagal jantung
kronis jika tidak menjalani operasi. Defek
yang terjadi dapat berupa peningkatan
tekanan (stenosis valvular, coarctasi aorta)
atau peningkatan volume yang berlanjut
menjadi shunts (defek septum ventrikular
maupun atrium). Gagal jantung juga
berhubungan dengan ritme jantung yang
tidak normal (takikardi supraventrikular,
atrial flutter atau takikardi ventrikular)
atau sekunder terhadap defek genetik
seperti Marfan sindrom. Pasien –pasien
tersebut dapat memperlihatkan variasi
derajat dekompensasi jantung.
Aktivasi Neurohormonal
Aktivasi neurohormonal adalah respon
kompleks dari tubuh untuk meningkatkan
cardiac output dengan cara meningkatkan
heart rate, kontraktilitas, preload dan
187
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
elemen myocard. Respon tersebut meliputi
RAA, sistem syaraf simpatis, endotel,
vasopresin dan sitokin. 1
Faktor-Faktor Neurohormonal yang
Berubah pada pasien Gagal Jantung
Kongestif
Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Pada gagal jantung, ginjal memberikan
respon dengan menurunkan delivery
oksigen dengan cara meningkatkan sekresi
renin, angiotensin II dan katekolamin yang
secara efektif meningkatkan reabsorbsi
natrium dan air oleh tubulus proksimal
renal. Peningkatan renin dan angiotensin II
akan mengstimulasi pengeluaran
aldosteron dari glandula adrenal yang
menghasilkan reabsorbsi sodium dan air
oelh tubulus distal dimana peningkatan
volume darah dapat meningkatkan stroke
volume. 1
Tanda Klinis pada Gagal Jantung
Kongestif
Aktivasi Sistem RAA. Penurunan Cardiac
Output memicu aktivasi renin dan
angiotensin II
Aktivasi Adrenergik
Disfungsi myocard memicu pengeluaran
katekolamin. Kadar plasma norepinefrin
merupakan faktor penting yang dapat
menyebabkan kematian pada CHF dewasa.
188
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Norepinefrin yang berlebihan bersifat
toksis bagi cardiomyocit. Aktivasi
simpatik pada jantung mengubah
kontraktilitas dan metabolisme protein
serta dapat menyebabkan hipertrofi.
Resusitasi Jantung Paru
Sekitar 450.000 masyarakat Amrerika
Utara meninggal akibat serangan jantung
setiap tahunnya sedangkan insiden arrest
jantung pada anak – anak adalah sekitar
16.000 setiap tahunnya dan hanya 30%
yang menerima resusitasi jantung paru
(RJP). American Heart Association
(AHA) melakukan revisi pada bantuan
hidup dasar dalam bantuan hidup lanjutan
pada untuk memperbaiki keadaan umum
stelah henti jantung. 8
Epidemiologi Henti Jantung pada Anak
Henti jantung pada anak – anak biasanya
disebabkan karena asfiksi yang merupakan
sekunder dari gagal nafas daripada
kejadian aritmia. Sekitar 2 – 4% pasien
yang berada di PICU mengalami cardiac
arrest. Hasil dari RJP sangat bervariasi
tergantung dari lokasi terjadinya arrest,
ritme EKG, durasi arrest, kualitas
resusitasi dan kondisi medis awal pasien.
4 Fase Henti Jantung dan Resusitasi
Cardiopulmoner
Minimal ada 4 fase henti jantung yaitu
Prearrest
No flow (henti jantung yang tidak
ditangani
Low flow (CPR)
Postresusitasi 1
Ketika aliran oksigen ke otak dan jantung
tidak adekuat maka harus segera dilakukan
RJP. Tujuan dari RJP adalah untuk
mengoptimalkan tekan perfusi arteri
koroner dan aliran darah ke organ – organ
penting selama fase low flow. Bantuan
hidup dasar dengan kompresi jantung yang
berkelanjutan (tekan kuat, tekan cepat,
minimal interupsi, tidak telalu banyak
ventilasi) sangat penting pada fase ini.
Fase Henti Jantung dan Resusitasi
Fase Intervensi
Fase Prearrest
(proteksi)
Mengoptimalkan
monitoring pasien
Intervensi untuk
menghindari gagal nafas
yang berlanjut menjadi
fase syok dan henti
jantung
Arrest (no flow) / fase
pemeliharaan
Meminimalkan interval
waktu antara BLS dengan
ACLS (respon yang
terorganisir)
Memelihara fungsi
jantung dan otak
Meminimalkan interval
waktu defibrilasi jika
dibutuhkan.
