Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

22
Anomali Laring Kongenital Sidrah M. Ahmad, BS, Ahmed M.S. Soliman, MD Otolaryngol Clin N Am40 (2007) 177–191 Anomali laring kongenital relatif jarang dijumpai. Namun, fenomena tersebut dapat terjadi dan bisa mengakibatkan ancaman jiwa karena masalah respirasi yang ditimbulkannya terutama pada periode awal kelahiran. Masalah terkait dengan fonasi (pembentukan suara) dan refleks menelan dapat menghambat perkembangan bayi. Stridor merupakan tanda yang paling umum pada obstruksi laring 1 . Sumber obstruksi dapat diperkirakan berdasarkan karakteristik stridor yang muncul. Obstruksi supraglotis atau glotis biasanya mengakibatkan stridor inspirasi. Stridor bifasik menandakan sebuah penyempitan antara glotis dan trakhea ekstratoraks. Aliran udara yang turbulen (tidak teratur) di bagian distal trakhea atau bronkus utama dapat menimbulkan stridor ekspirasi. Embriologi Sebagian besar pemahaman tentang perkembangan embriologi laring, berasal dari hasil tulisan Tucker dan koleganya 2 , Zaw- Tun 3 serta Hollinger dan koleganya 4 . Berdasarkan sistem stadium Carnegie, perkembangan laring dibagi kedalam 2 periode 5,6 . Periode embrio terdiri atas 8 minggu pertama perkembangan intrauterus. Laring pertama kali tampak sekitar hari ke 25-28 kehamilan sebagai suatu penebalan epitel sepanjang bagian ventral dari foregut, disebut sebagai primordium respirasi. Seiring dengan perkembangan primordium respirasi, divertikulum 1

Transcript of Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Page 1: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Anomali Laring Kongenital

Sidrah M. Ahmad, BS, Ahmed M.S. Soliman, MD

Otolaryngol Clin N Am40 (2007) 177–191

Anomali laring kongenital relatif jarang dijumpai. Namun, fenomena tersebut dapat

terjadi dan bisa mengakibatkan ancaman jiwa karena masalah respirasi yang ditimbulkannya

terutama pada periode awal kelahiran. Masalah terkait dengan fonasi (pembentukan suara)

dan refleks menelan dapat menghambat perkembangan bayi. Stridor merupakan tanda yang

paling umum pada obstruksi laring1. Sumber obstruksi dapat diperkirakan berdasarkan

karakteristik stridor yang muncul. Obstruksi supraglotis atau glotis biasanya mengakibatkan

stridor inspirasi. Stridor bifasik menandakan sebuah penyempitan antara glotis dan trakhea

ekstratoraks. Aliran udara yang turbulen (tidak teratur) di bagian distal trakhea atau bronkus

utama dapat menimbulkan stridor ekspirasi.

Embriologi

Sebagian besar pemahaman tentang perkembangan embriologi laring, berasal dari

hasil tulisan Tucker dan koleganya2, Zaw-Tun3 serta Hollinger dan koleganya4. Berdasarkan

sistem stadium Carnegie, perkembangan laring dibagi kedalam 2 periode5,6. Periode embrio

terdiri atas 8 minggu pertama perkembangan intrauterus. Laring pertama kali tampak sekitar

hari ke 25-28 kehamilan sebagai suatu penebalan epitel sepanjang bagian ventral dari foregut,

disebut sebagai primordium respirasi. Seiring dengan perkembangan primordium respirasi,

divertikulum respirasi, sebuat kantung luar dari luman foregut tumbuh ke dalamnya.

Divertikulum respirasi berkembang pada area yang disebut ‘lantai primitif faring’ setinggi

letak glotis orang dewasa. Lantai faring dan lantai faring primitif dipisahkan oleh

laringofaring primitif yang berkembang menjadi supraglotis orang dewasa.

Seiring dengan berjalannya waktu, divertikulum respirasi meluas ke arah inferior

dan dipisahkan dari jantung dan hati yang sedang berkembang oleh septum transversal, dan

dipisahkan dengan esofagus oleh septum trakheoesofagus. Septum trakheoesofagus tumbuh

dari arah kaudal ke kranial. Jika pertumbuhan ke arah kranial terhambat, maka akan terbentuk

celah trakheoesofagus atau fistula trakheoesofagus. Perkembangan abnormal dari

divertikulum respirasi sendiri, dapat menyebabkan agenesis trakhea, stenosis trakhea atau

cincin trakhea komplit.

