jtptunimus-gdl-s1-2008-qurrotulai-630-2-bab2.pdf
-
Upload
vani-morina -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of jtptunimus-gdl-s1-2008-qurrotulai-630-2-bab2.pdf
-
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Fraktur / patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan / atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, 2000)
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. (Sylvia A, 1995)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya.(Brunner & Suddart, 2001)
Dari uraian diatas maka fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
biasanya disebabkan oleh trauma, tenaga fisik, rudapaksa yang ditentukan oleh
jenis dan luasnya.
B. KLASIFIKASI
Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (open/ compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan dikulit. Fraktur terbuka
terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu :
Derajat I :
Luka 1 cm Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap / avulsi Fraktur kominutif sedang
-
Kontaminasi sedang Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas / flap / avulsi, atau fraktur segmental / sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat
besarnya ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif.
c. Luka pada pembuluh arteri / saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak. (Mansjoer, Arif, 2000)
C. ETIOLOGI Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki-laki
daripada orang perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih
sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insidensi osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada menopouse. (Setyono,2001)
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Fraktur terjadi
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
(Brunner & Suddart,2002)
Jadi penyebab fraktur adalah
Trauma tulang dikenai tekanan/ stress yang lebih besar Kecelakaan kendaraan bermotor Kecelakaan karena pekerjaan,olahraga
-
Osteoporosis Pukulan langsung Gaya meremuk Gerakan puntir mendadak Kontraksi otot ekstrem
D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa ) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ( terlihat maupun teraba ) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya ( uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat ).
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. ( Brunner & Suddart, 2002 )
-
E. PATOFISIOLOGI Ketika tulang patah pembuluh darah tulang dan jaringan lunak sekitar
menjadi rusak. Perdarahan terjadi dan patahnya tulang dan jaringan lunak
(otot) disekitarnya. Darah menumpuk dan mengeratkan ujung-ujung tulang
yang patah, hematoma menjadi terorganisir karena fibroblast masuk ke lokasi
cidera membentuk fibrin. Stimulasi jaringan nekrotik yang kuat menyebabkan
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi. Eksudasi di plasma dan lekosit.
Jaringan dalam kompartemen tertekan pada fascia mempengaruhi saraf dan
aliran darah sehingga tekanan pada area anatomis ( kompartemen ) meningkat
dan muncul sindrom kompartemen ( warna jaringan pucat, nadi lemah,
paresis, sianosis, nyeri gatal dan mati rasa ) mengakibatkan kerusakan
neuromuscular. ( Engram,B, 1998 ). Osteoblas masuk kedalam fibrosis untuk
mempertahankan penyambungan tulang. Pembuluh darah berkembang
mengalirkan nutrisi untuk membentuk kolagen, osteoblast merusak tulang
mati dan membantu mensintesa tulang baru, kolagen menjadi kuat dan terus
menyatu dengan deposit kalsium, callus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang
trabicular terbentuk pada garis cidera. ( Barbara, C. Long. 1998 ).
-
F. PATWAY
Factor etiologi Kecelakaan kerja, fraktur
patologik, benturan dan cidera, dll
Terpu uitas
tusnya kontinjaringan tulang
Trauma terbuka/ tertutup
Kerusakan integritas
kulit Kerusakan pembuluh
darah, tulang dan jaringan lunak
Luka resiko infeksi
Proses inflamasi akibat stimulus jaringan ditandai vasodilatasi, exudasi dari
plasma dan leukosit
Peningkatan tekanan yang
berlebihan pada suatu rongga
Sindrom kompartemen (warna jaringan pucat, nadi lemah, paresis, cianosis, nyeri, dan
matirasa)
Kerusakan neuromuskuller yang irreversible/ kematian
jaringan setelah 4-6 jam dari serangan
Perubahan perfusi jaringan perifer
Merangsang pengeluaran histamin pada otot yang
iskemia
Peningkatan permeabillitas kapiler
Cairan plasma merembes ke ekstra vaskuler
Bengkak
Perubahan rasa nyaman nyeri
Terbatasnya gerakan
Imobilisasi
Gangguan mobilitas
fisik
Perdarahan masif Terbatasnya gerakan
Pe arus balik vena
Pe curah jantung atau COP
Perubahan perfusi jaringan perifer
Shock hipovolemik
Rasa nyeri
Sindrom kurang perawatan diri
-
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot (Doengoes, 1999)
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan trauma pembuluh
darah atau kompresi pada pembuluh darah (Carpenito, 2000)
3. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi (Doenges,
1999)
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular (Doengoes,1999)
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera fisik tusuk, fraktur
terbuka, imobilisasi, perubahan sensasi dan sirkulasi (Doengoes, 1999)
6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya
organisme sekunder akibat trauma jaringan (Carpenito, 2000)
G. FOKUS INTERVENSI
1. Perubahan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot (Doengoes, 1999)
Tujuan: menyatakan nyeri hilang
Kriteria hasil: Menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
aktivitas dengan tepat.
Fokus intervensi:
a. Kaji lokasi intensitas dan tipe nyeri, gunakan skala nyeri.
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.
c. Bantu dan ajarkan metode alternatif penatalaksanaan rasa nyeri.
d. Beri posisi yang nyaman sesuai dengan toleransi klien.
e. Berikan lingkungan yang nyaman dan berikan dorongan untuk
melakukan aktivitas segera.
f. Lakukan dan awasi latihan gerak aktif dan pasif.
g. Kolaborasi:
Lakukan kompres dingin atau es 24-48 jam pertama dan sesuai keperluan
Berikan obat sesuai indikasi narkotik dan analgetik non narkotik.
