Journal Readi High Risk Ortopedic Pediatric Pitfall

download Journal Readi High Risk Ortopedic Pediatric Pitfall

of 22

description

kesehatanortopedianak

Transcript of Journal Readi High Risk Ortopedic Pediatric Pitfall

SMF/Lab BedahJournal ReadingFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

KESULITAN RISIKO TINGGI YANG TERSEMBUNYI PADA ORTOPEDI PEDIATRIK

Disusun olehE. Azizannury Mahfud0910015042

Pembimbingdr. David H. Masjoer, Sp.OT

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikSMF/Laboratorium BedahProgram Studi Profesi DokterFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman2014Key point: Pada kasus fraktur pada pediatrik, cidera intraaartikular yang dapat menyebabkan osteoarthritis lebih menjadi perhatian utama dibandingkan fraktur yang mengenai daerah physeal yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, namun masih dapat diperbaiki. Pada Fraktur tipe I tampak tulang menembus kulit. Penatalaksanaannya adalah berupa pembersihan luka, antibiotik oral, splinting dan dirujuk ke ortopedi dalam waktu 24 jam. Pada kasus fraktur suprakondiler, penurunan pulsasi tidak selalu menjadi keadaan emergensi selama tangan masih memiliki perfusi yang baik yang ditandai dengan tangan yang teraba hangat dan warna kulit yang merah muda dengan CTR 2mm) lebih menjadi perhatian dokter bedah. Jika terjadi gangguan pertumbuhan maka hal itu dapat diatasi (eksisi sambungan physeal, perbaikan osteotomy, pemanjangan tulang), namun tidak ada rekonstruksi yang efektif untuk osteoarthritis. Prinsip ini bermakna bahwa selama open reduction internal fixation dari fraktur physeal atau fraktur artikular, stabilitas artikular tidak pernah dikorbankan untuk perbaikan physieal, trans-physeal (dengan plate atau implant ulir), fiksasi dan stabilisasi artikular lebih disukai daripada fiksasi extraphyseal, kurang stabil jika dibandingkan dengan fikassi artikular.

Fraktur terbuka membutuhkan penanganan operatif emergensi dalam 6 jam setelah kejadian cidera. Namun fraktur terbuka dengan laserasi kulit kurang dari 1 cm, cidera jaringan lunak sekitar yang minimal dan kontaminasi yang minimal tidak lagi dianggap membutuhkan penanganan emergensi. Fraktur demikian diklasifikasikan sebagai fraktur tipe I, Fraktur tipe II dan tipe III digambarkan dengan adanya peningkatan ukuran luka dan cidera jaringan lunak, termasuk cidera pembuluh darah dan saraf, danfraktur tipe II dan III membutuhkan rekonstruksi tambahan selain fiksasi tulang. Pada fraktur terbuka tipe I, tampak deformitas pada tungkai berupa tulang yang yang menembus kulit dari sisi dalam ke luar. Penembusan ini jika disertai dengan adanya benda asing dari luar dapat menurunkan daya tahan jaringan disekitar luka akibat adanya kontaminan dari luar ke dalam, seperti pada tipe II dan II, dimana fraktur seperti ini membutuhkan irigasi, debridement dan stabilisasi fraktur dengan fiksasi internal untuk mengoptimalkan penyembuhan jaringan lunak disekitarnya. Penangangan fraktur terbuka tipe I terdiri dari pembersihan luka, antibiotik oral, pembebatan, dan dirujuk ke bagian ortopedik dalam 24 jam.

Fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah pada bagian distal metafisis dari radius, kebanyakan kasus ini ditangan dengan cast. Fraktur pada anak-anak yang sering kali difiksasi secara operatif adalah fraktur yang melibatkan regio supracondilar dari humerus. Fraktur suprakondiler dari humerus sering diasosiasikan dengan cidera pembuluh darah dan cidera saraf.c. Cidera NeurovaskularCidera vaskular pada keadaan fraktur suprakondiler humeri dapat terjadi ketika terdapat displacement yang membutuhkan fiksasi operatif. Pada pemeriksaan fisik, tidak didapatkan adanya pulsasi pada pergelangan tangan baik dengan palpasi maupun dengan pemeriksaan USG dan tidak adanya perfusi pada tangan. Cidera vaskular pada kebanyakan kasus fraktur suprakondilaer humerus terjadi akibat tertariknya arteri brakhialis oleh fragmen fraktur proximal. Hilangnya pulsasi pada tangan bukan merupakan keadaan emergensi selama tangan teraba hangat, berwarna merah muda dan CTR 2 detik, merupakan suatu keadaan emergensi yang harus ditangan dalam 6 jam pertama setelah cidera. Penanganan dari seluruh fraktur adalah reduksi dan internal fiksasi oleh dokter bedah ortopedi. Arteriografi tidak berperan dalam diagnostic preoperatif.