Low flow (Fase
Resusitasi)
Tekan keras, tekan cepat,
minimalkan gangguan
dalam kompresi
Titrasi CPR untuk
mengoptimalkan aliran
darah miokard
Pertimbangkan peralatan
tambahan untuk
meningkatkan perfusi
organ vital selama RJP
Seimbangkan delivery
oksigen dengan
kebutuhan oksigen
Pertimbangkan
ekstracorporeal RJP jika
RJP / ALS dasar tidak
berhasil
189
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Fase Postresusitasi Mengoptimalkan cardiac
output dan perfusi otak
Perbaiki aritmia jika
dibutuhkan
Hindari hiperglikemia,
hipertermia dan
hiperventilasi
Postresusitasi (fase
rehabilitasi /
regenerasi)
Intervensi yang cepat
dengan terapi fisik
Transplantasi sel stem
jika memungkinkan
kedepannya
(Slonim)
Postresusitasi merupakan periode yang
mengandung resiko tinggi terjadinya
trauma otak yang berkelanjutan, aritmia
ventrikel ada trauma reperfusi yang lain.
Sel yang mengalami trauma dapat rusak
maupun dapat berfungsi kembali.
Intervensi seperti hipotermi sistemik
selama fase postresusitasi berguna untuk
meminalkan trauma reperfusi dan
pengembalian fungsi sel. Hipertermi juga
harus dihindari pada selama resusitasi,
sedangkan hipotermi (32 – 340 C) selama
12 – 24 jam setelah resusitasi lebih
bermanfaat. 8
Intervensi selama Fase Low Flow :
Resusitasi Jantung Paru
Jalan nafas dan Pernafasan
Faktor utama yang sering menyebabkan
henti jantung pada anak adalah gangguan
pernafasan dimana membutuhkan ventilasi
dan oksigenasi yang cukup. Ventilasi yang
efektif membutuhkan ETT. Selama CPR,
cardiac output dan aliran darah paru
kurang lebih 10-25% dibanding pada ritme
sinus normal dimana keadaan sedikit
ventilasi selama RJP penting dalam
mencapai pertukaran gas yang adekuat dari
sirkulasi darah ke paru – paru.
Sirkulasi
Sirkulasi darah selama RJP dibedakan
menjadi 2 mekanisme yaitu
pompa jantung yaitu kompresi langsung
pada jantung antara sternum dan tulang
belakang
pompa thorakal yaitu peningkatan tekanan
intrathorakal membuat perbedaan tekanan
sehingga sirkulasi darah mengalir dari paru
melewati jantung menuju sirkulasi perifer.
Pada mekanisme pompa jantung, kompresi
pada ventrikel menyebabkan katub
atrioventrikular menutup sehingga darah
mengalir menuju aorta; sedangkan selama
fase relaksasi tekanan pada ventrikel turun
dan katub atriventrikel membuka.
Mekanisme pompa jantung ini dominan
pada anak kecil karena dinding dada lebih
lentur. Pada anak-anak mulai infant
sampai adolescence posisi jantung berada
di daerah posterior sepertiga bawah dari
sternum sehingga kedalaman pijat jantung
yang efektif adalah minimal sampai 1/3
diameter antero lateral atau 11/2 inchi
(4cm) pada infants dan sekitar 2 inchi
(5cm) pada anak. 1,4
Variabel=Variabel yang Mempengaruhi
Efektivitas Kompresi Dada Perbandingan
Kompresi dan Ventilasi
Perbandingan yang ideal antara kompresi
dengan ventilasi pada anak – anak tidak
diketahui dengan pasti. Jumlah ventilasi
harus sesuai, namun tidak boleh berlebihan
karena dapat menyebabkan peningkatan
190
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
tekanan intrathorakal yang pada akhirnya
dapat mengurangi perfusi koroner.
Resusitasi pijat jantung pada infant dan
anak – anak diawali dengan 30x kompresi
bagi penolong tunggal dan 15 kompresi
bagi 2 penolong dengan berikan bantuan
pernafasan kurang lebih selama 1 detik. 4,8
Siklus Kerja
Siklus kerja merupakan rasio waktu dari
fase kompresi dengan akhir relaksasi. Pada
pasien henti jantung dewasa, cardiac
output dan aliran darah koroner akan
optimal jika kompresi dada sekitar 30%
dari total siklus waktu; sedangkan pada
saat RJP maka optimal siklus kerja akan
meningkat menjadi 50%.1
Monitoring Efektivitas dari Resusitasi
Jantung Paru
Tekanan perfusi miokardial (Myocardial
perfusin pressure / MPP) yang adekuat
sangat penting bagi keberhasilan dalam
CPR. Tanpa arterial line akan sulit
dilakukan monitoring relaksasi aorta dan
tekanan diastolik.
Pada henti jantung dewasa, jika end tidal
CO2 > 10 mmHg berhubungan dengan
keberhasilan RJP, namun pada pediatric,
end tidal CO2 tinggi pada awal resusitasi
dan turun selama resusitasi.
Peralatan mekanis untuk memperbaiki
Hemodinamik selama Resusitasi
Kardiopulmoner
Tujuan dari peralatan mekanis selama
resusitasi adalah untuk meningkatkan
cardiac output dengan cara meningkatan
kerja dari pompa jantung, thorakal dan
abdominal atau untuk memberikan
sirkulasi buatan untuk jaringan vital.
