Judicial Activism

55
KEBEBASAN HAKIM DALAM PENEGAKAN HUKUM DITINJAU DARI JUDICIAL ACTIVISM DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................... ........................... i DAFTAR ISI ....................................................... ......................................... ii A. PENDAHULUAN ....................................................... ...................... 1 1. Latar Belakang Masalah ........................................... 1 2. Rumusan Masalah ........................................... 3 3. Tujuan .................................... ........................................... 3 4. Metode .................................... ........................................... 3 B. KAJIAN PUSTAKA................................................ ......................... 4 1. Judicial Activism ........................................... 4 2. Kebebasan Hakim Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan...... 9 C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS............................................... .... 14 1. Dasar Hukum Judicial Activism ........................................... 1 4 2. Penerapan Judicial Activism Dalam Penegakan Hukum ............ 1 6 D. PENUTUP ....................................................... .................................. 24 1. Kesimpulan ................................ ........................................... 2 4 2. Saran ..................................... ........................................... 2 4

description

Hukum

Transcript of Judicial Activism

Page 1: Judicial Activism

KEBEBASAN HAKIM DALAM PENEGAKAN HUKUM

DITINJAU DARI JUDICIAL ACTIVISM

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

A. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3

3. Tujuan ......................................................................................... 3

4. Metode ........................................................................................ 3

B. KAJIAN PUSTAKA......................................................................... 4

1. Judicial Activism ......................................................................... 4

2. Kebebasan Hakim Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan...... 9

C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS................................................... 14

1. Dasar Hukum Judicial Activism .................................................. 14

2. Penerapan Judicial Activism Dalam Penegakan Hukum ............ 16

D. PENUTUP ......................................................................................... 24

1. Kesimpulan ................................................................................. 24

2. Saran ............................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 25

ii

Page 2: Judicial Activism

1

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Judicial Activism lahir dari common law system yang lebih memiliki

orientasi kepada hukum yang tercipta dari adanya peristiwa yang terdapat dalam

masyarakat.1 Common law system berkembang berdasarkan keputusan pengadilan

yang merujuk pada tradisi, custom dan preseden. Bentuk reasoning yang

digunakan dalam common law dikenal dengan casuistry atau case based

reasoning. Commom Law dapat berbentuk hukum yang tidak tertulis dan hukum

tertulis seperti yang tertuang dalam statutes maupun codes. Common law system

merupakan sistem hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi.

Bentuk common law system di atas, berbeda dengan bentuk sistem civil law

terdiri dari statutes, regulation dan customs. Statutes adalah merupakan undang-

undang, sedangkan regulasi merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya

telah melalui power delegation dari legislatif dengan eksekutif. Sumber ketiga

yaitu custom atau kebiasaan cukup menarik untuk dicermati mengingat custom

bukan merupakan suatu legal term yang tepat dalam dunia positivisme. Custom

adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat yang tidak dituangkan

dalam bentuk tertulis (non statory law). Adapun alasan pengkualifikasian

kebiasaan ke dalam sumber hukum dengan syarat kebiasaan itu merupakan

representasi hukum dengan catatan atau reserve tidak ada statute dan regulasi

yang bertentangan dengannya (custom).2

Judicial Activism merupakan sebuah cara permenungan, mencari, atau

menggali filosofi dari hukum dalam pembuatan putusan peradilan, hakim

diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya berkaitan dengan

kebijakan publik, juga pelbagai faktor-faktor lainnya, untuk menuntunnya

memutuskan sebuah permasalahan.3

1 Pan Mohamad Faiz, Konstitusi dan Aktivisme Yudisial (artikel), Kolom Opini JurnalNasional Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2009

2 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, ctk. Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 75

3 Bryan A. Garner (Edt), Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, West, a ThomsonBusiness, USA, 2004, hlm. 862.

Page 3: Judicial Activism

2

Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami dan

diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam pembuktian diproses

persidangan, hakim mencari kebenaran materiil, bukan sekedar kebenaran formil.

Disamping itu, perlu disadari juga bahwa Judicial Activism dapat

mengisi kekosongan hukum dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.4

Pemikiran hukum di Indonesia mengenai Judicial Activism masih belum

terlalu umum dikenal oleh masyarakat karena belum merupakan “arus utama”

dalam penegakan hukum, masih terlalu banyak Hakim yang tidak menerapkan

Judicial Activism dalam menegakan hukum, meskipun peraturan perundang-

undangan memberikan kemungkinan yang luas penerapan Judicial Activism.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud berkaitan dengan Judicial

Activism tercantum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang

secara yuridis memberikan dasar kemandirian bagi Hakim untuk menegakkan

hukum sesuai dengan rasa keadilan, dan Hakim tidak terikat secara harfiah pada

peraturan perundang–undangan yang berlaku, dalam hal ini Hakim didorong

untuk melakukan penemuan hukum.5

Sementara itu, dalam hal penerapan Judicial Activism tidak sebatas

menerapkan peraturan perundangan yang menekankan kepastian hukum tetapi

berkeadilan yang berkembang di masyarakat. Hakim bukan hanya menjadi corong

undang-undang, tetapi hakim yang juga dapat menggali nilai-nilai keadilan di

balik pasal-pasal yang mati dalam bidang hukum perdata, bidang hukum pidana,

maupun Hakim bidang hukum administrasi (Tata Usaha Negara). Meskipun

Hakim yang menerapkan Judicial Activism tentu akan mendapatkan banyak kritik,

bahkan cemoohan. Sebab, seorang hakim yang menempuh Judicial Activism tidak

hanya berhenti pada buku teks, tetapi menggali nilai keadilan yang kontekstual

dan akan menjadi juru bicara keadilan dalam suatu kasus atau fenomena hukum

harus mencermin rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

4 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.

5 H.A. Mukhsin, Asyrof, Asas–Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum olehHakim dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No.252 Bulan November2006, Ikahi, Jakarta. 2006, hlm.84.

