Jong Arsitek! Feb08

21

description

beberapa arsitek muda berkumpul, mikir, diskusi, kemudian lalu. itu lagu lama. kini lagu baru... beberapa arsitek muda berkumpul, mikir, diskusi, kemudian bikin majalah gratis. JongARSITEK! adalah media bulletin kegiatan arsitek yang tujuannya sebagai media dokumentasi kegiatan karya dan wadah berkarya kita-kita orang arsitek yang dibuat oleh kita dikerjakan oleh kita untuk siapa saja. Siapa saja bisa berkontribusi dan meluangkan pikiran maupun wujud desain yang memiliki makna yang terkadang di lewatkan oleh orang lain, bahkan bos-kita. Gratis dibagikan dan disebarkan dalam bentuk digital, fotokopi, print out maupun di mading kampus-kampus, kantor, jadwal kerja, atau sebagai poster di kamar anda, sebagaimana bisa disebarkan sebagai berita baik, doktrinasi maupun propaganda arsitektur dan issue-nya. Awas penipuan dalam bentuk uang, laporkan ke Polisi terdekat bila media ini di distribusikan secara komersial. selamat membaca, desain menginspirasi JongArsitek! Februari 2008

Transcript of Jong Arsitek! Feb08

Page 1: Jong Arsitek! Feb08
Page 2: Jong Arsitek! Feb08

Selamat menikmati.. Desain menginspirasi

[email protected]

sampul : adikritz

Except where otherwise noted, content on this magazine islicensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License

Page 3: Jong Arsitek! Feb08

selamat senang semuanya, selamat bahagia! selamat yang baik2 deh pokoknya! .

walaupun beberapa minggu ini jakarta sedang sangat tidak cerah, tapi nampaknya hari-hari sedang cerah untuk dunia arsitektur kita. beberapa gerakan mulai menggeliat, forum-forum diskusi mulai ramai, beberapa arsitek indonesia berhasil menjadi pemenang dalam BCI Asia design competition, dan Ikatan profesi kita sedang memperjuangkan disahkannya undang-undang keprofesian arsitek.

semuanya tampak berjalan kearah yang lebih baik.

oleh karena itu kami merasa sekarang adalah momentum yang paling tepat untuk meluncurkan edisi per-

dana JongArsitek! bundelan kertas yang bisa dimiliki secara cuma-cuma ini adalah kumpulan pemikiran beberapa arsitek muda, yang merasa perlu untuk berkata-kata di tengah riuh rendah dunia arsitektur kita. bukan dengan tujuan untuk cari nama, tapi hanya membekukan pemikiran mereka, agar bisa di bagi dengan khalayak lebih ramai. harapannya agar pemikiran-pemikiran ini bisa di sanggah, di patahkan, malah mungkin di bungkam oleh pemikiran-pemikiran baru yang juga terbekukan. agar dunia arsitektur kita bisa terus bergerak dengan pemikiran-pemikiran baru yang dapat terus mendefinisi ulang arsitektur indonesia.

saatnya yang muda bersuara. menggariskan awal, lewat kata dan karya hasil pemikiran.

dengan bersyukur kepada tuhan yang maha esa,dan dengan segala kerendahan hati, kami mem-persembahkan edisi perdana ini untuk dunia arsitektur indonesia.

JongEDITORIAL!oleh : Danny Wicaksono

Kontributortanpa basa basi, anda bisa mengecek profil mereka langsung ke frenster dan media sosialweb lainnya.

adikritzhttp://profiles.friendster.com/adikritz

paskalis khrisno ahttp://profiles.friendster.com/6831264

danny wicaksonohttp://profiles.friendster.com/3982445

rafael arsonohttp://profiles.friendster.com/8063285

ardes perdhanahttp://profiles.friendster.com/8923678

ariko andikabinaprofiles.friendster.com/7108104

Page 4: Jong Arsitek! Feb08

3 9 15/22 28 34 38 JongEditorial

selamat datang di edisi perdana ini

jongGambar

fashionably fresh!

jongTulisan

kota cantik yang tidak sekedar bedak arsitektural

arsitek, manifesto, dan perkotaan

JongRiview

tegang bentang

JongEvent

hijau menjadi pilihan?

jongArsitek!febuar i 2008

JongLainnya

sosialitur

6

Page 5: Jong Arsitek! Feb08

8

photo by adikritzHolga - ELITE Chrome 160

a pile of dishes

jongArsitek!febuar i 2008

Sing sing singMelalui lorong koridor servis, Karya Paul Rudolph ini seperti tumpukan piring yang akan dicuci Mernyanyi, mengekspresikan diri, membuat orang-orang berkumpul, dan mencari uang, bisa

dilakukan sekaligus kalau kita punya runag publik yang baik...

Page 6: Jong Arsitek! Feb08

fashionablyfresh!

The New Era for Contemporary Design Center in Jakartaoleh : Rafael Arsonodesain : Ardes Perdana, Paskalis Khrisno A, Rafael Arsono

jongGambar

jongArsitek!febuar i 2008

10

Page 7: Jong Arsitek! Feb08

sebagai wadah pusat desain (fungsi kultural), mengembalikan JDC pada hakikatnya (design center).

Kedua kepentingan tadi diikuti dengan negosiasi program pada beberapa lokasi di lantai dasar. Sebagai sebuah pusat desain, gedung ini harus lebih terbuka terhadap pub-lik, ramah terhadap pejalan kaki. Mengingat semakin minimnya free-public open space di Jakarta, halaman muka didedikasikan sepenuhnya terhadap publik dengan sebuah plaza yang terbuka bagi warga kota untuk berekspresi sewajarnya di dalamnya dan memindahkan parkir mobil ke basement. Dengan membuka lantai basement baru, kuota parkir bertambah, serta memaksimal-kan fungsi muka bangunan sebagai ruang publik yang ramah lingkungan.

