Jongindonesia Edisi Spesial: Pemilu

16
ONG INDONESIA ‘‘Vitalnya Kepimimpinan Nasional’’ ‘‘Ketika Negara Membutuhkan Pertimbanganmu’’ ‘‘Kampanye Bukan Bertengkar’’ Edisi II/IV/2014 ? EDISI PEMILU

description

Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia Tertua di Luar Negeri II/IV/14

Transcript of Jongindonesia Edisi Spesial: Pemilu

Page 1: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

ONG INDONESIA

‘‘Vitalnya Kepimimpinan

Nasional’’

‘‘Ketika Negara Membutuhkan

Pertimbanganmu’’

‘‘Kampanye Bukan

Bertengkar’’

Edisi II/IV/2014

?

EDISI PEMILU

Page 2: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

Budaya

Kepada yang memulai,Dari yang melanjutkan

Satu lagi puisi yang ditulis anak bangsaSatu lagi, tapi bukan yang terakhirBukan yang tersirat di balik cemasNamun dilampiaskan di dalam asa

Satu lagi karya sastra digitalTidaklah diukir oleh pena yang menari

Di atas kertas putih yang bergelora menerima petuah“satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”

Hanya kita perlu mengerti apaDalam dimensi ruang dan waktu

Berputar melalui yang tertulis dan yang terjadiDan kembali kepada hakiki

Yang dipercaya secara pribadi walaupun massal

Pemuda tidak lagi bertemu Ki Hajar DewantaraYang mengajar di antara dewa

Tapi titisannya tetap adaDalam arus deras mimpi

Dan bertahta di dalam lingkar api

Satu lagi cerita anak bangsaDalam era kekalan

Puisi tidak pernah menjadi konklusiSetiap bait adalah bab baru

Tentang info terkini

Dan yang iniDari anak bangsa era kini

Untuk mereka yang membuat puisi dalam kegelapanDan membakar lentera optimisme

Dalam keputusasaan

Kita berjalan menuju cahayaDari tilas lepas rambut yang tertinggal

Yang perlahan menguraiMenunjukkan zat aslinya

Tapi satu lagi dan percayaSedikit lagi kita sampai

Satu Lagi Yang Ditulis Anak BangsaOleh: Irina Chatarina

Penulis adalah pelajar Ekonomi di Erasmus University, Rotterdam, Belanda

Page 3: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 3

REDAKSI JONG INDONESIA 13/14

Azzam SantosaPemimpin RedaksiErasmus University

Zulhaj RizkiRedaksi Sains

Wageningen University

Herminarto NugrohoTataletakTU Delft

Nandyka YogamayaRedaksi Budaya

TU Delft

Wira Ditta LokantaraRedaksi Ekonomi

Erasmus University

Vava ArifinRedaksi Budaya

ABKM Maastricht

Sasmita XuTataletak

Saxion University of Applied Sciences

Vitalnya Kepemimpinan Nasional

Ketika Negara Membutuhkan Pertimbanganmu

Kampanye Bukan Bertengkar

Timeline Pemilu

Dangdut dan Politik

Dahsyatnya Membran

4

6

8101214

Pengantar RedaksiPemuda, Dobrak!

Tidak lama lagi sekitar 187 juta orang Indonesia boleh mencoblos. Rakyat yang hampir dua kali lebih besar banding raktyat Russia dan Jepang boleh menentukan masa depannya sendiri. Boleh memberi tanda apakah pemerintah sebelumnya bekerja baik. Perlu digarisbawahi: dalam teori.

Praktiknya bertentangan diametral. Sejarah telah berulang, rakyat tidak menentukan masa depannya sendiri, tetapi masa depannya ditentukan oleh parpol mana yang paling banyak menghidangkan duitnya kepada mereka. Dan seringkali rakyat tergelincir dan tergoda.

Mungkin para pemuda dan para cendekiawan harus bertindak seperti para pemuda 45. Yaitu terjun ke lapangan politik, merebut dan menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, agar memperbaiki sistemnya. Beranikah Anda?

Page 4: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

Perdebatan antara manakah yang bisa menciptakan perubahan besar, pemimpin yang baik atau rakyat yang baik, ibarat mendiskusikan manakah yang lebih dahulu hadir ke dunia antara ayam dan telur. Menurut saya dua hal ini adalah bukan hal yang harus dipertentangkan, idealnya dua-duanya harus baik, pemimpin oke didukung oleh rakyat yang oke. Tapi selama keadaan ideal tersebut belum tercapai, saya berkeyakinan bahwa kita harus menemukan pemimpin oke, yang mampu membuat rakyatnya menjadi oke. Dan pemimpin itu adalah orang yang memiliki peran vital di negara Indonesia, sang pemegang kuasa kepemimpinan nasional, Presiden Republik Indonesia.