Gambar 1 Klasifikasi Salter-Harris. Ilustrasi dari klasifikasi Salter Harris ada fraktur physeal. *Ilustrasi normal dari Os. femur distal pada pediatrik. I: fraktur melewati physis. II: fraktur melewati physis hingga ke metaphysis. III: fraktur intrartikular yang melewati physis dan epiphysis. IV: frakutr intraartikular yang melibatkan physis dan hingga ke metaphysis dan epiphysis. V: Perhimpitan pada physis.Cidera neural terjadi sekitar 10-15% pada fraktur suprakondiler humers. Nervus yang terlibat kebanyakan adalah nervus radialis dan nervus medianus. Pasien diperiksa dengan mencoba untuk membentuk tanda OK dengan telunjuk dan jempol (cabang anterior dari n. medianus interosseous) dan tanda thumbs up (cabang posterior dari nervus radialis interosseous). Mekanisme cidera berupa tertariknya nervus melewati fragmen proximal dan menyebabkan neuropraxia dan bukan berupa nerve palsy. Hasil akhir dari neuropraxia biasanya dapat sembuh sempurna dalam 6 bulan. Oleh karena itu fraktur suprakondiler humerus dengan masalah nervus bukan merupakan suatu kegawatdaruratan. Pasien dapat dirujuk keesokan harinya dan akan ditangani oleh dokter bedah ortopedi berdasarkan prinsip penangan fraktur dan tidak dipengaruhi oleh keadaan neural. Cidera nervus ulnaris sering kali iatrogenik, yaitu berasal dari insersio fixasi kawat pada medial-distal humerus saat operasi. Meskipun terjadi kasus demikian, penyembuhan terjadi setelah pelepasan kawat secara utuh.

2. Fraktur: Compartemental SyndromePada kondisi perfusi lengan yang baik, aliran arteri sama dengan aliran vena (gambar 3). Pada compartemental syndrome, keseimbangan ini tidak terjadi. Otot, nervus dan pembuluh yang mengalir melewati ekstremitas yang terdapat pada membran fasial yang tidak elastis. Terjadi iskemia ketika tekanan pada kompartemen ini meningkat dan tekanannya lebih besar dari pada tekanan perfusi. Lengan (pada fraktur suprakondiler humerus) dan tungkai (fraktur tibia) merupakan lokasi yang paling sering mengalami compartement syndrome. Compartemental syndrome dicirikan sebagai berikut. Pada keadaan fraktur, peningkatan aliran arteri dan perdarahan pada akhir fragmen fraktur menyebabkan peningkatan tekanan dalam kompartemen. Peningkatan tekanan menyebabkan terjadinya kompresi pada aliran vena yang selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen dan tekanan intra arterial. Peningkatan tekanan intraarterial meningkatkan terjadinya perdarahan. Ketikan tekanan intrakompartemen m endekati tekanan arteri, aliran arteri menurun dan menyebabkan iskemia. Perpindahan metabolisme dari aerobic menjadi anaerobic pada keadaan iskemia menyebabkan terbentuknya