Page 4: Judicial Activism

3

Bertititik tolak pada uraian di atas, dalam makalah ini mencoba untuk

mendekripsikan dan menganalisis Judicial Activism berkaitan dengan aspek

kebebasan hakim dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalahnya adalah:

a. Apa yang menjadi dasar hukum bagi penerapan Judicial Activism dalam

penegakan hukum?

b. Bagaimana penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum?

3. Tujuan

Tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan:

a. Dasar hukum bagi penerapan Judicial Activism dalam penegakan

hukum.

b. Penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum.

4. Metode

Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode yuridis

normatif. Metode yuridis normatif yaitu berupa penelitian terhadap peraturan

perundang-undangan, studi kepustakaan dan bahan-bahan hukum lainya yang

berkaitan dengan penulisan kajian ini. Pendekatan ini dilakukan guna memperoleh

data sekunder dibidang hukum dan untuk melengkapi serta menunjang data yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun penjabaran buku-buku.

Page 5: Judicial Activism

4

B. KAJIAN PUSTAKA

1. Judicial Activism

Istilah Judicial Activism, diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa

Indonesia dengan istilah ”Keaktifan Hakim” atau ”Keaktifan peradilan.6

Pengertian Judicial Activism: a philosophy of judicial decision making,

whereby judges allow their personal views about public policy, among other

factors, to guide their decision, usually with the suggestion that adherents of this

philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore

precedent.7 (Judicial Activism adalah sebuah cara permenungan, mencari, atau

menggali filosofi dari hukum dalam pembuatan putusan peradilan, Hakim

diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya berkaitan dengan

kebijakan publik, juga pelbagai faktor lainnya, untuk menuntunnya memutuskan

sebuah permasalahan).

Judicial Activism merupakan proses dan upaya pengadilan untuk mencapai

puncak kearifan dalam melaksanakan tugas yudisialnya yang dalam putusannya

mengacu pada nilai-nilai keadilan (etis), kebenaran (logis), estetis (harmoni) bagi

pencari keadilan dan pemangku kepentingan (stakeholder). Keadilan di dunia

tidak pernah sempurna tetapi harus diupayakan secara maksimal, dengan

mempergunakan potensi yang dianugerahkan Allah yang Maha Kuasa. Hal yang

salah adalah orang yang merasa paling benar, karena pada diri manusia melekat

keterbatasan-keterbatasan. Upaya maksimal mempergunakan potensi

kemanusiaan merupakan kebajikan dan keutamaan moral para Hakim dalam

beramal-ilmiah dengan ilmu-amaliah dalam menegakan kebenaran dan keadilan.8

Judicial Activism menurut S.P. Sathe merupakan proses pengambilan

putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini melebihi filsafat

6 Lord Denning adalah orang yang memperkenalkan teori Judicial Activism. Hakim asal Inggris ini populer dengan pernyataan "Berikan saya hukum yang buruk dengan hakim-hakim yang baik, maka saya dapat memberikan keadilan. Tetapi berikan saya hukum yang baik dengan hakim-hakim yang buruk, maka saya tak dapat melakukannya"

7 Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, Thomas Reuters, WestPublishing Co, 2009, hlm 922

8 Artidjo Alkostar, Hukum Pidana Serta Tuntutan Tegaknya Kebenaran dan Keadilan, (makalah) Bahan Rakernas Mahkamah Agung, Jakarta, 2012, hlm 13

Page 6: Judicial Activism

5

hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil

masyarakat. Judicial Activism juga dipahami sebagai dinamisme para Hakim

yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui

batas-batas konstitusi.9

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Judicial Activism

bermakna apabila seorang Hakim mengenakan pandangan atau paham pribadinya

dalam batasan rambu peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan

rasa keadilan yang hidup dalam masayarakat, yang diwujudkan dalam putusan

yang memperkuat keadilan.

Tujuan Judicial Activism menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja adalah

memperbarui paradigma hukum dalam upaya menuju puncak kearifan dalam

memutus perkara. Dalam arti pula, mengeluarkan energi maksimal

memberdayakan potensi intelektual dan potensi spiritual mencapai kebenaran

hakiki dan keadilan sejati.10

Judicial Activism dapat diterapkan dalam berbagai macam proses peradilan,

yaitu : bidang Hukum Perdata, bidang Hukum Pidana, bidang

Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara), dan lain sebagainya, dengan variasi

kasus-kasusnya11, dan dapat digunakan dalam berbagai cara:

a. pengadilan membuat keputusan yang mendukung atau meningkatkan

kepentingan sosial (seperti, pengakuan dan penegakan hak-hak sipil oleh

Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1960-an);

b. pembuatan keputusan dengan mempertimbangkan hukum atau prinsip-

prinsip baru yang signifikan, seperti : pangkuan Mahkamah Agung

Australia dalam Kasus Mabo tahun 1992 tentang pengakuan hak atas

tanah orang-orang Aborigin atas tanah yang mereka tempati; dan

c. pengadilan mengamati dengan serius dasar hukum tindakan-tindakan

executive yang mungkin secara politik tidak disenangi atau kontroversi.12

9 S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.

10 Ibid, hlm 15

11 Paulus Effendie Lotulung, Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata UsahaNegara, (makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011, hlm 1

12 Ibid

Page 7: Judicial Activism

6

Berkaitan dengan hakekat Judicial Activism, ketika Hakim menghadapi

persoalan hukum dalam kasus kongkrit yang harus diadili, sementara kodifikasi

hukum bersifat statis, disisi lain perkembangan hukum masyarakat bersifat

dinamis, maka diperlukan peranan Hakim yang aktif dalam proses peradilan

mensyaratkan kemampuan berpikir dan kemampuan (profesionalitas) Hakim

untuk mencari dan menemukan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan,

sehingga Hakim dalam memutus perkara harus menguasai berbagai metode dan

cara menemukan hukum.

Pemenuhan rasa keadilan dalam penegakan hukum mendorong Hakim

dalam memutus perkara harus ada Judicial Activism yang dapat dimaknai Hakim

aktif mengikuti perkembangan hukum, termasuk kebijakan-kebijakan publik yang

berubah, untuk dipakai sebagai pertimbangan dalam memutus perkara karena

perubahan-perubahan mengakibatkan bergesernya rasa keadilan dalam putusan-

putusan yurisprudensi Hakim sebelumnya.