Namun apa yang kita lihat sejak bangsa ini merdeka hingga hari ini, kita masih belum menemukan pemimpin yang benar-benar bisa mengisi peran vital ini. Saya akan memfokuskan tulisan ini pada Presiden RI yang paling terakhir, yang akan tutup periode kepemimpinan pada tahun ini.

‘‘Andai yang memegang peran vital di negeri ini bisa bekerja lebih keras, tentu saja kita bisa mencapai hasil yang lebih baik.’’

Bangsa ini adalah bangsa besar dan bukan bangsa yang baru merdeka. Tidak ada yang memungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan kelimpahan sumber daya baik alam maupun manusia. Pada periode kepemimpinan terakhir ini, pemerintah mengklaim bahwa mereka telah bekerja dengan baik dengan tumbuhnya ekonomi. Sepertinya hal ini yang

sangat dibangga-banggakan oleh mereka. Tapi, mari kita lihat lebih dalam lagi. Apakah keadaan hari ini membuat mata uang kita sehat? Apakah pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan berbasis nilai tambah? Apa kabar dengan industrialisasi? Jangan-jangan kita sedang mengalami deindustrialisasi.

‘‘Bagaimana mungkin posisi vital seperti Presiden dikerjakan setengah hati sambil menjadi Ketua Umum partai sendiri? Ya jangan salahkan rakyat jika popularitas merosot.’’

Belum lagi dunia pun tahu bahwa ekonomi yang terjadi hari ini di Indonesia didorong oleh pasar yang membesar karena bonus demografi dan peran meningkatnya harga komoditi SDA sampai 4 kali lipat. Jadi, ini ibarat sebenarnya tidak ada Presiden juga tidak masalah, toh alam sendiri yang mendukung keadaan ini. Apakah kita hidup di negeri autopilot? Andai yang memegang peran vital di negeri ini bisa bekerja lebih keras, tentu saja kita bisa mencapai hasil yang lebih baik.

Oleh: Faldo Maldini

Vitalnya Kepemimpinan

Nasional

Politik

Oleh: Faldo Maldini

Page 5: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 5

Rakyat hari ini sudah cerdas dan tidak bisa dibohongi lagi. Dunia makin maju dan orang tidak bisa dibodoh-bodohi lagi. Sesederhana bisa menjaga komentar yang baik melalui akun media sosial juga merupakan hal penting. Apalagi untuk orang yang mendampingi pemimpin negara. Jangan merusak citra Ibu Negara dengan bertindak hal yang tidak pada tempatnya dengan emosi.

‘‘Apa kabar kasus Century? Bagaimana perkembangan kasus Hambalang? Bagaimana korupsi sektor energi?’’

Orang pun telah sadar, apakah pemimpin yang vital ini benar-benar mengerjakan tugasnya atau tidak. Bagaimana mungkin kita bisa meyakini Presiden yang tidak bisa membedakan urusan partai dan negara bisa bekerja dengan baik? Bagaimana mungkin posisi vital seperti Presiden dikerjakan setengah hati sambil menjadi Ketua Umum partai sendiri? Ya jangan salahkan rakyat jika popularitas merosot. Seharusnya peran vital seperti Presiden bisa diisi oleh orang-orang yang bisa mengedepankan kepentingan rakyat, bukan partai. Koalisi pun dibuat seharusnya bukan untuk politik

dagang sapi, tapi koalisi seharusnya memiliki semangat saling bahu-membahu membangun negeri.

Jika kita berbicara korupsi? Wah ini lebih ngeri lagi. Apa kabar kasus Century? Bagaimana perkembangan kasus Hambalang? Bagaimana korupsi sektor energi? Andaikan bahaya laten korupsi ini bisa diputus dari negeri, tentu saja tidak akan ada cerita rakyat yang masih susah mendapatkan hidup layak. Ketamakan orang-orang yang memegang kuasa, yang tidak bisa dijegal oleh yang memegang peran vital di negara ini, membuat korupsi makin merajalela. Belum lagi institusi pemberantasan korupsi seperti KPK menjadi bulan-bulanan dengan dipreteli dari berbagai sisi. Aneh sekali jika ada orang yang ingin upaya pemberantasan korupsi di negeri ini berjalan mundur ke belakang lagi. Dan sepertinya, lagi-lagi belum ada upaya serius yang terlihat hingga hari ini.

Kita tentu mendambakan pemimpin yang mampu menakhodai bangsa ini dengan benar-benar bekerja keras agar menjadi bangsa yang lebih maju lagi. Peran vital seperti Presiden, suka tidak suka, akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi ratusan juta rakyat yang ada di negeri ini. Begitu vitalnya posisi Presiden ini, jangan sampai pada pemilu nanti diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki niat untuk kerja keras. Pemikiran bagus okelah, niat baik okelah, tapi itu tidak cukup untuk membangun Indonesia. Sekali lagi, kita butuh pemimpin yang siap bekerja habis-habisan, bersama rakyat, agar mampu menjawab cita-cita para pendiri bangsa ini.