1

Page 2: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Obliterasi dari lumen ventral dari laringofaring primitif akan digantikan oleh

munculnya lamina epitel. Duktus faringoglotis terletak di sebelah dorsal dari lamina epitel,

yang berkembang menjadi nodul interaritenoid dan glotis posterior. Sekum laring terletak di

sebelah anterior dari lamina epitel yang akan menjadi vestibulum laring. Lamina epitel

kemudian mengalami rekanalisasi sehingga sekum laring dan duktus faringogotis akan

bersatu. Kegagalan rekanalisasi akan menyebabkan stenosis laring atau laryngeal web

(Gambar 1).

Selama periode fetus, proses pembentukan vokal berasal dari aritenoid, sel goblet

dan kelenjar submukosa berkembang, dan kartilago epiglotis yang matur berubah menjadi

sebuah struktur fibrokartilago7. Periode fetus berakhir dalam 32 minggu. Menjelang akhir

kehamilan, kartilago cricoid berubah dari pertumbuhan interstisiil menjadi perikondrium.

Gambar 1. Stenosis laring

Jenis-Jenis Anomali Laring

1. Laringomalasia

Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi dan bertanggungjawab

atas 60%-75% anomali laring kongenital (Gambar 2)8-11. Laringomalasia pertama kali

dijelaskan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942 sebagai suatu kelainan dimana

jaringan supragotis kolaps ke dalam glotis saat inspirasi12. Kelainan tersebut menghasilkan

2

Page 3: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

stridor inspirasi bernada tinggi selama 2 minggu pertama kehidupan ekstrauterus dan

secara spontan sembuh menjelang usia 12-24 bulan8-11,14,15. Dalam kasus laringomalasia

yang berat, seorang anak akan menderita akibat kejadian apneu, hipertensi pulmonal atau

kegagalan untuk berkembang. Dalam kasus tersebut, intervensi bedah dianjurkan,

termasuk supraglotiplasti, pemisahan lipatan aryepiglotis atau epiglotipeksi9-11.

Laringomalasia didiagnosa dengan memakai endoskopi yang dilengkai fiber optik

fleksibel8. Diklasifikasikan ke dalam tipe 1, tipe 2, tipe 3 berdasarkan pola kekolapsan

supraglotis8-10. Pada laringomalasia tipe 1, mukosa supraglotis prolaps; laringomalasia tipe

2 ditandai dengan pemendekan lipatan aryepiglotis; tipe 3 menunjukkan adanya

pergeseran ke arah posterior dari epiglotis.

Laringomalasia tipe 1 diterapi dengan melakukan supraglotiplasti, dimana sisa

mukosa epiglotis, lipatan aryepiglotis atau mukosa aritenoid dieksisi8. Prosedur tersebut

dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan bedah mikro, laser karbondioksida atau

microdebrider laring10-11,13,16. Supraglotiplasti memakai laser karbondioksida menghasilkan

eksisi yang teliti dari jaringan sisa dengan perdarahan yang minimal11,13. Supraglotiplasti

endoskopi dengan microdebrider laring akan menghasilkan tekanan negatif yang

berhubungan dengan inspirasi yang disimulasikan oleh suction, oleh karena itu dokter

bedah akan memiliki lapang pandang yang lebih baik dan dapat melakukan eksisi jaringan

sisa dengan tepat6. Laringomalasia tipe 2 diterapi dengan insisi pada lipatan aryepiglotis

untuk menghasilkan ekspansi jalan nafas11. Biasanya dilakukan eksisi pada tepi lipatan

aryepiglotis, namun Loke dan koleganya17 menunjukkan bahwa insisi sederhana dengan

memisahkan lipatan aryepiglotis sudah cukup untuk mengatasi obstruksi jalan nafas.

Pemisahan lipatan aryepiglotis dapat dilakukan dengan memakai gunting mikrolaring atau

dengan laser karbondioksida. Laringomalasia tipe 3 dapat diterapi secara efektif dengan

metode epiglotipleksi, dimana epiglotis dilekatkan pada basis lidah, sehingga mengoreksi

pergeseran posterior dari epiglotis11. Tidak semua kasus dapat diklasifikasikan dengan

mudah ke dalam kategori tunggal, oleh karena itu, kombinasi dari pilihan terapi bedah

dapat dipertimbangkan.

Penyakit refluks gastroesofagus diduga berhubungan dengan laringomalasia8,10,18.

Tidak jelas apakah penyakit refluks gastroesofagus yang menyebabkan laringomalasia

dengan menginduksi edema difus laring, atau laringomalasia yang justru menyebabkan

penyakit refluks gastroesofagus dengan menginduksi tekanan negatif intrapleura yang

tinggi dan oleh karenanya mencegah sfingter esofagus bawah berfungsi dengan baik.

