JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492 ...
Transcript of JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492 ...
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
136
IDENTIFIKASI DAN DISTRIBUSI NYAMUK Aedes VEKTOR PENYEBAB
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
DALAM KAMPUS UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Identification and Distribution of Aedes Mosquito Vector of Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) in Syiah Kuala University
Farida Athaillah1, Siti Prawitasari Br. Hasibuan2, Eliawardani1
1Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
Corespondent: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengetahui distribusi dan kelimpahan nyamuk
Aedes sebagai vektor penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) di dalam ruangan (indoor) dan di luar
ruangan (outdoor) di dalam Kampus Universitas Syiah Kuala. Penelitian dilakukan pada 5 lokasi yaitu
Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan dan Fakultas Kedokteran
berdasarkan peletakan ovitrap pada tiap-tiap lokasi. Data diperoleh melalui koleksi telur dan larva nyamuk
Aedes menggunakan perangkap telur nyamuk (ovitrap). Hasil pengamatan terhadap total rata-rata telur
nyamuk Aedes di lima lokasi baik indoor maupun outdoor, tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata
(P>0,05). Demikian juga pada pengamatan terhadap rata-rata larva Ae. aegypti indoor dan outdoor (P>0,05)
serta rata-rata larva Ae. albopictus indoor dan outdoor (P>0,05). Tetapi pada pengamatan terhadap rata-
rata larva Ae. aegypti dibandingkan dengan rata-rata larva Ae. albopictus di dalam ruangan (indoor) sangat
berbeda nyata (P<0,05) dimana Ae. aegypti lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan larva Ae.
albopictus. Sebaliknya di luar ruangan larva Ae. albopictus sangat dominan dan berbeda nyata
dibandingkan dengan Ae. aegypti (P<0,05).
Kata Kunci: Ovitrap, Indoor, Outdoor, Ae. aegypti, Ae. albopictus, Dengue
ABSTRACT
This study aims to identify and to understand the distribution and abundance of Aedes mosquitoes
as vectors that caused dengue indoor and outdoor at the Syiah Kuala University. The study was conducted
in five locations: Faculty of Veterinary Medicine, Eastern Sector, Faculty of Law, South Sector and the
Faculty of Medicine by laying ovitrap at each location. The data obtained through the collection of eggs
and larvae of Aedes mosquitoes using mosquito egg’s trap (ovitrap). The observation of the average of
Aedes’ eggs in five locations both indoors and outdoors, did not show significant differences (P>0,05).
Likewise, in observation of the average of Ae. aegypti larvae indoor and outdoor (P>0,05) and the average
of larvae of Ae. albopictus indoor and outdoor (P>0,05). But, the observation of the average of Ae. aegypti
larvae in comparison to the average of Ae. albopictus indoor were significantly different (P<0,05), where
Ae. aegypti more common than the larvae of Ae. albopictus. Otherwise in the outdoors, larvae of Ae.
albopictus was dominant and significantly different with larvae of Ae. aegypti (P<0,05).
Keywords : ovitrap, indoor, outdoor, Ae. aegypti, Ae. albopictus, Dengue
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang beriklim tropis terbesar di dunia dan
terletak di 6°LU-11°LS dan antara 95°BT-141°BT. Iklim tropis merupakan faktor yang
baik untuk perkembangbiakan nyamuk sehingga populasi nyamuk di Indonesia sulit
untuk dikendalikan (Lailatul dkk., 2010).
Nyamuk merupakan salah satu vektor utama dalam penyebaran penyakit (Suwito,
2008). Terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk diseluruh dunia dan terbagi menjadi 2
subfamili yaitu Culicinae dan Anophelinae. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vektor
utama dalam penyebaran penyakit dari subfamili Culicinae adalah Culex spp, Aedes spp,
Mansonia spp, sedangkan dari subfamili Anophelinae adalah Anopheles spp (Harbach,
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
137
2008). Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk adalah demam berdarah dengue (DBD),
filariasis (kaki gajah), malaria, chikungunya dan encephalitis (Islamiyah dkk., 2013).
Penyakit DBD banyak dijumpai terutama di daerah tropis, yang merupakan salah
satu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, ditularkan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes. Kasus DBD pada tahun 2015 di Indonesia pada 34 provinsi
sebanyak 129.650 orang dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 sebanyak
100.347 orang (Kemenkes RI, 2016).
Pada provinsi Aceh laporan kasus DBD pada tahun 2015 sebanyak 1.510 orang
(Dinkes Aceh, 2015) dan berdasarkan data dari Rumah Sakit Prince Nayef Bin Abdul
Aziz yang terletak di sekitaran Kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), jumlah kasus
DBD dari Januari 2013-September 2016 berjumlah 133 orang (Laporan kasus RS Prince
Nayef, 2016).