Peralatan –peralatan tersebut mencakup
pneumatik vest and band, kompresi dan
dekompresi yang aktif, teknik kompresi
interposed abdomen serta katub inspirasi
impedance untuk meningkatkan venous
return dan cardiac output.
Ekstracorporeal Membran Oksigenasi
pada Resusitasi Cardiopulmoner
Penggunaan Venoarterial Extracorporeal
Membrane Oxygenation (ECMO) adalah
untuk menciptakan sirkulasi dan
memberikan reperfusi terkontrol yang
mengikuti henti jantung terutama pasien
dengan potensial disfungsi miokard akut
post operasi atau aritmia. Pada suatu study,
11 anak yang mengalami henti jantung di
PICU setelah operasi jantung menerima
ECMO setelah dilakukan RJP selama 20 –
110 menit, dimana 6 dari 11 pasien
tersebut dapat bertahan hidup tanpa sekuel
neurologis. CPR dan ECMO bukan
merupakan perawatan kuratif namun
merupakan resusitasi kardiopulmoner yang
membantu perfusi dan viabilitas jaringan
yang memgalami proses penyakit
mengalami recovery kembali. Keuntungan
dari ECMO termasuk untuk mengontrol
parameter fisilogis seperti heart rate,
oksigenasi, ventilasi dan temperatur tubuh
melalui sirkuit ECMO. 1,4
191
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Algoritma penatalakasanaan Henti Jantung pada Anak.4
Obat – Obatan yang Digunakan selama
Henti Jantung
Vasopressor
Pengunaan epinefrin yang merupakan
alpha adrenergik yang mempengaruhi
tonus vaskular sangat dibutuhkan selam
RJP. Aksi dari obat ini meningkatkan
systemic vascular resistence (SVR),
meningkatkan tekanan darah diastolik
yang akan meningkatkan tekanan perfusi
koroner. Epinefrin juga meningkatkan
aliran darah otak selama RJP karena
vasokontriksi perifer menyebabkan aliran
darah ke otak meningkat. Pada miokard,
epinefrin meningkatkan kontraktilitas,
meningkatkan heart rate dan relaksasi otot
polos.
Epinefrin dosis tinggi (0.05 – 0.2 mg /
kgBB) memperbaiki miocard dan aliran
192
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
darah otak selama RJP dibandingkan
dengan dosis standar (0.01 – 0.02
mg/kgBB), namun pemberian epinefrin
dosis tinggi ini dapat memperburuk
kondisi pasien postresusitasi dengan
meningkatkan kebutuhan oksigen miocard,
hipertensi dan nekrosis miocard. 1
Calcium
Pemberian calcium selama RJP
diindikasikan untuk beberapa kondisi
tertentu seperti hipocalcemia,
hiperkalemia, hipermagnesia dan
overdosis calcium channel blocker.
Buffer darah
Keadaan henti jantung merupakan hasil
dari asidosis laktat yang diakibatkan oleh
sirkulasi yang adekuat dan oksigenasi yang
buruk. Asidosis mendepresi fungsi
miocard dan respon terhadap katekolamin,
mengurangi SVR dan menghambat
defibrillasi. Pemberiaan sodium bikarbonat
juga diindikasikan bagi pasien dengan
overdosis trisiklik antidepresan,
hiperkalemia, hipermagnesia atau
overdosis sodium channel blocker.
Buffer bikarbonat terjadi ketika kation
hidrogen dan anion bikarbonat membentuk
karbondioksidan dan air. Ketika
karbondioksida tidak seluruhnya dapat
dibersihkan melalui ventilasi maka
keadaan ini akan diimbangi dengan efek
buffer bikarbonat. Efek samping
penggunaan sodium bikarbonat adalah
hipernatremia hiperosmolaritas dan
alkalosis metabolik. Alkalosis yang berat
menurunkan konsentrasi calcium dan
potasium kurva disosiasi oksihemoglobin
ke arah kiri. 9
Gangguan Ritme Jantung
Gangguan ritme jantung merupakan
masalah pada jantung yang sering dihadapi
yang merupakan penyakit primer atau
akibat komplikasi pengobatan.
Disritmia
Secara umum aritmia dibedakan berdasar
rate, pemeriksaan EKG dan mekanisme
elektrofisiologi. Berdasar EKG, aritmia
dibagi menjadi bradikardi, takikardi dan
ekstrasistol. Bradiaritmia disebabkan
karena keterlambatan konduksi impuls dari
atrium kanan menuju nodus AV dan
serabut HIS – Purkinje dimana gangguan
tersebut meliputi nodus AV (gangguan
blok jantung derajat 1 dan 2 tipe 1) atau
sistem HIS – Purkinje (derajat 2 tipe
2/mobitz) dan gangguan blok derajat 3.