asam laktat, kehilangan gradient osmolar, generasi radikal bebas dan koagulasi intravascular,yang pada akhirnya akan membentuk lingkaran setan yang menyebabkan nekrosis otot.Manifestasi klinis pada compartemental syndrome berupa lengan yang tegang dan nyeri, dan dalam fase lanjut dapat terjadi paraestesia, pulseless, teraba dingin dan pucat. Nyeri merupakan tanda yang sering terjadi dan biasanya sudah berat, diluar bagian dari cidera, dan sulit disembuhkan dengan analgesik biasa. Nyeri yang disertai adanya penarikan pasif dari tendon yang terjadi pada suatu kompartemen biasanya menandakan terjadinya suatu compartemental syndrome.Lengan yang tegang dengan teraba keras pada palpasi merupakan compartement syndrome yang mengkhawatirkan. Pengukuran tekanan invasif dapat menjadi pemeriksaan klinis tambahan, apabila hasil pengukuran tekanan intrakompartemen lebih dari 30mmHg atau adanya perbedaan tekanan antara diastolic dan tekanan intrakompartemen kurang dari 30mmHg, maka kedua hal ini mengarah pada kecurigaan terjadinya compartement syndrome dengan sesitivitas lebih dari 80%.Tekanan dan nyeri dikaitkan dengan adanya obstruksi vena, sedangkan parestesia, penurunan denyut dan pucat merupakan karakteristik dari penurunan aliran arteri. Intervensi yang dilakukan setelah terjadinya paraestesia, penurunan denyut dan pucat mungkin suatu tindakan yang terlambat untuk mencegah terjadinya nekorsis otot permanen, dengan akibatnya dapat terjadi penurunan fungsi dan adanya risiko infe ksi. Penggunaan plaster univalving dapat menurunkan tekanan kompartemen 40-60% dan membebaskan lapisan bawah dapat menurunkan tekanan dengan tambahannya sebanyak 10%. Ketika alat penurun tekanan external dilepas dan compartement syndrome masih belum dapat dihilangkan maka pembedahan fasciotomy perlu dilakukan untuk menghilangkan tekanan. Untuk penyembuhan total, fasiotomi harus dilakukan dalam onset 6 jam. Pada dewasa, intervensi harus dilakukan sebelum 36 jam, apabila lebih dari itu, penyembuhan otot menjadi tidak baik akibat adanya paparan dengan jaringan mati yang dapat menyebabkan infeksi.Compartemental syndrome pada anak-anak berbeda dengan dewasa. Temuan pada pemeriksaan fisik dapat lebih ringan dan dan anak-anak lebih sulit diperiksa dan mungkin tidak bisa menggambarkan nyeri yang mereka rasakan seperti pada orang dewasa. Kesulitan ini dapat menyebabkan penundaan diagnosis, sehingga tingkat kewaspadaan pemeriksa dalam menghadapi kasus seperti ini harus lebih tinggi.