Menurut penelitan Sari dkk. (2008), wilayah Kampus Unsyiah merupakan
kawasan yang sangat potensial terjadi penularan DBD dikarenakan kondisi lingkungan
yang memiliki penatalaksanaan sampah dan sanitasi yang kurang baik dan sebahagian
besar mahasiswa berasal dari berbagai daerah sehingga memungkinkan untuk terjadinya
penularan DBD.
Berdasarkan rata-rata jumlah kasus DBD yang setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti distribusi nyamuk Aedes vektor
penyebab DBD di dalam Kampus Unsyiah dan kelimpahan jumlah nyamuk Aedes dalam
ruangan (indoor) dan luar ruangan (outdoor) menggunakan perangkap nyamuk (ovitrap).
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lima lokasi di dalam Kampus Unsyiah yaitu
Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan dan Fakultas
Kedokteran selama 10 minggu. Perhitungan sampel dilakukan di laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah Banda Aceh.
Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur dan larva nyamuk. Telur
nyamuk diperangkap menggunakan ovitrap yang diambil secara acak dari ke lima lokasi
di atas. Larva didapat dengan cara merendam paddle yang menempel telur-telur nyamuk
di atasnya selama 3-4 hari (WHO, 2005).
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah ovitrap yang terbuat dari kaleng yang dicat hitam,
paddle, jerigen, talam plastik, pipet tetes, cover glass, object glass, mikroskop binokuler,
mikroskop stereo dan counter.
Bahan yang digunakan adalah air sumur atau air kran yang sudah diendapkan ±
24 jam untuk menghilangkan chlor yang ada di dalam air tersebut, dan hati ayam yang
telah direbus dan digerus sampai halus sebagai makanan bagi larva-larva yang sedang
diteliti.
Cara pengumpulan telur nyamuk Aedes Telur nyamuk di dapat dengan cara menggunakan perangkap telur (ovitrap).
Ovitrap yang digunakan terbuat dari kaleng yang berukuran (10,5 cm x 7,2 cm).
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
138
Selanjutnya kaleng-kaleng tersebut dicat hitam mengkilap dibagian dalam dan luar
kaleng. Sebuah lubang dibuat sekitar satu cm dari bagian tepi kanan dan kiri, untuk
memungkinkan air yang berlebihan bisa terbuang dari lubang tersebut (Heppy, 2011).
Di dalam ovitrap diisi air tiga per empat bagian (Polson dkk., 2002) dan
dimasukkan kedalam ovitrap tersebut sebuah paddle yang berukuran sekitar 2,0 cm x
12,5 cm. Paddle dapat terbuat dari bilah kayu, lapisan kertas atau bambu (WHO, 2005).
Paddle diletakkan dalam posisi miring atau bagian kasar menghadap ke atas yang
bertujuan agar nyamuk meletakkan telurnya pada paddle tersebut di masing-masing
ovitrap (Kemenkes RI, 2012).
Koleksi telur dilakukan di dalam Kampus Unsyiah dengan menggunakan ovitrap,
yang diletakkan selama 5 hari pada 5 lokasi yaitu Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor
Timur, Fakultas Kedokteran, Sektor Selatan dan Fakultas Hukum. Pada masing-masing
lokasi diletakkan secara acak 14 buah ovitrap, dimana 7 buah diletakkan di dalam ruangan
(indoor) dan 7 di luar ruangan (outdoor) dan diletakkan terpisah dengan jarak paling dekat
adalah 10 m antara satu ovitrap dan ovitrap lainnya pada semua lokasi penelitian (Heppy,
2011). Penelitian ini dilakukan selama 10 minggu. Ovitrap indoor diletakkan di dalam
ruangan yang intensitas cahaya rendah dan lembab, sedangkan ovitrap outdoor diletakkan
di bawah pohon, di dekat pagar atau ditempat-tempat yang terlindung dan gelap. Setelah
lima hari ovitrap dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengamatan
kemudian diletakkan kembali ovitrap baru pada hari dan waktu yang sama di lokasi yang
sama di setiap lokasi penelitian.
Pengamatan telur
Semua paddle yang diambil setelah pemasangan selama 5 hari, dikering anginkan
di bawah suhu ruangan (26˚C) selama minimal 48 jam, lalu dihitung jumlah telur yang
ada pada paddle dibawah mikroskop stereo dengan bantuan counter, setelah telur-telur di
hitung, semua paddle direndam (rearing) di dalam baki rendaman selama 3-4 hari agar
telur menetas menjadi larva dan selanjutnya larva-larva tersebut diidentifikasi di bawah
mikroskop binokuler (Hornby dkk., 1994). Identifikasi telur Aedes dengan menemukan
telur yang berbentuk elips, permukaan yang polygonal dan berwarna hitam mengkilap
(Palgunadi, 2011).