Bradiaritmia juga dapat disebabkan oleh
gangguan nodus sinus (otonomik yang
tidak efektif) seperti pacemaker yang tidak
regular dalam menghasilkan denyut
jantung. Etiologi takiaritmia lebih
bervariasi dan dapat berasal dari atrium,
ventrikel atau nodus AV yang dapat
dikategorikan juga sebagai gangguan
otonomik atau reentrant. Takikardi dapat
dihasilkan dari sek tau kelompok sel yang
mempunyai abnormal otonomik yang
secara spontan berdepolarisasi lebih cepat
dari nodus sinus dan menghasilkan denyut
jantung lebih cepat dibanding denyut
normal. Takikardi meliputi ektopik atrial
takikardi, multifokal atrila takikardi dan
junctional ektpoik takikardi. Sebaliknya
takikardi reentrant disebabkan oleh jalur
elektrik yang nonfisiologis yang
menghasilkan konduksi kembali pada
bagian – bagian jantung yang
berrepolarisasi setelah konduksi awal
dengan impuls yang sama. Sirkuit
193
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
reentrant ini dapat terjadi di atrium (atrial
flutter), ventrikel (ventrikular takikardi)
nous AV (AV node reentrant takikardi)
atau jaringan yang menghubungkan
atrium, dan/atau ventrikel (jalur takikardi
tambahan). 5,9
Klasifikasi Aritmia
Penatalaksanaan Gangguan Irama
Jantung
Penatalaksanaan Bradikardi
Pada intensif care unit untuk mengobati
bradikardi kita tetap harus mengobati
penyebab dasarnya. Peningkatan tekanan
intrakranial, hipotermi dll dapat
mengakibatkan bradikardi yang
membutuhkan penatalaksanaan spesifik.
Pengobatan awal untuk bradikardi selain
airway dan ventilasi adalah pengobatan
farmakologis. Atropin 0.02 mg/kgBB
IV/IO atau 0.03 mg/kgBB via ET dapat
mengurangi gejala bradikardi akibat
hipoksia (atau stimulasi vagal),
penggunaan digoksin, peningkatan
intrakaranial atau AV blok. Dapat juga
diberikan epinefrin (0.1 mcg/kgBB) untuk
meningkatkan denyut jantung, namun
setelah pemberian epinefrin atau
isopretolol dosis tinggi sebaiknya diganti
dengan pace maker sementara ataupun
sebagai back up. 4,9
Untuk akses vaskular, jika kesulitan dalam
mendapatkan akses vena dapat diberikan
obat – obatan yang bersifat larut dalam
lemak yaitu lidokain, epinefrin, atropin
dan nalokson melalui pipa ET. Cara
pemberian obat – obatan tersebut dengan
cara berikan minimal 5cc normal salin
pada pipa ET diikuti dengan 5x ventilasi
manual. Sedangkan obat – obatan yang
tidak boleh diberikan melalui pi[a ET
adalah sodium bikarbonat karena dapat
menyebabkan iritasi parenkim paru. 4
Penatalaksanaan Takikardi
Vagal Manuver
Vagal manuver merupakan intervensi yang
paling sering digunakan untuk
penatalaksanaan SVT. Mekanisme vagal
manuver seperti Valsava manuver atau
pemijatan pada sinus carotid selama 15 –
30 detik untuk menghasilkan stimulasi
vagal pada infant. Stimulasi vagal secara
farmakologis juga dapat dicapai dengan
pemberian asetilkolin inhibitor
edrophonium (tensilon 0.1 – 0.2
mg/kgBB). 9
Ventrikel Fibrilasi pada Anak – Anak
Penatalaksanaan untuk VF durasi pendek
adalah defibrilasi. Defibrilasi dapat
memutus VF dengan depolarisasi secara
terus menerus dan menciptakan kontraksi
194
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
miocard. Keberhasilan defibrilasi menurun
apabila durasi dari VF semakin panjang.
Dosis defibrilasi bervariasi dari 0.25 – 1
J/kgBB untuk SVT dan lebih dari 2
J/kgBB untuk takikardi ventrikular . 1,5,9
Obat – Obat Antiaritmia
Pengobatan antiaritmia sebaiknya tidak
menunda pengobatan VF. Meskipun
defibrilasi yang diberikan tidak berhasil,
obat-obatan resusitasi tetap diberikan,
dimana epnefrin merupakan pengobatan
awal bagi VF pada anak maupun dewasa
dan dilanjutkan dengan lidokain atau
amiodaron apabila pemberian epinefrin
dengan atau tanpa vasopresin tidak
berhasil.
Obat Antiaritmia Kelas I A
Obat antiaritmia kelas I memperlama
repolarisasi dan mempunyai efek
antivagal.
Quinidin
Indikasi digunakan sebagai profilaksis
setelah cardioversi pada kasus atrila
fibrilasi atau flutter untuk
mempertahankan normal sinus ritme dan
digunakan untuk mencegah terjadinya
Supraventrikular Takikardi (SVT) dan
Ventrikel Takikardi (VT) yang berulang.