-
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan trauma pembuluh
darah atau kompresi pada pembuluh darah (Carpenito, 2000)
Tujuan: Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan
Kriteria hasil: Individu akan mengidentifikasi factor-faktor yang
meningkatkan sirkulasi perifer, melaporkan penurunan dalam nyeri
Fokus intervensi:
a. Kaji adanya pucat, sianosis, kulit dingin
b. Tinggikan ekstremitas diatas jantung
c. Ubah posisi sedikitnya setiap jam
d. Pertahankan ekstremitas hangat (jangan menggunakan bantalan
pemanas atau botol air panas)
3. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi
(Carpenito, 2000)
Tujuan : Dapat melakukan perawatan diri
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan kebersihan optimal setelah bantuan
dalam perawatan diberikan
Fokus intervensi :
a. Gunakan perlengkapan khusus sesuai kebutuhan
b. Bantu dalam ADL
c. Dorong dalam perawatan diri
d. Anjurkan pada klien dalam membantu ADL
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular (Doengoes, 1999)
Tujuan: Meningkatkan/ mempertahankan mobolitas pada tingkat paling
tinggi.
Kriteria hasil: Mempertahankan posisi fungsional. Meningkatkan kekuatan
atau fungsi yang sakit dan menunjukkan tehnik yang memampukan
melakukan aktivitas.
Fokus intrervensi:
a. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan dan
perhatian persepsi pasien terhadap imobilisasi
-
b. Dorong partisipasi pada aktifitas terapeutik/ rekreasi pertahankan
rangsang lingkungan. Contoh: radio, TV, koran, dan kunjungan
keluarga.
c. Awasi tekanan darah dalam melakukan aktivitas, perhatikan keluhan
pusing.
d. Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan nafas dalam/
batuk.
e. Dorong peningkatan masukan cairan sampai 2000-3000 ml/hari.
f. Kaji kekuatan otot.
g. Kolaborasi konsul dengan ahli terapi fisik atau rehabilitasi.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera fisik tusuk, fraktur
terbuka, imobilisasi, perubahan sensasi dan sirkulasi (Doengoes, 1999)
Tujuan: menyatakan ketidaknyamanan hilang
Kriteria hasil: menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
Mencapai penyembuhan luka sesuai dengan waktu.
Fokus intervensi:
a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna
b. Masase kulit dan penonjolan tulang serta pertahankan tempat tidur
kering dan bebas kerutan.
c. Ubah posisi dengan sering.
d. Penggunanan gips dan perawatan kulit.
e. Kolaborasi buat gips dengan katup tunggal, katup ganda atau jendela
sesuai protocol.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya
organisme sekunder akibat trauma jaringan (Carpenito,2000)
Tujuan: Tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil: Bebas dari proses infeksi selama perawatan
Fokus intervensi:
a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
-
b. Kurangi organisme yang masuk kedalam individu dengan cuci tangan
dengan cermat dan tindakan dengan teknik antiseptik.
c. Kurangi kerentanan individu terhadap infeksi dengan : dorong dan
pertahankan masukan kalori dan protein dalam diet.
Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium. Contoh: hitung darah lengkap, LED.
Berikan obat sesuai indikasi. Contoh: antibiotik IV atau topical,
tetanus toksoid.
Siapkan pembedahan sesuai indikasi
H. PENATALAKSANAAN Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas ( airway ), proses pernafasan (
breathing ), dan sirkulasi ( circulation ), apakah terjadi syock atau tidak. Bila
tidak ada masalah lakukan anamnesis, bila lama waktu terjadinya kecelakaan
lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar, lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak.
Pengobatan fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif
1. Terapi konservatif
a. Proteksi saja
b. Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips.
d. Traksi, untuk reposisi secara perlahan.
2. Terapi Operatif
a. Reposisi terbuka, fiksasi interna
b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna.
Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin.
Penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi waktu
yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam ( golden period ).
-
Berikan toksoid, anti tetanus human globulin. Berikan antibiotik untuk
kuman gram positif dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan
pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dan dasar luka fraktur
terbuka. ( Mansjoer Arif, 2000 )
I. KOMPLIKASI FRAKTUR 1 Shock. Perdarahan selalu terjadi pada tempat fraktur dan perdarahan ini
dapat hebat sekali sehingga terjadi shock. Misalnya pada fraktur pelvis
atau femur.
2. Infeksi . paling sering menyertai fraktur terbuka, tetapi kini sudah jarang
dijumpai.
3. Nekrosis avaskuler. Fraktur dapat mengganggu aliran darah kesalah satu
fragmen sehingga fragmen tersebut kemudian mati. Komplikasi ini cukup
sering terjadi pada fraktur caput femoris.
4. Cedera vaskuler dan saraf. Kedua organ ini dapat cedera akibat ujung
patahan tulang yang tajam.
5. Malunion. Gerakan ujung patahan akibat mobilisasi yang jelek dapat
menyebabkan malunion. Sebab-sebab lainnya adalah infeksi dan jaringan
lunak yang terjepit diantara fragmen tulang.
6. Borok akibat tekanan, akibat gips atau bidai yang memberikan tekanan
setempat sehingga terjadi nekrosis pada jaringan superficial.
J. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan ronsen: menentukan lokasi/ luasnya fraktur/ trauma.
Skan tulang, tomogram, skan CT/ MRI: memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
Hitung darah lengkap:Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi ) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur/ organ jauh pada trauma
multiple ). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah
trauma.
-
Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple, atau cedera hati.
KLASIFIKASIETIOLOGIMANIFESTASI KLINISPATOFISIOLOGIPATWAYDIAGNOSA KEPERAWATANFOKUS INTERVENSIPENATALAKSANAANKOMPLIKASI FRAKTURPEMERIKSAAN DIAGNOSTIK