Pengamatan larva
Larva yang didapatkan dari hasil rearing diidentifikasi di bawah mikroskop dan
dihitung menggunakan counter. Identifikasi larva dengan melihat sisik sisir, gigi pekten
pada siphon dan sikat ventral yang terletak pada segmen ke-8 dari larva seperti yang
dijelaskan oleh Ditjen PP&PL (2008). Larva yang digunakan pada pengamatan adalah
larva instar III (Kristiana dkk., 2015).
Analisis Data
Data jumlah telur Aedes, serta jumlah larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus indoor
dan outdoor, dicatat dan ditabulasikan menurut ruang yaitu di dalam ruangan (indoor)
dan di luar ruangan (outdoor). Kemudian dilakukan analisis data menggunakan uji
rancangan acak kelompok (RAK). Data diolah dengan bantuan SPSS versi 21.
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
139
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan sampel telur dan larva nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dalam
penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui tingkat kepadatan dan
penyebaran populasi kedua spesies tersebut di suatu wilayah. Pengetahuan mengenai
persebaran vektor virus dengue sangat penting untuk memahami transmisi penyakit DBD
antar populasi manusia karena pengaruhnya terhadap transfer patogen tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total rata-rata telur nyamuk Aedes dari
semua lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah yang dilakukan menggunakan ovitrap
yang diletakkan indoor adalah (41,71 ± 65,14) sedangkan pada ovitrap yang diletakkan
outdoor adalah (50,25 ± 78,95). Hasil dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Total rata-rata telur Aedes yang dikoleksi indoor dan outdoor di kelima lokasi
penelitian di dalam Kampus Unsyiah
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata telur yang
dikoleksi dari ovitrap indoor tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan
ovitrap outdoor (Lampiran 5).
Tidak ada perbedaan yang nyata di ovitrap indoor maupun ovitrap outdoor
disebabkan oleh kebiasaan yang sama dari nyamuk Aedes dalam cara peletakan telur,
seperti pada tempat-tempat penampungan air bersih atau genangan air bersih yang dapat
menampung air (Chahaya, 2003). Ovitrap dalam penelitian ini ditempatkan secara indoor
dan outdoor. Ovitrap indoor ditempatkan di ruang kamar tidur, dapur, ruang kamar mandi
dan tempat-tempat yang memiliki atap, sedangkan ovitrap outdoor ditempatkan di sekitar
halaman rumah seperti di atas pot bunga, di bawah pohon rimbun, dekat pagar dan tempat
lainnya yang tidak terlindungi oleh atap atau sejenisnya. Jumlah telur nyamuk yang
terdapat pada ovitrap merefleksikan kepadatan nyamuk Aedes dewasa sebagai vektor dan
menggambarkan infestasi nyamuk di suatu daerah (Morato dkk., 2005).
Tinggi rendahnya rata-rata telur nyamuk Aedes bisa juga disebabkan oleh faktor
lingkungan yaitu : temperatur, kelembaban udara dan curah hujan. Rata-rata curah hujan
yang baik untuk perkembangan nyamuk Aedes adalah curah hujan yang lebih dari 500
mm pertahun dengan temperatur ruang antara 32ºC-34ºC dan temperatur air sekitar 25ºC-
30ºC, pH air sekitar 7 dan kelembaban udara sekitar 70% (Purbowarsito, 2011). Curah
41,71 ± 65,14
50,25 ± 78,95
0
10
20
30
40
50
60
Indoor Outdoor
Rat
a-ra
ta T
elur
Aed
es
Lokasi
Indoor Outdoor
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
140
hujan berperan penting untuk tersedianya air sebagai tempat perindukan nyamuk (Ishak
dkk., 2014) sehingga akumulasi telur yang menempel di dinding bejana selama musim
panas akan berubah menjadi larva dan berkembang menjadi nyamuk sehingga
mengakibatkan populasi nyamuk meningkat (Regis dkk., 2008).
Gambar 2 menunjukkan total rata-rata telur nyamuk indoor dan outdoor di kelima
lokasi. Rata-rata telur yang dikoleksi pada ovitrap indoor paling tinggi ditemukan di
Sektor Timur (50,60 ± 71,97) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas
Kedokteran (34,95 ± 45,97).
Gambar 2. Total rata-rata telur Aedes yang dikoleksi indoor dan outdoor di kelima lokasi
penelitian di dalam Kampus Unsyiah
Rata-rata telur yang dikoleksi pada ovitrap outdoor paling tinggi ditemukan pada
Fakultas Kedokteran Hewan (64,20 ± 103,77) sedangkan yang paling rendah ditemukan
di Fakultas Hukum (41,25 ± 83.30). Dari hasil analisis statistik ditemukan bahwa rata-
rata telur nyamuk indoor dan outdoor tidak berbeda nyata (P>0,05) baik di Fakultas
Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan, maupun Fakultas
Kedokteran (Lampiran 5).