Dari jalan, plaza ini berangsur naik mengarah sejajar ketinggian lobby di lantai

dasar. Sebuah jalur pedestrian ditarik dari trotoar menerus masuk ke dalam lantai dasar menembus lobi, seakan mengintervensi pejalan kaki dan mengajak masuk ke dalam. Jalur ini tidak simetris—miring—terhadap lobi, sehingga memberikan ketegangan baru, memecah kekakuan desain bangunan asli yang cenderung simetri. Sebagai ruang transisi yang menarik perhatian pengunjung, plaza ini bisa dimaksimalkan menjadi tempat pameran outdoor temporer. Water-feature berupa kolam air mancur merefleksikan bangunan serta menjadi sumber cahaya alami ke lantai parkir di bawahnya. Dapat dibayangkan kerjasama dengan seniman dalam pembuatan artwork mampu memaksimalkan peran plaza lebih dari sekedar taman.

Program lain yang disuntikkan di lantai dasar adalah sebuah fungsi ‘museum kecil’ ten-tang desain, arsitektur, dan ketatakotaan. Keg-iatan ritel di lantai dasar dikurangi, digantikan

jongArsitek!febuar i 2008

Sayembara renovasi fasade gedung Jakarta Design Center (JDC) yang diadakan IAI Jakarta beberapa bulan lalu adalah sebuah proyek facelift yang juga mencakup penataan halaman muka serta entrance gedung tersebut. Sayembara “operasi wajah” mencari de-sain yang mampu menyegarkan wajah JDC yang dianggap tidak lekang jaman. Gedung JDC dirancang oleh Ir.Murito pada akhir tahun 1980-an. Pada masa itu JDC bisa jadi sangat hype dengan stepped box pada sudut gedung, khas semangat post-modern yang sempat bergaung di Indonesia.

Namun di jaman semua-serba-internet, dimana demand terhadap perubahan dan

sesuatu yang baru meningkat drastis, dan munculnya kelompok masyarakat pembo-san (boring society), JDC saat ini nampak tua, kusam dan tidak bicara apa-apa selain menjadi showroom produk interior import dari seluruh dunia. Masyarkat awam desain pun lebih mengenal JDC sebagai showroom sekaligus ruang sewa seminar ketimbang sebuah ‘pusat desain’.

Dari gambaran di atas, timbul sebuah pertanyaan: arsitektur seperti apakah yang sesuai dengan sebuah pusat desain di Jakarta sekaligus yang dapat mencerminkan semangat kekinian? Pada sayembara ini, saya beserta dua partner arsitek, Ardes Pradhana dan Paskalis Khrisno Ayodyanto-ro, mengedepankan dua fungsi fundamental yang muncul dari keberadaan JDC saat ini dan di masa datang, yaitu: JDC sebagai showroom desain (fungsi komersial), seperti yang sudah dikenal banyak orang serta JDC

12

Page 8: Jong Arsitek! Feb08

dengan pusat informasi desain dan kafetaria, serta hall pameran. Sebagai pusat desain, lantai dasar akan diramaikan dengan kegiatan kultural dan edukatif seperti eksibisi, diskusi tentang desain, serta menjadi tempat kongkow baru para desainer dan arsitek. Kontras dengan keberadaan grid kolom pada interior bangunan asli, ruang dibagi secara organik dengan pembatas transparan yang meliuk diantara kolom-kolom. Selain memberikan flow ruang yang lebih dinamis dan bebas, juga menjauhkan kesan sepi dan “angker” dari tata interior eksisting yang cenderung me-lorong.

Pada proyek facelift selalu mengharap klimaks justru di luar bangunan, yaitu pada wujud bangunan itu sendiri setelah ‘diop-erasi’. Material membran dipilih sebagai kulit yang membungkus fasad lama. Kulit yang me-layar ini kami anggap mampu meluwes-kan JDC yang rigid, layar ini pun tersibak sedemikian rupa membentuk relung aerodina-mis yang menaungi area lobi dan drop-off. Kulit disobekkan pada beberapa bagian untuk

memberikan celah angin dan cahaya. Efek tersibak dan tersobek ini adalah gambaran dari kecepatan kendaraan yang lewat di jalan, di atas flyover di depan JDC. Material fabric sebena-rnya menerapkan teknologi layar tancap yang sudah dikenal dan sangat kenal di masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Di satu sisi men-gandung intepertasi lokalitas, di sisi lain mampu menampilkan kesan ringan dan fashionable.

Memberikan penekanan pada “tempat”, se-bagai sebuah bangunan yang berdiri di tengah persimpangan sibuk, mencitrakan konteks yang chaos, serta jaman yang menghendaki peruba-han cepat, fasad baru JDC mau tidak mau harus mencitrakan kekinian. Fasad JDC baru dapat dibayangkan sebagai sebuah lampion yang menyala di malam hari dengan berbagai warna, sekaligus menjadi ‘layar tancap’ yang disorot image tertentu. Plaza di muka gedung kemudian menjadi tempat yang ideal untuk menikmati perubahan yang terjadi pada layar membran, sehingga terjadi relasi antara keselu-ruhan pendekatan desain. (Raf)

jongArsitek!febuar i 2008

“ arsitektur seperti apakah yang sesuai dengan sebuah pusat desain di Jakarta sekaligus yang dapat mencerminkan semangat kekinian? “

Page 9: Jong Arsitek! Feb08

[1] Beberapa bulan lalu, seorang bapak tua baru saja turun dari pesawat yang membawanya dari Eropa ke Indonesia. Begitu di terminal kedatan-gan Bandara Soekarno Hatta, ia tampak bersemangat melihat ke buku kecilnya dan terdiam begitu lama. Terlihat kecewa, iapun berlalu, berpa-pasan dengan saya kemudian berbincang sejenak. Sebagai Arsitek, saya merasa prihatin, wisatawan itu telah memetakan semua objek wisata budaya dan historis di Jakarta, namun ia belum menemukan bangunan arsitektural yang menarik untuk dikunjungi. Terlebih, karena saya hanya bisa menjawab daerah sekitar kota tua, Monas, Taman Mini, Senayan City? Lalu....