3. Infeksi tulang dan sendiSendi dibagi menjadi axial dan apendikular. Sendi axial terdiri dari pinggul dan bahu, dan sendi apendikular terdiri dari siku, pergelangan tangan, lutut dan pergelangan kaki. Sendi appendicular dibedakan karena dapat dilihat dan dipalpasi, sehingga sendi tersebut mudah diakses untuk aspirasi dan mudah untuk melihat perkembangan respon dari penatalaksanaan. Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terinfeksi pada anak-anak. Pyarthritis pada sendi panggul diketahui memiliki akibat yang buruk.Manifestasi klinis pad infeksi sendi appendicular sering kali berupa bengkak, kemerahan, nyeri tekan, dan penurunan lingkup gerak sendi (LGS). Penurunan LGS ini sering disebabkan bengkak dan splinting oleh pasien. Infeksi pada sendi axial lebih sulit didiagnosa secara klinis, sehingga membutuhkan pemeriksaan tambahan. Suatu penelitian mengulas kasus transient synovitis dan septic arthitritis pada sendi pinggul yang terjadi pada anak-anak. Ditemukan bahwa terdapat empat kriteria untuk septic arthritis, yaitu demam yang lebih dari 38,5oC, tidak bisa bertumpu pada sendi yang terkena, jumlah hitung leukosit lebih dari 12.000/mm3, dan LED lebih dari 40 mm/jam. Prediksi kemungkinan terjadinya septic arthritis pada sendi panggul pada subjek ini adalah, sekitar 10% untuk satu kriteria, sekitar 35% untuk dua kriteria, sekitar 73% untuk tiga kriteria dan sekitar 93% untuk empat kriteria. Sebagai tambahannya, C-reactive protein kurang dari 1 mg/dL memiliki nilai negatif untuk prediksinya. Pada neonatus mungkin tidak dapat menunjukkan respon imun yang sama bila terjadi infeksi. Sehingga kriteria ini harus diterapkan secara hati-hati pada populasi ini.Infeksi sendi axial ditangani dengan insisi, drainase, irigasi, dan debridement. Penanganan ini dapat dilakukan secepat mungkin jika anak merasa kesakitan. atau untuk menghindari destruksi dari kartilago sendi. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya perusakan kartilago sendi oleh bakteri yang menginfeksi. Prognosis yang buruk berkaitan dengan penundaan diagnosis dan penanganan yang lebih dari 4 hari. Anak-anak yang memiliki diagnosis yang samar tentang infeksi sendi dapat dibawa kembali dalam 4 hari untuk mengulang pemeriksaan atau penanganan bedah jika diperlukan, tanpa adanya konsekuensi jangka panjang.Untuk sendi appendikular, aspirasi merupakan cara diagnosis dan penangan yang utama. Cairan yang diaspirasi lalu dianalisis, meliputi pemeriksaan hitung jenis, Gram Stain, kultur dan sensitivitas, dan kristal. Dan hasilnya memuaskan ketika diberikan antibiotik. Berikut ini adalah urutan yang ideal dalam penanganan infeksi pada sendi appendikular:1. Aspirasi sendi pada ruang emergensi, yang biasanya merupakan keadaan terbaik untuk prosedur tersebut bagi anak-anak.2. Rawat inap untuk antibiotik intravena3. Immobilisasi dari sendi4. Modifikasi pemberian antibiotik sesuai dengan analisis kultur dan sensitivitas5. Memastikan respon klinis, yang terdiri dari penurunan suhu tubuh hingga dalam batas normal dalam 24 jam dan berkurangnya nyeri dengan peningkatan lingkup gerak sendi6. Memastikan respon hasil pemeriksaan laboratorium, termasuk C-reactive protein yang kurang dari 2 mg/dl7. Rawat jalan dengan pemberian antibiotik oral8. Penghentian antibiotik ketika laju endap darah kurang dari 20 mm/jamPada urutan ini, durasi pemberian antibiotik intravena adalah selama kurang dari 1 minggu dan pemberian antibiotik secara keseluruhan kurang dari 6 minggu.Infeksi pada tulang dapat dibagi menjadi dua, yaitu dengan adanya perubahan radiografi dan tanpa adanya perubahan gambaran radiografi. Jika tidak ada perubahan gambaran radiografi, maka infeksi tulang dapat ditangani sama seperti infeksi pada sendi appendikular, dimulai dengan aspirasi apabila tulang yang terinfeksi dapat dicapai. Kemudahan untuk dicapai berhubungan dengan hal berikut: lokasi metaphysis (yang merupakan lokasi terbanyak) dimana pada bagian cortex nya tipis, hiperemis yang dapat melunakkan tulang, atau adanya periosetal abses yang menyingkirkan kebutuhan untuk penetrasi ke tulang. Lokasi yang benar untuk insersi jarum dapat ditentukan dari titik nyeri yang paling maksimal, daerah yang eritema, dan menggunakan mini fluoroscopy untuk menentukan lokasi metaphysic terdekat.Terjadi lebih dari sama dengan 50% kehilangan tulang ketika kerjadi perubahan gambaran radiografi. Selain itu, suatu gambaran lubang pada tulang menggambarkan abses interosseous yang dilapisi oleh daerah