Penulis adalah Presiden PPI UK dan post-graduate student dalam bidang ‘Plastic Electronic Materials’, Physics Department di Imperial College London, Britania Raya

Page 6: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

“Pemilihan umum telah memanggil kita, s’luruh rakyat menyambut gembira, hak demokrasi Pancasila, hikmah Indonesia merdeka...,” demikian penggalan lagu “Mars Pemilu” ciptaan Mochtar Embut, yang belakangan dikemas ulang oleh Project Pop, sebuah grup vokal asal Indonesia, sebuah lagu motivasi untuk warga negara Indonesia agar menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum (pemilu).

Namun, bagi sebagian warga negara Indonesia, semangat yang ditularkan dalam lirik lagu nampaknya kurang begitu memotivasi mereka untuk memilih dalam pemilu. Hasil penelitian yang diterbitkan melalui sebuah jurnal milik Universitas Indonesia menunjukkan sebuah fakta yang cukup ironi, yakni setelah pemilu tahun 1999, suatu masa ketika Indonesia baru saja merayakan lahirnya demokrasi, jutru merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya jumlah dari apa yang lebih populer dengan istilah golongan putih (golput). Lebih ironi lagi, jumlah golput pada Pemilu 2009 bahkan memecahkan rekor jumlah golput sepanjang sejarah Pemilu Indonesia, saat itu jumlah warga Indonesia yang tidak menggunakan hak pilihnya hampir mencapai 30% dari total pemilih terdaftar. Tentunya ini bukan sebuah prestasi. Tingginya angka golput bukan merupakan sesuatu yang bisa dibanggakan.

Golput? Itu Hak Saya, Kok!Secara legis formalis memang betul. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu di Indonesia jelas mengategorikan pemilu sebagai sebuah hak dari warga negara. Indonesia berbeda dengan negara-negara lain seperti Argentina, Australia, Brazil dan Singapura, di mana memilih dalam pemilu

merupakan sebuah kewajiban bagi warga negara yang apabila tidak dijalankan akan dikenakan sanksi. Namun demikian, mengapa sebaiknya kita tidak memperlakukan “hak” dimaksud sebagaimana layaknya “hak” lain dalam hidup, seperti misalnya hak untuk menerima upah dalam pekerjaan, hak untuk cuti dari pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk menjalankan ibadah, dan hak-hak lainnya.

‘‘Tingginya angka golput bukan merupakan sesuatu yang bisa dibanggakan.”

Penyelenggaraan pemilu (dalam skala nasional) menunjukkan adanya sebuah ajakan atau tawaran atau permohonan atau undangan dari negara kepada kita sebagai warga negaranya untuk terlibat langsung dalam menentukan jalannya negara dalam waktu ke depan, baik sebagai (i) pihak yang “dipilih” untuk menjadi aparatur dengan menjadi anggota

KETIKA NEGARA MEMBUTUHKAN PERTIMBANGANMUOleh: Jesco Siahaan

Politik

Page 7: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 7awal menjalin hubungan. Kemudian, bisa juga disetarakan dengan prinsip know your customer dalam hukum perbankan di mana bank meneliti latar belakang nasabah, seperti dari mana sumber uangnya, bagaimana record kreditnya pada sistem Bank Indonesia, dan lain-lain. Atau bagaikan seorang konsultan yang diminta oleh kliennya untuk memberikan analisis atas suatu hal berdasarkan bidang keahliannya. Dalam pemilu juga sama, pertimbangan dan analisis kita dalam menentukan siapa pihak yang layak untuk memimpin negara, itulah yang dibutuhkan oleh negara. Jadi, alangkah baiknya jika kita merespon apresiasi dan fiduciary yang diberikan negara kepada kita secara positif. Hal tersebut dilakukan dengan cara secara aktif mencari tahu, meneliti dan menilai latar belakang dan track record calon wakil rakyat untuk kemudian kita putuskan bahwa yang bersangkutan merupakan tokoh yang mempunyai kredibilitas, sehingga diharapkan mampu untuk bekerja dengan baik di dalam pemerintahan dan membawa pengaruh positif bagi perkembangan negara ke depannya.

It’s Time!Era keterbukaan informasi seperti yang terjadi pada saat ini tentunya menjadi sebuah keuntungan yang dapat memfasilitasi “penelitian” yang kita lakukan untuk menentukan pilihan tepat dalam pemilu. Menyisihkan waktu untuk membaca berita, artikel, pendapat dan informasi terpercaya lainnya dalam media cetak, elektronik dan internet perlu kita lakukan untuk mengenal siapa sebenarnya si calon wakil rakyat yang akan kita pilih. Niscaya pasti ada kandidat yang layak untuk dipilih, yang berpendidikan baik, yang telah melakukan aksi nyata dan perubahan positif sebelum yang bersangkutan mencalonkan diri, dan yang berintegritas serta taat hukum. Sudah waktunya Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang lebih baik.

legislatif ataupun presiden dan wakil presiden; dan/atau (ii) pihak yang “memilih” yaitu kita berperan menentukan siapa pihak yang kompeten untuk menjalankan pemerintahan dimaksud. Jadi, dalam konteks “memilih,” berarti negara membutuhkan kita untuk memberikan advice kepada negaramengenai siapakah tokoh yang layak untuk memimpin negara.