Kota cantik yang tidak sekedar bedak arsitektural.Peran Arsitek dalam Menata wajah kota.

jongArsitek!febuar i 2008

oleh : Paskalis Khrisno AyodyantoroMahasiswa Universitas Bina Nusantara

jongTulisan

16

Page 10: Jong Arsitek! Feb08

cara ini, pemerintah dan masyarakat dapat ber-sama-sama mengawasi perkembangan kotanya, sehingga dapat terjalin keterlibatan masyarakat (advocacy) dalam perencanaan kota.

Terlebih dengan adanya keinginan singapura se-bagai pusat ekonomi kreatif asia, didukung ger-akan nasional tahun 2005 yang berisikan : De-sign Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0, mereka berharap adanya peningkatan eko-nomi sebanyak dua kali lipat dalam tujuh tahun. Gerakan ini diimbangi dengan pengembangan kawasan waterfront Marina Bay sehingga bisa menjadi kawasan destinasi pariwisata internasi-onal. Singapura kemudian membuka kawasan ini dan mewajibkan ketentuan desain yang unik serta standar arsitek kaliber dunia(starchitects) bagi setiap bangunan yang akan dibangun di area ini. Sebutlah Michael Graves, KPF, Aedas dan Moshe Safdie, sudah ditunjuk untuk mem-bangun di kawasan ini, belum disebutkan arsitek lain yang telah membangun di kawasan lain,

seperti Zaha Hadid, Toyo Ito, SMC Alsop, Fumihiko Maki, dan lainnya. Tidak terlewat rencana tahun 2008, sebagai tuan rumah pertama kalinya penyelenggaraan balap mobil Formula One malam ditengah kota membuat Singapura semakin menarik. Hal ini terwujud tak lain karena kesiapan struktur dan rencana kotanya sendiri.

Mengintip Singapura, perlu juga kita menilik pembangunan daerah Bilbao, Spanyol. Salah satu kota terbesar di Spanyol ini sempat turun citranya karena adanya serangan. Pemerin-tahnya kemudian mengambil inisiatif untuk merubah kotanya secara besar-besaran, dari citra kota industri menjadi kota budaya yang dibangun oleh arsitek kaliber internasional. Dalam beberapa saat, Bilbao menjadi kota yang menarik. Mulai dari bandara buatan Santiago Calatrava, jalur transportasi Norman Foster, kawasan komersial Caesar Peli hingga museum Guggenheim oleh Frank Gehry.

Perkembangan asitektur yang dipuncaki oleh pembangunan Museum Guggenheim tahun 1997 tersebut kemudian membuat Bilbao effect dimana sebuah arsitektur dan peren-canaan kota dapat merdampak pada menin-gkatnya aktifitas pariwisata dan berlanjut kemeningkatnya aktifitas di segala bidang. 1,37 juta pengunjung memberikan 147 juta dolar US pada ekonomi lokal pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 170 juta dolar US pada tahun berikutnya. Bahkan dalam waktu 3 tahun, pemerintahnya telah berhasil mencapai break even point untuk pembangu-nan museum.

[3] Menurut Sosiolog Bintarto, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Bayangkan ketika masing-masing arsitek diberikan tugas untuk membangun, tanpa sensivitas urban serta permasalahannya, maka akan terjadi kechaosan, karena masing-masing arsitek

Kembali ke jaman Soekarno, pembangu-nan terasa pesat dimana-mana. Daerah dan bangunan baru berskala kota bermun-culan, seperti Stadiun Senayan, Masjid Istiqlal, dan Kawasan Monas menjadi salah satu usaha Soekarno menjadikan Jakarta sebagai ibukota yang unik dan mengang-kat harga diri bangsa pada saat itu. Lalu kawasan dan bangunan apakah yang merepresentasikan jakarta sekarang ini yang dapat menjadi kebanggaan warganya dan dikenal dunia?

Inilah salah satu wajah jakarta, setiap tahunnya.

[2] Di lain tempat, seorang wisatawan tampak antusias menyandang tas besarnya, menje-lajahi sebuah jalan yang menjadi daya tarik negara tersebut. Sembari melepas lelah, ia duduk, membuka laptopnya dan kemu-

dian mencari informasi tentang alamat dan letak bangunan yang akan ia kunjungi lewat bantuan wireless internet yang bertebaran disetiap tempat umum. Dalam sekejap, wisatawan itu mengepak laptopnya, kemudian pergi menuju stasiun MRT (mass rapid transportation) terdekat dengan terse-nyum puas.

Singapura memang sedang menggalakkan kotanya sebagai tujuan wisata internasional serta sebagai tempat tinggal yang menyenangkan, dengan se-mangat “To Make Singapore A Great City to Live, Work and Play In”, Singapura berusaha membuat kotanya menjadi kota yang ramah dan dapat di akses oleh siapa saja. Dibentuknya URA(Urban Redevelopment Authorities) memberikan hasil yang postif bagi perencanaan kotanya. Setiap lahan yang berada di Singapura diawasi dan diatur perkembangannya oleh pemerintah demi kenya-manan bersama. Informasi perencanaan kawasan dapat diakses langsung melalui internet atau kantor dan museum URA oleh siapa saja. Dengan

18

Page 11: Jong Arsitek! Feb08

syarakat ekonomi bawah. Sehingga bersama masyarakat, arsitek dapat membangun kota yang lebih baik.

Ketiga, Arsitek berperan dalam pengambilan keputusan dalam setiap proyek. Kebanyakan pembangunan komersial hanya berlomba-lomba menjadi landmark yang merusak tatanan visual kota demi keuntungan sepihak. Arsitek menurut Ridwan Kamil diharapkan bisa memiliki kemampuan project vision-ing dalam mempengaruhi keputusan proyek sehingga bisa meningkatkan kualitas kawasan dalam proyeknya. Dengan memahami sensitivitas urban, arsitek bisa memberikan input bagi pemilik kapan saatnya bangunan akan menjadi kontekstual(context) atau kontras(contrast) dengan lingkungannya.

Dan yang terakhir, Arsitek berperan dalam memberikan ide kreatif solusi pemecahan masalah-masalah arsitektur-urban dengan keluar dari trend setter yang ada. Arsitektur

kemudian bisa memberikan cara pandang baru sebagai kendaraan dan solusi untuk mengako-modasi permintaan politik, budaya, sosial, dan ekonomi kota.