Quinidin merupakan sodium dan potasium
channel blocker, disamping menciptakan
keadaan ion negatif dan memblokade
reseptor muskarinik.
Dosis (267 mg quinidin glukonat setara
dengan 200 mg quinidin sulfat)
Bayi / Anak : test dosis untuk reaksi
idiosinkratik, intolerance, sinkop dan
trombositopenia. Oral, IM : 2 mg/kgBB
atau 60 mg/m2
Oral (quinidin sulfat) : 30 mg/kg/day atau
900mg/m2/hari terbagi dalam dosis 5x/hari
atau 6mg/kgBB setiap 4 – 6 jam
Intravena (IV) (quinidine glukonat) : 2 –
10 mg/kgBB/dosis setiap 3 – 6 jam
tergantung kebutuhan. 5
Procainamide
Indikasi untuk pengobatan VT,
paroxysmal atrial takikardi dan atrial
fibrilasi
Procainamide merupakan sodium chanel
blocker yang potent dan potasium chanel
blocker moderate, procainamide
menghambat repolarisasi dan
mempercepat denyut jantung.
Dosis Bayi / Anak oral : 15 – 30
mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis
terbagi setiap 3 – 6 jam (maksimal 4g/hari)
IM : 20 – 30 mg/kgBB/hari diberikan
dalam dosis terbagi setiap 4 – 6 jam
(maksimal 4g/hari)
IV : loading dosis 3 – 6
mg/kgBB/dosis dalam 5 menit, tidak boleh
melebihi 100 mg/dosis dapat diulang
setiap 5 – 10 menit dengan dosis maksimal
15 mg/kgBB.
Maintenance : infuse kontinyu IV 20 – 80
mcg/kgBB/menit (maksimal 2 g/hari) (5)
195
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
Obat Antiaritmia Kelas IB
Obat dari golongan ini memblok sodium
chanel dan memperpendek durasi potensial
aksi dan repolarisasi
Lidokain
Indikasi digunakan sebagai pengobatan
ventrikular ektopik, takikardidan fibrilasi
selain digunakan sebagai anestesi lokal
Mekanisme aksi :lidoakain memblok
sodium chanel dengan cepat.
Dosis IV, IO (intra osseous) : loading
dosis 1 mg/kgBB diikuti infus continue 20
– 50 mcg/kgBB/menit. Dapat diulang
bolus 0.5 – 1 mg/kgBB. Pada pasien
dengan syok, penyakit hati atau CHF dosis
dapat diberikan setengah dari dosis loading
dan infus.
Endotracheal Tube : 2 – 10x dosis bolus
IV. 5
Obat – obat antiaritmia kelas IC
Obat dari golongan ini merupakan sodium
chanel blocker dengan efek pada
repolarisasi yang bervariasi.
Flekainamid
Pengobatan aritmia atrial, junctional dan
ventrikular.
Mekanisme aksi flekainamid memblok
sodium chanel dengan lambat dengan
sedikit memblok potasium chanel.
Dosis oral : dosis awal 1 – 3 mg/kgBB/hari
atau 50 – 100 mg/m2/hari terbagi menjadi
3 dosis.
Obat Antiaritmia Kelas II : beta blocker
Propanolol
Indikasi digunakan untuk pengobatan
vebtrikular aritmia dan hipertensi
Mekanisme aksi propanolol merupakan
non selektif beta blocker dengan efek
membran sodium chanel. Propanolol tidak
mempunyai efek simpatometik intrinsik.
Dosis neonatal : 0.01 mg/kgBB IV pelan
diberikan selama 10 menit, dapat diulang 6
– 8 jam sesuai dengan kebutuhan sampai
dosis maksimal 0.15 mg/kgBB/dosis
secara pelan.
Infant / Anak – Anak : 0.01 – 0.1
mg/kgBB diberikan IV pelan selama 10
menit, dosis maksimal 1mg pada infant
dan 3 mg pada anak – anak.
Neonatal : 0.25 mg/kgBB/dosis setiap 6 –
8 jam oral, dapat dinaikkan maksimal 5
mg/kgBB/hari.
Anak : 0.5 – 1 mg/kgBB/hari dengan dosis
terbagi setiap 6 – 8 jam, dititrasi selama 3
– 5 hari dengan dosis 2 – 4 mg/kgBB/hari
dan tidak melebihi 16 mg/kgBB/hari atau
60mg/hari. 5
Obat – Obat Antiaritmia Kelas III
Amiodaron
Indikasi digunakan untuk pengobatan
takiaritmia ventrikular dan atrial.
Amiodaron sering digunakan untuk
pengobatan Junctional Ektopik Takikardi
postoperatif.
Mekanisme Aksi amiodaron menghambat
stimulasi adrenergik, memperlama
196
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
potensial aksi dan periode refraktori dari
atrium dan ventrikel dan mengurangi
fungsi nodus AV dan sinus nodus.