Judicial Activism dalam mengikuti perkembangan hukum dan kebijakan

publik beserta perubahannya menjadi bagian dari Judicial Activism dalam proses

peradilan, karena perubahan-perubahan tersebut Hakim harus menerapkan

ketentuan hukum yang baru atau mengubah suatu ketentuan hukum lama dengan

cara menemukan atau menciptakan hukum (Judge Made Law).

Penemuan hukum menurut Paul Scholten adalah sesuatu yang lain daripada

hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan

bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturanya harus ditemukan, baik dengan

jalan interprestasi maupun dengan jalan analogi maupun rechsvervijning

(penghalusan atau pengkonkritan hukum).13

Penemuan hukum oleh Hakim menurut Sudikno Mertokusumo dilakukan

dengan cara, interprestasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan

hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar

ruang lingkup kaidah dalam Undang–undang tersebut dapat diterapkan pada

peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh Hakim merupakan penjelasan yang

harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai

peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan

13Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 146.

Page 8: Judicial Activism

7

penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu

berlaku.14

Jazim Hamidi mengatakan bahwa penemuan hukum mempunyai cakupan

wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat

dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para

Hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain.15 Akan tetapi menurut

Sudikno Mertokusumo, profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum

adalah para Hakim, karena setiap harinya Hakim dihadapkan pada peristiwa

konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan hukum oleh Hakim

dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh Hakim

merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena

hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan.16

Penemuan hukum membutuhkan atau memerlukan metode penafsiran.

Penafsiran sebagai suatu metode penemuan hukum secara historis memiliki

relevansi dengan tradisi hermeneutik yang sudah sangat tua usianya. Semula

hermeneutik adalah teori yang menyibukkan diri dengan ihwal menginterpretasi

naskah, karena itu pada permulaan digunakan terutama oleh para teolog, yang

tugasnya memang berurusan dengan naskah-naskah keagamaan. Kemudian

cabang ajaran-ilmu ini juga menarik perhatian para historikus, ahli kesusasteraan

dan para yuris. Perkataan hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, yakni kata

kerja ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’ atau ‘menginterpretasi’ dan kata

benda ‘hermeneia’ yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’.17

Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara

garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

interpretasi harfiah dan interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan

interpretasi yang semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan

sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan

14 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung, 1993.hlm. 13.

15 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan InterpretasiTeks, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 51.

16 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,1993

17 J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Den Haag:

Page 9: Judicial Activism

8

Kluwer-Deventer, 1993), hal. 139

Page 10: Judicial Activism

interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga

dengan interpretasi bebas. Disebut bebas karena penafsiran ini tidak mengikatkan

diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). Dengan

demikian, penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu

peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa

memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.18

Beberapa metode penafsiran berdasarkan dari hasil penemuan hukum

(rechtsvinding), metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam,

yaitu metode penafsiran restriktif dan metode penfasiran ekstensif.

Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat

membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan Undang-Undang, ruang lingkup

ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah

prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak

dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan

perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara

tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan

interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang

ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.19

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode

interpretasi yang lazimnya digunakan oleh Hakim (pengadilan) antara lain adalah

penafsiran tekstual (textualism or literalism) atau penafsiran harfiah ini

merupakan bentuk atau metode penafsiran konstitusi yang dilakukan dengan cara

memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di dalam dokumen atau teks yang

dibuat oleh lembaga legislatif (meaning of the words in the legislative text).

Dengan demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman

terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau Undang-Undang

sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.20

Sementara itu, menurut Feri Amsari cara Hakim menafsirkan atau

memaknai sebuah aturan hukum umumnya menggunakan dua pola tafsir, yaitu

18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95.19 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., hlm. 13-20

Page 11: Judicial Activism

20 Ibid, hlm. 14.

Page 12: Judicial Activism

original intent atau non-original intent, biasa disebut juga dengan tekstual

meaning atau contextual meaning. Intinya dua pola tersebut adalah pertikaian tak

berkesudahan antara penganut paham positivisme hukum dan utilitarianisme

(hukum progresif). Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai

the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum

progresif.21 Namun tidak semua sepakat bahwa hukum itu harus terbuka terhadap

sebuah jaman.22

Metode penafsiran mana yang akan dipilih dan digunakan oleh Hakim

dalam menghadapi perkara-perkara hukumnya, pada akhirnya berpulang pada

Hakim. Hakim dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan

keyakinan hukumnya. Pemanfaatan metode interpretasi yang beragam dalam

praktik peradilan, dan tidak adanya tatanan yang hierarkis di antara metode itu

menurut J.A. Pontier mengimplikasikan kebebasan Hakim yang luas untuk

mengambil keputusan.23

2. Kebebasan Hakim Dalam Menegakan Hukum dan Keadilan

Kebebasan Hakim diperlukan dalam menerapkan Jusicial Aktivism dan

kebebasan Hakim sebagai wujud dari kekuasaan kemandirian kehakiman.

Pentingnya kekuasaan kehakiman dinyatakan oleh Harold J. Laski: Certainly no

man can over estimate the importance of the mechanism of justice.24

Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell: A theory of

judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned

with every inside and outside influence on judges.25 Dalam hal Hakim yang bebas

dalam proses peradilan, menurut Kelsen: the judges are, for instance, ordinarily

‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders

21 Feri Amsari, Menghambat Laju Judicial Terorism Pada Putusan MK22 h tt p ://e n . w i k i p e d ia .or g / w i k i / L i v i ng _ C o ns t it u ti o n , d iakses pada tanggal 8 Februari 2013,

14:38 Wib.23 J.A. Pontier, Op. Cit., hlm. 9424 Harold J. Laski, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd.,

1957,hlm.541.25 Russell, Peter H., and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of

Democracy, Critical Perspectives From Around The World, Toronto: Constitutionalism &

Page 13: Judicial Activism

Democracy Series, McGraw-Hill, 1985, hlm.12.