Arsitektur kemudian meningkatkan produktifitas kota karena telah sebagai destinasi, menaikkan ruang publik-sosial terbuka, dan menurunkan efek pemekaran kota(urban sprawl) menjadi kota berkepadatan tinggi(high density). Namun tidak lupa mengutip kata Robert A.M.Stern, Memang banyak ruang kota yang terbuang, dan belum terolah. Kita tidak membutuhkan arsitek untuk menteorikan hal tersebut, tetapi menjawab “bagaimana menyediakan solusi hidup yang baik?”, menjadi tanggung jawab utama seorang arsitek daripada hanya berlomba meninggal-kan tanda atau jejaknya di ruang kota melalui sekedar bentuk. Tanggung jawab yang menjadi conditio sine qua non(syarat mutlak yg tidak bisa ditawar) sebagai sensitivitas dalam konteks urban. Dengan meningkatnya perbaikan wajah kota, maka diharapkan terwujudnya a beautiful city.

“ Memang banyak ruang kota yang terbuang, dan belum terolah. Kita tidak membutuhkan arsitek untuk menteorikan hal tersebut, tetapi menjawab “bagaimana menyediakan solusi hidup yang baik?”, menjadi tanggung jawab utama seorang arsi-tek daripada hanya berlomba menin-ggalkan tanda atau jejaknya di ruang kota melalui sekedar bentuk. “

Robert A.M.Stern

berlomba membuat tanda atau mengkontraskan(contrasting) bangunan mereka terhadap lingkungannya.

Mengacu dari ekonom terkenal Phillip Kotler, Jakarta kini sedang mengalami City decay dynamic, karena memekarnya pen-duduk kota ke sub-urban yang disebabkan tingginya biaya hidup dan tidak terwujudnya penataan permasalahan high density dan un-tuk mengembalikan citra kota menjadi positif kembali, perlu diadakan perubahan citra dan identitas kota yang melibatkan seluruh kota seperti apa yang dilakukan oleh Singapura, dan Bilbao.

[�]Kita mulai sadar akan ketimpangan produk kapitalisme yang mulai merambah ke ruang sosial dan budaya kita sehingga menciptakan sebuah kesenjangan yang signifikan. Maka dari itu perlu adanya strategi untuk mengem-balikan jati diri dan budaya kota, agar arsitek

tidak lagi silau oleh keagungan kecantikan yang ditawarkan oleh desain arsitek asing yang ter-kadang tidak kontekstual dengan kota kita.

Srategi yang pertama adalah Arsitek berkam-panye tentang kesadaran (ber)arsitektur yang baik. Dengan melakukan peyuluhan bangunan, kampanye sosial, pendidikan dini, peraturan bangunan yang pro terhadap semua golongan. Arsitektur kemudian menjadi debat publik tentang bagaimana mengisi ruang kota yang baik sehingga kaidah “architecture should reflect continuity and connectivity of culture, climate, and craft.” dapat terwujud dengan baik.

Yang kedua adalah arsitek mengikutsertakan sasaran pengguna dan masyarakat (advo-cacy) dalam mengambil keputusan, men-gawasi proyek, dan merawatnya.Termasuk kawasan slums(daerah kumuh yang diakui sebagai permukiman) dan kawasan squatter elements(permukiman liar yang menempati lahan yang tidak ditetapkan) yang diisi oleh ma-

20

foto : usaha visioning arsitek yang masih muda dalamkegiatan urban accupunture ke Pemda DKI Jakarta/adikritz

Page 12: Jong Arsitek! Feb08

Pada beberapa kesempatan sebelum kegiatan urban accupuncture (city-walk) ini dimulai, terjadi diskusi yang menarik di antara para arsitek muda yang terlibat di dalamnya mengenai hubungan antara arsitek, manifesto, dan perkotaan. Manifesto dirasa perlu oleh beberapa kawan untuk mem-perjelas arah dan keberadaan sebuah kelompok diskusi yang telah dirintis pada kegiatan urban accupuncture ini. Manifesto dapat merupakan se-buah intisari dari cita-cita kolektif akan kondisi ideal yang harus dicapai, atau dapat berupa kegelisahan dan kritik terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Sedangkan isu perkotaan, dirasa perlu untuk menanggapi tren arsitektur global yang sedang ramai dibicarakan dan dipraktekkan oleh arsitek-arsitek dunia sebagai sebuah kebenaran baru yang segar. Ini-lah fenomena pencarian yang sedang terjadi di kelompok arsitek (sangat)

muda ini.

Berdasarkan fenomena itulah tulisan ini dibuat. Penulis merasa perlu un-tuk mengkaitkan sejarah arsitektur sebagai landasan berpijak pencarian tersebut. Karena tanpa melihat, men-ganalisa, dan mengevaluasi sejarah, penulis merasa apapun yang dihasil-kan dari pencarian tersebut bukanlah sesuatu yang baru dan segar. Melain-kan merupakan pengulangan-pen-gulangan hal-hal yang sebenarnya usang, yang disebabkan keawaman/ keasingan pelaku pencarian terhadap sejarah, dianggap sebagai suatu for-mula kebenaran yang baru. Tentu saja hal ini patut dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Sejarah bercerita…

Sepanjang penelusuran penulis terha-dap sejarah arsitektur pada abad XX, sebenarnya hubungan antara arsitek (yang tercatat mengeluarkan manifes-to) dengan masalah perkotaan bukan-lah hal baru. Beberapa dari mereka telah mengangkat masalah perkotaan pada berbagai tingkat keterhubun-gan. Ada yang secara gamblang mengeluarkan rumusan/ konsep ben-tuk perkotaan yang baru, ada pula yang secara tersirat mengemukakan bahwa manifesto mereka terpengaruh oleh kondisi perkotaan.