Dosis IV : 5 mg/kgBB diberikan bolus
cepat untuk VT/Vftanpa nadi
Oral untuk anak – anak dibawah 1 tahun
menggunakan rumus luas tubuh. Loading
dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari atau 600 –
800 mg/1.73m2/hari terbagi menjadi 2x
pemberian selama 4 – 14 hari. Dosis
kemudian dikurangi sampai 5
mg/kgBB/hari atau 200 – 400
mg/1.73m2/hari. 5
Obat Antiaritmia Kelas IV : Calcium
Channel Blocker
Verapamil
Indikasi digunakan untuk mengobati
takiaritmia atrial (SVT, atrial flutter dan
atrial fibrilasi)
Mekanisme aksi verapamil memblok
Calcium Channel Blocker pada otot polos
vaskular dan myocard selama depolarisasi.
Pemberian Verapamil tidak
direkomendasikan pada anak dibawah 1
tahun. Dosis IV : 0.1 – 0.2 mg/kgBB/dosis
jika tidak berespon dapat diulang 30 menit
kemudian. Untuk anak – anak diatas 1
tahun diberikab 0.1 – 0.3 mg/kgBB/dosis
dengan dosis maksimal 5 mg.
Oral : 4 – 8 mg/kgBB/hari dosis terbagi,
diberikan setiap 8 jam. 5
Diltiazem
Digunakan sebagai pengobatan blok nodus
AV pada atrial fibrilasi dan flutter serta
paroxysmal SVT
Mekanisme aksi diltiazem membloks
calcium channel dengan efek pada nodus
SA dan nodus AV
Dosis Infants / Anak IV : bolus 0.15 – 0.45
mg/kgBB, infus kontinyu 2
mg/kgBB/menit
Oral : 1.5 – 2 mg/kgBB/hari terbagi
menjadi 3 – 4 dosis, maximal 3.5
mg/kgBB/hari. 5
Syok
Syok merupakan keadaan akut dan
kompleks dari gangguan sirkulasi yang
mengakibatkan gangguan pengangkutan
oksigen dan nutrient untuk memenuhi
kebutuhan metabolik jaringan.
Syok Kardiogenik
Syok cardiogenik merupakan abnormalitas
dari fungsi jantung yang
bertanggungjawab terhadap sistem
cardiovaskular untuk memenuhi kebutuhan
metabolik jaringan. Syok cardiogenik atau
congestive heart failure (CHF) pada infant
dan anak – anak membutuhkan diagnostik
dan penatalaksanaan khusus. 10
197
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
198
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010
RINGKASAN
Disfungsi akut miokard yang berat
merupakan faktor utama yang
menyebabkan mortalitas dan morbiditas
pada anak – anak yang membutuhkan
perawatan yang intensif. Jantung
merupakan organ yang paling mudah
mengalami gangguan pada penyakit kritis
dan kegagalan fungsi jantung ini dapat
diakibatkan oleh berbagai penyakit
termasuk sepsis, penyakit jantung bawaan,
trauma dan juga akibat infeksi pada
pernafasan seperti respiratory syncitial
virus (RSV).
Pediatric Intensive Care adalah bagian
dari ilmu yang mempunyai fokus pada
clinical care, ilmu dan penelitian serta
penanganan kesehatan bagi bayi, anak –
anak dan dewasa muda yang mempunyai
penyakit yang berpotensial mengancam
nyawa, sehingga dengan melakukan
monitoring yang intensif pada sistem
kardiovaskular dan penanganan yang cepat
dan tepat dalam mengenali gangguan
fungsi jantung dapat meminimalkan angka
morbitas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Slonim, AD, Pollack, MM. Pediatric Critical
Medicine. Lippincott Williams & Wilkins.
2006 : 5
2. Wheeler, DS, Wong, HR, Shanley,TP.
Science and Practise of Pediatric Critical
Care Medicine. Springer – Verlag. London.
2009 :
3. Holzman, RS, Mancuso, TJ, Polaner, DM. A
Practical Approach to Pediatric Anesthesia.
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
4. American Heart Association. Pediatric
Advanced Life Support. 2005. From :
http://cic.ahajournals.org/http:/content/120/7
/e53.full.pdf
5. Munoz, R.,Schmitt, CG, Roth, SJ. Handbook
of Pediatric Cardiovascular Drugs. Springer
– Verlag London; 2008.
6. Marino PL. The Little ICU Book of Facts
and Formulas. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia; 2007.