3

Page 4: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Dalam kedua kasus terseut, akan lebih baik jika terapi pasien laringomalasia yang

menderita akibat penyakit refluks gastroesofagus didasarkan pada ukuran antirefluks.

Gambar 2. Laringomalasia kombinasi

2. Imobilitas plika vokalis kongenital

Kelainan laring kongenital paling umum ke-2 yaitu gangguan pergerakan plika

vokalis, yang bertanggungjawab atas 10%-20% dari semua anomali laring kongenital8,19,20.

Imobilitas plika vokalis unilateral biasanya terjadi dengan gejala tangisan yang lemah dan

berisik, kesulitan minum, dan aspirasi8,20. Imobilitas plika vokalis bilateral, lebih jarang,

biasanya dengan gejala stridor bifasik dan tangisan yang tertahan20. Beberapa neonatus

dengan imobilitas plika vokalis bilateral membutuhkan intubasi saat lahir karena distress

pernafasan berat, sedangkan tipe yang lain biasanya disertai dengan sedikit toleransi pada

jalan nafas.

Kebanyakan kasus imobilitas plika vokalis bersifat idiopatik, namun kelainan dapat

merupakan akibat trauma lahir, anomali sistem saraf pusat atau tepi dan anomali

kardiovaskular20. Gangguan sistem saraf pusat dan tepi dapat mengakibatkan imobilitas

plika vokalis unilateral atau bilateral15,20. Gangguan sistem saraf pusat yang berhubungan

dengan imobilitas plika vokalis biasanya akibat adanya disgenesis batang otak atau

serebri, hidrocephalus, enchephalocele, leukodistrofi, meningomyelocele, spina bifida,

cerebral plasy dan Arnold-Chiari malformation(ACM). ACM biasanya akan menyebabkan

imobilitas plika vokalis bilateral20. Gangguan sistem saraf tepi yang berkaitan dengan

imobilitas plika vokalis biaanya akibat adanya myasthenia gravis, fascioscapulohumeral

4

Page 5: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

myopati, dan spinal muskular atrofi. Anomali kardiovaskular yang berhubungan dengan

imobilitas plika vokalis yaitu ventrikular septal defek, Tetralogy of Fallot, kardiomegali,

Ortner syndrome, vascular rings, arcus aorta ganda, dan paten duktus arteriosus15,20.

Imobilitas plika vokalis bilateral herediter, telah berhasil diidentifikasi20. Pada tahun

1978, Mace dan kolega21 mengusulkan pewarisan gen autosom dominan dalam beberapa

kasus imobilitas plika vokalis bilateral. Pada tahun 2001, Manaligod dan kolega22

mengidentifikasi kromosom 6q16 sebagai lokus yang bertanggungjawab atas imobilitas

plika vokalis bilateral herediter. Namun belum ada kasus genetik yang berhasil

diidentifikasiuntuk kasus imobilitas plika vokalis unilateral20.

Endoskopi penting untuk mengevaluasi jalan nafas dan pergerakan plika

vokalis15,20,23. Kombinasi laringoskopi fleksibel dengan bronkhoskopi kaku dibawah

pengaruh anestesi telah diusulkan15,20. Pada evaluasi yang lengkap, arytenoid sebaiknya

dipalpasi untuk menentukan mobilitas dari sendi cricoaryteoid20,24. Tes tambahan termasuk

video esofagografi dengan kontras untuk menilai fungsi menelan, dan elektromiografi

laring untuk membantu membedakan antara fiksasi plika vokalis dengan paralisis plika

vokalis15,20,24,25. Bayi dengan kerusakan pergerakan plika vokalis bilateral sebaiknya

menjalani foto kranial baik dengan CT-scan, USG maupun MRI untuk menegakkan

patologi pada batang otak. Sedangkan pemeriksaan fisik yang teliti pada leher dan foto

thoraks diperlukan untuk menegakkan patologi di daerah mediastinum.

Pada pasien yang mengalami imobilitas plika vokalis akibat sekunder gangguan

medis lain, maka penyebab utamanya harus diterapi terlebih dulu15,20. Dalam kebanyakan

kaus, imobilitas plika vokalis kongenital idiopatik sembuh secara spontan dalam 6-12

bulan pertama kehidupan, meskipun penyembuhan yang berhasil didokumentasikan yaitu

11 tahun kemudian dari kehidupan awal 1,20,23. Untuk kasus tersebut, terapi bersifat

onservatif. Pada kasus dengan toleransi jalan nafas yang signifikan, trakheotomi mungkin

dibutuhkan hingga penyembuhan spontan dari pergerakan plika vokalis terjadi8,20,23.