Ebenezer Howard haruslah disebutkan sebagai orang pertama yang menge-luarkan rumusan/ konsep perkotaan modern sebagai tanggapan terhadap dimulainya masa industri, dan be-rakhirnya masa klasik (renaissance,

medieval, dst). Berbeda dengan konsep perkotaan klasik, melalui bukunya yang berjudul To-morrow: a Peaceful Path to Real Reform pada tahun terbit 1898, konsep Garden City yang diajukan oleh Ebenezer Howard membatasi ukuran sebuah kota modern (hanya 32.000 pen-duduk) dan membagi kota berdasarkan fungsi1. Dia memang hanya memberikan sebuah ilustrasi konsep perkotaan yang berbentuk radial, yang masih terlepas dari kondisi spesifik sebuah kota tertentu (Per-hatikan gbr.01 dan gbr.02). Namun kon-sepsi tersebut memberikan dampak yang sangat kuat terhadap arsitek lainnya untuk mengaplikasikannya pada kondisi kota yang lebih spesifik dan riil. Konsep Gar-den City-lah yang memandu Barry Parker dan Raymond Unwin pada tahun 1903, serta Luis de Soissons 1919 merancang perluasan kota London. Juga pada tahun 1909 Hellerau merancang sebuah Garden City di dekat Dresden, Jerman.

Pembagian sebuah kota berdasarkan fungsi juga dilakukan oleh Tony Garnier. Melalui bukunya Une Cité industrielle: Étude pour la construction des villes pada tahun 1917 di Paris, Tony Garnier

Gbr.01. Diagram Garden City oleh Ebenezer Howard

arsitek,manifesto, dan perkotaan(Sebuah refleksi singkat terhadap sejarah arsitektur pada pertengahan awal abad XX)

oleh : Ardes Perdhana

jongArsitek!febuar i 2008

22

Page 13: Jong Arsitek! Feb08

mengajukan kategori pembagian kota tersebut menjadi 3 bagian: area beker-ja, area kehidupan sosial, dan area tempat tinggal2.

Tentu saja kita tidak dapat mengalih-kan perhatian terhadap Le Corbusier. Selain karena melalui buku-bukunya3 yang memuat manifestonya meru-pakan sumber yang pertama menguak propaganda gerakan arsitektur modern dibandingkan dengan publikasi-publikasi kolega-koleganya4, Le Cor-busier pula lah yang dianggap paling lantang meneriakkan dan mewartakan standar-standar karya arsitektur di ja-man modern-industri.

Pada bukunya yang kedua, Urban-isme, Le Corbusier menganggap kota sebagai sebuah alat untuk hidup, dan harus berkenaan dengan fungsi yang rasional. Sebagai akibat adalah la-hirnya proposal bentuk-bentuk murni geometri, baik pada masterplan mau-pun pada tampak sebuah kota5, yang

dianggap sebagai sebuah bentuk este-tika baru. Pengertian estetika yang baru ini jelas sekali terlihat pengaruhnya dari gerakan seni modern yang lebih dahulu ada6.

Salah satu karya Le Corbusier yang dapat dijadikan bukti perwujudan dari visinya mengenai perumahan masal dan perkotaan modern yang telah diungkap-kan pada manifestonya terdahulu adalah sebuah bangunan multi-fungsi pertama, Unité d’habitation7.

Terletak di Marseille, Per-ancis, Unité d’habi tat ion, yang meru-pakan bangu-nan mid-rise, mengakomo-dasi beberapa fungsi yang s e b e l u m n y a selalu terpisah (terfasilitasi di dalam beber-apa bangunan yang berbe-da) ke dalam

satu bangunan. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebuah ruang publik pada lantai dasar yang merupakan “kolong” ban-gunan yang diangkat oleh kolom-kolom beton raksasa, kompleks perumahan masal yang murah pada bagian seten-gah bangunan bawah, hotel dan perto-koan pada bagian setengah bangunan ke atas, serta fasilitas rekreasi pada bagian atap ( roof garden ). Yang lebih menarik lagi adalah konsep penyusunan interlock8 pada unit-unit perumahan ma-

salnya yang ternyata sudah eksis sejak tahun 1947! (Perhatikan gbr.04)

Politik pun terlihat pengaruhnya pada konteks perkotaan melalui manifesto yang dikeluarkan oleh Council of Min-isters of the GDR (German Democratic Republic) pada tahun 1950. Sebuah rumusan yang menjelaskan bagaima-na seharusnya perancangan kota dan arsitektur di sebuah negara komunis. Dijelaskan bahwa perkotaan di negara komunis harus “democratic in content and national in form”9, harus dihindari adanya hierarki yang membedakan kelas sosial tetapi harus memiliki nilai-nilai tradisi yang berkenaan dengan se-jarah/masa lalu sebuah bangsa.

Bergerak ke tahun 1960-an, kita dapat melihat pengaruh kecanggihan teknolo-gi dan pop art pada perkembangan manifesto arsitektur dan perkotaan. Archigram menawarkan konsep-kon-sep yang tergolong utopia, terinspirasi oleh The Beatles dengan album Yellow Submarine dan mimpi komunal tentang perjalanan manusia ke luar angkasa, seperti “Walking City” oleh Ron Heron dan “Plug-In City” oleh Peter Cook

yang dapat berpindah tempat dan hidup di mana saja. Mereka mempopulerkan ide mereka melalui media komik.

Tidak beberapa lama setelah itu, muncul pemikiran mengenai “Metabolism Archi-tecture” oleh arsitek Jepang, Kisho Ku-rokawa. Dia ingin mewujudkan metafora dari ilmu biologi mengenai DNA dengan kecanggihan teknologi. Pertumbuhan

Gbr.02. Pembagian kota berdasarkan fungsi

Gbr.03. Ruang publik Unité d’habitathttp://www.flickr.com/photos/richardreyn-olds/127678830/

Gbr.0�. (atas) tampak Unité d’habitat,(bawah) aplikasi konsep interlock pada potongan Unité d’habitat.