‘‘Jadi, dalam konteks “memilih,” berarti Negara membutuhkan kita untuk memberikan advice kepada Negara mengenai siapakah tokoh yang layak untuk memimpin Negara”

Lalu, Bagaimana Saya Menjalankan Hak Saya Tersebut? Memilih calon wakil rakyat dalam pemilu dapat dianalogikan layaknya memilih pasangan hidup, di mana pada umumnya prinsip yang berlaku ketika mencari orang yang tepat adalah tidak hanya mengacu kepada penampilan secara fisik atau janji-janji manis yang ditawarkan pada saat

Penulis merupakan associate lawyer pada sebuah kantor hukum di Jakarta, saat ini sedang menempuh pendidikan master di bidang international economic and business law pada Rijksuniversiteit Groningen, Belanda.

Page 8: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

“Jokowi meninggalkan Jakarta karena jadi capres”, “Prabowo kecewa atas pelanggaran Perjanjian Batu Tulis”, “Bakrie terbang ke Maladewa bersama artis-artis”. Tiga headline tersebut adalah beberapa contoh isu-isu yang menggetarkan Indonesia selama masa kampanye. Cermati dan telitilah isu-isu tersebut. Ada satu hal tersembunyi tapi sangat mendasar demi berkelanjutan demokrasi. Anda sudah melihatnya? Ialah: kebijakan.

‘‘Hingga pada saat ini, debat dan diskusi antar partai tentang kebijakan dan masa depan RI belum ada, sebab para kontestan lebih sibuk bertengkar tentang figur’’

Hingga pada saat ini, debat dan diskusi antar partai tentang kebijakan dan masa depan RI belum ada, sebab para kontestan lebih sibuk bertengkar tentang figur. Kampanye ini bagi konstituen ibaratnya menonton sinetron atau Indonesian Idols. Mereka diharu-biru oleh euforia dan tragedi partai politik atau tokohnya. Akibatnya mereka akan mencoblos karena loyalitas semata. Mereka gagap dan buta tentang program partai, karena partai mengutamakan saling menyerang tokoh daripada program partai. Ironisnya adalah bahwa pada 9 April nanti jutaan konstituen karena dibutakan oleh cinta pada tokoh akan mencoblos partai yang berpotensi besar merugikan mereka dengan kebijakannya.

‘‘Ironisnya adalah bahwa pada 9 April nanti jutaan konstituen karena dibutakan oleh cinta pada tokoh akan mencoblos partai yang merugikan mereka dengan kebijakannya.’’

Tidak KonkritMengapa tidak ada debat tentang kebijakan? Ketiadaannya disebabkan oleh ketidakmampuan partai untuk menyusun program yang konkrit, jelas dan layak. Sebut saja, di antara tiga partai terbesar yaitu Demokrat, Golkar dan PDIP, masing-masing tidak memiliki program seperti itu. Umpamanya program partai Aburizal Bakrie (ARB), dengan segala fantasi megalomannya, menyajikan paparan visi Indonesia 2045 (31 tahun dari sekarang) dalam 4(!) lembar kertas digital, termasuk gambar dan grafik. Selain tidak konkrit, program ini juga tidak jelas. Contohnya, “... Pada dasawarsa ini untuk membangun … Indonesia menjadi negara maju dengan... kebijakan fiskal yang akomodatif’. Apa yang dimaksud akomodatif? Apakah itu bermaksud membebankan pada buruh, perusahaan asing atau

Kampanye Bukan Bertengkar

Politik

Dari Pemimpin Redaksi Kami: Azzam Santosa

Page 9: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 9

bahkan perusahaan ARB sendiri? Kita tidak tahu. Pada ujungnya partai-partai tidak ambil keputusan dan lebih suka menggunakan kosakata ambigu dan samar.