Pada pasien dengan imobilitas plika vokalis unilateral dan resiko terjadi aspirasi,

maka dapat dipasang nasogastric tube atau gastrotomi untuk memastikan intake nutrisi

yang cukup19. Injeksi medialisasi pada plika vokalis yang paralisis dengan memakai spons

gelatin absorbable (Gelfoam) atau kolagen juga efektif dalam mengurangi aspirasi pada

anak usia lebih tua 1,20,23. Tiroplasti tipe I memberikan alternatif disamping injeksi

medialisasi1,20. Banyak kontrovesi mengenai penggunaan prosedur tersebut pada pediatrik.

Pada bayi dan anak-anak, medialisasi plika vokalis parese dapat memperburuk jalan nafas.

Efek medialisasi laringoplasti pada perkembangan laring belum diketahui20+.

5

Page 6: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Pada pasien dengan imobilitas plika vokalis bilateral, pilihan terapi meliputi

lateralisasi plik vokalis, kordektomi parsial, arytenoidektomi melalui pendekatan

endoskopi atau eksternal serta ekspansi kartilago cricoid melalui pemisahan cricoid

antreior dengan penempatan graft1,8,26. Friedman dan kolega26 telah menunjukkan

penggunaan laser akrbondioksida untuk melakukan kordektomi parsial transver posterior

dimana bagian plika vokalis posterior diangkat setelah mengeluarkan ligamentum vokalis

dan muskulus vokalis dari kartilago arytenoid. Laser karbondioksida telah digunakan

dengan sukses untuk prosedur tersebut pada populasi orang dewasa selama bertahun-

tahun. Hal tersebut dapat menjadi pilihan pada anak-anak dengan toleransi jalan nafas

yang signifikan dan dengan kemungkinan kecil kembalinya fungsi plika vokalis yang

cukup.

3. Kista laring

Kista laring muncul dengan derajat obstruksi jalan nafas yang bervariasi, serak, dan

disfagia27-29. DeSanto dan koleganya30 mengelompokkan kista laring ke dalam bentuk

sakular, duktal atau kista foramina kartilago tiroid. Pada tahun 1997, Arens dan kolega31

menciptakan sebuah sistem klasifikasi baru dimana lokasi dari kista dan

histomorfologinya dipertimbangkan. Dalam sistem klasifikasi tersebut, kista laring

diklasifikasikan ke dalam kelompok kongenital, retensi atau inklusi.

Akhir-akhir ini, Forte dan koleganya28 mengusulkan sebuah sistem klasifikasi baru

untuk kista laring kongenital sebagai usaha dalam menuntun terapi yang berdasarkan

klasifikasi. Dalam sistem tersebut, klasifikasi berdasarkan pada luasnya kista dan asal dari

jaringan embriologis. Kista yang melekat pada laring dan terdiri dari elemen endodermal

diklasifikasikan sebagai tipe 1 dan dapat dieksisi dengan endoskopi secara komplit. Kista

dengan perluasan ekstralaring diklasifikasikan sebagai tipe 2 dan untuk eksisi komplitnya

memerlukan pendekatan dengan bedah terbuka. Kista tipe 2 dikelompokkan lagi kedalam

subkelompok 2a dan 2b. Kista subkelompok 2a berasal secara embriologis dari elemen

endodermis, sedangakan kista subkelompok 2b berasal baik dari elemen endodermal dan

mesodermal, sebagaimana terlihat dalam duplikasi laringotrakheal atau divertikulum.

Dalam jurnal ini, penulis memakai sistem klasifikasi DeSanto.

6

Page 7: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

a. Kista sakular

Sakula merupakan kantung membranosa yang terletak diantara plika ventrikularis

dan permukaan dalam kartilago tiroid32. Permukaan membran mukosa sakulayang normal

tertutup, dengan bagian terbuka yang bermuara ke dalam 60 atau 70 glandula pada

mukosa. Kompresi sakula oleh muskulus di sekitarnya akan menghasilkan sekresi mukus

untuk melubrikasi permukaan plika vokalis.