Gbr. 05. (atas) Walking City, (bawah) Plug-In City

24

Page 14: Jong Arsitek! Feb08

perkotaan yang sebelumnya berger-ak ke arah horizontal, sebenarnya ingin diatasi oleh arsitek modern awal dengan menciptakan sistem superblok. Di mana mulai muncul ide mengenai superblok dengan bangunan skyscraper10 oleh Le Cor-busier misalnya. Namun kecanggi-han teknologi yang ada dinilai terlalu kering, sehingga beberapa arsitek Jepang pada Tokyo World Design Conference merasa perlu mengkait-kan tradisi.

Metabolism, yang berdasar pada budaya arsitektur Jepang, merupak-an sebuah struktur kota utopia yang ditopang oleh sebuah mega-struc-ture yang menyerupai double helix pada DNA, dan unit-unit yang dapat berubah-ubah11 seiring berjalannya waktu sesuai dengan kebutuhan.

Hal penting yang patut digarisbawa-hi dari Archigram dan Metabolism in Architecture adalah munculnya kes-adaran akan adanya aspek fleksibili-tas12 pada perancangan sebuah kota. Meskipun belum ada imple-mentasi nyata, hanya pada tataran ide saja (utopia).

Kesimpulan

Tentu saja, pembahasan singkat mengenai sejarah arsitektur seperti tulisan ini tidak dapat memberikan banyak jawaban yang berarti. Tetapi, menurut hemat penulis, tetap saja terdapat hal-hal yang bisa dipe-tik.

Hal yang paling penting adalah dengan mempelajari sejarah arsitektur, kilau dan hebohnya pembicaraan/ pembahasan ar-sitek-arsitek dunia dengan berbagai isu (baik arsitektur maupun perkotaan) yang diangkat oleh media massa dapat kita cer-na dengan lebih jernih. Artinya, kita boleh saja terpukau, tetapi keterpukauan yang terjaga dan tetap menyediakan ruang di dalam benak kita untuk mengkritisi.

Hal lain yang tak kalah penting adalah keterkaitan/ persinggungan arsitektur den-gan bidang-bidang keilmuan di luar arsitek-

tur dan perkotaan. Bidang keilmuan tersebut antara lain ideologi/ filsafat yang “berlaku” di sebuah masyarakat (kota, negara, maupun dunia), ekono-mi, sosial-budaya, politik, sains, seni, atau bahkan sejarah itu sendiri. Bi-dang-bidang tersebut tentu sangatlah menarik untuk disertakan ke dalam proses pencarian/ riset untuk meng-hasilkan sebuah manifesto yang me-nyentuh/ menjawab hingga ke dasar permasalahan. Pada akhirnya, arsi-tektur dan perkotaan perlu kita sadari hanyalah salah satu bidang keilmuan yang tidak dapat berdiri sendiri13 untuk menemukan jalannya menuju pelay-anan terhadap kemanusiaan.

Di bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu untuk menyimak sebuah kutipan dari Robert A.M. Stern seb-agai penutup:“ Urbanism is about human life. It is not about human form. It is not about art movement. Architecture is an ex-periential art in which all the circum-stances of knowledge and technique are brought together to create the possibility of memorable and unex-pected encounters occurring on street corners and sidewalks. That is the heart of the issue. We must make and preserves these cities, and for that, we need a vision of the good. What is a good city? What is the good life that we as architects should advocate? We should answer these questions rather than compete to leave our mark on the city through form.”14

Gbr. 06. Superblok untuk kota Paris oleh Le Corbusier

Gbr. 07. (kiri) Double helix DNA, (kanan) City In The Air, karya Arata Isozaki, salah seorang pesertaTokyo World Design Conference, event yang mempub-likasikan Metabolism Architecture

Daftar Pustaka

1 “Ebenezer Howard (1850-1928), To-morrow: a Peaceful Path to Real Reform” dalam buku Archi-tectural Theory, from Renaissance to the Present, oleh Thierry Nebois (Ed.), Taschen, Köln, hlm 437.2 “Tony Garnier (1869-1948), Une Cité industri-elle: Étude pour la construction des villes” dalam buku Ibid, hlm 442.3 Vers une Architecture (1923), Urbanisme (1925), dan La Charte d’Athénes (1943).4 Walter Gropius dengan Internationale Archi-tektur (1925), Henry-Russel Hitchcock dan Philip Johnson dengan The International Style: Architec-ture Since 1922 (1932),5 “Le Corbusier (1887-1965), Urbanisme” dalam buku Architectural Theory, from Renaissance to the Present, oleh Thierry Nebois (Ed.), Taschen, Köln, hlm 437.6 Lebih khususnya adalah gerakan De Stijl. Walaupun arsitek yang diakui secara jelas sebagai penggagas dan penggerak De Stijl adalah Ger-rit Rietveld, jejak-jejak pengaruh De Stijl pada estetika Le Corbusier dapat terlihat di beberapa karyanya, termasuk Unité d’habitation di Mar-seille, Perancis.7 Darling, Elizabeth, Le Corbusier, Carlton Books Limited, London, 2000, hlm 22.8 Sebuah konsep yang menyusun ruang secara ringkas dan padat untuk mengatasi isu kepadatan perkotaan yang akhir-akhir ini banyak dipakai oleh arsitek-arsitek kontemporer dunia.9 “Council of Ministers of the GDR: The Prin-ciples of Town Planing” dalam buku Architectural Theory, from Renaissance to the Present, oleh Thierry Nebois(Ed), Taschen, Köln, hlm 510.10 Teknologi yang mengarahkan pertumbuhan perkotaan secara vertikal.11 Bertambah, berkurang, berpindah posisi.12 Bandingkan dengan konsep cross-programing yang banyak digandrungi akhir-akhir ini.13 Dalam hal ini, penulis kurang mempercayai sebuah ungkapan “arsitektur untuk arsitektur itu sendiri.”14 A.M. Stern, Robert, “Urbanism is About Human Life” dalam buku The State of Architecture At the Beginning of the 21st Century, oleh Bernard Tschumi dan Irene Cheng (Ed.), The Monacelli Press, New York 2003, hlm 21.