Page 14: Judicial Activism

1010

(instructions) of superior judicial or administrative organs.26 Dalam proses

peradilan Hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah

atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi.

Kaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema berpendapat

bahwa dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman

yang merdeka (Hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem

hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang

akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum

yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan

kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.27

Kebebasan hakim didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di

Indonesia dijamin dalam UUD 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam

Pasal 24 UUD 1945 yang dipertegas dengan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun

2004 jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 2 Undang-Undang No. 5

Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009, pada prinsipnya secara

subtantif mengandung arti bahwa kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai

kemandirian dalam makna terdapatnya kebebasan penuh dan tidak adanya

intervensi dalam kekuasaan keHakiman, hal ini mencakup tiga hal yaitu: (a) bebas

dari campur tangan kekuasaan apapun, (b) bersih dan berintegiritas, dan (c)

professional.28

Kebebasan Hakim menurut Paulus E Lotulung merupakan personifikasi

dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidak berada dalam ruang hampa tetapi

dibatasi oleh rambu-rambu; (a) akuntabilitas; (b) integritas moral dan etika; (c)

transparansi; (d) Pengawasan (kontrol)29; dan (e) tuntutan masyarakat.30

26 Hans Kelsen, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, NewYork: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, Inc., 1961, hlm.275.

27 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM- UNISBA1995,hlm.5-6

28 T.Subarsyah Sumdikara, Penegakan Hukum Sebuah Pendekatan Hukum Dan PolitikKriminal, Kencana Utama Bandung. Februari 2010, hlm 223.

29 Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Makalah DisampaikanPada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diiselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14 -18 Juli 2003

30 Stammler dalam Friedmann, 1994, Teori Filasafat Hukum, Idealisme Filosofi Problema

Page 15: Judicial Activism

1111

Keadilan (Susunan II), Iakarta, Raja Grafindo Persada, hlm 29

Page 16: Judicial Activism

1212

Pertama, pertanggungjawaban kehakiman (judicial accountability) tersebut

merupakan:

1. pertanggungjawaban politik Hakim dan lembaga kehakiman, ketika

dimintai tanggungjawab oleh parlemen atau DPR;

2. pertanggungjawaban publik-kemasyarakatan Hakim dan lembaganya,

yaitu bahwa keduanya dapat dikritik oleh mayarakat. Caranya dengan

mengekpose kepada masyarakat, yaitu melalui publikasi putusan

pengadilan termasuk perbedaan pendapat di antara anggota majelis

Hakim (dissenting opinion);

3. pertanggungjawaban hukum baik eksklusif maupun inklusif. Untuk

tanggungjawab eksklusif maka lembaga keHakiman ikut

bertanggungjawab atas kekeliruan Hakim dalam melaksanakan tugasnya

kepada publik, sedangkan tanggungjawab inklusif hanya dibedakan

kepada Hakim; dan

4. pertanggungjawaban hukum yang bersifat individual, yaitu

tanggungjawab Hakim terhadap ketentuan-ketentuan pidana termasuk

korupsi, perdata, serta disiplin dan kode etik profesi

Kedua, integritas Hakim dan etika mempengaruhi kebebasan Hakim karena

kebebasan Hakim tersebut harus disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan

kehormatan martabat Hakim. Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

disebutkan bahwa Hakim tidak memiliki integritas, apabila:

1. mengadili suatu perkara padahal memiliki konflik kepentingan, baik

karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan

lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik

kepentingan;

2. berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat,

Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh

Hakim yang bersangkutan;

3. tidak membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak

langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum

Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat;

4. melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara,

Page 17: Judicial Activism

1212

menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani

suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

5. mengadili suatu perkara padahal memiliki hubungan keluarga, Ketua

Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang

menangani perkara tersebut;

6. mengadili suatu perkara padahal Hakim itu memiliki hubungan

pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara;

7. mengadili suatu perkara padahal pernah mengadili atau menjadi

Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan

di Pengadilan tingkat yang lebih rendah;

8. mengadili suatu perkara padahal pernah menangani hal-hal yang

berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili,

saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim;

dan

9. mengizinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang

tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat

mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-

tugas peradilan.

Ketiga, transparansi Hakim dalam penyelenggaraan dan proses memberikan

keadilan diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan

serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-

putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga putusan-

putusan tersebut dapat menjadi objek kajian hukum dalam komunitas hukum.

Keempat, yang dapat mempengaruhi kebebasan Hakim adalah adanya

pengawasan baik internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh

Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini,

Mahkamah Agung yang memiliki fungsi pengawasan dalam lingkup

kekuasaan kehakiman. Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan

pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan

yang berada di bawahnya. Selanjutnya, Pasal 32 Undang-Undang No.3

Tahun

Page 18: Judicial Activism

1313

2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang

menjadi kewenangan Mahkamah Agung ya n g p a d a i n t i n ya yang

harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan

(rechtsgang) dengan tujuan agar pengadilan menyelenggarakan proses peradilan

dengan seksama dan sewajarnya. Namun demikian pengawasan dan

kewenangan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh mengurangi

kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Sedangkan

pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dalam

amandemen Ketiga Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945). Komisi Yudisial merupakan sebuah lembaga

negara bantu (state auxiliary institutions) yang memiliki fungsi

pengawasan terhadap perilaku Hakim. Kehadiran Komisi Yudisial yang

merupakan lembaga independen dan terpisah dari Mahkamah Agung dapat

memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi pengawasan

eksternal.