Kista sakular berasal dari obstruksi orificium/lubang daru sakula laring di dalam

ventrikulus, yang mengakibatkan retensi mukus pada sakula (Gambar 3)28. Meskipun

kista sakula dapat diidentifikasi dengan radiografi, endoskopi merupakan gold standard

untuk penegakan diagnosis23. Evaluasi endoskopi mengungkap adanya lesi kistik yang

mengandung cairan mukoid tebal, yang muncul dari belakang plika aryepiglotis pada kista

lateral, atau dari ventrikulus dan masuk ke dalam lumen laring, pada kista yang letaknya

anterior8,33. Aspirasi jarum mungkin bermanfaat untuk mendiagnosa lesi, namun drainase

kista hanya merupakan terapi sementara23,33. Marsupialisasi merupakan pilihan terapi

untuk kista sakular yang berukuran kecil. Namun, pada kasus kista kambuhan atau yang

berukuran besar, endoskopi atau eksisi bedah terbuka dibutuhkan untuk mengangkat

jaringan secara komplit5,25.

Gambar 3. Kista sakular

7

Page 8: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

b. Kista valekular

Kebanyakan neonatus dengan kista valekular (Gambar 4.) muncul dengan keluhan

stridor dalam beberapa minggu pertama kehidupan1. Gejala yang lain meliputi batuk,

kesulitan makan, episode sianosis dan kegagalan pertumbuhan. Diantara banyak teori

mengenai patogenesis kista valekular, kondisi yang paling mungkin yaitu akibat obstruksi

kelenjar mukosa yang terletak di dasar lidah29. Sekresi mukosa dari kelenjar di sekeliling

kista menyebabkan ukuran kista bertambah besar.

CT scan dapat bermanfaat untuk menunjukkan lokasi dan perluasan kista29. Namun,

endoskopi penting untuk mendiagnosis secara akurat kista valekular dan menyingkirkan

lesi valekular lain seperti kista dermoid, teratoma, tyroid lingual, limfangioma atau

hemangioma1,29. Evaluasi endoskopi mengungkap sebuah masa lokal yang halus dalam

ruang valekular. Scan tyroid radionukleotida mungkin dapat membantu untuk melokalisasi

fungsi jaringan tyroid.

Terapi definitif dari kista valekular meliputi eksisi endoskopi atau marsupialisasi1,29.

Aspirasi kista bermanfaat dalam mengamankan jalan nafas, namun sering menyebabkan

kekambuhan.

Gambar 4. Kista valekular

c. Kista duktus tyroglosus

Meskipun kista ini didapatkan umumnya di daerah leher, kista duktus tyroglosus

juga bisa muncul di daerah valekula dan mengakibatkan obstruksi jalan nafas1. Kista

tersebut dilapisi epitel pseudostratifikasi bersilia atau epitel skuamous. Stromanya

8

Page 9: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

mengandung kelenjar mukosa dan folikel tyroid. Identifikasi folikel tyroid dapat

membantu membedakan antara kista duktus tyroglosus dari kista valekular.

d. Kista duktus

Kista yang berasal dari obstruksi kelenjar submukosa-mukosal disebut dengan istilah

kista duktus1,29. Seperti jenis kista yang lain, terapinya dengan melakukan marsupialisasi

atau eksisi lesi secara komplit.

e. Laryngocele

Laryngocele merupakan akibat dilatasi abnormal sakulus laring223. Tidak seperti

kista sakular, laryngocele berhubungan dengan lumen laring23,34,35. Laryngocele dipenuhi

oleh udara sehingga sakulus membesar ke arah lumen laryng mengakibatkan obstruksi

jalan nafas dan tangisan yang lemah. Sakulus yang beridilatasi dapat membesar dan

meluas ke dalam leher lewat membrana tyroid.

Foto radiografi dapat mengungkapkan sebuah kantong berisi udara pada plika

aryepiglotis atau di leher bagian luar. Evaluasi endoskopi penting untuk menyingkirkan

lesi laring lainnya, seperti kista duplikasi laring, hamartoma, choristoma, dan teratoma

yang memiliki penampakan mirip27,34. Marsupialisasi endoskopi cukup untuk mengontrol

sebagian besar laryngocele23,28,35. Jika terdapat komponen eksternal, pendekatan dengan

bedah terbuka diperlukan untuk mengangkat lesi secara komplit35.

4. Atresia laring dan stenosis

a. Atresia Laring

Atresia laring merupakan kondisi yang jarang dijumpai, biasanya akibat kegagalan

laring dan trakhea mengalamai rekanalisasi selama embriogenesis5. Gejala yang timbul

khas saat lahir yaitu distress pernafasan berat. Atresia laring dapat didiagnosa selama masa

pre natal berdasarkan USG, dengan mengidentifikasi tanda kongenital yang disebut

dengan high airway obstruction syndrome (CHAOS), yaitu pembesaran paru

hiperekogenik, pendataran diafragma, paru-paru yang dipenuhi air, dilatasi jalan nafas di

bagian distal dari segmen yang mengalami obstruksi, hidrops fetalis dan polihidramnion36-

38. USG Doppler bermanfaat untuk melokalisasi derajat obstruksi dengan mendeteksi

hilangnya aliran udara pada trakhea selama pernafasan fetus.