sklerotik (dalam bahasa latin disebut involucrum, selubung) dan dapat mengandung fragment utama dari tulang yg nekrosis (dalam bahasa Latin disebut sequestrum, benda yang terisolir). Involucrum dan squesterum tidak dapat ditembus oleh antibiotik. Hal ini jika disertai dengan kehilangan tulang yang luas meruakan suatu indikasi untuk intervensi pembedahan untuk debridement ketika adanya perubahan pada gambaran radiografi. Setelah dilakukan penanganan pembedahan yang adekuat seperti debridement yang multiple, maka penanganan yang dilakukan adalah seperti penanganan pada infeksi tulang tanpa adanya perubahan gambaran radiografi.Infeksi pada tulang atau sendi merupakan suatu kegawatdaruratan apabila anak menunjukkan tanda infeksi sistemik (hipotensi, kemerahan pada kutaneus). Pyarthritis dianggap sebagai keadaan gawat dan idealnya ditangani dalam 6 jam dengan evakuasi, baik menggunakan jarum atau dengan insisi. Meskipun demikian adanya zona abu-abu harus diobservasi dan dinilai ulang dalam 4 hari tanpa adanya gejala klinis sisa yang signifikan. Osteomyelitis dengan perubahan radiografi membutuhkan operasi dan dapat menunggu untuk dievaluasi oleh dokter bedah ortopedi hingga satu minggu. Osteomyelitis tanpa perubahan radiografi tidak harus diterapi dengan antibiotik (kecuali pasien merasa sakit) hingga specimen tulang didapatkan. 4. Anak PincangGangguan cara berjalan yang menyebabkan pincang dapat terjadi karena nyeri, kelemahan, ketidakseimbangan neuromuscular, atau deformitas. Pemahaman akan gait cycle, riwayat penyakit yang rinci, pemeriksaan fisik yang menyeluruh, pemeriksaan radiologi yang tepat dan pemeriksaan laboratorium dapat membantu dokter mengarahkan diagnosis yang mungkin menyebabkan pincang.Cara berjalan dapat dibagi menjadi swing phase, fase ketika tungkai tidak menyentuh tanah dan stance phase, yang lebih lanjut dapat dibagi menjadi heel strike, flat foot, dan push off. Antalgic gait didefinisikan sebagai perpendekan dari stance phase, yang lebih parahnya bermanifestasi dengan menolak untuk berjalan. Hal yang paling sering pada deformitas pinggul yang menyebabkan pincang adalah Trendelenburg gait. Cara berjalan ini terbentuk dari pergeseran badan melewati hip yang terkena untuk mengurangi penggunaan dari otot abductor yang lemah, yang membantu mereka mempertahankan pelvis horizontal selama stance phase. Pada deformitas yang lebih ringan, gait mungkin baru akan tampak setelah beberapa siklus dan mungkin menyebabkan nyeri akibat fatigue pada otot abductor pada pinggul. Tipe nyeri ini dibedakan dengan lokasinya yang lebih lateral, dimana otot abductor pada pinggul melekat pada ileum dan trokanter mayor. Sebaliknya, nyeri pada gangguan sendi panggul umumnya menyebar ke anterior pada region ingunal dan terkadang menyebar ke anteromedial paha dan lutut. Hal ini mengikuti hukum Hilton, yang menyatakan bahwa persarafan yang mensuplai otot yang bekerja pada suatu sendi juga akan mensuplai persarafan pada sendi tersebut hingga ke kulit pada bagian distal tempat otot tersebut melekat. Pada pinggul, nervus obturator dan femoral mensuplai innervasi motorik masing-masing pada muskulus adductor dan rectur femoris, dan innervasi sensoris pada sendi panggul dan paha pada anteromedial.Selama pemeriksaan fisik, anak harus dilepaskan pakaiannya secara menyeluruh dan posisi tungkai pada saat istirahat harus dicatat. Pemeriksaan harus dilakukan pada posisi supinasi dan pronasi. Posisi supinasi memungkinkan kita melihat rotasi lateral dari pinggul dengan fleksi sebagaimana yang terjadi pada pyarthritis sendi panggul atau SCFE. Posisi pronasi memiliki keuntungan yang berbeda yang memungkinkan pemeriksa melihat gerakan sendi lutu tanpa adanya pergerakan dari sendi pinggul, dimana patologi dari salah satu sendi dapat menyamarkan sendi lainnya. Pada posisi pronasi, lutut dapat bergerak dari ekstensi ke flexi tanpa pergerakan pinggul. Namun pada posisi supinasi, pergerakan lutut memerlukan flexi dari pinggul, sehingga terkadang sulit membedakan sendi mana yang terganggu. Selain itu, sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan pada torsio, posisi pronasi menunjukan perbandingan yang simultan dari rotasi pinggul (terutama ke medial), yang mana merupakan hal yang paling sensitif pada penyakit tersebut. Akhirnya, posisi pronasi dapat menunjukkan kontraktur pada pinggul yang flexi yang mungkin tersembunyi oleh hiperlordosis lumbal.Penelitian tentang anak yang pincang menunjukkan bahwa penyebabnya