‘‘Umpamanya program partai Aburizal Bakrie (ARB), dengan segala fantasi megalomannya, menyajikan paparan visi Indonesia 2045 (31 tahun dari sekarang) dalam 4(!) lembar kertas digital’’

KelayakanSelain program konkrit partai, ketiadaan debat tentang program juga menyebabkan celah pada sisi kelayakan. Dalam situasi ideal, partai-partai akan berdebat dan menyerang program partai oponennya. Programnya layak atau tidak. Seperti Gerindra, salah satu partai yang memiliki program cukup konkrit. Tapi apakah program partainya itu layak atau hanya sekadar janji manis saja? Seperti butir pertama yaitu “Mencapai 7% per tahun (pertumbuhan ekonomi), menuju 10% pertumbuhan di atas 10%.” Satu external shock saja, seperti gejolak harga minyak, perang meletus atau musibah alam dapat

membuyarkan janji itu. Mungkin Prabowo dapat membela dengan argumen, “Bukankah kamu pun seperti saya berspekulasi?” Masalahnya jika saya benar, rakyat tidak dapat menagih janjimu, karena RI1 hampir dijamin menduduki Istana Merdeka selama 5 tahun.

‘‘Dalam situasi ideal, partai-partai akan berdebat dan menyerang program partai oponennya. Programnya layak atau tidak.’’

Perlu ditegaskan dan digarisbawahi bahwa pengabaian debat tentang kebijakan dalam aspek konkrit dan kelayakan terjadi pada seluruh partai-partai politik di Indonesia, di mana mereka seharusnya berdebat tentang isu-isu penting seperti subsidi BBM, korupsi, lapangan kerja, jembatan Selat Sunda, perusakan hutan. Tapi mereka milih untuk diam. Pada khususnya PDIP, yang diramalkan oleh hampir seluruh survei akan melampaui ambang batas pengajuan capres. Capresnya sudah dikenal sebagai contoh teladan bagi capres-capres lainnya. Tetapi politik tidak hanya sebatas menyukai dan menggemari karakter dan pola hidup, sebab ‘There is more to politics than that meets the eye’. Oleh karena itu saya sedang menunggu program partainya. Sayang sekali website PDIP sedang offline di Belanda.

Penulis adalah pemimpin redaksi Jong Indonesia dan sedang menempuh studi Ekonomi dan Hukum di Erasmus University Rotterdam, Belanda

Page 10: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

PEMILU PERTAMA 1955

Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang pernah terjadi di Indonesia. Sebetulnya, di dalam Maklumat X tanggal 3 Nopember 1945 yang berisi tentang anjuran pembentukan partai-partai politik disebutkan bahwa pemilu anggota MRP dan DPR akan diselengarakan pada Januari 1946. Namun, karena pemerintahan baru belum siap dalam menyusun UU Pemilu dan kondisi keamanan negara belum stabil akibat konflik internal antar kekuatan politik pada masa itu, pemilu ditunda sampai 9 tahun kemudian.

Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap, yaitu: tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante (Dewan pembuat UUD). Tahap ini diselenggarakan pada 15 Desember 1995. Inilah pemilu pertama yang di laksanakan dengan mencamkan nilai keragaman, kejujuran,

PEMILU ORDE BARU: REZIM YANG LUAR BIASA

Pemindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno pada masa Orde Lama tidak melalui pemilihan umum melainkan penetapan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Sementara pada 12 Maret 1967 setelah penolakan pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) oleh MPRS. Dan kemudian resmi menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968.

Pemilu pertama pada Orde ini baru berlangsung setelah pemerintahan Presiden Soeharto berjalan selama empat tahun.

Pemilu pada masa ini dianggap luar biasa karena pada enam kali penyelengaraanya (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), hanya diikuti oleh dua partai politik (Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan) dan satu Golongan Karya, dan keseluruhannya dimenangkan oleh Golongan Karya di bawah kekuasaan Presiden Soeharto.

Oleh: Irina ChatarinaT I M E L I N E P E M I L UPolitik

Page 11: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 11

PEMILIHAN OLEH RAKYAT2004

Setelah era Megawati, Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, dan inilah awal dari Pemilihan Presiden Langsung oleh rakyat. Pada pemilu ini presiden dan wakilnya dipilih berpasangan, melalui 3 tahap. Tahap pertama pemilu legislatif pada 5 April 2004 untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD.

Tahap kedua pemilu presiden Putaran I pada 5 Juli 2004 dengan 5 kandidat: Wiranto, Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah Haz, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun tiap kandidat yang terpilih belum berhasil mendapatkan suara sekurangnya 50 persen, sehingga terjadilah Pemilu tahap ketiga atau pemilu presiden Putaran II. Pada tahap ini Megawati dan Yudhoyono beradu pada 20 September 2004. Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. Jusuf Kala sebagai wakilnya berhasil mendapatkan suara terbanyak dan menjadi Presiden pertama pilihan rakyat, dan kembali menang pada pemilu berikutnya , Pemilu 2009 dengan Boediono sebagai wakilnya.