Kelima, yang cukup penting yang dapat mempengaruhi kebebasan Hakim

adalah adanya tuntutan dari masyarakat dengan berbagai latar belakang

sosial budaya mempunyai harapan atau tuntutan sesuai dengan pandangan atau

persepsinya masing-rnasing. Dalam hal ini Hakim mau tidak mau harus pula

memperhatikan rasa keadilan masyarakat disamping keadilan yang tertuang dalam

hukum formal. Keadilan itu sifatnya abstrak, karena adil bagi seseorang belum

tentu adil bagi orang lain. Kecenderungan untuk menyamakan hukum dan

keadilan adalah kecenderungan untuk membenarkan suatu tata sosial tertentu. Ini

adalah kecenderungan politik bukan kecenderungan hukum.31 Tuntutan akan

keadilan dan kepastian merupakan bagian yang tetap dari cita hukum yang

mengarahkan semua sarana dan tujuan kesatu arah.32

31 Hans Kelsen Hans, Alih Bahasa Somardi, Teori Hukum Murni, Rindi 1995, Press, hlm 39

Page 19: Judicial Activism

1414

32 Stammler dalam Friedmann, 1994, Op. Cit, hlm 29.

Page 20: Judicial Activism

1515

C. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1. Dasar Hukum Judicial Activism

Perundang-undangan yang berkaitan dengan yang mengatur kekuasaan

kehakiman meliputi UUD 1945 dan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan. Hal serupa juga termuat pada Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Dengan demikian

penekanannya bukan hanya pada kepastian hukum, tetapi pada kepastian hukum

yang adil.

Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 1 (satu) Undang-Undang

No. 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum

Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka, akan

sangat menentukan kualitas, kredibilitas, dan integritas keseluruhan proses

peradilan. Lembaga yang mempunyai kekuasaan kehakiman hanya lembaga

pengadilan, maka lembaga pengadilan yang bersih dan kebal (clean and immune)

dari segala campur tangan pihak kekuasaan.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

Ketentuan di atas, untuk mengantisipasi Hakim dalam pemeriksaan dan

memutus perkara ternyata seringkali menghadapi suatu kenyataan bahwa hukum

yang sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan

sengketa yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya dengan

Page 21: Judicial Activism

1616

menemukan sendiri hukum itu.33 Jadi, dalam penemuan hukum yang penting

adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa

konkret (in-concreto).34 Dalam hal menemukan hukum untuk memutuskan suatu

perkara ketika seorang Hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-

nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat yang berlaku untuk

seluruh Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam ruang lingkup

hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi.

Sementara itu, berkaitan dengan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan

dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya”.

Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman memberi makna bahwa Hakim sebagai organ utama Pengadilan dan

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk

menemukan hukum dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada

atau kurang jelas.

Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak

lengkap atau hukum samar-samar.35 Karena menurut Sudikno Mertokusumo

kegiatan kehidupan manusia itu luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya,

sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan

dengan tuntas dan jelas, maka wajar apabila tidak ada peraturan perundang-

undangan yang dapat mencakup akan keseluruhan kehidupan manusia, sehingga

tidak ada peraturan perundang-undangan yang selengkap-lengkapnya dan yang

sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak jelas maka harus dicari dan

ditemukan karena itu, diperlukan kebebasan Hakim.36

Hanya saja, apakah dengan dalih kebebasan atau dengan dalih harus

memutus atas alasan keyakinannya, selanjutnya Hakim boleh sekehendak hatinya

33 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo ; Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, PT. Citra Aditya Bhakti, 1993. hlm 10

34 Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm. 38.

35 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Jakarta, 1998, hlm. 3

Page 22: Judicial Activism

1717

36Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yokyakarta, Cetakan Kelima, April 2007 hlm. 38.

Page 23: Judicial Activism

1818

melakukan penyimpangan terhadap undang-undang atau memberi interpretasi

terhadap undang-undang? jawabnya tentu saja tidak, karena hal itu akan

menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum.

Penemuan dan penciptaan hukum oleh Hakim dalam proses peradilan harus

dilakukan atas prisnsi-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi dasar sekaligus

rambu-rambu bagi Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan

dan menciptakan hukum. Dalam upaya penemuan dan penciptaan hukum, maka

seorang Hakim mengetahui prinsip peradilan yang ada dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD

tahun 1945, UU. No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang telah diuraikan di

atas, maka dalam mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim akan

bertindak sebagai berikut :

a. dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas

tinggal menerapkan saja hukumnya;

b. dalam kasus, hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan

menafsirkan hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda

penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum; dan

c. dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang

mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan

menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2. Penerapan Judicial Activism Dalam Penegakan Hukum

Salah satu persyaratan penerapan Judicial Activism adalah hakim harus

memiliki karakteristik tertentu. Menurut Asep Warlan karakteristik tersebut

adalah:37

1. Hakim harus mengikuti dan memperhatikan dengan seksama

perkembangan hukum, sehinggga wawasan dan pemahaman hakim tidak

37 Asep Warlan Yusuf, Sebelas Karakteristik Judicial Activism (Keaktifan Hakim), Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan bagi Pelatih (ToT) Sertifikasi Hakim Lingkungan Tahap I 11-15 Desember 2011.

Page 24: Judicial Activism

1919

tertinggal dan ditinggalkan oleh perkembangan dan kemajuan pemikiran

hukum, baik nasional maupun internasional;

2. Hakim harus mampu melengkapi kekurangan yang ada dalam peraturan

perundang-undangan. Hakim mampu menemukan hukum dan melakukan

kostruksi hukum;

3. Hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan

tumbuh berkembang dalam nadi kehidupan masyarakat. Hakim bukan

corong atau mulut undang-undang;

4. Hakim harus mampu melihat dan mempertimbangkan nilai dan norma

yang ada di luar peraturan perundang-undangan sepanjang relevan

dengan perkara yang tengah diadili dan yang akan diputuskan, tanpa

mengabaikan makna dan hakikat kepastian hukum;

5. Hakim harus dipandu dan dibimbing oleh kekuatan keilmuan hukum

yang substansial, sehingga mampu menyerap dan mencerna pengetahuan

hukum yang disampaikan oleh para pakar/ahli hukum ketika memberikan

keterangan ahli di pengadilan;

6. Hakim harus berkomitmen dan menunjukkan indepedensi, kemerdekaan,

kemandirian, imparsialitas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum

dan keadilan;

7. Hakim bersifat aktif (dominis litis) dalam pengendalian jalannya

persidangan secara proporsional dan patut/layak, sehingga jalannya

persidangan benar-benar sesuai dengan hukum acara, tata tertib

peradilan, dan etika profesi;