tidak selalu bisa diketahui. Tidak ada diagnosa definitive yang ditegakkan pada 30% kasus.Penyebab pincang yang Paling Sering: Transient SynovitisMeskipun penyebabnya masih belum dapat dipastikan, transient synovitis dianggap sebagai suatu arthritis reaktif yang mengenai sendi panggul. Sering kali ada riwayat infeksi yang terjadi sebelum gejala dan kondisi ini sering kali terjadi pada bayi maupun anak. Transient synovitis memiliki ciri-ciri antalgic gait, suhu badan normal hingga subfebris, mengurangi lingkup gerak sendi pada hip, dan penanda serologis inflamasi pada tingkat normal hingga sedikit meningkat. Pada pemeriksaan ultrasound memperlihatkan gambara efusi nonechoic. Penangannya berupa penanganan simtomatis seperti modifikasi aktivitas dan pemberian NSAID. Pada kebanyakan pasien, tanda dan gejala dapat diatasi dalam 1 minggu tanpa gejala sisa.Transient synovitis merupakan suatu diagnosis ekslusi dan harus dibedakan dengan hip pyarthritis (vide supra). Biasanya pada transient synovitis pasien tidak tampak sakit parah, masih dapat berjalan dan pergerakan dari pinggul masih cukup fleksibel pada range tengah ketika ditarik kearah yang cukup jauh dan penyesuaian postur dimulai sejak 72 jam. Termperatur kurang dari 37,5oC dan LED kurang dari 40 mm/jam dapat digunakan untuk menyingkirkan pyarthritis. Penting untuk mengenali bahwa perbedaan ini merupakan suatu guideline karena dua gangguan yang dapat muncul sebagai suatu rangkaian dan dapat saling tumpang tindih. Ketika ada keraguan, aspirasi dengan panduan USG atau Flouroscopy pada pinggul dengan analisis cairan untuk hitung jenis luekosit dan pembiakan serta kultur bakteri harus dilakukan. b. DiscitisDiscitis merupakan infeksi dari metafisis dari vertebra yang bermanifestasi pada diskus intervertebralis. Manifestasinya berupa trias nyeri, demam dan pengurangan tinggi diskus intervertebral pada radiografi tulang belakang. Nyeri pada bayi umumnya bermanifestasi sebagai penolakan untuk berjalan; anak mungkin mengeluh sakit perut yang tidak jelas dan biasanya tidak sampai pada usia remaja proses tersebut dapat dilokalisir pada daerah tulang belakang. Akses menuju diskus intervertebral adalah melalui pembuluh darah yang melintasi cincin epifisis pada rangka yang immatur.Pada radiografi, tanda dari discitis berupa penyempitan ukuran jarak antar diskus intervertebralis dan erosi pada bagian endplates yang mungkin hilang setelah 2-6 minggu setelah terjadinya gejala. Jika terdapat kecurigaan klinis dengan radiografi yang negatif, gunakan scan tulang dengan thechnetium untuk memastikan diagnosis dan..MRI juga dapat membantu dalam mendiagnosis, namun biasanya dilakukan pada pasien dengan radiografi dan bone scan yang negatif, dan untuk pasien yang secara klinis tidak responsive terhadap antibiotik. Discitis dapat didiagnosis dan diobati sebelum dan tanpa perubahan radiografi.Organisme penyebab yang paling umum adalah Staphylococcus aureus. Biopsi biasanya tidak dilakukan karena kultur bakteri yang sering kali negatif. Pasien harus memulai terapi antibiotik antistaphylococcal intravena secara empiris dan biasanya dialihkan ke terapi oral dengan perubahan klinis. Penggunaan bracing masih menjadi kontroversial.c.Slipped Capital Femoral EpiphysisSCFE adalah yang urutan kedua kasus ortopedik pada pediatrik yang paling sering kehilangan golden periode setelah fraktur, akibat keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Kelainan ini ditandai oleh gangguan dari daerah physis pada proximal os. Femur. Metafisis mengalami displace kea rah anterior dan superior terhadap epiphysis yang masih dihubungkan ke acetabulum oleh ligamentum teres. SCFE tampak seperti scoop eskrim yang jatuh pada cone-nya (epiphysis).Anak laki-laki lebih sering terkena dibandingkan anak perempuan, dan anak-anak kulit hitam dan Hispanik lebih sering terkena daripada anak-anak kulit putih. Diagnosis biasanya berkorelasi dengan percepatan pertumbuhan pada saat masa pubertas. Saat didiagnosis, rata-rata usia penderita adalah 11,2 tahun pada anak perempuan, dan 12,7 tahun pada laki-laki, dan usia saat onset menurun. SCFE sering dikaitkan dengan kegemukan, lebih dari setengah dari pasien ini memiliki berat badan diatas persentil 95.SCFE bilateral sering terjadi, dan terdapat keterlibatan simultan bilateral sekitar 50% dari kasus SCFE bilateral. Jika curiga ke arah SCFE, kedua pinggul harus diperiksa secara radiografi. Risiko adanya keterlibatan sendi kontralateral adalah 2.335 kali lebih