26

Page 15: Jong Arsitek! Feb08

tensIon

timeline era kolonial

era Soekarno

pasca kemerdekaan

AMInext

TEGANG BENTANGi d e d i b a l i k p a m e r a n 1 0 0 t a h u n p e r s p e k t i f a r s i t e k t u r d i I n d o n e s i a

Tension adalah sebuah pameran Sejarah Arsitektur yang baru saja berakhir awal ta-hun ini. di adakan di erasmus huis, acara ini diprakarsai oleh PDA (Pusat Dokumentasi Arsitektur) dan NAI(Netherlands Architec-tuur Instituut) pameran ini mencoba untuk menggambarkan sejarah panjang Arsitek-tur indonesia lewat sudut pandang kete-gangan yang dikatakan selalu terjadi dalam tiap jamannya.

tim desain: Adikritz,Ardes Perdhana, Ariko Andika-bina, Andriferik, Danny Wicaksono, Dickie Wizmar, Faisal syamsalam, Gigin, Imron Yusuf M, Hikmat Subarkah, Paskalis Khrisnoayodyantoro, Rafael Ar-sono

jongArsitek!febuar i 2008

jongRiview

oleh : Danny Wicaksono

28

Page 16: Jong Arsitek! Feb08

timeline

era kolonial

era Soekarno

pasca kemerdekaanAMI

next

timeline

era kolonial

era

Soekarno

pasca

kemerdekaan

AMInext

1

2

3

4

5 6

Ide awal dari desain pameran ini adalah untuk sebisa mungkin menghadir-kan ketegangan yang terjadi dalam per-jalanan panjang sejarah arsitektur Indo-nesia melalui elemen2 pembentuk ruang. ketegangan pemikiran yang mewarnai diskursus arsitektural di indonesia, yang kemudian melahirkan banyak karya yang mendefinisi budaya bangun kita. Di project ini Halma dengan pola heksagonalnya di ambil sebagai titik be-rangkat, karena pada brief awal, ada 6 bagian besar yang ingin di tampilkan di dalam pameran ini. idenya adalah untuk membuat bagian-bagian ini seperti berdia-log dalam sebuah ruang. bagian-bagian ini kemudian terkait satu dan lainnya melalui elemen bidang dan garis yang memben-tuk ruang.

Rencana untuk membawa pameran ini ke beberapa kota di indonesia, membuat instalasi ini menjadi instalasi yang harus bisa di bongkar-pasang. Masalah mengenai tempat pameran di kota lain yang masih belum jelas, membuat kami berpikir bahwa sebaiknya in-stalasi ini harus bisa menjadi ruang, di dalam ruang tempatnya nanti akan berada. Hal ini memberikan keuntungan,karena pameran ini kemudian tidak harus bergantung pada ban-yak elemen ruang, ia hanya memerlukan ruang yang lebih besar dari dimensinya untuk bisa berdiri. Pemikiran itulah yang membuat ke-mudian membuat kami memutuskan menjadi kan ruang pamer erasmus huis sebagai “ce-takan” instalasi pameran ini. Bentuk bidang segi enam halma kemudian di tarik ke beber-apa sisi hingga memenuhi sebagian lantai dan

dinding ruang pamer erasmus huis. Bagian halma yang ter-imposisikan dengan lantai dan dinding ruang pamer ini kemudian di “extrude” 15 cm untuk memberikan ke-dalaman dan perbedaan bidang dengan lantai dan dinding ruang pamer erasmus huis. bagian-bagian halma yang terimpo-sisikan di dinding kemudian menjadi panel tempat materi akan ditempatkan. bidang yang terimposisikan di lantai kemudian mendefiniskan ruang baru yang ditempat-kan di dalam ruang lama. Besi CNP digunakan sebagai kerangka utama instalasi ini. penempatan-nya di lantai dan di dinding mengikat panel-panel instalasi, dan yang di melintang diatas berfungsi mengikat tiap panel yang berdiri agar tetap tegak, sekaligus sebagai tempat untuk meletakkan lampu. Agar kelak ketika pameran ini di letakkan di tempat lain, ia sudah memiliki sumber cahayanya sendiri. warna putih dipilih sebagai warna

utama yang dipakai, setelah kami merasa bahwa jika kami tetap memakai warna-war-na Halma, hal itu akan membuat materi pa-meran tertutupi oleh ramainya warna yang ada. bahan glossy dipakai untuk mem-berikan kesan elegan bagi pameran yang menceritakan sejarah arsitektur modern in-donesia ini. dinding dan lantai ruang pamer erasmus di tutup dengan warna hitam, agar ke-ruang-an yang di kejar dalam instalasi ini, dapat di rasakan dengan lebih kuat oleh para pengunjung. perbedaan warna yang kontras serta tata cahaya yang independen pada akhirnya dapat mengubah ambiance dalam ruang pamer erasmus. maket-maket kemudian diletakkan dalam posisi tertentu, selain disesuaikan dengan konteks pameran, juga untuk men-gatur alur gerak pengunjung. hal ini dilaku-kan agar pengunjung masih dapat nyaman menikmati pameran tanpa perlu terganggu keberadaan maket-maket ini dan juga se-baliknya. secara keseluruhan desain ini men-coba untuk melihat kemungkinan lain dalam desain instalasi pameran yang mobile. ru-ang yang dihasilkan dari elemen-elemen pembentuknya membuat instalasi pameran ini dapat berdiri dimana saja, sepanjang di-mensi ruang tempatnya berdiri lebih besar dari dimensinya.

30

Page 17: Jong Arsitek! Feb08

foto : Anggie Radik P

Page 18: Jong Arsitek! Feb08

HIJAUMEN JADIPI LIHAN ?

OLEH : ARIKO ANDIKABINA

Sekalipun bukan hal yang baru, tetapi sebuah

film yang disusun oleh mantan wakil presiden

Amerika Serikat, Al Gore seperti menyentak ke-

sadaran banyak orang. Isu perubahan iklim dan

pemanasan global laris menjadi berita di setiap

media, menjadi bahan obrolan warung kopi hingga

pembahasan serius di Senayan. Kampanye hijau

mulai menghiasi ruang berita surat kabar.

jongArsitek!febuar i 2008

3�

Page 19: Jong Arsitek! Feb08

Hal ini adalah indikasi yang baik. Ketika kesadaran masyarakat kian pulih akan ancaman kelangsungan hidup penghuni bumi. Walau hingga saat ini juga masih tidak terbilang jumlah yang menganggap hal ini sekedar fiksi dan tidak nyata.