Trakheotomi darurat diperlukan segera setelah lahir untuk mengamankan jalan

nafas. Diagnosis pre natal dari CHAOS memungkinkan penggunaan prosedur ex utero

intrapartum treatment (EXIT) untuk mengevaluasi dan mengamankan jalan nafas saat

lahir36,37. Pada prosedur tersebut, plasenta dipertahankan setelah kelahiran sampai jalan

9

Page 10: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

nafas berhasil diamankan. Umumnya, rekonstruksi laringotrakheal dilakukan pada tahap

usia selanjutnya5,6. Anomali yang terkait diantaranya yaitu fistel trakheoesofagus, atresia

esofagus, abnormalitas traktus urinarius, defek ekstremitas kaki, encephalocele, ginjal

tapalkuda, telinga letak-rendah5,37. Pada neonatus dengan kelainan fistel trakheoesofagus,

dapat dilakukan pengamanan jalan nafas sementara menggunakan intubasi esofagus.

b. Stenosis subglotis kongenital

Seseorang didiagnosis stenosis subglotis kongenital jika terdapat penyempitan

lumen laring pada regio cricoidea, dan pada anamnesis tidak didapatkan riwayat intubasi

atau trauma pasca pembedahan. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa bayi baru lahir

dengan usia kehamilan cukup diakatakan mengalami penyempitan lumen jika diameter

lumen laring < 4 mm dan pada bayi prematur 3 mm5, 6. Akan tetapi, beberapa ahli

berpendapat stenosis subglotis adalah jika diameter lumen laring pada bayi baru lahir < 3.5

mm 1, 8. Menurut Holinger, stenosis subglotis kongenital adalah malformasi kartilago

cricoidea39. Normalnya, diameter transversal sebanding dengan diameter anteroposterior1.

Pada stenosis subglotis, kartilago cricoidea berbentuk elips, dimana diameter transversal

lebih kecil dibanding diameter anteriposterior40.

Stenosis subglotis kongenital dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu

tipe membranosa dan tipe kartilaginosa5. Stenosis membranosa paling sering terjadi dan

bersifat paling ringan. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoplasi kelenjar submukosa

dengan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan. Stenosis kartilaginosa terbagi menjadi tiga

tipe, yaitu bentuk kartilago cricoidea abnormal dengan sekat-sekat pada sisi lateral, bentuk

elips, atau bentuk kartilago cricoidea normal tetapi diameter yang lebih kecil dari ukuran

normal.

Pada umumnya, diagnosis stenosis subglotis kongenital dapat ditegakkan pada

beberapa bulan awal kehidupan. Gejala-gejala yang muncul bervariasi dari dispnea ringan

sampai obstruksi jalan nafas yang berat5, 23. Stridor yang muncul cenderung bersifat bifasik

atau dapat juga stridor inspiratoir. Pada kasus-kasus yang ringan, manifestasi gejala hanya

muncul saat terdapat infeksi saluran pernafasan, yaitu saat terdapat edema dan sekret yang

kental pada jalan nafas. Gejala yang khas pada anak-anak adalah adanya batuk yang

disertai sesak nafas yang bersifat berulang atau persisten. Anak-anak dengan sindrom

Down memiliki kemungkinan yang besar untuk mengalami penyempitan saluran nafas

kongenital5. Sering kali, anak-anak ini tidak menunjukkan gejala, tetapi biasanya bila

dilakukan anestesi dengan intubasi mengalami kesulitan.

10

Page 11: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Derajat stenosis subglotis ditentukan oleh sistem Myer-Cotton1, 5. Penentuan ini

menggunakan endotracheal tube yang dipasang secara berurutan. Endotracheal tube yang

menunjukkan kebocoran tekanan <30 cmH20, dianggap sebagai ukuran endotracheal tube

seseorang. Ukuran endotracheal tube dan umur dibandingkan dengan suatu ketetapan

sistem yang nantinya akan menunjukkan derajat stenosis. Foto polos kurang bermanfaat

untuk menilai subglotis8, 23. Foto servikal anterior-posterior dapat menunjukkan

penyempitan pada subglotis8.