Tidak berbedanya total rata-rata telur nyamuk indoor di kelima lokasi di dalam
Kampus Unsyiah, kemungkinan disebabkan nyamuk Aedes pada umumnya menyukai
genangan air yang bersih. Nyamuk Aedes banyak terdistribusi di Sektor Timur
dikarenakan kawasan Sektor Timur merupakan tempat pemukiman, sesuai pernyataan
Hasyimi dan Soekirno (2004) bahwa salah satu faktor berlimpahnya nyamuk Aedes
dikarenakan penggunaan tempat penampungan air yang berlebihan, hal ini disebabkan
karena penduduk banyak menyimpan air pada bejana-bejana penampungan air untuk
keperluan sehari-hari, karena mereka khawatir suatu waktu air yang disalurkan oleh
pemerintah tidak tersedia secara kontinyu, sehingga dengan banyaknya tempat-tempat
penyimpanan air maka akan terakumulasinya tempat perindukan nyamuk. Selain itu
44
,15
±8
5,4
9
50
,60
±7
1,9
7
38
,30
±6
7,5
4
40
,55
±5
2,8
9
34
,95
±4
5,9
7
64
,20
±1
03
,77
43
,75
±6
7,2
7
41
,25
±8
3,3
0
48
,65
±6
7,5
3
53
,40
±7
3,0
4F K H S e k t o r T i m u r F H S e k t o r S e l a t a n F K
Rat
a-ra
ta T
elur
Aed
es
LOKASI
Indoor Outdoor
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
141
kebiasaan masyarakat pada umumnya suka menampung air untuk kebutuhan sehari-hari
dengan bejana-bejana tanpa penutup menyebabkan nyamuk Aedes dapat bertelur di
dalam bejana tersebut, terutama bejana yang berwarna gelap dan terlindung dari cahaya
matahari secara langsung (Nadesul, 2004). Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Suyanto dkk. (2011), nyamuk Aedes lebih menyukai tempat-tempat penampungan
air di dalam atau di sekitar rumah yang berupa genangan air yang tertampung di suatu
tempat atau bejana yang tidak berhubungan langsung dengan tanah seperti drum,
tempayan, ember, bak mandi, pelepah pisang, potongan bambu, tempurung kelapa dan
vas bunga.
Kepadatan penduduk seperti jarak antar rumah satu dan rumah lainnya merupakan
salah satu faktor yang mendukung terhadap tinggi rendahnya kepadatan nyamuk di suatu
lokasi yang saling berdekatan akan mempengaruhi penyebaran nyamuk Aedes, semakin
dekat jarak antar suatu rumah maka semakin mudah nyamuk menyebar dari rumah ke
rumah karena nyamuk Aedes dapat terbang 40-50 meter (Ramadhani dan Astuty, 2013).
Pengamatan terhadap kawasan Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran yang memiliki
data terendah terdistribusinya nyamuk Aedes dibandingkan lokasi lainnya dikarenakan
kedua wilayah di atas bukan merupakan kawasan penduduk dengan pemukiman yang
padat.
Kawasan Fakultas Kedokteran Hewan memiliki rata-rata telur nyamuk Aedes
tertinggi pada peletakan ovitrap outdoor, dilihat dari kondisi lapangan wilayah Fakultas
Kedokteran Hewan yang banyak ditemukan gudang-gudang penyimpanan, kandang
hewan, ruang inap hewan klinik interna dan kandang-kandang penyimpanan hewan coba
sehingga nyamuk Aedes dapat secara mudah menemukan sumber makanan (darah).
Menurut Fathi dkk. (2005), tempat penampungan air yang berada di dalam dan di luar
kandang dapat berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk. Tempat perindukan yang
disukai nyamuk Aedes adalah genangan air bersih yang terdapat dalam wadah seperti
tempat minum hewan, botol bekas, drum, kontainer, ember, vas bunga dan ban bekas
(Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2001).
Gambar 3. Rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang dikoleksi indoor di
kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah
75
,10
±1
11
,99
65
,90
±9
5,1
1
70
,70
±8
4,8
0
35,3
0 ±
18
,22
64
,20
±4
7,2
8
13,2
0 ±
27,5
4 35,3
0 ±
36
,99
5,9
0 ±
10,3
3
45
,80
±7
4,2
5
5,7
0 ±
18,0
2
F K H S e k t o r T i m u r F H S e k t o r
S e l a t a n
F K
Rat
a-ra
ta L
arva
Aed
es
LOKASI
Ae. aegypti Ae. albopictus
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
142
Gambar 4. Rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang dikoleksi outdoor
di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata larva di kelima lokasi memiliki
perbedaan yang sangat nyata, dimana larva Ae. aegypti hanya ditemukan di dalam
ruangan (indoor) tetapi tidak ditemukan sama sekali di luar ruangan (outdoor) (Gambar
3 dan 4). Larva Ae. aegypti yang ditemukan di dalam ruangan (indoor) memiliki jumlah
rata-rata yang bervariasi, jumlah rata-rata larva yang paling banyak ditemukan yaitu di
Fakultas Kedokteran Hewan (75,10 ± 111,99) sedangkan yang paling rendah ditemukan
di Sektor Selatan (35,30 ± 18,22).