7. Morgan, GE, Mikhail, MS. Clinical
Anesthesiology, 3rd ed., 18, Appleton and
Lange. London, 2002
8. Doniger, SJ, Sharieff, GQ. Pediatric
Resuscitation Revised : A Summary of the
Updated BLS/NALS/PALS
Recommendation. 2007. From :
http://www.isrjem.org/June207.Resusc-
Donzinger.postrprod.pdf
9. Fuhrman, BP, Zimmerman, J.J. Pediatric
Critical Care. Mosby, Inc. Philadelphia;
2009 : 4
10. Arikan, AA. Pediatric Shock. 2008. From :
http://www.signavitae.com/articles/review-
articles/51-pediatric-shock
Subject Index
Volume II
ADP, 24, 91
CNS trauma, 52
dexamethasone, 136
enflurane, 24
epinephrine, 154
fasciculation, 1
fluids administration, 107
glomerular filtration rate, 10
granisetron, 136
haes-sterile, 125
halothane, 24
histologic score MHC Class I, 81
hypertonic sodium lactate, 125
IL-10 serum level, 71
incision pain, 71
isoflurane, 10
ketorolac, 10
laparatomy, 136
Levobupivacaine infiltration, 71
levobupivacaine, 81
lidocaine, 154
magnesium sulphate, 1
mediastinoscopy, 44
metoclopramide, 136
MgSO4, 146
midazolam, 17
muscle relaxant, 116
nausea, 136
NMDA antagonist, 146
non invasive mechanical ventilation, 169
one lung ventilation, 160
opioid, 146
pediatric intensive care, 180
pediatric, 107
penthotal, 91
platelet aggregation, 91
postoperative management, 36
postoperative pain, 146
potassium, 1
propofol, 91
sectio caesaria, 17
sedation, 116
spinal anesthesia, 17
strong ions difference (SID), 125
subarachnoid block, 154
succinylcholine, 1
thrombocyte aggregation, 24
trauma patient, 36
VAS, 146
vomiting, 136
wound healing, 81
INDEKS JUDUL
JURNAL ANESTESIOLOGI INDONESIA
VOLUME II No. 1 s.d. 3 Th 2010
No. Nama Judul Volume Hal
1.
Satrio Adi W, Hari
Hendriarto, Heru
Dwi Jatmiko
A
Anestesi Pada Mediastinoskopi Mediastinoskopi menggunakan anestesi
umum. Akses vena dengan kateter
intravena diameter besar (14 hingga 16
gauge) diharuskan karena resiko
perdarahan berlebihan dan kesulitan
pengendalian perdarahan.
Vol. 2, No. 1,
Th 2010
44
2. Moch. Rahardi
Hamsya, Mohamad
Sofyan Harahap
Atrakurium dan Magnesium Sulfat
untuk Mencegah Peningkatan Serum
Kreatinin Fosfokinase dan Ion
Kalium akibat Induksi Suksinilkolin Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40
mg/kgBB dapat mencegah peningkatan
kadar kreatinin fosfokinase serum dan
kadar kalium darah, meskipun tidak
seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik
dibanding yang lain.
Vol. 2, No. 1,
Th 2010
1
3.
I Nyoman Panji,
Heru Dwi Jatmiko,
Aria Dian
Primatika
G
Granisetron, Kombinasi
Metoklopramid dan Deksametason
Terhadap Mual Muntah Pasca
Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu
mengurangi mual muntah paska operasi
yang sama efektifnya dengan
kombinasi metoklopramid 10 mg dan
deksametason 8 mg.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
136
4.
Eva Susana, Uripno
Budiono, Heru Dwi
Jatmiko
H
Hubungan Kadar Midazolam
Plasma Ibu Dan Bayi Dengan
Kondisi Fisik Serta Waktu
Persalinan Pada Pasien Sectio
Caesaria Yang Mendapat
Premedikasi Midazolam Intravena Ada hubungan kadar midazolam
plasma ibu dan bayi terhadap kondisi
fisik serta waktu persalinan.
Vol. 2, No. 1,
Th 2010
17
5. Rosa Afriani, Heru
Dwi Jatmiko
K
Ketorolak Intravena dan Laju
Filtrasi Glomerulus pada Anestesi
Isofluran Terdapat peningkatan kreatinin serum
secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara
tidak bermakna, pada kelompok
ketorolak dan plasebo, dengan
menggunakan agen inhalasi isofluran.
Vol. 2, No. 1, Th 2010
10
6.
Rezka Dian
Trisnanto, Uripno
Budiono , Widya
Istanto Nurcahyo
L
Lama Analgesia Lidokain 2%
Dibandingkan Kombinasi Lidokain
2% dan Epinefrin pada Blok
Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80
mg dan epinefrin 0,05 mg
menghasilkan waktu regresi analgesia
dan blokade motorik yang lebih
panjang dibandingkan penggunaan
lidokain.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
154
7.
Husni Riadi
Nasution, Ery
Leksana
M
Magnesium Sulfat Intravena,
Derajat Nyeri dan Kebutuhan
Opioid Pasca Operasi Pemberian MgSO4 tidak mengurangi
derajat nyeri dan kebutuhan opioid
paska operasi.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
132
8. Aprilina
Rusmaladewi, Ery
Leksana, Widya
Istanto Nurcahyo
Monitoring Kardiovaskuler pada
Pediatric Intensive Care
Anestesi memegang peranan penting
terhadap perkembangan Pediatric
Intensive care karena ilmu pengetahuan
dan keterampilan anestesiologist dalam
mengelola jalan nafas dan pernafasan,
monitoring sirkulasi dan akses
vaskular.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
180
9.