Stenosis subglotis kongenital tidak lagi terlalu dipermasalahkan ketika laring

mengalami perkembangan. Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala yang muncul dapat

hilang dalam beberapa tahun5, 8. Oleh karena itu, stenosis derajat I memerlukan observasi

dan pendekatan yang tepat1. Untuk beberapa kasus yang berat, intervensi pembedahan

mungkin dibutuhkan 1, 5, 25. Kurang dari 50% anak-anak membutuhkan trakeostomi dan

sebagian besar dapat membaik dengan tindakan dekanulisasi saluran pernafasan5. Pilihan

tindakan pembedahan lainnya seperti dekompresi laringotrakeal anterior atau rekonstruksi.

Tindakan ini dianjurkan untuk mencegah komplikasi trakeostomi, termasuk peningkatan

risiko terjadinya infeksi, adanya hambatan dalam dekanulisasi, pemasangan endotracheal

tube, dan adanya retardasi perkembangan bicara dan bahasa1, 5, 8, 23, 41. Tindakan

pembedahan dilatasi dan laser endoskopi tidak efektif, terutama pada stenosis

kartilaginosa1, 23.

Menurut Cotton dan Seid, teknik ACS merupakan suatu alternatif trakeostomi42.

Kesuksesan teknik ini pada bayi dengan stenosis subglotis berkisar atara 58%-100%

dengan komplikasi minimal. Teknik ini melibatkan kartilago cricoidea, yaitu dua cincin

trakea yang pertama dan kaudal kartilago tiroid pada garis tengah. Pada tahun 1991,

Richardson dkk. 43 mendemonstrasikan bahwa penggunaa graft kartilago tulang iga

bersama dengan ACS, memberikan hasil yang lebih efektif. Sejak saat itu, kartilago

aurikula, tulang hioid, dan kartilago alar tiroid, digunakan untuk memperluas subglotis

yang mengalami penyempitan44-46.

5. Hemangioma Subglotis

Hemangioma merupakan lesi vaskuler kongenital yang berkembang secara cepat

pada bulan-bulan pertama kelahiran2, 47, 48. Ukurannya stabil antara usia 12 dan18 bulan.

Hemangioma pada usia ≥ 5 tahun menjadi suatu penyakit yang rumit. Hemangioma

subglotis kongenital jarang ditemukan, tetapi berpotensi fatal47. Angka kejadiannya

sebesar 1.5% dari berbagai abnormalitas laring kongenital. Perbandingan wanita dan pria

2:1 41, 50, 51. Gejala yang muncul mungkin mirip dengan stenosis subglotis, yaitu batuk

11

Page 12: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

berulang dan stridor bifasik8, 37,. Gejala-gejala lainnya meliputi barking cough, hoarseness,

sianosis, hemoptisis, disfagia, dan kegagalan pertumbuhan8, 52. Kira-kira pada 50% bayi

terdapat hemangioma kutaneus8, 50.

Gambar 5. Hemangioma Subglotis

Adanya kemungkinan terjadinya hemagioma dinilai berdasarkan riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, dan khususnya gambaran endoskopi. Foto polos leher mungkin

menunjukkan penyempitan subglotis yang asimetris52. Endoskopi yang fleksibel dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan abnormalitas laring lainnya.

Endoskopi rigid dapat menunjukkan gambaran merah sampai biru, kompresibel, lesi yang

bersifat melekat, dimana lokasi tersering pada subglogis posterolateral47. Secara histologi,

hemangioma berisiko mudah berdarah. Secara mikroskopis, hemangioma tersusun atas

pembuluh darah kapiler vena yang kecil dan berdinding tipis yang dilapisi oleh selapis sel-

sel endotel yang pipih atau yang membengkak, yang dikelilingi oleh jaringan ikat atau

retikuler.

Terdapat banyak pilihan terapi hemangioma subglotis. Dahulu hanya dilakukan

observasi dan beberapa pendekatan dengan atau tanpa trakeostomi49. Trakeostomi

bertujuan mengamankan jalan nafas sampai hemangioma mengalami regresi. Dengan

kemajuan terapi untuk mengurangi ukuran lesi, tindakan trakeostomi dapat dihindari

dengan tujuan mencegah komplikasi yang dapat terjadi52. Pilihan terapi lainnya meliputi

radioterapi, cryoterapi, skleroterapi, terapi interferon alfa-2A, penggunaan kortikosteroid

sistemik atau intralesi, pembedahan reseksi, ablasi dengan laser41, 4, 50, 52, 53.

12

Page 13: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Radioterapi, cryoterapi, dan skleroterai sudah tidak digunakan lagi karena efek

sampingnya41, 47. Radioterapi pertama kali diperkenalkan oleh New dan Clark tahun 199154.