8. Hakim harus cermat dalam pembuktian, artinya harus ada kreativitas dan

inovasi, sesuai dengan metode dalam berpikir hukum dengan tetap

mengedepankan rasionalitas, objektivitas yang terstruktur, teratur dan

terukur;

9. Putusan Hakim pada PTUN bersifat erga omnes, maka hakim harus

benar-benar memperhatikan keadilan dan kepentingan hukum di luar

pihak-pihak yang berperkara, jangan hanya terfokus pada pihak-pihak

yang tengah berperkara;

Page 25: Judicial Activism

2020

10. Kualitas putusan hakim harus mampu berderajat yurisprudensial,

artinya dapat menjadi pedoman, rujukan dan insipirasi bagi hakim-

hakim yang lainnya dalam membuat putusan; dan

11. Putusan hakim dapat menjadi bahan penting yang berguna bagi

pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga menjadi bahan

pembelajaran dan pengayaan bagi materi pendidikan hukum.

Sebelas karakteristik Judicial Activism sebagaimana diungkapkan di atas,

dalam penerapan penegakan hukum di Indonesia bagi para pencari keadilan

(Justiciablellen) merupakan suatu yang diharapkan. Artinya Justiciablellen

mendambakan perkara–perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh

Hakim–Hakim yang mempunyai sebelas karakteristik di atas sehinga dapat

melahirkan putusan–putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi

juga berdimensikan moral justice dan social justice. Akan tetapi dalam

parakteknya sering kali dijumpai para Justiciablellen merasa tidak puas dan

kecewa terhadap kinerja Hakim yang diangap tidak mempunyai sebelas

karakteristik tersebut.

Selain karakteristik Hakim di atas, Hakim Indonesia mempunyai kewajiban

atau hak untuk melakuan penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Salah satu cara untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada

yurisprudensi. Menurut Van Apeldoorn, hakim tidak terikat kepada putusan

hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu

peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan

hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk

suatu yurisprudensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan

berdasarkan keputusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah

laku hakim-hakim terciptalah keyakinan hukum umum.38

Pernyataan di atas, sejalan dengan peradilan yang berlaku di Indonesia,

hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis.

Apabila terdapat hakim yang dalam menjatuhkan putusannya berkiblat pada

38 L.J. van Apeldoom (1951) Inleiding tot de studie van het Ned, recht. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, hlm 119.

Page 26: Judicial Activism

2121

putusan pengadilan yang lebih tinggi mengenai perkara yang serupa dengan yang

dihadapinya, tidak berarti asasnya telah berubah menjadi the binding force of

precedent. Berkiblatnya hakim pada putusan terdahulu itu disebabkan the

persuasive force of precedent, yaitu putusan tersebut diikuti karena

meyakinkannya untuk diikuti.39

Pandangan di atas, berdasarkan asumsi bahwa hukum di Indonesia

mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-

undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai unsur-unsur otonom yang

kuat karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang

menurut pandangannya sendiri.40 Tetapi hal itu harus dilakukan atas prinsip-

prinsip atau asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi

Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan

hukum.41

Paradigma Hakim menentukan efektivitas atau tidaknya proses penemuan

hukum. Artinya manakala Hakim tidak dapat merubah paradigmanya dari

positivisme menjadi hukum progresif, maka penemuan hakim tidak akan efektif,

begitupula sebaliknya.

Jiwa dan semangat Aliran Progresif dalam metode penemuan hukum

(Rechtsvinding) adalah sinkron dengan hakekat yang ingin dicapai melalui

Judicial Activism. Aliran progresif ini merupakan pembaruan pandangan

dalam rechtsvinding, sebagai reaksi atas aliran lama yang konservatif. Aliran

Progresif memberikan pencerahan hukum bagi peradilan yang akan merupakan

alat untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui putusan-

putusan Hakim.42

Paradigma hukum progresif dalam penerapanya sudah mempunyai dasar

hukum sebagaimana yang diberikan oleh UU No 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas

untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pada konteks itu, hakim diwajibkan

39 Sudikno Mertokusumo, Op cit, hlm.4540Ibid.41H .S. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim

Dalam Proses Peradilan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No. 252, November 2006, hlm.7342 Ibid

Page 27: Judicial Activism

2020

untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.43

Dengan demikian Hakim tidak lagi tersenralisasi pada peraturan, tetapi pada

kreativitas dalam hal ini pada hakim dalam mengaktualisasi hukum dalam ruang

dan waktu yang tepat. Hal itu sebagaimana dinyatakan Satjipto Rahardjo, yang

menyebutkan bahwa para pelaku hukum, dapat melakukan perubahan yang kreatif

terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan

(changing the law) karena dapat dilakukan interpretasi. Selain itu, keadilan tidak

bisa secara langsung ditemukan melalui proses logis-formal. Keadilan justeru

diperoleh melalui intuisi. Karena itu, argumen logis-formal “dicari” sesudah

keadilan ditentukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang

diyakini adil tersebut.44

Satjipto Rahardjo, lebih lanjut menjelaskan bahwa paradigma Hakim harus

dirubah dari manusia untuk hukum menjadi hukum untuk manusia. Karena

hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum

ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.

Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan

hukum yang pro-rakyat. Selanjutnya menurut Hukum progresif, hakim sebagai

pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang

dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan

kebahagian), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan

hukum.45

Konsep hukum yang proresif menurut Satjipto Rahardjo, hukum tidak

mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar

dirinya.46 Dengan demkian, hukum harus bersifat responsif. Regulasi hukum

akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual

aturan.