Tutus Nurastadila,
Ery Leksana,
Uripno Budiono
P
Natrium laktat Hipertonik dan
Strong Ions Difference (SID) Pada
Pasien Sectio Caesaria
Pemberian infus sodium laktat
hipertonik dapat mempertahankan SID
paska operasi dimana SID meningkat
menuju nilai normal dibandingkan
infus Haes-steril 6% yang mengalami
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
125
penurunan nilai SID.
10. Aria Dian
Primatika, Uripno
Budiono, Ery
Leksana
Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain
pada Skor Histologis MHC Kelas 1
pada Penyembuhan Luka Ekspresi MHC kelas I (skor histologi
MHC I) pada kelompok dengan
infiltrasi levobupivakain lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok tanpa
infiltrasi levobupivakain.
Vol. 2, No. 2,
Th 2010
81
11. Aditya Kisara,
Hariyo Satoto,
Johan Arifin
Pengelolaan Cairan Pediatrik Pemberian cairan pada anak berbeda
dengan pemberian cairan pada dewasa.
Untuk memudahkan menghitug jumlah
kebutuhan cairan rumatan pada anak
dapat digunakan rumus dari Holliday
dan Segar. Pada anak yang akan
mejalani operasi, perlu diberikan cairan
pengganti puasa dan cairan yang hilang
selama operasi.
Vol. 2, No. 2,
Th 2010
107
12. Rindarto, Jati
Listiyanto Pujo,
Ery Leksana
Pengelolaan Pasca Operasi Dan
Rawat Intensif Pada Pasien Trauma Pengelolaan pasien trauma di ICU
terutama difokuskan pada pengelolaan
hipotermi, koagulopati, asidosis,
sindrom kompartemen abdomen dan
ARDS, hal ini karena faktor-faktor
tersebut merupakan penyebab utama
kematian pada jam-jam pertama pasca
trauma.
Vol. 2, No. 1,
Th 2010
36
13. Tatag Istanto, Jati
Listiyanto, Danu
Soesilowati
Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh
Otot di Unit Rawat Intensif Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien
dengan penyakit kritis yang dirawat di
ICU, dan pelumpuh otot jarang
digunakan di ICU karena biasanya
sedasi saja sudah mencukupi untuk
menenangkan pasien dan memberikan
kenyamanan pasien dengan ventilasi
mekanik. Penggunaan sedasi yang
terlalu berlebihan atau telalu sedikit
meningkatkan angka morbiditas pasien.
Penggunaan pelumpuh otot dalam
waktu lama memiliki banyak kerugian
yang harus dipertimbangkan.
Vol. 2, No. 2,
Th 2010
116
14. Mochamad Rofii,
Hariyo Satoto,
Mohamad Sofyan
Harahap
Perbandingan Kadar IL-10 Serum
dengan dan Tanpa Infiltrasi
Levobupivakain pada Nyeri Pasca
Insisi Infiltrasi Levobupivakain 0,25 %
disekitar luka insisi meningkatkan
kadar IL-10 serum. Kenaikan kadar IL-
10 serum tertinggi adalah pada
kelompok infiltrasi dengan
Levobupivakain 0,25 % yang terjadi
pada hari kedua yaitu sebesar 130 %.
Vol. 2, No. 2,
Th 2010
70
15. Arliansah, Widya
Istanto, Hariyo
Satoto
Perbedaan Agregasi Trombosit pada
Penderita yang Mendapat Propofol
dan Penthotal Propofol secara bermakna menurunkan
agregasi maksimal trombosit dan
menyebabkan hipoagregasi lebih
banyak daripada penthotal.
Vol. 2, No. 2,
Th 2010
91
16. Agatha Citrawati
Anom, Mohamad
Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian
Enfluran Dan Halotan Terhadap
Agregasi Trombosit Halotan secara bermakna menurunkan
persen agregasi trombosit dan
menyebabkan gambaran hipoagregasi
lebih banyak dari pada enfluran.
Vol. 2, No. 1,
Th 2010
24
17.
Dicky Hartawan,
Danu Soesilowati,
Uripno Budiono
V
Ventilasi Mekanik Noninvasif Ventilasi mekanik dapat diberikan
dengan cara invasif maupun noninvasif.
Ventilasi noninvasif menjadi alternatif
karena dapat menghindari risiko yang
ditimbulkan pada penggunaan ventilasi
invasif, mengurangi biaya dan lama
perawatan di ruang intensif.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
169
18. Aditya Kisara, Hari
Hendriarto Satoto,
Johan Arifin
Ventilasi Satu Paru Pembedahan di daerah thoraks
menghadirkan masalah fisiologis untuk
ahli anestesi sehingga membutuhkan
pertimbangan khusus. Salah satu
diantaranya adalah ventilasi satu paru.
Terdapat beberapa hal penting yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan
ventilasi satu paru.
Vol. 2, No. 3,
Th 2010
160