tinggi pada pasien dengan diagnosis slip unilateral dari pada pasien yang tidak mengalami slip.Terdapat peningkatan insiden SCFE pada pasien yang memiliki endokrinopati, seperti pada hipotiroidisme, hipogonadisme, dan terapi growth hormon. Kebanyakan anak-anak yang memiliki SCFE tidak memiliki diagnosis endocrinopathy, namun karena tingginya prevalensi dari somatotipe umum (misalnya, kegemukan, pria, hipogonadisme, puber), banyak yang berpikir bahwa anak-anak ini memiliki gangguan endokrin minor yang mendasari penyakit ini. Pada remaja biasanya muncul dengan rasa sakit dan pincang. Sekitar 85% keluhan utama terjadi pada sendi pinggul, inguinal, atau nyeri paha proksimal, tetapi 15% lainnya memiliki keluhan utamanya nyeri pada pada lutut atau paha distal. Pasien yang datang dengan keluhan utama nyeri lutut lebih mungkin untuk mengalami misdiagnosis dan kebanyakan mengalami slip yang lebih parah. Sangat banyak pasien yang melaporkan keluhannya dalam beberapa minggu, bulan bahkan tahun.Pada pemeriksaan, pasien yang berjalan dengan antalgic atau trendelenburg gait, dan pada kondisi ekstrim mengakibatkan adanya eksternal torasi dan pemendekan. Terdapat penurunan lingkup gerak sendi pada sendi panggul terutama internal rotasi, namun selain itu juga terbatas pada flexi dan abduksi. Pada flexi hip, terdapat external rotasi obligat pada hip karena metaphysic proximal terbatas dan tergeser sepanjang lingkara acetabulum.Diagnosis biasanya dapat ditegakkan dengan radiografi pada pelvis dengan tampakan anteroposterior (AP) dan frog-leg lateral. Rontgent frog-leg lateral dapat memperlihatkan displacement minor lebih jelas dibandingkan dengan tongent pelvic AP biasa. Physis akan tampak melebar dan tumpul, dan dalam kasus SCFE kronis, terdapat gambaran remodeling.. Pada hip yang normal, garis Klein ditarik sepanjang aspek anterosuperior dari neck of femur pada radiografi AP dari hip, garis tersebut harus memotong epiphysis pada hip normal. Garis ini bersinggungan dengan epiphysis atau terpisah dari epiphysis pada kondisi epiphysisi yang slipped (Gbr. 4). Pada gambaran klinis yang sangat khas dan radiografi negatif, diagnosis pre-slipped dapat ditegakkan dengan scintigraphy tulang.Terdapat tiga karakteristik SCFE yang utamanya berguna untuk konsultan ortopedik: Kronisitas: gejala yang kurang dari 3 minggu disebut akut dan lebih dari 3 minggu disebut sebagai kronis. Stabilitas: pasien yang mampu berjalan pada SCFE memiliki kondisi stabil, sedangkan jika mereka tidak mampu dianggap sebagai kondisi yang tidak stabil. Keparahan: Keparahan mengacu pada sudut yang dibentuk oleh caput epiphysis dan shaft femur, dan disebut ringan apabila sudut ini kurang dari 30o, disebut sedang bila sudut yang dibentuk antara 30o sampai 60o, dan berat jika lebih besar dari 60o.Komplikasi dari SCFE yang utama adalah osteonekrosis head of femur dan chondrolysis (hilangnya tulang rawan sendi) dari sendi panggul (ditentukan dengan lebar sendi 2 mm), terjadi pada keadaan yang akut, tidak stabil, dan parah.Pengobatan dalam keadaan darurat adalah menghilangkan tumpuan dari anggota badan yang terkena. Meskipun bisa menggunakan penopang, kursi roda untuk berat badan berlebih dan remaja yang patuh mungkin lebih aman, dengan konsultasi dengan seorang ahli bedah ortopedi dalam waktu kurang dari 8 jam.5. Trauma Non AksidentalKekerasan terhadap anak menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diterima, dimana 35% anak-anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga yang kembali tanpa adanya intervensi akan kembali mengalami kekerasan dan 5% nya mengalami kematian. Tiga puluh persen kekerasan fisik pada anak memerlukan tindakan dari bidang ortopedi.The US Departement of Health and Human Service melaporkan setidaknya 794.000 anak merupakan korban dari kekerasan pada tahun 2007. Berikut merupakan faktor risiko trauma non aksidental: Usia muda: 30% korban kekerasan pada anak berusia 90%). Dengan demikian penting untuk melepas seluruh baju pada anak untuk dilakukan inspeksi pada keseluruhan kulitnya. Meskipun karakteristik dari lesi dapat mengidikasikan cara atau alat yang digunakan (seperti bekas setrikaan, sundutan rokok, lepuhan), kebanyak cidera jaringan lunak tidak memiliki pola yang khas. Terjadinya trauma non aksidental berhubungan dengan usia dimana 80% dari fraktur pada trauma non aksidental terjadi pada anak yang berusia kurang dari 18 bulan, sebaliknya, 85% fraktur akibat kecelakaan terjadi pada usia diatas 5 tahun.