PEMILU RUMIT 1999

Pemilu 1999 adalah pemilu pertama setelah rutuhnya Orde Baru. Setelah perlawanan mahasiswa pada 20 Mei 1998, Presiden Soeharto turun paksa dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie yang seharusnya meneruskan masa tugas Presiden Soehato sampai 2003. Pemilu ini terjadi atas keputusan Sidang Istimewa MPR pada November 1998 yang mengesahkan Tap MPR No. XIV/1998 yang berisi perintah kepada Presiden untuk menyelengarakan pemilu selambat-lambatnya pada 7 Juni 1999. Dilanjutkan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik. PDIP meraih suara terbanyak yaitu sekitar 35 persen. Namun, yang diangkat sebagai Presiden adalah calon dari PKB, yaitu Abdurrahman Wahid, dan Megawati dari PDIP sebagai wakilnya. Hal ini merupakan keputusan anggota MPR karena Pemilu 1999 ditujukan untuk memilih calon anggota MPR, DPR dan DPRD.

Penulis adalah pelajar Ekonomi di Erasmus University, Rotterdam, Belanda

Page 12: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

Pernah sekali aku pergi, dari Jakarta ke Surabaya,untuk menengok nenek di sana, mengendarai kereta malam…..

Itulah sepenggal lirik lagu dangdut yang beberapa waktu lalu muncul di beberapa televisi di Indonesia. Lagu berjudul Kereta Malam ciptaan Rhoma Irama, yang pernah dipopulerkan oleh si Ratu dangdut Elvie Sukaesih kembali menggema, setelah menjadi lagu joget di beberapa program televisi. Fenomena dangdut sedang menggoyang pertelevisian kita. Coba kita menengok kembali jenis musik ini. Musik yang menurut Project Pop “..is the music of my country”.

Kata dangdut sebenarnya adalah kata cemoohan, dari para kelompok musik, pop, rock dan elite sosial kepada irama musik Melayu-India ini. Kemudian menjadi julukan setelah majalah Aktuil pada awal 1970-an memakai kata “dangdut” untuk menyebut jenis musik ini . Dangdut adalah orkes yang menggunakan gendang yang bersuara dang-dang-dut.

‘‘Musik rock dan pop identik dengan musik elite atau kaum borjuis sedangkan musik dangdut identik dengan kaum pinggiran, atau kaum marjinal.’’

Perkembangan musik dangdut menghadirkan pro dan kontra baik dari kalangan musik Melayu maupun dari jenis musik lainnya. Pada awal kemunculannya beberapa pelakon musik Melayu tidak suka dengan hadirnya dangdut. Mereka bertanya “Mau dibawa ke mana musik Melayu?”. Mereka menolak dangdut masuk lingkungan

Oleh redaktur budaya kami:Arifin Kurniawan

irama Melayu. Walaupun demikian sampai sekarang orkes dangdut masih menggunakan akronim (OM) kepanjangan dari Orkes Melayu. Para pelakon musik Melayu ini tentu ingin menjaga keaslian musik Melayu, yakni Melayu Deli. Pertentangan dengan jenis musik lain pun juga terjadi, bahkan seorang pentolan band rock pada 1970 menyebut dangdut musik “tahi anjing”.

Perseteruan rock versus dangdut berlangsung bertahun-tahun. Sudah hal biasa bila penggemar rock tawuran dengan fans dangdut, sehingga mengakibatkan korban luka yang tak sedikit jumlahnya. Pertentangan ini dikarenakan tidak hanya oleh perbedaan jenis musik tetapi dikarenakan juga perbedaan jenis kelas para penikmatnya. Musik rock dan pop identik dengan musik elite atau kaum borjuis sedangkan musik dangdut identik dengan kaum pinggiran, atau kaum marjinal.

Perkembangan musik dangdut tidak lepas oleh petikan gitar dan nama besar Rhoma Irama. Bersama Grup Soneta yang dibentuk pada 1973, Rhomalah yang mengantarkan musik Melayu menjadi musik dangdut. Dialah yang menghadirkan tabla dan seruling. Dia pula yang menghadirkan gitar elektik

Dangdut dan Politik

Budaya

Dari Redaktur Budaya Kami: Vava Arifin

Page 13: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 13

ke dalam unsur musik dangdut. Tak heran gitar Steinberger selalu identik dengannya. Syair-syair musik Melayu berubah menjadi lebih bervariasi. Bahkan dalam perkembangannya dia menyisipkan unsur-unsur Islam dalam syairnya. Pada tahun 1986 majalah Asia Week menjulukinya Southeast Asia Superstar. Wajar jika dia mendapat jukukan “Si Raja Dangdut”.

‘‘Jangan sampai diplesetkan bahwa setiap peserta kampanye, nggak tahu visinya, nggak tahu misinya, nggak kenal partainya, nggak kenal calegnya, yang jelas tetap goyang sampai “ora eling” lupa segala dan pastinya “hore rame-rame” goyang sama-sama. ‘‘

Kita harus melihat musik ini adalah musik yang identik dengan musik kalangan kelas bawah. Musiknya orang pinggiran, tak berkelas. Musiknya kaum miskin dan tertindas. Musik yang bisa mengekpresikan kisah dan keluh kesah dari kaum marjinal. Selama ada kaum miskin dan tertindas,

maka musik dangdut ini akan selamanya hidup, dengan segala fenomena yang mengiringinya. Baik dan buruk musik ini telah menjadi wadah kaum yang termarjinalkan untuk berekspresi dan berkesenian.