Pemda DKI Jakarta dalam posisi limbung untuk memenuhi ketentuan 30 % ruang terbuka hijau (RTH) yang saat ini hanya ada tersedia 9 %. Di lain pihak upaya pe-menuhan terhadang masalah ketersedian lahan.

Ada banyak solusi untuk mengatasi ma-salah keterbatasan lahan. Di antaranya dengan menetapkan aturan koefisien dasar hijau (KDH). Ketentuan ini akan menen-tukan berapa besar lahan pada sebuah site yang boleh dilakukan perkerasan.

Jikalau setiap rumah menyumbang 10 meter persegi lahan untuk dijadikan area resapan air, dikalikan 1 juta rumah se-DKI Jakarta, maka lahan yang tersedia untuk daerah resapan adalah 10 juta meter

persegi (10 km2). Luasan tersebut setara dengan 1,52 persen dari luas Jakarta secara keseluruhan.

Tetapi kiranya menjadi hijau jangan melulu diartikan selamanya menamam pohon atau tetumbuhan. Dalam hemat saya menjadi hijau lebih kepada ‘menghijaukan’ pikiran. Hijau bisa juga diartikan sebagai upaya mengkonservasi energi, meredam pelepas-an emisi karbon, dan lain sebagainya. Na-mun sering kali hal ini menjadi sulit karena banyak hal yang “hijau” bersinggungan gaya hidup.

Jika sempat sesekali anda berjalan-jalan di sekitar Taman Menteng. Kurang lebih berjarak 100 meter dari taman tersebut ada beberapa rumah yang membeton halaman mukanya. Di atas perkarangan yang per-mukaannya sudah diperkeras itulah berjejer dengan rapih sejumlah mobil.

Dalam sebuah kunjungan ke kota Bandung di akhir tahun 2007, saya dan seorang rekan berkendara menuju rumah rekan yang lain.

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta, Bandung tentunya berhawa lebih sejuk. Berikut cuplikan perbincangan kami dalam perjalanan tersebut.Rekan : “ Loe ngapain Ko? “Saya : “ Buka kaca mobil. “Rekan : “ Gak usah, gue mau idupin AC. “Say : “ Hah! Yang bener aja. “ “ Gak pake AC aja gue udah menggigil, apalagi pake AC. “Rekan : “.... “

Dan akhirnya pun kami melaju dengan kaca terbuka.

Berikut juga cuplikan perbincangan yang saya kutip dari jurnal on-line arsitektur.net Volume 2 Nomor 1 tahun 2008 :

Klien : Kamarnya terlalu sempit. Saya : Sebenernya ini cukup. Ruang me-mang sengaja saya buat tipis supaya bisa terjadi cross sirculation udara. Klien : Buat apa? Saya kan mau pake ac di semua kamar. Saya : Kalau bisa tidak pake ac kenapa ha-

rus pake ac? Klien : Tapi nanti nyamuknya masuk. Saya : Kan bisa pake kawat nyamuk. Klien : Tapi kamarnya terlalu sempit. Dan saya mau selalu pake ac. Saya : Listriknya akan boros. Klien : Biarin. Saya ini yang bayar. (Issue global warming yang sangat mence-maskan, buat beberapa orang, ternyata masih fiktif.)

Dan disinilah letak tantangan berat bagi arsitek, sebelum meng”hijaukan” kliennya ia harus terlebih dahulu “menghijaukan” dirinya sendiri. Untuk itu upaya meya-kinkan klien adalah sebuah perjuangan terlebih jika hal tersebut adalah upaya un-tuk meyakinkan klien untuk merubah pola dan gaya hidupnya. Merubah gaya hidup adalah perjalanan yang panjang. Kiranya gaya hidup kita yang akan membawa diri kita selanjutnya, apakah selamat atau teng-gelam? Hijau seharusnya adalah sebuah keniscayaan bukan pilihan.

Rekan : “ Loe ngapain Ko? “Saya : “ Buka kaca mobil. “Rekan : “ Gak usah, gue mau

idupin AC. “Saya : “ Hah! Yang bener aja Gak pake AC aja gue udah

menggigil, apalagi pake AC. “Rekan : “.... “

36

foto rumah ciganjur, arsitek adi purnomo/paskal

Page 20: Jong Arsitek! Feb08

socialiturm e d i a a c a r a d a n s o s i a l i s a s i e v e n t a r s i t e k t u r jongArsitek!

adalah media bulletin kegiatan arsitek yang tujuannya sebagai media dokumentasi kegiatan karya dan wadah berkarya kita-kita orang arsitek yang dibuat oleh kita dikerjakan oleh kita untuk siapa saja. Siapa saja bisa berkontribusi dan meluangkan pikiran maupun wujud desain yang memiliki makna yang terkadang di lewat-kan oleh orang lain, bahkan bos-kita. Gratis dibagikan dan disebarkan dalam bentuk digital, fotokopi, print out maupun di mading kampus-kampus, kantor, jadwal kerja, atau sebagai poster di kamar anda, sebagaimana bisa disebarkan sebagai berita baik, doktrinasi maupun propaganda arsitektur dan issue-nya.

Awas penipuan dalam bentuk uang, laporkan ke Polisi terdekat bila media ini di distribusikan secara komer-sial.

selamat membaca, desain menginspirasi

jongArsitek!Febuari 2008

Opening Pameran Tegang Bentang 2007

kika : hikmat, andri, imron, paskal, doyok, gigin, danny

Opening Pameran IAI Award 2006

kika : Indra, indi, rafael, adikritz, danny

Urban Accupunture Workshop dan Presentasi Pemda 2006

jongArsitek!febuar i 2008

38

Page 21: Jong Arsitek! Feb08