Terapi ini menunjukkan hasil yang baik tetapi karena berisiko membahayakan mukosa

saluran pernafasan, terapi ini tidak digunakan lagi sejak akhir tahun 1970-an47. Cryoterapi

pertama kali digunakan oleh Scechter dan Biller pada tahun 1972, dengan respon yang

hanya bersifat sementara. Tingkat kerusakan jaringan dengan terapi ini tidak dapat

diprediksi dan dapat menyebabkan stenosis subglotis47. Oleh karena itu terapi ini tidak

menjadi pilihan terapi lagi. Skleroterapi dinilai tidak efektif sebagai pengobatan dan dapat

menimbulkan komplikasi seperti hemoglobinuria, kerusakan saraf, ulserasi, dan

kelemahan kardiovaskuler48. Saat ini, penelitian terfokus untuk meningkatkan agen-agen

skleroterapi dan menemukan metode pengobatan yang lebih efektif dengan efek samping

minimal.

Pada tahun 1994, Ohlms dkk. 56 melaporkan pengobatan hemangioma subglotis yang

berhasil pada delapan pasien menggunakan interferon alfa-2A. Akan tetapi, terapi ini idak

digunakan lagi karena berisiko terjadinya diplegia spastik47, 48. Penggunaan kortikosteroid

sistemik terbukti efektif pada 25% kasus57. Penurunan laju proliferasi, penurunan

konsistensi tumor, perubahan warna dapat terjadi dalam beberapa hari atau beberapa

minggu47, 57. Pada terapi ini harus dilakukan penurunan dosis secara per tahap untuk

mencegah terjadinya rebound growth47. Terapi ini efektif untuk lesi yang berukuran

kecil57. Akan tetapi terapi jangka panjang dapat menyebabkan sindrom Cushing,

hipertensi, , imunodefisisensi, dan retardasi pertumbuhan41, 57. Injeksi steroid intralesi

memililiki respon terapi sama seperti kortikosteroid sistemik tanpa efek samping, tetapi

memerlukan terapi berulang kali47, 57.

Operasi reseksi pertama kali dilakukan oleh Sharp pada tahun 194958. Saat ini, terapi

ini direkomendasikan untuk lesi-lesi tertentu yang mengancam jalan nafas, termasuk

hemangioma yang berukuran besar, hemangioma yang menyebabkan obstruksi saat fase

proliferasi; hemangioma subglotis bilateral; dan hemangioma yang meluas sampai ekstra

laring41, 50, 51, 53. Pada tahun 1974, Evans dan Todd59 melakukan operasi eksisi hemangioma

yang dilanjutkan dengan laringotrakeoplasti. Beberapa pasien membutuhkan trakeotomi

dan tindakan stenting post operasi. Kemajuan pada laringotrakeoplasti dapat dilakukan

pada operasi reseksi sebagai prosedur tunggak dengan masa waktu intubasi endotrakeal

yang singkat atau sebagai prosedur yang dilanjutkan dengan tindakan dekanulisasi setelah

subglotis pulih sempurna8, 53.

13

Page 14: Jurding Congenital Larynx Anomaly (Isi Jurding)

Tindakan ablasi laser CO2 pertama kali dilakukan oleh Simpson dkk pada tahun

197960. Pada tahun 1980, Healy dkk. Mendemonstrasikan efektivitas penggunaan ablasi

laser CO2 dengan satu atau dua aplikasi pada 11 pasien. Terapi ini menunjukkan hasil yang

bervariasi, mulai dari dekanulisasi lebih awal dan tingkat komplikasi yang rendah sampai

efektivitas terapi yang minimal dengan tingkat komplikasi yang tinggi47, 43. Komplikasi

yang dimaksud termasuk adanya jaringan parut dan stenosis subglotis yang signifikan 41, 47,

50.

Penggunaan laser potassium-titanyl-phosphate (KTP) juga menunjukkan hasil terapi

yang bermanfaat47, 50. Laser KTP dengan panjang gelombang 532 nm diserap oleh

hemoglobin. Tidak seperti laser CO2, laser ini dapat ditransmisikan melalui fiberskopi

yang fleksibel50, 51. Laser KTP melakukan penetrasi ke jaringan secara signifikan dan dapat

menyebabkan perubahan suhu yang membahayakan kartilago cricoidea dan trakea47, 50, 51.

Madgy dkk.39 melaporkan bahwa satu dari enam pasien yang diterapi ablasi dengan laser

KTP mengalami stenosis subgloti derajat I.

14