Dalam gelanggang politik, dangdut memiliki panggung yang cukup besar. Selain penyanyinya yang diberitakan menjadi “istri siri” dan tersandung kasus korupsi para pejabat, dangdut telah menjadi magnet bagi partai politik karena musik ini digunakan untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Apa pun partainya, baik yang berembel-embel agama atau pun berlabel nasionalis, menggunakan “goyangan” musik ini dalam panggung kampanyenya. Jenis musik dangdut yang identik dengan kelas bawah ini akan selalu digunakan oleh partai politik karena mereka yang “katanya” penyalur aspirasi wong cilik. Jangan sampai para pelakon dangdut yakni penyanyi yang banting stir menjadi calon legislatif, atau Sang Raja yang tergiur oleh iming-iming kursi presiden menjadi terlena. Karena terkadang insan dangdut tetap dan hanya digunakan sebagai penarik massa.

Partai politik juga seharusnya menengok kembali apakah penggunaan dangdut dalam panggung kampanye dengan pengerahan massa sesuatu yang efektif? Dan misi partai tersampaikan? Yang pasti sebagian masyarakat kita telah “melek” politik. Jangan sampai diplesetkan bahwa setiap peserta kampanye, nggak tahu visinya, nggak tahu misinya, nggak kenal partainya, nggak kenal calegnya, yang jelas tetap goyang sampai “ora eling” lupa segala dan pastinya “hore rame-rame” goyang sama-sama. Sifat dangdut yang mudah diterima oleh segala kalangan, selayaknya bisa menjadi motor untuk memberikan pembelajaran.

Penulis adalah redaktur budaya Jong Indonesia dan sedang menempuh studi Interior Design di ABKM Maastricht, Belanda

Page 14: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, kata ‘membran’ sudah tidak asing lagi di telinga para pembaca. Namun tidak banyak juga pembaca yang tidak tahu sebenarnya apa itu membran. Mebran seperti alat canggih nan ajaib yang sekarang sedang marak khususnya di kalangan industri. Bahkan saking canggihnya, membran dapat menyulap air sekotor muara kali Ciliwung dapat diminum.

Secara keilmuan, membran didefinisikan sebagai sebuah lapisan (pembatas) yang dapat meloloskan sebagian partikel yang dikehendaki. Karena sifatnya tersebut, membran disebut bersifat semi-permeable. Semi berarti sebagian, permeable artinya dapat dilewati. Sehingga, hanya partikel-partikel yang dikehendaki saja yang dapat melewati lapisan membran. Seperti halnya pada film-film anime, membran seperti kekkai yang dapat menahan musuh, namun memperbolehkan kawan untuk melewatinya.

‘‘Seperti halnya pada film-film anime, membran seperti kekkai yang dapat menahan musuh, namun memperbolehkan kawan untuk melewatinya. ’’

Analogi paling sederhana untuk membran adalah saringan. Saringan menahan partikel berukuran besar, dan meloloskan partikel kecil. Perbedaan paling utama antara membran dan saringan adalah ukurannya. Jika saringan pasir milik toko material bermain pada orde centimeter (cm), maka membran bermain pada orde mikro hingga nanometer (1 meter = 1 juta mikro meter = 1 miliar nano meter). Kalau saringan teh bertujuan untuk memisahkan daun teh dari minumannya, maka membran dapat memisahkan air dari partikel terlarut. Jadi kalau teh yang sudah disaring kemudian disaring menggunakan membran, maka kita akan mendapat air bening.

‘‘Jangan pertanyakan bagaimana kondisi air bakunya, tapi proses seperti apa yang digunakan. Karena prinsipnya, air sekotor apa pun dapat dimurnikan dengan membran.’’

Variasi Membran

Berdasarkan gaya dorongnya (driving force), membran dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Kategori pertama membran yang prinsip kerjanya berdasarkan perbedaan konsentrasi, yang sering disebut dialisis. Prinsip membran seperti ini secara alami juga ditemukan pada proses osmosis dalam sel. Kategori selanjutnya yaitu berdasarkan perbedaan muatan listrik, yang dikenal dengan elektroforesis. Kategori lainnya, yang paling umum dan sering didengar oleh kebanyakan orang, yaitu berdasarkan beda tekan. Prinsipnya sama persis dengan saringan. Namun, dapat kita bayangkan untuk partikel yang sangat kecil, akan sulit sekali membuat partikel kecilnya melewati saringan jika didiamkan begitu saja. Untuk itu, di bagian input diberikan tekanan yang sesuai sehingga partikel kecil dapat bergerak melewati membran tersebut. Membran dengan beda tekan sebagai driving force

Sains

Oleh Redaktur Sains Kami: Zulhaj Rizki

Dahsyatnya Membran

Page 15: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

JONG INDONESIA 15

Dahsyatnya Membran

dapat diklasifikasikan lagi menurut orde ukuran partikel yang dipisahkan. Mulai dari mikrofiltrasi (orde mikro meter), nano filtrasi (orde nano meter), dan reverse osmosis (lebih kecil dari 1 nm).