Hukum progresif, memiliki logika yang mirip dengan Legal Realism,

melihat dan menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapainya serta

43 Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman44 Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakter Hukum Progresif , (Makalah) Seminar Nasional

I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007

45 Ibid

46 Ibid.

Page 28: Judicial Activism

2121

akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu, yang karenanya dari sudut

pandang etis, dapat disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini, bukan

tidak memperhatikan hukum. Aturan penting, tetapi itu bukan ukuran terakhir

yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat. Sebab itu, pertanyaan sentral

dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang

baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Dalam

pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada

persoalan-persoalan krusial dalam hubungan–hubungan manusia, termasuk

keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik,

ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus

tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan). Hukum progresif

yang menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan

dengan pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial

(social engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk

menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan

masyarakat.47

Agar dapat memajukan dan mengarahkan masyarakat, maka dalam konteks

cara berpikir Hakim ketika memutuskan suatu perkara, mennurut Satjipto

Rahardjo, Hakim hendaknya berani melakukan breaking the rule. Jadi Hakim

jangan hanya merujuk pada hukum, tetapi tidak merujuk pada rasa keadilan dan

kondisi riil yang berkembang di masyarakat. Pandangan Satjipto Rahardjo

tersebut, menghendaki Hakim supaya lebih progresif dalam memutus perkara

dengan menggali nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Cara bekerja seperti

itulah yang dikenal sebagai Judicial Activism, yang menuntut daya pikir Hakim

yang tajam serta kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi.48

Pada peradilan manakah Judicial Activism dapat diterapkan? Berdasarkan

uraian di atas, penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata usaha negara

menjadi terbuka karena peradilan tata usaha negara memiliki ciri khusus. Menurut

Paulus Effendie Lotulung, ciri khusus hukum administrasi (tata usaha

47 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis SertaPengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 16

48 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Bila Aktivisme Hukum Hakim Mati, diakses dari h tt p :/ / ww w . k or a n t e m po. c o m / k or a n t e m po / 2007 / 11 / 10 /O p i n i/ k r n ,200711 1 0,4 5 . i d. h t

Page 29: Judicial Activism

2222

negara/pemerintahan) pada umumnya berkembang melalui putusan-

putusan pengadilan (hukum yurisprudensial) dan bukan hanya melalui doktrin

ataupun norma-norma tertulis, kodifikasi, dan sebagainya.49

Selain itu, menurut Paulus Effendie Lotulung dalam perspektif Hukum Tata

Usaha Negara, peran Judicial Activism sangat penting, karenanya dalam rangka

meningkatkan profesionalisme Hakim, selalu diingatkan bagi para Hakim

akan penerapan dan implementasi berbagai metode interpretasi, penghalusan

hukum, dan sebagainya, sebagai bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) dengan

cara-cara melakukan Judicial Activism, disertai komitmen yang kuat untuk

menegakkan hukum dan keadilan.50

Uraian tersebut, menunjukan bahwa seorang Hakim Tata Usaha Negara

melalui putusan-putusannya sangat diharapkan akan mampu membawa ke arah

perkembangan hukum, terutama dalam kaitannya antara hubungan

Negara/ Pemerintahan dengan warga negara yang diperintah. Dalam kondisi dan

situasi sistem hukum yang sedemikian itu makin sangat perlu dirasakan adanya

Judicial Activism dikalangan para Hakim untuk dapat mengisi kekosongan hukum

dalam menggapai keadilan dalam masyarakat.51

Demikian pula penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata negara,

yang memungkinkan Hakim untuk tidak selalu berpikir yang legal-positivism,

yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini menguji suatu undang-undangan yang

dianggap bertentangan dengan UUD 1945) secara formal tekstual, yang kerap

kalai mengabaikan keadilan.

Penerapan Judicial Activism dalam peradilan tata negara, terlihat misalnya

dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang tercermin dalam

putusan dengan perkara No: 102/PUU-VII/2009 dan perkara No: 22-24/PUU-

VI/2008. Putusan Hakim memperlihatkan kemampuan Hakim yang mampu

melihat maksud dari kata-kata dalam konstitusi secara luas adalah putusan dengan

No. perkara: 102/PUU-VII/2009 dan perkara No: 22-24/PUU-VI/2008. Hakim

dalam putusan ini menggunakan teori Living Constitution, melihat masalah

49 Paulus Effendie Lotulung, Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata UsahaNegara, (makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011, hlm 3

50 Ibid, hlm 451 Ibid

Page 30: Judicial Activism

2323

didasari kondisi kekinian. Putusan No.102/PUU-VII/2009 (Putusan Penggunaan

KTP) berkaitan dengan diperbolehkannya KTP sebagai identitas pemilih pada

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009.

Putusan 22-24/PUU-VI/2008 (Putusan suara terbanyak) berkaitan dengan

penentuan calon anggota legislatif terpilih melalui mekanisme suara terbanyak

bukan didasari kepada nomor urut. Sehingga anggota DPR, DPD, dan DPRD

terpilih adalah orang-orang yang benar-benar memperoleh tingkat eletabilitas

yang tinggi.

Putusan yang menggunakan pendekatan kontekstual tersebut disambut

antusias oleh masyarakat. Putusan suara terbanyak dan putusan penggunaan KTP

sama sekali tidak menimbulkan pertentangan oleh publik. Walaupun putusan

penggunaan KTP dilakukan pada hari-hari genting menuju Pemilu Presiden,

namun tidak satupun pihak dari pasang calon Presiden dan Wapres yang

mempertanyakan putusan tersebut. Demikian pula dengan putusan yang

berkenaan dengan suara terbanyak walaupun tidak terdapat kata suara terbanyak

dalam UUD 1945, namun Hakim memaknainya demikian. Mayoritas kalangan

berpendapat bahwa putusan ini telah sesuai dengan semangat demokrasi

sesungguhnya.

Page 31: Judicial Activism

2424

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

a. Dasar hukum Judicial Activism diatur dalam UUD 1945 dan ketentuan

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Sebelas karakteristik Judicial Activism merupakan kata kunci dari

penerapan Judicial Activism dalam penegakan hukum di Indonesia,

sehingga penerapan Judicial Activism berbanding lurus dengan

karakteristik hakim, apabila kuat karakteristik hakimnya, maka

penerapan penegakan hukum yang berkeadilan akan terwujud,

begitupun sebaliknya makin lemah karakteristik hakim, maka semakin

lemah penerapan penegakan hukum yang berkeadilan.