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata larva
Ae. aegypti diantara kelima lokasi pada ovitrap indoor tidak berbeda nyata (P>0,05) baik
di Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan, maupun
Fakultas Kedokteran (Lampiran 6). Menurut Fadilla dkk. (2015), penyebaran nyamuk Ae.
aegypti dapat dipengaruhi salah satunya oleh jarak bangunan, semakin dekat jarak antar
bangunan maka akan semakin mudah nyamuk menyebar. Perabot dan perlengkapan
bangunan juga mempengaruhi penyebaran nyamuk seperti konstruksi bangunan, bahan-
bahan pembuat bangunan, pengaturan barang dan warna dinding bangunan (Widiyanto,
2007).
Hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa larva Ae. aegypti tidak ditemukan
sama sekali pada lingkungan outdoor di semua lokasi penelitian dalam Kampus Unsyiah,
hal ini disebabkan karena nyamuk Ae. aegypti kurang mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan luar (Sari dkk., 2008), pernyataan ini didukung pula oleh Budiyanto (2012)
yang melakukan penelitian pada Sekolah Dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu
Sumatera Selatan bahwa nyamuk Ae. aegypti 100 % ditemukan di dalam gedung, sesuai
dengan perilaku hidup nyamuk Ae. aegypti yang lebih suka beristirahat di tempat yang
gelap, lembab dan tersembunyi di dalam bangunan dan perilaku makan Ae. aegypti yang
bersifat antropofilik (menyukai darah manusia). Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai
genangan air yang berada di dalam rumah seperti bak mandi, licin kasarnya dinding
0 0 0 0 0
128,4
0 ±
116,5
1
87,5
0 ±
72,8
1
82,5
0 ±
104,2
4
97,3
0 ±
66,0
9
106,8
0 ±
70,1
9
F K H S e k t o r
T i m u r
F H S e k t o r
S e l a t a n
F K
Rat
a-ra
ta L
arv
a A
edes
LOKASI
Ae. aegypti Ae. albopictus
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
143
kontainer juga berpengaruh terhadap peletakkan telur dan larva nyamuk Ae. aegypti
(Ramadhani dan Astuty, 2013).
Larva Ae. aegypti yang ditemukan ada hubungannya juga dengan makanan larva
yang tersedia, karena ketersediaan makanan berkaitan dengan tempat-tempat
penampungan air (TPA) yang ada di dalam rumah. Mikroorganisme yang menjadi
makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding TPA yang kasar, seperti sumur dan
kayu dan sulit tumbuh pada TPA yang licin (Suroso dkk., 1986).
Pada Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa rata-rata larva Ae. albopictus yang
ditemukan di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor) di kelima lokasi
berbeda antara lokasi satu dengan lokasi lainnya. Rata-rata larva yang dikoleksi di dalam
ruangan (indoor) paling tinggi ditemukan di Sektor Selatan (45,80 ± 74,25) sedangkan
yang paling rendah ditemukan di Fakultas Kedokteran (5,70 ± 18,02). Rata-rata larva
yang dikoleksi pada ovitrap outdoor paling tinggi ditemukan pada Fakultas Kedokteran
Hewan (128,40 ± 116,51) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas Hukum
(82,50 ± 104,24). Dari hasil analisis statistik ditemukan rata-rata larva Ae. albopictus
yang dikoleksi di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor) tidak berbeda
nyata (P>0,05) diantara kelima lokasi (Lampiran 6).
Pada penelitian ini, larva nyamuk Ae. albopictus ditemukan juga di dalam ruangan
(indoor) selain di luar ruangan (outdoor) di kelima lokasi, menurut penelitian Rezza
(2012), bahwa nyamuk Ae. albopictus lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
untuk kehidupan dan perkembangannya dibandingkan Ae. aegypti. Habitat asli nyamuk
Ae. albopictus dapat terganggu karena pemanasan global dan pemanfaatan lahan yang
tidak terkendali (Utina, 2015) dan dikatakan pula bahwa serangga-serangga yang dapat
beradaptasi dengan lingkungan akan lebih memiliki tingkat ketahanan hidup yang tinggi
dan dapat tersebar luas di berbagai tempat (Sari dkk., 2008).