Aplikasi

Membran secara umum, telah diaplikasikan di berbagai sektor. Sektor yang paling sering dibicarakan adalah pengolahan air, baik untuk air proses dalam industri, sekadar pemulihan air untuk cuci atau flushing toilet, atau bahkan untuk air minum. Seperti telah disebutkan sebelumnya, reverse osmosis (RO) memiliki ukuran lebih kecil dari 1 nm. Sedangkan partikel kotoran hanya berukuran sekitar 1 mikro meter. Jadi, dengan menggunakan RO air yang diproses akan bebas dari partikel kotoran dan juga bakteri. Bahkan garam-garam terlarut dengan ukuran sekitar 1 nm juga ikut dipisahkan. Oleh karena itu untuk air minum biasanya air RO ditambahkan mineral kembali. Untuk itu, jika kita ingin mempertanyakan air yang kita minum, jangan pertanyakan bagaimana kondisi air bakunya, tapi proses seperti apa yang digunakan.

Karena prinsipnya, air sekotor apa pun dapat dimurnikan dengan membran. Dengan serangkaian tahapan proses tentunya.

‘‘Keunggulan lainnya yang menjadikan membran menjadi primadona yaitu rendahnya energi yang dibutuhkan dan juga operational cost untuk penggunaan membran dengan spesifikasi produk yang serupa.’’

Aplikasi lainnya yang sering digunakan adalah pemulihan komponen tertentu dari sebuah industri. Dalam industri proses, loss suatu komponen tidak dapat terelakkan. Namun loss tersebut dapat diminimalisir, atau bahkan dapat dipulihkan dengan sempurna. Salah satu teknik untuk memulihkan komponen tersebut adalah menggunakan teknologi membran ini. Untuk dairy industry contohnya, teknologi membran difokuskan untuk memulihkan whey yang merupakan produk samping dari industri keju. Dahulu, whey dari pabrik keju dibuang begitu saja atau digunakan sebagai pakan ternak. Kini, dengan penggunaan membran, whey dapat dipulihkan dengan baik. Bahkan kini produk turunan whey hampir menyaingi harga keju itu sendiri. Bahkan bisa jadi pertanyaan saat ini, apakah keju yang menjadi produk utama atau whey itu sendiri?

Keunggulan lainnya adalah rendahnya energi dan operational cost untuk penggunaan membran dengan spesifikasi produk serupa. Misalnya saja untuk memisahkan air menggunakan dryer membutuhkan energi melebihi 2000 kJ per kg air, sedangkan membran RO hanya membutuhkan kurang dari 100 kJ per kg air. Kekurangannya investment cost yang relatif tinggi, juga belum banyak yang tahu mengenai keajaiban teknologi ini, dan menganggapnya sangat rumit.

Penulis adalah redaktur sains Jong Indonesia dan sedang menempuh studi Food Technology di Wageningen University, Belanda

Page 16: Jongindonesia  Edisi Spesial: Pemilu

Sebuah senja,dengan aku,dan sapaan

hangat agin akhir musim dingin

melihat sebaris bebek, menge-kwek-kwek-kwek

bergumul bercengkrama di kanal kota

menatap kuncup bunga,yang malu-malu menyekarkan

wanginya, semerbak tapi tak

pekat

Senja di Maret ini terasa berbeda

tatapan mentari yang menyeka tiap-tiap bayang manusia

menghujat mesra lembayung yang malu-malu memunculkan

spektrum ungu dan nilanya

ada awan yang berlari-lari layaknya serdadu perang yang

baru menang melawan sang kelamatau mereka kalah menikam suram

samar terdengar kicauan burung yang mulai membuat sarang

menari dan perlahan hilang menembus membayang pada lembayung

aku masih di sini berdiri, ketika membayangkan

‘Dara, dara yang sendiriberani mengembara

mencari di pantai senja.Dara, ayo pulang saja, Dara!’’ *

mengambil kembali mimpi-mimpi yang terbeli

tidak mengkontras bisu, membumi malu

sebagaimana mula, aku abadikan mereka dalam lensa mata

di suatu temaram senja

Leiden, 7 Maret 2014*dikutip dari petikan lirik sajak terjemahan Chairil Anwar, Datang Dara, Hilang Dara

Oleh:Jajang NurjamanCamera Obscura

Budaya

Penulis adalah pelajar sejarah di Leiden University