2. Saran

Saran berisi mengenai hal-hal yang dapat disarankan pada pihak yaitu:

a. Dasar hukum Judicial Activism di Indonesia sebaiknya diperkuat

dengan peraturan perundang-undangan lain dan menjadikan Judicial

Activism sebagai “arus utama” dalam penegakan hukum dan keadilan.

b. Tradisi Hakim dalam penerapan Judicial Activism perlu terus didorong,

melalui cara berpikir yang tidak legal-positivism dalam penegakan

hukum. Untuk mencapai hal itu, diperlukan pengembangan program

peningkatan kapasitas Hakim sehingga karakteristik Judicial Activism

benar-benar sebagai bagian dalam diri Hakim dan tidak hanya dipahami

saja.

~ 0 ~

Page 32: Judicial Activism

2525

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008.

Artidjo Alkostar, Hukum Pidana Serta Tuntutan Tegaknya Kebenaran dan

Keadilan,

(makalah) Bahan Rakernas Mahkamah Agung, Jakarta, 2012.

AR. Mustopadidjaja, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN,

Makalah Seminar Pembangunan Nasional VIII, Penegakan Hukum

Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh BPHN

Departemen KeHakiman dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Asep Warlan Yusuf, Sebelas Karakteristik Judicial Activism (Keaktifan Hakim),

Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan bagi Pelatih (ToT)

Sertifikasi Hakim Lingkungan Tahap I 11-15 Desember 2011

Bagir Manan, Kekuasaan KeHakiman Republik Indonesia, LPPM-UNISBA

Bandung, 1995.

Bambang Sutiyoso Metode Penemuan Hukum, Universitas Islam Indonesia Press ,

Yogjakarta, 2006.

Banerjea (edt), Judicial Activism, Vikas Publishing House, New Delhi, 2002.

Bismar Nasution, Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan, Majalah Hukum

Forum No.36, 9 Januari, 2005.

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, Thomas Reuters, West

Publishing Co, 2009.

Danang Widoyoko, et. al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,

2002.

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum),

Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1995.

Feri Amsari, Menghambat Laju Judicial Terorism Pada Putusan MK diaksess

dari http:// e n.wikip e di a .o r g /wiki / L ivin g _Constitutio n , di akses pada

tanggal 8 Februari 2013, 14:38 Wib.

Febiana Rima, Mafia Hukum dan Moralitas Penegak Hukum, artikel Suara

Pembaruan, 3 April 2010

Page 33: Judicial Activism

2626

Gustav Rradbruch dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu

Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1990

Goh Bee Chen, Law Without Lawyers, Justice Without Courts, 2002

H.A. Mukhsin, Asyrof, Asas – Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum

oleh Hakim dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan

Edisi No.252 Bulan November 2006, Ikahi, Jakarta. 2006.

Hans Kelsen Hans, Alih Bahasa Somardi, Teori Hukum Murni, Rindi Press, 1995.

H .S. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh

Hakim Dalam Proses Peradilan. Varia Peradilan. Tahun ke XXI No.

252, November 2006.

J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, cet. 22,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

J.A. Pontier, Penemuan Hukum, (diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), Jendela

Mas Pustaka, Bandung, 2008.

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan

Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, 2005.

Jean Bethke Elshtain, Roe v. Wade: Speaking the Unspeakable., dalam: Robert P.

George (Edt), Great Cases in Constitutional Law, Universal Law

Publishing Co.Pvt.Ltd., New Delhi, 2001.

Hans Kelsen, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg,

New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers,

Inc., 1961.

Harold J. Laski, A Grammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd.,

1957

Johan Dwi Junianto, Judicial Activism Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Hakim

Mahkamah Konstitusi: (Studi Terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 066/PUU-II/2004) Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya Malang, Agustus 2009.

J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen Uit De Rechtstheorie, Den

Haag, Kluwer-Deventer, 1993.

K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005

Page 34: Judicial Activism

2727

M. Yahya Harahap, SH., Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,

Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Mardjono Reksodiputro, Reformasi Hukum di Indonesia, Seminar Hukum

Nasional Ke VII, BPHN Departemen KeHakiman dan HAM, Jakarta,

1999.

Moh. Mahfud MD, Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Di

Indonesia (Makalah) pada FGD tentang Penegakan Hukum yang

diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik,

Hukum, dan Keamanan pada Rabu, 12 Oktober 2011 di Hotel Sari

Pan Pasific, Jakarta.

S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing

Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Stammler dalam Friedmann, Teori, Filasafat Hukum, Idealisme Filosofi Problema

Keadilan (Susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

Sugijanto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Jakarta, 1998

Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty,

Yogyakarta, 2001.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung,1993.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali, Jakarta, 1983.

Pan Mohamad Faiz, Konstitusi Dan Aktivisme Yudisial (artikel), Kolom Opini

Jurnal Nasional Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2009.

Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum

(makalah) Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional

Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan

Berkelanjutan yang diiselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen KeHakiman Dan Hak Asasi Manusia RI,

Denpasar, 14 -18 Juli 2003

Page 35: Judicial Activism

2828

Judicial Activism Dalam Konteks Peradilan Tata Usaha Negara,

(makalah) disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun

2011

S.P. Sathe, Judicial Activism in India, Transgressing Borders and Enforcing

Limits, Oxford University Press, New Delhi, 2002.

Pontang Moerad, B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam

Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.

Ridwan Khairandy, Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di

Indonesia Terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak, Jurnal

Hukum, Fakultas Hukum UII, No. Edisi Khusus, Vol. 16 Oktober

2009.

Russell, Peter H., and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of

Democracy, Critical Perspectives From Around The World, Toronto:

Constitutionalism & Democracy Series, McGraw-Hill, 1985.

T.Subarsyah Sumdikara, Penegakan Hukum Sebuah Pendekatan Hukum dan

Politik Kriminal, Kencana Utama, Februari, Bandung, 2010.

Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies Constitutional Court in

Asian Cases, Cambridge University Press, USA, 2003.

Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, Pusdiklat

MA-RI: Jakarta, 2004.