Jumlah rata-rata larva Ae. albopictus tertinggi yang didapat di dalam ruangan
(indoor) adalah di kawasan Sektor Selatan, hal ini dimungkinkan karena kawasan tersebut
terdapat banyak perumahan dan rumah-rumah kontrak yang ditempati oleh banyak
mahasiswa-mahasiswa Unsyiah sehingga jumlah kepadatan penduduk menjadi
bertambah, pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Hakim dan Kusnandar (2010) di
Ciamis, bahwa kepadatan jumlah penghuni di suatu rumah dan kebiasaan aktivitas
manusia juga mempengaruhi banyaknya nyamuk Aedes di lokasi tersebut. Secara tidak
langsung, banyaknya pemukiman baru berdampak terhadap habitat perindukan nyamuk
(man made breeding place) khususnya nyamuk Aedes, karena banyak masyarakat masih
memiliki kebiasaan menyimpan air bersih untuk keperluan sehari-hari mereka di dalam
kontainer-kontainer yang tidak tertutup (Nugroho, 2011).
Pada penelitian ini, larva Ae. albopictus yang ditemukan di luar ruangan (outdoor)
dijumpai diseluruh lokasi penelitian, dan pada Fakultas Kedokteran Hewan merupakan
lokasi terbanyak ditemukannya larva Ae. albopictus. Menurut Fadilla dkk. (2015),
Budiyanto (2012) dan Wongkoon dkk. (2007) bahwa nyamuk Ae. albopictus banyak
ditemukan di luar rumah, karena pada dasarnya nyamuk Ae. albopictus adalah spesies
hutan yang beradaptasi dengan lingkungan manusia, nyamuk Ae. albopictus lebih
menyukai bertelur pada wadah di luar rumah dibandingkan di dalam rumah.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa larva Ae. aegypti lebih banyak tertangkap
di dalam ruangan (indoor) dibandingkan Ae. albopictus di kelima lokasi penelitian
(Gambar 3). Berdasarkan hasil analisis statistik terlihat adanya perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang terperangkap di
dalam ruangan (indoor) (Lampiran 7).
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
144
Banyaknya larva Ae. aegypti yang ditemukan kemungkinan karena nyamuk Ae.
aegypti bersifat domestik, menyukai tempat penampungan air (TPA) yang bersih dan
tenang seperti drum, tempayan, bak mandi, ember, yang berada di dalam rumah. Selain
itu jenis wadah, licin dan kasarnya permukaan wadah dari TPA juga berpengaruh seperti
yang dilaporkan oleh Hadi dkk. (2009) bahwa tangki air, bak mandi dan bak WC
termasuk wadah yang potensial untuk memfasilitasi perkembangbiakan larva Aedes
menjadi dewasa. Ukuran wadah yang besar dan air yang jarang digunakan dan
dibersihkan merupakan tempat yang potensial untuk perkembangan nyamuk Ae. aegypti.
Diketahui pula Ae. aegypti banyak ditemukan di rumah yang padat penghuni, karena
dengan demikian ada banyak kemungkinan nyamuk-nyamuk ini bisa mendapatkan nutrisi
yang mereka butuhkan, seperti darah manusia (Fatmawati dkk., 2014 ; Budiyanto dkk.,
2005).
Pada pengamatan di luar ruangan (outdoor), ditemukan hal yang sebaliknya
dimana terdapat banyak larva Ae. albopictus tetapi tidak ditemukan sama sekali larva Ae.
aegypti di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah.
Gambar 4 memperlihatkan bahwa larva Ae. albopictus 100 % tertangkap di luar
ruangan (outdoor) dibandingkan Ae. aegypti di dalam Kampus Unsyiah. Berdasarkan
analisis statistik terlihat adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara rata-rata larva Ae.
aegypti dan Ae. albopictus yang terperangkap di luar ruangan (outdoor) (Lampiran 7).
Adanya perbedaan jumlah rata-rata larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang
ditemukan di luar ruangan (outdoor), disebabkan karena nyamuk Ae. albopictus lebih
menyukai dan merupakan spesies nyamuk yang sering ditemui di daerah perkebunan atau
hutan. Karena hidup di daerah perkebunan, nyamuk ini cenderung memilih tempat
perkembangbiakan pada air yang tergenang dengan bahan dasar alam seperti potongan
bambu, pangkal daun, atau lubang-lubang bebatuan yang terisi air bersih. Hal iniah yang
menyebabkan nyamuk Ae. albopictus cenderung mencari inang di luar rumah
(Exophagic) (Dellatte dkk., 2010).
Nyamuk Aedes, khususnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus merupakan serangga
penular (vektor) penyakit DBD di Indonesia yang terdistribusi di lingkungan pemukiman
khususnya perkotaan (Wahyuningsih, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian
Sunoto (2009) bahwa Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat hidup di perairan bersih
dikarenakan nyamuk Aedes tertarik terhadap kondisi perairan bersih yang mengandung
senyawa-senyawa kimia yang baik dan senyawa organik (tumbuhan air) yang dapat
dijadikan sebagai makanan.