Pola fraktur pada kasus risiko tinggi mengalami trauma nonaksidental tercantum pada table 5. Diafisis dari tulang panjang merupakan lokasi tersering terjadinya fraktur pada kekerasan pada anak. Sekitar 80% fraktur femur pada anak-anak yang berusia kurang dari 2 tahun berasosiasi dengan terjadinya kekerasan. Fraktur diafisis humerus yang terjadi pada anak usia kurang dari 3 tahun merepresentasikan trauma non aksidental hingga dapat dibuktikan adanya penyebab yang lain. Berbeda dengan fraktur diafisis humerus, fraktur suprakondiler humerus merupakan kasus terbanyak pada indikasi untuk dilakukan tindakan fiksasi operatif untuk fraktur pada anak. Ciri utama yang berkaitan dengan adanya fraktur pada diafisis adalah kalus yang besar akibat immobilisasi yang tidak adekuat, fraktur multiple, dan fase penyembuhan fraktur yang bervariasi, riwayat klinis yang tidak tepat dan penundaan meminta pertolongan medis.Fraktur metafisis-epifisis dari femur distal, tibia dan humerus proximal biasanya sembuh tanpa gejala sisa namun tinggi hubungannya secara klinis dengan tindakan kekerasan. Anak dengan fraktur pada lokasi tersebut harus diperiksa shaking injury seperti trauma kepala. Akibat dari gaya tidak langsung (goncangan), periosteum mengavulsi tulang yang immature didaerah fiseal pada planar fashion, yang menghasilkan gambaran radiologis berupa corner fracture or bucket handle fracture. Sebaliknya, trauma akibat kecelakaan biasanya menghasilkan fraktur pada metafisis yang dekat dengan diafisis, seperti fraktur klasifikasi Salter Harris tipe II atau fraktur torus.Fraktur lainnya yang harus dicurigai adalah fraktur costae posterior dan fraktur scapula. Mobilitas dari os. costae menyebabkan tulang tersebut sulit mengalami fraktur akibat kecelakaan. Bagian posterior costae terpukul secara langsung saat anak yang mengalami kekerasan tersebut berusaha lari menghindar. Skapula merupakan tulang yang rata dan tebal yang ditutupi otot di seluruh sisinya, dan butuh energi yang tinggi untuk menyebabkan fraktur pada scapula. Hal ini jarang terjadi pada trauma pada anak di kehidupan sehari-hari.Prinsipnya, pada kecurigaan terjadinya fraktur akibat trauma non aksidental adalah adanya osteogenesis yang tidak sempurna. Hal ini dapat dilihat pada: Kualitas osseous (gracility, osteopenia, deformitas umum) Adanya wormian bones yang merepresentasikan beberapa pusat osifikasi yang tidak bergabung menjadi satu jika lokasinya pada tengkorak Riwayat Keluarga Sklera biru, disebabkan oleh penipisan dan penembusan yang mengenai choroid dibawahnya Postur yang pendek Gigi yang patah dan kuning kecoklatan akibat kerapuhan pada dentin Penurunan pendengaran Anak korban kekerasan harus diberikan penangan yang adekuat. Fraktur physeal-metaphyseal memiliki manifestasi klinis yang ringan, berupa nyeri ringan dan displacement ringan dibandingkan pola fraktur yang lain. Lebih dari 90% anak-anak yang memiliki bukti klinis mengalami kekerasan tidak mendapatkan pemeriksaan radiologi. Survey radiologi yang harus dilakukan pada seluruh anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun yang dicurigai mendapatkan kekerasan adalah: Rontgent AP dari rangka apendikular: femur, tibia-fibula, pedis, humerus, radius-ulna dan manus Rontgent AP alteral dari rangka axial: spine, chest dan skull Pengawasan 10-14 hari setelah pemeriksaan pertama dapat menemukan adanya fraktur tersembunyi berdasarkan pembentukan tulang baru didaerah periosteumSetiap keluarga harus diperiksa tanpa membeda-bedakan status sosioekonomi, penampilan atau pembias lainnya. Pemeriksaannya bersifat multidispilin, meliputi dokter, pekerja sosial, perawat, bagian kesehatan jiwa, dan perwakilan dari Layanan Perlindungan anak.

Dokumentasikan setiap aspek secara lengkap. Sekitar 40% kasus tidak memiliki informasi yang adekuat untuk menentukan penyebab dari fraktur pada anak. Jika tidak ada kepastian, pasien perlu dirawat inap.6. KesimpulanTerdapat tantangan tersendiri dalam mendiagnosis dan memberikan tatalaksana pada kasus fraktur pada pediatik, compartemental syndrome, anak yang pincang, infeksi pada tulang dan sendi, SCFE dan non-accidental trauma di ruang emergensi bagi dokter umum dan dokter bedah ortopedi. Kesalahan diagnosa dan tatalaksana pada kondisi tersebut dapat menyebabkan keadaan yang lebih buruk baik bagi pasien maupun bagi keluarga pasien. Kewaspadaan yang tinggi dan diagnosis yang tepat merupakan langkah awal yang tepat dalam penanganan pada kasus tersebut. Dengan adanya algoritma penanganan yang telah dijabarkan pada artikel ini, dookter dapat terhindar dari masalah yang mungkin terjadi pada kondisi urgensi dibidang ortopedi tesebut.16