Penyebaran penyakit DBD di suatu kawasan harus dikontrol dan dengan
penanganan yang tepat. Sampai sekarang obat dan vaksin belum ditemukan sehingga
pencegahan penularan penyakit DBD yaitu melakukan pemutusan rantai penularan
dengan pemetaan vektor, dan mengendalikan populasi vektor DBD (Fathi dkk., 2005).
Pemetaan (survei) vektor nyamuk Aedes merupakan dasar untuk mengendalikan populasi
vektor DBD. Survei vektor berguna untuk menentukan distribusi, habitat utama vektor,
densitas populasi dan tingkat kerentanan vektor terhadap insektisida (WHO, 2005).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nyamuk
Aedes vektor penyebab DBD banyak terdistribusi di dalam Kampus Unsyiah baik di
dalam ruangan (indoor) maupun diluar ruangan (outdoor). Ditemukan telur-telur nyamuk
Aedes di kelima lokasi dengan jumlah yang sama banyak di dalam ruangan (indoor)
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
145
ataupun di luar ruangan (outdoor) (P>0,05). Ditemukan larva Aedes aegypti lebih banyak
di dalam ruangan dibandingkan Aedes albopictus (P<0,05). Larva Aedes albopictus lebih
banyak ditemukan di luar ruangan (outdoor) dibandingkan larva Aedes aegypti (P<0,05).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada ketua dan staf Laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala atas kebaikan yang diberikan kepada penulis
untuk menggunakan fasilitas alat-alat selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, A., S. Santoso, D. Purnama, dan R. I. Pahlepi. 2005. Studi indeks larva
nyamuk Aedes aegypti dan hubungannya dengan PSP masyarakat tentang
penyakit DBD di Kota Palembang Sumatera Selatan tahun 2005. Buletin Loka
Litbang P2B2 Baturaja. 1(1).
Budiyanto, A. 2012. Perbedaan warna kontainer berkaitan dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di Sekolah Dasar. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 1(2) : 65-
71.
Chahaya, I. 2003. Pemberantasan vektor demam berdarah di Indonesia. USU digital
library, Sumatera Utara.
Delatte., Helene, A. Desvars, A. Bouétard, S. Bord, G. Gimonneau, G. Vourc'h, and D.
Fontenille. 2010. Blood-feeding behavior of Aedes albopictus, a vector of
Chikungunya on La Réunion. Vector-Borne and Zoonotic Diseases. 10 (3):
249-258.
Dinas Kesehatan Propinsi Aceh. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Aceh Tahun 2015,
Banda Aceh.
Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2001. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Berdarah Dengue dan Demam Berdarah, Jakarta.
Ditjen PP&PL. 2008. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes, Jakarta.
Fadilla, Z., U. K. Hadi, dan S. Setiyaningsih. 2015. Bioekologi vektor demam berdarah
dengue (DBD) serta deteksi virus Dengue pada Aedes aegypti (Linnaeus) dan
Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahan endemik DBD
Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia. 12 (1) : 31-38.
Fathi., S. Keman, dan C. U. Wahyuni. 2005. Peran faktor lingkungan dan perilaku
terhadap penularan demam berdarah dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 2 (1) : 1–10.
Fatmawati, T., S. Ngabekti, dan B. Priyono. 2014. Distribusi dan kelimpahan populasi
Aedes spp di kelurahan Sukorejo Gunungpati Semarang berdasarkan peletakan
ovitrap. Unnes Journal of Life Science. 3(2).
Hadi, U. K., E. Agustina dan H. S. Singgih. 2009. Sebaran jentik nyamuk Aedes aegypti
(Diptera : Culicidae) di desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar
Nasional Hari Nyamuk 2009. Bogor.
Hakim, L. dan A. J. Kusnandar. 2010. Hubungan jumlah dan kepadatan penghuni rumah
serta keberadaan nyamuk dengan frekuensi menggigit nyamuk Aedes aegypti
saat mencari darah di kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Jurnal Aspirator.
2(2) ; 92-98.
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
146
Harbach. 2008. Famili Culicidae Meigen, Mosquito Taxonomic Inventory.
http://mosquito taxonomic-inventory.info/famili-culicidae-meigen-1818
(diakses 25 Mei 2016).
Hasyimi, H. dan M. Soekirno. 2004. Pengamatan tempat perindukan Aedes aegypti pada
tempat penampungan air rumah tangga pada masyarakat pengguna air olahan.
Jurnal Ekologi Kesehatan. 3(1).
Heppy, D. 2011. Studi Kelimpahan Telur Nyamuk Aedes spp Menggunakan Ovitrap di
Daerah Berawa Bekas Tsunami. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Hornby, J. A., D. E Moore, T. W Miller Jr. 1994. Aedes albopictus distribution,
abundance and colonization in lee country, Florida, and its effect on Aedes
aegypti. Journal of American Mosquito Control Association. 10(3) : 397- 402.
Ishak, H., Nurzidah, dan M. Selomo. 2014. Identifikasi nyamuk Anopheles sp. dewasa di
wilayah endemis dan non endemis malaria kecamatan Bonto Bahari Bulukumbia
Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar.
Islamiyah, M., A. S. Laksono, dan Z. P. Gama. 2013. Distribusi dan komposisi nyamuk
di wilayah Mojokerto. Jurnal Biotropika. 1(2) : 80-85.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Kristiana, I. D., E. Ratnasari, dan T. Haryono. 2015. Pengaruh ekstrak daun bintaro
(Cerbera odollam) terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti. LenteraBio.
4(2) :131-135.
Lailatul, K., L. A. Kadarohman, dan R. N. Eko. 2010. Efektivitas bioloarvasida ekstrak
etanol limbah penyulingan minyak akar wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap
larva nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaicus. Jurnal Sains
dan Teknologi Kimia. ISSN 2087-7412. 1(1): 59-65.
Morato, V. C. G., M. G. Teixera, A. C. Gomes, D. P. Bergamaschi, and M. L. Barreto.
2005. Infestation of Aedes aegypti estimated by oviposition trap in Brazil. Rev
Sauda Publica. 39(4) : 553-558.
Nadesul, H. 2004. Seratus Pertanyaan dan Jawaban Demam Berdarah Dengue. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Nugroho, A. D. 2011. Kematian larva Aedes aegypti setelah pemberian abate
dibandingkan dengan pemberian serbuk serai. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
7(1) : 9-96.
Palgunadi, B.U. dan A. Rahayu. 2011. Aedes aegypti Sebagai Vektor Penyakit Demam
Berdarah Dengue. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya, Surabaya.
Polson, K. A., C. Curtis. C. M. Seng, J. G. Olson, N. Chanta, and S. C. Rawlins. 2002.
The use of ovitrap baited with hay infusion as a surveillance tool for Aedes
aegypti mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin. 26: 178-184.
Purbowarsito, H. 2011. Uji bakteriologis air sumur di Kecamatan Semampir Surabaya.
Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Ramadhani, M. dan H. Astuty. 2013. Kepadatan dan penyebaran Aedes aegypti setelah
penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. eJurnal Kedokteran
Indonesia. 1(1) : 10-14.
Regis, L., A. M. Monteiro, M. A.V. D. M. Santos, J. C. Silveira Jr, A. F. Furtado,
R.V.Acioli, and G. M. Santos. 2008. Developing new approaches for detecting
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017) ISSN : 2540-9492
147
and preventing Aedes aegypti population outbreaks : basis for surveillance, alert
and control system. Memorian do Instituto Oswaldo Cruz. 103(1) : 50-59. Sari, W. T., M. Zanaria, dan E. Agust ina. 2008. Kajian tempat perindukan nyamuk
Aedes di kawasan kampus Darusalam Banda Aceh. Skripsi. Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sunoto., Suyono, dan R. Amalia. 2009. Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes aegypti
terhadap kondisi air. FKM Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang.
Suroso., Thomas, A. Kadir, Pranoto, A. Izhar, Gunawan, F. Noor, Bahtiar dan Yusuf.
1986. Knowledge-attitude practice of the community in prevention of DHF in
Pontianak, Indonesia. Dengue Lcite. 12.
Suwito, A. 2008. Nyamuk (Diptera:Culicidae) Taman Nasional Boganinani Warta Bone,
Sulawesi Utara : keragaman, status dan habitatnya. Zoo Indonesia 17(1): 27-34.
Suyanto., S. Darnoto, dan D. Astuti. 2011. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan
praktek pengendalian nyamuk Aedes aegypti di kelurahan Sangkrah kecamatan
Pasar Kliwon kota Surakarta. Jurnal Kesehatan. 4(1) : 1-132.
Utina, R. 2015. Pemanasan global : dampak dan upaya meminimalisasinya. Artikel,
Gorontalo.
Wahyuningsih, N., E. M. Rahardjo, dan T. Hidayat. 2008. Keefektifan penggunaan dua
jenis ovitrap untuk pengambilan contoh telur Aedes spp Di lapangan. J. Entomol.
Indon. 6(2): 95-102.
Widiyanto, T. 2007. Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian demam berdarah
dengue (DBD) di kota Purwokerto Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Wongkoon, S., M. Jaroensutasinee, K. Jaroensutasinee, and W. Preechaporn. 2007.
Development sites of Aedes aegypti and Ae. albopictus in Nakhon si Thammarat,
Thailand. Dengue Bulletin. 31: 141– 152.
World Health Organization. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.